ngaji fiqh 4 madzhab - ikasmanca jkt

26
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -1 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com Fiqh 4 Madzhab Gus Arifin (Ketua Jam'iyah Tilawatil Qur'an/Ketua Dewan Syuro Agus Arifin Institute) Disampaikan pada Ngaji Alumni SMA 5 Surabaya di Jabotabek Ilmu fiqih adalah cabang ilmu yang penting supaya kita termasuk yang dikehendaki oleh Allah "sebagai orang yang faham/faqih dalam agama Islam". Berikut uraian singkat mengenai Fiqh: 1. Ta’rif / Pengertian : ﻴﻞ : ﹾﻢ ﹾﻌ ﺍﻟ ﹶﺎﻡ ﹶﺣ ﹾﺄ ﹺﺎﻟ ﱠﺔ ﱠﺮ ﺍﻟﺸ ﱠﺔ ﹾﻌ ﺍﻟ ﱠﺘ ﹶﺩ ﱠﺔ ﻴﻠ ﹾﺼ ﱠﻔ ﺍﻟﺘ- ) ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺘﻠﻮﻳﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﺿﻴﺢ( Disebut, Fiqh = faham atau mengerti. Atau Ilmu untuk mengetahui Hukum-hukum Syara’ (berupa perintah / larangan Allah ) yang diberlakukan kepada perbuatan anggota (tubuh manusia), diambil dari hukum-hukum yang terinci (tafshili). 2. Kata Fiqh di dalam Kitab Al Qur'an dan Hadits: Di Dalam Al Qur'an, kata Fiqh terdapat pada : ﹸﻨ ﹶﻮ ﹾﻤ ﺍﻟ ﹺﻛﹸﻜﹸﻢ ﻮﺍ ﹸﻮﻧ ﹶﻳ ﹸﻮﺍ ﹸﻮﻟ ﹺﻥ ﱠﺪ ﻭﺝ ﹶﺎﺀ ﺎﻝ ﹶﻤ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﹸﻞ ﹸﻞ ﹸﻮﺍ ﹸﻮﻟ ﹶﺔ ﱢﺌ ﹺﻥ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﻥ ﹶﺎﺩ ﹶﺎ ﹶﻮ ﹾﻘ ﺍﻟﻮﻥ ﹶﻬ ﹾﻘ ﹰﺎﻳﺜ Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan[319], mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan[320] sedikitpun? QS An Nisa (4) :78 [319] kemenangan dalam peperangan atau rezki. [320] pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan. Dan.. ﹸﻮﺍ ﹶﺎﻟ ﹶﻪ ﹾﻘ ﺎﻙ ﹶﺮ ﻄﹸﻚ ﹶﺎ ﹶﻮ ﹰﺎﻴﻔ ﺿ ﻴﻨ ﺍﻙ ﹶﻨ ﱠﺎ ﹺﻧ ﹸﻮﻝ ﱠﺎ ﹶﺜ ﹺﻳﺰ ﹺﻌ ﹶﻴ ﹶﻧMereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara Kami; kalau tidaklah Karena keluargamu tentulah kami Telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami." QS Hud (11):91 Hadits : ﱡﻢ ﱠﻌ ﹺﺎﻟﺘ ﹾﻢ ﹾﻌ ﺍﻟ ﱠﻤ ﹺﻧ ﱢﻳﻦ ﺍﻟﺪ ﹶﻘﱢﻬ ﹺﻪ ﱠﻪ ﺍﻟﻠ ﹺﺩ ﻠﱠﻢ ﹶﻴ ﱠﻪ ﺍﻟﻠ ﱠﻰ ﹺﻲ ﱠﺒ ﺍﻟﻨ ﹶﺎﻝ Dan Nabi bersabda : "Siapa yang dikehendaki Allah (dalam agamanya) untuk dalam kebaikan, maka (Allah) fahamkan dia dalam agamanya dan sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan belajar. (Shahih Bukhari ) Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam Bab: ﹾﻌﺍﻟ ﹶﻮ ﹾﻘ ﺍﻟ ﹶﺒ ﹾﻢ ﹾﻌ ﺍﻟﺎﺏ (Bab Ilmu sebelum berbicara/berpendapat dan beramal)

Upload: ella-virya

Post on 04-Jul-2015

3.027 views

Category:

Spiritual


1 download

DESCRIPTION

Assalamualaikum,Kepada rekan2 anggota Ikasmanca Jkt peserta Pengajian As-Smala, berikut adalah materi oleh Gus Arifin, yang akan dibahas pada Pengajian Rutin, yang Insya Allah akan berlangsung pada: Minggu, 17 April 2011, pukul 09:00.Silahkan di-download dan dipelajari agar ilmu yang kita dapatkan selama pengajian semakin dalam dan menjadi bekal kehidupan sehari2. Amien..Salam,-E

TRANSCRIPT

Page 1: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -1 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Fiqh 4 Madzhab Gus Arifin

(Ketua Jam'iyah Tilawatil Qur'an/Ketua Dewan Syuro Agus Arifin Institute) Disampaikan pada Ngaji Alumni SMA 5 Surabaya di Jabotabek

Ilmu fiqih adalah cabang ilmu yang penting supaya kita termasuk yang dikehendaki oleh Allah "sebagai orang yang faham/faqih dalam agama Islam". Berikut uraian singkat mengenai Fiqh: 1. Ta’rif / Pengertian :

)التوضيح على التلويح شرح( -التفصيلية أدلتها من العملية الشرعية بالأحكام العلم :وقيلDisebut, Fiqh = faham atau mengerti. Atau Ilmu untuk mengetahui Hukum-hukum Syara’ (berupa perintah / larangan Allah ) yang diberlakukan kepada perbuatan anggota (tubuh manusia), diambil dari hukum-hukum yang terinci (tafshili).

2. Kata Fiqh di dalam Kitab Al Qur'an dan Hadits: Di Dalam Al Qur'an, kata Fiqh terdapat pada :

ي بروج مشيدة وإن تصبهم حسنة يقولوا هذه أينما تكونوا يدرككم الموت ولو كنتم فمن عند الله وإن تصبهم سيئة يقولوا هذه من عندك قل كل من عند الله فمال هؤلاء

حديثا يفقهونالقوم لا يكادون

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan[319], mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan[320] sedikitpun? QS An Nisa (4) :78 [319] kemenangan dalam peperangan atau rezki. [320] pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan. Dan..

كثريا مما تقول وإنا لنراك فينا ضعيفا ولولا رهطك لرجمناك وما نفقه قالوا يا شعيب ما أنت علينا بعزيز

Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara Kami; kalau tidaklah Karena keluargamu tentulah kami Telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami." QS Hud (11):91 Hadits :

وقال النبي صلى الله عليه وسلم من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين وإنما العلم بالتعلمDan Nabi bersabda : "Siapa yang dikehendaki Allah (dalam agamanya) untuk dalam kebaikan, maka (Allah) fahamkan dia dalam agamanya dan sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan belajar. (Shahih Bukhari )

Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam Bab: باب العلم قبل القول والعمل

(Bab Ilmu sebelum berbicara/berpendapat dan beramal)

Page 2: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -2 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

3. Yang mengaturnya : Nabi Muhammad , Penyusun Pertama kali: Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi (80H/689M-150H/749M ).

4. Namanya : Ilmu Fiqih 5. Bandingannya dengan Ilmu lain (Nisbatuhu) : Ilmu untuk mengetahui perbedaan hukum-

hukum syara’ dengan ilmu-ilmu lain. 6. Tempat berlaku (maudlu’)-nya : Perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan hukum Taklifi

dan hukum Wadl’i 7. Hukum mempelajari Fiqih : Fardlu Ain ( untuk mengetahui hukum-hukum, sah / tidaknya

suatu Ibadah. 8. Tujuan : mendapatkan keridlaan Allah , Bahagia di dunia dan akhirat 9. Pengambilannya : Al Qur’an, Hadits / Sunnah, Ijma’ dan qiyas. 10. Masail-nya (yang dibicarakan ) : Kalimat-kalimat yang mengandung hukum, yang langsung

atau tidak langsung; seperti dikatakan “ Zakat fitrah itu Wajib “ atau Wudlu itu Syarat Shalat. dll

11. Hukum Taklifi (yang dibebankan kepada mukallaf/orang Islam, yang Baligh, berakal, dan dakwah sampai kepadanya) : 1. Wajib ( = Fardlu ) 2. Sunnat 3. Mubah 4. Makruh 5. Haram.

12. Hukum Wadl’i (kondisi): 1. Sebab; 2. Syarat; 3. Ma’ani; 4. Sah; 5. Batal 13. Proses Terjadinya Perbedaan/Khilafiyah 14. Madzhab yang terkenal dan Imamnya :

1. Madzhab Hanafi yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun150 H.).

2. Madzhab Maliki yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.).

3. Madzhab Syafi'i yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi'i, (lahir di Ghaza Palestina pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahm 204 H.).

4. Madzhab Hanbali yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).

Page 3: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -3 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Page 4: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -4 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Konsekwensi Adanya Ilmu Fiqih Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya (dari Al Qur’an / Sunnah ) dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat ) : 1. Hukum yang diambil dari nash (sumber dalil/teks yang ada di Al Qur'an/hadits) yang

tegas, yakin adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan hukum itu. 2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu. 3. Hukum yang tidak ada nash, baik secara Pasti (Qath’i) maupun dugaan (dhanni), tetapi

pada suatu masa telah ada kesepakatan (Ijma’) dari para Mujtahidin atas hukum-hukumnya.

4. Hukum yang tidak ada nash, baik secara Pasti (Qath’i) maupun dugaan (dhanni), dan tidak ada kesepakatan (Ijma’) dari para Mujtahidin atas hukum-hukumnya.

Ada (3) tiga kemungkinan status kita (umat Islam) dalam melaksanakan Hukum Syara’ tersebut :

1. Mujtahid ( perbuatannya disebut Ijtihad ) : Orang Islam yang melaksanakan Hukum Syara’ dan tahu Hukum/nash/dalil-nya serta mampu melakukan Ijitihad.

2. Muttabi’ ( perbuatannya disebut Itba’ atau Ittiba') : Orang Islam yang melaksanakan Hukum Syara’ dan tahu Hukum/nash/dalil-nya.

3. Muqallid ( Perbuatannya disebut Taqlid ) : Orang Islam yang melaksanakan hukum syara’ dan tidak tahu hukum/nash/dalilnya, hanya mengikuti salah satu dari Imam Mujtahid dan itu merupakan keharusan bagi setiap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum fikih dari teks Al Qur'an dan Hadits.

Disinilah munculnya Madzhab, Jadi, disinilah arti kita bermadzhab. Madzhab (املذهب) menurut bahasa berarti jalan atau tempat yang dituju, yaitu jalan yang telah dibuat oleh para Imam Mujtahidin Istilah madzhab sendiri semula memang untuk menggambarkan "perbedaan" di antara para sahabat Nabi . Sejak masa sahabat bila muncul perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, maka "pendapat" itu disebut dengan istilah madzhab, maka di sana terkenal madzhab Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar (Ibn Umar), madzhab Abdullah bin Mas'ud dan lain lain. Jalan/madzhab yang telah telah dibuat oleh para Imam Mujtahid itu, dibukukan/dikodifikasikan/menjadi kitab-kitab dimana dalam perjalanan waktu, kitab-kitab itu (yang berisi produk Ijtihad atau Nata'ij al Ijtihad ( نتـائج اإلجتـهاد ) dikaji, dikomentari dan disempurnakan oleh para Imam ahli Ijtihad pada masa sesudahnya yang berafiliasi dengan Imam Mujtahid yang empat tersebut(Imam Ijtihad al Muntasib) hingga saat ini produk-produk Ijtihad sering kita jumpai dalam bentuk fatwah dari ulama' ulama' tertentu dimana masih kelihatan madzhab yang dijadikan acuan. Bagaimana hukumnya kalau tidak mengambil jalan/madzhab yang ada? Boleh, asal kita memang mempunyai kompetensi/pengetahuan yang cukup untuk melakukan Istinbath/metode untuk menentukan hukum suatu perkara dengan mengkaji/meneliti dalil-dalil Al qur'an dan hadits kemudian disimpulkan sebagai produk Ijtihad/produk hukum. Bila kriteria diatas, dapat anda penuhi, maka silahkan ikuti pendapat anda !! dan boleh anda tidak "bermadzhab" !!

Page 5: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -5 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Contoh Kasus : Bab Thaharah/ Bersuci : Khilafiyah "menyentuh" lawan jenis

يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصالة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء برءوسكم وأرجلكم

أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم ديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم وأي

تشكرون

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapu-lah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. QS Al Maaidah (5):6 [403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air. [404] artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah: menyetubuhi. Hanbali sependapat dengan Syafi'iyah, bahwa menyentuh seorang wanita tanpa penghalang adalah 'membatalkan wudhu', walaupun wanita itu adalah seorang yang tua dan tidak berwajah menarik selama ia masih dapat mengundang syahwat. Hanbali berbeda dengan Syafi'iyah tentang menyentuh mahram. Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu' secara mutlak, hingga walaupun ia menyentuh ibunya atau saudara perempuannya sendiri, maka wudhu'nya batal dengan sentuhan itu. Dalam hal ini mereka berbeda dengan Syafi'iyah. Dan mereka sepakat dengan Syafi'iyah bahwa sentuhan seorang laki-laki terhadap laki-laki lainnya tidaklah membatalkan wudhu' walaupun yang disentuh itu adalah anak muda yang belum berjanggut dan tampan. Hanya saja Syafi'iyah berkata bahwa baginya itu disunnatkan untuk berwudhu' Mereka /imam Madzhab sepakat bahwa menyentuh rambut, kuku dan gigi wanita tidaklah membatalkan wudhu'. Malikiyah: Mereka berpendapat bahwa apabila seorang yang mempunyai wudhu' menyentuh orang lain dengan tangannya atau sebagian dari badannya. maka wudhunya itu batal dengan beberapa syarat (atau tidak batal bila syarat tersbut tidak terpenuhi/tidak ada). Sebagian dari syarat-syarat itu untuk pihak yang menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang disentuh. Bagi yang menyentuh disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia merasakannya tanpa sengaja. Apabila ia bermaksud merasakan kenikmatan, maka wudhunyaitu batal walaupun ia belum betul-betul merasakan kenikmatan dengan menyentuhnya. Bagi yang disentuh hendaknya ia dalam keadaan telanjang (tanpa penghalang) ataupun terhalang dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhu'nya tidak batal kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badannya

Page 6: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -6 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu (tanpa maksud sengaja). Syarat berikutnya: yang disentuh itu adalah orang yang biasanya mengundang syahwat. Dan Tidak batal: menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang syahwat, seperti gadis balita, menyentuh wanita tua yang laki-laki tidak butuh lagi padanya, karena nafsu (syahwat) telah pudar darinya. Di antara bagian anggota badan adalah rambut. Maka wudhu' itu bisa batal dengan menyentuh rambut seorang wanita, (yaitu). bila ia bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia merasakan adanya kenikmatan itu tanpa maksud sengaja. Sedangkan apabila wanita itu menyentuh tangan laki-lakl dengan rambutnya, maka wudhu' wanita itu tidak batal. Demikian juga wudhu' itu tidak batal disebabkan karena persentuhan rambut laki-laki dan rambut wanita, atau persentuhan antara kuku laki-laki dan kuku wanita; karena biasanya pada keduanya itu tidak terdapat rasa. Apabila wanita yang disentuh itu wanita Mahram, seperti saudara perempuan, anak perempuan dari sauuara perempuan (ponakan perempuan), bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu ... dan yang menyentuh- nya itu bersyahwat lalu bermaksud untuk merasakan nikmat tetapi ia tidak merasakan kenikmatan itu, maka wudlu'nya itu tidaklah batal. Berbeda halnya apabila wanita itu orang asing (bukan mahram). Termasuk menyentuh adalah mengecup mulut. Yang demikian itu adalah membatalkan wudhu' secara mutlak sekalipun ia tidak bermaksud untuk merasakan nikmat atau tidak memperoleh nikmat itu, ataupun ia dipaksa untuk mengecup. Akan tetapi mengecup tidaklah membatalkan wudhu' apabila kecupan itu untuk perpisahan ataupun ,kecupan kasih sayang, di mana tujuan mengecup itu terdapat dalam dirinya tanpa untuk memperoleh rasa nikmat. Jika ia memperoleh rasa nikmat, maka ia dapat membatalkan wudhu'. Khilafiyah dalam Shalat : Tangan dulu atau dengkul dulu? Apa yang sebaiknya dilakukan, ketika seseorang akan melakukan sujud; meletakkan tangan lebih dahulu kemudian lutut, atau sebaliknya? Pada kasus sujud, Para ulama terbagi menjadi dua kelompok: antara yang mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Seperti masalah-masalah khilafiyah yang lain, dalam hal ini mereka tidak mempunyai alasan dan dasar hukum. Kalau kita telusuri, perbedaan tersebut berasal dari dua hadits yang termaktub dalam kitab BulughulMaram karangan ulama hadits terkemuka Ibn Hajar al-‘Asqalani. Hadits pertama:

ρقال رسول الله : قال τوعن أبي هريرة

أخرجه الثلاثة} ركبتيه يديه قبلوليضع, إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعري { يعمد أحدكم فيربك يف : " ولفظ الترمذي ، )269 (، والترمذي ) 207/ 2(، والنسائي ) 840(رواه أبو داود . صحيح

)841( وهي رواية أليب داود " . صالته برك اجلملDari Abu Hurairah رضي اهللا عنه menyatakan, Rasulullah bersabda,” Jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderung seperti onta menderung, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” Dalam hadits tersebut jelas, kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan.

Page 7: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -7 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Suatu pengertian yang berlawanan dengan pemahaman tersebut terlihat pada hadits kedua,

:وهو أقوى من حديث وائل أخرجه الأربعة } يديه ركبتيه قبلإذا سجد وضع{ρرأيت رسول الله

، ) 882( وابن ماجـه ) 268( ، والترمذي ) 207 - 206 / 2( ، والنسائي ) 838( رواه أبو داود وهو سـيئ : قلت " هذا حديث حسن غريب ، ال نعرف أحدا رواه مثل هذا غري شريك : " وقال الترمذي

. احلفظ Dari sahabat Wa’il Ibn Hujr رضي هللا عنه. Ia mengatakan, Saya melihat Rasulullah ketika meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya. Pada kasus sujud, Imam Malik dan Imam Auza’i memilih hadits yang pertama. Sedangkan madzhab Syafi’i dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits yang kedua. Dalam kaitan itulah mengapa khilaf (perbedaan penafsiran) menjadi tak terelakkan. Apalagi kalau sebuah hadits hanya diketahui oleh satu pihak saja. Masalahnya, tinggal pilih, mana yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kecenderungan Madzhab Syafi’i menggunakan Hadits dari Wa’il Ibn Hujr karena kelanjutan hadits tersebut adalah : Dan apabila hendak bangkit (terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.

قال حجر بن وائل عن ركبتيه قبل يديه رفع نهض وإذا يديه قبل ركبتيه وضع سجد إذا وسلم عليه الله صلى النبي رأيت

Dari sahabat Wa’il Ibn Hujr رضي اهللا عنه Ia mengatakan, Saya melihat Rasulullah ketika meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya. Dan apabila hendak bangkit (terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Masalah Zakat Fitrah

Imam Syafi'i berkata: Dari Ibnu Umar عنه الله رضي , bahwasanya

عنهما الله رضي عمر ابن عن كل على شعري من صاعا أو تمر من صاعا الفطر زكاة فرض وسلم عليه الله صلى الله رسول أن المسلمني من أنثى أو ذكر عبد أو حر

"Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan kepada seluruh manusia (kaum muslimin) yang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan; untuk satu orang satu sha' tamar (kurma ) atau satu sha' gandum, atas setiap orang yang merdeka, hamba laki- laki dan perempuan dari orang Islam." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Al Muwattha', Nasa'i) Dalam Hadits Al-Bukhari yang lain:

أمر النبي صلى اهللا عليه وسلم بزكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير “Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)

Page 8: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -8 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Ijtihad Imam Madzhab ini terhadap teks Hadits perintah wajib membayar Zakat Fitrah adalah bolehnya membayar zakat Fitrah dengan makanan pokok penduduk negara yang bersangkutan atau dalam Kitab Fathul Mu'in disebut Ghalib Qawty baladihi ( ( قوت بلدهغالبZakat Fitrah harus dibayarkan dengan bahan terbaik menurut kewajaran dan tidak boleh barang /bahan makanan yang jelek menurut ukuran kewajaran, sebagaimana dalam Fathul Muin, Syeikh Malibari :

االدخـار لـصالحية وعاد جف إن إال أي - ومبلول ومسوس معيب وال قيمة جتزئ ال) فرع( .فيجوز غريه، فقدوا أن إال املبلول القتياهتم اراعتب وال ،- واالقتيات

Zakat Fitrah dianggap tidak patut/tidak cukup bila dibayarkan dengan bahan atau barang yang cacat, berulat, atau basah (kualitas rendah), kecuali bila bahan tersebut telah kering sesuai dengan batas kewajaran dan dapat dimakan untuk kekuatan badan/bahan pokok, bahan yang cacat tersebut tidak dapat diperhitungkan/tidak dianggap sebagai zakat fitrah kecuali memang tidak ada bahan lain selain yang basah tadi maka boleh untuk Fitrah. Wallahu 'alam

Page 9: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -9 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Penjelasan mengenai Taqlid, Ittiba', Ijtihad, Talfiq Taqlid Ta'rif (Definisi) 1. Secara Bahasa

Taqlid adalah mashdar dari qallada – yuqallidu ( دلق ي– دلق ).yang artinya mengalungkan, maka:

Men-taqlid-nya dengan kalung, artinya menaruh kalung di lehernya. Men-taqlid onta, artinya menggantungkan sesuatu pada lehernya agar diketahui bahwa

hewan itu sembelihan. Men-taqlid-kan suatu perkara atau suatu amalan kepada Fulan, artinya menyerahkannya

kepada Fulan dan mengharuskan mengikutinya. Men-taqlid-i (bertaqlid kepada) Fulan, artinya mengikuti apa yang dia katakan atau dia

lakukan tanpa hujjah atau tanpa mengetahui dasar hukum atau dalilnya.. (Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith : 754).

Al-Mahlaawi mengatakan : At-Taqliid ( التقلـد)secara bahasa berarti: meletakkan sesuatu di leher dan mengalungkannya (Taisir Al-Ushul, Syaikh Tsanaullah Az-Zaahidi : 328). Ta’rif atau definisi serupa juga dikemukakan oleh para ulama lain:

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaaul-Bayaan, Imam Asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhul, Imam Ghazaly dalam Al Mustashfa.

2. Secara Istilah Syaikh Asy-Syinqithi berkata, bahwa taqlid menurut istilah para fuqahaa adalah mengambil madzhab orang lain tanpa mengetahui dalilnya (lihat Raudlatun-Nadhiir wa Jannatul-Munadhir oleh Ibnu Qudamah hal. 205; Ushul fil-Fiqhil-Islaam oleh Wahbah Az-Zuhaili 2/1120, dan Irsyadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani hal. 265). Menurut Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad, bahwa taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya (Jami’ Bayanil-‘Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan I’lamul-Muwaqqi’iin Adapun Syaikh Tsanaullah Az-zahidi mempunyai ta’rif yang lain. Setelah menyebutkan ta’rif beberapa ahli ushul, beliau berkata : “….Adapun pengertian taqlid bila ditinjau dari segi keadaan muqallid (orang yang bertaqlid), baik dahulu maupun sekarang adalah : Berpegang teguh pada pemahaman orang faqih (orang ‘alim) tertentu secara kaku disertai sikap keras, fanatik, dan mungkin dicaricari legitimasi untuk membenarkan kesalahan-kesalahannya. Namun jika tidak sanggaup, akan tetap nekad dalam kesalahannya dan kalau perlu dengan cara mendla’ifkan dalil-dalil yang shahih demi mempertahankan pendapat orang faqih (yang diikuti) tersebut”. (Lihat Taisir Al-Ushul oleh Wahbah Az-Zuhaili hal. 328; Jami’ah Ulum Al-Atsariyyah, Jhelum-Pakistan). Hukum Bertaqlid Dalam masalah ini ada tiga pendapat :

Page 10: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -10 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

1. Membolehkan dan bahkan mewajibkan taqlid. Pendapat ini banyak dipegang oleh Muqallidatul-Madzaahib (fanatis terhadap madzhab).

2. Melarang taqlid secara mutlaq. Di antara ulama yang pendapat demikian adalah Ibnu Khuwaiz Mandad dan Imam Asy-Syaukani.

3. Pendapat yang merupakan pendapat jumhur ulama’, diantaranya adalah Imam Ibnu Abdil-Baar dan Syaikh Asy-Syinqithi, bahwa: hukum taqlid itu diperinci menjadi dua macam :

Taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang bodoh kepada orang yang alim. Taqlid yang dilarang, yaitu taqlidnya seseorang kepada ‘alim tertentu tanpa hujjah.

(lihat Al-‘Aqaid halaman 93-95). Ulama Wahabi - Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berpendapat: tentang boleh bagi seorang awam yang jahil untuk taqlid kepada ‘alim yang terpercaya dengan ucapannya : “Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mempu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang alim pun terpaksa harus taqlid dalam beberapa permasalahan, yaitu ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dia hanya mendapatkan ucapan orang yang lebih alim daripada dirinya; maka dia pun terpaksa harus taqlid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan Imam Syafi’i dalam beberapa permasalahan. Ittiba'

Ittiba’ (إتبع) secara bahasa iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan), dan uswah (panutan). Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isi kandungannya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri jejak langkahnya. (Mahabbatur-Rasuul halaman 101-102). Adapun secara istilah ittiba’ berati mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang kau ikuti dengan hujjah dan dalil yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti)-nya. (Dinukil oleh Ibnu Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi 2/143). Abu Dawud berkata : Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) menyatakan : “’Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah dan para shahabatnya رضي اهللا عنهم”. (I’laamul-Muwaqqi’iin 2/139) Seseorang tidak dapat ber-ittiba' kepada Rasulullah bila ia tidak ber-ilmu. Atau dengan kata lain orang yang tidak berilmu (tidak mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul ) atau hanya sekedar mengikut saja, maka dapat dipastikan : ia Taqlid !!.

ما أنزل الله قالوا بل نتبع ما وجدنا عليه آباءنا أولو كان الشيطان يـدعوهم اتبعوا وإذا قيل لهم إلى عذاب السعري

Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menjawab : ‘(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman : 21). Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang yang taqlid kepada bapak-bapak mereka :

Page 11: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -11 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah” (QS. At-Taubah : 31).

عنـك اطرح عدي يا فقال ذهب من يبصل عنقي وفي النبي قال أتيت حاتم بن عدي عن قـال }الله دون من أربابا ورهبانهم أحبارهم اتخذوا{ براءة سورة في وسمعته يقرأ الوثن هذا شيئا حرموا عليهم وإذا استحلوه شيئا لهم أحلوا إذا واكان ولكنهم يعبدونهم يكونوا لم إنهم أما

حرموه ديثالح في بمعروف ليس أعين بن وغطيف حرب بن السلام عبد حديث من إلا نعرفه لا غريب حديث هذا عيسى أبو قال

Dari ‘Adi bin Hatim عنـه اللـه رضي , berkata aku mendatangi Nabi dan di leherku ada kalung emas, maka Rasulullah bersabda: "wahai Adi, buanglah dan saya mendengar beliau membaca ayat dalam surat Al Bara'ah, الله دون من أربابا انهمورهب أحبارهم اتخذوا -maka dia (Adi bin Hatim) mengatakan : “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb-rabb”. Rasulullah bersabda : ”Ya, bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka mengharamkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’-nya 3095 dan Baihaqi dalam As-Sunanul-Kubra 1-/116) Kata Ittiba’ dalam konteks bahasan topik ini adalah terdapat dalam Al Qur'an:

اتبعوا ما أنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء قليلا ما تذكرون”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan jangan kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS. Al-A’raf (7) : 3). Ijtihad Ta'rif (Definisi)

ذل اجلهد لتحصيل حكم شرعيب."…memberi segala kesanggupan dalam usaha mengetahui suatu hukum syara' yaitu:

بطريق الظنإستفراغ الوسع لتحصيل حكم شرعي"menggunakan segala kesanggupan dalam usaha mengetahui suatu hukum syara' dengan jalan /cara menduga (dhan)." Hal-hal yang membolehkan Ijtihad: Keadaan dlaruri (darurat), karena tidak adanya hukum yang jelas mengenai seuatu perkara ibadah maupun muamalah yang belum ada secara jelas dalil hukumnya. Dengan cara:

Page 12: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -12 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Istinbath (menggali hukum, seperti qiyas, istihsan, ataupun maslahah mursalah) dari dalil dalil baik naqli (dari teks Al Qur'an dan Hadits) maupun Aqli (logika, data empiris) sehingga diperoleh hukum yang lebih terinci. Orang yang ber-ijtihad disebut Mujtahid. Syarat-syarat Mujtahid:

1. mengetahui dengan sempurna hukum-hukum di dalam Alqur'an(tafsir, ayat-ayat hukum, nasikh –mansukh, asbabun nuzul dll), hadits (musthalah hadits, jarh wa ta'dil, asbabul wurud dll)

2. mengetahui hukum-hukum yang sudah merupakan Ijma' (kesepakatan mayoritas/jumhur ulama')

3. Mengetahui sifat (illat) hukum dan mampu mengetahui maksud-maksud /rahasia syari'at, mashlahah-nya atau urf (*) masyarakat.

4. Mengetahui Bahasa Arab sebagai alat untuk memahami teks/nash (al qur'an dan hadits) (*) Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dun berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga dinamakan adat. Dan dikalangan ulama syariat tidak ada perbedaan antara urf dan adat. Tingkatan Mujtahid: 1. Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu mujtahid yang mandiri tidak terpengaruh oleh mujtahid

lainnya ( Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). 2. Mujtahid Muntashib, yaitu Mujtahid yang menjadi penerus atau pengembang dari hasil

Ijtihadnya Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Contoh : Imam Muzanni, Imam Nawawi meneruskan hasil Ijtihad/madzhab Syafii, Imam Auza'i meneruskan madzhabnya Maliki dan Ibn Qudamah meneruskan madzhabnya Hanbali.

3. Mujtahid yang mengikut mujtahid sebelumnya dan bisa dikelompokkan sebagai Muqallid. Taqlid dan Talfiq Orang yang yang bertaklid kepada madzhab tertentu diharuskan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Harus mengetahui secara utuh berbagai ketetapan imamnya dalam masalah yang diikuti,

seperti syarat dan kewajiban- kewajibannya. Misalnya: bila Anda hendak mengikuti Madzhab Hanafi maka harus mengetahui syarat dan kondisi-kondisi yang berlaku, seperti cara membasuh kepala, yang membatalkan wudlu dan lain lain.

2. Taklid tidak dilakukan setelah pelaksanaan. Misalnya: Si Jenal adalah orang yang ber-

madzhab Syafi'i. Di suatu siang bulan Ramadhan, ia ingat kalau pada malam harinya tidak berniat berpuasa, padahal niat pada malam hari, menurut madzhab Syafi'i, adalah wajib. Pada siang itu ia berpindah ke madzhab Hanafi, yang berpendapat jika niat waktu malam tidaklah wajib. Taklid semacam ini hukumnya khilaf atau boleh dilakukan kalau tidak ada unsur kesengajaan.

3. Tidak mengambil pendapat yang ringan ringan saja, sengaja mencari-cari yang mudah

dengan tujuan mempermainkan agama dan tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil yang ada. Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa saksi, lalu mencetuskan pendapat baru "boleh nikah tanpa wali dan saksi ". Pendapat ini jelas salah dan tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.

Page 13: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -13 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

4. Imam yang diikuti harus mujtahid, baik mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Maliki,

Syafi'i dan Hanbali, atau mujtahid muntasib (mujtahid yang masih ber-afiliasi kepada madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi, Ar Ramli dan Ibnu Hajar (berafiliasi kepada Syafiiyah), atau Ibn Qudamah (ber-afiliasi dengan Imam Hanbali) kecuali jika pendapat mereka sangat lemah (dha'if jiddan).

5. Tidak boleh talfiq, yaitu mencampur dua pendapat imam dalam satu persoalan hukum

(qadhiyah) atau dalam satu masalah Ibadah, yang pada akhirnya, apa yang dilakukan sama-sama tidak diakui oleh masing-masing imam. Misalnya: dalam berwudhu', Si Ali mengikuti madzhab Syafi'i yang menyatakan cukup mengusap sebagian kepala. Setelah itu, Ali menyentuh kulit perempuan bukan mahram-nya tanpa syahwat, sebab mengikuti Imam Malik. Kemudian Ali melakukan shalat. Taklid semacam ini hukumnya tidak boleh, karena menurut madzhab Syafi'i, menyentuh perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu', sementara menurut madzhab Maliki, wudhu' si Ali tadi tidak sah, karena menurut madzhab ini wudhu' harus mengusap seluruh bagian kepala (rambut). Jadi, baik menurut madzhab Syafi'i maupun Maliki, Ali tidak boleh melakukan shalat?

Page 14: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -14 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

BAB THAHARAH (BERSUCI) Definisi Thaharah Secara etimologis (bahasa), thaharah adalah bersih dari segala kotoran, baik yang bersifat nyata/ada benda-nya, seperti kotoran yang menempel di badan, atau bersifat abstrak/tidak nampak, seperti kotoran hati; sombong, dengki, riya' dan berbagai sifat-sifat tercela lainnya. Allah berfirman:

إن الله يحب التوابني ويحب المتطهرين

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS Al Baqarah (2):222) Dalam suatu hadits disebutkan:

نظيف الطيب يحب طيب الله يقول إن المسيب بن سعيد سمعت قال انحس أبي بن صالح عن النظافة يحب

Dari Shalih bin Abi Hassan berkata, aku mendengar Sa'id bin Musayyib berkata (dari Nabi ), :"Sesusngguhnya Allah itu bersih dan menyukai kebersihan". (HR At-Tirmidzi) Sedangkan thaharah dalam pengertian syariat adalah melakukan sesuatu yang menjadi sebab bolehnya melakukan segala bentuk ibadah, baik wajib atau sunat, seperti shalat dan membaca Al Qur' an.

Tabel Dalil Ayat Al Qur’an mengenai Thaharah (bersuci)  

No.  Surat  Ayat  Keterangan 1  Al Baqarah (2)  173, 222   2  An Nisa’ (4)  43   3  Al Maa’idah (5)  6  Wudlu, Tayamum 4  Al An’am (6)  145   5  At Taubat (9)  108   6  An Nahl (16)  80,115   7  Al Waqi’ah (56)  79  Larangan Memegang Mushaf bila tidak suci 8  Al Mudatsir (74)  4    Tujuan Thaharah Menurut mayoritas ulama, tujuan thaharah ada empat: 1. Menghilangkan najis. 2. Wudhu', baik wajib, seperti wudhu' untuk shalat dan membaca al-Qur'an, atau wudhu'

sunat, seperti wudhu' sebelum mandi atau mengulangi bersetubuh dengan isainya.

Page 15: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -15 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

3. Tayamum. 4. Mandi, baik mandi wajib, seperti mandi karena junub, selesai haid/nifas atau mandi sunat,

seperti mandi karena baru masuk Islam, habis memandikan mayat, habis sembuh dari gila, mandi untuk Ihram, mandi untuk Shalat Idain, shalat jum'at atau habis mencukur rambut.

Sarana Thaharah Sesuatu yang bisa dijadikan sebagai sarana bersuci ada empat: Air ; merujuk pada nash al-Qur'an yang artinya:

من السماء ماء ليطهركم بهوينزل عليكم

"….Aku turunkan atas kalian air dari langit agar kalian bisa benuci dengannya…….." (QS. Al-Anfal [8]: 11) Juga berdasarkan pada Sunah Nabi diriwayatkan bahwa Nabi pernah berwudhu' dengan menggunakan air dari sumur Budha'ah.

يا فقلت بضاعة بئر من يتوضأ وهو النبي إلى قال انتهيت أبيه عن الخدري سعيد أبي ابن عن شيء ينجسه لا الماء إن فقال نالنت من يلقى ما فيها يلقى وهي منها الله توضأ رسول

Dari Ibn Abi Said Al Khudri dari bapaknya berkata, kami akan menemui Nabi dan ketika itu beliau sedang berwudlu di sumur Budha'ah dan aku berkata:" Ya Rasulallah, engkau berwudlu dari sumur itu dan padanya (di sekitar sumur) dijumpai bangkai busuk, maka beliau berkata : "sesungguhnya air sumur (tetap suci) (selama) tidak ada najis di dalamnya ( Musnad Ahmad, At Tirmidzi juga Sunan Nasa'i dengan teks yang hampir sama) Tanah/Debu. Landasannya adalah firman Allah yang artinya,

ا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكمصعيدفلم تجدوا ماء فتيمموا

…Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa' (4): 43). Juga berdasarkan hadis dari Abu Hurairah رضي هللا ه عن yang diriwayatkan oleh Tirmidzi: Nabi Muhammad bersabda:

وطهورا مسجدا الأرض لي جعلت"Dijadikan untuk kita (umat Muhammad) bumi sebagai masjid dan debunya sebagai alat bersuci (menyucikan). Batu. dasar hukumnya adalah berbagai hadis Nabi Muhammad , di antaranya,

ائتنـي فقال الخلاء أتى وسلم يهعل الله صلى الله رسول مسعود أن بن الله عبد عن الأسود عن رجس هي وقال الروثة وألقى الحجرين فأخذ وروثة بحجرين أحجار فأتيته بثلاثة

"Dari Aswad, dari Ibn Mas'ud رضي هللا ه عن bahwa sesunggunya Rasulullah ber-hajat dan berkata kepadaku untuk diberi tiga buah batu, maka aku beri beliau dua batu dan sebuah kotoran

Page 16: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -16 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

binatang yang kering dan keras, maka beliau ambil dua buah batu dan membuang kotoran kering sambil bersabda: " Ia najis." (Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah) Alat yang bisa menyamak. Dasarnya adalah hadits Nabi ,

عليـه الله صلى الله رسول بها فمر فماتت بشاة لميمونة مولاة على قال تصدق عباس ابن عن أكلها حرم إنما فقال ميتة إنها فقالوا به فانتفعتم فدبغتموه إهابها هلا أخذتم فقال وسلم

Dari Ibn Abbas رضي هللا عنھ ا م bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah menemukan seseorang yang sedang membuang bangkai kambing milik Sayyidah Maimunah. Lantas Nabi menegurnya, "Kenapa kalian tidak ambil saja kulitnya kemudian kalian samak dan me-manfaatkan-nya? Mereka berkata, "ini sudah menjadi bangkai wahai Rasul" Lalu Nabi bersabda, "Keharaman bangkai itu hanya untuk dimakan." (Shahih Muslim) Macam-macam Air Air diklasifikasikan menjadi empat bagian: 1. Air suci yang bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan. Jenis ini adalah yang paling baik. Selain suci, juga bisa menyucikan benda lain, memiliki banyak manfaat, seperti menghilangkan najis, hadats, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Air jenis ini disebut air muthlaq. Maksudnya adalah air yang hanya disebut "air" tanpa embel-embel (qayd/limitasi penyebutan) apa pun. Atau ada embelembel, akan tetapi tidak menetap (bisa terlepas) kama mengikuti tempat penampungannya, misalnya sebutan "air sumur" dan "air lautan; seandainya airnya dipindah ke dalam gelas, maka berubah menjadi "air gelas". Beda halnya dengan air yang memilii embel-embel yang menetap (tidak bisa terlepas), seperti "air kelapa", maka tidak bisa disebut air muthlaq. 2. Air suci dan menyucikan tapi makruh digunakan untuk tubuh, yaitu air musyammas (air yang dipanaskan dengan sinar matahari dan wadahnya bukan terbuat dari emas dan perak). Air musyammas dapat digunakan untuk mencuci pakaian. Tapi jika digunakan untuk menyucikan membersihkan tubuh, maka hukumnya makruh, sebab ditengarai dapat menimbulkan penyakit barash (semacam kusta). Hukum makruh ini bisa berubah apabila indikasi kemakruhannya sudah hilang (sudah normal kembali/tidak panas). Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain memberi beberapa syarat berkenaan dengan makruhnya menggunakan air musyammas, yaitu: 1. Berada di daerah yang suhu panasnya sangat tinggi. Hukum makruh itu tidak berlaku di

daerah daerah bercuaca dingin atau stabil; 2. Digunakan pada waktu panas; 3. Masih ada air yang tidak musyammas; 4. Waktu tidak mendesak. Jika waktu shalat sudah hampir habis dan belum menemukan air

yang tidak musyammas, maka tidak makruh, bahkan bisa wajib menggunakan air musyammas. Ketentuan ini berlaku bila penggunaan musyammas tidak menimbulkan (atau diperkirakan menimbulkan) efek yang membahayakan tubuh. Jika demikian, maka hukum menggunakannya menjadi haram dan ia wajib bersuci dengan cara tayamum; 6) jelas tidak menyebabkan dampak negatif bagi pengguna air tersebut dan juga tidak ada dugaan kuat mengenai pengaruh negatif itu.

3. Air suci tapi tidak bisa menyucikan benda lain,

yaitu air musta'mal (air yang sudah digunakan untuk bersuci/habis pakai).

Page 17: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -17 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Faktor yang menyebabkan air menjadi musta'mal ada dua: 1. Air sedikit (tidak sampai dua qullah) yang sudah dibuat menghilangkan bau atau najis. Air

yang digunakan menghilangkan najis dihukumi musta'mal bila tidak berubah dan timbanganya tidak bertambah dari ukuran semula setelah menghitung air yang diserap oleh benda yang dibasuh.

2. Air yang sudah berubah salah satu sifamya (rasa, warna dan baunya) sebab tercampur benda suci (mukhalith yaitu Benda yang tidak bisa dipisah (dipilah) dari air seperti sabun, cuka, dan lain-lain) dengan perubahan yang dapat merusak nama air, baik perubahan itu dapat diindra, seperti berubah sebab sabun, atau dengan perkiraan, seperti berubah sebab sesuatu yang sifatnya sama dengan air.( Air yang berubah sebab berdiam yang lama tetap dapat menyucikan, demikian juga bila berubah sebab lumut, debu, garam laut, dan kotoran kaki di jeding tempat berwudhu.)

Air musta'mal bisa kembali menjadi air yang menyucikan bila ditambah dengan air lain sehingga mencapai tidak kurang dari dua qullah dan menghilangkan sebab-sebab perubahan sifat air di atas. Empat, air najis, yaitu: 1. Air yang tidak sampai dua qullah dan terkena najis, baik sampai mengubah sifat air atau

tidak; 2. Mencapai dua qullah atau lebih dan terkena najis sampai mengubah salah satu sifat air itu

(warna, rasa atau baunya). Air najis bisa kembali menjadi suci dan menyucikan bila ditambah dengan air lain sehingga tidak kurang dari dua qullah atau menghilangkan perubahan sifat air di atas.

Ukuran (Volume) Air Berkenaan dengan thaharah, adalah perlu dijelaskan mengenai ukuran air sedikit dan air banyak. Air sedikit adalah air yang tidak mencapai dua qullah. Sedangkan yang dimaksud air banyak adalah air yang sudah mencapai ukuran dua qullah. Jika diperkirakan dengan ukuran liter, dua qullah = 190 liter (satu qullah = 95 liter). Dalam Fath al Qadir fi 'Aja'ib al Maqadir, kyai Ma'shum menjelaskan bahwa dua qullah menurut satuan volume versi an-Nawawi = 174,580 liter; sedangkan dua qullah menurut satuan volume versi ar-Rafi'i = 176,245 liter Thaharah (bersuci) ada dua macam: bersuci dari kotoran /najis dan bersuci dari hadats. Bersuci dari Najis Dalam hal ini, Allah berfirman:

وثيابك فطهر

Dan pakaianmu, bersihkanlah (QS. Al- Muddatstsir (74): 4) Dan baca juga (QS. Al-Baqarah [2]: 222) Rasulullah bersabda:

الإميان شطر ورالطه وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال الأشعري مالك أبي عنDari Abi Malik al Asyari berkata, telah bersabda Rasulullah : "Bersuci merupakan separuh dari iman." (HR. Muslim)

Page 18: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -18 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Secara bahasa, najis adalah sesuatu yang menjijikkan. Sedang dalam istilah syara', najis adalah sesuatu yang dapat mencegah sahnya shalat pada saat tidak ada rukhshah (keringanan yang memperbolehkan melakukan shalat dalam keadaan tidak suci. Berdasarkan berat-tidaknya, najis dikelompok-kan menjadi tiga: 1. Najis mughaladhah, yaitu anjing, babi, dan hewan lain yang lahir dari hubungan kedua

hewan tersebut, baik dengan hewan sejenis maupun dengan hewan lain. 2. Najis mutawassithah, adalah najis selain dua tipe sebelumnya, seperti kotoran dan

kencing hewan. 3. Najis mukhaffafah, yaitu kencingnya bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi apapun

selain ASI (Air Susu Ibu) dan belum mencapai umur dua tahun. Sedangkan berdasarkan sifatnya, najis dibagi menjadi dua: 1) najis 'ainiyah, yaitu najis yang rasa, warna atau baunya bisa dideteksi oleh indera; 2) najis hukmiyah, yaitu najis yang rasa, wama dan baunya - sudah hilang (tidak terdeteksi oleh indera). Cara Menghilangkan Najis Cara mensudkan benda yang tertimpa najis ada tiga macam, sesuai dengan tingkat berat-tidaknya najis: 1.Cara menghilangkan najis mughalladhah: benda najisnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian dibasuh sebanyak tujuh kali, dan salah satu dari basuhan tersebut harus dicampur dengan debu. Apabila setelah tujuh basuhan itu najisnya masih belum hilang, maka tujuh basuhan tersebut dianggap satu basuhan dan harus menambah enam basuhan lagi. Penjelasan: 1) Basuhan yang menghilangksn henda najis dianggap satu basuhan sekalipun berkali-Mi dan harus ditambah enam kali basuhan yang salah satumya dicampuri dengan debu; 2) Air yang mengandung debu tidak perlu diberi debu lagi. 2. Cara menghilangkan najis mutawasithah ada dua: 1) bila najisnya bempa 'ainiyah, maka harus dibasuh sampai menghilangkan benda najis dan sifat. sifatnya (rasa, bau dan wamanya). Bila temyata wama atau bau najis (bukan rasa) itu sulit dihilangkan, maka tempat yang tertimpa najis dihukumi ma'fu. Batasan sulit di sini adalah jika setelah dibasuh dan digosok dengan air sampai tiga kali, sifat tersebut belum bisa dihilangkan. 2) bila najisnya berupa najis hukmiyah, maka cukup dengan mengalirkan air. - Demikian juga najis 'ainiyah yang hanya tinggal warna atau baunya saja.' (Bila air nya sedikit (tidak sampai dua qullah), maka semua ketentuan ini harus dilakukan dengan cara al Ma'warid (air disiramkan ke benda yang terkena najis, bukan bendanya yang dicelupkan ke dalam air). Dan, bila dengan satu kali basuhan masih belum dapat menghilangkan benda dan sifat-sifat najisnya, maka harus diulangi sampai bisa hilang.) 3. Cara menghilangkan najis mukhaffafah, benda najisnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian percikkan air ke tempat yang terkena najis (air-nya menggenangi tempat najis sekalipun tidak mengalir).

Page 19: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -19 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Benda-benda yang Najis 1. Sesuatu yang keluar dari tubuh manusia Segala sesuatu yang keluar dari badan manusia yang keluarnya mewajubkan wudhu, atau mandi adalah najis. Sepeti kencing, buang air besar, madzi, wadi, darah haid, darah nifas, darah istihadhah, darah yang mengalir dari luka, dan darah yang sedikit adalah dimaafkan, sebagaimana nanah (lihat najis Ma'fu). Sedangkan mani, menurut Abu Hanifah dan Malik adalah najis; sedangkan menurut pendapat Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal, dalam dua riwayat yang paling sahih dari padanya, yaitu Madzhab Zhahiri, mani itu suci. Imam Nawawi menisbatkan kesucian mani kepada para fuqaha, disamping menisbatkannya kepada para ahli hadith. Dia berkata: Pendapat ini diriwayatkan daripada Ali Ibn Abi Thalib., Saad Ibn Abi Waqqash, Ibn Umar معنه الله رضي dan Aishah اعنه الله رضي

2. Darah yang Mengalir 1. Darah yang mengalir, yang berasal dari manusia, lelaki mahupun perempuan, dan darah

binatang lainnya adalah najis. 2. Darah kutu busuk dan udang adalah tidak najis. 3. Darah yang tetap berada di dalam daging dan urat setelah disembelih tidak dianggap najis,

karena ia bukan merupakan darah yang mengalir (masfuh). 3. Sesuatu yang Keluar daripada Badan Binatang Segala sesuatu yang keluar daripada binatang, kencing, dan kotorannya, hukumnya berbeda-beda seperti berikut: 1. Kencing binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis, begitu pula kotorannya. 2. Kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan, terdapat sebagian ulama yang mengatakan

bahwa ia adalah najis; seperti Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan Abu Yusuf. Kebanyakan para fuqaha mengatakannya suci; seperti Imam Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaibani, Al-Nakhai, Al-Auzai, Al-Zuhri, Malik (Maliki) dan Ahmad (Hanbali).

3. Kotoran binatang yang dagingnya boleh dimakan, menurut pendapat kalangan Ulama (Madzhab Hanafi), adalah suci. Begitu pula pendapat Maliki. Sedangkan ulama-ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia adalah najis. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak najis kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya ini didukung oleh Ibn Taimiyyah, dengan menyebutkan berbagai-bagai dalil untuk itu. Begitu juga halnya Al-Syaukani. Dia mengajukan hujjah bahwasanya permulaan kedua hal itu adalah suci; sedangkan najis merupakan hukum syariat yang tidak dapat diterima kecuali disertai dengan dalil syariat yang benar. Dan dalil itu tidak ada sehingga kita harus berpegang kepada asas permasalahannya, dan permulaan hukumnya yang bebas(al-baraah al-ashliyyah).

4. Kotoran Burung Kotoran burung yang tidak terbang diudara, seperti ayam dan itik adalah kotoran yang najis; karena adanya kandungan makna najis di dalamnya, dengan alasan bahwa sesuatu yang mulanya bersih dapat berubah menjadi kotor dan berbau setelah terkena oleh kotorannya. Sedangkan kotoran burung yang terbang di udara digolongkan kepada dua jenis; golongan burung yang boleh dimakan dagingnya, seperti merpati serta burung-burung lainnya, kotorannya adalah suci; dan burung-burung yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti burung elang, rajawali, dan sejenis dengannya, maka menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf kotorannya adalah suci, karena dianggap sebagai sesuatu yang dharurat. Sebab burung-burung yang membuang kotorannya di udara sehingga kita tidak mungkin melindungi baju dan tempat-tempat kita daripada kotorannya. Sedangkan Imam Muhammad Ibn Al-Hasan berkata: Kotorannya najis karena adanya kandungan makna najis di dalam kotoran tersebut, karena sesuatu yang mulanya bersih dapat berubah menjadi kotor dan berbau setelah terkena olehnya.

Page 20: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -20 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

5. Khamar Di dalamKitab al-Mughni, oleh Ibn Qudamah Al-Hanbali dikatakan bahwa khamar itu najis menurut pendapat umum para ulama.Dan setiap hal yang memabukkan adalah haram dan najis. Mereka mengemukakan hujah daripada firman Allah . Dalam Surah Al-Maidah 5:90) Perbuatan keji (rijs) adalah najis, karena sesungguhnya ia diharamkan. Pengharaman yang bukan dimaksudkan sebagai suatu penghormatan merupakan dalil najisnya sesuatu yang diharamkan itu. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan perbuatan keji (rijs) dalam ayat al-Quran al-Karim tersebut adalah keji secara maknawi. Dengan dalil bahwasanya keji merupakan predikat untuk khamar dan benda-benda yang disebutkan bersamaan dengannya dalam ayat tersebut. Benda-benda tersebut tidak disifati dengan najis. Oleh sebab itu, berhala-berhala itu hanyalah keji darisegi maknawi dan tidak membuat najis bagi orang yang menyentuhnya. Al-Shan'ani, dalam Subul al-Salam berkata: ”Pada hakikatnya, mula-mula pada asasnya semua benda itu suci, dan pengharaman terhadap benda tersebut tidak mengharuskan penajisannya. Oleh sebab itu ganja yang diharamkan, bahan asasnya tetap suci. Begitu pula halnya dengan semua jenis narkoba, dan racun-racun yang mematikan; sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah barang yang najis. ” Sedangkan benda-benda yang dianggap najis adalah benda yang diharamkan. Pada dasarnya setiap benda yang najis itu diharamkan, dan tidak semua benda yang diharamkan itu najis. Karena sesungguhnya hukum yang berlaku di dalam hal-hal yang najis ialah larangan untuk menyentuhnya. Hukum yang menetapkan bahwa suatu benda yang dianggap najis adalah haram untuk dimakan sebaliknya hukum yang menetapkan haramnya suatu benda tidak berarti bahwa benda itu najis. Sebagai contoh ketetapan hukum haramnya memakai/menggunakan sutera dan emas terhadap kaum lelaki, tidak mengubah status kedua benda itu, karena keduanya tetap dianggap suci. Apabila anda mengetahui perkara ini, maka pengharaman himar yang jinak dan khamar yang ditunjukkan oleh nash, tidak menyebabkan bahwa keduanya adalah najis. Kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan kenajisannya. Jika tidak ada maka kedua benda itu, seperti disepakati bersama, tetap dianggap sebagai suatu benda yang suci.

6. Bangkai Binatang Terdapat berbagai kategori bangkai binatang. Dan setiap kategori ada hukumnya dari segi najis ataupun sucinya sebagai berikut: 1. Binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti lalat dan lain-lain, tidak menjadi

najis apabila ia telah mati. Akan tetapi binatang sejenis ini (yang tidak memiliki darah yang mengalir) yang muncul daripada najis, seperti cacing, maka dia dianggap najis, sama ada ketika ia masih hidup ataupun setelah ia mati. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh para pengikut Madzhab Hanbali.

2. Binatang yang mempunyai darah yang mengalir, dibagi tiga jenis: Binatang yang bangkainya boleh dimakan, yaitu ikan dan binatang laut lainnya, yang tidak

hidup kecuali di dalam air adalah suci, sama ada ketika ia hidup mahupun sesudah mati. Binatang yang bangkainya tidak boleh dimakan (selain manusia) seperti binatang yang

boleh dimakan dagingnya, maka bangkainya adalah najis. Manusia tetap suci, sama ada ketika dia hidup mahupun setelah dia meninggal dunia.

Sebab terdapat hadith dari nabi

Page 21: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -21 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Orang mukmin itu tidak najis. Para pengikut Madzhab Hanbali mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara seorang Muslim dan kafir dalam masalah ini; yakni adanya anggapan tidak najis setelah dia meninggal dunia; karena keduanya adalah manusia belaka. Sedangkan Ibn Qudamah Al-Hanbali berkata: Akan tetapi ada kemungkinan bahwa orang kafir itu menjadi najis setelah dia meninggal dunia, karena sesungguhnya hadith Nabi yang mulia hanya berkaitan dengan orang Muslim sahaja, dan kita tidak boleh mengkiaskan orang kafir kepadanya; karena sesungguhnya orang-orang kafir tidak disolatkan ketika meninggal dunia dan dia tidak memiliki kehormatan seperti kehormatan yang dimiliki oleh orang Muslim. Sedangkan hukum bagian-bagian tubuh manusia adalah sama dengan hukum tubuh badan secara menyeluruh, sama ada yang dipotong ketika ia masih hidup mahupun setelah dia meninggal dunia, bagian tubuh merupakan sebagian daripada keseluruhan badan. 3. Bagian-bagian tubuh bangkai yang terdapat darah seperti daging dan kulit dianggap najis;

karena terdapat darah yang tersembunyi di dalamnya yaitu darah yang masfuh. Sedangkan bagian-bagian tubuh yang tidak ada darahnya jika ia padat seperti tanduk, tulang, gigi, kuku, kuku kaki, rambut, bulu, dan lain-lain, maka terdapat tiga pendapat para ulama dalam hal ini: a. Semuanya dianggap najis. Ini merupakan pendapat yang terkenal daripada Madzhab

Syafii, sebagaimana diriwayatkan daripada Imam Ahmad Ibn Hanbal. b. Sesungguhnya tulang, dan lain-lainnya adalah najis. Sedangkan rambut dan benda-benda

yang sejenisnya adalah suci. Pendapat ini dikenali sebagai pendapat madzhab Malik dan Ahmad.

c. Semuanya dianggap suci. Ini adalah pendapat Abu Hanifah; tetapi terdapat juga Madzhab Maliki dan Hanbali yang berpendapat seperti itu. Pendapat di atas; seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah; adalah benar; seraya menyebutkan berbagai dalil yang menunjukkan kebenarannya.

4. Susu dan lemak bangkai adalah najis menurut Madzhab Hanbali. Begitu pula pendapat Madzhab Malik dan Syafii. Diriwayatkan daripada Ahmad bahwasanya ia adalah suci, dan begitu pula pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Hujjah terhadap pendapat ini adalah bahwasanya para sahabat ضي اهللا عنهمر pernah memakan keju ketika mereka memasuki Lembah Persia; dan keju ini diperbuat daripada lemak yang diambil dari anak kambing, yang kedudukannya sama dengan lemak, dan binatang sembelihan mereka dianggap sebagai bangkai. Pendapat yang terakhir ini didukung oleh Ibnu Taimiyyah, sekaligus menunjukkan kebenarannya.

5. Bagian tubuh yang dipotong ketika binatang itu masih hidup adalah najis, jika di dalam

daging itu terdapat darahnya. Dan jika tidak terdapat darahnya, seperti rambut dan bulu, maka ia dianggap suci.

6. Babi dan Anjing, Babi adalah najis secara substantif. Bulunya dan anggota-anggota tubuhnya yang lain tidak boleh digunakan suntuk sebarang tujuan karena ia adalah najis. Begitu pula anjing. Ia juga najis secara substantif seperti halnya babi menurut sebagian ulama. Akan tetapi, menurut sebagian ulama yang lain ia bukanlah najis substantif, dan digabungkan dengan binatang-binatang lainnya yang tidak boleh dimakan dagingnya, selain babi.

7. Binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya kalau disembelih, Binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, sekiranya disembelih, maka dagingnya adalah najis dan tidak boleh dimakan. Dalilnya, adalah hadith Anas yang mengatakan :

"Kami mendapat daging himar jinak pada masa peperangan Khaibar. Kemudian muadzdzin Rasulullah mengumandangkan: Sesungguhnya Allah . dan Rasul-Nya melarang kamu untuk memakan daging himar (jinak) karena sesungguhnya ia najis."

Page 22: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -22 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Bekas Minuman (al-As'ar) Al-As'ar adalah jamak kepada perkataan su'r yang ertinya adalah bekas minuman. Hukum bekas minuman ini berbeda dari segi najis dan sucinya bekas minuman itu sendiri, sebagai berikut:

1. Bekas minuman orang adalah suci, sama ada dia Muslim atau kafir, menurut pendapat para ulama'.

2. Bekas minuman binatang yang dagingnya boleh dimakan adal suci. Semua ulama' sepakat bahwa bekas minuman binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, dan boleh diminum serta digunakan untuk bersuci, seperti berwudhu'.

3. Bekas minuman kucing dan binatang yang sejenisnya yang lebih kecil, seperti tikus, adalah suci dan boleh diminum dn digunakan untuk berwudhu'. Hukumnya tidak makruh. Begitulah pendapat kebanyakan para sahabat dan tabi'in. Dalam sebuah hadith Nabi S.A.W yang mulia, berkenaan kucing disebutkan yang bermaksud:

"Ia tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang suka berkeliaran sekitar kamu."

Diriwayatkan daripada 'Aisyah رضي اهللا عنها berkata:

"Saya melihat Rasulullah berwudhu' dengan bekas air minumnya atau dengan bekas minuman kucing. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya)

4. Bekas minuman anjing dan babi adalah najis.Begitulah pendapat Madzhab Hanbali, Syafi'i, dan Abu Hanifah. Malik, Al-Auza'i, dan Dawud berkata: "Bekas minuman kedua binatang itu tetap suci, dan ia boleh digunakan untuk berwudhu' dan minum. Dan kalau kedua binatang itu menjilat makanan, maka makanan itu tidak haram dimakan."

5. Bekas air minuman binatang buas lainnya - selain kucing dan binatang yang lebih kecil daripadanya - begitu pula burung yang mempunyai cakar, himar jinak dan keldai adalah najis sebagaimana diriwayatkan daripada Imam Ahmad Ibn Hanbal. Diriwayatkan daripada Ahmad bahwa dia berkata tentang Ahmad bahwa dia berkata tentang keldai dan himar: "Kalau seorang Muslim tidak menemukan air selain bekas air minum kedua binatang tersebut maka dia harus bertayamum." Sebagian ulama' berkata: "Bekas air minuman binatang buas itu tidak apa-apa, karena sesungguhnya 'Umar Ibn Khattab رضـي اهللا عنـه berkata tentang binatang buas. 'Binatang-binatang itu keluar kepada kita dan kita juga akan datang kepada mereka."

Diriwayatkan pula bahwasanya Nabi yang mulia ditanya tentang air telaga yang ada di antara Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah yang sentiasa air itu digunakan untuk bersuci? Nabi yang mulia menjawab :

"Bagi binatang-binatang itu apa yang ada di dalam perutnya, dan bagi kita apa yang ditinggalkan oleh binatang tersebut, adalah suci. Ini berarti, "bagi kita apa yang ditinggalkan" ialah apa yang tersisa bagi kita adalah suci untuk kita gunakan, mengikut pendapat Al-Hasan, 'Atha', Az-Zuhri, Yahya Al-Anshari, Rabi'ah, Malik, Syafi'i, dan para ulama' lainnya.

Pada dasamya, najis di badan, pakaian dan tempat ibadah itu harus disucikan. Namun, apabila terlalu sulit untuk dihindari ('umum al-balwa), maka najis di- ma'fu, yakni tidak mempengaruhi terhadap sah-nya suatu ibadah.

Page 23: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -23 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Najis Ma'fu Di antara najis-najis yang di-ma'fu itu adalah: 1. Lumpur jalan raya yang dipastikan najis, sekalipun najisnya terdiri dari najis

mughaladhah, seperti najisnya anjing atau babi. 2. Najis-najis yang menutupi jalan umum yang biasa dilalui orang, seperti kotoran hewan

yang merata di tengah jalan. 3. Air hujan atau sisa-sisanya yang bercampur dengan benda najis. 4. Jalan menuju masjid yang banyak najisnya, walaupun najis itu terjadi sebab sering

ditiduri anjing/babi atau yang lain. 5. Darah hijamah (pembekaman), suntik, luka-luka, dan bisul yang diakibatkan oleh

perbuatan orang lain (keluarnya darah bukan akibat perbuatannya sendiri). 6. Darah sedikit yang berasal dari orang lain, asalkan bukan berasal dari najis mughalladhah. 7. Darah kutu atau nyamuk, baik sedikit atau banyak. 8. Kotoran burung yang mengotori masjid. Kotoran ini menjadi ma'fu dengan syarat

merata pada seluruh tempat shalat, tidak basah, baik dari mushalli /orang yang shalat maupun najisnya, dan tidak ada unsur kesengajaan ketika tertimpa najis itu.

9. Kotoran burung yang ada di sekitar tempat wudhu' masjid (kran air atau pancuran). 10. Mulut anak kecil yang najis akibat muntah atau yang lain, kemudian menyusu dari tetek

ibunya atau mengena benda yang lain, maka najis di tetek ibu atau benda lain itu di-ma'fu (secara garis besar bisa dinyatakan bahwa semua najis yang biasanya tidak mungkin atau sangat sulit untuk dihindari, maka najis tersebut dihukumi ma'fu) Bersuci dari hadats Bagian yang kedua dari thaharah adalah bersuci dari hadats. Sebagaimana bersuci dari najis, bersuci dari hadats juga harus dilakukan sebelum mengerjakan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat, thawaf, memegang al-Qur'an dan sebagainya. Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصالة فاغسلوا وجوهكمWahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajah kalian ... (QS. Al-Ma'idah (5): 6). Bersuci dari hadats ada tiga macam, yaitu tayamum, wudhu' dan mandi (ghasl). Tayamum Tayamum merupakan dispensasi (rukhshah) dan kemurahan dari Allah yang hanya dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad . Menurut Sejarah, tayamum disyariatkan pada tahun ke4 hijriah. Diriwayatkan dari Imam Muslim, bahwa Sayidah Aisyah radhiyallahu 'anha meminjam kalung kepada Asma'. Kalung itu kemudian hilang. Lalu Rasulullah menyuruh beberapa orang sahabat untuk mencarinya. Ketika waktu shalat tiba, mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu'. Sekembalinya, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi . Tidak lama kemudian turunlah ayat tayamum yang berbunyi ... Maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). (QS. An-Nisa' [41: 43) Secara bahasa, tayamum berarti "sengaja berbuat". Sedangkan dalam istilah syara' (terminologi syara'), tayamum berarti mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudhu' atau mandi.

Page 24: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -24 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Sebab-sebab diperbolehkannya tayamum adalah: 1. Tidak ada air, atau ada tapi tidak cukup untuk dibuat wudhu' atau mandi. 2. Sebagian anggota tubuh yang wajib dibasuh terkena penyakit atau luka yang tidak boleh

terkena air. 3. Bila air yang dibuat bersuci tidak cukup untuk membasuh anggota wudhu', maka

wudhu-nya harus disempurnakan dengan tayamum. Dalam hal ini, tayamum harus dilakukan setelah wudhu' (wudhu' dulu, lalu jika air-ya tidak cukup, maka harus disampurnakan dengan tayamum).

Penyakit yang menjadi pemicu/penyebab diperbolehkannya ber-tayamum yaitu: 1. Penyakit atau luka yang bertambah parah jika terkena air; menimbulkan penyakit baru,

lama untuk bisa sembuh, atau menurut dokter dapat mengakibatkan cacat. 2. Penyakit atau luka itu memerlukan pembalut sebagai pelindung, seperti patah tulang dan

luka parah. Pembalut tidak mungkin untuk dibuka pada saat bersuci. Syarat syarat Tayammun Syarat-syarat tayamum adalah sebagai berikut: 1. Yakin bahwa waktu shalat sudah masuk, 2. Setelah masuk waktu shalat harus mencari air dahulu. Ketentuan ini tidak berlaku bila

sudah yakin tidak ada air atau tayamumnya disebabkan sakit, 3. Menghilangkan najis dari badan. Fardhu-nya tayamum Niat kemudian Memindah debu ke wajah dan kedua tangan, Contoh niat tayamum untuk ibadah fardhu:

ةال الصفرض ةاحبتسإ لمميلت اتيو(Saya niat tayamum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu). Contoh niat tayamum untuk ibadah sunah:

ةال الصلف نةاحبتسإ لمميلت اتيون (Saya niat tayamum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat sunat) Mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua tepukan tangan ke tanah: yang pertama untuk wajah dan yang kedua untuk kedua tangan, Melakukan fardhu-fardhu di atas sesuai urutannya (tartib). Sunat-sunat tayamum 1. Menghadap kiblat, 2. Bersiwak, 3. Tidak mengulangi usapan, 4. Bersegera, 5. Mendahulukan anggota kanan, 6. Mendahulukan wajah bagian atas, 7. Menipislean gumpalan debu di telapak tangan dengan ditiup atau dikibaskan, 8. Melepas cincin pada tepukan pertama.

Page 25: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -25 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

Yang Membatalkan Tayamum 1. Semua hal yang manbatalkan wudhu', 2. Melihat/menemukan air atau memiliki asumsi/dugaan bahwa ada air sebelum

melaksanakan shalat, 3. Murtad. Tayamum sebagai penyempurna wudhu' Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bila anggota wdhu' terdapat luka atau penyakit (baik ada penghalang dari air atau tidak), maka wudhu'nya harus disempurnakan dengan tayamum. Adapun cara berwudhu'nya masih perlu dirinci sebagai berikut: Pertama, bila pada anggata wudhu' yang terluka terdapat satir/penghalang (perban, pembalut, plaster, dan sesamanya), maka harus dilepas bila memungkinkan, kemudiin dibasuh atau diusap dengan debu. Bila tidak dilepas maka thaharahnya tidak sah. Namun bila tidak mungkin dilepas, maka bagian yang tidak sakit harus dibasuh dengan air hingga di pinggir penghalang. Cara membasuh bagian sekitar luka adalah dengan menggunakan kain basah, ditempelkan ke pinggir penghalang dengan sedikit ditekan supaya ada air yang mengahr, atau bisa dengan diperas sedikit. Setelah itu lakukanlah tayamum sebagai pengganti dari basuhan anggota wudhu' (bagian) yang sakit / terluka. Thaharah semacam ini tetap harus dilakukan sesuai dengan urutannya (tertib). Jadi, tayamum harus dilakukan dalam urutan anggota wudhu' yang terluka. Misalnya: anggota badan yang terluka adalah bagian tangan, maka yang pertama kali dilakukan adalah membasuh muka, kemudian membasuh bagian tangan yang tidak luka, kemudian bertayamum ketika sampai pada bagian yang terluka, setelah itu melanjutkan kembali wudhu'-nya dengan menggunakan air. Kedua, bila tidak memakai satir, maka cara wudhu'mya adalah membasuh anggota wudhu' bagian yang tidak sakit. Ketika membasuh bagian di sekitar luka, maka gunakan kain basah dengan cara seperti di atas. Kemudian melakukan tayamum dan debunya harus diusapkan ke anggota bagian yang terluka, jika memang langkah demikian tidak menimbulkan akibat yang berbahaya. Bila anggota wudhu' yang luka lebih dari satu maka tayamumnya hatus dilainikan beberapa kali, sesuai jumlah anggota yang luka, demikian itu jika lukanya tidak merata dan di antara anggota tersebut wajib tartib. Contoh: lukanya terletak pada wajah dan tangan. Bila lukanya merata pada wajah dan tangan, maka cukup melaksanakan tayamum satu kali, jika tidak merata maka harus tayamum dua kali. Tayamum sebagai penyempurna mandi Ketentuan penyempurnaan dengan tayamum dalam mandi tidak jauh berbeda dengan wudhu'. Hanya ada beberapa ketentuan yang berbeda, yaitu: 1. Tidak harus berurutan (tartib) sebagaimana dalam wudhu'. Jadi, boleh mendahulukan

yang mana saja antara tayamum dan mandi, sebab dalam konteks ini, anggota tubuh

Page 26: Ngaji Fiqh 4 Madzhab - Ikasmanca Jkt

(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -26 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com

dianggap satu. Namun yang lebih utama mendahulukan tayamum kemudian mandi, agar bekas debu tayamum dapat dihilangkan dengan air.

2. Cukup tayamum satu kali untuk anggota yang terluka lebih dari satu, bahkan seandainya seluruh anggota tubuhnya terluka atau terkena penyakit, maka cukup tayamum satu kali.

3. Jika ingin mengejakan shalat fardhu untuk kedua kalinya dan ia belum berhadats kecil, maka tidak perlu mengulangi mandinya, cukup tayamum saja, kecuali bila yang terluka adalah anggota wudhu'.

4. Bila yang terluka bukan anggota wudhu' dan dia hadats kecil, maka cukup melakukan wudhu' (tidak - perlu melakukan tayamum lagi) untuk melaksanakan shalat fardhu yang kedua kali dan seterusnya.

Hukum Shalatnya Hukum shalat dari orang yang salah satu anggota wudhu'-nya terluka kemudian sesucinya disempurnakan dengan tayamum, adalah sebagai berikut: Pertama: apabila anggota yang terluka tidak memakai penutup yang berupa bilah (jabirah) atau plaster (lushuq), maka: Shalatnya tidak wajib diulangi apabila debu bisa sampai kepada luka sekalipun luka itu ada di anggota tayamum; Shalatnya wajib diulangi, apabila lukanya berada di anggota tayamum dan debu tidak bisa sampai pada luka tersebut. Kedua, apabila bagian yang terluka memakai penutup, jika penutupnya berada di anggota tayamum, maka wajib mengulangi (i'adah) shalatnya secara mutlak. Apabila berada di selain anggota tayamum, maka: Wajib i'adah apabila bilahnya menutupi bagian yang tidak terluka melebihi kadar yang diperlukan untuk mengikat bilah itu sendiri, baik diletakkan dalam keadaan suci atau hadats. Atau, bilahnya menutupi bagian yang tidak terluka, tidak melebihi dari kadar yang diperlukan untuk mengikat bilah itu sendiri, tapi diletakkan dalam keadaan -hadats, Tidak wajib i'adah apabila bilahnya tidak menutupi bagian yang tidak terluka, baik diletakkan dalam keadaan suci ataupun hadats. Atau, bilahnya menutupi bagian yang - masih sehat, namun hanya sekadar keperluan untuk mengikat saja dan meletakkannya dalam keadaan suci. '' Shalat yang wajib i'adah hukumnya adalah shalat li hurmat al waqt. Maraji'/referensi: Fiqh Madzahibul Arba’ah – Syeikh Abdurrahaman Al Jazairi Fikih Kita di Masyarakat, Pustaka Sidogiri -KH Abdurrahman Syakur Sudah Benarkah Shalat Kita?- Gus Arifin