neraca protein dan profil darah burung puyuh … · ternak 2 . ransum 2 . kandang dan alat 2 ....
TRANSCRIPT
NERACA PROTEIN DAN PROFIL DARAH BURUNG PUYUH
(Coturnix coturnix japonica) DENGAN PEMBERIAN
RANSUM BERBASIS PUPA ULAT SUTERA
RIZKY AMALIA KARTIKA SARI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Neraca Protein dan
Profil Darah Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) dengan Pemberian
ransum berbasis Pupa Ulat Sutera adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diaku-kan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut pertanian bogor.
Bogor, April 2016
Rizky Amalia Kartika Sari
NIM D24100045
ABSTRAK
RIZKY AMALIA KARTIKA SARI. Neraca Protein dan Profil Darah Burung
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) dengan Pemberian Ransum Berbasis Pupa
Ulat Sutera. Dibimbing oleh DEWI APRI ASTUTI dan CLARA MELIYANTI
KUSHARTO.
Daging dan telur burung puyuh adalah salah satu sumber protein hewani.
Buruh puyuh memerlukan protein yang tinggi dalam ransum, tetapi harga bahan
pakan sumber protein cukup mahal. Oleh karena itu perlu adanya pengganti
tepung ikan yang biasanya digunakan dalam ransum unggas. Salah satu bahan
alternatif dengan kandungan protein yang tinggi adalah tepung pupa. Penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan protein dan profil darah di burung
puyuh (Coturnix coturnix japonica) yang diberikan ransum yang mengandung
tepung ulat sutera (Bombyx mori) sebagai pengganti tepung ikan. Materi yang
digunakan adalah 160 ekor burung puyuh (Cortunix cortunix japonica) yang siap
bertelur berusia 7 minggu yang dibagi dalam 4 perlakuan dengan rancangan acak
lengkap. Setiap perlakuan terdiri dari 4 ulangan dan masing-masing ulangan
terdiri dari 10 ekor yang ditempatkan di kandang baterai. Perlakuan yang
diberikan adalah R0 (ransum tanpa tepung pupa dan mengandung 8% tepung
ikan), R1 (ransum mengandung tepung pupa menggantikan 25% tepung ikan), R2
(ransum mengandung tepung pupa menggantikan 50% tepung ikan), R3 (ransum
mengandung tepung pupa menggantikan 75% tepung ikan). Parameter yang
diukur adalah keseimbangan protein (konsumsi protein, protein ekskreta, kadar
protein darah dan protein telur) dan profil darah (eritrosit, leukosit, hemoglobin,
hematokrit). Hasil penelitian menunjukan bahwa tepung pupa memiliki efek yang
berbeda (P<0.05) dalam konsumsi pakan dan konsumsi protein, tetapi tidak
berpengaruh terhadap protein ekskreta, protein darah dan protein telur. Pada uji
hematologi burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) dengan menggunakan
tepung pupa sebagai pengganti tepung ikan tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan kontrol. Kesimpulan pada penelitian ini penggunaan tepung pupa sebesar
25% menggantikan tepung ikan dapat meningkatkan palatabilitas dan kecernaan
protein serta pemberian tepung pupa menggantikan tepung ikan sampai 75% tidak
mempengaruhi profil darah.
Kata kunci: burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica), profil darah pupa, ulat
sutera (Bombyx mori)
ABSTRACT
RIZKY AMALIA KARTIKA SARI. Protein Balance and Blood Profil of Quail
(Coturnix coturnix japonica) with the Effect Feed Based Silkworm. Supervised by
DEWI APRI ASTUTI and CLARA MELIYANTI KUSHARTO.
Meat and egg of quail is one of animal protein source. Quail require a high
protein in the ration, but the price of raw materials for protein sources is quite
expensive. Therefore it needs to have a substitute for fish meal which is usually
used in poultry rations. One alternative materials with high protein content is
silkworm pupae meal. This study was aimed to evaluate the protein utilization and
blood profile of quail (Coturnix coturnix japonica) which given diet containing
silkworm pupae meal as a substitute for fish meal. The materials used are 160
quails (Coturnix coturnix japonica) which ready to lay with age between 7 weeks
and devided into four treatments in a completely randomized design. Each
treatment consist of four replications and each replication consist of 10 quails
placed in battery cages. The treatment given were R0 (ration without pupa meal
and containing 8% fish meal), R1 (ration containing pupa meal replaced 25% of
fish meal), R2 (ration containing pupa meal replaced 50% of fish meal), R3
(ration containing pupa meal replaced 75% fish meal). The parameters measured
were balance protein (protein consumption, excreta protein, blood protein levels,
and the levels of egg protein) and blood profile (erythrocytes, leukocytes,
hemoglobin, hematocrit). The results showed that of pupa meal have a significant
effect (P<0.05) in the feed intake and protein consumption, but did not affect to
the excreta proteins, blood protein and egg proteins. The blood profile of quail
(Coturnix coturnix japonica) with the use of pupa meal as a substitute for fish
meal was not significantly different as compared to control. The result of this
study showed that the pupa meal use of 25% replacement of fish meal can
increase the palatability and digestibility of the protein as well the pupa meal
replacement fish meal until 75% did not effect the blood protein.
Key word: blood profile, pupae, quail (Coturnix coturnix japonica), silkworm
(Bombyx mori).
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
NERACA PROTEIN DAN PROFIL DARAH BURUNG PUYUH
(Coturnix coturnix japonica) DENGAN PEMBERIAN
RANSUM BERBASIS PUPA ULAT SUTERA
RIZKY AMALIA KARTIKA SARI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Alhamdulillah segala puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan
karuniaNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan penelitian dan tugas akhir skripsi sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana dengan judul Neraca Protein dan Profil Darah Burung
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) dengan Pemberian Ransum Berbasis Pupa
Ulat Sutera.
Limbah pupa ulat sutera (Bombyx mori) yang melimpah di beberapa daerah
dapat digunakan sebagai pengganti protein pada ransum unggas terutama pada
burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). Sehingga penelitian ini menggunakan
tepung pupa ulat sutera sebagai pengganti tepung ikan pada ransum untuk
mengetahui bagaimana manfaat protein dan profil darah pada burung puyuh
(Coturnix coturnix japonica) yang diberi ransum yang mengandung tepung pupa
ulat sutera (Bombyx mori) sebagai pengganti tepung ikan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini.
Harapan penulis adalah agar skripsi ini dapat bermanfaat kepada para pembaca.
Bogor, April 2016
Rizky Amalia Kartika Sari
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Bahan 2
Ternak 2
Ransum 2
Kandang dan Alat 2
Lokasi dan Waktu 2
Prosedur 3
Pemeliharaan 3
Jumlah Konsumsi Pakan dan Ekskreta 4
Kecernaan Protein 4
Pengambilan Darah 4
Pengukuran Protein Darah 4
Pengukuran Protein Telur 4
Perhitungan Profil Darah 5
Rancangan dan Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Konsumsi Ransum 6
Konsumsi Protein 7
Protein Ekskreta 8
Kecernaan Protein 8
Protein Darah 8
Protein Telur 8
Profil Darah Burung Puyuh 8
Darah 8
Eritrosit 9
Hemoglobin (Hb) 9
Hematokrit (Ht) 10
Leukosit 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
DAFTAR PUSTAKA 11
RIWAYAT HIDUP 14
DAFTAR TABEL
1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan 3
2 Konsumsi ransum, konsumsi protein, protein ekskreta, kecernaan
protein, protein darah, dan protein telur puyuh umur 8-15 minggu 7
3 Profil darah burung puyuh umur 13 minggu yang diberi
tepung pupa 9
PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat di Indonesia masih relatif
rendah. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014), konsumsi protein hewani
di Indonesia sebesar 0.08 g orang-1
hari-1
yang seharusnya 6 g orang-1
hari-1
.
Salah satu penyumbang protein hewani adalah puyuh (Coturnix-coturnix
japonica) baik sebagai penyumbang berupa telur maupung daging. Menurut
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2014) populasi puyuh di Indonesia
selalu meningkat yaitu pada tahun 2012, 2013 dan 2014 sekitar 12.234.188,
12.552.974, dan 12.692.213 ekor yaitu sebesar 1.67% pertahun. Protein dalam
telur puyuh dapat memenuhi kebutuhan manusia khususnya pada balita,
kebutuhan protein balita adalah 12 g hari-1
(Solihin 2003).
Masalah yang dihadapi oleh peternak yaitu biaya ransum yang mahal karena
tergantung dengan tepung ikan sebagai sumber protein dan jagung sebagai sumber
energi yang masih banyak impor. Perlu bahan alternatif (harga murah, persediaan
banyak, tidak bersaing dengan manusia) untuk mendapatkan protein yang lebih
murah yaitu dengan menggunakan limbah tepung pupa ulat sutera untuk
menggantikan tepung ikan pada ransum puyuh. Menurut Rahmasari (2015)
berdasarkan perhitungan IOFC pemberian tepung pupa sebagai pengganti tepung
ikan memberikan keuntungan besar.
Kaomini (2006) menyebutkan bahwa limbah pupa banyak terdapat di Jawa
Barat (Sukabumi, Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis), Jawa Timur,
Jawa Tengah (Pati, Yogyakarta, Temanggung), Sulawesi Selatan (Soppeng, Wajo,
dan Sidrap), Barru, Bone, Enrekang, Bulukumba, dan Bali.
Ulat sutera mengalami 4 fase, yaitu fase telur, fase larva, pupa, dan imago.
Pada fase larva melalui 5 tahap, yaitu instar I, instar II, instar III, instar IV dan
instar V (Purwanti 2007). Pupa adalah fase ulat sutera pada instar ke IV. Pupa ini
tidak dimanfaatkan setelah benang sutra diambil untuk keperluan industri lain
Hasil penelitian Rahmasari (2015) menyebutkan bahwa tepung pupa
mengandung protein kasar 47.4%, lemak kasar 19.47%, serat kasar 4.09%, dan
abu 8.86%, dengan skor kimia dan nilai IAAE masing-masing adalah 65.36 dan
0.89. Lebih jauh dilaporkan bahwa penambahan tepung pupa ulat sutera
menggantikan 25% sampai 75% protein tepung ikan nyata meningkatkan
konsumsi ransum, energi, protein dan lemak, namun belum dapat meningkatkan
produksi telur sampai umur 18 minggu.
Menurut Lesson dan Summer (2005), kebutuhan ransum puyuh berupa
protein 18%, lemak 1% dan mineral (Ca, P) 5%. Nugroho (1991) menyebutkan
pada telur puyuh memiliki kandungan protein lebih baik dari telur ayam dan
lemak yang lebih sedikit. Daging puyuh dapat menghasilkan 70%-74% karkas
dari bobot hidup puyuh, dengan bagian dada yang paling tinggi sebesar 41%
(Prabakaran 2003).
Menurut Rahmasari (2015) asam amino yang paling efektif pada tepung
pupa adalah triptopan dan isoleusin. Nilai IAAE (Indeks Asam Amino sensial)
pada tepung pupa sebesar 65.36. Semakin tinggi skor kimia dan nilai IAAE dari
suatu bahan maka akan semakin baik kualitas protein bahan karena mendekati
kualitas bahan standar yaitu telur. Ulat sutera memiliki kandungan asam amino
esensial seperti lisin, isoleusin, leusin, valin, threonine, dan kangungan asam
2
amino non esensial sepertin glisin, serin, alanine (Purwaningtyas 2014). Pupa
banyak mengandung mineral esensial Na, K, Ca, dan P (Miyantani 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan protein dan mengamati
profil darah pada burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) yang diberi ransum
mengandung tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) sebagai pengganti tepung
ikan.
METODE
Bahan
Ternak
Ternak percobaan adalah puyuh (Coturnix coturnix japonica) siap bertelur
berumur 13 minggu sebanyak 160 ekor digunakan dalam penelitian ini yang
dikelompokan dalam 4 perlakuan, setiap perlakuan 4 ulangan dan setiap ulangan
terdiri dari 10 ekor.
Ransum
Ransum yang diberikan disusun dengan isoenergi dan isoprotein yaitu
kandungan energi 2950 kkal kg-1
dan kandungan protein 18% menurut
rekomendasi Lesson dan Summer (2005). Seperti tertera pada Tabel 1.
Kandungan nutrien pada tepung pupa yang diamati yaitu pada bahan kering,
abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan BETN bedasarkan as fed masing-
masing yaitu 94.21%, 8.68%, 47.4%, 19.47%, 4.09%, dan 14.57%. (Hasil analisis
pada Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB 2014).
Kandang dan Alat
Kandang yang digunakan adalah kandang baterai dengan alas dan dinding
berkawat yang diisi 10 ekor puyuh pada tiap kandangnya dengan empat ulangan.
Alat yang digunakan adalah oven, timbangan digital, plastik sampel, tabung
reaksi, mikrofotometer, H2SO
4, tabung heparin, tabung reaksi, tabung
mikrokapiler, centrifuge, mikroskop, haemocytometer Sahli, syringe.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kandang C, Laboratorium Nutrisi dan Ternak
Unggas Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisis hematologi dan
protein darah dilakukan di Laboratorium Ternak Daging dan Kerja Laboratorium
Analisa Proksimat Hayati, Pusat Antar Universitas (PAU)-IPB. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Mei 2014 – Juli 2014.
3
Tabel 1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan
Bahan Ransum Perlakuan
R0 R1 R2 R3
………………..(%)…………………
Jagung 50.13 50.09 50.35 51.3
Dedak padi 6.87 6.3 6.09 6
Bungkil kedelai 23 23.43 22.9 22.3
Tepung ikan 8 6 4 2
Tepung pupa 0 2.08 4.16 6.25
Minyak sawit 4.5 4.45 4.5 4.2
CaCO3 6.6 6.75 6.9 6.85
DCP 0 0 0.3 0.3
DL- Methionine 0.2 0.2 0.1 0.1
Garam 0.2 0.2 0.2 0.2
Premix 0.5 0.5 0.5 0.5
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrien
Energi Bruto (kkal kg-1) 3262 3216 3309 3316
Protein Kasar (%)2 17.27 17.08 16.77 17.34
Serat Kasar (%)2 2.11 2.62 2.6 2.51
Lemak kasar (%)2 3.84 4.64 5.67 5.09
Ca (%)3 3.08 3.03 3.04 2.91
P tersedia (%)3 0.52 0.45 0.45 0.39
Energi Metabolis
(kkal kg-1) 2598.09 2581.21 2601.92 2611.09
Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, 2014 2 Hasil analisis di Laboratorium Ilmu
dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2014 3 hasil pehitungan. R0= Ransum tanpa tepung
pupa ulat sutera dan mengandung 8% tepung ikan; R1= Ransum dengan tepung pupa ulat sutera
menggantikan 25% tepung ikan; R2= Ransum dengan tepung pupa ulat sutera menggantikan 50%
tepung ikan; R3= Ransum dengan tepung pupa ulat sutera menggantikan 75% tepung ikan.
Prosedur
Pemeliharaan
Puyuh dipelihara selama 12 minggu dengan 1 minggu masa adaptasi pakan
dan 11 minggu masa perlakuan. Ransum diberikan pada pagi dan sore hari. Air
minum diberikan ad libitum selama masa pemeliharaan. Suhu dan kelembaban
ruangan dicatat pada pagi hari, siang, dan sore hari selama penelitian. Sisa pakan
ditimbang setiap seminggu. Pengambilan telur dilakukan setiap hari sekali pada
pagi hari selama pemeliharaan. Kebersihan kandang, tempat pakan, dan tempat air
minum dilakukan setiap hari.
4
Jumlah Konsumsi Pakan dan Eksreta
Jumlah pakan yang dikonsumsi dihitung dengan cara menghitung selisih
pemberian dan sisa pakan yang tersisa pada setiap minggu. Pada 5 hari diakhir
percobaan dilakukan koleksi ekskreta setiap hari untuk menghitung kandungan
protein ekskreta. Protein tercerna atau metabolis adalah jumlah protein yang
dikonsumsi dikurangi dengan jumlah yang keluar sebagai ekskreta.
Konsumsi ransum (g) = Jumlah ransum yang diberikan – sisa ransum
Konsumsi protein (g) = Jumlah pakan x kadar PK ransum (%)
Ekskreta kering (g) = Jumlah total ekskreta basah x BK ekskreta
Jumlah protein ekskreta (g) = Ekskreta kering x Kadar protein ekskreta
Kecernaan Protein
Perhitungan kecernaan protein dilakukan dengan menggunakan metode in
vivo (McDonald et al. 1988).
Kecernaan protein = (konsumsi protein – protein dalam ekskreta) x 100%
Konsumsi protein
Pengambilan Darah
Pengambilan darah dilakukan puyuh umur 13 minggu sebanyak 16 ekor.
Darah diambil dari pembuluh vena Jugularis sebanyak 1 mL menggunakan
syringe. Sebelum pengambilan bulu aliran vena (daerah leher puyuh) dibersihkan
menggunakan alkohol 70%. Sampel darah dimasukkan dalam tabung berheparin
lalu sentrifuse untuk mendapatkan plasma darah, setelah itu disimpan pada suhu -
100oC sebelum di analisis protein darah.
Pengukuran Protein Darah
Pengukuran konsentrasi protein plasma dilakukan dengan menggunakan
reagen KIT protein nomor Reg 110491 dengan alat spektrofotometer Genesys 105
UV-Vis dengan panjang gelombang 578 nm.
Kadar Protein = 8 x (Sampel / Standar) g dL-1
Pengukuran Protein Telur
Pengambilan telur dilakukan pada minggu ke 13 sebanyak 16 telur.
Pengukuran konsentrasi protein telur dilakukan dengan menimbang putih telur
dan dimasukkan dalam gelas kimia lalu diencerkan dalam labu takar yang
ditambahkan 600 mL aquades selanjutnya siapkan tabung dengan larutan
pengenceran ditambahkan dengan biuret dan dan dihomogenkan. Larutan
didiamkan selama 10 menit, lalu diamati dengan alat spektofotometer pada
panjang gelombang 595.
5
Perhitungan Profil Darah
Eritrosit dan Leukosit. Darah dihisap menggunakan pipet eritrosit dengan
bantuan alat pengisap (aspirator) yang dipasang pada pipet tersebut sampai batas
1. Ujung pipet terlebih dahulu dibersihkan dengan tisu lalu dihisap larutan Rees
dan Ecker hingga tanda tera 101 pada pipet eritrosit. Kedua ujung pipet ditutup
dengan ibu jari dan jari telunjuk kanan, kemudian isi pipet dikocok dengan
gerakan membentuk angka 8. Setelah homogen cairan pada ujung pipet dibuang
dengan menempelkan pipet ke kertas tisu. Masukkan setetes darah kedalam kamar
hitung, jangan sampai ada udara yang masuk, didiamkan beberapa saat hingga
mengendap lalu penghitungan dengan mikroskop dapat dilakukan dengan
pembesaran 400 kali (a). Penghitungan eritrosit dalam hemositometer, dengan
mengambil bagian sebagai berikut : satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok
kiri atas, satu kotak di tengah, satu kotak pojok kanan bawah, dan satu kotak
pojok kiri bawah. Untuk mengetahui jumlah eritosit dalam 1mm3 darah, dengan
rumus dibawah ini (Sastradipradja et al. 1984).
Penghitungan jumlah leukosit dilakukan dengan menggunakan pipet
leukosit dengan bantuan aspirator hingga batas 1.0 lalu ujung pipet dibersihkan
dengan tisu. Setelah itu dihisap larutan Rees Ecker hingga tanda 11, pipa aspirator
dilepaskan, kemudian pipet diputar membentuk angka 8, setelah homogen, cairan
yang tidak terkocok dibuang. Darah diteteskan 1 tetes sampel darah ke dalam
hemocytometer, didiamkan beberapa saat hingga cairan mengendap, lalu dihitung
di bawah mikroskop perbesaran 400x. Jumlah leukosit dalam hemocytometer
dihitung menggunakan kotak leukosit. Jumlah leukosit hasil perhitungan (b) dikali
200 untuk mengetahui jumlah leukosit dalam 1 mm3
darah. Angka 200 diperoleh
dari hasil perhitungan 4 ruang kotak hitung dikali 1mm panjang dan lebar 1 mm3
serta tebal 0,01 mm kemudian dikali faktor pengencer 100 (Sastradipradja et al.
1984).
Jumlah Eritrosit per mm3
darah = a x 104 butir
Jumlah Leukosit per mm3 darah = b x 50
Hemoglobin (g%). Metode yang digunakan adalah metode sahli. Tabung Sahli
diisi larutan HCl 0.1 N sampai angka 10 atau garis batas bawah tabung, lalu
sampel darah dihisap dengan pipet sahli dan aspirator sampai batas 0.02 mL.
Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung sahli dan diletakkan antara
kedua bagian standar warna dalam alat hemoglobinometer, ditunggu selama 3
menit hingga warna berubah menjadi coklat akibat reaksi HCl dengan hemoglobin
membentuk asam hematin. Setelah itu larutan tersebut ditetesi dengan aquades
sedikit demi sedikit sambil diaduk, sampai warna larutan sama dengan warna
standar hemoglobinometer. Nilai hemoglobin diketahui dengan membaca tinggi
permukaan pada tabung sahli, dilihat dari skala jalur g %, yang menunjukkan
jumlah hemoglobin dalam gram per 100 mL darah (Sastradipraja et al. 1984).
6
Hematokrit (%). Nilai hematokrit ditentukan dengan metode mikrohematokrit.
Pipa mikrokapiler menghisap darah dengan memiringkan tabung. Pipa diisi
sampai 4/5 bagian kemudian ujung pipa disumbat dengan crestaseal lalu
ditempatkan di mikrocentrifuge dan disentrifuse dengan kecepatan 12000 rpm
selama 5 menit, kemudian terbentuk 3 lapisan yaitu cairan darah, benda darah ,dan
keping darah.
Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan mengukur % volume eritrosit
(lapisan merah) dari total darah menggunakan alat baca microcapillary
hematocrite reader (Sastradipraja et al. 1989).
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan
dan 4 ulangan dengan 10 ekor puyuh setiap ulangannya.
Model Matematika yang digunakan adalah :
Yij = µ +τi + Єij Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = Rataan umum
τi = Efek perlakuan ke-i
Єij = Error perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Anaisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam (Analyisis of Variance/ ANOVA) dan
hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).
Peubah yang Diamati
1. Profil Darah (eritrosit, leukosit, hb, PCV)
2. Neraca protein (konsumsi protein, protein ekskreta: kadar protein darah :
kadar albumin telur).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum merupakan ransum yang dimakan oleh ternak untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan produksi. Konsumsi ransum pada penelitian ini
dapat dilihat di Tabel 2.
Hasil analisis statistik menunjukan bahwa penggantian tepung ikan dengan
tepung pupa nyata meningkatkan konsumsi ransum (P<0.05). Faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi adalah umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak,
jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum, dan tingkat produksi (Anggorodi
1995).
7
Konsumsi ransum sudah termasuk dalam ketentuan Kementrian Pertanian
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (2011) karena jumlah ransum yang
diberikan adalah bekisar 15 g ekor-1
hari-1
. Setiawan (2006) menjelaskan bahwa
konsumsi pakan yang seimbang memberikan zat nutrien yang cukup bagi
pertumbuhan dan produksi. Perlakuan ransum yang berbeda akan menentukan
jumlah pakan yang dikonsumsi (Soedharno 1984).
Tabel 2 Konsumsi ransum, konsumsi protein, protein ekskreta, kecernaan protein,
protein darah, dan protein telur puyuh.
Parameter Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Konsumsi
ransum(g e-1
h-1
) 15.31±0.40a 16.60±0.4b 16.41±0.86b 16.44±1.05b
Konsumsi
protein(g e-1
h-1
) 2.60 ± 0.05 2.83 ± 0.08 2.74 ± 0.13 2.85 ± 0.18
Protein Ekskreta
(g e-1
h-1)
0.98 ± 0.37 0.78 ± 0.37 0.95 ± 0.19 1.49 ± 0.19
Kecernaan
Protein (%) 62.30±14.39b 72.44±3.65a 65.34±7.99b 47.72±9.48c
Protein
darah(mg dL-1
) 3.48±0.54 3.23 ± 0.34 3.47± 1.16 3.25 ± 0.78
Protein telur
(g ml-1
telur) 2.97±0.20 2.45 ± 0.38 2.06 ± 0.06 2.36 ± 0.25
perlakuan R0= Tidak memiliki perlakuan tepung pupa dan penambahan 8% tepung ikan (control),
R1= Ransum dengan tepung pupa ulat sutera menggantikan 25% tepung ikan; R2= Ransum
dengan tepung pupa ulat sutera menggantikan 50% tepung ikan; R3= Ransum dengan tepung pupa
ulat sutera menggantikan 75% tepung ikan. Huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukan berbeda nyata (P<0.05)
Konsumsi Protein, Ekskresi Protein, dan Kecernaan Protein
Konsumsi protein pada perlakuan pemberian tepung pupa nyata meningkat
(P<0.05) dan memiliki nilai R1 sebesar 8.8% , R2 5.8%, dan R3 9.6% lebih tinggi
dibanding kontrol. Menurut Widjastuti dan Kartasudjana (2006) bahwa konsumsi
protein sebesar 3.49 g.ekor-1
.hari-1
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok, pertumbuhan dan produksi telur pada burung puyuh.
Konsumsi protein yang dibutuhkan seharusnya berkisar 2.93 g.ekor-1.hari
-1
dengan kandungan protein ransum sebesar 17.24% untuk berat standar 10 g
dengan protein 13.1% (Rahmasari 2015) sehingga ukuran konsumsi protein yang
rendah dapat membuat ukuran telur lebih kecil dibandingkan standarnya. Yatno
(2009) menyatakan bahwa umur puyuh 42-55 hari yang diberikan ransum yang
tinggi protein kasarnya antara 22.31%-22.45% dengan rataan konsumsi 444.25-
490.67 g ekor-1
dapat menghasilkan denagn telur berat 9.06-9.53 g butir-1
.
Hasil menunjukan bahwa protein ekskreta pada burung puyuh tidak berbeda
nyata. Data pada Tabel 2 menunjukan nilai kisaran protein ekskreta berada antara
0.98-1.49 g ekor-1
hari-1. Ekskreta terdiri dari sisa ransum dan serat yang tidak
tercerna. Ekskreta merupakan bahan campuran hasil ekskresi tubuh yang berasal
dari pakan tidak tercerna dalam saluran pencernaan ditambah dengan hasil
metabolisme (Ensminger 1992). Menurut Ensminger (1992) jumlah dan
8
komposisi dari ekskreta yang diproduksi berbeda-beda tergantung pada jenis
unggas, bobot badan, waktu pengambilan ekskreta, jenis, dan jumlah pakan serta
cuaca.
Kecernaan protein yang diperoleh dari perlakuan pada Tabel 2 menunjukan
berbeda nyata (P<0.05). Data nilai pada kecernaan protein terendah R3
disebabkan karena tingginya protein di ekskreta akibat tingginya kadar protein
kasar dari tepung pupa, sehingga kandungan protein yang tercerna turun. Tillman
et al., (1998) menyebutkan bahwa penambahan jumlah ransum yang dikonsumsi
mempercepat arus makanan dalam usus sehingga mengurangi kecernaan serta
penambahan konsumsi menyebabkan penurunan daya cerna. Hal ini menunjukan
bahwa kecernaan protein sangat dipengaruhi dengan jumlah ransum yang
dikonsumsi. Menambahkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi daya
cerna adalah komposisi zat makanan yaitu lemak kasar.
Protein Darah
Protein darah burung puyuh pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Data
pada Tabel 2 menunjukan nilai kisaran protein darah berada antara 3.23-3.48 mg
dL-1
. Faktor yang mempengaruhi kadar protein darah adalah ransum (Lintang,
2003)
Protein darah pada umumnya disintesis sebagai preprotein pada poliribosom
yang terikat membran. Protein darah paling banyak terdapat di albumin,
fibrinogen dan globulins. Protein utama dalam plasma berada di albumin yang
berfungsi sebagai pengikat berbagai macam ligand (asam lemak bebas, Ca, Cu,
Zn, dll).
Protein Telur Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada
kandungan albumin telur diantara perlakuan. Kandungan protein pada ransum
berpengaruh pada hasil dari proses pencernaan yang menghasilkan protein telur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas telur adalah genetik, ransum, keadaan
kandang, temperature, penyakit dan stress (Yasin, 1988).
Menurut BSN (2006) komposisi protein dalam pakan berpengaruh terhadap
komposisi protein dalam telur. Protein ransum sebagian besar digunakan untuk
produksi telur, hanya sebagian kecil untuk hidup pokok. Semakin tinggi tingkat
produksinya maka pada kebutuhan protein akan semakin tinggi juga (Suprijatna et
al. 2005). Total protein telur puyuh sebesar 13.1%.
Profil Darah Burung Puyuh
Darah
Darah memiliki fungsi yang sangat penting dalam tubuh, yaitu sebagai
sistem transpor mengedarkan oksigen, sari-sari makanan ke seluruh tubuh,
mengedarkan hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin, mengangkut sisa
oksidasi yang dikelurkan tubuh, membunuh kuman, sebagai penutup luka,
keseimbangan asam basa, pengatur suhu tubuh, dan koagulasi. Darah merupakan
jaringan yang berbentuk cairan yang terdiri dari 3 bagian, yaitu cairan darah,
keeping darah dan benda-benda darah (Sturkie dan Griminger, 1976)
9
Volume darah merah berkisar 8% - 10% dari bobot badan. Menurut Guyton
dan Hall (2010), darah adalah jaringan khusus yang terdiri atas plasma darah yang
kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%), sel-sel tersebut terdiri dari sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).
Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukan bahwa profil darah puyuh tidak berbeda
nyata dengan kisaran normalnya yang disebabkan karena perlakuan.
Tabel 3 Profil darah burung puyuh umur 13 minggu yang diberi tepung pupa
Parameter R0 R1 R2 R3 Normal
Eritrosit
(juta mm-3
) 1.49x10
6 1.40x10
6 1.35x10
6 1.55x10
6 2-3x10
6
Hb (%) 8.95±2.34 10.55±1.82 10.25±2.41 9.85±1.84 7-13
Ht (g %-1
) 34.75±5.74 36.37±1.89 37.50±2.52 34.50±4.12 30-37 *)
Leukosit
(ribu mm-3
) 35.84x10
3 28.84x10
3 34.84x10
3 33.57x10
3 20-40
Sturkie dan Griminger (1976)
*) Schalm (2010)
Eritrosit
Kandungan sel darah merah pada Tabel 3 menunjukan bahwa perlakuan
pemberian tepung pupa tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Sel darah merah (eritrosit) memiliki fungsi yaitu sebagai pembawa
hemoglobin (Hb), membawa oksigen dari paru-paru ke organ. Sel darah merah
memiliki enzim yaitu enzim karbonat anhydrase berguna sebagai pemecah
karbondioksida lalu dikeluarkan melalui paru-paru. Menurut Saputro dan Junaidi
(2015) menyebutkan bahwa sel darah merah merupakan suatu sel yang kompleks,
membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam merupakan
mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta
menjaga fungsi dari hemoglobin selama masa hidup sel tersebut.
Menurut Sturkie dan Griminger (1976) menyatakan bahwa jumlah normal
sel darah merah pada puyuh yaitu sekitar 2 - 3.86 x 106 mm
-3 artinya nilai sel
darah merah pada puyuh ini lebih rendah. Menurut Adeyemo et al. (2010) bahwa
jumlah total eritrosit dipengaruhi oleh jenis kelamin dan faktor lingkungan.
Hemoglobin (Hb)
Data pada Tabel 3 menunjukan bahwa Hb buruh puyuh yang diamati tidak
berpengaruh nyata dan dalam kisaran nilai normal. Hemoglobin merupakan
protein yang berperan utama sebagai pengangkut oksigen (O2) dari paru-paru
keseluruh jaringan badan, selain itu juga sebagai pengkut CO2 dan menentukan
kapasitas penyangga darah (Campbell 2004; Ganong 1998; Sherwood 2001).
Hemoglobin dibagi menjadi 2 yaitu globin dan haem. Haem dibentuk pada
mitokondria sedangkan globin dibentuk di ribosom sumsum tulang belakang di sel
darah merah. Kadar hemoglobin di dalam darah dapat ditentukan dengan berbagai
macam cara, metode yang paling cepat adalah dengan berdasarkan analisa
kandungan besi atau kapasitas pengikat oksigen.
Menurut Mitruka et al. (1997) menyebutkan bahwa hemoglobin burung
puyuh yaitu 10.7 – 14.3 g dL-1
. Faktor yang dapat mempengaruhi hemoglobin
diantaranya adalah suhu kurang baik serta pada saat pengambilan darah, kadar Hb
10
yang rendah dapat menyebabkan kemampuan membawa oksigen ke dalam
jaringan menjadi menurun, dan eksresi CO2 tidak efisien sehingga keadaan dan
fungsi sel menjadi turun, hal ini juga disebabkan kadar eritrosit burung puyuh
rendah.
Hematokrit (Ht)
Hasil pengamatan terhadap kadar hematokrit pada burung puyuh periode 8 -
15 minggu diperoleh rataan kadar hematokrit yang tidak berbeda nyata dan dalam
kisaran nilai normal. Mitruka et al. (1997) nilai hematokrit berkisar antara 30% -
45.1%. Nilai ini dapat dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Colville dan
Bassert (2002) menyebutkan bahwa nilai hematokrit dapat digunakan untuk
melihat status anemia.
Menurut Piliang et al. (2009), hematokrit (Ht), Hb, dan eritrosit yang
normal menunjukan bahwa puyuh tidak mengalami kekurangan protein dan asam
amino yang diperlukan untuk metabolism tubuhnya.
Leukosit
Leukosit darah puyuh pada Tabel 3 menunjukan bahwa tidak berbeda nyata
dan sesuai dengan nilai normal. Menurut Sturkie dan Griminger (1976), kisaran
jumlah leukosit normalnya pada puyuh adalah 20 - 40 x 103
mm-3
. Hasil ini
menunjukan bahwa kadar leukosit pada puyuh ini masih berkisaran normal,
sehingga penambahan tepung pupa tidak berpengaruh pada hasil leukosit.
Sel darah putih bisa dibedakan menjadi 2 yaitu granulosit dan non
granulosit. Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinophil dan basophil, sedangkan
pada non granulosit yaitu limfosit dan monosit (Frances dan Widmann, 1995).
Neutrophil dan hetorofil (pada unggas) pada leukosit memiliki fungsi yaitu dapat
memakan benda asing dengan fagositosit, sedangkan pada lymphosit dan monosit
memiliki fungsi sebagai antibodi apabila ada benda asing yang masuk ke dalam
tubuh.
Selain itu ada beberapa fungsi lainnya pada granulosit, yaitu eosinofil dan
basofil yaitu masing-masing memiliki fungsi adalah sebagai anti alergi biasanya
berada pada usus, mukosa paru-paru (detox), sebagai anti gen, anti bodi saat alergi
dan infeksi parasit, sebagai heparin dalam tubuh agar darah tidak membeku. Pada
non granulosit yaitu lymposit sebagai antibodi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan tepung pupa ulat sutera sebesar 25% sebagai pengganti tepung
ikan pada ransum burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) dapat
meningkatkan palatabilitas, kecernaan protein, protein darah dan kualitas protein
telur. Pemberian tepung pupa menggantikan tepung ikan sampai 75% tidak
mempengaruhi gambaran profil darah burung puyuh.
11
Saran
Apabila akan melakukan penelitian ini secara berkelanjutan maka harus
dilakukan di sentra pesutraan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Adeyemo GO, Ologhobo AO, Adebiyi OA. 2010. The effect of graded levels of
dietary methionine of the haemotology and serum biochemistry of broiler. Int J
Poult Sci. 9(2): 158-161.
Anggorodi HR. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID). PT. Gramedia,
Pustaka Utama.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Penyuluhan
Perernakan dan Pertanian. Jombang. Http://Disnak.Jatimprov.Go.Id.
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan .2014. Statistik Peternakan
Dan Kesehatan 2012. Http:// Ditjennak.Deptan.Co.Id.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Pakan Puyuh Bertelur (Quail layer)
SNI 01-3907-2006. Jakarta (ID): Stndar Nasional Indonesia
Campbell NA. 2004. Biologi Edisi Ke-V Penerjemah: S. Koesparti. Erlangga,
Jakarta (ID).
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomi & Phisiology For Veterinary
Hematology. 6th
ed. Iowa (US). Wiley Blackwell.
Ensminger MA. 1992. Poultry Science (Animals Agriculture Series). 3rd
Edition.
Danville, Illinois (US) .Interstate Publishers, Inc
Fransces, Widmann K. 1992. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Edisi 9. Penerjemah: Siti Boedina Kresno: Ganda Soebrata, J.
Latu. EGC. Jakarta (ID).
Ganong WF. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review Of Medical
Physiology). Edisi 17. Terjemahan: P. Andianto. Jakarta (ID). Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th
. Ed.
Philadelphia(US): W. B. Saunders Company.
Kaomini K. 2006. Pengenalan kegiatan persuteraan alam [laporan]. Puslitbang
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor (ID).
Kementerian Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Pertanian. 2011. Cybext. Http://Cybext.Pertanian.Go.Id.
Lesson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. Edisi: 3rd
. England
(UK): Nottingham University Press.
Mitruka BM., Howard MR, Bahran VV. 1997. Clinical Biochemical and
Hematological Reference Values in Experimental Animals. Masson Pbl. USA,
Inc New York.
Nugroho E, Mayun IGK. 1991. Beternak Puyuh. Semarang (ID): Eka Off Set
Piliang WG, Astuti DA, Hermana W. 2009. Pengkayaan produk puyuh melalui
pemanfaatan pakan lokal yang mengandung antioksidan dan mineral sebagai
alternatif penyediaan protein hewani bergizi tinggi. Prosiding Seminar Hasil-
Hasil Penelitian IPB Bogor 2009. Hal: 27-39.
Prabakaran R. 2003. Good Planning And Manajement Of Integrated Commercial
Poultry Production In South Asia. FAO, Rome (IT).
12
Purwanti R. 2007. Respon pertumbuhan dan kualitas kokon ulat sutera (Bombix
mory) dengan rasio pemberian pakan yang berbeda [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rahmasari R. 2015. Pengaruh substitusi protein tepung ikan dengan tepung pupa
ulat sutera (Bombyx mori) terhadap produksi dan kulaitas telur puyuh [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saputro DA, Junaidi S. 2015. Pemberian vitamin C pada latihan fisik maksimum
dan perubahan kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit [Jurnal]. Semarang (ID):
Universitas Negeri Semarang.
Sastradipradja D, Ungerer T, Suriawinata R, Sikar SH. 1984. Larutan pengencer
darah unggas untuk menghitung jumlah leukosit secara langsung [Laporan
Penelitian]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Setiawan N. 2006. Perkembangan Protein Hewani di Indonesia Analisis Hasil
Survey Sosial Ekonomi Nasioanl 2002-2005 [Analisis Hasil Susenas 1999-
2004]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2: EGC. Jakarta
(ID).
Solihin P. 2003. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta (ID).FK UI.
Stedelman WF, Cotteril OJ. 1995. Egg Science And Technology 4th
Edition. Food
Product Press. An Imprint Of The Haworth Press Inc. New York.
Sturkie PD, Griminger P. 1976. Avian Physiology. 3rd
Ed. Comstock Publishing
Associates A Devision Of Cornell University Press Ithaca. New York.
Suprijatna EU. Atmomarsono. Kartasudjama, R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas Jakarta (ID). Penebar Swadaya.
Tillman AD, Hartadi H, Reksodiprojo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekajo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar, Edisi ke-6. Gajah Mada University. Press,
Yogyakarta.
Yatno. 2009. Isolasi protein bungkil inti sawit dan kajian nilai biologinya sebagai
alternatif bungkil kedelai pada puyuh [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Yasin S. 1988. Fungsi dan Peranan Zat-Zat Gizi dalam Ransum Ayam Petelur.
Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta (ID).
13
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rizky Amalia Kartika Sari, dilahirkan di
kota Cilacap tanggal 22 Agustus 1992. Penulis merupakan anak
pertama dari 3 bersaudara dari pasangan Hari Susanto dan
Nurlaeli. Penulis mengawali pendidikan taman kanak-kanak
tahun 1996 di TK Nurul Huda Pondok Pesantren Cigaru II
selesai pendidikan 1998, dilanjutkan Pendidikan di SDN
Cibeunying 05 Majenang dan diselesaikan tahun 2004,
Pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMPN 2 Majenang
yang dimulai dari tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis
melanjutkan Pendidikan di MA Negeri Majenang pada tahun 2007 dan
diselesaikan tahun 2010
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur
undangan seleksi masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi
dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa penulis
mengikuti beberapa kepanitiaan di IPB seperti di tingkat Fakultas Peternakan
seperti Dekan Cup 2011, Business Challenge 2012.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas
karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Neraca Protein dan Profil Darah Burung Puyuh (Coturnix
coturnix japonica) dengan Pemberian Pupa Ulat Sutera”.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu Prof Dr Ir
Dewi Apri Astuti, MS dan Ibu Prof Dr Drh Clara Meliyanti Kusharto, MSc selaku
dosen pembimbing sejak awal penulisan proposal sampai penulisan skripsi atas
bimbingan, nasehat, motivasi dan saran sehingga penulis mampu menyelesaikan
dengan sebaik-baiknya, serta kepada dosen pembahas seminar penulis pada
tanggal 25 Januari 2016 yaitu Ibu Ir Dwi Margi Suci, MS dan kepada dosen
penguji sidang skripsi pada tanggal 21 Maret 2016 Ibu Dr Ir Sri Darwati, M.Si
dan Ibu Ir Dwi Margi Suci, MS. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya juga
kepada Mama Papa yang telah berjuang keras memenuhi segala kebutuhan kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Intitut Pertanian Bogor, serta Helmi,
Haidar, dan Kekasih Cahya Mukti Dwi Kurnia yang telah sabar dan selalu
memberikan motivasi, nasehat, dan dukungan kepada penulis.
Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis kepada teman sepenelitian
Reikha Rahmasari dan Bapak Ucup yang membantu penulis dalam penelitian.
Penulis ucapkan terimakasih banyak kepada Teresia Sofi Elfrida S, Wahyu Dewi
I, Sudarsih, Dian Septi Andini, Siti Nurhanah, Alfiatun Nisa, dan seluruh teman-
teman INTP 47 dan IPTP 47 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.