neraca pembayaran dan perdagangan ... · web viewsementara itu dalam kerangka kerja sama bank dunia...

70
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

Upload: hadien

Post on 06-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGANLUAR NEGERI

BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

A. PENDAHULUAN

Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar ne-geri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan kebijaksanaan pembangunan. Selama Repelita I kebijaksanaan diarahkan untuk mendukung program stabilisasi dan rehabilitasi ekonbmi, termasuk penyelesaian masalah-masalah hutang lama. Dalam dua Repelita berikutnya kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri diarahkan untuk menunjang usaha-usaha pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta mendorong perwujudan perubahan struktural dalam pola produksi dan perdagangan luar negeri. Periode Repelita IV ditandai oleh kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri untuk menunjang penyesuaian struktural, antara lain berupa langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang. Dalam Repelita V kebijaksanaan ini dilanjutkan.

B. PERKEMBANGAN INTERNASIONAL

Perkembangan situasi ekonomi dan moneter dunia mempenga- ruhi kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri. Dalam dasawarsa 1970-an produksi dunia mengalami per-tumbuhan sebesar rata-rata 3,9%, yaitu 3,2% untuk negara-negara industri, 6,6% untuk negara-negara berkembang peng-

215

ekspor minyak bumi dan 5,5% untuk negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi. Periode 1979 - 1982 ditandai oleh resesi ekonomi dunia. Dalam tahun 1982 produksi dunia hanya tumbuh dengan 0,5%, sedangkan negara-negara industri bahkan mengalami kemerosotan dalam produksi sebesar 0,3%. Dalam tahun tersebut laju pertumbuhan untuk negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi dan kelompok bukan peng-ekspor minyak bumi masing-masing turun menjadi 0,8% dan 2,7%. Perekonomian dunia pulih kembali sejak tahun 1983 meskipun dari tahun ke tahun pertumbuhan produksi dunia berfluktuasi. Dalam tahun 1989 laju pertumbuhan ekonomi dunia melambat di-bandingkan dengan tahun sebelumnya dan hanya mencapai 3,0%. Dalam tahun tersebut negara-negara industri secara keseluruh-an tumbuh dengan 3,5%, sedangkan kelompok negara-negara ber-kembang pengekspor minyak bumi dan kelompok bukan pengekspor minyak bumi masing-masing tumbuh dengan 3,1% dan 2,9%.

Volume perdagangan dunia yang selama dasawarsa 1971 - 1980 mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 5,7% per tahun, me-nunjukkan kelesuan dalam periode 1980-1982. Dalam tahun 1982 volume perdagangan internasional bahkan menurun dengan 1,6%. Perdagangan kemudian kembali meningkat pesat pada tahun 1984 dan 1988. Dalam tahun 1989 perdagangan dunia meningkat dengan 7,2%, yang merupakan penurunan apabila dibandingkan dengan kenaikan sebesar 9,1% pada tahun 1988.

Perkembangan perdagangan negara-negara di dunia seperti diuraikan di atas diiringi oleh perubahan dalam nilai tukar perdagangan. Sejak tahun 1982 hingga tahun 1988 nilai tukar perdagangan bagi negara-negara industri terus meningkat. Se-baliknya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkem-bang pengekspor minyak bumi terus memburuk. Dalam dasawarsa 1970-an harga minyak bumi sangat meningkat, namun mulai tahun 1982 terus berkecenderungan merosot hingga mencapai titik terendahnya pada tahun 1986, dan setelah itu sedikit membaik. Dengan adanya kemantapan harga minyak bumi, nilai tukar per-dagangan untuk kelompok negara tersebut kembali meningkat dengan 9,4% dalam tahun 1989. Sementara itu nilai tukar per-dagangan bagi negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi juga menunjukkan perkembangan yang kurang menguntungkan sejak tahun 1981 karena adanya kecenderungan menurunnya harga komoditi primer di luar minyak bumi.

Salah satu sumber penting dari gejolak kurs berbagai mata uang di dunia adalah ketimpangan dalam neraca pembayaran antar negara. Transaksi berjalan pada neraca pembayaran negara-

216

negara industri dalam tahun 1989 menunjukkan defisit yang lebih besar dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$ 43,4 miliar. Meskipun defisit transaksi berjalan Amerika Serikat terus menurun, transaksi berjalan beberapa negara industri lain menunjukkan defisit yang membesar. Karena harga minyak bumi membaik, defisit transaksi berjalan negara-negara berkembang pengekspor minyak bumi menurun dari US$ 18,4 miliar pada tahun 1988 menjadi US$ 3,4 miliar dalam tahun 1989. Sementara itu, negara-negara berkembang lainnya meng-alami peningkatan dalam defisit transaksi berjalan dari US$ 9,8 miliar menjadi US$ 26,0 miliar.

Di bidang keuangan internasional terlihat bahwa sistem Bretton Woods dengan peranan dollar Amerika Sefikat sebagai cadangan devisa utama di samping emas tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi internasional. Dana Moneter Internasional (DMf) menjajagi suatu sistem moneter internasional baru yang dapat menunjang perdagangan dan pertumbuhan dunia. Dalam per-kem~angan selanjutnya telah terjadi perubahan-perubahan dalam anggaran dasar DMI yang meliputi kenaikan kuota negara-negara anggota, pengaturan nilai tukar mata uang yang baru, pe-ngur`angan peranan emas dan peningkatan peranan Special Drawing Rights (SDR). Melalui peningkatan dana yang berasal dari se-jumlah negara industri dan negara-negara anggota OPEC kemudi-an juga dilakukan perluasan berbagai fasilitas pinjaman dan pembiayaan tambahan. Sementara itu dalam kerangka kerja sama Bank Dunia dan DMI terus ditempuh langkah-langkah untuk me-ningkatkan pengalihan dana-dana pembangunan pada negara-negara berkembang. Beberapa inisiatif juga dilakukan ke arah penye-lesaian masalah hutang negara-negara berkembang. Namun masalah hutang ini masih belum terpecahkan secara mendasar.

Di bidang perdagangan internasional pada tahun 1973, 1982 dan 1986 telah diselenggarakan Sidang Tingkat Menteri dalam rangka Persetujuan tentang Bea Masuk,dan Perdagangan (GATT) di Tokyo, Jenewa dan Punta del Este, Uruguay. Perundingan multilateral tersebut ditujukan pada perluasan perdagangan, peningkatan pembangunan negara-negara berkembang dan pemben-tukan suatu sistem perdagangan dunia yang lebih bebas. Hingga kini telah disepakati pelaksanaan penuh dari ketentuan tidak menambah atau mengurangi hambatan perdagangan yang ada, serta pemberian prioritas pada pelonggaran perdagangan produk-produk tropis dan pertanian, hasil-hasil olahan kekayaan alam dan produk-produk tekstil. Suatu bidang baru yang sedang dijajagi adalah perdagangan dalam jasa-jasa. Rangkaian negosiasi mul-tilateral tersebut berjalan sangat lamban. Hal itu mengaki-

217

batkan bahwa pertikaian perdagangan internasional sering di-selesaikan secara bilateral. Usaha-usaha kerja sama di bidang perdagangan komoditi primer terutama dilakukan dalam kerangka Konperensi tentang Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD). Melalui Program Komoditi Terpadu beserta Dana Bersama (CommonFund) diusahakan stabilitas harga dan peningkatan pendapatan riil negara-negara berkembang pengekspor komoditi primer. Setelah perundingan yang panjang, persyaratan agar Dana Ber-sama dapat beroperasi akhirnya terpenuhi pada akhir tahun 1988.

Berkaitan dengan perwujudan Tata Ekonomi Dunia Baru, kerja sama antar negara berkembang ditujukan untuk meningkatkan ke-mandirian kolektif melalui kerja sama ekonomi dan teknik. Berbagai program kerja sama dirumuskan dan dilaksanakan dalam forum seperti Kelompok-77 UNCTAD, Gerakan Non-Blok, Organisasi Konperensi Islam serta forum tingkat tinggi lainnya. Di bidang perdagangan salah satu bentuk kerja sama yang mulai ditempuh adalah Sistem Preferensi Perdagangan Global yang ditujukan pada perluasan perdagangan antara negara-negara berkembang.

Kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN berkembang dengan menggembirakan setelah terselenggaranya Konperensi Tingkat Tinggi di Denpasar pada tahun 1976, di Kuala Lumpur pada tahun 1977 dan di Manila pada tahun 1987. Dengan tujuan memperkukuh stabilitas nasional dan regional serta mendorong pertumbuhan masing-masing negara anggota telah dirumuskan serangkaian program kerja sama di bidang pertanian, termasuk pangan dan kehutanan, industri, pertambangan dan energi, pengangkutan dan komunikasi, perdagangan dan pariwisata serta keuangan dan perbankan. Di bidang perdagangan, Perjanjian Perdagangan Preferensial yang disepakati pada tahun 1977 di-tujukan untuk memperluas perdagangan antara negara-negara ASEAN melalui perlakuan khusus terhadap impor yang berasal dari sesama negara anggota. Pehyempurnaan yang kemudian di-lakukan meliputi perluasan tingkat konsesi, pembatasan jumlah barang-barang yang dikecualikan dari konsesi perdagangan dan pelonggaran persyaratan "ASEAN Content" dalam Ketentuan Asal Barang. Di bidang industri kerja sama dilakukan melalui pen-dirian proyek-proyek ASEAN, pembentukan proyek-proyek industri komplementer dan pendirian perusahaan-perusahaan patungan ASEAN. Proyek-proyek tersebut didukung oleh penanaman modal dan pinjaman dari negara bukan anggota ASEAN. Sementara itu terus ditingkatkan kerja sama di bidang investasi dan per-dagangan antara ASEAN dengan negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan Korea Selatan.

218

C. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri diarahkan sepenuhnya untuk mendukung pelaksanaan dan kelangsungan pembangunan di dalam negeri.

Selama Repelita I prioritas kebijaksanaan diberikan pada usaha rehabilitasi kapasitas produksi, pengendalian impor dalam rangka program stabilisasi harga kebutuhan pokok dan penyediaan bahan baku dan barang modal guna menunjang kegiat-an produksi, penjadwalan kembali pelunasan hutang-hutang lama yang ditarik sebelum 1 Juli 1966, serta penyempurnaan pasar valuta asing. Suatu paket kebijaksanaan penting tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1970. Salah satu kebijaksa-naan yang ditempuh pada waktu itu meliputi penyatuan dan pe-nyederhanaan sistem kurs devisa. Untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasaran dunia, pada bulan Agustus 1971 nilai tukar Rupiah disesuaikan dari Rp 378 per US dollar menjadi Rp 415 per US dollar.

Dalam Repelita II dikeluarkan Paket Kebijaksanaan 1 April 1976 dengan sasaran pokok mendorong ekspor di luar minyak dan gas bumi. Kebijaksanaan tersebut meliputi penghapusan atau penurunan pajak ekspor, penghapusan bea meterai dagang dan dana rehabilitasi, penangguhan pungutan Cess, rasionalisasi biaya jasa pelabuhan, penetapan tarif angkutan barang ekspor yang wajar serta bersaing, penurunan suku bunga kredit dan provisi bank, serta penghapusan pungutan-pungutan daerah.

Selanjutnya, juga dalam rangka meningkatkan daya saing hasil-hasil produksi dalam negeri, dalam tahun 1978 diambil Kebijaksanaan 15 Nopember. Melalui kebijaksanaan tersebut nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing diturunkan dengan 33,6% dari Rp 415 menjadi Rp 625 per US dollar.

Dalam periode Repelita III terjadi resesi ekonomi dunia yang tajam. Guna mempertahankan laju pembangunan dalam suasana resesi tersebut telah ditetapkan Kebijaksanaan Ekspor Januari 1982. Melalui kebijaksanaan tersebut ditempuh langkah-langkah penyesuaian di bidang lalu lintas devisa, tata cara pembayar-an, penyederhanaan prosedur, perkreditan dan jaminan kredit ekspor, asuransi ekspor, perpajakan dan jasa-jasa angkutan laut. Di samping itu juga diambil kebijaksanaan yang bersifat lebih terbatas berupa pengkaitan impor Pemerintah yang pem-

219

biayaannya bersumber pada APBN atau Kredit Ekspor dengan peningkatan ekspor di luar minyak dan gas bumi (counter pur-chase policy).

Setelah memasuki tahun 1983 harga minyak bumi merosot tajam. Untuk mengamankan pembangunan dan neraca pembayaran maka dalam bulan Maret 1983 Rupiah didevaluasikan sebesar 27,8% dari Rp 700 menjadi Rp 970 per dollar Amerika Serikat. Kebijaksanaan tersebut didukung dengan langkah penjadwalan kembali sejumlah proyek besar yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri Pemerintah dengan komponen impor yang tinggi.

Selama periode Repelita IV neraca pembayaran Indonesia masih mengalami tekanan berat karena harga minyak bumi yang belum mantap, harga beberapa komoditi primer lainnya yang masih lemah dan mata uang Yen yang mengalami apresiasi ter-hadap dollar Amerika Serikat sejak awal tahun 1985.

Pada waktu itu terlihat bahwa neraca pembayaran sangat tergantung pada ekspor komoditi primer khususnya minyak dan gas bumi. Karena itu kebijaksanaan dan perdagangan luar negeri ditekankan pada langkah-langkah penyesuaian neraca pembayaran melalui peningkatan dan perluasan ekspor di luar minyak dan gas bumi, efisiensi dalam penggunaan devisa untuk impor, pe-ningkatan penanaman modal luar negeri serta pemantapan nilai tukar riil Rupiah terhadap valuta asing. Kebijaksanaan ter-sebut ditempuh dalam kerangka keseluruhan kebijaksanaan pem-bangunan yang tertuju pada penyesuaian dan restrukturisasi perekonomian Indonesia melalui langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi.

Suatu kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang sangat penting tertuang dalam Instruksi Presiden No.4 Tahun 1985 yang ditujukan pada peningkatan efisiensi dalam lalu lintas barang di pelabuhan. Kebijaksanaan tersebut meliputi langkah-langkah di bidang tata laksana ekspor dan impor, pe-layaran antar pulau, pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum pelayaran dan tata laksana operasional pelabuhan. Selan-jutnya, untuk meningkatkan daya saing ekspor, Kebijaksanaan 6 Mei 1986 memberikan fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor.

Sementara itu dalam tahun 1986 harga minyak bumi merosot tajam dari sekitar US$ 25 per barel pada awal tahun menjadi di bawah US$ 10 per barel pada bulan Agustus. Untuk meng -

220

amankan neraca pembayaran dan sekaligus untuk meningkatkan daya saing ekspor dilakukan devaluasi Rupiah sebesar 31,0% dari Rp 1.134 menjadi Rp 1.644 per dollar Amerika Serikat.

Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang disusul dengan Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987 merupakan langkah lanjut penting ke arah deregulasi dan debirokratisasi perdagangan luar negeri. Berdasarkan kebijaksanaan tersebut dimulai per-geseran dari cara pemberian perlindungan untuk barang-barang prpduksi dalam negeri melalui pengaturan tata niaga impor atau pembataran kuantitatif ke penggunaan bea masuk.

Sebagai kelanjutannya, pada tanggal 24 Desember 1987 telah diambil paket kebijaksanaan yang bersifat lebih menyeluruh dan meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubung-an penanaman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur bea masuk, tata niaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan perkreditan. Pembebasan dari pengaturan tata niaga dikenakan tethadap 106 jenis barang yang meliputi bahan makanan, minuman dan buah-buahan, produk industri listrik dan elektronika, alat-alat besar suku cadang, produk kimia, produk mesin-mesin perlengkapan dan suku cadang, serta produk industri logam. Di sanping itu untuk sejumlah produk industri alat-alat besar dari produk industri kendaraan bermotor diterapkan pelonggaran dari ketentuan tata niaga impor.

Pada bulan Nopember 1988 dikeluarkan lagi kebijaksanaan deregulasi di bidang perdagangan, perindustrian, pertanian dan perhubungan laut. Melalui kebijaksanaan tersebut telah ditiadakan tata niaga impor bagi 301 jenis produk industri makanan dan minuman, hasil pertanian, produk kimia farmasi dan kosmetika, produk industri logam, dan produk tekstil. Untuk barang-barang yang tadinya dikenakan larangan impor, perlindungan dilakukan melalui penetapan bea masuk dan atau bea masuk tambahan.

Berbagai langkah khusus lainnya juga telah diambil untuk menunjang produksi dan ekspor barang-barang di luar minyak dan gas bumi.

Dengan tujuan peningkatan nilai tambah domestik produk-produk ekspor mulai tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak lagi diperbolehkan. Kebijaksanaan tersebut dilanjutkan dengan larangan ekspor kayu gergajian jenis ramin, meranti dan agathis yang tidak berbentuk papan lebar pada tahun 1986. Ke-mudian mulai bulan September 1988 telah juga dilarang ekspor

221

kayu bahan chips dan kayu gergajian bernilai rendah. Larangan ekspor juga dilakukan untuk jangat dan kulit dalam bentuk mentah, sedangkan dalam hal karet diterapkan larangan produksi untuk karet bermutu rendah, yaitu SIR 50.

Dalam bulan Nopember 1989 ditetapkan harga patokan ekspor terendah untuk kayu gergajian dan kayu olahan, yaitu sebesar US$ 250 per meter kubik. Selanjutnya tarif- pajak ekspor (PE) dan pajak ekspor tambahan (PET) dirubah menjadi tarif pajak ekspor spesifik untuk kayu gergajian dan kayu olahan yang besarnya antara US$ 250 - US$ 2.400 per meter kubik dan ber-laku di seluruh wilayah Indonesia. Untuk komoditi ekspor lainnya PE dan atau PET dikenakan secara ad valorem, yaitu antara 5% sampai dengan 30% untuk PE dan 20% dalam hal PET.

Selanjutnya dalam rangka memperlancar prosedur dan tata niaga ekspor sejak bulan Desember 1987 telah dihapuskan ke-wajiban memiliki Angka Pengenal Ekspor (APE) sehingga eks-portir cukup memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Namun demikian, ketentuan lama masih tetap berlaku untuk barang-barang ekspor yang terkena kuota dalam kaitan peng-aturan internasional.

Untuk merangsang ekspor ubi kayu kering ke negara-negara tujuan di luar pasar MEE, dalam tahun 1989/90 diambil langkah untuk mengkaitkan pembagian kuota ekspor ke negara-negaraanggota MEE dengan ekspor ke pasar di luar MEE. Di samping itu ekspor ubi kayu kering ke pasar MEE hanya dapat dilakukan oleh eksportir yang diakui. Selanjutnya sejak 1 Nopember 1989 ekspor lada dibebaskan dari pengaturan tata niaga. Hal ini dilakukan untuk mencegah monopoli ekspor dan untuk memanfaat-kan peluang pasar secara lebih optimal.

Sementara itu, sejak bulan Mei 1989 suku bunga kredit ekspor untuk komoditi primer dinaikkan dari 9% menjadi 14% setahun dan untuk barang-barang lainnya dari 11,5% menjadi 14,5%. Langkah ini ditempuh sesuai dengan ketentuan Code on Subsidies anii Countervailing Duties yang telah ditandatangani oleh Indonesia dalam bulan Maret 1985 baik secara bilateral dengan Amerika Serikat maupun dalam kerangka GATT.

Kebijaksanaan sistem imbal beli yang menetapkan bahwa pembelian barang-barang Pemerintah dari luar negeri yang me-makai dana APBN dikaitkan dengan ekspor di luar minyak dan gas bumi diteruskan dan disempurnakan. Sampai dengan Pebruari 1990 kontrak imbal beli yang telah ditanda tangani, tidak ter-

222

masuk kontrak dengan Iran dan Irak, mencapai jumlah US$ 2,4 miliar sedangkan realisasinya mencapai US$ 2,0 miliar.

Usaha-usaha lain yang terus dikembangkan meliputi pening-katan pengawasan mutu barang ekspor untuk memperkuat daya saing di pasar luar negeri, promosi perdagangan melaluipengiriman misi dan partisipasi dalam pameran dagang inter-naSional serta peningkatan hubungan dagang dengan RRC, Uni SoViet dan Eropa Timur dalam rangka upaya-diversifikasi pasar.

Segi administrasi impor juga disempurnakan. Sistem penge-naan bea masuk sejak bulan Januari 1989 beralih dari klasifi-ka$i baran berdasarkan Custom Cooperation Council Nomencla- ture (CCCN) ke penggolongan berdasar Harmonized System (HS). Senlentara itu, guna meningkatkan kelancaran arus dokumen dan untuk memperoleh data impor yang lebih lengkap dan terinci siatem pencatatan impor disempurnakan. Sejak tanggal 1 April 1990 dokumen Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD) diganti dengan dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Di-pakai (PIUD).

Sementara itu disadari bahwa transaksi jasa menjadi makin penting dalam neraca pembayaran. Langkah-langkah yang di- tempuh di bidang ini antara lain ditujukan pada peningkatan penghasilan devisa dari pariwisata. Usaha-usaha tersebut me-liputi pengembangan industri pariwisata dan peningkatan fasi-litus serta pelayanan bagi wisatawan luar negeri. Di samping itu terus diusahakan peningkatan ekspor jasa-jasa baru seperti kontrakting serta pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Langkah-langkah untuk menghemat penggunaan devisa untuk jasa-jasa terutama ditempuh melalui cara perpajakan seperti biaya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri untuk orang yang bepergi- an ke luar negeri serta pengenaan PPN untuk berbagai jasa pengangkutan dan telekomunikasi.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang terus meningkat, di samping pengerahan dana dalam negeri tetap diperlukan dana luar negeri. Dana luar negeri tersebut meliputi pinjaman luar negeri Pemerintah, penanaman modal asing dan pinjaman luar negeri swasta. Pemanfaatan pinjaman luar negeri Pemerintah tetap harus memenuhi persyaratan bahwa syarat-syaratnya lunak, penggunaannya sesuai dengan rencana dan program pembangunan, jumlahnya dalam batas-batas kemampuan untuk membayar kembali dan tidak ada ikatan politik.

Dalam hubungan ini sejak bulan Oktober 1984, untuk lebih memantapkan pengendalian pinjaman, komitmen kredit ekspor di-

223

batasi jumlahnya setiap tahunnya. Sementara itu, seperti di-uraikan di atas, harga minyak bumi terus merosot dan kurs mata uang utama bergejolak. Keduanya memberikan beban berat terhadap neraca pembayaran dan anggaran negara. Oleh sebab itu mulai tahun 1986/87 dilakukan usaha untuk memperoleh pin- jaman khusus yang bersyarat lunak dan dapat cepat ditarik. Pinjaman tersebut dimaksudkan untuk menambah dana Rupiah yang tersedia dalam Anggaran Pembangunan dan untuk mendukung neraca pembayaran. Bantuan khusus ini bersifat sementara dan berkat menguatnya situasi neraca pembayaran dan anggaran negara, jumlahnya secara bertahap dapat dikurangi. Dalam pada itu, untuk memperkuat cadangan devisa, sejak tahun 1978/79 juga dilakukan usaha-usaha pinjaman komersial dari beberapa ke-lompok bank yang dapat segera ditarik bila dibutuhkan serta penerbitan obligasi dan surat-surat berharga di pasar uang dan modal internasional.

Modal swasta merupakan unsur penting dalam neraca pem-bayaran. Dalam rangka penggalakan penanaman modal swasta, baik modal dalam negeri maupun modal asing, sejak pertengahan tahun 1986 telah diambil serangkaian kebijaksanaan penyederhanaan dan deregulasi di bidang prosedur perizinan, pemilikan saham peserta nasional dalam perusahaan PMA, jumlah investasi minimum bagi perusahaan PMA dan jangka waktu izin PMA. Kebi-jaksanaan yang sangat penting di bidang ini tertuang dalam keputusan Presiden No. 21 Tahun 1989 yang mulai tanggal 5 Mei memberlakukan Daftar Bidang Usaha yang tertutup bagi Pena-naman Modal (DNI) sebagai pengganti Daftar Skala Prioritas Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal (DSP). Kebijaksanaan ter-sebut_ menentukan 55 bidang usaha yang tertutup untuk PMA, PMDN maupun penanaman modal yang tidak menggunakan fasilitas, 20 bidang usaha yang tertutup untuk PMA, serta 35 bidang usaha yang dicadangkan untuk industri/pengusaha kecil. Bidang-bidang usaha di luar itu dinyatakan terbuka. Di samping itu telah diperingan persyaratan pemilikan saham bagi perusahaan PMA agar memperoleh perlakuan sama seperti perusahaan PMDN. Keringanan tersebut berupa tidak diwajibkannya peningkatan saham nasional menjadi 51% tetapi cukup sebesar 5% apabila perusahaan PMA mengekspor 100% hasil produksinya dan berlokasi di kawasan berikat atau memiliki status entrepot partikelir, dan minimal sebesar 45% bagi perusahaan PMA yang menjual paling sedikitnya 20% dari sahamnya melalui pasar modal se-bagai saham atas nama. Ketentuan lainnya ialah bahwa batas minimum investasi bagi perusahaan PMA di turunkan secara se-lektif dari US$ 1 juta menjadi US$ 250 ribu berdasarkan per-timbangan apakah investasi tersebut menambah kesempatan kerja,

224

menunjang ekspor, menunjang penyediaan kebutuhan industri besar serta tidak menyaingi investasi yang sudah ada. Kebijak-sahaan Daftar Negatif Investasi ini sangat mendorong investasi (baik dalam rangka PMA maupun PMDN) dalam tahun 1989/1990.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Sejak Repelita I, neraca pembayaran Indonesia mengalami berbagai pasang surut. Namun secara umum situasinya tetap terkendali, sehingga kelangsungan pembangunan tetap terjamin. Dii samping itu neraca pembayaran juga berkembang ke arah struktur yang lebih seimbang. Apabila dalam dasawarsa 1970-an, sumber penerimaan utamanya adalah ekspor migas dalam rekening transaksi berjalan, dan pinjaman resmi (Pemerintah) dalam rekening transaksi modal, maka dalam tahun 1980-an, terutama dalam beberapa tahun terakhir dasawarsa itu, sumber-sumber penerimaan devisa sudah meluas. Ekspor non migas meningkat pesat, di samping itu penerimaan jasa, terutama dari pariwi-sata, juga sangat meningkat. Dalam rekening transaksi modal, di~samping pinjaman resmi, pemasukan modal swasta (termasuk PMA) berkembang menjadi sumber pembiayaan neraca pembayaran yang semakin penting. Secara keseluruhan landasan neraca pem-bayaran semakin terdiversifikasi, sehingga diharapkan semakin mantap apabila gejolak-gejolak dari luar terjadi. Perkembang-an neraca pembayaran secara lebih rinci sejak Repelita I adalah sebagai berikut.

Selama Repelita I (dengan 1968 sebagai tahun dasar), nilai ekspor secara keseluruhan mengalami peningkatan sebesar rata-rata 31,1% per tahun. Dalam kurun waktu tersebut ekspor di luar minyak bumi meningkat dengan 25,9% per tahun dan ekspor minyak bumi meningkat dengan 39,0% per tahun. Nilai impor (f.o.b.) dalam periode Repelita I naik dengan rata-rata 28,3% per tahun dengan perincian 26,8% untuk impor di luar sektor minyak bumi dan 39,6% untuk impor sektor minyak bumi. Kenaik-an ekspor dan impor yang paling pesat terjadi dalam tahun terakhir pelaksanaan Repelita I (1973/74). Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa selama masa Repelita I menunjukkan ke-naikan sebesar rata-rata 29,9% per tahun: 32,1% untuk jasa-jasa di luar sektor minyak bumi dan 27,7% untuk jasa-jasa sektor minyak bumi (lihat Tabel V-1).

Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut mengakibatkan kenaikan defisit transaksi berjalan dari US$ 287 juta pada tahun 1968 menjadi US$756 juta dalam tahun 1973/74.

225

TABEL V – 1RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN

1968 – 1989/90(juta US dollar)

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara3) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM4) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)5) Termasuk yang dibiayai melalui Bantuan Khusus6) Termasuk Bantuan Khusus yang tidak berupa Bantuan Program (Local Cost dan Sector Loan)7) Pokok pinjaman8) Termasuk DICS

226

Meskipun defisit transaksi berjalan meningkat, pemasukan modal dari luar negeri, baik oleh Pemerintah maupun oleh swasta (termasuk PMA) sangat meningkat, sehingga cadangan devisa meningkat.

Cadangan devisa pada akhir tahun 1973/74 mencapai US$ 929 juta, cukup untuk membiayai 3,8 bulan impor. Ini merupakan kenaikan yang sangat berarti karena pada akhir Desember tahun 1968 cadangan devisa hanya berjumlah US$ 78 juta.

Selama dua tahun pertama masa Repelita II, neraca pem-bayaran Indonesia mengalami perkembangan yang suram. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesulitan keuangan yang dialami Pertamina yang menyebabkan kewajiban pelunasan hutang-hutang luar negeri dalam jumlah yang sangat besar.

Nilai ekspor secara keseluruhan menunjukkan kenaikan se-be$ar rata-rata 25,7% setiap tahunnya selama masa Repelita II, terdiri atas 15,9% untuk ekspor di luar minyak dan gas bumi dan 32,1% untuk ekspor minyak bumi (lihat Tabel V-2 dan Gra- fik V-1). Di samping itu, sejak tahun 1977/78 Indonesia mulai melakukan ekspor gas alam cair (LNG) dengan nilai US$ 162 juta. Nilai impor (f.o.b.) naik sebesar rata-rata 22,4% per tahun, di antaranya nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi sebesar 20,8% dan nilai impor sektor minyak bumi dengan 29,3% (lihat Tabel V-3 dan Grafik V-2). Dalam periode yang sama, pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa mengalami ke-na kan rata-rata sebesar 25,7% per tahun. Pengeluaran untuk jasa-jasa sektor di luar minyak dan gas bumi dan jasa-jasa sektor minyak bumi masing-masing meningkat dengan 28,5% dan 18,4% setiap tahunnya. Sementara itu defisit transaksi ber-jalan selama masa Repelita II meningkat dari US$ 756 juta pada tahun 1973/74 menjadi US$ 1.155 juta pada tahun 1978/79.

Cadangan devisa mengalami kemunduran dalam tahun 1974/75 dan 1975/76. Namun berkat langkah-langkah kebijaksanaan yang diambil selama tiga tahun terakhir Repelita II cadangan devisa meningkat kembali dan mencapai US$ 2.916 juta pada akhir tahun 1978/79. Jumlah tersebut sama dengan biaya impor c.$ f. untuk rata-rata 4,6 bulan.

Selama Repelita III nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi hanya mengalami kenaikan rata-rata sebesar 6,2% per tahun. Nilai ekspor minyak bumi dan nilai ekspor LNG masing-masing mengalami kenaikan rata-rata sebesar 11,9% dan 36,O% per tahun. Nilai ekspor secara keseluruhan naik dengan 11,8% per tahun. Dalam kurun waktu yang sama nilai impor (f.o.b.)

227

TABEL V – 2NILAI EKSPOR (F.O.B.)

1968/69 – 1989/90(juta US dollar)

1) Angka sementara2) Perubahan rata-rata per tahun3) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM4) Sebagai hasil olahan (cross purchase) senilai US$ 983 juta5) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)

GRAFIK V - 1PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B.),

1988/69 - 1989/90

229

229

TABEL V - 3

NILAI EKSPOR (F.O.B.), 1968/69 - 1999/90 (juta US dollar)

Jenis Komodi t i1968/69

1973/74(Akhir Repelita I)

1978/79(Akhir.Repelita 11)

1983/84(Akhir.Repelita III)

1988/89(Akhir Repelita IV)

1989/90 1)

(Tahun Pertama Repelita V)

Ni l ai Ni l a i (% Kenaikan/2)

Pewuwnan)Ni l ai (% Kenaikan/2)

Penurunan)Ni l a i (% Kenaikan/ 2)

P en ur un an )Nila i (% Kenaikan/2)

Penurunan) Nilai ( % Kenaikan/

Penurunan)

Di luar Minyak danG as B um i 731 2.613 (29,0) 6.732 (20,8) 12.815 (13,7) 12.239 (- 0 ,9) 14.845 (21,3)

Minyak Bumi danHasi l-hasilnya 83 461 (40,9) 1.664 (29,3) 3.2733) (14,5) 1.912 (-10,2) 2.342 (22,5)

Gas Alam Cair - ( - ) 47 ( - ) 216 (35,7) 160 (- 5 ,8 ) 187 (16,9)

Jumlah se lu ruhimpor : 814 3.074 (30,4) 8.443 (22,4) 16.304 (14,1) 14.311 (- 2,6) 17.374 (21,4)

1) Angka sementara2) Perubahan rata-rata per tahun3) Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM

sebagai hasil olahan (cross purchase) senilai I1S$ 983 juta

230

GRAFIK V - 2PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B.),

1968/69 - 1989/90

231

naik sebesar rata-rata 14,1% setiap tahunnya, dengan pertum-buhan impor di luar sektor minyak dan gas bumi sebesar 13,7% per tahun, impor sektor minyak bumi sebesar 14,5% per tahun dan impor sektor LNG sebesar 35,7% per tahun. Nilai impor di luar minyak dan gas bumi meningkat dengan cepat menjadi US$ 14.131 juta pada tahun 1982/83. Berkat kebijaksanaan devaluasi dan pentahapan kembali sejumlah proyek, nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi dapat ditekan menjadi US$ 12.815 juta dalam tahun 1983/84. Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa juga dapat dikendalikan. Pengeluaran netto untuk jasa-jasa sektor di luar minyak dan gas bumi dapat di-tekan antara lain karena penghasilan devisa dari sektor pari-wisata meningkat, yaitu dari US$ 162 juta pada tahun 1978/79 menjadi US$ 417 juta pada tahun 1983/84.

Berkat meningkatnya nilai ekspor, yang terutama disebab-kan oleh laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan LNG, tran-saksi berjalan untuk pertama kalinya mengalami surplus sebesar US$ 2.198 uta dalam tahun 1979/80 dan US$ 2.131 juta dalam tahun 1980/81. Pada tahun berikutnya transaksi berjalan kem-bali berada dalam keadaan defisit. Dalam tahun 1982/83 defisit tersebut melonjak naik menjadi US$ 7.039 juta sebagai akibat merosotnya baik nilai ekspor minyak dan gas bumi maupun nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi. Selanjutnya karena nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat dan impor menurun secara drastis, defisit.transaksi berjalan ada tahun terakhir Repelita III berhasil diperkecil menjadi US$p 4.151 juta.

Pada tahun terakhir Repelita III, cadangan devisa sebesar US$ 5.144 juta adalah cukup untuk membiayai 4,3 bulan impor.

Dalam periode Repelita IV nilai ekspor sebagai keseluruhan hampir tidak mengalami perubahan. Dalam periode itu ekspor minyak bumi yang menurun dengan rata-rata 16,1% per tahun, diimbangi oleh nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi yang meningkat dengan rata-rata 17,8% setiap tahunnya. Selama dua tahun terakhir Repelita IV ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat sangat pesat, yaitu sebesar rata-rata 34,5% per tahun. Berkat perkembangan itu maka dalam tahun 1987/88 nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi untuk pertama kalinya sejak tahun 1974/75 melebihi nilai ekspor minyak dan gas bumi. Per-kembangan tersebut merupakan dampak positif dari kebijaksana-an devaluasi tahun 1986 dan kebijaksanaan deregulasi dan de-birokratisasi yang sejak tahun 1986 terus ditingkatkan.

Selama Repelita IV nilai impor rata-rata menurun dengan 2,6% setiap tahunnya. Penurunan tersebut disebabkan oleh ke-

232

lesuan kegiatan ekonomi di dalam negeri, terutama pada tahun-tahun pertama Repelita IV. Sementara itu, dalam periode yang sama pengeluaran devisa untuk jasa-jasa rata-rata menurun dengan 0,8% per tahun.

Defisit transaksi berjalan menurun dengan drastis dari US$ 4.151 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 1.968 juta dalam tahun 1984/85. Hal ini terutama disebabkan karena nilai impor di luar minyak dan gas bumi menurun. Namun dalam tahun 1986/87 defisit transaksi berjalan melonjak lagi menjadi US$ 4.051 juta karena harga ekspor minyak bumi sangat merosot. Pada tahun-tahun berikutnya defisit transaksi berjalan dapat ditekan sehingga dapat kembali menjadi US$ 1.859 juta dalam tahun 1988/89.

Seperti disebutkan di atas, di samping bantuan yang biasa sejak tahun 1986/87 Indonesia memanfaatkan bantuan khusus yang merupakan sumber dana luar negeri yang bersyarat lunak dan mudah dicairkan dalam rangka mendukung neraca pembayaran dan pelaksanaan pembangunan. Bantuan khusus ini berupa bantuan program, bantuan dana pendamping dan bantuan sektor yang ke-semuanya dapat segera ditarik untuk memperkuat cadangan devisa dan mendukung anggaran pembangunan. Selama Repelita IV telah diterima komitmen bantuan khusus sejumlah US$ 4.751,9 juta.

Cadangan devisa resmi pada akhir tahun 1988/89 mencapai jumlah US$ 6.011 juta. Jumlah cadangan tersebut cukup untuk membiayai impor (c.$ f.) di luar sektor minyak dan gas bumi untuk rata-rata 5,3 bulan.

Berpangkal tolak dari kemantapan posisi neraca pembayaran pada akhir Repelita IV dan landasan kebijaksanaan yang se-makin kukuh, neraca pembayaran selama tahun pertama Repelita V terus berkembang dengan menggembirakan.

Nilai ekspor secara keseluruhan meningkat sebesar 20,2% dari US$ 19.824 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 23.830 juta dalam tahun 1989/90. Nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi naik sebesar 19,0%, sedang nilai ekspor minyak bumi dangas bumi masing-masing meningkat dengan 25,6% dan 15,8%. Laju pertumbuhan ekspor di luar minyak dan gas bumi menurun diban-dingkan dengan laju kenaikan rata-rata dua tahun sebelumnyayang amat pesat. Kenaikan dalam nilai ekspor minyak bumi di-sebabkan oleh kenaikan dalam harga rata-rata ekspor minyak bumi dari US$ 15,07 per barel menjadi US$ 17,90 per barel dan kenaikan dalam volwne ekspor.

233

Dalam tahun 1989/90 nilai impor (f.o.b.) secara keselu-ruhan mengalami kenaikan sebesar 21,4% menjadi US$ 17.374 juta dibandingkan dengan US$ 14.311 juta tahun sebelumnya. Nilai impor di luar minyak dan gas bumi, meningkat sebesar 21,3%, sedang nilai impor sektor minyak bumi dan sektor gas bumi masing-masing mengalami kenaikan sebesar 22,5% dan 16,9%. Peningkatan impor di luar minyak dan gas bumi sejak tahun 1987/88 disebabkan oleh meningkatnya kegiatan investasi baik di sektor Pemerintah maupun sektor swasta. Impor sektor minyak bumi dan gas bumi naik akibat meningkatnya impor minyak bumi mentah yang merupakan bahan baku dalam proses produksi BBM dan meningkatnya impor perusahaan kontraktor asing.

Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa adalah sebesar US$ 7.372 juta dalam tahun 1988/89 dan meningkat dengan 9,3% menjadi US$ 8.055 juta pada tahun 1989/90. Untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi, sektor minyak.bumi dan sektor gas bumi, pengeluaran devisa netto mengalami kenaikan sebesar masing-masing 6,0%, 4,8% dan 33,1%. Penerimaan devisa dari jasa-jasa di luar jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi dalam tahun 1989/90 naik dari US$ 2.058 juta dalam tahun sebelumnya menjadi US$ 2.330 juta dalam tahun 1989/90. Penerimaan devisa dari sektor pariwisata meningkat sebesar 13,9% dari US$ 1.431 juta menjadi US$ 1.630 juta.

Meskipun laju pertumbuhan nilai impor lebih besar diban-dingkan dengan laju perkembangan ekspor, defisit transaksi berjalan dalam tahun pertama Repelita V dapat dikurangi akibat laju kenaikan dalam pengeluaran netto untuk jasa-jasa yang relatif kecil. Defisit transaksi berjalan menurun dari US$ 1.859 juta pada akhir Repelita IV menjadi US$ 1.599 juta pada tahun 1989/90.

Pinjaman Pemerintah yang digunakan dalam tahun 1989/90 berjumlah US$ 5.516 juta dibandingkan dengan US$ 6.588 juta dalam tahun 1988/89 atau menurun dengan 16,3%. Bantuan program naik dari US$ 882 juta menjadi US$ 1.037 juta karena mening-katnya pembiayaan melalui bantuan khusus dari US$ 859 juta menjadi US$ 1.031 juta. Bantuan proyek berkurang dari, US$ 3.610 juta menjadi US$ 2.940 juta karena pembiayaan me-lalui bantuan khusus turun dari US$ 1.204 juta menjadi US$ 640 juta. Penggunaan bantuan khusus dalam tahun 1989/90 berjumlah US$ 1.671 juta dibandingkan dengan US$ 2.063 juta dalam tahun 1988/89. Sementara itu, pelunasan pokok hutang luar negeri Pemerintah turun dengan 2,0% dari US$ 3.763 juta gada tahun 1988/89 menjadi US$ 3.686 juta pada tahun pertama Repe-lita V.

234

Pemasukan modal lain atas dasar netto berbalik dari ne-gatif US$ 211 juta dalam tahun 1988/89 menjadi positif US$ 575 juta dalam tahun 1989/90. Hal ini terjadi karena realisasi penanaman modal asing naik dengan pesat sebesar 22,0% dari US$ 878 juta menjadi US$ 1.071 juta. Meningkatnya investasi modal asing tersebut mencerminkan iklim investasi yang semakin menguntungkan. Pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan-peru-sahaan negara menurun sebesar 59,1% menjadi US$ 289 uta pada tahun 1989/90. Transaksi modal lainnya berjumlah US$ 72 juta dan meliputi kredit ekspor minyak dan gas bumi yang positif dan transaksi modal sektor swasta netto yang negatif.

Pos selisih yang tidak diperhitungkan dalam tahun 1989/90 berjumlah negatif US$ 558 juta. Pos tersebut terutama mencer-minkan transaksi modal jangka pendek berupa perubahan dalam piutang terhadap luar negeri dari bank-bank devisa swasta yang tidak tercatat dalam transaksi-transaksi neraca pemba- yaran lainnya.

Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan dengan mertiperhitungkan pemasukan modal netto di sektor Pemerintah dan sektor di luar Pemerintah, cadangan devisa dalam tahun 198:9/90 meningkat dengan US$ 248 juta dibandingkan dengan pe-nurunan sebesar US$ 677 juta pada tahun terakhir Repelita IV. Hal ini berarti bahwa jumlah cadangan devisa resmi telah meng-alami peningkatan dari US$ 6.011 juta pada akhir Repelita IV menjadi US$ 6.259 juta pada akhir tahun pertama Repelita V. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai impor (c.F, f.) di luar sektor minyak dan gas bumi untuk rata-rata 4,6 bulan.

D. EKSPOR

Sejak Repelita I ekspor secara umum terus berkembang, meskipun dari tahun ke tahun terjadi gejolak. Pada tahun 1969/70, yaitu tahun pertama Repelita I, seluruh nilai ekspor Indonesia, migas dan non migas, hanya sebesar US$ 0,9 miliar. Selama dasawarsa 1970-an dan awal dasawarsa 1980-an, penerimaan ekspor migas meningkat sekali karena kenaikan harga minyak bumi. Nilai ekspor secara keseluruhan mencapai sebesar hampir US$ 23,0 miliar pada tahun 1981/82 sewaktu harga minyak bumi mencapai puncaknya. Setelah itu, ekspor cenderung menurun sebagai akibat dari merosotnya harga minyak bumi dan mencapai titik terendah, yaitu sebesar US$ 13,7 miliar pada tahun 1986/87 sewaktu harga minyak jatuh di bawah US$ 10,0/barel.

235

Kurun waktu 1982/83 sampai dengan 1986/87 adalah masa suram bagi ekspor Indonesia. Pada waktu itu ekspor non migas belum cukup berkembang untuk mengimbangi kemerosotan drastis dari ekspor migas.

Keadaan berubah sejak tahun 1986/87 berkat rangkaian langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi yang dilaksa-nakan sejak tahun 1983, dan makin ditingkatkan sejak tahun 1986, maka ekspor non migas berhasil didorong. Ekspor non migas meningkat dengan sangat pesat. Apabila pada tahun 1968/69 ekspor ini baru mencapai nilai US$ 585 juta, maka pada tahun 1988/89 telah mencapai US$ 12,2 miliar; atau me-ningkat lebih dari 20 kali dalam kurun waktu 20 tahun. Dalam tahun 1989/90 ekspor non migas meningkat lagi dan mencapai nilai lebih dari US$ 14,4 miliar. Yang perlu dicatat pula adalah bahwa basis komoditi ekspor Indonesia makin meluas. Macam komoditi yang diekspor. makin beragam dan terutama berupa hasil-hasil industri, termasuk hasil-hasil industri sedang, kecil dan kerajinan: Seperti terlihat pada Tabel V-4, struktur ekspor non migas Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar dari dominasi oleh komoditi-komoditi primer dengan pengolahan minimal, ke komoditi-komoditi industri dengan tingkat pengolahan, dan dengan demikian juga nilai tambah, yang lebih tinggi. Apabila pada tahun 1968, 5 komo-diti utamanya adalah karet, kopi, timah, kopra dan teh, maka pada tahun 1989/90 komoditi utamanya adalah kayu lapis, teks- til, hasil-hasil tambang di luar timah dan aluminium, udang dan ikan. Beberapa komoditi,hasil industri lain, yang pada tahun 1968 tidak ada atau sangat kecil nilainya, seperti aluminium, kerajinan dan alat-alat listrik, pada tahun 1989/90 telah menjadi komoditi ekspor penting dengan nilai masing-masing US$ 261,8 juta, US$ 233,2 juta dan US$ 170,3 juta. Kelompok yang pertumbuhannya meningkat dengan sangat tajam adalah komoditi-komoditi yang tergabung dalam "Hasil-hasil Lainnya", yang telah meningkat dari US$ 44,7 juta dalam tahun 1968 menjadi US$ 2.869,7 juta dalam tahun 1989/90, atau peningkatan sebesar 64 kali dalam kurun waktu 21 tahun. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah berbaga.i ragam hasil industri yang baru muncul beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat dari kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Pa-da tahun 1987/88 ekspor non migas untuk pertama kalinya me-lampaui nilai ekspor migas. Berikut ini gambaran perkembangan dari beberapa komoditi ekspor non migas sejak Repelita I.

Mulai tahun 1972/73 kayu merupakan penghasil devisa ter-besar dalam kelompok komoditi ekspor di luar minyak dan gas

236

TABEL V - 4

VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1)

1968 - 1989/90(Volume dalam ribu ton dan Nilai dalam juta US dollar)

Jenis komoditi

1968 1973/74(Akhir Repelita I)

1978/79(Akhir Repelita II)

1983/94 (Akhir Repelita III)

1988/99 2)

1989/90 3)

(Akhir Repel ita IV) (Tahun Pertama Repelita V)

Ni la i

% Kenaikan/ 4)

Penurunanvolume Nilai

% Kenaikan/ 4)

PenurunanVolume Nilai

Kenaikan 4)

Penurunan

Volume

Kenaikan/Penurunan

Volume Ni la i

% Kenaikan/ 4)

Penurunan Volume Nilai Volume Nilai Volume Ni la i Volume Nilai Nilai Volume Nilai Ni la i

1. Kayu Lpis - - - - - - 36,0 14,4(18) - - 1.603,0 579,3 (3) + 113,7 + 109,4 4.359,8 2.073,3 (1) + 22,2 + 29,0 5.282,1 2.578,8 (1) + 21,2 + 21,42. Teksti l - - - - - - - 8,3(19) - - - 290,1 (7) - + 103.6 - 1.412,3 (2) - + 37,8 - 2.045,8 (2) - + 41,8

3. Hasil Tambang di luar15,0 (11) 2.544,1 77,6 (7) + 36,8 2.283,4 113,6 (7) - 2,1 + 7,9 - 326,5 (5) - + 23,5 - 970,1 (4) - + 24,3 - 1.439,3 (3) - + 18,1 Timah dan Aluminium

4. Kayu Bulat/Gergajian/22,6 (8) 15.716,0 720,4 (1) + 93,4 16.057,1 1.120,5 (1) + 0,4 + 9,2 4.241,0 581,9 (2) - 23,4 - 12,3 3.368,2 819,7 (5) - 4,5 + 7,1 3.577,9 1.009,0 (4) + 6,2 + 231, Olahan

5. Karet 203,9 (1) 901,7 484,7 (2) + 17,9 928,1 781,1 (2) + 0,6 + 10,0 1.146,6 983.5 (1) + 4,3 + 4,7 1.227.7 1.245,1 (3) + 1,4 + 4,8 1.223,6 977,1 (5) - 0,3 - 21,56. Udang, Ikan dan

3,3 (14) 84,7 90,3 (5) + 87,8 84,0 214,1 (6) - 0,2 + 18,8 193,6 276,0 (8) + 18,2 + 5,2 221,5 799,3 (6) + 3,0 + 23,7 279,2 695,7 -(6) + 24,1 - 13,0 Hasi1 Hewvan Lainnya7. Kopi 51,6 (2) 95,8 79,0 (6) + 8,5 231,7 508,5 (3) +19,3 + 45,1 297,3 505,8 (4) + 5,1 - 0,1 319,2 570,6 (7) + 1,4 • 2,4 415,1 499,2 (7) + 30,0 - 12,58. Tapioka dan Bahan Makanan Lainnya 16,9 (9) 1.159,1 56,5 (8) + 25,8 1.315,7 93,2 (9) + 2,6 + 10,5 1.199,4 134.5 (11) - 1,8 + 7,6 3.066,9 336,4 (9) + 20,7 20,1 2.701,5 345,4 (8) - 11,9 + 2,79. Minyak Sawit dan

29,9 (6) 531,4 95,1 (4) + 21,7 422,3 224,2 (5) + 8,7 +18,7 294,1 96,3 (13) - 7,0 - 15,6 807,8 311,3 (10) + 22,1 26,4 919,5 290,1 (9) + 13,8 - 6.8 Bij i Kelapa Sawit

10. Aluminium - - - - - - 112,0 164,9 (9) - - 127,0 308,3 (11) + 2,5 .13,3 157,0 261,8 (10) + 23,6 - 15,111. Kerajinan Tangan ... 5) - 10,4 (14) - - 18,9(17) -

+12,7- 74,6 (15) - + 31,6 - 391,9 (8) - 39,3 - 233,2 (11) - - 40,5

12. Timah 49,0 (3) 21,0 97,9 (3) + 11,1 25,6 323,8 (4) + 4,0 +27,0 24,3 309,0 (6) - 1,0 - 0,9 23,5 165,3 (12) - 0,7 -11,8 26,7 226,9 (12) + 13,6 + 37,313 . A la t L is tr ik - - - - 0,5 40,5(13) - - - 128,7 (12) - + 26,0 - 105,7 (16) - - 3,9 - 170,3 (13) - + 61,114. Pupuk Urea - - - - 325,6 42,S(12) - - 371,9 50;0 (17) + 2,7 + 3,3 984,2 133,2 (15) + 21,5 21,6 1.611,0 154,7 (14) + 63,7 + 1,6,115. Teh 30,7 (5) 45,8 31,2 (10) + 0,3 65,2 98,0 (8) + 7,3 + 25,7 8S,0 156,2 (10) + 5,4 + 9,8 108,8 133,8 (14) + 5,1 - 3,0 112,7 154,6 (15) + 3,6 + 1,5,516. Rotan 1,5 (l5) - 2,0 (16) + 5,6 - 39,5(14) - + 81,6 82,9 86,7 (14) - + 17,0 42,9 74,5 (18) - 12,3 - 3,0 51,0 145,1 (16) +

18,9+ 94,8

17. Semen - - - - 99,7 1,5(20) - - 306,0 11,3 (21) + 25,1 + 20.2 3.242.8 86,1 (17) + 60,3 +50,1 4.201,3 130,0 (17) - 29,6 + 51,018. Lada 15,8 (10) 25,2 30,7 (11) + 13,5 38,5 65,7(10) + 8,8 + 16,4 51,4 57,8 (16) + 5,9 - 2,5 53,2 143,4 (13) + 0,7 19,9 41,3 100,1 (18) - 22,4 - 30,219. Kulit 8,2 (12) 5,5 12,7 (13) + 8,7 7,2 29,7(16) + 5,5 + 18,5 7,1 26,0 (20) - 0,3 - 2,6 4,1 68,7 (19) - 10,4 21,4 3,3 66,2 (19) - 19,5 - 3,620. Bungkil Kopra 1,3 (13) 223,8 19,6 (12) + 33,5 323,1 31,1(15) + 7,6 + 11,7 345,2 33,5 (19) + 1,3 - 0,4 348,4 41,5 (21) + 0,2 • !,4 483,0 53,3 (20) - 38,6 - 28,421. Tembakau 25,3 (7) 34,7 15,6 (9) + 11,9 26,5 57,5(11) - 5,2 + 4,7 27,9 49,7 (18) + 1,0 - 2,9 29,1 58,3 (20) + 0,8 • 3,2 16,5 46,7 (21) - 43,3 - 19,922. Kopra 46,3 (4) 20,8 2,7 (15) - 41,8 0,1 0,1(21) -65,5 - 48,3 - - (22) - - - - - - - - -23. Hasil-hasil Lainnya 11,7 - 48,6 + 1,6 - 146,3 - + 24,7 - 444,7 - + 24,9 - 1.905.2 - 33,8 - 2.869,7 - 50,6

Jumlah 569,0 1.905.0 + 25,9 3.979,0 +15,9 5.367,0 + 6,2 12.184,0 17,8 14.493,0 + 19,0

1) Nomor dalam kurung adalah urutan besarnya nilai ekspor pada tahun bersangkutan 2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Perubahan rata-rata per tahun5) Termasuk hasil lainnya

237

bumi. Sebagai akibat kebijaksanaan untuk membatasi ekspor kayu bulat, maka pada tahun 1983/84 khususnya ekspor kayu lapis hampir menyamai ekspor kayu dalam bentuk bulat dan gergajian (lihat Tabel V-4).

Nilai ekspor kayu lapis selama periode Repelita III dan IV mengalami peningkatan rata-rata sebesar 109,4% dan 29,0% per tahun. Pada tahun pertama Repelita V, nilai ekspornya mencapai US$ 2.578,8 juta, berarti peningkatan sebesar 24,4% dibanding-kan dengan US$ 2.073,3 juta pada tahun sebelumnya. Kenaikan ekspor kayu lapis tersebut dimungkinkan oleh meningkatnya permintaan dari Jepang serta kenaikan harga di pasaran inter-nasional (lihat Tabel V-5). Perlu ditambahkan bahwa ekspor kayu lapis jenis tertentu ke Amerika Serikat tidak lagi men-dapat fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Walaupun ekspor kayu lapis mengalami hambatan perdagangan di beberapa negara, namun pemasarannya ke berbagai negara di Eropa, Asia, Timur Tengah dan Amerika Serikat ternyata semakin meningkat.

Ekspor tekstil dan pakaian jadi menunjukkan perkembangan yang menggembirakan selama Repelita III dan IV dengan kenaik-an rata-rata per tahun sebesar berturut-turut 103,6% dan 37 8%. Pada tahun pertama Repelita V, nilai ekspornya mencapai USJ 2.045,8 juta, suatu kenaikan sebesar 41,8% dibandingkan dengan US$ 1.442,3 juta pada tahun sebelumnya. Perkembangan ini menyebabkan ekspor tekstil dan pakaian jadi sejak tahun 1988/89 menduduki urutan kedua setelah kayu lapis di antara hasil-hasil ekspor di luar minyak dan gas bumi. Kenaikan yang cukup mengesankan dari nilai ekspor tekstil ini didukung an-tara lain oleh peningkatan kuota ekspor pakaian jadi ke ne-gara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Amerika Serikat dan Kanada, dan kemampuan eksportir pakaian jadi Indonesia untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Ditinjau dari negara tujuan, Amerika Serikat masih tetap merupakan pembeli utama, disusul oleh Inggris, Singapura, Jepang, Republik Federasi Jerman dan Hongkong.

Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium sejak awal Repelita I terus menunjukkan peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 36,8%, 7,9%, 23,5% dan 24,3% per tahun selama Repelita I, II, III dan IV. Dalam tahun 1989/90 nilai ekspor keseluruhan mencapai US$ 1.439,3 juta dollar, yang berarti 48,4% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pesatnya perkembangan ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang seperti tembaga, nikel dan emas.

238

TABEL V - 5HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EXSPOR, 1)

1968 - 1989/90

1) Harga rata-rata, kecuali harga kayu dan the (akhir bulan)2) Karet RSS III New York dalam US $ sen/lb3) Kopi Robusta ex Palembang, New York dalam US $ sen/lb4) Minyak sawit ex Sumatera London dalam US $/long ton5) Lada hitam ex Lampung, New York dalam US $ sen/lb6) Timah Putih, London dalam ₤/long ton7) Kayu US Lumber, Tokyo dalam 1.000 Y/meter kubik8) Plywood, , Tokyo dalam 1.000 Y/lb9) Tea Plain, London dalam ₤/Kg10) Perubahan rata-rata per tahun

239

Sampai dengan tahun 1971/72 karet merupakan penyumbang devisa terbesar dalam kelompok ekspor di luar minyak dan gas bumi, namun akhirnya menduduki urutan kelima dalam tahun 1989/90. Nilai ekspor yang tertinggi dicapai pada tahun 1988/89 sebesar US$ 1.245,1 juta. Secara keseluruhan, nilai ekspor karet telah mengalami kenaikan sebesar rata-rata 17,9%; 10,0%; 4,7% dan 4,8% per tahun selama Repelita I, II, III dan IV. Namun dalam tahun pertama Repelita V, nilai dan volume ekspor karet mencapai US$ 977,1 juta dan 1.223,6 ribu ton, suatu penurunan masing-masing sebesar 21,5% dan 0,3% diban-dingkan dengan tahun terakhir Repelita IV. Penurunan nilai ekspor disebabkan karena penurunan harga di pasaran dunia.

Pada tahun 1989/90, nilai ekspor kopi mencapai US$ 499,2 juta, yang berarti penurunan 12,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh kelebihan pasokan kopi dunia yang menyebabkan merosotnya harga ekspor kopi Indonesia. Nilai ekspor kopi selama periode Repelita I rata-rata mening-kat dengan 8,5% per tahun dan dalam Repelita II dengan 45,1% per tahun. Peningkatan ini terutama disebabkan karena mening-katnya harga kopi di pasaran internasional. Selama Repe- lita III nilai ekspor kopi menunjukkan penurunan sebesar rata-rata 0,1% per tahun. Sedang dalam periode Repelita IV nilai ekspor kopi kembali meningkat sebesar rata-rata 2,4% per tahun. Ditinjau dari negara tujuan ekspor, Jepang merupakan pembeli utama disusul oleh Amerika Serikat, Republik Federasi Jerman, Aljazair, Korea Selatan dan RRC.

Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit pada tahun 1989/90 merupakan penyumbang devisa pada urutan kesembilan dengan nilai ekspor sebesar US$ 290,1 juta. Pada tahun 1968 ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit mencapai nilai se-besar US$ 29,9 juta, dan merupakan penyumbang devisa pada urutan keenam dalam kelompok ekspor di luar minyak dan gas bumi. Dalam Repelita III ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit mengalami kemerosotan. Karena pembatasan ekspor guna memenuhi kebutuhan dan menjaga kestabilan harga minyak goreng di dalam negeri. Pada periode Repelita IV nilai ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit menunjukkan kenaikan sebesar rata-rata 26,4% per tahun. Kenaikan tersebut berkaitan dengan me-hingkatnya permintaan akan minyak sawit sebagai barang peng-ganti minyak kedele. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit adalah Belanda, Inggeris, India, Italia dan Kenya.

Perkembangan ekspor barang lainnya yang terutama meliputi barang-barang hasil industri seperti barang logam, kertas,

240

gelas kaca dan barang plastik mengalami peningkatan yang sangat pesat terutama dalam dua tahun terakhir Repelita IV dan awal Repelita V.

E. IMPOR

Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan pem-bangunan. Pengembangan kapasitas produksi dalam negeri memer-lukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksikan di dalam negeri. Kapasitas produksi dalam negeri yang makin berkembang memerlukan bahan baku/penolong yang makin besar. Bahan baku/penolong yang belum dapat diproduksikan di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-proyek prasarana yang diperlukan untuk mendukung kapasitas produksi dalam negeri yang makin berkembang juga memerlukan impor.

Pada tahun 1968 impor Indonesia di luar migas baru ber-nilai US$ 751 juta dan sebagian besar (46,1%) berupa barang konsumsi. Impor terus meningkat sejalan dengan laju kegiatan pembangunan. Pada tahun 1988/89 impor non migas mencapai US$ 12,2 miliar, atau meningkat lebih dari 16 kali selama 2 dasawarsa. Namun sebagian besar dari impor ini berupa bahan baku/penolong dan barang modal, dan barang konsumsi hanya mencakup 20,2% nya. Pada tahun 1989/90, impor non migas meningkat lagi menjadi US$ 14,8 miliar yang berupa bahan baku/penolong (43,6%), barang modal (33,6%) dan barang konsumsi (22,8%).

Perkembangan impor tersebut mencerminkan struktur produksi dalam negeri yang juga berkembang pesat. Terutama sejak tahun 1986/87, kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi telah dapat mendorong ekspor non migas yang berkembang dengan sangat pesat. Peningkatan ekspor non migas ini mengakibatkan impor bahan baku/penolong meningkat, dan selanjutnya, untuk menambah kapasitas produksi, impor barang-barang modal meningkat pula. Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi tersebut diarah-kan untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dengan menghilangkan atau mengurangi beban-beban biaya tambahan yang harus ditanggung oleh industri-industri ekspor, baik dari segi bahan baku/penolong untuk operasi produksinya, maupun dari segi barang modal untuk investasinya.

Perkembangan impor sejak Repelita I secara lebih terinci adalah sebagai berikut. Dalam Repelita Fnilai impor (f.o.b.) meningkat dengan amat pesat dari US$ 814 juta dalam tahun 1968/69 menjadi US$ 3.074 juta pada tahun 1973/74 atau sebesar

241

rata-rata 30,4% per tahun. Nilai impor di luar sektor minyak bumi naik sebesar rata-rata sebesar. 29,0% setiap tahunnya (lihat Tabel V-3). Laju pertumbuhan nilai impor di luar sektor minyak bumi yang demikian tingginya disebabkan oleh meningkat-nya impor barang modal dan bahan-bahan baku/penolong.

Perkembangan impor selama periode Repelita II dan empat tahun pertama Repelita III berkaitan erat dengan tahap per-tumbuhan ekonomi dan kebijaksanaan yang menunjang kegiatan produksi yang menghasilkan barang-barang pengganti impor. Selama periode Repelita II laju pertumbuhan impor di luar sektor minyak dan gas bumi menurun menjadi rata-rata 20,8% per tahun dengan penurunan yang paling besar untuk impor barang-barang konsumsi. Laju pertumbuhan yang paling tinggi terjadi untuk impor barang-barang modal sehingga peranannya dalam komposisi impor di luar minyak dan gas bumi meningkat dari 26,5% pada akhir Repelita I menjadi 35,7% pada akhir Repelita II (lihat Tabel V-6, V-7, dan Grafik V-3).

Kebijaksanaan pentahapan kembali sejumlah proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri serta devaluasi Rupiah telah menyebabkan penurunan impor di luar sektor minyak dan gas bumi dalam tahun 1983/84 untuk pertama kalinya sejak tahun 19b8. Meskipun demikian nilai impor (f.o.b.) selama masa Repelita III masih menunjukkan peningkat-an sebesar rata-rata 13,7% per tahun.

Peningkatan kegiatan produksi dalam negeri, khususnya produksi barang-barang ekspor yang masih menggunakan bahan baku/penolong impor, menyebabkan nilai impor di luar sektor minyak bumi dan gas mulai meningkat lagi dalam tahun 1987/88. Akan tetapi secara keseluruhan nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi selama Repelita IV mengalami penurunan sebesar rata-rata 0,9% per tahun.

Ditinjau dari komposisinya, pada tahun 1968 peranan impor barang konsumsi menduduki tempat pertama di dalam kelompok impor di luar minyak dan gas bumi, yaitu sebesar 46,1%. Pada akhir Repelita IV peranannya adalah 20,2% dan dalam tahun 1989/90 menjadi 22,8%. Impor bahan baku/penolong sampai akhir Repelita IV menunjukkan peranan yang semakin meningkat. Pada tahun 1968 peranannya sebesar. 39,3% kemudian terus meningkat menjadi 48,4% pada akhir Repelita. IV. Peranan impor bahan baku/penolong tersebut pada tahun 1989/90 menurun menjadi 43,6%. Sementara itu peranan impor barang modal yang pada tahun 1968 adalah sebesar 14,6% menjadi 33,6% dalam tahun pertama Repelita V.

242

TABEL V - 6PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI

MENURUT GOLONGAN EKONOMAI (C. & f.), 1)1968 - 1989/90

(juta US dollar)

1) Berdasarkan pembukaan L/C2) Angka diperbaiki3) Angka sementara

243

TABEL V - 7

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMIMENURUUT GOLONGAN EKONOMI , 1)

1968 - 1989/90 (%)

2) 3)1973/74 1978/79 1983/84 1988/89 1989/90

Golongan Ekonomi 1968 (Akhir (Akhir (Akhir (Akhir (Akhir Repelita I) Repelita II) Repelita III) Repelita IV) Repel i ta V)

1. Barang Konsumsi 46,1 33,9 24,7 19,6 20,2 22,8

2. Bahan Baku/Penolong 39,3 39,6 39,6 46,3 48,4 43,6

3. Barang Modal 14,6 26,5 35,7 34,1 31,4 33,6

Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

1) Berdasarkan pembukaan L/C 2) Angka diperbaiki 3) Angka sementara

244

GRAFIK V – 3PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI

MENURUT GOLONGAN EKONOMI,1968 – 1989/90

245

Pada tahun 1968 nilai impor (c.$ f.) barang konsumsi atas dasar pembukaan L/C mencapai US$ 331,6 juta, kemudian mening-kat menjadi berturut-turut US$ 998,8 juta dan US$ 1.416,5 juta pada tahun 1973/74 dan 1978/79 atau kenaikan sebesar rata-rata 23,4% dan 7,2% per tahun selama Repelita I dan Repelita II. Kenaikan impor barang konsumsi selama Repelita I disebabkan oleh besarnya impor beras akibat kemunduran dalam panen di dalam negeri. Selama Repelita III nilai impor barang konsumsi rata-rata menurun dengan 3,5% per tahun dan selama Repelita IV meningkat sebesar rata-rata 11,9% per tahun.

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri di dalam negeri, maka impor bahan baku/penolong meningkat dengan pesat. Pada tahun 1968 nilai impor bahan baku/penolong mencapai US$ 283,1 juta kemudian meningkat setiap tahunnya hingga men-jadi US$ 4.979,3 juta dalam tahun 1988/89. Kenaikan selama masa 4 Repelita terutama terjadi karena meningkatnya impor beton, besi dan baja batangan (21,6%) bahan kimia (20,6%)serta kapas kasar (18,00). Pada tahun 1989/90 nilai impor bahan baku/penolong meningkat lagi mencapai US$ 6.109,9 juta atau kenaikan sebesar 22,7% dibandingkan dengan tahun 1988/89. Kenaikan ini terjadi terutama karena meningkatnya impor bahan kimia sebesar 29,2% dari US$ 651,6 juta menjadi US$ 841,9 juta, sementara impor pupuk meningkat sebesar 104,9% dari US$ 53,5 juta menjadi US$ 109,6 juta.

Sampai dengan tahun 1980/81 nilai impor barang-barang modal terus meningkat dengan peranan yang semakin besar. Pada tahun 1968 nilai impornya sebesar US$ 104,9 juta, kemudian mengalami kenaikan menjadi US$ 3.227,5 juta dalam tahun 1988/89. Hal ini berarti bahwa dalam masa Repelita I sampai dengan Repelita IV telah terjadi kenaikan sebesar rata-rata 18,4% setiap tahunnya. Nilai impor barang modal rata-rata per tahun meningkat dengan 19,7% untuk alat penerima dan peman-car, 19,6% untuk mesin-mesin ,tenaga dan 18,9% untuk motor listrik dan transformator. Impor barang modal terus mengalami peningkatan dalam tahun 1989/90 mencapai US$ 4.708,5 juta atau meningkat sebesar 45,9% dibandingkan dengan tahun sebe-lumnya. Kenaikan yang besar terjadi dalam impor mesin keperlu-an industri (274,4%), impor aparat penerima dan pemancar (73,4%), dan impor bis, truk dan traktor (50,5%).

F. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI

Seperti digariskan dalam GBHN, pinjaman luar negeri me-rupakan sumber pelengkap dari dana dalam negeri yang dibutuh

246

kan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan investasi dan untuk membiayai impor yang diperlukan untuk program dan proyek-proyek pembangunan.

Sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat-syarat lunak ataupun dalam bentuk hibah (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang tergabung dalam Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Selama masa Repelita I Pemerintah mengusahakan pinjaman ber-bentuk bantuan program yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syarat pelu-nasan yang sangat lunak. Tabel V-8 dan V-9 menyajikan jumlah pinjaman yang diterima Pemerintah atas dasar komitmen yang disetujui.

Pinjaman Pemerintah yang disetujui dalam tahun 1968 ber-jumlah US$ 363,3 juta yang terdiri dari bantuan program se-besar US$ 292,3 juta dan bantuan proyek sebesar US$ 71,0 juta. Selama masa Repelita I persetujuan bantuan program meningkat dan mencapai US$ 340,6 juta pada tahun 1973/74. Bantuan proyek mengalami peningkatan lebih pesat lagi yaitu rata-rata 46,0% setiap tahun, hingga mencapai US$ 518,2 juta pada tahun 1973/74 (lihat Tabel V-8).

Selama periode Repelita II bantuan program mengalami pe-nurunan sehingga pada tahun 1978/79 menjadi US$ 112,5 juta sedangkan bantuan proyek terus meningkat menjadi US$ 1.564,4. Karena kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat dan untuk mendukung neraca pembayaran, sejak tahun 1974/75 mulai diusahakan pula pinjaman berbentuk kredit ekspor dan kredit komersial. Kredit ekspor dan komersial tersebut men-capai jumlah US$ 719,7 juta pada tahun 1978/79.

Persetujuan pinjaman Pemerintah naik selama masa Repe- lita III mencapai US$ 4.528,6 juta pada tahun 1983/84. Ke-naikan yang paling besar terjadi untuk pinjaman tunai, se-dangkan bantuan proyek dan pinjaman proyek bersyarat lunak dan bersyarat komersial masing-masing mengalami kenaikan se- besar 6,7 % dan 4,7 % per tahun (lihat Tabel V-9).

Sejak tahun 1986/87 Indonesia memperoleh pinjaman khusus dalam bentuk bantuan prograrn dan pinjaman lain yang dapat di-rupiahkan. Pada tahun 1988/89, komitmen bantuan khusus (atas dasar pledge) yang diterima adalah sebesar US$ 2.360,0 juta, sedangkan komitmen bantuan proyek meningkat menjadi US$ 2.248,3 juta. Pinjaman proyek lainnya meningkat menjadi US$ 1.119,2 juta, sedangkan pinjaman tunai turun menjadi US$ 493,5 juta.

247

TABEL V – 8

PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1)1968 – 1989/90

(juta US dollar)

1) Pinjaman IGGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI atas dasar persetujuan 2) Angka diperbaiki3) Angka sementara4) Perubahan rata-rata per tahun5) Berupa Bantuan Program, Dana Pendamping (Local Cost) dan Pinjaman Sektor (Sector Loan) 6) Termasuk kredit ekspor7) Berupa pinjaman obligasi dan pinjavan dari kelompok bank

248

TABEL V - 9PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1)

1968 - 1989/90(juta US dollar)

1) Pinjaman IGGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI atas dasar persetujuan2) Termasuk Bantuan Khusus3) Angka diperbaiki4) Angka sementara5) Termasuk kredit ekspor6) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

249

i

Dalam tahun pertama Repelita V komitmen pinjaman yang di-terima Pemerintah naik menjadi US$ 6.450,8 juta dari US$ 6.244,0 juta pada akhir Repelita IV. Bantuan khusus yang disetujui berjumlah US$ 1.855,1 juta. Penurunan persetujuanbantuan khusus mencerminkan bahwa pemberian bantuan khusus hanya bersifat sementara dan peranannya menurun dengan semakin membaiknya keadaan perekonomian Indonesia. Persetujuan bantuan proyek meningkat sebesar 26,2% menjadi US$ 2.838,2 juta. Per-setujuan pinjaman proyek lainnya turun sebesar- 19,9% menjadi US$ 896,4 juta. Sementara itu persetujuan pinjaman tunai mengalami peningkatan dari US$ 493,5 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 855,1 juta.

Pembayaran kembali hutang-hutang ditentukan oleh jadwal pemanfaatannya untuk pembangunan proyek, waktu tenggang dan faktor-faktor lainnya. Dengan meningkatnya proyek-proyek yang dibangun serta jatuh waktunya pinjaman, jumlah pembayaran kembali hutang juga meningkat.

Dalam periode Repelita IV, terutama mulai tahun 1985, terjadi apresiasi tajam dari mata uang-mata uang utama ter-hadap dollar A.S. Ini merupakan satu faktor yang sangat pen-ting yang menyebabkan pelunasan pinjaman meningkat sekali, terutama sejak tahun 1985/86. Selama Repelita IV pelunasan pokok dan pembayaran bunga pinjaman naik dengan rata-rata 23,7% per tahun mencapai US$ 6.328,0 juta dalam tahun 1988/89. Dengan merosotnya harga minyak bumi perbandingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap ekspor me-ningkat menjadi 31,9% pada akhir Repelita IV (lihat Tabel V-10).

Dalam tahun pertama Repelita V keadaan membaik. Perban-dingan antara jumlah pelunasan pinjaman luar negeri Pemerin-tah terhadap penerimaan ekspor menurun menjadi 26,0%. Penurun-an ini terutama disebabkan karena semakin meningkatnya ekspor dari US$ 19.824,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 23.830,0 juta dalam tahun 1989/90, sedangkan pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah mengalami penurunan dari US$ 6.328,0 juta menjadi US$ 6.202,0 juta dalam tahun 1989/90.

Berkat rangkaian kebijaksanaan yang ditempuh di bidang ekspor, impor, fiskal dan moneter, transaksi berjalan neraca pembayaran sejak awal Repelita I berkembang dengan cukup mantap. Defisit transaksi berjalan telah berhasil ditekan dari US$ 7,0 miliar pada tahun 1982/83 menjadi US$ 4,2 miliar pada tahun berikutnya dan dari US$ 4,1 miliar dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 1,7 miliar dalam tahun 1987/88. Demikian pula ke-

250

bijaksanaan penentuan nilai tukar rupiah, kebijaksanaan di bidang penanaman modal asing dan kebijaksanaan pengendalian hutang-hutang luar negeri telah menunjang terpeliharanya situasi neraca pembayaran dan cadangan devisa. Ini semua mendukung kelanjutan pelaksanaan pembangunan.

TABEL V - 10

PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1968 - 1989/90(juta US dollar)

Tahun Pelunasan 1)

Pinjaman Nilai 2)

Ekspor(% dari nilai

Ekspor)

1968 52 872 (6,0)

1973/74(Akhir Repelita I) 131 3.613 (3,6)

1978/79

(Akhir Repelita II) 1.117 11.353 (9,8)

1983/84

(Akhir Repelita III) 2.188 19.816 (11,0)

1988/89

(Akhir Repelita IV) 6.328 19.824 (31,9)

1989/90 3)(Tahun PertamaRepelita V) 6.202 23.830 (26,0)

1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah2) Termasuk ekspor minyak bumi, gas alam cair (LNG)

dan gas minyak bumi cair (LPG) atas dasar bruto 3) Angka sementara

251