nilai kerukunan sosial dalam tradisi undhuh- undhuh …

115
NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) MOJOWARNO JOMBANG JAWA TIMUR Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh Chairul Anam NIM 11140321000042 FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-

UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)

MOJOWARNO JOMBANG JAWA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

Chairul Anam

NIM 11140321000042

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M

Page 2: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

ii

NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-

UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)

MOJOWARNO JOMBANG JAWA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

Chairul Anam

NIM 11140321000042

Pembimbing

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M

Page 3: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

iii

PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Chairul Anam

NIM : 11140321000042

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/prodi : Studi Agama-agama

Judul Skripsi : NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-

UNDHUH DI GEREJA KRISTEN JAWI WETAN (GKJW)

MOJOWARNO JOMBANG

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu peryaratan memperoleh gelar strata 1 di Uin Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan in dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 15 Juni 2021

Page 4: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …
Page 5: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

v

ABSTRAK

Chairul Anam

Nilai Kerukunan Sosial Dalam Tradisi Undhuh-Undhuh di Gereja Kristen

Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno Jombang

Indonesia merupakan sebuah negara yang besar yang terdiri dari berbagai

suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Kemajemukan negara ini menjadikan

Indonesia termasuk negara yang terkenal di dunia dengan multikulturalnya dan

pluralismenya. Salah satu contoh kebudayaan dari sekian banyak kebudayaan

yang ada di Indonesia adalah tradisi/ritual riyaya Undhuh-undhuh yang diamalkan

oleh para jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno. Tradisi ini merupakan

salah satu tradisi yang ada di kota Jombang, kota yang terkenal dengan

sebutannya sebagai kota santri dengan slogan “Kota Beriman”. Hal ini sangat

menarik karena tradisi ini berada dalam sebuah kota yang mayoritas penduduknya

beragama Islam. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini ingin melihat

bagaimana prosesi tradisi Undhuh-undhuh GKJW dalam menciptakan kerukunan

hidup sosial beragama bagi masyarakat desa Mojowarno.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menuturkan dan

menggambarkan secara obyektif data yang didapat dan dikaji, kemudian

menganalisis data tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan antropologi.

Hasil dari penelitian tentang tradisi riyaya Undhuh-undhuh menunjukkan

adanya nilai-nilai yang menunjukan kerukunan antar umat beragama di

Mojowarno. Nilai-nilai sosial pada tradisi ini sangat terlihat di dalam setiap

tahapan-tahapan prosesinya. Adapun nilai-nilai tersebut adalah nilai religi yang

terdapat dalam tahapan pelaksanaan kebetan dan keleman. Nilai solidaritas dalam

tradisi riyaya Undhuh-undhuh juga ditemukan, yaitu di dalam gotong royong yang

terlihat pada saat membuat bangunan yang dilakukan oleh warga jemaat pada tiap-

tiap blok, serta pada saat dilakukannya arak-arakan bangunan menuju gereja

induk. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-ndhuh terwujud dalam

persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat untuk membuat

bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Nilai keindahan dalam

tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam bangunan yang dibuat sebagus dan

semenarik mungkin oleh warga jemaat tiap-tiap blok sesuai dengan cerita-cerita di

Alkitab. Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dari dana

lelangan yang asal mulanya dari dana persembahan, yang nantinya akan

diserahkan kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta

kebutuhan gereja lainnya. Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh

terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah

prosesi riyaya Undhuh-undhuh, seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar

pada saat arak-arakan, pertunjukan kuda lumping, reog, barongsai, patroli, dan

juga pagelaran wayang kulit yang diadakan di malam hari setelah riyaya Undhuh-

undhuh.

Keywords: Kerukunan, Undhuh-Undhuh, Kristen Jawi Wetan

Page 6: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji dan syukur marilah kita panjatkan

kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia berupa

kesehatan dan hikmah kepada kita semua. Dengan nikmat-Nya pula penulis

berkesempatan menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “NILAI

KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH-UNDHUH DI GEREJA

KRISTEN JAWI WETAN (GKJW) MOJOWARNO JOMBANG”. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S.Ag. Sebab dari pada nikmat-

Nya pula, penulis bersyukur dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu

yang direncanakan. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah kepada Nabi

akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia ke zaman

yang terang benderang dan dapat membawa umatnya kepada agama rahmatan lil

‘alamiin ini.

Selanjutnya, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, di antaranya:

1. Prof. Dr. Amany Lubis, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Syaiful Azmi, M.A, selaku Ketua Program Studi Studi Agama-Agama

dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah M.A, selaku Sekretaris Program Studi Studi

Agama-Agama. Terima kasih telah memberikan arahan kepada penulis dan

wejangan selama menjalani perkuliahan di kampus ini.

4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si., selaku dosen penasehat akademik yang

memberikan arahan dan kemudahan dalam penulisan proposal skripsi

sehingga penulis dapat meneruskan proposal tersebut ke tahap-tahap

berikutnya.

5. Drs. Moh. Nuh Hasan, M.A, selaku dosen pembimbing, terima kasih atas ilmu

yang luar biasa yang telah bapak berikan dan atas bimbingan dan kemudahan

yang bapak berikan selama ini.

Page 7: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

vii

6. Terimakasih untuk bapak Drs. Dadi Darmadi, MA, yang telah meluangkan

waktu dan memudahkan penulis dalam ujian seminar proposal.

7. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus

dosen-dosen Ushuluddin, terima kasih sudah mendidik penulis dengan penuh

kesabaran. Serta terima kasih yang membantu administrasi dan informasi

terkait skripsi dan untuk semua staf perpustakaan fakultas, juga perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terimakasih telah melayani dan

mengelola fasilitas dengan baik.

8. Terimaksih narasumber atas waktu yang sudah dilonggarkan untuk wawancara

terkait data untuk skripsi saya. Terimakasih banyak kepada Bupati Jombang

Ibu Hj. Mundjidah Wahab, Bapak Camat Mojowarno Bpk. Arif Hidajat, SH.,

Msi., Staf Kemenag Mojowarno Bapak H. Sahlul Basar, Kepala Desa

Mojowarno Bpk. Catur Budi Setyo, Bapak Pendeta GKJW Mojowarno Drs. R.

Djoko Purwanto.

9. Terimakasih tak terhingga kepada kedua orangtua hebat Bapak Moch. Udjud

dan Ibu Suwarni yang telah membesarkan, mendidik, dan mengajarkan nilai-

nilai kehidupan kepada penulis. Rasanya ucapan terima kasih tidak cukup

untuk menggantikan curahan kasih sayang dan perhatian mereka selama ini.

10. Terimakasih untuk kakak Uni Fadillah atas motivasi, dorongan, dan semangat

yang terus diberikan kepada penulis.

11. Terimakasih kepada Cak Mun’im Zakaria dan Mbak Fulai yang selalu

memberikan semangat agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Terimakasih Pada rekan-rekan seperjuangan INKAFANA grup. Dan

seduluran HIMABI yang selalu menanyakan kapan wisuda, sehingga

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

13. Terimakasih untuk teman satu angkatan PA A & PA B 2014 yang telah

mengisi satu bagian mozaik hidup penulis. Rasanya semua emosi pernah

penulis rasakan bersama kalian. Semoga tetap ada tawa-tawa dan temu-temu

selanjutnya. Semoga kalian diberikan kemudahan dalam menyelesaikan tugas

akhir dan dilapangkan ladang rezekinya bagi yang sudah menyandang gelar S.

Ag.

Page 8: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

viii

14. Kepada semua orang yang dikenal atau semua yang mengenal penulis, namun

sering penulis lupakan namanya, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang

diberikan. Semoga amal baik kalian dapat menuai balasan dan limpahan

rahmat Allah SWT. Pada akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah.

Penulis amat menyadari atas banyaknya kekurangan dalam skripsi ini, oleh

sebab itu penulis berharap skripsi ini dapat dikembangkan di kemudian hari

dengan lebih baik. Serta semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam

memperkaya khazanah ilmu pendidikan khususnya dalam ranah Studi Agama-

Agama.

Jakarta, 15 Juni 2021

Chairul Anam

Page 9: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

ix

DAFTAR ISI

COVER ....................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6

D. Kerangka Teori ....................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9

F. Metode Penelitian ....................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 16

BAB II PROFIL GEREJA KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO

JOMBANG JAWA TIMUR

A. Sekilas Mojowarno Jombang ........................................................... 19

B. Asal Mula Gereja Kristen Jawi Wetan ............................................. 24

C. Komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan ............................................. 30

BAB III PROSESI TRADISI RIYAYA UNDHUH-UNDHUH GEREJA

KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO

A. Sejarah Tradisi Riyaya Undhuh-Undhuh ......................................... 37

B. Tahapan Riyaya Undhuh-Undhuh ................................................... 39

C. Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ...................................................... 46

Page 10: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

x

BAB IV NILAI KERUKUNAN DALAM PROSESI RIYAYA UNDHUH-

UNDHUH

A. Kerukunan Sosial dan Toleransi Hidup Beragama .......................... 55

B. Filosofi Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ........................................ 59

C. Nilai Kerukunan Dalam Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh .............. 65

D. Dampak Sosial Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh ............................. 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................... 75

B. Saran-Saran ....................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 77

LAMPIRAN-LAMPRAN

Page 11: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara besar yang terdiri atas berbagai suku bangsa,

dan setiap suku bangsa tersebut selalu memiliki perbedaan di dalam beberapa hal

dengan suku bangsa lainnya. Adanya perbedaan tidak hanya memberikan keunikan

yang menarik yang dapat dibanggakan, namun di sisi lain dapat menimbulkan sebuah

konflik.

Sebagai suatu bangsa yang besar, agar menjadi sebuah negara yang damai dan

demokratis haruslah memenuhi syarat, yakni menghargai dan mengamini adanya

keanekaragaman masyarakat. Namun demikian, memang terasa sulit untuk

memberikan pemahaman tentang konsep multikulturalisme dan pluralisme ke dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari. Sehingga tidak jarang pemahaman tentang konsep

multikulturalisme dan pluralisme menjadi sebuah ancaman besar bagi kehidupan

ummat.1

Konsep multikultural di sini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut,

dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai- nilai inilah yang kemudian

dianggap sebagai nilai luhur dan juga sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-

nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun,

disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan

kreatif. Nilai-nilai itu ada di dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-

nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana

sifat/ciri khas kebudayaan bangsa Indonesia.2

1 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), hlm. 10.

2 Melalatoa, Junus M. Ed, Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas

Page 12: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

2

Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat

keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja

keanekaragaman budaya kelompok suku bangsa, namun juga keanekaragaman budaya

dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.3

Kebudayaan suatu bangsa terwujud dalam tiga unsur yang dapat ditemukan dalam

berbagai kehidupan bangsa itu. Tiga unsur tersebut yaitu:

1) Kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan, 2) Kompleks aktivitas

kelakuan berpola dari dari manusia dalam masyarkat dan 3) Benda-benda hasil karya

manusia.4

Salah satu daerah yang mempunyai banyak keragaman budaya yaitu Pulau

Jawa. Secara budaya, istilah Jawa mengacu kepada sekelompok manusia yang

memiliki ciri-ciri budaya tertentu yang membedakan dari masyarakat lain. Pemahaman

batas wilayah budaya ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat pendukungnya

pernah memiliki pengalaman sejarah yang sama pada masa lalu. Pengalaman yang

sama itu tampak dalam dua hal, yakni digunakannya bahasa Jawa kuno sebagai bahasa

resmi di wilayah tersebut dan juga agama yang dianut diantaranya agama Hindu dan

Buddha sebagai kepercayaan utama. Penggunaan bahasa yang sama, tentunya

mencerminkan bahwa pendukungnya berasal dari kelompok etnik yang sama.

Sedangkan penganutan agama Hindu dan Buddha tentu dikarenakan pendukung

kebudayaan Jawa tersebut pernah secara geografis Jawa dimaksudkan sebagai bentang

Indonesia dengan PT. Pamator, 1997), h.102.

3 https://www.academia.edu/27965042/Makalah Keragaman Budaya Indonesia. Di acses tpada

tanggal 5 November 2018, pukul 20.18 WIB.

4 Slamet Riyadi dkk, Idom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pembangunan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hlm.1.

Page 13: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

3

wilayah di mana masyarakat dan budaya Jawa Kuno tumbuh. Kini, bentang wilayah

yang dimaksud itu berbeda tiga wilayah administratif yaitu Jawa Tengah, Daerah

Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berdasarkan batasan tersebut, wilayah budaya

Jawa dapat dibedakan dari wilayah budaya lain yang tumbuh di bagian lain Pulau

Jawa, yakni wilayah budaya Sunda yang kini terletak di dalam wilayah administrasi

Jawa Barat. Tentu disadari bahwa bagian tersebut hanya merupakan garis besar yang

selalu terdapat kemungkinan bahwa di kedua wilayah itu hidup pula lingkungan-

lingkungan masyarakat lain yang mengembangkan sitem budayanya sendiri secara

khas.5

Salah satu daerah yang memiliki budaya yang khas adalah masyarakat Kristen

Mojowarno. Desa Mojowarno didirikan oleh salah seorang tokoh penyebar Injil yaitu

Kiai Abisai Ditotaruno. Ia mendirikan Desa Mojowarno tahun 1846, Abisai adalah

penyebar Injil Bumiputera hasil didikan Johannes Emde. Desa Mojowarno adalah desa

Kristen yang mengembangkan basis perekonomiannya dengan pertanian.6 Di dusun ini

tidak ada masjid atau musala. Kalaupun ada musala tidak lebih dari bangunan segi

empat tanpa simbol dan ornamen keislaman.7 Ketiadaan masjid atau musala

merupakan bentuk toleransi dan tenggang rasa terhadap pemeluk agama Kristen.

Kehidupan Jemaat GKJW Mojowarno sangat bersahaja, selaras dengan kehidupan

sehari-harinya. Ketika mereka melakukan ibadah, para wanita mengenakan pakaian

kebaya atau rok yang tidak berlebihan. Sedangkan laki- laki memakai songkok,

bahkan ada pula yang mengenakan sarung layaknya orang muslim pedesaan yang

5 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir,(Jakarta:

Komonitas Bambu, 2011), hlm. 3.

6 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam (Jakarta: Grafiti

Press, 1985), hlm. 38.

7 Muhammad Ainun Najib, “Minoritas Yang Terlindungi, Tantangan dan Kontinuitas GKJW Jemaat

Mojowarno di Kota Santri Jombang” (Episteme, Vol. 10, No. 1, Juni 2015), h.241.

Page 14: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

4

hendak salat berjamaah menunju masjid atau musala. Pemandangan serupa juga

terlihat dalam perayaan hari raya seperti Natal dan Paskah. Laki-laki mengenakan

pakaian adat Jawa dan perempuan memakai kebaya, seperti lazimnya laki- laki dan

perempuan Jawa saat menghadiri perayaan. Inkulturasi antara Kristen Protestan

dengan budaya Jawa seakan menempatkan GKJW Jemaat Mojowarno sebagai orang

Kristen Protestan yang tidak kehilangan identitas kejawaannya.8

Salah satu upacara keagamaan berbau Jawa-agraris yang menarik adalah ritual

riyaya Undhuh-undhuh. Kata Undhuh-undhuh berasal dari bahasa Jawa yang berarti

memanen atau memetik hasil pertanian. Masa panen merupakan masa yang paling

ditunggu-tunggu oleh petani untuk menikmati hasil jerih payah bercocok tanam selama

berbulan-bulan. Masyarakat agraris mempercayai mitos Dewi Sri sebagai Dewi padi

dengan bentuk ular naga yang bertugas mengusir babi hutan dan hama tanaman padi

lain. Hasil panen yang didapatkan merupakan berkat kebaikan dan kemurahan hati

Dewi Sri. Karena itu, untuk mewujudkan rasa syukur panen, diselenggarakan upacara

Undhuh-undhuh.9 Proses kegiatan Undhuh-undhuh ini terdiri dari empat tahapan, yaitu

tahap persiapan, arak-arakan, ibadah dan lelangan. Tahapan pertama, kurang lebih

sekitar dua sampai tiga minggu menjelang pelaksanaan kegiatan Undhuh-undhuh.

Masing-masing dukuh/desa Kristen sudah mengumpulkan persembahan dari

warganya. Persembahan tersebut adalah hasil dari sawah dan hasil pekarangan untuk

kalangan para petani, sedangkan untuk dari kalangan non petani yaitu mengumpulkan

hasil keterampilan sampai dengan yang berbentuk uang. Tahapan kedua, yaitu setelah

selesai membangun, bangunan tersebut kemudian diletakkan di atas gerobak agar

mudah mengangkat dan mengaraknya ke gereja. Tahapan ketiga, yaitu ibadah

8 Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di

Kota Surabaya”, (Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013), hlm. 87.

9 Pudjio Santoso, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas Jemaat GKJW di

Kota Surabaya”, hlm. 97.

Page 15: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

5

kebaktian di dalam gereja. Dalam ibadah tersebut diiringi dengan alunan musik

gamelan, juga dilakukan prosesi “Solah Bawa” atau prosesi penyerahan

persembahan kepada Tuhan yang diperagakan oleh anak-anak. Ibadah memakai liturgi

bahasa Jawa. Bagi anak-anak juga mengadakan kebaktian syukur di tempat terpisah

dari orang-orang tua. Kemudian tahapan keempat, yaitu prosesi lelangan. Setelah

kebaktian, jemaat berkumpul di Kapandhitan untuk mengadakan lelangan dari hasil

persembahan yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, hasil kerajinan, dan jugab

binatang ternak, seperti kambing, ayam, burung dan lainnya.10

Tradisi Undhuh-Undhuh dalam bentuk simbolnya mempunyai beberapa

kesamaan dengan tradisi Gunungan Grebeg Keraton Yogyakarta, tepatnya dalam

upacara garebeg yaitu pemberian gunungan dari raja. Gunungan adalah susunan

berbagai jenis makanan dan sayuran sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk

gunung, namun dalam tradisi garebeg ini dalam pelaksaannya dirayakan dalam tiga

momen. Pertama, Garebeg Mulud (Maulud) yang diselengarakan tiap tanggal 12

Bulan Mulud (Bulan Rabiulawal) dengan tujuan untuk memperingati kelahiran Nabi

Muhammad SAW. Kedua, Garebeg Pasa atau Garebeg Bakda, yang diselenggarakan

pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan bertujuan untuk

menghormati bulan puasa malam Lailatul Qodar, dan syukuran atas selesainya ibadah

puasa selama sebulan. Ketiga, Garebeg Besar, yang diselenggarakan setiap tanggal 10

Bulan Besar (Bulan Dzulhijah) yang bertujuan untuk merayakan hari raya Idul Adha.11

Dari penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti terkait nilai-nilai sosial

dalam tradisi Undhuh-Undhuh GKJW di Mojowarno Jombang, dengan judul “Nilai

10 Mardoedari Wiryoadiwisno dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Jemaat Mojowarno, (Jombang:

GKJW Jemaat Mojowarno, 2011), hlm. 37-46.

11 Nugroho Trisnu Brata, “Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton, Sebuah Kajian

Antropologi”, Sejarah dan Budaya, Vol. II, No.2 Desember 2009, hlm. 62.

Page 16: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

6

Kerukunan Sosial Dalam Tradisi Undhuh-Undhuh di Gereja Kristen Jawi Wetan

(GKJW) Mojowarno Jombang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka diperoleh rumusan masalah

yaitu, Seperti apakah nilai-nilai kerukunan sosial terkandung dalam tradisi Undhuh-

undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno Jombang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan skripsi ini

adalah untuk mengetahui seperti apakah nilai-nilai kerukunan sosisal dalm tradisi riaya

Undhuh-undhuh GKJW Mojowarno.

Selanjutnya penelitian dan penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan

manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian mengenai nilai kerukunan yang terdapat dalam tradisi Undhuh-

undhuh GKJW di desa Mojowarno, diharapkan dapat berguna bagi penelitian-

penelitian dengan tema yang sama atau relevan sehingga dapat memberikan

sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan

khususnya terhadap ilmu Antropologi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi tugas akademik sebagai

persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar sarjana agama (S.Ag) Prodi

Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Serta melalui penelitian ini peneliti dapat mengaplikasikan

Page 17: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

7

ilmu pengetahuan yang didapatkan selama menempuh di jurusan Studi Agama-

agama ke dalam karya yang nyata melalui proses penelitian ini.

b. Bagi mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai wawancara dan

informasi empiris tentang nilai kerukunan beragama dalam tradisi Undhuh-

undhuh, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi almamater

sebagai bahan referensi kajian untuk pengembangan penelitian selanjutnya yang

relevan.

c. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam proses pembangunan

masyarakat. Kemudian, melalui penelitian ini juga diharapkan dapat memberi

informasi empiris pada masyarakat.

D. Kerangka Teori

Ritual merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk

tujuan tertentu yang bersifat simbolik. Ritual dilaksanakan berdasarkan ajaran suatu

agama atau dapat juga berdasarkan tradisi tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual

biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara

sembarangan. Semua agama mengenal ritual, karena setiap agama memiliki ajaran

tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan

pelestarian kesakralan. Di samping itu, ritual juga merupakan tindakan yang

memperkokoh hubungan pelaku dengan obyek yang suci dan memperkuat solidaritas

kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.12

12 Wiwik Setiyani, Keragaman Perilaku Keagamaan, (Yogyakarta: Dialetika ,2018 ) hlm. 67.

Page 18: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

8

Ritual merupakan agama dalam bentuk tindakan. Meskipun ungkapan iman

bisa dikategorikan sebagai bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, namun iman

keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran serta

mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut. Berdasarkan penyelidikan, pada

hakikatnya mitos dan ritual memilikii keterkaitan. Kalaupun ada ritual yang

dilembagakan, itupun hanya sedikit, sebelum suatu dasar mistis diperkenalkan sebagai

landasan. Mitos sesungguhnya merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih

tinggi dan lebih penting tentang realitas asali yang masih dimengerti sebagai pola dan

fondasi dari kehidupan primitif.13

Durkheim, seorang sosiolog yang pernah mengkaji tentang masyarakat

berpendapat bahwa ritual tidak dapat dipahami lepas dari kehidupan masyarakat.

Melalui karyanya yang terkenal The Elementary Forms of the Religious Life,

Durkheim mengatakan agama sebagai social fact.14 Ini berarti memahami ritual tidak

lepas dari aspek sosial kemasyarakatan karena keyakinan dan ritual-ritual agama

adalah ekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Durkheim menekankan aspek mendasar

dari agama yakni yang sakral dan yang profan. Yang sakral diartikan sebagai sesuatu

yang berkuasa dan dihormati. Sedangkan yang profan ialah bagian dari keseharian

hidup.15

Melalui ritual, masyarakat secara berulang menghidupkan kembali

pengalaman-pengalaman mereka, membentuk persepsi mereka terhadap yang Ilahi dan

manusia serta menyatukan pandangan dan pengalaman tersebut dalam perasaan

komunitas dan dirinya. Respons terhadap yang sakral dalam membangun hidup

13 Ibid,. Hlm.68.

14 Durkheim dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogjakarta: IRCiSoD, 2011), hlm.

159.

15 Ibid,. Hlm. 145.

Page 19: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

9

bersama kemudian terwujud dalam bentuk-bentuk ritus yakni perayaan-perayaan,

festival, dan acara budaya dalam masyarakat.16 Bagi Durkheim, ritus diadakan secara

kolektif dan tetap agar pengetahuan dan makna-makna kolektif masyarakat dapat

disegarkan kembali. Ritus mampu menghadirkan makna sosial (memori kolektif) yang

merupakan media bagi anggota masyarakat untuk tetap berakar pada yang sakral,

sehingga melalui hal tersebut ikatan sosial (solidaritas sosial) di antara mereka

terbentuk.17

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, belum ada penelitian yang persis seperti

yang akan penulis buat dalam penelitian skripsi ini. Meskipun demikian, di Indonesia

banyak yang menganut aliran Animisme dan Dinamisme untuk menyelesaikan suatu

permasalahan hidup yang dialami, sehingga cukup mudah mendapatkan buku-buku,

jurnal, serta data-data yang lain untuk mendukung penelitian tentang praktik tradisi

adat Undhuh-undhuh. Di antara hasil penelitian tentang tradisi adat Undhuh-undhuh

maupun yang ada kaitannya dengan Islam Kejawen yang penulis temukan adalah

sebagai berikut,

Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Rini Puspita Dewi Tahun (2012).

Keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Di Dusun Ranurejo, Desa

Sumberayar, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo Tahun 1932-1985. Skripsi

ini membahas mengenai keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan saja.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Khusnul Khotimah tahun 2019 yang berjudul

“Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno

16 Durkheim dalam Catherine Bell, Ritual, Perspectives and Dimensions, (USA: Oxford University Press,

2009), hlm. 24.

17 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.

96.

Page 20: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

10

Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons”. Hasil penelitian tersebut memaparkan

bahwa ritual Undhuh-undhuh dilaksanakan oleh masyarakat Kristen Jawi Wetan

Mojowarno setiap tahun sekali, dan biasanya dilaksanakan setelah panen di bulan Mei.

Pelaksanaan ritual Undhuh-undhuh merupakan salah satu bentuk adaptasi yang

dilakukan para Jemaat GKJW terhadap masyarakat Mojowarno, khususnya umat

Islam. Tujuan utama (goal attaintment) dari ritual Undhuh-undhuh ini adalah sebagai

bentuk ucapan syukur terhadap Tuhan atas hasil panen. Di samping itu, ritual Undhuh-

undhuh juga merupakan bentuk integrasi antara jemaat GKJW dan masyarakat

Mojowarno (umat Islam dan Hindu). Akhirnya, ritual Undhuh-undhuh yang ada

sekarang masih mempertahankan pola yang esensi atau inti, meski terdapat tambahan

atau perubahan dalam pelaksanaannya sekarang.18

Ketiga, jurnal yang ditulis oleh Linda ‘Aniah dkk tentang “Eksistensi Gereja

Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang Tahun

1992-2018”. Hasil penelitian ini adalah GKJW Mojowarno merupakan GKJW tertua

di Jawa Timur yang masih terjaga eksistensinya dari awal peresmiannya hingga

sekarang. Selain itu, GKJW senantiasa melestarikan kebudayaan Jawa-agraris yang

disesuaikan dengan ajaran Kristen. Keberadaan GKJW tidak lepas dari peran jemaat

gereja maupun warga muslim sekitar. Bentuk toleransi yang terjalin merupakan kunci

dari keharmonisan kehidupan warga Mojowarno yang menjadikan bangunan GKJW

Mojowarno tetap terjaga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Jombang yang

mayoritas beragama Islam.19

Keempat, jurnal yang ditulis oleh Nurhayati dan M. Turhan Yani yang berjudul

18 Khusnul Khotimah, Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno

Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons, (Surabaya: Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel,

2019)

19 Linda ‘Aniah dkk, “Eksistensi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan Mojowarno

Kabupaten Jombang Tahun 1992-2018”, Jurnal (Universitas Negeri Surabaya, of History Education and

Historiography, Vol. 1, No.1, 2017)

Page 21: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

11

“Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era Globalisasi Di Mojowarno,

Jombang”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perubahan pemaknaan

terhadap tradisi Undhuh-undhuh. Dahulu, Undhuh-undhuh dimaknai sebagai kegiatan

mengumpulkan padi untuk dipinjamkan kepada warga yang membutuhkan. Sekarang,

Undhuh-undhuh dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur, meningkatkan rasa

kebersamaan, membantu perekonomian warga dan meningkatkan rasa toleransi.

Perubahan pemaknaan tidak lepas dari pengaruh globalisasi, yakni internet dan media

sosial, dan besarnya rasa gengsi di masyarakat serta adanya budaya barat yang masuk.

Saran yang diberikan adalah hendaknya tradisi Undhuh-undhuh yang sudah

berlangsung selama 83 tahun ini tetap dipertahankan keasliannya dari era yang terus

berubah. Karena terdapat nilai budaya lokal masyarakat Mojowarno.20

Kelima, tulisan ringkas (artikel) Muhammad Ainun Najib yang berjudul

“Minoritas yang Terlindungi Tantangan dan Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno di

Kota Santri Jombang” IAIN Tulungagung. Artikel ini memaparkan mengenai jemaat

GKJW yang menjadi kelompok minoritas di kota santri Jombang, juga membahas

perihal hak kebebasan beragama dan berkeyakinan GKJW jemaat Mojowarno yang

tetap terjamin dan terpelihara. Komitmen individu atau kelompok yang mendorong

sikap dan perilaku mereka dalam mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis

dan rukun dalam masyarakat Mojowarno. Meski mereka larut dalam kehidupan sosial,

tetapi tidak hanyut dalam agama dan keyakinan yang berbeda.21

Sedangkan Tema yang penulis bahas adalah Nilai Kerukunan Sosial dalam

Tradisi Undhuh-Undhuh Di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno

Jombang Jawa Timur, yang mana beda tempat dan juga beda pembahasan. Kemudian

20 Nurhayati dan M. Turhan Yani “Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era Globalisasi

Di Mojowarno, Jombang” Jurnal (Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013).

21 Ainun Najib,Minoritas Terlindungi, Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno Dikota Santri Jombang,

Jurnal Epistime, Vol. 10, No.1,(Juni 2015)

Page 22: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

12

penulis mengambil data dari skripsi di atas untuk dijadikan data penunjang. Dalam

menganalisis, penulis menggunakan pendekatan Antropologi.22 Pasalnya, cara-cara

yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologis ketika melihat suatu masalah,

digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana

dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan

sifatnya partisipatif.23

Pendekatan Antropologi tersebut menjadi landasan untuk memahami nilai-nilai

serta pesan keagamaan dan kebudayaan yang dilakukan dalam praktik tradisi adat

Undhuh-undhuh di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tersebut.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam hal penelitian ini, penulis memilih jenis penelitian kualitatif24 yang

bersifat kepustakaan (library Research).25 Dengan demikian diharapkan

22 Pendekatan Antropogis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya

memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagmaan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi

manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya lihat Bustanuddin Agus, agama dalam

kehidupan manusia, pengantar antropologi agama , (jakarta: Rajagrafindo Persada 2006), hlm. 11.

23 Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta:

Rajagrafindo Persada 2006), hlm. 12.

24 Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriftif dan cenderung menggunakan analisa.

Kemudian landasan teori dalam penelitian ini digunakan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai

dengan fakta di lapangan. Kemudian, penelitian berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada

penerimaan atau penolakan terhadap teori yang digunakan. Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian

kualitatif, hlm. 5.

25 Penelitian kepustakaan atau (Library Research) adalah penelitian yang menggunakan teori-teori

yang diambil dari literatur tertulis baik itu buku, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya yang mendukung dan

relevan dengan judul penelitian. Sedangkan penelitian lapangan (field research) adalah dimana peneliti

menggunakan penelitian yang terjun ke lapangan atau tempat penelitian yang dipilih lihat Noeng Muhadjir,

Metodologi Penelitian Kualitatif. hlm. 6.

Page 23: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

13

pengamatan, deskripsi, dan analisis dalam penelitian ini lebih optimal.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

Antropologis. Pendekatan ini berupaya untuk memahami kebudayaan-kebudayaan

produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama memberi

pengaruh terhadap budaya, dan sebaliknya sejauh mana kebudayaan suatu

kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama.26 Objek kajian

Antropologi adalah manusia dan kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan itu

sendiri merupakan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan

untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi dan untuk

menciptakan serta mendorong terwujudnya tingkah laku.27 Oleh karena itu, yang

menjadi obyek kajian Antropologi agama adalah kebudayaan manusia dalam

kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran, sikap, dan perilaku manusia.

Jadi bukan kebenaran ideologis atau keyakinan tertentu yang menjadi titik

perhatian studi ini, melainkan kenyataan empiris yang tampak berlaku.28 Dalam

penelitian ini penulis mencoba mendalami pengaruh dari tradisi ritual Undhuh-

undhuh dalam konteks kerukunan sosial yang terjadi pada masyarakat Mojowarno.

Dalam hal ini, adalah proses sosial yang di dalamnya terdapat sebuah proses

hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan

kolompok dengan kelompok lain untuk mencapai sebuah kerukunan sosial yang

26 Kautsar Azhari Noer dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku Ajar Pengantar

Studi Perbandingan Agama (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2008), hlm. 35. Lihat juga, Media

Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901- 1940) Hinga Masa Reformasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-1, 2015), hlm. 47-48.

27 Parsudi Suparlan, Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian Masalah- Masalah

Agama (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), hlm. 78.

28 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,

Keyakinan, dan Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h.9.

Page 24: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

14

tinggi dengan adanya tradisi tersebut.

3. Sumber Data

Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, sumber data dalam

penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya berupa tambahan

seperti dokumen dan lain-lain. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau

informasi yang diperoleh dari objek penelitian yang dianggap penting dan

dokumentasi-dokumentasi yang menunjang penelitian.29 Adapun data yang penulis

gunakan dalam penelitian dibagi dalam dua bentuk yaitu primer dan sekunder :

a. Data Primer

Menurut S. Nasution data primer dalam penelitian kualitatif adalah data

yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian. Kemudian

Lofland menspesifikasikan definisi sumber data itu adalah data berbentuk kata-

kata dan tindakan. Data primer yang penulis gunakan diperoleh dari hasil

wawancara dengan masyarakat Mojowarno. Sedangkan data berbentuk

tindakan penulis dapat dari hasil observasi dan data berupa dokumentasi di

lapangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder ini penulis peroleh dari penelusuran terhadap hasil-hasil

penelitian sebelumnya yang relevan dan terkait dengan judul skripsi ini.

Adapun bentuknya adalah buku, jurnal, tesis, skripsi, proseding seminar dan

internet (website permintaan dan lembaga non pemerintah).

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian

29 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.

3.

Page 25: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

15

ini adalah dengan proses triangulasi, yaitu :

a. Observasi partisipatif

Observasi partisipatif atau observasi terbuka adalah teknik

pengumpulan data di mana peneliti benar-benar ikut dan berbaur secara

langsung sehingga terjadi interaksi secara langsung dengan responden atau

yang diteliti. Dalam hal ini peneliti juga mengikuti kegiatan yang dilakukan

responden, termasuk kegiatan seputar pelaksana adat Undhuh-undhuh.

b. Wawancara

Wawancara adalah kegiatan percakapan yang memiliki maksud

tertentu. Sedangkan wawancara mendalam adalah wawancara yang lebih

bersifat intim dan mendalam yang melibatkan dua belah pihak, yaitu

pewawancara, orang yang mengajukan pertanyaan dan responden, orang yang

diwawancarai. Adapun kegiatan wawancara ini digunakan peneliti untuk

menilai keadaan seseorang atau kelompok. Adapun metodenya adalah dialog

atau tanya jawab yang dilakukan dua orang atau lebih oleh pewawancara atau

responden yang dilakukan secara berhadap-hadapan. Sebelum melakukan

wawancara mendalam, penulis membuat kerangka dan garis-garis besar atau

pokok-pokok pertanyaan, serta senantiasa menciptakan suasana santai (tidak

kaku), namun serius (tidak main-main) ketika berdialog.

Adapun penulis membuat tiga kerangka atau pokok-pokok pertanyaan

berbeda. Pertama, bagaimana sejarah awal mula adat Undhuh-undhuh? Kedua,

bagaimana pelaksanaan adat Undhuh-undhuh? Ketiga, bagaimana respon

masyarakat terhadap adat Undhuh-undhuh?

5. Anlisis Data

Metode analisis data dipahami sebagai sebuah metode yang dikerjakan dan

dimanfaatkan sedemikian rupa sampai dapat disimpulkan kebenaran-kebenaran

Page 26: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

16

yang dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.30 Dalam

penelitian ini analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.

Metode deskriptif merupakan metode yang dipergunakan sebagai prosedur

pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek

atau obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.

Sedangkan teknik analisis merupakan salah satu teknik dalam penelitian dengan

melakukan analisis dari data-data yang telah didapat.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan arah yang lebih jelas dalam penelitian ini, maka peneliti

akan melakukan pemetaan dan menggambarkan sistematika pembahasan ke dalam

beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :

Bab Pertama terdiri dari pendahuluan yang meliputi beberapa sub-bab, yaitu,

Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika

Penulisan. Hal tersebut merupakan landasan dasar dalam penelitian ini.

Bab Kedua. Pada bab ini membahas tentang Profil Sejarah Singkat Desa

Mojowarno, Profil Gereja Kristen Jawi Wetan dan Komunitas GKJW Mojowarno

Jombang.

Bab Ketiga. Bab ini membahas tentang sejarah Undhuh-undhuh, tahapan

tradisi Undhuh-undhuh dan prosesi Undhuh-undhuh.

Bab Keempat. Bab ini membahas tentang kerukunan sosial dan toleransi hidup

beragama, filosofi dari perayaan riyaya Undhuh-undhuh, nilai kerukunan dalam

prosesi riyaya Undhuh-undhuh dan yang terakhir membahas tentang dampak sosial

30 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama), hlm. 269.

Page 27: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

17

dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut.

Bab Kelima, yaitu penutup. Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari

penelitian ini dan saran terhadap beberapa pihak yang terkait dalam penelitian ini.

Page 28: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

18

Page 29: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

19

BAB II

PROFIL GEREJA KRISTEN JAWI WETAN MOJOWARNO

A. Sekilas Mojowarno Jombang

1. Letak Geografis Mojowarno

Secara geografis, Mojowarno merupakan daratan rendah yang subur dan

berjarak 12 Km dari pusat pemerintahan kota Jombang. Desa Mojowarno terletak

pada 112º 18 menit 20, 37 detik BT dan 112º 17 menit 16,77 detik BT serta 7º 38

menit 10,27 detik LS sampai 7º 38 menit 55, 38 detik LS dengan ketinggian ± 60 m

DPL. Desa Mojowarno dilalui oleh Kali Jiken yang melalui tengah desa

Mojowarno, Kali Joyo yang melalui daerah persawahan di bagian timur desa, serta

Kali Sat yang melalui daerah persawahan di bagian barat. Selain itu di perbatasan

dengan desa Karanglo terdapat Kali Konto. Desa Mojowarno beriklim tropis

dengan curah hujan rata-rata 600 ml/tahun dan bulan hujan 6-7 bulan/tahun.

Kelembapan udara 80 %, dan suhu rata-rata 32º C. Desa Mojowarno sebagian besar

adalah daerah pertanian dengan luas sawah irigasi teknis 216 hektar dan 23 hektar

irigasi ½ teknis. Tekstur tanah lampungan dengan warna kehitam-hitaman 60%.

Kemiringan tanah 180º. Desa Mojowarno terdiri dari 3 dusun, yaitu : Dusun

Mojowarno 1 yang terletak di sebelah barat Kali Jiken, terdiri dari 3 RW dengan 11

RT, Dusun Mojowarno 2 terletak di sebelah timur Kali Jiken terdiri dari 2 RW

dengan 9 RT, dan Dusun Sidoluwih yang terletak di bagian barat daya terdiri dari 1

RW dengan 2 RT.31

Mojowarno merupakan perlintasan dengan posisi yang strategis. Dari arah

selatan Mojowarno terdapat pusat kerajaan Kediri, sedangkan pada sisi utara

terdapat pusat kerajaan Majapahit. Pada era Majapahit terdapat bangunan suci

untuk melakukan ritual keagamaan pada masa itu yang terletak di desa Arimbi

31 Tenia Kurniawati, Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di

Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, (Jember: Universitas Jember, 2008), hlm. 33-34

Page 30: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

20

(Ngarimbi) yang berupa candi. Untuk menuju candi tersebut harus melewati daerah

Mojowarno. Sebelum Mojowarno berdiri sebagai perkampungan, di sebelah selatan

sudah ada penguasa dengan julukan Ki Geede Ngoro, selain itu di sisi timur

Mojowarno di sebuah desa Japanan ditemukan sebuah bekas pondasi bangunan.

Namun hal tersebut dianggap hal biasa atau tidak bernilai oleh orang yang tidak

mengerti benda kuno. Sedangkan benda lain yang masih ada yaitu berupa patung

yang bernamakan Mbah Gambar. Patung tersebut ditafsirkan sebagai tempat tiang

bendera kerajaan pada masa itu. Dengan melihat keadaan tersebut memungkinkan

Mojowarno merupakan kawasan yang ramai.32

Selain dikelilingi berbagai sungai, Mojowarno ketika mulai membuka

hutan, daerah sekitarnya merupakan sebuah daerah perkebunan, yang terletak di

sebelah timur di lereng Gunung Arjuno yang berupa perkebunan kopi, teh dan

karet. Sedangkan di sebelah barat, pada tahun 1870 dibangun Pabrik Gula Cukir

dan Pabrik Gula Selorejo. Dengan keberadaan perkebunan dan beberapa pabrik

gula yang notabene-nya adalah milik pemerintah Hindia Belanda, Mojowarno

merupakan tempat peristirahatan bagi orang-orang Belanda yang berdomisili di

daerah perkebunan dan pabrik gula tersebut.33

Luas Desa Mojowarno 315,7 hektar, yang terdiri dari lahan pemukiman

seluas 67,3 hektar, lahan persawahan seluas 239 hektar, lahan perkantoran dan

fasilitas umum 6,5 hektar serta areal pemakaman 2,9 hektar. Batas-batas wilayah

Desa Mojowarno sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : Desa Mojowangi - Kec. Mojowarno

2) Sebelah Timur : Desa Penggaron - Kec. Mojowarno

32 Kushadi, Perubahan social Masyarakat Kristen Jawi Di Mojowarno Pada Tahun 1970-1998,

(Surabaya: Universitas Indonesia, 2004), hlm 22.

33 Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai

Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 33-34.

Page 31: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

21

3) Sebelah Selatan : Desa Mojotengah - Kec. Bareng dan

Desa Latsari - Kec. Mojowarno

4) Sebelah Barat : Desa Karanglo - Kec. Mojowarno

Mojowarno berpenduduk ± 5.665 dengan perbedaan jumlah penduduk laki-

laki sebanyak 2.867 dan penduduk perempuan 2.798. Dalam perbandingan tersebut

tidak terlalu banyak selisih antara penduduk laki-laki dan perempuan. Dari jumlah

tersebut terdapat kepala keluarga sebanyak 1.636. Di Mojowarno terdapat beberapa

instansi penting seperti gereja peninggalan Belanda yang masih terawat, Rumah

Sakit Kristen (RSK) yang terletak di depan gereja. Sebelum Mojowarno

berkembang, mayoritas penduduk Mojowarno beragama Kristen. Namun sedikit

demi sedikit terjadi perubahan ketika masyarakat pendatang menyebarkan agama

Islam. Perubahan dari masyarakat yang agraris menjadi modern tidak lepas dari

pendidikan yang ditempuh oleh penduduk Mojowarno. Pendidikan yang ditempuh

menunjukankan semakin majunya intelektual masyarakat. Karena mereka

menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sekadar hidup sebagai petani.

Kesejahteraan petani memang dipandang kurang dari pada pegawai negeri.

Sehingga masyarakat Mojowarno bersama-sama meraih pendidikan yang lebih

tinggi. Perubahan tidak hanya terjadi pada pendidikan, namun juga pada agama

yang dianut masyarakat. Pada tahun 1871, Mojowarno terkenal dengan mayoritas

agama Kristen Protestan. Hal ini terbukti karena adanya penyebaran agama Kristen

Protestan oleh Paulus Tosari. Selain itu, pembangunan gereja juga dilakukan pada

tahun yang sama. Pada perkembangannya, Kristen Protestan di Mojowarno tergeser

oleh agama Islam. Kristen Protestan menempati urutan kedua setelan Islam.34

2. Sejarah Mojowarno

34 Nurhayati dan M. turhan Yani, Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh Pada Era

Globalisasi Di Mojowarno Jombang, (Jurnal, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3

Tahun 2013), hlm. 430.

Page 32: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

22

Pada masa perang Diponegoro 1825-1830, banyak prajurit pengikut

Pangeran Diponegoro yang lari dan mengasingkan diri ke arah timur wilayah

Mataram. Mereka mencari keselamatan diri dan keluarganya dari kejaran VOC

(Persekutuan Dagang Belanda di Indonesia). Dalam pengasingannya, mereka

menyamar sebagai pedagang, buruh tani, buruh perkebunan, pengrajin dan lain-

lain.

Di antara kelompok prajurit Mataram yang melarikan diri ke timur, terdapat

sekelompok prajurit yang dipimpin oleh Singotruno dan Ditotruno yang menempati

salah satu wilayah di Gunung Kendeng (Pulosari). Dalam sosial kemasyarakatan,

Singotruno dan Ditotruno dikenal sebagai pekerja keras, rajin, ulet, tekun, cerdas

serta sering memberikan pitutur-pitutur dan olah kebatinan. Dengan kepribadian

yang seperti itu, mereka menjadi panutan dan suri tauladan masyarakat.

Pada sisi lain terdapat seorang pendeta bernama Paulus Tosari yang sering

memberikan wejangan kepada masyarakat di wilayah Singotruno dan Ditotruno

tinggal. Paulus Tosari adalah bawahan C.L. Coolen, seorang pemimpin dan

penguasa Belanda di wilayah Ngoro dan sekitarnya. Paulus Tosari memberikan

wejangan tentang kebijakan hidup yang bertema ‘Ngulati Tuyo Wening’. Ketiga

tokoh panutan ini pada akhirnya bertemu dan menyatukan misi bersama-sama

membina kehidupan masyarakat. Paulus Tosari yang mempunyai kedekatan dengan

C.L. Coolen, meminta ijin agar Singotruno dan Ditotruno dapat membuka

pemukiman baru. Akhirnya Coolen pun mengijinkan membuka hutan di wilayah

tenggara Ngoro yang dikenal dengan Alas Krancil.

Dari titik Babat Alas Krancil inilah sebenarnya sejarah desa Mojowarno dan

desa-desa di sekitarnya dimulai. Hanya saja tidak ada catatan waktu tentang

kejadian ini, yang ada hanya catatan peristiwa secara garis besar. Dengan hanya ada

catatan peristiwa dan tokoh utama, berkembanglah legenda tentang desa

Mojowarno.

Page 33: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

23

Alas Krancil terkenal angker karena lebatnya pohon dan dihuni binatang

buas serta makhluk-makhluk gaib. Karena begitu angkernya, hingga seseorang

yang masuk ke dalam hutan apalagi menebang pohon dan mengeluarkan bunyi

ketika peralatan digunakan, orang tersebut akan mati seketika. Dengan keadaan

seperti ini, Singotruno dan Ditotruno menggunakan kesaktiannya dan berhasil

menggunakan Kuku Jari tangannya untuk menebang pohon. Di antara ribuan

pohon yang ditebang, terdapat banyak aneka Pohon Mojo tetapi rasa buahnya

Pahit.

Dalam waktu relatif singkat, terbentuklah pemukiman baru yang menarik

bagi bermacam-macam orang, bermacam profesi, dan bermacam keyakinan.

Keberagaman penghuni wilayah ini dan faktor ditemukannya Pohon Mojo yang

bermacam-macam jenisnya, maka derah baru ini diberi nama Mojowarno. Mojo

yang berasal dari kata buah “Mojo” dan “Warno” yang berarti bermacam-macam,

beraneka jenis.

Sebagai daerah pemukiman baru, Mojowarno berkembang dengan cepat.

Hal ini disebabkan letaknya yang strategis karena berada di antara dua daerah yang

telah tumbuh lebih dulu, yaitu Ngoro dan Mojokerto. Begitu cepatnya wilayah ini

berkembang dalam waktu ± 50 tahun, Mojowarno sudah dikenal di seluruh

Nusantara. Area persawahan dan pemukiman tertata rapi sehingga Pemerintah

Hindia Belanda membangun pusat pemerintahan, sekolah, rumah sakit, pasar, dan

gereja. Infrastruktur kereta api, pabrik gula di Selorejo juga merupakan bukti

bahwa Mojowarno pernah disiapkan untuk menjadi pusat pendidikan dan

pemerintahan. Bahkan R.A. Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang

berkeinginan menimba ilmu medis di Mojowarno yang dikelola oleh Zending. Ini

membuktikan bahwa Mojowarno pada 100 tahun lalu merupakan daerah yang

maju.

Di sisi lain seiring perkembangan, Kyai Haji Hasyim Asyari pengasuh

pondok pesantren Tebuireng mengirim salah satu muridnya Kyai Ichsan untuk

Page 34: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

24

membina kehidupan masyarakat beragama di Mojowarno. Kedatangan murid beliau

ini diterima dengan baik oleh warga dan pihak pemerintahan desa Mojowarno.

Diberikanlah kepada Kyai Ichsan sebidang tanah untuk mendirikan Masjid ‘At-

Taqwa’ dan tempat tinggal serta sawah bengkok yang dapat digunakan untuk

kehidupan keluarga beliau dan pembinaan umat. Hal ini menjadi salah satu

keunikan desa Mojowarno yang tidak ditemukan di desa lain karena pemimpin

umat (agama Islam) berkedudukan selayaknya pamong yang mendapat pembagian

tanah bengkok desa.35

B. Asal Mula Gereja Kristen Jawi Wetan

1. Proses Pembangunan GKJW Mojowarno

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) adalah gereja yang paling tua di Jawa

Timur. Struktur dari bangunan gereja ini beraliran Protestan Calvinisme. Embrio

GKJW ini berasal dari masyarakat pedesaan Kristen yang kemudian berkembang ke

beberapa pedesaan dan perkotaan di Jawa Timur. Perkembangan gereja ini tidak

terlepas dari pola pembentukan komunitas Kristen awal-awal seperti desa-desa

Kristen di wilayah Hutan Keracil, Distrik Japan (sebutan untuk Mojokerto saat itu

dan sekarang Mojowarno, Jombang) pada awal abad 19 lalu.36

Berdirinya gedung GKJW merupakan sebuah ide dari Paulus Tosarie yang

ketika itu telah menetap di Mojowarno sebagai pemuka agama keristen. Awalnya

ibadah hari minggu dan pengajaran jemaat dilakuan di rumah Paulus Tosarie.

Setelah berkembang dengan jumlah yang banyak dan rumah Paulus tidak bisa

menampung para jemaat yang hadir, Paulus mengusulkkan kepada Abisai Ditoretno

untuk membangun rumah ibadah.37 Bentuk rumah ibadah tersebut adalah sebuah

35 Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Mojowarno 2014-2018, hlm. 7-10.

36 Madoedari Wiryoadiwismo dkk, Sejarah Riyaya Unduh-Unduh Jemaat Mojowarno,

(Mojowarno: Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno, 2011), hlm. 4.

37 Mariso Soedibyo, Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja Mojowarno,

(Mojowarno: Setecilan 1975), hlm. 52.

Page 35: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

25

gubug (rumah dari anyaman bambu), berjalannya waktu jemaat semakin banyak

dan rumah ibdah yang sudah dibangun pun tidak cukup untuk menampung para

jemaat. Melihat hal demikian Paulus Tosarie mengusulkan kembali untuk

memperbaiki dan memperluas bangunan tempat ibadah, dengan dana sebesar tujuh

gulden. Ketika para Zendeling Belanda utusan NZG masuk ke daerah Mojowarno

untuk membantu pemuka agama dengan ditandai masuknya J.E Jellesma ke

Mojowarno pada tahun 1851, hal itu mempunyai dampak positif terhadap jemaat,

sehingga semakin bertambah jumlah jemaat di Mojowarno. Renovasi gedung

rumah ibadah pun dilakukan kembali dengan dana sebesar 20 gulden darti bantuan

Jellesma. Dana ini digunakan untuk membeli sebuah kerangka rumah yang cukup

besar yang kemudian dijadikan menjadi satu kerangka rumah ibadah sebelum

direnovasi. Dengan perbaikan tersebut, untuk sementara waktu dapat menampung

semua jemaat. Setelah J.E Jellesama meninggal, NZG mengutus Hoezoo untuk

menggantikan kedudukan Jellesma dalam melakukan pelayanan kepada para

jemaat. Hoezoo bersamaan dengan Paulus Tosarie kemudian melakukan perbaikan

terhadap rumah ibadah untuk yang ketiga kalinya. Perbaikan yang ketiga ini fokus

pada perbaikan lantai tempat ibadah dengan diplester.38

Seiring dengan perkembangan masyarakat Mojowarno, berkembang pula

para jemaat. Dengan keadaan yang demikian, Pulus Tosarie terdorong untuk

memberikan pelayanan kepada para jemaat dengan baik lagi. Pada saat itu, Paulus

Tosarie mempunyai keinginan untuk mempunyai gedung gereja buat para jemaat

Mojowarno yang bisa menampung seluruh jemaat. Untuk memenuhi cita-cita

Paulus, pada tahun 1871 Paulus Tosarie mengusulkan pembangunan gedung gereja

yang baru dan mengumpulkan dana kepada J. Kruyt yakni rekan pelayanannya.

Setelah ada persetujuan J. Kyurt dan para anggota jemaat, langkah pertama yang

dilakukan oleh Pulus adalah mengumpulkan dana dari para jemaat dengan

membentuk lumbung pirukunan. Tiap-tiap anggota dengan sukarela memberikan

38Ibid., hlm 11.

Page 36: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

26

sebagian hasil panen untuk gedung gereja yang baru. Setelah semua sumbangan

dari para jemaat terkumpul, kemudian dijual pada musim paceklik, dan hasil

penjualannya dimasukan pada Nutsapar bank (bank tabungan untuk umum

Surabaya). Pada tahun 1879 pemberian dari para jemaat telah terkumpul sebanyak

6000 gulden. Selain menyumbangkan hasil panen para jemaat juga

menyumbangkan pasir, batu bata merah, tenaga dan lainnya yang diperlukan untuk

membangun pelebaran gedung ibadah.39

Pada bulan November 1879 para jemaat kemudian bergotong royong atau

dikenal dengan kegiatan soyo yakni membuat pondasi bangunan yang hanya

diselesaikan dalam waktu lima hari saja. Pada tanggal 24 februari 1879 bertepatan

pada hari Senin dilaksanakan peletakan batu pertama oleh Christiana Kruyt putri

pendeta J.Kruyt. Di saat yang sama, Paulus Tosarie juga mengusulkan rumah

kepanditaan dengan bentuk yang memadai. Pada tahun inilah para jemaat

Mojowarno mempunyai dua proyek besar, yakni pembangunan gedung gereja dan

rumah kepanditaan sebagai kantor ruang kerja para diakonia. Dalam pembangunan

dua proyek tersebut, setelah menyelesaikan pembangunan dasar, muncul masalah

yaitu melesetnya anggaran dana yang sebelumnya sudah diperhitungkan ternyata

masih kurang. Dari situ, Paulus Tosarie mengusahakan bantuan kepada beberapa

perkumpulan Kristen yang ada di Surabaya, yakni perkumpulan Vresfond yang

memberikan lonceng gereja yang didatangkan langsung dari Belanda dengan tanda

cap mahkota kerajaan Belanda. Selain kelompok Vresfond ada juga yang

menyumbangkan dana sebesar 15.000 gulden, yakni Gubernur Jenderal Batavia

melalui Raad Van Indie.40

Setelah selesai pembangunan gedung gereja yang menghabiskan lebih dari

25.000 gulden, Paulus Tosarie dan J. Kruyt dengan para jemaat berkumpul untuk

39 Tenia Kurniawati, Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di

Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, (Jember: Universitas Jember, 2008), hlm. 44.

40 Mariso Soedibyo, Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja Mojowarno,

(Mojowarno: Setecilan 1975), hlm. 64.

Page 37: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

27

membicarakan masalah penyempurnaan bangunan serta langkah-langkah yang akan

dilakukan dalam peresmian gedung. Dalam perkumpulan tersebut muncullah

beberapa keputasan-keputusan penting yakni;

a. Diadakan ibadah kebaktian syukur di rumah ibadah yang lama sebelum

melakukan peresmian gedung gereja.

b. Peresmian gedung ditetapkan 3 Maret 1881.

c. Membangun rumah kepanditaan sebagai tempat pelayanan bagi jemaat.

d. Merencanakan pembangunan balai kesehatan jemaat Mojowarno yang akan

menjadi cikal bakal rumah sakit Kristen Mojowarno.

Pada tanggal 27 Februari 1881 para jemaat melakukan ibadah syukur untuk

yang terakhir di rumah ibadah lama. Setelah itu, empat hari kemudian yakni tanggal

3 Maret 1881, telah diresmikan gedung gereja baru jemaat Mojowarno yang

dihadiri oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda F.S. Jacob beserta jajaran

pemerintahan. Dalam peresmian tersebut J. Kruyt memimpin ibadah mengambil

nas dari 1 Korintus 1: 9 yang berbunyi “Allah yang memanggil kamu kepada

persekutuan dengan anaknya Yesus Kristus Tuhan kita adalah setia” sebagai

khotbahnya. Kemudian Paulus Tosarie memberikan sebuah sambutan yang

berbunyi “Besar sekali kebahagiaan kita hari ini, karena boleh memasuki gedung

gereja yang megah dan maha indah ini adalah pusaka bagi anak cucu kita turun-

temurun di kemudian hari”. Demikianlah bebrapa penggalan khotbah dan sambutan

ketika peresmian gedung GKJW Mojowarno.

2. Perkembangan Gedung GKJW Mojowarno

Perkembangan gedung GKJW mengalami perubahan yakni dengan

melakukan pemugaran gedung. Setelah proklamasi kemerdekaan pusat kegiatan

Kristen di Mojowarno tinggal puing-puing. Selain itu, keadaan ekonomi juga

mengalami kesulitan, namun keadaan demikian tidak mengurangi rasa semangat

yang tertanam pada jiwa para jemaat. Hal demikian terbukti dari generasi ketiga

dan keempat, dengan sebuah kesederhanaan dan ketulusan hati para jemaat tergerak

Page 38: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

28

dan terbuka kembali untuk membangun rumah sakit dan sekolah. Usaha

demikianlah yang nanti bisa diharapkan untuk mengembalikan kegiatan gereja

seperti sebelumnya.

Dalam rangka mengembangkan gedung untuk direnovasi, banyak bantuan

yang mengalir baik berupa uang dan barang dari para anggota jemaat dan para

orang-orang yang sebelumnya pernah ditolong. Para jemaat juga memperhatikan

betul keadaan gedung gereja. Hal ini yang kemudian memicu para jemaat untuk

melakukan pemugaran gedung gereja. Namun demikian, disadari betul oleh para

jemaat, dengan melakukan pemugaran gedung gereja tentu membutuhkan biaya

yang tidak sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dana dari seluruh jemaat

yang bisa menyisihkan hartanya untuk pemugaran gedung gereja.

Pada tanggal 3 Februari 1978 terbentuk panitia pemugaran gedung gereja

yang terdiri dari putra-putri Mojowarno generasi ketiga dan keempat yang menetap

di Mojowarno, adapun susunan panitianya sebagai berikut

a. Penasehat : Bapak R. Soedibjo Meriso

b. Ketua Umum : Bapak Pdt. Proewito Dwidjosoewigjo

c. Ketua I : Bapak Poerbodarsono

d. Ketua II : Bapak Srijanto

e. Sekretaris I : Bapak Kolil

f. Sekretaris II : Bapak R. Loekmaksono

g. Bendara I : Bapak Soerjatno

h. Bendahara II : Bapak Soeharso

i. Pembantu : Ibu Wirjoadiwismo

: Ibu Listianingati.41

41 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno

1881-1981 (GKJW: Mojowarno, 1981), hlm. 16-19.

Page 39: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

29

Selanjutnya pada tanggal 28 Februari 1979 para pengurus gereja

mengadakan peringatan 100 tahun peletakan batu pertama gedung gereja.

Peringatan ini bermaksud untuk menarik hati para jemaat agar mereka ikut aktif

untuk selalu memperhatikan pelaksanaan pemugaran gedung gereja. Peringatan

tersebut terbagi menjadi dua waktu, satu waktu di pagi hari yang diisi dengan acara

kebaktian anak-anak TK Kristen, SD Kristen, SMP Kristen dan siswa-siswi SMA

Kristen, dan waktu kedua dilakukan di sore hari dengan diisi kebaktian orang-orang

dewasa yang di pimpin Pdt. Srisanto S.Th. Setelah selasai acara kebaktian,

dilanjutkan dengan sambutan dari ketua majelis jemaat Mojowarno, yaitu Bapak

Pdt. Proewito Dwidjosewignjo. Kemudian dilanjutkan sambutan dari bapak Bupati

kepala daerah tingkat II Kabupaten Jombang H.A Hudan Dardiri, lalu sambutan

dari PPMA (Pangreh Padintenan Majelis Agung atau sama dengan pengurus harian

Synode) dan terakhir sambutan dari sekertaris umum bapak Soeharto S.H.42

Proses peletakan batu pertama ini telah membuktikan bahwa kemauan,

pengorbanan, dan pengabdian sebagai unsur hidup yang dimiliki oleh para leluhur

ini juga dimiliki oleh para generasi penerus. Peninggalan ini adalah sebuah warisan

yang perlu dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi-generasi selanjutnya.

Sekalipun gedung gereja itu adalah barang mati, namun oleh Tuhan gedung ini

dijadikan sarana untuk menghimpun makhluk-Nya dan juga sebagai tempat

terkumpulnya kekuatan spiritual yang luhur. Walaupun pada saat itu jemaat

Mojowarno dikategorikan sebagai jemaat yang masih muda secara kuantitas dan

kualitas, namun semangat untuk memiliki gedung gereja yang layak akhirnya dapat

terwujud, yaitu dengan mulainya pemugaran pada tanggal 23 Juli 1979. Satu hari

sebelumnya, pada hari Minggu 22 Juli 1979 diadakan kebaktian terakhir di gedung

gereja lama. Nas yang diambil dalam kebaktian ini adalah dari Hagai 1:8 yang

berbunyi ”Pergilah kamu ke gunung meramu kayu dan bangunkan pula rumah ini,

maka aku kelak berkenan akan dia dan akupun akan dipermuliakan, demikianlah

42 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno

1881-1981, hlm. 19

Page 40: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

30

firman Tuhan”. Kemudian keesokan harinya, pada tanggal 23 Juli 1979 diadakan

doa syafa’at yang dihadiri oleh majelis jemaat, panitia pemugaran, pemborong,

tukang-tukang, dan undangan dari pemerintah daerah. Isi doa tersebut adalah suatu

pengakuan bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik,

memohon kekuatan untuk panitia dan para pekerja. Setelah doa selesai dipanjatkan,

tepat pada pukul 11.00 secara simbolis bapak Pdt. Proewito Dwidjosewignjo

menurunkan genteng dari gereja lama.43

C. Komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan

Komunitas Kristen di Jawa Timur pertama kali terdapat di Ngoro Jombang

pada tahun 1827. Pemimpin komunitas tersebut adalah Conrad Lauren Coolen.

Coolen adalah seorang bekas tentara yang kemudian membuka daerah hutan di

Ngoro. Colen bukan seorang teolog atau pendeta. Ayahnya seorang berkebangsaan

Rusia. Sedangkan ibunya seorang priyayi Solo. Fakta sejarah tersebut membantah

asumsi umum bahwa penyebaran Injil dilakukan oleh penjajah Belanda melalui

kolonialisme. Penjajahan bangsa Barat terhadap Indonesia dipahami dalam acuan 3

G: yakni gold (emas), glory (kejayaan) dan gospel (penyebaran Injil). Belanda

melarang penyebaran agama Kristen karena khawatir menimbulkan perlawanan

dari masyarakat.44

Coolen membuka daerah hutan di Ngoro dan menjadi desa Kristen pertama

di Jawa Timur, namun penduduk desa tidak semuanya beragama Kristen. Coolen

tidak pernah memaksa para penduduk desa tersebut beragama Kristen. Dia juga

mengizinkan penduduk yang beragama Islam bertempat tinggal di Ngoro. Coolen

menjadi seorang pemimpin baru dan mengajarkan nilai-nilai Kristiani kepada orang

Jawa yang turut membuka hutan. Coolen yang mengajarkan agama baru tersebut

43 Soedibjo Meriso, Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan Mojowarno

1881-1981, hlm. 23.

44 Cekli Setya Pratiwi, “Freedom of Religion in Indonesia on Human Rights Perspective,”

Makalah, Master Level Course On Shariah and Human Rights (2014).

Page 41: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

31

menarik beberapa orang Jawa di Surabaya yang sedang ngelmu untuk berjalan kaki

dari Surabaya menuju Ngoro selama 25 jam hanya untuk mendengarkan dan

mengimani pengajaran Coolen. Coolen mengajarkan iman Kristiani dengan adat

istiadat Jawa. Hal ini dikarenakan Coolen terpengaruh dengan budaya Jawa.

Menurutnya, untuk menjadi pengikut Kristus tidak perlu menanggalkan budaya dan

adat istiadat Jawa dan tidak perlu dibaptis pula. Menjadi seorang Kristen tidak

harus meninggalkan adat setempat dan tidak pula mengikuti prilaku seperti orang

belanda. Bahkan, konsep pengajaran Kristen Coolen memadukannya dengan

kebatinan Jawa. Kristen yang diajarkan Coolen adalah Kristen sinkretis yang tidak

hanya bercampur dengan animisme dan dinamisme, melainkan pula dengan Islam.

Syahadat Kristen yang diajarkan hampir serupa dengan syahadat Islam, “La ilaha

illa Allah, Yesus Kristus iyo Roh Allah” (Tiada Tuhan kecuali Allah, Yesus Kristus

itu Roh Allah).45

Selain Coolen, ada penyebar Injil lain di Jawa Timur, yaitu Johannes Emde

yang mengajarkan Injil di Surabaya. Namun pengajaran Emde berbeda dengan

Coolen, Emde mengajarkan iman Kristiani dengan lebih menekankan budaya

Eropa. Emde melarang pula pengikutnya untuk menonton wayang dan memainkan

gamelan. Segala yang berbau Jawa terlarang bagi Emde dan pengikutnya. Dengan

demikian ada persaingan antara coolen dan Emde dalam hal penyebaran Injil.

Di sisi lain beberapa orang Kristen di daerah Sidoarjo yang telah mengikuti

pendeta Emde merasa tertekan. Hal ini dikarenakan ada keterpaksaan untuk

berganti pekerjaan, yang asalnya petani disuruh pindah menjadi pedagang. Hal ini

terjadi setelah dibaptis oleh penyebar Injil Johannes Emde. Setelah mengetahui

perkembangan Coolen dan Ngoro, para orang Kristen Sidoarjo berniat pindah

menuju Ngoro, daerah di mana komunitas Kristen pertama kali ada di Jawa Timur.

Namun Coolen menolak kehadiran mereka dengan alasan sudah dibaptis Emde.

Penolakan Coolen terhadap orang Kristen yang dibaptis memaksa orang Kristen

45 Van Den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: BPK, 1988), hlm. 200.

Page 42: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

32

Ngoro yang dibaptis Emde membuka lahan baru sebagai tempat tinggal. Mereka

mendirikan Desa Mojowarno tahun 1846. Pendirinya adalah Kiai Abisai

Ditotaruno, penyebar Injil Bumiputera hasil didikan Johannes Emde. Seperti Ngoro,

Desa Mojowarno adalah desa Kristen yang mengembangkan basis

perekonomiannya dengan pertanian. Orang Kristen Sidoarjo tertarik pindah menuju

Mojowarno dan disambut dengan baik Ditotaruno. Bahkan, penyebar Injil kelahiran

Madura, Paulus Tosari, tertarik untuk menetap di Mojowarno. Ia kemudian

memutuskan pindah ke Mojowarno beserta orang Kristen Sidoarjo lain yang ingin

menekuni pertanian. Desa Mojowarno tidak mengizinkan seorang Muslim pun

untuk bertempat tinggal. Kebijakan ini ditetapkan dengan tujuan menjadikan

Mojowarno sebagai desa Kristen sekaligus pusat pengembangan Kristen di Jawa

Timur. Bersamaan dengan itu, Desa Ngoro sebagai desa Kristen mengalami

kemunduran. Penyebaran agama Kristen berpindah dari Ngoro menuju Mojowarno.

Coolen kehilangan kharisma sebagai penyebar Agama Kristen.46 Akibatnya, status

Ngoro sebagai tanah persil dicabut dan diambil alih pemerintah Belanda. Hampir

tiga abad GKJW menyebarkan Kristen Protestan yang mengalami asimilasi dengan

Jawa di Mojowarno dan sekitarnya. Kini, Kristen di Jombang telah berkembang,

tidak terbatas di Mojowarno dan Ngoro. Kecamatan Mojoagung dan Jombang juga

terdapat pemeluk agama Kristen. Mojowarno yang didirikan sebagai desa Kristen

dan tidak mengizinkan orang Muslim tinggal, namun hal demikian telah mengalami

perubahan. Beberapa meter di samping GKJW Jemaat Mojowarno telah berdiri

sebuah masjid.

Jemaat GKJW Mojowarno terdiri dari jemaat-jemaat yang tersebar di

seluruh kecamatan Mojowarno, tidak terpisah-pisah tapi menjadi satu tubuh Kristen

di seluruh dunia. Gereja merupakan misi yang diwujudkan dalam tri panggilan

yaitu;

46 C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam (Jakarta:

Grafiti Press, 1985), hlm. 38.

Page 43: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

33

1. Diakonia atau pelayanan, yaitu gereja berkewajiban untuk menyatakan dan

mewujudkan pelayanan kasih dan pengorbanan Tuhan Yesus Kristus di

tengah-tengah dunia dan masyarakat.

2. Koinonia atau persekutuan, yaitu gereja yang merupakan persekutuan dari

orang-orang yang terpanggil, dikuduskan, dan diperbarui untuk hidup dalam

persekutuan, misalnya persekutuan dan kebaktian keluarga.

3. Marturia atau kesaksian, yaitu gereja sebagai juru bicara Allah untuk

menyatakan kehendak Allah, untuk memberikan kebenaran, keadilan, kasih

Allah kepada dunia dan masyarakat yang bentuknya berupa pekabaran injil.

Dengana bertambahnya dan berkembangnya jumlah warga GKJW jemaat

Mojowarno, maka diperlukan tempat ibadah yang memadai. Pada tahun 1881

dibangun gedung gereja yang layak untuk beribadat. Yang menjadi warga GKJW

jemaat Mojowarno adalah mereka yang sudah dibaptis dan dicatat dalam buku

induk anggota GKJW jemaat Mojowarno. Perkembangan ini terlihat dari tahun ke

tahun. Pada tahun 1881 tercatat jemaat GKJW berjumlah 2.323, tahun 1886 tercatat

2.377 jemaat, tahun 1891 tercatat 2.432 jemaat, tahun 1896 tercatat 2.477 jemaat,

tahun 1901 tercatat 2.525 jemaat, tahun 1906 tercatat 2.568, tahun 1911 tercatat

2.603 jemaat, tahun 1916 tercatat 2.668 jemaat, dan pada tahun 1922 tercatat 2.748.

Warga GKJW jemaat Mojowarno mengalami pengembangan dalam bentuk

kuantitas dan kualitas. Dalam bentuk kuantitas dapat dilihat dari jumlah jemaatnya

yang semakin banyak, sedangkan dalam bentuk kualitas jemaat mojowarno dapat

mengurus kebutuhannya sendiri, memelihara dirinya sendiri dan mampu

mengabarkan injil kepada sekitarnya, sehingga oleh pengurus NZG, GKJW Jemaat

Mojowarno didewasakan pada tahun 1923.

Setelah GKJW Mojowarno didewasakan oleh pengurus NZG dari Belanda,

pertumbuhan dan perkembangan jemaat GKJW mengalami peningkatan. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor:

Page 44: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

34

1. Berdirinya sekolah dan rumah sakit Kristen yang merupakan lahan dan

sarana bagi pemberitaan Injil. Melalui sarana-sarana tersebut, para guru dan

tenaga medis dapat secara aktif membantu menyiarkan Injil. Para guru dan

tenaga medis tersebut pada sebelumnya dibekali dengan Alkitab dan tata

pekabaran masing-masing. Mereka aktif pula dalam menyiarkan Injil.

2. Warga gereja semakin sadar akan panggilannya sebagai seorang Kristen dan

secara langsung selalu berbuat baik dan memancarkan kasih Allah dalam

lingkungannya masing-masing. Di sisi lain warga yang baik juga turut andil

dalam pelayanan jemaat dan turut aktif dalam pekerjaan pekabaran Injil dan

memberikan persembahan untuk mencukupi kebutuhan gereja.

3. Sebagai akibat dari kegagalan pemberontakan G30S/PKI dan pemerintah

yang menyatakan PKI sebagai parta terlarang di Indonesia, pemerintah

bertindak tegas dan mewajibkan rakyat Indonesia untuk memeluk salah satu

agama. Jika ada orang yang tidak mengikuti aturan tersebut maka dicurigai

sebagai seorang atheis yang mendukung PKI. Instruksi pemerintah itu

diikuti dengan terbentuknya badan penggerak dan penyuluh keagamaan

(Bappenka) di tiap kabupaten dan kecematan. Berkat instruksi tersebut,

rakyat mulai berduyun-duyun pergi ke masjid atau ke gereja.

4. Dengan adanya bermacam-macam penderitaan yang dialami umat manusia,

terutama karena Perang Dunia ke II, manusia mulai sadar akan

kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dengan dipanggilnya orang-

orang beriman oleh Roh Kudus untuk turut serta membangun kerajaan-Nya,

maka timbul gerakan kebangunan rohani di mana-mana yang menghasilkan

orang-orang percaya masuk Kristen.47

Selanjutnya pada tahun 1923 tercatat 2.800 jemaat, tahun 1928 tercatat

2.833, tahun 1933 tercatat 2.867, tahun 1938 tercatat 2.899, tahun 1943 tercatat

47 Hendropuspto, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 80.

Page 45: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

35

2.225, tahun 1953 tercatat 2.850, tahun 1958 tercatat 2.885, tahun 1963 tercatat

2.899, tahun 1968 tercatat 3.324, tahun 1973 tercatat 2.960, tahun 1978 tercatat

2.990 dan pada tahun 1981 tercatat 3.110 jemaat. Dalam perkembangan tahun-

tahun tersebut ada beberapa tahun yang jumlahnya mengalami penurunan jemaat di

GKJW Mojowarno. Seperti pada tahun 1943, terdapat penurunan jumlah jemaat

dari 5 tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tahun 1943 Jepang berkuasa di

Indonesia. Dengan adanya kekuasaan Jepang di Indonesia, pekabaran Injil

mengalami rintangan. Warga banyak mengalami penganiayaan dan pembunuhan.

Pada saat Jepang menduduki Indonesia, Belanda masih menjajah Indonesia

sehingga masih terjadi perang Bumi Hangus. Akibat peperangan tersebut, banyak

orang-orang Kristen Mojowarno yang meninggal dan mengungsi. Selain itu, warga

Belanda dan keturunannya banyak juga yang meninggalkan Indonesia. GKJW

Mojowarno mulai tidak terurus karena banyak ditinggal pergi oleh pengurus dan

jemaatnya. Warga yang tidak mengungsi juga tidak berani mengadakan kebaktian-

kebaktian pada hari Minggu karena ada larangan keras. Arsip-arsip gereja banyak

yang hilang, sehingga dokumentasi penting tidak dapat ditemukan lagi. Setelah

perang selesai, ketika Indonesia merdeka dengan seutuhnya, maka gereja mulai

berbenah lagi. Para jemaat yang mengungsi keluar dari Mojowarno mulai kembali

lagi dan mereka mulai menata hidup yang lebih baik setelah terguncang akibat

perang. Dalam perkembangannya, warga menjadi semakin banyak. Pertambahan

warga ini berasal dari dalam jemaat itu sendiri (kelahiran). Ada juga yang berasal

dari pernikahan, perpindahan dari GKJW yang berbeda tempat, dan berasal dari

anggota baru yang tertarik memeluk agama Kristen.48

Pada tahun 1968 terjadi peningkatan jemaat yang sangat tinggi. Hal ini

sebagai akibat dari peraturan pemerintah yang mewajibkan rakyatnya untuk

beragama. Persitiwa G30 S/PKI menyebabkan masyarakat banyak yang memeluk

salah satu agama baik Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Masuknya orang-orang

48 Wawancara denagn ibu Madoedari, 26 Oktober 2007 olehTenia Kurniawati, Perkembangan

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981.

Page 46: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

36

eks PKI dikenal sebagai penobatan Masa, “Baptisan Masal”. Dengan adanya

peraturan pemerintah tersebut, jemaat GKJW Mojowarno mengalami peningkatan

yang tajam. Selanjutnya pada tahun 1970-an, jumlah jemaat GKJW Mojowarno

mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan banyaknya anggota yang keluar. Gejala

pengunduran diri jemaat tersebut dikarenakan dengan adanya pertambahan jemaat

melalui penobatan masal ini tidak dibarengi dengan pertambahan pelayan. Selain

kurangnya tenaga pelayan juga kurangnya intensitas pelayanan, penggembalaan,

dan pembinaan. Faktor lain yang mengakibatkan penurunan warga adalah

perpindahan tempat kerja, tempat tinggal, tekanan-tekanan pihak lain serta

pelayanan yang kurang baik, seperti relevansi, aktualitas pelayanan, sikap yang

pasif, acuh kemudian apati. Akhirnya banyak yang meninggalkan gereja, baik

secara terus terang maupun dengan cara diam-diam. Penghayatan persekutuan juga

merupakan faktor utama yang menimbulkan kemunduran-kemunduran. Artinya

tidak ada keharmonisan dalam hubungan secara moril antara anggota gereja dengan

majelisnya. Perhatian yang sungguh-sungguh dan usaha pastoral di dalam jemaat,

serta kunjungan ke rumah tangga atau pun ke tempat-tempat kerja merupakan

kekuatan yang menggerakkan persekutuan. Faktor lain yang tidak kalah penting

adalah pendidikan agama khusus di dalam jemaat sendiri yang umumnya kurang

sekali mendapat perhatian. Pendidikan agama khusus bukan hanya merupakan

kurikulum agama di sekolah-sekolah. Namun pendidikan agama khusus ini juga

merupakan syarat mutlak terhadap kelangsungan hidup dan keyakinan iman

Kristen. Oleh karena itu, pendidikan agama khusus ini juga mutlak untuk orang

dewasa juga.49

49 Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII (Malang: GKJW, 1976), hlm.197-199.

Page 47: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

37

BAB III

PROSESI TRADISI RIYAYA UNDHUH-UNDHUH DI MOJOWARNO

JOMBANG JAWA TIMUR

A. Sejarah Tradisi Riyaya Undhuh-Undhuh

Sejarah tradisi riyaya Undhuh-undhuh berawal dari pemikiran Paulus Tosari

yang mengusulkan pendirian lumbung. Lumbung tersebut akan diisi ketika musim

panen tiba, dan akan diambil ketika sewaktu-waktu musim panen gagal. Paulus

Tosari dalam membangun lumbung tidak hanya sendiri, melainkan dibantu oleh

Jelle Eeltjes Jellema yang selalu berpegang teguh dengan trilogi gereja yakni

Koinonia (persekutuan), Marturia (kesaksian), dan Diakonia (pelayanan cinta

kasih). Koinonia diwujudkan dalam persekutuan jemaat, Marturia diwujudkan

dalam kesaksian atas berkat yang telah diberikan Tuhan kepada orang-orang yang

tidak seiman, dan Diakonina diwujudkan dengan pengumpulan dana persembahan

oleh warga jemaat yang diberi nama rembos. Namun seiring dengan berjalannya

waktu, hasil dari rembos ini lama-kelamaan semakin sedikit. Oleh sebab itu, Jelle

Eeltjes Jellema menyetujui usulan dari Paulus Tosari untuk mendirikan “Lumbung

Miskin” untuk menampung persembahan dari para warga jemaat yang berupa padi.

“Lumbung Miskin” yang dibuat oleh Paulus Tosari dan Jelle Eeltjes Jellema

digunakan untuk mengumpulkan dan menampung hasil padi dari para petani untuk

dijual kembali nantinya ketika harga padi tersebut sudah naik. Sehingga “Lumbung

Miskin” inilah yang merupakan embrio dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh.50

Pada tahun 1870-an jemaat akan membangun gereja dan terkendala belum

memiliki dana, maka para pendeta tua yang berasal dari belanda dan para jemaat

yang berada di Mojowarno melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar.

Setelah diadakan musyawarah, ditemukan kesepakatan yang intinya yaitu

memotivasi masyarakat dan jemaat untuk membangun lumbung yang bernama

50 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, (Yogyakarta:

Yayasan Taman Pustaka Keristen Indonesia, 2018), hlm. 20.

Page 48: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

38

Lumbung Pirukunan. Lumbung Pirukunan itu diambil dari bahasa jawa lumbung

dan pirukunan yang artinya “lumbung gotong royong atau lumbung kerukunan”.

Setelah barang-barang terkumpul di Lumbung Pirukunan tersebut, maka dialihkan

menjadi uang dan setelahnya digunakan untuk membangun gereja. Hal itu

dilakukan setiap tahun. Inilah cikal bakal dari adanya hari raya Unduh-undhuh dan

berkembang sampai sekarang dengan berbagai macam bentuk mengikuti zamannya.

Pada 1930, hari raya itu baru diresmikan dan diberi nama Undhuh-undhuh dan bisa

juga disebut dengan hari raya Persembahan.51

Tradisi riyaya Undhuh-undhuh yang berada di Kecamatan Mojowarno

adalah tradisi lokal yang menjadi ciri khas dari masyarakat Desa Mojowarno.

Riyaya Undhuh-undhuh adalah hari raya persembahan yang sejarahnya berasal dan

tumbuh dari kelompok Kristen GKJW. Hari raya ini berkembang menjadi tradisi

GKJW sekitar tahun 1930, setelah jemaat Mojowarno menyatakan diri menjadi

jemaat dewasa pada tahun 1923. Tradisi Undhuh-undhuh merupakan rangkaian dari

tradisi kebetan (turun tanam) dan tradisi keleman (waktu padi mulai beranak).

Rangkaian tradisi ini merupakan tradisi Jawa pra Islam yang diklaim oleh Coolen di

Ngoro sebagai tradisi Kristen.52 Saat ini Tradisi riyaya Undhuh-undhuh masih terus

dilestarikan oleh umat Nasrani yang ada di Desa Mojowarno dan telah dianggap

sebagai budaya turun-temurun yang diajarkan oleh para sesepuh mereka yang harus

tetap dilestarikan. Dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh ini warga jemaat bersyukur

karena telah diberikan berkat atau rezeki atas hasil bumi/hasil panen yang

melimpah. Dulu yang mengikuti tradisi riyaya Undhuh-undhuh ini hanya para

petani saja, namun seiring dengan perkembangan zaman warga jemaat yang tidak

berprofesi sebagai petani atau warga biasa pun dapat mengikuti tradisi ini dengan

gajinya sebagai persembahan.

51Wawancara bapak pdt Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019

52Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai

Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 58.

Page 49: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

39

Sebelum merayakan tradisi riyaya Undhuh-undhuh, dikenal tradisi yang

diberi nama Kebetan dan Keleman, dan akhirnya berubah menjadi Undhuh-undhuh.

Tradisi ini merupakan rangkaian upacara yang beruntun dengan diakhiri puncak

acara, yaitu riyaya Undhuh-undhuh.53

B. Tahapan Prosesi Riyaya Unduh-undhuh

Perayaan tradisi Undhuh-undhuh dilaksanakan satu tahun sekali, dengan

melalui beberapa tahapan, adapun tahapan-tahapan dalam prosesi riyaya Undhuh-

undhuh adalah sebagai berikut;

1. Kebetan

Menurut keterangan yang tercantum dalam buku ‘Ngulati Toyo Wening’

sebelum adanya tradisi kebetan dan keleman, pada zaman Conrad Laurant

Coolen di daerah Ngoro ada tata cara untuk para petani yang tidak

diperkenankan turun mengolah sawah sebelum melakukan ritual dan

menyampaikan puji-pujian kepada Tuhan. Upacara tersebut dimulai oleh Coolen

turun ke sawah lebih dahulu untuk memulai membajak sawah sambil memuji

Tuhan dan berdo’a memohon pertolongan kepada Sang Pencipta dalam

mengerjakan sawah sampai selesai. Setelah Coolen selesai melantunkan

tembang yang berisi puji-pujian dan do’a sambil membajak, para petani baru

turun beramai-ramai dan bergotong royong mengerjakan sawah mereka sambil

melantunkan tembang sebagaimana yang diajarkan Coolen.54

Kebetan adalah sebuah tradsisi yang dilakukan oleh masyarakat Kristen

Mojowarno pada saat akan turun ke sawah. Kebetan dalam bahasa Belanda

berarti doa (gebed). Orang jawa mengucapkan kata gebed menjadi kebet, atau

kebetan, yaitu doa bersama kepada Gusti Allah yang dilakukan secara bersamaan

53 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, (Yogyakarta:

Yayasan Taman Pustaka Keristen Indonesia, 2018), hlm. 36.

54Haidlor Ali Ahmad dan M. Taufik Hidayatulloh, Relasi Antar Umat Beragama, di Berbagai

Daerah, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016), hlm. 56.

Page 50: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

40

sebelum para petani masyarakat Kristen Mojowarno memulai menggarap sawah.

Doa ini dipanjatkan serta merta hanya mengharapkan perlindungan dan bentuk

rasa syukur dan juga keselamatan agar dalam bekerja menggarap sawah tidak

ada halangan.

Permohonan doa tersebut mengharap penyertaan kuasa Tuhan agar dalam

mengerjakan sawah diberi keselamatan. Keselamatan bagi yang membantu

pekerjaan, termasuk binatang-binatang yang membantu dalam pekerjaan tersebut

dan juga berharap agar Tuhan memberikan hujan dengan secukupnya agar tidak

terjadi benjir atau kekurangan air dalam penggarapan sawah tersebut. Dalam

acara kebetan, biasanya warga membawa encek, yakni sebuah nasi bungkus

(yang isinya beruapa urap-urap, ayam dan orem-orem) dibawa ke sebuah

Synagoge atau kantor desa. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya dengan

istilah “ngetokne asahan” atau mengeluarkan tumpeng. Setelah berdoa, tumpeng

tersebut dimakan bersama. Acara ini dipimpin oleh kepala desa atau kepala

dusun yang mengundang pendeta dan penatua untuk berdoa bersama.

Acara kebetan diadakan pada siang hari sekitar pukul 14.00. Sebelumnya

ada sebuah tanda dengan menabuh khentongan desa pada pukul 13.00, yang

merupakan tanda persiapan para petani masyarakat Kristen Mojowarno di rumah

masing-masing. Pada pukul 13.30 khentongan ditabuh kembali sebagai tanda

untuk segera berangkat dari rumah masing-masing, kemudian khentongan

ditabuh yang ketiga kali tepat pada pukul 14.00.

Prosesi kebetan ini dibuka oleh sesepuh desa dengan menjelaskan

maksud dari pertemuan tersebut. Setelah penjelasan mengenai maksud

pertemuan sudah disampaikan, dilanjutkan kebaktian yang dipimpin oleh

pendeta yang diisi dengan renungan dan doa yang disertai puji-pujian.55

55 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 37-38

Page 51: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

41

2. Keleman

Setelah tanaman padi berusia selapan dina (36 hari), warga mengadakan

upacara yang bernama keleman. Upacara ini bertujuan untuk meminta

perlindungan Tuhan, agar tidak ada serangan hama, diberi air yang

berkecukupan, dan pertumbuhan padi bisa bagus.

Keleman berasal dari kata kelem, Bahasa Jawa yang berarti tenggelam

atau terbenam dalam air. Semua petak-petak sawah sudah tergenang air. Hanya

tanaman padi saja yang terlihat menghijau di seluruh persawahan. Dengan

demikian pengertian upacara keleman mengandung makna perjamuan doa

syukur kepada Tuhan. Perjamuan ini semata-mata bentuk rasa syukur atas berkat

mengerjakan sawah sampai selesai dengan selamat. Lebih dari itu, ungkapan

syukur juga mengandung makna pengharapan dan permohonan kepada Tuhan,

sekiranya dijauhkan dari gangguan hama dan kelak dapat memetik/ngunduh

dengan hasil baik. Upacara keleman yang dihadiri oleh para orang tua, dewasa,

dan generasi muda ini merupakan sebuah kesempatan saling berbagi dan belajar

tentang sebuah tradisi. Dalam pertemuan ini kadang diisi oleh orang tua-tua yang

mempunyai banyak pengalaman untuk menerangkan dan mengarahkan tentang

bagaimana cara menggarap padi. Forum seperti inilah biasanya dilakukan dalam

susana santai, tidak ada yang saling menggurui. Meski para tetua desa lebih

banyak yang berpengalaman, namun mereka sudi mendengarkan pelbagai

keluhan dan pengalaman para generasi muda. Dalam forum yang guyub inilah,

kegitan belajar mengajar terjadi secara kultural. Pengalaman dituturkan dan

dibagaikan dalam tardisi lisan. Nampaknya forum inilah yang di zaman orde

baru dipakai sebagai penyuluhan dari Dinas Pertanian tentang pemupukan atau

pemberantasan hama, supaya bisa menghasilkan padi yang sebagus mungkin.

Acara kebaktian keleman dilaksanakan di tempat dan cara yang seperti

kebetan. Adapun hidangan yang disajikan umumnya berupa kue (makanan

ringan). Dalam sajian kue, lazimnya ada kue yang disebut horog-horog dan

Page 52: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

42

pleret yang disertai dengan kue-kue lainnya. Seperti, kue tetel/juadah, wajik,

serabi, nagasari, dll.

Kue horog-horog dan pleret dibuat dari tepung beras dan dimakan

dengan kelapa yang diparut. Horog-horog melambangkan tanahnya yang subur

gembur. Biasanya horog-horog dikukus dan pada awalnya dibentuk kerucut

seperti gunung atau dibungkus diberi gula kelapa pada bagian tengahnya dan

diberi nama pura atau dibentuk yang lain. Kue pleret melambangkan hama ulat

yang perlu dibasmi (disitu dimakan bersama-sama), pleret dibentuk berlekuk-

lekuk seperti ulat.

Setelah upacara keleman selesai tahap selanjutnya adalah melakukan

perawatan agar padi bisa tumbuh dengan subur dan hasilnya nanti bisa dipanen

dengan melimpah. Salah satu kegiatan perawatan ada yang dinamakan matun.

Pekerjaan matun adalah pekerjaan mencabut rumput menggunakan tangan tanpa

alat (dhadhak).

Setelah dilakukan penyuluhan oleh Dinas Kabupaten, maka pemerintah

memperkenalkan alat bantu yang bernama landhak (alat untuk matun). Alat ini

berbentuk roda berbaling-baling besi untuk mencabut rumput. Alat ini biasanya

dipesankan kepada pande besi (orang yang membuat berbagai peralatan dari

besi).

Dalam perjalanannya, penggunaan landhak jenis roda baling-baling ini

mengalami perubahan. Hal ini karena adanya kelemahan pada alat ini, di mana

kotorannya sulit lepas (nggedibel). Pada tahun 1960-an diciptakanlah sebuah alat

yang disebut landhak kasut. Alat ini pertama kali diperkenalkan oleh Wiryo

Hardiyono dari Desa Mojowangi. Alat ini terbuat dari kayu yang penampangnya

dipasang paku saling dibengkokkan (seperti sikat). Alat ini dinilai lebih efektif

dalam membersihkan rumput sehingga sampai sekarang masih digunakan oleh

para petani di Kecamatan Mojowarno.

Page 53: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

43

Masa perawatan, memanam, sampai panen, membutuhkan waktu antara

empat sampai lima bulan. Perawatan tanaman dilakukan tiap hari seperti

memeriksa tanaman atau lahan, mencabut rumput, dan mengairi sawah. Adapun

alat yang di bawa para petani yaitu sabit, ungkal, dan keranjang. Setelah bulan

April, mulai mbelik (padi mulai menguning), maka dapat dipastikan bulan Mei

padi bisa dipanen. Maka dari itu, sampai sekarang Undhuh-undhuh dirayakan

pada bulan Mei.56

3. Riyaya Undhuh-Undhuh

Riyaya Undhuh-undhuh adalah puncak tradisi dari beberapa tahapan

yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kata Undhuh-undhuh berasal dari kata

undhuh dan kata kerja ngundhuh, yang artinya memetik, yaitu memetik buah

atau memanen. Hari raya ini merupakan hari raya bentuk ungkapan rasa syukur

dan persembahan hasil panen yang telah mereka terima. Seperti ajaran Musa

pada umat Israel yang bercorak agraris, mereka mempersembahkan hasil panen

pertama yang terbik kepada Allah.

Riyaya Undhuh-undhuh adalah salah satu tradisi yang terbentuk atas

perjumpaan tradisi Jawa dan ajaran Kristen. Sebab dalam masyarakat Jawa

dikenal ritual panen raya dan penyimpanan padi dalam lumbung. Pada waktu itu

setiap panen selalu diadakan upacara memasukan atau menyimpan padi dalam

lumbung pasca proses panen. Pekerjaan tersebut dulu dilakukan secara gotong-

royong dengan tetangga yang dekat atau keluarga. Dari sisi lain, tradisi ini dalam

ajaran iman Kristen meneladani ajaran Nabi Musa dengan mempersembahkan

hasil panen pertama yang terbaik. Kegiatan memanen ini bisa disebut dengan

kegiatan ani-ani, hal ini dikarenakan dalam memotong tangkai padi

menggunakan alat yang bernama ani-ani. Tetapi dalam perkembangannya untuk

mempercepat dalam pemotongan tangkai padi diganti dengan menggunakan

56 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 40-44.

Page 54: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

44

sabit, sedangkan untuk memisahkan padi dengan tangkainya dilakukan dengan

cara di-iles atau di-geblog. Setelah padi terpisah dengan tangkainya, kemudian

dijemur sampai kering dan dibersihkan dari kotoran. Kegiatan menjemur ini

disebut ayar-ayar sambil di-tampeni.

Kemudian, jika sudah kering dan bersih dari kotoran, padi disimpan. Padi

yang terlihat baik dipisah untuk dijadikan sebuah bibit pada musim tanam

berikutnya. Dalam pemilihan bibit padi yang bagus biasanya para petani

memilih padi yang tumbuh di bagian pinggir petak sawah. Ketika musim panen

pemilik sawah memerlukan banyak tenaga kerja. Dengan luas persawahan satu

hektar membutuhkan 14 orang untuk ani-ani. Proses panen sampai dengan

membawa pulang hasil membutuhkan waktu sekitar lima hari. Jenis-jenis padi

yang ditanam adalah bengawan solo, groos, growing dan ketan kuthuk (yang

digunakan untuk bangunan Undhuh-undhuh).

Zaman dahulu memasukkan padi ke dalam sebuah lumbung biasa disertai

dengan upacara. Prosesi acara tersebut yang pertama adalah membuat dua ikat

padi kecil yang bertangkai yang berbentuk seperti golekan (orang-orangan atau

boneka). Satu golekan atau boneka diberi pakaian laki-laki yang melambangkan

Sudhana. Satu boneka lagi diberi pakaian perempuan yang melambangkan Dewi

Sri. Golekan padi yang sudah dihias itu dimasukkan ke dalam lumbung yang

dibawa oleh seorang laki-laki dan perempuan dengan diiringi alunan tembang

kothekan dengan lagu berjudul dhuda njaluk lawing.

Pada era 1930-an, upacara memasukan padi pada lumbung mengalami

sebuah perubahan, yakni lumbung pribadi ke lumbung Gereja milik jemaat.

Selain itu juga dilakukan modifikasi, misalnya para petani tidak lagi membuat

golekan atau boneka Sudhana dan Dewi Sri, melainkan pada perkembangan

selanjutnya warga jemaat membuat bangunan/patung yang sesuai tokoh-tokoh

dalam cerita Alkitab yang dibuat dari hasil bumi. Bangunan ini diarak warga

Page 55: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

45

suka cita dengan mengalunkan lagu-lagu pujian yang diiringi musik kothekan

menuju halaman gedung Gereja.

Pertemuan tradisi mempersembahkan hasil panen yang pertama serta

tradisi memasukan padi ke dalam lumbung inilah yang menjadikan budaya baru

yang bernama hari raya Undhuh-undhuh. Hari raya Undhuh-undhuh

diintegrasikan atau dijadikan kelanjutan dari hari raya Pentakosta. Pada waktu

itu hari raya Pentakosta bertepatan dengan musim panen, yakni bulan Mei.

Sebab pada masa itu, panen padi hanya bisa dilakaukan sekali dalam setahun.

Undhuh-undhuh mempunyai makna sebagai wujud persembahan dari sebagian

hasil panen jemaat Mojowarno kepada Tuhan dengan penuh sukacita. Selain itu

dapat diartikan sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas limpahan berkat yang

mereka terima dari Tuhan.

Dalam proses pelembagaan di jemaat Mojowarno, tradisi ini tidak dapat

dipisahkan juga dari peristiwa kemandirian jemaat Kristen Mojowarno yang

dinyatakan pada tahun 1923. Pada saat itu jemaat Kristen Jawa mulai mandiri

dalam hal memerintah atau menata layanan, membiayai dan mengembangkan

pelayanannya lepas dari campur tangan zending. Semua keperluan pelayanan

dan pembangunan dilakukan oleh para jemaat secara mandiri melalui

penghimpunan dana secara mandiri. Kemandirian ini bisa terwujud karena ada

semangat dan penghimpunan dana yang salah satunya bersumber dari

persembahan para jemaat yang berprofesi sebagai petani, yakni berupa sayur-

sayuran, buah-buahan, dan sebagainya, sebagian mereka persembahkan kembali

pada gereja. Sedangkan masyarakat Mojowarno yang bukan petani, mereka

mempersembahkan sebagian dari gaji yang diterima sebagai upah kerjanya.

Begitupun mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan wirausaha juga turut

serta mempersembahkan sebagian hasilnya dan juga peternak dan pengrajin

mempersembahkan hasil karyanya.

Page 56: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

46

Persembahan dalam riyaya Undhuh-undhuh dilakukan secara individu

maupun kolektif. Persembahan yang bersifat individu, mereka menyerahkan

langsung pada gereja melalui panitia pelaksana acara. Sedangkan persembahan

dalam bentuk kolektif dilakukan melalui cara membuat bangunan arak-arakan

yang dihias dari hasil persembahan apa saja yang berasal dari warga jemaat tiap

blok yang sudah terkumpul.57

C. Prosesi Hari Raya Undhuh-Undhuh

Kegiatan hari raya Undhuh-undhuh sendiri terdiri dari empat tahapan, yakni

tahap persiapan, arak-arakan, ibadah dan lelangan. Setelah para petani melakukan

panen, mereka menyisihkan (methingake) sebagian hasil panennya yang terbaik

untuk dipersembahkan dalam pembuatan bangunan Undhuh-undhuh. Pelaksanaan

dan persiapan riyaya Undhuh-undhuh dilakukan dengan membentuk panitia, baik di

tingkat majelis jemaat maupun di blok masing-masing. Sekitar tahun 1970, sebelum

hari pelaksanaan riyaya Undhuh-undhuh, jemaat mengadakan berbagai kegiatan

antara lain, bola voli yang mempertandingkan antar blok, pertandingan catur secara

perorangan, dan pemenang lomba-loba tersebut akan diumumkan pada acara

perayaan.

Pembentukan panitia hari raya Undhuh-undhuh ini dilaksanakan 3-4 bulan

sebelum acara dilaksanakan. Panitia sudah menentukan tanggal hari pelaksanakan,

selanjutnya panitia membagi panitia cabang di daerah-daerah untuk koordinasi

memeriahkan acara, seperti halnya mencari dana, membentuk kreasi,dan lain-lain.

Sehingga acara saat hari pelaksanaan tidak melulu dengan bahan padi saja, tetapi

berbagai kreasi dan aksesoris yang sudah dihias sedemikian rupa dan beraneka

ragam. Dari ke semua ini menandakan simbol dari daerah masing-masing untuk

sesembahan. Meskipun sesembahan ini bersifat lentur dalam arti terserah dari

daerah masing-masing, akan tetapi dari pihak panitia pusat menilai sesembahan

57 Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 57: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

47

yang dijadikan kreasi dari daerah masing-masing dengan tujuan untuk memotivasi

daerah tersebut mengkreasikan dengan sebaik-baiknya dan seindah-indahnya. Dan

nantinya dari panitia pusat memberikan hadiah bagi daerah yang terbaik

kreasinya.58

Sekitar 2-3 minggu menjelang pelaksanaan Undhuh-undhuh, masing-

masing blok sudah mengumpulkan persembahan dari para jemaat, bahan-bahan

yang dikumpulkan merupakan hasil dari sawah dan pekarangan. Hasil dari sawah

berupa padi, sedangkan dari tanah pekarangan berupa buah-buahan atau pala paden

(buah dari tanaman yang berada dalam tanah seperti ketela, ubi dan yang lainnya),

maupun pala gumantung (buah dari tanaman yang berada di atas tanah seperti;

pisang mangga jambu dan yang lainnya). Sedangkan yang non petani

mengumpulkan hasil karya yang lain, seperti hasil keterampilan sampai dengan

yang berbentuk uang. Kemudian mereka mulai membentuk kerangka bangunan dan

menghiasi bangunan semenarik mungkin. Adapun sebagai bahan dasar pembuatan

bangunan Undhuh-undhuh selain bambu, yakni dari pari jawa (padi jawa) atau padi

kuthuk. Padi ini berciri khas, yaitu berbulu dan tidak mudah rontok sehingga cocok

dipergunakan sebagai penutup rangka bambu bangunan apa pun sesuai dengan tema

yang sudah ditentukan. Tema yang ditentukan tidak jauh dari kisah-kisah Tuhan

Yesus, Musa, dan anak lembu emas, dua ekor anak lembu yang mengangkut tabut

Tuhan, Tuhan Yesus mengusir Iblis dan tema-tema yang lain yang masih seputar

kisah-kisah dalam ajaran Kristen.

Tema-tema yang ditentukan oleh panitia tersebut dijadikan tokoh sentral

yang diangkat menjadi bentuk bangunan atau patung dari padi yang sudah dipilih.

Padi Jawa yang dipilih tadi kemudian di-ronce (dirangkai/diuntai) dengan dihiasi

roncean dengan sayuran, seperti kacang panjang, cabe kecil/besar selain itu juga

dihias dengan buah-buahan dan sayuran hasil pala pendem. Sedangkan hasil dari

kesenian dimanfaatkan untuk memperindah bangunan utama tadi, setelah itu

58 Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 58: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

48

bangunan tersebut diletakkan di gerobak supaya mudah dibawa dan mengaraknya

ke gereja.

Sebelum merayakan hari raya Undhuh-undhuh merupakan hari yang sibuk,

melelahkan dan penuh perhatian sekaligus ada rasa sukacita yang terbangun dalam

diri para jemaat. Semakin dekat dengan hari perayaan semakin sibuklah para jemaat

di masing-masing blok, bahkan 3 hari sebelum hari perayaan warga melakukan

melekan (tidak tidur hingga dini hari) guna menyelesaikan bangunan yang akan

diarak ke gereja.

Setiap warga bahu-membahu merias blok masing-masing, tidak ketinggalan

kaum ibu-ibu menjelang sore hari bersama-sama memasak. Selain itu mereka juga

mengumpulkan kue yang sudah diperoleh secara gotong-royong, hal ini disebut

dengan istilah kerakalan/krakalan.

Sebutan kerakalan, berasal dari kata krakal (Bahasa Jawa) yang berarti

batu-batuan kali yang berserakan di halaman rumah. Batu krakal ini tidak sama

bentuk dan ukurannya. Mereka menggambarkan dari aneka-aneka kue yang

dikumpulkan (ibarat batu kerikil adalah sebutan pada batu kali yang berukuran

kecil, sedangkan batu kerakal sebutan untuk batu kali yang lebih besar yang

berserakan di halaman rumah). Selain itu kerakalan ini digunakan untuk hidangan

bagi anak-anak sekolah dan para tamu yang hadir pada perayaan besok pagi.

Sore hari menjelang riyaya Undhuh-undhuh pada pukul 18.30 WIB para

anggota majelis jemaat bersama sesepuh desa dan blok berkumpul di kepandhitan

(rumah dinas pendeta) untuk mengadakan kebaktian persiapan. Mereka biasa

menyebut bidston (Bahasa belanda). Akan tetapi sejak tahun 1997 bidston diadakan

di masing-masing blok bersama dengan warga, tahap ini disebut tahap persiapan.

Pada hari H sekitar pukul 05.30 WIB, di masing-masing warga blok

berkumpul di synagoge blok atau tempat di mana bangunan tersebut dibuat. Mereka

berkumpul dan berdoa bersama kemudian diberangkatkanlah bangunan tadi dan

dibuat iring-iringan atau arak-arakan mengawal bangunan persembahan dari

Page 59: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

49

masing-masing blok. Mereka menuju halaman gereja sambil mengarak bangunan

padi dengan aneka ragam bentuk secara meriah. Mulai dari tempat

pemberangkatan, arak-arakan tersebut berjalan sambil memuji Tuhan. Selain itu ada

juga sebagai cucuk lampah (pembuka barisan iringan) melakukan berbagai atraksi

kesenian daerah, seperti tari-tarian diiringi bunyi-bunyian. Selain mengarak

bangunan, ada pujian khusus yang diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun

oleh para leluhur pada anak-anak. Nyanyian ini juga bersumber dari kidung ponsen

yang diperbarui oleh R. Dirman Sasmokoadi dengan judul Ndungkap Mangsa

Panen (menghadapi masa panen)

“lah sampun dumugi Ing mangsa panen,

Ing sabin kang sarwa tinon wewulen,

Kang kuning temungkul dewarninipun,

Janji rame-rame maring tiang dusun.

(Ketika sudah waktu panen

Di ladang yang sudah berbulan-bulan

Padi berujung berwarna kuning

Sehingga warga bergembira ria)

-Nggeh tiang puniko ngolah sabine,

Lan angen mangsane, nyebar wijine,

Melujeng anggaru, nenem lan nengga,

Bilih bade wonten ramening desa.

(Sehingga orang-orang mengolah sawah

Dan waktunya menyebar biji

Menanam dan menunggu

Jika mau ada rame-rame di desa)

-Semanten punika, nggih bilih Allah,

Ngrencangi mring tiang kalayan berkah,

Anuwuhaken tetanemanipun,

Estu badhe wonten ramening dhusun.

(Cukup dari itu, jika Allah

Menemani dan memberikan berkah

Kepada tanaman yang di tanam

benar aka nada keramaian desa)

-Mila kula sampun ngantos kesupen,

Saestune pangeran kang paring panen,

Den sora di gunggung kawlasanipun,

Sareng rame-ramening panenipun.”

Page 60: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

50

(Maka kita jangan lupa

Jika Tuhan yang memberi panen

Dan memberi kasih sayangnya

Ayo bareng-bareng meramaikan panen ini)

Lagu kedua dari buku pujian ini juga karangan dari Pdt. Poensen (belanda)

dengan judul Wus Lebar Panene (telah usai panennya).

“Sampun lebar panene lah lah lah, lah lah lah,59

Sampun minggah pantune, lah lah lah, lah, lah, lah,

Sabine tiang tani pinaringan berkah,

Samnagke sampun mukti, lan ayeming manah,

Lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah.

Dene surak tiang tani, lah lah lah, lah lah lah,

Lumbung dipun iseni, lah lah lah, lah lah lah

Nging klayan sihing Allah, semangke bingahan,

Lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah.

Demikian pujian-pujian yang dinyanyikan oleh anak-anak dengan penuh

rasa sukacita dalam iring-iringan mengantarkan berbagai hasil panen sebagai

persembahan yang diserahkan kepada Tuhan. Kegiatan iring-iringan bangunan ini

merupakan tahap kedua dari perayaan Undhuh-undhuh.

Selanjutanya setelah iring-iringan sudah sampai di gereja, mulailah ibadah

kebaktian, hal ini merupakan tahapan yang ketiga dalam prosesi perayaan Undhuh-

undhuh. Dalam pelaksanaan ibadah kebaktian di dalam gereja diiringi musik

gamelan dan juga dilakukan prosesi solah bawa (prosesi penyerahan persembahan

kepada Tuhan) yang diperagakan oleh anak-anak. Prosesi ini memaki liturgy bahasa

Jawa. Kebaktian terhadap anak-anak dan orang tua dilakukan di tempat yang

berbeda. Kebaktian orang dewasa di gedung gereja ada persembahan simbolis

dalam wujud hasil bumi yang dibawa dan dipersembahakan oleh para wakil dari

masing-masing blok, demikian juga persembahan simbolis dari majelis jemaat,

59 Dalam tulisan jawa asli tertulis “lah lah lah” namun pada masa sekarang di ubah menjadi “la

la la.”.

Page 61: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

51

badan pembantu jemaat sekolah yang setiap unit masing-masing diwakili oleh dua

orang.

Berikutnya setelah ibadah, bangunan kembali diarak menuju tempat

pelelangan yang berada di depan kantor pendeta yang tidak jauh dari gereja.

Sesampainya di sana bangunan dibongkar oleh masing-masing blok. Padi gagang

dan padi biasa mereka masukkan ke lumbung jemaat dengan pengawasan panitia

yang sebelumnya juga ditimbang terlebih dahulu. Buah-buahan, sayuran, bunga,

hewan ternak, karya kerajinan dan persembahan lainnya dikumpulkan untuk

kemudian dilelang. Sambil menunggu proses pembongkaran, para tamu dan

undangan serta warga jemaat dihibur dengan berbagai atraksi dan hiburan yang

disuguhkan oleh jemaat. Termasuk juga klotekan lesung. Klotekan lesung dilakukan

lebih dari dua-tiga orang. Biasanya dilakukan oleh para perempuan secara beramai-

ramai bergantian dan bernyanyi bersama-sama.

Tahapan terakhir dari riyaya Undhuh-undhuh adalah lelangan. Usai

kebaktian jemaat berkumpul di depan kantor pendeta untuk mengadakan lelangan

dari hasil persembahan yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, hasil

kerajinan, binatang/hewan ternak. Padi yang ditata untuk bangunan setelah dinilai,

dibongkar, ditimbang, dan disimpan kelak akan dijual. Peserta lelangan selain para

jemaat sendiri juga dari pendatang yaitu jemaat sekitar dari gereja-gereja yang ada

di Jawa Timur baik dari GKJW maupun dari gereja lain terkadang ada juga yang

datang dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahkan dari luar Jawa pun pernah ada

yang datang untuk turut serta mengikuti riyaya Undhuh-undhuh. Proses lelangan ini

terlihat sangat jor-joran (bersaing) terhadap harga barang-barang yang dilelang

namun tetap dalam suasana khidmat dan gembira.

Dengan berakhirnya acara lelangan, berakhir pula seluruh rangkaian hari

raya Undhuh-undhuh yang ada di jemaat GKJW Mojowarno. Di jemaat-jemaat lain

di lingkungan gereja-gereja di GKJW tradisi riyaya Undhuh-undhuh juga

dilakukan. Namun yang membedakan adalah pembuatan bangunan, arak-arakan,

Page 62: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

52

dan lelangan. Sampai saat ini seluruh jemaat GKJW Mojowarno masih antusias

dalam melestarikan tradisi riyaya Undhuh-undhuh.60

Riyaya Undhuh-undhuh merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan

sebagai bentuk rasa syukur atas berkat yang didapat dari Tuhan. Dalam prosesi

pelaksanaan riyaya Undhuh-undhuh banyak diiringi dengan musik dan kesenian

tradisional serta lagu-lagu khusus gereja yang mengandung nilai-nilai yang penting

dalam kehidupan selain nilai hiburan. Nilai-nilai dalam tradisi Undhuh-undhuh ini

sesuai dengan pendapat Sumardjo yang menyatakan bahwa nilai adalah masalah

mendasar yang bisa ditemukan dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika),

dan estetika (keindahan), di samping keadilan, kebahagiaan, dan kegembiraan.61

Berikut adalah nilai-nilai yang ada dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh:

Nilai religi ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan

kebesaran yang menggetarkan di mana di dalamnya terdapat konsep kekudusan dan

ketakdziman kepada yang Maha Ghaib.62 Bentuk nilai religi dalam tradisi riyaya

Undhuh-undhuh terdapat dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini,

seperti pada saat kebetan dan keleman dilakukan ibadah. Setelah bangunan selesai

pun dilaksanakan ibadah persiapan Undhuh-undhuh atau Bidston. Kemudian pada

saat bangunan diarak dan sampai di depan gereja dilakukan pula ibadah. Tradisi ini

unsur religinya sangat kental. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk syukur

kepada Tuhan.

Nilai solidaritas dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam

gotong royong yang terlihat pada saat membuat bangunan yang dilakukan oleh

warga jemaat tiap-tiap blok serta pada saat dilakukannya arak-arakan bangunan

60 Madoedari Wiryodiwismo dkk, Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno, hlm. 52-69.

61 Hasanah, Uswatun, “Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di Dusun

Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang”, Skripsi tidak

diterbitkan. (Universitas Negeri Malang, 2014), hlm 84.

62Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Perdana Media Group, 2010), hlm.

142.

Page 63: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

53

menuju gereja induk. Hal demikian menunjukan hubungan persahabatan,

kekeluargaan dan simpati terhadap sesama dan saling menghargai.63

Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam

persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat untuk membuat

bangunan di tiap bloknya yang kemudian akan dilelang. Dana dari hasil lelangan

tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan gereja

lainnya. Selain itu persembahan yang diberikan oleh warga jemaat merupakan

wujud syukur atas berkat yang diberikan oleh Tuhan serta agar dapat berbagi

kepada sesama manusia. Nilai moral adalah nilai-nilai tentang baik-buruk, mulia

dan hina yang berkaitan dengan perilaku manusia menurut tatanan yang berlaku di

dalam kelompok sosial tersebut.64 Nilai moral bersumber pada kehendak keras,

karsa hati dan nurani manusia. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh

mengandung makna bahwa dengan memberikan persembahan maka dapat berbagi

dengan sesama manusia sebagai bentuk rasa syukur atas berkat dari Tuhan.

Nilai-nilai keindahan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam

bangunan yang dibuat sebagus dan semenarik mungkin oleh warga jemaat tiap-tiap

blok sesuai dengan cerita-cerita di Alkitab. Nilai keindahan merupakan nilai yang

berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, dan keserasian dalam hal

penampilan. Nilai keindahan bersumber pada rasa manusia yang menentukan indah

dan tidaknya suatu hal yang mempunyai daya tarik atau pesona yang melekat

terhadapa pandangan manusia atau sekelompok masyarakat.65

Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dari dana

lelangan yang asal mulanya dari dana persembahan yang nantinya akan diserahkan

63 Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, hlm. 143.

64 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 125

65 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, hlm. 125.

Page 64: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

54

kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan

gereja lainnya. Nilai ekonomis yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 66

Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terwujud dalam acara-

acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah prosesi riyaya Undhuh-

undhuh, seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar pada saat arak-arakan,

pertunjukan kuda lumping, reog, barongsai, patroli, dan juga pagelaran wayang

kulit yang dilaksanakan malam hari setelah riyaya Undhuh-undhuh. Nilai hiburan

adalah nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyambungkan pada

pengayaan kehidupan.

66 Hermanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta Timur: PT Bumi Aksara), hlm.

128.

Page 65: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

55

BAB IV

NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM PROSESI RIYAYA UNDHUH-

UNDHUH

A. Kerukunan Sosial dan Toleransi Hidup Beragama

Terwujudnya interaksi sosial tidak lepas dari pengamalan nilai kerukunan

sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Kerukunan sendiri berarti baik

dan damai, tidak bertentangan, bersatu hati dan bersepakat. Kerukunan adalah suatu

sifat atau sikap pada diri seseorang untuk selalu memberikan kebebasan pada orang

lain, serta memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut atas dasar pengakuan

terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkam kerukunan sosial merupakan suasana

persaudaraan dan kebersamaan atar semua orang walaupun terdapat perbedaan ras,

suku, agama, budaya dan golongan. Selain itu, kerukunan sosial juga bisa bermakna

suatu proses untuk menjadi rukun dari yang sebelumnya tidak rukun atau tidak ada

kemampuan dan kemauan untuk hidup bersama dalam sebuah perbedaan di tempat

tersebut. Kerukunan juga dapat dimaknai sebagai kehidupan bersama dalam suasana

yang damai dan harmonis. Hidup rukun bukan berarti tidak mempunyai konflik,

melainkan bersatu hati dan sepakat dalam berfikir untuk mewujudkan kesejahteraan

bersama. Dalam kerukunan sosial setiap orang bisa hidup bersama dengan tanpa

kecurigaan dan saling menghargai dan bersedia bekerja sama demi kepentingan

bersama. Kerukunan sosial juga merupakan suatu sikap yang berasal dari lubuk hati

yang paling dalam yang terpancar dari kemauan untuk berinteraksi satu sama lain

sebagai manusia tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun.67

Untuk mewujudkan kerukunan sosial dalam masyarakat luas diperlukan

proses-proses sosial seperti membangun sebuah komunikasi yang baik dan kontak

sosial yang penuh etika. Menurut Soerjono Soekanto, bentuk umum dari proses-

proses sosial adalah interaksi social. Maka dari itu interaksi sosial ini merupakan

67 Yudhi Kawangung dan Jeni Ishak Lele, “Diskursus Kerukunan Sosial Dalam Prespektif

Masyarakat Keristen fi Indonesia Rekonsiliasi Pasca Pemilu”, Jurnal VISIO DEI: Jurnal Teologi

Keristen, Vol.1. No.1 Juli 2019, hlm. 142-143

Page 66: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

56

sebuah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses-

proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi soisal. Interaksi

sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar

perorangan, kelompok, ataupun orang dengan kelompok manusia.68 Selain itu juga

menurut Soejono Soekanto, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila

tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Tanpa

kontak social, interaksi tidak mungkin ada atau terjadi. Kontak sosial berbeda dengan

kontak fisik, karena kontak sosial hanya bisa terjadi apabila ada kontak respon,

timbal-balik, dan suatu penyesuaian tingkah laku secara batiniah terhadap tindakan-

tindakan orang lain. Adanya kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk,

yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan

kelompok lain. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak

langsung. Syarat selanjutnya yakni komunikasi. Arti terpenting komunikasi adalah

bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain yang berwujud

pembicaraan dan gerakan-gerakan badan atau sikap. Adanya komunikasi dalam

interaksi sosial memberi arti pada perilaku orang lain tentang perasaan-perasaan apa

yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Kemudian orang yang bersangkutan

memberikan suatu reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang

tersebut.69

Kerukunan umat beragama adalah sebuah keadaan yang saling terhubung

antar umat beragama dengan berlandaskan sikap toleransi. Hal tersebut diaplikasikan

dengan sikap saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman agama,

dan kerjasama dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam

Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.70 Hal yang mendasari sebuah

68 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press 2015), hlm. 55.

69 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, hlm. 58-62.

70 Tim Penyusun Puslitbang, Kehidupan Beragama Kompilasi Kebijakan dan Peraturan

Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008),

hlm. 294

Page 67: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

57

kerukunan hidup beragama adalah dengan adanya sikap toleransi yang tinggi dan

interaksi sosial yang positif.

Toleransi merupakan sebuah pemberian kebebasan kepada sesama manusia

atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya, mengatur

hidupnya, dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan

sikap tersebut tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat

terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.71 Toleransi adalah sebuah

kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Hal ini dapat dipahami

bahwa toleransi adalah sebuah sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada

orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah atau

berbeda.72 Ada dua macam toleransi, yakni toleransi terhadap sesama agama dan

toleransi terhadap nonmuslim.

Toleransi terhadap sesama agama yakni toleransi yang berkaitan dengan

masalah keyakinan pada diri manusia, yakni tentang Tuhan yang diyakininya.

Seseorang harus diberikan kebebasan berkeyakinan dan beragama sesuai yang dipilih

oleh masing-masing, serta memberikan penghormatan atas pelaksanan ajaran-ajaran

yang dianut atau diyakini. Toleransi mengandung sebuah maksud, yakni

terbentuknya sebuah sistem yang menjamin atas diri pribadi manusia yang berkaitan

dengan harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat pada sekelompok

masyarakat. Toleransi tersebut tercermin dengan sikap menghormati agama,

moralitas, lembaga-lembaga, pendapat, serta perbedaan-perbedaan yang ada di

lingkungan sekolompok masyarakat tersebut tanpa harus ada perselisihan hanya

dikarenakan adanya sebuah perbedaan keyakinan atau agama. Toleransi beragama

mempunyai arti sikap lapang dada seseorang untuk saling menghormati dan

membiarkan pemeluk agama lain melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan

71 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju

Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 22.

7272 Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2007), hlm. 161.

Page 68: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

58

ketentuan agama masing-masing tanpa ada yang menggangu atau memaksakan, baik

dari masyarakat sekitar maupun keluarga sendiri.73

Dalam beragama terdapat garis dan pola dasar hubungan, yakni hubungan

vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan pribadi

manusia dengan Tuhannya yang diaplikasikan dalam bentuk ibadah sesuai agama

yang diyakininya. Hubungan ini bisa dilakukan secara individu maupun kelompok.

Hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan suatu

agama saja. Sedangkan hubungan horizontal adalah hubungan antar manusia dengan

sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas hanya seagama saja, tetapi juga berlaku

kepada semua orang yang berbeda agama atau keyakinan. Hubungan ini terlihat

dalam bentuk kerjasama dalam kemasyarakatan atau kemaslahatan umum, seperti

berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama.74

Selanjutnya toleransi terhadap nonmuslim, toleransi dalam pergaulan hidup

antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran masing-masing. Menurut

Said Agil Munawar, ada dua macam toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi

dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin tanpa melahirkan kerjasama

melainkan hanya bersifat teoritis. Sedangkan toleransi dinamis adalah toleransi aktif

yang melahirkan kerjasama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar umat

beragama bukanlah dalam bentuk teoritis belaka, melainkan sebagai refleksi dari

kebersamaan umat beragama sebagai bangsa.75

Selain toleransi yang tinggi, hal mendasar dalam kerukunan hidup beragama

adalah sebuah interaksi sosial yang postif. Interaksi sosial merupakan hubungan antar

manusia yang bersifat dinamis yang selalu mengalami perubahan. Interaksi sosial

73 Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2001), hlm. 13.

74 Said Agil Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm.14.

75 Said Agil Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, hlm.14.

Page 69: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

59

yang dimaksud adalah hubungan timbal-balik antara individu dengan individu,

kelompok dengan kelompok, dan individu dengan kelompok.76

B. Filosofi Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh

Riyaya Undhuh-undhuh merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan sebagai

bentuk rasa syukur atas berkat yang didapat dari Tuhan. Dalam prosesi pelaksanaan

riyaya Undhuh-undhuh banyak diiringi dengan musik dan kesenian tradisional serta

lagu-lagu khusus gereja yang mengandung nilai-nilai yang penting dalam kehidupan,

selain nilai hiburan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat terkait

pandangan mereka terhadap tradisi Undhuh-undhuh tersebut, secara filosofis, dapat

dilihat dari beberapa aspek, seperti aspek teologis, aspek budaya, sosial

kemasyarakatan, dan aspek materi.

Menurut pemaparan bapak Djoko Purwanto, dari segi teologis, hari raya

Undhuh-undhuh merupakan sesuatu yang sangat penting, karena tradisi ini

merupakan bentuk syukur umat terhadap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan. Hari

raya Undhuh-undhuh ini dapat memotivasi warga untuk pandai bersyukur kepada

Tuhannya. Ketika Tuhan sudah meemberkati umat-Nya dengan berkat-berkat-Nya,

khususnya berkat panen padi yang baik, maka mereka mempersembahkanya sebagai

wujud rasa terima kasih kepada Tuhan. Dari segi teologis, umat diharapkan selalu

bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberkati.77

Di samping itu, menurut Djoko, ajaran Kristen memang mewajibkan agar

umat Kristen juga pandai mempersembahkan berkat yang ia terima kepada Tuhan.

Berkat atau persembahan tersebut nanti akan dikelola oleh gereja menjadi biaya

operasional gereja. Hal ini karena melalui gereja itulah manusia bisa memuliakan

Tuhan dengan sempurna. Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita menyembah

Tuhan, ada ritual kepada Tuhan. Ritual-ritual tersebut tentunya membutuhkan biaya

76 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1998), hlm. 7.

77 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 70: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

60

agar pelaksanaannya lancar. Selain itu, persembahan tersebut juga digunakan untuk

pembangunan gereja.78

Alkitab juga mewajibkan untuk mempersembahkan yang sulung, artinya hasil

yang terbaik. Kita diberikan yang terbaik berarti harus mengembalikan yang terbaik

dalam bentuk mempersembahkan yang terbaik. Oleh karena itu, hasil panen tersebut

merupakan hasil yang terbaik yang disembahkan kepada Tuhan. Adapun yang

dipersembahkan itu dinamakan persepuluhan, artinya jika ada uang Rp.100.000,-

maka dipersembahakan 10% kepada Tuhan. Begitu juga dalam tradisi Undhuh-

undhuh.79

Jika dilihat dari aspek budaya, hari raya Undhuh-undhuh memiliki daya tarik

kepariwisataan. Hal ini karena Undhuh-undhuh mempunyai nilai budaya yang luar

biasa. Persembahan yang diberikan oleh umat dibentuk sebuah bangunan yang indah

dengan bangunan padi serta aksesoris yang lain, seperti buah-buahan untuk

menghiasi bangunan. Bangunan yang indah inilah kemudian salah satu daya tarik

kepariwisataan, selain kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan demikian, menurut Djoko,

nilai budaya dari tradisi Undhuh-undhuh ini sangat tinggi, sehingga perlu

dilestarikan.80

Salah satu cara melestarikannya adalah dengan mengadakannya setiap tahun.

Dengan demikian, setiap generasi akan mengetahuinya. Jika seandainya tidak

dilaksanakan, maka gereja akan merasakan perasaan tidak enak dengan warga

masyarakat. Hal ini karena tradisi ini sudah ditunggu-tunggu oleh seluruh warga,

tidak hanya umat Kristen tetapi juga non-Kristen. Secara moral, gereja dan umat

Kristen akan terganggu karena tradisi ini sudah milik masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu, perlu juga mengikutsertakan anak-anak muda dalam tradisi ini agar

78 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

79 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

80 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 71: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

61

mereka bisa memahami dan mengetahui, sehingga bisa memperkenalkannya ke

generasi-generasi selanjutnya.

Pandangan beberapa tokoh masyarakat ini sesuai dengan pendapat Sumardjo

yang menyatakan, bahwa nilai adalah masalah mendasar yang bisa ditemukan dalam

bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika), dan estetika (keindahan), disamping

keadilan, kebahagiaan, dan kegembiraan.81 Berikut adalah nilai-nilai yang ada di

dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh:

Pertama, nilai religi. Nilai religi dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terdapat

dalam setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini, seperti pada saat kebetan dan

keleman dilakukan ibadah. Setelah bangunan selesai pun dilaksanakan ibadah

persiapan Undhuh-undhuh atau Bidston. Kemudian pada saat bangunan diarak dan

sampai di depan gereja, dilakukan pula ibadah. Tradisi ini unsur religinya sangat

kental. Selain itu, tradisi ini merupakan bentuk syukur kepeda Tuhan.

Kedua, nilai solidaritas. Nilai solidaritas dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh

terwujud dalam gotong royong yang terlihat pada saat membuat bangunan yang

dilakukan oleh warga jemaat tiap-tiap blok, serta pada saat dilakukannya arak-arakan

bangunan menuju gereja induk. Selanjutnya arak-arakan tersebut dikawal oleh

beberapa tokoh masarakat seperti polisi dan juga dari organisasi Islam seperti Banser

dan yang lainnya.

Ketiga, nilai moral. Nilai moral dalam Tradisi riyaya Undhuh-undhuh

terwujud dalam persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat

untuk membuat bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Dana dari

hasil lelangan tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta

kebutuhan gereja lainnya. Selain itu, persembahan yang diberikan oleh warga jemaat

merupakan wujud syukur atas berkat yang diberikan oleh Tuhan serta agar dapat

berbagi kepada sesama manusia. Nilai moral adalah nilai-nilai tentang baik-buruk

yang berkaitan dengan perilaku manusia. Nilai moral bersumber pada kehendak

81 Hasanah, Uswatun,“Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di Dusun

Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang”, Skripsi tidak

diterbitkan. (Universitas Negeri Malang, 2014), hlm 84.

Page 72: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

62

keras, karsa hati, dan nurani manusia. Nilai moral dalam tradisi riyaya Undhuh-

undhuh mengandung makna bahwa dengan memberikan persembahan, maka dapat

berbagi dengan sesama manusia sebagai bentuk rasa syukur atas berkat dari Tuhan.

Keempat, nilai keindahan. Nilai keindahan dalam tradisi riyaya Undhuh-

undhuh terwujud dalam bangunan yang dibuat sebagus dan semenarik mungkin oleh

warga jemaat tiap-tiap blok sesuai dengan cerita-cerita di Alkitab. Nilai keindahan

merupakan nilai yang berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, dan keserasian

dalam hal penampilan. Nilai keindahan bersumber pada rasa manusia. Jadi, yang

menentukan indah dan tidaknya suatu hal ialah individu dari manusia tersebut.

Kelima, nilai ekonomis. Nilai ekonomis dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh

terwujud dari dana lelangan. Asal mula dana ini adalah dari dana persembahan yang

nantinya akan diserahkan kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan

jemaat serta kebutuhan gereja lainnya.82 Selain dari hasil lelangan, nilai ekonmi juga

sangat dirasakan bagi masyarakat sekitar, baik dari kalangan jemaat itu sendiri

maupun dari kalangan kalangan muslim. Hal ini bisa dirasakan warga sekitar dengan

turut serta meramaikan dengan berjualan di pinggir jalanan, bahkan non-Kristen juga

turut serta ikut dalam pembelian lelangan tersebut.

Keenam, nilai hiburan. Nilai hiburan dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh

terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan sebelum dan sesudah

prosesi riyaya Undhuh-undhuh. Seperti jalan sehat, lomba voli, basket, catur, bazar,

pertunjukan kuda lumping pada saat arak-arakan, reog, barongsai, patroli, dan juga

pagelaran wayang kulit yang diadakan malam hari setelah riyaya Undhuh-undhuh

serta pertunjukan dari organisasi seperti IPNU dan IPPNU, seperti pertunjukan

pencak silat dan yang lainya.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan pandangan tokoh masyarakat tersebut,

dapat dipahami bahwa tradisi Undhuh-undhuh bukanlah tradisi yang langka, namun

tradisi yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti

82 Hermanto dan Winarno, Ilmu Sosial & Budaya Dasar(Jakarta Timur: PT Bumi Aksara), hlm.

128.

Page 73: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

63

dengan banyaknya masyarakat yang menunggu hari raya ini, tidak hanya umat

Kristen, tetapi juga non-Kristen. Oleh karena itu, menurut mereka harus terus

dilestarikan agar generasi mendatang juga tetap melakukannya. Hal ini karena

terdapat banyak hal positif yang mampu memberikan perkembangan bagi masyarakat

luas, terutama dalam persoalan toleransi antar umat dan peningkatan perekonomian

masyarakat.

Bertahannya tradisi tersebut merupakan hal yang sangat baik bagi

masyarakat. Perubahan zaman bisa saja akan mengubah tradisi, kebudayaan, dan

pola pikir masyarakat. Oleh karena itu, dengan berjalannya tradisi ini, memberikan

efek yang sangat bagus bagi perkembangan masyarakat, terutama pemikiran mereka

terhadap toleransi umat beragama. Hal ini karena di Indonesia, akhir-akhir ini banyak

perselisihan-perselisihan yang mengatasnamakan agama. Warga masyarakat

Mojowarno bisa membuktikan bahwa mereka dapat menjaga dan menghargai sesama

umat beragama dengan masih berjalannya tradisi Undhuh-undhuh tersebut. Dengan

kata lain, nilai-nilai kerukunan umat beragama di desa Mojowarno masih terbangun

dengan baik dengan pelaksanaan tradisi Undhuh-undhuh ini.

Selain adanya tradisi Undhuh-undhuh tersebut sebagai upaya mewujudkan

kerukunan umat beragama di Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang dan tokoh

masyarakat juga membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pengurus

FKUB dilantik oleh bupati atau pimpinan pemerintah Jombang. Pemerintah juga

mengeluarkan khusus untuk mobilitas kegiatan FKUB. Saat ini ketua FKUB

Kabupaten Jombang yaitu KH Isrofil Amar.

FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh

pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat

beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB mempunyai tugas

melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi, dan bimbingan

teknis serta evaluasi di bidang kerukunan umat beragama. Beberapa tugas FKUB

antara lain:

1. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;

2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat;

Page 74: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

64

3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk

rekomendasi sebagai bahan Kebijakan Bupati Karangasem.

4. Melakukan sosialiasasi peraturan perundang–undangan dan kebijakan di bidang

keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan

masyarakat;

5. Membentuk sekretariat sesuai dengan kebutuhan;

6. Melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Bupati Jombang

Dalam menyelenggarakan tugasnya, Forum Kerukunan Umat Beragama

menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan lembaga kerukunan agama dan

lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan bimbingan umat.

2. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan lembaga kerukunan agama dan

lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan bimbingan umat;

3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan lembaga

kerukunan agama dan lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan

bimbingan umat;

4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan lembaga

kerukunan agama dan lembaga keagamaan, harmonisasi umat beragama, dan

bimbingan umat; dan

5. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Sampai saat ini, Menurut Hj Mundjidah Wahab, tidak ada pertikaian antar

umat beragama yang berarti di Jombang. Hal ini menunjukkan masyarakat Jombang

sudah terbiasa hidup berdampingan. Bahkan beberapa tokoh Jombang menjadi tokoh

penting dalam gerakan toleransi antar agama di Indonesia. Seperti KH Abdurrahman

(Gus Dur), Prof Nur Cholis Majid (Cak Nur) dan Emha Ainun Najib (Cak Nun).

Menurut Hj Mundjidah Wahab, dalam perayaan hari besar nasional biasanya saat doa

bukan hanya dari pihak Islam saja. Tapi juga doa dari non-muslim, mereka berdoa

secara bergantian. 83

83 Wawancara dengan Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab, tanggal 22 Februari 2019.

Page 75: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

65

Pemerintah Kabuapten Jombang juga aktif hadir dalam kegiatan keagamaan

seperti Undhuh-undhuh di Mojowarno. Bahkan Pemerintah Jombang berencana

menjadikan budaya Undhuh-undhuh ini sebagai kegiatan utama yang menarik

wisatawan lokal maupun internasional. “Kita sudah mengusulkan Undhuh-undhuh

jadi ikon Jombang. Saat ini masih fokus kajian dan musyawarah,”.84

C. Nilai Kerukunan Dalam Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh

Tidak menutup kemungkinan, keberagaman menjadi sumber konflik dalam

masyarakat. Masalah keberagaman ini dipicu oleh berbagai hal, misalnya arus

globalisasi, trauma historis antar golongan, bahkan keterbukaan politik. Hal inilah

kemudian yang memicu terjadinya permasalahan-permasalahan dalam masyarakat

yang bersumber dari keberagaman. Oleh karena itu, keberagaman perlu dikelola

dengan baik, agar tidak menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Pemerintah telah

melakukan berbagai upaya dalam rangka menjaga keberagaman tersebut. Salah

satunya dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Meskipun

demikian, kebijakan dari pemerintah tersebut tidak cukup mampu mengatasi

permasalahan keberagaman dalam masyarakat.

Selain pemerintah, masyarakat pun harus punya andil dalam mengelola

keberagaman agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari

keberagaman tersebut. Masyarakat punya peran yang sangat penting dalam

mengelola keberagaman. Agar keberagaman terkelola dengan baik, masyarakat harus

mampu menciptakan nilai kerukunan-kerukunan antar masyarakat. Salah satu cara

membentuk nilai kerukunan tersebut adalah dengan melestarikan tradisi-tradisi adat

yang memiliki nilai-nilai kerukunan di dalamnya. Riyaya Undhuh-undhuh

merupakan salah satu tradisi masyarakat yang banyak memiliki nilai-nilai kerukunan

di dalamnya.

Tradisi riyaya Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang sudah lama

dipraktikkan masyarakat Mojowarno. Sebagai sebuah tradisi yang telah dipegang

84 Wawancara dengan bapak Camat Arif Hidajat, tanggal 18 Februari 2019.

Page 76: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

66

erat oleh masyarakat, riyaya Undhuh-undhuh memiliki makna yang dapat

menciptakan kerukunan. Kerukunan terjadi tidak hanya dalam satu golongan

masyarakat, tetapi melingkup antar golongan masyarakat. Dengan kata lain, tradisi

ini mampu merekatkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Nilai-nilai kerukunan

yang terbentuk dalam tradisi ini dapat dilihat dari prosesi adat riyaya Undhuh-

undhuh. Dari prosesi pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dapat dilihat nilai-nilai

yang terbentuk dalam masyarakat, seperti nilai kebersamaan, nilai toleransi,

pluralitas, dan lain sebagainya.

1. Menciptakan Kebersamaan

Kebersamaan merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan

kerukunan antar masyarakat. Ketika masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan

secara bersama, maka rasa kebersamaan akan muncul. Rasa kebersamaan inilah

yang kemudian menjadi modal bagi masyarakat dalam menciptakan kerukunan

dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari keberagaman.

Kebersamaan masyarakat yang terdiri dari berbagai ras, suku, agama, dan

golongan dapat dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh dalam masyarakat

Mojowarno.

Prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut tidak hanya diikuti oleh umat

Kristen saja, tetapi juga umat lainnya, seperti umat Islam, Konghocu, dan

lainnya. Tradisi ini mempertemukan semua kalangan masyarakat dan semua

golongan. Hal inilah kemudian melahirkan sikap kebersamaan antar warga

masyarakat. Semua kalangan tidak mempermasalahkan tradisi ini, karena tradisi

ini memberikan nilai yang positif bagi masyarakat Mojowarno.

Bapak Kepala Desa Mojowarno menjelaskan, bahwa prosesi riyaya

Undhuh-undhuh lebih kepada kegiatan budaya masyarakat bukan kegiatan

agama, karena memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi seluruh warga

masyarakat tidak hanya umat Kristen. Meskipun dari segi teologis, tradisi

Undhuh-undhuh merupakan wujud rasa syukur umat Kristen kepada Tuhan atas

limpahan rahmat yang diberikan terutama hasil panen. Namun menurutnya,

Page 77: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

67

secara sosial kemasyarakatan, tradisi tersebut memberikan dampak yang sangat

bagus bagi masyarakat lainnya, terutama terciptanya kebersamaan masyarakat.85

Warga muslim tidak ikut dalam upacaranya, seperti doa dan upacara

keagamaan lainnya. Akan tetapi, setelah semua upacara dilaksanakan dan semua

telah didoakan, maka dibawalah ke tempat pelelangan, saat inilah kemudian

warga lain ikut serta memeriahkan. Selain itu, warga lain, khususnya muslim

juga ikut membantu mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk

kelancaran upacara dan kegiatan pelelangan tersebut. Begitu juga sebaliknya,

umat Kristen juga ikut membantu ketika umat muslim melakukan acara, seperti

takbiran.86

Lebih lanjut, Bapak Kepala desa menjelaskan bahwa tradisi ini bagi umat

lain, khususnya umat Islam, tidaklah mengganggu dan mereka tidak

mempermasalahkannya. Hal ini karena tradisi tersebut memang sudah tradisi

yang turun temurun dalam masyarakat Mojowarno. Bahkan, tradisi tersebut

sangat dinanti-nanti oleh masyarakat, sebab banyak hal yang bisa didapatkan

oleh masyarakat dari kegiatan tersebut. Salah satunya dari segi ekonomi,

masyarakat dapat menjual hasil pertanian dan sebagainya ketika kegiatan

tersebut berlangsung. Hal inilah kemudian memberikan efek secara tidak

langsung bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat.87

Segala kegiatan yang dilaksanakan di Desa Mojowarno, menurut

pengakuan Bapak Kepala desa, jika itu bernilai sosial kemasyarakatan, akan

didukung oleh segenap warga. Mereka tidak akan peduli dengan persoalan

perbedaan agama, suku, ras, maupun golongan-golongan. Inilah yang kemudian

memberikan dampak positif bagi kerukunan umat di desa Mojowarno.

Hubungan masyarakat dengan yang lain terjalin dengan baik, sehingga tidak

85 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

86 Hasil Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

87 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

Page 78: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

68

terjadi perselisihan-perselisihan yang menyebabkan perpecahan antar

masyarakat.88

Meskipun demikian, Bapak Kepala Desa tidak sepakat terhadap

pernyataan dari beberapa orang yang mengatakan bahwa tradisi Undhuh-undhuh

merupakan peninggalan Belanda. Menurut Bapak Kepala Desa, tradisi Undhuh-

undhuh ini murni tradisi budaya Mojowarno, budaya Indonesia. Tradisi dan

budaya yang ada di Indonesia jangan sampai diklaim oleh bangsa lain. Oleh

karena itu, tradisi ini perlu dilestarikan agar tetap mendatangkan nilai-nilai

positif bagi masyarakat Mojowarno khususnya dan masyarakat Indonesia

umumnya. 89

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Bapak H. Sahlul Basar, sebagai

tokoh muslim sekaligus Staf Kemenag Mojowarno.

Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang awalnya sebagai bentuk syukur

masyarakat kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan berupa hasil panen,

kesehatan, keturunan, keluarga yang tidak ada masalah, dan nikmat lainnya.

Ketika waktu panen bersama atau pesta panen, masyarakat melakukan syukuran.

Pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat keseluruhannya. Meskipun Undhuh-

undhuh menjadi ciri khas pesta panen saudara dari umat Nasrani untuk

mensyukuri nikmat Tuhan.90 Hal inilah yang menciptakan rasa kebersamaan

antar masyarakat tanpa melihat ras, agama, suku, dan golongan.

2. Menumbuhkan Sikap Toleransi

Aksi-aksi intoleransi dan kekerasan akhir-akhir ini marak terjadi di

tengah masyarakat Indonesia. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang

sangat berat bagi masyarakat Indonesia. Jika hal ini tidak diatasi dengan baik,

maka perpecahan-perpecahan antar masyarakat akan terus terjadi. Oleh karena

88 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

89 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

90 Hasil wawancara dengan Bapak H.Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11

Februari 2019.

Page 79: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

69

itu perlu adanya peran aktif dari segenap elemen, baik pemerintah maupun

masyarakat, untuk menumbuhkan sikap-sikap toleransi antar masyarakat.

Sikap toleransi merupakan sikap mau menerima dan menghargai segala

perbedaan yang ada, baik perbedaan agama, suku, maupun ras. Sikap-sikap

toleransi tersebut bisa dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh yang dilakukan

oleh masyarakat Mojowarno. Meskipun tradisi Undhuh-undhuh menjadi ciri

khas tersendiri bagi masyarakat Nasrani, tetapi juga mengundang masyarakat

sekitar, baik umat Islam, Konghocu, ormas, dan semua perangkat persatuan

umat toleransi untuk turut serta hadir. Begitu juga kelompok-kelompok lain,

seperti kelompok seni yang juga diundang untuk memeriahkan acara. Acara juga

disaksikan oleh berbagai kalangan, lintas agama, dan pengunjung pun beragam.

Hal inilah yang kemudian menurut Bapak Staff Kemenag dapat meningkatkan

nilai-nilai kerukunan antar umat.91

Di samping itu, umat Nasrani juga berusaha untuk membersamai acara-

acara umat yang lain. Jadi, menurut Bapak Staff Kemenag, tidak ada masalah

bagi umat Islam sendiri maupun umat-umat lainnya. Mereka saling menghargai

satu sama lain. Hal tersebut karena riyaya Undhuh-undhuh merupakan bagian

dari budaya masyarakat yang harus dilestarikan karena mendatangkan nilai-nilai

positif bagi masyarakat itu sendiri. 92

Dengan adanya keikutsertaan semua golongan dalam prosesi riyaya

Undhuh-undhuh ini membuktikan bahwa toleransi antar masyarakat telah

tercipta dengan baik dalam masyarakat Mojowarno. Masyarakat saling

menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah-tengah

mereka. Meskipun tradisi-tradisi yang dipraktikkan berbeda satu sama lain,

91 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11

Februari 2019.

92 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11

Februari 2019.

Page 80: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

70

namun masyarakat Mojowarno tetap ikutserta dan mengambil andil dalam

kelancaran acara tersebut.

Ketikutsertaan setiap elemen masyarakat tersebut menjelaskan bahwa

salah satu cara menumbuhkan sikap toleransi antar golongan tersebut adalah

dengan mengadakan pertemuan-pertemuan antar golongan masyarakat. Di dalam

pertemuan tersebut, setiap masyarakat akan saling memahami satu sama lain,

baik dari segi kebiasaan, agama, dan lain sebagainya. Hal inilah kemudian

menciptakan pemahaman-pemahaman yang tidak parsial, dalam arti tidak

subjektif antar masyarakat satu sama lainnya. Pada saat yang sama akan tercipta

sikap-sikap toleransi antar masyarakat, baik antar suku, ras, agama, dan

golongan.

3. Rasa Solidaritas yang Tinggi

Dalam pelaksanaan Undhuh-undhuh, ada kegiatan-kegiatan yang

mendukung kegiatan inti. Kegiatan-kegiatan tersebut, seperti kegiatan olahraga

dan lomba-lomba. Kegiatan pendukung ini dimulai sebulan sebelum acara

Undhuh-undhuh. Kemudian, sehari sebelum acara inti hingga hari raya Undhuh-

undhuh, diadakan bazar di halaman SMP. Para warga dipersilakan untuk

menyewa halaman ini untuk dijadikan tempat jualan mereka. Siapa pun boleh

menyewa untuk dijadikan stand bazar. Meskipun demikian, warga yang

menyewa 75%-nya adalah orang Kristen. Di sinilah terjadi kegiatan paguyuban

gotong royong antar umat Kristen dan non-Kristen secara bersama-sama

melakukan kegiatan ekonomi. Rata-rata mereka menjual hasil pekerjaan mereka.

Dengan demikian menurut pandangan Djoko, secara ekonomi, tradisi Undhuh-

undhuh tersebut bisa menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, hal ini ikut

meningkatkan perekonomian masyarakat.93

Tradisi Undhuh-undhuh tersebut, menurut Djoko, secara tidak langsung

telah meneguhkan konsep “Bhinneka Tunggal Ika”. Hal ini karena dari aspek

sosial masyarakat, tradisi ini secara tidak langsung membentuk kesatuan umat,

93 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 81: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

71

baik umat Kristen maupun non-Kristen. Secara tidak langsung, tradisi ini

memupuk rasa solidaritas antar sesama agama. Dengan demikian, tradisi

Undhuh-undhuh dapat menyatukan warga bangsa, umat Islam, umat Kristen dan

lainnya. Prosesi Undhuh-undhuh tidak hanya melibatkan umat Kristen tetapi

warga masyarakat keseluruhannya. Acara puncak Undhuh-undhuh tersebut

adalah pelelangan. Pelelangan ini bebas diikuti warga, tidak hanya umat Kristen

tetapi juga umat lainnya.

4. Paham Pluralisme Masyarakat yang Kuat

Salah satu faktor yang mendukung kerukunan pada masyarakat

Mojowarno adalah adanya paham pluralisme yang kuat di dalam masyarakat.

Pluralisme merupakan penerimaan dan penghargaan keagamaan dan upaya

kerjasama orang atau sekelompok lain demi mencapai kebaikan bersama.

Pluralisme tidak hanya dipahami sebagai sekadar toleransi tetapi adanya upaya

aktif untuk memahami perbedaan. Pluralisme tumbuh dari praktik-praktik

hubungan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda agama.94

Paham pluralisme masyarakat Mojowarno dapat dilihat dari prosesi

riyaya Undhuh-undhuh. Adanya pemahaman untuk saling menerima dan

menghargai masyarakat terhadap tradisi-tradisi yang berbeda dengan tradisi

agama mereka. Meskipun tradisi riyaya Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang

berasal dari agama Kristen dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen, namun

umat agama lain menerima dan menghargai tradisi tersebut. Bahkan umat agama

lain, seperti Islam, ikutserta memeriahkan tradisi tersebut. Tidak hanya itu,

mereka juga ikut gotong royong bersama-sama agar prosesi riyaya Undhuh-

undhuh dapat berjalan dengan lancar.

94 Zainal Abidin Bagir, dkk, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia

(Yogyakarta: Mizan-CRCS, 2011), hlm. 7.

Page 82: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

72

D. Dampak Sosial Prosesi Riyaya Undhuh-Undhuh

Setiap kegiatan yang dilakukan akan memiliki dampak terhadap seseorang

maupun masyarakat luas. Dampak merupakan suatu hal yang terjadi akibat dari

dilakukannya suatu perbuatan. Dampak sosial merupakan sebuah efek dari

fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Prosesi riyaya Undhuh-

undhuh memiliki dampak sosial yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat

Mojowarno, umumnya masyarakat Indonesia. Di antara dampak prosesi riyaya

Undhuh-undhuh dalam masyarakat Mojowarno adalah meningkatkan kerukunan,

memberikan pemahaman keberagaman dalam masyarakat, meningkatkan

kebersamaan antar masyarakat, dan meningkatkan perekonomian masyarakat.

Pertama, dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-undhuh di Mojowarno,

kerukunan antar umat beragama terus meningkat. Hal ini membuktikan bahwa

tradisi riyaya Undhuh-undhuh bisa menjadi salah satu media memperkuat

kerukunan antar umat maupun golongan. Meningkatnya kerukunan dalam

masyarakat ini sebagaimana diakui oleh Bapak Kepala Desa,

“Masyarakat di sini semakin rukun. Permasalahan-permasalahan dalam

masyarakat semakin berkurang, bahkan jarang terjadi. Tidak bisa kita pungkiri

memang riyaya Undhuh-undhuh memiliki dampak yang sangat signifikan bagi

peningkatan kerukunan masyarakat di sini.”95

Kedua, terciptanya kerukunan dalam masyarakat membuktikan bahwa

masyarakat telah mampu memahami persoalan keberagaman dalam lingkungannya.

Oleh karena itu, meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap persoalan

keberagaman merupakan dampak dari adanya prosesi riyaya Undhuh-undhuh.

Masyarakat Mojowarno telah mampu mengikis perbedaan-perbedaan yang terjadi

dalam lingkungan dengan melakukan proses riyaya Undhuh-undhuh yang dihadiri

dan diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat.

95 Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

Page 83: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

73

Salah satu bentuk pemahaman masyarakat terhadap keberagaman adalah

adanya penerimaan dari masyarakat muslim atau umat lain terhadap tradisi riyaya

Undhuh-undhuh yang merupakan sebuah kegiatan umat Kristiani. Hal ini

sebagaimana disampaikan oleh Bapak H. Sahlul Basar, bahwa meskipun kegiatan

ini merupakan salah satu tradisi wujud rasa syukur umat Kristiani terhadap nikmat

Allah, masyarakat umat lain, terutama muslim juga ikut berpartisipasi memeriahkan

acara tersebut. Keikutsertaan umat lain ini membuktikan bahwa mereka sudah

saling memahami bahwa keberagaman bukan merupakan suatu masalah dalam

masyarakat, namun bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan

masyarakat.96

Ketiga, dampak sosial yang muncul dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-

undhuh ini adalah meningkatkan kebersamaan antar masyarakat. Ketika prosesi ini

dilakukan, masyarakat bersama-sama melakukan gotong royong dan guyub. Hal ini

misalnya terlihat dari bantuan-bantuan dari umat lain terhadap kegiatan tersebut.

Meskipun warga muslim atau agama lain tidak ikut dalam upacara keagamaan,

tetapi mereka ikut dalam mempersiapkan acara tersebut agar berjalan dengan

lancar. Ketika pelelangan dilaksanakan, mereka ikut serta memeriahkan kegiatan

tersebut.97 Kenyataan ini dapat dipahami bahwa sebelum prosesi dimulai, segenap

masyarakat ikut gotong royong membantu persiapannya, dan ketika kegiatan sudah

dimulai setiap masyarakat pun ikut memeriahkannya.

Keempat, prosesi riyaya Undhuh-undhuh juga berdampak pada peningkatan

perekonomian masyarakat. Hal ini karena dalam prosesi tersebut, ada kegiatan

pelelangan, yang mana hasil panen dilelang. Selain itu, dalam prosesi riyaya

Undhuh-undhuh juga ada bazar di halaman SMP sebelum acara inti hingga hari

raya Undhuh-undhuh tiba. Para warga dipersilakan untuk menyewa halaman ini

untuk dijadikan tempat jualan mereka. Siapa pun boleh menyewa untuk dijadikan

96 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11

Februari 2019.

97 Hasil Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari 2019.

Page 84: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

74

stand bazar. Meskipun demikian, warga yang menyewa 75%-nya adalah umat

Kristen. Rata-rata mereka menjual hasil pekerjaan mereka. Dengan demikian

menurut pandangan Djoko, secara ekonomi, tradisi Undhuh-undhuh tersebut bisa

menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, prosesi riyaya Undhuh-undhuh

dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.98

Kelima, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tradisi riyaya

Undhuh-undhuh merupakan tradisi yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur umat

Kristiani terhadap nikmat yang diberikan Tuhan. Pada prosesi ini masyarakat

mengeluarkan hasil panen mereka yang terbaik untuk dilelang kepada masyarakat.

Hasil lelangan tersebut kemudian diberikan ke geraja. Dengan adanya kegiatan ini

secara terus menerus, rasa syukur masyarakat atas nikmat Tuhan akan terus

bertambah. Setiap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan akan selalu disyukuri oleh

mereka. Ketika rasa syukur terus meningkat, maka kehidupan masyarakat juga akan

terus membaik. Hal ini karena masyarakat bisa menerima semua ketentuan dan

rezeki yang didatangkan, kemudian mereka saling berbagi satu sama lain sebagai

wujud dari rasa syukur tersebut.

Keenam, dengan terus berjalannya prosesi riyaya Undhuh-undhuh tersebut

setiap tahun, maka kecintaan masyarakat terutama anak muda terhadap budaya akan

terus meningkat. Hal ini karena mereka terus diperkenalkan dengan tradisi-tradisi

dalam masyarakat. Masyarakat akan terus mengingat dan melakukan tradisi-tradisi

yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu yang sangat bermanfaat bagi

kehidupan masyarakat. Manfaat tersebut terutama dalam memahami keberagaman

dan mengikis perbedaan-perbedaan yang berdampak negatif bagi perkembangan

masyarakat. Oleh karena itu, meningkatnya kecintaan masyarakat terhadap budaya

merupakan dampak yang sangat signifikan dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh

yang dilaksanakan sekali setahun tersebut.

98 Wawancara dengan Bapak Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Page 85: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh terdapat banyak nilai-nilai yang

menunjukan kerukunan antar umat beragama di Mojowarno. Nilai-nilai tersebut

dibagi beberapa aspek. Pertama, nilai solidaritas. Pada tradisi riyaya Undhuh-

undhuh, nilai solidaritas terwujud dalam gotong royong yang terlihat pada saat

membuat bangunan yang dilakukan oleh warga jemaat di setiap blok serta pada

saat dilakukannya arak-arakan bangunan menuju gereja induk. Pada saat arak-

arakan ini juga dikawal oleh ormas lain seperti banser dan tokoh masarakat

seperti polisi dan pihak kemanan yang lain. Kedua, nilai moral. Nilai ini

terwujud dalam persembahan yang diberikan oleh masing-masing warga jemaat

untuk membuat bangunan di tiap bloknya yang nantinya akan dilelang. Ketiga,

nilai keindahan. Nilai ini tercermin di dalam bangunan yang dibuat sebagus dan

semenarik mungkin oleh warga jemaat di setiap blok sesuai dengan cerita-cerita

di dalam Al-kitab. Keempat, nilai ekonomi. Nilai ini terlihat pada dana lelangan

yang berawal dari dana persembahan. Dana ini kemudian akan diserahkan

kepada gereja dan digunakan untuk membiayai kegiatan jemaat serta kebutuhan

gereja yang lain. Selain itu, nilai ekonomi di dalam tradisi riyaya Undhuh-

undhuh juga dirasakan oleh masyarakat setempat dengan berjualan di pinggir

jalan. Barang lelangan di dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh tidak hanya dibeli

oleh para jemaat, melainkan juga masyarakat sekitar, termasuk warga muslim

juga turut serta membeli dan memeriahkan acara lelangan tersebut. Kelima, nilai

hiburan, yang terwujud dalam acara-acara pendukung yang dilangsungkan

sebelum dan sesudah prosesi riyaya Undhuh-undhuh. Seperti jalan sehat, lomba

voli, basket, catur, bazar, pertunjukan kuda lumping pada saat arak-arakan, reog,

barongsai, patroli, dan juga pagelaran wayang kulit yang diadakan malam hari

setelah riyaya Undhuh-undhuh, serta penampilan pencak silat dari organisasi

IPNU dan IPPNU.

Page 86: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

76

Perayaan Undhuh-undhuh ini tidak hanya melibatkan para jemaat dari

GKJW itu sendiri. Namun, masyarakat yang di luar jemaat juga turut serta

membantu dalam pelaksnaan dan perayaan tradisi tersebut. Contoh, dalam

tahapan pelelangan tidak hanya para jemaat yang membeli. Namun, masyarakat

beragama Islam turut serta membeli lelangan. Selain itu juga, dalam tahapan

lomba-lomba para pemuda yang muslim juga turut andil dalam perlombaan.

Pihak-pihak dari pemerintahan dan ormas Islam juga turut serta membantu

jalannya pelaksanaan tradisi tersebut. Hal inilah yang menunjukan bahwa dalam

tradisi riyaya Undhuh-undhuh di Mojowarno terdapat nilai-nilai sosial yang

tinggi dan juga menunjukan adanya sikap toleransi serta kerukunan sosial yang

kuat dalam sebuah bingkai keragaman agama dan budaya di dalam satu daerah.

B. Saran-Saran

Menurut pandangan penulis, kegiatan keagamaan dan sosial sangat perlu

untuk disadari betul oleh seluruh elemen masyarakat yang multikultural ini. Hal

ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar umat beragama dan

menjunjung sikap toleransi antar umat beragama.

1. Peran tokoh-tokoh agama, organisasi dan pemerintah sangat diperlukan

guna menyampaikan doktrin-doktrin positif agar umatnya mengerti

nilai-nilai sosial yang luhur. Seperti sikap toleransi yang tinggi dan

saling menghargai antar sesama.

2. Kepada seluruh penganut agama agar tetap menjaga keharmonisan hidup

berdampingan dan selalu rukun dalam menjalankan kehidupan sosial di

lingkungan sekitar.

Page 87: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

77

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masykuri, Pluralisme Agama dan Kerukunan, Jakarta: Penerbit Buku

Kompas, 2001.

Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi

Agama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2006.

Ahmad Haidlor Ali dan M. Taufik Hidayatulloh. Relasi Antar Umat Beragama, di

Berbagai Daerah, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016.

Bahri, Media Zainul, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia

(1901-1940) Hinga Masa Reformasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-

1, 2015.

Brata, Nugroho Trisnu. “Religi Jawa dan Remaking Tradisi Grebeg Kraton,

Sebuah Kajian Antropologi”, Sejarah dan Budaya, Vol. II, No.2 Desember

2009.

Durkheim dalam Catherine Bell, Ritual, Perspectives and Dimensions, USA:

Oxford University Press, 2009.

Durkheim dalam Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Yogyakarta:

IRCiSoD, 2011.

End, Van Den, Harta dalam Bejana Jakarta: BPK, 1988

Ghazali, Adeng Muchtar, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman

Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama, Bandung: Alfabeta, 2011.

Guillot, C. Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, terj. Asvi Warman Adam,

Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII, Malang: GKJW, 1976

Hasanah, Uswatun. “Pelestarian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Anshor Sakera Di

Dusun Karangasem Desa Gondanglegi Wetan Kecamatan Gondanglegi

Page 88: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

78

Kabupaten Malang”, Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang,

2014.

Hasyim, Umar, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai

Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, Surabaya:

Bina Ilmu, 1979.

Hendropuspto, Sosiologi Agama, Yogyakarta: PT Gramedia, 1984

Hermanto dan Winarno. Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta Timur: PT Bumi

Aksara 2013

https://www.academia.edu/27965042/Makalah Keragaman Budaya Indonesia. Di

acses tpada tanggal 5 November 2018, pukul 20.18 WIB.

Kawangung, Yudhi dan Jeni Ishak Lele, “Diskursus Kerukunan Sosial Dalam

Prespektif Masyarakat Keristen fi Indonesia Rekonsiliasi Pasca Pemilu”,

Jurnal VISIO DEI: urnal Teologi Keristen, Vol.1. No.1 Juli 2019.

Khotimah, Khusnul, Studi Ritual Undhuh-Undhuh Gereja Kristen Jawi Wetan

(GKJW) Mojowarno Jombang dalam Prespektif Talacot Parsons,

Surabaya: Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2019.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Kurniawati, Tenia. Perkembangan Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat

Mojowarno di Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981, Jember:

Universitas Jember, 2008.

Kushadi. Perubahan social Masyarakat Kristen Jawi Di Mojowarno Pada Tahun

1970-1998, Surabaya: Universitas Indonesia, 2004.

Linda ‘Aniah dkk, “Eksistensi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Kecamatan

Mojowarno Kabupaten Jombang Tahun 1992-2018”, Jurnal, Universitas

Page 89: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

79

Negeri Surabaya, of History Education and Historiography, Vol. 1, No.1,

2017

Melalatoa, Junus M. Ed. Sistem Budaya Indonesia, Jakarta: Kerjasama FISIP

Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997.

Meriso, Soedibjo. Seabad Gedung Gereja Gereja: Gereja Kristemn Jawi Wetan

Mojowarno 1881-1981, GKJW: Mojowarno, 1981

Misrawi, Zuhairi, Alquran Kitab Toleransi, Jakarta: Pustaka Oasis, 2007.

Moleong, J Lexy . Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2000.

Munawar, Said Agil, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Najib, Muhammad Ainun, “Minoritas Yang Terlindungi, Tantangan dan

Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno di Kota Santri Jombang” ,

Episteme, Vol. 10, No. 1, Juni 2015.

Noer, Kautsar Azhari dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku

Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama, Jakarta: Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat, 2008.

Nurhayati dan M. Turhan Yani “Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh

Pada Era Globalisasi Di Mojowarno, Jombang” Jurnal, Kajian Moral dan

Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013.

Nurhayati dan M. turhan Yani, Transformasi Makna Tradisi Undhuh-Undhuh

Pada Era Globalisasi Di Mojowarno Jombang, Jurnal, Kajian Moral dan

Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

Pratiwi, Cekli Setya. “Freedom of Religion in Indonesia on Human Rights

Perspective,” Makalah, Master Level Course On Shariah and Human

Rights, 2014.

Page 90: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

80

Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno sampai Majapahit

Akhir, (Jakarta: Komonitas Bambu, 2011.

Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa Mojowarno 2014-2018.

Riyadi, Slamet dkk. Idom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pembangunan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1994.

Santoso, Pudjio, “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas

Jemaat GKJW di Kota Surabaya”, Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013.

Santoso, Pudjio. “Inkulturasi Budaya Jawa dan Ajaran Kristen Pada Komunitas

Jemaat GKJW di Kota Surabaya”, Bio Kultur, Vol. II, No. 1, 2013.

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosisal: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya,

Jakarta: Kencana, 2011.

Setiyani, Wiwik Setiyani, Keragaman Perilaku Keagamaan, Yogyakarta:

Dialetika ,2018.

Soedibyo, Mariso. Paulus Tosarie: Pemrakarsa Pembangunan Gedung Greja

Mojowarno, Mojowarno: Setecilan 1975

Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1998.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press 2015.

Suparlan, Parsudi, Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian

Masalah-Masalah Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.

Suparlan, Parsudi. Pengetahuan Budaya Ilmu-Ilmu Soisal, dan Pengkajian

Masalah-Masalah Agama, Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2005.

Page 91: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

81

Tim Penyusun Puslitbang, Kehidupan Beragama Kompilasi Kebijakan dan

Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008.

Tumanggor, Rusmin dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Perdana Media

Group, 2010

Wawancara denagn ibu Madoedari, 26 Oktober 2007 olehTenia Kurniawati,

Perkembangan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di

Kabupaten Jombang, Tahun 1923-1981.

Wawancara dengan bapak Camat Arif Hidajat, tanggal 18 Februari 2019.

Wawancara dengan Bapak H.Sahlul Basar staff kemenag Mojowarno, tanggal 11

Februari 2019.

Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Catur Budi Setyo, tanggal 11 Februari

2019

Wawancara dengan Bapak Pdt. Djoko Purwanto tanggal 9 Februari 2019.

Wawancra dengan Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab, tanggal 22 Februari

2019.

Wiryoadiwismo, Madoedari dkk. Sejarah Riyaya Unduh-Unduh Jemaat

Mojowarno, Mojowarno: Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno, 2011.

Page 92: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

82

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Lampiran I (Pedoman Wawancara)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Ibu Hj. Mundjidah Wahab

Umur :

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Bupati

Waktu Wawancara : 22 Februari 2019, Pukul 17.07 WIB

1. Apakah pernah terjadi pertikaian antar umat beragama di Jombang?

Sampai saat ini, tidak ada pertikaian antar umat beragama yang berarti di

Jombang. Hal ini menunjukkan masyarakat Jombang sudah terbiasa hidup

berdampingan. Bahkan beberapa tokoh asal Jombang menjadi tokoh penting

dalam gerakan toleransi antar agama di Indonesia. Seperti KH. Abdurrahman

Wahid (Gus Dur), Prof. Nur Cholis Majid (Cak Nur) dan Emha Ainun Najib

(Cak Nun).

2. Ketika ada perayaan hari besar nasional, bagaimanakah peran antar

agama di Jombang?

Dalam perayaan hari besar nasional biasanya saat doa bukan hanya dari pihak

Islam saja. Tapi juga doa dari non-muslim, mereka berdoa secara bergantian.

Page 93: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

83

Page 94: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

84

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Bapak H. Sahlul Basar

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Staff Kemenag Mojowarno

Waktu Wawancara : 11 Februari 2019, Pukul 12.36 WIB

1. Apa makna dari sikap toleransi dan bagaimanakah masyarakat

Mojowarno mengaplikasikan sikap tersebut?

Sikap toleransi merupakan sikap mau menerima dan menghargai segala

perbedaan yang ada, baik perbedaan agama, suku, maupun ras. Sikap-

sikap toleransi tersebut bisa dilihat dari prosesi riyaya Undhuh-undhuh

yang dilakukan oleh masyarakat Mojowarno. Meskipun tradisi Undhuh-

undhuh menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat Nasrani, tetapi juga

mengundang masyarakat sekitar, baik umat Islam, Konghucu, ormas, dan

semua perangkat persatuan umat toleransi. Begitu juga kelompok-

kelompok lain, seperti kelompok seni yang juga diundang untuk

memeriahkan acara. Acara juga disaksikan oleh berbagai kalangan, lintas

agama, dan pengunjung beragam.

2. Apakah ditemui permasalahan antar umat beragama di Mojowarno?

Tidak ada masalah bagi umat Islam sendiri maupun umat-umat lainnya.

Mereka saling menghargai satu sama lain. Hal tersebut karena riyaya

Undhuh-undhuh merupakan bagian dari budaya masyarakat yang harus

dilestarikan karena mendatangkan nilai-nilai positif bagi masyarakat itu

sendiri.

3. Bagaimana respon masyarakat Mojowarno terhadap keberagaman

beragama?

Salah satu bentuk pemahaman masyarakat terhadap keberagaman adalah

adanya penerimaan dari masyarakat muslim atau umat lain terhadap tradisi

riyaya Undhuh-undhuh yang merupakan sebuah kegiatan umat Kristiani.

Meskipun kegiatan ini merupakan salah satu tradisi wujud rasa syukur

Page 95: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

85

umat Kristiani terhadap nikmat Allah, masyarakat umat lain, terutama

muslim juga ikut berpartisipasi memeriahkan acara tersebut. Keikutsertaan

umat lain ini membuktikan bahwa mereka sudah saling memahami bahwa

keberagaman bukan merupakan suatu masalah dalam masyarakat, namun

bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan masyarakat.

Page 96: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

86

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Bpk. Arif Hidajat, SH., Msi.

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Camat Mojowarno

Waktu Wawancara : 18 Februari 2019, Pukul 13.47 WIB

1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menanggapi

keberagaman beragama di Jombang?

Pemerintah Kabupaten Jombang juga aktif hadir dalam kegiatan keagaman

seperti Undhuh-undhuh di Mojowarno. Bahkan Pemerintah Jombang

berencana menjadikan budaya Undhuh-undhuh ini sebagai kegiatan utama

yang menarik wisatawan lokal maupun internasional. Kami juga telah

mengusulkan Undhuh-undhuh jadi ikon Jombang. Saat ini masih fokus

kajian dan musyawarah.

Page 97: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

87

Page 98: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

88

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Bpk. Catur Budi Setyo

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Kepala Desa

Waktu Wawancara : 11 Februari 2019, Pukul 12.02 WIB

1. Prosesi riyaya Undhuh-undhuh merupakan prosesi keagamaan atau

budaya masyarakat?

Prosesi riyaya Undhuh-undhuh lebih kepada budaya masyarakat bukan

kegiatan agama, karena memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi seluruh

warga masyarakat tidak hanya umat Kristen. Meskipun dari segi teologis,

tradisi Undhuh-undhuh merupakan wujud rasa syukur umat Kristen

kepada Tuhan atas limpahan rahmat yang diberikan terutama hasil panen.

Namun secara sosial kemasyarakatan, tradisi tersebut memberikan dampak

yang sangat bagus bagi masyarakat lainnya, terutama terciptanya

kebersamaan masyarakat.

2. Bagaimana respon dan peran warga non-Kristen dalam riyaya

Undhuh-undhuh?

Warga muslim tidak ikut dalam upacaranya, seperti doa dan upacara

keagamaan lainnya. Akan tetapi, setelah semua upacara dilaksanakan dan

semua telah didoakan, maka dibawalah ke tempat pelelangan, saat inilah

kemudian warga lain ikut serta memeriahkan. Selain itu, warga lain,

khususnya muslim juga ikut membantu mempersiapkan segala hal yang

perlu untuk kelancaran upacara dan kegiatan pelelangan tersebut. Begitu

juga sebaliknya, umat Kristen juga ikut membantu ketika umat muslim

melakukan acara, seperti takbiran.

3. Apakah ada permasalahan atau penolakan dari umat non-Kristen

dalam tradisi riyaya Undhuh-undhuh?

Tradisi ini bagi umat lain, khususnya umat Islam tidak

mempermasalahkannya. Hal ini karena tradisi tersebut memang sudah

Page 99: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

89

tradisi yang turun-temurun dalam masyarakat Mojowarno. Bahkan, tradisi

tersebut sangat dinanti-nanti oleh masyarakat, sebab banyak hal yang bisa

didapatkan oleh masyarakat dari kegiatan tersebut. Salah satunya dari segi

ekonomi, masyarakat dapat menjual hasil pertanian dan sebagainya ketika

kegiatan tersebut berlangsung. Hal inilah kemudian memberikan efek

secara tidak langsung bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat.

4. Apa dampak positif dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh?

Tradisi ini bernilai sosial kemasyarakatan, segenap warga akan

mendukung tradisi ini. Mereka tidak peduli dengan persoalan perbedaan

agama, suku, ras, maupun golongan-golongan. Inilah yang kemudian

memberikan dampak positif bagi kerukunan umat di desa Mojowarno.

Hubungan masyarakat dengan yang lain terjalin dengan baik, sehingga

tidak terjadi perselisihan-perselisihan yang menyebabkan perpecahan antar

masyarakat.

5. Apa pendapat Anda, menanggapi beberapa pernyataan bahwa tradisi

riyaya Undhuh-undhuh ini peninggalan Belanda?

Saya tidak sepakat terhadap pernyataan dari beberapa orang yang

mengatakan bahwa tradisi Undhuh-undhuh merupakan peninggalan

Belanda. Tradisi Undhuh-unduh ini murni tradisi budaya Mojowarno,

budaya Indonesia. Tradisi dan budaya yang ada di Indonesia jangan

sampai diklaim oleh bangsa lain. Oleh karena itu, tradisi ini perlu

dilestarikan agar tetap mendatangkan nilai-nilai positif bagi masyarakat

Mojowarno khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

6. Apa dampak sosial dari tradisi riyaya Undhuh-undhuh?

Dampak sosial yang muncul dengan adanya prosesi riyaya Undhuh-

undhuh ini adalah meningkatkan kebersamaan antar masyarakat. Ketika

prosesi ini dilakukan, masyarakat bersama-sama melakukan gotong

royong dan guyub. Hal ini misalnya terlihat dari bantuan-bantuan dari

umat lain terhadap kegiatan tersebut. Meskipun warga muslim atau agama

lain tidak ikut dalam upacara keagamaan, tetapi mereka ikut dalam

mempersiapkan acara tersebut agar berjalan dengan lancar. Ketika

Page 100: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

90

pelelangan dilaksanakan maka mereka ikut serta memeriahkan kegiatan

tersebut.

Page 101: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

91

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Drs. R. Djoko Purwanto

Umur : 66 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Pendeta

Waktu Wawancara : 09 Februari 2019, Pukul 12.43 WIB

1. Bagaimana prosesi tradisi riyaya Undhuh-undhuh?

Dalam pelaksanaan Undhuh-undhuh, ada kegiatan-kegiatan yang

mendukung kegiatan inti. Kegiatan-kegiatan tersebut, seperti kegiatan

olahraga dan lomba-lomba. Kegiatan pendukung ini dimulai sebulan

sebelum acara Undhuh-undhuh. Kemudian, pada sehari sebelum acara inti

hingga hari raya Undhuh-undhuh, diadakan bazar di halaman SMP. Para

warga dipersilahkan untuk menyewa halaman ini untuk dijadikan tempat

jualan mereka. Siapa pun boleh menyewa untuk dijadikan stand bazar.

Meskipun demikian, warga yang menyewa 75% orang Kristen. Di sinilah

terjadi kegiatan paguyuban gotong royong antar umat Kristen dan non-

Kristen secara bersama-sama melakukan kegiatan ekonomi. Rata-rata

mereka menjual hasil pekerjaan mereka. Secara ekonomi, tradisi Undhuh-

undhuh tersebut bisa menambah pendapatan warga masyarakat. Jadi, hal

ini ikut meningkatkan perekonomian masyarakat.

2. Secara keagamaan apa makna tradisi riyaya Undhuh-undhuh?

Dari segi teologis, hari raya Undhuh-undhuh merupakan sesuatu yang

sangat penting. Hal ini karena tradisi ini sebagai bentuk syukur umat

terhadap nikmat yang didatangkan oleh Tuhan. Hari raya Undhuh-undhuh

ini dapat memotivasi warga untuk pandai bersyukur kepada Tuhannya.

Ketika Tuhan sudah memberkati umatnya dengan berkat-berkatnya,

khususnya berkat panen padi yang baik, maka mereka mempersembahkan

Page 102: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

92

sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan. Dari segi teologis, umat

diharapkan selalu bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberkati.

Di samping itu, dalam ajaran Kristen memang mewajibkan agar umat

Kristen pandai mempersembahkan berkat yang ia terima kepada Tuhan.

Berkat atau persembahan tersebut nanti akan dikelola oleh gereja menjadi

biaya operasional gereja. Hal ini karena melalui geraja itulah manusia bisa

memuliakan Tuhan dengan sempurna. Jadi, tidak bisa dipungkiri bahwa

ketika kita menyembah Tuhan, ada ritual kepada Tuhan. Ritual-ritual

tersebut tentunya membutuhkan biaya agar pelaksanaannya lancar. Selain

itu, persembahan tersebut juga digunakan untuk pembangunan gereja.

Alkitab juga mewajibkan untuk mempersembahkan yang sulung, artinya

hasil yang terbaik. Kita diberikan yang terbaik berarti harus

mengembalikan yang terbaik dalam bentuk mempersembahkan yang

terbaik. Oleh karena itu, hasil panen tersebut merupakan hasil yang terbaik

yang disembahkan kepada Tuhan. Adapun yang dipersembahkan itu

dinamakan persepuluhan, artinya jika ada uang Rp.100.000,-maka

dipersembahakan 10% kepada Tuhan. Begitu juga dalam tradisi Undhuh-

undhuh.

3. Bagaimana dampak dari aspek budaya dalam tradisi riyaya Undhuh-

undhuh?

Jika dilihat dari aspek budaya, hari raya Undhuh-undhuh memiliki daya

tarik kepariwisataan. Hal ini karena Undhuh-undhuh mempunyai nilai

budaya yang luar biasa. Persembahan yang diberikan oleh umat dibentuk

sebuah bangunan yang indah dengan bangunan padi serta aksesoris yang

lain, seperti buah-buahan untuk menghiasi bangunan. Bangunan yang

indah inilah kemudian menjadi salah satu daya tarik kepariwisataan, selain

kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan demikian, nilai budaya dari tradisi

Undhuh-undhuh ini sangat tinggi, sehingga perlu dilestarikan.

Page 103: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

93

Page 104: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

94

Page 105: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

95

2. Lampiran II (Dokumentasi Wawancara)

Foto bersama Ibu Hj. Mundjidah Wahab (Bupati Jombang)

Foto bersama Bapak H. Sahlul Basar (Staff Kemenag Mojowarno)

Page 106: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

96

Foto bersama Bpk. Arif Hidajat, SH., Msi. (Camat Mojowarno)

Foto bersama Bpk. Drs. R. Djoko Purwanto (Pendeta)

Page 107: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

97

Foto bersama Bpk. Catus Budi Setyo (Kepala Desa Mojowarno)

Page 108: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

98

3. Lampiran III (Serifikat dan Surat-Surat)

Page 109: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

99

Page 110: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

100

Page 111: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

101

Page 112: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

102

Page 113: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

103

Page 114: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

104

Page 115: NILAI KERUKUNAN SOSIAL DALAM TRADISI UNDHUH- UNDHUH …

105