nilai kerukunan sosial dalam tradisi undhuh- undhuh …
TRANSCRIPT
NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-
UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)
MOJOWARNO JOMBANG JAWA TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Chairul Anam
NIM 11140321000042
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-
UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)
MOJOWARNO JOMBANG JAWA TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Chairul Anam
NIM 11140321000042
Pembimbing
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
iii
PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Chairul Anam
NIM : 11140321000042
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/prodi : Studi Agama-agama
Judul Skripsi : NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-
UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)
MOJOWARNO JOMBANG
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu peryaratan memperoleh gelar strata 1 di Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan in dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 15 Juni 2021
v
ABSTRAK
Chairul Anam
Nilai Kerukunan Sosial Dalam Tradisi Undhuh-Undhuh di Gereja Kristen
Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno Jombang
Indonesia merupakan sebuah negara yang besar yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Kemajemukan negara ini menjadikan
Indonesia termasuk negara yang terkenal di dunia dengan multikulturalnya dan
pluralismenya. Salah satu contoh kebudayaan dari sekian banyak kebudayaan
yang ada di Indonesia adalah tradisi/ritual riyaya Undhuh-undhuh yang diamalkan
oleh para jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno. Tradisi ini merupakan
salah satu tradisi yang ada di kota Jombang, kota yang terkenal dengan
sebutannya sebagai kota santri dengan slogan “Kota Beriman”. Hal ini sangat
menarik karena tradisi ini berada dalam sebuah kota yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini ingin melihat
bagaimana prosesi tradisi Undhuh-undhuh GKJW dalam menciptakan kerukunan
hidup sosial beragama bagi masyarakat desa Mojowarno.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menuturkan dan
menggambarkan secara obyektif data yang didapat dan dikaji, kemudian
menganalisis data tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan antropologi.
Hasil dari penelitian tentang tradisi riyaya Undhuh-undhuh menunjukkan
adanya nilai-nilai yang menunjukan kerukunan antar umat beragama di
Mojowarno. Nilai-nilai sosial pada tradisi ini sangat terlihat di dalam setiap
tahapan-tahapan prosesinya. Adapun nilai-nilai tersebut adalah nilai religi yang
terdapat dalam tahapan pelaksanaan kebetan dan keleman. Nilai solidaritas dalam
tradisi riyaya Undhuh-undhuh juga ditemukan, yaitu di dalam gotong royong yang
terlihat pada saat membuat bangunan yang dilakukan oleh warga jemaat pada tiap-
tiap blok, serta pada saat dilakukannya arak-arakan bangunan menuju gereja
induk. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-ndhuh terwujud dalam
persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat untuk membuat
bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Nilai keindahan dalam
tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam bangunan yang dibuat sebagus dan
semenarik mungkin oleh warga jemaat tiap-tiap blok sesuai dengan cerita-cerita di
Alkitab. Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dari dana
lelangan yang asal mulanya dari dana persembahan, yang nantinya akan
diserahkan kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta
kebutuhan gereja lainnya. Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh
terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah
prosesi riyaya Undhuh-undhuh, seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar
pada saat arak-arakan, pertunjukan kuda lumping, reog, barongsai, patroli, dan
juga pagelaran wayang kulit yang diadakan di malam hari setelah riyaya Undhuh-
undhuh.
Keywords: Kerukunan, Undhuh-Undhuh, Kristen Jawi Wetan
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji dan syukur marilah kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia berupa
kesehatan dan hikmah kepada kita semua. Dengan nikmat-Nya pula penulis
berkesempatan menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “NILAI
KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-UNDHUH DI GEREJA
KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) MOJOWARNO JOMBANG”. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S.Ag. Sebab dari pada nikmat-
Nya pula, penulis bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu
yang direncanakan. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia ke zaman
yang terang benderang dan dapat membawa umatnya kepada agama rahmatan lil
‘alamiin ini.
Selanjutnya, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, di antaranya:
1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Syaiful Azmi, M.A, selaku Ketua Program Studi Studi Agama-Agama
dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah M.A, selaku Sekretaris Program Studi Studi
Agama-Agama. Terima kasih telah memberikan arahan kepada penulis dan
wejangan selama menjalani perkuliahan di kampus ini.
4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si., selaku dosen penasehat akademik yang
memberikan arahan dan kemudahan dalam penulisan proposal skripsi
sehingga penulis dapat meneruskan proposal tersebut ke tahap-tahap
berikutnya.
5. Drs. Moh. Nuh Hasan, M.A, selaku dosen pembimbing, terima kasih atas ilmu
yang luar biasa yang telah bapak berikan dan atas bimbingan dan kemudahan
yang bapak berikan selama ini.
vii
6. Terimakasih untuk bapak Drs. Dadi Darmadi, MA, yang telah meluangkan
waktu dan memudahkan penulis dalam ujian seminar proposal.
7. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus
dosen-dosen Ushuluddin, terima kasih sudah mendidik penulis dengan penuh
kesabaran. Serta terima kasih yang membantu administrasi dan informasi
terkait skripsi dan untuk semua staf perpustakaan fakultas, juga perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih telah melayani dan
mengelola fasilitas dengan baik.
8. Terimaksih narasumber atas waktu yang sudah dilonggarkan untuk wawancara
terkait data untuk skripsi saya. Terimakasih banyak kepada Bupati Jombang
Ibu Hj. Mundjidah Wahab, Bapak Camat Mojowarno Bpk. Arif Hidajat, SH.,
Msi., Staf Kemenag Mojowarno Bapak H. Sahlul Basar, Kepala Desa
Mojowarno Bpk. Catur Budi Setyo, Bapak Pendeta GKJW Mojowarno Drs. R.
Djoko Purwanto.
9. Terimakasih tak terhingga kepada kedua orangtua hebat Bapak Moch. Udjud
dan Ibu Suwarni yang telah membesarkan, mendidik, dan mengajarkan nilai-
nilai kehidupan kepada penulis. Rasanya ucapan terima kasih tidak cukup
untuk menggantikan curahan kasih sayang dan perhatian mereka selama ini.
10. Terimakasih untuk kakak Uni Fadillah atas motivasi, dorongan, dan semangat
yang terus diberikan kepada penulis.
11. Terimakasih kepada Cak Mun’im Zakaria dan Mbak Fulai yang selalu
memberikan semangat agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Terimakasih Pada rekan-rekan seperjuangan INKAFANA grup. Dan
seduluran HIMABI yang selalu menanyakan kapan wisuda, sehingga
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
13. Terimakasih untuk teman satu angkatan PA A & PA B 2014 yang telah
mengisi satu bagian mozaik hidup penulis. Rasanya semua emosi pernah
penulis rasakan bersama kalian. Semoga tetap ada tawa-tawa dan temu-temu
selanjutnya. Semoga kalian diberikan kemudahan dalam menyelesaikan tugas
akhir dan dilapangkan ladang rezekinya bagi yang sudah menyandang gelar S.
Ag.
viii
14. Kepada semua orang yang dikenal atau semua yang mengenal penulis, namun
sering penulis lupakan namanya, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang
diberikan. Semoga amal baik kalian dapat menuai balasan dan limpahan
rahmat Allah SWT. Pada akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Penulis amat menyadari atas banyaknya kekurangan dalam skripsi ini, oleh
sebab itu penulis berharap skripsi ini dapat dikembangkan di kemudian hari
dengan lebih baik. Serta semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam
memperkaya khazanah ilmu pendidikan khususnya dalam ranah Studi Agama-
Agama.
Jakarta, 15 Juni 2021
Chairul Anam
ix
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6
D. Kerangka Teori ....................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
F. Metode Penelitian ....................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16
BAB II PROFIL GEREJA KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO
JOMBANG JAWA TIMUR
A. Sekilas Mojowarno Jombang ........................................................... 19
B. Asal Mula Gereja Kristen Jawi Wetan ............................................. 24
C. Komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan ............................................. 30
BAB III PROSESI TRADISI RIYAYA UNDHUH-UNDHUH GEREJA
KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO
A. Sejarah Tradisi Riyaya Undhuh-Undhuh ......................................... 37
B. Tahapan Riyaya Undhuh-Undhuh ................................................... 39
C. Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ...................................................... 46
x
BAB IV NILAI KERUKUNAN DALAM PROSESI RIYAYA UNDHUH-
UNDHUH
A. Kerukunan Sosial dan Toleransi Hidup Beragama .......................... 55
B. Filosofi Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ........................................ 59
C. Nilai Kerukunan Dalam Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh .............. 65
D. Dampak Sosial Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ............................. 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 75
B. Saran-Saran ....................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 77
LAMPIRAN-LAMPRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara besar yang terdiri atas berbagai suku bangsa,
dan setiap suku bangsa tersebut selalu memiliki perbedaan di dalam beberapa hal
dengan suku bangsa lainnya. Adanya perbedaan tidak hanya memberikan keunikan
yang menarik yang dapat dibanggakan, namun di sisi lain dapat menimbulkan sebuah
konflik.
Sebagai suatu bangsa yang besar, agar menjadi sebuah negara yang damai dan
demokratis haruslah memenuhi syarat, yakni menghargai dan mengamini adanya
keanekaragaman masyarakat. Namun demikian, memang terasa sulit untuk
memberikan pemahaman tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme ke dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga tidak jarang pemahaman tentang konsep
multikulturalisme dan pluralisme menjadi sebuah ancaman besar bagi kehidupan
ummat.1
Konsep multikultural di sini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut,
dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai- nilai inilah yang kemudian
dianggap sebagai nilai luhur dan juga sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-
nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun,
disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan
kreatif. Nilai-nilai itu ada di dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-
nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana
sifat/ciri khas kebudayaan bangsa Indonesia.2
1 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), hlm. 10.
2 Melalatoa, Junus M. Ed, Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas
2
Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat
keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja
keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa, namun juga keanekaragaman budaya
dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.3
Kebudayaan suatu bangsa terwujud dalam tiga unsur yang dapat ditemukan dalam
berbagai kehidupan bangsa itu. Tiga unsur tersebut yaitu:
1) Kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan, 2) Kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari dari manusia dalam masyarkat dan 3) Benda-benda hasil karya
manusia.4
Salah satu daerah yang mempunyai banyak keragaman budaya yaitu Pulau
Jawa. Secara budaya, istilah Jawa mengacu kepada sekelompok manusia yang
memiliki ciri-ciri budaya tertentu yang membedakan dari masyarakat lain. Pemahaman
batas wilayah budaya ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat pendukungnya
pernah memiliki pengalaman sejarah yang sama pada masa lalu. Pengalaman yang
sama itu tampak dalam dua hal, yakni digunakannya bahasa Jawa kuno sebagai bahasa
resmi di wilayah tersebut dan juga agama yang dianut diantaranya agama Hindu dan
Buddha sebagai kepercayaan utama. Penggunaan bahasa yang sama, tentunya
mencerminkan bahwa pendukungnya berasal dari kelompok etnik yang sama.
Sedangkan penganutan agama Hindu dan Buddha tentu dikarenakan pendukung
kebudayaan Jawa tersebut pernah secara geografis Jawa dimaksudkan sebagai bentang
Indonesia dengan PT. Pamator, 1997), h.102.
3 https://www.academia.edu/27965042/Makalah Keragaman Budaya Indonesia. Di acses tpada
tanggal 5 November 2018, pukul 20.18 WIB.
4 Slamet Riyadi dkk, Idom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pembangunan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hlm.1.
3
wilayah di mana masyarakat dan budaya Jawa Kuno tumbuh. Kini, bentang wilayah
yang dimaksud itu berbeda tiga wilayah administratif yaitu Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berdasarkan batasan tersebut, wilayah budaya
Jawa dapat dibedakan dari wilayah budaya lain yang tumbuh di bagian lain Pulau
Jawa, yakni wilayah budaya Sunda yang kini terletak di dalam wilayah administrasi
Jawa Barat. Tentu disadari bahwa bagian tersebut hanya merupakan garis besar yang
selalu terdapat kemungkinan bahwa di kedua wilayah itu hidup pula lingkungan-
lingkungan masyarakat lain yang mengembangkan sitem budayanya sendiri secara
khas.5
Salah satu daerah yang memiliki budaya yang khas adalah masyarakat Kristen
Mojowarno. Desa Mojowarno didirikan oleh salah seorang tokoh penyebar Injil yaitu
Kiai Abisai Ditotaruno. Ia mendirikan Desa Mojowarno tahun 1846, Abisai adalah
penyebar Injil Bumiputera hasil didikan Johannes Emde. Desa Mojowarno adalah desa
Kristen yang mengembangkan basis perekonomiannya dengan pertanian.6 Di dusun ini
tidak ada masjid atau musala. Kalaupun ada musala tidak lebih dari bangunan segi
empat tanpa simbol dan ornamen keislaman.7 Ketiadaan masjid atau musala
merupakan bentuk toleransi dan tenggang rasa terhadap pemeluk agama Kristen.
Kehidupan Jemaat GKJW Mojowarno sangat bersahaja, selaras dengan kehidupan
sehari-harinya. Ketika mereka melakukan ibadah, para wanita mengenakan pakaian
kebaya atau rok yang tidak berlebihan. Sedangkan laki- laki memakai songkok,
bahkan ada pula yang mengenakan sarung layaknya orang muslim pedesaan yang
5 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir,(Jakarta:
Komonitas Bambu, 2011), hlm. 3.
6 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam (Jakarta: Grafiti
Press, 1985), hlm. 38.
7 Muhammad Ainun Najib, “Minoritas Yang Terlindungi, Tantangan dan Kontinuitas GKJW Jemaat
Mojowarno di Kota Santri Jombang” (Episteme, Vol. 10, No. 1, Juni 2015), h.241.
4
hendak salat berjamaah menunju masjid atau musala. Pemandangan serupa juga
terlihat dalam perayaan hari raya seperti Natal dan Paskah. Laki-laki mengenakan
pakaian adat Jawa dan perempuan memakai kebaya, seperti lazimnya laki- laki dan
perempuan Jawa saat menghadiri perayaan. Inkulturasi antara Kristen Protestan
dengan budaya Jawa seakan menempatkan GKJW Jemaat Mojowarno sebagai orang
Kristen Protestan yang tidak kehilangan identitas kejawaannya.8
Salah satu upacara keagamaan berbau Jawa-agraris yang menarik adalah ritual
riyaya Undhuh-undhuh. Kata Undhuh-undhuh berasal dari bahasa Jawa yang berarti
memanen atau memetik hasil pertanian. Masa panen merupakan masa yang paling
ditunggu-tunggu oleh petani untuk menikmati hasil jerih payah bercocok tanam selama
berbulan-bulan. Masyarakat agraris mempercayai mitos Dewi Sri sebagai Dewi padi
dengan bentuk ular naga yang bertugas mengusir babi hutan dan hama tanaman padi
lain. Hasil panen yang didapatkan merupakan berkat kebaikan dan kemurahan hati
Dewi Sri. Karena itu, untuk mewujudkan rasa syukur panen, diselenggarakan upacara
Undhuh-undhuh.9 Proses kegiatan Undhuh-undhuh ini terdiri dari empat tahapan, yaitu
tahap persiapan, arak-arakan, ibadah dan lelangan. Tahapan pertama, kurang lebih
sekitar dua sampai tiga minggu menjelang pelaksanaan kegiatan Undhuh-undhuh.
Masing-masing dukuh/desa Kristen sudah mengumpulkan persembahan dari
warganya. Persembahan tersebut adalah hasil dari sawah dan hasil pekarangan untuk
kalangan para petani, sedangkan untuk dari kalangan non petani yaitu mengumpulkan
hasil keterampilan sampai dengan yang berbentuk uang. Tahapan kedua, yaitu setelah
selesai membangun, bangunan tersebut kemudian diletakkan di atas gerobak agar
mudah mengangkat dan mengaraknya ke gereja. Tahapan ketiga, yaitu ibadah
8 Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di
Kota Surabaya”, (Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013), hlm. 87.
9 Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di
Kota Surabaya”, hlm. 97.
5
kebaktian di dalam gereja. Dalam ibadah tersebut diiringi dengan alunan musik
gamelan, juga dilakukan prosesi “Solah Bawa” atau prosesi penyerahan
persembahan kepada Tuhan yang diperagakan oleh anak-anak. Ibadah memakai liturgi
bahasa Jawa. Bagi anak-anak juga mengadakan kebaktian syukur di tempat terpisah
dari orang-orang tua. Kemudian tahapan keempat, yaitu prosesi lelangan. Setelah
kebaktian, jemaat berkumpul di Kapandhitan untuk mengadakan lelangan dari hasil
persembahan yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, hasil kerajinan, dan jugab
binatang ternak, seperti kambing, ayam, burung dan lainnya.10
Tradisi Undhuh-Undhuh dalam bentuk simbolnya mempunyai beberapa
kesamaan dengan tradisi Gunungan Grebeg Keraton Yogyakarta, tepatnya dalam
upacara garebeg yaitu pemberian gunungan dari raja. Gunungan adalah susunan
berbagai jenis makanan dan sayuran sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk
gunung, namun dalam tradisi garebeg ini dalam pelaksaannya dirayakan dalam tiga
momen. Pertama, Garebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12
Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) dengan tujuan untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Kedua, Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda, yang diselenggarakan
pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk
menghormati bulan puasa malam Lailatul Qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah
puasa selama sebulan. Ketiga, Garebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10
Bulan Besar (Bulan Dzulhijah) yang bertujuan untuk merayakan hari raya Idul Adha.11
Dari penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti terkait nilai-nilai sosial
dalam tradisi Undhuh-Undhuh GKJW di Mojowarno Jombang, dengan judul “Nilai
10 Mardoedari Wiryoadiwisno dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Jemaat Mojowarno, (Jombang:
GKJW Jemaat Mojowarno, 2011), hlm. 37-46.
11 Nugroho Trisnu Brata, “Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton, Sebuah Kajian
Antropologi”, Sejarah dan Budaya, Vol. II, No.2 Desember 2009, hlm. 62.
6
Kerukunan Sosial Dalam Tradisi Undhuh-Undhuh di Gereja Kristen Jawi Wetan
(GKJW) Mojowarno Jombang”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka diperoleh rumusan masalah
yaitu, Seperti apakah nilai-nilai kerukunan sosial terkandung dalam tradisi Undhuh-
undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno Jombang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan skripsi ini
adalah untuk mengetahui seperti apakah nilai-nilai kerukunan sosisal dalm tradisi riaya
Undhuh-undhuh GKJW Mojowarno.
Selanjutnya penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian mengenai nilai kerukunan yang terdapat dalam tradisi Undhuh-
undhuh GKJW di desa Mojowarno, diharapkan dapat berguna bagi penelitian-
penelitian dengan tema yang sama atau relevan sehingga dapat memberikan
sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan
khususnya terhadap ilmu Antropologi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi tugas akademik sebagai
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar sarjana agama (S.Ag) Prodi
Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Serta melalui penelitian ini peneliti dapat mengaplikasikan
7
ilmu pengetahuan yang didapatkan selama menempuh di jurusan Studi Agama-
agama ke dalam karya yang nyata melalui proses penelitian ini.
b. Bagi mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai wawancara dan
informasi empiris tentang nilai kerukunan beragama dalam tradisi Undhuh-
undhuh, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi almamater
sebagai bahan referensi kajian untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang
relevan.
c. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam proses pembangunan
masyarakat. Kemudian, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat memberi
informasi empiris pada masyarakat.
D. Kerangka Teori
Ritual merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk
tujuan tertentu yang bersifat simbolik. Ritual dilaksanakan berdasarkan ajaran suatu
agama atau dapat juga berdasarkan tradisi tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual
biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara
sembarangan. Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran
tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan
pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual juga merupakan tindakan yang
memperkokoh hubungan pelaku dengan obyek yang suci dan memperkuat solidaritas
kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.12
12 Wiwik Setiyani, Keragaman Perilaku Keagamaan, (Yogyakarta: Dialetika ,2018 ) hlm. 67.
8
Ritual merupakan agama dalam bentuk tindakan. Meskipun ungkapan iman
bisa dikategorikan sebagai bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, namun iman
keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran serta
mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut. Berdasarkan penyelidikan, pada
hakikatnya mitos dan ritual memilikii keterkaitan. Kalaupun ada ritual yang
dilembagakan, itupun hanya sedikit, sebelum suatu dasar mistis diperkenalkan sebagai
landasan. Mitos sesungguhnya merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih
tinggi dan lebih penting tentang realitas asali yang masih dimengerti sebagai pola dan
fondasi dari kehidupan primitif.13
Durkheim, seorang sosiolog yang pernah mengkaji tentang masyarakat
berpendapat bahwa ritual tidak dapat dipahami lepas dari kehidupan masyarakat.
Melalui karyanya yang terkenal The Elementary Forms of the Religious Life,
Durkheim mengatakan agama sebagai social fact.14 Ini berarti memahami ritual tidak
lepas dari aspek sosial kemasyarakatan karena keyakinan dan ritual-ritual agama
adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Durkheim menekankan aspek mendasar
dari agama yakni yang sakral dan yang profan. Yang sakral diartikan sebagai sesuatu
yang berkuasa dan dihormati. Sedangkan yang profan ialah bagian dari keseharian
hidup.15
Melalui ritual, masyarakat secara berulang menghidupkan kembali
pengalaman-pengalaman mereka, membentuk persepsi mereka terhadap yang Ilahi dan
manusia serta menyatukan pandangan dan pengalaman tersebut dalam perasaan
komunitas dan dirinya. Respons terhadap yang sakral dalam membangun hidup
13 Ibid,. Hlm.68.
14 Durkheim dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogjakarta: IRCiSoD, 2011), hlm.
159.
15 Ibid,. Hlm. 145.
9
bersama kemudian terwujud dalam bentuk-bentuk ritus yakni perayaan-perayaan,
festival, dan acara budaya dalam masyarakat.16 Bagi Durkheim, ritus diadakan secara
kolektif dan tetap agar pengetahuan dan makna-makna kolektif masyarakat dapat
disegarkan kembali. Ritus mampu menghadirkan makna sosial (memori kolektif) yang
merupakan media bagi anggota masyarakat untuk tetap berakar pada yang sakral,
sehingga melalui hal tersebut ikatan sosial (solidaritas sosial) di antara mereka
terbentuk.17
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, belum ada penelitian yang persis seperti
yang akan penulis buat dalam penelitian skripsi ini. Meskipun demikian, di Indonesia
banyak yang menganut aliran Animisme dan Dinamisme untuk menyelesaikan suatu
permasalahan hidup yang dialami, sehingga cukup mudah mendapatkan buku-buku,
jurnal, serta data-data yang lain untuk mendukung penelitian tentang praktik tradisi
adat Undhuh-undhuh. Di antara hasil penelitian tentang tradisi adat Undhuh-undhuh
maupun yang ada kaitannya dengan Islam Kejawen yang penulis temukan adalah
sebagai berikut,
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Rini Puspita Dewi Tahun (2012).
Keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Di Dusun Ranurejo, Desa
Sumberayar, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo Tahun 1932-1985. Skripsi
ini membahas mengenai keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan saja.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Khusnul Khotimah tahun 2019 yang berjudul
“Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno
16 Durkheim dalam Catherine Bell, Ritual, Perspectives and Dimensions, (USA: Oxford University Press,
2009), hlm. 24.
17 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.
96.
10
Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons”. Hasil penelitian tersebut memaparkan
bahwa ritual Undhuh-undhuh dilaksanakan oleh masyarakat Kristen Jawi Wetan
Mojowarno setiap tahun sekali, dan biasanya dilaksanakan setelah panen di bulan Mei.
Pelaksanaan ritual Undhuh-undhuh merupakan salah satu bentuk adaptasi yang
dilakukan para Jemaat GKJW terhadap masyarakat Mojowarno, khususnya umat
Islam. Tujuan utama (goal attaintment) dari ritual Undhuh-undhuh ini adalah sebagai
bentuk ucapan syukur terhadap Tuhan atas hasil panen. Di samping itu, ritual Undhuh-
undhuh juga merupakan bentuk integrasi antara jemaat GKJW dan masyarakat
Mojowarno (umat Islam dan Hindu). Akhirnya, ritual Undhuh-undhuh yang ada
sekarang masih mempertahankan pola yang esensi atau inti, meski terdapat tambahan
atau perubahan dalam pelaksanaannya sekarang.18
Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Linda ‘Aniah dkk tentang “Eksistensi Gereja
Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang Tahun
1992-2018”. Hasil penelitian ini adalah GKJW Mojowarno merupakan GKJW tertua
di Jawa Timur yang masih terjaga eksistensinya dari awal peresmiannya hingga
sekarang. Selain itu, GKJW senantiasa melestarikan kebudayaan Jawa-agraris yang
disesuaikan dengan ajaran Kristen. Keberadaan GKJW tidak lepas dari peran jemaat
gereja maupun warga muslim sekitar. Bentuk toleransi yang terjalin merupakan kunci
dari keharmonisan kehidupan warga Mojowarno yang menjadikan bangunan GKJW
Mojowarno tetap terjaga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Jombang yang
mayoritas beragama Islam.19
Keempat, jurnal yang ditulis oleh Nurhayati dan M. Turhan Yani yang berjudul
18 Khusnul Khotimah, Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno
Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons, (Surabaya: Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel,
2019)
19 Linda ‘Aniah dkk, “Eksistensi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan Mojowarno
Kabupaten Jombang Tahun 1992-2018”, Jurnal (Universitas Negeri Surabaya, of History Education and
Historiography, Vol. 1, No.1, 2017)
11
“Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era Globalisasi Di Mojowarno,
Jombang”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perubahan pemaknaan
terhadap tradisi Undhuh-undhuh. Dahulu, Undhuh-undhuh dimaknai sebagai kegiatan
mengumpulkan padi untuk dipinjamkan kepada warga yang membutuhkan. Sekarang,
Undhuh-undhuh dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur, meningkatkan rasa
kebersamaan, membantu perekonomian warga dan meningkatkan rasa toleransi.
Perubahan pemaknaan tidak lepas dari pengaruh globalisasi, yakni internet dan media
sosial, dan besarnya rasa gengsi di masyarakat serta adanya budaya barat yang masuk.
Saran yang diberikan adalah hendaknya tradisi Undhuh-undhuh yang sudah
berlangsung selama 83 tahun ini tetap dipertahankan keasliannya dari era yang terus
berubah. Karena terdapat nilai budaya lokal masyarakat Mojowarno.20
Kelima, tulisan ringkas (artikel) Muhammad Ainun Najib yang berjudul
“Minoritas yang Terlindungi Tantangan dan Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno di
Kota Santri Jombang” IAIN Tulungagung. Artikel ini memaparkan mengenai jemaat
GKJW yang menjadi kelompok minoritas di kota santri Jombang, juga membahas
perihal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan GKJW jemaat Mojowarno yang
tetap terjamin dan terpelihara. Komitmen individu atau kelompok yang mendorong
sikap dan perilaku mereka dalam mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis
dan rukun dalam masyarakat Mojowarno. Meski mereka larut dalam kehidupan sosial,
tetapi tidak hanyut dalam agama dan keyakinan yang berbeda.21
Sedangkan Tema yang penulis bahas adalah Nilai Kerukunan Sosial dalam
Tradisi Undhuh-Undhuh Di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno
Jombang Jawa Timur, yang mana beda tempat dan juga beda pembahasan. Kemudian
20 Nurhayati dan M. Turhan Yani “Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era Globalisasi
Di Mojowarno, Jombang” Jurnal (Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013).
21 Ainun Najib,Minoritas Terlindungi, Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno Dikota Santri Jombang,
Jurnal Epistime, Vol. 10, No.1,(Juni 2015)
12
penulis mengambil data dari skripsi di atas untuk dijadikan data penunjang. Dalam
menganalisis, penulis menggunakan pendekatan Antropologi.22 Pasalnya, cara-cara
yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologis ketika melihat suatu masalah,
digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana
dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif.23
Pendekatan Antropologi tersebut menjadi landasan untuk memahami nilai-nilai
serta pesan keagamaan dan kebudayaan yang dilakukan dalam praktik tradisi adat
Undhuh-undhuh di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tersebut.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian ang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam hal penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian kualitatif24 yang
bersifat kepustakaan (library Research).25 Dengan demikian diharapkan
22 Pendekatan Antropogis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagmaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi
manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya lihat Bustanuddin Agus, agama dalam
kehidupan manusia, pengantar antropologi agama , (jakarta: Rajagrafindo Persada 2006), hlm. 11.
23 Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada 2006), hlm. 12.
24 Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriftif dan cenderung menggunakan analisa.
Kemudian landasan teori dalam penelitian ini digunakan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai
dengan fakta di lapangan. Kemudian, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada
penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan. Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
kualitatif, hlm. 5.
25 Penelitian kepustakaan atau (Library Research) adalah penelitian yang menggunakan teori-teori
yang diambil dari literatur tertulis baik itu buku, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya yang mendukung dan
relevan dengan judul penelitian. Sedangkan penelitian lapangan (field research) adalah dimana peneliti
menggunakan penelitian yang terjun ke lapangan atau tempat penelitian yang dipilih lihat Noeng Muhadjir,
Metodologi Penelitian Kualitatif. hlm. 6.
13
pengamatan, deskripsi, dan analisis dalam penelitian ini lebih optimal.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Antropologis. Pendekatan ini berupaya untuk memahami kebudayaan-kebudayaan
produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama memberi
pengaruh terhadap budaya, dan sebaliknya sejauh mana kebudayaan suatu
kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama.26 Objek kajian
Antropologi adalah manusia dan kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan itu
sendiri merupakan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk
menciptakan serta mendorong terwujudnya tingkah laku.27 Oleh karena itu, yang
menjadi obyek kajian Antropologi agama adalah kebudayaan manusia dalam
kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran, sikap, dan perilaku manusia.
Jadi bukan kebenaran ideologis atau keyakinan tertentu yang menjadi titik
perhatian studi ini, melainkan kenyataan empiris yang tampak berlaku.28 Dalam
penelitian ini penulis mencoba mendalami pengaruh dari tradisi ritual Undhuh-
undhuh dalam konteks kerukunan sosial yang terjadi pada masyarakat Mojowarno.
Dalam hal ini, adalah proses sosial yang di dalamnya terdapat sebuah proses
hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
kolompok dengan kelompok lain untuk mencapai sebuah kerukunan sosial yang
26 Kautsar Azhari Noer dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku Ajar Pengantar
Studi Perbandingan Agama (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2008), hlm. 35. Lihat juga, Media
Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901- 1940) Hinga Masa Reformasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-1, 2015), hlm. 47-48.
27 Parsudi Suparlan, Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian Masalah- Masalah
Agama (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), hlm. 78.
28 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,
Keyakinan, dan Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h.9.
14
tinggi dengan adanya tradisi tersebut.
3. Sumber Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, sumber data dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya berupa tambahan
seperti dokumen dan lain-lain. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau
informasi yang diperoleh dari objek penelitian yang dianggap penting dan
dokumentasi-dokumentasi yang menunjang penelitian.29 Adapun data yang penulis
gunakan dalam penelitian dibagi dalam dua bentuk yaitu primer dan sekunder :
a. Data Primer
Menurut S. Nasution data primer dalam penelitian kualitatif adalah data
yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian. Kemudian
Lofland menspesifikasikan definisi sumber data itu adalah data berbentuk kata-
kata dan tindakan. Data primer yang penulis gunakan diperoleh dari hasil
wawancara dengan masyarakat Mojowarno. Sedangkan data berbentuk
tindakan penulis dapat dari hasil observasi dan data berupa dokumentasi di
lapangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder ini penulis peroleh dari penelusuran terhadap hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang relevan dan terkait dengan judul skripsi ini.
Adapun bentuknya adalah buku, jurnal, tesis, skripsi, proseding seminar dan
internet (website permintaan dan lembaga non pemerintah).
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian
29 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
3.
15
ini adalah dengan proses triangulasi, yaitu :
a. Observasi partisipatif
Observasi partisipatif atau observasi terbuka adalah teknik
pengumpulan data di mana peneliti benar-benar ikut dan berbaur secara
langsung sehingga terjadi interaksi secara langsung dengan responden atau
yang diteliti. Dalam hal ini peneliti juga mengikuti kegiatan yang dilakukan
responden, termasuk kegiatan seputar pelaksana adat Undhuh-undhuh.
b. Wawancara
Wawancara adalah kegiatan percakapan yang memiliki maksud
tertentu. Sedangkan wawancara mendalam adalah wawancara yang lebih
bersifat intim dan mendalam yang melibatkan dua belah pihak, yaitu
pewawancara, orang yang mengajukan pertanyaan dan responden, orang yang
diwawancarai. Adapun kegiatan wawancara ini digunakan peneliti untuk
menilai keadaan seseorang atau kelompok. Adapun metodenya adalah dialog
atau tanya jawab yang dilakukan dua orang atau lebih oleh pewawancara atau
responden yang dilakukan secara berhadap-hadapan. Sebelum melakukan
wawancara mendalam, penulis membuat kerangka dan garis-garis besar atau
pokok-pokok pertanyaan, serta senantiasa menciptakan suasana santai (tidak
kaku), namun serius (tidak main-main) ketika berdialog.
Adapun penulis membuat tiga kerangka atau pokok-pokok pertanyaan
berbeda. Pertama, bagaimana sejarah awal mula adat Undhuh-undhuh? Kedua,
bagaimana pelaksanaan adat Undhuh-undhuh? Ketiga, bagaimana respon
masyarakat terhadap adat Undhuh-undhuh?
5. Anlisis Data
Metode analisis data dipahami sebagai sebuah metode yang dikerjakan dan
dimanfaatkan sedemikian rupa sampai dapat disimpulkan kebenaran-kebenaran
16
yang dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.30 Dalam
penelitian ini analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Metode deskriptif merupakan metode yang dipergunakan sebagai prosedur
pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek
atau obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.
Sedangkan teknik analisis merupakan salah satu teknik dalam penelitian dengan
melakukan analisis dari data-data yang telah didapat.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan arah yang lebih jelas dalam penelitian ini, maka peneliti
akan melakukan pemetaan dan menggambarkan sistematika pembahasan ke dalam
beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
Bab Pertama terdiri dari pendahuluan yang meliputi beberapa sub-bab, yaitu,
Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika
Penulisan. Hal tersebut merupakan landasan dasar dalam penelitian ini.
Bab Kedua. Pada bab ini membahas tentang Profil Sejarah Singkat Desa
Mojowarno, Profil Gereja Kristen Jawi Wetan dan Komunitas GKJW Mojowarno
Jombang.
Bab Ketiga. Bab ini membahas tentang sejarah Undhuh-undhuh, tahapan
tradisi Undhuh-undhuh dan prosesi Undhuh-undhuh.
Bab Keempat. Bab ini membahas tentang kerukunan sosial dan toleransi hidup
beragama, filosofi dari perayaan riyaya Undhuh-undhuh, nilai kerukunan dalam
prosesi riyaya Undhuh-undhuh dan yang terakhir membahas tentang dampak sosial
30 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama), hlm. 269.
17
dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut.
Bab Kelima, yaitu penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari
penelitian ini dan saran terhadap beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini.
18
19
BAB II
PROFIL GEREJA KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO
A. Sekilas Mojowarno Jombang
1. Letak Geografis Mojowarno
Secara geografis, Mojowarno merupakan daratan rendah yang subur dan
berjarak 12 Km dari pusat pemerintahan kota Jombang. Desa Mojowarno terletak
pada 112º 18 menit 20, 37 detik BT dan 112º 17 menit 16,77 detik BT serta 7º 38
menit 10,27 detik LS sampai 7º 38 menit 55, 38 detik LS dengan ketinggian ± 60 m
DPL. Desa Mojowarno dilalui oleh Kali Jiken yang melalui tengah desa
Mojowarno, Kali Joyo yang melalui daerah persawahan di bagian timur desa, serta
Kali Sat yang melalui daerah persawahan di bagian barat. Selain itu di perbatasan
dengan desa Karanglo terdapat Kali Konto. Desa Mojowarno beriklim tropis
dengan curah hujan rata-rata 600 ml/tahun dan bulan hujan 6-7 bulan/tahun.
Kelembapan udara 80 %, dan suhu rata-rata 32º C. Desa Mojowarno sebagian besar
adalah daerah pertanian dengan luas sawah irigasi teknis 216 hektar dan 23 hektar
irigasi ½ teknis. Tekstur tanah lampungan dengan warna kehitam-hitaman 60%.
Kemiringan tanah 180º. Desa Mojowarno terdiri dari 3 dusun, yaitu : Dusun
Mojowarno 1 yang terletak di sebelah barat Kali Jiken, terdiri dari 3 RW dengan 11
RT, Dusun Mojowarno 2 terletak di sebelah timur Kali Jiken terdiri dari 2 RW
dengan 9 RT, dan Dusun Sidoluwih yang terletak di bagian barat daya terdiri dari 1
RW dengan 2 RT.31
Mojowarno merupakan perlintasan dengan posisi yang strategis. Dari arah
selatan Mojowarno terdapat pusat kerajaan Kediri, sedangkan pada sisi utara
terdapat pusat kerajaan Majapahit. Pada era Majapahit terdapat bangunan suci
untuk melakukan ritual keagamaan pada masa itu yang terletak di desa Arimbi
31 Tenia Kurniawati, Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di
Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, (Jember: Universitas Jember, 2008), hlm. 33-34
20
(Ngarimbi) yang berupa candi. Untuk menuju candi tersebut harus melewati daerah
Mojowarno. Sebelum Mojowarno berdiri sebagai perkampungan, di sebelah selatan
sudah ada penguasa dengan julukan Ki Geede Ngoro, selain itu di sisi timur
Mojowarno di sebuah desa Japanan ditemukan sebuah bekas pondasi bangunan.
Namun hal tersebut dianggap hal biasa atau tidak bernilai oleh orang yang tidak
mengerti benda kuno. Sedangkan benda lain yang masih ada yaitu berupa patung
yang bernamakan Mbah Gambar. Patung tersebut ditafsirkan sebagai tempat tiang
bendera kerajaan pada masa itu. Dengan melihat keadaan tersebut memungkinkan
Mojowarno merupakan kawasan yang ramai.32
Selain dikelilingi berbagai sungai, Mojowarno ketika mulai membuka
hutan, daerah sekitarnya merupakan sebuah daerah perkebunan, yang terletak di
sebelah timur di lereng Gunung Arjuno yang berupa perkebunan kopi, teh dan
karet. Sedangkan di sebelah barat, pada tahun 1870 dibangun Pabrik Gula Cukir
dan Pabrik Gula Selorejo. Dengan keberadaan perkebunan dan beberapa pabrik
gula yang notabene-nya adalah milik pemerintah Hindia Belanda, Mojowarno
merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang Belanda yang berdomisili di
daerah perkebunan dan pabrik gula tersebut.33
Luas Desa Mojowarno 315,7 hektar, yang terdiri dari lahan pemukiman
seluas 67,3 hektar, lahan persawahan seluas 239 hektar, lahan perkantoran dan
fasilitas umum 6,5 hektar serta areal pemakaman 2,9 hektar. Batas-batas wilayah
Desa Mojowarno sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Desa Mojowangi - Kec. Mojowarno
2) Sebelah Timur : Desa Penggaron - Kec. Mojowarno
32 Kushadi, Perubahan social Masyarakat Kristen Jawi Di Mojowarno Pada Tahun 1970-1998,
(Surabaya: Universitas Indonesia, 2004), hlm 22.
33 Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai
Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 33-34.
21
3) Sebelah Selatan : Desa Mojotengah - Kec. Bareng dan
Desa Latsari - Kec. Mojowarno
4) Sebelah Barat : Desa Karanglo - Kec. Mojowarno
Mojowarno berpenduduk ± 5.665 dengan perbedaan jumlah penduduk laki-
laki sebanyak 2.867 dan penduduk perempuan 2.798. Dalam perbandingan tersebut
tidak terlalu banyak selisih antara penduduk laki-laki dan perempuan. Dari jumlah
tersebut terdapat kepala keluarga sebanyak 1.636. Di Mojowarno terdapat beberapa
instansi penting seperti gereja peninggalan Belanda yang masih terawat, Rumah
Sakit Kristen (RSK) yang terletak di depan gereja. Sebelum Mojowarno
berkembang, mayoritas penduduk Mojowarno beragama Kristen. Namun sedikit
demi sedikit terjadi perubahan ketika masyarakat pendatang menyebarkan agama
Islam. Perubahan dari masyarakat yang agraris menjadi modern tidak lepas dari
pendidikan yang ditempuh oleh penduduk Mojowarno. Pendidikan yang ditempuh
menunjukankan semakin majunya intelektual masyarakat. Karena mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sekadar hidup sebagai petani.
Kesejahteraan petani memang dipandang kurang dari pada pegawai negeri.
Sehingga masyarakat Mojowarno bersama-sama meraih pendidikan yang lebih
tinggi. Perubahan tidak hanya terjadi pada pendidikan, namun juga pada agama
yang dianut masyarakat. Pada tahun 1871, Mojowarno terkenal dengan mayoritas
agama Kristen Protestan. Hal ini terbukti karena adanya penyebaran agama Kristen
Protestan oleh Paulus Tosari. Selain itu, pembangunan gereja juga dilakukan pada
tahun yang sama. Pada perkembangannya, Kristen Protestan di Mojowarno tergeser
oleh agama Islam. Kristen Protestan menempati urutan kedua setelan Islam.34
2. Sejarah Mojowarno
34 Nurhayati dan M. turhan Yani, Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era
Globalisasi Di Mojowarno Jombang, (Jurnal, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3
Tahun 2013), hlm. 430.
22
Pada masa perang Diponegoro 1825-1830, banyak prajurit pengikut
Pangeran Diponegoro yang lari dan mengasingkan diri ke arah timur wilayah
Mataram. Mereka mencari keselamatan diri dan keluarganya dari kejaran VOC
(Persekutuan Dagang Belanda di Indonesia). Dalam pengasingannya, mereka
menyamar sebagai pedagang, buruh tani, buruh perkebunan, pengrajin dan lain-
lain.
Di antara kelompok prajurit Mataram yang melarikan diri ke timur, terdapat
sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Singotruno dan Ditotruno yang menempati
salah satu wilayah di Gunung Kendeng (Pulosari). Dalam sosial kemasyarakatan,
Singotruno dan Ditotruno dikenal sebagai pekerja keras, rajin, ulet, tekun, cerdas
serta sering memberikan pitutur-pitutur dan olah kebatinan. Dengan kepribadian
yang seperti itu, mereka menjadi panutan dan suri tauladan masyarakat.
Pada sisi lain terdapat seorang pendeta bernama Paulus Tosari yang sering
memberikan wejangan kepada masyarakat di wilayah Singotruno dan Ditotruno
tinggal. Paulus Tosari adalah bawahan C.L. Coolen, seorang pemimpin dan
penguasa Belanda di wilayah Ngoro dan sekitarnya. Paulus Tosari memberikan
wejangan tentang kebijakan hidup yang bertema ‘Ngulati Tuyo Wening’. Ketiga
tokoh panutan ini pada akhirnya bertemu dan menyatukan misi bersama-sama
membina kehidupan masyarakat. Paulus Tosari yang mempunyai kedekatan dengan
C.L. Coolen, meminta ijin agar Singotruno dan Ditotruno dapat membuka
pemukiman baru. Akhirnya Coolen pun mengijinkan membuka hutan di wilayah
tenggara Ngoro yang dikenal dengan Alas Krancil.
Dari titik Babat Alas Krancil inilah sebenarnya sejarah desa Mojowarno dan
desa-desa di sekitarnya dimulai. Hanya saja tidak ada catatan waktu tentang
kejadian ini, yang ada hanya catatan peristiwa secara garis besar. Dengan hanya ada
catatan peristiwa dan tokoh utama, berkembanglah legenda tentang desa
Mojowarno.
23
Alas Krancil terkenal angker karena lebatnya pohon dan dihuni binatang
buas serta makhluk-makhluk gaib. Karena begitu angkernya, hingga seseorang
yang masuk ke dalam hutan apalagi menebang pohon dan mengeluarkan bunyi
ketika peralatan digunakan, orang tersebut akan mati seketika. Dengan keadaan
seperti ini, Singotruno dan Ditotruno menggunakan kesaktiannya dan berhasil
menggunakan Kuku Jari tangannya untuk menebang pohon. Di antara ribuan
pohon yang ditebang, terdapat banyak aneka Pohon Mojo tetapi rasa buahnya
Pahit.
Dalam waktu relatif singkat, terbentuklah pemukiman baru yang menarik
bagi bermacam-macam orang, bermacam profesi, dan bermacam keyakinan.
Keberagaman penghuni wilayah ini dan faktor ditemukannya Pohon Mojo yang
bermacam-macam jenisnya, maka derah baru ini diberi nama Mojowarno. Mojo
yang berasal dari kata buah “Mojo” dan “Warno” yang berarti bermacam-macam,
beraneka jenis.
Sebagai daerah pemukiman baru, Mojowarno berkembang dengan cepat.
Hal ini disebabkan letaknya yang strategis karena berada di antara dua daerah yang
telah tumbuh lebih dulu, yaitu Ngoro dan Mojokerto. Begitu cepatnya wilayah ini
berkembang dalam waktu ± 50 tahun, Mojowarno sudah dikenal di seluruh
Nusantara. Area persawahan dan pemukiman tertata rapi sehingga Pemerintah
Hindia Belanda membangun pusat pemerintahan, sekolah, rumah sakit, pasar, dan
gereja. Infrastruktur kereta api, pabrik gula di Selorejo juga merupakan bukti
bahwa Mojowarno pernah disiapkan untuk menjadi pusat pendidikan dan
pemerintahan. Bahkan R.A. Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang
berkeinginan menimba ilmu medis di Mojowarno yang dikelola oleh Zending. Ini
membuktikan bahwa Mojowarno pada 100 tahun lalu merupakan daerah yang
maju.
Di sisi lain seiring perkembangan, Kyai Haji Hasyim Asyari pengasuh
pondok pesantren Tebuireng mengirim salah satu muridnya Kyai Ichsan untuk
24
membina kehidupan masyarakat beragama di Mojowarno. Kedatangan murid beliau
ini diterima dengan baik oleh warga dan pihak pemerintahan desa Mojowarno.
Diberikanlah kepada Kyai Ichsan sebidang tanah untuk mendirikan Masjid ‘At-
Taqwa’ dan tempat tinggal serta sawah bengkok yang dapat digunakan untuk
kehidupan keluarga beliau dan pembinaan umat. Hal ini menjadi salah satu
keunikan desa Mojowarno yang tidak ditemukan di desa lain karena pemimpin
umat (agama Islam) berkedudukan selayaknya pamong yang mendapat pembagian
tanah bengkok desa.35
B. Asal Mula Gereja Kristen Jawi Wetan
1. Proses Pembangunan GKJW Mojowarno
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah gereja yang paling tua di Jawa
Timur. Struktur dari bangunan gereja ini beraliran Protestan Calvinisme. Embrio
GKJW ini berasal dari masyarakat pedesaan Kristen yang kemudian berkembang ke
beberapa pedesaan dan perkotaan di Jawa Timur. Perkembangan gereja ini tidak
terlepas dari pola pembentukan komunitas Kristen awal-awal seperti desa-desa
Kristen di wilayah Hutan Keracil, Distrik Japan (sebutan untuk Mojokerto saat itu
dan sekarang Mojowarno, Jombang) pada awal abad 19 lalu.36
Berdirinya gedung GKJW merupakan sebuah ide dari Paulus Tosarie yang
ketika itu telah menetap di Mojowarno sebagai pemuka agama keristen. Awalnya
ibadah hari minggu dan pengajaran jemaat dilakuan di rumah Paulus Tosarie.
Setelah berkembang dengan jumlah yang banyak dan rumah Paulus tidak bisa
menampung para jemaat yang hadir, Paulus mengusulkkan kepada Abisai Ditoretno
untuk membangun rumah ibadah.37 Bentuk rumah ibadah tersebut adalah sebuah
35 Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Mojowarno 2014-2018, hlm. 7-10.
36 Madoedari Wiryoadiwismo dkk, Sejarah Riyaya Unduh-Unduh Jemaat Mojowarno,
(Mojowarno: Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno, 2011), hlm. 4.
37 Mariso Soedibyo, Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja Mojowarno,
(Mojowarno: Setecilan 1975), hlm. 52.
25
gubug (rumah dari anyaman bambu), berjalannya waktu jemaat semakin banyak
dan rumah ibdah yang sudah dibangun pun tidak cukup untuk menampung para
jemaat. Melihat hal demikian Paulus Tosarie mengusulkan kembali untuk
memperbaiki dan memperluas bangunan tempat ibadah, dengan dana sebesar tujuh
gulden. Ketika para Zendeling Belanda utusan NZG masuk ke daerah Mojowarno
untuk membantu pemuka agama dengan ditandai masuknya J.E Jellesma ke
Mojowarno pada tahun 1851, hal itu mempunyai dampak positif terhadap jemaat,
sehingga semakin bertambah jumlah jemaat di Mojowarno. Renovasi gedung
rumah ibadah pun dilakukan kembali dengan dana sebesar 20 gulden darti bantuan
Jellesma. Dana ini digunakan untuk membeli sebuah kerangka rumah yang cukup
besar yang kemudian dijadikan menjadi satu kerangka rumah ibadah sebelum
direnovasi. Dengan perbaikan tersebut, untuk sementara waktu dapat menampung
semua jemaat. Setelah J.E Jellesama meninggal, NZG mengutus Hoezoo untuk
menggantikan kedudukan Jellesma dalam melakukan pelayanan kepada para
jemaat. Hoezoo bersamaan dengan Paulus Tosarie kemudian melakukan perbaikan
terhadap rumah ibadah untuk yang ketiga kalinya. Perbaikan yang ketiga ini fokus
pada perbaikan lantai tempat ibadah dengan diplester.38
Seiring dengan perkembangan masyarakat Mojowarno, berkembang pula
para jemaat. Dengan keadaan yang demikian, Pulus Tosarie terdorong untuk
memberikan pelayanan kepada para jemaat dengan baik lagi. Pada saat itu, Paulus
Tosarie mempunyai keinginan untuk mempunyai gedung gereja buat para jemaat
Mojowarno yang bisa menampung seluruh jemaat. Untuk memenuhi cita-cita
Paulus, pada tahun 1871 Paulus Tosarie mengusulkan pembangunan gedung gereja
yang baru dan mengumpulkan dana kepada J. Kruyt yakni rekan pelayanannya.
Setelah ada persetujuan J. Kyurt dan para anggota jemaat, langkah pertama yang
dilakukan oleh Pulus adalah mengumpulkan dana dari para jemaat dengan
membentuk lumbung pirukunan. Tiap-tiap anggota dengan sukarela memberikan
38Ibid., hlm 11.
26
sebagian hasil panen untuk gedung gereja yang baru. Setelah semua sumbangan
dari para jemaat terkumpul, kemudian dijual pada musim paceklik, dan hasil
penjualannya dimasukan pada Nutsapar bank (bank tabungan untuk umum
Surabaya). Pada tahun 1879 pemberian dari para jemaat telah terkumpul sebanyak
6000 gulden. Selain menyumbangkan hasil panen para jemaat juga
menyumbangkan pasir, batu bata merah, tenaga dan lainnya yang diperlukan untuk
membangun pelebaran gedung ibadah.39
Pada bulan November 1879 para jemaat kemudian bergotong royong atau
dikenal dengan kegiatan soyo yakni membuat pondasi bangunan yang hanya
diselesaikan dalam waktu lima hari saja. Pada tanggal 24 februari 1879 bertepatan
pada hari Senin dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Christiana Kruyt putri
pendeta J.Kruyt. Di saat yang sama, Paulus Tosarie juga mengusulkan rumah
kepanditaan dengan bentuk yang memadai. Pada tahun inilah para jemaat
Mojowarno mempunyai dua proyek besar, yakni pembangunan gedung gereja dan
rumah kepanditaan sebagai kantor ruang kerja para diakonia. Dalam pembangunan
dua proyek tersebut, setelah menyelesaikan pembangunan dasar, muncul masalah
yaitu melesetnya anggaran dana yang sebelumnya sudah diperhitungkan ternyata
masih kurang. Dari situ, Paulus Tosarie mengusahakan bantuan kepada beberapa
perkumpulan Kristen yang ada di Surabaya, yakni perkumpulan Vresfond yang
memberikan lonceng gereja yang didatangkan langsung dari Belanda dengan tanda
cap mahkota kerajaan Belanda. Selain kelompok Vresfond ada juga yang
menyumbangkan dana sebesar 15.000 gulden, yakni Gubernur Jenderal Batavia
melalui Raad Van Indie.40
Setelah selesai pembangunan gedung gereja yang menghabiskan lebih dari
25.000 gulden, Paulus Tosarie dan J. Kruyt dengan para jemaat berkumpul untuk
39 Tenia Kurniawati, Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di
Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, (Jember: Universitas Jember, 2008), hlm. 44.
40 Mariso Soedibyo, Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja Mojowarno,
(Mojowarno: Setecilan 1975), hlm. 64.
27
membicarakan masalah penyempurnaan bangunan serta langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam peresmian gedung. Dalam perkumpulan tersebut muncullah
beberapa keputasan-keputusan penting yakni;
a. Diadakan ibadah kebaktian syukur di rumah ibadah yang lama sebelum
melakukan peresmian gedung gereja.
b. Peresmian gedung ditetapkan 3 Maret 1881.
c. Membangun rumah kepanditaan sebagai tempat pelayanan bagi jemaat.
d. Merencanakan pembangunan balai kesehatan jemaat Mojowarno yang akan
menjadi cikal bakal rumah sakit Kristen Mojowarno.
Pada tanggal 27 Februari 1881 para jemaat melakukan ibadah syukur untuk
yang terakhir di rumah ibadah lama. Setelah itu, empat hari kemudian yakni tanggal
3 Maret 1881, telah diresmikan gedung gereja baru jemaat Mojowarno yang
dihadiri oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda F.S. Jacob beserta jajaran
pemerintahan. Dalam peresmian tersebut J. Kruyt memimpin ibadah mengambil
nas dari 1 Korintus 1: 9 yang berbunyi “Allah yang memanggil kamu kepada
persekutuan dengan anaknya Yesus Kristus Tuhan kita adalah setia” sebagai
khotbahnya. Kemudian Paulus Tosarie memberikan sebuah sambutan yang
berbunyi “Besar sekali kebahagiaan kita hari ini, karena boleh memasuki gedung
gereja yang megah dan maha indah ini adalah pusaka bagi anak cucu kita turun-
temurun di kemudian hari”. Demikianlah bebrapa penggalan khotbah dan sambutan
ketika peresmian gedung GKJW Mojowarno.
2. Perkembangan Gedung GKJW Mojowarno
Perkembangan gedung GKJW mengalami perubahan yakni dengan
melakukan pemugaran gedung. Setelah proklamasi kemerdekaan pusat kegiatan
Kristen di Mojowarno tinggal puing-puing. Selain itu, keadaan ekonomi juga
mengalami kesulitan, namun keadaan demikian tidak mengurangi rasa semangat
yang tertanam pada jiwa para jemaat. Hal demikian terbukti dari generasi ketiga
dan keempat, dengan sebuah kesederhanaan dan ketulusan hati para jemaat tergerak
28
dan terbuka kembali untuk membangun rumah sakit dan sekolah. Usaha
demikianlah yang nanti bisa diharapkan untuk mengembalikan kegiatan gereja
seperti sebelumnya.
Dalam rangka mengembangkan gedung untuk direnovasi, banyak bantuan
yang mengalir baik berupa uang dan barang dari para anggota jemaat dan para
orang-orang yang sebelumnya pernah ditolong. Para jemaat juga memperhatikan
betul keadaan gedung gereja. Hal ini yang kemudian memicu para jemaat untuk
melakukan pemugaran gedung gereja. Namun demikian, disadari betul oleh para
jemaat, dengan melakukan pemugaran gedung gereja tentu membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dana dari seluruh jemaat
yang bisa menyisihkan hartanya untuk pemugaran gedung gereja.
Pada tanggal 3 Februari 1978 terbentuk panitia pemugaran gedung gereja
yang terdiri dari putra-putri Mojowarno generasi ketiga dan keempat yang menetap
di Mojowarno, adapun susunan panitianya sebagai berikut
a. Penasehat : Bapak R. Soedibjo Meriso
b. Ketua Umum : Bapak Pdt. Proewito Dwidjosoewigjo
c. Ketua I : Bapak Poerbodarsono
d. Ketua II : Bapak Srijanto
e. Sekretaris I : Bapak Kolil
f. Sekretaris II : Bapak R. Loekmaksono
g. Bendara I : Bapak Soerjatno
h. Bendahara II : Bapak Soeharso
i. Pembantu : Ibu Wirjoadiwismo
: Ibu Listianingati.41
41 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno
1881-1981 (GKJW: Mojowarno, 1981), hlm. 16-19.
29
Selanjutnya pada tanggal 28 Februari 1979 para pengurus gereja
mengadakan peringatan 100 tahun peletakan batu pertama gedung gereja.
Peringatan ini bermaksud untuk menarik hati para jemaat agar mereka ikut aktif
untuk selalu memperhatikan pelaksanaan pemugaran gedung gereja. Peringatan
tersebut terbagi menjadi dua waktu, satu waktu di pagi hari yang diisi dengan acara
kebaktian anak-anak TK Kristen, SD Kristen, SMP Kristen dan siswa-siswi SMA
Kristen, dan waktu kedua dilakukan di sore hari dengan diisi kebaktian orang-orang
dewasa yang di pimpin Pdt. Srisanto S.Th. Setelah selasai acara kebaktian,
dilanjutkan dengan sambutan dari ketua majelis jemaat Mojowarno, yaitu Bapak
Pdt. Proewito Dwidjosewignjo. Kemudian dilanjutkan sambutan dari bapak Bupati
kepala daerah tingkat II Kabupaten Jombang H.A Hudan Dardiri, lalu sambutan
dari PPMA (Pangreh Padintenan Majelis Agung atau sama dengan pengurus harian
Synode) dan terakhir sambutan dari sekertaris umum bapak Soeharto S.H.42
Proses peletakan batu pertama ini telah membuktikan bahwa kemauan,
pengorbanan, dan pengabdian sebagai unsur hidup yang dimiliki oleh para leluhur
ini juga dimiliki oleh para generasi penerus. Peninggalan ini adalah sebuah warisan
yang perlu dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Sekalipun gedung gereja itu adalah barang mati, namun oleh Tuhan gedung ini
dijadikan sarana untuk menghimpun makhluk-Nya dan juga sebagai tempat
terkumpulnya kekuatan spiritual yang luhur. Walaupun pada saat itu jemaat
Mojowarno dikategorikan sebagai jemaat yang masih muda secara kuantitas dan
kualitas, namun semangat untuk memiliki gedung gereja yang layak akhirnya dapat
terwujud, yaitu dengan mulainya pemugaran pada tanggal 23 Juli 1979. Satu hari
sebelumnya, pada hari Minggu 22 Juli 1979 diadakan kebaktian terakhir di gedung
gereja lama. Nas yang diambil dalam kebaktian ini adalah dari Hagai 1:8 yang
berbunyi ”Pergilah kamu ke gunung meramu kayu dan bangunkan pula rumah ini,
maka aku kelak berkenan akan dia dan akupun akan dipermuliakan, demikianlah
42 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno
1881-1981, hlm. 19
30
firman Tuhan”. Kemudian keesokan harinya, pada tanggal 23 Juli 1979 diadakan
doa syafa’at yang dihadiri oleh majelis jemaat, panitia pemugaran, pemborong,
tukang-tukang, dan undangan dari pemerintah daerah. Isi doa tersebut adalah suatu
pengakuan bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik,
memohon kekuatan untuk panitia dan para pekerja. Setelah doa selesai dipanjatkan,
tepat pada pukul 11.00 secara simbolis bapak Pdt. Proewito Dwidjosewignjo
menurunkan genteng dari gereja lama.43
C. Komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan
Komunitas Kristen di Jawa Timur pertama kali terdapat di Ngoro Jombang
pada tahun 1827. Pemimpin komunitas tersebut adalah Conrad Lauren Coolen.
Coolen adalah seorang bekas tentara yang kemudian membuka daerah hutan di
Ngoro. Colen bukan seorang teolog atau pendeta. Ayahnya seorang berkebangsaan
Rusia. Sedangkan ibunya seorang priyayi Solo. Fakta sejarah tersebut membantah
asumsi umum bahwa penyebaran Injil dilakukan oleh penjajah Belanda melalui
kolonialisme. Penjajahan bangsa Barat terhadap Indonesia dipahami dalam acuan 3
G: yakni gold (emas), glory (kejayaan) dan gospel (penyebaran Injil). Belanda
melarang penyebaran agama Kristen karena khawatir menimbulkan perlawanan
dari masyarakat.44
Coolen membuka daerah hutan di Ngoro dan menjadi desa Kristen pertama
di Jawa Timur, namun penduduk desa tidak semuanya beragama Kristen. Coolen
tidak pernah memaksa para penduduk desa tersebut beragama Kristen. Dia juga
mengizinkan penduduk yang beragama Islam bertempat tinggal di Ngoro. Coolen
menjadi seorang pemimpin baru dan mengajarkan nilai-nilai Kristiani kepada orang
Jawa yang turut membuka hutan. Coolen yang mengajarkan agama baru tersebut
43 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno
1881-1981, hlm. 23.
44 Cekli Setya Pratiwi, “Freedom of Religion in Indonesia on Human Rights Perspective,”
Makalah, Master Level Course On Shariah and Human Rights (2014).
31
menarik beberapa orang Jawa di Surabaya yang sedang ngelmu untuk berjalan kaki
dari Surabaya menuju Ngoro selama 25 jam hanya untuk mendengarkan dan
mengimani pengajaran Coolen. Coolen mengajarkan iman Kristiani dengan adat
istiadat Jawa. Hal ini dikarenakan Coolen terpengaruh dengan budaya Jawa.
Menurutnya, untuk menjadi pengikut Kristus tidak perlu menanggalkan budaya dan
adat istiadat Jawa dan tidak perlu dibaptis pula. Menjadi seorang Kristen tidak
harus meninggalkan adat setempat dan tidak pula mengikuti prilaku seperti orang
belanda. Bahkan, konsep pengajaran Kristen Coolen memadukannya dengan
kebatinan Jawa. Kristen yang diajarkan Coolen adalah Kristen sinkretis yang tidak
hanya bercampur dengan animisme dan dinamisme, melainkan pula dengan Islam.
Syahadat Kristen yang diajarkan hampir serupa dengan syahadat Islam, “La ilaha
illa Allah, Yesus Kristus iyo Roh Allah” (Tiada Tuhan kecuali Allah, Yesus Kristus
itu Roh Allah).45
Selain Coolen, ada penyebar Injil lain di Jawa Timur, yaitu Johannes Emde
yang mengajarkan Injil di Surabaya. Namun pengajaran Emde berbeda dengan
Coolen, Emde mengajarkan iman Kristiani dengan lebih menekankan budaya
Eropa. Emde melarang pula pengikutnya untuk menonton wayang dan memainkan
gamelan. Segala yang berbau Jawa terlarang bagi Emde dan pengikutnya. Dengan
demikian ada persaingan antara coolen dan Emde dalam hal penyebaran Injil.
Di sisi lain beberapa orang Kristen di daerah Sidoarjo yang telah mengikuti
pendeta Emde merasa tertekan. Hal ini dikarenakan ada keterpaksaan untuk
berganti pekerjaan, yang asalnya petani disuruh pindah menjadi pedagang. Hal ini
terjadi setelah dibaptis oleh penyebar Injil Johannes Emde. Setelah mengetahui
perkembangan Coolen dan Ngoro, para orang Kristen Sidoarjo berniat pindah
menuju Ngoro, daerah di mana komunitas Kristen pertama kali ada di Jawa Timur.
Namun Coolen menolak kehadiran mereka dengan alasan sudah dibaptis Emde.
Penolakan Coolen terhadap orang Kristen yang dibaptis memaksa orang Kristen
45 Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK, 1988), hlm. 200.
32
Ngoro yang dibaptis Emde membuka lahan baru sebagai tempat tinggal. Mereka
mendirikan Desa Mojowarno tahun 1846. Pendirinya adalah Kiai Abisai
Ditotaruno, penyebar Injil Bumiputera hasil didikan Johannes Emde. Seperti Ngoro,
Desa Mojowarno adalah desa Kristen yang mengembangkan basis
perekonomiannya dengan pertanian. Orang Kristen Sidoarjo tertarik pindah menuju
Mojowarno dan disambut dengan baik Ditotaruno. Bahkan, penyebar Injil kelahiran
Madura, Paulus Tosari, tertarik untuk menetap di Mojowarno. Ia kemudian
memutuskan pindah ke Mojowarno beserta orang Kristen Sidoarjo lain yang ingin
menekuni pertanian. Desa Mojowarno tidak mengizinkan seorang Muslim pun
untuk bertempat tinggal. Kebijakan ini ditetapkan dengan tujuan menjadikan
Mojowarno sebagai desa Kristen sekaligus pusat pengembangan Kristen di Jawa
Timur. Bersamaan dengan itu, Desa Ngoro sebagai desa Kristen mengalami
kemunduran. Penyebaran agama Kristen berpindah dari Ngoro menuju Mojowarno.
Coolen kehilangan kharisma sebagai penyebar Agama Kristen.46 Akibatnya, status
Ngoro sebagai tanah persil dicabut dan diambil alih pemerintah Belanda. Hampir
tiga abad GKJW menyebarkan Kristen Protestan yang mengalami asimilasi dengan
Jawa di Mojowarno dan sekitarnya. Kini, Kristen di Jombang telah berkembang,
tidak terbatas di Mojowarno dan Ngoro. Kecamatan Mojoagung dan Jombang juga
terdapat pemeluk agama Kristen. Mojowarno yang didirikan sebagai desa Kristen
dan tidak mengizinkan orang Muslim tinggal, namun hal demikian telah mengalami
perubahan. Beberapa meter di samping GKJW Jemaat Mojowarno telah berdiri
sebuah masjid.
Jemaat GKJW Mojowarno terdiri dari jemaat-jemaat yang tersebar di
seluruh kecamatan Mojowarno, tidak terpisah-pisah tapi menjadi satu tubuh Kristen
di seluruh dunia. Gereja merupakan misi yang diwujudkan dalam tri panggilan
yaitu;
46 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam (Jakarta:
Grafiti Press, 1985), hlm. 38.
33
1. Diakonia atau pelayanan, yaitu gereja berkewajiban untuk menyatakan dan
mewujudkan pelayanan kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus Kristus di
tengah-tengah dunia dan masyarakat.
2. Koinonia atau persekutuan, yaitu gereja yang merupakan persekutuan dari
orang-orang yang terpanggil, dikuduskan, dan diperbarui untuk hidup dalam
persekutuan, misalnya persekutuan dan kebaktian keluarga.
3. Marturia atau kesaksian, yaitu gereja sebagai juru bicara Allah untuk
menyatakan kehendak Allah, untuk memberikan kebenaran, keadilan, kasih
Allah kepada dunia dan masyarakat yang bentuknya berupa pekabaran injil.
Dengana bertambahnya dan berkembangnya jumlah warga GKJW jemaat
Mojowarno, maka diperlukan tempat ibadah yang memadai. Pada tahun 1881
dibangun gedung gereja yang layak untuk beribadat. Yang menjadi warga GKJW
jemaat Mojowarno adalah mereka yang sudah dibaptis dan dicatat dalam buku
induk anggota GKJW jemaat Mojowarno. Perkembangan ini terlihat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1881 tercatat jemaat GKJW berjumlah 2.323, tahun 1886 tercatat
2.377 jemaat, tahun 1891 tercatat 2.432 jemaat, tahun 1896 tercatat 2.477 jemaat,
tahun 1901 tercatat 2.525 jemaat, tahun 1906 tercatat 2.568, tahun 1911 tercatat
2.603 jemaat, tahun 1916 tercatat 2.668 jemaat, dan pada tahun 1922 tercatat 2.748.
Warga GKJW jemaat Mojowarno mengalami pengembangan dalam bentuk
kuantitas dan kualitas. Dalam bentuk kuantitas dapat dilihat dari jumlah jemaatnya
yang semakin banyak, sedangkan dalam bentuk kualitas jemaat mojowarno dapat
mengurus kebutuhannya sendiri, memelihara dirinya sendiri dan mampu
mengabarkan injil kepada sekitarnya, sehingga oleh pengurus NZG, GKJW Jemaat
Mojowarno didewasakan pada tahun 1923.
Setelah GKJW Mojowarno didewasakan oleh pengurus NZG dari Belanda,
pertumbuhan dan perkembangan jemaat GKJW mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor:
34
1. Berdirinya sekolah dan rumah sakit Kristen yang merupakan lahan dan
sarana bagi pemberitaan Injil. Melalui sarana-sarana tersebut, para guru dan
tenaga medis dapat secara aktif membantu menyiarkan Injil. Para guru dan
tenaga medis tersebut pada sebelumnya dibekali dengan Alkitab dan tata
pekabaran masing-masing. Mereka aktif pula dalam menyiarkan Injil.
2. Warga gereja semakin sadar akan panggilannya sebagai seorang Kristen dan
secara langsung selalu berbuat baik dan memancarkan kasih Allah dalam
lingkungannya masing-masing. Di sisi lain warga yang baik juga turut andil
dalam pelayanan jemaat dan turut aktif dalam pekerjaan pekabaran Injil dan
memberikan persembahan untuk mencukupi kebutuhan gereja.
3. Sebagai akibat dari kegagalan pemberontakan G30S/PKI dan pemerintah
yang menyatakan PKI sebagai parta terlarang di Indonesia, pemerintah
bertindak tegas dan mewajibkan rakyat Indonesia untuk memeluk salah satu
agama. Jika ada orang yang tidak mengikuti aturan tersebut maka dicurigai
sebagai seorang atheis yang mendukung PKI. Instruksi pemerintah itu
diikuti dengan terbentuknya badan penggerak dan penyuluh keagamaan
(Bappenka) di tiap kabupaten dan kecematan. Berkat instruksi tersebut,
rakyat mulai berduyun-duyun pergi ke masjid atau ke gereja.
4. Dengan adanya bermacam-macam penderitaan yang dialami umat manusia,
terutama karena Perang Dunia ke II, manusia mulai sadar akan
kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dengan dipanggilnya orang-
orang beriman oleh Roh Kudus untuk turut serta membangun kerajaan-Nya,
maka timbul gerakan kebangunan rohani di mana-mana yang menghasilkan
orang-orang percaya masuk Kristen.47
Selanjutnya pada tahun 1923 tercatat 2.800 jemaat, tahun 1928 tercatat
2.833, tahun 1933 tercatat 2.867, tahun 1938 tercatat 2.899, tahun 1943 tercatat
47 Hendropuspto, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 80.
35
2.225, tahun 1953 tercatat 2.850, tahun 1958 tercatat 2.885, tahun 1963 tercatat
2.899, tahun 1968 tercatat 3.324, tahun 1973 tercatat 2.960, tahun 1978 tercatat
2.990 dan pada tahun 1981 tercatat 3.110 jemaat. Dalam perkembangan tahun-
tahun tersebut ada beberapa tahun yang jumlahnya mengalami penurunan jemaat di
GKJW Mojowarno. Seperti pada tahun 1943, terdapat penurunan jumlah jemaat
dari 5 tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1943 Jepang berkuasa di
Indonesia. Dengan adanya kekuasaan Jepang di Indonesia, pekabaran Injil
mengalami rintangan. Warga banyak mengalami penganiayaan dan pembunuhan.
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, Belanda masih menjajah Indonesia
sehingga masih terjadi perang Bumi Hangus. Akibat peperangan tersebut, banyak
orang-orang Kristen Mojowarno yang meninggal dan mengungsi. Selain itu, warga
Belanda dan keturunannya banyak juga yang meninggalkan Indonesia. GKJW
Mojowarno mulai tidak terurus karena banyak ditinggal pergi oleh pengurus dan
jemaatnya. Warga yang tidak mengungsi juga tidak berani mengadakan kebaktian-
kebaktian pada hari Minggu karena ada larangan keras. Arsip-arsip gereja banyak
yang hilang, sehingga dokumentasi penting tidak dapat ditemukan lagi. Setelah
perang selesai, ketika Indonesia merdeka dengan seutuhnya, maka gereja mulai
berbenah lagi. Para jemaat yang mengungsi keluar dari Mojowarno mulai kembali
lagi dan mereka mulai menata hidup yang lebih baik setelah terguncang akibat
perang. Dalam perkembangannya, warga menjadi semakin banyak. Pertambahan
warga ini berasal dari dalam jemaat itu sendiri (kelahiran). Ada juga yang berasal
dari pernikahan, perpindahan dari GKJW yang berbeda tempat, dan berasal dari
anggota baru yang tertarik memeluk agama Kristen.48
Pada tahun 1968 terjadi peningkatan jemaat yang sangat tinggi. Hal ini
sebagai akibat dari peraturan pemerintah yang mewajibkan rakyatnya untuk
beragama. Persitiwa G30 S/PKI menyebabkan masyarakat banyak yang memeluk
salah satu agama baik Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Masuknya orang-orang
48 Wawancara denagn ibu Madoedari, 26 Oktober 2007 olehTenia Kurniawati, Perkembangan
Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981.
36
eks PKI dikenal sebagai penobatan Masa, “Baptisan Masal”. Dengan adanya
peraturan pemerintah tersebut, jemaat GKJW Mojowarno mengalami peningkatan
yang tajam. Selanjutnya pada tahun 1970-an, jumlah jemaat GKJW Mojowarno
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan banyaknya anggota yang keluar. Gejala
pengunduran diri jemaat tersebut dikarenakan dengan adanya pertambahan jemaat
melalui penobatan masal ini tidak dibarengi dengan pertambahan pelayan. Selain
kurangnya tenaga pelayan juga kurangnya intensitas pelayanan, penggembalaan,
dan pembinaan. Faktor lain yang mengakibatkan penurunan warga adalah
perpindahan tempat kerja, tempat tinggal, tekanan-tekanan pihak lain serta
pelayanan yang kurang baik, seperti relevansi, aktualitas pelayanan, sikap yang
pasif, acuh kemudian apati. Akhirnya banyak yang meninggalkan gereja, baik
secara terus terang maupun dengan cara diam-diam. Penghayatan persekutuan juga
merupakan faktor utama yang menimbulkan kemunduran-kemunduran. Artinya
tidak ada keharmonisan dalam hubungan secara moril antara anggota gereja dengan
majelisnya. Perhatian yang sungguh-sungguh dan usaha pastoral di dalam jemaat,
serta kunjungan ke rumah tangga atau pun ke tempat-tempat kerja merupakan
kekuatan yang menggerakkan persekutuan. Faktor lain yang tidak kalah penting
adalah pendidikan agama khusus di dalam jemaat sendiri yang umumnya kurang
sekali mendapat perhatian. Pendidikan agama khusus bukan hanya merupakan
kurikulum agama di sekolah-sekolah. Namun pendidikan agama khusus ini juga
merupakan syarat mutlak terhadap kelangsungan hidup dan keyakinan iman
Kristen. Oleh karena itu, pendidikan agama khusus ini juga mutlak untuk orang
dewasa juga.49
49 Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII (Malang: GKJW, 1976), hlm.197-199.
37
BAB III
PROSESI TRADISI RIYAYA UNDHUH-UNDHUH DI MOJOWARNO
JOMBANG JAWA TIMUR
A. Sejarah Tradisi Riyaya Undhuh-Undhuh
Sejarah tradisi riyaya Undhuh-undhuh berawal dari pemikiran Paulus Tosari
yang mengusulkan pendirian lumbung. Lumbung tersebut akan diisi ketika musim
panen tiba, dan akan diambil ketika sewaktu-waktu musim panen gagal. Paulus
Tosari dalam membangun lumbung tidak hanya sendiri, melainkan dibantu oleh
Jelle Eeltjes Jellema yang selalu berpegang teguh dengan trilogi gereja yakni
Koinonia (persekutuan), Marturia (kesaksian), dan Diakonia (pelayanan cinta
kasih). Koinonia diwujudkan dalam persekutuan jemaat, Marturia diwujudkan
dalam kesaksian atas berkat yang telah diberikan Tuhan kepada orang-orang yang
tidak seiman, dan Diakonina diwujudkan dengan pengumpulan dana persembahan
oleh warga jemaat yang diberi nama rembos. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, hasil dari rembos ini lama-kelamaan semakin sedikit. Oleh sebab itu, Jelle
Eeltjes Jellema menyetujui usulan dari Paulus Tosari untuk mendirikan “Lumbung
Miskin” untuk menampung persembahan dari para warga jemaat yang berupa padi.
“Lumbung Miskin” yang dibuat oleh Paulus Tosari dan Jelle Eeltjes Jellema
digunakan untuk mengumpulkan dan menampung hasil padi dari para petani untuk
dijual kembali nantinya ketika harga padi tersebut sudah naik. Sehingga “Lumbung
Miskin” inilah yang merupakan embrio dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh.50
Pada tahun 1870-an jemaat akan membangun gereja dan terkendala belum
memiliki dana, maka para pendeta tua yang berasal dari belanda dan para jemaat
yang berada di Mojowarno melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar.
Setelah diadakan musyawarah, ditemukan kesepakatan yang intinya yaitu
memotivasi masyarakat dan jemaat untuk membangun lumbung yang bernama
50 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, (Yogyakarta:
Yayasan Taman Pustaka Keristen Indonesia, 2018), hlm. 20.
38
Lumbung Pirukunan. Lumbung Pirukunan itu diambil dari bahasa jawa lumbung
dan pirukunan yang artinya “lumbung gotong royong atau lumbung kerukunan”.
Setelah barang-barang terkumpul di Lumbung Pirukunan tersebut, maka dialihkan
menjadi uang dan setelahnya digunakan untuk membangun gereja. Hal itu
dilakukan setiap tahun. Inilah cikal bakal dari adanya hari raya Unduh-undhuh dan
berkembang sampai sekarang dengan berbagai macam bentuk mengikuti zamannya.
Pada 1930, hari raya itu baru diresmikan dan diberi nama Undhuh-undhuh dan bisa
juga disebut dengan hari raya Persembahan.51
Tradisi riyaya Undhuh-undhuh yang berada di Kecamatan Mojowarno
adalah tradisi lokal yang menjadi ciri khas dari masyarakat Desa Mojowarno.
Riyaya Undhuh-undhuh adalah hari raya persembahan yang sejarahnya berasal dan
tumbuh dari kelompok Kristen GKJW. Hari raya ini berkembang menjadi tradisi
GKJW sekitar tahun 1930, setelah jemaat Mojowarno menyatakan diri menjadi
jemaat dewasa pada tahun 1923. Tradisi Undhuh-undhuh merupakan rangkaian dari
tradisi kebetan (turun tanam) dan tradisi keleman (waktu padi mulai beranak).
Rangkaian tradisi ini merupakan tradisi Jawa pra Islam yang diklaim oleh Coolen di
Ngoro sebagai tradisi Kristen.52 Saat ini Tradisi riyaya Undhuh-undhuh masih terus
dilestarikan oleh umat Nasrani yang ada di Desa Mojowarno dan telah dianggap
sebagai budaya turun-temurun yang diajarkan oleh para sesepuh mereka yang harus
tetap dilestarikan. Dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh ini warga jemaat bersyukur
karena telah diberikan berkat atau rezeki atas hasil bumi/hasil panen yang
melimpah. Dulu yang mengikuti tradisi riyaya Undhuh-undhuh ini hanya para
petani saja, namun seiring dengan perkembangan zaman warga jemaat yang tidak
berprofesi sebagai petani atau warga biasa pun dapat mengikuti tradisi ini dengan
gajinya sebagai persembahan.
51Wawancara bapak pdt Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019
52Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai
Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 58.
39
Sebelum merayakan tradisi riyaya Undhuh-undhuh, dikenal tradisi yang
diberi nama Kebetan dan Keleman, dan akhirnya berubah menjadi Undhuh-undhuh.
Tradisi ini merupakan rangkaian upacara yang beruntun dengan diakhiri puncak
acara, yaitu riyaya Undhuh-undhuh.53
B. Tahapan Prosesi Riyaya Unduh-undhuh
Perayaan tradisi Undhuh-undhuh dilaksanakan satu tahun sekali, dengan
melalui beberapa tahapan, adapun tahapan-tahapan dalam prosesi riyaya Undhuh-
undhuh adalah sebagai berikut;
1. Kebetan
Menurut keterangan yang tercantum dalam buku ‘Ngulati Toyo Wening’
sebelum adanya tradisi kebetan dan keleman, pada zaman Conrad Laurant
Coolen di daerah Ngoro ada tata cara untuk para petani yang tidak
diperkenankan turun mengolah sawah sebelum melakukan ritual dan
menyampaikan puji-pujian kepada Tuhan. Upacara tersebut dimulai oleh Coolen
turun ke sawah lebih dahulu untuk memulai membajak sawah sambil memuji
Tuhan dan berdo’a memohon pertolongan kepada Sang Pencipta dalam
mengerjakan sawah sampai selesai. Setelah Coolen selesai melantunkan
tembang yang berisi puji-pujian dan do’a sambil membajak, para petani baru
turun beramai-ramai dan bergotong royong mengerjakan sawah mereka sambil
melantunkan tembang sebagaimana yang diajarkan Coolen.54
Kebetan adalah sebuah tradsisi yang dilakukan oleh masyarakat Kristen
Mojowarno pada saat akan turun ke sawah. Kebetan dalam bahasa Belanda
berarti doa (gebed). Orang jawa mengucapkan kata gebed menjadi kebet, atau
kebetan, yaitu doa bersama kepada Gusti Allah yang dilakukan secara bersamaan
53 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, (Yogyakarta:
Yayasan Taman Pustaka Keristen Indonesia, 2018), hlm. 36.
54Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai
Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 56.
40
sebelum para petani masyarakat Kristen Mojowarno memulai menggarap sawah.
Doa ini dipanjatkan serta merta hanya mengharapkan perlindungan dan bentuk
rasa syukur dan juga keselamatan agar dalam bekerja menggarap sawah tidak
ada halangan.
Permohonan doa tersebut mengharap penyertaan kuasa Tuhan agar dalam
mengerjakan sawah diberi keselamatan. Keselamatan bagi yang membantu
pekerjaan, termasuk binatang-binatang yang membantu dalam pekerjaan tersebut
dan juga berharap agar Tuhan memberikan hujan dengan secukupnya agar tidak
terjadi benjir atau kekurangan air dalam penggarapan sawah tersebut. Dalam
acara kebetan, biasanya warga membawa encek, yakni sebuah nasi bungkus
(yang isinya beruapa urap-urap, ayam dan orem-orem) dibawa ke sebuah
Synagoge atau kantor desa. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya dengan
istilah “ngetokne asahan” atau mengeluarkan tumpeng. Setelah berdoa, tumpeng
tersebut dimakan bersama. Acara ini dipimpin oleh kepala desa atau kepala
dusun yang mengundang pendeta dan penatua untuk berdoa bersama.
Acara kebetan diadakan pada siang hari sekitar pukul 14.00. Sebelumnya
ada sebuah tanda dengan menabuh khentongan desa pada pukul 13.00, yang
merupakan tanda persiapan para petani masyarakat Kristen Mojowarno di rumah
masing-masing. Pada pukul 13.30 khentongan ditabuh kembali sebagai tanda
untuk segera berangkat dari rumah masing-masing, kemudian khentongan
ditabuh yang ketiga kali tepat pada pukul 14.00.
Prosesi kebetan ini dibuka oleh sesepuh desa dengan menjelaskan
maksud dari pertemuan tersebut. Setelah penjelasan mengenai maksud
pertemuan sudah disampaikan, dilanjutkan kebaktian yang dipimpin oleh
pendeta yang diisi dengan renungan dan doa yang disertai puji-pujian.55
55 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 37-38
41
2. Keleman
Setelah tanaman padi berusia selapan dina (36 hari), warga mengadakan
upacara yang bernama keleman. Upacara ini bertujuan untuk meminta
perlindungan Tuhan, agar tidak ada serangan hama, diberi air yang
berkecukupan, dan pertumbuhan padi bisa bagus.
Keleman berasal dari kata kelem, Bahasa Jawa yang berarti tenggelam
atau terbenam dalam air. Semua petak-petak sawah sudah tergenang air. Hanya
tanaman padi saja yang terlihat menghijau di seluruh persawahan. Dengan
demikian pengertian upacara keleman mengandung makna perjamuan doa
syukur kepada Tuhan. Perjamuan ini semata-mata bentuk rasa syukur atas berkat
mengerjakan sawah sampai selesai dengan selamat. Lebih dari itu, ungkapan
syukur juga mengandung makna pengharapan dan permohonan kepada Tuhan,
sekiranya dijauhkan dari gangguan hama dan kelak dapat memetik/ngunduh
dengan hasil baik. Upacara keleman yang dihadiri oleh para orang tua, dewasa,
dan generasi muda ini merupakan sebuah kesempatan saling berbagi dan belajar
tentang sebuah tradisi. Dalam pertemuan ini kadang diisi oleh orang tua-tua yang
mempunyai banyak pengalaman untuk menerangkan dan mengarahkan tentang
bagaimana cara menggarap padi. Forum seperti inilah biasanya dilakukan dalam
susana santai, tidak ada yang saling menggurui. Meski para tetua desa lebih
banyak yang berpengalaman, namun mereka sudi mendengarkan pelbagai
keluhan dan pengalaman para generasi muda. Dalam forum yang guyub inilah,
kegitan belajar mengajar terjadi secara kultural. Pengalaman dituturkan dan
dibagaikan dalam tardisi lisan. Nampaknya forum inilah yang di zaman orde
baru dipakai sebagai penyuluhan dari Dinas Pertanian tentang pemupukan atau
pemberantasan hama, supaya bisa menghasilkan padi yang sebagus mungkin.
Acara kebaktian keleman dilaksanakan di tempat dan cara yang seperti
kebetan. Adapun hidangan yang disajikan umumnya berupa kue (makanan
ringan). Dalam sajian kue, lazimnya ada kue yang disebut horog-horog dan
42
pleret yang disertai dengan kue-kue lainnya. Seperti, kue tetel/juadah, wajik,
serabi, nagasari, dll.
Kue horog-horog dan pleret dibuat dari tepung beras dan dimakan
dengan kelapa yang diparut. Horog-horog melambangkan tanahnya yang subur
gembur. Biasanya horog-horog dikukus dan pada awalnya dibentuk kerucut
seperti gunung atau dibungkus diberi gula kelapa pada bagian tengahnya dan
diberi nama pura atau dibentuk yang lain. Kue pleret melambangkan hama ulat
yang perlu dibasmi (disitu dimakan bersama-sama), pleret dibentuk berlekuk-
lekuk seperti ulat.
Setelah upacara keleman selesai tahap selanjutnya adalah melakukan
perawatan agar padi bisa tumbuh dengan subur dan hasilnya nanti bisa dipanen
dengan melimpah. Salah satu kegiatan perawatan ada yang dinamakan matun.
Pekerjaan matun adalah pekerjaan mencabut rumput menggunakan tangan tanpa
alat (dhadhak).
Setelah dilakukan penyuluhan oleh Dinas Kabupaten, maka pemerintah
memperkenalkan alat bantu yang bernama landhak (alat untuk matun). Alat ini
berbentuk roda berbaling-baling besi untuk mencabut rumput. Alat ini biasanya
dipesankan kepada pande besi (orang yang membuat berbagai peralatan dari
besi).
Dalam perjalanannya, penggunaan landhak jenis roda baling-baling ini
mengalami perubahan. Hal ini karena adanya kelemahan pada alat ini, di mana
kotorannya sulit lepas (nggedibel). Pada tahun 1960-an diciptakanlah sebuah alat
yang disebut landhak kasut. Alat ini pertama kali diperkenalkan oleh Wiryo
Hardiyono dari Desa Mojowangi. Alat ini terbuat dari kayu yang penampangnya
dipasang paku saling dibengkokkan (seperti sikat). Alat ini dinilai lebih efektif
dalam membersihkan rumput sehingga sampai sekarang masih digunakan oleh
para petani di Kecamatan Mojowarno.
43
Masa perawatan, memanam, sampai panen, membutuhkan waktu antara
empat sampai lima bulan. Perawatan tanaman dilakukan tiap hari seperti
memeriksa tanaman atau lahan, mencabut rumput, dan mengairi sawah. Adapun
alat yang di bawa para petani yaitu sabit, ungkal, dan keranjang. Setelah bulan
April, mulai mbelik (padi mulai menguning), maka dapat dipastikan bulan Mei
padi bisa dipanen. Maka dari itu, sampai sekarang Undhuh-undhuh dirayakan
pada bulan Mei.56
3. Riyaya Undhuh-Undhuh
Riyaya Undhuh-undhuh adalah puncak tradisi dari beberapa tahapan
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kata Undhuh-undhuh berasal dari kata
undhuh dan kata kerja ngundhuh, yang artinya memetik, yaitu memetik buah
atau memanen. Hari raya ini merupakan hari raya bentuk ungkapan rasa syukur
dan persembahan hasil panen yang telah mereka terima. Seperti ajaran Musa
pada umat Israel yang bercorak agraris, mereka mempersembahkan hasil panen
pertama yang terbik kepada Allah.
Riyaya Undhuh-undhuh adalah salah satu tradisi yang terbentuk atas
perjumpaan tradisi Jawa dan ajaran Kristen. Sebab dalam masyarakat Jawa
dikenal ritual panen raya dan penyimpanan padi dalam lumbung. Pada waktu itu
setiap panen selalu diadakan upacara memasukan atau menyimpan padi dalam
lumbung pasca proses panen. Pekerjaan tersebut dulu dilakukan secara gotong-
royong dengan tetangga yang dekat atau keluarga. Dari sisi lain, tradisi ini dalam
ajaran iman Kristen meneladani ajaran Nabi Musa dengan mempersembahkan
hasil panen pertama yang terbaik. Kegiatan memanen ini bisa disebut dengan
kegiatan ani-ani, hal ini dikarenakan dalam memotong tangkai padi
menggunakan alat yang bernama ani-ani. Tetapi dalam perkembangannya untuk
mempercepat dalam pemotongan tangkai padi diganti dengan menggunakan
56 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 40-44.
44
sabit, sedangkan untuk memisahkan padi dengan tangkainya dilakukan dengan
cara di-iles atau di-geblog. Setelah padi terpisah dengan tangkainya, kemudian
dijemur sampai kering dan dibersihkan dari kotoran. Kegiatan menjemur ini
disebut ayar-ayar sambil di-tampeni.
Kemudian, jika sudah kering dan bersih dari kotoran, padi disimpan. Padi
yang terlihat baik dipisah untuk dijadikan sebuah bibit pada musim tanam
berikutnya. Dalam pemilihan bibit padi yang bagus biasanya para petani
memilih padi yang tumbuh di bagian pinggir petak sawah. Ketika musim panen
pemilik sawah memerlukan banyak tenaga kerja. Dengan luas persawahan satu
hektar membutuhkan 14 orang untuk ani-ani. Proses panen sampai dengan
membawa pulang hasil membutuhkan waktu sekitar lima hari. Jenis-jenis padi
yang ditanam adalah bengawan solo, groos, growing dan ketan kuthuk (yang
digunakan untuk bangunan Undhuh-undhuh).
Zaman dahulu memasukkan padi ke dalam sebuah lumbung biasa disertai
dengan upacara. Prosesi acara tersebut yang pertama adalah membuat dua ikat
padi kecil yang bertangkai yang berbentuk seperti golekan (orang-orangan atau
boneka). Satu golekan atau boneka diberi pakaian laki-laki yang melambangkan
Sudhana. Satu boneka lagi diberi pakaian perempuan yang melambangkan Dewi
Sri. Golekan padi yang sudah dihias itu dimasukkan ke dalam lumbung yang
dibawa oleh seorang laki-laki dan perempuan dengan diiringi alunan tembang
kothekan dengan lagu berjudul dhuda njaluk lawing.
Pada era 1930-an, upacara memasukan padi pada lumbung mengalami
sebuah perubahan, yakni lumbung pribadi ke lumbung Gereja milik jemaat.
Selain itu juga dilakukan modifikasi, misalnya para petani tidak lagi membuat
golekan atau boneka Sudhana dan Dewi Sri, melainkan pada perkembangan
selanjutnya warga jemaat membuat bangunan/patung yang sesuai tokoh-tokoh
dalam cerita Alkitab yang dibuat dari hasil bumi. Bangunan ini diarak warga
45
suka cita dengan mengalunkan lagu-lagu pujian yang diiringi musik kothekan
menuju halaman gedung Gereja.
Pertemuan tradisi mempersembahkan hasil panen yang pertama serta
tradisi memasukan padi ke dalam lumbung inilah yang menjadikan budaya baru
yang bernama hari raya Undhuh-undhuh. Hari raya Undhuh-undhuh
diintegrasikan atau dijadikan kelanjutan dari hari raya Pentakosta. Pada waktu
itu hari raya Pentakosta bertepatan dengan musim panen, yakni bulan Mei.
Sebab pada masa itu, panen padi hanya bisa dilakaukan sekali dalam setahun.
Undhuh-undhuh mempunyai makna sebagai wujud persembahan dari sebagian
hasil panen jemaat Mojowarno kepada Tuhan dengan penuh sukacita. Selain itu
dapat diartikan sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas limpahan berkat yang
mereka terima dari Tuhan.
Dalam proses pelembagaan di jemaat Mojowarno, tradisi ini tidak dapat
dipisahkan juga dari peristiwa kemandirian jemaat Kristen Mojowarno yang
dinyatakan pada tahun 1923. Pada saat itu jemaat Kristen Jawa mulai mandiri
dalam hal memerintah atau menata layanan, membiayai dan mengembangkan
pelayanannya lepas dari campur tangan zending. Semua keperluan pelayanan
dan pembangunan dilakukan oleh para jemaat secara mandiri melalui
penghimpunan dana secara mandiri. Kemandirian ini bisa terwujud karena ada
semangat dan penghimpunan dana yang salah satunya bersumber dari
persembahan para jemaat yang berprofesi sebagai petani, yakni berupa sayur-
sayuran, buah-buahan, dan sebagainya, sebagian mereka persembahkan kembali
pada gereja. Sedangkan masyarakat Mojowarno yang bukan petani, mereka
mempersembahkan sebagian dari gaji yang diterima sebagai upah kerjanya.
Begitupun mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan wirausaha juga turut
serta mempersembahkan sebagian hasilnya dan juga peternak dan pengrajin
mempersembahkan hasil karyanya.
46
Persembahan dalam riyaya Undhuh-undhuh dilakukan secara individu
maupun kolektif. Persembahan yang bersifat individu, mereka menyerahkan
langsung pada gereja melalui panitia pelaksana acara. Sedangkan persembahan
dalam bentuk kolektif dilakukan melalui cara membuat bangunan arak-arakan
yang dihias dari hasil persembahan apa saja yang berasal dari warga jemaat tiap
blok yang sudah terkumpul.57
C. Prosesi Hari Raya Undhuh-Undhuh
Kegiatan hari raya Undhuh-undhuh sendiri terdiri dari empat tahapan, yakni
tahap persiapan, arak-arakan, ibadah dan lelangan. Setelah para petani melakukan
panen, mereka menyisihkan (methingake) sebagian hasil panennya yang terbaik
untuk dipersembahkan dalam pembuatan bangunan Undhuh-undhuh. Pelaksanaan
dan persiapan riyaya Undhuh-undhuh dilakukan dengan membentuk panitia, baik di
tingkat majelis jemaat maupun di blok masing-masing. Sekitar tahun 1970, sebelum
hari pelaksanaan riyaya Undhuh-undhuh, jemaat mengadakan berbagai kegiatan
antara lain, bola voli yang mempertandingkan antar blok, pertandingan catur secara
perorangan, dan pemenang lomba-loba tersebut akan diumumkan pada acara
perayaan.
Pembentukan panitia hari raya Undhuh-undhuh ini dilaksanakan 3-4 bulan
sebelum acara dilaksanakan. Panitia sudah menentukan tanggal hari pelaksanakan,
selanjutnya panitia membagi panitia cabang di daerah-daerah untuk koordinasi
memeriahkan acara, seperti halnya mencari dana, membentuk kreasi,dan lain-lain.
Sehingga acara saat hari pelaksanaan tidak melulu dengan bahan padi saja, tetapi
berbagai kreasi dan aksesoris yang sudah dihias sedemikian rupa dan beraneka
ragam. Dari ke semua ini menandakan simbol dari daerah masing-masing untuk
sesembahan. Meskipun sesembahan ini bersifat lentur dalam arti terserah dari
daerah masing-masing, akan tetapi dari pihak panitia pusat menilai sesembahan
57 Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
47
yang dijadikan kreasi dari daerah masing-masing dengan tujuan untuk memotivasi
daerah tersebut mengkreasikan dengan sebaik-baiknya dan seindah-indahnya. Dan
nantinya dari panitia pusat memberikan hadiah bagi daerah yang terbaik
kreasinya.58
Sekitar 2-3 minggu menjelang pelaksanaan Undhuh-undhuh, masing-
masing blok sudah mengumpulkan persembahan dari para jemaat, bahan-bahan
yang dikumpulkan merupakan hasil dari sawah dan pekarangan. Hasil dari sawah
berupa padi, sedangkan dari tanah pekarangan berupa buah-buahan atau pala paden
(buah dari tanaman yang berada dalam tanah seperti ketela, ubi dan yang lainnya),
maupun pala gumantung (buah dari tanaman yang berada di atas tanah seperti;
pisang mangga jambu dan yang lainnya). Sedangkan yang non petani
mengumpulkan hasil karya yang lain, seperti hasil keterampilan sampai dengan
yang berbentuk uang. Kemudian mereka mulai membentuk kerangka bangunan dan
menghiasi bangunan semenarik mungkin. Adapun sebagai bahan dasar pembuatan
bangunan Undhuh-undhuh selain bambu, yakni dari pari jawa (padi jawa) atau padi
kuthuk. Padi ini berciri khas, yaitu berbulu dan tidak mudah rontok sehingga cocok
dipergunakan sebagai penutup rangka bambu bangunan apa pun sesuai dengan tema
yang sudah ditentukan. Tema yang ditentukan tidak jauh dari kisah-kisah Tuhan
Yesus, Musa, dan anak lembu emas, dua ekor anak lembu yang mengangkut tabut
Tuhan, Tuhan Yesus mengusir Iblis dan tema-tema yang lain yang masih seputar
kisah-kisah dalam ajaran Kristen.
Tema-tema yang ditentukan oleh panitia tersebut dijadikan tokoh sentral
yang diangkat menjadi bentuk bangunan atau patung dari padi yang sudah dipilih.
Padi Jawa yang dipilih tadi kemudian di-ronce (dirangkai/diuntai) dengan dihiasi
roncean dengan sayuran, seperti kacang panjang, cabe kecil/besar selain itu juga
dihias dengan buah-buahan dan sayuran hasil pala pendem. Sedangkan hasil dari
kesenian dimanfaatkan untuk memperindah bangunan utama tadi, setelah itu
58 Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
48
bangunan tersebut diletakkan di gerobak supaya mudah dibawa dan mengaraknya
ke gereja.
Sebelum merayakan hari raya Undhuh-undhuh merupakan hari yang sibuk,
melelahkan dan penuh perhatian sekaligus ada rasa sukacita yang terbangun dalam
diri para jemaat. Semakin dekat dengan hari perayaan semakin sibuklah para jemaat
di masing-masing blok, bahkan 3 hari sebelum hari perayaan warga melakukan
melekan (tidak tidur hingga dini hari) guna menyelesaikan bangunan yang akan
diarak ke gereja.
Setiap warga bahu-membahu merias blok masing-masing, tidak ketinggalan
kaum ibu-ibu menjelang sore hari bersama-sama memasak. Selain itu mereka juga
mengumpulkan kue yang sudah diperoleh secara gotong-royong, hal ini disebut
dengan istilah kerakalan/krakalan.
Sebutan kerakalan, berasal dari kata krakal (Bahasa Jawa) yang berarti
batu-batuan kali yang berserakan di halaman rumah. Batu krakal ini tidak sama
bentuk dan ukurannya. Mereka menggambarkan dari aneka-aneka kue yang
dikumpulkan (ibarat batu kerikil adalah sebutan pada batu kali yang berukuran
kecil, sedangkan batu kerakal sebutan untuk batu kali yang lebih besar yang
berserakan di halaman rumah). Selain itu kerakalan ini digunakan untuk hidangan
bagi anak-anak sekolah dan para tamu yang hadir pada perayaan besok pagi.
Sore hari menjelang riyaya Undhuh-undhuh pada pukul 18.30 WIB para
anggota majelis jemaat bersama sesepuh desa dan blok berkumpul di kepandhitan
(rumah dinas pendeta) untuk mengadakan kebaktian persiapan. Mereka biasa
menyebut bidston (Bahasa belanda). Akan tetapi sejak tahun 1997 bidston diadakan
di masing-masing blok bersama dengan warga, tahap ini disebut tahap persiapan.
Pada hari H sekitar pukul 05.30 WIB, di masing-masing warga blok
berkumpul di synagoge blok atau tempat di mana bangunan tersebut dibuat. Mereka
berkumpul dan berdoa bersama kemudian diberangkatkanlah bangunan tadi dan
dibuat iring-iringan atau arak-arakan mengawal bangunan persembahan dari
49
masing-masing blok. Mereka menuju halaman gereja sambil mengarak bangunan
padi dengan aneka ragam bentuk secara meriah. Mulai dari tempat
pemberangkatan, arak-arakan tersebut berjalan sambil memuji Tuhan. Selain itu ada
juga sebagai cucuk lampah (pembuka barisan iringan) melakukan berbagai atraksi
kesenian daerah, seperti tari-tarian diiringi bunyi-bunyian. Selain mengarak
bangunan, ada pujian khusus yang diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun
oleh para leluhur pada anak-anak. Nyanyian ini juga bersumber dari kidung ponsen
yang diperbarui oleh R. Dirman Sasmokoadi dengan judul Ndungkap Mangsa
Panen (menghadapi masa panen)
“lah sampun dumugi Ing mangsa panen,
Ing sabin kang sarwa tinon wewulen,
Kang kuning temungkul dewarninipun,
Janji rame-rame maring tiang dusun.
(Ketika sudah waktu panen
Di ladang yang sudah berbulan-bulan
Padi berujung berwarna kuning
Sehingga warga bergembira ria)
-Nggeh tiang puniko ngolah sabine,
Lan angen mangsane, nyebar wijine,
Melujeng anggaru, nenem lan nengga,
Bilih bade wonten ramening desa.
(Sehingga orang-orang mengolah sawah
Dan waktunya menyebar biji
Menanam dan menunggu
Jika mau ada rame-rame di desa)
-Semanten punika, nggih bilih Allah,
Ngrencangi mring tiang kalayan berkah,
Anuwuhaken tetanemanipun,
Estu badhe wonten ramening dhusun.
(Cukup dari itu, jika Allah
Menemani dan memberikan berkah
Kepada tanaman yang di tanam
benar aka nada keramaian desa)
-Mila kula sampun ngantos kesupen,
Saestune pangeran kang paring panen,
Den sora di gunggung kawlasanipun,
Sareng rame-ramening panenipun.”
50
(Maka kita jangan lupa
Jika Tuhan yang memberi panen
Dan memberi kasih sayangnya
Ayo bareng-bareng meramaikan panen ini)
Lagu kedua dari buku pujian ini juga karangan dari Pdt. Poensen (belanda)
dengan judul Wus Lebar Panene (telah usai panennya).
“Sampun lebar panene lah lah lah, lah lah lah,59
Sampun minggah pantune, lah lah lah, lah, lah, lah,
Sabine tiang tani pinaringan berkah,
Samnagke sampun mukti, lan ayeming manah,
Lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah.
Dene surak tiang tani, lah lah lah, lah lah lah,
Lumbung dipun iseni, lah lah lah, lah lah lah
Nging klayan sihing Allah, semangke bingahan,
Lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah.
Demikian pujian-pujian yang dinyanyikan oleh anak-anak dengan penuh
rasa sukacita dalam iring-iringan mengantarkan berbagai hasil panen sebagai
persembahan yang diserahkan kepada Tuhan. Kegiatan iring-iringan bangunan ini
merupakan tahap kedua dari perayaan Undhuh-undhuh.
Selanjutanya setelah iring-iringan sudah sampai di gereja, mulailah ibadah
kebaktian, hal ini merupakan tahapan yang ketiga dalam prosesi perayaan Undhuh-
undhuh. Dalam pelaksanaan ibadah kebaktian di dalam gereja diiringi musik
gamelan dan juga dilakukan prosesi solah bawa (prosesi penyerahan persembahan
kepada Tuhan) yang diperagakan oleh anak-anak. Prosesi ini memaki liturgy bahasa
Jawa. Kebaktian terhadap anak-anak dan orang tua dilakukan di tempat yang
berbeda. Kebaktian orang dewasa di gedung gereja ada persembahan simbolis
dalam wujud hasil bumi yang dibawa dan dipersembahakan oleh para wakil dari
masing-masing blok, demikian juga persembahan simbolis dari majelis jemaat,
59 Dalam tulisan jawa asli tertulis “lah lah lah” namun pada masa sekarang di ubah menjadi “la
la la.”.
51
badan pembantu jemaat sekolah yang setiap unit masing-masing diwakili oleh dua
orang.
Berikutnya setelah ibadah, bangunan kembali diarak menuju tempat
pelelangan yang berada di depan kantor pendeta yang tidak jauh dari gereja.
Sesampainya di sana bangunan dibongkar oleh masing-masing blok. Padi gagang
dan padi biasa mereka masukkan ke lumbung jemaat dengan pengawasan panitia
yang sebelumnya juga ditimbang terlebih dahulu. Buah-buahan, sayuran, bunga,
hewan ternak, karya kerajinan dan persembahan lainnya dikumpulkan untuk
kemudian dilelang. Sambil menunggu proses pembongkaran, para tamu dan
undangan serta warga jemaat dihibur dengan berbagai atraksi dan hiburan yang
disuguhkan oleh jemaat. Termasuk juga klotekan lesung. Klotekan lesung dilakukan
lebih dari dua-tiga orang. Biasanya dilakukan oleh para perempuan secara beramai-
ramai bergantian dan bernyanyi bersama-sama.
Tahapan terakhir dari riyaya Undhuh-undhuh adalah lelangan. Usai
kebaktian jemaat berkumpul di depan kantor pendeta untuk mengadakan lelangan
dari hasil persembahan yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, hasil
kerajinan, binatang/hewan ternak. Padi yang ditata untuk bangunan setelah dinilai,
dibongkar, ditimbang, dan disimpan kelak akan dijual. Peserta lelangan selain para
jemaat sendiri juga dari pendatang yaitu jemaat sekitar dari gereja-gereja yang ada
di Jawa Timur baik dari GKJW maupun dari gereja lain terkadang ada juga yang
datang dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahkan dari luar Jawa pun pernah ada
yang datang untuk turut serta mengikuti riyaya Undhuh-undhuh. Proses lelangan ini
terlihat sangat jor-joran (bersaing) terhadap harga barang-barang yang dilelang
namun tetap dalam suasana khidmat dan gembira.
Dengan berakhirnya acara lelangan, berakhir pula seluruh rangkaian hari
raya Undhuh-undhuh yang ada di jemaat GKJW Mojowarno. Di jemaat-jemaat lain
di lingkungan gereja-gereja di GKJW tradisi riyaya Undhuh-undhuh juga
dilakukan. Namun yang membedakan adalah pembuatan bangunan, arak-arakan,
52
dan lelangan. Sampai saat ini seluruh jemaat GKJW Mojowarno masih antusias
dalam melestarikan tradisi riyaya Undhuh-undhuh.60
Riyaya Undhuh-undhuh merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan
sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang didapat dari Tuhan. Dalam prosesi
pelaksanaan riyaya Undhuh-undhuh banyak diiringi dengan musik dan kesenian
tradisional serta lagu-lagu khusus gereja yang mengandung nilai-nilai yang penting
dalam kehidupan selain nilai hiburan. Nilai-nilai dalam tradisi Undhuh-undhuh ini
sesuai dengan pendapat Sumardjo yang menyatakan bahwa nilai adalah masalah
mendasar yang bisa ditemukan dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika),
dan estetika (keindahan), di samping keadilan, kebahagiaan, dan kegembiraan.61
Berikut adalah nilai-nilai yang ada dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh:
Nilai religi ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan
kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya terdapat konsep kekudusan dan
ketakdziman kepada yang Maha Ghaib.62 Bentuk nilai religi dalam tradisi riyaya
Undhuh-undhuh terdapat dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini,
seperti pada saat kebetan dan keleman dilakukan ibadah. Setelah bangunan selesai
pun dilaksanakan ibadah persiapan Undhuh-undhuh atau Bidston. Kemudian pada
saat bangunan diarak dan sampai di depan gereja dilakukan pula ibadah. Tradisi ini
unsur religinya sangat kental. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk syukur
kepada Tuhan.
Nilai solidaritas dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam
gotong royong yang terlihat pada saat membuat bangunan yang dilakukan oleh
warga jemaat tiap-tiap blok serta pada saat dilakukannya arak-arakan bangunan
60 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 52-69.
61 Hasanah, Uswatun, “Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di Dusun
Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang”, Skripsi tidak
diterbitkan. (Universitas Negeri Malang, 2014), hlm 84.
62Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Perdana Media Group, 2010), hlm.
142.
53
menuju gereja induk. Hal demikian menunjukan hubungan persahabatan,
kekeluargaan dan simpati terhadap sesama dan saling menghargai.63
Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam
persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat untuk membuat
bangunan di tiap bloknya yang kemudian akan dilelang. Dana dari hasil lelangan
tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan gereja
lainnya. Selain itu persembahan yang diberikan oleh warga jemaat merupakan
wujud syukur atas berkat yang diberikan oleh Tuhan serta agar dapat berbagi
kepada sesama manusia. Nilai moral adalah nilai-nilai tentang baik-buruk, mulia
dan hina yang berkaitan dengan perilaku manusia menurut tatanan yang berlaku di
dalam kelompok sosial tersebut.64 Nilai moral bersumber pada kehendak keras,
karsa hati dan nurani manusia. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh
mengandung makna bahwa dengan memberikan persembahan maka dapat berbagi
dengan sesama manusia sebagai bentuk rasa syukur atas berkat dari Tuhan.
Nilai-nilai keindahan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam
bangunan yang dibuat sebagus dan semenarik mungkin oleh warga jemaat tiap-tiap
blok sesuai dengan cerita-cerita di Alkitab. Nilai keindahan merupakan nilai yang
berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, dan keserasian dalam hal
penampilan. Nilai keindahan bersumber pada rasa manusia yang menentukan indah
dan tidaknya suatu hal yang mempunyai daya tarik atau pesona yang melekat
terhadapa pandangan manusia atau sekelompok masyarakat.65
Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dari dana
lelangan yang asal mulanya dari dana persembahan yang nantinya akan diserahkan
63 Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, hlm. 143.
64 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 125
65 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, hlm. 125.
54
kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan
gereja lainnya. Nilai ekonomis yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 66
Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam acara-
acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah prosesi riyaya Undhuh-
undhuh, seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar pada saat arak-arakan,
pertunjukan kuda lumping, reog, barongsai, patroli, dan juga pagelaran wayang
kulit yang dilaksanakan malam hari setelah riyaya Undhuh-undhuh. Nilai hiburan
adalah nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyambungkan pada
pengayaan kehidupan.
66 Hermanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta Timur: PT Bumi Aksara), hlm.
128.
55
BAB IV
NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM PROSESI RIYAYA UNDHUH-
UNDHUH
A. Kerukunan Sosial dan Toleransi Hidup Beragama
Terwujudnya interaksi sosial tidak lepas dari pengamalan nilai kerukunan
sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Kerukunan sendiri berarti baik
dan damai, tidak bertentangan, bersatu hati dan bersepakat. Kerukunan adalah suatu
sifat atau sikap pada diri seseorang untuk selalu memberikan kebebasan pada orang
lain, serta memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut atas dasar pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkam kerukunan sosial merupakan suasana
persaudaraan dan kebersamaan atar semua orang walaupun terdapat perbedaan ras,
suku, agama, budaya dan golongan. Selain itu, kerukunan sosial juga bisa bermakna
suatu proses untuk menjadi rukun dari yang sebelumnya tidak rukun atau tidak ada
kemampuan dan kemauan untuk hidup bersama dalam sebuah perbedaan di tempat
tersebut. Kerukunan juga dapat dimaknai sebagai kehidupan bersama dalam suasana
yang damai dan harmonis. Hidup rukun bukan berarti tidak mempunyai konflik,
melainkan bersatu hati dan sepakat dalam berfikir untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama. Dalam kerukunan sosial setiap orang bisa hidup bersama dengan tanpa
kecurigaan dan saling menghargai dan bersedia bekerja sama demi kepentingan
bersama. Kerukunan sosial juga merupakan suatu sikap yang berasal dari lubuk hati
yang paling dalam yang terpancar dari kemauan untuk berinteraksi satu sama lain
sebagai manusia tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun.67
Untuk mewujudkan kerukunan sosial dalam masyarakat luas diperlukan
proses-proses sosial seperti membangun sebuah komunikasi yang baik dan kontak
sosial yang penuh etika. Menurut Soerjono Soekanto, bentuk umum dari proses-
proses sosial adalah interaksi social. Maka dari itu interaksi sosial ini merupakan
67 Yudhi Kawangung dan Jeni Ishak Lele, “Diskursus Kerukunan Sosial Dalam Prespektif
Masyarakat Keristen fi Indonesia Rekonsiliasi Pasca Pemilu”, Jurnal VISIO DEI: Jurnal Teologi
Keristen, Vol.1. No.1 Juli 2019, hlm. 142-143
56
sebuah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses-
proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi soisal. Interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar
perorangan, kelompok, ataupun orang dengan kelompok manusia.68 Selain itu juga
menurut Soejono Soekanto, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila
tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Tanpa
kontak social, interaksi tidak mungkin ada atau terjadi. Kontak sosial berbeda dengan
kontak fisik, karena kontak sosial hanya bisa terjadi apabila ada kontak respon,
timbal-balik, dan suatu penyesuaian tingkah laku secara batiniah terhadap tindakan-
tindakan orang lain. Adanya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk,
yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan
kelompok lain. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak
langsung. Syarat selanjutnya yakni komunikasi. Arti terpenting komunikasi adalah
bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain yang berwujud
pembicaraan dan gerakan-gerakan badan atau sikap. Adanya komunikasi dalam
interaksi sosial memberi arti pada perilaku orang lain tentang perasaan-perasaan apa
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Kemudian orang yang bersangkutan
memberikan suatu reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut.69
Kerukunan umat beragama adalah sebuah keadaan yang saling terhubung
antar umat beragama dengan berlandaskan sikap toleransi. Hal tersebut diaplikasikan
dengan sikap saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman agama,
dan kerjasama dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam
Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.70 Hal yang mendasari sebuah
68 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press 2015), hlm. 55.
69 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, hlm. 58-62.
70 Tim Penyusun Puslitbang, Kehidupan Beragama Kompilasi Kebijakan dan Peraturan
Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008),
hlm. 294
57
kerukunan hidup beragama adalah dengan adanya sikap toleransi yang tinggi dan
interaksi sosial yang positif.
Toleransi merupakan sebuah pemberian kebebasan kepada sesama manusia
atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya, mengatur
hidupnya, dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan
sikap tersebut tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat
terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.71 Toleransi adalah sebuah
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Hal ini dapat dipahami
bahwa toleransi adalah sebuah sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada
orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah atau
berbeda.72 Ada dua macam toleransi, yakni toleransi terhadap sesama agama dan
toleransi terhadap nonmuslim.
Toleransi terhadap sesama agama yakni toleransi yang berkaitan dengan
masalah keyakinan pada diri manusia, yakni tentang Tuhan yang diyakininya.
Seseorang harus diberikan kebebasan berkeyakinan dan beragama sesuai yang dipilih
oleh masing-masing, serta memberikan penghormatan atas pelaksanan ajaran-ajaran
yang dianut atau diyakini. Toleransi mengandung sebuah maksud, yakni
terbentuknya sebuah sistem yang menjamin atas diri pribadi manusia yang berkaitan
dengan harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat pada sekelompok
masyarakat. Toleransi tersebut tercermin dengan sikap menghormati agama,
moralitas, lembaga-lembaga, pendapat, serta perbedaan-perbedaan yang ada di
lingkungan sekolompok masyarakat tersebut tanpa harus ada perselisihan hanya
dikarenakan adanya sebuah perbedaan keyakinan atau agama. Toleransi beragama
mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk saling menghormati dan
membiarkan pemeluk agama lain melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan
71 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 22.
7272 Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), hlm. 161.
58
ketentuan agama masing-masing tanpa ada yang menggangu atau memaksakan, baik
dari masyarakat sekitar maupun keluarga sendiri.73
Dalam beragama terdapat garis dan pola dasar hubungan, yakni hubungan
vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan pribadi
manusia dengan Tuhannya yang diaplikasikan dalam bentuk ibadah sesuai agama
yang diyakininya. Hubungan ini bisa dilakukan secara individu maupun kelompok.
Hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan suatu
agama saja. Sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan antar manusia dengan
sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas hanya seagama saja, tetapi juga berlaku
kepada semua orang yang berbeda agama atau keyakinan. Hubungan ini terlihat
dalam bentuk kerjasama dalam kemasyarakatan atau kemaslahatan umum, seperti
berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama.74
Selanjutnya toleransi terhadap nonmuslim, toleransi dalam pergaulan hidup
antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran masing-masing. Menurut
Said Agil Munawar, ada dua macam toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi
dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin tanpa melahirkan kerjasama
melainkan hanya bersifat teoritis. Sedangkan toleransi dinamis adalah toleransi aktif
yang melahirkan kerjasama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar umat
beragama bukanlah dalam bentuk teoritis belaka, melainkan sebagai refleksi dari
kebersamaan umat beragama sebagai bangsa.75
Selain toleransi yang tinggi, hal mendasar dalam kerukunan hidup beragama
adalah sebuah interaksi sosial yang postif. Interaksi sosial merupakan hubungan antar
manusia yang bersifat dinamis yang selalu mengalami perubahan. Interaksi sosial
73 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2001), hlm. 13.
74 Said Agil Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm.14.
75 Said Agil Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, hlm.14.
59
yang dimaksud adalah hubungan timbal-balik antara individu dengan individu,
kelompok dengan kelompok, dan individu dengan kelompok.76
B. Filosofi Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh
Riyaya Undhuh-undhuh merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan sebagai
bentuk rasa syukur atas berkat yang didapat dari Tuhan. Dalam prosesi pelaksanaan
riyaya Undhuh-undhuh banyak diiringi dengan musik dan kesenian tradisional serta
lagu-lagu khusus gereja yang mengandung nilai-nilai yang penting dalam kehidupan,
selain nilai hiburan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat terkait
pandangan mereka terhadap tradisi Undhuh-undhuh tersebut, secara filosofis, dapat
dilihat dari beberapa aspek, seperti aspek teologis, aspek budaya, sosial
kemasyarakatan, dan aspek materi.
Menurut pemaparan bapak Djoko Purwanto, dari segi teologis, hari raya
Undhuh-undhuh merupakan sesuatu yang sangat penting, karena tradisi ini
merupakan bentuk syukur umat terhadap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan. Hari
raya Undhuh-undhuh ini dapat memotivasi warga untuk pandai bersyukur kepada
Tuhannya. Ketika Tuhan sudah meemberkati umat-Nya dengan berkat-berkat-Nya,
khususnya berkat panen padi yang baik, maka mereka mempersembahkanya sebagai
wujud rasa terima kasih kepada Tuhan. Dari segi teologis, umat diharapkan selalu
bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberkati.77
Di samping itu, menurut Djoko, ajaran Kristen memang mewajibkan agar
umat Kristen juga pandai mempersembahkan berkat yang ia terima kepada Tuhan.
Berkat atau persembahan tersebut nanti akan dikelola oleh gereja menjadi biaya
operasional gereja. Hal ini karena melalui gereja itulah manusia bisa memuliakan
Tuhan dengan sempurna. Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita menyembah
Tuhan, ada ritual kepada Tuhan. Ritual-ritual tersebut tentunya membutuhkan biaya
76 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), hlm. 7.
77 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
60
agar pelaksanaannya lancar. Selain itu, persembahan tersebut juga digunakan untuk
pembangunan gereja.78
Alkitab juga mewajibkan untuk mempersembahkan yang sulung, artinya hasil
yang terbaik. Kita diberikan yang terbaik berarti harus mengembalikan yang terbaik
dalam bentuk mempersembahkan yang terbaik. Oleh karena itu, hasil panen tersebut
merupakan hasil yang terbaik yang disembahkan kepada Tuhan. Adapun yang
dipersembahkan itu dinamakan persepuluhan, artinya jika ada uang Rp.100.000,-
maka dipersembahakan 10% kepada Tuhan. Begitu juga dalam tradisi Undhuh-
undhuh.79
Jika dilihat dari aspek budaya, hari raya Undhuh-undhuh memiliki daya tarik
kepariwisataan. Hal ini karena Undhuh-undhuh mempunyai nilai budaya yang luar
biasa. Persembahan yang diberikan oleh umat dibentuk sebuah bangunan yang indah
dengan bangunan padi serta aksesoris yang lain, seperti buah-buahan untuk
menghiasi bangunan. Bangunan yang indah inilah kemudian salah satu daya tarik
kepariwisataan, selain kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan demikian, menurut Djoko,
nilai budaya dari tradisi Undhuh-undhuh ini sangat tinggi, sehingga perlu
dilestarikan.80
Salah satu cara melestarikannya adalah dengan mengadakannya setiap tahun.
Dengan demikian, setiap generasi akan mengetahuinya. Jika seandainya tidak
dilaksanakan, maka gereja akan merasakan perasaan tidak enak dengan warga
masyarakat. Hal ini karena tradisi ini sudah ditunggu-tunggu oleh seluruh warga,
tidak hanya umat Kristen tetapi juga non-Kristen. Secara moral, gereja dan umat
Kristen akan terganggu karena tradisi ini sudah milik masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, perlu juga mengikutsertakan anak-anak muda dalam tradisi ini agar
78 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
79 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
80 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
61
mereka bisa memahami dan mengetahui, sehingga bisa memperkenalkannya ke
generasi-generasi selanjutnya.
Pandangan beberapa tokoh masyarakat ini sesuai dengan pendapat Sumardjo
yang menyatakan, bahwa nilai adalah masalah mendasar yang bisa ditemukan dalam
bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika), dan estetika (keindahan), disamping
keadilan, kebahagiaan, dan kegembiraan.81 Berikut adalah nilai-nilai yang ada di
dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh:
Pertama, nilai religi. Nilai religi dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terdapat
dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini, seperti pada saat kebetan dan
keleman dilakukan ibadah. Setelah bangunan selesai pun dilaksanakan ibadah
persiapan Undhuh-undhuh atau Bidston. Kemudian pada saat bangunan diarak dan
sampai di depan gereja, dilakukan pula ibadah. Tradisi ini unsur religinya sangat
kental. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk syukur kepeda Tuhan.
Kedua, nilai solidaritas. Nilai solidaritas dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh
terwujud dalam gotong royong yang terlihat pada saat membuat bangunan yang
dilakukan oleh warga jemaat tiap-tiap blok, serta pada saat dilakukannya arak-arakan
bangunan menuju gereja induk. Selanjutnya arak-arakan tersebut dikawal oleh
beberapa tokoh masarakat seperti polisi dan juga dari organisasi Islam seperti Banser
dan yang lainnya.
Ketiga, nilai moral. Nilai moral dalam Tradisi riyaya Undhuh-undhuh
terwujud dalam persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat
untuk membuat bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Dana dari
hasil lelangan tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta
kebutuhan gereja lainnya. Selain itu, persembahan yang diberikan oleh warga jemaat
merupakan wujud syukur atas berkat yang diberikan oleh Tuhan serta agar dapat
berbagi kepada sesama manusia. Nilai moral adalah nilai-nilai tentang baik-buruk
yang berkaitan dengan perilaku manusia. Nilai moral bersumber pada kehendak
81 Hasanah, Uswatun,“Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di Dusun
Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang”, Skripsi tidak
diterbitkan. (Universitas Negeri Malang, 2014), hlm 84.
62
keras, karsa hati, dan nurani manusia. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-
undhuh mengandung makna bahwa dengan memberikan persembahan, maka dapat
berbagi dengan sesama manusia sebagai bentuk rasa syukur atas berkat dari Tuhan.
Keempat, nilai keindahan. Nilai keindahan dalam tradisi riyaya Undhuh-
undhuh terwujud dalam bangunan yang dibuat sebagus dan semenarik mungkin oleh
warga jemaat tiap-tiap blok sesuai dengan cerita-cerita di Alkitab. Nilai keindahan
merupakan nilai yang berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, dan keserasian
dalam hal penampilan. Nilai keindahan bersumber pada rasa manusia. Jadi, yang
menentukan indah dan tidaknya suatu hal ialah individu dari manusia tersebut.
Kelima, nilai ekonomis. Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh
terwujud dari dana lelangan. Asal mula dana ini adalah dari dana persembahan yang
nantinya akan diserahkan kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan
jemaat serta kebutuhan gereja lainnya.82 Selain dari hasil lelangan, nilai ekonmi juga
sangat dirasakan bagi masyarakat sekitar, baik dari kalangan jemaat itu sendiri
maupun dari kalangan kalangan muslim. Hal ini bisa dirasakan warga sekitar dengan
turut serta meramaikan dengan berjualan di pinggir jalanan, bahkan non-Kristen juga
turut serta ikut dalam pembelian lelangan tersebut.
Keenam, nilai hiburan. Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh
terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah
prosesi riyaya Undhuh-undhuh. Seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar,
pertunjukan kuda lumping pada saat arak-arakan, reog, barongsai, patroli, dan juga
pagelaran wayang kulit yang diadakan malam hari setelah riyaya Undhuh-undhuh
serta pertunjukan dari organisasi seperti IPNU dan IPPNU, seperti pertunjukan
pencak silat dan yang lainya.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan pandangan tokoh masyarakat tersebut,
dapat dipahami bahwa tradisi Undhuh-undhuh bukanlah tradisi yang langka, namun
tradisi yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti
82 Hermanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar(Jakarta Timur: PT Bumi Aksara), hlm.
128.
63
dengan banyaknya masyarakat yang menunggu hari raya ini, tidak hanya umat
Kristen, tetapi juga non-Kristen. Oleh karena itu, menurut mereka harus terus
dilestarikan agar generasi mendatang juga tetap melakukannya. Hal ini karena
terdapat banyak hal positif yang mampu memberikan perkembangan bagi masyarakat
luas, terutama dalam persoalan toleransi antar umat dan peningkatan perekonomian
masyarakat.
Bertahannya tradisi tersebut merupakan hal yang sangat baik bagi
masyarakat. Perubahan zaman bisa saja akan mengubah tradisi, kebudayaan, dan
pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, dengan berjalannya tradisi ini, memberikan
efek yang sangat bagus bagi perkembangan masyarakat, terutama pemikiran mereka
terhadap toleransi umat beragama. Hal ini karena di Indonesia, akhir-akhir ini banyak
perselisihan-perselisihan yang mengatasnamakan agama. Warga masyarakat
Mojowarno bisa membuktikan bahwa mereka dapat menjaga dan menghargai sesama
umat beragama dengan masih berjalannya tradisi Undhuh-undhuh tersebut. Dengan
kata lain, nilai-nilai kerukunan umat beragama di desa Mojowarno masih terbangun
dengan baik dengan pelaksanaan tradisi Undhuh-undhuh ini.
Selain adanya tradisi Undhuh-undhuh tersebut sebagai upaya mewujudkan
kerukunan umat beragama di Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang dan tokoh
masyarakat juga membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pengurus
FKUB dilantik oleh bupati atau pimpinan pemerintah Jombang. Pemerintah juga
mengeluarkan khusus untuk mobilitas kegiatan FKUB. Saat ini ketua FKUB
Kabupaten Jombang yaitu KH Isrofil Amar.
FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh
pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi, dan bimbingan
teknis serta evaluasi di bidang kerukunan umat beragama. Beberapa tugas FKUB
antara lain:
1. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat;
64
3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan Kebijakan Bupati Karangasem.
4. Melakukan sosialiasasi peraturan perundang–undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat;
5. Membentuk sekretariat sesuai dengan kebutuhan;
6. Melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Bupati Jombang
Dalam menyelenggarakan tugasnya, Forum Kerukunan Umat Beragama
menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan lembaga kerukunan agama dan
lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan bimbingan umat.
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan lembaga kerukunan agama dan
lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan bimbingan umat;
3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan lembaga
kerukunan agama dan lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan
bimbingan umat;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan lembaga
kerukunan agama dan lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan
bimbingan umat; dan
5. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Sampai saat ini, Menurut Hj Mundjidah Wahab, tidak ada pertikaian antar
umat beragama yang berarti di Jombang. Hal ini menunjukkan masyarakat Jombang
sudah terbiasa hidup berdampingan. Bahkan beberapa tokoh Jombang menjadi tokoh
penting dalam gerakan toleransi antar agama di Indonesia. Seperti KH Abdurrahman
(Gus Dur), Prof Nur Cholis Majid (Cak Nur) dan Emha Ainun Najib (Cak Nun).
Menurut Hj Mundjidah Wahab, dalam perayaan hari besar nasional biasanya saat doa
bukan hanya dari pihak Islam saja. Tapi juga doa dari non-muslim, mereka berdoa
secara bergantian. 83
83 Wawancara dengan Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab, tanggal 22 Februari 2019.
65
Pemerintah Kabuapten Jombang juga aktif hadir dalam kegiatan keagamaan
seperti Undhuh-undhuh di Mojowarno. Bahkan Pemerintah Jombang berencana
menjadikan budaya Undhuh-undhuh ini sebagai kegiatan utama yang menarik
wisatawan lokal maupun internasional. “Kita sudah mengusulkan Undhuh-undhuh
jadi ikon Jombang. Saat ini masih fokus kajian dan musyawarah,”.84
C. Nilai Kerukunan Dalam Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh
Tidak menutup kemungkinan, keberagaman menjadi sumber konflik dalam
masyarakat. Masalah keberagaman ini dipicu oleh berbagai hal, misalnya arus
globalisasi, trauma historis antar golongan, bahkan keterbukaan politik. Hal inilah
kemudian yang memicu terjadinya permasalahan-permasalahan dalam masyarakat
yang bersumber dari keberagaman. Oleh karena itu, keberagaman perlu dikelola
dengan baik, agar tidak menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Pemerintah telah
melakukan berbagai upaya dalam rangka menjaga keberagaman tersebut. Salah
satunya dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Meskipun
demikian, kebijakan dari pemerintah tersebut tidak cukup mampu mengatasi
permasalahan keberagaman dalam masyarakat.
Selain pemerintah, masyarakat pun harus punya andil dalam mengelola
keberagaman agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari
keberagaman tersebut. Masyarakat punya peran yang sangat penting dalam
mengelola keberagaman. Agar keberagaman terkelola dengan baik, masyarakat harus
mampu menciptakan nilai kerukunan-kerukunan antar masyarakat. Salah satu cara
membentuk nilai kerukunan tersebut adalah dengan melestarikan tradisi-tradisi adat
yang memiliki nilai-nilai kerukunan di dalamnya. Riyaya Undhuh-undhuh
merupakan salah satu tradisi masyarakat yang banyak memiliki nilai-nilai kerukunan
di dalamnya.
Tradisi riyaya Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang sudah lama
dipraktikkan masyarakat Mojowarno. Sebagai sebuah tradisi yang telah dipegang
84 Wawancara dengan bapak Camat Arif Hidajat, tanggal 18 Februari 2019.
66
erat oleh masyarakat, riyaya Undhuh-undhuh memiliki makna yang dapat
menciptakan kerukunan. Kerukunan terjadi tidak hanya dalam satu golongan
masyarakat, tetapi melingkup antar golongan masyarakat. Dengan kata lain, tradisi
ini mampu merekatkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Nilai-nilai kerukunan
yang terbentuk dalam tradisi ini dapat dilihat dari prosesi adat riyaya Undhuh-
undhuh. Dari prosesi pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dapat dilihat nilai-nilai
yang terbentuk dalam masyarakat, seperti nilai kebersamaan, nilai toleransi,
pluralitas, dan lain sebagainya.
1. Menciptakan Kebersamaan
Kebersamaan merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan
kerukunan antar masyarakat. Ketika masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan
secara bersama, maka rasa kebersamaan akan muncul. Rasa kebersamaan inilah
yang kemudian menjadi modal bagi masyarakat dalam menciptakan kerukunan
dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari keberagaman.
Kebersamaan masyarakat yang terdiri dari berbagai ras, suku, agama, dan
golongan dapat dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh dalam masyarakat
Mojowarno.
Prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut tidak hanya diikuti oleh umat
Kristen saja, tetapi juga umat lainnya, seperti umat Islam, Konghocu, dan
lainnya. Tradisi ini mempertemukan semua kalangan masyarakat dan semua
golongan. Hal inilah kemudian melahirkan sikap kebersamaan antar warga
masyarakat. Semua kalangan tidak mempermasalahkan tradisi ini, karena tradisi
ini memberikan nilai yang positif bagi masyarakat Mojowarno.
Bapak Kepala Desa Mojowarno menjelaskan, bahwa prosesi riyaya
Undhuh-undhuh lebih kepada kegiatan budaya masyarakat bukan kegiatan
agama, karena memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi seluruh warga
masyarakat tidak hanya umat Kristen. Meskipun dari segi teologis, tradisi
Undhuh-undhuh merupakan wujud rasa syukur umat Kristen kepada Tuhan atas
limpahan rahmat yang diberikan terutama hasil panen. Namun menurutnya,
67
secara sosial kemasyarakatan, tradisi tersebut memberikan dampak yang sangat
bagus bagi masyarakat lainnya, terutama terciptanya kebersamaan masyarakat.85
Warga muslim tidak ikut dalam upacaranya, seperti doa dan upacara
keagamaan lainnya. Akan tetapi, setelah semua upacara dilaksanakan dan semua
telah didoakan, maka dibawalah ke tempat pelelangan, saat inilah kemudian
warga lain ikut serta memeriahkan. Selain itu, warga lain, khususnya muslim
juga ikut membantu mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk
kelancaran upacara dan kegiatan pelelangan tersebut. Begitu juga sebaliknya,
umat Kristen juga ikut membantu ketika umat muslim melakukan acara, seperti
takbiran.86
Lebih lanjut, Bapak Kepala desa menjelaskan bahwa tradisi ini bagi umat
lain, khususnya umat Islam, tidaklah mengganggu dan mereka tidak
mempermasalahkannya. Hal ini karena tradisi tersebut memang sudah tradisi
yang turun temurun dalam masyarakat Mojowarno. Bahkan, tradisi tersebut
sangat dinanti-nanti oleh masyarakat, sebab banyak hal yang bisa didapatkan
oleh masyarakat dari kegiatan tersebut. Salah satunya dari segi ekonomi,
masyarakat dapat menjual hasil pertanian dan sebagainya ketika kegiatan
tersebut berlangsung. Hal inilah kemudian memberikan efek secara tidak
langsung bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat.87
Segala kegiatan yang dilaksanakan di Desa Mojowarno, menurut
pengakuan Bapak Kepala desa, jika itu bernilai sosial kemasyarakatan, akan
didukung oleh segenap warga. Mereka tidak akan peduli dengan persoalan
perbedaan agama, suku, ras, maupun golongan-golongan. Inilah yang kemudian
memberikan dampak positif bagi kerukunan umat di desa Mojowarno.
Hubungan masyarakat dengan yang lain terjalin dengan baik, sehingga tidak
85 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
86 Hasil Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
87 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
68
terjadi perselisihan-perselisihan yang menyebabkan perpecahan antar
masyarakat.88
Meskipun demikian, Bapak Kepala Desa tidak sepakat terhadap
pernyataan dari beberapa orang yang mengatakan bahwa tradisi Undhuh-undhuh
merupakan peninggalan Belanda. Menurut Bapak Kepala Desa, tradisi Undhuh-
undhuh ini murni tradisi budaya Mojowarno, budaya Indonesia. Tradisi dan
budaya yang ada di Indonesia jangan sampai diklaim oleh bangsa lain. Oleh
karena itu, tradisi ini perlu dilestarikan agar tetap mendatangkan nilai-nilai
positif bagi masyarakat Mojowarno khususnya dan masyarakat Indonesia
umumnya. 89
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Bapak H. Sahlul Basar, sebagai
tokoh muslim sekaligus Staf Kemenag Mojowarno.
Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang awalnya sebagai bentuk syukur
masyarakat kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan berupa hasil panen,
kesehatan, keturunan, keluarga yang tidak ada masalah, dan nikmat lainnya.
Ketika waktu panen bersama atau pesta panen, masyarakat melakukan syukuran.
Pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat keseluruhannya. Meskipun Undhuh-
undhuh menjadi ciri khas pesta panen saudara dari umat Nasrani untuk
mensyukuri nikmat Tuhan.90 Hal inilah yang menciptakan rasa kebersamaan
antar masyarakat tanpa melihat ras, agama, suku, dan golongan.
2. Menumbuhkan Sikap Toleransi
Aksi-aksi intoleransi dan kekerasan akhir-akhir ini marak terjadi di
tengah masyarakat Indonesia. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang
sangat berat bagi masyarakat Indonesia. Jika hal ini tidak diatasi dengan baik,
maka perpecahan-perpecahan antar masyarakat akan terus terjadi. Oleh karena
88 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
89 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
90 Hasil wawancara dengan Bapak H.Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11
Februari 2019.
69
itu perlu adanya peran aktif dari segenap elemen, baik pemerintah maupun
masyarakat, untuk menumbuhkan sikap-sikap toleransi antar masyarakat.
Sikap toleransi merupakan sikap mau menerima dan menghargai segala
perbedaan yang ada, baik perbedaan agama, suku, maupun ras. Sikap-sikap
toleransi tersebut bisa dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh yang dilakukan
oleh masyarakat Mojowarno. Meskipun tradisi Undhuh-undhuh menjadi ciri
khas tersendiri bagi masyarakat Nasrani, tetapi juga mengundang masyarakat
sekitar, baik umat Islam, Konghocu, ormas, dan semua perangkat persatuan
umat toleransi untuk turut serta hadir. Begitu juga kelompok-kelompok lain,
seperti kelompok seni yang juga diundang untuk memeriahkan acara. Acara juga
disaksikan oleh berbagai kalangan, lintas agama, dan pengunjung pun beragam.
Hal inilah yang kemudian menurut Bapak Staff Kemenag dapat meningkatkan
nilai-nilai kerukunan antar umat.91
Di samping itu, umat Nasrani juga berusaha untuk membersamai acara-
acara umat yang lain. Jadi, menurut Bapak Staff Kemenag, tidak ada masalah
bagi umat Islam sendiri maupun umat-umat lainnya. Mereka saling menghargai
satu sama lain. Hal tersebut karena riyaya Undhuh-undhuh merupakan bagian
dari budaya masyarakat yang harus dilestarikan karena mendatangkan nilai-nilai
positif bagi masyarakat itu sendiri. 92
Dengan adanya keikutsertaan semua golongan dalam prosesi riyaya
Undhuh-undhuh ini membuktikan bahwa toleransi antar masyarakat telah
tercipta dengan baik dalam masyarakat Mojowarno. Masyarakat saling
menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah-tengah
mereka. Meskipun tradisi-tradisi yang dipraktikkan berbeda satu sama lain,
91 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11
Februari 2019.
92 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11
Februari 2019.
70
namun masyarakat Mojowarno tetap ikutserta dan mengambil andil dalam
kelancaran acara tersebut.
Ketikutsertaan setiap elemen masyarakat tersebut menjelaskan bahwa
salah satu cara menumbuhkan sikap toleransi antar golongan tersebut adalah
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan antar golongan masyarakat. Di dalam
pertemuan tersebut, setiap masyarakat akan saling memahami satu sama lain,
baik dari segi kebiasaan, agama, dan lain sebagainya. Hal inilah kemudian
menciptakan pemahaman-pemahaman yang tidak parsial, dalam arti tidak
subjektif antar masyarakat satu sama lainnya. Pada saat yang sama akan tercipta
sikap-sikap toleransi antar masyarakat, baik antar suku, ras, agama, dan
golongan.
3. Rasa Solidaritas yang Tinggi
Dalam pelaksanaan Undhuh-undhuh, ada kegiatan-kegiatan yang
mendukung kegiatan inti. Kegiatan-kegiatan tersebut, seperti kegiatan olahraga
dan lomba-lomba. Kegiatan pendukung ini dimulai sebulan sebelum acara
Undhuh-undhuh. Kemudian, sehari sebelum acara inti hingga hari raya Undhuh-
undhuh, diadakan bazar di halaman SMP. Para warga dipersilakan untuk
menyewa halaman ini untuk dijadikan tempat jualan mereka. Siapa pun boleh
menyewa untuk dijadikan stand bazar. Meskipun demikian, warga yang
menyewa 75%-nya adalah orang Kristen. Di sinilah terjadi kegiatan paguyuban
gotong royong antar umat Kristen dan non-Kristen secara bersama-sama
melakukan kegiatan ekonomi. Rata-rata mereka menjual hasil pekerjaan mereka.
Dengan demikian menurut pandangan Djoko, secara ekonomi, tradisi Undhuh-
undhuh tersebut bisa menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, hal ini ikut
meningkatkan perekonomian masyarakat.93
Tradisi Undhuh-undhuh tersebut, menurut Djoko, secara tidak langsung
telah meneguhkan konsep “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini karena dari aspek
sosial masyarakat, tradisi ini secara tidak langsung membentuk kesatuan umat,
93 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
71
baik umat Kristen maupun non-Kristen. Secara tidak langsung, tradisi ini
memupuk rasa solidaritas antar sesama agama. Dengan demikian, tradisi
Undhuh-undhuh dapat menyatukan warga bangsa, umat Islam, umat Kristen dan
lainnya. Prosesi Undhuh-undhuh tidak hanya melibatkan umat Kristen tetapi
warga masyarakat keseluruhannya. Acara puncak Undhuh-undhuh tersebut
adalah pelelangan. Pelelangan ini bebas diikuti warga, tidak hanya umat Kristen
tetapi juga umat lainnya.
4. Paham Pluralisme Masyarakat yang Kuat
Salah satu faktor yang mendukung kerukunan pada masyarakat
Mojowarno adalah adanya paham pluralisme yang kuat di dalam masyarakat.
Pluralisme merupakan penerimaan dan penghargaan keagamaan dan upaya
kerjasama orang atau sekelompok lain demi mencapai kebaikan bersama.
Pluralisme tidak hanya dipahami sebagai sekadar toleransi tetapi adanya upaya
aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme tumbuh dari praktik-praktik
hubungan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda agama.94
Paham pluralisme masyarakat Mojowarno dapat dilihat dari prosesi
riyaya Undhuh-undhuh. Adanya pemahaman untuk saling menerima dan
menghargai masyarakat terhadap tradisi-tradisi yang berbeda dengan tradisi
agama mereka. Meskipun tradisi riyaya Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang
berasal dari agama Kristen dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen, namun
umat agama lain menerima dan menghargai tradisi tersebut. Bahkan umat agama
lain, seperti Islam, ikutserta memeriahkan tradisi tersebut. Tidak hanya itu,
mereka juga ikut gotong royong bersama-sama agar prosesi riyaya Undhuh-
undhuh dapat berjalan dengan lancar.
94 Zainal Abidin Bagir, dkk, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia
(Yogyakarta: Mizan-CRCS, 2011), hlm. 7.
72
D. Dampak Sosial Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh
Setiap kegiatan yang dilakukan akan memiliki dampak terhadap seseorang
maupun masyarakat luas. Dampak merupakan suatu hal yang terjadi akibat dari
dilakukannya suatu perbuatan. Dampak sosial merupakan sebuah efek dari
fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Prosesi riyaya Undhuh-
undhuh memiliki dampak sosial yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat
Mojowarno, umumnya masyarakat Indonesia. Di antara dampak prosesi riyaya
Undhuh-undhuh dalam masyarakat Mojowarno adalah meningkatkan kerukunan,
memberikan pemahaman keberagaman dalam masyarakat, meningkatkan
kebersamaan antar masyarakat, dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pertama, dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-undhuh di Mojowarno,
kerukunan antar umat beragama terus meningkat. Hal ini membuktikan bahwa
tradisi riyaya Undhuh-undhuh bisa menjadi salah satu media memperkuat
kerukunan antar umat maupun golongan. Meningkatnya kerukunan dalam
masyarakat ini sebagaimana diakui oleh Bapak Kepala Desa,
“Masyarakat di sini semakin rukun. Permasalahan-permasalahan dalam
masyarakat semakin berkurang, bahkan jarang terjadi. Tidak bisa kita pungkiri
memang riyaya Undhuh-undhuh memiliki dampak yang sangat signifikan bagi
peningkatan kerukunan masyarakat di sini.”95
Kedua, terciptanya kerukunan dalam masyarakat membuktikan bahwa
masyarakat telah mampu memahami persoalan keberagaman dalam lingkungannya.
Oleh karena itu, meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap persoalan
keberagaman merupakan dampak dari adanya prosesi riyaya Undhuh-undhuh.
Masyarakat Mojowarno telah mampu mengikis perbedaan-perbedaan yang terjadi
dalam lingkungan dengan melakukan proses riyaya Undhuh-undhuh yang dihadiri
dan diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat.
95 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
73
Salah satu bentuk pemahaman masyarakat terhadap keberagaman adalah
adanya penerimaan dari masyarakat muslim atau umat lain terhadap tradisi riyaya
Undhuh-undhuh yang merupakan sebuah kegiatan umat Kristiani. Hal ini
sebagaimana disampaikan oleh Bapak H. Sahlul Basar, bahwa meskipun kegiatan
ini merupakan salah satu tradisi wujud rasa syukur umat Kristiani terhadap nikmat
Allah, masyarakat umat lain, terutama muslim juga ikut berpartisipasi memeriahkan
acara tersebut. Keikutsertaan umat lain ini membuktikan bahwa mereka sudah
saling memahami bahwa keberagaman bukan merupakan suatu masalah dalam
masyarakat, namun bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan
masyarakat.96
Ketiga, dampak sosial yang muncul dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-
undhuh ini adalah meningkatkan kebersamaan antar masyarakat. Ketika prosesi ini
dilakukan, masyarakat bersama-sama melakukan gotong royong dan guyub. Hal ini
misalnya terlihat dari bantuan-bantuan dari umat lain terhadap kegiatan tersebut.
Meskipun warga muslim atau agama lain tidak ikut dalam upacara keagamaan,
tetapi mereka ikut dalam mempersiapkan acara tersebut agar berjalan dengan
lancar. Ketika pelelangan dilaksanakan, mereka ikut serta memeriahkan kegiatan
tersebut.97 Kenyataan ini dapat dipahami bahwa sebelum prosesi dimulai, segenap
masyarakat ikut gotong royong membantu persiapannya, dan ketika kegiatan sudah
dimulai setiap masyarakat pun ikut memeriahkannya.
Keempat, prosesi riyaya Undhuh-undhuh juga berdampak pada peningkatan
perekonomian masyarakat. Hal ini karena dalam prosesi tersebut, ada kegiatan
pelelangan, yang mana hasil panen dilelang. Selain itu, dalam prosesi riyaya
Undhuh-undhuh juga ada bazar di halaman SMP sebelum acara inti hingga hari
raya Undhuh-undhuh tiba. Para warga dipersilakan untuk menyewa halaman ini
untuk dijadikan tempat jualan mereka. Siapa pun boleh menyewa untuk dijadikan
96 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11
Februari 2019.
97 Hasil Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.
74
stand bazar. Meskipun demikian, warga yang menyewa 75%-nya adalah umat
Kristen. Rata-rata mereka menjual hasil pekerjaan mereka. Dengan demikian
menurut pandangan Djoko, secara ekonomi, tradisi Undhuh-undhuh tersebut bisa
menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, prosesi riyaya Undhuh-undhuh
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.98
Kelima, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tradisi riyaya
Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur umat
Kristiani terhadap nikmat yang diberikan Tuhan. Pada prosesi ini masyarakat
mengeluarkan hasil panen mereka yang terbaik untuk dilelang kepada masyarakat.
Hasil lelangan tersebut kemudian diberikan ke geraja. Dengan adanya kegiatan ini
secara terus menerus, rasa syukur masyarakat atas nikmat Tuhan akan terus
bertambah. Setiap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan akan selalu disyukuri oleh
mereka. Ketika rasa syukur terus meningkat, maka kehidupan masyarakat juga akan
terus membaik. Hal ini karena masyarakat bisa menerima semua ketentuan dan
rezeki yang didatangkan, kemudian mereka saling berbagi satu sama lain sebagai
wujud dari rasa syukur tersebut.
Keenam, dengan terus berjalannya prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut
setiap tahun, maka kecintaan masyarakat terutama anak muda terhadap budaya akan
terus meningkat. Hal ini karena mereka terus diperkenalkan dengan tradisi-tradisi
dalam masyarakat. Masyarakat akan terus mengingat dan melakukan tradisi-tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Manfaat tersebut terutama dalam memahami keberagaman
dan mengikis perbedaan-perbedaan yang berdampak negatif bagi perkembangan
masyarakat. Oleh karena itu, meningkatnya kecintaan masyarakat terhadap budaya
merupakan dampak yang sangat signifikan dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh
yang dilaksanakan sekali setahun tersebut.
98 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terdapat banyak nilai-nilai yang
menunjukan kerukunan antar umat beragama di Mojowarno. Nilai-nilai tersebut
dibagi beberapa aspek. Pertama, nilai solidaritas. Pada tradisi riyaya Undhuh-
undhuh, nilai solidaritas terwujud dalam gotong royong yang terlihat pada saat
membuat bangunan yang dilakukan oleh warga jemaat di setiap blok serta pada
saat dilakukannya arak-arakan bangunan menuju gereja induk. Pada saat arak-
arakan ini juga dikawal oleh ormas lain seperti banser dan tokoh masarakat
seperti polisi dan pihak kemanan yang lain. Kedua, nilai moral. Nilai ini
terwujud dalam persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat
untuk membuat bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Ketiga,
nilai keindahan. Nilai ini tercermin di dalam bangunan yang dibuat sebagus dan
semenarik mungkin oleh warga jemaat di setiap blok sesuai dengan cerita-cerita
di dalam Al-kitab. Keempat, nilai ekonomi. Nilai ini terlihat pada dana lelangan
yang berawal dari dana persembahan. Dana ini kemudian akan diserahkan
kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan
gereja yang lain. Selain itu, nilai ekonomi di dalam tradisi riyaya Undhuh-
undhuh juga dirasakan oleh masyarakat setempat dengan berjualan di pinggir
jalan. Barang lelangan di dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh tidak hanya dibeli
oleh para jemaat, melainkan juga masyarakat sekitar, termasuk warga muslim
juga turut serta membeli dan memeriahkan acara lelangan tersebut. Kelima, nilai
hiburan, yang terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan
sebelum dan sesudah prosesi riyaya Undhuh-undhuh. Seperti jalan sehat, lomba
voli, basket, catur, bazar, pertunjukan kuda lumping pada saat arak-arakan, reog,
barongsai, patroli, dan juga pagelaran wayang kulit yang diadakan malam hari
setelah riyaya Undhuh-undhuh, serta penampilan pencak silat dari organisasi
IPNU dan IPPNU.
76
Perayaan Undhuh-undhuh ini tidak hanya melibatkan para jemaat dari
GKJW itu sendiri. Namun, masyarakat yang di luar jemaat juga turut serta
membantu dalam pelaksnaan dan perayaan tradisi tersebut. Contoh, dalam
tahapan pelelangan tidak hanya para jemaat yang membeli. Namun, masyarakat
beragama Islam turut serta membeli lelangan. Selain itu juga, dalam tahapan
lomba-lomba para pemuda yang muslim juga turut andil dalam perlombaan.
Pihak-pihak dari pemerintahan dan ormas Islam juga turut serta membantu
jalannya pelaksanaan tradisi tersebut. Hal inilah yang menunjukan bahwa dalam
tradisi riyaya Undhuh-undhuh di Mojowarno terdapat nilai-nilai sosial yang
tinggi dan juga menunjukan adanya sikap toleransi serta kerukunan sosial yang
kuat dalam sebuah bingkai keragaman agama dan budaya di dalam satu daerah.
B. Saran-Saran
Menurut pandangan penulis, kegiatan keagamaan dan sosial sangat perlu
untuk disadari betul oleh seluruh elemen masyarakat yang multikultural ini. Hal
ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar umat beragama dan
menjunjung sikap toleransi antar umat beragama.
1. Peran tokoh-tokoh agama, organisasi dan pemerintah sangat diperlukan
guna menyampaikan doktrin-doktrin positif agar umatnya mengerti
nilai-nilai sosial yang luhur. Seperti sikap toleransi yang tinggi dan
saling menghargai antar sesama.
2. Kepada seluruh penganut agama agar tetap menjaga keharmonisan hidup
berdampingan dan selalu rukun dalam menjalankan kehidupan sosial di
lingkungan sekitar.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Masykuri, Pluralisme Agama dan Kerukunan, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001.
Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi
Agama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2006.
Ahmad Haidlor Ali dan M. Taufik Hidayatulloh. Relasi Antar Umat Beragama, di
Berbagai Daerah, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016.
Bahri, Media Zainul, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hinga Masa Reformasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-
1, 2015.
Brata, Nugroho Trisnu. “Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,
Sebuah Kajian Antropologi”, Sejarah dan Budaya, Vol. II, No.2 Desember
2009.
Durkheim dalam Catherine Bell, Ritual, Perspectives and Dimensions, USA:
Oxford University Press, 2009.
Durkheim dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2011.
End, Van Den, Harta dalam Bejana Jakarta: BPK, 1988
Ghazali, Adeng Muchtar, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman
Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, Bandung: Alfabeta, 2011.
Guillot, C. Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam,
Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII, Malang: GKJW, 1976
Hasanah, Uswatun. “Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di
Dusun Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi
78
Kabupaten Malang”, Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang,
2014.
Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Surabaya:
Bina Ilmu, 1979.
Hendropuspto, Sosiologi Agama, Yogyakarta: PT Gramedia, 1984
Hermanto dan Winarno. Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta Timur: PT Bumi
Aksara 2013
https://www.academia.edu/27965042/Makalah Keragaman Budaya Indonesia. Di
acses tpada tanggal 5 November 2018, pukul 20.18 WIB.
Kawangung, Yudhi dan Jeni Ishak Lele, “Diskursus Kerukunan Sosial Dalam
Prespektif Masyarakat Keristen fi Indonesia Rekonsiliasi Pasca Pemilu”,
Jurnal VISIO DEI: urnal Teologi Keristen, Vol.1. No.1 Juli 2019.
Khotimah, Khusnul, Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan
(GKJW) Mojowarno Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons,
Surabaya: Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2019.
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Kurniawati, Tenia. Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat
Mojowarno di Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, Jember:
Universitas Jember, 2008.
Kushadi. Perubahan social Masyarakat Kristen Jawi Di Mojowarno Pada Tahun
1970-1998, Surabaya: Universitas Indonesia, 2004.
Linda ‘Aniah dkk, “Eksistensi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan
Mojowarno Kabupaten Jombang Tahun 1992-2018”, Jurnal, Universitas
79
Negeri Surabaya, of History Education and Historiography, Vol. 1, No.1,
2017
Melalatoa, Junus M. Ed. Sistem Budaya Indonesia, Jakarta: Kerjasama FISIP
Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997.
Meriso, Soedibjo. Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan
Mojowarno 1881-1981, GKJW: Mojowarno, 1981
Misrawi, Zuhairi, Alquran Kitab Toleransi, Jakarta: Pustaka Oasis, 2007.
Moleong, J Lexy . Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000.
Munawar, Said Agil, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Najib, Muhammad Ainun, “Minoritas Yang Terlindungi, Tantangan dan
Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno di Kota Santri Jombang” ,
Episteme, Vol. 10, No. 1, Juni 2015.
Noer, Kautsar Azhari dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku
Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama, Jakarta: Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, 2008.
Nurhayati dan M. Turhan Yani “Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh
Pada Era Globalisasi Di Mojowarno, Jombang” Jurnal, Kajian Moral dan
Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013.
Nurhayati dan M. turhan Yani, Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh
Pada Era Globalisasi Di Mojowarno Jombang, Jurnal, Kajian Moral dan
Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013
Pratiwi, Cekli Setya. “Freedom of Religion in Indonesia on Human Rights
Perspective,” Makalah, Master Level Course On Shariah and Human
Rights, 2014.
80
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno sampai Majapahit
Akhir, (Jakarta: Komonitas Bambu, 2011.
Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Mojowarno 2014-2018.
Riyadi, Slamet dkk. Idom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pembangunan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1994.
Santoso, Pudjio, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas
Jemaat GKJW di Kota Surabaya”, Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013.
Santoso, Pudjio. “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas
Jemaat GKJW di Kota Surabaya”, Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya,
Jakarta: Kencana, 2011.
Setiyani, Wiwik Setiyani, Keragaman Perilaku Keagamaan, Yogyakarta:
Dialetika ,2018.
Soedibyo, Mariso. Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja
Mojowarno, Mojowarno: Setecilan 1975
Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1998.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press 2015.
Suparlan, Parsudi, Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian
Masalah-Masalah Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.
Suparlan, Parsudi. Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian
Masalah-Masalah Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
81
Tim Penyusun Puslitbang, Kehidupan Beragama Kompilasi Kebijakan dan
Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008.
Tumanggor, Rusmin dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Perdana Media
Group, 2010
Wawancara denagn ibu Madoedari, 26 Oktober 2007 olehTenia Kurniawati,
Perkembangan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di
Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981.
Wawancara dengan bapak Camat Arif Hidajat, tanggal 18 Februari 2019.
Wawancara dengan Bapak H.Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11
Februari 2019.
Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari
2019
Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.
Wawancra dengan Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab, tanggal 22 Februari
2019.
Wiryoadiwismo, Madoedari dkk. Sejarah Riyaya Unduh-Unduh Jemaat
Mojowarno, Mojowarno: Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno, 2011.
82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran I (Pedoman Wawancara)
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Ibu Hj. Mundjidah Wahab
Umur :
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Bupati
Waktu Wawancara : 22 Februari 2019, Pukul 17.07 WIB
1. Apakah pernah terjadi pertikaian antar umat beragama di Jombang?
Sampai saat ini, tidak ada pertikaian antar umat beragama yang berarti di
Jombang. Hal ini menunjukkan masyarakat Jombang sudah terbiasa hidup
berdampingan. Bahkan beberapa tokoh asal Jombang menjadi tokoh penting
dalam gerakan toleransi antar agama di Indonesia. Seperti KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Prof. Nur Cholis Majid (Cak Nur) dan Emha Ainun Najib
(Cak Nun).
2. Ketika ada perayaan hari besar nasional, bagaimanakah peran antar
agama di Jombang?
Dalam perayaan hari besar nasional biasanya saat doa bukan hanya dari pihak
Islam saja. Tapi juga doa dari non-muslim, mereka berdoa secara bergantian.
83
84
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Bapak H. Sahlul Basar
Umur :
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Staff Kemenag Mojowarno
Waktu Wawancara : 11 Februari 2019, Pukul 12.36 WIB
1. Apa makna dari sikap toleransi dan bagaimanakah masyarakat
Mojowarno mengaplikasikan sikap tersebut?
Sikap toleransi merupakan sikap mau menerima dan menghargai segala
perbedaan yang ada, baik perbedaan agama, suku, maupun ras. Sikap-
sikap toleransi tersebut bisa dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh
yang dilakukan oleh masyarakat Mojowarno. Meskipun tradisi Undhuh-
undhuh menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat Nasrani, tetapi juga
mengundang masyarakat sekitar, baik umat Islam, Konghucu, ormas, dan
semua perangkat persatuan umat toleransi. Begitu juga kelompok-
kelompok lain, seperti kelompok seni yang juga diundang untuk
memeriahkan acara. Acara juga disaksikan oleh berbagai kalangan, lintas
agama, dan pengunjung beragam.
2. Apakah ditemui permasalahan antar umat beragama di Mojowarno?
Tidak ada masalah bagi umat Islam sendiri maupun umat-umat lainnya.
Mereka saling menghargai satu sama lain. Hal tersebut karena riyaya
Undhuh-undhuh merupakan bagian dari budaya masyarakat yang harus
dilestarikan karena mendatangkan nilai-nilai positif bagi masyarakat itu
sendiri.
3. Bagaimana respon masyarakat Mojowarno terhadap keberagaman
beragama?
Salah satu bentuk pemahaman masyarakat terhadap keberagaman adalah
adanya penerimaan dari masyarakat muslim atau umat lain terhadap tradisi
riyaya Undhuh-undhuh yang merupakan sebuah kegiatan umat Kristiani.
Meskipun kegiatan ini merupakan salah satu tradisi wujud rasa syukur
85
umat Kristiani terhadap nikmat Allah, masyarakat umat lain, terutama
muslim juga ikut berpartisipasi memeriahkan acara tersebut. Keikutsertaan
umat lain ini membuktikan bahwa mereka sudah saling memahami bahwa
keberagaman bukan merupakan suatu masalah dalam masyarakat, namun
bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan masyarakat.
86
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Bpk. Arif Hidajat, SH., Msi.
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Camat Mojowarno
Waktu Wawancara : 18 Februari 2019, Pukul 13.47 WIB
1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menanggapi
keberagaman beragama di Jombang?
Pemerintah Kabupaten Jombang juga aktif hadir dalam kegiatan keagaman
seperti Undhuh-undhuh di Mojowarno. Bahkan Pemerintah Jombang
berencana menjadikan budaya Undhuh-undhuh ini sebagai kegiatan utama
yang menarik wisatawan lokal maupun internasional. Kami juga telah
mengusulkan Undhuh-undhuh jadi ikon Jombang. Saat ini masih fokus
kajian dan musyawarah.
87
88
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Bpk. Catur Budi Setyo
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Kepala Desa
Waktu Wawancara : 11 Februari 2019, Pukul 12.02 WIB
1. Prosesi riyaya Undhuh-undhuh merupakan prosesi keagamaan atau
budaya masyarakat?
Prosesi riyaya Undhuh-undhuh lebih kepada budaya masyarakat bukan
kegiatan agama, karena memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi seluruh
warga masyarakat tidak hanya umat Kristen. Meskipun dari segi teologis,
tradisi Undhuh-undhuh merupakan wujud rasa syukur umat Kristen
kepada Tuhan atas limpahan rahmat yang diberikan terutama hasil panen.
Namun secara sosial kemasyarakatan, tradisi tersebut memberikan dampak
yang sangat bagus bagi masyarakat lainnya, terutama terciptanya
kebersamaan masyarakat.
2. Bagaimana respon dan peran warga non-Kristen dalam riyaya
Undhuh-undhuh?
Warga muslim tidak ikut dalam upacaranya, seperti doa dan upacara
keagamaan lainnya. Akan tetapi, setelah semua upacara dilaksanakan dan
semua telah didoakan, maka dibawalah ke tempat pelelangan, saat inilah
kemudian warga lain ikut serta memeriahkan. Selain itu, warga lain,
khususnya muslim juga ikut membantu mempersiapkan segala hal yang
perlu untuk kelancaran upacara dan kegiatan pelelangan tersebut. Begitu
juga sebaliknya, umat Kristen juga ikut membantu ketika umat muslim
melakukan acara, seperti takbiran.
3. Apakah ada permasalahan atau penolakan dari umat non-Kristen
dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh?
Tradisi ini bagi umat lain, khususnya umat Islam tidak
mempermasalahkannya. Hal ini karena tradisi tersebut memang sudah
89
tradisi yang turun-temurun dalam masyarakat Mojowarno. Bahkan, tradisi
tersebut sangat dinanti-nanti oleh masyarakat, sebab banyak hal yang bisa
didapatkan oleh masyarakat dari kegiatan tersebut. Salah satunya dari segi
ekonomi, masyarakat dapat menjual hasil pertanian dan sebagainya ketika
kegiatan tersebut berlangsung. Hal inilah kemudian memberikan efek
secara tidak langsung bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat.
4. Apa dampak positif dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh?
Tradisi ini bernilai sosial kemasyarakatan, segenap warga akan
mendukung tradisi ini. Mereka tidak peduli dengan persoalan perbedaan
agama, suku, ras, maupun golongan-golongan. Inilah yang kemudian
memberikan dampak positif bagi kerukunan umat di desa Mojowarno.
Hubungan masyarakat dengan yang lain terjalin dengan baik, sehingga
tidak terjadi perselisihan-perselisihan yang menyebabkan perpecahan antar
masyarakat.
5. Apa pendapat Anda, menanggapi beberapa pernyataan bahwa tradisi
riyaya Undhuh-undhuh ini peninggalan Belanda?
Saya tidak sepakat terhadap pernyataan dari beberapa orang yang
mengatakan bahwa tradisi Undhuh-undhuh merupakan peninggalan
Belanda. Tradisi Undhuh-unduh ini murni tradisi budaya Mojowarno,
budaya Indonesia. Tradisi dan budaya yang ada di Indonesia jangan
sampai diklaim oleh bangsa lain. Oleh karena itu, tradisi ini perlu
dilestarikan agar tetap mendatangkan nilai-nilai positif bagi masyarakat
Mojowarno khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
6. Apa dampak sosial dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh?
Dampak sosial yang muncul dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-
undhuh ini adalah meningkatkan kebersamaan antar masyarakat. Ketika
prosesi ini dilakukan, masyarakat bersama-sama melakukan gotong
royong dan guyub. Hal ini misalnya terlihat dari bantuan-bantuan dari
umat lain terhadap kegiatan tersebut. Meskipun warga muslim atau agama
lain tidak ikut dalam upacara keagamaan, tetapi mereka ikut dalam
mempersiapkan acara tersebut agar berjalan dengan lancar. Ketika
90
pelelangan dilaksanakan maka mereka ikut serta memeriahkan kegiatan
tersebut.
91
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Drs. R. Djoko Purwanto
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Pendeta
Waktu Wawancara : 09 Februari 2019, Pukul 12.43 WIB
1. Bagaimana prosesi tradisi riyaya Undhuh-undhuh?
Dalam pelaksanaan Undhuh-undhuh, ada kegiatan-kegiatan yang
mendukung kegiatan inti. Kegiatan-kegiatan tersebut, seperti kegiatan
olahraga dan lomba-lomba. Kegiatan pendukung ini dimulai sebulan
sebelum acara Undhuh-undhuh. Kemudian, pada sehari sebelum acara inti
hingga hari raya Undhuh-undhuh, diadakan bazar di halaman SMP. Para
warga dipersilahkan untuk menyewa halaman ini untuk dijadikan tempat
jualan mereka. Siapa pun boleh menyewa untuk dijadikan stand bazar.
Meskipun demikian, warga yang menyewa 75% orang Kristen. Di sinilah
terjadi kegiatan paguyuban gotong royong antar umat Kristen dan non-
Kristen secara bersama-sama melakukan kegiatan ekonomi. Rata-rata
mereka menjual hasil pekerjaan mereka. Secara ekonomi, tradisi Undhuh-
undhuh tersebut bisa menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, hal
ini ikut meningkatkan perekonomian masyarakat.
2. Secara keagamaan apa makna tradisi riyaya Undhuh-undhuh?
Dari segi teologis, hari raya Undhuh-undhuh merupakan sesuatu yang
sangat penting. Hal ini karena tradisi ini sebagai bentuk syukur umat
terhadap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan. Hari raya Undhuh-undhuh
ini dapat memotivasi warga untuk pandai bersyukur kepada Tuhannya.
Ketika Tuhan sudah memberkati umatnya dengan berkat-berkatnya,
khususnya berkat panen padi yang baik, maka mereka mempersembahkan
92
sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan. Dari segi teologis, umat
diharapkan selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberkati.
Di samping itu, dalam ajaran Kristen memang mewajibkan agar umat
Kristen pandai mempersembahkan berkat yang ia terima kepada Tuhan.
Berkat atau persembahan tersebut nanti akan dikelola oleh gereja menjadi
biaya operasional gereja. Hal ini karena melalui geraja itulah manusia bisa
memuliakan Tuhan dengan sempurna. Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa
ketika kita menyembah Tuhan, ada ritual kepada Tuhan. Ritual-ritual
tersebut tentunya membutuhkan biaya agar pelaksanaannya lancar. Selain
itu, persembahan tersebut juga digunakan untuk pembangunan gereja.
Alkitab juga mewajibkan untuk mempersembahkan yang sulung, artinya
hasil yang terbaik. Kita diberikan yang terbaik berarti harus
mengembalikan yang terbaik dalam bentuk mempersembahkan yang
terbaik. Oleh karena itu, hasil panen tersebut merupakan hasil yang terbaik
yang disembahkan kepada Tuhan. Adapun yang dipersembahkan itu
dinamakan persepuluhan, artinya jika ada uang Rp.100.000,-maka
dipersembahakan 10% kepada Tuhan. Begitu juga dalam tradisi Undhuh-
undhuh.
3. Bagaimana dampak dari aspek budaya dalam tradisi riyaya Undhuh-
undhuh?
Jika dilihat dari aspek budaya, hari raya Undhuh-undhuh memiliki daya
tarik kepariwisataan. Hal ini karena Undhuh-undhuh mempunyai nilai
budaya yang luar biasa. Persembahan yang diberikan oleh umat dibentuk
sebuah bangunan yang indah dengan bangunan padi serta aksesoris yang
lain, seperti buah-buahan untuk menghiasi bangunan. Bangunan yang
indah inilah kemudian menjadi salah satu daya tarik kepariwisataan, selain
kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan demikian, nilai budaya dari tradisi
Undhuh-undhuh ini sangat tinggi, sehingga perlu dilestarikan.
93
94
95
2. Lampiran II (Dokumentasi Wawancara)
Foto bersama Ibu Hj. Mundjidah Wahab (Bupati Jombang)
Foto bersama Bapak H. Sahlul Basar (Staff Kemenag Mojowarno)
96
Foto bersama Bpk. Arif Hidajat, SH., Msi. (Camat Mojowarno)
Foto bersama Bpk. Drs. R. Djoko Purwanto (Pendeta)
97
Foto bersama Bpk. Catus Budi Setyo (Kepala Desa Mojowarno)
98
3. Lampiran III (Serifikat dan Surat-Surat)
99
100
101
102
103
104
105