nusa13-petilasan

Download nusa13-petilasan

If you can't read please download the document

Upload: suantoko-genaharjo

Post on 13-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tuban

TRANSCRIPT

Menguak Sejarah Pangeran Wisanegara di Desa Pucangan MontongKeturunan Pajang, Ahli Baca Salawat

Masyarakat Tuban, termasuk masyarakat di Kecamatan Montong sendiri, tidak terlalu mengenal makam yang ada di Desa Pucangan, Montong ini. Padahal, makam tersebut diyakini sebagai makam salah satu waliyullah yang ada di bumi Tuban. Makam itu letaknya agak tersembunyi di atas bukit Desa Pucangan, tepatnya di Barat Laut SDN Pucangan. Baru 2008 lalu, makam yang dulunya tidak terawat dan tertutup semak belukar itu direnovasi. Mungkin, hal itulah yang menyebabkan makam tersebut belum begitu dikenal masayarakat luas.Masyarakat setempat mengenal makam tersebut dengan nama makam Mbah Ngeso. Kata Mbah diyakini masyarakat sebagai sebutan tertinggi dalam masyarakat setempat. Menurut warga Desa Pucangan, Hasyim warga sekitar menyakini kalau Mbah Ngeso adalah salah satu wali yang ada di Tuban. Memang, sebelumnya warga sempat ragu. Hal itu dikarenakan masih semak belukar dan pohonnya besar-besar. Masih sintru, belum ada yang merawat dan meziarahi. Bahkan karena terkesan wingit, penduduk setempat takut kalau ke sana. Masyarakat pun belum mengetahui kalau makam tersebut makam wali. Kemudian kami berusaha mencari kebenarannya berdasarkan manuskrip yang ada. Hal itu terjadi sekitar 1978-1979. Ternyata, setelah kami lacak manuskrip-manuskrip yang ada dan riyadhoh, memang benar makam yang ada di bukit Pucangan itu adalah makam wali keturunan Kasultanan Pajang. Bergelar Pangeran Wisanegara. Masyarakat setempat menyebutnya Mbah Ngeso, ungkap Hasyim.Wisanegara berarti Wisa atau upas kerajaan. Dapat diartikan bisa negara dalam artian Putra Sultan Pajang dijadikan panutan baik itu ucapan, ilmu, dan gerak perilakunya, ungkap Hasyim. Ada pula yang mengungkapkan bahwa Wisanegara memiliki arti selesailah. Wisa berasal dari kata uwisa berarti selesailah. Sedangkan negara adalah kerajaan yang mengalami peperangan. Jadi, wisanegara diartikan selesailah/sudahilah perang di kerajaan ini, tambah, warga yang lain, Suharijanto. Pernyataan Hasyim di atas, diperkuat oleh R.Soeparmo (Bupati Tuban ke- 44) dalam bukunya Tjatatan Sedjarah 700 Tahun Tuban yang menyebutkan bahwa di Desa Pucangan terdapat makam wali yaitu Pangeran Ngeso (Pangeran Wisanegara; nama kerajaan). Dia tidak lain adalah putra sultan Pajang.Memang di beberapa manuskrip seperti manuskrip Padangan, Jojogan, dan Gresik, menyebutkan bahwa Pangeran Sumayuda (Syekh Abdul Jabbar, Nglirip) merupakan keturunan Pajang dari Pangeran Benawa II. Atau cucu dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Beliau memiliki 8 saudara (dalam manuskrip-manuskrip tersebut tidak disebutkan namanya dengan jelas). Pangeran Ngeso adalah putra Kasultanan Pajang, tetapi belum jelas apakah beliau saudara Syekh Abdul Jabbar di Singgahan, dan Pangeran Purboyo di Rengel. Yang jelas antara ketiga tokoh wali di Kabupaten Tuban tersebut sama-sama dari Kerajaan Pajang.Ditarik dari nasabnya, memang sama-sama keturunan Pajang. Berarti kalau dikatakan saudara, ada benarnya juga. Entah itu saudara sepupu atau saudara kandung, tambah Suharijanto.Terlepas dari silsilah di atas, diceritakan bahwa Pangeran Ngeso tiba di Pucangan, karena mengalami kekalahan perang melawan Belanda. Pangeran Ngeso kalah perang awal abad ke-17 melawan Belanda. Kemudian melarikan diri ke Tuban. Bisa dikatakan bahwa Pucangan dipilih sebagai tempat bersembunyi yang strategis. Hal ini apabila ditinjau dari letak makam yang berada di atas bukit Pucangan, tandas Hasyim.Warga menyakini kalau Pangeran Wisanegara memiliki karomah seperti halnya wali-wali yang lain. Karomah tesebut berupa kesenian terbangan. Sejarahnya, musuh yang hendak menyerang Kasultanan Pajang kalang kabut hanya mendengar salawat yang dinyanyikan oleh Pangeran Wisanegara. Salawat tersebut biasanya diiringi oleh bunyi terbang dan jidor, ungkap Hasyim. Sekarang, supaya kesenian terbangan itu tidak terputus, maka Hasyim mendirikan jamaah salawat Sabilul Ridho di Pucangan. Hal itu dilakukan, mengingat Pangeran Wisanegara menjadi wali yang dihormati masyarakat Pucangan yang memiliki karomah semacam itu. (antok)

Dulu Perempuan Takut ke MakamSejalan dengan perkembangan waktu, telah banyak terjadi perubahan di makam Pangeran Ngeso (Wisanegara). Perubahan itu meliputi perubahan fisik dan persepsi masyarakat terhadap makam yang kemudian berimbas pada cara masyarakat sekarang menghormati keberadaan makam. Menurut penuturan Sriwati, putri dari Tamsiyah (mantan juru kunci makam yang kini telah meninggal), kondisi makam Pangeran Ngeso dulu sangat berbeda dengan kondisi yang sekarang ini. Sebelum 1980 makam Pangeran Ngeso dikitari dengan semak belukar dan pohon-pohon besar. Tidak ada tempat yang cukup luas untuk berdoa di sekitar makam, hanya rumahan kecil yang sudah lapuk dan mau roboh. Apalagi saat itu makam Pangeran Ngeso sudah terkenal sebagai tempat keramat untuk meminta-minta. Hal ini dipengaruhi kebiasaan animisme dan dinamisme yang masih dipercaya oleh masyarakat saat itu. Kondisi itu membuat makam nampak samun dan masyarakat takut akan keberadaan makam itu. Sehingga, masa-masa sebelum 1980 itu tidak ada wanita yang berani naik tangga untuk menuju makam. Bahkan menurut Sriwati sekitar 1950-an masyarakat Pucangan dan sekitarnya percaya kalau ada warga yang naik sepeda, kuda atau motor di jalan yang ada di depan makam, maka dia harus turun dulu dan menuntun kendaraan yang dibawanya itu. Jika tidak, si pengendara akan jatuh. Kepercayaan ini berlangsung lama, tapi secara berangsur-angsur berubah.Pada 1980 dia kemudian memberanikan diri membersihkan daerah sekitar makam dan mengajak tokoh agama dan masyarakat bermusyawarah di rumahnya untuk membahas bagaimana sebaiknya memperlakukan makam seorang waliyullah ini. Mulai saat itulah terjadi pergeseran anggapan masyarakat. Masyarakat mulai bertahlil dan membaca surat Yasin di makam itu. Sudah mulai tidak meminta-minta lagi di makam, kata Suharijanto.Namun, saat itu aura makam Pangeran Ngeso masih sangat mistis. Sudah ada masyarakat yang bertahlil di sana, tapi jumlah mereka masih sangat sedikit. Mereka masih takut mendatangi makam Pangeran Ngeso karena kondisi makam yang dikitari semak belukar dan pohon-pohon besar membuat mereka menangkap aura kemistikan luar biasa di sana. Hanya orang-orang tertentu yang biasa mendatangi makam.Kondisi itu membuat Suharijanto memutar otak untuk membuat makam menjadi ramai peziarah. Akhirnya pada 1990 dia mengajak masyarakat Pucangan untuk memulai mengadakan haul Pangeran Ngeso. Saat itulah masyarakat mulai ramai datang ke makam. Perempuan pun sudah berani naik tangga makam dan berdoa di sekitarnya. Setiap Jumat Legi bulan Suro masyarakat Pucangan berduyun-duyun datang ke makam untuk bertahlil, membaca yasin dan beristighosah. Tidak lupa, kiai-kiai dari berbagai daerah pun didatangkan ketika haul itu dilaksanakan, jelas Suharijanto. Kini, tiap tahun kondisinya semakin berubah. Masyarakat yang datang ke makam Pangeran Ngeso sudah tidak meminta kepada kuburan lagi, tapi sebagian dari mereka ada yang mendoakan dan ada pula yang berwasilah kepada ahli kubur. Masyarakat sekarang sudah sama pinter. Sudah agamis, tambah Suharijanto.Apalagi semenjak Hasyim bertempat tinggal di Pucangan, Suharijanto seperti mendapat teman untuk meluruskan tujuan masyarakat untuk datang ke makam dan makam pun akhirnya semakin ramai peziarah. Di samping itu, ketika Hasyim mendapat izin dari seseorang yang diyakininya sebagai ahli kubur untuk membangun makam itu, maka dia kemudian berkonsultasi kepada Suharijanto dan masyarakat untuk membangun cungkup makam itu. Hasilnya, semua masyarakat di segala lapisan tergerak secara suka rela turut membangun cungkup makam Raden Ngeso itu. Namun, pembangunan makam Pangeran Ngeso ini mengalami kemandekan karena dana yang masih kurang. Sudah ada usaha dari Suharijanto untuk mengajukan proposal-proposal ke dinas terkait di Kabupaten Tuban, tapi usahanya tanpa hasil sampai sekarang. Semoga ada perhatian dari pemerintah akan aset daerah untuk wisata religi ini, harap Suharijanto. (wakhid)