repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24204/1/uswatun...diberlakukan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Idealnya anak-anak harus berada dalam lingkungan yang mendukung
perkembangan pertumbuhan fisik maupun psikis mereka. Namun pada
kenyataanya, pada masa sekarang ini anak malah sering menjadi korban dari
kehidupan yang berat dan lingkungan yang keras.
Salah satu permasalahan yang terjadi adalah keterlibatan anak dalam
aktivitas ekonomi. Anak dianggap memilliki asset ekonomi potensial yang dapat
diperdayakan dan dioptimalkan. Berlandaskan fenomena yang ada, realitasnya
banyak terjadi hak anak dirampas baik secara fisik maupun psikis1. Inilah yang
mengandung unsur eksploitasi. Kasus eksploitasi anak di Indonesia sangat
bervariasi, contohnya saja bisa terlihat di jalan-jalan bagaimana orang miskin
membawa anak-anak untuk mengemis atau mengamen atau bahkan ada yang
mendidik mereka untuk melakukan ke dua hal itu.2
Salah satu gejala sosial yang tumbuh di perkotaan adalah munculnya
fenomena joki 3 in 1 (three in one). Awalnya kebijakan three in one ini
diberlakukan oleh PEMDA DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan, maksudnya
agar pengguna jalan lebih efisien, terutama di jam-jam sibuk. Kenyataan ini
kemudian menjadi lahan bisnis baru bagi mereka yang kreatif, seperti munculnya
1 Drs.Argyo Demartoto,M.Si, “Karakteristik Sosial Ekonomi dan Faktor-faktor Penyebab
Anak Bekerja di Sektor Informal di Kota Surakarta,” Artikel ini di akses pada 1 Juli 2011 dari http://www.penelitianpekerja anak.org.html
2 Hadi Supeno, “Eksploitasi Anak Sudah Jadi Budaya,” Artikel ini di akses pada 27 Juni 2011 dari http://www.kpai.go.id
2
orang-orang yang menjual jasa kepada para pengguna jalan untuk menemani
melintas di jalur three in one. Mereka ini lazim di sebut sebagai joki three in one.3
Joki-joki ini muncul sekitar Sepuluh tahun yang lalu, saat diberlakukannya
keputusan gubernur Provinsi daerah khusus ibu kota Jakarta No. 4104/2003
Tanggal 23 Desember 2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu lintas
yang mewajibkan semua kendaraan roda empat berpenumpang minimal tiga orang
di sejumlah jalan protokol seperti jalan Jendral Sudirman, MH Thamrin, Gatot
Soebroto, Medan Merdeka Barat, Gadjah Mada, Majapahit, Pintu besar Selatan,
Pintu Besar Utara dan Kuningan Jakarta. Sistem three in one ini diberlakukan dua
kali dalam sehari. Pagi hari dimulai pukul 07.00 hingga pukul 10.00 dan pukul
16.00 hingga pukul 19.00. dua waktu dimana kemacetan lalu lintas mencapai
puncaknya.4
Kemunculan joki three in one tak bisa dibantah. Tak ada aturan yang
tak menuai dampak begitu pula dengan profesi joki. Profesi ini diminati
oleh orang dewasa, remaja, sampai anak-anak yang tidak memiliki
pekerjaan namun sangat memerlukan uang. Persaingan di jalan yang ketat
antar joki demi mendapat pelanggan menyebabkan muncul berbagai
macam cara untuk mendapat pelanggannya, salah satu cara yang di
gunakan yaitu dengan melibatkan anak yang bisa membuat para pelanggan
iba dan bisa menghasilkan pendapatan dua kali lipat.
3 TB Ardi Januar, “Mengenal Peraturan three in one di Jakarta,” Artikel ini diakses
pada 10 Juni 2011 dari http://Newsokezone.com.Fenomena Joki Jalanan. 4 TB Ardi Januar, “Mengenal Peraturan three in one di Jakarta,” Artikel ini diakses
pada 10 Juni 2011 dari http://Newsokezone.com.Fenomena Joki Jalanan.
3
Dengan melibatkan anak dalam profesi joki, maka dapat dipastikan
hak-hak anak yang mereka miliki akan terabaikan baik fisik maupun psikis
dan kadangkala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari
keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya tanpa sadar
telah melanggar hak-hak anak.
Dari kenyataan yang ada, menunjukkan bahwa di dalam kehidupan
masyarakat di mana pun, akan selalu ada perlakuan salah terhadap anak-
anak, oleh karena itu pemerintah perlu memberikan perhatian yang besar
pada aspek perlindungan anak dalam memenuhi kebutuhan hak-haknya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002,
Pasal 4 dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.” Pernyataan ini tidak berlaku di Indonesia saja,
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sudah mendeklarasikan hal yang
sama di (Convention on The Rights of The Child) yang menyatakan bahwa
anak mempunyai hak untuk tumbuh, mendapatkan proteksi dari hal-hal
yang berbahaya, kekerasan, eksploitasi, dan hak untuk berpartisipasi di
keluarga, kultur, dan kehidupan sosial. 5
Dimensi persoalan pekerja anak yang dilakukan oleh orangtua
tidak hanya berkaitan dengan persoalan pendidikan, kemiskinan,
ekonomi, dan keluarga, melainkan pula perhimpitan dengan aspek lain
5 Laporan UNICEF tahun 1995,” Aspek Hukum Perlindungan Anak, Dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak,” Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti,h.10
4
di balik fenomena pekerja anak itu yakni perhatian pemerintah daerah
yang kurang, dan tidak ada program aksi oleh institusi yang
berkompeten dalam membina kehidupan masyarakat. Melihat indikasi-
indikasi kasus perkara norma perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah terhadap apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan
orangtua yang melibatkan anaknya dalam profesi joki tersebut
merupakan salah satu contoh dari bentuk eksploitasi terhadap anak,
oleh karena itu penting untuk menganalisa lebih detail fenomena ini.
B. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait dengan eksploitasi pekerja anak, antara lain: penelitian
pertama Mukarto Siswoyo, “Eksploitasi Terhadap Pekerja Anak Pada Industri
Kecil studi kasus pada perusahaan genteng, di Desa Budur kecamatan Ciwaringin,
kabupaten DT.II Cirebon”, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.6 Penelitian ini mengenai pekerja anak di sektor industri atau
perusahaan yang berada di pedesaan. Dalam hal ini peneliti bertujuan ingin
mengetahui faktor-faktor pendorong anak memasuki dunia kerja dan faktor
penarik melalui pertanyaan mengapa para pengusaha lebih menyukai untuk
memperkerjakan buruh anak dan untuk membuktikan bahwa terdapat eksploitasi
tenaga kerja anak di perusahaan tersebut. Penelitian yang penulis lakukan bersifat
deskriptif, dalam hal ini penulis berusaha untuk menggambarkan permintaan pasar
kerja menyebabkan masuknya anak ke dalam dunia kerja, serta bagaimana
lingkungan pekerjaan anak mengeksploitasi mereka. Adapun faktor pendorong
yang mengakibatkan anak untuk bekerja yaitu dilatarbelakangi oleh kondisi
6 Mukarto Siswoyo, “Eksploitasi Pekerja Anak dalam Industri Kecil,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Jakarta, 1998)
5
ekonomi keluarga, tingkat penghasilan yang rendah tidak dapat memenuhi seluruh
kebutuhan hidup anggota keluarga. Maka bagi mereka tidak ada jalan lain selain
mengerahkan semua anggota keluarga termasuk anak-anak untuk bekerja dan
menghasilkan uang. Yang berperan sebagai faktor penarik adalah hadirnya
beberapa industri genteng didesa tersebut dan memberi peluang bagi masuknya
anak-anak bekerja.
Penelitian yang kedua, Muchlis R.Luddin, pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, yang berjudul “Eksploitasi
Pekerja Anak di Perkebunan Teh”. Studi kasus di perkebunan teh, Cisarua,
Bogor.7 Dalam penelitian ini masalah yang diangkat yaitu mengapa eksploitasi
dilakukan pada anak yang usianya masih sangat belia dan alasan apa yang
menyebabkan pekerja anak terjerumus dalam tindakan eksploitasi yang dilakukan
orangtua atau majikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis
dengan maksud untuk menggambarkan secara luas dan mendalam tentang
eksploitasi terhadap anak yang bekerja akibat kemiskinan. Dari penelitian yang
dilakukan dapat diperoleh hasil yaitu, terjunnya anak-anak ke dunia kerja salah
satunya dengan alasan harus membantu keluarga, orangtua memaksakan
kehendakanya kepada anak-anaknya untuk tidak meneruskan sekolahnya. Jika
anak tidak melaksanakan tugasnya maka akan memperoleh perlakuan yang tidak
adil dimana anak yang tidak bekerja berarti tidak mendapat uang untuk biaya
hidupnya. Kasus pekerja anak ini juga dilatarbelakangi oleh faktor kemiskinan.
Anak-anak juga diberi sanksi ketika tidak melakukan fungsinya sebagai pekerja,
sanksi yang diberikan orangtua pada anaknya yaitu dalam bentuk tidak
7 Muchlis R. Luddin, “Eksploitasi Pekerja Anak di Perkebunan Teh,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Jakarta, 2002)
6
dipenuhinya kebutuhan/ haknya sebagai anak. Selain itu, anak juga akan
mendapatkan sanksi moral, dimana dia akan dipandang sebagai anak yang tidak
bertanggungjawab terhadap keluarganya kerena tidak mampu membantu
perekonomian keluarga mereka yang kekurangan. Selain dari orangtua, tekanan
pun dilakukan oleh majikan di perusahaan dimana mandor sering kali mengambil
keuntungan dari hasil kerja pekerja anak. Penghasilan yang diterima ditentukan
oleh hasil penilaian sepihak yang diberikan mandor.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Astriani Rahman, Universitas
GunaDarma, yang berjudul “Eksploitasi Orangtua Terhadap Anak dengan
Memperkerjakan Sebagai Buruh.”8. Penelitian ini mengenai eksploitasi anak yang
dilakukan oleh orangtua dengan memperkerjakan anak sebagai buruh pabrik.
Penelitian ini membahas tentang gambaran eksploitasi orangtua terhadap anak
dengan mempekerjakan anak sebagai buruh serta mengapa orangtua melakukan
eksploitasi dengan mempekerjakan anak di bawah umur sebagai buruh. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif, dengan mewawancara orangtua yang
memiliki pekerja anak berusia 13-15 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa orangtua menjadi pengambilan keputusan yang paling dominan bekerjanya
anak pada sektor formal. Hal ini terjadi karena orangtua memanipulasi umur anak
mereka agar diterima di pabrik konveksi. Faktor-faktor yang menyebabkan
orangtua mengeksploitasi anak mereka adalah karena faktor ketidaktahuan
orangtua tentang Konvensi Anak dan Undang-Undang tentang anak, faktor nilai-
nilai budaya masyarakat, dan faktor kemiskinan.
8 Astriani Rahman, “Eksploitasi orangtua Terhadap Anak dengan memperkerjakan
sebagai Buruh”(Skripsi S1 Universitas GunaDarma Jakarta, 2005)
7
Dari beberapa lierature review yang ada, pada umumnya lebih memfokuskan pada
eksploitasi pekerja anak dimana anak bekerja secara mandiri sebagai pekerja.
Tetapi penelitian ini bermaksud melihat anak (balita) yang digunakan sebagai
media untuk bekerja, demi mendapatkan penghasilan yang lebih menguntungkan,
selain itu penulis belum menemukan kajian yang secara intensif tentang faktor-
faktor yang mendorong orangtua melibatkan anak dalam profesinya sebagai joki
dan bagaimana kebijakan serta respon pemerintah terkait fenomena tersebut. Oleh
karena itu, penulis bermaksud meneliti “Eksploitasi Anak” ( Studi Kasus Joki
Jalanan 3 in 1 Jalur Senayan ).
C. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menjawab dua pertanyaan penelitian utama
sebagai berikut:
1. Faktor apa saja yang mendorong orangtua melibatkan anak dalam profesi
mereka sebagai joki jalanan?
2. Bagaimana respon dan kebijakan pemerintah terhadap maraknya fenomena
joki yang membawa serta anak-anak?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor
pendorong ekploitasi anak dalam profesi joki three in one dengan melihatnya dari
sisi penawaran dan permintaan yang melatarbelakangi para joki ikut
mempekerjakan anaknya.
8
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka hasil penelitan ini diharapkan dapat
memberikan manfaat seperti:
1. Secara teoritis dapat memberikan penjelasan mengenai faktor apa saja
yang mendorong orangtua melibatkan anak dalam profesi mereka
sebagai joki jalanan, khususnya diwilayah Senayan, Jakarta Selatan.
2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah:
a. Bagi keluarga, masyarakat dan Negara dalam mengatasi
permasalahan yang berhubungan dengan anak-anak khususnya
tindak eksploitasi.
b. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai lahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan
masalah pekerja joki jalanan, khususnya tentang perlindungan
terhadap hak-hak anak.
c. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian tentang Eksploitasi Anak pada Joki three in one di wilayah
Senayan Jakarta Selatan, yaitu menggunakan pendekatan kualitatif dan
menggunakan metode deskriptif, dimana penelitian kualitatif adalah proses
9
pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian
yang menyeluruh9 dan melalui metode deskriptif ini adalah untuk
menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada suatu
penelitian yang dilakukan, dan memeriksa suatu sebab-sebab dari suatu gejala
tertentu10 yang diperoleh dari situasi yang alamiah, dari data yang diperoleh di
lapangan lalu dideskripsikan dalam bentuk uraian agar data yang didapat mudah
dimengerti oleh pembaca.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan alat pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tekhnik wawancara yang digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam terhadap sumber
informasi yaitu para joki jalanan yang membawa anak, sebagai pihak yang
mengeksploitasi.11 Wawancara mendalam adalah memproses keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan sumber informasi, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman wawancara. Dalam wawancara yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu
dengan delapan joki yang membawa anak, yaitu informan Y, P, M, N, A, I, Ih, S.
Alasan penulis memilih delapan joki yang membawa anak karena dari delapan
joki ini memiliki karakteristik, pendidikan dan latar belakang kehidupan sosial
yang berbeda. Informan joki yang tidak membawa anak R dan Is, dengan alasan
9 Amirin, Tatang M.2000. “Menyusun Rencana Penelitian”. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.hal15 10 Alimudin Tuwu,1993. “Pengantar Metode Penelitian,” UI Press, Hal 71 11 Alimudin Tuwu, 1993. “Pengantar Metode Penelitian,” UI Press, Hal 72
10
hanya sebagai perbandingan melihat keuntungan yang didapat dari berjoki. Dari
pihak pengguna jalan yang memakai jasa joki yaitu informan E dan A, serta dari
pihak pemerintahan yaitu bapak Miftahul Huda selaku Kepala Seksi dan
Pelayanan Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Jakarta Selatan dan bapak Abdul
Khair selaku Kepala Tata Usaha Panti Sosial Kedoya.
b. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang
(tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu dan
perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan
gambaran realistik perilaku atau kejadian dan sebab-sebab terjadinya eksploitasi
terhadap anak yang dilakukan oleh para joki three in one.
c. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan individu-individu yang akan memberikan
informasi atau data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun subjek penelitian
yang penulis teliti ialah joki yang membawa anak, berjumlah delapan orang yaitu,
Y, P, M, N, A, I, IH, S. Selain itu dua joki yang tidak membawa anak yaitu, R dan
Is. Dari pihak pengguna jasa joki dua informan yaitu, E dan A serta dari pihak
pemerintahan Dinas Sosial Jakarta Selatan Bapak Miftahul Huda (Kepala Seksi
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial) dan Bapak Abdul Khair (Kepala Bagian Tata
Usaha Panti Sosial Kedoya).
11
d. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah di Jalan Asia Afrika Pintu Satu Senayan,
Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan.
Alasan pemilihan tempat di Senayan yaitu karena pada titik ini termasuk titik
teramai para joki menjual jasanya khususnya yang membawa serta anak dan
termasuk salah satu jalur yang akan dilewati para pengendara mobil untuk melaju
ke Jalan Sudirman yang memasuki kawasan three in one.
e. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dibutuhkan untuk penulis mengumpulkan data-data
yang berkaitan dengan penelitian, terhitung lima bulan, mulai dari bulan
September 2011 sampai bulan Januari 2012.
f. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder.
1. Data primer, yaitu data dari penelitian yang langsung dari sumber asli
(tidak melalui perantara). Data primer yang dimaksud adalah data yang
dikumpulkan melalui metode wawancara dan pengamatan langsung
(observasi). Saat wawancara, peneliti menggunakan digital dan tape
recording untuk merekam langsung data dari para informan. Data yang
berbentuk rekaman tersebut kemudian, peneliti tuliskan kembali dalam
bentuk transkrip yang kemudian peneliti tabulasi dengan cara melihat
poin-poin penting yang mendukung untuk analisis hasil penelitian.
12
2. Data sekunder, merupakan data penelitian yang diperoleh secara tidak
langsung, tapi melalui perantara pihak lain, data sekunder dalam penelitian
ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian
yang diperoleh dari buku-buku, laporan-laporan/ kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, lembaga swasta maupun ormas-ormas yang
ada dalam masyarakat.
F. Sistematika Skripsi
Untuk memperoleh gambaran dan untuk memudahkan pembahasan, maka
dalam skripsi ini dikelompokkan dalam lima bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang,
Literatur Review, Pertanyaan Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, Subjek Penelitian, Tempat Penelitian, Waktu Penelitian,
Jenis data dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II : KERANGKA TEORITIS, berisi tentang konsep Eksploitasi
Anak, Faktor Penyebab terjadinya Eksploitasi anak serta Teori Penawaran dan
Permintaan.
BAB III : GAMBARAN UMUM, menguraikan tentang karakteristik
lokasi penelitian, subjek penelitian dan fokus penelitian.
BAB IV : ANALISA HASIL PENELITIAN, dalam bab ini akan
membahas dan menganalisa hasil-hasil penelitian dan studi lapangan berdasarkan
data-data yang didapatkan di lapangan, hal itu meliputi: Faktor apa saja yang
mendorong orangtua melibatkan anak dalam profesi mereka sebagai joki dan
13
bagaimana respon dan kebijakan pemerintah terhadap maraknya fenomena joki
yang membawa serta anak-anak.
BAB V : PENUTUP, berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Eksploitasi
1. Pengertian Eksploitasi
Dalam ideologi Marx, eksploitasi merupakan istilah yang dijadikan musuh
untuk diserang dan dilawan yang tak kenal kelas, karena kaum Marx (Marxis)
menganggap bahwa eksploitasi adalah upaya buruk yang merenggut keuntungan
dengan tidak adil seperti yang tercatat dalam sejarah antara kaum Borjuis
(Kapital) dengan Proletar (Buruh). Hal serupa didukung oleh Best, bahwa
eksploitasi dan pemaksaan merupakan kejahatan yang harus dibasmi melalui
upaya-upaya perubahan sosial.12 Dalam ensiklopedi ilmu sosial13 dinyatakan
bahwa inti dari pengertian eksploitasi adalah “adanya sementara individu,
kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau tidak secara wajar menarik
keuntungan dari kerja atau kerugian orang lain”.
Realitanya dapat kita saksikan dibeberapa media dan bahkan hal itu benar-
benar terjadi di sekitar kita tanpa disadari secara langsung. Permasalahan
eksploitasi di Indonesia makin kompleks dan terus berlangsung, terlebih lagi
eksploitasi yang dilakukan terhadap anak-anak (balita, masa pertumbuhan) sangat
tinggi dan bervariasi.
Menurut Suharto, eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau
perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga ataupun
12 Ben Best. “Thougs of Exploitation Theory”. diakses pada 5 Agustus 2011
http://www.benbest.com/polecon/exploit/html 13 Encyclopedia of The Social Sciences, Vol 6. New York: Macmillan. Hal 16
15
masyarakat14. Sedangkan menurut Thamrin, Eksploitasi anak merupakan sikap
yang memanfaatkan anak secara tidak etis demi kebaikan ataupun keuntungan
orangtua maupun orang lain.15
Unsur pemaksaan yang timbul terhadap anak untuk melakukan sesuatu
demi kepentingan ekonomi, sosial, ataupun politik tanpa memperhatikan hak-hak
anak dalam mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis
dan status sosialnya itu merupakan bentuk dari eksploitasi anak.
Eksploitasi anak paling marak banyak terjadi di masyarakat miskin
perkotaan, akibatnya terjadi perusakan mental secara sosial. Kita dapat melihat
bagaimana orang miskin membawa anak-anak untuk mengemis dan mengamen,
dan bahkan ada yang mendidik mereka untuk melakukan kedua hal itu secara
manajemen. Hal ini terjadi akibat faktor kemiskinan yang membuat keluarga tak
mampu memenuhi kebutuhan dan melindungi anak. Akibatnya, eksploitasi anak
terus meningkat.
Terdeteksi pada tahun 2008 di Indonesia terdapat sebanyak 6,5 juta anak
terpaksa bekerja, sebanyak 2,1 juta diantaranya bekerja dalam kondisi terburuk
dan 1,5 juta anak bekerja sebagai pekerja rumah tangga tersembunyi, selebihnya
anak-anak bekerja di sentra industri pertanian, perikanan, perkebunan bahkan
bekerja dan hidup di jalanan.16 Ini menunjukkan bahwa eksploitasi pada anak
sudah tidak lagi hal yang baru di Indonesia dan peristiwa ini pula menunjukkan
adanya unsur pemaksaan. Maka benar bagi mereka yang memandang bahwa
14 Suharto, K.2005,” Eksploitasi terhadap Anak dan Wanita”, Jakarta: CV.Intermedia. 15 Thamrin, J.1996,” Dehumanisasi Anak Marjinal,” Bandung: Yayasan Akatiga. 16 http://www.Suarapembaruan.com/News/2009/07/22/index.html. Artikel ini diakses
pada 26 September 2011
16
eksploitasi sebagai pengambilan keuntungan sepihak dengan cara tidak adil17.
Eksploitasi juga memiliki beberapa ciri, antara lain:
1. Berlangsung dalam relasi antar manusia
2. Setidaknya ada dua pihak yang terlibat yakni pihak yang
mengeksploitasi dan pihak yang dieksploitisir
3. Ukurannya adalah keadilan
4. Terdapat distribusi yang tidak wajar dalam hubungan itu18
Ukuran ketidakadilan dalam eksploitasi juga dinyatakan oleh Susan dan
Peter Calvert bahwa ketidakadilan sering muncul dalam pekerjaan sehingga
menimbulkan masalah, termasuk masalah pekerja anak yang dieksploitasi.19
2. Jenis Eksploitasi Anak
Beberapa jenis Eksploitasi anak menurut Karundeng, di antaranya
adalah20:
1. Perdagangan Manusia (Trafficking in person)
2. Perbudakan (Slavery)
3. Prostitusi anak (child prostitution)
4. Pekerja anak (child labour)
5. Anak jalanan (children of the street)
Walaupun keterlibatan anak dalam profesi joki tidak bisa tepat
dikategorikan dalam jenis eksploitasi di atas, peneliti berpendapat bahwa anak dan
17 Ben Best dalam, “Thougs of Exploitation Theory”. Diakses pada 12 juli 2011 dari
http://www.benbest.com/Polecon/exploit.html 18 Louis Leahy.1992,” Aliran-aliran Besar Ateisme Tinjauan Kritis,” Yogyakarta: hal128 19 Susan Calvert dan Peter Calvert,” Sociology Today,” Harvester Wheat Sheaf. Hal 89-93 20 Karundeng, V.K, “Sosialisasi Penyadaran Isu Traficking,”. Di akses pada 15 Agustus
2011 dari http://www.Freelist.Org/Archives/msg01078.Html.
17
yang dieksploitasi dalam profesi joki bisa masuk dalam kategori pekerja anak
sekaligus anak jalanan. Dipandang sebagai pekerja anak karena dalam fenomena
joki jalanan anak diikutsertakan dalam pekerjaan joki, guna mendapat penghasilan
yang lebih menjanjikan selain itu juga dapat melatih dan memperkenalkan anak
kepada pekerjaan joki tersebut. Sebagai jenis dari anak jalanan, karena profesi joki
sangat erat sekali kaitannya dengan kehidupan jalanan.
3. Dampak Eksploitasi pada Anak
Fenomena eksploitasi masih menjadi masalah yang serius di dunia,
khususnya di Indonesia. Kerapnya eksploitasi yang terjadi banyak yang menimpa
anak-anak. Dimana seharusnya anak-anak mendapat kesenangan sesuai dengan
kapasitasnya sebagai anak-anak. Misalnya saja tempat bermain, jaminan
kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya yang layak bagi mereka. Namun
kenyataannya, pada masa sekarang ini anak-anak lebih banyak berhadapan dengan
beban hidup yang keras dan hal ini (eksploitasi) menjadi dampak yang serius pada
si anak tersebut. Ada beberapa dampak yang dialami anak dalam beberapa jenis
eksploitasi yang telah dituliskan di atas, diantaranya:
a. Perdagangan manusia
adalah segala transaksi jual beli terhadap manusia. Bentuk transaksi
meliputi; perekrutan, pengiriman, pemindah tangan, penampung atau penerimaan
orang. Setiap tahunnya diperkirakan 60.000-80.000 laki-laki, perempuan dan
anak-anak diperdagangkan menyebrangi perbatasan internasional.21 Para korban
21Alang, “Perdagangan Anak periode 2007-2011,” Diakses pada 25 Agustus 2011 dari
http://www.sosialbudaya.tvonenews.tv/kasus_perdagangan _anak_selama_2007_2011
18
dipaksa untuk bekerja di tempat pelacuran atau bekerja di tambang-tambang,
tempat kerja buruh berpendapatan rendah, di tanah pertanian dan banyak dalam
bentuk perbudakan di luar kemauan mereka. Para korban Perdagangan Manusia
mengalami banyak hal yang mengerikan. Luka fisik dan psikologis, termasuk
penyakit dan pertumbuhan yang terhambat, seringkali meninggalkan pengaruh
permanen yang mengasingkan para korban dari keluarga dan masyarakat mereka.
Para korban perdagangan manusia seringkali kehilangan kesempatan penting
mereka untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Dalam
banyak kasus eksploitasi pada korban perdagangan manusia terus meningkat,
seorang anak yang diperjualbelikan dari satu kerja paksa dapat terus diperlakukan
dengan kejam di tempat lain.22
b. Perbudakan dan Prostitusi Anak
Perbudakan adalah sebuah kondisi di mana terjadi pengontrolan terhadap
seseorang (disebut budak) oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk
memenuhi keperluan akan buruh atau kegiatan seksual.23
Perbudakan biasanya diikuti oleh kegiatan seksual seperti Prostitusi anak,
adalah tindakan seks komersial. Ini merupakan tindakan yang diberlakukan secara
paksa, dengan cara penipuan, atau kebohongan, atau dimana seorang anak diminta
22Alang, “Perdagangan Anak periode 2007-2011,” Diakses pada 25 Agustus 2011 dari
http://www.sosialbudaya.tvonenews.tv/kasus_perdagangan _anak_selama_2007_2011 .
23Diakses pada 28 Agustus dari http://www.Jakarta.usembassy.gov.news/2003-06-17-14.html
19
secara paksa melakukan suatu tindakan demikian saat usianya belum mencapai
usia 18 tahun.24
Selain penderitaan individu akibat pelanggaran hak asasi manusia,
keterkaitan antara perbudakan dan prostitusi anak terorganisir dengan baik.
Dampak yang terjadi, para korban yang dipaksa dalam perbudakan seks
seringkali dibius dengan obat-obatan dan menderita kekerasan yang luar biasa.
Para korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera
fisik dan emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya, diperlakukan
dengan kasar, dan menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seks termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban menderita cedera permanen pada
organ reproduksi mereka. Selain itu, korban biasanya diperdagangkan di lokasi
yang bahasanya tidak mereka pahami, yang menambah cedera psikologis akibat
isolasi dan dominasi. Ironisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan
yang amat buruk dan terampasnya hak-hak mereka malah membuat banyak
korban yang dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan
kebebasan.25
c. Pekerja Anak
Adalah mesin produktif yang bekerja sepanjang hari dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginannya/keluarganya.26 Pekerja anak termasuk
anak yang bekerja berada di bawah usia minimum tertentu. Penyebab pekerja
anak biasanya dilatarbelakangi oleh faktor kemiskinan. ILO memperkirakan
24Alang, “Perdagangan Anak periode 2007-2011,” Diakses pada 25 Agustus 2011 dari http://www.sosialbudaya.tvonenews.tv/kasus_perdagangan _anak_selama_2007_2011
25 Dr.H.Obsatar Sinaga, M.si. “Fenomena Human Trafficking di Asia Tenggara.”Diakses pada 16 Juli 2011 dari http://Pustaka.Unpad.ac.id/Pustaka_Unpad_Fenomena_Human _Trafficking
26Diakses pada 17 Juli 2011 dari http://www.anujagarwal.hubpages.com/hub/Cause-and-effects-of-Child-Labour.
20
bahwa ada pekerja anak sekitar 250 juta di seluruh dunia, dengan sedikitnya 120
juta dari mereka bekerja di bawah keadaan yang tertekan, masa kanak-kanak dan
dalam kondisi yang membahayakan kesehatan dan bahkan nyawa mereka.27
Pekerja anak secara signifikan dan positif terkait kematian remaja, tingkat
gizi penduduk, dan adanya penyakit menular. Selain itu A.Baquele dan
W.E.Myers menyatakan bahwa:
“Apabila anak-anak dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang berlebihan maka pertumbuhan anak itu akan terganggu. Pertumbuhan anak-anak yang terganggu adalah pertumbuhan fisik, kognitif, emosional, sosial dan moral. Pertumbuhan fisik yang terganggu bisa berupa kesehatan secara keseluruhan, koordinasi, penglihatan dan pendengaran. Untuk pertumbuhan kognitif, pekerja anak bisa mempunyai pengetahuan kultural yang kurang, keterampilan untuk belajar literatur maupun numeral. ”28
d. Anak Jalanan
Kebanyakan yang menjadi anak jalanan baik karena mereka adalah anak
yatim dan tidak memiliki pilihan lain atau karena mereka adalah bagian dari
keluarga sangat miskin yang memaksa mereka untuk mendapatkan penghasilan
dalam rangka memberikan kontribusi bagi perekonomian rumah tangga mereka.29
Ketika anak-anak ditinggalkan untuk menjadi individu yang dibesarkan oleh
jalanan, mereka sering dimanfaatkan, disalahgunakan atau dihadapkan pada
situasi berbahaya yang melanggar hak-hak mereka. Pelanggaran-pelanggaran hak-
hak dasar mereka sebagai manusia akan memiliki dampak negatif pada
masyarakat secara keseluruhan.
27Ahmad, “Anak jalanan dan masalah sosial,” Diakses pada 20 Juli 2011 dari
http://www.sosbud.kompasiana.com/anak-jalanan-dan-masalah-sosial.html. 28 Usman Hardius, Nochrowi.2004. “kondisi, Determinan, dan Eksploitasi (kajian
kuantitatif),” Jakarta: Gramedia widiasarana Indonesia 29Diakses pada 15 Agustus 2011 dari http://www. wphr.org/2010/ana_harding/long-
term-effects-of-“street-children”
21
Dampak negatif dari kehidupan di jalanan pada anak-anak sangat besar,
seperti kurangnya hak-hak dasar seperti pendidikan, cinta keluarga, kesehatan,
makanan yang baik, dan keamanan, anak-anak juga sering mendapatkan
pelecehan dan dieksploitasi karena mereka wajib bekerja siang dan malam di
jalanan yang berakibat pada terjangkitnya beragam penyakit.30
Secara hukum, anak seharusnya dilindungi karena anak sesungguhnya
merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun secara
sosial. Menurut Konvensi Hak Anak (KHA), anak didefinisikan sebagai manusia
yang umurnya belum mencapai 18 tahun.31
Faktor umur inilah yang menjadi pengaruh pergaulan dan lingkungan dimana
fenomena yang menggejala makin banyaknya kasus-kasus anak sebagai pelaku
dan korban. Tak dipungkiri juga bahwa kondisi anak yang pada dasarnya lemah
dan masih bergantung itu bila dibandingkan dengan orang dewasa lebih beresiko
dampaknya terhadap tindakan eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan lain-lain.
B. Pekerja Anak
Dari beberapa jenis Eksploitasi Anak yang telah disebutkan dan
dipaparkan diatas, penelitian ini lebih memfokuskan pada eksploitasi Pekerja
anak, dimana penelitian ini bermaksud melihat faktor-faktor apa saja yang
mendorong orangtua untuk mengikutsertakan anaknya dalam pekerjaan mereka
sebagai joki three in one untuk mendapatkan upah yang lebih banyak.
30Diakses pada 15 Agustus 2011 dari http://www.kayachildren.org/children/impactofsteetlife/html. 31 “Konvensi Hak Anak,” Sahabat Remaja PKBI-DIY dan UNICEF. hal16
22
1. Pengertian Pekerja Anak
Pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin
untuk orangtuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar
waktu, dengan menerima imbalan atau tidak, pekerja anak merupakan tenaga
kerja yang dilakukan anak di bawah umur 15 tahun.32
Putranto, menyebutkan bahwa :
“pekerja anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 tahun selain membantu keluarga, pada komunitas tertentu misalnya pada sektor pertanian, perikanan, dan industri kerajinan yang dari sejak kecil mereka sudah dididik untuk bekerja.”33
Anak-anak di bawah umur 15 tahun kemudian paling banyak dipilih
sebagai pekerja, dengan alasan upah yang lebih murah, biaya produksi lebih
sedikit, usia mereka relatif muda, sehingga sangat mudah di atur dan tidak banyak
menuntut seperti pekerja dewasa.34 Pekerja anak tidak hanya berasal dari daerah
setempat tapi juga dari luar daerah. Mereka sengaja keluar dari daerahnya untuk
kebutuhan sehari-hari.
Pekerja anak merupakan sebab dan akibat dari kemiskinan, keluarga yang
miskin mendorong anak-anak mereka bekerja mencari penghasilan untuk
tambahan keluarga atau bahkan sebagai cara untuk bertahan hidup. Adanya
pekerja anak mengabadikan keluarga miskin turun temurun, pertumbuhan
32 Kertonogoro,” Penduduk, Angkatan Kerja, dan Kesempatan Kerja Trend Global Menuju Abad 21,” Jakarta:CV Intermedia 33Nachrowi, N.D. Muhidin, S.A.Beni.R.1997. “masalah pekerja anak dalam perekonomian globa,” Jakarta: Fak. Ekonomi UI hal 154
34Diakses pada 27 Juli 2011 dari http://www.Pendidikanlayanankhusus.com/pemenuhan-hak-pendidikan.html.
23
ekonomi dan perkembangan sosial yang lambat, pekerja anak menghambat anak-
anak memperoleh pendidikan dan kelayakan hidup. Itulah yang menjadi penyebab
utama dan klasik, anak-anak itu harus kehilangan dunia mimpi mereka dan
sebaliknya harus mengalami kenyataan pahit. Anak-anak seharusnya bisa
menikmati masa-masa kecil mereka bukan untuk bekerja.
2. Faktor-faktor Pendorong Munculnya Pekerja Anak
a. Kemiskinan
Secara umum penyebab anak turun kejalan adalah kerena faktor
kemiskinan, keretakan dalam keluarga, dan terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
Faktor kemiskinan dalam sebuah keluarga merupakan penentu utama yang
mendorong anak turun ke jalan dan bekerja untuk menambah pendapatan
keluarga. Orangtua mengajari anaknya untuk bekerja supaya dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Kemiskinan merupakan faktor mendasar (underlying factor) terhadap
munculnya pekerja anak. ILO dan UNICEF misalnya menyebutkan bahwa :
“kemiskinan merupakan akar permasalahan terdalam dan faktor utama anak-anak terjun ke dunia kerja.”35
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bagong S, menyebutkan bahwa:
“Orangtua akan mengalami penurunan pendapatan rumah tangganya jika anak-anak mereka berhenti bekerja.”36
Hal ini disebabkan anak-anak membutuhkan pekerjaan justru karena
keadaan ekonomi keluarganya yang miskin, sekalipun kemiskinan merupakan
35Bellamy, Carol.1997. “Laporan Situasi Anak-Anak di Dunia,” Unicef. Jakarta,hal 127 36 Bagong, S. 1999. “Analisis Situasi Pekerja Anak dan Permasalahan Pendidikan Dasar
di Jawa Timur,” Surabaya: Universitas Airlangga Pree, hal 238
24
pendorong utama anak-anak terjun ke dunia kerja, tetapi kenyataan menunjukkan
bahwa tidak semua orang miskin membiarkan anak-anaknya terjun ke dunia kerja.
Di Negara Indonesia ini memang banyak sekali anak di bawah umur yang
seharusnya belum pantas untuk bekerja, padahal kenyataannya mereka belum
pantas untuk diperkerjakan, akan tetapi hal ini berkaitan dengan masalah ekonomi
mereka atau memang ada keterlibatan orangtua di belakang semua kejadian ini.
Anak-anak di usia ini seharusnya mereka masih punya banyak waktu untuk
bermain bersama teman-temannya di rumah atau di sekitar lingkungannya, akan
tetapi semua itu sudah tidak bisa mereka rasakan. Pekerja anak sering kali berada
di bawah tekanan di satu sisi yang tidak mungkin ia hindari, misalnya orangtua
yang tidak bertanggungjawab atau memang keadaan ekonomi yang memaksa
mereka untuk bekerja.
Demikian pula dengan permasalahan eksploitasi anak, kemiskinan tanpa
adanya orang-orang yang tega mengeksploitasi anak-anak maka eksploitasi itu
tidak pernah ada.
Menurut Bellamy :
“Bagaimana pun miskinnya keluarga mereka, anak-anak tidak akan dibahayakan dalam pekerjaan, jika tidak ada orang yang sudah siap atau mampu mengeksploitasinya, karena anak-anak lebih mudah untuk dieksploitasi, dalam artian anak-anak melakukan apa yang disuruh tanpa mempermasalahkannya, anak-anak lebih banyak tidak berdaya untuk melawan. ”37
37 Bellamy, Carol.1997. “Laporan Situasi Anak-Anak di Dunia,” Unicef. Jakarta
25
b. Keluarga
Menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem
keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam
lingkungan keluarganya terutama orang tuannya sendiri. Di masa pertumbuhan
dan perkembangan seorang anak peran orang tua sangat berperan selain peran
lingkungan yang kondusif di sekitarnya. Tentunya seorang anak di dalam masa
tersebut juga membutuhkan rangsangan intelektual, emosional dan spiritual. Dan
perkembangan anak akan menjadi lebih optimal jika semuanya dilandasi oleh
kasih sayang dan bimbingan yang tulus dari orang tua dan lingkungannya.38
Pada kenyataanya, anak bekerja karena “dipaksa” oleh orangtuanya dan
menjadi agen penyetor yang memberi kontribusi bagi kelangsungan hidup
keluarganya dan menghidupi dirinya sendiri. Temuan ini sekaligus menunjukkan
bahwa asumsi selama ini mengenai anak-anak bekerja karena ingin membantu
orangtuanya, tidak sepenuhnya benar. Anak yang tidak bekerja akan diberi sanksi,
yakni sanksi untuk tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya sebagai anak dan
sanksi moral karena dianggap tidak bertanggungjawab terhadap orangtua dan
keluarganya. Dalam bekerja anak-anak diperlakuakan oleh orangtuanya yang
memang memiliki otoritas terhadap anaknya juga dibarengi dengan paksaan,
sanksi, dan adanya pengawasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya.
Jadi, kasih sayang orangtua tereduksi menjadi ukuran pencapaian
pendapatan sang anak atau dapat dikatakan terjadi mekanisme determinasi
38Diakses pada 26 Juli 2011 dari http:// fisip.uns.ac.id/wentiarum/2010/05/31/eksploitasi-
anak/html.
26
ekonomi terhadap perilaku orangtua sebagai balasan atas pencapaian ekonomi
anak. Anak juga kurang mendapat perhatian dari orangtua dikarenakan orangtua
lebih memberikan fokus perhatian terhadap pekerjaannya sendiri untuk mencari
uang. Jadi mekanisme hubungan ini secara global, pekerja anak merupakan
kelompok sub-sistem dari sistem masyarakat yang tidak dapat sejalan dengan
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.
Maka, anak dijadikan faktor ekonomi yang menunjang keberlangsungan
keluarga agar mereka dapat hidup dengan mencukupi kebutuhan dasarnya.
Apabila dikaitkan dengan kebijakan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Hak
Asasi Manusia, perbuatan tersebut telah melanggar hak anak untuk dapat hidup
sebagaimana anak-anak mestinya, yang pada umumnya dapat menikmati masa-
masa bermain, berkreatifitas dalam pertumbuhan kecerdasan otak dan bakatnya
dan mendapatkan perhatian yang lebih dari orangtuanya.
c. Pendidikan Orang tua
Pendidikan para orangtua anak yang ikut bekerja pada umumnya
berpendidikan rendah, dapat dilihat dari jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh
orangtua seperti, tukang ojek,buruh, dan pedagang asongan. Orangtua yang
bekerja di sektor informal yang mempunyai pengaruh terbesar untuk bisa
memperkerjakan anak-anaknya itu adalah kepala rumah tangga yang
berpendidikan rendah.
Seperti yang dideskripsikan oleh Wisni Septriasi yang dikutip dari
pendapat Roger, secara sosial kelompok masyarakat marginal ada pada strata
terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah atau sama sekali
27
belum pernah menikmati bangku pendidikan, jauh dari jangkauan fasilitas
umum.39
d. Pekerjaan Orang tua
Anak yang terjun ke dunia kerja, sebagian besar memang berasal dari
keluarga miskin dengan orangtua yang bekerja sebagai buruh, pemulung,
pedagang, tambal ban, dan bahkan ada yang tidak bekerja. Bagi orangtua yang
dianggap hal yang paling mudah adalah menyuruh anaknya ikut mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena berdasarkan jenis pekerjaan
orangtua mereka, merupakan jenis pekerjaan dengan pendapatan yang tidak pasti
hasilnya dan penghasilannya pun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, dengan jumlah anggota keluarga yang cukup besar.
Mengatasi ketidakmampuan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya biasanya dengan mengajak bahkan mengajarkan anak sejak kecil
untuk mencari uang di jalan supaya bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan juga
sering kali harus memenuhi kebutuhan keluarga dengan menyetorkan
pendapatannya pada keluarga.
Dalam banyak bukti menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak dalam
aktivitas ekonomi baik di sektor formal maupun informal yang terlalu dini
cenderung rawan eksploitatif, terkadang berbahaya dan mengganggu kesehatan
fisik, psikologis, dan sosial anak40.
39 S. Wisni Septriasi,”Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan
Pendidikannya,” Cakrawala Pendidikan.hal 11-12 40 Maiyasyak Johan. 1998.” Perlindungan Hukum Pekerja Anak di Indonesia,”
Medan:Lembaga advokasi Anak Indonesia Medan h.52
28
C. Teori Penawaran dan Permintaan Pekerja Anak
Walaupun seperti dijelaskan di atas, banyak sekali faktor yang mendorong
munculnya pekerja anak, studi ini akan lebih memfokuskan pada teori penawaran
dan permintaan yang mendorong munculnya pekerja anak. Faktor-faktor
penyebab anak bekerja dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu penawaran (supply) dan
permintaan (demand).
Sisi penawaran ditujukan untuk melihat faktor-faktor yang
melatarbelakangi masyarakat menyediakan tenaga anak-anak untuk bekerja,
sedangkan sisi permintaan menunjukkan faktor-faktor yang mendukung
pengusaha atau majikan memutuskan untuk menggunakan pekerja anak sebagai
faktor produksi.41
1. Penawaran Pekerja Anak
a. Kemiskinan dan Pendapatan yang rendah
Kemiskinan diakui sebagai faktor sisi penawaran penting pada masalah
pekerja anak. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Basu dan Van menyebutkan
bahwa jika rumah tangga atau keluarga itu miskin maka, orang tua akan mengirim
orang dewasa dan anak-anak mereka untuk bekerja ataupun membawa dan
menyuruh mereka bekerja dalam usaha keluarga atau dalam pertanian keluarga
karena keluarga tersebut memiliki pendapatan yang rendah dan membutuhkan
uang tambahan (atau tenaga kerja tambahan) yang di sediakan oleh anak mereka
sebagai peyeimbang ekonomi di rumah tangga mereka.42 Dalam riset yang
dilakukan oleh ILO di Ghana pada Perkebunan kelapa sawit dan karet misalnya,
41 Hardius Usman dan Nachrowi Djalal.2004, “Pekerja Anak di Indonesia(Kondisi,
Determinan dan Eksploitasi)” Jakarta:Grasindo. h.100 42 ILO/IPEC-SIMPOC.2007 “Explaining the Demand and Supply of Child Labour:a
Review of the Underlying Theories.” Diakses pada 19 September 2011 dari http://www.ilo.org/ipecinfo, h 6.
29
48% dari pekerja anak mengatakan bahwa mereka bekerja untuk mendukung
keuangan keluarga. Sementara, 16% bekerja untuk membantu pekerjaan orangtua
di perkebunan. 43
Masyarakat dalam transisi perekonomian merupakan salah satu faktor
terjadinya kasus ekonomi yang membutuhkan perhatian. Krisis ekonomi yang
berkepanjangan serta faktor-faktor sosial ini membuat anak-anak rentan terhadap
eksploitasi dan perdagangan.44
Kemiskinan ekonomi secara pendapatan telah diidentifikasi sebagai faktor
yang sangat berpengaruh. Studi penilaian cepat secara jelas mengidentifikasikan
sebagian besar anak-anak yang ikut dipekerjakan berasal dari keluarga yang
rentan secara sosial dengan tuntunan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga dan
bergantung pada pemasukan yang tidak mungkin/ kecil.45
Banyak anak yang ikut bekerja membantu ekonomi keluarga karena
penghasilan yang dimiliki orangtua sangatlah minim. Sehingga anak terpaksa
diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga dan dirinya sendiri.
Humphries menunjukkan bahwa anak-anak kebanyakan dipekerjakan oleh
orangtua mereka. Orangtua membuat keputusan pasar mengenai waktu anak-anak
43ILO. “Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak,” Diakses pada 22 September
2011 dari www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/child_guide3_in.h.17 44 ILO/IPEC-SIMPOC.2007 “Explaining the Demand and Supply of Child Labour:a
Review of the Underlying Theories.” Diakses pada 19 September 2011 dari http://www.ilo.org/ipecinfo. h 12
45 ILO. “Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak,” Diakses pada 22 September 2011 dari www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/./child_guide3_in.
30
mereka. Ini kesenjangan antara orangtua atau majikan dengan pekerja anak dan ini
membuka kemungkinan bahwa kepentingan-kepentingan anak akan di rampas.46
Menurut ILO (1999), diseluruh dunia saat ini lebih dari 250 juta anak
berusia 5-14 tahun terpaksa bekerja dan kehilangan masa kanak-kanaknya karena
mereka harus mencurahkan waktunya terlibat dalam proses produksi, baik
dikeluarganya sendiri maupun di tempat lain, Dari jumlah yang dilaporkan ILO
tersebut 61% ditengarai tersebar di kawasan Asia dan untuk di Indonesia sendiri
diperkirakan terdapat sekitar 5 sampai 6,5 juta pekerja anak, bahkan ada yang
memperkirakan lebih besar lagi yang tersebar diberbagai sektor indusri besar
maupun rumah tangga.47
Penghasilan yang dimiliki oleh keluarga miskin yang sangat minim tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin
melambung tinggi dan disini menjadi celah bagi orangtua untuk menjadikan anak-
anak sebagai korban pertama dan subjek yang paling menderita akibat situasi
krisis yang berkepanjangan.
b. Faktor Sosial, Budaya Masyarakat
Faktor budaya, sosial dan masyarakat mempunyai peran penting dalam
mempengaruhi sisi penawaran tenaga kerja anak.
Dalam riset yang dilakukan oleh Lopez-Calva, dia mengembangkan
sebuah model sederahana dari aturan-aturan budaya dan perilaku di tingkat
46 ILO. “Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak,” Diakses pada 22
September 2011 dari www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/.../child_guide3_in, h 11 47 Bagong Suyanto,2010. “Masalah Sosial Anak,” Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Hal 115
31
masyarakat dan melihat dampak model ini terhadap keputusan rumah tangga. Dua
masyarakat dengan stigma yang berbeda dan bervariasi bisa membentuk sebuah
keputusan yang berbeda pada keluarga untuk mempekerjakan anak mereka. 48
Norma dan sikap sosial bisa memiliki dampak pada tingkat pekerja anak.
Sejumlah peneliti menyatakan bahwa dalam masyarakat mungkin memiliki
perbedaan dalam tingkat tekanan sosial atau stigma sosial terkait pekerja anak.
Misalnya, di dalam suatu masyarakat dimana stigma sosialnya rendah, maka
orangtua akan mudah terpengaruh untuk memperkerjakan anak-anak mereka.
Namun, di dalam masyarakat lain dengan stigma sosial yang masih tinggi, maka
orangtua tidak akan terpengaruh oleh tetangga dan akan tetap menyekolahkan
anak-anak mereka dan menjauhkan mereka dari pekerjaan .49
1. Permintaan Pekerja Anak
1. Pasar Kerja atau Lapangan Usaha
Sebuah studi penilaian cepat pada perdagangan anak (IPEC, 2005)
mencatat bahwa kasus permintaan pekerja anak berasal dari faktor pada sisi
penawaran. Banyaknya jumlah permintaan oleh konsumen yang diminta pada
pasar tertentu merupakan kesempatan bagi seseorang untuk mengambil
keuntungan. Pada hakikatnya hubungan antara jasa/barang yang diminta oleh para
konsumen memiliki keterkaitan, yaitu bila harga meningkat atau naik maka
48ILO/IPEC-SIMPOC.2007 “Explaining the Demand and Supply of Child Labour:a
Review of the Underlying Theories.” Diakses pada 19 September 2011 dari http://www.ilo.org/ipecinfo. h 23
49 ILO. “Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak,” Diakses pada 22 September 2011 dari www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/.../child_guide3_in
32
jumlah jasa/barang akan menurun dan sebaliknya jika harga turun maka jumlah
jasa/barang akan naik.50
Dengan demikian, jika sisi permintaan pasar kerja tinggi maka akan lebih
banyak membutuhkan pasokan anak untuk di pekerjakan.
Pada hasil penelitian yang dilakukan Indrasari Tjandraningsih dan
Benjamin White (1992), era Industrialisasi di Indonesia saat ini, yang berubah
bukanlah keterlibatan anak-anak itu dalam angkatan kerja, tetapi yang terjadi
adalah perubahan bentuk dan sifat keterlibatan mereka, pada era sebelumnya,
anak-anak hanya terlibat di sekitar lahan pertanian yang tidak dibayar karena anak
hanya membantu pekerjaan orangtua, sedangkan pada era industrialisasi
keterlibatan anak-anak sudah bergeser pada sektor perdagangan, industri, atau
diikutsertakan sebagai tenaga kerja upahan.51
Dalam hal ini, kasus eksploitasi anak yang dilakukan oleh para joki, yaitu
masalah yang mempengaruhinya ialah faktor permintaan yang muncul dari
Peraturan Daerah untuk mengatasi kemacetan dititik-titik tertentu. Para
pengendara mobil melihat peraturan kebijakan pemerintah terkait three in one
mengharuskan mereka untuk tidak melanggarnya. Akan tetapi usaha untuk
menghindari pelanggaran adalah dengan cara memakai jasa joki agar pemilik
mobil dapat melewati jalan yang tidak boleh dilewati oleh mobil yang
mengangkut penumpang yang kurang dari tiga orang.52 Oleh karena itulah jelas
50 ILO/IPEC-SIMPOC.2007 “Explaining the Demand and Supply of Child Labour:a
Review of the Underlying Theories.” Diakses pada 19 September 2011 dari http://www.ilo.org/ipecinfo, h 25
51 Bagong Suyanto, 2010. “Masalah Sosial Anak,” Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 122 52
33
terlihat bahwa kebijakan three in one telah membuka peluang kerja bagi para joki
dan membuat permintaan akan joki ada dan terus tumbuh berkembang.
53Masyarakat yang kurang mampu melihat joki sebagai bentuk permintaan akan
jasa mereka dan memandang profesi joki sebagai celah untuk mendapatkan uang
dengan cepat dan mudah serta yang terpenting tanpa perlu modal uang.
53
34
BAB III
DESKRIPSI TENTANG KEBIJAKAN Three in One
A. Gambaran Lahirnya Kebijakan Peraturan Three in One
Untuk memecahkan masalah kemacetan, Pemerintah DKI mengeluarkan
Surat Keputusn (SK) Gubernur DKI Jakarta. Perda No.12 Tahun 2003 tentang
penetapan kawasan pengendalian lalu lintas yang mewajibkan semua kendaraan
roda empat berpenumpang minimal tiga orang. Kebijakan ini dikenal dengan
istilah 3 in 1 (three in one). Sistem three in one ini diberlakukan dua kali dalam
sehari. Pagi hari dimulai pukul 07.00 hingga pukul 10.00 dan pukul 16.00 hingga
pukul 19.00, dua waktu dimana kemacetan lalu lintas mencapai puncaknya.54
Sehingga kewajiban mengangkut paling sedikit tiga penumpang dalam setiap
kendaraan roda empat sudah menjadi peraturan tersendiri di Kota Jakarta.
Perda ini bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan mengurangi jumlah
kendaraan di Jakarta, khususnya pada jam-jam tertentu dan titik-titik tertentu.
Karena jalur tersebut merupakan jalur padat kendaraan. Adapun kawasan three in
one, antara lain Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jendral Sudirman, Jalan MH
Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada, Jalan
Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Hayam Wuruk, dan sebagian
Jalan Gatot Subroto, yang merupakan jalan besar jalur pusat Ibu Kota
Metropolitan.
54 TB Ardi Januar, “Mengenal Peraturan three in one di Jakarta,” Artikel ini diakses
pada 10 Juni 2011 dari http://Newsokezone.com.Fenomena Joki Jalanan.
35
Pemberlakuan kawasan three in one disejumlah ruas jalan di Jakarta
ternyata hingga kini masih jadi sebuah anugerah bagi sebagian orang. Mereka
yang memanfaatkan kesempatan dengan adanya kewajiban bagi pengendara mobil
pribadi untuk berpenumpang tiga orang ini, dikenal dengan sebutan joki three in
one.
B. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penulis melakukan penelitian,
adapun lokasi dalam penelitian ini adalah tempat di mana para joki melakukan
akivitasnya di wilayah sekitar lampu merah Senayan Jakarta Selatan, sebelum
memasuki kawasan three in one, yang berlokasi di Jalan Asia Afrika Pintu Satu
Senayan, Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta
Selatan.
Peneliti memilih lokasi penelitian tersebut karena melihat bahwa lokasi itu
merupakan titik teramai para joki beraktivitas khususnya yang membawa serta
anak.
C. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah mereka yang berprofesi sebagai joki
three in one yang berlokasi di Jalan Asia Afrika Pintu satu Senayan, Kelurahan
Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kotamadya Jakarta Selatan. Para joki three
in one sebagian besar bertempat tinggal terletak diberbagai daerah, seperti
Petamburan, Sudimara, Cipulir, dan daerah-daerah lain. Untuk mencapai tempat
mereka melakukan aksi berjoki, rata-rata dari mereka melakukan perjalanan
dengan menggunakan angkutan umum. Fenomena profesi dari kebijakan
36
pemerintah ini sudahlah bukan hal yang asing. Para joki ini berasal dari berbagai
kalangan maupun usia. Mulai dari anak kecil umur lima tahunan, remaja
tanggung, dan orang tua. Tak hanya laki-laki, perempuan juga turut meramaikan
kawasan three in one ini, baik yang masih remaja, ibu-ibu yang sendiri, atau yang
membawa anak, bahkan bayinya.
Profesi yang muncul sebagai efek dari adanya kebijakan pemerintah
provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan ini tergolong unik dan mudah.
Para joki cukup berdiri di pinggir jalan dari gerbang masuk kawasan three in one
sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah mobil pribadi yang melintas. Sang
pengguna mobil yang membutuhkan jasa mereka pun tinggal memberhentikan
mobil sesaat di pinggir jalan untuk menaikkan joki. Ketika telah melewati batas
kawasan 3 in 1 ini barulah joki dibayar dan diturunkan. Harga mereka bervariasi,
tergantung negoisasi dengan pemilik kendaraan. Tapi umumnya berkisar antara
10.000 sampai 15.000 rupiah untuk satu kali angkutan. Disini terlihat bahwa para
kaum menengah ke atas yang hidupnya individualistis cukup sebagai kebutuhan
pragmatis belaka demi kepentingan sesaat dengan berbagi tumpangan dengan
orang yang mereka tidak kenal dan berbeda status sosialnya setelah itu selesai,
karena hanya penyelamatan dari peraturan berkendaraa yang berlaku.
Meski belum ada jumlah atau data pasti berapa jumlah joki three in one
yang ada, tapi ini bisa terlihat dari data yang dimiliki oleh Dinas Sosial Jakarta
wilayah Selatan dengan jumlah joki yang terjaring pada tahun 2008 sebanyak 367
(tiga ratus enam puluh tujuh), lalu mengalami penurunan pada tahun 2009
sebanyak 239 (dua ratus tiga puluh sembilan) orang joki yang terjaring, lalu
mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu sebanyak 685 (enam ratus
37
delapan puluh lima) orang joki yang terjaring pada tahun 2010 dan jumlah joki
yang terjaring pada tahun 2011 mengalami penurunan yang drastis sebanyak 215
(dua ratus lima belas) orang).
Tabel 1 Jumlah data joki yang terjaring razia tahun 2008-2011, Sudin Sosial55
Dari data ini terlihat bahwa, jumlah joki yang terjaring saja bisa mencapai
ratusan belum lagi banyak joki-joki yang berhasil menyelamatkan diri saat Satuan
Pamong Praja melakukan razia, jadi sangat mungkin bahwa sangat banyak sekali
jumlah joki yang terdapat disebaran titik Sudirman, Thamrin, Pakubuwono,
Senopati, Diponegoro, dan Imam Bonjol disaat jam-jam diberlakukannya three in
one. Kemunculan joki ini juga menambah daftar panjang masyarakat kelas bawah
yang mencari rezeki dari masyarakat menengah atas.
Jika sebelumnya kita mengenal profesi sebagai satpam, babby sister,
pembantu rumah tangga, tukang kebun tapi sekarang ini muncul yang namanya
profesi joki three in one. Dikatakan sebagai profesi karena memang benar adanya,
dari semua informan peneliti mendapati bahwa mereka dengan percaya diri
55 Data dari Suku Dinas Sosial Jakarta
38
menganggap bahwa joki sebagai profesi, mereka hidup sehari-hari mengandalkan
hasil dari menjoki untuk menafkahi anak.
Walaupun banyak sekali jenis joki yang ada, peneliti lebih akan
memfokuskan pada para joki yang membawa serta anak mereka dalam
pekerjaannya sehari-hari sebagai joki three in one. Dari fenomena joki yang
membawa anak menunjukan bahwa adanya eksploitasi terhadap anak oleh
orangtua yang bekerja sebagai joki untuk mempermudah pekerjaannya dan
sekaligus menguntungkan.
1. Kehidupan Sosial Ekonomi Joki
Fenomena urbanisasi merupakan konsekuensi logis dari pesatnya
pembangunan serta budaya kompetensi perekonomian di Ibu kota. Masyarakat
berbondong-bondong melakukan migrasi ke Ibu Kota karena tergiur dengan
kestrategisan wilayah tersebut yang menjanjikan perbaikan dalam bidang
ekonomi. Namun, sebagian besar dari para kaum urban tersebut tidak membekali
diri dengan pendidikan dan skill yang memadai, yang sesungguhnya sangat
dibutuhkan sebagai modal utama hidup di Ibu Kota. Maka peran mereka di Ibu
Kota hanya sebagai masyarakat marginal yang salah satu profesinya sebagai joki
three in one. Kemunculan joki three in one tak bisa dibantah terkait langsung
dengan kondisi ekonomi yang semakin sulit terutama sektor ketenagakerjaan yang
minimnya lapangan pekerjaan.
Profesi joki kian marak seiring situasi negeri yang makin sulit. Hukum
ekonomi berlaku, ada permintaan maka muncul penawaran. Masyarakat yang
kurang mampu melihat joki sebagai celah untuk mendapatkan uang dengan cepat,
mudah, dan paling terpenting tidak memerlukan modal uang, hanya dengan modal
39
menawarkan diri. Setiap tahun populasi joki terus meningkat pesat. Peta situasi
Pemprov DKI Jakarta memperlihatkan ada 31 titik sebaran joki yang jumlahnya
mencapai ribuan orang.
Profesi joki ini digeluti oleh anak-anak, remaja, sampai orang tua. Tak
hanya laki-laki, perempuan juga turut meramaikan kawasan three in one ini, baik
yang masih remaja, ibu-ibu yang sendiri, atau banyak juga ibu-ibu yang membawa
anak, bahkan bayinya. Berbagai hal bisa melatarbelakangi munculnya joki ini,
mulai dari susahnya mencari mata pencaharian, iseng-iseng “berhadiah”,
membantu ekonomi keluarga, sampai menambah uang saku sekolah.
Disinilah terjadi persaingan yang ketat antar joki sampai akhirnya banyak
para joki khususnya ibu-ibu membawa anaknya. Fenomena joki yang membawa
anak kini menjadi semakin marak. Setiap hari senin sampai jum’at pada pagi dan
sore hari mereka melakukan aktivitas berjoki sambil membawa anak-anak yang
notabene masih terbilang dini. Seharusnya anak ini bermain di rumah bersama ibu
dan saudara-saudaranya, bermain, bergembira dengan suasana yang nyaman,
menyenangkan, dan mendapatkan kesempatan serta fasilitas untuk mencapai cita-
citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, dan sosialnya. Tetapi
akibat kemiskinan yang dialami keluarganya si anak mau tak mau ikut serta dalam
meningkatkan ekonomi keluarga dengan mengikuti profesi orangtuanya sebagai
joki. Dengan alasan mencari nafkah, para joki itu pun tidak perduli efek yang bisa
dialami anak-anak dari polusi jalanan, tanpa disadari mereka telah menghisap
racun gas yang dibuang kendaraan setiap pagi dan sore hari.
Bayangkan saja, anak-anak ini berhadapan langsung dengan asap knalpot
yang menyembur dari kendaraan yang memadati jalan raya setiap hari kerja. Satu
40
atau dua kali mungkin tidak ada pengaruhnya bagi anak-anak ini, namun jika
anak-anak ini berjibaku dengan polusi jalan raya setiap hari maka akan ada efek
terhadap perkembangan si anak. Banyak studi yang menemukan efek negatif asap
kendaraan di jalanan bagi kesehatan dan kecerdasaan anak seperti yang
diungkapkan oleh Joachim Heinrich dari German Research Center for
Environment and Health di Institute of Epidemology di Munich bahwa anak-anak
yang tinggal sangat dekat dengan jalan raya kemungkinan tidak hanya terkena
sejumlah besar partikel debu dan gas, namun juga radiasi aerosol yang
dipancarkan mungkin lebih beracun, dan ternyata polusi udara juga diduga kuat
berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak.57 Di samping itu, yang lebih
memprihatinkan adalah dari segi hak anak, anak-anak yang ikut berperan dalam
aktivitas ekonomi keluarga umumnya berada dalam posisi rentan untuk
diperlakukan salah, termasuk dieksploitasi oleh orang lain, khususnya oleh orang
dewasa atau suatu sistem yang memperoleh keuntungan dari tenaga anak.58
57 Igfar Pramrizki. 2011. “Untuk Kebutuhan Rumah tangga anak pun dikorbankan” Diakses pada 01 Oktober 2011 dari http://www.Erabaru.net.Media Anak Indonesia.
58 Irwanto, “kajian literatur dan penelitian mengenai pekerja anak sejak pengembangan rencana kerja IPEC 1993”.1996. Departemen Tenaga Kerja RI dan ILO/IPEC
41
Bagi para joki, khususnya yang membawa anak, banyak alasan mengapa
mereka bisa terjun ke sektor yang berbahaya ini. Dari hasil berjoki dengan
membawa anak hasil yang didapat lebih banyak ketimbang sendiri. Berjoki
merupakan pekerjaan yang dilakukan untuk membantu perekonomian keluarga,
dari hasil berjoki bisa membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Hal tersebut
dituturkan oleh informan Y .59
“Nge-joki udah jadi pekerjaan saya cari rezeki sehari-hari, hasil nge-joki yang saya dapat digunakan untuk keperluan dapur dan jajan anak-anak. Kalo sendiri mah ga seberapa dapetnya, kalo bawa anak lumayan dapetnya. Kalau nggak nge-joki sehari aja, berarti dapur gak ngebul. Ngandelin suami cuma kerja jadi tukang parkir, ga seberapa. Hasil nge-joki cuma dari tangan ke mulut, maksudnya hasil hari ini juga akan habis untuk kebutuhan makan hari ini juga.”
Sementara berkenaan dengan faktor yang melatarbelakangi mereka
menjadi joki umumnya karena minimnya pendidikan dan skill yang mereka
miliki. Sehingga ngejoki merupakan pekerjaan yang tepat bagi mereka, karena
tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar seperti pekerjaan-
pekerjaan lainnya yang ada di Ibu Kota ini. Seperti penuturan M di bawah ini.
“Saya datang ke Jakarta sama suami,anak saya untuk cari nafkah, pas sampai di sini saya dan suami bingung mau kerja apa. kerna saya cuma punya ijazah SD dan ga punya keahlian apa-apa, sementara kebanyakan pekerjaan di Jakarta perlu tamatan sekolah yang tinggi. Akhirnya mau gak mau sementara ini nge-joki dulu, karena jadi joki cuma tinggal berdiri di pinggir jalan dan gak modal apa-apa..”60
59 Wawancara pribadi dengan Y salah atu joki yang membawa anak. Pada20 Juli 2011 60 Hasil wawancara dengan M salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 4
Oktober 2011
42
Kesabaran dan mau menanggung segala resiko dalam setiap pekerjaan
merupakan hal yang tidak bisa dilepas dalam setiap menjalani segala bentuk
pekerjaan. Para joki ini pun menanamkan sikap demikian dalam melakoni
pekerjaannya tersebut. Setiap hari para joki ini, rela untuk bangun lebih awal dan
menuju ke tempat biasa mereka mangkal/nge-joki cukup naik angkutan umum
atau kereta api untuk sampai di lokasi. Berdasarkan wawancara mendalam,
diantara mereka ada yang mulai berangkat jam setengah enam pagi sampai jam
enam pagi, tergantung tempat yang menjadi tujuan mereka. Karena jam di
berlakukannya jalan three in one mulai dari jam 07.00 sampai dengan jam 10.00
WIB. Informan Ibu N61 menuturkan, ia biasanya mulai bangun jam empat karena
harus membangunkan anaknya yang masih kecil untuk ikut berjoki dan mulai
berangkat jam setengah enam pagi, karena tempat tinggalnya di BSD jadi mesti
lebih awal untuk menempuh jarak ke Senayan. Lalu sesampai ditempat menjoki
para joki yang membawa anak ini harus rela berpanas-panasan dan mencium asap
knalpot dari kendaraan demi mendapatkan rezeki yang mereka peroleh.
Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian masyarakat
yang memilih berprofesi sebagai joki di wilayah tersebut, yang memang
tergambar dalam realita keseharian hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi
pendidikan para joki di wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pendidikan
Era globalisasi menuntut tiap individu untuk tetap terampil, eksis, efektif
dan efisien. Melalui pendidikan, tiap individu dapat membangun,
61 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak, Pada tanggal 6
Oktober 2011
43
mengembangkan dan mengelola potensi sumber daya yang ada pada dirinya.
Maka, kini pendidikan menjadi hal yang sangat urgen dan utama bagi masyarakat
di belahan dunia manapun. Meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki
kesadaran akan pentingnya pendidikan, tetap saja secara praktis aspek tersebut
masih terabaikan dalam kehidupan sosial masyarakat, terutama masyarakat yang
secara struktur berada pada lapisan bawah atau masyarakat marginal.
Pendidikan merupakan salah satu masalah penting dan aktual sepanjang
zaman karena melalui pendidikan orang menjadi maju. Dalam kehidupan para
joki, pendidikan menjadi hal yang sangat penting tetapi jalan untuk memperoleh
pendidikan banyak sekali halangan dan rintangan yang dihadapinya terutama
adalah faktor terbatasnya ekonomi yang sangat dominan untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik. Karena kekecewaan akan terbatasnya perekonomian
sebagai sarana penunjang pendidikan, mereka terkesan mengacuhkan dan tak
peduli akan pentingnya pendidikan dalam kehidupan mereka.
Hal ini sejalan dengan apa yang dideskripsikan oleh Wisni Septriasi, yang
dikutip dari pendapat Roger bahwa pada umumnya kelompok masyarakat
marginal, secara sosial ada pada strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat
pendidikan rendah atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan,
serta jauh dari jangkauan fasilitas umum yang mampu menunjang pendidikan
kaum marginal untuk dapat mendapatkan kelayakan berpendidikan.62
Sejalan dengan pendapat Roger, peneliti menemukan bahwa pendidikan
para joki three in one yang membawa anak di kawasan Senayan, umumnya
62 S. Wisni Septriati, “Masyarakt Kelompok Marginal dan Permasalahan
Pendidikannya” dalam Cakrawala Pendidikan. H.11-12
44
terbilang rendah. Sangat jarang diantara mereka yang dapat menamatkan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Mayoritas dari mereka hanya mengenyam
pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP).
Seperti yang diungkapkan I:
“Ya karena masalah ekonomi saya ga bisa melanjutkan sekolah. Kalo temen-temen saya disini rata-rata ga pada punya ijazah SMA ya boro-boro ijazah, kemampuan aja kita ga punya, karena itu nge-joki, susah mau cari kerja apa”.63
Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak
menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas
pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras
merealisasikan harapan tersebut.
D. Profil Informan Penelitian
Agar penelitian lebih terarah, maka peneliti memfokuskan penelitian pada
sepuluh orang informan. Dari informan ini diharapkan dapat mewakilkan
keragaman latarbelakang pada joki jalanan three in one , guna terciptanya hasil
penelitian yang lebih variatif.
Secara rinci latar belakang para informan yang membawa anak saat
berjoki, dapat dilihat pada table di bawah ini
63 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6 Oktober
2011
45
Tabel 2
Data Usia dan Alamat Informan Penelitian
No Informan Usia Alamat
1 Y 34 tahun Sudimara 2 M 36 tahun Kebayoran Lama 3 N 31 tahun BSD Serpong 4 P 36 tahun Kebayoran lama 5 I 28 tahun Kebayoran lama 6 A 46 tahun Petamburan 7 Ih 38 tahun Cipulir 8 S 38 tahun Tanah abang 9 R 32 tahun Slipi
10 Is 27 tahun Sudimara Sumber : Wawancara Pribadi dengan Para Informan
Para joki yang membawa anak di wilayah ini umumnya berpendidikan
rendah. Mayoritas dari mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat
Sekolah Menengah Pertama. Dan hanya beberapa orang diantara mereka yang
mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas.
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada sepuluh informan
tersebut, karena memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda.
Tabel 3
Tingkat Pendidikan
No Informan Tingkat Pendidikan 1 Y SLTP tidak tamat 2 M SD 3 N SD 4 P SLTP 5 I SLTA 6 A SD 7 Ih SLTP 8 S SLTP 9 R SLTA tidak lulus
10 Is SLTA tidak lulus Sumber data : Wawancara pribadi dengan Informan
46
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pendidikan yang diperoleh para joki
sebagian besar hanya lulusan SLTP dan sebagian lagi hanya tamat SD. Mereka
mengakui karena keterbatasan biaya dari orangtua pada masanya dan pemikiran
yang masih awam sehingga mereka tidak terlalu memperdulikan masalah
pentingnya pendidikan.
47
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Faktor Pendorong Orangtua Melibatkan Anak dalam Profesi Joki Three
In One
1. Aspek Penawaran
Poin ini secara garis besar akan menggambarkan tentang faktor-faktor
penyebab orangtua melibatkan anak dalam profesi mereka sebagai joki three in
one dari sisi penawaran.
a. Kemiskinan dan Pendapatan yang rendah
Faktor utama penyebab orangtua melibatkan anak yang masih dini salah
satunya ialah faktor kemiskinan dan pendapatan yang rendah. Untuk lebih
spesifik, maka dari data yang didapat dari lapangan mengenai alasan para isteri
ikut berperan dalam memnuhi kebutuhan keluarga, penulis klasifikasikan kembali
menjadi tiga kelompok.
1. Membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga
Seperti yang diungkapkan oleh Y:
“Pekerjaan suami saya cuma jadi tukang parkir. nge-joki itung-itung buat bantu suami kalo ngandelin pendapatan dari Suami mah ga bakal nutupin kebutuhan sehari-hari”.64
Juga diperkuat oleh A:
64 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011.
48
“Suami saya kerjanya ngejagain makam, udah gajinya kecil ga keliatan, eh tukang mabok juga. Saya ngejoki bawa anak karena kalo ditinggal di rumah ga ada yang jaga. Suami saya isterinya sampe tiga, saya yang kedua. Aduh ga tahan sama kelakuannya kasar sama isteri terus sama anak-anaknya juga ga pernah kasih uang jajan”.65
Juga dipertegas oleh pernyataan N:
“Penghasilan suami saya yang jadi tukang ojek ga tentu, yang penting cukup buat makan sehari-hari aja kalo ada sisanya ya ditabung buat sekolah anak, makanya saya ikut jadi joki buat beli susu anak, bayar sekolah pokoknya kebutuhan dirumah”.66
Hal ini juga dialami oleh R:
“Sebelum jadi joki bantuin suami dagang barang-barang plastik di pasar, penghasilan dagang ga seberapa ya udah saya coba-coba buat ngejoki karena deket rumah saya banyak ibu-ibu, anak muda yang suka pada ngejoki. Dari situ ya saya coba-coba aja eh malah ketagihan sampe sekarang”.67
Dari pernyataan informan di atas jelas menunjukan bahwa kemiskinan
yang menjerat keluarga mereka membuat para istri ikut andil dalam menstabilkan
perekonomian keluarga dengan cara menjadi joki three in one. Para isteri bekerja
sebagai salah satu cara dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi oleh
kepala rumah tangga (suami), tetapi jika tenaga ibu rumah tangga atau isteri
65 Hasil wawancara dengan A salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011. 66 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011. 67 Hasil wawancara dengan R salah satu joki yang tidak membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 18 Oktober 2011
49
belum bisa memecahkan masalah yang dihadapi biasanya anak-anak yang belum
cukup dewasa pun diikutsertakan dalam menopang ekonomi keluarga.68
Ini terbukti bagi mereka yang melibatkan anaknya untuk ikut andil sebagai
joki 3 in 1, dengan alasan yang beragam.
Seperti yang diungkapkan oleh M:
“Dari awal berjoki memang sudah bawa anak, dari anak yang kedua sudah saya bawa ngejoki nah sampe sekarang yang ketiga saya bawa joki juga kasian anak saya dirumah ga ada yang momong, anak saya yang pertama turun ke jalan ngamen, yang kedua masih belum bisa momong masih kecil ga ngerti apa-apa ya udah saya bawa aja.”69
Hal ini juga ditegaskan oleh A;
“Ga ada yang jagain dirumah, kakaknya sekolah mau ga mau emang harus dibawa sama saya ngejoki”.70
Alasan yang sama juga diungkap oleh N:
“Alasan saya bawa anak, kalo di tinggal ga ada yang jaga di rumah lagian ga repot tapi emang suka rewel namanya anak-anak”
Alasan para informan untuk mengikutsertakan anak mereka didominasi
dengan alasan karena tidak ada anggota keluarga yang menjaga anak tersebut
dirumah, jadi terpaksa anak diikutsertakan dalam aktivitas mereka sebagai joki
three in one. tetapi ada yang unik dari salah satu informan. Ada salah satu
informan yang sengaja membawa anak saudaranya untuk berjoki dengan alasan
68 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta:Kencana, 2010. Hal 124-125 69 Hasil wawancara dengan M salah satu ibu yang membawa anak saat berjoki. Pada tanggal 4 Oktober 2011. 70 Hasil wawancara dengan A salah satu ibu yang membawa anak saat berjoki. Pada tanggal 6 Oktober 2011.
50
kalau membawa anak akan membawa keuntungan lebih banyak. Ini dituturkan
oleh informan Ih:
“Saya emang udah biasa bawa anak, kalo pagi sekalian ngejoki juga momongin anak adek saya. ya lumayan buat nambah-nambah karena gaji saya jadi pembantu ga seberapa. ibunya pergi kerja jadi saya bawa joki, ya ada untungnya juga bawa ni anak sambil ngejoki. Udah biasa kaya gini, kan yang penting ada yang momong nanti siangan dititipin lagi sama anak saya di rumah”.71
Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan informan I:
“Kalo kita sendirian nge-joki ga cukup, anak 4 butuh biaya sekolah, bukunya, jajannya, baju, belum makan terus ongkosnyalah”.72
Berbagai macam alasan yang diungkapkan oleh para informan, yang
membuat para ibu rumah tangga ini mengikutsertakan anak-anaknya dalam
profesi mereka sebagai joki. Akibat tekanan kemiskinan yang dialami oleh
keluarga mereka, sang anak pun harus ikut terlibat dalam aktivitas ekonomi dan
mereka pun harus kehilangan masa-masa kecil mereka serta hak-hak untuk bisa
bermain di tempat yang nyaman dan aman, mendapatkan perlindungan fisik
maupun psikis dari orang terdekat mereka, tapi justru mereka harus diikutsertakan
dalam aktivitas orangtua mereka sebagai joki jalanan yang notabene merupakan
pekerjaan yang berbahaya untuk anak-anak yang masih cukup dini.
71 Hasil wawancara dengan Ih salah satu joki yang tidak membawa anak saat berjoki.
Pada tanggal 3 Oktober 2011 72 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011.
51
Pada kelompok masyarakat marginal, keterbatasan ekonomi keluarga
sering kali menyebabkan anak menjadi korban. Hal ini sering kali disebabkan oleh
kondisi ekonomi keluarga yang benar-benar sulit. Maka hak anak untuk mendapat
jaminan nafkah pun tidak terpenuhi.
Menurut para informan, para joki three in one karena sedikitnya jumlah
pendapatan yang dihasilkan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga,
maka mereka mengambil keputusan untuk ikut membantu perekonomian keluarga
dengan cara berjoki karena jumlah pendapatan yang dihasilkan dari kepala rumah
tangga sangatlah minim. Ini diakui oleh para joki.
Diungkapkan oleh saudari Y:
“Suami saya cuma jadi tukang parkir ya paling setor sehari cuma 20ribu”73
Hal yang juga sama diungkap oleh N:
“Penghasilan dari ngojek suami saya ga seberapa, kadang sehari dapetnya 35 ribu kadang kalo lagi sepi 20ribu juga Alhamdulillah buat makan sehari-hari”74
Begitu pula diperkuat oleh P:
“Kalo ngandelin suami mah ga nutupin, sehari setoran ojek 15 ribu karna kan pake motor orang bukan motor sendiri”.75
73 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober Oktober 2011. 74 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011 75 Hasil wawancara dengan P salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011
52
Penghasilan yang kecil dari pendapatan suami ternyata membuat para joki
bekerja membantu suami untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Seperti yang
dijelaskan oleh M:
“ngejoki buat bantu-bantu suami ngidupin tiga orang anak”76
Diungkapkan juga oleh P:
“dari ngejoki Alhamdulillah bisa bantu suami buat nyekolahin anak”77
Dipertegas oleh R:
“Penghasilan dari nge-joki ya untuk makan sehari-hari aja terus buat ongkos lagi sama buat jajan anak-anak”.78
Disisi lain ada juga informan yang menjadikan joki sebagai kerja
sampingan.
“Pekerjaan saya jadi tukang cuci, penghasilannya ga seberapa ya saya ikut ngejoki juga buat nambah-nambah, ya jadinya sekarang kalo pagi nyuci terus sorenya saya pergi ngejoki”79
Hal yang lebih miris lagi dialami oleh I dan anaknya yang hidupnya harus
bergantung pada kaum menengah ke atas, karena harus mencukupi kebutuhan
rumah tangga sendirian sebab suaminya tidak mampu mencari nafkah lagi:
76 Hasil wawancara dengan M salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011 77 Hasil wawancara dengan P salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011 78 Hasil wawancara dengan R salah satu joki yang tidak membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 18 Oktober 2011 79 Hasil wawancara dengan M salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011
53
“suami saya udah ga bisa kerja karena kecelakaan, jadi saya harus menuhin semua kebutuhan anak sendiri, untungnya saya berdua sama anak saya ngejoki hasilnya ya buat biaya sekolah, bukunya jajannya, bajunya, makan sama ongkosnyalah”80
Ternyata hasil yang menguntungkan dari berjoki sambil membawa anak
juga dirasakan oleh saudari A:
“Keuntungan dari ngejoki bawa anak ya ada sehari bisa dapet 50ribu kalo lagi rame. Ya walau ga begitu banyak tapi lumayanlah buat kebutuhan anak-anak juga ya dicukup-cukupin aja”81
Diprtegas oleh saudari Y:
“Ada pastinya, kalo sendiri kan kita paling sehari dapetnya ga seberapa tapi kalo bawa anak dua kali lipat bayarannya, ya lumayan dapetnya buat beli susunya sama nambah-nambahin uang belanja sama bayar kontrakan” 82
Dari data lapangan yang peneliti kemukakan di atas terlihat bahwa anak
yang mereka ikutsertakan saat berjoki ternyata bisa dijadikan alat atau media
untuk memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Akan tetapi masih ada joki
yang memiliki pandangan yang berbeda seperti informan Is yang tidak tega
membawa anaknya untuk ikut berjoki, seperti yang dia ungkapkan :
“kasian mbak naek kereta saya kesininya, desek-desakan dikereta, panas, repot kayanya kalo saya, bener deh bukan apa-apa ga tega aja, kayak di deket rumah saya juga ada yang pada ngejoki gini
80 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011. 81 Hasil wwancara dengan A salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011. 82 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011
54
bawa anaknya malah saya yang kasian. Kalo saya, selama saya masih bisa ngasilin sendirian lebih baik sendiri” 83
Jika penghasilan yang didapat dari hasil nge-joki membawa anak mampu
membantu mencukupi kebutuhan keluarga, maka jelas hasil yang didapat dari
menjoki tidak sedikit dan cukup menjanjikan. Seperti yang dituturkan oleh Y:
“Sehari itu paling banyak kadang tujuh puluh ribu tapi kalo lagi sepi (maksudnya hanya naik sedikit) tiga puluh ribu juga udah Alhamdulillah, tergantung yang punya mobil juga si kadang kalo dapet orang yang baik ni bisa dikasih lima puluh ribu sekali naik”84
Begitupun yang dinyatakan oleh M:
“Ga nentu penghasilannya, kalo lagi naek mulu sehari bisa enam puluh ribu dapet tapi kalo lagi ga naek maksudnya jarang-jarang gitu naeknya paling dapetnya dikit kira-kira lima puluh ribuan.”85
Dan diungkapkan juga oleh N:
“Namanya juga kerja jadi joki ya ga tentu dapetnya, kita kan tergantung ama yang bawa mobil kalo lagi rame dapet seratus ribu nyampe tu sehari pagi sama sore, kalo lagi naeknya sedikit sehari paling dapet empat puluh ribuan. Tergantung jauh dekatnya juga kalo deket paling sekali naek dua puluh ribu kalo agak jauh bisa dua puluh lima sampe tiga puluh ribu”86
83 Hasil wawancara dengan is salah satu joki yang tidak membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 18 Oktober 2011 84 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011 85 Hasil wawancara dengan M salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011 86 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011
55
Ditegaskan oleh S:
“kalo bawa anak tu pasti ada lebihnya ketimbang sendirian. Kalo kita sendiri sekali naek ni dapet lima belas ribu apa enggak sepuluh ribu nah kalo bawa anak lebih dari segitu kan tiga orang yang mesti ada dalem mobil kalo ada ibu sama anaknya ya itungannya untuk dua kepala bayarannya”87
Dengan demikian, dari data yang didapat di Lapangan bahwa membawa
anak saat berjoki membawa keberuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan
berjoki sendirian. salah satunya yaitu, para joki yang membawa anak memberikan
efek iba (rasa kasihan, empati) bagi si pemilik jalan.
Seperti yang dijelaskan oleh saudari A:
“saya lebih percaya sama ibu-ibu yang bawa anak ketimbang harus naikin laki-laki atau yang lainnya karena kasian juga lho mbak anak kecil dibawa kejalanan tau sendiri Jakarta panasnya bukan maen kan kalo jam-jam segini belum lagi polusi asap-asap kendaraan saya kadang suka ngerasa kasian juga karena saya juga masih punya anak-anak yang masih kecil, ngenes liatnya”88
Dan dipertegas oleh saudara E:
“kalo saya emang udah langganan sama si ibu, ya selain orangnya enak ya kasian juga mesti cape-capean gendong anak dijalanan tapi hasil dari ngejoki ga seberapa kan”89
Selain itu mereka lebih memilih jasa joki yang membawa anak karena
lebih efisien. Seperti pengakuan dari saudara E:
“kalo saya naikin joki yang dua orang dewasa budgetnya lebih besar karna harus bayar dua orang, tapi kalau saya naikin si ibu
87 Hasil wawancara dengan S salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 3 Oktober 2011 88 Hasil wawancara dengan A salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012 89 Hasil wawancara dengan E salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012
56
yang bawa anak ya bisa dibilang bayaran untuk satu orang tapi ditambahkan sedikit jadi bisa lebih efisien”90
Dengan demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh saudara E dan
saudari A para pengguna jasa joki, mereka lebih tertarik menggunakan jasa joki
yang mengikutsertakan anaknya karena rasa iba dan juga karena bayaran atau
upah yang diberikan bisa seefisien mungkin.
Walaupun sudah sering dilakukan penertiban oleh aparat tetapi tak
membuat para joki ini kapok dan pantang menyerah. Karena penghasilan menjadi
joki sangat menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka tak
sedikit dari mereka menjadikan pekerjaan menjoki sebagai mata pencaharian
sehari-hari. Seperti yang dijelaskan oleh Y:
“Ya daripada nganggur dirumah mendingan ngejoki, mau gimana lagi udah kaya mata pencaharian saya begitu, harus lebih hati-hati aja kalo ada razia.”91
Hal senada juga dirasakan oleh I:
“ngapain kapok, ngejoki udah jadi profesi saya mau ga mau harus terus”92
Dipertegas oleh M:
“kalo dibilang kapok engga juga, nyari duit mana ada yang kapok. Udah jadi profesi dah kaya gini (ngejoki)kalo ga gitu ya gak makan”93
90 Hasil wawancara dengan E salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012 91 Hasil wawancara dengan Yuningsih salah satu joki membawa anak pada saat berjoki.
Pada tanggal 4 Oktober 2011 92 Hasil wawancara dengan Ipah salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 3 Oktober 2011 93 Hasil wawancara dengan Maryanah salah satu joki yang membawa anak saat berjoki.
Pada tanggal 4 Oktober 2011
57
Juga ditegaskan oleh I:
“Ya walau udah pernah kena razia ngejoki seperti biasa aja lagi, kalo ga gitu gimana saya bisa ngidupin terus nyekolahin anak saya”94
Tak dapat dipungkiri bahwa menjadi joki jalanan three in one pun sudah
menjadi profesi bagi mereka yang umumnya termarginalkan, karena dengan
menjadi joki tak perlu memiliki keahlian tertentu atau pendidikan yang tinggi
tetapi bisa menghasilkan dan bisa mencukupi kebutuhan mereka.
Salah satu faktor yang mempengaruhi orangtua memperkerjakan anak
mereka yaitu faktor sosial, budaya dalam masyarakat. Pada hal ini keputusan para
orangtua untuk ikut memperkerjakan anak mereka pada profesi sebagai joki
dipengaruhi oleh lingkungan serta masyarakat tempat mereka tinggal. Beberapa
dari para joki menganggap bahwa membawa anak dalam aktivitas berjoki sudah
bukan menjadi hal yang tabu di lingkungannya.
Seperti yang diungkapkan oleh saudari M:
“Dari anak ke-dua saya udah bawa joki nah sekarang sampe yang ke-tiga saya bawa joki, kalo di tempat saya ada juga orok baru berapa hari masih merah udah berani dibawa ngejoki”95
Dijelaskan oleh Y:
“Awalnya diajak temen tetangga saya gitu saya ngejoki ya karena belum punya pekerjaan apa-apa, anak udah dua ya udah saya ikut
94 Hasil wawancara dengan Ida. Salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011 95 Hasil wawancara dengan M salah satu ibu yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011
58
eh jadi keterusan. Mau gak mau anak juga harus dibawa karna ga ada yang jaga ”96
Juga ditegaskan oleh S:
“Awalnya saya ngejoki ada tetangga saya suka ngajak ngejoki kalo saya lagi pulang kerumah, emang banyak di kampungan saya anak-anak muda, yang sekolah kalo sore juga pada suka ikut, ibu-ibu apalagi. ya kalo bawa anak emang ada aja yang bawa anak tetangga-tetangga saya, ga ada yang momong lagian juga dibawa ngejoki ada untungnya juga kan ”97
Demikian juga yang ditegaskan oleh N:
“kakak saya, adik saya, mamah saya, sama anak saya yang pertama udah ikut ngejoki. Mau dititipin siapa anaknya suami saya juga kerja jadi harus dibawa.”98
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat pada aspek penawaran
yaitu faktor pendidikan rendah yang dienyam oleh para joki tersebut, pendidikan
yang rendah mempengaruhi pendapatan dan penghasilan mereka, sehingga
mereka memilih untuk menjadi joki karena menjadi joki merupakan pekerjaan
yang sangat mudah tanpa memerlukan ijasah sekolah atau keahlian tertentu.
Selain itu, lima dari delapan informan yang membawa anak pada saat
berjoki juga tidak mengetahui bahwa ada konvensi anak yang didalamnya berisi
tentang hak-hak anak, seperti hak kelangsungan hidup (survival right), hak
berkembang (development right), hak memperoleh perlindungan (protection
right), dan hak untuk berpartisipasi dalam berbagai kepentingan hidupnya. Dalam
96Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 4 Oktober 2011 97 Hasil wawancara dengan S salah satu joki yang membawa anak saat berjoki. Pada
tanggal 3 Oktober 2011 98 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak pada saat berjoki. Pada
tanggal 6 Oktober 2011
59
hal ini para informan tetap berperan sebagai orangtua pada umumnya yaitu
memberi makan dan memberikan anak-anak mereka rumah untuk berteduh kasih
sayang itulah yang terihat dari orangtua kepada anak, meski tertekan, terbatas dan
terjepit pola kehidupannya. Lebih dari itu, para joki ini juga tidak faham dengan
aturan hukum yang berlaku di Negara ini, bahwa bila dilihat dari Undang-undang
tentang perlindungan hak dan kewajiban terhadap anak serta pasal 88 yang
berbunyi: “Setiap orang yang mengeksploitasi anak dalam bentuk ekonomi
maupun seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri maupun
orang lain akan dipidana penjara paling lama sepuluh tahun atau sebesar
20.000.000,00”.
2. Aspek Permintaan
Selain Faktor penawaran, faktor permintaan juga berperan penting bagi
maraknya fenomena joki terutama joki yang membawa anak. Munculnya para joki
jalanan ini merupakan efek dari kebijakan pemerintah tentang jalan three in one,
dan itu menjadi celah bagi para kaum marginal untuk berduyun-duyun menjadi
joki dan para pemakai jasa joki untuk memanfaatkan para joki tersebut agar aman
dalam perjalanan. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi para pemakai jasa joki
ini untuk tetap memakai jasa joki (ilegal) untuk melewati jalur three in one.
Seperti yang dituturkan oleh E:
“ya mau gimana ga ada temen yang mau diajak, ya emang udah biasa sendiri-sendiri juga kalo berangkat ngantor, emang ga ada pilihan lain, kalo nanti saya ga angkut joki malah ditilang lebih repot”99
99 Hasil wawancara dengan E salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012
60
Dan diungkapkan juga oleh A:
“kalo saya lebih baik membayar jasa joki ketimbang harus membawa dua penumpang lain lagian ini kan emang lahan pekerjaan joki jadi mau tak mau kita mengangkut joki dan memberikan upah nah saya juga bisa tetap melenggang di jalur three in one, ya istilahnya sama-sama menyelamatkan saya menyelamatkan joki dari himpitan ekonomi dia menyelamtkan saya tuk melewati jalur three in one. Sama-sama menguntungkan kan”100
Selain itu mereka lebih memilih jasa joki yang membawa anak karena
lebih efisien.
Seperti pengakuan dari saudara E:
“kalo saya naikin joki yang dua orang dewasa budgetnya lebih besar karna harus bayar dua orang, tapi kalau saya naikin si ibu yang bawa anak ya bisa dibilang bayaran untuk satu orang tapi ditambahkan sedikit jadi bisa lebih efisien”101
Dari Hasil wawancara di atas ditemukan bahwa permintaan akan joki
terutama joki yang membawa anak cukup tinggi dimana pihak pengguna yakni
pengendara mobil memang membutuhkan mereka dan keikutsertaan anak juga
dipandang memberi keuntungan tersendiri bagi mereka terutama terkait efisiensi.
Sebagai kebutuhan pragmatis bagi para joki, melihat situasi yang sangat
potensial dan berpeluang untuk bisa menambah penghasilan dari profesi tersebut,
maka kecenderungan para joki dalam pengeksploitasian anak cukup terlihat jelas.
Hal ini tidak lepas dari faktor eksternal yaitu latar belakang kondisi sosial budaya
100 Hasil wawancara dengan A salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012 101 Hasil wawancara dengan E salah satu pemakai jasa joki. Pada tanggal 6 Januari 2012
61
masyarakat sekitar yang relatif belum berkembang dan maju, sehingga peran anak
sebagai salah salah satu sumber penghasilan keluarga bagaimanapun tidak akan
dapat diingkari dengan gampang begitu saja. Meski faktor ekonomi yang menjadi
pengaruh munculnya eksploitasi terhadap anak bagi profesi joki three in one,
namun pada variabel yang lain, atas dasar munculnya kebijakan Pemerintah
Daerah DKI Jakarta No.4104/2003 tentang penetapan kawasan pengendalian lalu
lintas yang mewajibkan semua kendaraan roda empat berpenumpang minimal tiga
orang di sejumlah jalan protokol untuk mengatasi kemacetan, terutama dijam-jam
sibuk. Hal ini pun akhirnya menghadirkan efek, yaitu menjadi lahan yang
potensial bagi joki dalam mencari penghasilan yakni sebagai bentuk permintaan
akan jasa joki. Sehingga, dengan adanya profesi joki tersebut, menjadi kebutuhan
bagi para pengendara dan permintaan yang tak bisa dielak dan ditampik. Karena
fenomena ini sama-sama saling menguntungkan antar kedua belah pihak baik itu
bagi pengguna jalan yang aman dalam perjalanannya juga bagi joki yang
mendapatkan hasil berupa uang. Seperti prinsip simbiosis mutualisme.
Walaupun kebijakan Pemerintah ini sudah berjalan lebih dari delapan
tahun tetapi realitanya yang terjadi di lapangan masih saja banyak dari para
pengguna kendaraan beroda empat untuk memanfaatkan jasa-jasa joki tersebut,
secara tidak langsung kebijakan tersebut terkesan tidak berlaku (dilanggar) yang
mengakibatkan kekhawatiran dampak sosial masyarakat terhadap kebijakan-
kebijakan Pemerintah Daerah.
Untuk memaksimalkan pendapatan, para joki mencoba berbagai peluang
dan kemungkinan sebagai alat untuk menambah penghasilannya, termasuk dengan
mengeksploitasi anak. Di sini terlihat ada motivasi yang memunculkan gerak
62
eksploitasi anak yaitu terkait persentase pendapatan yang diberikan oleh pembeli
jasa/pelanggan menjadi lebih menguntungkan dibandingkan menjoki sendiri
bahkan berdua dengan orang dewasa. Di sisi lain, membawa anak dalam berjoki
juga dapat memuaskan hati pelanggan karena mereka tidak terlalu mengeluarkan
biaya banyak bila dibandingkan dengan membawa orang dewasa lebih dari satu
orang. Seperti yang dijelaskan oleh I:
“kalo pelanggan yang sendiri dia palingan angkut joki yang bawa anak soalnya bayarannya bisa lebih kurang dibanding bawa dua orang joki”102
Hal senada juga diungkapkan oleh N:
“bawa anak selain kita bisa momong, untungnya juga ada, karna banyak juga yang naikin, ya bayaran untuk kita yang bawa anak beda sama bayaran joki-joki yang sendiri,lebih lumayan kita karna pelanggan kan juga ga mau rugi banyak kalo harus naikin joki dua orang ”103
Kreativitas para joki ini terlahir karena keadaan yang memaksa mereka
untuk memenuhi kebutuhan pragmatis yang menggebu-gebu untuk bisa bertahan
hidup dan aspek permintaan ini menjadi pola joki dan pelanggan yang sudah
terkendalikan atas dasar sama-sama suka dalam arti saling menguntungkan.
Dipihak joki, mereka bisa mendapat keuntungan lebih dengan membawa anak,
dan dipihak pelanggan tidak terlalu mengeluarkan biaya besar jika yang dibawa
orang dewasa yang membawa anak.
102 Hasil wawancara dengan I, salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011 103 Hasil wawancara dengan N, salah satu joki yang membawa anak, pada tanggal 6
Oktober 2011
63
B. Respon dan Kebijakan Pemerintah terhadap Maraknya Fenomena Joki
yang Membawa Anak-anak
Seperti diketahui sesuai dalam Peraturan Daerah (Perda) No.4104 Tahun
2003, tentang three in one. Perda ini dibuat bertujuan untuk meminimlisir
kemacetan dan mengurangi jumlah kendaraan di Jakarta, khusunya pada jam-jam
tertentu dan titik tertentu. Kendati demikian, peraturan ini masih saja diabaikan
oleh para pemakai jalan yang beroda empat dan akibatnya menjadi lahan subur
bagi para joki untuk mengais rezeki. Mirisnya lagi, kebijakan ini berdampak pada
anak-anak yang tereksploitasi dimana setiap harinya banyak joki yang membawa
anak yang masih sangat dini untuk ikut bekerja hanya karena alasan mencari
nafkah.
Terkait dengan fenomena itu, respon yang dilakukan pemerintah demi
menjaga stabilitas ketertiban dan keamanan jalan hanya berupa penertiban dengan
cara berkali-kali aparat Satpol PP diterjunkan untuk mengamankan para joki dan
ditempatkan di pelayanan masyarakat seperti tempat pengasuhan atau panti sosial.
Menjamurnya aktivitas joki di Ibu Kota Jakarta ini dipantau oleh Miftahul
Huda selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Jakarta
Selatan, ia menuturkan sebagai berikut:
“Ya di Jakarta ini diibaratkan sebagai magnet, jadi berbagai macam orang datang ke Jakarta sehingga cara mereka untuk tetap hidup ya dengan cara bekerja menjadi joki three in one tidak hanya joki three in one tapi pedagang kaki lima dan lainnya. Karena mereka kan mau cari duit tetapi mereka tidak bisa kerja ditempat formal atau di kantor karena tidak mempunyai skill,
64
pendidikan dan kemampuan sehingga mereka pun bekerja seadanya aja, seperti jadi joki”.104
Terkesan ada pemakluman yang diisyaratkan dari penuturan dari Kepala
Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi sosial terhadap fenomena yang terjadi dari efek
kebijakan Perda No. 4104 tahun 2003 tentang three in one tersebut yang
berdampak terjadinya lahan penghasilan bagi masyarakat untuk menjadi joki.
Diakuinya berbagai hal bisa melatarbelakangi munculnya para joki ini.
“Sebab sulitnya mencari lahan mata pencaharian, sekedar iseng-iseng, males sampai membantu ekonomi keluarga ”.105
Kebijakan pemerintah tentang three in one dirasakan menguntungkan bagi
masyarakat marginal, tetapi di sisi lain kebijakan ini memunculkan suatu
permasalahan baru, yaitu menjamurnya joki-joki yang mengikutsertakan anak-
anak yang usianya masih dini untuk ikut berjoki karena dengan membawa anak
pendapatan akan lebih banyak bila dibandingkan dengan yang hanya sendiri.
Tentunya hal ini membahayakan baik fisik dan perkembangan pertumbuhan anak.
Bentuk eksploitasi anak ini merugikan bagi si anak karena anak dalam posisi tidak
berdaya dan tak tahu apa-apa.
Seperti tanggapan yang dijelaskan oleh Miftahul Huda selaku Kepala
Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Jakarta Selatan:
104 Hasil wawancara dengan Bpk.Miftahul Huda Suku Dinas Sosial. Pada tanggal 20
Oktober 2011 105 Hasil wawancara dengan Bpk.Miftahul Huda Suku Dinas Sosial. Pada tanggal 20
Oktober 2011
65
“Kalo berjoki membawa anak ya itu sama saja dengan mengeksploitasi anak, jadi ya jelas melanggar hak-hak anak seperti yang ada pada UU kesejahteraan anak dan juga mereka melanggar perda peraturan ketertiban umum yang bisa membahayakan dia dan si anak”106
Sesuai dengan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tentang three in one,
dimana adanya joki ini pun telah diatur didalam Perda tersebut. Maka upaya
Pemerintah memfungsikan Satpol PP untuk melakukan penertiban dan
pengamanan agar dapat menjaring para joki tersebut karena ditengarai mereka
mengganggu ketertiban di jalan-jalan khususnya di jalur titik three in one.
Walaupun sudah dilakukan razia tetapi para joki ini masih berkeliaran memenuhi
bahu jalan saat jam-jam tertentu.
“Ya itu tadi mereka untuk mencari nafkah secara formal kan susah, dia ni mau cari gampangnya aja. Daripada di rumah gitu dia bengong-bengong momong anak nah kalo dibawa ke pinggir jalan cukuplah penghasilannya untuk anak sama dia (ibu yang membawa anak)”107
Hampir dari semua informan yang ada mereka pernah terjaring razia yang
dilakukan oleh Satpol PP dan kemudian dibawa ke Panti Sosial. Abdul khair
selaku Ka Bag Tata Usaha Panti Kedoya mengakui bahwa jumlah joki three in
one semakin bertambah setiap tahunnya mulai dari ibu-ibu yang membawa anak,
remaja, bahkan pria lanjut usia karena mendapat uang jasa satu kali perjalanan
saja bisa lima belas sampai dua puluh ribu, menurut info yang saya dapat dari para
106 Hasil wawancara dengan Bpk.Miftahul Huda Suku Dinas Sosial. Pada tanggal 20
Oktober 2011 107 Hasil wawancara dengan Miftahul Huda Suku Dinas Sosial. Pada tanggal 20 Oktober
2011
66
joki, kedudukan jumlah joki saat ini memasuki peringkat ke-5 dari 13 klasifikasi
PMKS108 yang ada.109
Dorongan kebutuhan ekonomi warga kurang mampu nampaknya lebih
kuat daripada kekhawatiran mereka akan sanksi bahkan resiko kecelakaan yang
sewaktu-waktu bisa mengancam diri mereka. Karena itu, Satuan Polisi Pamong
Praja terus melakukan operasi razia joki. Setelah terjaring, para joki kemudian
dibawa ke Panti Sosial di Kedoya, Jakarta Barat untuk diberikan pembinaan.
Kepala Bagian tata usaha Panti Sosial Kedoya Abdul Khair
mengungkapkan,
“Sejauh ini pembinaan kepada mereka baik itu joki perempuan, laki, ibu-ibu, bapak-bapak, ibu-ibu bawa anak sampe anak-anak yang masih pada sekolah itu diberikan motivasi agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mereka mengetahui kesalahan dan mereka juga harus mengetahui kenapa mereka terjaring razia, itu karena aturan-aturan dan kebijakan Pemda tentang ketertiban umum dan tertib sosial. Selain itu, di panti kita juga berikan bimbingan sosial, bimbingan mental, bimbingan spiritual, bimbingan psikologis, bimbingan fisik, SKJ, bimbingan kesenian, dan bimbingan hukum.110”
Sebagai panti sosial, wadah tersebut memang sudah semestinya berupaya
seperti itu dan merupakan program yang dijaga dan terus menerus dikembangkan.
Namun, dari ungkapan yang telah dijelaskan oleh Abdul Khair, nyatanya berbeda
seperti yang diungkapkan salah seorang informan, yaitu M, ia menuturkan:
108 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 109 Hasil wawancara dengan Abdul Khair Ka Subag Tata Usaha Panti Sosial. Pada tanggal
16 Januari 2012 110 Hasil wawancara dengan Abdul Khair Ka Subag Tata Usaha Panti Sosial. Pada tanggal
16 Januari 2012
67
“ga ada pemberdayaan selama saya disana, cuma makan tidur aja disana”111
Hal yang sama juga dirasakan oleh Y:
“Engga ada, disana cuma makan, nyapu, tidur nah nanti kalo udah diurusin baru boleh pulang”112
Juga dipertegas oleh I:
“Selama di panti cuma nunggu diurus sama keluarga biar cepat bebas, ya paling makan, tidur, bersih-bersih”113
Berlanjut dari apa yang bertolak belakang tadi, maka peneliti mencoba
mensinkronkan apa yang dituturkan oleh Bapak Abdul Khair, sebagai berikut:
“Pemberdayaan yang dilakukan di Panti Kedoya sifatnya hanya sementara karena panti sosial ini hanya menampung para joki, anak jalanan, lansia, dan lain sebagainya hanya 20 hari selebihnya mereka akan dirujuk kepanti-panti yang jumlahnya ada 27 panti yang Dinas Sosial punya sesuai dengan apa permasalahannya dan klasifikasi umur. Bimbingan skill atau keterampilan ada bagi mereka yang masih dalam usia produktif, yang nantinya sebagai bekal untuk dipanti-panti rujukan. Karena dipanti rehabilitasi yang diklasifikasikan sesuai usia nantinya para joki nantinya akan dibina psikis, moril, dan pribadinya serta mereka mempelajari banyak keterampilan sebagai bekal dan tidak kembali hidup di jalan, tetapi bisa menghasilkan uang dari usaha sendiri”.114
Merujuk hal tersebut, fase-fase yang dilalui para joki yang diberikan
pengasuhan cukup diberdayakan. Proses itu memang memakan waktu. Tetapi,
111 Hasil wawancara dengan M salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 4
Oktober 2011 112 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 4
Oktober 2011 113 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 3
Oktober 2011 114 Hasil wawancara dengan Abdul Khair Ka Subag Tata Usaha Panti Sosial. Pada tanggal
16 Januari 2012
68
dari keterangan para informan mereka tidak terlalu lama menghabiskan waktunya
di panti, karena keluarga mereka cepat mengurus segala prosedur penyelesaian
masa pemberdayaan di panti. Seperti yang diungkapkan oleh A:
“Saya cuma tiga hari aja, ga betah lama-lama karna sama anak kasian juga anak saya, ya untung suami saya cepet ngurusinnya”115
Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Ih:
“Saya di panti cuma lima harian”116
Penyelesaian masa pemberdayaan di panti pun harus sesuai dengan
prosedur yang berlaku, seperti yang di utarakan oleh Abdul Khair:
“Yang harus dilengkapi selain surat-surat yaitu yang mengurus harus yang mempunyai ikatan keluarga, harus minta surat keterangan domisili dari Rt, Rw lalu setelah itu dibawa ke kelurahan untuk memperoleh surat PM1 yaitu surat keterangan dari lurah itu menerangkan bahwa yang bersangkutan saat ini ada di panti sosial kedoya lalu PM1 di bawa ke Satpol PP untuk meminta surat rekomendasi penjaringan sesuai daerah dia terjaring, baru setelah itu dibawa ke panti kedoya lalu kita proses dengan dilengkapi KTP atau KK baik yang mengurus dan yang diurus”117
Secara prosedural hal ini memang menjaring para joki agar terdidik
dengan tatanan kewarganegarannya secara normatif dan formalistik. Tetapi, lagi-
lagi fakta yang didapat oleh peneliti di lapangan, tercatat dari para joki yang sudah
pernah terjaring razia dan masuk ke panti Kedoya, mengaku bahwa mereka juga
115 Hasil wawancara dengan A salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011 116 Hasil wawancara dengan Ih salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 3
Oktober 2011 117 Hasil wawancara dengan Abdul Khair Ka Subag Tata Usaha Panti Sosial. Pada tanggal
16 Januari 2012
69
dibebankan biaya untuk pengurusan pengeluaran mereka. Hal ini diungkapkan
oleh P:
“Pernah waktu joki baru seminggu belum ngerti apa-apa ya langsung ikut aja dibawa Kamtib terus dibawa ke Kedoya nanti kalo mau nebus harus pake surat dari Rt, Rw, Kelurahan. Abis itu bayar seratus lima puluh ribu buat ngamplopin”118
Hal senada juga dirasakan oleh I:
“kalo udah masuk panti hanya bisa keluar pake surat dari Rt, Rw, Kelurahan sama duit deh dua ratus sampe dua ratus lima puluh ribu rupiah”119
Hal ini juga ditegaskan oleh Supi:
“Urus surat dari Rt, Rw, Kelurahan sama ngamplopin seratus lima puluh ribu”120
Sangat miris, melihat data-data diatas mereka para joki yang mempunyai
kehidupan yang sudah kesulitan hidup dan mencari nafkah untuk keluarganya
yang jelas terbatas bahkan terjepit secara perekonomian malah mereka juga harus
dibebankan oleh biaya-biaya yang cukup besar untuk mengeluarkan keluarga
mereka, makin tertekan dan terhimpitlah kehidupan mereka. Namun, pembelaan
pun terjadi oleh pihak panti, yang dijelaskan oleh Abdul Khair selaku Ka Bag
Tata usaha Panti Kedoya:
118 Hasil wawancara dengan P salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 4
Oktober 2011 119 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011 120 Hasil wawancara dengan S salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 3
Oktober 2011
70
“Di panti ini tidak ada pungutan kecuali hanya untuk materai dua untuk proses berita acara pengeluaraanya, berita acara untuk tidak mengulangi lagi. Kalo untuk duit itu, itu karena mereka ingin mendapatkan surat-surat (RT, Rw, Kelurahan) itu dengan gampangnya aja, kebetulan ada orang yang mau bantu untuk pengurusannya di lapangan dan itu dimanfaatkan jasa-jasanya oleh para keluarga joki-joki tersebut, jadi bukan pungutan dari Panti ini. sepeser pun tidak dipungut biaya, asalkan semua surat-surat dilengkapi ”121
Paparan ini menegaskan memang di panti tidak terjadi hal semacam yang
dialami oleh para joki seperti yang diutarakan oleh Abdul Khair selaku Ka Bag
Tata Usaha Panti Sosial Kedoya tersebut. Namun, kesan yang didapatkan dari data
mengisyaratkan bahwa tidak adanya kontrol yang optimal dan maksimal dari
Dinas yang menangani perihal tersebut sampai tuntas penanggulangannya. Di sisi
lain, penangkapan dan pembinaan para joki yang dilakukan oleh pemerintah ini
juga tidak memberikan efek pendidikan yang memberikan bimbingan secara
positif kepada mereka yang memang terbiasa mendapatkan nafkah dari jalanan.
Karena dengan masih diberlakukanya aturan three in one, disitulah terdapat celah
dan kesempatan bagi mereka untuk tetap menjadi joki asalkan berhati-hati dan
tidak ketahuan, karena sejumlah masyarakat melihat adanya kebutuhan dari para
pengendara pribadi akan pertolongan dari para joki.
Seperti yang diungkapkan oleh para informan, mereka tidak kapok untuk
kembali menjoki walau sudah pernah terkena razia, karena dari berjokilah mereka
bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Seperti yang diungkapkan oleh S:
“Saya abis keluar dari panti besoknya juga udah nge-joki lagi, tapi harus lebih hati-hati lagi aja”122
121 Hasil wawancara dengan Abdul Khair Ka Subag Tata Usaha Panti Sosial. Pada tanggal 16 Januari 2012
122 Hasil wawancara dengan S salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 3 Oktober 2011
71
Hal senada juga diungkapkan oleh N:
“Ya iyya, mau ngapain lag,. kan dari sini sumber duitnya. Masalah Kamtib asal kita ati-ati aja tapi lebih aman kalo ngejokinya sore-sore aja dulu karna kalo sore kan kaga ada razia ”123
Hal yang sama juga dituturkan oleh I:
“Iya lah joki seperti biasa lagi aja kalo ga gitu gimana saya ngidupin terus sekolahin anak saya” 124
Dengan masih diberlakukannya aturan three in one, maka tak dapat
dipungkiri jumlah joki akan tertuntut jumlahnya, hingga persaingan pasar joki
semakin ketat dan berbagai cara pun bisa dilakukan, dan berimbas pada
bertahannya perlakuan eksploitasi terhadap anak yang bagi mereka makin
menguntungkan. Seperti penuturan Y:
“Ya sampe peraturan ni (three in one) masih ada saya bakal bawa anak saya, kasian juga kan kalo dirumah, mending ngejoki biar dapet uang ”125
Hal senada juga diungkapkan oleh A:
“Ga tau sampe kapan, sekuat saya aja selama saya sehat, anak saya juga sehat-sehat aja ya terus”126
Hal yang sama juga diungkap oleh I:
“Sampe kapan ya,kalo ngomongin sampe kapan ya ga akan pernah cukup, kalo anak udah gede kali baru bisa saya tinggal di rumah
123 Hasil wawancara dengan N salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011 124 Hasil wawancara dengan I salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011 125 Hasil wawancara dengan Y salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 4
Oktober 2011 126 Hasil wawancara dengan A salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 6
Oktober 2011
72
lagian kalo saya bilang ni selama three in one masih ada ya bakal terus ngejoki”127
Hadirnya joki three in one menandakan bahwa peraturan ini tidak efektif.
Seperti yang di ungkapkan oleh Miftahul Huda (Kasie Pelayanan dan Rehabilitasi
sosial):
“Memang tidak efektif jika kita lihat saat ini, karna disisi lain masih terdapat kemiskinan dan pengangguran pada masyarakat kita. Dan ini menjadi celah bagi mereka. Saya kira semua peraturan yang ada pasti ada dampaknya, pasti ada yang dikorbankan atau terkorbankan, dan pasti terdapat sisi positif maupun negatif,”128
Dari data temuan di atas terlihat, bahwa pemerintah daerah masih melihat
joki ini sebagai sumber masalah bagi ketertiban dan kenyamanan di jalanan. Oleh
karena itu respon mereka adalah melakukan penangkapan terhadap para joki.
Padahal, sekali lagi tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran para joki ini sendiri
merupakan efek samping dari kebijakan three in one pemerintah DKI yang tidak
terfikirkan sebelumnya. Oleh karena itu, daripada menangkap mereka dan
memasukan mereka ke panti, respon pemerintah harusnya lebih besar dari itu
yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi mereka,
memberikan keterampilan untuk berusaha dan membantu mereka dengan modal
usaha. Sehingga hal ini diharapkan mampu memutus mata rantai yang mampu
membawa mereka kembali ke jalanan menjadi joki. Respon pemerintah yang
memperlakukan joki sebagai sumber masalah dan menangkap mereka justru
127 Hasil wawancara dengan Ih salah satu joki yang membawa anak. Pada tanggal 3
Oktober 2011 128 Hasil wawancara dengan Miftahul Huda Suku Dinas Sosial. Pada tanggal 20 Oktober
2011
73
memberi peluang bagi masalah lain untuk muncul yakni bentuk eksploitasi aparat
terhadap para joki yang tertangkap untuk membayar sejumlah uang tertentu agar
mereka keluar dari panti. Kondisi ini juga sekali lagi tidak membuat joki jera akan
tetapi kembali ke jalanan dan mencoba mensiasati pekerjaan mereka sebagai joki
dengan lebih hati-hati lagi agar tidak tertangkap aparat.
74
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bedasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, penulis menemukan
beberapa hal yang dapat ditarik menjadi kesimpulan, diantaranya:
1. Faktor yang mempengaruhi orangtua untuk memperkerjakan anak mereka pada
profesi joki three in one, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar.
Pertama dari sisi penawaran antara lain didorong oleh kemiskinan ekonomi
yang dialami oleh keluarga dan faktor krisis ekonomi yang berkepanjangan
secara tidak langsung juga menjadikan penghasilan yang rendah bagi mereka
sedangkan mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk tetap bertahan
hidup. Selain dua hal diatas, faktor lainnya dari sisi penawaran adalah faktor
sosial, budaya dalam masyarakat. Pada hal ini, keputusan para orangtua untuk
ikut memperkerjakan anak mereka dalam profesi sebagai joki dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya yang ada di lingkungan masyarakat tempat mereka
tinggal. Hasil penelitian ini menemukan bahwa para joki yang membawa anak
karena faktor lingkungan mereka yang cenderung menganggap bahwa
membawa anak bukanlah bentuk eksploitasi dan bukan merupakan hal yang
tabu. Kedua, dilihat dari sisi permintaan yaitu faktor yang mempengaruhi di
luar individu yaitu pasar kerja atau lapangan usaha yaitu para pengguna jalan
yang akan melewati jalur three in one, disini menunjukkan adanya kebutuhan
pengendara demi amannya perjalanan melalui jalur three in one. Dengan kata
lain, kebijakan pemerintah terkait three in one telah membuka peluang bagi
pengguna jalan untuk memakai jasa para joki. Kebutuhan pengguna jalan ini
75
secara tidak langsung telah membuka peluang pekerjaan bagi para joki untuk
menawarkan jasa mereka. Selanjutnya, karena adanya kebutuhan dari para
pengguna jasa joki ini, persaingan pasar nilai jual bagi para joki dengan bentuk
eksploitasi anak pun melesat, dikarenakan bila dibandingkan dengan nilai
harga jual para joki untuk kalangan dewasa tarifnya relatif lebih murah.
2. Terkait dengan respon pemerintah terhadap maraknya joki, data temuan di atas
menunjukan bahwa pemerintah masih melihat joki sebagai sumber masalah
bagi ketertiban dan kenyamanan di jalanan. Oleh karena itu respon mereka
adalah melakukan penangkapan terhadap para joki. Padahal, sekali lagi tidak
bisa dipungkiri bahwa kehadiran para joki ini sendiri merupakan efek samping
dari kebijakan three in one yang dikeluarkan oleh pemerintah DKI. Usaha
penanganan joki oleh pemerintah daerah belum efektif karena akar
permasalahan yaitu penanganan terhadap faktor penawaran dan permintaan
yang berimplikasi terhadap munculnya eksploitasi terhadap anak belum
teratasi.
B. Saran
1. Bagi para orangtua, khususnya joki yang mengeksploitasi anak diharapkan bisa
menyadari betapa arti pentingnya kehidupan masa depan untuk seorang anak,
karena perkembangan manusia dari masa pertumbuhan sangatlah
mempengaruhi pada saat pendewasaan kepribadian individunya yang secara
langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat lebih luas lagi. Maka,
saran yang paling memungkinkan ialah berfikir ulang terhadap kepemilikan
anak dan kehidupan yang berlangsung dan yang kompleks ini, hingga tidak
76
memberikan celah yang menimbulkan masalah-masalah berikutnya seperti
berurusan dengan aparat atau hukum masyarakat pemerintahan setempat.
2. Bagi Pemerintah khususnya, baik daerah maupun pusat hendaknya pemerintah
mengkaji kembali setiap kebijakan yang akan dikeluarkan dan merevisi
kembali tentang kebijakan three in one serta pemerintah juga harus lebih giat
mensosialisasikan tentang hak-hak anak dan aturan hukumnya kepada
masyarakat agar masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak mengeksploitasi
anaknya.
3. Adanya usaha yang serius dari berbagai pihak seperti instansi pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat serta masyarakat dalam penghapusan eksploitasi
terhadap anak secara ekonomi.
4. Bagi penelitian selanjutnya, agar dapat menggali lebih jauh lagi mengenai
dampak eksploitasi terhadap perkembangan dan kesejahteraan anak, serta
menambahkan referensi-referensi lain yang tentunya dapat bermanfaat dalam
melakukan penelitian tentang eksploitasi anak.
77
DAFTAR PUSTAKA Buku Calvert, Susan dan Clalvert, Peter. Sociology Today. Harvester Wheat Sheaf, 2007. Hardius, Usman dan Nachrowi. Kondisi, Determinan, dan Eksploitasi: kajian
kuantitatif. Jakarta: Gramedia widiasarana Indonesia, 2004.
Irwanto. Kajian Literatur dan Penelitian Mengenai Pekerja Anak Sejak Pengembangan Rencana Kerja. IPEC 1993.
Johan, Maiyasyak. Perlindungan Hukum Pekerja Anak di Indonesia. Medan:Lembaga advokasi Anak Indonesia Medan, 1998.
J, Thamrin. Dehumanisasi Anak Marjinal. Bandung: Yayasan Akatiga, 1996. Kertonogoro. Penduduk, Angkatan Kerja, dan Kesempatan Kerja Trend Global
Menuju Abad 21. Jakarta:CV Intermedia, 2006.
K, Suharto. Eksploitasi terhadap Anak dan Wanita. Jakarta: CV.Intermedia, 2005. Leahy, Louis. Aliran-aliran Besar Ateisme Tinjauan Kritis. Yogyakarta: Gadjah
Mada, 1992. N D, Nachrowi. dkk. Masalah pekerja anak dalam perekonomian global. Jakarta:
Fak. Ekonomi UI, 1997.
Sahabat Remaja PKBI-DIY dan UNICEF. Konvensi Hak Anak, Yogyakarta:2007.
Septriasi, S Wisni. Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya. Cakrawala Pendidikan, 2002.
Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Tatang, Amirin. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Tuwu, Alimudin. Pengantar Metode Penelitian. UI Press, 1993. UNICEF. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1995. Usman, Hardius dan Djalal, Nachrowi. Pekerja Anak di Indonesia (Kondisi,
Determinan dan Eksploitasi). Jakarta:Grasindo, 2004. “……” dalam Encyclopedia of The Social Sciences, Vol 6. New York: Macmillan. Hal 16.
78
Skripsi dan Tesis Luddin,R Muchlis. “Eksploitasi Pekerja Anak di Perkebunan Teh.” Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Jakarta, 2002. Rahman, Astriani. “Eksploitasi orangtua Terhadap Anak dengan memperkerjakan
sebagai Buruh.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas GunaDarma Jakarta, 2005.
Siswoyo, Mukarto. “Eksploitasi Pekerja Anak dalam Industri Kecil”. Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Jakarta, 1998. Internet
Ahmad. “Anak jalanan dan masalah sosial.” Artikel ini diakses pada 20 Juli 2011 dari http://www.sosbud.kompasiana.com/anak-jalanan-dan-masalah-sosial.html.
Alang. “Perdagangan Anak periode 2007-2011.” Artikel ini diakses pada 25 Agustus 2011 dari http://www.sosialbudaya.tvonenews.tv/kasus_perdagangan _anak_selama_2007_2011
Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari http://www.anujagarwal.hubpages.com/hub/Cause-and-effects-of-Child-Labour.
Artikel ini diakses pada 27 Juli 2011 dari http://Pendidikanlayanankhusus.com/../pemenuhan-hak-pendidikan.html
Artikel ini diakses pada 28 Agustus dari http://www.Jakarta.usembassy.gov.news/2003-06-17-14.html
Arum, Wenti. “Eksploitasi Anak.” Artikel ini diakses pada 26 Juli 2011 dari http://fisip.uns.ac.id/wentiarum/2010/05/31/eksploitasi anak/.
Best, Ben. “Thougs of Exploitation Theory.” Artikel diakses pada 5 Agustus 2011 dari http://www.benbest.com/polecon/exploit/html
Drs, Dermartoto, Argyo,Msi. “Karakteristik Sosial Ekonomi dan Faktor-faktor Penyebab Anak Bekerja di Sektor Informal di Kota Surakarta.” Artikel diakses pada 1 Juli 2011 dari http://www.penelitian pekerja anak.org.html
ILO. “Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak” Artikel ini diakses pada 22 September 2011 dari www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/.../child_guide3_in.
ILO/IPEC-SIMPOC.2007 “Explaining the Demand and Supply of Child Labour:a Review of the Underlying Theories.” Artikel ini diakses pada 19 September 2011 dari http://www.ilo.org/ipecinfo.
Januar, Ardi, TB. “Mengenal Peraturan three in one di Jakarta.” Artikel diakses pada 10 Juni 2011 dari http://Newsokezone.com.Fenomena Joki Jalanan.
79
Pramrizky, Igfar2011.“Untuk Kebutuhan Rumah tangga anak pun dikorbankan”. Artikel ini diakses pada 01 Oktober 2011 dari http://www.Erabaru.net.Media Anak Indonesia.
Sinaga, Dr.H Obsatar M.si. “Fenomena Human Trafficking di Asia Tenggara.” Artikel ini diakses pada 16 Juli 2011 dari http://Pustaka.Unpad.ac.id/Pustaka_Unpad_Fenomena_Human _Trafficking
Sunandar, Haris. “Eksploitasi Anak.” Artikel diakses pada 26 September 2011 dari http://www.Suarapembaruan.com.News/2009/07/22/index.html
Supeno, Hadi. “Eksploitasi Anak Sudah Jadi Budaya.” Artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari http://www.kpai.go.id
V k, Karundeng. “Sosialisasi Penyadaran Isu Traficking.” Artikel diakses pada 15 Agustus 2011 dari http://www.Freelist.Org/Archives/msg 01078.Html.