nonsteril_tugas_sediaan patch.docx
DESCRIPTION
pembahasan sediaan patchTRANSCRIPT
![Page 1: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/1.jpg)
TUGASFORMULASI SEDIAAN TEKNOLOGI NONSTERIL
FORMULATION AND EVALUATION OF TRANSDERMAL PATCHES OF ATENOLOL
OlehMade Amalia Pratiwi 1008505008Ida Bagus Putu Natha Kusuma 1008505037M. Ifan Iswandi 1008505042Ni Made Dwi Dianthy Maryadhi 1008505044Siti Khoiriyatussolehah 1008505062Tio Fridanna Siahaan 1008505088
JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA2013
BAB I
PENDAHULUAN1
![Page 2: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/2.jpg)
1.1 Latar Belakang
Sistem penghantaran obat transdermal atau transdermal drug dilevery system (TDDS)
merupakan cara pengantaran obat secara topikal dalam bentuk patch atau semisolid yang
dapat memberikan efek sistemik yang terkontrol. Penghantaran obat secara transdermal
meiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan metode penghantaran obat konvensional
seperti pemberian secara oral. Penghantaran transdermal memberikan pelepasan obat yang
terkontrol, menghindari metabolisme hepatik, menghindari pengaruh pencernaan,
kemudahan penghentian pemakaian, dan durasi penghantaran obat yang lama. Mekanisme
penghantaran obat secara transdermal adalah menghantarkan molekul obat melewati
lapisan stratum corneum dalam kulit dengan berdifusi melalui lapisan lipid kulit (Amjad,
2011).
Sediaan patch ada dua tipe yaitu patch tipe membran dan patch tipe matriks.
Efektifitas suatu sediaan farmasi ditentukan oleh jumlah obat yang terlepas dari pembawa
dan selanjutnya terpenetrasi. Jumlah obat yang terlepas dari sediaan patch tipe membran
ditentukan oleh reservoir dan polimer yang berfungsi sebagai membran pengontrol
pelepasan. Sedangkan sediaan tipe matriks ditentukan oleh komposisi matriks
pembentuknya (Hendradi, 2010).
Atenolol, merupakan obat antihipertensi yang bekerja dengan memblok reseptor beta-
adrenergic. Pemakaian obat secara oral memiliki waktu paruh eliminasi 6-7 jam setelah
pemakaian, bioavailabilitas ekitar 50% dikarenakan terjadi metabolism hepatik. Maka dari
itu, penghantaran obat ini secara transdermal menjadi cara alternatif untuk memberikan
efek sistemik secara terkontrol (Amjad, 2011).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana merancang formulasi sediaan transdermal patch atenolol?
2. Bagaimana cara pembuatan sediaan transdermal patch atenolol?
3. Bagaimana uji evaluasi sediaan transdermal patch atenolol dan analisis data dari hasil
yang diperoleh?
1.3 Tujuan
1. Untuk membuat formulasi sediaan transdermal patch atenolol.
2
![Page 3: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/3.jpg)
2. Untuk mengetahui cara pembuatan sediaan transdermal patch atenolol.
3. Untuk melakukan uji evaluasi sediaan transdermal patch atenolol dan analisis data dari
hasil yang diperoleh.
1.4 Manfaat
Dari makalah ini dapat diperoleh informasi mengenai formulasi sediaan transdermal
patch atenolol, cara pembuatan sediaan transdermal patch atenolol dan uji evaluasi sediaan
transdermal patch atenolol serta analisis data dari hasil yang diperoleh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
![Page 4: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/4.jpg)
2.1 Definisi Patch
Patch transdermal merupakan sediaan farmasi yang fleksibel dalam persiapannya
dari berbagai ukuran yang mengandung satu atau lebih zat aktif. Patch diterapkan pada
kulit agar dapat memberikan zat aktif ke sistemik setelah melewati penghalang kulit.
Patch transdermal biasanya terdiri dari lapisan luar yang mendukung persiapan yang
berisi substansi aktif (European Directorate for the Quality of Medicines, 2005).
2.2 Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian tubuh. Luas
kulit manusia sekitar 16% dari berat badan seseorang. Kulit memiliki fungsi melindungi
bagian tubuh dari berbagai macam gangguan maupun rangsangan dari luar. Fungsi
perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan
lapisan tanduk secara terus menerus (keratinasi dan pelepasan sel – sel kulit ari yang udah
mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum serta pembentukan pigmen
melanin untuk melindungi kulit dari sinar ultraviolet matahari (Djuanda dkk., 2007).
Kulit normal manusia berkisar antara 4,5-6,5 (Kusantati dkk, 2008). Fungsi kulit
secara umum adalah sebagai fungsi proteksi, fungsi absorbsi, fungsi ekskresi, fungsi
persepsi, fungsi pengaturan suhu tubuh, fungsi pembentukan pigmen, dan fungsi
keratinisasi (Djuanda dkk., 2001). Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu: kulit ari
(epidermis), sebagai lapisan yang paling luar, kulit jangat (dermis, korium atau kutis) dan
jaringan penyambung di bawah kulit (tela subkutanea, hypodermis atau subkutis) Sebagai
gambaran, penampang lintang dan visualisasi struktur lapisan kulit tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut :
Gambar 1. kulit
Para ahli histology membagi epidermis dari bagian terluar hingga kedalam menjadi 5
lapisan, yakni:
Lapisan tanduk (stratum corneum), sebagai lapisan yang paling atas4
![Page 5: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/5.jpg)
Lapisan jernih (stratum lucidum), disebut juga “lapisan barrier”
Lapisan berbutir-butir (stratum granulosum)
Lapisan malphigi (stratum spinosum) yang selnya seperti berduri
Lapisan Basal (stratum germinativum) yang hanya tersusun oleh satu lapis sel-sel
basal
(Tranggono dkk, 2007).
2.3 Penetrasi Kulit Oleh Obat
Mungkin obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topical
melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar lemak atau antara sel-sel
dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat yang dipakai mudah memesuki kulit yang
rusak atau pecah-pecah akan tetapi sesungguhnya penetrasi semecamitu bukan absorpsi
perkutan yang benar (Ansel,1989).
Apabila kulit utuh, maka cara utama untuk penetrasi obat umumnya melalui
lapisan epidermis, lebih baik dari pada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat,
karena luas permukaan yang terakhir ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit
yang tidak mengandung elemen anatomi ini. Selaput yang menutupi lapisan tanduk
umumnya tidak terus-menerus dan sebenarnya tidak mempunyai daya tahan terhadap
penetrasi. Karena susunan bermacam-macam selaput dengan prporsi lemak dan keringat
yang diproduksi dan derajat daya lepasnya melalui pencucian serta penguapan keringat,
selaput bukan penghalang sesungguhnya terhadap pemindahan obat elama tidak memiliki
komposisi, ketebalan atau kelanjutan yang tertentu (Ansel,1989).
Absorpsi perkutan suatu bat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi langsung
obat melalui stratum corneum 10-15µm, tebal lapisan datar mengeringkan sbagaian demi
sebagian jaringan mati yang membentuk permukaan kulit paling luar. Stratum corneum
terdiri dari kurang lebih 40% air dengan lemak berupa pertimbangannya terutama sebagai
trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Kandungan lemak dipekatkan
dalam fase ekstraseluler stratum corneum dan sebegitu jauh akan membentuk membrane
yang mengelilingi sel. Komponen lemak dipandang sebagai factor utama yang secara
langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum.
Sekali molekul obat melalui stratum corneum kemudian dapat terus melalui jaringan
epidermi yang lebih dalam dan masuk ke dermis apabila obat mencapai lapisan pembuluh
kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel,1989).
5
![Page 6: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/6.jpg)
Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membrane buatan
yang semipermeable, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Jadi,
jumlah obat yang menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat ,
kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang
mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air merupakan bahan yang baik untuk
difus melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit
(Ansel,1989).
Walupun kulit telah dibagi secara histology ke dalam stratum corneum, epidermis
yang hidup dan dermis secara bersama-sama dapat dianggp merupakan lapisan
penghalang. Penetrasi lapisan ini dapat terjadi dengan difusi melalui:
1. Penetrasi transeluler (menyebrangi sel);
2. Penetrasi interseluler (antarsel);
3. Penetrasi transappendageal ( melalui folikel rambut, keringat, kelenjar lemak dan
perlengkapan pilo sebaceous).
(Ansel,1989).
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Absorpsi Perkutan
Di antara faktor-faktor yang berperan dalam absorpsi perkutan dari obat adalah
sifat dari obat itu sendiri, sifat dari pembawa, kondisi dari kulit dan adanya uap air.
Walaupun sukar untuk diambil kesimpulan umum, yang dapat diberlakukan pada
kemungkinan yang dihasilkan oleh kombinasi obat, pembawa dan kondisi kulit, tetapi
konsensus temuan hasil penelitian mungkin dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Obat yang dicampurkan dalam pembawa tertentu harus bersatu pada permukaan kulit
dalam konsentrasi yang cukup.
2. Konsentrasi obat umumnya merupakan faktor yang penting, jumlah obat yang
diabsorpsi secara perkutan perunit luas permukaan setiap periode waktu, bertambah
sebanding dengan bertambahnya konsentrasi obat dalam suatu pembawa.
3. Semakin banyak obat diserap dengan cara absorpsi perkutan apabila bahan obat
dipakai pada permukaan yang lebih luas.
4. Bahan obat harus mempunyai suatu daya tarik fisiologi yang lebih besar pada kulit
daripada terhadap pembawa, supaya obat dapat meninggalkan pembawa menuju kulit.
5. Beberapa derajat kelarutan bahan obat baik dalam minyak dan air dipandang penting
untuk efektivitas absorpsi perkutan. Pentingnya kelarutan obat dalam air ditunjukkan
6
![Page 7: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/7.jpg)
oleh adanya konsentrasi pada daerah absorpsi dan koefisien partisi sangat
mempengaruhi jumlah yang dipindahkan melalui tempat absorpsi. Zat terlarut dengan
bobot molekul dibawah 800 sampai 100 dengan kelarutan yang sesuai dalam minyak
mineral dan air (> 1 mg/mL) dapat meresap ke dalam kulit.
6. Absorpsi obat nampaknya ditingkatkan dari pembawa yang dapat dengan mudah
menyebar di permukaan kulit, sesudah dicampur dengan cairan berlemak, dan
membawa obat untuk berhubungan dengan jaringan sel untuk absorpsi.
7. Pembawa yang meningkatkan jumlah uap air yang ditahan kulit umumnya cenderung
baik bagi absorpsi pelarut obat. Pembawa yang bersifat lemak bekerja sebagai
penghalang uap air sehingga keringat tidak dapat menembus kulit, dan tertahan pada
kulit sehingga umumnya menghasilkan hidrasi dari kulit di bwah pembawa.
8. Hidrasi dari kulit merupakan fakta yang paling penting dalam absorpsi perkutan.
Hidrasi stratum corneum tampaknya meningkatkan derajat lintasan dari semua obat
yang mempenetrasi kulit. Peningkatan absorpsi mungkin disebabkan melunaknya
jaringan dan akibat pengaruh “bunga karang” dengan penambahan ukuran pori-pori
yang memungkinkan arus bahan lebih besar, besar dan kecil dapat melaluinya.
9. Hidrasi kulit bukan saja dipengaruhi oleh jenis pembawa (misalnya bersifat lemak)
tetapi juga oleh ada tidaknya pembungkus dan sejenisnya ketika pemakaian obat. Pada
umumnya, pemakaian pembungkus yang tidak menutup seperti pembawa yang
bercampur dengan air, akan mempengaruhi efek pelembap dari kulit melalui
penghalang penguapan keringat dan oleh karena itu mempengaruhi absorpsi.
Pembungkus yang menutup lebih efektif dari pada anyaman jarang dari pembungkus
yang tidak menutup.
10. Pada umumnya, menggosokkan atau mengoleskan waktu pemakaian pada kulit akan
meningkatkan jumlah obat yang diabsorpsi dan semakin lama mengoleskan dengan
digosok-gosok, semakin banyak pula obat diabsorpsi.
11. Absorpsi perkutan nampaknya lebih besar apabila obat dipakai pada kulit dengan
lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. Jadi, tempat pemakaian mungkin
bersangkut-paut dengan derajat absorpsi, dengan absorpsi dari kulit yang ada
penebalannya, atau tempat yang tebal seperti telapak tangan dan kaki secara
komparatif lebih lambat.
7
![Page 8: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/8.jpg)
12. Pada umumnya, semakin lama waktu pemakaian obat menempel pada kulit, semakin
banyak kemungkinan absorpsi. Bagaimana pun juga perubahan dalam hidrasi kulit
sewaktu pemakaian atau penjenuhan kulit oleh obat, akan menghambat tambahan
absorpsi.
(Ansel,1989).
Ketentuan umum ini dalam hal absorpsi perkutan dipakai pada kulit yang sehat,
luka pada kulit atau dalam keadaan dimensi yang berbeda-beda maka akan terjadi
perbedaan dalam absorpsi obat. Jelas sekali kulit yang telah dipotong secara dirusak atau
pecah, akan memungkinkan obat dan bahan asing lainnya mendapat jalan langsung ke
jaringan subkutan (Ansel,1989).
2.5 Sistem Pemberian Obat Transdermal
Sistem pemberian obat transdermal cenderung untuk mendukung lalu-lintas bahan
obat dari permukaan kulit melalui bermacam-macam lapisan ke dalam sirkulasi sistemik.
Secara fisik sistem ini merupakan potongan kecil yang canggih, yang akan dijelaskan
kemudian pada bagian ini.
Ada dua tipe dasar pada sistem penyampaian obat secara transdermal; (1) yang
dapat mengatur laju obat untuk diberikan pada kulit, dan (2) yang dapat memungkinkan
kulit untuk mengatur absorpsi obat. Tipe kedua ini berguna untuk obat-obat yang daya
cakupan konsentrasi plasmanya luas terhadap efektivitas obat ini, tapi tidak menjadi
racun. Untuk obat-obat ini bentuk sediaan transdermal dapat dikembangkan ke dalam
berbagai ukuran dan konsentrasi obat, dengan cara penambahan dosis dan kadar obat
dalam darah melalui penambahan ukuran pemakaian transdermal sehingga tercapai efek
yang diinginkan. Bagaimanapun juga untuk kebanyakan obat-obat perlu diadakan
pengawasan lebih dekat terhadap jumlah obat yang disampaikan dan absorpsi perkutan.
Dalam hal tersebut sistem penyampaian obat telah dikembangkan ke tingkat yang dapat
mengatur jumlah obat yang disampaikan ke kulit untuk absorpsi berikutnya. Sistem
penyampaian obat transdermal yang efektif semacam ini akan menyampaikan sejumlah
obat yang seragam ke dalam kulit pada periode waktu tertentu. Jumlah obat yang
disampaikan dalam periode waktu tertentu ditetapkan lebih sedikit daripada yang dapat
diabsorpsi oleh kulit dengan tipe yang berbeda-beda, dan dengan demikian maka sistem
penyampaian obat yang mengatur masuknya jumlah obat ke dalam saluran dan bukan
pada kulit (Ansel,1989).
8
![Page 9: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/9.jpg)
Yang termasuk di antara rancangan utama dan tujuan utama pengaturan jumlah
dari sistem penyampaian obat secara transdermal adalah sebagai berikut :
1. Memberikan bahan obat pada laju yang terkendali ke dalam kulit utuh pasien untuk
diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik.
2. Sistem harus memiliki ciri-ciri fisika dan kimia yang tepat agar memungkinkan
bahan obat mudah terlepas dan membantu partisipasinya dari sistem pemberian ke
dalam stratum corneum.
3. Sistem harus menutup kulit untuk menjamin arus searah dari bahan obat.
4. Sistem transdermal harus mempunyai kelebihan terapeutik daripada bentuk sediaan
dan sistem pemberian lainnya.
5. Daya rekat sistem, pembawa dan zat aktif harus tidak mengiritasi kulit pasien.
6. Serpihan harus melekat pada kulit pasien dan ukuran serta penampilan maupun
penempatannya pada tubuh harus tidak menghalangi penggunaan obat.
7. Sistem harus tidak memungkinkan pengembangbiakan bakteri kulit di dalam keadaan
tertutup (Ansel,1989).
Di antara keuntungan sistem pemberian obat secara transdermal adalah sebagai berikut :
1. Menghindari kesulitan absorpsi obat melalui saluran cerna disebabkan oleh pH
saluran cerna, aktivitas enzim, interaksi obat dengan makanan, minuman atau
pemberian obat secara oral lainnya.
2. Menggantikan pemakaian obat melalui mulut bila tidak sesuai karena muntah
dan/atau diare.
3. Menghindari first-pass effect, yaitu penglepasan pertama suatu bahan obat melalui
sistemik dari sirkulasi portal, yang menyertai absorpsi pada saluran cerna (dengan
cara demikian mungkin menghindari obat nonaktif oleh saluran cerna dan enzim-
enzim dalam hati).
4. Menghindari risiko dan ketidaksesuaian terapi secara parenteral dan bermacam-
macam absorpsi serta metabolisme yang berhubungan dengan terapi secara oral.
5. Menyediakan kemampuan untuk terapi berhari-hari dengan pemakaian tunggal,
dengan demikian akan memperbaiki keadaan pasien pada pemakaian bentuk-bentuk
sediaan lainnya yang memerlukan penggunaan dosis yang lebih sering.
9
![Page 10: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/10.jpg)
6. Memperpanjang aktivitas obat yang mempunyai waktu paruh yang pendek melalui
penyimpanan obat yang ada pada sistem pemberian terapeutik dan sifat pengaturan
dan penglepasannya yang terkendali.
7. Menyediakan kemampuan menghentikan efek obat secara cepat (apabila diperlukan
secara klinik) dengan cara melepaskan pemakaian obat dari permukaan kulit.
8. Menyediakan kemudahan identifikasi secara tepat tentang pengobatan dalam keadaan
darurat (misalnya tidak menerima, tidak sadar, atau pasien dalam keadaan koma)
(Ansel,1989).
Di antara kekurangan sistem pemberian secara transdermal adalah sebagai berikut :
1. Cara pemberian melalui kulit tidak sesuai untuk obat-obat yang menimbulkan iritasi
atau peka pada kulit.
2. Hanya obat-obat yang relatif mempunyai potensi yang sesuai disampaikan melalui
kulit oleh karena sifat impermeabilitas kulit, sehingga obat yang dapat masuk
menembus pada kulit terbatas.
3. Kesukaran teknis sehubungan dengan pelekatan dari sistem pada kulit dengan tipe
yang berbeda-beda, dan di bawah kondisi lingkungan yang bermacam-macam serta
perkembangan gambaran penyampaian obat dengan laju terkendali yang
menguntungkan baik secara terapeutik maupun secara ekonomi untuk zat obat yang
lebih banyak
(Ansel,1989).
2.6. Patch
Patch transdermal merupakan sistem pembawa yang mengandung lapisan adesif dan
memberikan penghantaran senyawa obat pada sirkulasi sistemik dengan pelepasan terkontrol.
Lapisan adesif mampu memberikan kontak patch yang kuat pada lapisan kulit sehingga
memastikan penghantaran senyawa aktif dengan baik. Pada umumnya, patch transdermal
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama berdasarkan metode pembuatannya, yaitu: a)
Tipe membran (reservoir), b) Tipe matriks dan, c) tipe adesif. Pada formulasi awal, senyawa
aktif terdispersi di dalam bagian adesif (perekat) dan senyawa obat tersebut dilepaskan
dengan laju terkontrol melalui membran. Namun saat ini, senyawa obat didispersikan pada
matriks polimer, dimana matriks ini tidak mengandung bahan adesif, namun terdapat lapisan
adesif yang ditambahkan tersendiri.
1. Tipe Membran (reservoir)
10
![Page 11: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/11.jpg)
Pada sistem ini, senyawa aktif berada dalam suatu penampung sebagai cairan.
Molekul senyawa aktif akan ditempatkan dalam bagian penyimpan, seperti suspensi
dalam cairan viskos atau terlarut dalam pelarutnya. Tipe ini dilengkapi dengan
membran yang terbentuk dari polimer dengan struktur yang berbeda, dimana lapisan
membran ini akan memisahkan tempat penampung senyawa aktif dan lapisan adesif.
Lapisan membran dapat berpori atau tidak berpori dan menghasilkan laju pelepasan
senyawa aktif terkontrol oleh ketebalan dan lapisan adesifnya (Delgado & Guy, 2011;
Williams, 2003).
Gambar. Tipe reservoir dari sediaan patch transdermal
2. Tipe Matriks
Pada tipe matriks ini senyawa aktif akan terdispersi homogen dalam mariks
polimer yang dapat bersifat hidrofob atau lipofil. Lapisan terluar dari formulasi tipe
matriks dilindungi oleh lapisan penyangga (Backing layer). Sistem penghantaran ini
akan membuat sediaan patch tertahan pada kulit dengan garis polimer adesif.
Formulasi matriks dapat disiapkan dengan mendispersikan senyawa aktif pada
polimer adesif yang sensitif terhadapt adanya tekanan langsung dan terlindungi oleh
lapisan penyangga yang bersifat impermeabel. Formulasi tipe matriks akan
melepaskan senyawa aktif dari matriks semis-solid tidak dikontrol oleh lapisan
membran apapun, pelepasan pada sistem ini tergantung pada luas area permukaan
patch yang diaplikasikan pada kulit (Delgado & Guy, 2011; Williams, 2003).
Gambar. Tipe matriks dari sediaan patch transdermal
3. Tipe adesif11
![Page 12: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/12.jpg)
Pada tipe adesif, penampung senyawa aktif disiapkan dengan mendispersikan
senyawa aktif dalam polimer adesif yang disangga oleh lapisan penyanga
impermeabel. Dibawah lapisan penampung senyawa aktif terdapat membran adesif
yang mengontrol laju pelepasan senyawa aktif. Pada tipe sistem transdermal ini, laju
pelepasan senyawa aktif akan dikontrol oleh matriks tempet senyawa aktif terdispersi
dan membran adesif. Meskipun pada tipe ini hanya diformulasikan untuk satu lapisan
senyawa aktif saja, tipe ini juga dapat diformulasikan dalam banyak lapisan (Delgado
& Guy, 2011; Williams, 2003).
Formulasi sediaan patch transdermal harus dapat diterima untuk aplikasi pada kulit, stabil
secara fisika kimia, dan kombinasi formulasi yang sesuai untuk tujuan terapetik (Padula, et
al., 2007; Vasilev et al., 2001; Williams, 2003). Pada umumnya formulasi sediaan patch
transdermal terdiri dari:
1. Senyawa aktif
Senyawa aktif merupakan faktor penting bagaimanan sediaan transdermal
diformulasikan dengan pertimbangan karakteristik fisika kimianya. Senyawa aktif
harus memiliki bobot molekul yang rendah (<500 Dalton), nilai kelarutan Log P (1-
3,5). Dan juga senyawa aktif merupakan senyawa yang dapat menimbulkan efek
terapetik secara sistemik dengan dosis efektif terendah (<20 mg) (Guy 1996)
2. Matriks
Dalam formulasi tipe matriks sediaan trasndermal, senyawa aktif akan terdispersi atau
terlarut dalam matriksnya. Matriks berupa struktur polimer yang dapat mengontrol
laju pelepasan senyawa aktif. Contoh senyawa yang dapat berfungsi sebagai matriks
diantaranya bahan alami (Chitosan, Sodium aglinate); Sintesis (PVA, Polyvinyl
Pyrolidon); dan semisintetik (Derivat selulosa) (Lin et al., 1991; Nicoli et al., 2006).
3. Reservoir
Pada sediaan patch transdermal, senyawa aktif akan berada dalam tempat penampung
sebgai cairan dalam pelarut tertentu atau solid yang terdispersi (Delgado & Guy,
2011; Williams, 2003).
4. Membran Semipermeabel
Membran semipermeabel ditempatkan pada tempat penampung senyawa aktif (tipe
reservoir) dan tipe multi-layer adsesif. Ethylene-vinyl asetat, silikon, highdensity
12
![Page 13: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/13.jpg)
polyethylene, polyester elastomers banyak digunakan dalam sediaan transmembran
sebagai membran semipermeabel (Williams, 2003).
5. Lapisan penyangga (Backing Layer)
Bagian ini berfungsi untuk melindungi sediaan dari pengaruh lingkungan selama
oemakaian dan memastikan integritas sistem sediaan dalam masa penyimpanan.
Material impermeabel banyak digunakan untuk tujuan ini. Lapisan penyangga harus
memiliki sifat inert dan tidak berinteraksi dengan senyawa aktif atau bahan formulasi
lainnya (Williams, 2003).
6. Release Liner
Bagian ini merupakan pelindung formulasi sediaan dari pengaruh luar yang mana
harus dilepaskan ketika sediaan diaplikasikan pada kulit. Idealnya, bagian ini harus
dengan mudah dilepaskan dari alpisan adesif dang tidak menimbulkan kerusakan
struktur adesif (Williams, 2003).
7. Pelerut, penetration enganchers:
Beberapa pelarut dapat digunakan untuk medispersikan atau melarutkan polimer dan
perekat atau senyawa aktif yang digunakan dalam sediaan transdermal (Williams,
2003).
8. Plasticizers
Dalam sediaan patch transdermal, plasticizer digunakan untuk meningkatkan daya
lekuk polimer sehingga fleksibilitas sediaan akan meningkat pula (Williams, 2003).
2.7. Atenolol
a. Farmakokinetik
Sekitar 50% dari dosis oral atenolol diserap. Puncak konsentrasi plasma
dicapai dalam 2 sampai 4 jam. Atenolol memiliki kelarutan rendah dalam lemak.
Melintasi plasenta dan didistribusikan ke dalam ASI di mana konsentrasinya lebih
tinggi dibandingkan dalam plasma ibu. Hanya sejumlah kecil dilaporkan melewati
sawar darah-otak, dan ikatan plasma-protein jumlahnya kecil. Dalam plasma,
paruh waktunya sekitar 6 sampai 7 jam. Atenolol mengalami sedikit atau tidak ada
metabolisme di hati dan diekskresikan terutama di urin. Hal ini dihilangkan oleh
hemodialisis.
13
![Page 14: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/14.jpg)
b. Indikasi
Sebagai antihipertensi, antiangina pectoris, anticardiac aritmia dan
antimyocardial infarction.
c. Kontraindikasi
Tidak cocok untuk pasien bradikardia, hipotensi, asidosis metabolik,
gangguan sirkulasi perifer berat, "sick sinus syndrome", feokromositoma yang
tidak diobati, gagal jantung tidak terkontrol.
d. Dosis
Dalam patch, 10 mg sebagai antihipertensi (Amjad et al, 2011).
e. Efek Samping
Anggota gerak dingin, lelah, gangguan saluran pencernaan. Kadang-
kadang sakit kepala, perubahan suasana hati, pusing.
(Sweetman, 2002)
Tinjauan Sifat Fisiko-Kimia Bahan Obat
a) Organoleptis
Bentuk serbuk hablur, warna putih atau hampir putih dan tidak berbau (Rouge et al,
1998).
b) Struktur Kimia, Rumus molekul dan Berat Molekul
Rumus molekul C14H22N2O3 ; Bobot molekul 266,3 gr/mol
(Moffat et al, 2005).
c) Kelarutan
Agak larut dalam air dan isopropanol, larut dalam metanol, larut dalam asam asetat dan
dimetilsulfoksida, sangat sedikit larut dalam aseton dan dioksan, praktis tidak larut
dalam asetonitril, etilasetat, dan kloroform (Moffat et al, 2005).
d) Stabilitas
14
![Page 15: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/15.jpg)
Atenolol sendiri atau dalam kombinasi tetap harus dilindungi dari panas, cahaya, dan
kelembaban dan disimpan dalam wadah tahan cahaya tertutup baik pada 20-25 ° C (Mc
Evoy, 2005).
e) Titik Lebur
146-148˚C (Moffat et al, 2005).
f) Inkompatibilitas
Mannitol, lactose, starch, methylcellulose, β-cyclodextrin, meglumine, chitosan, polyvinylpyrrolidone and magnesium stearate (Wesolowski dan Rojek, 2013).
g) Penyimpanan
Suhu 20-25˚C (Mc Evoy, 2005)
2.8. Sifat Fisiko-Kimia Bahan Tambahan
2.7.1 HPMC( Hidroksi Propil Metil selulosa)
- Pemerian : Serbuk putih atau hampir putih, tidak berbau, dan tidak berasa.
- Kelarutan : Larut dalam air dingin, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol
(95%) dan eter; namun larut dalam campuran etanol dan diklorometano,
campuran metanol dan diklorometanam dan campuran air dan alkohol. Larut
dalam aseton encer, campuran diklorometana dan propan-2-ol, dan pelarut
organik lain.
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, sejuk dan kering (Depkes RI,
1995).
- Kegunaan : Sebagai agen stabilizer (Rowe et al, 2009).
2.7.2 Ethyl Cellulose
Fungsi : meningkatkan viskositas 3-20%(Rowe et al, 2009).
15
![Page 16: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/16.jpg)
2.7.3 Sorbitan Monooleate (Span 80)
- Pemerian : Berwarna krem sampai kecoklatan, rasa khas, berbau khas dan
berbentuk cairan kental (Rowe et al, 2009).
- Kelarutan : Larut atau terdispersi dalam minyak, pelarut organic dan tidak
larut dalam air, tetapi dapat terdispersi secara perlahan
(Rowe et al, 2009).
- Fungsi : pembasahan, pendispersi / pensuspensi (Rowe et al, 2009).
- Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
(Depkes RI, 1979).
- Stabilitas : Stabil jika dicampurkan dengan asam lemah dan basa lemah
(Rowe et al, 2009).
2.7.4 Propylene glycol
- Pemerian : Cairan kental; jernih; tidak berwarna; rasa khas; praktis tidak
berbau; menyerap air pada udara lembab (Depkes RI,1995).
- Kelarutan : Dapat bercampur dengan air,dengan aseton, dan dengan
kloroform; larut dalam eter dan dalam beberapa minyak esensial; tapi tidak
dapat bercampur dengan minyak lemak (Depkes RI,1995).
- Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
- Fungsi : Stabilizing agent 10-25 % (Rowe et al, 2009).
- Inkompatibilitas : Propilenglikol inkompatibilitas dengan reagen
pengoksidasi seperti potassium permanganat (Rowe et al, 2009).
- Stabilitas : Pada suhu dingin,propilenglkcol stabil dalam wadah
tertutup rapat, tapi pada suhu yang tinggi, dalam kondisi terbuka akan
cenderung mengalami oksidasi. Propilen glikol secara kimia stabil ketika
dicampur dengan ethanol (95%), glycerin, atau air;larutan dapat disterilisasi
dengan autoclav (Rowe et al, 2009).
2.8 Bentuk Sediaan dan Cara Pemakaian
Patch dan sediaan transdermal patch atenolol dipakai secara topikal.16
![Page 17: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/17.jpg)
2.9 Metode Pembuatan Patch
Jika ditinjau dari cara pembuatannya, sediaan patch dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
membrane controlled dan matrix controlled. Dari kedua macam cara pembuatan cara
tersebut, metode matrix controlled adalah metode yang paling banyak digunakan. Selain itu,
pembuatannya lebih sederhana, cepat dan biaya yang dibutuhkan relative lebih murah
(Ansel, 1989).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem penghantaran obat transdermal / Transdermal Drug Dilevery Sistem (TDDS)
merupakan cara penghantaran senyawa obat secara topikal melalui system sediaan patch atau
semisolid seperti gel dengan tujuan menghantarkan obat secara terkontrol untum menimbulkan
efek sistemik.
Sediaan patch yang dirancang dalam penelitian ini dirancan dalam beberapa formulasi
sebagai berikut:
Tabel 1. Formulasi sediaan patch atenolol
Bahan HF1
(1:2)
HF2
(1:3)
HF3
(1:4)
HF4
(1:4)
HE1 (1:
(2:8))
HE2 (1:
(1:9))
HE3 (1:
(2:8))
Zat aktif (Atenolol) 10 mg 10 mg 10 mg 10 mg 10 mg 10 mg 10 mg
HPMC
(Hydoxyl propyl
methyl cellulose)
20 mg 30 mg 40 mg 40 mg 20 mg 10 mg 20 mg
EC (Ethyl cellulose)- - - - 80 mg 90 mg 80 mg
Span 80 (%) - - - 1 % - - 1 %
Propylene glycol
(%)
3 % 3 % 3 % 3 % 3 % 3 % 3 %
17
![Page 18: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/18.jpg)
Senyawa aktif atenolol merupakan obat yang banyak digunakan dalam terapi hipertensi.
Atenolol memiliki waktu paruh 6-7 jam dengan bioavailabilitas sekitar 50% karena dipengaruhi
metabolisme hepatik. Dengn demikian obat atenolol dirancang dalam sediaan transdermal,
sehingga senyawa obat dapat dihantarkan langsung ke dalam system peredaran darah untuk
menimbulkan efek sistemik.
Metode pembuatan patch ini digunakan casting method atau metode penuangan dengan
matriks yang dituang ke cetakan kaca. Tiga formulasi disiapkan terpisah dengan menggunakan
HPMC yang mengandung zat aktif dan rasio polimer 1:2, 1:3, 1:4 dengan air destilasi sebagai
pelarutnya. Dan 1 formulasi lainnya menggunakan HPMC dengan tambahan penambah permeasi
(permeation enancher) Span 80 (1%) yang mengandung rasio zat aktif polimer 1:4.
Formulasi lainnya disiapkan dengan kombinasi bahan HPMC dan EC yang mengandung
zat aktif-polimer dengan rasio 1:(2:8); 1:(1:9) menggunakan pelarut methanol:kloroform (1:1),
dan formulasi terakhir disiapkan dengan bahan HPMC dan EC dengan tambahan permeation
enancher Span 80 (1%) dengan rasio zat aktif-polimer 1:(2:8). Propylene glycol digunakan
sebagai plasticizer.
Uji yang dilakukan untuk menilai kualitas fisika-kimia adalah sebagai berikut:
1. Uji ketebalan sediaan Patch
Ketebalan patch diukur dengan menggunakan Screw Gauge dalam satuan mm.
Keseragaman ketebalan sediaan patch mempengaruhi kemudahan dalam penggunaan patch.
Menurut Nurwaini (2009) dalam penelitian Mathiowitz menyatakan bahwa ukuran ketebalan
patch sebaiknya antara 0,5-1,0 mm, apabila lebih kecil akan menyulitkan dalam pemakaiannya.
2. Uji Kemampuan Mengembang
Uji kemampuan mengembang diukur secara manual untuk lapisan film yang sudah
disiapkan. Potongan film dipotong merata dan dilipat ditempat yang sama sampai lepas. Daya
kemampuan mengembang dapat dihitung dari jumlah waktu dimana film bisa dilipat pada tempat
yang sama tanpa lepas.
Kemampuan mengembang suatu patch merupakan salah satu syarat dari suatu sediaan
patch. Mengembangnya patch berkaitan dengan kemampuan matriks dalam melepaskan obat dan
keefektifan patch melekat pada mukosa (Nurwaini, et al, 2009).
18
![Page 19: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/19.jpg)
3. Uji Kelembaban yang terserap
Uji stabilitas fisik film juga dapat diperiksa dengan kondisi kelembaban. Keakuratan film
dapat menggunakan alat yaitu desikator dengan menggunakan larutan jenuh aluminium klorida
(79,5% RH) selama tiga hari. Setelah tiga hari, maka film tersebut ditimbang dan dihitung
persentase kelembabannya.
persentasekelembaban=bobotakhir−bobotawalbobotawal
x 100
Persentase kelembaban dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu massa molekul primer,
waktu kontak antara polimer dan mukosa, rata-rata indeks pengembangan polimer dan membran
biologi yang digunakan (Patel et alI., 2007).
4. Uji kehilangan kelembaban
Untuk memeriksa persentase tingkat kehilangan kelembaban dapat dihitung dengan
menyiapkan film yang ditempatkan dalam desikator yang telah berisi kalsium klorida anhidrat.
Uji ini dilakukan selama 72 jam. Setelah 72 jam, film ini ditimbang dan dihitung persentase
kehilangan kelembaban dengan cara:
persentasekehilangankelembaban=bobotakhir−bobotawalbobotawal
x100
5. Uji keseragaman kandungan obat
Keseragaman kandungan obat pada patch dapat dilakukan dengan dengan cara patch
dipotong-potong dan dimasukkan kedalam 100 mL media difusi. Uji ini harus diaduk dengan
menggunakan pengaduk mekanik dan data yang diambil yaitu pada tiga jam terakhir selama
pengujian. Kadar obat dapat ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri pada 275 nm.
6. Uji iritasi pada kulit
Uji iritasi pada kulit dilakukan pada kelinci sehat dengan berat antara 2 sampai 3 kg. Obat
pada Film polimer yaitu 3,14 sq cms ditempatkan pada permukaan dorsal kiri kelinci. Patch akan
dihapus setelah 24 jam dengan menggunakan alkohol swab. Eritema atau edema yang akan
diperiksa untuk menguji iritasi pada kulit.
Uji ini berguna untuk memeriksa apakah terjadi tanda-tanda yang menunjukkan rekasi
pada kulit yang dapat menyebabkan iritasi.19
![Page 20: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/20.jpg)
7. Uji difusi secara in-vitro
Difusi secara in-vitro dilakukan dengan menggunakan Difusi Sel Franz yang
menggunakan membran telur sebagai membran semi permeabel. Difusi sel Franz memiliki
kompartemen reseptor dengan volume sekitar 60 mL dan memiliki luas permukaan efektif
permeasi yaitu 3.14 sq.cms. Membran telur dipasang antara donor dan reseptor kompartemen.
Sejumlah sediaan patch ditimbang dan ditempatkan pada salah satu sisi membran. Media reseptor
fosfat penyangga memiliki pH 7,4. Kompartemen reseptor dikelilingi oleh alat untuk menjaga
suhu pada 37 ± 0,5°C. Panas didapatkan dari piring panas termostatik dengan menggunakan
magnet pengaduk. Reseptor cairan diaduk dengan menggunakan teflon yang telah dilapisi
magnetik yang ditempatkan di sel difusi. Selama masih berada dalam interval pengujian, maka
sampel diambil dan diganti dengan volume yang sama pada reseptor cairan segar di setiap waktu
yang ditentukan. Sampel dianalisis dengan menggunakan spektrofotometri pada 275 nm.
8. Uji Stabilitas
Uji stabilitas dilakukan dengan menggunakan dua suhu yaitu 37 ° C dan 45 ° C pada oven
yang berbeda. Uji ini dilakukan selama 4 minggu. Uji stabilitas berguna untuk mengetahui
kandungan obat yang diukur setiap akhir bulan dan dihitung rata-ratanya pada film sediaan patch
yang dihasilkan.
Hasil uji dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel . Hasil uji fisiko kimia sediaan patch
Tabel . Uji keseragaman kandungan obat
20
![Page 21: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/21.jpg)
Selanjutnya dilakukan uji pengaruh polimer matriks dan senyawa aktif dengan metode
FTIR dihasilkan spectra sebagai berikut:
Gambar. Spectra FTIR senyawa atenolol
Gambar. Spectra senyawa atenolol dalam polimer EC
21
![Page 22: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/22.jpg)
Gambar. Spectra FTIR senyawa atenolol dan polimer HPMC
Polimer yang mempengaruhi penghantaran transdermal. Polimer sangat luas digunakan
untuk pembuatan patch transdermal dengan bahan tambhan polietilen glikol PEG, matrik asam
akrilik,EC,polivinilpyrolidine (PVP), HPMC,Organogel, etil vinil asetat (EVA) polimer dan
diantara polimer , HPMC memiliki tingkat control polimer untuk sustained release dan juga
berfungsi sebagai agen stabilizing . karena itu umum digunakan dalam formulasi patch
Sifat fisika kimia ditentukan oleh ketebalan patch, ketahanan lipat, persentase kelembapan
absorpsi. Persentase kelembapan yang hilang, dan analiais kandungan obat yang ditemukan
dalam batas yang dapat diterima. Patch ditemukan stabil untuk menahan ketegangan
Uji terakhir yang dilakukan adalah uji difusi in vitro menunjukkan daya permeasi senyawa
obat melalui membrane semipermeabel dalam waktu 24 jam untuk formulasi HF1, HF2, HF3,
HF4, HE1, HE2, HE3 sebesar 44,75%, 55.45%, 64.34%, 81.06%, 65.21%, 50.04%, 85.26%
secara berurutan.
Tabel. Laju difusi senyawa obat pada membrane semipermeabel selama 24 jam
22
![Page 23: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/23.jpg)
Gambar. Laju difusi formulasi patch selama 24 jam
Berdasarkan uji laju difusi in-vitro pada membrane semi permeabel, didapatkan formulasi
HF 4 dan HE 3 memiliki laju penghantaran obat yang paling baik selama 24 jam, % komulatif
senyawa atenolol yang dihantarkan selama 24 jam berturut-turut adalah 82,06% dan 85,26%.
Sehingga kedua formulasi ini dilakukan uji simulasi farmakokinetik untuk melihat bagaimana
sediaan ini menghantarkan obat persatuan waktu (bioavailabilitas) mengikuti orde 0 dan orde 1.
Sehingga dengan adanya simulasi farmakokinetik ini didapatkan gambaran bagaimana sediaan
menghantarkan senyawa aktif di dalam sistem sitemik untuk menimbulkan efek.
Tabel. Korelasi profil farmakokinetik formulasi HF 4 dan HE 3
Formulasi % difusi/24
jam
Korelasi orde
0
Korelasi orde
1
Slope
HF 4 82,06 % 0,987 0,907 Y=0,649x+0,959
HE 3 85,26 % 0,896 0,616 Y=0,714x+0,954
23
![Page 24: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/24.jpg)
Gambar. Profil Farmakokinetik formulasi HF 4 orde 0
Gambar. Profil Farmakokinetik formulasi HF 4 orde 1
Gambar. Profil Farmakokinetik formulasi HE 3 orde 0
Gambar. Profil Farmakokinetik formulasi HE 3 orde 1
24
![Page 25: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/25.jpg)
Kedua formulasi menunjukkan difusi pelepasan senyawa obat dengan orde 0, sebagaimana
mengikuti mekanisme pelepasan obat pada umumnya.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
1. Formulasi sediaan patch terbaik yaitu formulasi HF 4 dan HE 3 memiliki laju
penghantaran obat yang paling baik selama 24 jam, % komulatif senyawa atenolol yang
dihantarkan selama 24 jam berturut-turut adalah 82,06% dan 85,26%.
2. Sediaan patch atenolol diformulasikan menjadi tipe adesif, dimana senyawa aktif
didispersikan pada matriks adesifnya.
3. Hasil pengujian laju difusi in vitro diketahui bahwa laju difusi obat mengikuti laju orde
0 atau mengikuti laju pelepasan obat pda umumnya
25
![Page 26: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/26.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Amjad, Mohd., dkk., 2011. Formulation and Evaluation of Transdermal Patches of Atenolol.
Advance Research in Pharmaceuticals and Biological. 2: 109-119
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. UI Press. Jakarta
Delgado-Charro, M.B. & Guy, R.H., 2001. Transdermal Drug Delivery, In: Drug Delivery and
Targeting for Pharmacists and Pharmaceutical Scientists. A.M. Hillery, A.W. Lloyd, J.
Swarbrick (Ed.), 189-214, Taylor&Francis, ISBN 0-4152-7198-3, London, UK
Depkes RI, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Djuanda, A., dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: FKUI. 26
![Page 27: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/27.jpg)
European Directorate for the Quality of Medicines. 2005. European Pharmacopoeia Fifth
Edition. France: Council of Europe.
Guy, R.H. (1996). Current Status and Future Prospects of Transdermal Drug Delivery.
Pharmaceutical Research, Vol.13, No.12, (Aug 1996), pp. 1765-1769 ISSN 0724-8741
Hendradi, Esti., Isnaeni, Efrin Pujianti dan Aditya Fridayanti.2010. Optimasi Efektivitas Sediaan Transdermal Patch Natrium Diklofenak. DIPA-RM STRATNAS.
Lin, S.Y.; Lee, C.J. & Lin, Y.Y. (1991). The Effect of Plasticizers on Compatibility, Mechanical
Properties and Adhesion Strength of Drug Free Eudragit E Films. Pharmaceutical
Research, Vol.8, No.9, (September 1991), pp. 1137-1143, ISSN 0724-8741
Mc Evoy, G. K. 2005. AHFS Drug Information. Bethesda : American Society of Health System
Pharmacist.
Moffat, C.A., M. D. Osselton, B. Widdop. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons.
Pharmaceutical Press Publications division of the Royal Pharmaceutical Society of Great
Britain: London
Nicoli, S.; Penna, E.; Padula, C.; Colombo, P. & Santi, P. (2006). New Bioadhesive Transdermal
Film Containing Oxybutynin: In Vitro Permeation Across Rabbit Ear Skin. International
Journal of Pharmaceutics, Vol.325, No.1-2, (November 2006), pp.2- 7, ISSN 0378-5173
Padula, C.; Nicoli, S.; Colombo, P. & Santi, P. (2010). Single Layer Transdermal Film
Containing Lidocaine: Modulation of Drug Release. European Journal of Pharmaceutics
and Biopharmaceutics, Vol.66, pp. 422-428, ISSN 0939-6411
Rouge, N., Cole, E.T., Doelker, E. dan Buri, P. 1998. Bouyancy and drug release patterns of
floating minitablets containing peretanide and Atenolol as model drugs. Pharm. Dev.
Technol. Vol 3, page 73.
Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third Edition.
London: Pharmaceutical Press
Vasil’ev, A.E.; Krasnyuk, I.I. & Tokhmakhchi V.N., 2001. Transdermal Therapeutic Systems for
Controlled Drug Release. Pharm. Chem. J., Vol. 35, pp. 613-626, ISSN 1573-9031
27
![Page 28: nonsteril_tugas_sediaan patch.docx](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022062810/55cf9b1c550346d033a4c4e5/html5/thumbnails/28.jpg)
Wesolowski, Marek dan Barbara Rojek. 2013. Thermogravimetric Detection Of Incompatibilities
Between Atenolol and Excipients Using Multivariate Techniques. J Therm Anal Calorim
Vol 113:169–177.
Williams, A., 2003. Transdermal and Topical Drug Delivery: From Theory to Clinical Practice.
Pharmaceutical Press, 169-194, ISBN 0-85369-489-3, London, UK.
28