new kreativitasstaffnew.uny.ac.id/upload/132243650/penelitian/seni dan... · 2020. 9. 12. ·...

21

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • K R E AT I V I TA S& KEBANGSAAN

    Seni Menuju Paruh Abad XXI -36

    ProsidingSeminar Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta

    Badan Penerbit ISI Yogyakarta

  • KREATIVITAS & KEBANGSAANSeni Menuju Paruh Abad XXI - 36Prosiding Seminar Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta

    Editor:Mikke SusantoM. Kholid Arif RozaqZulisih Maryani

    Desain SampulEdi Jatmiko

    Desain IsiOscar SamaratunggaTim Penerbit Ombak

    Ukuran buku 19 cm x 27 cm xxiv + 553 hlm ISBN: ISBN: 978-602-6509-64-2Cetakan I: Agustus 2020

    Diterbitkan oleh: Badan Penerbit ISI YogyakartaJl. Parangtritis Km 6,5 Sewon, Bantul, Yogyakarta 55187Telp./Faks (0274) 384106

  • KREATIVITAS & KEBANGSAANSeni Menuju Paruh Abad XXI - 36Prosiding Seminar Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta

    Panitia PelaksanaPenasihatRektor ISI Yogyakarta

    Penanggung JawabPembantu Rektor I ISI Yogyakarta

    Ketua Muhammad Fajar Apriyanto, M.Sn.

    Wakil KetuaLatief Rakhman Hakim, M.Sn.

    SekretarisDr. Umilia Rokhani, S.S., M.A.Dra. Esti Hapsari Saptiasih

    BendaharaHeningtyas Widowati, S.Pd.Sugiyarti

    Koordinator SeminarDr. Mikke Susanto, M.A.

    Koordinator FSPJoanes Catur Wibono, M.Sn.

    Koordinator FSRDr. Noor Sudiyati, M.Sn.

    Koordinator FSMRAgnes Karina Pritha Atmani, M.T.

    HumasAji Susanto Anom, M.Sn.Sumarno, S.I.P.

    PublikasiOscar Samaratungga, S.E., M.Sn.Edi Jatmiko, S.Sn., M.Sn.

    ReviewerProf. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum.Dr. St. Hanggar Budi Prasetya, S.Sn., M.Si.

    Steering CommitteeDr. Komaruddin Hidayat, M.A.Dr. Nasir Tamara, M.A.Farah Pranita Wardani, M.A.

  • iv

    DAFTAR ISIix

    Sambutan Rektor Institut Seni Indonesia Yogyakarta

    xiiiSambutan Ketua Panitia

    Dies Natalis ke-36 ISI Yogyakarta

    xvPengantar Editor

    Ke Mana Kreator Berlabuh?

    A. Kebangsaan & Praktik Kreatif

    3Aktivasi Memori Bahagia Sebagai Pemantik Kreativitas Penciptaan

    Karya Seni Anang Prasetyo

    13Konsep Partisipatori Seni dan

    Nilai-Nilai Gotong Royong Bangsa I Wayan Sujana

    Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana

    25Gunung Kembar:

    Fenomena Gambar Anak Indonesia di Tengah Revolusi Industri 4.0

    Eko Wahyudi

    39Merancang Galeri Seni Virtual dengan Memanfaatkan Fotografi 3600

    Arif Ranu Wicaksono

    53Nilai Kebangsaan dalam Kreativitas Tari Karwar: Dari Tradisi ke Augmented RealityIBG. Surya Peradantha

    Wanda Listiani

    Sri Rustiyanti

    Fani Dila Sari

    71Penguatan Ketahanan Budaya Daerah dan Identitas Bangsa Melalui Rekonstruksi Tari Legong Tombol di Desa Banyuatis, BaliIda Ayu Wimba Ruspawati

    87Kreativitas Pembelajaran Batik pada Era 4.0Farid Abdullah Aneeza Mohd Adnan

  • v

    99Aktualisasi Diri Perempuan Perupa Indonesia dalam Pandemi Covid-19

    Ira AdriatiIrma DamajantiWilly Himawan

    109Karnaval Fesyen sebagai

    Pembangun Semangat KebangsaanSuharno

    119Proses Kreatif Kekaryaan Seni

    Grafis “Studio Raja Singa” dalam Mengurai Sejarah Indonesia

    Nur Iksan

    137Pendidikan Seni dan

    Nilai KemanusiaanKardi Laksono

    B. Sejarah & Konsepsi Budaya

    157Kreativitas dalam Keberagaman

    Literasi Budaya sebagai Aset Kearifan Lokal Daerah

    Sri Rustiyanti

    171Bencana Alam Masa Jawa Kuno (Abad Ke-8—10 M): Mitigasi dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kebudayaan Agus Aris Munandar

    203Mitos Tubuh SelebgramAa Nurjaman

    219Hermeneutika Mataram Islam dari Tulisan Kembali ke PergelaranIkun Sri Kuncoro

    229Di Balik Ragam Liukan Penggunaan Bentuk Aksara KunaSinta Ridwan

    251Edhi Sunarso: Di Antara Sukarno dan Soeharto Asvi Warman Adam

    261Seni dan Problem DenasionalisasiKasiyan

  • 261

    SENI DAN PROBLEM DENASIONALISASI

    ABSTRAK

    Seandainya ada alasan yang dianggap mendasar ketika seni seyogianya layak diperhitungkan di sepanjang sejarah peradaban, di antaranya adalah dikarenakan potensi dayanya yang diyakini mampu berperan sebagai agen pencerahan. Pencerahan sebagaimana dimaksud baik dalam konteks personal maupun komunal, misalnya berkelindan dengan domain kebangsaan, terutama melalui pelbagai representasi konstruksi dan reproduksi wacana yang diperankan. Namun, fakta otentiknya adalah tidak selama demikian halnya. Seni acapkali, meski juga kerap tidak disadari, justru menjelma di posisi dan peran yang sebaliknya, yakni menjadi agen bagi denasionalisasi bagi diri bangsanya. Dalam konteks Indonesia, misalnya, fenonema itu dapat diverifikasi dalam historiografi yang berbasiskan baik praktik wacana maupun wacana praktik yang selama ini ada. Di kedua ranah itu, betapa problem denasionalisasi itu memanifesto mencolok dalam wujud di antaranya betapa nilai-nilai yang melandasi dan diperjuangkan melalui seni di bangsa ini, adalah bukan nilai-nilai “otentik” kulturasi diri, melainkan sebaliknya yang berasal dari luar diri. Nilai-nilai dari luar diri sebagaimana dimaksud, terutama adalah yang berasal dari Barat yang datang belakangan, yang kemudian menggantikan nilai-nilai partikularitas diri yang telah dimiliki sangat lama, tetapi kemudian tetiba dianggap usang. Fenomena ini telah menghadirkan dampak semakin pudarnya identitas seni dan estetika keindonesiaan karena telah digantikan dari Barat yang lebih hegemonik-dominan. Inilah kiranya salah satu problem terberat yang telah, sedang, dan tampaknya masih akan terus diidap oleh bangsa ini, sebagaimana memang tipikal arkaiknya sebagai bangsa bekas jajahan atau postkolonial. Kajian ini hendak menyoal seputar persoalan keprihatinan ini, beserta menyajikan tawaran outlet alternatifnya. Yakni, terutama berupa pentingnya upaya restorasi seni dan estetika keindonesiaan yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, sebagai counter hegemony nilai-nilai seni dari luar diri, sebagai basis pijakan pelbagai praksis berkesenian dan berkebudayaan di kemudian hari.

    Kata kunci: seni, hegemoni postkolonial, denasionalisasi

    KasiyanJurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni

    Universitas Negeri YogyakartaE-mail: [email protected]

  • 262

    Pendahuluan

    Mendiskursuskan perihal teks nasionalisme, ketika dipertautkan dengan ranah seni, laksana jauh panggang dari api. Betapa tidak, nasionalisme terutama dalam stereotipe kanoniknya yang sebagian masih dalam iman alam modernitas, tipikalnya adalah senantiasa terhubung dengan narasi agung (grand naration) yang bukan hanya serba formal dan berat, melainkan juga rigorous yang mempunyai keketatan serius dalam pemaknaan. Ia, nasionalisme itu, lazimnya ditempatkan dalam kerangka yang dianggap amat serius, bahkan sakral-ideologis (Nagel, 1971; Ortega, 2017), misalnya terkait dengan narasi konstitusi, lambang, dasar, bahasa negara, dan yang lainnya yang semakna.

    Sementara itu, seni secara relatif acapkali berada di kutub oposisi atau yang di sebaliknya, sebagai sesuatu yang tafsir klasik sosiologisnya, alih-alih sebagai dunia yang dianggap serius dan berat adanya, bahkan cenderung dimaknai sebagai domain yang sifatnya main-main (playfull) belaka (Schiller, 2004:1; Craig, 2010:134). Apalagi di tengah belantara alam modernitas yang gebu dengusnya demikian memuja dan menempatkan hitung-hitungan citra eksistensial yang fisik-material sebagai nabinya, menyoal seni sebagai sesuatu yang amat berharga, adalah sebagai sebentuk kegenitan murahan atau suatu yang trivial, sia-sia (Sugiharto, 2013).

    Oleh karena itu, manakala diktum nasionalisme ketemu dengan ranah seni, konotasi potensi asosiasi terjauhnya kiranya hanya sebatas berkelindan dengan sesuatu yang skalanya amat terbatas dan minimalitas. Misalnya menyangkut sosok W.R. Supratman sebagai pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam konteks kaitannya seni musik. Hal itu pun tidak pernah menempatkan musisi penciptanya W.R. Supratman, meski ditetapkan sebagai pahlawan nasional dengan Bintang Maha Putera Utama tahun 1971 (Said &Wulandari, 1995), relatif setara dengan para pahlawan bangsa lainnya. Buktinya, meski hari kelahirannya, yakni 9 Maret 1903 (meski hal ini kontroversi sebab ada yang menyebutnya 19 Maret) ditetapkan sebagai hari musik nasional, tetapi di tiap tanggal itu, nyaris tidak ada sama sekali kekhidmadan “bebunyian batin” bangsa ini dalam memperingatinya, sebagaimana halnya pahlawan-pahlawan bangsa yang lainnya di luar domain seni yang selalu tampak demikian flourist dengan segala kehirukpikukan euforia fiesta-nya.

    Setali tiga uang kiranya, dengan yang ada di seluruh khazanah seni yang lainnya, tidak luput pula di seni rupa. Historiografi nasionalisme bangsa ini juga tidak pernah percaya diri untuk mencatat dan sekaligus menempatkan nomenklatur seni rupa dalam kronik arus putaran wacana yang penting terkaitnya.

  • 263

    Untuk sekadar dijadikan refleksi misalnya, terkait dengan eksistensi Bendera Merah Putih manakala itu bisa dimaknai sebagai salah satu karya visual art yang bisa dikatakan paling estetis yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Perihal Bendera Merah Putih sebagai adikara luhung bangsa itu, sampai saat ini nyaris tidak ada informasi yang memadai, misalnya terkait dengan risalah asal-usul pembuatnya (baca: senimannya), yang konon risalahnya digali dari local wisdom/genius Kerajaan Majapahit pada abad ke-13, sebagaimana yang disampaikan Moh. Yamin dalam Sapta Parwa Tata Negara Keradjaan Madjapahit (Suryanegara, 2014:534).

    Dramaturgi perihal epos kepahlawanan dan nasionalisme terutama dalam kelindannya dengan dunia seni yang telanjur dipeluk dan diimani oleh bangsa secara cenderung peyoratif tersebut, verifikasi berikutnya bisa ditelisik dari salah satu monumennya yang ada di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta. Jika tanah pekuburan itu dibongkar misalnya, niscaya tidak akan pernah ditemukan satu pun jasad seniman di dalamnya sebab dalam kuburan itu hampir semua (90%) adalah berisi jasad serdadu atau tentara, persis sebagaimana kesaksian temuan sejarawan LIPI, Asvi Marwam Adam (2005:266), berikut ini.

    The majority national heroes are military personil. The Heroes Cemetery in Kalibata, Jakarta, is ‘home’ to the graves of some 7,000 heroes; 6,000 military and 1,000 civilian heroes. Of the 6,000 military heroes buried in Kalibata, 5,000 were from the Army, with the remaining 1,000 from Navy, Air Force and Police collectively.

    Dari data itu, betapa ditunjukkan dengan amat telanjang, bahwa selama ini pemaknaan perihal epos nasionalisme khususnya terkait dengan diktum kepahlawanan, sejatinya telah direduksi amat distorsif habis-habisan. Bangsa ini betapa diajari untuk melafazkan, bahwa yang namanya pahlawan adalah: “mereka yang —jika dan hanya jika—matinya mendekap senapan atau menggenggam bayonet tajam”.

    Dalam kaitan ini pula, karenanya pelbagai fenomena historis yang ada dalam dunia seni berikut sosok seniman yang terlibat di dalamnya, seheroik apa pun karyanya, tidak akan pernah dicatat sebagai bagian kronik nasionalisme yang penting bagi sebuah bangsa. Raden Saleh syarif Bustaman, sang maestro sekaligus Bapak Seni Rupa Modern Indonesia misalnya, yang pada tahun 1857 telah demikian amat heroiknya berkarya lukisan berjudul “Penangkapan Diponegoro” (Gevangenname van Prins Diponegoro), sebagai sebentuk antitesis atau perlawanan terhadap karya lukisan serupa sebelumnya yang dibuat oleh seniman Belanda Nicolaas Pieneman pada tahun 1835 dengan judul “Penyerahan Diponegoro kepada Jenderal de Kock”, sama sekali juga tak pernah dicatat sebagai bagian penting dari kronik wacana nasionalisme dalam historiografi Indonesia.

  • 264

    Nasib yang sama kiranya juga dialami oleh generasi penerusnya. Sebut misalnya adalah sosok Sudjojono dengan segala epos jiwa nasionalismenya. Sebagaimana diketahui, Sudjojono pada tahun 1938 mendirikan lembaga Persatoean Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang tujuannya untuk membangun kesadaran nasional, di antaranya lewat seni lukis tentunya (Bustam, 2006). Hal itu dilakukan Sudjojono sebagai sebentuk kritik dan perlawanan terhadap hegemoni aliran Mooi Indië, yang sama sekali tidak merefleksikan penderitaan bangsa Indonesia yang kala itu di bawah kolonialisasi. Seni atau lukisan yang baik dalam pandangan Sudjojono (2017), mestinya mampu menjelma menjadi apa yang diistilahkan sebagai jiwa kètok, atau kaca benggala yang merefleksikan otentisitas pelbagai persoalan masyarakatnya, termasuk masyarakat kolonial di zamannya. Namun apa lacur, karena Sudjojono adalah bukan seorang serdadu atau tentara, karenanya seheroik apa pun jalan pembelaan terhadap nasib bangsanya melalui kesenian yang dilakukan dulu ketika masa penjajahan, tak pernah dilukis menjadi bagian risalah kronik kepahlawanan yang layak diperhitungkan.

    Fenomena keprihatinan tersebut kiranya dapat diperluas dan diperpanjang daftarnya, untuk sekali lagi menegaskan, betapa seni dengan segala narasi besarnya dalam konteks koneksitasnya dengan diskursus wacana nasionalisme bangsa, nasibnya laksana “lumut pada lokan atau kersik pada karang”, sebagaimana satir-liris Goenawan Mohamad (1973) Pada Sebuah Kapal: Interlude. Untuk mengatakan dalam ungkapan lain, bahwa diskursus kesenian adalah tidak lebih dari sebentuk kesia-siaan. Dunia seni secara eksistensial, adalah dunia yang telah dinegasikan, di-liyan-kan (the othering) dalam semesta kronik nasionalisme dan kepahlawanan keindonesiaan.

    Fenomena itu menjadi agak lain konstruksi nalarnya dan sedikit menyisakan binar harapan pencerahan, ketika waktu dan zaman kemudian beringsut ke era pasca/postmodern, yang memang sebagai antitesis modernitas. Yang salah satu spiritnya demikian kukuh menawarkan alternatif horizon yang relatif lebih arif dalam memaknai kebudayaan yang mestinya seperti apa secara ideal didialektikakan, yang salah satunya mempromosikan elan kesetaraan, menjadikan seni mempunyai peluang eksistensial yang setara dengan entitas apa pun lainnya. Sebagaimana diketahui, zeitgeist postmodern sebagai sebentuk antitesis dari modernitas (Delanty, 2000), lahir dari semangat untuk memaknai dan menempatkan segala fenomena kebudayaan itu sedekat mungkin dengan domain naturalitas partikular yang plural (Foster, 1985), sebagai sebentuk perlawanan atas pelbagai kanon hegemonik sebagaimana tipikal alam modernitas yang mengafirmasi buta prinsip universalitas yang singular (Szpociński, 2006).

  • 265

    Postmodernitas mengandaikan bahwa keyakinan akan kebenaran teks kebudayaan itu diidealkan dalam kerangka ruang, yang bukan harus selalu berkonotasikan kanonik, serius, berat, apalagi sakral-ideologis, melainkan lebih pada hal-hal sebaliknya, berada dalam formasi hidup yang sifatnya biasa saja, narasi kecil, bahkan bisa jadi yang dianggap sebagai yang main-main, sebagaimana yang ada dalam dunia seni misalnya. Dalam konteks wacana historiografi, terminologi postmodern yang seperti itu, mengafirmasi semangat baru yang diistilahkan sebagai the history of everyday life (Landau, 2006; Ludtke, 2018), atau yang juga familiar disebut sebagai petite historie (Anwar, 2010) yang sifatnya micro history (Magnússon & Szijártó, 2013).

    Dalam bingkai optik yang terakhir inilah, kemudian seni kebermaknaannya diimajikan ideal secara signifikan, tidak lagi direduksi semata-mata sebagai hiburan atau klangênan, tetapi juga sebagai bagian dari sistem tanda bahasa sama potensialnya membangun apa yang diistilahkan kesadaran bagi masyarakat pemeluknya. Jika diktum kesadaran itu kemudian ditempatkan dalam kerangka kehidupan bermasyarakat dan berbangsa misalnya, konotasi yang ada adalah betapa entitas seni itu bersama-sama dengan yang lainnya, diandaikan sebagai bagian dari pilar penting bagi segala proses pembangunan jiwa kebangsaan. Seni sebagai bagian jalan keindonesiaan.

    Yang menjadi catatan persoalan kemudian adalah ketika ternyata dalam realitas praksisnya, betapa historiografi seni Indonesia pada umumnya, termasuk juga seni rupanya, menunjukkan fakta yang berkebalikan adanya. Ketika berada dalam alam dan iklim yang potensial seperti itu, keberadaan seni ternyata juga tidak beringsut secara berarti. Fakta menunjukkan seni ternyata bahkan justru, tanpa disadari, telah menjadi bagian persoalan atau problem yang dapat diistilahkan sebagai “denasionalisasi” atau “deindonesianisasi” itu sendiri.

    Hal ini dengan mudah diverifikasi, misalnya dalam manifesto representasi entitas historiografi seni Indonesia, yang secara eksistensial komprehensif tampak amat kuat, berada di bawah bayang-bayang belenggu hegemoni pelbagai sistem nilai dan ideologi yang berasal dari luar diri, terutama dari Barat yang dianggap universal, sebagai bagian dari sebentuk persoalan sindrom klasik bangsa postkolonial.

    Konsekuensi kulturasi sebagai bangsa bekas jajahan yang telanjur mengidap mental underdog inlander akut (Rais, 2008; Sudjito, 2014) sehingga segala hal yang berbau dan berasal dari Barat, baik di tingkat sistem ideofact, sociofact, maupun artifact kerap dimaknai sebagai sesuatu yang lebih baik dan berharga, jika

  • 266

    dibandingkan dengan yang berasal dari dalam kebudayaan diri di sisi sebaliknya. Persoalan kulturasi seperti ini dengan jelas menggambarkan betapa bangsa ini sejatinya masih menidap penyakit keterjajajahan, yang dalam studi postkolonial diistilahkan sebagai symptom of colonial mentality (Nnam, 2007; David, 2013; Decena, Ashley, 2014; Belton, 2014; Rafael, 2015). Problem postkolonial akhirnya melanggengkan mental inferior (Sharp, 2008; Nayar, 2015) pada bangsa bekas jajahan, ketika berjumpa dengan peradaban Barat yang terlanjur dianggap lebih superior.

    Pelbagai problem postkolonialias yang juga maknanya adalah sebentuk persoalan denasionalitas, terutama yang mewajah tegas dalam gurat nadi seni yang ada dan dimiliki oleh bangsa ini, kiranya merupakan satu persoalan yang amat krusial dalam proses keindonesiaan, dari sejak dulu, kini, bahkan sampai nanti. Tulisan ini, dengan segala keterbatasan yang ada, fokus elaborasi dialektisnya hendak dihajatkan ke arah pemahaman di sana.

    Teori dan Metodologi

    Landasan teoretis (objek formal) utama kajian ini adalah perspektif postkolonial, yang terutama disandarkan pada konsep dari tiga tokoh pemikir utamanya, yakni Said (1979), Bhabha (1994; 1995), dan Spivak (1988a, 1988b), sering ketiganya disebut sebagai the holy trinity of colonial discourse analysis (Young, 1995:163). Adapun substansi perspektif postkolonial adalah sebagai sebentuk srategi kritis untuk mengkaji fenomena kolonialisme budaya secara hegemonik dengan segala narasi besarnya (termasuk yang ada di teks seni rupa) oleh Barat terhadap bangsa-bangsa Timur (termasuk Indonesia) yang terjadi sesudah era kolonialisme fisik, beserta strategi alternatif jalan keluarnya.

    Dari sisi metode kajian ini termasuk dalam kategori kualitatif/naturalistik (Lapan, Quartaroli, & Riemer, 2011), khususnya dengan pendekatan adalah hermeneutik, yang berpusat pada aktivitas penafsiran (Bulhof, 2012), terhadap objek material, yang dalam konteks ini adalah pelbagai fenomena historiografi seni rupa Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini juga bersinggungan dengan pendekatan historis, khususnya model “sejarah pemikiran” (history of thought) (Finocchiaro, 2002; Kuntowijoyo, 2003;), untuk mengkaji kompleksitas persoalan hegemoni postkolonial yang terdapat dalam representasi seni rupa Indonesia sebagaimana dimaksud.

  • 267

    Hasil dan Pembahasan

    Mengimajikan Keindonesiaan: Dalam Tatapan SeniMeskipun antropolog Anderson (2006), memaknai nasionalisme dan

    kebangsaan itu sebagai “sesuatu yang terbayang” (imagined), yang niscaya adalah ia bukan imajiner keberadaannya dan melampaui dari itu adalah, ia sebagai sebentuk kebutuhuan yang sama sekalai tidak bisa dihindarkan. Terminologi nasionalisme adalah bagian dari salah satu diskursus paling penting dan krusial meskipun pada era global yang menjadikan semesta dunia seolah borderless sekali pun (Slocum-Bradley, 2016) dikarenakan terutama ada kaitannya dengan apa yang diistilahkan dengan persoalan “rasa identitas” di dalamnya.

    Dalam perspektif kultural, identitas adalah sebuah konsep penting, baik dalam kaitannya dengan individu maupun masyarakat (Poole, 2012; Zhuojun & Hualing, 2014) karena ia akan menjadi penanda penting yang membedakan dengan entitas yang lainnya (Gilroy, 1997). Karenanya, tidak mengherankan manakala identitas selalu menjadi topik krusial dan utama, yang selalu diperjuangkan dan diperebutkan di sepanjang sejarah peradaban yang ada (DeVereaux & Griffin, 2016), melalui seluruh sistem pranata yang ada, termasuk salah satunya melalui ranah seni tentunya.

    Pemahaman tentang pentingnya seni dalam konteks identitas dan nasionalisme ini, kiranya dapat dianalogikan dengan konteks pentingnya bahasa bagi sebuah bangsa, sebagaimana kerap disampaikan dalam ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa” (Munsyi, 2005). Kata bahasa, dalam hal ini, bisa diganti dengan seni tentunya. Artinya, konstruksi identitas dan nasionalisme keindonesiaan seperti apa, tentunya dapat diandaikan bisa diperiksa di antaranya dari refleksi entitas seninya.

    Ketika membincang perihal identitas, filsof eksistensialis Heidegger (1996:195) sejak awal mengingatkan tentang pentingnya mengencangkan pemahaman, bahwa keberadaannya bukan sebagai sesuatu yang telah jadi dan selesai, melainkan lebih tepat sebagai “proses menjadi” (mode of existence/mode of being), dan karenanya terus memerlukan pengupayaan tiada pernah henti. Dari pelukisan seperti itulah, karenanya fenomena konstruksi politik identitas sebuah masyarakat atau bangsa, medan dan arenanya sebagaimana ditamsilkan Hall (2003) laksana sebuah teater pertarungan (theatre of struggle) atau teater konflik (theater of conflict) yang tidak akan pernah kunjung selesai.

  • 268

    Oleh karena itu, identitas itu tidak pernah tepat dikatakan lahir, tetapi hadir yang secara terus-menerus berada dalam proses formasi sebagai historical being (Geertsema, 2018). Dalam konteks proses historical being tersebut, karenanya dalam politik identitas, selalu mengandaikan tenunan jalinan antara tiga dimensi momentum krusial waktu dalam lintasan moment peradaban, yakni “masa lalu, masa kini, dan masa depan”. “Ein Ereignis-und Wirkungszusammenhang der sich durch Vergangenheit, Gegenwart, und Zukunft hindurch zieht”, demikian kata-kata Heidegger lewat Sein und Zeit (1927) (dalam Dhakidae, 2008:xxxii).

    Ketika berbincang perihal entitas masa lalu itu, pemahaman tentang pentingnya local wisdom/genius, dalam segala bidang termasuk seni misalnya, kiranya menjadi keniscayaan yang tidak terelakkan. Arti local genius yang oleh Anderson (2006:10) sebagai “cultural artefacts of a particular kind”, merupakan penghargaan terhadap risalah asal-usul atau sangkan paraning dumadi kultural diri, yang teramat penting untuk dipahami. Local wisdom adalah batu fondasi yang menjadi alas tapakan amat penting bagi tetap kokohnya konstruksi rumah peradaban yang dibangun di atasnya. Sebagaimana diidealkan oleh Ki Hadjar Dewantara (2013), bahwa penghargaan terhadap local wisdom-lah, yang akan senantiasa menggaransi, bahwa seluruh tata kelola berperadaban bangsa bisa diselenggarakan dalam format kontinuitas atau kesinambungan dan bukannya diskontinuitas atau ketaksambungan. Meski memang harus diakui bahwa, risalah kontinuitas dan sebaliknya diksoninuitas adalah sebuah keniscayaan dari yang namanya perjalanan dan perubahan kebudayaan. Akan tetapi, format kontinuitas dalam pengertian dialetisnya yang positif, jauh lebih diharapkan, dibandingkan dengan diskontinuitas. Sebab, jika diskontinuitas yang lebh mengedepan, sebuah peradaban akan dihadapkan pada apa yang diistilahkan sebagai cultural anomaly and chaos (Mosko & Damon, 2005; Hodge & Coronado, 2010), yang akan membuat sebuah bangsa kehilangan momen terbaik untuk terus berkembang.

    Jika diktum tersebut diberlakukan dalam konteks dunia seni misalnya, secara ideal, segala kesadaran yang membingkainya, juga mesti menempatkan kekayaan lokal diri itu juga sebagai fondasi atau batu pijakan yang utama. Pandangan ini sama sekali tidak menegasikan bagi peluang kemungkinan perjumpaan pengaruh dengan seni dan budaya dari luar. Apalagi dalam konteks globalisasi, ketika perjumpaan dengan pelbagai “sang liyan” bukan hanya sebagai keniscayaan, bahkan menjadi semakin dramatik dan signifikan. Hal ini sebagaimana pernah diteguhkan oleh Sang Proklamator RI, Sukarno dalam ungkapan, “Nationalism cannot flower, if it does not grow in the garden of internationalism” (Kahin, 2018:124).

  • 269

    Akan tetapi, yang perlu mendapatkan peneguhan penegasan dalam hal ini adalah, bahwa sejauh dan sedalam apa pun pelbagai kontak dan perjamahan dengan kebudayaan lain di luar diri ini, jangan pernah sekali-kali mendistorsi atau bahkan sampai menghilangkan sama sekali identitas kultural diri.

    Problem Seni Keindonesiaan dalam Hegemoni PembaratanAlir nalar politik identitas kultural dan seni dalam kaitannya dengan banguan

    nasionalisme keindonesiaan sebagaimana disampaikan di atas, manakala dilihat secara jernis, ternyata menyerdawakan kegelisahan yang tidak terkira. Betapa tidak, gagasan tentang keindonesiaan yang batu fondasi imajinya telah coba diletakkan para pendiri bangsa ini secara kokoh dan dalam, misalnya melalui sekian epos romantisisme, ketika melongok lagi kolong sejarah pergerakan prakemerdekaan, bahkan ketika bangsa ini masih pra-Indonesia atau dikenal dengan istilah Nusantara, ternyata kini seolah meranggas-merana. Ungkapan ini kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan, apalagi dianggap mengada-ada.

    Dalam konteks seni rupa misalnya, verifikasi atas persoalan itu dapat diraba dengan amat kasatnya, baik dalam konteks wacana praktik maupun juga di praktik wacana historiografi seni rupa Indonesia. Dalam konteks wacana praktik misalnya, dapat ditelisik melalui pintu masuknya, bagaimana semenjak cerita elan historiografi Seni Rupa Modern keindonesiaan didedahkan kesepakatannya lewat tonggak Raden Saleh, kemudian berlanjut ke Mooi Indië, Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan sampai pada memasuki perjalanan era kontemporernya. Ibarat padang savana, sejauh mata memandang, keluasan lanskap narasi tentangnya, ternyata nyaris dipenuhi hamparan warna yang semata-mata dicukil dari tanah Seni Rupa Barat yang nyaris sempurna (Atmaja, 1990; Burhan, 2006:275; Siregar & Supriyanto, 2006).

    Hegemoni Barat itu, kemudian semakin disempurnakan dengan yang terjadi di tingkat praktik wacana. Gambaran simplistisnya dapat diperiksa dengan begitu mudahnya, misalnya mulai dari penggunaan semua istilah kunci secara ontologis beserta turunannya dalam dunia seni dan estetika di Indonesia, yang selalu akar kata atau asal-usulnya secara etimologis merujuk atau digali dari akar istilah Barat, terutama dari bahasa Yunani, bukan dari khazanah lokal atau minimal regional yang lebih dekat dengan entitas keindonesiaan, misalnya adalah belahan dunia Timur. Istilah seni misalnya, selalu dirujuk dari akar kata Ars (Yunani) atau Kunst (Jerman atau Belanda) atau Art (Prancis). Demikian halnya dengan istilah-istilah lainnya yang menjadi kata dan konsep kunci dalam kajian seni, dapat dikatakan

  • 270

    semuanya merujuk dari akar kata dari Barat. Sebaliknya hampir tidak ditemukan istilah penting dalam khazanah filsafat seni yang dirujuk dari khazanah bahasa Jawa atau Nusantara misalnya.

    Dalam derivat makna kondisi yang senada misalnya, belenggu hegemoni Barat itu, dapat ditunjukkan misalnya dari nama-nama tokoh pemikir utama yang niscaya dijadikan rujukan referensi utama terkait dengan wacana dalam jagad seni di Indonesia, yang juga semuanya nyaris berisi daftar tokoh-tokoh Barat, di sepanjang kurun periode bentangan historis yang ada, seperti Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas Aquinas, Baumgarten, Kant, Tolstoy, Croce, Collingwood, Santayana, Gasset, Langer, dan Bell.

    Sebaliknya hampir tidak ditemukan satu pun nama yang berasal dari Nusantara; misalnya para empu atau pujangga besar pada masa riwayat kejayaan kerajaan-kerajaan pada masa lampau, seperti Empu Kanwa, Empu Panuluh, Empu Prapanca, dan Ranggawarsita, yang sebenarnya banyak menghadirkan konsep dan pemikiran tentang seni dan kebudayan yang tidak kalah hebatnya. Karenanya tidak mengherankan, jika keseluruhan oasis estetis kesadaran seni yang berkembang luas di kebudayaan bangsa Indonesia, sebagaimana diteguhkukuhkan oleh salah satu Guru Besar Filsafat Seni dari STF Driyarkara Jakarta, Mudji Sutrisno (2006), yakni estetika Barat yang nyaris sempurna. Pemahaman tersebut, kiranya tidak dimaksudkan hendak menyampaikan bahwa selama ini memang sama sekali tidak ada kesadaran berikut pencapaian dalam dunia seni di Indonesia yang layak diapresiasi, terutama dalam konteks dialektisnya dengan penghargaan atas entitas kultural diri, melainkan lebih sebagai sebentuk kritik yang mengingatkan, bahwa pelbagai upaya dan pencapaian yang ada belumlah mampu menggeser dan bahkan berperan sebagai pusaran arus utama wacana, dan karenanya masih terus memerlukan pengupayaan pada masa mendatang.

    Akibat hegemoni Barat tersebut, akhirnya pelbagai khazanah partikularitas entitas seni keindonesiaan yang telah mempunyai risalah sangat panjang serta akar yang amat dalam, satu-satu mengalami trauma kegegaran. Akumulasi kepemilikan pengetahuan estetika selama ini, hasil dari menerima filsafat seni Barat itu, akhirnya tidak mampu dipergunakan sebagai daya kritis untuk menemukan cara pandang atau paradigma filsafat seni yang otentik dengan segala karakter khas keindonesiaannya. Fenomena inilah yang diistilahkan dalam nada penuh keprihatinan oleh sejarawan sekaligus Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bambang Purwanto (2006), sebagai fakta gagalnya konstruksi historiografi Indonesiasentris.

  • 271

    Kenyataan ini menunjukkan bahwa dunia dan keilmuan seni di Indonesia sudah waktunya mendapatkan perhatian dan pembenahan (Sumardjo, 2000:353), karena persoalan tersebut adalah sebuah katastrofi, yang bisa berpotensi mempunyai dampak negatif dan bahkan amat destrukstif yang multidimensional secara sosiokulural, termasuk menyangkut hakikat terdasar dari entitas sebuah bangsa, yakni perihal risalah kemerdekaan yang dimilikinya.

    Dalam konteks inilah, seni kemudian tanpa disadari telah terjerumus sebagai sesuatu yang dapat diistilahkan sebagai “agen denasionalisasi” yang amat berbahaya bagi bangsanya. Pemahaman seperti ini, sesungguhnya sejak jauh-jauh hari sudah diingatkan secara sangat serius oleh seorang Sukarno misalnya, terutama pada peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1963, yang dengan berapi-api menyampaikan pesan, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka”. Sebuah buliran bening embun hikmah berkebangsaan, yang kiranya masih terlalu aktual, bahkan mungkin abadi untuk direnungkan, untuk dilakonkan.

    Simpulan

    Berdasarkan beberapa poin gugusan gagasan sebagaimana telah disampaikan, kiranya dapat digambarkan betapa sesungguhnya serangkaian pokok pikiran tentang pentingnya identitas seni dan kebudayaan keindonesiaan, merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan. Bahwa sebagai sebuah bangsa itu konstruksi entitasnya adalah memang didasarkan pada keyakinan atas nilai-nilai bersama yang dimilikinya. Pandangan ini, sebagaimana telah disampaikan, secara simultan tentunya, juga tetap membuka peluang bagi setiap perjumpaan dengan sesuatu di luar diri kulturalnya, sebagai hakikat kodrat di sisi yang lain, bahwa entitas apa pun eksistensinya memang senantiasa berada dalam jaringan entitas lainnya, yang secara bersama-sama dipahami dalam format ko-eksistensi. Dalam pemahaman ko-esksistensi inilah, idealisasi pelbagai proses kulturasi apa pun, termasuk dalam konteks seni, senantiasa diimajikan sebagai sebuah proses perjumpaan dengan kultur lain kapan pun dan di mana pun, akan saling memberi dan memperkaya, bukan sebaliknya sebagai praktik hegemoni dan kolonisani yang hanya menyerdawakan kutukan fobia dan trauma.

    Namun, apa yang bisa dipahami dari pelbagai proses kulturasi diri yang ada di bangsa ini selama ini kiranya harapan ideal itu masih jauh panggang dari api, untuk tidak mengatakan sebagai fakta utopi. Pesan dalam tulisan sederhana ini,

  • 272

    juga sama sekali tidak ada muatan pretensi sebagai sebentuk tangisan pesimisme, melainkan justru sebaliknya: sebentuk perspektif ktitis, yang menopang harapan optimisme, karena kita memahami pelbagai luka dan trauma, untuk kemudian bisa dicari formula obatnya. Fenomena keprihatinan perihal hegemoni Barat yang ada dalam jagat seni keindonesiaan sebagaimana dimaksud, betapa menunjukkan bahwa masih relatif lestarinya persoalan sindrom postkolonial sebagai bekas negara jajahan Barat. Menyaksikan persoalan tersebut, kiranya amat perlu dan mendesak dilakukan pelbagai upaya konstruksi kesadaran baru secara bersama, untuk untuk kepentingan keluar dari belenggu persoalan penjajajan kebudayaan, termasuk dalam konteks ini lewat domain dunia kesenian, demi segala idealisasi jalan kebaikan keindonesiaan pada masa depan. Sebuah harapan yang kiranya selalu layak dan aktual untuk diglorifikasikan. “Ars longa, vita brevis”. “Hidup itu singkat, sementara seni abadi”.

    ReferensiBulhof, I.N. 2012. Wilhelm Dilthey: A Hermeneutic Approach to the Study of History

    and Culture. Berlin, Germany: Springer Science & Business Media.

    Burhan, M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”. Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

    Bustam, M. 2006. Sudjojono dan Aku. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.

    Craig, M. 2010. Levinas and James: Toward a Pragmatic Phenomenology. Bloomington, Indiana: Indiana University Press.

    David, E.J.R. 2013. Internalized Oppression: The Psychology of Marginalized Groups. New York: Springer Publishing Company.

    Decena, A.M. 2014. “Identity, Colonial Mentality, and Decolonizing the Mind: Exploring Narratives and Examining Mental Health Implications for Filipino Americans. Theses, Dissertations, and Projects. 769. https://scholarworks.smith.edu/theses/769.

    Delanty, G. 2000. Modernity and Postmodernity: Knowledge, Power and the Self. London: Sage Publication.

    DeVereaux, C. & Griffin, M. 2016. Narrative, Identity, and the Map of Cultural Policy: Once Upon a Time in a Globalized World. London: Routledge.

  • 273

    Dewantara, Ki Hadjar. 2013. “Kesenian Daerah dalam Persatuan Indonesia; Motto: Kontinyu-Konvergen-Konsetris”. Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka II: Kebudayaan. Yogyakarta: Universitas Srjanawiyata Taman Siswa Bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

    Dhakidae, Daniel. 2008. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang”, dalam Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-Komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar.

    Finocchiaro, M.A. 2002. Gramsci and the History of Dialectical Thought. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

    Foster, H. 1985. Postmodern Culture. London: Pluto Press.

    Geertsema, M.J. 2018. Heidegger’s Poetic Projection of Being. Amsterdam: Springer.

    Gilroy, P. 1997. “Diaspora and the Deteours of Identity”, in Woodward, K. (Ed.), Identity and Difference. London: Sage Publication.

    Hall, S. 2003. “Chapter 1: Introduction: Who Needs ‘Identity’?”, in Stuart Hall & Paul du Gay (eds.), Questions of Cultural Identity. London: Sage Publication.

    Hodge, B. & Coronado, G. 2010. Chaos Theory and the Larrikin Principle: Working with Organisations in a Neo-liberal World. Copenhagen, Denmark: Copenhagen Business School Press DK.

    Kahin, G.M. 2018. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

    Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.

    Landau, E. 2006. The History of Everyday Life. Minneapolis: Lerner Publications.

    Lapan, S.D., Quartaroli, M.T & Riemer, F.J. 2011. Qualitative Research: An Introduction to Methods and Designs. New York: John Wiley & Sons.

    Ludtke, A. 2018. The History of Everyday Life: Reconstructing Historical Experiences and Ways of Life. New Jersey: Princeton University Press.

    Magnússon, S.G & Szijártó, I.M. 2013. What is Microhistory?: Theory and Practice. London: Routledge.

    Mohamad, G. 1973. Interlude: Sejumlah Sajak. Jakarta: Yayasan Indonesia.

    Mosko, M.S. & Damon, F.H. (eds.) 2005. On the Order of Chaos: Social Anthropology and the Science of Chaos. New York: Berghahn Books.

  • 274

    Munsyi, A.D. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

    Nagel, Paul C. 1971. This Sacred Trust: American Nationality 1778-1898. Oxford, UK: Oxford University Press.

    Nayar, P.K. 2015. The Postcolonial Studies Dictionary. New York: John Wiley & Sons.

    Nnam, N.M. 2007. Colonial Mentality in Africa. Lanham, Maryland: Hamilton Books.

    Ortega, N.G. 2017. “The Formation of Political Traditions and National symbols in Nineteenth-Century Latin America”. Romance Studies, 35:1, 59-72, DOI: 10.1080/02639904.2017.1306334.

    Poole, R. 2012. Nation and Identity. London: Routledge.

    Purwanto, B. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.

    Rafael, V. 2015. “The War of Translation: Colonial Education, American English, and Tagalog Slang in the Philippines”. The Journal of Asian Studies, 74(2), 283-302. Doi:10.1017/S0021911814002241.

    Rais, M.A. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! Jakarta: PT Mizan Publika.

    Ryn, C.G. 2003. A Common Human Ground: Universality and Particularity in a Multicultural World. Columbia, Missouri: University of Missouri Press.

    Said, E.W. 1979. Orientalism. First Published. New York: Vintage Books.

    Said, J. & Wulandari, T. 1995. Ensiklopedi Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

    Schiller, W. 2004. Thinking Through the Arts. London: Routledge.

    Sharp, J. 2008. Geographies of Postcolonialism. London: Sage Publication.

    Siregar, A.T.H. & Supriyanto, E. (ed.). 2006. Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan. Jakarta: Penerbit Nalar.

    Slocum-Bradley, N.R. 2016. Promoting Conflict or Peace through Identity. London: Routledge.

    Spivak, G.C. 1988. “Can the Subaltern Speak?”, in Nelson, C. & Grossberg, L. (eds.), Marxism and the Interpretation of Culture. Champaign, Illinois: University of Illinois Press.

  • 275

    Spivak, G.C. 1998b. In Other Worlds: Essays in Cultural Politics. First Published. London: Routledge.

    Sudjito, et al. 2014. Prosiding Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisassi, Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM.

    Sudjojono, S. 2017. Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

    Sugiharto, B. 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.

    Suryanegara, A.M. 2014. Api Sejarah 1. Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit Surya Dinasti.

    Sutrisno, M. 2006. Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketza. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius.

    Szpociński, A. 2006. “The Crisis of Cultural Canons in Postmodern Society”. International Journal of Sociology, 36:4, 80-95, DOI: 10.2753/IJS0020-7659360405.

    Young, R. 1995. Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture, and Race. First Published. London: Routledge.

    Zhuojun, W. & Hualing, H. 2014. “National Identity in the Era of Globalization: Crisis and Reconstruction”. Social Sciences in China, 35(2):139-154. DOI: 10.1080/02529203.2014.900889.