om lesi ulseratif, vesikel, dan bullosa

39
LESI ULSERATIF, VESIKULAR, DAN BULOSA Seorang klinisi dalam mendiagnosa suatu penyakit ulseratif atau vesikulobulosa pada mulut menghadapi fakta bahwa banyak penyakit yang memiliki gambaran klinis yang mirip. Mukosa mulut yang tipis menyebabkan vesikel atau bulla pecah menjadi ulser dengan cepat, dan ulser mudah mengalami trauma dari gigi dan makanan sehingga mengalami infeksi sekunder oleh flora mulut. Faktor-faktor ini menyebabkan lesi-lesi yang memiliki karakteristik gambaran pada kulit tetapi pada mukosa mulut menjadi non spesifik. Kelainan pada mukosa biasanya dapat didiagnosa dengan tepat dari riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis, tetapi cara ini seringkali tidak cukup dan dapat mengarah pada diagnosis yang salah serta perawatan yang kurang tepat. Riwayat penyakit ketika dilakukan dengan tepat dapat memberikan informasi yang sama pentingnya dengan pemeriksaan klinis. Kelengkapan riwayat penyakit yang sedang diderita sangatlah penting dalam mendiagnosa lesi mukosa mulut. Sistem peninjauan yang lengkap harus diperoleh dari tiap pasien, termasuk pertanyaan mengenai adanya lesi pada kulit, mata, genital dan rektal. Pertanyaan harus meliputi gejala penyakit yang berhubungan dengan lesi oral; yaitu, tiap pasien harus ditanyakan mengenai adanya gejala seperti nyeri pada sendi, kelemahan pada otot, dyspnea, diplopia dan nyeri pada dada. Pemeriksaan klinis harus meliputi inspeksi seksama pada permukaan kulit yang terlihat; diagnosa lesi oral memerlukan pengetahuan mengenai dermatologi dasar karena banyak kelainan yang terjadi pada mukosa mulut juga mempengaruhi kulit. Lesi dermatologis diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu: 1. Makula. Berbatas jelas, datar, dan berbeda dari warna kulit yang normal. Dapat terlihat kemerahan karena adanya lesi vaskular atau inflamasi, atau berpigmen karena adanya melanin, hemosiderin dan obat-obatan. 2. Papula. Lesi padat yang menonjol diatas permukaan kulit, dengan diameter kurang dari 1 cm. Papula dapat terlihat pada bermacam-macam penyakit meliputi erythema multiforme simplex, rubella, lupus erythematosus dan sarcoidosis. 3. Plak. Lesi padat yang menonjol dengan ukuran lebih dari 1 cm; plak adalah papula yang besar. 4. Nodul. Lesi ini berada di dalam dermis, dan epidermis dapat dengan mudah digerakkan dari lesinya. 5. Vesikel. Benjolan berisi cairan dengan diameter kurang dari 1 cm. 6. Bulla. Suatu vesikel dengan diameter lebih dari 1 cm. 7. Erosi. Suatu lesi kemerahan dan basah, seringkali diakibatkan dari rupturnya vesikel atau bulla dan juga trauma. 8. Pustula. Lesi yang menonjol dan berisi eksudat purulen. 9. Ulser. Suatu luka dimana epitelium terbuka; lesi berbatas jelas yang menjorok ke dalam dimana lapisan epidermal telah hilang. 10. Purpura. Lesi datar berwarna kemerahan sampai ungu yang diakibatkan merembesnya darah dari pembuluh darah ke jaringan subkutan. Berdasarkan ukurannya dibagi menjadi ptekiae dan ekimosis, lesi ini tidak hilang ketika ditekan. 11. Ptekiae. Purpura dengan diameter 1 sampai 2 mm. Purpura yang lebih besar dinamakan ekimosis. Riwayat lengkap penyakit yang sedang diderita sangatlah penting dalam membuat diagnosa penyakit mukosa mulut. Tiga jenis informasi yang harus diperoleh dari riwayat penyakit akan membantu klinisi untuk mengkategorikan penyakit pasien dengan cepat dan menyimpulkan diagnosanya: lamanya lesi muncul (lesi akut atau kronis), riwayat terdahulu akan lesi yang sama (penyakit primer atau rekuren) dan jumlah lesi yang ada (single atau multiple). Pada bab ini, penyakit akan dikelompokkan menurut informasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Informasi ini dapat menjadi awal yang sempurna bagi mahasiswa yang baru mempelajari untuk

Upload: muhammad-qadri

Post on 19-Jan-2016

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

LESI ULSERATIF, VESIKULAR, DAN BULOSASeorang klinisi dalam mendiagnosa suatu penyakit ulseratif atau vesikulobulosa pada mulut menghadapi fakta bahwa banyak

penyakit yang memiliki gambaran klinis yang mirip. Mukosa mulut yang tipis menyebabkan vesikel atau bulla pecah menjadi ulser dengan cepat, dan ulser mudah mengalami trauma dari gigi dan makanan sehingga mengalami infeksi sekunder oleh flora mulut. Faktor-faktor ini menyebabkan lesi-lesi yang memiliki karakteristik gambaran pada kulit tetapi pada mukosa mulut menjadi non spesifik.

Kelainan pada mukosa biasanya dapat didiagnosa dengan tepat dari riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis, tetapi cara ini seringkali tidak cukup dan dapat mengarah pada diagnosis yang salah serta perawatan yang kurang tepat. Riwayat penyakit ketika dilakukan dengan tepat dapat memberikan informasi yang sama pentingnya dengan pemeriksaan klinis. Kelengkapan riwayat penyakit yang sedang diderita sangatlah penting dalam mendiagnosa lesi mukosa mulut. Sistem peninjauan yang lengkap harus diperoleh dari tiap pasien, termasuk pertanyaan mengenai adanya lesi pada kulit, mata, genital dan rektal. Pertanyaan harus meliputi gejala penyakit yang berhubungan dengan lesi oral; yaitu, tiap pasien harus ditanyakan mengenai adanya gejala seperti nyeri pada sendi, kelemahan pada otot, dyspnea, diplopia dan nyeri pada dada. Pemeriksaan klinis harus meliputi inspeksi seksama pada permukaan kulit yang terlihat; diagnosa lesi oral memerlukan pengetahuan mengenai dermatologi dasar karena banyak kelainan yang terjadi pada mukosa mulut juga mempengaruhi kulit.

Lesi dermatologis diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu:1. Makula. Berbatas jelas, datar, dan berbeda dari warna kulit yang normal. Dapat terlihat kemerahan karena adanya lesi vaskular

atau inflamasi, atau berpigmen karena adanya melanin, hemosiderin dan obat-obatan.2. Papula. Lesi padat yang menonjol diatas permukaan kulit, dengan diameter kurang dari 1 cm. Papula dapat terlihat pada

bermacam-macam penyakit meliputi erythema multiforme simplex, rubella, lupus erythematosus dan sarcoidosis.3. Plak. Lesi padat yang menonjol dengan ukuran lebih dari 1 cm; plak adalah papula yang besar.4. Nodul. Lesi ini berada di dalam dermis, dan epidermis dapat dengan mudah digerakkan dari lesinya.5. Vesikel. Benjolan berisi cairan dengan diameter kurang dari 1 cm.6. Bulla. Suatu vesikel dengan diameter lebih dari 1 cm.7. Erosi. Suatu lesi kemerahan dan basah, seringkali diakibatkan dari rupturnya vesikel atau bulla dan juga trauma.8. Pustula. Lesi yang menonjol dan berisi eksudat purulen.9. Ulser. Suatu luka dimana epitelium terbuka; lesi berbatas jelas yang menjorok ke dalam dimana lapisan epidermal telah hilang.10. Purpura. Lesi datar berwarna kemerahan sampai ungu yang diakibatkan merembesnya darah dari pembuluh darah ke jaringan

subkutan. Berdasarkan ukurannya dibagi menjadi ptekiae dan ekimosis, lesi ini tidak hilang ketika ditekan.11. Ptekiae. Purpura dengan diameter 1 sampai 2 mm. Purpura yang lebih besar dinamakan ekimosis.

Riwayat lengkap penyakit yang sedang diderita sangatlah penting dalam membuat diagnosa penyakit mukosa mulut. Tiga jenis informasi yang harus diperoleh dari riwayat penyakit akan membantu klinisi untuk mengkategorikan penyakit pasien dengan cepat dan menyimpulkan diagnosanya: lamanya lesi muncul (lesi akut atau kronis), riwayat terdahulu akan lesi yang sama (penyakit primer atau rekuren) dan jumlah lesi yang ada (single atau multiple). Pada bab ini, penyakit akan dikelompokkan menurut informasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Informasi ini dapat menjadi awal yang sempurna bagi mahasiswa yang baru mempelajari untuk mendiagnosa kelainan-kelainan tersebut, seperti juga klinisi berpengalaman yang sadar akan perangkap potensi diagnostik.

Bagian pertama pada makalah ini menjelaskan mengenai lesi multiple akut yang cenderung untuk terjadi sekali saja, bagian kedua bab ini meliputi sindrom mukosa mulut yang rekuren dan bagian ketiga menyajikan pasien dengan lesi multiple kronis. Bagian terakhir menjelaskan penyakit yang muncul sebagai lesi single kronis. Semoga dengan mengklasifikasikan kelainan dengan cara ini akan membantu klinisi untuk menghindari masalah diagnostik yang umum antara infeksi virus dengan sindrom oral yang rekuren, seperti stomatitis aftosa rekuren, atau kelainan yang muncul sebagai chronic progressive disease, seperti pemphigus dan pemphigoid.

1. PASIEN DENGAN LESI MULTIPLE AKUTPenyakit utama yang menyebabkan lesi multiple akut pada mulut meliputi viral stomatitis, reaksi alergi (khususnya erythema

multiforme dan contact allergic stomatitis) dan lesi yang diakibatkan kemoterapi kanker atau blood dyscrasias.

1.1 Infeksi virus herpesTelah dikenal 80 virus herpes, dan delapan diantaranya diketahui menyebabkan infeksi pada manusia: herpes simplex virus (HSV)

1 dan 2, varicella-zoster virus, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan human herpesvirus 6 (HHV6). Semua virus herpes mengandung deoxyribonucleic acid (DNA) nucleus dan dapat menetap selamanya di dalam sel neural inang, dengan demikian menghindari respon imun inang. HHV6, virus herpes yang ditemukan pada 1986, melalui studi seroprevalensi menunjukkan dapat menginfeksi lebih dari 80% populasi orang dewasa. Dua varian, HHV6A dan HHV6B telah diidentifikasi. Virus ini umumnya diisolasi dari saliva dan menyebabkan roseola infantum (exanthema subitum), penyakit masa kanak-kanak yang umum dan ditandai dengan demam dan ruam. Virus ini juga menyebabkan mononucleosislike syndrome pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa. pada pasien immunocompromised, HHV6 dapat menyebabkan interstitial pneumonitis dan bone marrow suppression. HHV7 yang umumnya diisolasi dari saliva, tidaklah dihubungkan dengan penyakit yang spesifik, sedangkan HHV8 telah erat dihubungkan dengan Kaposi’s sarcoma pada pasien yang teinfeksi immunodeficiency virus (HIV). Terdapat juga bukti yang menghubungkan HHV8 terhadap pembentukan lymphoma dan Castleman’s disease.

Page 2: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

HSV1, HSV2, dan varicella-zoster adalah virus yang dikenal menyebabkan penyakit mukosa mulut. Cytomegalovirus bisa menyebabkan ulserasi oral pada pasien immunosuppressed, dan diduga sebagai penyebab penyakit kelenjar ludah pada pasien yang terinfeksi HIV.

Virus herpes simplex terdiri dari 4 lapisan: inti dengan linear double-stranded DNA, protein capsid, tegument, dan lipid envelope yang mengandung glycoproteins yang didapatkan dari membran nuclear sel inang. Dua tipe utama yaitu HSV1 dan 2 dapat dibedakan secara serologi atau analisa restriksi endonekluase dari nuclear DNA. Pada umumnya HSV1 menyebabkan kebanyakan kasus infeksi oral dan pharyngeal, meningoencephalitis, dan dermatitis diatas pinggang; HSV2 kebanyakan menyebabkan infeksi genital. Meskipun perbedaan ini terjadi pada kebanyakan kasus, perubahan kebisaaan seksual membuat perbedaan ini tidaklah berarti. Kedua tipe dapat menyebabkan infeksi primer atau rekuren baik di daerah oral maupun genital, dan juga dapat menyebabkan penyakit rekuren pada kedua daerah. Infeksi primer juga dapat terjadi secara bersamaan pada daerah oral dan genital yang disebabkan oleh kedua virus, meskipun HSV1, lebih sering berulang pada daerah oral dan HSV2 lebih sering berulang pada daerah genital. Manusia adalah satu-satunya reservoir alami dari infeksi HSV, dan penularan terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekresi dari carrier asimptomatik. Metode penularan HSV yang terakhir adalah yang paling umum; antara 2 dan 9% dari individu asimptomatik memiliki HSV di dalam saliva atau sekresi genital. Latency yaitu karakteristik dari semua virus herpes, terjadi ketika virus berpindah dari mukosa atau nervus kutaneus yang berakhir di neuron menuju ganglia dimana genom viral HSV tetap ada tanpa bereplikasi. Selama fase laten, DNA herpes dapat dideteksi tetapi protein viral tidak diproduksi. Reaktivasi dari virus yang laten terjadi ketika HSV beralih menjadi status replikatif; ini dapat terjadi sebagai hasil dari sejumlah faktor termasuk rusaknya jaringan peripheral akibat trauma atau terbakar matahari, demam atau turunnya daya tahan tubuh.

Konsep bahwa HSV mungkin menyebabkan Bell’s palsy awalnya dikemukakan pada 1972, tetapi bukti terbaru dengan menggunakan teknologi genetik dan molekular telah memperlihatkan bahwa reaktivasi dari HSV adalah penyebab yang umumnya mengakibatkan kelainan ini. Terdapat bukti yang menghubungkan HSV dengan karsinogenesis. Studi epidemiologi telah menunjukkan peningkatan insidensi serum antibodi HSV2 atau kultur HSV2 yang positif pada pasien cervical carcinoma. Penelitian terhadap binatang pada kantung pipi hamster menunjukkan meningkatnya perkembangan invasif squamous cell carcinoma ketika infeksi HSV1 dikombinasi dengan topikal snuff.

1.2 Infeksi Primer Herpes Simplex Virus Infeksi primer HSV terjadi pada pasien yang tidak memiliki kekebalan dan diakibatkan kontak dengan virus tersebut. HSV

dijangkit setelah kontak langsung dengan individu yang memiliki HSV primer aktif atau lesi rekuren. HSV primer juga bisa menular melalui HSV yang terkandung dalam sekresi saliva. Pada umumnya infeksi HSV pada mulut disebabkan oleh HSV1, tetapi infeksi primer HSV2 pada mulut juga dapat terjadi sebagai hasil dari kontak orogenital. Infeksi pada jari petugas kesehatan (herpetic whitlows) dapat terjadi pada saat perawatan pasien yang terinfeksi. Dokter gigi dapat mengalami lesi primer pada jari dari kontak dengan lesi di mulut atau saliva pasien yang merupakan karier asimptomatik HSV, meskipun insidensi kelainan ini akan berkurang jika gloves dikenakan. Penggunaan gloves juga dapat mencegah penularan HSV dari jari petugas kesehatan yang terinfeksi herpetic whitlows kepada pasien.

Infeksi primer HSV pada bayi baru lahir dipercayai disebabkan oleh kontak langsung dengan lesi HSV pada vagina saat kelahiran, tetapi kini telah diketahui bahwa kebanyakan ibu yang melahirkan anak dengan HSV primer adalah karier asimptomatik tanpa adanya lesi. Infeksi pada bayi baru lahir mengakibatkan viremia, dan infeksi pada otak, hati, ginjal dan paru-paru.

Insidensi infeksi primer HSV menunjukkan variasi berdasarkan kelompok sosioekonomik. Pada kelompok sosioekonomik bawah, 70-80% dari populasi dideteksi memiliki antibodi terhadap HSV sampai dekade ke dua yang menunjukkan adanya infeksi HSV sebelumnya, pada kelompok individu kelas menengah hanya 20-40% pasien pada kelompok usia yang sama terbukti adanya kontak dengan HSV.

Gambar 1. Herpes primer pada jari seorang dokter gigi.

A. Manifestasi OralKebanyakan pasien datang kepada klinisi dengan keluhan penyakit oral dan sistemik, tetapi riwayat onset penyakit dapat

membantu dalam membedakan lesi infeksi HSV primer dengan lesi multiple akut pada mukosa mulut lainnya. Periode inkubasi biasanya 5-7 hari tetapi juga bisa berkisar 2-12 hari.

Pasien dengan primary oral herpes memiliki riwayat gejala prodromal umum yang mengikuti lesi selama 1-2 hari. Informasi ini membantu dalam membedakan infeksi viral tersebut dengan allergic stomatitis atau erythema multiforme, dimana lesi lokal dan gejala sistemik muncul bersamaan. Gejala umum meliputi demam, sakit kepala, malaise, mual dan muntah. Tidak adanya riwayat recurrent herpes labialis dan adanya riwayat kontak langsung dengan pasien yang memiliki herpes primer atau rekuren juga membantu untuk diagnosis.

Sekitar 1-2 hari setelah gejala prodromal muncul, vesikel-vesikel kecil tampak pada mukosa mulut; vesikel ini dikelilingi oleh gambaran inflamasi. Vesikel akan cepat ruptur menjadi ulser. Lesi terjadi pada setiap bagian mukosa. Saat penyakit berlanjut, beberapa lesi akan bergabung dan membentuk lesi irregular yang lebih besar.

Page 3: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Kriteria diagnostik yang penting pada penyakit ini adalah terjadinya gingivitis marginalis akut generalisata. Seluruh gingiva oedem dan terinflamasi. Beberapa ulser gingival seringkali muncul. Pemeriksaan pada pharink posterior memperlihatkan inflamasi, dan kelenjar limfa submandibula dan cervical membesar dan lunak. Pada beberapa kesempatan HSV primer dapat menyebabkan lesi pada kulit wajah dan labial tanpa adanya lesi intra oral.

HSV primer pada anak yang sehat adalah suatu self-limiting disease. Demam biasanya hilang dalam 3-4 hari dan lesi mulai sembuh dalam 7-10 hari, meskipun HSV akan terus ada di dalam saliva hingga satu bulan setelah terjadinya penyakit.

Gambar 2. Perempuan 12 tahun dengan primary herpetic gingivostomatis yang menyebabkan vesikel dan ulser yang khas yang dikelilingi oleh inflamasi.

B. DiagnosisDiagnosa primary herpetic gingivostomatitis langsung dibuat ketika pada pasien terlihat gambaran khas gejala umum

yang diikuti munculnya vesikel-vesikel pada mulut, ulser dangkal bulat simetris dan gingivitis marginalis akut. Tes laboratorium jarang diperlukan pada kasus ini. Pasien lainnya terutama pasien dewasa, mungkin memiliki gambaran klinis yang kurang khas dan membuat diagnosa menjadi lebih sulit. Tes menjadi penting untuk membedakan herpes primer dari erythema multiforme dimana perawatannya jelas berbeda

Tes laboratorium berikut ini akan dapat membantu dalam mendiagnosa infeksi herpes primer.

Gambar 3. Gingivitis marginalis akut yang ditandai oleh infeksi HSV primer. A, gingiva anterior RB; B, vesikel dan inflamasi di sekitar molar RB.

Sitologi. Untuk sitologi, vesikel yang baru dapat dibuka dan apusan diambil dari dasar lesi. Kaca mikroskop kemudian dapat

dicat dengan Giemsa, Wright’s, atau Papanicolaou’s stain untuk mencari multinucleated giant cells, syncytium, dan ballooning degeneration of the nucleus. Pengecatan dengan Fluorescent pada apusan terbukti lebih sensitif (83%) dibandingkan sitologi rutin (54%);

Isolasi HSV. Isolasi dan netralisasi suatu virus dalam kultur jaringan adalah metode yang paling baik untuk identifikasi dan

memiliki kespesifikan dan kesensitifan hingga 100%. Klinisi harus ingat bahwa isolasi HSV dari lesi oral tidaklah selalu berarti bahwa HSV yang menyebabkan lesi tersebut. Pasien dengan lesi dari penyebab yang lain mengkin juga penderita HSV yang asimptomatik

Gambar 4. Infeksi herpes primer pada laki-laki 17 tahun. Perhatikan vesikel yang tidak rusak dan jelas pada tepi gusi.

Gambar 5. Pemeriksaan sitologi dengan pewarnaan Giemsa, memperlihatkan multinucleated giant cells.

C. PerawatanPerkembangan yang paling berarti dalam penanganan infeksi herpes simpleks adalah penemuan acyclovir, yang tidak

berefek pada sel yang normal tetapi menghambat replikasi DNA pada sel yang terinfeksi HSV. Acyclovir terbukti efektif dalam perawatan primary oral HSV anak-anak ketika terapi dilakukan pada 72 jam pertama. Acyclovir secara signifikan mengurangi lama terjadinya demam, nyeri, lesi, dan penyebaran virus. Obat anti herpes terbaru yang telah tersedia yaitu valacyclovir dan famciclovir. Kelebihan obat terbaru ini adalah meningkatnya bioavailabilitas, yang memungkinkan perawatan efektif dengan dosis yang lebih sedikit. Pada kasus yang lebih ringan dapat ditangani dengan perawatan suportif saja. Penggunaan obat antiviral dalam penanganan penyakit rekuren atau pasien immunocompromised akan dibahas lebih lanjut.

Perawatan suportif rutin meliputi aspirin atau acetaminophen untuk demam and cairan untuk mempertahankan hidrasi yang cukup dan keseimbangan elektrolit. Bila pasien memiliki kesulitan untuk makan dan minum, anestesi topikal dapat diberikan sebelum makanan. Dyclonine hydrochloride 0.5% terbukti sebagai anestesi topikal yang baik pada mukosa mulut. Bila obat ini tidak ada, diphenhydramine hydrochloride 5 mg/mL yang dicampur dengan sejumlah susu magnesia juga memiliki kemampuan

A B

Page 4: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

anestesi topikal yang cukup. Bayi yang tidak mau minum karena nyeri pada mulut yang parah harus dikonsul ke dokter anak untuk mempertahankan cairan yang cukup dan keseimbangan elektrolit.

Antibiotik tidak membantu dalam perawatan infeksi herpes primer, dan penggunaan kortikosteroid adalah kontra indikasi. Terapi di masa depan dapat termasuk pencegahan infeksi dengan vaksin HSV yang dilemahkan secara genetik.

1.3 Infeksi Coxsackievirus Coxsackievirus adalah ribonucleic acid (RNA) enterovirus dan dinamakan sesuai kota ditemukannya pertama kali yaitu kota di

negara bagian New York. Coxsackieviruses dibagi menjadi 2 grup yaitu A dan B. Diketahui ada 24 tipe coxsackievirus grup A and 6 tipe coxsackievirus grup B. Virus ini menyebabkan hepatitis, meningitis, myocarditis, pericarditis, dan penyakit pernapasan akut. Tiga tipe klinis dari infeksi pada daerah mulut berikut disebabkan oleh coxsackieviruses grup A: herpangina, handfoot-and-mouth disease, dan acute lymphonodular pharyngitis. Tipe-tipe coxsackievirus A juga dapat menyebabkan parotitis menyerupai mumps yang jarang terjadi.

1.3.1 HerpanginaCoxsackievirus A4 terbukti menyebabkan kebanyakan kasus herpangina, tetapi tipe A1 sampai A10 dan juga tipe A16 sampai

A22 juga dapat menjadi penyebab. Karena ada banyak antigenic strains dari coxsackievirus, herpangina dapat terjadi lebih dari satu kali pada pasien yang sama. Tidak seperti infeksi herpes simpleks yang terjadi pada waktu yang tetap, herpangina seringnya terjadi secara epidemik dengan insidensi tertinggi dari bulan Juni sampai Oktober. Kebanyakan kasus mengenai anak usia 3 sampai 10 tahun, tetapi infeksi pada orang dewasa juga biasa terjadi.

A. Manifestasi OralSetelah 2 sampai 10 hari masa inkubasi, infeksi mulai dengan gejala umum demam, menggigil dan anorexia. Demam dan

gejala lainnya biasanya lebih ringan dibanding yang dialami pada infeksi HSV primer. Pasien mengeluh sakit tenggorokan, disfagia dan ada kalanya sakit pada mulut. Lesi dimulai dengan bercak makula yang cepat berkembang menjadi papula dan vesikel yang melibatkan pharynx posterior, tonsil, faucial pillar dan palatum lunak. Lesi jarang ditemukan pada mukosa bukal, lidah dan palatum keras. Dalam 24-48 jam vesikel ruptur membentuk ulser kecil berukuran 1-2 mm. Penyakit ini biasanya ringan dan sembuh tanpa perawatan dalam 1 minggu

Herpangina dapat dibedakan dari infeksi HSV primer oleh beberapa kriteria: 1. Herpangina terjadi secara epidemik; infeksi HSV tidak.2. Herpangina cenderung lebih ringan daripada infeksi HSV.3. Lesi herpangina terjadi pada pharynx dan bagian posterior mukosa oral, sedangkan HSV lebih melibatkan daerah anterior

mulut.4. Herpangina tidak menyebabkan gingivitis akut.5. Lesi herpangina cenderung lebih kecil dibanding lesi HSV.

Gambar 6. Vesikel berbentuk anggur pada lidah pada pasien herpangina. Pasien juga memiliki lesi dinding posterior faringeal dan tonsil, tapi tidak ada gingivitis. Coxsackievirus A4 diisolasi dari kultur jaringan.

B. DiagnosisApusan dari dasar vesikel yang baru dan dicat Giemsa tidak memperlihatkan ballooning degeneration atau

multinucleated giant cells. Ini membedakan herpangina dari herpes simplex dan herpes zoster.

C. PerawatanHerpangina adalah suatu self-limiting disease, perawatannya adalah suportif yang meliputi hidrasi yang cukup dan

anestesi topikal ketika kesulitan makan atau menelan. Terapi antiviral khusus tidak tersedia.

1.3.2 Acute Lymphonodular PharingitisAdalah varian dari herpangina yang disebabkan coxsackievirus A10. Penyebaran lesi sama seperti pada herpangina, tetapi nodul

kuning keputih-putihan muncul dan tidak berkembang menjadi vesikel atau ulser. Merupakan suatu self-limiting disease dan hanya diindikasikan perawatan suportif.

1.3.3 Hand-Foot-and-Mouth DiaseaseHand-foot-and-mouth disease pada kebanyakan kasus disebabkan infeksi coxsackievirus A16, meski dilaporkan beberapa kasus

telah diisolasinya A5, A7, A9, A10, B2, atau B5 atau enterovirus 71. Penyakit ini ditandai sedikit demam, vesikel dan ulser pada mulut,dan macula nonpruritik, papula dan vesikel terutama pada permukaan ekstensor tangan dan kaki. Lesi pada mulut lebih meluas daripada yang

Page 5: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

digambarkan pada herpangina, dan bisa terjadi lesi pada palatum keras, lidah, mukosa bukal. Telah dilaporkan kasus yang berat dan melibatkan sistem saraf pusat, myocarditis, dan oedem paru-paru secara epidemik yang disebabkan oleh enterovirus.

Adler dkk meneliti 20 kasus hand-foot-and mouth disease. Pasien mencakup usia 8 bulan sampai 33 tahun, 75% terjadi pada usia di bawah 4 tahun. Manifestasi klinis berlangsung 3-7 hari. Keluhan terbanyak mengenai sakit pada mulut dan secara klinis ke 20 pasien memiliki lesi yang melibatkan mukosa mulut. Karena seringnya keterlibatan mulut, dokter gigi lebih mungkin menemukan pasien dengan penyakit ini dibanding herpangina, dan mereka harus ingat untuk memeriksa tangan dan kaki untuk mencari lesi makulopopular dan vesicular ketika pasien datang dengan stomatitis akut dan demam. Perawatannya adalah suportif.

1.4 Infeksi Virus Varicella-Zoster Varicella zoster virus (VZV) adalah virus herpes dan seperti virus herpes lainnya dapat menyebabkan infeksi primer dan rekuren

serta laten dalam neuron pada sensory ganglia. VZV bertanggungjawab pada 2 infeksi klinis utama pada manusia: chickenpox (varicella) dan shingles (herpes zoster [HZ]). Chickenpox adalah infeksi primer yang umum terjadi saat pertama kali seorang individu berkontak dengan virus. Setelah penyakit utama sembuh, VZV menjadi laten dalam ganglia cabang dorsal dari saraf spinal or ganglia extramedullar dari saraf kranial. Seorang anak tanpa adanya kontak dengan VZV sebelumnya dapat terjangkit chickenpox setelah kontak dengan individu yang memiliki HZ.

Pada 3-5 dari 1000 individu, VZV dapat aktif kembali dan menyebabkan lesi localized herpes zoster. Insidensi HZ meningkat seiring usia atau immunosuppressi. pasien dengan kekebalan tubuh menurun karena penyakit HIV, kemoterapi kanker, terapi obat immunosuppressif atau hematologic malignancy meningkatkan resiko HZ yang parah dan bisa mematikan. Infeksi HZ ini dapat menyebar menyebabkan pneumonia, meningoencephalitis, dan hepatitis; tetapi pada pasien yang normal yang terjangkit HZ tidak memiliki insidensi yang signifikan untuk terjadi malignansi.

A. Manifestasi OralChickenpox adalah penyakit masa kanak-kanak yang ditandai gejala sistemik ringan dan munculnya lesi makulopopular

yang menyeluruh dan cepat berkembang menjadi vesikel dengan dasar eritematous. Vesikel pada mulut yang berubah dengan cepat menjadi ulser mungkin ditemukan, tetapi lesi pada mulut bukanlah gejala diagnostik yang penting dan tidak menjadi masalah dalam penanganannya.

HZ umumnya memiliki periode prodromal antara 2 sampai 4 hari, ketika nyeri yang menusuk, parestesi, rasa terbakar dan kelemahan terjadi sepanjang jalur saraf yang terkena. Vesikel-vesikel unilateral dengan dasar eritematous muncul berdekatan sepanjang jalur saraf memberikan gambaran klinis khas adanya keterlibatan dermatom. Sejumlah lesi yang menyebar karena viremia terjadi di luar dermatom. Vesikel berubah menjadi bopeng dalam 1 minggu dan penyembuhan membutuhkan waktu selama dua sampai tiga minggu. Umumnya saraf yang terkena HZ adalah C3, T5, L1, L2, dan cabang pertama dari nervus trigeminal.

HZ juga seringkali mengenai saraf motorik. HZ pada regio sacral dapat menyebabkan paralisis kandung kemih. Ekstrimitas dan diafragma juga dapat terjadi paralisis selama episode HZ.

Komplikasi paling umum dari HZ postherpetic neuralgia, dimana nyeri tetap ada selama sebulan lebih setelah lesi mukokutan sembuh, meskipun beberapa klinisi tidaklah menggunakan istilah postherpetic neuralgia kecuali nyeri berlangsung sedikitnya tiga bulan setelah lesi sembuh. Insidensi keseluruhan dari postherpetic neuralgia adalah 12 sampai 14%, tetapi resiko akan meningkat jelas setelah usia 60 tahun, kemungkinan besar karena adanya penurunan imunitas sel. Immunosuppression tidak meningkatkan resiko postherpetic neuralgia.

Herpes zoster melibatkan salah satu cabang nervus trigeminal pada 18 sampai 20% kasus, tetapi cabang oftalmikus lebih sering terkena dibanding cabang kedua dan ketiga. HZ pada cabang pertama dapat menyebabkan kebutaan sekunder pada kornea dan harus ditangani oleh seorang ahli mata. Lesi fasial dan intraoral adalah karakteristik HZ yang melibatkan cabang kedua dan ketiga nervus trigeminal.

Setiap lesi oral HZ mencerminkan lesi yang terjadi pada infeksi herpes simpleks. Diagnosa dibuat berdasarkan riwayat nyeri dan sifat unilateral dan penyebaran lesi yang segmental. Ketika gambaran klinis yang khas dan vesikel muncul, oral HZ dapat dibedakan secara klinis dari lesi multiple akut pada mulut lainnya, yang bersifat bilateral dan tidak berlanjut atau disertai dengan nyeri sepanjang jalur salah satu cabang nervus trigeminal.

HZ telah dikaitkan dengan kelainan dental dan jaringan parut yang parah pada kulit wajah ketika trigeminal HZ terjadi saat pembentukan gigi. Nekrosis pulpa internal root resorption juga telah dikaitkan dengan HZ. Pada pasien have immunocompromised, lesi HZ kronis yang besar dapat menyebabkan nekrosis pada tulang dan eksfoliasi gigi.

Gambar 7. Lesi fasial pada herpes zoster yang melibatkan nervus trigeminal cabang ke-dua.

Page 6: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Gambar 9. Lesi unilateral palatal pada herpes zoster pada nervus trigeminus cabang ke-dua.

Gambar 8. Herpes zoster pada nervus trigeminus cabang ke-3 nervus V, sisi kanan.

B. PerawatanAcyclovir atau obat antiherpes terbaru yaitu valacyclovir atau famciclovir mempercepat penyembuhan dan mengurangi

nyeri yang akut, tetapi tidak mengurangi insidensi postherpetic neuralgia. Obat yang terbaru memiliki bioavaibilitas yang lebih besar dan lebih efektif.

Penggunaan kortikosteroid sistemik untuk mencegah postherpetic neuralgia pada pasien berusia lebih dari 50 tahun masih diperdebatkan; data terbaru menunjukkan berkurangnya nyeri dan kelumpuhan selama dua minggu pertama tetapi tidak berefek pada insidensi atau keparahan post-herpetic neuralgia. Beberapa klinisi menganjurkan penggunaan kombinasi antara intralesional steroids dan anestesik lokal untuk mengurangi waktu penyembuhan dan mencegah postherpetic neuralgia, tetapi penelitian untuk terapi ini belum pernah dilakukan.

Terapi yang efektif untuk postherpetic neuralgia meliputi aplikasi capsaicin yaitu suatu zat yang diekstraksi dari cabe. Topikal capsaicin aman digunakan tetapi supaya efektif harus digunakan dalam jangka waktu yang lama dan dapat menyebabkan sensasi terbakar pada kulit. Ketika terapi topikal capsaicin tidaklah efektif, maka diindikasikan penggunaan antidepressant tricyclic atau gabapentin. Chemical atau surgical neurolysis mungkin diperlukan pada kasus refraktori (lihat Bab 11, Orofacial Pain).

1.5 Erythema MultiformeErythema multiforme (EM) adalah penyakit inflamasi akut pada kulit dan membran mukosa yang menyebabkan berbagai macam

lesi kulit-karenanya dinamakan “multiforme”. Lesi pada mulut pada umumnya adalah inflamasi yang dibarengi vesikel dan bulla yang ruptur dengan cepat dan bisanya adalah komponen penting dari gambaran khas dan seringkali adalah satu-satunya komponen . Erythema multiforme dapat terjadi sekali atau kambuh an harus dipertimbangkan dalam diagnosa multiple acute oral ulcers, ada atau tidaknya riwayat dari lesi yang sama. Terdapat juga jenis EM kronis yang langka. EM memiliki beberapa presentasi klinis: jenis self-limiting yang ringan dan jenis yang membahayakan hidup dan parah yang dapat muncul baik sebagai Stevens-Johnson syndrome atau toxic epidermal necrolysis (TEN).

Gambar 10. lesi vesikular awal pada pasien yang mengidap eritema multiforme setelah beberapa episode herpes labialis rekuren.

A. EtiologiEM adalah suatu penyakit immune-mediated yang dapat diawali baik oleh deposisi immune complex di dalam

microvasculature superficial dari kulit atau mukosa atau cell-mediated immunity. Kazmierowski dan Wuepper meneliti spesimen dari lesi yang berusia kurang dari 24 jam yang diambil dari 17 pasien penderita EM; 13 dari 17 pasien memiliki deposisi immunoglobulin (Ig) M dan complement (C) 3 pada vessel superficial. Petugas kesehatan yang lain mendeteksi kenaikan tingkat immune complex dan penurunan complement didalam cairan sampel yang diambil dari vesikel.

Meskipun histopatologi EM belum pasti, telah dijelaskan dua pola histologi utama: suatu pola karakteristik epidermal dengan lichenoid vasculitis dan intraepidermal vesicles dan pola karakteristik dermal dengan lymphocytic vasculitis dan subepidermal vesiculation.

Umumnya pemicu terjadinya EM adalah herpes simplex virus dan reaksi obat. Obat yang paling sering dikaitkan dengan EM adalah oxycam nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs); sulfonamides; antikonvulsan seperti carbamazepine, phenobarbital, dan phenytoin; kombinasi trimethoprim-sulfonamide, allopurinol, dan penicillin. Kebanyakan kasus yang parah dari Stevens-Johnson syndrome atau TEN disebabkan oleh reaksi obat.

Hubungan HSV dengan terjadinya EM telah dikenal selama lebih dari 50 tahun, tetapi perkembangan teknik diagnostic, termasuk polymerase chain reaction (PCR) dan in situ hybridization telah memperlihatkan bahwa herpes-associated EM adalah jenis penyakit tersebut yang umum, terhitung sedikitnya 20 hingga 40% kasus EM single episode dan sekitar 80% EM rekuren. Antigen herpes telah diperlihatkan pada kulit dan immunocomplexes diperoleh dari pasien penderita EM. Banyak peneliti kini percaya bahwa penyebab utama EM adalah respon imun selular terhadap antigen HSV yang berada di dalam keratinocytes kulit

Page 7: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

dan mukosa. Kecenderungan untuk berkembangnya lesi membran mukosa saat terjadi episode herpes-associated EM tampaknya ditentukan oleh genetic dan berhubungan dengan tipe human leukocyte antigen (HLA) yang spesifik. Lesi mukosa mulut ditemukan pada 8 dari 12 anak penderita HSV-associated EM. Pemicu EM lainnya meliputi progesterone, Mycoplasma benign dan malignant tumors, radiotherapy, Crohn’s disease, sarcoidosis, histoplasmosis, dan infectious mononucleosis.

Pada banyak kasus EM masih tidak ditemukannya penyebab yang pasti setelah pemeriksaan yang luas pada penyakit sistemik dan alergi dan kemudian diberi label idiophatik.

Gambar 11. Lesi target pada lengan pasien dengan eritema multiforme yang diperlihatkan pada gambar 10.

B. Manifestasi KlinisEM banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda serta jarang terjadi setelah usia 50 tahun. EM memiliki onset

akut atau bahkan eksplosif; gejala umum seperti demam dan malaise terjadi pada kasus yang parah. Pasien bisa jadi asimptomatik dan dalam waktu kurang dari 24 jam memiliki lesi yang luas pada kulit dan mukosa. EM simplex adalah jenis self-limiting disease dan berkarakteristik macula dan papula dengan diameter 0,5 sampai 2 cm dengan penyebaran yang simetris.

Pada umumnya daerah kulit yang terlibat adalah tangan, kaki dan permukaan ekstensor pada siku dan lulut. Wajah dan leher bisaa terkena, tetapi hanya kasus yang parah yang melibatkan batang leher. Lesi kulit yang khas pada EM dapat berupa macula, papula dan vesikel yang nonspesifik. Lesi lain pada kulit yang khas adalah petechiae pada tengah-tengah lesi. in Lesi pathognomonik adalah lesi target atau iris yang terdiri dari pusat bulla atau daerah kepucatan yang dikelilingi oleh oedem dan lingkaran erythema. Pada jenis penyakit vesikulobulosa yang lebih parah yaitu Stevens-Johnson syndrome dan TEN, memiliki angka kematian yang signifikan. EM diklasifikasikan sebagai Stevens-Johnson syndrome ketika vesikel dan bulla meibatkan kulit, mulut, mata dan genital.

Gambar 12. Lesi target pada pasien dengan eritema multiforme.

Jenis penyakit yang paling parah yaitu TEN (tone epidermal neurolysis), yang merupakan reaksi obat sekunder dimana terjadi pengelupasan kulit dan mukosa dengan lembaran yang besar. Morbiditas terjadi pada 30 sampai 40% pasien yang diakibatkan infeksi sekunder, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, atau keterlibatan paru-paru, hati atau ginjal. Pasien dengan jenis penyakit ini lebih berhasil ditangani di burn center dimana kulit yang nekrotik diambil dibawah anestesi umum dan penyembuhan akan terjadi di bawah lembaran porcine xenografts.

Lesi pada mulut bisa muncul bersama lesi pada kulit pada pasien EM sekitar 70%. Pada beberapa kasus, lesi pada mulut adalah predominan atau single site pada penyakit. Ketika lesi oral predominan dan tidak ada lesi target pada kulit, EM harus dibedakan dengan penyebab ulser multiple akut lainnya, khususnya infeksi herpes simpleks primer. Pembedaan ini penting karena kortikosteroid dapat menjadi pengobatan yang tepat untuk EM tetapi merupakan kontraindikasi untuk infeksi herpes simpleks primer. Ketika tidak adanya lesi pada kulit dan lesi pada mulut ringan, diagnosa dapat menjadi sulit dan dibuat pengecualiaan dengan penyakit lainnya. Apusan sitologik dan isolasi virus dapat dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya infeksi herper primer. Biopsi dapat dilakukan ketika diduga terjadi pemphigus akut. Gambaran histologis EM pada mulut tidaklah khas tetapi ditemukannya infiltrasi lymphocytic perivaskular dan edema epithelial dan hyperplasia dapat diduga sebagai gambaran EM.

Diagnosa dibuat berdasarkan keseluruhan gambaran klinis termasuk cepatnya onset lesi. Lesi pada mulut diawali sebagai bula dengan dasar erythematous, tetapi bentuk bulla jarang terlihat oleh klinisi karena capatnya bulla pecah menjadi ulser. Lesi viral berbentuk kecil, bulat, simetris dan dangkal, tetapi lesi EM lebih besar, irregular, lebih dalam dan seringkali berdarah. Pada EM, lesi dapat terjadi dimanapun pada mukosa mulut, tetapi keterlibatan bibir paling sering terjadi dan keterlibatan gingiva adalah jarang. Ini adalah criteria penting untuk membedakan EM dengan infeksi herpes simpleks primer dimana keterlibatan keseluruhan gingiva adalah khas.

Pada kasus klinis yang parah, bibir terkikis secara luas dan sebagian besar mukosa mulut kehilangan epithelium. Pasien tidak dapat makan dan menelan serta mengeluarkan ludah bercampur darah. Dalam 2 sampai 3 hari lesi pada bibir mulai hancur. Pada kebanyakan kasu, penyembuhan terjadi dalam 2 minggu, tetapi pada beberapa kasus yang parah penyakit dapat berlangsung selama beberapa minggu.

C. PerawatanKasus EM pada mulut yang ringan dapat ditangani dengan perawatan suportif saja yang meliputi obat kumur anestesi

topikal dan diet lunak atau cair. EM pada mulut yang sedang atau parah dapat ditangani dengan penggunaan singkat kortikosteroid

Page 8: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

sistemik pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaannya. Kortikosteroid hanya boleh digunakan oleh klinisi yang mengenal efek sampingnya dan pada tiap kasus, keuntungan penggunaannya harus lebih besar dibanding resiko penggunaannya. Pada anak-anak kecil yang diobati dengan kortikosteriod sistemik memiliki tingkat komplikasi yang lebih besar daripada orang dewasa, khususnya perdarahan saluran pencernaan dan infeksi sekunder. Orang dewasa yang diobati dengan steroid sistemik jangka pendek memiliki tingkat komplikasi yang lebih rendah dan EM lebih singkat terjadi. Efek protein-wasting dan adrenal-suppressive dari steroid sistemik tidaklah signifikan ketika digunakan dalam jangka pendek. Dosis awal 30 sampai 50 mg/hari prednisone atau methylprednisolone selama beberapa hari yang kemudian dikurangi sedikit demi sedikit membantu mempersingkat penyembuhan EM, khususnya ketika terapi dimulai pada permulaan penyakit. Harus dicatat bahwa keberhasilan perawatan ini belumlah terbukti dengan penelitian klinis terkontrol dan masih diperdebatkan.

Pasien dengan kasus EM rekuren yang parah diobati dengan dapsone, azathioprine, levamisole, atau thalidomide. EM dipicu oleh progesteron, dikenal sebagai autoimmune progesterone dermatitis dan stomatitis, telah berhasil diobati dengan tamoxifen. Pada kasusyang resisten, oophorectomy diperlukan untuk mengobati kelainan ini. Obat Antiherpes seperti acyclovir atau valacyclovir dapat efektif mencegah pasien yang diduga mengembangkan herpes-associated EM apabila obat diberikan pada saat terjadi lesi HSV rekuren. Penggunaan profilaksis obat antiherpes efektif dalam pencegahan terjadinya HSV associated EM yang rekuren. Steroid sistemik disarankan untuk penanganan Systemic Stevens-Johnson syndrome dan dipertimbangkan dapat menyelamatkan nyawa pada kasus yang berat.

Gambar 13. Lesi labial (A), kulit (B), dan penis (C) pada laki-laki 17 tahun dengan eritema multiform pada Stevens-Johnson. Lesi mulai membesar kurang dari 12 jam sebelum foto pasien diambil.

Gambar 14. Lesi inraoral dari eritema multiform pada laki-laki 18 tahun.

1.6 Stomatitis Kontak AlergikaKontak alergi yang berasal dari reaksi hipersensitif yang terlambat yang muncul ketika antigen dengan berat jenis rendah

berpenetrasi ke dalam kulit atau mukosa pada individu dengan daya tahan tubuh yang rendah. Antigen ini bersatu dengan protein epitel membentuk hapten yang mengikat sel Langhan’s ke epithelium. Sel Langerhans bermigrasi ke nodus limfa regional dan menghasilkan antigen limfosit-T, yang kemudian menjadi sensitif dan jumlahnya meningkat. Setelah pengulangan paparan antigen, individu yang telah sensitif meningkatkan reaksi inflamasi sebatas pada tempat kontaknya. Karena reaksinya berasal dari alergi kontak muncul sebagai inflamasi non spesifik, dermatitis kontak atau stomatitis menjadi sulit untuk dihilangkan dari iritasi fisik yang kronis. Insidensi stomatitis kontak tidak diketahui, tapi dipercaya lebih jarang terjadi daripada dermatitis kontak karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Saliva membasahi antigen potensial secara cepat dan membasuh antigen potensial dan mencernanya sebelum antigen potensial tersebut dapat berpenetrasi ke dalam mukosa.

2. Dikarenakan mukosa oral memiliki lebih banyak vaskularisasi dibandingkan kulit, antigen potensial yang berpenetrasi ke dalam mukosa dihilangkan secara cepat sebelum reksi alergi terjadi.

3. Mukosa oral memiliki lebih sedikit keratin dibandingkan kulit, menurunkan kemungkinan terjadinya hapten.

Gambar 15. Alergi kontak pada mukosa labial, disebabkan oleh peppermint.

Stomatitis kontak dapat muncul karena adanya kontak dengan bahan dental, produk kebersihan mulut, atau makanan. Penyebab-penyebab yang umum dari reaksi kontak oral adalah dari kayu manis atau mint, yang seringkali digunakan sebagai agen perasa dalam makanan, permen, dan permen karet, seperti halnya pada produk kebersihan gigi seperti pasta gigi, obat kumur, dan benang gigi.

Bahan dental yang diketahui dapat menyebabkan stomatitis alergi kontak adalah merkuri pada bahan tambal amalgam, monomer bebas pada akrilik, dan nikel pada kawat ortodontik. Pirofosfat dan zink sitrat, yang merupakan komponen dari tatrtar control toothpaste, menyebabkan pengelupasan permukaan mukosa pada beberapa pemakainya, tapi dipercaya reaksi ini lebih disebabkan oleh iritasi fisik daripada karena reaksi alergi.

A. Manifestasi Klinis

Page 9: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Tanda dan gejala klinis dari alergi kontak oral tidaklah spesifik dan seringkali sulit dibedakan dari iritasi fisik. Reaksi hanya timbul pada lokasi terjadinya kontak dan disertai dengan rasa seperti terbakar atau rasa sakit yang diiringi eritem, dan terkadang terbentuk vesikel dan ulser. Rasa seperti terbakar tanpa adanya lesi bukan merupakan indikasi dari alergi kontak, dan tes alergi pada pasien mouth burned syndrome dengan mukosa yang normal bukan merupakan indikasi.

Lesi yang tampak lichenoid secara klinis maupun histologis dapat merupakan alergi kontak bila lesi lichenoid berkontak secara langsung dengan alergen yang potensial. Lesi ini paling sering muncul sebagai akibat dari merkuri dari bahan tambal amalgam, dan muncul pada mukosa bukal dan garis lateral lidah pada kontak langsung dengan restorasi amalgam. Lesi-lesi ini hilang jika tambalan amalgam dihilangkan. Harus ditekankan bahwa tidak ada bukti suatu lesi oral lichen planus bisaa tidak berkontak secara langsung denngan perbaikan restorasi saat tambalan amalgam dihilangkan.

Gambar 16. Plasma cell gingivitis dengan etiologi yang tidak diketahui.

Manifestasi oral lain dari alergi kontak adalah gingivitis sel plasma, yang ditandai dengan eritema dan edema yang menyeluruh pada gusi cekat, kadang disertai dengan cheilitis dan glossitis. Gambaran histopatologis menunjukkan selapis sel plasma yang menggantikan jaringan ikat normal. Beberapa kasus yang berhubungan dengan alergen yang berada dalam pasta gigi, permen karet, atau permen, dimana etiologi pada kasus-kasus lain tetap tidak diketahui setelah dilakukan tes alergi berspektrum luas. Gingivitis sel plasma harus dibedakan dari penyakit neoplastik sel plasma seperti plasmasitoma atau multipel mieloma.

B. DiagnosisAlergi kontak dapat didiagnosis secara akurat dengan menggunakan tes patch. Tes ini dilakukan dengan menempatkan

suspek alergen pada lempeng aluminium kecil, yang disebut Finn chambers, yang ditutulkan pada kulit tidak berrambut. Lempeng dibiarkan selama 48 jam. Respon positif terhadap alergen ditandai dengan munculnya inflamasi pada tempat dilakukannya tes, yang dinilai dengan skala 0 sampai 3. Tes patch harus dilakukan oleh operator yang terlatih dan berpengalaman, agar hasilnya dapat diinterpretasi secara akurat.

C. PerawatanPenatalaksanaan dari alergi kontak tergantung dari derajat keparahan lesi. Pada kasus ringan, dilakukan eliminasi alergen

penyebab. Pada kasus yang lebih berat, dilakukan aplikasi kortikosteroid topikal yang dapat secara cepat membantu penyembuhan lesi dengan rasa sakit.

1.7 Ulser Oral Sekunder Pasca Kemoterapi KankerObat-obatan kemoterapi berulangkali digunakan untuk meningkatkan efek pengobatan tumor solid, baik keganasan darah, ataupun

cangkok sumsum tulang belakang. Obat-obatan serupa digunakan untuk pasien yang menjalani cangkok sumsum tulang belakang. Salah satu dari efek samping yang umum terjadi dari obat-obatan antikanker adalah ulser oral multipel. Dokter gigi di rumah sakit yang sering menggunakan obat-obatan semacam ini akan lebih sering menemui ulser sekunder akibat terapi obat daripada lesi-lesi oral lain yang dibahas dalam makalah ini.

Obat-obatan antikanker dapat menyebabkan ulser baik secara langsung ataupun tidak langsung. Obat yang menyebabkan stomatitis secara tidak langsung menekan sumsum tulang dan respon imun, mengarah kepada infeksi bakteri, virus, atau jamur pada mukosa oral. Obat lain, seperti methotrexate, menyebabkan ulser oral melalui efek langsung dengan replikasi dan pertumbuhan sel epitel mulut dengan mengganggu sintesis asam nukleat dan protein, menghasilkan penipisan dan ulserasi pada mukosa oral.

Publikasi terbaru oleh Sonis menyebutkan hipotesis baru yang menjelaskan mengenai stomatitis parah pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan sitotoksik untuk transplantasi sel stem. Disebutkan bahwa reaksi inflamasi menyebabkan ulser yang rekuren dan obat-obatan anti inflamasi dapat digunakan untuk mengurangi ulser yang berhubungan dengan sumsum tulang.

1.8 ANUGAcute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG) adalah infeksi oral yang endogenous yang ditandai dengan kematian gingiva.

Kadang, ulser pada mukosa oral juga muncul pada pasien dengan penyakit hematologi atau defisiensi nutrisi yang parah.ANUG dikenali sebagai ”trench mouth” selama Perang Dunia I karena prevalensinya pada combat trenches, dan disalah artikan

sebagai penyakit yang sangat menular. Sejak saat itu, dilakukan studi yang menunjukkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan meningkatnya prevalensi organisme flora normal mulut dan tidak dapat berpindah-pindah. Organisme yang paling sering menimbulkan lesi ini adalah fusiform bacillus dan spirochetes.

Sampel plak yang diambil dari pasien ANUG memperlihatkan flora anaerob yaitu Treponema spp, Selenomonas spp, Fusibacterium spp, dan Bacteroides intermedius. Kerusakan jaringan diperkirakan terjadi karena endotoksin yang beraksi baik secara langsung pada jaringan ataupun secara tidak langsung dengan merangsang reaksi immunologis dan inflamasi.

Page 10: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

ANUG klasik pada pasien tanpa penyakit sistemik seringkali ditemukan pada rentang usia 16 sampai 30 tahun, dan dihubungkan dengan tiga faktor utama:

1. Kebersihan mulut yang buruk dengan gingivitis marginalis yang sudah ada sebelumnya atau restorasi yang tidak baik.2. Merokok.3. Stress.

Kelainan sistemik yang berhubungan dengan ANUG adalah penyakit yang mempengaruhi neutrofil (seperti leukemia atau anemia aplastik), malnutrisi berat, dan infeksi HIV. Kasus yang berhubungan dengan malnutrisi dilaporkan terjadi pada negara-negara berkembang dimana ANUG yang tidak diobati dapat berlanjut menjadi noma, ulser nekrotik besar yang meluas dari mukosa oral melalui jaringan lunak wajah.

Prevalensi dari penyakit ini dilaporkan oleh Giddon dkk, yang mempelajari prevalensi ANUG pada 12.500 siswa yang didukung oleh Harvard University Dental Health Service. Sekitar 0,9% dari sample total mengalami ANUG selama periode sekolah. Prevalensi sebesar 4% pada siswa yang datang ke klinik gigi diamati. Anggota pada kelas junior paling sering terinfeksi. Hubungan dengan stress ditandai dengan meningkatnya frekuensi ANUG selama masa ujian dan masa liburan. Studi pada anggota pelatihan militer dan mahasiswa menunjukkan prevalesi sebesar 5 sampai 7 %.

Ada tiga bentuk penyakit periodontal yang diamati pada pasien dengan sindrom immunodefisiensi dapatan (AIDS): linear gingival erythema (LGE), necrotizing ulcerative gingivitis (NUG), dan necrotizing ulcerative periodontitis (NUP).

LGE adalah lingkaran merah tegas yang melibatkan margin gusi yang tidak membaik dengan perawatan prosedur oral hygiene standar. Beberapa kasus diyakini disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan jamur dan kasus ini dapat diatasi dengan terapi antifungi. NUG dan NUP mirip dengan ANUG secara klinis; dengan batasan NUG hanya melibatkan gingiva, dan NUP melibatkan kehilangan perlekatan jaringan periodontal. Terdapat sebuah bukti bahwa pasien dengan AIDS mengalami perubahan respon sulkus gingiva. Level sitokin proinflamatori seperti interleukin-1 beta meningkat pada sulkus gingiva pada pasien HIV, yang merubah regulasi neutrofil. Perubahan fungsi neutrofil ini dapat menjelaskan mengenai peningkatan insidensi NUP yang berhubungan dengan organisme termasuk fusobacterium dan Candida, yang mengakibatkan kematian jaringan gusi yang cepat.

Bentuk tegas dari stomatitis ulseratif yang berhubungan dengan ANUG adalah noma (cancre oris), yang seringkali menyerang anak-anak di bagian sub-Sahara Afrika. Penyakit ini ditandai dengan nekrosis luas yang dimulai dari gingiva lalu berlanjut dari mulut melalui pipi menuju ke kulit wajah, menyebabkan kecacatan yang besar. Faktor utama yang berkaitan dengan terjadinya noma adalah malnutrisi, oral hygiene yang buruk, dan infeksi konkomitan seperti cacar. Tempat tinggal dekat dengan binatang ternak juga diyakini memiliki peran, dan Fusobacterium necrophorum, patogen yang berhubungan dengan penyakit pada binatang ternak, telah diisolasi pada lebih dari 85 % lesi noma. Angka kematian tanpa terapi yang tepat melebihi 70%.

A. Manifestasi KlinisOnset dari ANUG bisaanya mendadak, dengan disertai rasa sakit, jaringan yang mudah rusak, hipersalivasi, rasa metalik

yang aneh, perdarahan spontan pada jaringan gingiva. Bisaanya pasien kehilangan nafsu makan dan penurunan kepuasan dalam merokok. Gigi menjadi lebih ekstrusi, sensitif terhadap tekanan, atau mengalami ”woody sensation”. Kadang-kadang dapat sedikit digerakkan. Tanda-tanda yang sering ditemukan adalah perdarahan pada gusi dan papila interdental membulat.

Gambar 17. Cancre oris atau noma.

Gambar 18. Nekrosis yang luas pada papila interdental, dan gusi tepi dan cekat karena ANUG.Lesi khas dari ANUG adalah ulserasi yang mengandung jaringan mati, paling sering terjadi di papila interdental dan

margin gusi. Ulserasi ini paling mudah diamati pada papila interdental, tetapi ulserasi dapat juga terjadi pada pipi, bibir, dan lidah, dimana jaringan berkontak dengan lesi pada gingiva dan mengalami trauma. Ulserasi juga dapat ditemukan pada palatum dan daerah faringeal. Saat lesi telah menyebar pada gingiva, kelainan perdarahan dan immunodefisiensi dapat ditegakkan dengan melakukan tes laboratorium yang tepat, tergantung pada tanda dan gejala yang timbul.

Lesi ulseratif dapat berlanjut ke prosesus alveolaris, dengan sekuestrasi (kematian) dari gigi dan tulang. Saat perdarahan gingiva menjadi gejala utama, warna gigi berubah menjadi coklat, dan bau mulut menjadi sangat tidak sedap.

Tonsil harus selalu diperiksa karena organ ini dapat terinfeksi. Nodus limfa regional bisaanya sedikit membesar, tapi jarang terjadi limfadenopati, terutama pada anak-anak.

Gejala pasti pada ANUG primer bisaanya sedikit signifikan bila dibandingkan dengan keparahan lesi oralnya. Kenaikan suhu yang signifikan bisaanya tidak terjadi, bahkan pada kasus yang parah, dan, apabila ada kenaikan suhu, maka bisaanya

Page 11: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

disertai dengan penyakit lain, terutama kelainan darah dan AIDS. Pasien yang terinfeksi HIV dengan NUG mengalami nekrosis dan ulserasi yang progresif yang pertama-tama mengenai hanya gingiva, lalu terjadi NUP pada perlekatan jaringan periodontal dan melibatkan tulang alveolar. Daerah ulserasi dapat lokalisata atau generalisata dan seringkali sakit. Pada kasus yang parah, tulang di bawahnya menjadi datar (resorpsi) dan mati (menjadi sekuester), dan nekrosis dapat meluas dari gingiva ke jaringan mulut lainnya.

B. PerawatanTerapi ANUG yang tidak disertai komplikasi oleh lesi oral lain atau penyakit sistemik adalah debridemen lokal. Pada

fase inisial perawatan, gingiva didebridemen dengan irigasi dan kuretase periodontal. Luasnya debridemen tergantung dari kerusakan gingiva. Klinisi harus ingat bahwa semakin cepat faktor lokal dihilangkan, maka semakin cepat pula lesi menghilang. Perawatan khusus harus dilakukan oleh klinisi untuk membersihkan daerah di bawah margin gusi. Debridemen secara sempurna tidak mungkin dilakukan pada kunjungan pertama karena adanya rasa sakit. Pasien harus datang kembali, walaupun rasa sakit dan gejala lain telah hilang, untuk menghilangkan semua faktor lokal yang tersisa.

Perawatan ANUG tidak selesai sampai dilakukan kuretase gingiva dan rootplaning, termasuk membuang margin gusi yang overhang dan faktor predisposisi lainnya. Setelah kunjungan pertama, pasien harus diberikan OHI secara cermat agar pasien melakukan kumur-kumur yang teliti dan penyikatan yang lembut dengan sikat yang halus. Kesadaran akan pentingnya faktor oral hygiene yang buruk, merokok, dan stress harus ditimbulkan.

Antibiotik bisaanya tidak diperlukan untuk kasus rutin ANUG yang terbatas pada papila interdental dan margin gusi.

Gambar 19. Ulser palatal pada laki-laki 21 tahun dengan fusispirochetal stomatitis, yang dimulai dengan lesi nekrotik pada flap perikoronal.

Kasus-kasus seperti ini dapat ditangani dengan baik dengan debridemen lokal, irigasi, kuretase, dan OHI meliputi penggunaan larutan hidrogen peroksida (1,5–2%) sebagai bahan kumur tiga kali sehari dan pembilasan dengan klorheksidin 12%. Antibiotik diberikan pada pasien dengan keterlibatan gingiva yang luas, limfadenopati, atau gejala sistemik, dan pada kasus dimana terdapat keterlibatan mukosa lain selain gingiva. Metronidazole dan penicillin merupakan obat pilihan untuk pasien yang tidak memiliki riwayat alergi pada obat ini. Pada pasien yang telah mengalami perluasan pada mukosa bukal, lidah, palatum, atau faring harus diberikan antibiotik dan diteliti kembali apakah terdapat kelainan darah atau AIDS. Setelah penyakitnya disembuhkan, pasien harus datang kembali untuk evaluasi perawatan periodontal lengkap. Pasien harus disadarkan, bahwa jika faktor lokal tidak dihilangkan, ANUG dapat timbul kembali atau menjadi kronis dan dapat mengarah pada penyakit periodontal.

2. PASIEN DENGAN ULSER ORAL REKURENUlser oral rekuren adalah masalah yang sering ditemui oleh klinisi yang menangani penyakit pada jaringan lunak mulut. Ada

beberapa penyakit yang harus disertakan sebagai diagnosa banding pada pasien yang memiliki riwayat ulser oral yang rekuren, termasuk recurrent aphtous stomatitis (RAS), Behçet’s syndrome, recurrent HSV infection, recurrent erythema multiforme, dan cyclic neutropenia.

2.1 RASRAS adalah kelainan yang ditandai dengan ulser rekuren yang terbatas pada mukosa oral pada pasien tanpa tanda-tanda penyakit

lain. Banyak spesialis dan peneliti dalam bidang penyakit mulut tidak lagi menganggap RAS sebagai penyakit tunggal, melainkan sebagai tanda dari beberapa keadaan patologis dengan manifestasi klinis yang mirip. Kelainan immunologis, defisiensi darah, dan alergi atau kelainan psikologis telah terbukti memiliki keterlibatan dengan RAS.

RAS mengenai kurang lebih 20% dari seluruh populasi, tetapi saat dilakukan penelitian pada kelompok etnis atau sosioekonomis tertentu, insidensinya memiliki rentang 5-50%. RAS diklasifikasikan menurut karakteristik klinis sebagai berikut: ulser minor, ulser mayor (Sutton’s disease, periadenitis mucosa necrotica recurrens), dan ulser herpetiform. Ulser minor, yang meliputi lebih dari 80% kasus RAS, memiliki diameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut. Ulser mayor, diameternya lebih dari 1 cm, lebih lama sembuh, dan seringkali meninggalkan jaringan parut. Ulser herpetiform secara klinis memiliki kesatuan yang jelas yang bermanifestasi sebagai kumpulan dari lusinan ulser-ulser kecil yang rekuren pada mukosa oral.

A. EtiologiRAS pernah dianggap sebagai infeksi HSV yang rekuren, dan masih ada klinisi yang salah menyebut RAS sebagai

”herpes”. Banyak studi dilakukan selama 40 tahun kebelakang dan menyatakan bahwa RAS bukan disebabkan oleh HSV. Perbedaan ini penting terutama pada pemberian terapi antiviral spesifik untuk HSV yang tidak akan memiliki efek pada RAS. ”Herpes” adalah kata yang dibuat oleh nenek moyang, mengesankan pada penyakit seksual menular. Penelitian mengenai

Page 12: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

hubungan antara RAS dengan virus herpes lain seperti virus varicella zoster atau Cytomegalovirus terus dilakukan, tapi belum juga ditemukan kesimpulan pada studi ini.

Konsep terbaru mengenai RAS adalah sindrom klinis yang multifaktorial. Faktor utama yang dikenali adalah faktor herediter, defisiensi darah, dan kelainan immunologi. Faktor yang paling terbukti adalah herediter. Miller dkk melakukan studi pada 1.303 anak dari 530 keluarga, studi ini menunjukkan peningkatan kemungkinan terjadinya RAS pada anak-anak dari keluarga dengan orang tua yang juga menderita RAS. Studi oleh Ship menunjukkan bahwa pasien dengan orang tua positif-RAS memiliki 90% kemungkinan terjadinya RAS, dimana pada pasien dengan orang tua nonpositif-RAS hanya memiliki kemungkinan RAS sebesar 20%. Bukti lebih lanjut mengenai sifat menurun pada kelainan ini dihasilkan pada studi dimana gen spesifik HLAs diidentifikasi pada pasien dengan RAS, khususnya pada etnis-etnis tertentu.

Defisiensi darah, khususnya zat besi, folat, atau vitamin B12, tampak sebagai faktor etiologi pada pasien RAS. Ukuran dari subset masih dipertentangkan, tapi rentang yang paling mendekati adalah 5-15%. Studi oleh Robert dan Hutton melaporkan perbaikan pada 75% pasien RAS yang memiliki defisiensi darah dan telah diobati dengan terapi pengganti yang spesifik. Beberapa kasus dari defisiensi nutrisi, seperti celiac disease, dilaporkan menjadi sindrom malabsorpsi sekunder.

Kebanyakan penelitian mengenai etiologi RAS mengarah pada kelainan immunologis. Penelitian terbaru mengarahkan baik pada kelainan autoimun atau hipersensitifitas pada mikroorganisme oral seperti Streptococcus sanguins. Investigasi dengan menggunakan pengujian media imun yang memuaskan tidak mendukung peranan lymphocytotoxicity, antibody-dependent cellmediated Cytotoxicity, dan defek pada lymphocyte cell subpopulations.

Faktor lain yang diperkirakan menjadi etiologi RAS adalah trauma, stress psikologis, kecemasan, dan alergi makanan. Pengunyahan tembakau juga meningkatkan frekuensi dan keparahan RAS. Pada kasus yang disertai penyakit yang sulit disembuhkan, Hay dan Reade melaporkan perbaikan pada pasien dengan alergi makanan seperti susu, keju, gandum, dan tepung ketika diet-diet ini dihentikan.

Detergen yang terkandung dalam pasta gigi, sodium lauryl sulfat (SLS), dicurigai sebagai faktor etiologi dari perkembangan RAS, namun studi cross-over menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari penggunaan pasta gigi bebas SLS terhadap perkembangan ulser.

B. Manifestasi KlinisLesi RAS yang pertamakali muncul seringkali terjadi pada usia 20-an dan dapat ditimbulkan oleh trauma minor,

menstruasi, infeksi saluran pernafasan atas, atau kontak dengan makanan tertentu. Lesi terbatas pada mukosa oral dan gejala prodromal seperti rasa terbakar muncul 2 sampai 48 jam sebelum ulser timbul. Selama periode inisial, terbentuk daerah eritema lokal. Kurang dari hitungan jam, papula kecil putih timbul, ulserasi, dan berangsur membesar pada 48 sampai 72 jam berikutnya. Lesi individual tampak bulat, simetris, dan datar (mirip dengan ulser viral), tapi tidak ditemukan bagian jaringan dari vesikel yang ruptur (ini membedakan RAS dari penyakit dengan ulser iregular seperti EM, pemphigus, dan pemphigoid). Lesi multipel seringkali muncul, tapi jumlah, ukuran, dan frekuensinya sangat bervariasi.

Gambar 20. stomatitis aftosa rekuren pada lidah dan dasar mulut.Mukosa bukal dan labial paling sering terserang. Lesi jarang muncul pada palatum atau gingiva dengan keratin yang

banyak. Pada RAS ringan, lesi dapat mencapai 0,3 sampai 1,0 cm dan mulai sembuh kurang dari satu minggu. Penyembuhan sempurna tanpa bekas bisaanya terjadi 10 sampai 14 hari.

Kebanyakan pasien dengan RAS memiliki dua sampai 6 lesi pada setiap episodenya dan terjadi beberapa episode setiap tahunnya. Penyakit ini mengganggu bagi kebanyakan pasien dengan RAS ringan, tapi dapat melumpuhkan pada pasien yang mengalami frekuensi sering, terutama mereka dengan ulser aftosa mayor. Pasien dengan ulser mayor memiliki lesi yang dalam dengan diameter lebih besar dari 1 cm, dan dapat mencapai 5 cm. Bagian yang luas dari mukosa oral dapat ditutupi oleh ulser yang besar dan dalam yang dapat bersatu. Lesi ini sangat sakit dan menggang gu aktivitas bicara dan mengunyah. Banyak pasien terus menerus berkunjung dari satu klinik ke klinik lainnya, untuk mencari ”kesembuhan”. Lesi dapat bertahan selama berbulan-bulan dan kadang salah didiagnosa sebagai squamous cell carcinoma, chronic granulomatous disease, atau pemphigoid. Lesi sembuh perlahan dan meninggalkan bekas luka yang dapat menyebabkan penurunan pergerakan uvula dan lidah dan destruksi dari bagian mukosa oral. Jenis RAS yang paling jarang adalah tipe herpetiform, yang lebih cenderung muncul pada orang dewasa. Pasien datang dengan ulser yang dalam dan tersebar secara luas pada daerah mukosa oral.

Gambar 21. Ulser aftosa mayor pada mukosa labial (A) dan mukosa alveolar (B).

C. Diagnosis

Page 13: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

RAS adalah penyebab utama dari ulser oral rekuren dan seringkali ditemui bersama penyakit lainnya. Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang teliti dari klinisi yang berpengalaman dapat membedakan RAS dari lesi primer akut lain seperti stomatitis viral atau dari lesi multipel kronis seperti pemphigoid, sama halnya dari penyebab terjadinya ulser rekuren, seperti penyakit jaringan ikat, reaksi obat-obatan, dan penyakit kulit. Anamnesis harus ditekankan pada gejala kelainan darah, keluhan-keluhan sistemik, dan lesi yang berhubungan dengan kulit, mata, genital, atau rektal. Pemeriksaan laboratorium harus digunakan saat ulser bertambah parah atau terjadi pada usia di atas 25 tahun. Biopsi hanya dilakukan untuk menunjang kesembuhan penyakit lain yang menyertainya, khususnya penyakit granulomatosa seperti Chron’s disease atau sarcoidosis.

Pasien dengan ulser minor atau mayor yang parah harus mengetahui faktor penyebab yang diperiksa, termasuk penyakit jaringan ikat dan kadar abnormal zat besi, folat, vitamin B12, dan ferritin. Pasien dengan kelainan tersebut harus dirujuk ke bagian penyakit dalam untuk penanganan gangguan absorpsi atau terapi pengganti yang tepat. Klinisi juga harus dapat memutuskan makanan apa yang membuat alergi atau sensitif terhadap gluten yang ditemukan pada kasus-kasus dimana lesi parah dan resisten terhadap terapi lain. Pasien dengan infeksi HIV, khususnya mereka dengan kadar CD4 di bawah 100/mm3, dapat menderita ulser aftosa mayor.

Gambar 22. Perempuan 42 tahun dengan RAS yang baru bertambah parah. Diketahui adanya defisiensi zat besi, dan ulser membaik ketika defisiensi diatasi.

Gambar 23. Ulser Aftosa Mayor pada pasien yang terinfeksi HIV.D. Perawatan

Obat yang diberikan harus berhubungan dengan keparahan penyakit. Pada kasus ringan dimana terdapat dua sampai tiga lesi kecil, dapat hanya memerlukan protective emollient seperti Orabase (Bristol-Myers Squibb, Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila Pharmaceutions, Phoenix, AZ). Penghilang sakit pada lesi minor didapatkan dengan menggunakan agen anestetikum topikal atau diklofenak topikal, NSAID seringkali digunakan secara topikal setelah operasi mata. Pada kasus yang parah, penggunaan preparat topikal steroid berpotensi tinggi, seperti fluocinonide, betamethasone atau clobetasol, yang diletakkan langsung pada lesi dapat mempersingkat waktu penyembuhan ulser. Efektivitas dari topikal steroid tergantung dari instruksi yang baik dan kerjasama baik pasien dalam menggunakannya sesuai aturan. Gel dapat dioleskan langsung secara pada lesi setelah makan dan sebelum tidur dua sampai tiga kali sehari, atau dicampur dengan bahan yang bersifat adhesif seperti Orabase sebelum diaplikasikan. Lesi yang lebih besar dapat dirawat dengan meletakkan spons tipis yang mengandung topikal steroid pada ulser dan dibiarkan selama 15 sampai 30 menit untuk memberikan waktu kontak obat yang lebih lama. Preparat topikal lain yang mempersingkat waktu penyembuhan pada lesi RAS diantaranya adalah pasta amlexanox dan tetrasiklin topikal, yang dapat digunakan sebagi obat kumur atau diaplikasikan denagn lembaran spons. Steroid intralesional dapat digunakan pada lesi major RAS yang besar dan sangat menonjol. Harus ditekankan bahwa tidak ada terapi topikal yang dapat menekan onset lesi baru. Pada pasien dengan aftosa mayor atau kasus lesi minor multipel parah yang tidak responsif terhadap terapi topikal, dapat dipertimbangkan penggunaan terapi sistemik. Obat-obatan yang dilaporkan mengurangi jumlah ulser pada beberapa kasus aftosa mayor diantaranya adalah colchicine, pentixifylline, dapsone, steroid sistemik jangka pendek, dan thalidomide. Masing-masing obat memiliki efek samping tersendiri, dan klinisi harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari penggunaan obat-obatan ini. Thalidomide mengurangi insidensi dan keparahan RAS mayor pada pasien HIV-positif dan HIV-negatif, tapi obat ini harus digunakan dengan sangat hati-hati pada wanita hamil karena memiliki resiko yang mengancam jiwa dan kecacatan yang parah pada bayi. Semua klinisi di Amerika Serikat yang memnerikan resep thalidomide harus terdaftar dalam program STEPS (System for Thalidomide Education and Prescribing Safety), dan pasien yang menerima thalodomide harus diinformasikan secara lengkap mengenai metode pengontrolan kelahiran yang digunakan saat mengkonsumsi thalidomide. Sebagai contoh, dua cara untuk mengontrol kelahiran harus digunakan, dan pasien harus menjalani tes kehamilan setiap bulan. Efek samping lain dari thalidomide meliputi peripheral neuropathy, keluhan gastrointestinal, dan rasa mengantuk.

2.2 Behçets SyndromeBehçets Syndrome, ditemukan oleh dermatologis Turki Hulûsi Behçet, secara klasik digambarkan sebagai trias gejala yang

meliputi ulser oral rekuren, ulser genital rekuren, dan lesi mata. Konsep dari penyakit ini telah berubah dari trias tanda dan gejala menjadi gangguan multisistem. Insidensi tertinggi dari Behçet’s syndrome dilaporkan terjadi di timur Asia, dimana 1 dari 10.000 orang terserang, dan di timur Mediterania, yang merupakan penyebab kebutaan pada laki-laki usia muda, yang diperkirakan menyerang 1 dari 500.000 orang. Insidensi tertinggi dari Behçet’s syndrome adalah pada dewasa muda, tapi kasus Behçet’s syndrome pada anak-anak dilaporkan sedang meningkat.

Page 14: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

A. EtiologiBehçet’s syndrome disebabkan oleh imunokompleks yang mengarah pada vasculitis dari pembuluh darah kecil dan

sedang dan inflamasi dari epitel yang disebabkan oleh limfosit T dan plasma sel yang imunokompeten. Peningkatan aktivitas neutrofil juga diketahui sebagai faktor penyebab. Terdapat komponen genetik pada penyakit ini, dengan hubungan yang kuat dengan HLA-B51. Studi mengenai abnormalitas imun yang berhubungan dengan Behçet’s syndrome menunjukkan gejala yang sama dengan pasien RAS. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa baik Behçet’s syndrome maupun RAS merupakan manifestasi dari kelainan yang serupa dari respon imun.

B. Manifestasi KlinisLesi tunggal yang paling umum terjadi pada Behçet’s syndrome terjadi di mukosa oral. Ulser oral rekuren muncul pada

lebih dari 90% pasien; lesi ini tidak dapat dibedakan dari RAS. Beberapa pasien memiliki riwayat lesi oral ringan yang rekuren; beberapa pasien lainnya memiliki lesi yang besar dan dalam serta meninggalkan jaringan parut yang mirip dengan lesi RAS mayor. Daerah genital merupakan lokasi paling umum kedua yang terjadi pada Behçet’s syndrome dan terdapat ulser pada skrotum dan penis pada laki-laki dan lesi pada labia pada perempuan. Lesi pada mata meliputi uveitis, infiltrasi retina, edema dan sumbatan vaskular, atrofi optik, konjungtivitis, dan keratitis.

Keterlibatan secara generalisata muncul pada sebagian pasien Behçet’s syndrome. Lesi kulit sering terjadi dan bisaanya bermanifestasi sebagai lesi pustuler yang besar. Lesi-lesi ini dapat dicetus oleh adanya trauma, dan pada pasien Behçet’s syndrome bisaanya terjadi hiperreaksi kuteneus pada injeksi intrakutan (pathergy). Pathergy positif didefinisikan sebagi reaksi inflamasi yang terbentuk kurang dari 24 jam dari saat penusukan jarum, gesekan, atau injeksi saline.

Gambar 24. Lesi seperti ulser pada pasien Behçet’s syndrome

Muncul pada lebih dari 50% pasien dan paling sering menyerang lutut dan pergelangan kaki. Sendi yang terkena dapat menjadi merah atau bengkak pada rheumatoid arthritis, tapi tidak muncul pada keterlibatan sendi kecil di tangan, dan tidak ditemukan kecacatan permanen.

Pada beberapa pasien, keterlibatan sistem saraf pusat merupakan hal yang paling memberatkan. Ini dapat meliputi brainstem syndrome, keterlibatan nervus kranial, atau degenerasi saraf yang mirip dengan multipel sklerosis yang gambarannya dapat dilihat dengan resonansi magnetik. Tanda lain yang dilaporkan pada Behçet’s syndrome meliputi thrombophlebitis, ulser intestinal, venous thrombosis, dan penyakit ginjal dan saluran pernafasan. Keterlibatan pembuluh darah besar dapat mengancam jiwa karena resiko terjadinya sumbatan arteri dan aneurisma.

Behçet’s syndrome pada anak-anak, yang paling sering muncul pada usia 9 dan 10 tahun, memiliki manifestasi yang mirip dengan Behçet’s syndrome pada dewasa, tapi pada anak-anak lesi ulser merupakan tanda yang lebih sering muncul, dan uveitis jarang muncul. Lesi oral merupakan gejala yang timbul pada lebih dari 95% anak-anak dengan Behçet’s syndrome, yang sering juga disebut MAGIC syndrome. Ini ditandai dengan ulser pada mulut dan genital disertai dengan inflamasi tulang rawan (Mouth And Genital ulcers with Inflammed Cartilago).

C. DiagnosisKarena tanda dan gejala dari Behçet’s syndrome tumpang tindih dengan beberapa penyakit lain, khususnya penyakit pada

jaringan ikat, sulit menentukan kriteria yang dapat disetujui secara universal. Lima kumpulan kriteria diagnostik telah digunakan selama 20 tahun belakangan. Pada tahun 1990, studi yang dilakukan oleh grup internasional mempelajari data dari 914 pasien dari tujuh negara berbeda. Kumpulan kriteria diagnostik baru dihasilkan termasuk ulser oral rekuren yang muncul sedikitnya tiga kali dalam periode 12 bulan ditambah dengan dua dari empat manifestasi berikut:1. Ulser genital rekuren2. Lesi mata termasuk uveitis atau vaskulitis retina3. Lesi kulit meliputi eritema nodosum, pseudofolliculitis, lesi papulopustular, atau acneiform nodules pada pasien lanjut usia

yang tidak mendapatkan kortikosteroid4. Tes pathergy yang positif

D. DiagnosisPenatalaksanaan Behçet’s syndrome tergantung dari keparahan dan lokasi yang terlibat. Pasien dengan penurunan fungsi

penglihatan atau lesi pada sistem saraf pusat harus mendapatkan terapi yang lebih agresif dengan obat-obatan berpotensi tinggi untuk efek samping yang serius. Azathioprine dikombinasikan dengan prednison terbukti menurunkan penyakit okular sebaik pada keterlibatan oral dan genital. Pentoxifylline, yang memiliki efek samping yang lebih sediki daripada obat-obatan imunosupresif atau steroid sistemik, juga efektif menurunkan aktivitas penyakit, terutama keterlibatan pada mata. Cyclosporine atau colchicine dikombinasikan dengan kortikosteroid juga berguna pada kasus parah. Colchicine dan thalidomide telah memperlihatkan

Page 15: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

kagunaan yang baik dalam menangani manifestasi mukokutan dan gastrointestinal. Kortikosteroid sistemik tetap menjadi terapi utama dan secara khusus efektif dalam mengontrol penyakit secara cepat sampai agen imunosupresif mulai bekerja. Plasmapheresis juga dapat digunakan pada keadaan darurat.

Lesi mukosa oral yang tidak dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sistemik dapat diobati dengan steroid topikal atau intralesi dengan dosis seperti pada RAS.

2.3 Infeksi Virus Herpes Simpleks RekurenInfeksi herpes rekuren dalam rongga mulut (recurrent herpes labialis [RHL]; recurrent intraoral herpes simplex infection [RIH])

muncul pada pasien yang pernah terinfeksi herpes simpleks dan memiliki serum antibodi untuk melawan infeksi eksogen primer. Sebaliknya pada individu yang sehat,infeksi rekuren diyakini hanya menyerang bagian lokal pada kulit atau membran mukosa. Herpes rekuren bukan merupakan infeksi berulang melainkan re-aktivasi virus yang menjadi laten dalam jaringan saraf antara episode-episode dan masa replikasi. Herpes simpleks dapat dikultur dari ganglion trigeminal pada jasad manusia, dan lesi herpes rekuren bisaanya muncul setelah pembedahan yang melibatkan ganglion tersebut. Herpes rekuren dapat juga diaktivasi oleh trauma pada bibir, demam, sinar matahari, imunosupresan, dan menstruasi. Virus berjalan ke bawah menuju batang saraf untuk menginfeksi sel epitel, menyebar dari sel ke sel dan menyebabkan lesi.

Bukti yang diperlihatkan bahwa RAS tidak disebabkan oleh virus herpes membuat banyak klinisi meyakini bahwa herpes rekuren hanya terjadi di bibir dan bukan di mukosa oral; hal ini terbukti salah. Lesi RAS dan herpes dapat muncul pada intraoral dan merupakan dua lesi yang terpisah dan memiliki proses yang berbeda.

Semua pasien yang mengalami infeksi herpes primer tidak mengalami herpes rekuren. Jumlah pasien dengan riwayat infeksi genital primer dengan HSV1 yang kemudian mengalami infeksi herpes rekuren diperkirakan sebesar 20-40%.

Studi telah menunjukkan beberapa mekanisme untuk re-aktivasi HSV laten, meliputi rendahnya serum IgA, penurunan sel imun, penurunan aktivitas antiherpes dalam saliva, dan penekanan dari ADCC (antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity) dan interleukin-2 yang disebabkan oleh pelepasan prostaglandin pada kulit.

Individu dengan defisiensi limfosit T memperlihatkan AIDS atau cangkok atau kemoterapi kanker dapat berkembang menjadi lesi besar yang kronis atau, jarang, infeksi HSV yang tersebar.

A. Manifestasi KlinisRHL, deman dingin atau demam lepuh, dapat didukung oleh demam, menstruasi, cahaya ultraviolet, dan kemungkinan

stress emosional. Lesi ini didahului oleh periode prodromal dengan rasa gatal dan terbakar. Disertai dengan edema pada tempat lesi, diikuti oleh terbentuknya sekelompok vesikel-vesikel kecil. Setiap vesikel memiliki diameter 1 sampai 3 mm, dengan ukuran kelompok bervariasi dari 1 sampai 2 cm. Kadang lesi dapat berdiameter beberapa sentimeter sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan kecacatan. Lesi yang lebih besar lebih sering ditemukan pada individu dengan kondisi imun yang rendah. Frekuensi rekurensi bervariasi.

Sebaliknya, pada pasien normal, lesi RIH tampak mirip dengan lesi RHL, tetapi vesikel cepat pecah dan membentuk ulser. Lesi memiliki bentuk gabungan dari vesikel-vesikel atau ulser-ulser kecil, memiliki diameter 1 sampai 2 mm, berkelompok dalam bukuran yang kecil dari mukosa gingiva, palatum, dan linggir dengan keratin yang banyak, walaupun lesi RIH kadang dapat melibatkan permukaan mukosa lain. Kebalikannya, lesi RAS lebih cenderung membesar, menyebar ke daerah mukosa yang lebih luas, dan memiliki predileksi pada mukosa bukal, labial, dan dasar mulut yang memiliki keratin lebih sedikit.

B. DiagnosisJika ingin dilakukan tes lab, RIH dapat dibedakan dari RAS dengan sitologi apus yang diambil dari dasar lesi baru.

Apusan dari lesi herpetis menunjukkan degenerasi ballooning dan multinucleated giant cell; dimana pada lesi RAS tidak ada. Untuk hasil yang lebih akurat, sitologi apus juga dapat dilakukan pada HSV dengan menggunakan fluorescein untuk antigen HSV. Kultur viral juga digunakan untuk membedakan herpes simpleks dari lesi viral lainnya, khususnya dari infeksi herpes zoster.

C. Perawatan Infeksi herpes rekuren pada bibir dan rongga mulut jarang menimbulkan lebih dari satu gangguan sementara pada

individu normal dan harus dirawat untuk menghilangkan gejala. Pasien yang mengalami lesi yang sering muncul, besar, sakit, atau menimbulkan cacat dapat meminta konsultasi profesional. Klinisi harus berusaha untuk meminimalisir faktor pemicu. Beberapa rekurensi dapat dihilangkan dengan menggunakan tabir surya pada saat beraktivitas di bawah paparan sinar matahari yang kuat.

Gambar 25. Lesi krusta pada herpes labialis rekuren.

Page 16: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Gambar 26. Lesi intraoral rekuren tipikal dari infeksi HSV pada pasien dengan immun normal yaitu kumpulan vesikel dan ulser pada mukosa berkeratin banyak yang membentuk anggur.

Obat-obatan dapat menekan lesi atau mempersingkat waktu penyembuhan dari lesi rekuren baru. Acyclovir, obat antiherpes asli, talah terbukti efektif dan terjangkau. Obat-obatan ativirus terbaru seperti valacyclovir, prodrug dari acyclovir, dan faciclovir, prodrug dari penciclovir, memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi daripada acyclovir, tapi tidak dapat menghilangkan HSV laten yang telah ada. Bagaimanapun juga, pada uji coba tikus, famciclovir tampak menurunkan jumlah HSV laten. Kepentingan klinis dari penemuan infeksi HSV pada manusia masih belum diketahui. Efektivitas dari obat-obatan antivirus untuk mengurangi rekurensi herpes genital telah dilakukan secara luas. Acyclovir 400 mg dua kali sehari, valacyclovir 250 mg dua kali sehari, dan famciclovir 250 mg masing-masing memiliki efektivitas yang tinggi untuk mencegah rekurensi genital. Penggunaan antiherpes nucleoside analogues untuk mencegah dan mengobati RHL pada individu yang tidak sehat masih kontroversial. Terapi sistemik tidak dapat digunakan untuk merawat RHL yang jarang dan ringan pada pasien yang tidak sehat, tapi penggunaan berkala dapat diberikan untuk mencegah lesi pada pasien suspek sebelum melakukan aktivitas beresiko tinggi seperti bermain ski di daerah yang tinggi atau sebelum melakukan prosedur pengelupasan kulit atau pembedahan yang melibatkan saraf trigeminal. Beberapa klinisi menganjurkan penggunaan terapi antiherpes untuk persentase pasien RHL yang rendah yang mengalami beberapa episode RHL yang meninggalkan kecacatan. Penggunaan acyclovir 400 mg dua kali sehari menunjukkan penurunan frekuensi dan keparahan RHL pada pasien grup ini. Baik acyclovir maupun penciclovir tersedia dalam bentuk topikal, namun penggunaan preparat ini mempersingkat waktu penyembuhan kurang dari dua hari.

3. PASIEN DENGAN LESI MULTIPEL KRONISPasien dengan lesi multipel kronis seringkali salah didiagnosa selama mingguan sampai bulanan dikarenakan lesinya sering kali

membingungkan dibanding dengan kelainan mukosa oral rekuren. Klinisi dapat mencegah terjadinya kesalahan diagnosis dengan menanyakan secara teliti mengenai perjalanan lesi pada kunjungan pertama pasien. Pada kelainan rekuren seperti stomatitis aftosa parah, pasien dapat mengalami ulserasi yang tidak sembuh-sembuh pada mukosa oralnya, dimana penyembuhan satu lesi diikuti dengan munculnya lesi baru. Lesi yang sama dapat bertahan dalam hitungan minggu sampai bulan. Penyakit mayor pada grup ini adalah pemphigus vulgaris, pemphigus vegetans, bullous pemphigoid, mucous membran pemphigoid, linear IgA disease, dan lichen planus yang erosif. Infeksi herpes simpleks dapat menyebabkan lesi kronis pada pasien immunocompromised karena terapi kanker, obat-obatan imunosupresif, atau infeksi HIV.

3.1 PemphigusPemphigus adalah penyakit mengancam jiwa yang potensial yang menyebabkan lepuh dan erosi pada kulit dan membran mukosa.

Lesi epitel ini adalah hasil dari reaksi autoantibodi dengan glikoprotein desmosom yang terdapat pada permukaan sel keratinosit. Reaksi imun melawan glikoprotein ini menyebabkan kehilangan adhesi antar sel, sehingga menghasilkan bulla intraepitelial. Terdapat sebanyak 0,5 sampai 3,2 per 100.000 popuasi dilaporkan setiap tahunnya, dengan insidensi tertinggi terjadi pada dekade kelima dan keenam, walaupun kasus jarang dilaporkan terjadi pada anak-anak dan manusia lanjut usia. Pemphigus muncul lebih sering pada kaum Yahudi, khususnya pada Ashkenazi Jews, dimana studi telah menunjukkan kaitan yang kuat antara major compatibility complex (MHC) alel kelas II HLA-DR4 dan DQW3. Familial pemphigus juga telah dilaporkan.

Varian utama dari pemphigus adalah pemphigus vulgaris (PV), pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, pemphigus erythematosus, paraneoplastic pemphigus (PNPP), dan pemphigus yang berkaitan dengan obat-obatan. Pemphigus vegetans adalah varian dari pemphigus vulgaris, dan pemphigus erytematosus adalah varian dari pemphigus foliaceus. Setiap bentuk dari penyakit ini memiliki antibodi yang diarahkan untuk melawan permukaan antigen sel target lain, menghasilkan lesi yang berada pada lapisan epitel yang berbeda-beda. Pada pemphigus foliaceus muncul lepuh pada permukaan lapisan sel granular, dimana, pada pemphigus vulgaris, lesi lebih dalam, tepat di bawah lapisan sel basal. Keterlibatan mukosa bukan merupakan gambaran dari pemphigus foliaceus dan erythematous.

3.1.1 Pemphigus VulgarisPV merupakan bentuk yang paling umum dari pemphigus, terdapat lebih dari 80 % kasus yang ditemukan. Mekanisme dasar yang

bertanggung jawab terhadap terjadinya lesi intraepithelial adalah terikatnya autoantibodi IgG kepada desmogein 3, sebuah adhesi molekul transmembran glikoprotein didalam desmosom. Terdapatnya desmogein 1 autoantibodi merupakan karakteristik dari pemphigus foliaceus, tetapi antibodi ini terdapat pula pada pasien dengan PV yang lama. Bukti dari hubungan antara IgG autoantibodi dengan pembentukan lesi PV ialah studi tentang lepuh pada kulit tikus setelah transfer pasif IgG dari pasien dengan PV. Mekanisme dimana antidesmoglein antibodi menyebabkan hilangnya adhesi sel dengan sel merupakan hal yang menjadi kontroversi. Beberapa peneliti percaya bahwa pengikatan antibodi PV mengaktifkan protease, dimana terdapat bukti terbaru yang mendukung teori bahwa antibodi PV memblok secara langsung fungsi adhesi dari desmoglein.

Page 17: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Pemisahan sel, sering disebut juga akantolisis, terjadi pada lapisan terbawah dari stratum spinosum (Gbr.4-27). Observasi mikroskop electron memperlihatkan perubahan epithelial dini sebagai akibat dari hilangnya substansi semen intraseluler, hal ini dilanjutkan dengan pelebaran ruang interseluler, penghancuran desmosom, dan akhirnya degenerasi seluler. Akantolisis progresif ini pada akhirnya menjadi bulla suprabasillar klasik, yang terjadi pada sebagian beesar area dari epitel, yang menyebabkan hilangnya area yang sangat lebar dari kulit dan mukosa.

Gambar 27. Gambaran histologis dari pemfigus vulgaris, bulla intraepithelial karena akantolisis (pembesaran 32x)Pemphigus telah dilaporkan terjadi bersama penyakit autoimun lainnya, khususnya myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma

juga mempunyai insidensi terjadinya pemphigus yang tinggi. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan pada pasien multiple autoimun disorder atau pada pasien dengan neoplasma seperti limfoma. Kematian terjadi paling sering pada pasien berumur lanjut dan pada pasien yang memerlukan pengobatan kortikosteroid dengan dosis tinggi yang memungkinkan untuk terjadinya infeksi dan bacterial septicemia terutama dari golongan Styreptococcus aureus.

A. Manifestasi KlinisLesi klasik dari pemphigus ialah bulla berdinding tipis yang terdapat pada kulit normal atau mukosa. Bulla cepat pecah

namun berlanjut melebar secara peripheral dan meninggalkan area kulit yang licin (Gbr 4-28). Karakteristik dari penyakit ini didapat dengan mengaplikasikan tekanan pada bulla yang melekat. Pada pasien dengan PV, bulla membesar secara ekstensif ke permukaan yang terlihat normal. Karakteristik lain dari penyakit ini ialah tekanan kepada area yang terlihat normal menyebabkan pembentuan lesi baru. Fenomena ini dinamakan Nikolsky sign, merupakan lapisan teratas dari kulit yang tertarik dari lapisan basal. Tanda nikolsky ini lebih sering dihubungkan dengan pemphigus tetapi mungkin juga muncul di epidermolisis bulosa.

Gambar 28. Kiri, erosi dangkal dan irregular pada mukosa bukal dan permukaan ventral dari lidah karena pemfigus. Kanan, Bulla diantara jari pada pasien yang sama.

Beberapa pasien dengan pemphigus berkembang menjadi penyakit fulminating acute, tetapi, dalam beberapa kasus, penyakit ini berkembang lebih pelan, bisaanya terjadi dalam beberapa bulan untuk berkembang menjadi tingkatan yang penuh.

B. Manifestasi OralDelapan puluh hingga Sembilan puluh persen pasien dengan pemphigus vulgaris berkembang menjadi lesi oral muncul

pada saat proses penyakit itu terjadi, dan, pada 60% kasus, lesi oral merupakan tanda pertama. Lesi oral terjadi seperti bulla klasik dengan dasar yang tidak terinflamasi, lebih sering, klinisi melihat ulser dangkal dan irregular karena bulla tersebut mudah pecah. Lapisan tipis epitel terkelupas secara tidak teratur, meninggalkan dasar yang licin. Pinggiran dari lesi berlanjut melebar secra peripheral selama beberapa minggu sampai akhirnya memenuhi seluruh daerah dari mukosa oral. Kebanyakan lesi mulai dari daerah mukosa bukal, sering juga pada area trauma disekitar dataran oklusal. Palatum dan gingival juga merupakan tempat yang bisaa terjadi lesi.

Sudah menjadi hal yang bisaa bahwa lesi oral muncul 4 bulan sebelum lesi di kulit muncul. Apabila perawatan dilakukan pada saat tersebut, penyakit ini lebih mudah untuk dikontrol,dan kemungkinan penyakit tersebut muncul kembali tinggi. Seringnya, bagaimanapun, diagnosis awal terlewat, dn lesi slah didiagnosa sebagai infeksi herpes atau kandidiasis. Zegarelli dan Zegarelli mempelajari 26 kasus intraoral PV. Waktu rata-rata onset penyakit dan diagnosis ialah 6,8 bulan. Mereka juga mencatat bahwa beberapa pasien juga menderita kandidiasis, yang kadang-kadang menyerupai gambaran klinis dari lesi pemfigus. Terdapat juga subgroup dari pasien pemfigus yang penyakitnya hanya di mukosa oral saja. Pasien-pasien ini seringkali mendapat hasil negatif pada pemeriksaan directimmunofluorescence (DIF).

Apabila anamnesa yang benar telah dilakukan, klinisi harus bisa membedakan lesi pemphigus dari penyakit infeksi virus akut atau eritema multiforme karena sifat akut alami dari penyakit tersebut. Hal yang penting juga bagi klinisi untuk membedakan lesi pemfigus dengan penyakit kategorio RAS. Lesi RAS dapat parah, tetapi lesi individual sembuh dan muncul kembali. Pada pemfigus, lesi yang sama berlanjut dan membesar secara peripheral dalam periode minggu sampai tahun. Lesi pemfigus tidak bulat dan simetris seperti RAS tetapi dangkal dan tidak teratur dan sering memiliki epitel yang tidak melekat pada pinggirannya. Pada stadium dini dari penyakit ini, Epitel oral sekilas terlihat seperti terkelupas karena terbakar matahari. Pada beberapa kasus, lesi mulai dari gingiva dan disebut deskuamatif gingivitis yang bukan merupakan diagnosisnya; lesi ini harus di biopsy dahulu untuk mengetahui kemungkinan PV dan juga pemfigoid bulosa, mucus membran pemfigoid dan erosive lichen planus.

C. Tes Laboratoris

Page 18: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

PV didiagnosa melalui biopsi. Biopsi lebih baik dilakukan pada vesikel yang melekat dan bulla berumur kurang dari 24 jam. Bagaimanapun, karena lesi ini sangat jarang pada mukosa oral, spesimen biopsi harus diambil pada derah yang cepat berkembang pada lesi, dimana area dengan karakteristik suprabasilar akantolisis dapat dilihat oleh ahli patologi. Spesimen yang diambil dari area tengah yang licin merupakan daerah yang secara klinis dan histologis tidak tidak spesifik. Kadang-kadang beberapa biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosa dengan benar. Apabila pasien menunjukkan Nikolsky sign, tekanan dapat dilakukan pada mukosa oral untuk membuat lesi baru; biopsi bisa dilkukan pada lesi baru ini.

Biopsi kedua, dipelajari dengan DIF, harus dilakukan apabila pemfigus termasuk dalam diagnosa banding. Penelitian ini lebih baik dilakukan pada specimen biopsi yang didapat dari mukosa perilesional atau kulit yang terlihat normal secara klinis. Pada teknik ini untuk DIF, fluorescin yang telah diberi label antihuman immunoglobulin ditempatkan diatas specimen jaringan pasien. Pada kasus PV, teknik ini akan mendeteksi antibodi, bisaanya IgG dan komplemennya, terikat kepada permukaan keratinosit.

Tes antibodi immunofluoresens telah diketahui sangat membantu dalam membedakan pemfigus dari pemfigoid dan lesi oral kronik lainnya dan dilanjutkan dengan kemajuan pasien yang dirawat Karena pemfigus. Dengan teknik ini serum dari pasien dengan penyakit bulosa ditempatkan diatas slide dari struktur epidermal (bisaanya esophagus monyet). Slide ini lalu ditutup dengan fluorescin yang dilabeli antihuman gamma globulin. Pasien dengan pemfigus vulgaris memiliki antibodi antikeratinosit melawan substansi interseluler yang muncul dibawah mikroskop fluoresens. Titer antibodi tersebut telah dihubungkan secara langsung dengan level penyakit klinis. Tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)) telh dikembangkan untuk mendeteksi desmoglein 1 dan 3 pada sampel serum pasien dengan PV. Tes laboratoris ini harus menyediakan alat yang langsung untuk diagnosa yang akurat dari PV dan dapat berguna untuk membuktikan dalam pengawasan perkembangan penyakit.

D. PerawatanAspek penting dari manajemen pasien adalah diagnosis awal, ketika dosis awal obat digunakan untuk periode pendek

untuk mengontrol penyakit. Perawatan utama ialah kortikosteroid dosis tinggi, bisaanya diberikan dengan dosis 1 sampai 2 mg/kg/hari. Ketika Steroid harus diberikan setiap hari, ajuvan seperti azathioprine atau cyclophosphamide ditambahkan pada regimen dosis untuk mengurangi komplikasi perawatan kortikosteroid jangka panjang. Prednison digunakan pada awalnya agar penyakit mudah dikontrol, dan, setelah tercapai, dosis prednison diturunkan hingga batas terendah yang memungkinkan. Pasien dengan hanya keterlibatan oral juga membutuhkan dosis prednison yang lebih rendah untuk periode waktu yang lebih sedikit, jadi klinisi harus keuntungan potensial dari penambahan terapi ajuvan untuk melawan resiko komplikasi tambahan seperti blood dyscrasia, hepatitis, dan meningkatnya resiko keganasan pada masa depan. Tidak ada perawatan yang dapat ditrerima untuk pemfigus pada rongga mulut, tetapi satu studi follow up selama 5 tahun pada perawatan pemfigus oral menunjukkan tidak ada keuntungan tambahan untuk menambahkan siklofosfamid atau siklosporin dengan prednison melawan prednison saja, dan hal tersebut menunjukan tingkat komplikasi yang lebih tinggi pada grup yang menggunakan obat immunosuppresif. Kebanyakan penelitian mengenai pemfigus pada kulit menunjukan penurunan tingkat kematian ketika terapi ajuvan diberikan bersamaan dengan prednison. Salah satu obat immunosupresif, mycophenolate, telah terbukti efektif dalam merawat pasien yang resisten terhadap ajuvan lain. Kebutuhan untuk steroid sistemik mungkin dapat diturunkan lebih lanjut pada kasus oral pemfigus dengn menggabungkan terapi topikal dengan sistemik steroid, baik dengan memberikan tablet prednison yang larut dalam mulut secara perlahan sebelum menelan atau dengan menggunakan krim topikal steroid poten. Terapi lain yang telah dilaporkan sangat berguna adalah terapi gold parenteral, dapsone, tetrasiklin, dan plasmapheresis. Plasmapheresis berguna terutama pada pasien yang sukar disembuhkan dengan kortikosteroid. Terapi yang di lakukan oleh Rook dan kawan-kawan termasuk pemakaian dari 80methoxypsoralen dilanjutkan dengan paparan darah tepi dengan radiasi ultraviolet.

3.2.2 Paraneoplastic PemphigusPNPP adalah varian parah dari pemfigus yang dihubungkan dengan neoplsma yang mendasarinya, oaling sering ialah non-

Hodgkins lymphoma, leukemia limfositik kronik, atau thymoma. Penyakit Castleman’s dan Waldenstroms makroglobulinemia juga sering dihubungklan dengan kasus PNPP. Pasien dengan bentuk pemfigus seperti ini memperlihatkan blister yang sangat parah dan erosi dari membran mukosa dan kulit. Perawatan untuk penyakit ini sangat sulit, dan kebanyakan pasien mati karena efek tumor yang mendasarinya, kegagalan pernapasan karena akantolisis dari epitel pernapasan, atau lesi yang sangat parah yang tidak memberikan respon terapi yang bisaanya sukses pada perawatan pemfigus yang lain.

Lesi histopatologis dari PNPP termasuk pada perbatasan dermal-epidermal dan nekrosis keratinosit dengan penambahan karakteristik akantolisis yang terlihat pada PV. Hasil dari immunofluoresens langsung dan tidak langsung juga berbeda dari PV. DIF memperlihatkan pengendapan IgG dan pelengkap di sekitar membran basal juga pada permukaan keratinosit. Immunofluoresens tidak langsung memperlihatkan antibodi yang tidak hanya terikat kepada epitel tetapi juga terhadap hati, jantung, dan jaringan kandung kemih.

3.2.3 Pemphigus VegetansPemfigus vegetans, terdapat sekitar 1 sampai 2 5 dari total kasus pemfigus, merupakan varian yang relative jinak dari pemfigus

vulgaris karena pasien menunjukan kemampuan untuk menyembuhkan area yang licin. Dua bentuk dari pemfigus vegetans telah dikenali yaitu : tipe Neumann dan tipe Hallopean. Tipe Neumann lebih sering ditemukan, dan lesi awal mirip dengan yang terlihat pada pemfigus vulgaris, dengan bulla yang lebar dan area yang licin. Area ini mencoba menyembuhkan diri dengan cara mengembangkan jaringan

Page 19: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

jaringan granulasi hiperplastik. Pada tipe Hallopeau, yang tidak terlalu agresif, pustule,bukan bulla, merupakan lesi yang pertama. Pustula ini diikuti dengan vegetasi hiperkeratotik verrucous.

Hasil biopsi dari lesi awal pemfigus vegetans menunjukan akantolisis ssuprabasilar. Pada lesi yang lebih tua, hiperkeratotik dan hiperplasia pseudoepiteliomatous menjadi jelas. Studi immunofluoresens memperlihatkan perubahan yang identik dengan apa yang terlihat pada PV.

A. Manifestasi OralLesi oral dapat dilihat dalam dua bentuk dari pemfigus vegetans dan mungkin merupakan tanda awal dari penyakit. Lesi

gingival mungkin terlihat ulser seperti tali dengan permukaan purulen dengan dasar merah atau terlihat mirip butiran atau batu-batu bulat (Gbr 4-29). Lesi oral yang dihubungkan dengan penyakit peradangan usus besar dan mirip pemfigus vegetans baik secara klinis dan histologis oleh beberapa penulis disebutkan sebagai pyostomatitis vegetans.

Gambar 29. Lesi palatal kronik dari pemfigus vegetans.

B. PerawatanPerawatan sama dengan pemfigus vulgaris.

3.2 Subepithelial Bullous DermatosesSubepitelial bullous dermatoses merupakan bagian dari klompok penyakit mukokutaneus autoimun blister yang ditandai dengan

lesi pada zona membran dasar. Penyakit pada kelompok ini termasuk pemfigoid bulosa (BP), mucous membran (cicatrical) pemffigoid (MMP), penyakit linear IgA (LAD), Dermatitis bulosa kronik pada anak (CBCD), dan erosive serta bulosa lichen planus. Terdapat hal yang penting dan saling melengkapi pada penyakit-penyakit ini, dan diagnosis seringkali tergantung pada apakah penyakit ini dikategorikan oleh manifestasi klinis yang dikombinasikan dengan histopatologi rutin atau teknik terbaru dari biologi molekuler. Penelitian terbaru tentang mekanisme patologis memperlihatkan antigen spesifik pada kompleks membran dasar terlibat dalam memicu respon autoantibodi.

3.2.1 Bullous PemphigoidBP merupakan penyakit lepuh subepitelial, muncul terutama pada orangtua dengan usia lebih dari 60 tahun, self limited dan dapat

bertahan selama beberapa bulan sampai 5 tahun. BP sering dilaporkan terjadi bersamaan dengan penyakit lain, khususnya multiple sclerosis dan keganasan, atau terapi obat khususnya diuretic. Pada pemfigoid, defek utama bukan intraepithelial seperti halnya PV, tetapi subepitelial pada region lamina lusida dari membran dasar (Gbr4-30). Tidak ada akantolisis, tetapi pemisahan membran dasar disertai dengan peradangan yang menginfiltrasi yang merupakan karakteristik yang kaya pada eosinofil.

Gambar 30. Gambaran histologis pada pemfigoid bulosa.Bulla disini merupakan bulla subepitelial.

Studi immunofluoresens langsung (direct) dari specimen biopsi memperlihatkan endapan IgG yang terikat dengan membran dasar. Studi immunofluoresens tidak langsung (indirect) dari serum yang didapat dari pasien dengan BP memperlihatkan antibodi IgG terikat kepada sisi epidermal yang terpisah dengan garam kulit dengan antigen yang telah dinamai antigen BP 1 dan 2. Tes terakhir ini terutama berguna untuk membedakan BP dari penyakit bulla subepitrelial lainnya, yaitu epidermolisis bulosa aquisita, yang memiliki antibodi IgG yang terlokalisasi dengan sisi dermal dari kulit yang terpisah garam (salt spit skin).

A. Manifestasi KlinisTanda khas dari lasi kulit pada BP adalah lepuh yang dasarnya terinflamasi yang kebanyakan terdapat pada kulit kepala,

tangan, kaki, ketiak, dan pangkal paha. (gbr 4-31). Makula yang gatal dan papula juga merupakan tandanya. Penyakit ini dapat sembuh sendiri tetapi dapat menetap berbulan-bulan sampai tahunan tanpa terapi. Pasien dengan BP dapat memiliki satu waktu dengan lesi yang rekuren. Berbeda dengan pemfigus, BP jarang menyebabkan kematian karena bulla nya tidak berlanjut membesar dan membentuk daerah licin yang luas. Walaupun demikian kematian karena sepsis dan penyakit kardiovaskular karena penggunaan steroid jangka panjang telah dilaporkan terjadi pada kelompok orang tua yang sakit.

B. Manifestasi Oral

Page 20: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Keterlibatan oral merupakan hal yang bisaa pada BP. Lever melaporkan 33 pasien dengan pemfigoid bulosa, Lesi oral terdapat pada 11 pasien. Pada 3 kasus, lesi oral mendahului lesi kulit, lebih sering pada mukosa bukal. Venning dan kawan-kawan melaporkan lesi oral 50 % (18 dari 36) pada pasien BP yang mereka periksa.

Lesi oral pada pemfigoid lebih kecil, terbentuk lebih lambat, dan tidak terlalu sakit dibandingkan dengan pada pemfigus vulgaris, dan keterlibatan labial ekstensif yang terlihat pada pemfigus tidak terlihat disini. Gingivitis deskuamatif juga terlihat dan telah dilaporkan sebagai manifestasi dari BP. Lesi gingival termasuk juga edema generalisata., inflamasi, dan deskuamasi, dengan area terlokalisasi dab formasi vesikel yang berlainan. Lesi oral secara klinis dan histologis tidak dapat dibedakan dari lesi oral pada membran mucus pemfigoid, tetapi kesembuhan dini dari BP lebih sering terjadi.

C. PerawatanPasien dengan lesi terlokalisasi dari BP dapat diobati dengan topikal steroid potensi tinggi. Dimana pasien dengan

penyakit yang lebih parah membutuhkan kortikosteroid saja atau dikombinasikan dengan obat immunosuppresif seperti azatriofin, siklofosfamid, atau mikofenolat. Pasien dengan level moderat dari penyakit ini dapat tidak menggunakan obat sistemik steroid dengan menggunakan dapson atau kombinasi tetrasiklin dan nikotinamid.

3.2.2 Mucous Membran Pemphigoid (Cicatrical Pemphigoid)MMP merupakan penyakit autoimun kronik subepitelial yang terutama mengenai membran mukosa pada pasien dengan umur 50

tahun ke atas., yang menyebabkan ulserasi mukosa dan berlanjut dengan luka parut. Lesi primer dari MMP muncul ketika autoantibodi langsung melawan protein di zona membran dasar, bekerja dengan komplemen (C3) dan neutrofil, menyebabkan pemisahan subepitelial dan berlanjut dengan pembentukan vesikel (gbr 4-32). Antigen yang dihubungkan dengan MMP sering berada pada bagian lamina lusida dari membran dasar, tetapi penelitian terbaru menunjukan antigen yang identik tidak muncul pada semua kasus, dan lamina densa mungkin merupakan tempat utama bagi beberapa kasus. Autoantibodi yang beredar tidak sama pada semua kasus, dan bagian-bagian kecil dari MMp telah diidentifikasi dengan teknik pewarnaan immunofluoresens pada kulit yang telah dipisah pada membran dasar engan menggunakan sodium klorida. Mayoritas kasus MMP memperlihatkan IgG langsung melawan antigen pada sisi epidermal pada kulit yang terpisah garam, yang telah diidentifikasi sebagai BP 180 (juga disebut kolagen tipe XVII); bagaimanapun, kasus MMP telah diidentifikasi dimana antigen muncul pada sisidermal pada kulit. Antigen terakhir ini telah diidentifikasi sebagai epiligrin (laminin 5), sebuah molekul adhesi yang merupakan bagian dari filament penjangkaran pada membran dasar.

Gambar 31. Pemfigoid bulosa pada kulit kepala.

Gambar 32. Gambaran histopatologi dari membran mukosa pemfigoid yang memperlihatkan pemisahan subepitelial pada membran dasar.

A. Manifestasi KlinisLesi subepitelial dari MMP mungkin termasuk dengan permukaan mukosa oral. Konjungtiva tempat kedua terbanyak dan

dapat menyebabkan luka parut dan adhesi antara konjungtiva bulbar dan palpebral yang disebut juga symblepharon (Gbr 4-33, A dan B). Kerusakan kornea merupakan hal yang sering terjadi, dan luka parut yang progresif mengarah kepada kebutaan pada lebih dari 15% pasien. Lesi dapat juga mempengaruhi mukosa genital, menyebabkan sakit dan disfungsi seksual. Keterlibatan laring menyebabkan sakit, parau, dan susah bernapas, dan keterlibatan esophageal dapat menyebabkan disfagia, yang pada beberapa kasus mengarah kepada kelemahan dan bahkan kematian pada kasus-kasus parah. Lesi kulit, bisaanya pada daerah kepala dan leher, sekitar 20 % - 30 % dari pasien.

Gambar 33. Pemfigoid membran mukosa, dini (kiri), dan lanjut (kanan) cicatrical pemfigoid pada konjungtiva dengan formasi symbelpharon

Page 21: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

B. Manifestasi OralLesi oral muncul pada lebih dari 90 % pasien dengan MMP. Gingivitis deskuamatif merupakan manifestasi yang sangat

sering dan mungkin satu-satunya manifestasi dari penyakit ini (Gbr 4-34). Karena lesi deskuamatif ini mirip dengan lesi lichen planus erosif dan pemfigus, maka semua kasus dengan deskuamatif gingivitis harus dilakukan biopsi dan dipelajari secara histologis rutin dan direct immunofluoresens untuk menegakan diagnosis denghan tepat. Lesi dapat muncul sebagai vesikel yang melekat pada gingiva dan permukaan mukosa, tetapi kebanyakan lesi tersebut muncul sebagai erosi yang terlihat nonspesifik (Gbr 4-35). Erosi bisaanya menyebar secara perlahan dibanding lesi pemfigus dan lebih self limiting.

Gambar 34. lesi gingival deskuamatif kronis pada pemfigoid membran mukosa.

C. DiagnosisPasien dengan MMP termasuk dengan diagnosis bandingnya harus dilakukan biopsi baik rutin maupun studi direct

immunofluoresens. Histopatologi rutin memperlihatkan celah sub basilar. Menggunakan teknik direct immunofluoresens, specimen biopsi diambil dari pasein dengan MMP dan memperlihatkan positif immunofluoresens untuk immunoglobulin dan komplemen pada zona membran dasar pada 50 sampai dengan 80 % pasien. Memisahkan specimen biopsi pada zona membran dasar dengan 1M NaCl sebelum tes direct immunofluoresens dapat meningkatkan sensitivitas tes tersebut. Teknik direct immunofluoresens sangat baik dalam membedakan MMP dari pemfigus, dan spesimen yang diperoleh memperlihatkan immunoglobulin dan endapan komplemen dari substansi interseluler dari lapisan sel epitel yang tajam. Hanya 10 % dari pasien MMP memperlihatkan positif indirect immunofluoresens untuk peredaran membran antidasar-zona antibodi; bagaimanapun penggunaan kulit yang dipisahkan garam sebagai substrat menambah sensitivitas tes ini.

D. PerawatanPerawatan MMP tergantung kepada keparahan gejala. Ketika lesi hanya pada mukosa oral, kortikosteroid sistemik akan

menekan pembentukan lesi tersebut. Tetapi klinisi harus mengetahui keuntungan dan kerugian berkaitan dengan efek samping obat ini. Berbeda dengan pemfigus, MMp bukan penyakit yang fatal, dan penggunaan steroid jangka panjang bagi tujuan ini harus dievaluasi secara hati-hati. Khususnya karena kebanyakan kasus adlah kasus kronik, kebanyakan kasus pada orangtua dan perawatan diperlukan untuk periodoe waktu yang lama.

Pasien dengan penyakit oral ringan harus diobati dengan steroid topikal dan intralesional. Gingivitis deskuamatif dapat dirawat dengan topikal steroid pada dental splint yang lembut yang meliputi gingiva, meski sebagian klinisi yang menggunakan topikal steroid yang meliputi area mukosa yang besar harus memonitor pasien dengan ketat karena efek samping seperti kandidiasis dan efek dari absorpsi sistemik. Ketika topikal atau intralesional terapi tidak sukses, terapi dapson harus dicob. Rogers dan Mehregan telah mengembangkan sebuah protokol bagi penggunaan dapson pada pasien dengan MMP. Keefektifan protokol perawatan MMP ini telah dikonfirmasi oleh Ciarocca dan Greenberg. Karena Dapson menyebabkan hemolisis dan methemoglobinemia, defisiensi glokosa 6 fosfat harus diatasi dan hemoglobin pasien harus diawasi dengan ketat. Methemoglobinemia dapat dikurangi dengan penggunaan simetidin dan vitamin E. Efek samping lain yang jarang terjadi dari dapson adalah sindrom hipersensitivits dapson, sebuah penyakit idiosinkrasis yang ditandai dengan demam, limfadenopati, erupsi kulit dan kadang-kadang keterlibatan hati. Pasien yang resisten terhadap dapson harus diobati dengan kombinasi dari kortkosteroid sistemik dan obat immunosupresif, khususnya jika terdapat resiko kebutaan jika terdapat keterlibatan konjungtiva atau kerusakan yang signifikan dari laring dan esophagus. Dari laporan menyarankan penggunaan tetrasiklin dan nikotinamid juga dapat berguna untuk mengontrol lesi MMP.

3.2.3 Penyakit Linear IgA (LAD)LAD ditandai dengan penimbunan IgA dibanding IgG pada zona membran dasar, dan manifestasi klinis mungkin mirip dengan

dermatitis herpetiformis atau pemfigoid. Penyebab dari kebanyakan kasus tidak diketahui tetapi dari kasus-kasus minor telah dilaporkan berhubungan dengan obat. Sama halnya dengan MMP, antigen yang berhubungan dengan LAD sangat heterogen dan mungkin dapat ditemukan pada lamina lusida atau bagian lamina densa pada membran dasar.

Lesi kulit pada LAD mungkin mirip dengan yang dapat dilihat pada pasien dengan dermatitis herpetiformis, yang ditandai dengan papula yang gatal dan lepuh pada daeah trauma seperti lutut dan sikut. Pasien lain dengan lesi bulosa kulit mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan pemfigoid bulosa.

Lesi oral sangat sering terdpat pada pasien sampai dengan 70 %. Lesi ini tidak dapat dibedakan secara klinis dari lesi oral MMP, dengan lepuh dan erosi pada mukosa kebanyakan karena disertai dengan deskuamatif gingivitis. Lesi oral LAD dapat dirawat dengan menggunakan topikal steroid, tetapi dapson ini merupakan terapi pad beberapa kasus yang sangat berat. Kasusu resisten mungkin membutuhkan sistemik kortikosteroid.

Penyakit Bulosa Kronik pada Anak-anak (CBDC)

Page 22: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

CBDC merupakan penyakit lepuh, yang terutama mengenai anak-anak dibawah usia 5 tahun. Ditandai dengan pengendapan antibodi IgA pada dasar zona membran, yamg dapat dideteksi dengan direct imunofluoresens dan epidermal side of salt-split skin or mucosa. Lesi CBDC ditandai dengan kelompok vesikel dan bulla dengan dasar terinflamasi. Regio genital yang terlibat ialah konjungtiva, lesi oral dan rektal dapat juga terlihat. Keterlibatan mukosa oral terdapat sampai dengan 50 % dari kasus, dan lesi oral mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan MMP.

Diagnosis yang dibuat dengan biopsi memperlihatkan lesi subepitelial pada histologi rutin dan dan dengan penimbunan IgA pada dasar zona membran pada direct immunofluoresesns. Indirect immunofluoresens memperlihatkan peredaran IgA pada 80 % kasus. Penyakit ini self limiting, dan lesi ini ditandai dengan penyembuhan dalam 2 tahun. Sama dengan LAD, Lesi ini responsive pada sulfapiridin atau terapi dapson. Kortikosteroid mugkin diperlukan untuk beberapa kasus yang berat.

3.2.5 Erosive Lichen PlanusMayoritas kasus lichen planus muncul sebagai lesi putih. Bentuk erosif dan bulosa pada penyakit ini muncul sebagai ulser mukosa

oral multipel kronik . Lesi erosif dan bulosa pada lichen planus muncul dengan bentuk yang parah dari penyakit ini ketika degenerasi ekstensif dari lapisan basal epithelium menyebabkan pemisahan dari epithelium dari jaringan penghubung diatasnya. Pada beberapa kasus lesi muncul sebagai vesikel atau bulla, yang telah diklasifikasikan sebagi lichen planus bulosa, pada beberapa kasus kebanyakan ditandai dengan ulser dan dinamakan erosif lichen planus. Dua penyakit ini merupakan variasi dari proses yang sama dan harus digabungkan bersama. Bentuk erosif dari lichen planus telah dihubungkan dengan terapi obat, penyakit medis yang menyertai, dan reaksi terhadap restorasi dental. Obat yang sering dihubungkan dengan reaksi parah lichenoid termasuk NSAID, hidroklorotiazid, penicillamin, angiotensin-converting enzyme inhibitors. Yang palingh sering dilaporkan mengenai penyakit yang menyertai reaksi oral lichenoid adalah hepatitis kronik yang yang disebabkan oleh Hepatitis C, khususnya di Jepang dan daerah Mediterrania. Reaksi kontak alergi pada agen rasa seperti kayu manis dan pepermin dan juga terhadap bahan kedokteran gigi seperti merkuri pada amalgam dapat juga bereaksi terhadap reaksi lichenoid pada mukosa oral. Lesi lichen planus dicurigai sebagi reaksi kontak alergi yang harus terjadi secara kontak langsung dengan allergen yang dicurigai. Graft melawan penyakit inang yang berhubungan dengan transplantasi sumsum tulang juga dapat menyebabkan lesi lichenoid oral.

Hubungan antara erosif lichen planus dan squamous cell karsinoma menjadi controversial. Terdapat beberapa laporan kasus yang berkembang pada area lichen planus. Sebuah kasus yang diteliti oleh Massa dan kawan-kawan menunjukan progress histologis dari lichen planus, lichen planus dengan epithelial atypia dan squamous cell carcinoma. Tinjauan dari jumlah pasien yang besar denga lichen planus yang diteliti oleh Silverman dan kawan-kawan, serta Murti dan rekan menunjukan hubungan antara dua penyakit antara 0,4 sampai 1,2 %. Pasian yang terpapar kebanyakan merupakan pengguna tembakau. Hal ini menggiring spekulasi bahwa lichen planus merupakan kofaktor pada perubahan malformasi keganasan.

A. Manifestasi KlinisErosif lichen planus ditandai dengan adanya vesikel, bulla atau ulser dangkal dan tidak teratur pada mukosa oral (Gbr 4-

36 dan 4-37). Lesi bisaanya terdapat selama beberapa minggu sampai bulanan dan dapat dibedakan dari stomatitis aphtous, yang terbentuk dan sembuh dengan periode 10 hari sampai 2 minggu. Beberapa kasus erosif lichen planus yang signmifikan menunjukan gambaran gingivitis deskuamatif (Gbr 4-38). Sangat penting untuk diingat bahwa gingivityis deskuamatif bukan merupakan entitas penyakit tetapi merupakan tanda bahwa penyakit tersebut dapat disebabkan oleh erosif lichen planus, pemfigus vulgaris, atau cicatrical pemfigoid. Gingivitis deskuamatif yang disebabkan oleh lichen planus dan dapat disertai oleh tanda Wickham’s striae, menyederhanakan diagnosa atau dapat muncul tanpa lesi lain.

Gambar 36. Lichen Planus erosif pada mukosa labial

Gambar 37. Lesi palatal pada lichen planus erosif

Gambar 38. Lesi gingival deskuamatif pada pasien dengan erosif lichen planus

Page 23: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

B. DiagnosisDiagnosis erosif lichen planus harus dicurigai ketika lesi erosif atau bulosa sering disertai dengan lesi putih lichenoid

tipikal. Biopsi sangat penting untuk menegakan diagnosa. Biopsi dari lesi erosif menunjukan diagnosis definitive. Biopsi dari lesi erosif menunjukan degenerasi dari lapisan epitel basal. Hal ini dapat dibedakan dari pemfigoid membran mukus, yang juga lesi subepitelial tetapi menunjukan lapisan basal yang melekat, atau dari pemfigus vulgaris, dimana akantolisis terlihat. Direct immunofluoresens harus dilakukan untui biopsi spesimen ketika pemfigus, pemfigoid, atau discoid lupus eritematosus termasuk pada diagnosis banding.

C. ManajemenPasien dengan lichen planus yang parah harus mendapat terapi obat dan penyakit yang meliputinya harus diatasi sbagai

kausa yang mungkin. Bentuk erosif dan bulosa dari lichen planus dapat sangat menyakitkan. Perawatan pilihan ialah topikal kortikosteroid (Gbr 4-39). Steroid intralesional, dan, pada kasus eksaserbasi parah, steroid sistemik dapat digunakan untuk periode waktu yang pendek. Kumur dengan siklosporin mungkin efektif pada pasien dengan erosi resisten yang parah terhadap topikal steroid, walaupun biaya mungkin menjadi faktor penghambat. Tacrolimus, obat immunosupresif lain, telah dipasarkan dalam bentuk topikal dan telah dilaporkan sukses dalam manajemen oral lichen planus erosif. Sistemik etretinate, dapson, atau fotokemoterapi juga telah dilaporkan efektif pada beberapa kasus resistem yang parah. Karena pasien dengan lichen planus oral terlihat seperti grup dengan kemungkinan terjadi squamous cell carcinoma, hal yang sangat penting untuk memeriksa pasien dengan bentuk erosif dan bulosa dari lichen planus untuk melihat keberadaan lesi yang mencurigakan yang membutuhkan biopsi (Gbr 4-40).

Gambar 39. Splint untuk mengobati deskuamatif gingivitis

Gambar 40. Pembentukan squamous sel karsinoma

3.3 Infeksi Herpes Simpleks Virus Pada Pasien ImmunosuppressedPasien immunosuppressed dapat berkembang menjadi agresif atau bentuk kronik dari infeksi herpes; maka itu, infeksi herpes

simpleks harus termasuk ke dalam diagnosa banding ketika pasien immunosupressed memperlihatkan ulser oral kronik. Bentuk kronik dari herpes adalah variasi dari infeksi herpes simpleks rekuren daripada infeksi primer. Pasien AIDS, pasien transplant yang menjalani terapi obat immunosuppressed, pasien dengan kortikosteroid dosis tinggi, dan pasien dengan leukemia, limfoma, atau penyakit lain yang mengubah respon T limfosit adalah mereka yang sengatmudah terkena lesi HSV agresif.

Lesi muncul pada kulit atau mukosa mulut, rektal, atau area genital. Lesi-lesi ini muncul sebagai infeksi herpes rekuren bisaa tetapi menetap selama beberapa minggu sampai bulan dan berkembang menjadi ulser yang besar sampai mencapai diameter beberapa sentimeter (Gbr 4-42). Infeksi herpes simpleks kronik telah dilaporkan dengan tipe 1 atau 2 herpesvirus. Penyakit ini mengakibatkan kematian signifikan local dan penyebaran musiman.

A. Manifestasi Oral Lesi dari HSV rekuren agresif atau kronik dapat muncul pada bibir atau bibir atau mukosa intraoral. Schneidman dan

kawan-kawan meneliti 18 kasus dari infeksi herpes kronik, 7 kasus muncul pada pasien transplantasi ginjal, dan 8 muncul pada pasien dengan keganasan hematologis. Empatbelas dari 18 pasien memiliki lesi oral atau perioral. Greenberg dan kawan-kawan mempelajari pasien immunosuppressed dan mendapatkan bahwa, 68 pasien transplantasi ginjal dan 30 pasien leukemia akut yang menerima kemoterapi. Limapuluh persen dari pasien leukemia dan 15 % dari pasien transplantasi berkembang menjadi HSV rekuren kronik atau agresif. HSV merupakan sebab utama dari lesi oral pada dua kelompok tersebut, memproduksi lesi yang sebelumnya diperkirakan karena efek toksik dari kemoterapi atau infeksi bakteri. Lesi oral dapat kecil, bulat, simetris, dan berhubungan dengan infeksi herpes rekuren, atau lesi tersebut dapat juga besar, dalam dan sering dibingungkan dengan lesi dari penyakit lain (lihat gambar 4-41, A dan B). Lesi bisa bertahan mingguan hingga bulanan dan dapat mencapai diameter beberapa sentimeter. Lesi yang lebih besar sering mempunyai pinggiran putih yang meningi yang terdiri dari vesikel-vesikel kecil. (Gbr 4-42).

Page 24: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

Gambar 41. Kiri, ulser yang disebabkan infeksi herpes kronik. Kanan, ulser herpetic pada mata.

Gambar 42. Infeksi herpes pada palatum.

B. DiagnosisHSV harus dipikirkan ketika vesikel atau ulser mukosa oral terdapat pada pasien immunosuppressed atau

myelosuppressed. Sitologi dengan fluoresens antibodi dan kultur viral harus ditegakan. Ketika lesi ini muncul pada pasien dengan sebab yang diketahui, pasien-pasien ini harus dievaluasi untuk penyakit defisiensi imunologik.

C. PerawatanPasien immunosuppressed dengan infeksi HSV memberikan respomn yang baik terhadap asiklovir yang diberikan secara

oral atau intravena. Kasus yang jarang pad HSV resisten telah dilaporkan pada pasien AIDS. Foskarnet telah terbukti merupakan efektif bagi pasien tersebut.

4. PASIEN DENGAN ULSER SINGELSebab utama dari ulser singel pada mukosa oral adalah trauma. Trauma dapat disebabkan oleh gigi, makanan, alat gigi, perawatan

gigi, panas, kimiawi, dan listrik (Gbr 4-43). Diagnosis bisanya tidak sulit dan berdasarkan sejarah dan penemuan fisik,. Hal yang paling utama untuk membedakan trauma dari squamous cell karsinoma. Seorang dokter gigi harus memeriksa smua ulser singel yang sembuh dalam waktu satu minggu, apabila penyembuhan tidak terjadi pada waktu ini pemeriksaan biopsi harus dilakukan untuk menegakan diagnosa kanker. Infeksi yang mungkin menyebabkan ulser oral kronik termasuk histoplasmosis ulser dalam, blastomycosis, mucormycosis, aspergillosis, cryptococcosis, dan coccidiomycosis serta infeksi herpes simpleks kronis. Sifilis, infeksi lain yang dapat menyebabkan ulser oral singel pada stadium primer dan tersier diterangkan pada bab 20.

Gambar 43. Ulser traumatic pada mukosa bukal

Mikosis dalam merupakan sebab yang jarang pada lesi oral mendahului infeksi HIV dan terapi obat immunosupresi. Seorang dokter gigi harus memikirkan kelompok penyakit ini dalam diagnosa banding ketika diisolasi lesi ulseratif berkembang pada pasien dengan kecurigaan immunosuppressed. Biopsi dari jaringan yang mencurigakan, disertai dengan pewarnaan yang beanr, sangat penting untuk diagnosis awal (Gbr 4-44). Mikosis dalam pada pasien immunosoppressed diobicarakan lebih detail pada bab 16 dan 18.

Gambar 44. Ulser palatal dapat menjadi tanda awal Cryptococcus pada pasien AIDS

4.1 HistoplasmosisHistoplasmosis disebabkan oleh jamur histoplasma capsulatum, Sebuah jamur dimorfik yang tumbuh dengan bentuk ragi pada

jaringan yang terinfeksi. Infeksi terjadi khususnya karena menghisap debu yang telah terkontaminasi oleh tetesan kotoran terutama dari burung atau kelelawar yang terinfeksi. Bentuk Afrika dari infeksi ini disebabkan oleh ragi yang besar, yang dianggap varian dari H. capsulatum yaitu H. doboisii.

Histoplasmosis adalah infeksi jamur sistemik yang biasa di Amerika Serikat, pada area endemic seperti Mississsipi dan lembah sungai Ohio, bukti serologis dari infeksi sebelumnya dapat ditemukan pada 75 sampa 80 % populasi. Pada kebanyakan kasus, terutama selain anak normal, infeksi primer biasanya ringan, bermanifestasi sebagai penyakit paru-paru self limiting yang sembuh dan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi yang mirip dengan tuberculosis. Pada kasus dengan persentase kecil, penyakit progresif berakibat terjadinya peronggaan pada paru-paru dan penyebaran kepada organ-organ ke hati, limpa, kelenjar adrenal, dan meninges. Pasien dengan penyakit

Page 25: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

berbentuk penyebaran ini dapat memperlihatkan gejala anemia dan leucopenia sekunder setelah keterlibatan sumsum tulang. Pasien immunosuppressed dan myelosuppressed lebih mungkin menyebabkan penyebaran yang parah dari penyakit ini. Selama decade lampau, kebanyakan kasus yang dilaporkan pada lesi oral histoplasmosis pada pasien yang terinfeksi HIV yang hidup atau mengunjungi area endemik.

A. Manifestasi OralKeterlibatan oral bisaanya terjadi setelah keterlibatan paru-paru dan muncul dengan persentase pasien dengan penyebaran

histoplasmosis. Lesi mukosa oral dapat timbul sebagai papula, nodul, ulser atau vegetasi. Apabila satu lesi ditinggalkan tanpa perawatan, lesi ini dapat berkembang dari papula padat menjadi nodul yang berulser dan perlahan melebar. Nodus limpatikus servikal membesar dan mengeras. Gambaran klinis dari lesi dan juga limfadenopati yang menyertainya, seringkali menyerupai squamous cell karsinoma, infeksi jamur kronik lain, dan bahkan Hodgkin’s disease.

Kasus oral histoplamosis telah dilaporkan sebagai tanda awal dari infeksi HIV. Lesi oral histoplasmosis yang paling sering ditemukan pada pasien dengan HIV adalah ulser dengan pinggiran berindurasi, yang sering ditemukan pada gingiva, palatum, atau lidah. Lesi oral histoplasmosis ini pada pasien dengan HIV dapat muncul sendiri atau sebagai bagian dari penyebaran infeksi.

B. DiagnosisDiagnosis definitif dari histoplasmosis ditegakan melalui kultur dari jaringan yang terinfeksi atau eksudat pada agar

Saboraud’s dextrose atau media lain yang cukup mendukung. Biopsi dari jaringan yang terinfeksi menunjukan ragi yang berbentuk oval yang kecil dalam makrofag dan sel retikuloendotelial sama juga dengan granuloma kronik, sel epiteloid, sel raksasa, dan kadang-kadang nekrosis perkijuan. Tes kulit dan serologis tidak definitive karena banyaknya hasil reaksi false negatif dan false positif.

C. PerawatanKasus histoplasmosis ringan sampai moderat dapat diobati dengan ketokonazol atau itrakonazol selama 6 sampai dengan

12 bulan. Pasien immunosuppresssed atau pasien dengan penyakit parah memerlukan amfoterisin B intravena selama 10 minggu.

4.2 BlastomycosisBlastomikosis merupakan infeksi jamur yang disebabkan oleh Blastomycosis dermatitidis. Organisasi dimorfik ini dappat tumbuh

dalam bentuk ragi ataupun bentuk miselial. Organisme ini ditemukan sebagai bagian normal pada tanah, maka itu insidensi tertinggi dari penyakit ini terdapat pad pekerja pertanian, khususnya pada daerah atlantik tengah dan bagian tenggara Amerika Serikat. Distribusi geografis dari infeksi ini mendasari penamaan North American Blastomycosis. Infeksi dari organisme yang sama bagaimanapun telah ditemukan di Mexico dan Amerika tengah dan Selatan.

Infeksi Blastomikosis dimulai dengan kebnyakan kasus yang dimulai dengan inhalasi, hal ini menyebabkan infeksi paru-paru primer. Walaupun bentuk self limiting dari penyakit ini ada, infeksi bisaanya muncul mengikuti jalur kronik yang dimulai dengan gejala ringan seperti malaise, demam derajat rendah dan batuk yang ringan. Apabila infeksi tidak dapat dirawat, gejala bertambah parah dan termasuk juga pendek bernapas, kehgilangan berat badan, dan munculnya sputum berdarah. Infeksi kulit, mukosa dan tulang dapat muncul juga, sebagai hasil dari penyebaran metastastik dari organisme dari paru-paru melalui system limfatik. Kulit dan lesi mukosa mulai sebagai nodul subkutan dan berkembang menjadi ulser berindurasi yang berbatas jelas.

A. Manifestasi OralLesi oral jarang menjadi tempat infeksi primer. Ketika lesi oral dilaporkan sebagai tanda awal blastomykosis., lesi ini

muncul pada pasien dengan gejala paru-paru ringan yang tengah diawasi oleh pasien atau dokter. Kebanyakan kasus dengan keterlibatan oral memperlihatkan lesi paru-paru pada rontgen dada.

Lesi oral yang paling sering muncul pada blastomikosis adalah ulser verrucous nonspesifik yang tidak sakit dengan batas yang berindurasi, sering dikira squamous cell karsinoma. Kadang-kadang kesalahan ini dibuat oleh ahli histopatologi yang belum berpengalaman yang bingung dengan karakteristik pseudoepiteliomatous hyperplasia dengan perubahan keganasan.

Lesi oral lain yang telah dilaporkan termasuk juga nodul yang keras dan lesi radiolusen pada rahang. Page dan kawan-kawan melaporkan dua kasus ulser mukosa oral yang tidak sakit sebagai tanda dari blastomikosis, pada kedua kasus, pengambilan data masa lalu secara seksama mengungkap gejala pernapasan yang ringan. Bell dan kawan-kawan melaporkan 7 kasus dengan kemunculan lesi oral pada psien dengan blastomikosis, 4 muncul dengn ulser oral kronik, dan tiga muncul dengan lesi tulang radiolusen. Rontgen dada menunjukan keterlklibatan paru-paru konkomitan pada semua kasus.

Dokter gigi harus memasukan diagnosa blastomikosis sebagai diagnosa banding pabila terdapat ulser oral kronilk. Diagnosis todak dapat ditegakan hanyan dari pemeriksaan klinis saja. Indeks kecurigaan harus meningkat ketika terdapat ulser oral kronik yang tidak sakit pada pekerja pertanian atau ketika membuat ringkasan yangmengungka gejala paru-paru. Diagnosis ditegakan dari hasil biopsi dan kultur organism daroijaringan. Gambaran histologis memperlihatkan peseudoepiteliomatous hyperplasia dengan infiltrasi berat dari sel inflamasi kronik dan mikroabses.

B. PerawatanPerawatan untuk blastomikosis adalah sama dengan histoplasmosis.

Page 26: OM Lesi Ulseratif, Vesikel, Dan Bullosa

4.3 MukormikosisMukormikosis (phykomikosis) disebabkan karena infeksi dengan jamur sarkofitik yang bisaanya muncul pada tanah atau pada

makanan yang sudah basi. Jamur ini non pathogen pada individu sehat. Dan dapat dibuat kultur dari hidung tenggorokan dan rongga mulut manusia. (organisme memperlihatkan oportunis daripada pathogen sejati) infeksi muncul pada individu dengan ketahanan tubuh inang yangmenurun, seperti pada mereka dengan diabetes yang tidak terkontrol atau keganasan hematologis, atau mereka yang menjalani kemoterapi kanker atau terapi obat immunosuppressed. Pada pasien dengan kondisi lemah, mukormikosis muncul pada paru-paru, gastrointestinal, poenyebaran atau infeksi rhinocerebral.

Bentuk rhinomaxillay dari penyakit ini, sebuah subdivisi dari bentuk rhinocerebral, dimulai dengan inhalasi dari jamur oleh individu yang terpapar. Jamur lalu menginvasi arteri dan menyebabkan kehancuran setelah terjadi thrombosis dan iskemia. Jamur dapat menyebar dari regio oral dan nasal berlanjut ke otak, dan mengakibatkan kematian dengan persentase yangbesar pada kebanyakan kasus. Gejala termasuk obstruksi nasal yang disebabkan karena nekrosis spiral nasal, proptosis karena invasi orbita, demam, bengkak pipi, parestesia pada muka.

A. Manifestasi OralTanda Oral yang sudah dikenali dari mukormikosis adalah ulserasi pada palatum, yang terjadi akibat nekrosis karena

invasi pembuluh palatum. Karaketeristik lesinya beser dan dalam, menyebabkan hilangnya tulang yang meliputinya. (Gbr 4-45). Ulser dari mukormikosis juga dilaporkan terdapat pada gingiva, bibir dan linggir alveolar. Manifestasi awal dari penyakit ini dapat dibingungkan dengan sakit gigi atau sinusitis bacterial maksila yang disebabkan oleh sinus maksilaris. Klinisi harus menyertakan mukormikosis pada diagnosa banding ulser oral yang besar yang muncul pada pasien dengan kondisi lemah karena diabeteas, kemoterapi, atau terapi obat immunosupresi.

Gambar 45. Mukormikosis pada pasien yang dirawat transplantasi ginjal dan mendapat obat immunosuppresifDiagnosa awal sangat penting apabila pasien akan diobati pada infeksi ini. Kultur negatif tidak bisa dilakukan karena

jamur ini sulit untuk diambil kulturnya dari jaringan yang diinfeksi. Maka itu biopsi harus dilkukan ketika ada kecurigaan terhadap mukormikosis. Spesimen histopatologis menunjukan nekrosis dan hifa nonsepta, yang sangat baik dilakukan dengan pemeriksaan pewarnaan asam-Schiff.

B. PerawatanKetika didiagnosa pada awal, mukormikosis dapat disembuhkan dengan kombinasi debridement bedah pada area yang

terinfeksi dan pemberian amfoterisin B sistemik sampai 3 bulan. Manajemen yang tepat untuk penyakit yang meliputinya adalah aspek yang sangat penting yang sangat mempengaruhi hasil akhir dari perawatan. Semua pasien yang diberikan amfoterisin B harus diawasi dengan ketat untuk melihat toksisitas ginjal dengan mengukur kadar blood urea nitrogen dan kreatinin secara berulang-ulang.