natsri anshari devy sondakh salvador gedeon de jesus

46
Natsri Anshari Peran Peira Hukum dalam Operasi Militer Devy Sondakh Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan olehAnggota DinasAngkatan Laut Salvador Gedeon de Jesus Soares Status dan Pertanggungjawaban Hukum Private Military Contractor menurut Hukum Humaniter dan Hukum Nasional Amerika Serikat (Studi Kasus: Blackwater USA di lrak) Fria Almira Pelanggaran Hukum Humaniter terhadap Tawanan Perang lrak oleh Tentara Amerika Serikat (Studi Kasus: Penyiksaan Tawanan Perang lrak di PenjaraAbu Ghraib) Nobuo Hayashi Introduction to International Criminal Law Laporan International Bar Association tentang Mahkamah Pidana lnternasional (ICC) Terjemahan Konvensi Den Haag V tahun 1907 tentang Hak- hak dan Kewajiban-kewajiban Negara Netral dalam Perang di Darat

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

• Natsri Anshari Peran Perwira Hukum dalam Operasi Militer

• Devy Sondakh Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan olehAnggota DinasAngkatan Laut

• Salvador Gedeon de Jesus Soares Status dan Pertanggungjawaban Hukum Private Military Contractor menurut Hukum Humaniter dan Hukum Nasional Amerika Serikat (Studi Kasus: Blackwater USA di lrak)

• Fria Almira Pelanggaran Hukum Humaniter terhadap Tawanan Perang lrak oleh Tentara Amerika Serikat (Studi Kasus: Penyiksaan Tawanan Perang lrak di PenjaraAbu Ghraib)

• Nobuo Hayashi Introduction to International Criminal Law

• • • Laporan International Bar Association tentang Mahkamah

Pidana lnternasional (ICC)

• Terjemahan Konvensi Den Haag V tahun 1907 tentang Hak­hak dan Kewajiban-kewajiban Negara Netral dalam Perang di Darat

Page 2: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Diterbitkan atas kerjasama dengan FRR Law Office

Page 3: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

JURNAL HUKUM HUMANITER

Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

Penanggung-jawab: Rektor Universitas Trisakti

Dewan Redaksi Kehormatan: Prof. KGPH. Haryomataram, S.H. Prof. Timothy L. H. McCormack

Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. Michael Cottier, LL.M., Ph. D

Brigjen. TNI (Purn) PLT. Sihombing, S.H., LL.M. Kol. (Chk.) Natsri Anshari, S.H., LL.M.

Rudi M. Rizki, S.H., LL.M. Fadillah Agus, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi: Arlina Permanasari, S.H., M.H.

Anggota Redaksi: Andrey Sujatmoko, S.H., M.H.

Aji Wibowo, S.H., M.H Kushartoyo Budisantosa, S.H., M.H.

Amalia Zuhra, S.H., LL.M. Jun Justinar, S.H., M.H.

5ekretariat: Ade Alfay Alfinur, S.Sos.

Supriyadi, S.E. Agung Wibowo, Amd

Alamat Redaksi: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) FH-USAKTI

JI. Kyai Tapa No. 1, Gedung H Lt. 5 Kampus A Grogol Jakarta 11440 Tlp./Faks.: (021 )563-7747 E-mail: [email protected]

Jurnal Hukum Humaniter terbit setiap enam bulan pada bulan April dan Oktober

Page 4: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

EDITORIAL i i

EDITORIAL

Segala puji dan rasa syukur hanya kami panjatkan ke hadirat Allah Ta'ala sehingga atas perkenanNYA jualah maka JURNAL HUKUM HUMANITER ini dapat hadir kembali di tangan para pembaca.

Pembaca yang budiman,

JURNAL HUKUM HUMANITER edisi ke tujuh ini menyajikan beberapa artikel utama, yang membahas salah satu topik dalam hukum humaniter, yaitu bagaimana peranan seorang perwira hukum dalam suatu sengketa bersenjata khususnya menjelang perencanaan maupun persiapan operasi-operasi mil iter. Dibahas pula mengenai kejahatan yang dilakukan dalam peperangan di laut, yang menguji kembali berlakunya asas-asas hukum humaniter dalam sengketa bersenjata internasional . Di samping itu, diketengahkan juga tul isan yang masih berkaitan dengan masalah privatisasi jasa militer pada edisi sebelumnya, namun kal i ini khususnya yang dilakukan oleh Private Military Company Blackwater Amerika Serikat di Irak. Masalah pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter juga dibahas dalam edisi ini, khususnya perlakuan dari tentara Amerika Serikat kepada tawanan perang Irak di Penjara Abu Ghraib. Sebagai artikel pendukung, Redaksi memilih a rtikel yang membahas mengenai prinsip tanggung-jawab pidana individu yang berkaitan dengan kejahatan intemasional seperti kejahatan perang.

Adapun mengenai isi "Kolom" kal i ini memuat laporan perkembangan terbaru dari Mahkamah Pidana Internasional, yang terutama menyoroti aspek-aspek hukum acara dalam Kamar-kamar Peradilan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 5: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

i i i EDITORIAL

Sedangkan untuk terjemahan pef)an11an internasional di bidang hukum humaniter, disajikan terjemahan Konvensi Den Haag V tahun 1907 mengenai Hak-hak dan Kewajiban­kewajiban Negara Netral dan Orang-orang Netral dalam Perang di Darat.

Penerbitan JURNAL HUKUM HUMANITER untuk edisi Oktober 2008 ini terwujud berkat kerjasama dengan FRR Law Office, yang telah berkomitmen dalam rangka mengembang­kan hukum humaniter di Indonesia. Akhirnya kami meng­harapkan tulisan-tulisan ilmiah dari berbagai kalangan masyarakat pemerhati hukum humaniter, dan juga masukan dari pembaca berupa kritik maupun saran konstruktif bagi perbaikan di masa yang akan datang.

Selamat membaca.

Redaksi

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 6: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

iv

DAFTAR ISI

ARTIKEL him

1 . Natsri Anshari Peran Perwira Hukum dalam Operasi Mil iter. . . . . . . . . . . . 1222

2. Devy Sondakh Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konfl ik Internasional . . . . . . . . . . . . . 1248

3. Salvador Gedeon de Jesus Soares Status dan Pertanggungjawaban Hukum Private Military Contractor Menurut Hukum Humaniter dan Hukum Nasional Amerika Serikat (Studi Kasus: Blackwater USA di Irak) . . . . . . . .. . . . . .. . . .. .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . 1288

4. Fria Almira Mardiatiwi Pelanggaran Berat Hukum Humaniter (Studi Kasus

tentang Tawanan Perang Irak di Penjara Abu Ghraib) . . . . 1317

ARTIKEL PENDUKUNG

Nobuo Hayashi Introduction to International Criminal Law. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1355

KOLOM

1 . Laporan International Bar Association tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1365

2. Terjemahan Konvensi Den Haag V 1907 tentang Hak-Hak dan Kewajiban-kewaj iban Negara Netral dan Orang-orang Netral dalam Perang di Darat . . . . . . . . 1398

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 7: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1248

ASPEK-ASPEK H UKUM HUMANITER DALAM KEJAHATAN PERANG YANG

DILAKUKAN OLEH ANGGOTA DINAS ANGKATAN LAUT DALAM KON FLIK

INTERNASIONAL

Devy Sondakh1

Abstrak

This article focuses on the enforcement of international humanitarian law through the prosecution and punishment of individuals accused of violations of international humanitarian law by national tribunals, especially about the doctrinal contributions regarding war crimes committed by navy officers at national tribunals. T he author also shows principles that has developed by the ICC's Statute, such as legality principle, individual criminal responsibility, superior order, fair trial, no survivor, and act of state doctrine.

Key words: war crimes, individual criminal responsibility, superior order, act of state doctrine.

A. Pendahuluan

Kejahatan perang adalah kejahatan yang terjadi selama perang (in time of wal), dan biasanya dilakukan oleh anggota mil iter atau organ-organ negara . McCormack menegaskan kembali bahwa praktek kejahatan tersebut juga di lakukan oleh anggota dinas angkatan laut. Sejarah di masa lalu mencatat

1 Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, dapat dihubungi d i : devy_sondakh@hotmail .com

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 8: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1249 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

bahwa Athena dan Sparta terlibat perang di lepas pantai Hellespont. Orang-orang Athena kemudian merespons perang tersebut dan terlibat pertempuran di laut dengan Lysander. Sesudah perang berakhir, Lysander membentuk suatu mahkamah yang dimaksudkan untuk mengadil i para pelaku kejahatan perang orang-orang Athena .2

Demikian juga pada permulaan abad ke-20, kejahatan perang di laut juga terjadi dalam kasus the Llandovery Castle, yang mengadili seorang tertuduh yang bersalah membu-nuh orang-orang yang tidak bersenjata dalam sebuah perahu. Kejahatan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional yang dalam kasus tersebut pembelaan berdasar­kan adanya suatu perintah atasan bukanlah suatu pembelaan yang bersifat mutlak. 3

Tulisan ini akan mengkaji kasus-kasus kejahatan perang yang di lakukan oleh anggota dinas angkatan laut, kemudian mengkaji sejumlah prinsip-prinsip yang diperdebatkan dalam kasus-kasus tersebut, dengan mengkajinya berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam Statuta ICC, yang merupakan perkembangan terbaru dalam hukum humaniter inernasional dan hukum hak asasi manusia.

B. Kasus-kasus Kejahatan Perang

Ada tiga contoh kasus mengenai kejahatan perang yang pelakunya adalah anggota angkatan laut, yaitu : kasus Karl Donitz, kasus Kapal Peleus dan kasus Jaluit Atol l . Ketiga kasus tersebut akan dibahas di bawah in i .

2 Timothy L . H. McCormack, "From Sun Tzu to the Sixth Committee: The Evoh,1tion of an International Criminal Law Regime", dalam Timothy McConnack dan Gerry J. Simpson (ed.), The Law of War Crimes, National and Intemational Approaches (The Hague: Kluwer Law International), 1997, him. 34. 3 Herst Lauterpacht, "The Law of Nations and the Punishment of War Criminals", British Yearbook of Intemational Law, Vol. 21, 1944, him. 58.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 9: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

1. Kasus Karl Donitz

1250

Kasus ini mengungkapkan tentang dakwaan terhadap Karl Donitz, Panglima Tertinggi ( Commander-in-Chief) dari Angkatan Laut Jerman, yang kemudian menjadi kepala negara meng­gantikan Adolf Hitler. Donitz dikenakan tuduhan melakukan kejahatan terhadap perdamaian dan dua kejahatan perang.

Menurut Mahkamah, Donitz telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian. Mahkamah menyatakan bahwa Donitz telah membangun dan melatih penggunaan senjata dari U­boat, yakni sejenis kapal milik Jerman. Meski demikian, bukti tidak menunjukkan bahwa ia telah mengetahui rahasia kons­pirasi untuk melaksanakan perang agresi atau mempersiapkan dan memulai perang tersebut (conspiracy to wage aggressive wars or prepared and initiated such wars). Karl Donitz adalah pejabat pada garis depan yang mengajarkan dengan tegas tentang kewajiban-kewajiban taktis, akan tetapi ia tidak hadir pada konferensi-konferensi yang penting dalam perencanaan­perencanaan perang agresi yang diumumkan oleh Jerman.

Meski demikian, Donitz telah melaksanakan perang agresi dalam pengertian Piagam PBB. Perang dengan menggunakan kapal selam yang dimulai sesudah Perang Dunia II sepenuh­nya dikoordinasikan dengan cabang-cabang lainnya dari Wehrmacht (Angkatan Bersenjata) . Karena itu jelas bahwa kapal-kapalnya telah dipersiapkan sepenuhnya untuk me­laksanakan perang, karena kapal-kapal tersebut adalah bagian yang utama dari armada Jerman, di mana Donitz adalah pemimpinnya. 4

Mahkamah juga membenarkan bahwa sampai persetuju­annya sebagai panglima tertinggi pada bulan Januari tahun 1943, Donitz bukanlah anggota dari "Oberbofehlshaber"

4 Roger S. Clark, "Nuremberg and the Crime Against Peace", Washington Global Studies Law Review, Vol. 6, 2007, him. 548.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 10: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

125 1 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

(Komando Tertinggi) . Akan tetapi pernyataan ini meremehkan posisi yang penting dari Donitz. U-boat adalah bagian yang paling penting dari armada Jerman di mana ia menjadi pimpinan . Armada laut Jerman melakukan kesalahan, yakni melakukan serangan selama permulaan perang, dengan kerugian yang nyata terhadap musuh yang disebabkan oleh hampir seluruh kapal selam yang dipimpinnya, di mana banyak sekali kapal sekutu dan kapal negara netral ditenggelamkan. Berdasarkan bukti ini, Donitz dituduh melakukan kejahatan terhadap perdamaian. Sebagai komandan angkatan laut, maka semua keputusan yang terjadi di wilayah tersebut berada dalam kewenangan Donitz. Sebagai contoh, invasi ke Norwegia yang dilakukan melalui kapal selam tahun 1939, dilakukan atas rekomendasi Donitz. 5

Donitz juga dituduh melaksanakan perang kapal selam tan pa batas ( waging unrestricted submarine warfare) yang bertentangan dengan Protokol Laut London tahun 1936, di mana Jerman adalah pihak peserta dari perjanjian tersebut. Mahkamah memutuskan bahwa perintah Donitz untuk menenggelamkan kapal-kapal netral tanpa pemberitahuan di dalam zona-zona tersebut merupakan pelanggaran terhadap Protokol . 6 Mahkamah juga menegaskan bahwa kapal U-Boat Jerman tidak hanya tidak memberikan peringatan dan menerapkan ketentuan-ketentuan tentang penyelamatan menurut Protokol, namun Donitz pun dengan sengaja memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang selamat dari kapal yang karam, tidak peduli apakah mereka warga negara musuh atau warga negara dari negara netral .7

5 http://www.usslibertyinquiry.com/law/doenitz.html. (25 Mei 2010). 6 N. Ronzitti, The Law of Naval Walfare/ A Collection of Agreements and Documents with Commentaries (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers), 1988, him. 357-358. 7 H. Lauterpacht, International Law Report (cambridge: cambridge University Press), 1951, 220.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 11: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1252 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

Donitz memberikan kesaksian bahwa perang kapal selam yang dimulai pada bulan Oktober tahun 1939, dilakukan sesudah Inggris mengumumkan bahwa seluruh kapalnya telah dipersenjatai dan sistem konvoi telah dimulai. Ia menyangkal bahwa ia telah berpartisipasi dalam persiapan perang, sebagaimana dikemukakan dalam dakwaan nomor satu. Donitz juga dituduh melakukan kejahatan perang dengan memberikan perintah yang bertentangan dengan hukum internasional, bahwa kapal-kapal musuh ditenggelamkan tanpa peringatan dan orang-orang yang selamat dibiarkan di laut dan ditembak. Donitz dituduh bertanggung jawab karena dia dianggap sebagai pengganti H itler dan secara nyata memegang kekuasaan sebagai kepala negara selama dua minggu sesudah kematian Hitler.

Dalam pembelaannya, Donitz menyatakan bahwa ia ber­tindak tidak lebih dari apa yang dilakukan Sekutu berdasarkan keadaan-keadaan yang sama, dan ia memanggil saksi dari Departemen Angkatan Laut Inggris (British AdmiraltYJ untuk memberikan kesaksian mengenai praktek-praktek yang diikutinya, ketika kapal-kalal selam Inggris menenggelamkan kapal-kapal Jerman. Permintaan in i ditolak Mahkamah, tetapi penasehat hukum Donitz mendasarkan informasinya bahwa Angkatan Laut Amerika Serikat telah secara rutin meneng­gelamkan kapal-kapal dagang Jepang tanpa peringatan, di perairan Pasifik. 8

Ketika dikemukakan pertanyaan mengenai penengge­laman kapal Amerika Serikat "Robin Moor" pada tanggal 2 1 Mey 1941, Donitz memberikan kesaksian bahwa peneng­gelaman tersebut disebabkan kesalahan dalam melakukan identifikasi yang dilakukan oleh komandan U-boat. Dalam menyokong pernyataannya mengenai kesalahan tersebut,

8 Patricia M. Wald, "Running the Trial of the Century: The Nuremberg Legacy", cardozo Law Review, Vol. 27, 2006, him. 1583-1584.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 12: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1253 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Donitz menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan manusia harus diantisipasi, khususnya dalam hubungannya dengan usia 5,5 tahun dari perang kapal selam, di mana empat insiden yang sama telah terjadi sebelumnya, yaitu dua atas kapal Spanyol dan dua atas kapal Amerika Serikat. Juga, dalam menyokong jawabannya, ia menyatakan bahwa kapten Metzer telah bertindak bertentangan dengan perintah meskipun ia tidak dengan sengaja untuk mengadakan penyerangan. Ada beberapa penyangkalan dan pengakuan Donitz, yaitu : ( 1) ia ambil bagian dalam konferensi politik; (2) ikut ambil bagian dalam konperensi mil iter; (3) tidak melakukan pendudukan di wilayah Timur; (4) mengetahui secara tidak resmi adanya kamp konsentrasi tetapi tidak berbuat apa-apa; (5) hanya menghubungi Kaltembrunner mengenai penahanan atas sejumlah perwira dalam usaha pembunuhan atas Hitler pada bulan Jul i tahun 1944; (6) tidak mengeluarkan perintah melarang U-boat untuk menyelamat­kan kru dari kapal yang tenggelam; (7) tiap petunjuk yang dikeluarkannya melanggar aturan-aturan perang di laut; (8) buku harian (log book) dari U-boat harus tidak boleh menunjukkan pelanggaran terhadap hukum internasional; (9) penyangkalan bahwa perintah tanggal 17 September 1942 mengenai keselamatan dimaksudkan sebagai suatu perintah umum; (10) menyangkal informasi tentang senjata mesin dari orang-orang yang selamat yang diajukan kapten Eck; ( 1 1) menyangkal informasi dan tujuan rencana invasi ke Norwegia, kecual i yang telah dipersiapkan di kantornya atas permintaan OKM; (12) menyangkal pengiriman teknisi ke Irlandia; (13) memerintahkan kepada U-boat untuk mengirim seluruh persoalan yang berkaitan dengan aspek-aspek politik melalui sandi khusus, yaitu kasus 'Robin Moor'; dan (14) mengakui adanya pengiriman agen-agen ke Spitzbergen.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 13: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1254 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konfl ik Internasional

Pada akhirnya Mahkamah memutuskan bahwa Donitz bersalah untuk tuduhan kejahatan perang, dan karenanya ia dihukum 10 tahun penjara .

2. Kasus Kapal Peleus

Kasus ini melibatkan Kapten Heinz Eck dan anak buahnya, yang menenggelamkan kapal uap Yunani, bernama Peleus. Peleus adalah sebuah kapal Yunani yang disewa oleh Kementrian Transportasi Perang Inggris (British Ministry of War Transport). Pada tanggal 13 Maret tahun 1944, kapal tersebut ditenggelamkan di Laut Atlantik oleh kapal selam Jerman, Unterseeboat 852 , yang dikomandani oleh Kapten Heinz Eck. Jaksa dalam kasus ini kemudian mendakwa Heinz Eck sebagai komandan Unterseeboat 852 yang dituduh memerintahkan keempat kru untuk membunuh orang-orang yang selamat dari sebuah kapal dagang sekutu yang d iteng­gelamkan. Keempat anggota kru tersebut dituduh telah melakukan pembunuhan. Peradilan atas Eck dan anak buanya di lakukan oleh Mahkamah Mil iter Inggris yang mengadakan sidang berdasarkan Surat Perintah Ratu (Royal Warrant) tanggal 14 Juni tahun 1945.

Tuduhannya adalah bahwa Kapten Heinz Eck melakukan suatu kejahatan perang di Laut Atlantik pada malam hari, tanggal 13-14 Maret tahun 1944, ketika ia dan anggota­anggota kru (masing-masing Letnan August Hoffman, Marinir Walter Weisspfennig, Letnan Hans Lenz dan Gefreiter Scwender) dari Unterseeboat 852 menenggelamkan "Peleus" sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, membunuh anggota-angota kru kapal tersebut, dengan menembak dan melemparkan granat.

Para kru Peleus terdiri dari bermacam-macam kewarga­negaraan, yaitu : 18 orang Yunani, 8 orang pelaut Inggris, 2 warga Mesir, 3 orang Cina, serta seorang masing-masing dari

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 14: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1255 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Rusia, Aden, Cili dan Polandia. Banyak dari anggota kru Peleus berhasil menyelamatkan diri dengan dua buah rakit dan rongsokan benda yang mengapung di taut. Kapat selam Unterseeboat 852 kemudian menuju permukaan dan memanggit seorang anggota kru Peteus untuk diinterogasi dengan menanyakan nama kapat, asal perusahaan dan menanyakan informasi-informasi tainnya . Kemudian kapal setam maju dan menembak dengan senjata mesin para kru yang setamat di permukaan air dan pada dua rakit tersebut, serta metemparkan granat kepada mereka. Seluruh kru tersebut dibunuh, kecual i 3 orang, yaitu seorang perwira Yunani, seorang petaut Yunani dan seorang petaut Inggris. Ketiga orang tersebut mengapung di taut setama 24 hari, sebetum dijemput oteh sebuah kapat uap Portugal dan men­daratkannya di petabuhan .9

Kapten Eck juga mengemukakan pembelaan bahwa ia hanya berniat untuk membersihkan seluruh rongsokan Kapal Peleus yang dimaksudkan untuk menghilangkan jejak teng­getamnya kapat tersebut. Ia takut bahwa sampah Kapat Peleus akan menjadi petunjuk lokasi penyerangan dan akibat­nya pesawat-pesawat musuh akan melihatnya dan me­nembaki Unterseeboat 852. Ia juga memberikan kesaksian bahwa ia yakin awak kapal Peleus akan melompat dan naik ke kapat-kapat penyetamat, meski ia tidak berusaha untuk menotong mereka karena ia sendiri yang memerintahkan larangan untuk memberikan pertolongan .

Hakim memutuskan berdasarkan bukti bahwa tertuduh Kapten Heinz Eck tetah memerintahkan untuk menembak dan melemparkan granat atas dua rakit dan rongsokan yang mengapung, dan tertuduh Letnan Hoffmann, Oberstabsarzt Weisspfennig dan Gefreiter Scwender tetah melakukan

9 United Nations War Crimes Commission, Law Reports of Trials of War Criminals, Volume I, United Nations War Crimes Commission, London, 1947, him. 2-3.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 15: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1256 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

penembakan dan melempar granat atas perintahnya. Tertuduh kel ima, Letnan Lenz, nampak melakukan tindakan sebagai berikut:

·

(a) Ketika ia mendengar bahwa kapten telah memutuskan untuk membersihkan seluruh rongsokan kapal yang tenggelam, ia mendekati kapten dan menginformasikan kepadanya bahwa ia tidak setuju dengan perintah in i . Eck menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia telah memutuskan untuk menghabisi seluruh yang ada pada bekas-bekas kapal tenggelam tersebut. Lenz tidak ambil bagian dalam penembakan dan pelemparan granat terse but.

(b) Belakangan, Lenz pergi ke jembatan dan memberitahukan kepada tertuduh Schwender yang sedang memegang senjata mesin . Ia melihat Schwender telah menembakkan senjata mesin tersebut pada target, lalu mengambil senjata tersebut dari tangan Schwender dan menembak­kannya pada target. Ia melakukan tindakan tersebut dengan pertimbangan karena Schwender diketahui sejak lama sebagai orang yang kurang cekatan di kapal Unterseeboat 852, dan tidak layak d ipercaya untuk melaksanakan perintah tersebut. Pembelaan Heinz Eck didasarkan pada kepatuhan bahwa

sebagai komandan Unterseeboat 852, ia tidak melakukan kekejaman atau balas dendam, tetapi ia memutuskan untuk membersihkan seluruh rongsokan dari kapal Peleus yang tengelam. Penasehat hukum Eck menyatakan bahwa pembersihan rongsokan kapal Peleus sebagai bagian dari kebutuhan operasional (operational necessitYJ untuk menyelamatkan Unterseeboat 852. Sedangkan para tertuduh lainnya mengemukakan pembelaan berdasarkan perintah­perintah atasan . Dalam salah satu pembelaannya, Profesor Wagner yang bertindak sebagai penasehat hukum mengutip

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 16: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1257 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

suatu prinsip hukum lama dalam kasus Caroline, yang menyatakan bahwa seorang individu dapat bertindak dengan melaksanakan pelayanan kepada Ratu sebagai kepatuhan atas perintah-perintah atasan (His Majesty's service acting in obedience to superior orders). 10 Karena itu pertanggung­jawabannya di letakkan kepada pemerintahan dari Ratu . Wagner juga mengatakan bahwa komandan atasan juga dapat meniadakan pertanggungjawaban pribadi-sebagaimana yang diakui dalam Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang . Profesor Wagner juga merujuk pada prinsip yang penting yaitu "nullum crimen sine lege, nu/la poena sine lege'. 11 Dalam menjawab pembelaan Profesor Wagner, hakim Mahkamah menyatakan bahwa dalil nu!lum crimen sine lege, nu/la poena sine lege hanya berlaku pada hukum setempat atau hukum nasional saja dan tidak dapat diterapkan pada hukum internasional. 12

Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk patuh pada perintah yang melawan hukum (duty not to obey an unlawful ordefj. Hakim menegaskan bahwa menurut fakta, aturan hukum perang yang telah dilanggar berdasarkan perintah dari pemerintah atau perwira militer, tidak dapat menghilangkan sifat pidana dari tindakan atau memberikan imunitas penghukuman bagi pelaku. Hakim mengakui bahwa para kombatan tidak dapat berfikir cepat secara teoretis selama berlangsungnya pertempuran. Akan tetapi, perintah untuk menembak para kru yang selamat, merupakan suatu perintah yang melanggar aturan hukum,

10 Marco Sass61i and Antoine A. Bouvier, How Does Law Protect in War, Coses, Documents and Teaching Materials on Contemporary Practice in International Humanitarian Law, (Geneva: International Committee of the Red Cross), 1999, him. 657. 1 1 United Nations War Crimes Commission, op. cit., him. 4. 12 Ibid., him. 15.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 17: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1258 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

dan mereka yang menembak tidak akan dimaafkan atas tindakannya yang didasarkan pada perintah-perintah atasan . 13

Mahkamah juga menyatakan bahwa pembunuhan ter­hadap musuh yang tidak bersenjata (unarmed enemies) merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional . Dalam putusannya, Mahkamah menghukum Kapten Heinz Eck dengan hukuman pidana mati . 14

3. Kasus laluit Atoll

Kasus ini terjadi di Pulau Aineman, Jaluit Atoll, Kepulauan Marshall, yang dilaksanakan oleh Komisi Mil iter Amerika Serikat, dengan mendakwa Laksamana Muda (Rear-admiral) Masuda, Letnan Yoshimura, Letnan Kawachi, Letnan Tasaki, dan Sersan Mayor Tanaka, yang kesemuanya adalah Anggota Angkatan Laut Kekaisaran Jepang . Dakwaan terhadap kelima tertuduh tersebut adalah pembunuhan. Berdasarkan fakta, pada tanggal 10 Maret tahun 1944, di Pulau Aineman, Jaluit Atoll, Kepulauan Marshal l , pada saat ada keadaan perang (state of wat} antara Amerika Serikat dan Kekaisaran Jepang, para tertuduh dengan sengaja dan secara kejam, dengan maksud jahat yang telah dipikirkan sebelumnya (malice aforethought) tanpa sebab yang dapat dibenarkan, dan tanpa didahului dengan peradilan atau proses hukum sebelumnya, menyerang dan membunuh, hingga menyebabkan kematian atas tiga orang penerbang Amerika Serikat. Mereka menyerang Angkatan Bersenjata Amerika Serikat serta menangkap para tawanan perang yang tidak bersenjata . Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum internasional yang berlaku dalam perang dan standar-

13 Matthew Lippman, "Prosecutions of Nazi War Criminals Before Post-World II Domestic Tribunals", Miami International and Comparative Law Review, Vol. 8, 2000, him. 23. 14 Ibid., him. 43-44.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 18: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1259 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

standar moral dari masyarakat yang beradab (moral standards of civilized societ'/).

Jaksa Penuntut menghadirkan sejumlah saksi yang menunjukkan bahwa pada atau kira-kira bulan Februari tahun 1944, ketiga penerbang Amerika Serikat dipaksa untuk mendarat di dekat Jaluit Atoll, yang kemudian menjadi tawanan perang di Pulau Emidj, yang ditetapkan sebagai Markas Besar Garnisun Angkatan Laut Jepang (Japanese Naval Garrison Force Headquarters) di bawah komando Laksamana Muda Masuda. Kira-kira satu bulan kemudian, atas perintah Masuda, dan tanpa didahului peradilan sebelumnya, para penerbang di bawa ke kuburan di pulau Aineman, suatu pulau yang berada di tengah wilayah tersebut, di mana para tawanan perang tersebut secara rahasia di tembak mati untuk kemudian dikremasi . Yoshimura, Kawachi dan Tanaka telah mengakui bahwa mereka membunuh para tawanan perang dengan menembaknya, dan seorang di antaranya ditikam dengan pedang.

Dalam salah satu pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa salah satu dari prinsip dasar yang telah berkembang melalui hukum dan kebiasaan perang adalah prinsip kemanusiaan yang melarang penggunaan semua jenis atau tingkat kekerasan sebagai suatu yang bukan untuk kepenting­an perang. Di antara banyak pembatasan yang dibebankan berdasarkan prinsip ini adalah adanya aturan yang diakui dan diterima secara universal yang ditetapkan dalam Pasal 23 ayat (c) Lampiran dari Konvensi Den Haag IV tahun 1907 (Regulasi Den Haag), yang secara khusus melarang untuk membunuh atau melukai seorang musuh yang telah meletakkan senjatanya (having laid down his arms) atau yang telah menyerah. Di samping itu, terdapat banyak aturan yang telah diakui dan diterima secara internasional, yang melindungi tawanan perang dari kekejaman, penghinaan dan peng-

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 19: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1260 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

hukuman, di antaranya adalah Konvensi Jenewa N Tahun 1949 tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang ( Tteament of Prisoners of Wa,,, yang menyatakan bahwa para tawanan perang dalam segala keadaan harus diperlakukan secara manusiawi dan di lindungi (humanely treated and protected), khususnya terhadap tindakan-tindakan kekerasan dan penghinaan . Tindakan-tindakan balas dendam atas tawanan perang adalah dilarang.

Dalam pembelaannya, para tertuduh mengemukakan dalih bahwa mereka bertindak berdasarkan perintah dari atasan, di mana mereka terikat untuk patuh . Salah seorang penasehat hukum dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang menyatakan pasukan Jepang harus memiliki disiplin yang absolut dan kepatuhan. Ia mengutip ungkapan Kaisar yang menyatakan bahwa 'bawahan-bawahan harus memiliki pikiran bahwa perintah-perintah dari atasan-atasannya tidak lain hanya perintah-perintah secara pribadi dari Sri Baginda Kaisar'. Pasukan Jepang memiliki pengecualian di antara angkatan bersenjata di seluruh dunia yang berkaitan dengan penghormatan atas atasannya. Karena itu ia mengklaim bahwa tidak mungkin untuk menerapkan 'gagasan-gagasan l iberal dan individualistik dalam masyarakat militer totalistik dan absolutistik'. Karena itu, tertuduh tidak memiliki maksud jahat (criminal intenf) sehingga jelas mereka tidak melakukan kejahatan. Penasehat hukum juga menyatakan bahwa kepatuhan atas perintah Masuda dilakukan sesuai dengan latihan (in accordance with their training). 15

Dalam menjawab argumen tersebut, hakim memberikan pertimbangan mengenai pembelaan berdasarkan perintah atasan . Ia mengutip ketentuan Perintah Mahkamah Militer (Court Martial Orders) yang menyatakan bahwa serdadu terikat untuk patuh hanya bagi perintah-perintah yang sah

15 United Nations War Crimes Commission. op. cit, him. 74.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 20: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1261 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

dari atasan-atasannya (to obey only the lawful orders of his superiors). Jika ia menerima suatu perintah untuk melakukan suatu tindakan yang melawan hukum, maka ia tidak terikat, baik berdasarkan kewajibannya maupun berdasarkan sumpah untuk melakukannya (he is bound neither by his duty not by his oath to do if).16

Mahkamah menolak argumen-argumen terdakwa bahwa mereka tidak harus diadili berdasarkan konsep-konsep dan cita-cita orang Barat, karena Jepang adalah suatu masyarakat yang menganut kepatuhan mutlak dan perintah Kaisar dianggap keinginan kaisar (imperial will). 17

Karena itu hakim memutuskan bahwa kedudukan resmi (official position) dari tertuduh tidak akan membebaskan tertuduh dari pertanggungjawaban, maupun untuk dianggap sebagai sesuatu yang dapat meringankan hukuman. Lebih lanjut Mahkamah memutuskan bahwa tindakan berdasarkan perintah dari atasan tertuduh, atau dari pemerintahnya, harus tidak boleh dijadikan sebagai suatu pembelaan, tetapi dapat dianggap sebagai meringankan penghukuman. Pada akhirnya Yoshimura, Kawachi dan Tanaka dihukum gantung, sedangkan Tasaki dihukum penjara selama 10 tahun.18

C. Prinsip-prinsip ICC

Ada sejumlah prinsip hukum atau doktrin dari ketiga kasus di atas yang telah dirumuskan secara komprehensif dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Prinsip-prinsip tersebut meliputi, asas legalitas, tanggung jawab individu bagi pemberi perintah, pembelaan bawahan atas perintah atasan, prinsip peradilan yang wajar, hors de combat, pemberian pengampunan dan

16 Ibid., him. 75. 17 Ibid., him. 25. 18 Ibid., him. 76.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 21: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1262 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Kontlik Internasional

doktrin tindakan negara . Prinsip atau doktrin-doktrin tersebut akan dibahas di bawah ini .

1. Asas Legalitas

Asas legal itas diperdebatkan dalam kasus kapal Peleus. Seperti diketahui bahwa salah satu pembelaan yang paling mendasar dalam penuntutan atas suatu kejahatan adalah prinsip nullum crimen sine /ege, nu/la poena sine /ege (no crime without law, no punishment without /aW), yang berarti tidak ada kejahatan tanpa aturan hukum, tidak ada hukuman atau pidana tanpa aturan hukum. Dalam terjemahannya yang paling sederhana tersebut, pepatah Latin ini menegaskan

· adanya larangan terhadap hukum ex post facto, yaitu bahwa tindak pidana harus dihukum dengan pasti dalam penuntutan pidana . Lebih luas lagi, pepatah tersebut juga digunakan sebagai akibat yang wajar dari prinsip-prinsip legal itas beserta penafsirannya sehingga undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan dirancang dengan teliti (prinsip kekhususan), dikonstruksikan secara tegas tanpa adanya analogi dan arti ganda, yang dapat digunakan untuk memutuskan suatu kasus yang berkaitan dengan tertuduh (in dubio pro roe).19

Meski demikian, keabsahan prinsip legalitas mendapatkan sejumlah penafsiran bahkan pembatasan oleh para ahl i

1 9 Prinsip in i menyatakan bahwa " in doubt, one should rule in favour of the accused" (Apabila ada keraguan, maka suatu kaidah harus menguntungkan terdakwa). Ilias Bantekas, "Reflections on Some Sources and Methods of International Criminal and Humanitarian Law", International Criminal Law Review, Vol. 6, 2006, him. 126. Bahkan, Ambos menyatakan bahwa "In case of a change of the law before the final judgment the law more favourable to the accused has to be applied ." (Dalam kasus adanya perubahan aturan hukum sebelum putusan akhir, maka aturan hukum yang lebih menguntungkan yang diterapkan bagi tertuduh). Kai Ambos, "General Principles of Criminal Law in The Rome Statute", Criminal Law Forum, Vol. 10, 1999, him. 4.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 22: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1263 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

hukum pidana internasional. Bassiouni menyatakan bahwa "prinsip-prinsip legalitas telah menjadi bagian dari prinsip­prinsip hukum umum di Eropa Barat, meski belum diterima dan diterapkan secara universal". 20

Juga, Fournet menyatakan bahwa "penolakan untuk mengadili para penjahat utama Nazi Jerman karena bertentangan dengan prinsip legalitas, hanya merupakan sandiwara dan penghinaan terhadap para korban."21

Dalam mengomentari gagasan keadilan dalam putusan Mahkamah Nuremberg, Bassiouni mengutip pemikiran Kelsen, yang mengatakan bahwa :

"the rule against retroactive legislation is a principle of justice . . . the retroactivity of the law applied to them can hardly be considered as absolutely incompatible with justice. Justice required the punishment of these men, in spite of the fact that under positive law they were not punishable at the time they performed the acts made punishable with retroactive force. In case two postulates of justice are in conflict with each other, the higher one prevails, and to punish those who were morally responsible for the international crime of the Second World War may certainly be considered as more important than to comply with the rather relative rule against ex post facto laws, open to so many exceptions". 22

Bassiouni juga mengutip pertimbangan Mahkamah, yang menyatakan bahwa maxim nullum crimen sine /ege bukan merupakan pembatasan terhadap kedaulatan, akan tetapi merupakan suatu prinsip umum keadilan . 23 Mahkamah Tokyo juga mengijinkan penghukuman untuk kesalahan-kesalahan

20 M. Cherif Bassiouni, Crimes against Humanity in Intemational Criminal Law, Second Revised Editions {The Hague: Kluwer Law International), 1999, him. 137. 21 Caroline Fournet, "When the Child Surpasses the Father - Admissible Defences in International Criminal Law", Intemational Criminal Law Review, Vol. 8, 2008, him. 511. 22 M. Cherif Bassiouni. op. dt., him. 164-165. 23 Ibid., him. 167.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 23: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1264 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

moral tertentu yang berat (certain gross moral wrongs). Mahkamah tersebut setuju dengan putusan Mahkamah Nuremberg bahwa nullum crimen sine lege bukanlah suatu pembatasan terhadap kedaulatan, tetapi suatu prinsip ke­adilan, yan� membantu Mahkamah Tokyo dalam memberikan penafsiran. 4 Kelsen dan Bassiouni membenarkan kemutlakan prinsip legalitas dan tidak berlaku surut dari suatu aturan hukum. Tetapi prinsip tersebut bisa disimpangi dan dikecuali­kan hanya atas nama keadilan. Jadi, ada pengakuan Kelsen dan Bassiouni mengenai faktor-faktor meta-yuridis dalam pertimbangan dan putusan atas kasus-kasus kejahatan perang dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Meski demikian, asas legalitas tetap menjadi asas funda­mental dalam sistem hukum internasional dan hukum nasional. Jescheck mengemukakan fungsi prinsip legalitas, yaitu sebagai suatu jaminan hukum, yang dinyatakan melalui prinsip kekhususan (principle of legalityJ larangan adanya analogi, dan prinsip non-retroaktif. 25

Jescheck juga membandingkan prinsip legal itas, antara Statuta IMT dengan Statuta ICC. Ada tiga jenis kejahatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 6 Statuta IMT, yang merujuk pada hukum kebiasaan sebagai sumber hukum internasional yang hanya berlaku dalam konteks kejahatan perang. Pertama, aturan hukum Statuta IMT tersebut bersifat tegas (decisive) dan mengikat Mahkamah. Hal in i juga mengandung argumen, bahwa Statuta IMT merupakan ekspresi hukum internasional yang ada ketika Statuta tersebut ditetapkan . Sebaliknya ICC mampu menguatkan (uphold) prinsip legalitas secara lebih tel iti . Kejahatan perang telah ditetapkan secara

24 Kelly Dawn Askin, War Crimes Against Women, Prosecution in International War Crimes Tribunals, (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers), 1997, him. 176.

25 Hans-Heinrich Jescheck, "The General Principles of International Criminal Law Set Out in Nuremberg, as Mirrored in the ICC Statute", Journal of International Criminal Justice, Vol . 2, 2004, him. 40.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 24: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1265 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

lengkap (exhaustive/'/) dalam Pasal 6 Statuta ICC, sesuai dengan prinsip kekhususan (specificit'/). Demikian juga kejahatan terhadap kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 ICC, termasuk klausula umum tentang 'tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya yang sifatnya sama' dalam Pasal 7 ayat ( l)(k), dan juga kejahatan agresi yang disusun (meski ditangguhkan) dalam Pasal 5 ayat (2) ICC. Seluruh kejahatan yang ada dalam Statuta ICC tunduk pada prinsip specificity, menurut Pasal 22 ayat (2) Statuta ICC. Kedua, hukum internasional dengan tegas melarang analogi (strict ban of analog'/), hanya yang berkaitan dengan perjanjian-perjanjian internasional, hukum kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum. Akan tetapi larangan tersebut hanya merupakan pedoman dalam kerangka hukum yang ada. Ketika muncul pertanyaan, apakah kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan yang dapat dihukum, sebagaimana yang diletakkan pada kedua perjanjian yang telah ada sebelumnya, IMT tidak menawarkan suatu pembenaran yang meyakinkan mengenai alasan Mahkamah tersebut. Sebagai contoh, Konvensi Den Haag tahun 1907 tidak menghukum pelanggaran terhadap hukum perang, oleh karena prakt�k penalisasi yang telah berlangsung lama berada di luar hukum perjanjian, yang berakar dalam hukum kebiasaan. Karena itu, tidak ada dasar yang berkaitan dengan kejahatan terhadap perdamaian, hingga berakhirnya Perang Dunia II. Demikian pula, Perjanjian Umum tentang Penolakan Perang (General Treaty for the Renunciation of War - yang dikenal juga dengan Perjanjian Briand-Kellogg) tahun 1928, tidak berisi sanksi, meskipun tidak ada suatu pernyataan bahwa perang tersebut merupakan suatu kejahatan. Jadi, pertimbangan­pertimbangan IMT tidak harus dibaca sebagai penegasan mendasar tentang dibolehkannya analogi dalam hukum internasional . Sebaliknya ICC dengan jelas berisi pernyataan

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 25: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1266 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

tegas (express statemenf) tentang larangan analogi dalam hukum pidana internasional dalam Pasal 22 ayat (2). Ketiga, mengenai prinsip tidak berlaku surut (non-retroactiviM yang berlaku dalam hukum pidana internasional . Berkenaan dengan prinsip ini, IMT secara khusus merujuk pada ketentuan Pasal 6 ayat (a) Piagam, yang menetapkan bahwa kejahatan­kejahatan tersebut adalah kejahatan-kejahatan yang dapat dihukum. Pasal tersebut tidak dengan tegas menentukan apakah dan bagaimana perang agresi yang meluas merupa­kan suatu kejahatan, sebelum dilaksanakannya Perjanjian London. Karena itu, IMT memutuskan untuk menentang opini hukum yang berlaku mengenai prinsip tidak berlaku surut, dan memberlakukan 'prinsip keadilan' daripada mengikuti suatu norma yang mel indungi tertuduh terhadap kesewenang­wenangan otoritas. Penghukuman terhadap pelaku bukan tidak dibenarkan, akan tetapi hal ini menjadi tidak adil (unjusf) jika tindakan pelaku di ij inkan untuk tidak dihukum. Di lain pihak, Pasal 1 1 ayat (1) dengan tegas (unequivocalltJ menetapkan bahwa Mahkamah memil iki yurisdiksi hanya ber­kenaan dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan sesudah Statuta ini berlaku. 26

Ambos juga menjelaskan bahwa prinsip tersebut telah dikodifikasikan dengan jelas dalam Statuta ICC. Prinsip nullum crimen (meliputi sine lege scripta/ praevia/ certa and stricta) secara eksplisit diletakkan dalam Pasal 22 dan Pasal 24 Statuta ICC. Seseorang hanya dapat dihukum untuk tindakan yang telah dikodifikasikan dalam Statuta pada saat tindakan tersebut dilakukan (lex scripta), dilakukan sesudah Statuta berlaku (lex praevia), ditetapkan dengan sangat jelas (lex certa), dan tidak boleh diperluas melalui analogi (lex stricta) .27

26 Ibid, him. 41-42. 27 Kai Ambos, "General Principles of Criminal Law in the Rome Statute", Criminal Law Forum. Vol. 10, 1999, him. 4.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 26: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1267 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Statuta ICC juga memberikan batasan mengenai peng­akuan adanya kejahatan yang telah diatur melalui hukum internasional, di luar dari yang telah ditetapkan dalam Statuta ICC. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Statuta, yang menyatakan bahwa Pasal 22 Statuta tersebut tidak dapat mempengaruhi karakterisasi dari tindakan yang dianggap sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional di luar dari Statuta ini. Ini berarti bahwa Statuta ICC tidak melarang keberlakuan seluruh aturan hukum internasional yang meng­kriminalisasi suatu kejahatan internasional .

Selanjutnya Pasal 23 Statuta ICC juga membatasi prinsip nu/la poena (sine lege scripta, praevia, certa and stricta), dengan menyatakan bahwa seseorang yang didakwa hanya dapat dihukum melalui hukuman sebagaimana yang diletak­kan dalam Statuta . Hukuman berdasarkan Pasal 77 Statuta ICC adalah hukuman penjara yang tidak melebihi 30 tahun atau hukuman penjara seumur hidup, berdasarkan kegawatan dari kejahatan serta keadaan-keadaan pribadi dari terdakwa.28

Oleh karena Statuta ICC dianggap sebagai produk hukum yang paling komprehensif dalam lapangan hukum pidana internasional, dan itu berarti seluruh kejahatan internasional yang paling serius mengacu kepada Statuta tersebut, termasuk di dalamnya adalah pemberlakuan asas legalitas.

2. Perintah Atasan

Prinsip atau doktrin perintah atasan diperdebatkan dalam ketiga kasus tersebut. Seperti diketahui, dalam perintah untuk melakukan kejahatan perang berlaku tanggung jawab individu . Interpretasi ini dikembangkan melalui putusan ICTY dan ICTR. Menurut putusan ICTY, suatu perintah adalah suatu komando untuk melakukan suatu tindakan atau pembiaran

28 Ibid., him. 6.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4 . No. 7

Page 27: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1268 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

yang dik�luarkan oleh seorang atasan kepada bawahannya, dengan tidak mempersoalkan apakah konteks hubungan atasan dan bawahan tersebut adalah mil iter atau sipi l . Hubungan tersebut tidak harus ditetapkan secara formal, tetapi dapat ditetapkan secara de facto, sepanjang bawahan atau anak buah menerima perintah sebagai suatu komando yang mengikat. Perintah tersebut dapat secara tertulis atau l isan yang dialamatkan, baik kepada seorang individu tertentu atau kepada beberapa penerima yang tidak dikenal, dan perintah tersebut juga dapat dibatalkan kepada alamatnya melalui sejumlah perantara. Akan tetapi suatu perintah merupakan perintah yang tidak sah, apabila perintah tersebut melanggar hukum humaniter atau hukum pidana internasional pada umumnya, meskipun jika perintah tersebut sesuai dengan hukum domestik dari negara dari atasan yang mengeluarkan perintah tersebut. 29 Artinya, hukum inter­nasional dapat mengecualikan ketentuan hukum nasional yang mengijinkan perintah tersebut, karena perintah tersebut merupakan perintah yang bertentangan dengan prinsip hukum pada umumnya. Maksud dari ketentuan tersebut adalah larangan pemberlakuan hukum nasional sebagai pembenaran atas suatu perintah yang dengan jelas melanggar aturan hukum internasional .

Juga, tanggung jawab untuk memerintahkan mensyarat­kan bukti bahwa seorang dalam posisinya sebagai penguasa menggunakan otoritas untuk menginstruksikan orang lain melakukan suatu pelanggaran . Mahkamah menyatakan bahwa hubungan formal atasan-bawahan tidak terlalu penting. Menurut penafsiran yang ada, suatu otoritas untuk me­merintahkan pelaksanaan pelanggaran yang nantinya di laku­kan oleh bawahan, sudah cukup menjadi bukti adanya

29 Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Criminal Law, Third Edition, (United Kingdom: Routldge-cavendish), 2007, him. 24.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 28: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1269 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

perintah dari atasan . Mahkamah juga menetapkan bahwa perintah tersebut tidak perlu diberikan dalam suatu bentuk atau format tertentu, sepanjang perintah tersebut diberikan oleh orang dalam suatu posisi otoritas langsung dari orang yang melakukan pelanggaran. Mahkamah juga menetapkan bahwa orang yang memerintah disyaratkan harus memiliki n iat atau kehendak (mens rea) atas kejahatan yang dituduh­kan . Ia juga harus mengetahui bahwa pelaksanaan perintah tersebut kemungkinan besar akan memiliki konsekuensi berupa pelaksanaan atau implementasi dari perintah .

Juga, dalam kasus Rutaganda, Mahkamah !CTR menge­mukakan opini bahwa perintah dari atasan tersebut juga meliputi perintah-perintah dari orang yang ada dalam posisi otoritas yang menggunakan posisinya untuk mendesak (persuade) orang lain untuk melakukan suatu pelanggaran.30

Artinya, desakan atasan tersebut secara psikologi meng­haruskan bawahan untuk mematuhi perintah atasannya untuk melakukan pelanggaran .

Ketentuan modern tentang perintah komandan atau atasan diatur dalam Pasal 25 Statuta ICC, tentang tanggung jawab individu . Ayat (3) (b) pasal tersebut menyebutkan bahwa seseorang bertanggung jawab secara pidana jika orang tersebut memerintahkan pelaksanaan kejahatan tersebut.

Menurut Werle, suatu perintah diasumsikan berupa adanya suatu hubungan khas mil iter (typically militarj), yaitu hubungan antara seseorang yang memberikan perintah dan seorang yang menerima perintah. 31 Hubungan tersebut mensyaratkan suatu hubungan, baik secara de fado atau de

30 Leila Nadya Sadat, The International Criminal Court and the Transformation of International Law: Justice for the New Millenium (New York: Transnational Publishers, Inc.), 2002, him. 194. 31 Gerhard Werle, Principles of International Criminal Law, (Cambridge: Cambridge University Press), 2005, him. 124.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 29: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1270 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

Jure, dan adanya suatu kejahatan pokok yang dilakukan oleh seorang bawahan.32

Seorang yang memerintahkan suatu kejahatan bukan semata-mata menyertai (accomplice) tetapi ia lebih merupa­kan seorang pelaku yang menggunakan seorang bawahan untuk melakukan kejahatan. Malahan, ketentuan ini identik dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) (b) dari Rancangan Kitab Undang-undang tentang Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia (Draft Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind), tahun 1996, yang dimaksudkan untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana bagi pejabat­pejabat level menengah yang memerintahkan bawahannya untuk melakukan kejahatan . Dalam putusan atas kasus Akayesu, Mahkamah ICTR memutuskan bahwa suatu perintah secara tidak langsung menyatakan adanya suatu hubungan atasan-bawahan, di mana seseorang dalam posisi otoritas menggunakan posisinya untuk meyakinkan atau memaksa (confince or coerce) orang lain untuk melakukan kejahatan.33

3. Pembelaan Bawahan Berdasarkan Perintah Atasan

Pembelaan dari bawahan berdasarkan perintah atasan diperdebatkan dalam kasus kapal Peleus dan Jaluit Atol l . Seperti diketahui bahwa masalah pembelaan melakukan kejahatan dari seorang bawahan karena perintah atasan, sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan. Masalah yang muncul ketika seorang serdadu dihadapkan dengan suatu perintah untuk melakukan suatu tindakan yang merupakan

32 Elies van Sliedregt, The Criminal Responsibility of Individuals for Violations of International Humanitarian Law (Amsterdam : T.M .C. Asser Press), 2003, him. 77-78. 33 Kai Ambos, Individual Criminal Responsibility, dalam Otto Triffterer (ed .), Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Observer Notes, Article By Article (Baden-Baden : Nomos Verlagsgesellschaft), 1999, him. 480.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 30: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1271 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

suatu kejahatan. Di satu pihak, disiplin militer mensyaratkan adanya pantang mundur untuk taat pada perintah, akan tetapi di lain pihak, supremasi hukum melarang pelaksanaan tindak kejahatan.34 Karena itu, suatu pembelaan terbatas atas perintah atasan ialah kompromi dari keseimbangan antara tujuan-tujuan memajukan disiplin dalam militer, akan tetapi pada saat yang sama tidak menumbangkan supremasi hukum.35 Baik disiplin mil iter maupun supremasi hukum, keduanya harus ditaati .

Blackett yang dikutip Mccoubrey menyatakan bahwa hukum dapat mengakui dilema militer dan memberikan kepada bawahan pembelaan dalam proses peradilan pidana, dalam setiap kasus di mana ia bertindak berdasarkan kepatuhan terhadap perintah atasan, kecuali di mana tindakan-tindakan yang disyaratkan kepada bawahan secara objektif dimanifestasikan dengan melawan hukum. Dalam kasus-kasus demikian, pelatihan dan latar belakang dari bawahan harus dipertimbangkan setidak-tidaknya di dalam meringankan hukuman. 36

Karena itu, suatu pembelaan atas perintah atasan lebih dititikberatkan pada permohonan dalam meringankan hukuman (mitigation of sentence) daripada sebagai pembelaan. Pasal 8 Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg menyatakan berdasarkan fakta, bahwa tertuduh yang bertindak berdasarkan perintah-perintah dari pe­merintahanya atau dari atasan tidak membebaskannya dari

34 Massimo Scaliotti, "Defences Before the International Criminal Court: Substantive Grounds for Excluding Criminal Responsibility - Part 1", International Criminal Law Review, Vol. 1, 2001, him. 126. 35 James B. Insco, "Defence of Superior Orders Before Military Commissions", Duke Journal of Comparative and International Law, Vol. 13, 2003, him. 393. 36 Hilaire McCoubrey, "From Nuremberg to Rome: Restoring the Defense of Superior Orders", International and Comparative Law Quarterly, Vol. 50, 2001, him. 393.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 31: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1272 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

pertanggungjawaban, tetapi dapat dipertimbangkan dalam meringankan hukuman, jika Mahkamah menentukan bahwa keadilan amat disyaratkan. Prinsip yang sama juga disebutkan dalam Pasal 6 Piagam Mahkamah Mil iter Internasional Tokyo (Far Easf) yang menyatakan bahwa baik kedudukan resmi terdakwa, atau berdasarkan fakta bahwa tertuduh bertindak berdasarkan perintah dari pemerintahnya atau atasannya, atau dari ia sendiri, tidak akan membebaskan tertuduh dari pertanggungjawaban kejahatan yang dituduhkan kepadanya, tetapi keadaan-keadaan tersebut dapat dipertimbangkan dalam meringankan hukuman, jika Mahkamah menentukan bahwa keadilan amat disyaratkan .37

Ketentuan mengenai pembelaan atas perintah atasan diformulasikan dalam Pasal 33 Statuta ICC, tentang perintah atasan dan petunjuk hukum (superior orders and prescription of /aW). Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut: 1 . Kenyataan bahwa suatu kejahatan di dalam wilayah

yurisdiksi Mahkamah telah di lakukan oleh seseorang sebagai pelaksanaan dari perintah pemerintah atau seorang atasan baik mil iter mal:Jpun sipil tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana, kecuali : (a) Bawahan tersebut seorang di bawah kewajiban hukum

untuk mematuhi perintah dari pemerintah atau atasan terse but;

(b) Bawahan tersebut tidak mengetahui bahwa perintah tersebut melawan hokum; dan

(c) Perintah tersebut tidak secara jelas melawan hukum. 2 . Perintah untuk melakukan kejahatan genosida atau

kejahatan terhadap kemanusiaan jelas dianggap melawan hukum.

37 Hilaire Mccoubrey, op. cit., him. 389.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 32: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1273 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Van der Vyver yang dikutip Maogoto menyatakan bahwa secara umum, pembahasan terhadap ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Statuta Roma sama sekali tidak mengakui perintah atasan sebagai alasan pembenar, karena suatu perintah untuk melakukan kejahatan internasional itu sendiri adalah tidak sah . 38 Pada kenyataannya, perintah atasan merupakan pembelaan, hanya jika perintah tersebut tidak diketahui oleh seorang bawahan, yang memiliki suatu kewajiban hukum untuk patuh, dan tindakan tersebut tidak dimanifestasikan secara melawan hukum. 39

Jadi, penyangkalan atas imunitas otomatis menunjukkan suatu perubahan paradigma yang signifikan dalam hukum internasional, karena perubahan tersebut secara objektif menegasikan 'imunitas tindakan kepala negara' dan 'sifat absolut dari disiplin militer.40 Dengan demikian seorang bawahan tidak dapat lagi membenarkan tindakannya sebagai tameng untuk membebaskannya dari tuduhan melakukan kejahatan perang.

4. Peradilan yang Wajar

Prinsip peradilan yang wajar diperdebatkan dalam kasus Jaluit Atol l . Menurut tafsiran ICC, kejahatan perang mengenai penyangkalan peradilan yang wajar meliputi : 1 . Pelaku mencabut satu atau beberapa orang atas peradilan

yang adil dan reguler dengan menyangkal jaminan­jaminan pengadilan, khususnya yang ditetapkan dalam Konvensi Jenewa III dan N Tahun 1949;

38 Jackson N. Maogoto, "The Superior Order Defense: A Game of Musical Chairs and the Jury is Still Out'', Flinders Joumal of Law Reform, Vol. 10, 2007, him. 23. 39 Massimo Scaliotti, op. cit, him. 140. 40 Hiromi Sato, "The Defense of Superior Orders in International Law: Some Impl ications for the Codification of International Criminal Law", International Criminal Law Review, Vol . 9, 2009, him. 118.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 33: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1274 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

2. Orang-orang tersebut di l indungi oleh satu atau lebih Konvensi Jenewa Tahun 1949;

3 . Pelaku sadar tentang keadaan faktual yang dibentuk atas status orang yang dil indungi;

4. Kejahatan tersebut dilakukan dalam konteks konflik bersenjata internasional; dan

5 . Pelaku sadar tentang keadaan faktual yang dibentuk dari adanya konflik bersenjata. Tafsiran berdasarkan ICC juga menyebutkan bahwa

jaminan peradilan yang wajar berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 meliputi : 1 . Hak tertuduh untuk diadil i melalui suatu pengadilan yang

bebas dan tidak memihak (Pasal 84 ayat (2) Konvensi Jenewa III, Pasal 75 ayat (4) Protokol Tambahan I, dan Pasal 6 ayat (2) Protokol Tambahan II);

2. Hak tertuduh untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan kepadanya (Pasal 104 Konvensi Jenewa III, Pasal 71 ayat (2) Konvensi Jenewa Iv, Pasal 75 ayat (4)(a) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (2)(a) Protokol Tambahan II);

3 . Hak-hak dan cara pembelaan seperti hak untuk mendapat­kan bantuan dari penasehat hukum yang memenuhi syarat yang dipi l ih secara bebas, dan oleh seorang penterjemah yang kompeten (Pasal 99 dan Pasal 105 Konvensi Jenewa III, Pasal 72 dan Pasal 74 Konvensi Jenewa Iv, Pasal 75 ayat (4)(a) dan (g) Pr.otokol Tambahan I, dan Pasal 6 ayat (2)(a) Protokol Tambahan II);

4. Prinsip pertanggungjawaban individu (Pasal 87 Konvensi Jenewa III, Pasal 33 Konvensi Jenewa Iv, Pasal 75 ayat (4)(b) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (2)(b) Protokol Tambahan II);

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 34: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1275 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

5. Prinsip tidak ada kejahatan tanpa adanya aturan hukum (nu//um crimen sine /ege) (Pasal 99 ayat (1) Konvensi Jenewa III, Pasal 67 Konvensi Jenewa :rv, Pasal 75 ayat (4)(c) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (2)(c) Protokol Tambahan II);

6. Praduga tak bersalah (Pasal 75 ayat (4)(d)) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (2)(d) Protokol Tambahan II);

7. Hak tertuduh untuk hadir dalam persidangan (Pasal 75 ayat (4)(e) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (2)(e) Protokol Tambahan II);

8. Hak tertuduh untuk memberikan kesaksian yang bertentangan dengan dirinya atau untuk mengakui kesalahannya (Pasal 75 ayat ( 4)(f) dan Pasal 6 ayat (2)(f) Protokol Tambahan II);

9. Prinsip tidak ada penghukurnan lebih dari sekali untuk tindakan yang sama (ne bis in idem) (Pasal 86 Konvensi Jenewa III, Pasal 1 17 ayat (3) Konvensi Jenewa IV dan Pasal 75 ayat (4)(h) Protokol Tambahan I);

10. Hak tertuduh atas putusan yang diumumkan di hadapan publik (Pasal 75 ayat (l)(i) Protokol Tambahan I);

1 1 . Hak tertuduh untuk mendapatkan informasi mengenai hak-haknya untuk banding (Pasal 106 Konvensi Jenewa III, Pasal 73 Konvensi Jenewa Iv, Pasal 75 ayat (4)(j) Protokol Tambahan I dan Pasal 6 ayat (3) Protokol Tambahan II); dan

12. Larangan menghukum atau menjalankan hukuman tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu peng­adilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 35: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1276 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

oleh bangsa-bangsa yang beradab (Pasal 3 ketentuan yang bersamaan Keempat Konvensi Konvensi Jenewa).41

5. Hors de Combat

Prinsip hors de combat diperdebatkan dalam kasus Peleus dan Jaluit Atol l . Prinsip ini mendapat penafsiran dalam Pasal 8 ayat (2)(b )(vi), yaitu membunuh atau melukai seorang kombatan yang telah meletakkan senjatanya atau yang tidak memil iki pertahanan atau telah menyerah. Menurut teks yang diadopsi ICC, kejahatan perang dengan membunuh atau melukai seorang yang telah berhenti bertempur (hors de combat;, meliputi : 1 . Pelaku membunuh atau melukai seorang atau beberapa

orang; 2 . Orang atau orang-orang tersebut adalah orang yang telah

berhenti bertempur; 3 . Pelaku sadar tentang keadaan-keadaan faktual yang

membentuk status tersebut; 4. Tindakan tersebut terjadi dalam atau berhubungan

dengan konflik bersenjata internasional; dan 5. Pelaku sadar tentang keadaan-keadaan faktual yang

membentuk adanya konflik bersenjata.42

Menurut komentar dari Komisi Persiapan, ketentuan tersebut diturunkan dari ketentuan Pasal 23 ayat (c) Regulasi Den Haag 1907, yang kemudian diformulasikan dalam Pasal 41 ayat ( 1 dan 2) Protokol Tambahan I yang melarang serangan terhadap orang yang telah berhenti bertempur. Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Komisi adalah kasus Kapal Peleus, yang menyebutkan dakwaan bagi tertuduh karena melakukan suatu kejahatan perang. Jaksa

41 Knut Dorman, Elements of War Crimes Under the Statute of the International Criminal Court (Cambridge : Cambridge University Press), 2003, him. 101.

4 2 Ibid., him. 185.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 36: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1277 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

penuntut mengadakan klarifikasi, bahwa pelanggaran yang dilakukan tertuduh bukan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang dengan menenggelamkan kapal, tetapi pelanggaran dengan menembak dan melempar­kan granat atas orang-orang yang selamat dari kapal yang tenggelam tersebut. 43

Contoh lainnya adalah kasus Llandovery Castle, yaitu suatu kasus sebuah kapal rumah sakit (hospital ship) yang ditenggelamkan dan komandan U-boat telah berusaha untuk menghabisi atau membersihkan seluruh bagian kapal yang tenggelam yang dimaksudkan untuk menyembunyikan tindakan kejahatan. Reichsgericht (Mahkamah Agung) Jerman di Leipzig menetapkan bahwa pembunuhan terhadap musuh bertentangan dengan Pasal 23 ayat ( c) Regulasi Den Haag 1907 atau dalam keadaan-keadaan yang sama juga berlaku di laut, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum inter­nasional berkenaan dengan pembelaan perintah-perintah atasan yang tidak mendapatkan pembenaran.44

Komisi memberikan suatu analisis atas kasus yang sama, dengan merujuk pada San Remo Manual, yang menyatakan bahwa pihak musuh diwajibkan untuk memberikan per­l indungan, jika kapal tersebut terbukti telah memiliki keinginan untuk menyerah. Secara umum, telah ada metode yang disetuju i untuk menandakan adanya keinginan menyerah, yaitu : 1 . Menurunkan bendera kapal (hauling down its flag); 2. Menaikkan bendera putih (hoisting a white flag); 3 . Naik ke permukaan dalam kasus-kasus kapal selam

(surfacing in the case submarines);

43 Ibid., him. 187. 44 Ibid.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 37: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional 1278

4. Mematikan mesin dan merespon signal penyerang (stopping engines and responding to the attackers signals);

5 . Mengambil sekoci-sekoci penolong (taking to life boats); dan

6. Pada malam hari, menghentikan kapal dan mematikan lampu (stopping the vessel and switching on its lights).45

Dalam bagian lainnya, Komisi juga mengutip komentar atas San Remo Manual, yang menyebutkan bahwa per­l indungan atas kapal-kapal terhadap serangan, didasarkan pada larangan serangan bagi kapal yang karam (shipwrecked) yang telah dikenal dalam hukum kebiasaan internasional. Kewajiban untuk melindungi kapal yang karam berlaku bagi setiap orang, apakah militer atau sipil yang sedang dalam keadaan bahaya di laut, akibat dari bencana yang didapatinya . Ketentuan in i tidak berlaku bagi orang-orang yang mungkin ada dalam posisi untuk ikut serta lagi dalam pertempuran dan menyerang, yang merupakan suatu tindakan kejahatan perang. D i lain pihak, perl indungan in i berhenti j ika mereka secara nyata mulai melakukan tindakan permusuhan lagi . Aturan kebiasaan internasional bagi orang yang telah berhenti bertempur menurut Solf, yaitu perlindungan terhadap serangan dimulai, ketika individu telah berhenti bertempur (ceased to fight), ketika kesatuannya telah menyerah (has surrendered), atau ketika ia tidak lagi mampu untuk bertahan, baik karena ia telah disergap atau karena ia tidak ber­senjata. 46

45 Ibid., him. 188. 46 Ibid., him. 189-190.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 38: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1279 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

6. Tidak Memberikan Pengampunan

Prinsip tidak memberikan pengampunan atau pernyataan bahwa tidak akan ada orang yang selamat, diperdebatkan dalam kasus Kapal Peleus. Prinsip ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2)(b )(xii) Statuta ICC. Komisi memberika n komentar mengenai kejahata n ini, sebagai berikut: 1 . Pelaku menyatakan atau memerintahkan (declared or

ordered) bahwa tidak ada orang yang selamat (survivors); 2. Perintah tersebut diberikan berkenaan dengan a ncaman

bagi pihak musuh atau untu k melaksanakan permusu han atas dasar bahwa tidak ada orang yang selamat;

3. Pelaku berada dalam pos1s1 mengomandani atau mengontrol secara efektif pasukan bawahannya melalui pernyataan atau perintah;

4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau ber­hubungan dengan konfl ik bersenjata internasiona l ; dan

5. Pelaku sadar mengenai keadaan faktual yang dibentuk dari adanya konfl ik bersenjata.47 Menu rut unsur-unsur tindak pida na (element of crimes)

dari ketentuan Pasal 8 ayat (2)(b)(xi i) disebutkan bahwa konsep tidak adanya pengampunan (no quartet} merupakan isti lah modern dari kata 'no su rvivors' berdasarkan Pasal 40 Protokol Tamba han I tahun 1977, yang berbunyi 'There shal l be no survivors'.48 Komisi setuju bahwa tidak penting hasil dari pernyataan atau perintah tersebut (misa lnya dalam situasi tertentu tidak ada orang yang selamat yang dibiarkan hidup ), teta pi bahwa pernyataan atau perintah tersebut sudah cukup bagi penyelesaian kejahatan (completion of the crime) . Istilah 'quarter' disini diartikan bahwa hanya pihak musuh penakluk yang selamat. Ini berarti bahwa hanya pasukan pihak

4 7 Ibid., him. 246. 48 Ibid.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 39: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1280 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

penakluk yang mendapatkan tempat perl indungan, termasuk pemberian akomodasi, keamanan dan kelangsungan hidup. Pernyataan dari kata 'no quarter' tersebut juga dimaksudkan untuk memprovokasi atau mela kuka n tindakan teror atas musuh, agar supaya pihak musuh dengan segera menyerah .49

Secara h istoris, frase tersebut diturunkan dari Pasal 23 ayat ( d) Regulasi Den Haag 1907. Ketentuan tersebut d itegas­kan kembali dalam Pasal 40 Protokol Tambahan I, dengan memperluas ruang l ingku pnya, yang meliputi ancaman bahwa tidak ada orang yang mendapatkan pengampunan. Hal in i disebutkan dalam Komentar atas Protokol Tambahan I yang menyebutkan bahwa adalah dilarang memerintahkan bahwa tidak ada orang yang diberi pengampunan, untuk mengancam musuh. Karena itu berdasarkan penafsiran kedua pasal tersebut, pelaku kejahatan perang tidak hanya orang yang melaku kan kejahatan, tetapi juga orang yang memerintahkan atau yang memberikan ancaman.50

D. Pengecualian Doktrin Tindakan Negara

Doktrin ini d iperdebatkan dalam kasus Jaluit Atol l . Seperti diketahui bahwa hukum internasional tentang pertanggung­jawaban negara menentukan kapan negara-negara ber­tanggung jawab untuk pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum internasional. Biasanya, negara-negara bertanggung jawab ketika negara tersebut memil iki kontrol atas tindakan­tindakan para pelaku ( wrongdoers).51 Berdasarkan huku m i nternasiona l klasik, h a nya negara l a h ya ng mem i l i ki

49 Yves Sandoz (ed.), Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers), 1987, him. 475. so Knut Dorman, op. cit., him. 246-247. 51 Eric A. Posner dan Alan 0. Sykes, "An Economic Analysis of State and Individual Responsibility Under International Law", American Law and Economics Review, Vol. 9, 2007, him. 72.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 40: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1281 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

personalitas-personalitas hukum. Jika sesuatu merupakan kejahatan menurut hukum internasional, negara itu sendiri yang bertanggung jawab dan tidak ada individu memikul akibat atau memperoleh manfaat darinya. Akan tetapi doktrin ini berubah segera sesudah Perang Dunia II. 52

Meskipun organ tersebut melanggar hukum nasional atau melampaui otoritas yang diberikan kepadanya (ultra vires), tindakan tersebut dapat diatribusikan kepada negara, sepanjang tinda kan-tindakan organ tersebut dalam kapasitas­nya sebagai organ negara .53 Kejahatan-kejahatan inter­nasional dari individu, selalu berasa l dari suatu tindakan dari negara, baik karena pelakunya adalah individu-individu atau badan-badan negara, atau karena kejahatan-kejahatan tersebut dihasi lkan dari kebijakan-kebijakan atau pil ihan­pil ihan yang dibantu oleh suatu negara .54

Akan tetapi dalam perkembangannya, doktrin tindakan negara menjadi a lat legitimasi dan pembenaran bagi pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum humaniter. Artinya, atas nama doktrin tindakan negara maka aturan­aturan hukum internasional yang berlaku dapat dike­sampingkan.

Jochnick dan Normand menyebutkan bahwa para pemimpin politik dan mi l iter meniadakan perlindungan ber­dasarkan pembelaan "tindakan negara", walaupun melaksana­kan tugas negara. Karena itu mahkamah tidak memaafkan

52 Kai Ambos, "Individual Criminal Responsibility in International Criminal Law: A Jurisprudential Analysis - From Nuremberg to the Hague", dalam Gabrielle Kirk McDonald dan Olivia Swaak-Goldman (ed.), Substantive and Procedural Aspects of International Criminal Law: Commentary, Volume I, Kluwer Law International, The Hague, 2000, him. 5. 53 Jan Amo Hessbruegge"Human Rights Violations Arising from Conduct of Non­State Actors", Buffalo Human Rights Law Review, Vol. 1 1, 2005, him. 49. 54 Umberto Leanza, "The Historical Background", dalam Mauro Politi and Giuseppe Nesi (ed.)., The International Criminal Court and the Crime of Aggression, (England: Ashgate Publishing Limited), 2004, him. 8.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 41: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1282 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

tiap pelaku yang melanggar hukum humaniter, bah kan kepentingan-kepentingan mi liter tida k a kan membenarkan pelanggar-pelanggar hukum. 55 Pelanggaran-pelanggaran ter­sebut haruslah tindakan pelanggaran berat (commission of a grave breach) dan suatu perintah yang menurut Wolfrum adalah sama seriusnya. 56

Sejalan dengan pemi kiran tersebut di atas, Glueck menegaska n bahwa a rgumen "tindakan negara" mengandung kepalsuan (artificialit:YJ dan menurut hukum tidak pernah ada ( legalistic nihilism) serta tidak dapat d itera pkan (inapplicabilit:YJ melalui penegakan yang efektif berdasarkan hukum dan kebiasaan perang. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan . · Pertama, kenyataan bahwa negara-negara anggota PBB taat pada hukum internasional yang membatasi secara teoretis kedaulatan mutlak dan imunitas keputusan pengadilan negara lain atau perwakilan PBB bagi pembenaran hukum perang. Pada saat subjek-subjek negara yang melanggar ketentuan hukum dan kebiasaan perang diadil i, maka huku m negara musuh harus berlaku, dan buka n negaranya sendiri . Dakwaan negara tersebut di laku kan atas nama PBB, dan diterapkan tidak hanya berdasarkan hukum pidana domestik, tetapi juga hukum internasional. Karena itu tidak ada yang mengij inka n negara-negara melanggar hukum atau meniadakan ketentuan hukum internasional secara keseluruhan. Kedua, tidak ada negara yang dapat menuntut tindaka n-tindakan berdasarkan waktu dan keadaan, u ntuk kebal dari yurisdiksi negara lain. Para penulis pada kurun waktu dewasa ini mendesak penera pa n doktrin tindaka n negara bagi kejahatan perang, dan a kan diterapkan secara

55 Chrisaf Joscnick dan Roger Normand, "The Legitimation of Violence, A Critical History of The Law of War", The International Lawyer, Vol. 35, 1994, him. 90. 56 Dieter Fleck (ed.), The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts, (Great Britain: Oxford University Press), 1999, him. 528-529.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 42: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1283 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

lazim antara perang yang adil dan yang tidak adil . Di manapun suatu negara memulai perang adil (seperti pembelaan diri), dalam kenyataannya tunduk pada yurisdiksi tindakan negaranya terhadap perang. Ketiga, adalah diragukan apakah doktrin "tindakan negara" berlaku bagi tanggung jawab individu yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. Artinya, masalah tindakan negara tidak pernah dibicarakan oleh penulis-penulis hukum internasional dalam hubungannya dengan kejahatan perang.57

Karena itu ada sejumlah pasal kunci dari the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) secara impl isit membatasi kedaulatan dengan menjadikan tindakan negara sebagai suatu tindakan ilegal . Tindakan-tindakan tersebut berupa tindakan sewenang-wenang, dalam bentuk tindakan pembunuhan, menjadikan manusia sebagai objek penyiksaan atau merendahkan martabat, mengijinkan perdagangan budak untuk kerja paksa, memenjarakan seseorang karena tidak memenuhi suatu kewajiban kontraktual, menghukum seseorang atas suatu kejahatan tanpa proses hukum, tidak mengakui hak seseorang sebagai pribadi di hadapan hukum, dan tindakan melanggar kebebasan berkeyakinan, pemikiran dan agama.58

Berdasarkan sejumlah pemikiran tersebut, jelas bahwa doktrin tindakan negara tidak memiliki tempat lagi dalam hukum internasional, jika ternyata doktrin tersebut hanya menjadi a lat legitimasi untuk melakukan kejahatan inter­nasional . Tindakan kejahatan perang yang diperankan oleh organ militer (termasuk dinas angkatan laut) dan aparat negara lainnya, harus dipertanggungjawabkan secara pidana

57 Sheldon Glueck, Prosecution of War Crimes, (New York: Princenhall), 1970, him. 134-135. 58 Frederic Gilles Sourgens, "Positivism, Humanism, and Hegemony: Sovereignty and Security for Our Time", Penn State International Law Review, Vol. 25, 2007, him. 450-451.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4 . No. 7

Page 43: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1284 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

individu. Tindakan negara tidak dapat dijadikan tameng (shield) bagi di laku kannya kejahatan pera ng.

E. Penutup

Kasus kejahatan perang juga diperankan oleh anggota dinas angkatan laut, sebagaimana digambarkan dalam kasus Donitz, kasus Peleus dan kasus Jaluit Atol l . Ada sejumlah prinsip hukum atau doktrin yang diperdebatkan dalam ketiga kasus tersebut seperti asas legal itas, tanggung jawab individu bagi pemberi perintah, pembelaan bawahan atas perintah atasan, prinsip peradilan yang wajar, hors de combat, pemberian pengampunan dan doktrin tindakan negara . Karena itu Statuta ICC sebagai salah satu perkembangan terbaru dalam lapangan huku m humaniter dan hukum HAM, telah memberika n solusi atas prinsip-prinsip dan doktrin terse but.

DAFTAR PUSTAKA

Ambos, Kai, "General Principles of Criminal Law in The Rome Statute'� Criminal Law Forum, Vol . 10, 1999.

Askin, Kel ly Dawn, War Crimes Against Women, Prosecution in International War Crimes Tribunals, (The Hague: Martinus Nijhoff Publ ishers), 1997.

Bantekas, Ilias, "Reflections on Some Sources and Methods of International Criminal and Humanita rian Law'� International Criminal Law Review, Vol . 6, 2006.

Bantekas, I l ias dan Nash, Susan, International Criminal Law, Third Edition, Routldge-Cavendish, United Kingdom, 2007.

Bassiouni, M . Cherif, Crimes against Humanity in International Criminal Law, Second Revised Editions (The Hague: Kluwer Law International), 1999.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 44: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1285 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Intemasional

Clark, Roger S., "Nuremberg and the Crime Against Peace'� Washington Global Studies Law Review, Vol . 6, 2007.

Dorman, Knut, Elements of War Crimes under the Statute of the International Criminal Court (Cambridge: Cambridge University Press), 2003.

Fleck, Dieter (ed.), The Handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts, (Great Brita in : Oxford University Press), 1999.

Fournet, Caroline, "When the Chi ld Surpasses the Father -Admissible Defences in International Criminal Law", International Criminal Law Review, Vol . 8, 2008.

Glueck, Sheldon, Prosecution of War Crimes, (New York: Princenhall), 1970.

Hessbruegge, Jan Arno, "Human Rights Violations Arising from Conduct of Non-State Actors", Buffalo Human Rights Law Review, Vol . 1 1, 2005.

http://www. usslibertyinquirv.com/law/doenitz.html Insco, James B., "Defence of Superior Orders Before Mil itary

Commissions'� Duke Journal of Comparative and International La� Vol. 13, 2003.

Jescheck, Hans-Heinrich, "The General Principles of International Criminal Law Set Out in Nuremberg, as Mirrored in the ICC Statute'� Journal of International Criminal Justice, Vol . 2, 2004.

Joscnick, Chrisaf dan Normand, Roger, "The Legitimation of Violence, A Critical History of The Law of War'� The International Lawyer, Vol . 35, 1994.

Lauterpacht, Herst, "The Law of Nations and the Punishment of War Criminals'� British Yearbook of International Law, Vol . 21 , 1944.

Lauterpacht, Herst, International Law Report (Cambridge: Cambridge University Press), 1951.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4. No. 7

Page 45: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan 1286 oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Lippman, Matthew, "Prosecutions of Nazi War Criminals Before Post-World II Domestic Tribunals", Miami International and Comparative Law Review, Vol . 8, 2000.

Maogoto, Jackson N ., "The Superior Order Defense: A Game of Musical Chairs and the Jury is Stil l Out': Flinders Journal of Law Reform, Vol . 10, 2007.

McCormack, Timothy dan Simpson, Gerry J. (ed.), The Law of War Crimes, National and International Approaches (The Hague: Kluwer Law International), 1997.

Mccoubrey, Hilaire, "From Nuremberg to Rome: Restoring the Defense of Superior Orders': International and Comparative Law Quarter!� Vol . 50, 2001.

McDonald, Gabrielle Kirk dan Goldman, Olivia Swaak (ed .), Substantive and Procedural Aspects of International Criminal Law: Commentary, Volume I, Kluwer Law International, The Hague, 2000.

Posner, Eric A. dan Sykes, Alan 0., "An Economic Analysis of State and Individual Responsibility under International Law", American Law and Economics Review, Vol. 9, 2007.

Politi, Mauro dan Nesi, Giuseppe (ed.), The International Criminal Court and the Crime pf Aggression, (England : Ashgate Publishing Limited), 2004.

Ronzitti, N ., The Law of Naval Warfare, A Collection of Agreements and Documents with Commentaries (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers), 1988.

Sourgens, Frederic Gilles, "Positivism, Humanism, and Hegemony: Sovereignty and Security for Our Time': Penn State International Law Review, Vol . 25, 2007.

Sadat, Leila Nadya, The International Criminal Court and the Transformation of International Law: Justice for the New Millenium (New York: Transnational Publishers, Inc.), 2002.

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol . 4. No. 7

Page 46: Natsri Anshari Devy Sondakh Salvador Gedeon de Jesus

1287 Aspek-aspek Hukum Humaniter dalam Kejahatan Perang yang Dilakukan oleh Anggota Dinas Angkatan Laut dalam Konflik Internasional

Sandoz, Yves (ed.), Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (The Netherlands: Martinus N ijhoff Publishers), 1987.

Sass61i, Marco dan Bouvier, Antoine A., How Does Law Protect in Wa1; cases, Documents and Teaching Materials on Contemporary Practice in International Humanitarian Law, (Geneva : International Committee of the Red Cross), 1999.

Sato, Hiromi, "The Defense of Superior Orders in International Law: Some Implications for the Codification of International Criminal Law", International Criminal Law Review, Vol . 9, 2009.

Scaliotti, Massimo, "Defences Before the International Criminal Court: Substantive Grounds for Excluding Criminal Responsibil ity - Part 1", International Criminal Law Review, Vol . 1 , 2001 .

Sliedregt, Elies van, The Criminal Responsibility of Individuals for Violations of International Humanitarian Law (Amsterdam: T.M.C. Asser Press), 2003.

Triffterer, Otto (ed.), Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Observer Notes, Article By Article (Baden-Baden : Nomos Verlagsgesellschaft), 1999.

United Nations War Crimes Commission, Law Reports of Trials of War Criminals, Volume I, United Nations War Crimes Commission, London, 1947.

Wald, Patricia M., "Running the Trial of the Century: The Nuremberg Legacy'� cardozo Law Review, Vol . 27, 2006.

Werle, Gerhard, Principles of International Criminal Law, (Cambridge: Cambridge University Press), 2005 .

JURNAL HUKUM HUMANITER Vol. 4 . No. 7