obat kolinergik revisi
TRANSCRIPT
Obat kolinergik
Kolenergik atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi
asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan
istirahat dan tidur.
Efek kolinergik yang terpenting seperti :
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan
getah lambung (HCl) dan sekresi air mata.
2. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan
penurunan tekanan darah.
3. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi
dahak diperbesar.
4. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
5. Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin.
6. Dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka.
7. Menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya
(Tan Hoan Tjay & Rahardja, 2002)
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner
dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut
sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan Reseptor kolinergik
dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni :
A. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan
panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti
M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan
organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus
walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan
jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam
kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Mary J. Mycek, dkk, 2001).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang
disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor
M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan
berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya
akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan
inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini
selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim atau
menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada
otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan mempertinggi
konduktan K+, sehingga denyut dan kontraksi otot jantung akan menurun (Mary J. Mycek,
dkk, 2001).
Asetilkolin (ACh) bekerja tidak selektif dan merangsang ketiga tipe reseptor –M, serupa
dengan adrenalin dan NA dari sistem simpatis (SS), yang juga merangsang secara tak
selektif reseptor –alfa dan –beta adrenergis. Obat – obat yang mengaktifasi reseptor M1, M2,
atau M3 secara selektif hingga kini belum ditemukan.
1. Lokasi reseptor muskarinik
Reseptor musfkarinik ini dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor
otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksorin. Secara khusus, walaupun
kelima subtipe reseptor muskarinik terdafpat dafldam neuron, namun reseptor M1 ditemukan
pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot jantung dan otot polos,
dan reseptor M3 ditemukan dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. (Catatan; obat – oabt
yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi,
tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula).
2. Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin
Sejumlah mekfanisme molekular yang berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang
disebabkan setelah asetilkolin mengikat reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor
M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini mengalami perubahan konformfasi dan berinteraksi
dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi
hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2) mejadi diasilgliserol (DAG) dan inositol
(1,4,5)-trifosfat (IP3) yang akan menyebabkan peningkatan kadar Ca intrasel. Kation ini
selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim, atau
menyebabkan hiparpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada
otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan mempertinggi
konduktan K, sehingga denyut dan kontraksiotot jantung akan menurun.
3. Agonis dan antagonis muskarinik
Beberapa upaya dikerjakan untuk mengembangkan agonis dan antagonis yang ditujukan
terhadap subtipe reseptor spesifik. Sebagai contoh, pirenzepin, obat antikolinergik trisiklik,
secara selektif menghambat reseptor muskarinik M1, seperti yang terdapat pada mukosa
lambung. Dalam dosis terapi, obat ini tidak menimbulkan banyak efek samping seperti halnya
obat yang tidak spesifik terhadap subtipe M1. oleh karena itu, pirenzepin cocok untuk
mengobati tukak lambung dan duodenum.
Subtipe dan karakteristik kolinoseptor
Tipe reseptor Lokasi Mekanisme
M1
M2
M3
M4
M5
Nm
NN
Saraf
Jantung, saraf, otot polos
Kelenjar, otot polos, endometrium
SSP
SSP
Hubungan neuromusukular otot
skletal
Badan sel pascaganglionik, dendrit
IP3, aliran DAG
Penghambatan produksi
cAMP, aktivasi kanal K.
IP3, aliran DAG
Penghambatan produksi
cAMP.
IP3, aliran DAG
Depolarisasi kanal ion N, K
Depolarisasi kanal ion Na, K
B. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun
setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem
saraf pusat (SSP), medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat –
obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat dadflam jaringan
tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada
sambungan neuromuskular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat
oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambunan neuromuskular secara spesifik
dihambat oleh tubokurarin.
Reseptor nikotin terutama terdapat dipelat- pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan
di ganglia otonom (simpatis dan parasimpatis). Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika
(neostigmin dan piridostigmin) menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi
bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan,
penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi
otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskular.
Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls di ganglia simpatis dan
stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Disamping itu juga terjadi stimulasi
ganglia kolinergis (terutama di saluran lambung – usus dengan peningkatan peristaltik) dan
pelat – pelat ujung motoris otot lurik, dimana terdapat banyak reseptor nikotin.
Efek nikotin dari ACh juga terdjadi pada perokok, yang disebabkan oleh sejumlah kecil
nikotin yang diserap kedalam darah melalui mukosa mulut.
Selektifitas parsiil (sebagian) untuk reseptor –M dan –N terdapat pada kolinergika klasik,
seperti pilokarpin, karbachol, dan aseklidin (glauchofrin). Obat – obat ini pada dosis biasa
mengaktifasi beberapa tipe reseptor –M tanpa mempengaruhi reseptor nikotin. Sebaliknya,
kolinergika lain, seperti zat – zat antikolinesterase (neostigmin, piridostigmin), bekerja tidak
selektif.
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan
zat-zat dengan kerja tak langsung.
a. Bekerja langsung : karbachol, pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang).
Zat-zat ini bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip
efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium kwartener yang bersifat
hidrofil dan sukar memasuki SSP, kecuali arekolin.
b. Bekerja tak langsung : zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin,
piridostigmin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel, yakni hanya
untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh kolinesterase, ACh akan
segera dirombak lagi.
Agonis Kolinergik Langsung
a. Asetilkolin (ACh)
Asetilkolin adalah suatu senyawa amonium kuartener yang tidak mampu menembus
membran. Walaupun sebagai neurotransmiter saraf parasimpatis dan kolinergik, namun
dalam terapi zat ini kurang penting karena beragam kerjanya dan sangat cepat diinaktifkan
oleh asetilkolinesterase. Aktivitasnya berupa muskarinik dan nikotinik.
Mekanisme Kerja
Menurunkan denyut jantung dan curah jantung, Menurunkan tekanan darah, Pada saluran
cerna, asetilkolin dapat meningkatkan sekresi saliva, memacu sekresi dan gerakan usus.
Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap : (1)
kelenjar eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik ; (2) ganglion (simpatis dan
parasimpatis) dan otot rangka yang disebut efek nikotinik, pembagian efek ACh ini
didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin menghambat khusus efek
muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat efek nikotinik asetilkolin terhadap
ganglion. Bila digunakan dosis yang berlebihan maka atropin, nikotin dan kurare masing –
masing dapat juga menghambat semua efek muskarinik dan nikotinik ACh. Efek obat pada
dosis toksik ini tidak dianggap sebagai efek farmakologik lagi, karena sifat selektifnya hilang.
Kegunaan klinis :
Jarang digunakan secara klinis
Sediaan dan posologi :
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi
200 mg.
Dosis : 10 – 100 mg IV.
Kontra indikasi :
Ulkus peptikum, penyakit arteri koroner, hiperteroid (fibrilasi atrium), asma, obstruksi
kandung kemih mekanis.
Efek samping :
Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pektoris,
karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme
dapat mengalami fibrasi atrium. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik
dam nikotinik yang berlebihan.
Indikasi :
Meteorisme (gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna), atonia kandung kemih dan
retensi urin, feokromositoma (digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan
darah penderita sedang rendah).
b. Betanekol
Betanekol mempunyai struktur yang berkaitan dengan asetilkolin; asetatnya diganti
karbamat dan kolinnya dimetilasi. Oleh karena itu senyawa tidak dihidrolisis oleh asetilkolin
esterase, walaupun sebenarnya dapat dihidrolisis oleh esterase lainnya. Kerja nikotiniknya
kecil atau tidak sama sekali , tetapi kerja muskariniknya sangat kuat. Kerja utamanya adalah
terhadap otot polos kandung kemih dan saluran cerna. Masa kerjanya berlangsung 1 jam.
Mekanisme Kerja :
Betanekol memacu langsung reseptor muskarinik, sehingga tonus dan motilitas usus
meningkat, dan memacu pula otot detrusor kandung kemih sementara trigonum dan sfingter.
Indikasi :
Untuk pengobatan urologi, obat ini digunakan untuk memacu kandung kemih yang
mengalami alori (atonic bladder), terutama retensi urin pasca persalinan atau pasca bedah
non-obstruksi, atonia kandung kemih dan retensi urin.
Efek samping :
Betanekol dapat menimbulkan pacuan kolinergik umum. Termasuk dalam pacuan ini adalah
berkeringat, salivasi, kenerahan, penurunan tekanan darah, mual, nyeri abdomen, diare, dan
bronkospasme,
Kegunaan klinis :
Menginduksi pengosongan kandung kemih yang tidak terobstruksi. Meningkatkan motilitas
saluran cerna setelah pembedahan.
Sediaan dan posologi :
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5
mg/ml.
Dosis : Dosis oral adalah 10 – 30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 – 5,0 mg. Tidak boleh
diberikan IV atau IM.
c. Karbakol
Karbakol sebagai muskarinik maupun nikotinik. Seperti betaanekol, obat ini adalah suatu
ester asam karbamat dan merupakan substrat yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase.
Senyawa ini dibiotransformasi oleh esterase lain dengan lambat sekali. Pemberian tunggal
senyawa ini baru berakhir efeknya setelah 1 jam.
Mekanisme Kerja :
Karbakol berefek sangat kuat terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pencernaan karena
aktivitas pacu ganglion-nya dan mungkin tahap awalnya memacu dan kemudian mendepresi
sistem tersebut. Obat ini mampu melepas epinefrin dari medula adrenalis karena kerja
nikotiniknya. Penetesan lokal pada mata, dapat meniru efek asetilkolin yang menimbulkan
miosis.
Penggunaan terapi :
Karena potensi tinggi dan masa kerja yang relatif lama, maka obat ini jarang digunakan
untuk maksud terapi, terkecuali pada mata sebagai obat miotikum untuk menyebabkan
kontraksi pupil dan turunnya tekanan dalam bola mata.
Efek samping :
Jika diberikan dalam dosis untuk oftalmologi maka efek sampingnya kecil atau tidak ada
sama sekali.
Dosis : Pada glaukoma 3 dd 2 gtt dari larutan 1,5-3% (klorida), pada atonia usus/kandung
kemih akut oral 1-3 dd 4 mg.
Kegunaan klinis :
Perbaikan gejala penyakit Alzheimer, miotikum untuk glaukoma.
Sediaan dan posologi :
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup efektif
dengan dosis 3 kali 0,2 – 0,8 mg.
Dosis subkutan adalah 0,2 – 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh diberikan IV. Juga tersedia
sebagai obat tetes mata untuk miotikum.
Indikasi :
Digunakan sebagai miotikum pada glaukoma dan pada atonia organ dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Mycek, J, Mery, dkk, 2000. ”Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2”, Widya Medika : Jakarta.
Ganiswarna, 1998. ” Farmakologi dan Terapi ”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta
Tan Hoan Tjay, Kirana R, 2001, ”Obat-Obat Penting, Khasiat dan Penggunaan ”, DirJen POM
RI : Jakarta.
Olson, James, 2000. ” Belajar Mudah Farmakologi ”, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Tim Penyusun. ” Informasi Spesialite Obat Indonesia”. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta.