nim i211100-22,23 dan 25

Upload: wirnamaya

Post on 02-Mar-2016

197 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANGSaat ini penyakit infeksi masih sangat dominan menyerang negara- negara berkembang. Hal ini dipicu baik oleh tingkah laku masyarakat itu sendiri yang kurang tanggap baik pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Berbagai penyebab panyakit infeksi sebagian besar telah ditemukan, baik oleh bakteri, jamur, virus, dll. Salah satu dari spesies bakteripenyebab infeksi adalah S. AureusPemberian antibakteri merupakan salah satu pilihan dalam menangani penyakit infeksi. Namun penggunaan antibakteri yang tidak terkontrol dapat mendorong terjadinya perkembangan resistensi terhadap antibakteri yang diberikan (Wardani, 2008). Adanya resistensi ini dapat menimbulkan banyak masalah dalam pengobatan penyakit infeksi, sehingga diperlukan usaha untuk mengembangkan obat tradisional berbahan herbal yang dapat membunuh bakteri untuk menghindari terjadinya resistensi tersebut. Salah satu tanaman yang secara empiris digunakan sebagai bahan obat yaitu Aloe barbadensis Miller atau lebih dikenal sebagai lidah buaya.Pontianak yang merupakan salah satu kota yang melakukan pembudidayaan tanaman lidah buaya. Saat ini tanaman lidah buaya hanya dimanfaatkan untuk bahan pembuatan makanan dan minuman. Tetapi menurut penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli, tanaman lidah buaya sangat bermanfaat untuk kesehatan seperti sebagai antibakteri.Nanoteknologi menjadi salah satu bidang ilmu Fisika, Kimia, Biologi, dan Rekayasa yang penting dan menarik beberapa tahun terakhir ini. Jepang dan Amerika Serikat merupakan dua negara terdepan dalam riset nanoteknologi (Poole & Owens 2003). Berdasarkan data tahun 2004, pemerintah Jepang mengeluarkan dana riset sebesar 875 juta dolar (Kallender 2004) sedangkan Amerika Serikat sebesar 1,3 milyar dolar pada tahun 2006 (USGAO 2008). Penelitian nanobiosistem dan biomedis bahkan telah menjadi prioritas di beberapa negara maju termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, dan Cina (Malsch 2005).Nanopartikel adalah dispersi butiran atau partikel padat dengan kisaran ukuran 10-1000 nm. Penggunaan nanopartikel sebagai pembawa obat dan sistem pengantar obat telah berkembang beberapa tahun terakhir. Nanopartikel telah dipergunakan sebagai salah satu pendekatan fisika untuk mengubah dan meningkatkan farmakokinetik dan farmakodinamik dari berbagai jenis molekul obat Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan ekstrak mudah larut dan memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi di usus. Nanopartikel dapat berpenetrasi di antara pembuluh kapiler dan sel di dalam tubuh sehingga obat dapat lebih tepat sasaran. Dalam pembuatan nanopartikel, kitosan merupakan salah satu penyalut yang sering digunakan (Poulain & Nakache 1998).Kitosan merupakan suatu polimer kationik yang memiliki gugus amina bebas, dimana pada kondisi asam akan bermuatan positif dan dapat membentuk kompleks polyelectrolyte dengan senyawa yang memiliki densitas muatan negatif (Muzzarelli, 1996). Kitosan adalah polisakarida alami yang memiliki sifat nontoksik, biokompatibel, dan biodegradabel. Dalam hal penghantaran obat, kitosan mampu meningkatkan kuantitas transport melalui jalur paraseluler (Bhardwaj dan Kumar, 2006). Penelitian ini bertujuan memperoleh nanopartikel ekstrak etanol lidah buaya dengan menggunakan kitosan sebagai pengenkapsulasi. Selain itu ditentukan pula karakterisasi morfologi, distribusi ukuran partikel, stabilitas nanopartikel, serta efisiensi enkapsulasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inovasi teknologi pembuatan nanopartikel ekstrak lidah buaya dengan penyalut kitosan untuk pengobatan. Selain itu, penggunaan kitosan dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai guna kitosan dalam bidang kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Apakah ekstrak kulit lidah buaya dapat dibuat nanopartikel dengan kitosan sebagai pengenkapsulasi? Bagaimanakah karakteristik nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya ? Apakah sediaan nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ? Bagaimanakah aktivitas antibakteri nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya dibandingkan dengan ekstrak kulit lidah buaya ?

1.3 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk : Membuat ekstrak kulit lidah buaya dalam bentuk nanopartikel dengan menggunakan kitosan sebagai pengenkapsulasi. Melihat dan mengetahui karakterisasi dari sediaan nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya. Melihat dan mengetahui aktivitas antibakteri sediaan nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya terhadap bakteri S. Aureus. Membandingkan dan melihat perbedaan aktivitas antibakteri sedian nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya dengan aktivitas ekstrak kulit lidah buaya.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : Diharapkan sediaan nanopartikel ekstrak kulit lidah buaya dapat dikembangkan sebagai obat fitofarmaka yang bersifat lebih baik. Diharapkan aktivitas antibakteri dari sediaan nanopartikel lebih baik dibanding dengan sediaan dalam bentuk ekstrak kulit lidah buaya karena ukuran sediaan nanopartikel yang lebih kecil sehingga langsung mencapai sel target.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lidah BuayaTanaman lidah buaya diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-17. Tanaman lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 1. Saat ini lidah buaya terdapat di seluruh pelosok Indonesia dan umumnya ditanam terbatas sebagai tanaman hias di dalam pot dan halaman rumah. Di samping itu, tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan dan kosmetik, karena bahan lendir atau gel yang terdapat dalam daunnya mengandung barbaloin dan iso barbaloin (Furnawanthi, 2007).Menurut Furnawanthi (2007), Aloe barbadensis Miller mempunyai sinonim binomial dengan Aloe barbadensis dan Aloe vulgaris. Taksonomi Aloe barbadensis Miller sebagai berikut:Dunia: PlantaeDivisi: SpermatophytaKelas: MonocotyledoneBangsa : LilifloraeSuku : LiliaceaMarga: AloeSpecies : Aloe vera Linn.Tanaman lidah buaya dapat tumbuh di daerah panas dan berhawa kering, seperti Afrika, serta di daerah beriklim dingin. Suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar 16-330C, curah hujan 1.000-3.000 mm/tahun dan musim kering agak panjang. Ketinggian tempat tumbuh yang baik sekitar 0- 1.500 meter di atas permukaan laut pada jenis tanah latosol, podsolik, andosol, atau regosol dengan drainse yang cukup baik. Keasaman (pH) tanah yang diinginkan adalah 5,5-6. Tanah yang terlalu asam bisa mengakibatkan lidah buaya keracunan logam berat, sehingga ujung daunnya terbakar, pertumbuhan terhambat, dan jumlah anaknya berkurang. Pada umumnya tanaman lidah buaya berbatang pendek, batangnya dikelilingi pelepah tebal berbentuk roset dengan ujung-ujung runcing mengarah ke atas. Permukaan daun lidah buaya dilapisi lilin dengan duri lemas dipinggirnya. Panjang pelepah dapat mencapai 50-80 cm dengan berat 0,5-1 kg, dan pelepah melingkar (Wahjono dan Koesnandar, 2002).Lidah buaya mengandung cairan bening seperti jeli dan cairan berwarna kekuningan yang mengandung aloin.Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam tanaman ini adalah barbaloin, isobarbaloin, aloe-imodin, aloenin dan aloesin yang mengandung antibiotik. Efek farmakologis lidah buaya diantaranya adalah obat luka bakar, pencahar (laxative), parasiticide dan memperbaiki pankreas. Tanaman ini dapat dijadikan sebagai obat sakit kepala, pusing, sembelit (constipation), kejang pada anak, kurang gizi (malnutrition), batuk rejan (pertussis), muntah darah, kencing manis, wasir, dan meluruhkan haid. Tak kalah pentingnya, lidah buaya dapat dijadikan sebagai obat alamiah untuk penderita HIV/AIDS karena kandungan polisakarida dan acelated mannose (Jatnika, 2009).Beberapa zat kandungan yang terdapat dalam tanaman lidah buaya adalah Wijayakusuma (2007) :1) Antakuinon dan Kuinon memiliki efek menghilangkan rasa sakit (analgetik dan menghilangkan pusing)2) Lignin atau Selulosa dalam gel lidah buaya mampu menembus dan meresap ke dalam kulit, menahan hilangnya cairan tubuh dari permukaan 3) Acetylated Mannose merupakan imunostimulan yang kuat, yang berfungsi meningkatkan fungsi fagositik dari sel makrofag, respon sel T terhadap phatogen serta produksi interferon dan zat kimia yang meningkatkan sistem imun untuk menstimulasi atau merangsang antibodi4) Gel atau Lendir lidah buaya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan luka, luka bakar, eksim, memberikan lapisan pelindung pada bagian yang rusak dan mempercepat tingkat penyembuhan. Reaksi tersebut dikarenakan adanya Aloectin B yang menstimulasi sistem immun5) Aloin, Aloe-Emodin menyebabkan usus besar berkontraksi (mengkerut) sehingga bersifat sebagai pencahar yang kuat (laxative)Daun lidah buaya digunakan sebagai dasar kosmetika karena mengandung Zn, K, Fe, Vitamin A, asam folat dan kholin. Gel/lendir lidah buaya mengandung vitamin B1, B2, B6, B12, C, E, inositol dan asam folat. Kandungan mineral lidah buaya antara lain adalah kalsium, fosfor, besi, sodium, magnesium, mangan, tembaga, chromium dan zinc, sedangkan enzim yang terkandung adalah amylase, catalase, cellulose, carboxypeptidase, carboxyhelolase, phosphatase, lipase, catalase, creatine phoshokinase, nucelotidase, alkaline, proteolytase, dan lain-lain. Apabila produk olahan dari tanaman ini digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama akan berakibat efek samping, misalnya: urine berwarna merah muda (pink) atau merah, dan kerusakan pada ginjal atau diare yang akut, atau jantung berdebar karena kurangnya kadar potasium dalam darah (Jatnika, 2009).Lidah buaya juga dijuluki sebagai tanaman obat atau tanaman penyembuh utama. Manfaat dari lidah buaya diantaranya sebagai (Jatnika, 2009):1) Sumber Zat GiziLidah buaya mempunyai kandungan zat gizi yang diperlukan tubuh dengan cukup lengkap, yaitu vitamin A, B1, B2, B3, B12, C, E, choline, inositol dan asam folat. Kandungan mineralnya antara lain terdiri dari: kalsium (Ca), magnesium (Mg), potasium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc (Zn), dan kromium (Cr). Beberapa unsur vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami, seperti vitamin C, vitamin E, vitamin A, magnesium, dan zinc. Antioksidan ini berguna untuk mencegah penuaan dini, serangan jantung, dan berbagai penyakit degeneratif.2) Zat Antioksidan Alami Enzim-enzim yang terkandung dalam lidah buaya berfungsi sebagai antioksidan yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.3) Penyembuh Penyakit KulitLidah buaya juga berfungsi sebagai antibakteri, antijamur, meningkatkan aliran darah ke daerah yang terluka, dan menstimulasi fibroblast, yaitu selsel kulit untuk penyembuhan luka. Lidah buaya juga mampu untuk mempercepat penyembuhan jerawat dan psoriasis yaitu sejenis penyakit kulit, dan mencegah kerusakan kulit akibat sinar x.4) Obat, Makanan, MinumanPemanfaatan lidah buaya semakin lama semakin berkembang. Mula-mula lidah buaya hanya dikenal sebagai obat luar dengan berbagai kegunaan di antaranya sebagai penyubur rambut, penyembuh luka (luka bakar/tersiram air panas), obat bisul, jerawat/noda hitam, pelembab alami, antiperadangan, antipenuaan, serta tabir surya alami. Kegunaan lidah buaya sebagai makanan/minuman antara lain berkhasiat untuk: cacingan, susah kencing,susah buang air besar (sembelit), batuk, radang tenggorokan, hepatoprotektor (pelindung hati), imunomodulator (pembangkit sistem kekebalan), diabetes melitus, penurun kolesterol, dan penyakit jantung koroner. Mengingat demikian besar manfaat lidah buaya bagi kesehatan, tidak ada salahnya memasukkan produk olahannya ke dalam pola makan sehari-hari. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Ariyanti,2012) ekstrak kulit daun lidah buaya (Aloe barbadensis Miller) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923. Ekstrak kulit daun lidah buaya mempunyai kandungan zat aktif yang sudah teridentifikasi seperti Saponin. Saponin yang diisolasi dari Aloe barbadensis Miller memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan S.aureus.

2.2 NANOPARTIKELNanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel dalam rentang ukuran 1 - 1000 nm. Penelitian nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis, dan biomedis. Terdapat lima klasifikasikan nanopartikel berdasarkan jenis materi partikel yaitu kuantum dot, nanokristal, lipopartikel, nanopartikel magnetik, dan nanopartikel polimer. Kuantum dot merupakan kristal berukuran nano dari suatu bahan semikonduktor yang bersinar atau berfluoresens apabila dikenai dengan cahaya seperti laser. Kuantum dot memiliki sifat tidak stabil dan sulit larut sehingga penggunaan kuantum dot harus ditanamkan dalam bahan penjerap karet. Beberapa kristal yang sering digunakan sebagai kuantum dot adalah kadmium selenida (CdSe) dan seng selenida (ZnSe). Pembuatan nanopartikel kuantum dot menggunakan gas mikroemulsi pada suhu kamar. Teknik ini memanfaatkan fase terdispersi dari berbagai mikroemulsi untuk beberapa nanoreaktor yang identik. Kuantum dot banyak digunakan sebagai penanda dalam pelacakan protein pada sel hidup, biosensor, ekspresi gen, pengambilan gambar sel hidup secara in vitro, dan melacak keberadaan sel kanker dengan bantuan Magnetic Resonance Imaging (MRI) secara in vivo.Partikel yang termasuk dalam kuantum dot selain CsSe dan ZnSe adalah nanopartikel emas dan nanopartikel silika (SiO2). Nanopartikel emas digunakan untuk mengetahui keberadaan timbal dalam DNA. Molekul DNA yang melekat pada nanopartikel emas menghasilkan warna biru pada spektroskopi. Keberadaan senyawa timbal mengakibatkan putusnya ikatan molekul DNA dengan nanopartikel emas sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi merah. Nanopartikel emas juga dapat digunakan sebagai biosensor dalam mendeteksi adanya penyakit. Metode biosensor menggunakan nanopertikel emas ini lebih akurat dibanding penggunaan molekul fluoresens lainnya karena lebih banyak salinan antibodi dan DNA yang dapat melekat pada nanopartikel emas. Nanopartikel silika diperoleh dari ekstrak cangkang silika hasil sedimentasi alga. Nanopartikel ini telah digunakan dalam sistem pengantaran obat dan terapi gen (Jain 2008).Nanopartikel dapat digunakan sebagai pengantar obat melalui berbagai jalur pengiriman. Nanopartikel sangat penting dalam pengantaran obat secara intravena sehingga dapat melewati pembuluh darah terkecil secara aman. Penggunaan nanopartikel juga dapat memperluas permukaan obat sehingga meningkatkan kelarutan obat dalam sistem pengantaran obat melalui saluran pernapasan (Jain 2008).Beberapa jenis nanopartikel yg dapat digunakan sebagai pengantar obat antara lain nanopartikel emas (Radt et al. 2004), nanopartikel kalsium fosfat (Morcol et al. 2004), nanopartikel siklodekstrin (Memisoglu-Bilensoy & Hincal 2006), dan nanopartikel kitosan (Xu et al. 2003).Nanoenkapsulasi memiliki banyak keuntungan antara lain melindungi senyawa dari penguraian, meningkatkan akurasi obat pada target, dan mengendalikan pelepasan senyawa aktif seperti obat (Mozafari et al. 2006). Pengendalian pelepasan obat dilakukan agar penggunaan obat lebih efisien, untuk memperkecil efek samping, serta untuk mengurangi frekuensi penggunaan obat (Babtsov et al. 2005). Senyawa aktif yang dienkapsulasi umumnya yang mudah bereaksi dengan senyawa lain, cenderung tidak stabil, atau memiliki waktu paruh eliminasi yang singkat (Birnbaum & Peppas 2003). Senyawa aktif dapat terletak tepat di tengah-tengah kapsul dan bertindak sebagai intinya, atau tersebar di seluruh kapsul atau tidak terpusat pada satu titik saja (Mozafari et al. 2006).Polimer yang bisa digunakan pada proses enkapsulasi suatu senyawa aktif adalah yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel. Ha ini disebabkan produk yang dihasilkan akan dimasukkan ke dalam tubuh baik secara oral maupun intravena. Selain itu, polimer sebagai penyalut tidak boleh bereaksi secara kimia dengan senyawa aktif yang dibawa. Polimer yang dapat digunakan untuk proses enkapsulasi antara lain alginat, kitosan (Ain et al. 2003) dan etilselulosa (Warsiti 2008).2.3 PEMBUATAN NANOPARTIKELSediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode. Hingga saat ini, ada enam metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode emulsifikasi spontan atau difusi pelarut, salting out, fluida superkritis, polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan polimer (Soppimath et al. 2001).1. Metode emulsifikasi spontan menggunakan prinsip difusi antara pelarut larut air seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah di antara dua fase pelarut. Partikel yang berada di antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari pada kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath et al. 2001).2. Metode salting out merupakan modifikasi dari metode emulsifikasi spontan. Penggunaan pelarut organik pada metode emulsifikasi spontan dapat membahayakan lingkungan serta sistem fisiologis sehingga diperlukan pemisahan pelarut organik (Soppimath et al. 2001).3. Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath et al. 2001).4. Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa polialkilsianoakrilat (PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam media asam dengan penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat ditambahkan baik sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi polimerisasi. Suspensi nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan ultrasentrifugasi (Soppimath et al. 2001).5. Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi (Soppimath et al. 2001)6. Metode evaporasi pelarut menggunakan pelarut organik seperti diklorometan, kloroform atau etil asetat untuk melarutkan polimer. Senyawa obat atau pengisi ditambahkan dalam campuran kemudian diemulsifikasi dengan penambahan surfaktan. Homogenasi atau sonikasi dilakukan agar emulsi menjadi stabil. Nanopartikel kemudian dikeringkan untuk memperoleh produk dalam bentuk serbuk nanopartikel. Metode ini sangat cocok dilakukan untuk skala laboratorium (Soppimath et al. 2001).7. Metode yang paling umum dalam pembuatan nanopartikel melalui proses gelasi ionik yaitu metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode high speed. Banyak penelitian difokuskan untuk membuat nanopartikel dari polimer yang biodegradable: kitosan, gelatin, dan sodium alginat. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripoliposfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan muatan tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj dan Chen 2006).

2.4 KARAKTERISASI NANOPARTIKELUkuran nanopartikel yang sangat kecil memerlukan karakterisasi yang berbeda dengan mikromolekul pada umumnya. Karakterisasi nanopartikel kitosan dapat dilakukan secara fisiologi dan struktur fisik. Beberapa karakterisasi fisiologis yang telah dilakukan antara lain stabilitas nanopartikel dalam larutan garam, nilai pH, serta fenomena agregrasi akibat pengaruh suhu dan waktu (Kauper et al. 2007).Poole & Owens (2003) membagi metode karakterisasi fisik nanopartikel menjadi tiga macam yaitu metode kristalografi, mikroskopi, dan spektroskopi. Kristalografi dengan menggunakan sinar X sangat berguna untuk mengidentifikasi kristal isomorfik yaitu kristal yang memiliki kesamaan struktur tetapi berbeda dalam pola-pola geometrisnya.Metode mikroskopi dapat digolongkan menjadi mikroskop elektron transmisi, mikroskop elektron payar, dan mikroskop medan ion. Karakterisasi dengan spektroskopi dapat menggunakan fotoemisi, spektroskopi resonansi magnetik, spektroskopi infra merah (Fourier Transform Infra Red/ FTIR), dan spektroskopi sinar X (X ray diffractometry/XRD).Mikroskop elektron payaran (SEM) digunakan dalam pengamatan morfologi dan penentuan ukuran nanopartikel. Metode ini merupakan cara yang efisien dalam memperolah gambar permukaan spesimen. Cara kerja mikroskop ini adalah dengan memancarkan elektron ke permukaan spesimen. Informasi tentang permukaan partikel dapat diperoleh dengan pengenalan probe dalam lintasan pancaran elektron yang mengenai permukaan partikel. Informasi juga dapat dibawa oleh probe yang menangkap elektron pada terowongan antara permukaan partikel spesimen dengan tip probe atau sebuah probe yang menangkap gaya dorong antara permukaan dengan tip probe (Poole & Owens 2003).Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil (mm). Salah satu jenis mikroskop adalah SEM (scanning electron microscopy). Scanning Electron Microscopy (SEM) menggunakan elektron dan cahaya tampak sebagai sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang lebih pendek dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar dengan resolusi yang lebih baik (Lee 1993 dalam Rini 2010). Scanning electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu permukaan spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan mikroskop cahaya. Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada kedalaman spesimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi spesimen. Hal ini disebabkan oleh ketajaman pancaran elektron yang menyinari spesimen. Mikroskop SEM memiliki perbesaran hingga 50.000 kali (Fujita et al. dalam Rini 2010).Mikroskop SEM memiliki lensa yang berbeda dengan mikroskop cahaya. Bagian electron gun berfungsi memancarkan elektron. Condensing lenses berfungsi untuk memantulkan elektron. Lensa yang berdekatan dengan sampel adalah lensa objek. Pancaran elektron yang mengenai permukaan sampel diteruskan oleh detektor, sehingga penampakan permukaan sampel dapat terlihat pada monitor (Chandler 1980 dalam Rini 2010). Elektron bermuatan negatif sehingga untuk mengamati permukaan sampel, diperlukan pelapis sampel yang bersifat konduktor. Pelapis yang umumnya digunakan antara lain platina, emas, dan perak. Namun, platina relatif mahal dibandingkan dengan emas dan perak. Perak memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan platina dan emas, namun memiliki daya konduktor yang kurang baik. Sehingga emas lebih banyak digunakan sebagai pelapis sampel (Lee 1993 dalam Rini 2010).

Analisis difraksi sinar X (XRD) menggunakan prinsip emisi sinar X yang dihasilkan oleh tumbukan elektron dan atom Cr, Fe, Co, Cu, Mo, atau W. Analisis XRD dapat memberikan informasi mengenai struktur sampel seperti parameter kisi, orientasi, dan sistem kristal. Analisis XRD juga berguna untuk mengindentifikasi fase sampel semi kuantitatif, dengan menghitung fraksi volume suatu sampel dan perbandingan fraksi area kristalin terhadap fraksi total area (Poole & Owens 2003).Spektroskopi infra merah (FTIR) digunakan untuk mengidentifikasi gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan unsur-unsur penyusunnya. Pada FTIR, radiasi infra merah dilewatkan pada sampel. Sebagian radiasi sinar infra merah diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu vibrasi spesifik sama dengan frekuensi radiasi infra merah yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan penyerapan dan transmisi molekuler. Transmisi ini akan membentuk suatu sidik jari molekuler suatu sampel. Karena bersifat sidik jari, tidak ada dua struktur molekuler unik yang menghasilkan spektrum infra merah yang sama (Kencana 2009).2.5 KITOSANKitosan merupakan senyawa berbobot molekul besar yang memiliki rantai polisakarida (1-4)-2-amino-2-deoksi-Dglukosa dengan rumus kimia (C6H11NO4)n. Gugus amino menggantikan OH pada atom C2 (Gambar 1) (Muzzarelli & Peter 1997). Kitosan memiliki bobot molekul besar, tidak bersifat racun, larut dalam asam pada suhu kamar, tidak larut dalam pelarut organik seperti metanol, mampu mengikat air, dan mampu membentuk penyalut (Alasalvar & Taylor 2002).

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kitosan adalah kulit, kepala, atau cangkang dari hewan golongan Crustacea yang mengandung kitin (Alasalvar & Taylor 2002). Kitosan diperoleh dari deasetilasi kitin yang merupakan biopolimer alami. Kitosan dapat diproduksi dari limbah udang hasil industri pangan asal laut. Pemanfaatan limbah tersebut sekaligus meningkatkan produktifitas industri pangan asal laut (Suyatma et al. 2004).Kitosan bersifat biokompatibel, biodegradabel dan non toksik. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan kitosan dapat diterima oleh tubuh dan tidak menimbulkan gejala klinis. Menurut laporan Wedmore et al. (2006), kitosan digunakan untuk mencegah pendarahan tentara Amerika Serikat pada saat perang di Irak. Data penelitian menunjukkan 97% kasus pendarahan dapat dihentikan dengan penggunaan kitosan sebagai pengganti obat anti pendarahan. Sebanyak 62 dari 64 pasien berhasil dihentikan pendarahan dengan menggunakan kitosan sedangkan 2 pasien lainnya tidak bisa dihentikan pendarahan karena terkena luka yg cukup dalam. Kitosan juga mulai banyak digunakan dalam teknologi pengantar obat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kitosan sebagai pengantar obat meningkatkan efisiensi obat tanpa menimbulkan efek samping pada tubuh(Lee et al. 2006).

2.6 TRIPOLIFOSFAT (TPP) Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Menurut Yongmei dan Yumin (2003) dalam Wahyono (2010), pembentukan nanopartikel hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian - bagian yang lebih kecil (Wahyono 2010).2.7 SURFAKTAN Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier yang merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian Silva et al. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat). Tween 80 dan Span 80 bersifat nontoksik yang umumnya digunakan sebagai emulsifier dan penstabil pada bidang pangan dan farmasi. Tarirai (2005) dalam Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80.2.8 PENGERINGAN SEMPROT (SPRAY DRYING) Metode pengerinagn semprot (spray drying) merupakan metode yang paling mudah dan sederhana untuk mengenkapsulasi suatu bahan karena larutan suspensi yang akan dinanoenkapsulasi cukup dimasukkan ke dalam alat pengering semprot dengan serbuk nanokapsul sebagai produk. Metode ini dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) produk yang berupa cairan didispersikan dalam penyemprot (sprayer), (2) kontak antara semprotan dengan udara panas, (3) pengeringan semprotan, dan (4) pemisahan antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara. Keuntungan nanoenkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ini diantaranya ialah (1) meningkatkan stabilitas serbuk, (2) teknik yang dapat dipercaya, (3) biaya yang murah, (4) menghasilkan serbuk berupa mikrokapsul yang kecil, (5) teknik yang ramah, terhindar dari penggunaan pelarut organik, (6) dilakukan satu tahap, atau dengan kata lain prosesnya sinambung (continuous), dan (7) merupakan metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk enkapsulasi polimer polimer yang berbeda dan suhu berbeda (Yundhana 2008).2.9 Staphylococcus aureusBakteri Staphylococcus pertama kali ditemukan oleh ahli bedah berkebangsaan Skotlandia sebagai akibat banyaknya infeksi piogenik (terbentuknya pus) pada manusia (Martin dan Landolo 1999; Adams dan Moss 2008). Staphylococcus aureus adalah salah satu spesies dari 32 spesies dalam genus Staphylococcus. Spesies yang lain pada umumya tidak menginfeksi manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia. Nama Staphylococcus sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata staphyle dan kokkos, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus atau bulat (Martin dan Landolo 1999); sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yaitu gold yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook dan Cook 2006; Bhunia 2008).Bakteri S. aureus tumbuh optimum pada suhu sekitar 37 C dan mampu bertahan pada suhu rendah di bawah 8 C, sehingga digolongkan menjadi bakteri mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh adalah pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin dan Landolo 1999). S. aureus adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas air (aw) yang rendah, yaitu minimum 0.86 (ICMSF 1980; Forsythe dan Hayes 1998).Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian. Bakteri ini membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut, jerawat, sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan abses di kulit dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat menimbulkan penyakit swimmers ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan gangguan di saluran kemih. S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan yang serius, seperti pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada meningen dan medulla spinalis), artritis, osteomielitis, dan endokarditis (Cook dan Cook 2006).Konsentrasi minimum penghambatan atau lebih dikenal dengan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau disebut dengan KHM adalah konsentrasi terendah dari antibiotika atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai KHM adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba. KHM dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai KHM berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai KHM dari sebuah antibiotika, sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. KHM dari sebuah antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata KHM terhadap seluruh strain dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal sensitivitasnya. Metode uji antimikrobial yang sering digunakan adalah metode Difusi Lempeng Agar. Uji ini dilakukan pada permukaan medium padat. Mikroba ditumbuhkan pada permukaan medium dan kertas saring yang berbentuk cakram yang telah mengandung mikroba. Setelah inkubasi diameter zona penghambatan diukur. Diameter zona pengambatan merupakan pengukuran KHM secara tidak langsung dari antibiotika terhadap mikroba. Sensitivitas klinik dari mikroba kemudian ditentukan dari tabel klasifikasi (Jawetz et al.,1996).

BAB IIIMETODOLOGI

3.1 Alata. Alumunium foilj. Neracab. Batang pengaduk k. Ovenc. Blender l. Pipet volume d. Bulpm. Pipet tetese. Delta Nano n. Pisauf. Erlenmeyer o.Spektrofotometri UV-Visg. FESEM p. Spray dryerh. Gelas beker q. Vacum Rotary Evaporatori. Magnetic stirrer

3.2 Bahana. Aquadestb. Asam asetatc. Daun lidah buayad. Etanol pro analisise. Kitosan f. STTP 1%g. Tween 80 0,1%

3.3 Cara Kerja3.3.1 Pembuatan Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller)Daun lidah buaya dikupas untuk memisahkan kulit daun lidah buaya dengan daging daun (gel) kemudian dikering anginkan. Kulit daun lidah buaya dihaluskan dengan cara diblender dan ditimbang 100 gram untuk maserasi dengan 500 ml etanol pro analisis pada suhu kamar selama 72 jam. Filtrat yang diperoleh melalui penyaringan diuapkan dengan Vacum Rotary Evaporator pada suhu 35oC dengan tujuan untuk memisahkan solven dan ekstrak, sehingga diperoleh ekstrak kental.

3.3.2 Pembuatan Nanopartikel Ekstrak Kulit Lidah Buaya Tersalut Kitosan Menggunakan Pengaduk magnet Kitosan dibuat dengan konsentrasi 1% Sebanyak 1 gram kitosan dilarutkan menggunakan pengaduk magnet selama 1 jam dalam 100 mL asam asetat 1% sehingga diperoleh konsentrasi kitosan 1% (b/v). Kemudian larutan kitosan ditambahkan tween 80 0.1% sebanyak 1 ml. Labu Erlenmeyer dimasukkan kitosan dengan konsentrasi 1% kemudian setelah 30 menit ditambahkan 50 mL STPP 1% dalam akuades. Setelah 30 menit larutan ditambahkan dengan 1 mL ekstrak yang larut dalam aquades. Kemudian campuran diaduk menggunakan pengaduk magnet selama 15 menit untuk mempercepat pelarutan. Lalu larutan tersebut dikeringkan menggunakan spray dryer.

3.3.3 Uji Stabilitas Nanopartikel disimpan dalam wadah tertutup kemudian diletakkan pada 3 variasi suhu penyimpanan, yakni 4, 25 dan 40C. Pengujian dilakukan dengan rentang waktu 0, 1, 2, 3, 4, 8 dan 12 minggu, dengan parameter pengujian berupa pengamatan fisik dan kadar ekstrak kulit lidah buaya.

3.3.4 Penetapan distribusi ukuran partikel indeks polidispertas dan potensial zeta1gram nanopartikel didispersikan pada 50ml aquadest. Diukur dengan alat delta nano dari uji ini akan didapatkan hasil distribusi ukuran partikel, nilai indeks polidispersitas dan nilai zeta potensial.

3.3.5 Uji Morfologi dengan Field Emission Scanning Electron MicroscopySampel disiapkan dengan menyimpan sampel pada carbon tape yang ditempelkan pada plat. Plat kemudian dimasukkan pada alat FE SEM dan ditembakkan dengan elektronuntuk penggambaran hingga terjadi penggambaran dengan perbesaran 500000 kali.

3.3.6 Pembuatan Suspensi Bakteri S.aureus Bakteri Staphylococcus aureu diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Pembuatan masing-masing suspensi bakteri dilakukan dengan cara mengambil 2-3 koloni dari media Tryptic Soy Agar (TSA) dengan ose steril, dimasukkan dan dihomogenkan ke dalam 4 ml Nutrient Broth (NB) dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Suspensi bakteri tersebut kekeruhannya disetarakan dengan standar McFarland 0,5 yang setara dengan 108 CFU/ml.3.3.7 Uji Daya HambatUji yang digunakan adalah uji sensitivitas dengan menggunakan metode Kirby Bauer (Soemarno, 2000). Media Mueller Hinton Agar (MHA) ditambah 1 ml suspensi biakan bakteri Staphylococcus pada masing-masing cawan petri dan dihomogenkan dengan cara digoyang secara simultan. Kertas cakram didedahkan sebanyak 20 l ekstrak kulit daun lidah buaya dengan konsentrasi 10%, 25%, 50%, 75%, 100% dan 0% sebagai kontrol tanpa ekstrak kulit daun lidah buaya, kertas cakram diletakkan pada media MHA dengan pinset steril dan diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam dengan posisi terbalik. Zona hambat yang terbentuk menunjukkan tingkat kepekaan bakteri uji terhadap bahan antibakteri tersebut.

DAFTAR PUSTAKAAlasalvar, C ; Taylor T. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nurtaceutical Application. Springer. BerlinBabtsov et al. 2005. Method of microencapsulation. US patent 6 932 984 Bhunia, AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. Springer. New York Birnbaum DT, PeppasB. 2003. Microparticle Drug Delivery Systems. Drug DeliverySystems in Cancer Therapy . Humana Press. TotowaCook LF, Cook KF. 2006. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus aureus Infection. Chelsea House Pub. PhiladelphiaForsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP Third Edition. Aspen Pub. GaithersburgFurnawanthi, S. P. 2007. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib. Argomedia Pustaka. JakartaJatnika A, Saptoningsih. 2009. Meraup Laba dari Lidah Buaya. Agromedia Pustaka. JakartaJawetz et. al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC. JakartaKencana, A. 2009. Perlakuan sonikasi terhadap kitosan: viskositas dan bobot molekul kitosan. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. BogorLee DW, Shirley SA, Lockey RF, Mohapatra SS. 2006. Thiolated chitosan nanoparticles enhance anti-inflammatory effects of intranasally delivered theophylline. BioMed Central 7:1-10Malsch, N.H. 2005. Biomedical Nanotechnology. Taylor & Francis Group. New YorkMemisoglu-Bilensoy E, Dogan AL, Hincal AA. 2006. Cytotoxic evaluation of injectable cyclodextrin nanoparticles. The Journal of Pharmacy and Pharmacology 58: 585589Morcol T et al. 2004. Calcium phosphate- PEG-insulin-casein (CAPIC) particles as oral delivery systems for insulin. Int J Pharma 277:9197Mozafari et al. 2006. Recent trends in the lipid-based nanoencapsulation of antioxidants and their role in foods. J Sci Food Agric 86:20382045Muzzarelli, RA A. 1996. New derivatives of chitin and chitosan : properties and applications. In: Croscenz V, Dead ICM, Stivala SS (eds.). New Developments in Industrial Polysaccharides. Gordon and Beach Science Publ. New York Ni Kadek Ariyanti, Ida Bagus Gede Darmayasa, Sang Ketut Sudirga. 2012. Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922. Jurnal Biologi Volume XVI No.1 JUNI 2012Poole, Charles P., Jr. Frank J. Owens. 2003. Introduction to Nanotechnology John Wiley & Sons. Inc. Canada.Poulain N, Nakache E. 1998. Nanoparticles from vesicles polymerization II. evaluation of their encapsulation capacity. J. Polym. Sci. 36: 30353043.Rini, I. 2010. Recovery dan karakterisasi kalsium dari limbah demineralisasi kulit udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) . Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. BogorSoppimath, KS; Aminabhavi, TM ; Kulkarni, AR ; Rudzinski, WE. 2001. Biodegradable polymeric nanoparticles as drug delivery devices. J of Controlled Release 70:1-20.Suyatma NE, Copinet A, Tighzert L, Coma V. 2004. Mechanical and barrier properties of biodegradable films made from chitosan and poly (lactic acid) blends.J. Polym.Environ. 12: 16The International Commission on Microbiological Specifications for Foods. 1980. Microbial Ecology of Foods 1. Factors Affecting Life and Death of Microorganisms. Academic Pr. New YorkUl-Ain Q, Sharma S, Khuller GK, Garg SK. 2003. Alginate-based oral drug delivery system for tuberculosis pharmacokinetics and therapeutics effects. J Antimicrob Chemotheraphy 51:931-938Wahjono, Edi dan koesnandar. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya Secaea Insentif. Agro Media Pustaka. Jakarta.Wahyono, Dwi. 2010. Ciri Nanopartikel Kitosan dan Pengaruhnya pada Ukuran Partikel dan Efisiensi Penyalutan Ketoprofen . Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Wedmore I, Mc Manus JG, Pusateri AE, Holcomb JB. 2006. A Special Report on the Chitosan-based Hemostatic Dressing: Experience in Current Combat Operations. J Trauma 60:655658Warsiti, AD. 2008. Penggunaan etil selulosa sebagai matriks tablet lepas lambat tramadol HCl: studi evaluasi sifat fisik dan profil disolusinya. Skripsi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. SurakartaWijayakusuma, H. 2007. Penyembuhan dengan lidah buaya. Sarana pustaka prima. JakartaXu Y, Du Y, Huang R, Gao L. 2003. Preparation and modification of N-(2- hydroxyl) propyl-3-trimethyl ammonium chitosan chloride nanoparticle as a protein carrier. J Biomaterials 24:50155022 Yundhana, Y. 2008. Mikroenkapsulasi obat anti peradangan ketoprofen yang tersalut gel kitosan-karboksi metil selulosa. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor