national media coverage

166
National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 1 of 166 WWF-Indonesia National Media Coverage 23 February – April 27, 2006 Human-Elephant Conflict in Riau, Sumatra, Indonesia Compiled by Desma Murni, Species Program, WWF Indonesia [email protected] Dani Rahadian, Tesso Nilo Program, WWF Indonesia [email protected] Last updated: April 27, 2006. 05.00 PM RIAU POS Online, 23 Feb 2006 Kawanan Gajah Serbu Balai Raja (Herds of elephant raided Balai Raja Village) RIAU POS Online, 24 Februari 2006 Takut, Ratusan Warga Mengungsi Aksi Teror Gajah Masih Terjadi (Scared of elephants terror, a hundreds villagers flee from their house) RIAU POS, 24 Februari 2006 Upaya Pengungsian Warga Yang dikepung Gajah “Dikejar Gajah Pak Lurah Pun Lari Pontang-Panting” (Efforts to relocate villagers from elephant raid “Chased by elephant, village leader run away”) Riau POS, 24 Februari 2006 Petani Sawit Tewas diinjak Gajah (Palm Oil Farmers stampede by elephant) DETIK.Com, 24 Februari 2006 Gajah Rusak Rumah, Satu Tewas (Elephants raided houses, one killed) Suara Karya, 27 Februari 2006 Riau Siapkan Kawasan Konservasi Cegah Pembunuhan Massal Gajah (Riau prepare conservation area to prevent massive killing of elephants) DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Masuk Kampung, 128 Orang Mengungsi (50 elephants entering human settlement, 128 people flee) DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Liar Masuk Keperkampungan (50 wild elephants entering villages) ANTARA, 1 Maret 2006 Menhut Akan Pindahkan Gajah Ngamuk Di Balai Raja (Ministry Forestry to relocate raided elephants in Balai Raja) Metro TV. Nusantara/Metro Siang 1 Maret 2006 12:21 Kawanan Gajah Liar Mati diracun

Upload: lyminh

Post on 12-Jan-2017

228 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 1 of 166 WWF-Indonesia

National Media Coverage 23 February – April 27, 2006

Human-Elephant Conflict in Riau, Sumatra, Indonesia

Compiled by

Desma Murni, Species Program, WWF Indonesia [email protected]

Dani Rahadian, Tesso Nilo Program, WWF Indonesia [email protected]

Last updated: April 27, 2006. 05.00 PM

RIAU POS Online, 23 Feb 2006 Kawanan Gajah Serbu Balai Raja (Herds of elephant raided Balai Raja Village) RIAU POS Online, 24 Februari 2006 Takut, Ratusan Warga Mengungsi Aksi Teror Gajah Masih Terjadi (Scared of elephants terror, a hundreds villagers flee from their house) RIAU POS, 24 Februari 2006 Upaya Pengungsian Warga Yang dikepung Gajah “Dikejar Gajah Pak Lurah Pun Lari Pontang-Panting” (Efforts to relocate villagers from elephant raid “Chased by elephant, village leader run away”) Riau POS, 24 Februari 2006 Petani Sawit Tewas diinjak Gajah (Palm Oil Farmers stampede by elephant) DETIK.Com, 24 Februari 2006 Gajah Rusak Rumah, Satu Tewas (Elephants raided houses, one killed) Suara Karya, 27 Februari 2006 Riau Siapkan Kawasan Konservasi Cegah Pembunuhan Massal Gajah (Riau prepare conservation area to prevent massive killing of elephants) DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Masuk Kampung, 128 Orang Mengungsi (50 elephants entering human settlement, 128 people flee) DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Liar Masuk Keperkampungan (50 wild elephants entering villages) ANTARA, 1 Maret 2006 Menhut Akan Pindahkan Gajah Ngamuk Di Balai Raja (Ministry Forestry to relocate raided elephants in Balai Raja) Metro TV. Nusantara/Metro Siang 1 Maret 2006 12:21 Kawanan Gajah Liar Mati diracun

Page 2: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 2 of 166 WWF-Indonesia

http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=11918 Kompas Cyber Media, 2 Maret 2006 WWF Akan Selidiki Bangkai Gajah di Riau (WWF to investigate dead elephants in Riau) Kompas Cyber Media, Maret 2, 2006 Selamatkan Gajah di Riau, Hentikan Konversi Hutan (Save elephants in Riau, Stop forest conversion) Riau POS, 2 Maret 2006 (Cover page) Enam Ekor Gajah Mati di Perbatasan Rohul-Tapsel (Six elephants dead in the border between Rohul and Tapsel) Riau Pos, 2 Maret 2006 Opini. Karikatur « Ini yang namanya cukong makan kayu, kita kena amuk gajahnya » Sketch/Drawing DETIK.Com, 2 Maret 2006 Kematian Gajah, Riau Peringkat 1 di Dunia (Elephant Dead, Riau Rank no.1 in the world) SCTV, 2 Maret 2006, 19.04 Liputan 6 Sore. Headline. Sekelompok gajah liar memasuki permukiman warga di Bengkalis dan Balai Raja, Riau View online: http://202.147.240.133/view/7,118583,1,0,1141316223.html Kompas Cyber Media, 2 Maret 2006 Gajah Tangkapan Mati Tanpa Gading (Captured elephant found dead without ivory) http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0603/02/115413.htm WASPADA Online, 02 Mar 06 23:41 WIB Opini - Tajuk Rencana Stop Meracun Gajah (Op-Ed : Stop poisoning the elephant) http://www.waspada.co.id/opini/tajuk_rencana/artikel.php?article_id=74591 Kompas Cyber Media, 3 Maret 2006 Enam Bangkai Gajah di Riau Mulai Diotopsi (Six elephant carcass in Riau under autopsy) RRI.Online. Jumat, 03 Maret 2006, 10:42 WIB Tim Dokter Hewan Mulai Otopsi Enam Bangkai Gajah di Riau (Veteriner team started the autopsy of elephant carcass in Riau) Republika, Jumat, 03 Maret 2006 Gajah Riau Mati Tanpa Gading (Riau Elephant found Dead withot ivory) Gajah jantan itu mati karena melakukan perlawan pada tim penangkap. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=237855&kat_id=61 ANTARA, 3 Maret 2006 09:10 Perambahan Hutan, Akar Permasalahan Konflik Manusia dan Gajah (Forest encroachment, root causes of human elephant conflict)

Page 3: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 3 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 3 Maret 2006 09:25 KONUS: Peralihan Hutan Harus Dihentikan Untuk Selamatkan Gajah (KONUS: Forest conversion has to stop to save the elephant) DETIK.Com, 3 Maret 2006, 20:29:39 WIB Chaidir Anwar Tanjung Niatnya direlokasi, 7 ekor gajah mati (To relocate, 7 elephants get killed) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/03/time/202939/idnews/552331/idkanal/10 Detik.com, 3 Maret 2006 14:34:35 WIB Gajah Liar di Riau Masih Menyerang Rumah Penduduk (Wild elephant still raiding villagers’ houses) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/02/time/143435/idnews/551319/idkanal/10 Detik. Com, 3 Maret 2006, 19:07:33 WIB skor: 1000 Kontra Atasi Konflik Gajah di Riau (Pros and Cons on how to deal with elephant conflict) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/09/time/190733/idnews/555891/idkanal/10 Kompas Cyber Media, 3 Maret 2006 Perambahan Hutan, Akar Konflik Manusia dan Gajah (Forest encroachment, root causes of human elephant conflict) Riau Pos, 3 Maret 2003 Aksi Gajah Liar Kian Berani. Pukul 6.30 WIB Berkeliaran di Perumahan Guru (Wild elephant get wilder. At 6.30 AM walked around teacher housings) Riau Mandiri, 3 Maret 2006 (Cover page) Foto : Enam Ekor Gajah Ditemukan Mati di Perbatasan Rohul-Tapsel (Photo: Six elephants found dead in the border of Rohul-Tapsel) Riau Mandiri, 3 Maret 2006 (Headline, cover page) Konflik Gajah-Manusia di Duri BKSDA Mengaku Belum Tahu (Human elephant conflict in Duri, BKSDA said it does not know) ANTARA, 4 Maret 2006 Seekor Harimau Sumatra Jadi Korban Keracunan Gajah (A Sumatran tiger killed after eating poisoned elephants) Riau Mandiri, 4 Maret 2006 Pro Fauna Minta Usut Tuntas Pembunuhan Gajah (Pro Fauna calls for investigation of the dead elephants) Liputan 6 SCTV 4 Maret 2006 01:42 Lingkungan (Tayang 14 Maret 2006) Meriam Bambu Pengusir Gajah http://www.liputan6.com/view/7,118653,1,0,1144569991.html Metro TV, 4 Maret, 2006 2.OO PM Jkt time Metro Xinwen, Indonesia (in Mandarin) about poisoned elephants Metro TV, 5 Maret 2006, Jam 10.30 PM (30 minutes) About poisoned elephants and elephant raids in Balai Raja Village.

Page 4: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 4 of 166 WWF-Indonesia

DETIK.Com, 6 Maret 2006 Konflik Gajah di Riau, 16 Orang Tewas (Elephant conflict in Riau, 16 people killed) Kompas Cyber Media, 6 Maret 2006 WWF: Usut Kematian Gajah di Sumatra (WWF: Investigate elephants deaths in Sumatra) Siaran Pers (Press Release) WWF-PHKA, 6 Maret 2006 Tindak Lanjut Konflik Gajah di Riau: PHKA dan WWF Sepakati Terapkan Protokol Mitigasi Konflik Gajah. Konversi Hutan Alam Diminta Segera Dihentikan Kompas Cyber Media, 6 Maret 2006 Protokol Mitigasi untuk Atasi Konflik Gajah (HECM Protocol to address elephant conflict) ANTARA, 6 Maret 2006 WWF: Usut Kematian Gajah (WWF: Investigate elephants deaths) ANTARA, 6 Maret 2006. 14.02 PHKA Dan WWF Sepakati Protokol Mitigasi Konflik Gajah (PHKA and WWF Agreed on HECM Protocol) DETIK.com Senin, 6 Maret 2006 17:34 Tangani Konflik Gajah di Balai Raja KSDA-WWF Siagakan Tim Flying Squad (KSDA-WWF prepare Flying Squad to address human elephant conflict in Balai Raja) ANTARA, Senin, 6 Maret 2006 17:08 PHKA dan WWF Sepakat Protokol Mitigasi Konflik Gajah Akan Diterapkan (PHKA and WWF have agreed to implement HECM Protocol) Astaga .com, 6 Maret 2006 Konflik Gajah dan Manusia WWF: Hentikan Konversi Hutan Secepatnya http://astaga.com/warta/index.php?id=105281&cat=535 Suara Pembaruan, 7 Maret 2006 WWF: Usut Kematian Gajah (WWF: Investigate elephant deaths) Republika, 7 Maret 2006 Gajah Lawan Manusia Perlu segera diterapkan Protokol Mitigasi Konflik Gajah untuk meminimalkan konflik gajah dan manusia. (Elephants vs Humans. Immediate implementation of HECM Protocol to minimize conflict) Sinar Harapan, 7 Maret 2006 (cover page) Ketika Gajah Berseteru Dengan Manusia (When elephant fight with humans)

Page 5: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 5 of 166 WWF-Indonesia

Detik.Com. 7 Maret 2006, Chaidir Anwar Tanjung Gubernur Riau Minta Polisi Untuk Usut Kematian Gajah (Riau Governor asked police to investigate elephants’ death) Detik.Com. 9 Maret 2006, Chaidir Anwar Tanjung Pro dan Kontra Atasi Konflik Gajah (Pros and Cons in addressing elephant conflict) Radio 68H FM, 10 Maret 2006 9.00-9.30 AM (release to other 40 radio stations throughout Indonesia) Talkshow on human elephant conflict mitigation (Feedback from Merauke, Menado, Tapanuli, Bengkulu, Jakarta, Bandung and Palembang) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Konflik Gajah dan Manusia Sama-Sama Terluka (Human and elephant conflict, both are injured) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Koridor Gajah Sudah Hilang, Hentikan Konversi Hutan (Elephant corridors have dissapeared, stop forest conversion) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Gajah Juga Punya Naluri Tak Mau Diusik (The elephants also have an instinct not to be disturbed) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Nurchalis Fadhli, WWF Riau Solusi “Instant” Sangat Disayangkan (Nurchalis Fadhli, WWF Riau) (Instant Solution is a pity) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Cerita Pilu dari Balairaja-Duri Tiga Jam dalam Kepungan Gajah (Sad story from Balairaja-Duri) (Three hours surrounded by wild elephants) Riau Pos, Ahad 12 Maret 2006 Dr. Ir. Willistra Danny MForSc, Kepala BKSDA Riau Gajah dan Manusia Perebutkan Kawasan (Dr. Ir. Willistra Danny MforSc, the Head of Riau Conservation Agency. Elephants and humans are fighting for land) Media Indonesia Online, Minggu, 12 Maret 2006 10:30 Nusantara, Sumatera BKSDA dan Dishut tak Sepaham Soal Penanganan Gajah di Riau (BKSDA and Riau Forestry Service are not in agreement in capturing elephant in Riau) http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93276 Media Indonesia Online, Minggu, 12 Maret 2006 04:40 WIB WWF Minta Menhut Selidiki Kematian Gajah di Riau (WWF Calls Ministry of Forestry to Investigate elephant death in Riau) http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93270 WWF-Indonesia. Siaran Pers (Press Release). 13 Maret 2006

Page 6: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 6 of 166 WWF-Indonesia

Penggiringan Gajah Liar ke Habitat Asalnya Harus Menjadi Prioritas: Relokasi ke Taman Nasional Tesso Nilo hanya akan timbulkan masalah baru Media Indonesia Online, 13 Maret 2006 15:00 WIB WWF Tolak Relokasi Gajah ke Taman Nasional Tesso Nilo (WWF rejects elephant relocation to Tesso Nilo National Park) RCTI, 13 Maret 2006 (Berita Malam. 00.25) Menteri Kehutanan Mengatakan bahwa insiden matinya gajah-gajah di Riau dalam 2 minggu terakhir adalah karena kecerobohan Dinas Kehutanan Prov. Riau. (Ministry of Forestry blames Riau Forestry service of being careless and irresponsible during the incidences of elephant deaths in the past two weeks in Riau) Radio Republik Indonesia (RRI On air and On line) 13 Maret 2006 WWF: Relokasi Gajah Liar ke Taman Nasional Tesso Nilo Tidak Selesaikan Masalah (WWF: Elephant relocation to Tesso Nilo will only move the problem) http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=20492 Detik.Com. 13 Maret 2006, Chaidir Anwar Tanjung Konflik dengan Manusia, 2 Gajah Mati di Riau (Conflict with human, 2 elephants dead in Riau) Media Indonesia Online. Senin, 13 Maret 2006 15:00 Lingkungan WWF Tolak Relokasi Gajah ke Taman Nasional Tesso Nilo (WWF opposes elephant relocation to Tesso Nilo) http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93389 Detik.com, 13 Maret 2006, 16:53:58 WIB Sela, Gajah Balita Kurang Gizi (Sela, baby elephant in malnutrition) SCTV, 14 Maret 2006. 7.25 AM Gajah masuk ke perkampungan di Balai Raja, Riau, karena hutan habitatnya rusak. Berita pagi dibawakan Dedy Mizwar dan Sarah Sechan. (kurang-lebih 5 menit) (5 minutes Morning News, presented by famous actor and actress) ANTARA, Mar 14 08:39 WIB WWF: Relokasi Gajah Liar ke Tesso Nilo Tak Selesaikan Masalah (WWF: Relocation of wild elephants to Tesso Nilo will not solve the problem) ANTARA, 14 Maret 2006. 08.42 WIB KSDA Riau Bantah Bantai Gajah Liar (KSDA denies slaughtering wild elephants) KOMPAS, 14 Maret 2006

Page 7: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 7 of 166 WWF-Indonesia

Berseteru dengan Manusia, 16 Gajah Mati (Fighting with humans, 16 elephants dead) RIAU Pos, 14 Maret 2006 Gajah Mati Beruntun, Menhut Berang Usut Tuntas, Tim Gegana Dikerahkan (Elephants death in a row, Ministry of Forestry angry high rank unit of policemen sent to investigate) http://www.riaupos.com/web/content/view/9735/23/ Detik.Com 14 Maret 2006 07:34:55 WIB Alamaak...Gaji Pawang Gajah Cuma 2 Bungkus Rokok! (Wow, Elephant Training Centre’s Mahout Salary is only equal to 2 packs of cigarette) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/14/time/073455/idnews/558017/idkanal/10 Riau Pos Selasa, 14 Maret 2006 BKSDA: Tak Setuju Relokasi (BKSDA: Disagree with relocation) Media Riau Selasa, 14 Maret 2006 WWF Tolak Relokasi Gajah di Taman Nasional Tesso Nilo (WWF rejects relocation of elephants to Tesso Nilo National Park) Riau Mandiri Selasa, 14 Maret 2006 WWF Tolak Relokasi Gajah Dari Balai Raja (WWF rejects relocation of elephants from Balai Raja) Metro Riau Selasa, 14 Maret 2006 WWF Tolak Relokasi Gajah Liar ke Taman Nasional Tesso Nilo (WWF rejects relocation of wild elephants to Tesso Nilo National Park) Riau Terkini Selasa, 14 Maret 2006 19:08 Stres dan Infeksi Luka Sebabkan Kematian Gajah Relokasi (Stress and infection will cause relocated elephants death) ANTARA, 15 Maret 2006. 10.13 WIB WCU Lampung Risaukan Perburuan Gajah Liar (Wild Crime Unit Lampung Worries on wild elephant poaching) ANTARA, 15 Maret 09.10 WIB Wagub Riau: Hutan Habitat Gajah Harus Tetap Dipertahankan (Riau Vice Governor: elephant forest habitats have to be protected) RIAU Terkini.com Rabu, 15 Maret 2006 16:14 Melongok Suaka Margasatwa Balai Raja Luas Tutupan Masih Tersisa 200 Ha (Visiting the Balai Raja Wildlife Sanctary. Only 200 ha forest remain) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=8869 ANTARA, 16 Maret 2006. 14.22 WIB WWF Khawatir Gajah Tangkapan di Riau Mati Lagi (WWF fears that captured elephant will die again)

Page 8: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 8 of 166 WWF-Indonesia

RIAU Pos, 16 Maret 2006 Tim Forensik Mulai Usut Bangkai Gajah (Riau Forensic team investigates elephant carcasses) RIAU Terkini.Com Kamis, 16 Maret 2006 12:51 Gajah Mati Pasca Relokasi, Siapa Bertanggung Jawab (Elephant dead after relocation, who is responsible) Riau Pos, Sabtu 18 Maret 2006 Polisi Tunggu Hasil Tes Labor Hewan, Soal Kematian Gajah di Minas (Police are waiting for animal labolatory test results for dead elephants in Minas) Riau Pos, Sabtu 18 Maret 2006 Dari Perseteruan Manusia dengan Pasukan Gajah Liar di Riau Gajah Mati itu Tidak Lagi Tinggalkan Gading (Human elephant conflict in Riau, dead elephants left without ivory) Riau Pos, Sabtu 18 Maret 2006 Lagi, Gajah Mati Ditemukan di Inhu (More elephants found dead in Indragiri Hulu District) Suara Karya, 18 Maret 2006 Satwa Langka Nasib Gajah Sumatera Semakin Memprihatinkan (Wildlife, The Sumatran Elephant’s dire destiny) Suara Merdeka.com, 12 Maret 2006 : 10.18 WIB Menhut Diminta Selidiki Kematian Gajah di Riau (Ministry of Forestry is Urged to investigate elephant death in Riau) http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0603/12/nas4.htm Riau Pos Jumat 24 Maret 2006 Pemburu Gajah di Mahato Dituntut 20 Tahun Penjara (Mahato's elephant hunters were sued 20 years in jail). Riau Pos Jumat 24 Maret 2006 Gajah di Minas Dibunuh Pakai Racun Arsenik (Elephant in Minas Poisoned by Arsenic) Kompas Cyber Media, 24 Maret 2006 Sepuluh Gajah Tangkapan KSDA Riau Terancam Mati (The life of Ten captured elephants by KSDA Riau are threatened) Riau Pos, 25 Maret 2006 Dirantai Kurang Makan, 10 Gajah stress. Satu ekor sempat jatuh tak kuat berdiri (Being chained without enough food, 10 elephants stress. One Collapsed) ANTARA, Mar 24 09:06 10 Ekor Gajah Liar Tangkapan KSDA Riau Terancam Mati (The life of Ten captured elephants by KSDA Riau are threatened) Riau Pos Sabtu 25 Maret 2006 Dirantai, Kurang Makan, 10 Gajah Stress

Page 9: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 9 of 166 WWF-Indonesia

(Chained, lack of food, 10 elephants depressed) ANTARA, Mar 26 09:22 WWF: Hentikan Penangkapan Gajah Liar (Stop capturing Wild Elephant) GATRA. Com, 26 Maret 2006 00:10 Konflik Gajah-Manusia WWF Serukan Hentikan Penangkapan Gajah Liar (Human Elephant Conflict: WWF Calls on stopping the capture of wild elephants) www.wwf.or.id WWF-Indonesia. Highlight. 27 Maret 2006 Kondisi 10 Gajah Tangkapan Dishut Riau Kritis. Setelah ditangkap diam-diam, 10 Gajah Sumatera dirantai tanpa makan dan minum selama 10 hari di PT. Kojo, Balai Raja, Kec.Bengkalis, Riau (Ten elephants captured by Riau Forestry Service are critical) Kompas Cyber Media, 27 Maret 2006, 14:01 WIB WWF: Hentikan Penangkapan Gajah Liar (Stop capturing Wild Elephant) RIAU Pos, 27 Maret 2006 OPINI, Gajah Riau Terancam Punah oleh Berton Panjaitan. Ketua Tim Penanggulangan Bencana Amukan Gajah Desa Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Bengkalis (Op-Ed, Riau’s Elephant Threatened to Extinct by Berton Panjaitan) Riau Terkini, Senin, 27 Maret 2006 19:44 Dishut Diam-Diam Tangkap 10 Gajah Sumatera http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9067 (Riau Forestry Service Secretly Captured 10 Sumatran Elephants) Gatra, Edisi No.20 beredar 27 Maret 2006 Gajah Mati Karena Gading (Elephants killed for the ivory) Lingkungan Oleh: Endang Sukendar dan Abdul Aziz (Pekanbaru) Gatra Online, 27 Maret 2006 Gajah Mati Karena Gading (Elephants killed for the ivory) http://www.gatra.com/artikel.php?id=93368 Riau Terkini, Senin, 27 Maret 2006 14:38 Suaka Margasatwa Balai Raja Menjadi Area Pemukiman dan Perkebunan http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9053 (Wildlife Sanctuary Balai Raja has converted into human settlements and plantation) Media Riau, Selasa 28 Maret 2006 WWF: Jangan ada lagi penangkapan gajah (WWF: No more elephant capture) Metro Riau, Selasa 28 Maret 2006 WWF Kecam Dishut dan BKSDA Riau

Page 10: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 10 of 166 WWF-Indonesia

(WWF criticize Riau Forestry Service and Conservation Agency) Riau Pos, 29 Maret 2006 Pembunuhan Gajah Belum Terungkap (Elephant killing has not yet revealed) http://www.riaupos.com/web/content/view/10257/23/ Riau Pos, Rabu, 29 Maret 2006 10 Ekor Gajah di Balairaja Kelaparan (10 captured elephants in Balai Raja are starving) Detik.com, 29 Maret 2006 14:24:34 10 Gajah Liar Tangkapan Dishut Riau Stres (10 captured elephants in Riau are depressed) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/29/time/142434/idnews/567772/idkanal/10 Detik.com 29 Maret 2006 19:27:09 WIB Gajah Stres Dirawat Tim Medis (Depressed elephants under treatment) http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/29/time/192709/idnews/568080/idkanal/10 Kompas, 31 Maret 2006 Perseteruan Berlanjut, 10 Gajah Liar Disiksa (As conflict continue, 10 captured elephants being tortured) Riau Pos Online. Jumat, 31 Maret 2006 Dishut-BKSDA Harus Koordinasi Gubri soal Kematian Gajah (Riau Governor: Riau Forestry Service and BKSDA should coordinate in working) http://www.riaupos.com/web/content/view/10350/6/ ASRI, Volume 7. No.3 Maret 2006, Hal 120-121 Flying Squad: Squadron Gajah Penjaga Perdamaian Riau Pos, Sabtu 1 April 2006 Rantai Gajah liar di lepas (Chains on captured elephants’ leg removed) Riau Pos, Minggu 2 April 2006 Penanganan lamban, habitatnya pun digerus (Slow response in handling the 10 captured elephant case, its habitat has been destroyed) ANTARA 3 April 6, 2006 Dephut Ambil Alih Relokasi Gajah Di Riau (MoF take charge to relocate elephant in Riau) Riau Pos, Senin 3 April 2006 Nasib 10 ekor gajah terkatung-katung (The fate of 10 elephants are uncertain) Riau Terkini, Senin, 3 April 2006 16:53 Relokasi Gajah, BKSDA Ajukan Dana Rp 276 Juta (To relocate the elephant, BKSDA propose 270 million Rupiah (27,000 US$) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9120

Page 11: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 11 of 166 WWF-Indonesia

Riau Pos, Rabu 5 April 2006 Petugas KSDA dan WWF Operasi Kelamin Gajah (WWF and BKSDA Officer did surgery on one captured elephant’s genital) http://www.riaupos.com/web/content/view/10472/6/ Eyes on the Forest.or.id, 4 April, 2006 Peta Interaktif Mengenai Distribusi dan Konflik Gajah di Riau, Sumatera (Interactive Map on elephant distribution and conflict in Riau, Sumatra) http://www.eyesontheforest.or.id/eofnew/ele_map_announ_bhs.php Riau Terkini. Selasa, 4 April 2006 16:53 Swaka Margasatwa Balai Raja Pusat Tata Air Kawasan Hilir Riau (Wildlife Sanctuary Balai Raja is an important water catchment in Riau) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9145 Riau Pos, Selasa, 04 April 2006 Siswa SMA Cendana Kunjungi Gajah Tangkapan BKSDA (High School Student Visited the 10 captured elephants) http://www.riaupos.com/web/content/view/10425/6/ Detik.Com 4 April 2006, 01:10:12 WIB skor: 890 Tak Jelas Siapa Ayah Bayi yang Dilahirkan Dini (Gajah betina). Dini, the pregnant elephant – who is the father of her baby http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/04/time/011012/idnews/569846/idkanal/10 KOMPAS Cyber Media – NASIONAL, 06 April 2006, 18:44 WIB Berseteru Dengan Manusia, Populasi Gajah Berkurang 1.200 Ekor (Conflict with human, elephants population reduced to 1,200) http://www.kompas.com/utama/news/0604/06/184509.htm ANTARA Apr 06 09:16 Populasi Gajah Sumatra di Riau Semakin Berkurang (Riau province’s elephant continue to decline) http://www.antara.co.id/seenws/?id=31320 Riau Pos, 7 April 2006 Pemburu Gajah Mahato Di Penjara 13,5 tahun (Elephant poacher in Mahato sentenced 13,5 years) Mahato's Elephant Poacher, sentenced 13,5 years in jail Riau Terkini, Jum’at, 7 April 2006 09:58 PN Pasirpengarian Vonis Pemburu Gajah 13.5 Tahun (Pasir Pangirian Court Sentenced Elephant Poacher for 13,5 years) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9145 Detik.com, 9 April 2006. 19:45:14 WIB skor: 988 Sebulan Pisah, Temukan Keluarganya Terikat Rantai http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/09/time/194514/idnews/573344/idkanal/10

Page 12: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 12 of 166 WWF-Indonesia

Running TEXT, Metro TV, 10 April-10 gajah diikat di Balai Raja. 7.00 sd 10.00 Republika Online, Selasa, 11 April 2006 13:52:00 Penangkapan tak Profesional, Seekor Gajah Tangkapan Kritis http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=243236&kat_id=23 Apr 11 15:43 Seekor Bayi Gajah Terperangkap Jerat Babi di Riau http://www.antara.co.id/seenws/?id=31601 Detik.com, 11 April 2006. 16:27:53 WIB skor: 897 Lebih Dua Hari Gajah ABG Terjerat di Kebun Sawit http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/11/time/162753/idnews/573924/idkanal/10 Kompas Cyber Media, Selasa, 11 April 2006, 22:41 WIB Surat Kepada Presiden untuk Selamatkan Gajah Sumatera http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0604/11/224153.htm Running TEXT, Metro TV, 12 april- Surat ke SBY, penurunan populasi, pagi 7.00 sd 18.00 Republika Online, Rabu, 12 April 2006 14:30:00 Penanganan Gajah di Riau Hanya Jadi 'Proyek' http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=243415&kat_id=23 Republika Online, Rabu, 12 April 2006, 19:41:00 Populasi Gajah Berkurang Lebih 50 Persen Selama 20 Tahun http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=243466&kat_id=23 Riau Pos, Rabu, 12 April 2006 Gajah Liar Terkapar dan Diinfus http://www.riaupos.com/web/content/view/10691/6/ Rabu, 12 April 2006 09:06 Investigasi Riauterkini di Balai Raja 10 Gajah Tangkapan, 1 Sekarat, 1 Dirawat Detik.com, 12 April 2006. Akibat Tetanus, Satu Keluarga Gajah Terancam Mati http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/12/time/165330/idnews/574732/idkanal/10 Media Riau, 13 April 2006 Soal Terancam Punahnya gajah di Riau WWF Minta Perhatian Presiden Riau Tribune, 13 April 2006 Foto. Caption: Gajah yang terluka akibat jerat babi di desa Gondai Kec. Langgam, Kab. Palalawan KOMPAS, Kamis, 13 April 2006 oleh Neli Triana

Page 13: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 13 of 166 WWF-Indonesia

Wisnu Wardana, Dokter Gajah Liar (Wisnu Wardhana, Veterinary for Wild Elephants) http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/13/Sosok/2574193.htm ANTARA, Apr 13 10:10 Dalam 20 Tahun Populasi Gajah Berkurang Lebih Dari 50 persen Riau Tribune, 14 April 2006 Cara Berdamai dengan gajah (habis) Tesso Nilo Tempat Penampungan Gajah. Oleh Andi Noviriyanti GATRA Online, Gajah Tangkapan di Riau Akhirnya Mati Pekanbaru, 15 April 2006 12:22 Riau Tribune, Sabtu 15 April Terkait Gajah di Riau, WWF Surati SBY Riau Pos, 15 April 2006 Gajah tangkapan BKSDA Mati Kepala BKSDA: Gajah yang mati akibat tetanus (plus 2 foto di cover depan dan halaman dalam) Kompas, Sabtu 15 April 2006 Surat Pembaca. Gajah terancam punah oleh Yuli Elvia Trans TV , Minggu, 16 April, 10.00 Gajah Tangkapan Mati –30 Menit RIAU Terkini, Ahad, 16 April 2006 11:59 Gajah yang Sekarat itu Akhirnya Mati Kompas Cyber Media, 17-04-2006, 12. 35 WIB Satu Ekor Gajah Tangkapan Mati Mengenaskan http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0604/17/123800.htm Riau Mandiri, 17 April 06 Pasca Kematian Gajah di Pinggir, Pemerintah Diminta Bentuk Tim Investigasi (Aftermath of elephant death in Balai Raja, Govts are urged to form investigation team) Metro Riau, 17 April 2006 Satu ekor gajah tangkapan mati Media Indonesia, 17 April 2006 Lingkungan Populasi Gajah Sumatra Berkurang Running TEXT, Metro TV, 18April –Gajah tangkapan mati- Prime Time 18.00 -20.00 Running Text, Media Indonesia Online, 18 April- 6PM –Gajah Mati Prime time

Page 14: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 14 of 166 WWF-Indonesia

Riau Pos, Selasa, 18 April 2006 Drama Otopsi Bangkai Gajah Sumatera di Malam Buta Kilatan Pisau Berkelebat di Mulut Kubur (Following first death of 10 captured elephant: Autopsy of the carcass in the middle of the night) http://www.riaupos.com/web/content/view/10933/6/ TV7, Jejak Petualang, 22 April 2006. 18.00 (30 Menit) Senja di Tesso Nilo –Elephant Flying Squad Kompas, Sabtu 22 April 2006 Tewas Terinjak Gajah Seekor Gajah Tangkapan Mati akibat Tetanus Riau Pos, Sabtu, 22 April 2006 Mengamuk Lagi, Warga Tangkap Gajah Liar (Raiding Crops again, villagers capture a wild elephant) http://www.riaupos.com/web/content/view/11046/23/ Detik.com, 22 April 2006, 02:28:03 WIB skor: 879 Satu Ekor Gajah Tangkapan Dishut Riau Mati http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/022803/idnews/579999/idkanal/10 Detik.com, 22 April 2006, 02:36:38 WIB skor: 836 Gara-gara Program Relokasi, 46 Gajah di Riau Mati http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/023638/idnews/580000/idkanal/10 Detik Com, 22 April 2006, 12:55:34, skor: 851 6 Gajah Liar Rusak 40 Hektar Kebun Sawit di Riau http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/125534/idnews/580308/idkanal/10 KCM, April 25, 2006 Warga Tewas Karena Amukan Gajah (Encroacher killed by elephant raid in Lampung) Riau Pos, Jumat, 21 April 2006 Selamatkan Gajah Seperti Menyelamatkan Manusia (Flying Squad team, saving the elephant as if saving human in danger) http://www.riaupos.com/web/content/view/11004/9/ Riau Pos, Sabtu, 22 April 2006 Sisi Lain Kehidupan Pawang Gajah di PLG Minas Gaji Pas-pasan, Libur pun Tak Pernah (The other side of the life of Minas Elephant Tranining Centre: Tight payment, no vacation) http://www.riaupos.com/web/content/view/11055/6/ Riau Terkini, Senin, 24 April 2006 16:09 Soal Kematian Gajah di Riau WWF Kirim Surat Kepada Presiden http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9370 Riau Pos, Senin, 24 April 2006 Lima Gajah Liar Rusak Tanaman Masyarakat (Five wild elephants raided villagers’crops)

Page 15: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 15 of 166 WWF-Indonesia

http://www.riaupos.com/web/content/view/11155/6/ Riau Pos, Selasa, 25 April 2006 Tanggapan Masyarakat Korban Amukan Gajah ‘’Maunya Kami, Gajah Liar Itu Dibunuh Saja’’ (Villagers whose crops raided by elephants: the wild elephants should be killed) http://www.riaupos.com/web/content/view/11203/6/

Page 16: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 16 of 166 WWF-Indonesia

LIPUTAN MEDIA NASIONAL (National News Report In Bahasa) RIAU POS Online, 23 Feb 2006 Kawanan Gajah Serbu Balai Raja DURI (RP) - Tiga malam berturut-turut masyarakat di Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dicekam ketakutan. Puluhan ekor gajah datang menyerbu, meluluh-lantakkan puluhan hektare kebun sawit, karet dan palawija serta merusak sedikitnya lima unit rumah.

Hewan berbadan raksasa tersebut, datang dalam jumlah besar. Menurut taksiran penduduk, sedikitnya ada 30 ekor, yang menyatroni kawasan RW 1, 2 dan 3 sejak Ahad (19/2/2006) hingga Selasa (21/2/2006) malam ‘’Sekitar 30 kepala keluarga warga setempat masih dibayangi ketakutan,’’ujar Raja M Umar,salah seorang tokoh masyarakat Balairaja menjawab Riau Pos Rabu (22/2/2006). Rata-rata, penduduk di sana berprofesi sebagai petani itu dengan menempati pemukiman di kawasan RT 3 RW 1 (belakang Perumahan Cendana), RT 3 RW 3 Jalan Swadaya) serta di RW 2 Jalan Bengkalis Indah Ujung. Menurut Umar, rumah-rumah yang amuk kawanan gajah itu, masing-masing dua rumah di RT 3 RW 1, dua rumah di RW 2 serta satu rumah lagi di RT 3 RW 3 Balairaja. Diakuinya, tingkat kerusakan rumah korban terbilang parah. ‘’Contohnya di RT 3 RW 1, rumah korban di tempat itu dikupak dindingnya oleh gajah,’’ ucap Umar. Bila Rabu malam ini (kemarin, red) serangan gajah itu kembali terjadi, menurut Umar, puluhan KK warga yang terancam keselamatannya itu akan diungsikan di kantor lurah Balai Raja. ‘’Pengungsian warga itu dianggap perlu mengingat kawanan gajah itu bisa mengancam nyawa penduduk. Soalnya, gajah itu mulai berani mengejar penduduk,’’ jelas lelaki yang juga ketua ranting Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Balairaja ini. Di samping merusak rumah, kawanan gajah itu juga telah meluluhlantakkan puluhan hektare tanaman penduduk, baik sawit, karet maupun tanaman palawija seperti cabe, kacang dan lain-lain. Kasus amuk gajah ini, menurut Umar, telah pula dilaporkan kepada Camat Pinggir dan Polsek setempat Rabu (22/2) kemarin. ‘’Bu Camat Nurcahaya langsung melakukan peninjauan ke lapangan setelah mendapat laporan dari kami,’’ ujar M Umar lagi. Masyarakat di sana, kata Umar lagi, mengharapkan pihak-pihak terkait terutama Balai KSDA Provinsi Riau segera turun ke lapangan untuk mengatasi masalah amukan gajah ini. Pasalnya, seperti dikatakan Umar, kawanan gajah itu ada yang masih dirantai kakinya dan ada pula yang telinganya ada tanda berupa cat.(sda/jpnn)

Page 17: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 17 of 166 WWF-Indonesia

RIAU POS, 24 Februari 2006 Takut, Ratusan Warga Mengungsi Aksi Teror Gajah Masih Terjadi DURI (RP) - Ratusan KK warga Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis hingga Kamis (23/2/2006) kemarin masih dicekam rasa takut. Ketakutan mendalam itu muncul akibat mengamuknya puluhan ekor gajah di kawasan setempat sejak Ahad (19/2) lalu. Pada Rabu malam (22/2) kawanan gajah itu masih tetap saja melanjutkan aksinya. Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa, pada Rabu malam (22/2) lebih kurang 100 warga terpaksa diungsikan ke balai desa setempat untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Mereka terpaksa menunggu pagi di bangunan tersebut dengan kondisi alakadarnya. Lurah Balai Raja, Samudji AMP menjawab Riau Pos Kamis (23/2) menyebut, upaya mengungsikan ratusan warga ke tempat aman itu dilakukan sejak jam 17.00 WIB Rabu sore hingga malam. Para pengungsi terdiri dari wanita, anak-anak serta para Manula. Sementara belasan lelaki dewasa tetap berjaga-jaga di pemukiman masing-masing. ‘’Para pengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing sejak jam 07.00 WIB pagi tadi. Tapi Kamis malam ini (kemarin, Red), ratusan warga itu akan kembali lagi mengungsi ke balai desa menjelang situasi benar-benar aman,’’ ujar Samudji. Sementara itu, Camat Pinggir Nurcahaya BA didampingi Sekcam Syafruddin SH, Kasi Pemerintahan Sutrisno, dan Kasi Trantib Robin Barus dalam keterangannya pada Riau Pos mengaku, pihaknya sudah berupaya mengambil langkah-langkah darurat guna menghindari berlakunya kejadian yang lebih buruk akibat amukan kawanan gajah ini. Selain melakukan peninjauan lapangan serta mengungsikan penduduk, Nurcahaya juga sudah melaporkan kejadian termasuk luar biasa itu kepada bupati Bengkalis, Drs H Syamsurizal MM Rabu (22/2) lalu. Pihaknya juga akan secepatnya menyampaikan laporan tertulis kepada Pemkab. Apalagi Lurah Balai Raja Samudji AMP sudah menyampaikan laporan rinci kepadanya Kamis kemarin. ‘’Karena wewenang dan kemampuan kita yang amat sangat terbatas, kita minta kepada pihak terkait seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau untuk turun tangan segera mengatasi persoalan ini. Kita juga berharap bupati dan Gubri maupun pemerintah pusat bisa menggunakan wewenang masing-masing untuk menghentikan aksi gajah yang meneror penduduk ini,’’ harap Nurcahaya. Patut diakui bahwa hingga kini, masalah gangguan hama gajah masih saja memusingkan kepala otak banyak pihak di berbagai kawasan di Riau. Kendati keluhan dan pekikan masyarakat minta perhatian sudah sering terdengar, sampai sekarang penangkal mujarab tetap belum ditemukan. Sepanjang tahun, amuk gajah masih saja menjadi langganan rutin beberapa daerah termasuk Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Menyikapi persoalan yang tak kunjung tuntas itu, Kasi Trantib Setwilcam Pinggir Robin Barus maupun Kasi Pemerintahan Sutrisno sempat melontarkan sebuah gagasan menarik pada Riau Pos Kamis (23/2) kemarin. Berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang terjadi selama ini, Robin

Page 18: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 18 of 166 WWF-Indonesia

berkesimpulan bahwa gajah yang dilindungi dan sudah kehilangan habitat itu tidak bisa lagi hidup berdampingan dengan manusia karena akan selalu timbul konflik. Mungkin persoalan ini bisa dituntaskan kalau kawanan gajah yang ada itu dipindahkan saja ke sebuah pulau yang sesuai di perairan Riau, paparnya. Ide tersebut juga didukung salah seorang staf Kecamatan Pinggir Tata Ibrahim. Menurutnya, di Indonesia ini ada kawasan bernama Pulau Babi, ada pula Pulau Komodo. Apa salahnya kawanan gajah itu juga diberi sebuah pulau tersendiri agar tak lagi melanjutkan tradisi konflik berkepanjangan dengan habitat manusia, ujarnya. Langkah jitu apapun yang bisa diambil pemerintah juga sangat diharapkan Lurah Balai Raja Samudji AMP. Dia khawatir melihat aksi sporadis yang terus saja dilakonkan sekitar 51 ekor kawanan gajah yang kini berkeliaran di wilayah kerjanya. Seorang pemuka masyarakat Pinggir Eddy Sukatman juga was-was melihat gelagat tak baik itu. ‘’Menengok situasi dan tingkah-polahkawanan gajah itu dalam beberapa hari belakangan, saya khawatir akan jatuh korban jiwa,’’ katanya. Kerugian Sementara itu, laporan tertulis Lurah Balai Raja kepada Camat Pinggir tertanggal 23 Februari 2006 kemarin menyebut, amuk kawanan gajah tersebut telah memporakporandakan beberapa rumah penduduk serta meluluhlantakkan puluhan hektar tanaman keras maupun palawija. Nilainya total kerugian hingga Kamis kemarin ditaksir sudah mencapai angka Rp 448 juta. Kerugian lebih besar akan terjadi apabila kawanan gajah itu tak kunjung menghentikan amukannya. Kawasan sasaran amuk gajah di Balai Raja dalam empat malam belakangan meliputi RT 3 RW 1, RW 5, RW 3 serta RW 2. Di RT 3 RW 1, sebanyak 89 orang anggota keluarga dari 58 KK penduduk terpaksa diungsikan Rabu malam (22/2). Hingga kemarin, menurut laporan resmi, di tempat ini kawanan gajah telah memporakporandakan dua buah rumah, merusak empat dapur serta lima kandang ternak, dan menghancurkan empat hektare kebun palawija. Kerugian total di tempat ini ditaksir mencapai Rp 143 juta. Amuk gajah di kawasan RW 2 juga menimbulkan kerugian tidak sedikit, jumlahnya ditaksir mencapai Rp 210 juta. Di tempat itu empat rumah rusak berat, sepuluh hektare kebun karet muda digasak, sedang kebun palawija seluas lima hektare juga dilumat kawanan gajah. Amukan tak kalah hebat juga dialami warga yang mukim di kawasan RW 5 Balai Raja. Anggota keluarga dari 48 KK warga dari tempat ini terpaksa pula mengungsi ke tempat aman pada malam hari. Sekitar 15 hektare kebun tanaman keras dan palawija yang menjadi pergantungan hidup warga setempat dimamah habis. Kerugian di tempat ini ditaksir mencapai Rp 75 juta.(sda) Kawasan RW 3 juga tak luput dari amuk kawanan gajah yang kehilangan habitat itu. Di lokasi setempat, satu rumah dirusak bagian dapurnya. Sementara 1,5 hektare kebun sawit dan palawija juga diganyang hingga menimbulkan kerugian sekitar Rp 20 juta.(sda)

Page 19: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 19 of 166 WWF-Indonesia

DETIK.Com, 24 Februari 2006 Gajah Rusak Rumah, Satu Tewas http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/25/time/003738/idnews/546903/idkanal/10 DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Masuk Kampung, 128 Orang Mengungsi http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/27/time/153301/idnews/548187/idkanal/10 DETIK.Com, 27 Februari 2006 50 Gajah Liar Masuk Keperkampungan http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/27/time/140152/idnews/548082/idkanal/10 Senin, 27 Februari 2006 Riau Siapkan Kawasan Konservasi Cegah Pembunuhan Massal Gajah PEKANBARU (Suara Karya): Lima kawasan konservasi yang ada di Riau seperti Suaka Margasatwa (SM) Riam Siak Kecil, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTS), SM Rimbang Baling dan SM Kerumutan, cocok dijadikan habitat gajah. "Jika lima kawasan konservasi itu dijadikan tempat habitat gajah maka komflik gajah-manusia di Riau akan tuntas," ujar Kepala Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau Jhon Kenedie di Pekanbaru, Jumat. Ia mengatakan, lima kawasan konservasi itu sejak awal merupakan kantong-kantong gajah di Riau dan terhubung satu sama lain, namun karena banyaknya alih fungsi hutan sebagai areal perkebunan dan pemukiman, menyebabkan lima habitat gajah itu terpisah-pisah. Akibatnya, lanjut dia, satwa yang dilindungi udang undang itu kehilangan habitat, hidup liar, sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat dan perusahaan perkebunan. Keselamatan satwa kebanggaan Riau itu kini semakin terancam bahkan populasinya semakin menurun dan terjadinya pembunuhan massal terhadap hewan besar berbelalai itu. Seperti kasus pembunuhan dengan cara diracun belasan ekor gajah di lahan perkebunan PT Duta Palma pada 1995 lalu, kejadian serupa juga terjadi di perbatasan Riau-Sumatera Utara pada 2002 dan awal November ini enam ekor gajah mati mengenaskan di Kecamatan Kepenuhan, Rokan Hulu. Menurut Jhon, jika ke lima kawasan konservasi itu dilepas khusus sebagai habitat gajah, maka hewan langka dunia itu akan memiliki tempat tinggal tetap sehingga tidak lagi berkeliaran mencari makan dengan cara masuk kampung atau melahap perkebunan sawit, dan tidak dimusuhi manusia sebagai hama. "Sayangnya, masalah dana akan tetap menjadi kendala," ungkap Jhon. Ia beralasan, meskipun kawasan konservasi itu dijadikan tempat tinggal gajah, namun dana tetap menjadi masalah sebab siapa yang akan

Page 20: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 20 of 166 WWF-Indonesia

membiayainya. Supaya gajah aman tinggal dihabitatnya itu kawasan hutan tersebut mestilah dilengkapi dengan makanan dan dipagar agar kawanan gajah tidak keluar masuk hutan. Ia mencontohkan kawasan hutan Tesso Nilo yang mencakup tiga kabupaten di Riau (Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi dan Kampar), meski telah disetujui Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTS) khusus untuk konservasi gajah namun hingga kini belum ditempati. Dikatakannya, kawasan konservasi itu baru ditunjuk Menteri Kehutanan sebagai TNTS namun belum dikukuhkan karena tapal batasnya belum jelas dan pengelolaannya kelak perlu manajemen kolaborasi. Sementara itu Menteri Kehutanan MS Ka'ban dilaporkan sangat memperhatikan masalah kematian enam ekor gajah di Kabupaten Rokanhulu, Riau, beberapa waktu lalu. Sehubungan hal itu, dalam waktu dekat ini Menhut akan turun langsung ke Rokanhulu untuk mengetahui secara pasti penyebab kematian gajah-gajah tersebut. Bupati Rokanhulu H.Ramlan Zas dalam keterangannya Jumat (26/11) di Pekanbaru membenarkan adanya rencana menhut turun ke Rokanhulu untuk mengetahui soal kematian gajah-gajah itu. "Menhut akan turun langsung ke Rokanhulu untuk mengetahui perkemabngan kematian enam ekor gajah di areal perkebunan sawit di Kecamatan Kepenuhan itu," ujarnya. Dia mengatakan, masalah kematian enam ekor gajah ini tidak hanya menjadi perhatian menhut saja, tapi dunia internasional juga sangat memprihatinkannya. "Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena masalah gajah ini sangat sulit diatasi," ungkapnya. Selama ini, menurut dia, gajah-gajah yang hidup di Rokan Hulu memang sering berkonflik dengan masyarakat karena ulah mereka yang mengganggu pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Saat ini diperkirakan di Rokan Hulu banyak terdapat 125 ekor gajah yang habitatnya ada di hutan-hutan yang ada di kecamatan Kepenuhan, Rambah Hilir, dan Kunto Darusalam.

Page 21: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 21 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 1 Maret 2006 Menhut Akan Pindahkan Gajah Ngamuk Di Balai Raja Pekanbaru, 1/3 (ANTARA) - Menteri kehutanan (Menhut) MS Kaban menyatakan, pihaknya akan segera menjinakkan dan memindahkan gajah yang memorak-porandakan kebun dan rumah warga di Kelurahan Balai Raja, Kec.Pinggir, Kab.Bengkalis ke habitat aslinya. "Saya sudah dapat laporan gajah-gajah yang mengamuk itu, kita melalui BKSDA akan segera menjinakkannya dan memindahkannya ke habitat aslinya," ujarnya di Pekanbaru, Rabu. Sebanyak 51 ekor gajah liar dalam beberapa pekan ini mengamuk dan menghancurkan rumah serta merusak sedikitnya 25 hektare perkebunan sawit dan palawija milik warga di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau. Amukan gajah itu sampai saat ini masih sering terjadi, karena puluhan kepala keluarga kelurahan itu untuk sementara terpaksa mengungsi ke kantor kelurahan. Menurut warga, gajah-gajah yang mengamuk dan merusak rumah mereka itu juga terlihat gajah yang sudah pernah dijinakkan sebelumnya, karena dari tubuh mereka ada tanda-tanda seperti cap, anting-anting dan bahkan ada gajah yang kakinya masih dirantai. "Yang jelas gajah itu akan kita pindahkan. Untuk memindahkan gajah itu memang membutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk satu ekor saja, setidaknya membutuhkan dana Rp30 juta, kalikan saja 51 ekor berapa miliar itu," katanya lagi. Terkait informasi gajah yang mengamuk itu adalah gajah yang sudah pernah dijinakkan sebelumnya, Menhut mengaku belum bisa memastikannya. "Kita jangan dengar informasi sepihak, nanti kami akan cek soal itu, BKSDA Riau akan segera menjinakkannya dan memindahkannya," ujarnya lagi.

Page 22: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 22 of 166 WWF-Indonesia

Metro TV. Nusantara/Metro Siang 1 Maret 2006 12:21 Kawanan Gajah Liar Mati diracun

Metrotvnews.com, Rokan Hulu: Warga baru-baru ini menemukan bangkai kawanan gajah liar di Desa Batang Kumu, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Satwa yang dilindungi itu mati mengenaskan sejak enam hari silam. Bangkai gajah liar itu terdiri dari tiga ekor gajah jantan dan tiga ekor gajah betina. Saat ditemukan, kondisi bangkai gajah dalam keadaan mengenaskan, berbau busuk dan tidak terlihat lagi gading di mulut mereka.

Menurut sebuah lembaga swadaya masyarakat di Riau, kematian gajah itu disebabkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat. Satwa langka tersebut terus diburu warga karena sering merusak perkebunan kelapa sawit mereka. Warga meracun gajah-gajah liar tersebut dengan memberi makanan umbi-umbian yang dilumuri racun. Sementara, populasi gajah Sumatra yang hidup di Rokan Hulu kini terus berkurang. Diperkirakan, jumlah gajah liar hanya tinggal 60 ekor, padahal lima tahun lalu mencapai ratusan ekor. (Amr)

http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=11918

Kompas Cyber Media, Maret 2, 2006 Selamatkan Gajah di Riau, Hentikan Konversi Hutan Duri, Riau, Kamis --Untuk menyelamatkan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Riau, pemerintah sebaiknya menghentikan konversi hutan, tidak mengeluarkan izin perluasan areal perkebunan, dan izin industri kayu. Demikian disampaikan Nurcholis Fadli, Koordinator Program Gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF) di Riau, Kamis (2/3). "Kondisi gajah kini sangat kritis karena tidak lagi memiliki habitat," ungkapnya. Habitat gajah yang dimaksudnya adalah hutan alam yang menjadi tempat tinggal hewan berbelalai itu. Hutan alam di Riau kini bisa dikatakan punah. Izin konversi hutan telah mengubah hutan alam menjadi hutan produksi terbatas melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Pemanfaatan Kayu, dan areal perkebunan tanaman sejenis baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit dan pemukiman penduduk. Akibatnya, konflik manusia dan gajah di Riau terus meningkat tiap tahun dan tidak berkesudahan. Belum ada penyelesaian yang tepat untuk meredam konflik ini sampai sekarang. Nurcholis membantah bahwa gangguan gajah dapat dibasmi dengan cara menangkap dan merelokasikan mereka ke tempat lain. Selain memakan anggaran yang sangat besar, menurutnya, cara tersebut juga akan menciptakan konflik baru. Upaya pengusiran juga tidak efektif. Hewan liar yang dilindungi undang-undang ini biasanya kembali lagi karena tidak adanya bahan makan di kawasan hutan tempat mereka dipindahkan. "Lagipula, ’home range’ (daerah jelajahnya) telah berubah menjadi kebun sawit dan perkampungan," imbuhnya. Hentikan konversi Oleh karena itu, satu-satunya cara yang tersisa adalah sikap tegas pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk tidak lagi mengeluarkan izin konversi lahan. Habitat gajah yang tersisa diharapkan dapat dimanfaatkan hewan langka itu sebagai tempat tinggalnya.

Page 23: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 23 of 166 WWF-Indonesia

Jika terus dibiarkan, konflik terus berlanjut dan keberadaan gajah pun terancam. Ia mencontohkannya pada kasus mengamuknya puluhan ekor gajah di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis yang masih terjadi sampai sekarang. Masyarakat yang bermukim di sekitar komplek pemukiman PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) masih mengungsi dan ketakutan. Kawanan gajah masih bertahan di sekitar permukiman penduduk. Anak-anak dan wanita mengungsi, sementara hanya penduduk laki-laki yang tetap bertahan dalam 12 hari terakhir. Padahal, kawasan Balai Raja merupakan kawasan hutan Suaka Margasatwa, terutama kawasan yang berbatasan dengan konsesi CPI dan jalan lintas Pekanbaru-Dumai seluas 18.000 hektare. Namun, kawasan suaka itu telah berubah jadi permukiman dan perkebunan sawit. "Luas hutan yang tertinggal hanya seujung kuku," ujar Nurcholis seraya memperlihatkan peta satelit kawasan hutan suaka margasatwa Balai Raja yang hanya tinggal sekitar 200 hektare. Ia juga menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau untuk mengambil kembali kawasan konservasi yang telah beralih fungsi. Kawasan tersebut umumnya dijarah oleh masyarakat pendatang, seperti yang terjadi di Balai Raja. "Hilangnya kawasan konservasi disebabkan penjarahan dan keluarnya Surat Keterangan Tanah (SKT) ilegal. Lebih baik ditempuh jalur hukum saja untuk memulihkan kawasan hutan agar gajah dapat hidup tenang dan tidak menganggu masyarakat," katanya.

Page 24: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 24 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 3 Maret 2006 Perambahan Hutan, Akar Konflik Manusia dan Gajah

Perambahan hutan sebagai lahan pemukiman dan perkebunan dinilai sebagai akar munculnya konflik antara gajah dan manusia. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Communication Officer World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Desmarita Murni saat menanggapi kasus kematian enam ekor gajah di perbatasan Riau dan Tapanuli Selatan.

"Ketika hutan tempat tinggal gajah telah dirambah sehingga berubah menjadi pemukiman dan perkebunan maka otomatis sudah tidak ada lagi tersedia makanan sehingga gajah kemudian keluar hutan," kata Desmarita. Wajarlah, apabila acapkali terdengar ada insiden gajah mengamuk masuk ke kampung.

Di dekat Hutan Mahato, enam ekor gajah ditemukan mati. Menurut Samsuardi, Human Elephant Conflict Officier Riau, kematian gajah itu baru diketahui masyarakat, Rabu (22/2) dengan kondisi mulut berbusa. Kematian gajah-gajah tersebut diduga karena menelan racun potasium.

Atas penemuan ini, masyarakat telah melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kabupaten Rohul. Oleh aparat laporan tersebut diteruskan ke Polsek Sosa, Tapanuli Selatan karena masuk wilayah tersebut. Masyarakat baru melaporkannya ke WWF ketika aparat tidak segera menindaklanjutinya.

Kematian gajah di daerah tersebut merupakan kejadian berulang. Pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang merupakan daerah jelajah gajah itu. "Ada dugaan gajah mati ini merupakan satu rombongan dengan yang mati tahun 2002," ujar Samsuardi seraya menambahkan bahwa 17 ekor gajah yang mati tahun 2002 tidak ada tindak lanjutnya hingga kini.

Oleh karena itu, pihaknya sangat berharap agar keenam gajah yang mati itu dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan menangkap para pelakunya. Sejauh ini, belum ada oknum masyarakat yang mengaku sebagai pembunuhnya

Kasus gajah mati dengan dugaan diracun juga bukan untuk pertama kalinya terjadi di Riau. Kasus terakhir terjadi di daerah yang sama, Rokan Hulu, pada November 2004. Saat itu, ada enam gajah juga yang mati karena racun.

Tim dari WWF bekerjasama dengan BKSDA Riau dan Sumut berencana untuk melakukan otopsi terhadap enam gajah tersebut sehingga dapat diketahui penyebab pasti akan kematiannya sekalipun ada dugaan akibat racun potasium sianida.

Selamatkan hutan

Menurut Desmarita, konflik antara manusia dan gajah sebetulnya dapat dihindari jika hutan tetap terjaga. WWF, lanjut Desmarita, sebenarnya telah meminta agar gajah-gajah tersebut jangan dibunuh melainkan cukup dihalau dengan cara-cara tradisonal.

Page 25: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 25 of 166 WWF-Indonesia

Selama ini, kata Desmarita, kasus gajah diracun muncul karena manusia kemudian menganggap gajah mengancam rumah dan kebunnya. Mereka mengagapnya sebagai hama yang harus dibasmi, tidak peduli bahwa gajah tersebut terpaksa keluar hutan karena tempat tinggalnya rusak.

Saat ditanya mengenai adanya kemungkinan bahwa gajah tersebut diracun semata-mata hanya untuk diambil gadingnya, Desma menolak kemungkinan itu. "Memang benar saat ditemukan gajah-gajah itu sudah tidak ada gadingnya, tetapi saya kira mungkin karena sudah terlanjur mati maka sekalian masyarakat mengambil gadingnya," katanya.

Menurutnya, setidaknya terdapat 15 kantung (habitat) gajah yang terkelompok-kelompok di Riau, salah satunya adalah di Hutan Mahato. Sebenarnya status Hutan Mahato adalah hutan lindung, tetapi sekarang kondisinya telah berubah sejak banyak dibuka pemukiman dan perkebunan. Berdasarkan data sensus gajah pada 2004, jumlah gajah liar di Riau tinggal terdapat 350-430 ekor.

Kompas Cyber Media, 2 Maret 2006 Gajah Tangkapan Mati Tanpa Gading http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0603/02/115413.htm

Jakarta, Kamis--Bangkai gajah yang ditangkap Tim Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) Riau dan Dinas Kehutanan Kampar, 25 November-14 Desember lalu, tergeletak begitu saja tanpa gading di kawasan hutan Desa Lubuk Agung (120 kilometer selatan Pekanbaru), Kecamatan Kampar Kiri, kabupaten Kampar, Riau. Menurut informasi yang didapatkan kantor berita Antara dari masyarakat Lubuk Agung, bangkai gajah itu telah menimbulkan bau busuk dan di sekitar tubuhnya dikelilingi belatung. Namun gadingnya tidak lagi ada pada tubuh hewan malang itu. "Gajah yang mati itu merupakan gajah yang beberapa waktu lalu ditangkap Tim KSDA dan Dinas Kehutanan Kampar," kata Yunus, seorang warga Lubuk Agung. Menurut dia, selama hampir empat minggu tim penangkap berada di desa dan tinggal di rumahnya untuk melakukan penangkapan gajah yang dianggap kerap mengganggu masyarakat. Menurut cerita Yunus, desanya acap diamuk gajah yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Hewan-hewan besar itu sering memakan dan merusak tanaman kebun masyarakat, baik itu karet, kelapa sawit maupun tanaman padi. Ini ditegaskan oleh Kepala Desa Lubuk Agung, Zulkarnaini, yang mengatakan masyarakat di kampung mereka resah karena acap diamuk gajah. "Kami belum panen, gajah telah panen duluan," katanya.

Itu sebabnya, pihaknya bersama empat kepala desa tetangga bersama ninik mamak (tokoh adat) mendatangi Dinas Kehutanan Kampar agar gajah yang mengganggu ditangkap.

"Semula pihak Kehutanan hanya mau menangkap lima ekor gajah tetapi kami minta ditangkap semua, karena gajah yang masuk kampung kami jumlahnya

Page 26: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 26 of 166 WWF-Indonesia

mencapai empat puluh ekor," kata Zulkarnaini. Ia mengatakan, Tim akhirnya menangkap tiga puluh ekor gajah, tetapi satu ekor mati yakni gajah yang paling besar di dalam kelompok itu. "Menurut tim KSDA yang disampaikan langsung pada saya, gajah tersebut mati karena melawan dan badannya paling besar di antara rombongannya," ungkap Zulkarnaini. Menanggapi penangkapan puluhan ekor gajah dan kematian gajah begitu saja, aktivis WWF Riau, Nurcholis Fadli sangat menyayangkannya. Ia berpendapat hewan besar berbelalai itu tidak perlu ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak. "Kematian gajah saat ditangkap membuktikan bahwa proses penangkapan tidak sesuai prosedural, lagipula kenapa mesti menangkap semua gajah yang ada sampai 30 ekor?" tanya Fadli. Ia mengatakan, gajah besar yang mati mengenaskan itu merupakan gajah jantan dan sepasang gadingnya bernilai jual tinggi, tapi kini raib entah kemana seperti puluhan ekor gajah lainnya. Dikatakan Fadli, selama 25 hari penangkapan gajah di Desa Lubuk Agung itu tidak hanya satu ekor gajah yang mati, tetapi setidaknya dua ekor. Satu gajah dewasa mati saat penangkapan dan satunya lagi mati ketika akan dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) karena over dosis obat bius. Sedangkan nasib puluhan ekor gajah yang ditangkap, Fadli mengakui pihaknya tidak mengetahui di mana gajah-gajah tersebut ditempatkan. "Sampai sekarang tidak jelas puluhan ekor gajah yang ditangkap itu dibawa ke mana sebab di kawasan Tesso Nilo (Taman Nasional Tesso Nilo, TNTN-Red) hingga kini tidak ada gajah yang dipindahkan ke sana," katanya. Menurut dia, tidak mudah melakukan translokasi gajah karena memindahkan kawanan gajah dari satu lokasi ke lokasi lain harus melalui prosedur khusus dan pemantauan pascapenangkapan. "Bukan hanya memindahkan lalu dibiar begitu saja tetapi harus dipantau terus kawanan gajah ini di lokasi baru," ujar Fadli. Sementara itu, pihak Balai KSDA menolak memberikan komentar perihal kematian seekor gajah saat ditangkap yang bangkainya hingga kini masih ada di kawasan hutan Desa Lubuk Agung dan seekor lagi saat akan dibawa ke PLG.

Page 27: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 27 of 166 WWF-Indonesia

SCTV, 2 Maret 2006

Liputan6.com, Bengkalis: Sekelompok gajah liar memasuki permukiman warga di Bengkalis dan Balai Raja, Riau, Kamis (2/3). Kedatangan rombongan hewan bertubuh besar ini diduga karena lahan yang makin sempit dan makanan di hutan yang makin sedikit. Kawanan gajah liar yang berjumlah lebih dari 30 ekor itu dengan leluasa memasuki wilayah perumahan karyawan PT Chevron di Bengkalis. Gajah yang melintas ini tidak sampai merusak rumah dan hanya mencari tumbuhan untuk dimakan. Beberapa penghuni malah memanfaatkan kesempatan langka ini dengan mengabadikan kehadiran hewan-hewan raksasa itu melalui kamera. Berbeda dengan kejadian di Kelurahan Balai Raja. Di tempat ini gajah-gajah liar itu sempat merusak rumah warga. Delapan rumah warga yang dibangun dari papan rusak diterjang kawanan gajah. Tidak itu saja, tanaman di kebun juga tidak luput dari penjarahan. Sejumlah warga bahkan mengungsi untuk menghindari kedatangan gajah-gajah liar lain.(IAN/Yusril Ardanis dan Pris Simon)

http://202.147.240.133/view/7,118583,1,0,1141316223.html

Page 28: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 28 of 166 WWF-Indonesia

WASPADA Online, 02 Mar 06 23:41 WIB Opini - Tajuk Rencana Stop Meracun Gajah http://www.waspada.co.id/opini/tajuk_rencana/artikel.php?article_id=74591 Sungguh memilukan hati melihat pemandangan lima ekor gajah mati mengenaskan di tengah hutan Desa Mahato, sekitar 300 km utara Pekanbaru, Riau. Mulutnya hangus terbakar, tentulah binatang berbelalai itu sangat menderita menjelang maut merenggut nyawanya. Sebelumnya, seekor gajah tangkapan Tim Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) Riau dan Dinas Kehutanan Kampar juga ditemukan mati. Bangkainya tergeletak begitu saja tanpa gading di kawasan hutan Desa Lubuk Agung (120 km selatan Pekanbaru).

Di sejumlah kebun binatang pun acapkali terjadi kematian gajah karena kurang perawatan dan kurang makan sehingga kondisinya sakit-sakitan dan akhirnya mati. Saat dikubur gadingnya yang bernilai tinggi hilang diambil orang, sehingga timbul kesan kematian binatang yang dilindungi itu sepertinya disengaja. Tidak hanya gajah bernasib naas, tetapi juga dialami sejumlah binatang langka lainnya, seperti harimau, singa dll.

Kematian lima ekor gajah di Desa Mahato jelas penyebabnya, diracun dengan memberinya makan potassium sianida. Jadi, terlihat sekali unsur kesengajaannya. Siapa pelakunya? Tentulah orang-orang yang tidak senang atau merasa dirugikan dengan kehadiran gajah-gajah itu. Mereka itu bisa penduduk yang berdiam di hutan atau peladang berpindah, atau petani desa yang lahan pertaniannya dirusak dan dimakan oleh kawasan gajah liar.

Membunuhi gajah-gajah karena dianggap sebagai binatang merugikan jelas melanggar perundang-undangan yang berlaku. Seharusnya, gajah dilindungi, sehingga dapat berkembang biak dengan baik di alam bebas. Tidak punah dan akhirnya menjadi cerita dongeng di masa mendatang. Sayangnya, habitat gajah di hutan sudah dirusak oleh praktik illegal logging sehingga gajah liar di hutan terpaksa mendatangi perkampungan desa dan merusak tanaman milik warga karena kelaparan.

Justru itu, praktik meracuni gajah-gajah liar di Riau harus dihentikan. Pemerintah harus menaruh perhatian, begitu juga organisasi pecinta binatang. Langkah cepat perlu diambil dengan memberikan informasi kepada masyarakat desa untuk tidak membunuhi gajah sebagai binatang dilindungi/langka.

Memang bagi warga desa yang umumnya hidup dari lahan pertanian, kehadiran kawanan gajah yang masuk ke kampung merupakan musuh utama karena dalam beberapa hari saja lahan pertaniannya mengalami kerusakan berat. Panen pun jadi gagal, sehingga menimbulkan rasa kesal, marah.

Hemat kita, tidak hanya warga desa yang patut disalahkan, tetapi juga para perusak hutan. Kalau Koordinator Program Gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF) Nurcholis Fadli mendesak pemerintah untuk menghentikan konversi hutan dan tidak mengeluarkan lagi izin untuk perluasan areal perkebunan atau izin di bidang industri kayu, tentulah patut kita dukung. Jika tidak maka hutan alam yang menjadi habitat

Page 29: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 29 of 166 WWF-Indonesia

gajah akan semakin habis, berubah menjadi hutan produksi terbatas untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Pemanfaatan Kayu, areal perkebunan tanaman sejenis baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit dan pemukiman penduduk.

Kita harapkan pemerintah segera merelokasi kawanan gajah yang masih tersisa ke daerah-daerah lain yang kondisi hutannya masih luas. Namun merelokasi kawanan gajah Ðapalagi kalau jumlahnya banyakÑ tentulah tidak mudah. Diperlukan tim yang profesional dan dukungan dana yang cukup, seperti pernah dilakukan tim gajah dari Thailand ketika mengungsikan/menggiring gajah-gajah di Aceh yang meresahkan petani untuk dipindahkan ke kawasan hutan lainnya.

Kalau hanya diusir agar kawanan gajah liar kembali masuk hutan, tentulah tidak efektif. Sebab, mereka masuk perkampungan dan merusak lahan pertanian penduduk karena habitatnya di hutan sudah dirusak oleh para perambah hutan dan pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran. Oleh karena itu, kalaupun mereka kembali ke dalam hutan dalam waktu beberapa hari saja mereka akan ke luar lagi dan menyerang areal lahan pertanian warga desa lagi.

Kiranya kita sependapat bahwa upaya menyelamatkan binatang langka, seperti gajah di Riau, sudah sepatutnya dilakukan dan diprioritaskan. Cara meracuni gajah merupakan perbuatan ilegal, melanggar hukum. Pemerintah perlu mempertimbangkan gajah-gajah yang masih ada di suatu kawasan hutan sehingga tidak seenaknya mengeluarkan izin HPH kepada para perambah hutan. Biasanya, para cukong HPH selalu menggunakan trik menghabiskan hutan di sekitarnya dulu, setelah itu baru menggarap arealnya sendiri sesuai izin yang diberikan. Dengan begitu, kalau pengusaha HPH diberi izin menggarap 100 hektare misalnya, kerusakan hutannya bisa mencapai 500 hektare.

Upaya penyelamatan binatang langka, gajah dll, perlu menjadi perhatian semua pihak. Caranya, dengan melestarikan hutan, jangan dirusak. Kalau hutan kita terjaga manfaat tidak hanya dirasakan binatang berbelalai dan spisies lainnya, tetapi juga umat manusia karena dapat mencegah terjadinya bencana tanah longsor, banjir, banjir bandang dll.+

http://www.waspada.co.id/opini/tajuk_rencana/artikel.php?article_id=74591

Page 30: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 30 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 3 Maret 2006 Enam Bangkai Gajah di Riau Mulai Diotopsi Pekanbaru, Jumat --Tiga orang dokter hewan dari berbagai lembaga, hari Jumat ini (3/3) mulai mengotopsi bangkai enam ekor gajah yang mati secara bersamaan di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu (Riau) dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatra utara). Menurut kantor berita Antara, tim otopsi dari Riau dan Sumut itu berasal dari KSDA Riau, KSDA Sumut Wilayah II, WWF, Flora Fauna International (FFI) dan Yayasan Gajah Sumatera. Ketiga dokter yang akan mengotopsi bangkai gajah yang mati karena diduga diracun ini masing-masing adalah drh Rini Deswita, Kepala Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Riau, drh Christoper, dan drh Anhar Lubis dari Yayasan Gajah Sumatera. Menurut Rini, dalam otopsi ini pihaknya akan mengambil sampel isi lambung, ginjal, hati, limpa, paru-paru dan beberapa organ penting lainnya. Melihat dari kondisinya, bangkai gajah ini diperkirakan sudah sepuluh hari sehingga mulai menggelembung dan mengeluarkan bau busuk. Untuk mencapai lokasi enam bangkai gajah yang tergeletak dengan jarak tidak berjauhan itu, tim harus berjalan kaki beberapa jam melewati jalan hutan sejauh sekitar 21 km karena kendaraan mobil maupun motor tidak bisa masuk. Keenam ekor gajah yang mati terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan, seekor di antaranya masih anakan. Dan ketika bangkai ini ditemukan, tiga pasang gading dari gajah jantan telah hilang. Bangkai gajah ini, ditemukan di perbatasan hutan lindung Mahato, Riau, dengan perkebunan kelapa sawit PT Maduma Alam Indah, yang mengklaim berada di kawasan Tapanuli Selatan. Lokasi ini merupakan lokasi ’sengketa’ perbatasan antara Riau dan Sumut. Kematian gajah ini baru diketahui masyarakat 22 Febuari lalu, yang melaporkan melihat gajah mati dengan kondisi mulut berbusa - ini diduga karena menelan racun potasium. Atas penemuan ini masyarakat melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kabupaten Rohul. Namun karena wilayahnya berada di Tapanuli Selatan, maka oleh aparat dilaporkan kembali ke Polsek Sosa, Tapanuli selatan. Dan karena tidak ada tindaklanjut atas laporan tersebut, maka masyarakat akhirnya melapor ke pihak WWF. Kematian gajah di daerah ini, merupakan kejadian berulang di mana pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang sama. Daerah itu sendiri merupakan wilayah jelajah gajah. (Ant/Wsn)

Page 31: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 31 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 2 Maret 2006 WWF Akan Selidiki Bangkai Gajah di Riau Pekanbaru, Kamis --Organisasi Lingkungan World Wide Fund (WWF) Riau menyatakan akan segera mengotopsi bangkai enam ekor gajah yang mati di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu, Riau dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. "Kami akan segera mengotopsi keenam bangkai gajah itu dengan melibatkan tim ahli yang dibawa WWF ke lokasi tersebut," ujar Human Elephant Conflict Officier Riau, Samsuardi di Bengkalis, Rabu. Menurut dia, ada indikasi gajah mati itu akibat diracun dengan potasium sianida. Namun untuk membuktikan dugaan ini, WWF akan segera mengotopsi bangkai gajah itu. Ia menjelaskan, untuk mengotopsi keenam gajah yang mati itu, pihaknya juga telah menghubungi dokter hewan dari kebun binatang di Bukit Tinggi, Sumatra barat. Keenam ekor gajah yang mati itu terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan, seekor di antaranya masih anakan. Dan ketika bangkai ini ditemukan, tiga pasang gading dari gajah ini telah hilang. Bangkai gajah ini ditemukan di perbatasan hutan lindung Mahato, Riau dengan perkebunan kelapa sawit PT Maduma Alam Indah yang mengklaim berada di kawasan Tapanuli Selatan. Padahal, lokasi itu menurut BPN Riau merupakan bagian dari Kabupaten Rohul, Riau. Menurut Samsuardi, kematian gajah ini baru diketahui masyarakat 22 Febuari lalu dengan kondisi mulut berbusa diduga karena menelan racun potasium. Atas penemuan ini masyarakat telah melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kabupaten Rohul. Namun karena wilayahnya berada di Tapanuli Selatan, maka oleh aparat dilaporkan kembali ke Polsek Sosa, Tapsel. Dan karena tidak ada tindaklanjut atas laporan masyarakat tersebut, maka oleh masyarakat akhirnya dilaporkan ke pihak WWF. Kematian gajah di daerah ini, merupakan kejadian berulang di mana pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang sama dengan kematian enam ekor gajah ini karena daerah itu merupakan daerah jelajah gajah. "Ada dugaan gajah mati ini merupakan satu rombongan dengan yang mati tahun 2002," ujar Samsuardi seraya menambahkan kasus kematian 17 ekor gajah tahun 2002 itu hingga kini tidak ada tindaklanjutnya. Karenanya, Samsuardi sangat berharap agar kasus kematian enam ekor gajah ini dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan menangkap para pelakunya, sebab sejauh ini belum ada oknum masyarakat yang mengaku sebagai pembunuhnya. Sementara itu, Kepala seksi konservasi wilayah II BKSDA Riau Ali Nasir Siregar mengatakan pihaknya sudah mendapat informasi tentang kematian enam ekor gajah tersebut.

Page 32: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 32 of 166 WWF-Indonesia

"Kami mendapatkan informasi dari WWF beberapa hari lalu, namun kami belum sempat turun ke lapangan. Mungkin dalam waktu dekat kami akan ke sana," katanya. Republika, Jumat, 03 Maret 2006 Gajah Riau Mati Tanpa Gading Gajah jantan itu mati karena melakukan perlawan pada tim penangkap.

PEKANBARU -- Seekor gajah yang ditangkap Tim Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) Riau dan Dinas Kehutanan Kampar, 25 November-14 Desember lalu mati. Bangkainya tergeletak tanpa gading di kawasan hutan Desa Lubuk Agung (120 kilometer selatan Pekanbaru), Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

Informasi yang dirangkum Antara dari masyarakat Lubuk Agung, awal pekan ini, menyebutkan bangkai gajah itu menimbulkan bau busuk dan di sekitar tubuhnya dikelilingi belatung. Sedangkan gading gajah tidak lagi ada pada tubuh hewan malang itu.

''Gajah yang mati itu merupakan gajah yang beberapa waktu lalu ditangkap Tim KSDA dan Dinas Kehutanan Kampar,'' kata Yunus seorang warga Lubuk Agung.

Menurut dia, selama hampir empat minggu tim penangkap berada di desa mereka dan tinggal di rumahnya untuk melakukan penangkapan gajah yang kerap mengganggu masyarakat. Ia mengakui, desanya acap diamuk gajah yang jumlahnya mencapai puluhan ekor dengan memakan tanaman kebun masyarakat baik itu karet, kelapa sawit maupun tanaman padi.

Kepala Desa Lubuk Agung, Zulkarnaini ketika ditemui sebelumnya mengatakan, masyarakat di kampung mereka resah karena acap diamuk gajah. ''Kami belum panen, gajah telah panen duluan,'' katanya menceritakan habisnya tanaman kebun masyarakat dimakan gajah.

Itu sebabnya, pihaknya bersama empat kepala desa tetangga serta ninik mamak (tokoh adat) mendatangi Dinas Kehutanan Kampar agar gajah yang selalu menganggu ditangkap. ''Semula pihak Kehutanan hanya mau menangkap lima ekor gajah tetapi kami minta ditangkap semua, karena gajah yang masuk kampung kami jumlahnya mencapai empat puluh ekor,'' kata Zulkarnaini.

Ia mengatakan, tim akhirnya menangkap tiga puluh ekor gajah. Tetapi satu ekor mati yakni gajah yang paling besar di dalam rombongan gajah itu. ''Menurut tim KSDA yang disampaikan langsung pada saya gajah tersebut mati karena melawan dan badannya paling besar di antara rombongannya,'' ungkap Zulkarnaini.

Menanggapi penangkapan puluhan ekor gajah dan kematian gajah, aktivis WWF Riau Nurcholis Fadli sangat menyayangkannya karena hewan besar berbelalai itu tidak perlu ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak. ''Kematian gajah saat ditangkap membuktikan bahwa proses penangkapan tidak sesuai prosedural lagi pula kenapa meski menangkap semua gajah yang ada sampai 30 ekor?'' tanya Fadli.

Page 33: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 33 of 166 WWF-Indonesia

Ia mengatakan, gajah besar yang mati mengenaskan itu merupakan gajah jantan dan sepasang gadingnya bernilai jual tinggi kini raib entah kemana begitu juga puluhan ekor gajah lainnya. Ia menjelaskan, selama 25 hari penangkapan gajah di Desa Lubuk Agung itu tidak hanya satu ekor gajah yang mati tetapi dua ekor. Satu gajah dewasa mati saat penangkapan dan satunya lagi mati ketika akan dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) karena over dosis obat bius.

Sedangkan nasib puluhan ekor gajah yang ditangkap, Fadli mengakui pihaknya tidak mengetahui di mana gajah-gajah tersebut ditempatkan. ''Sampai sekarang tidak jelas puluhan ekor gajah yang ditangkap itu dibawa ke mana sebab di kawasan Tesso Nilo (Taman Nasional Tesso Nilo, TNTN, red) hingga kini tidak ada gajah yang dipindahkan ke sana,'' katanya.

Menurut dia, tidak mudah melakukan translokasi gajah karena memindahkan kawanan gajah dari satu lokasi ke lokasi lain harus melalui prosedur khusus dan pemantauan pascapenangkapan. ''Bukan hanya memindahkan lalu dibiar begitu saja tetapi harus dipantau terus kawanan gajah ini di lokasi baru,'' ujar Fadli.

Pihak Balai KSDA menolak memberikan komentar perihal kematian seekor gajah saat ditangkap yang bangkainya hingga kini masih ada di kawasan hutan Desa Lubuk Agung.(ant ) http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=237855&kat_id=61

Page 34: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 34 of 166 WWF-Indonesia

RRI Online. Jumat, 03 Maret 2006, 10:42 WIB Tim Dokter Hewan Mulai Otopsi Enam Bangkai Gajah di Riau Pekanbaru--RRI-Online, Tiga orang dokter hewan dari berbagai lembaga, Jumat mulai mengotopsi bangkai enam ekor gajah yang mati secara bersamaan di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu (Riau) dengan Kabupaten Tapanulis Selatan (Sumut). Dari lokasi peristiwa, sekitar 250 km dari Kota Pekanbaru dilaporkan, tim otopsi dari Riau dan Sumut itu berasal dari KSDA Riau, KSDA Sumut Wilayah II, WWF, Flora Fauna International (FFI) dan Yayasan Gajah Sumatera. Ketiga dokter yang akan mengotopsi bangkai gajah yang mati karena diduga diracun ini masing-masing drh Rini Deswita, Kepala Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Riau, dan drh Christoper dan drh Anhar Lubis dari Yayasan Gajah Sumatera. Menurut Rini, dalam otopsi ini pihaknya akan mengambil sampel isi lambung, ginjal, hati, limpa, paru-paru dan beberapa organ penting lainnya. Melihat dari kondisinya, bangkai gajah ini diperkirakan sudah sepuluh hari sehingga mulai menggelembung dan mengeluarkan bau busuk. Untuk mencapai lokasi enam bangkai gajah yang tergeletak dengan jarak tidak berjauhan itu, tim harus berjalan kaki beberapa jam melewati jalan hutan sejauh sekitar 21 km karena kendaraan mobil maupun motor tidak bisa masuk. Ke-enam ekor gajah yang mati itu terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan, seekor di antaranya masih anakan. Dan ketika bangkai ini ditemukan, tiga pasang gading dari gajah ini telah hilang. Bangkai gajah ini, ditemukan di perbatasan hutan lindung Mahato, Riau dengan perkebunan kelapa sawit PT Maduma Alam Indah yang mengklaim berada di kawasan Tapanuli Selatan. Lokasi ini merupakan lokasi `sengketa` perbatasan antra Riau dan Sumut. Kematian gajah ini baru diketahui masyarakat 22 Pebuari lalu dengan kondisi mulut berbusa diduga karena menelan racun potasium. Atas penemuan ini masyarakat melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kab.Rohul. Namun karena wilayahnya berada di Tapanuli Selatan, maka oleh aparat dilaporkan kembali ke Polsek Sosa, Tapsel. Dan karena tidak ada tindaklanjut atas laporan masyarakat tersebut, maka oleh masyarakat akhirnya dilaporkan ke pihak WWF. Kematian gajah di daerah ini, merupakan kejadian berulang di mana pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang sama dengan kematian enam ekor gajah ini karena daerah itu merupakan daerah jelajah gajah.

Page 35: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 35 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 4 Maret 2006 Seekor Harimau Sumatra Jadi Korban Keracunan Gajah Pekanbaru, (ANTARA news) - Seekor harimau sumatera dikhawatirkan ikut mati akibat memakan bangkai satu dari enam gajah yang mati diracun di sekitar jalan koridor bekas HPH Good Win di perbatasan Kab.Rokan Hulu (Riau) dengan Kab.Tapanuli Selatan (Sumut) yang kini dikonversi PT Mazuma Alam Indah menjadi perkebunan sawit. Anggota tim otopsi, dokter hewan Christoper Stremune DUM berkebangsaan Jerman dari Yayasan Gajah Sumatera di Pekanbaru, Sabtu (4/3) mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan bakal ada harimau yang mati karena memakan bangkai anak gajah beracun. Menurut dia, jika kekhawatiran ini terbukti, bangkai harimau yang beratnya diperkirakan mencapai 110 kg terlihat dari bekas telapak besar dan berlubang dalam tersebut, tidak bakal ditemukan karena sesuai sifat alaminya, sebelum mati harimau selalu menghilang ke hutan yang belum dijamah manusia. Sebelumnya, masyarakat setempat menemukan bayi gajah tersebut mati dengan posisi seperti menyusu ke induknya. Beberapa waktu kemudian, bayi gajah itu ternyata sudah 100 meter ke arah jurang berupa hutan register dengan daging kaki dan pundak terkoyak hebat. Namun demikian, Christoper yang berencana membawa sampel organ gajah berupa usus, lambung, hati dan kotoran gajah ke Balai Penyidikan Penyakit veteriner Medan itu, belum bisa memastikan jenis racun yang digunakan masyarakat untuk membunuh kawanan gajah itu. Sedangkan drh Rini Deswita dari BKSDA Riau bakal membawa hasil otopsi gajah tersebut ke Balai Penelitian Veteriner Bogor. Lokasi gajah mati di dekat hutan lindung Mahato ini terlihat ironis karena hutan lindung Mahato ini sudah bukan merupakan hutan lagi karena sejauh mata memandang yang terlihat di hutan gundul ini hanya semak belukar dan alang-alang serta tidak ada tegakan pohon sama sekali. Kasus kematian gajah akibat konflik dengan manusia di Provinsi Riau maupun Sumatera Utara cukup banyak sejak sepuluh tahun terakhir. Setahun lalu, sekelompok pemburu gajah dari Bengkulu membunuh sedikitnya tiga ekor gajah. Terlihat dari temuan enam batang gading oleh pihak kepolisian yang sempat baku tembak dengan pemburu. Dua polisi terluka dan empat pemburu tewas tertembus timah panas petugas.(*)

Page 36: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 36 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 2 Maret 2006 Pro Fauna: Membunuh Gajah adalah Tindakan Kriminal

Jakarta, Jumat--Koordinator ProFauna Indonesia Jakarta, Eni Nurhayati, mengatakan pembunuhan enam ekor gajah di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu, Riau dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, masuk dalam kategori tindakan kriminal dan meminta pihak penegak hukum untuk mengusutnya. "Pembunuh enam ekor gajah itu jelas-jelas masuk kategori tindakan kriminal," kata Nurhayati di Jakarta, Jumat (3/3). Alasannya, gajah sumatra masuk dalam kategori satwa yang dilindungi dan pelaku pembunuhan terhadap hewan itu dianggap telah melanggar UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam UU itu disebutkan sanksi yang diberikan kepada pelaku pembunuhan terhadap satwa liar adalah ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. Nurhayati menyebutkan isi Pasal 21 ayat (2) UU Nomor 5 tahun 1990, yakni, "Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati." "Serta mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia, memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut, atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi." "Saat ini hal yang paling utama dalam mengatasi pembunuhan gajah dan satwa liar lainnya adalah ketegasan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum," tegasnya. Ia mengatakan para pelaku pembunuh gajah yang bertujuan untuk memperoleh gadingnya, secara tidak langsung akan mempengaruhi jumlah populasi satwa yang dilindungi itu.

Page 37: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 37 of 166 WWF-Indonesia

Detik.com, 3 Maret 2006 14:34:35 WIB Gajah Liar di Riau Masih Menyerang Rumah Penduduk Puluhan gajah liar di Riau masih melakukan pengrusakan rumah penduduk Desa Balai Raja, Kecamatan Duri, Kabupaten Bengkalis. Penyebabnya, hutan marga satwa Balai Raja yang sebelumnya seluas 16 ribu hektar http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/02/time/143435/idnews/551319/idkanal/10 Detik. Com, 3 Maret 2006, 19:07:33 WIB skor: 1000 Kontra Atasi Konflik Gajah di Riau Pusing tujuh keliling. Begitulah agaknya Pemerintah Provinsi Riau mengatasi konflik gajah dengan manusia. Ada rencana gajah di Bengkalis akan direlokasi ke Taman Nasional Teso Nilo. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/09/time/190733/idnews/555891/idkanal/10 Liputan 6 SCTV 4 Maret 2006 01:42 Lingkungan (Tayang 14 Maret 2006) Meriam Bambu Pengusir Gajah Liputan6.com, Bengkalis: Warga Kelurahan Balai Raja, Bengkalis, Riau, membunyikan meriam bambu untuk menghalau serangan gajah liar. Binatang raksasa itu kerap merusak kebun dan menerobos hingga permukiman warga. Bunyi dentuman kini biasa terdengar di sekitar permukiman warga Kelurahan Balai Raja, Bengkalis, Riau. Suara ledakan itu berasal dari meriam bambu. Suara dari meriam itulah diyakini bisa mengusir gajah-gajah liar yang kerap menyerbu perumahan dan merusak kebun warga.

Warga menuturkan, ide menggunakan meriam untuk menghalau gajah berasal dari aktivis organisasi lingkungan termasuk Badan Satwa Liar Dunia (WWF). Gajah menyerang diduga karena habitat asli hewan berbelalai ini semakin sempit akibat penebangan liar dan penggundulan hutan. Ulah manusia itu juga berdampak pada menipisnya makanan binatang ini.

Penduduk Balai Raja memakai meriam sebagai senjata setelah terjadi serbuan puluhan gajah ke kompleks perumahan karyawan PT Chevron, perusahaan pengeboran minyak di Bengkalis. Ulah gajah-gajah liar ini jelas membuat takut penduduk. Bahkan sejumlah warga mengungsi ke kantor kelurahan setempat (TOZ/Yusril Ardanis)

http://www.liputan6.com/view/7,118653,1,0,1144569991.html

Page 38: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 38 of 166 WWF-Indonesia

DETIK.Com, 2 Maret 2006 Chaidir Anwar Tanjung Kematian Gajah, Riau Peringkat 1 di Dunia http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/02/time/150108/idnews/551333/idkanal/10

Page 39: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 39 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, Mar 03 09:10 Perambahan Hutan, Akar Permasalahan Konflik Manusia dan Gajah Jakarta, (ANTARA News) - Perambahan hutan sebagai lahan pemukiman dan perkebunan dinilai sebagai akar permasalahan munculnya konflik antara gajah dan manusia. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Communication Officer World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Desmarita Murni kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (2/3) untuk menanggapi kasus ditemukannya enam gajah mati di Kabupaten Rokan Hulu Pekanbaru, Riau, dengan dugaan diracun. "Ketika hutan tempat tinggal gajah telah dirambah sehingga berubah menjadi pemukiman dan perkebunan maka otomatis sudah tidak ada lagi tersedia makanan sehingga gajah kemudian keluar hutan," katanya. Itulah sebabnya, kata dia, acapkali terdengar ada insiden gajah mengamuk masuk ke kampung. Menurut dia, di Riau ada setidaknya 15 kantung gajah (habitat gajah -red) yang terkelompok-kelompok salah satunya adalah di Hutan Mahato. "Di dekat Hutan Mahato itulah enam gajah tersebut ditemukan mati. Sebenarnya status Hutan Mahato adalah hutan lindung tetapi sekarang kondisinya telah berubah, sudah banyak dibuka pemukiman dan perkebunan," katanya. Dia juga mengatakan bahwa kasus gajah mati dengan dugaan diracun bukan untuk pertama kalinya terjadi di Riau. "Kasus terakhir terjadi di daerah yang sama, Rokan Hulu, yaitu pada November 2004, saat itu ada enam gajah juga yang mati karena racun," katanya. Tim dari WWF bekerjasama dengan BKSDA Riau dan Sumut berencana untuk melakukan otopsi terhadap enam gajah tersebut sehingga dapat diketahui penyebab pasti akan kematiannya sekalipun ada dugaan akibat racun potasium sianida. Menurut Desma, konflik antara manusia dan gajah sebetulnya dapat dihindari jika hutan tetap terjaga. "Tetapi kalau keadaannya sudah seperti sekarang WWF sebenarnya telah meminta agar gajah tersebut jangan dibunuh melainkan cukup dihalau dengan cara-cara tradisonal," katanya. Selama ini, kata dia, kasus gajah diracun muncul karena manusia kemudian menganggap gajah sebagai hama yang dapat mengancam rumah dan kebunnya sehingga harus dibasmi, tidak peduli bahwa gajah tersebut terpaksa keluar hutan karena tempat tinggalnya rusak. Saat ditanya mengenai adanya kemungkinan bahwa gajah tersebut diracun semata-mata hanya untuk diambil gadingnya, Desma menolak kemungkinan itu. "Memang benar saat ditemukan gajah-gajah itu sudah tidak ada gadingnya, tetapi saya kira mungkin karena sudah terlanjur mati maka sekalian

Page 40: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 40 of 166 WWF-Indonesia

mereka masyarakat mengambil gadingnya," katanya. Sementara itu, kata dia, data sensus gajah pada 2004 menyebutkan di Riau terdapat 350-430 gajah liar. Sedangkan menurut Human Elephant Conflict Officier Riau, Samsuardi, keenam gajah yang mati itu, terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan, seekor di antaranya masih anakan. Bangkai gajah ini, ditemukan di perbatasan hutan lindung Mahato, Riau dengan perkebunan kelapa sawit PT Maduma Alam Indah yang mengklaim berada di kawasan Tapanuli Selatan. Padahal, lokasi itu menurut BPN Riau merupakan bagian dari Kab.Rohul, Riau. Menurut Samsuardi, kematian gajah itu baru diketahui masyarakat 22 Pebuari lalu dengan kondisi mulut berbusa diduga karena menelan racun potasium. Atas penemuan ini masyarakat telah melaporkannya ke Polsek Tambusai, Kab.Rohul. Namun karena wilayahnya berada di Tapanuli Selatan, maka oleh aparat dilaporkan kembali ke Polsek Sosa, Tapsel. Dan karena tidak ada tindaklanjut atas laporan masyarakat tersebut, maka oleh masyarakat akhirnya dilaporkan ke pihak WWF. Kematian gajah di daerah itu, merupakan kejadian berulang di mana pada tahun 2002, sebanyak 17 ekor gajah diketahui mati di lokasi yang sama karena daerah itu merupakan daerah jelajah gajah. "Ada dugaan gajah mati ini merupakan satu rombongan dengan yang mati tahun 2002," ujar Samsuardi seraya menambahkan 17 ekor gajah yang mati tahun 2002 di Tapsel itu hingga kini tidak ada tindaklanjutnya. Karena itu, katanya, pihaknya sangat berharap agar keenam gajah yang mati itu dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan menangkap para pelakunya, sebab sejauh ini belum ada oknum masyarakat yang mengaku sebagai pembunuhnya.(*)

Page 41: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 41 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, Mar 03 09:25 KONUS: Peralihan Hutan Harus Dihentikan Untuk Selamatkan Gajah Jakarta, (ANTARA News) - LSM Konservasi Alam Nusantara (Konus) menilai peralihan hutan heterogen atau hutan campuran menjadi homogen harus dihentikan untuk menyelamatkan satwa liar di Pulau Sumatera seperti gajah. "Peralihan hutan harus segera dihentikan agar tidak terus berulang gajah masuk ke kawasan pemukiman," kata Staf Networking LSM Konus, Heri Oktvinalis, kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat (3/3). Menurut dia, penyebab lain satwa liar masuk ke kawasan pemukiman, tidak terlepas dari banyaknya praktik pembalakan hutan atau kayu dan penjarahan hutan yang cukup banyak di Pulau Sumatera hingga satwa liar kehilangan tempat tinggalnya dan kesulitan mendapatkan sumber makanan. Ia mengatakan ketika kawasan untuk mendapatkan sumber makanannya diubah fungsinya menjadi kawasan perkebunan, memaksa satwa itu turun ke kawasan pemukiman dan merusak lahan perkebunan milik penduduk. "Satwa yang turun ke kawasan pemukiman di Pulau Sumatera, bukan hanya gajah saja namun juga harimau. Dan kasus itu sudah berulang kali terjadi," katanya. Ia mengatakan kasus demikian terjadi juga di Pulau Jawa, seperti beberapa waktu lalu LSM Konus pernah mendapatkan macan kumbang yang masuk ke kampung di Tasikmalaya, dengan mencuri hewan ternak seperti kambing atau ayam akibat areal perburuannya sudah habis. Turunnya satwa liar macan kumbang ke kawasan pemukiman sering terjadi juga di kawasan pemukiman yang berada di sekitar kaki Gunung Gede-Pangrango. "Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk mengatasi satwa liar masuk ke kawasan pemukiman, tidak ada jalan lain dengan memperbaiki kawasan hutan," katanya. Sebelumnya, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau akan melakukan pengusiran terhadap gajah yang sering mengganggu masyarakat di Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau dalam sebulan terakhir. "Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan gajah Sumatera di Riau selain menghentikan konversi hutan. Kondisi gajah kini sangat kritis karena tidak lagi memiliki habitat," kata Koordinator Program Gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF) Nurcholis Fadli kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis. Habitat gajah yang dimaksudnya berupa hutan alam yang menjadi tempat tinggal hewan berbelalai ini yang kondisinya kini telah punah akibat izin konversi hutan yang mengubah hutan alam menjadi hutan produksi terbatas untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Pemanfaatan Kayu, areal perkebunan tanaman sejenis baik Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun perkebunan sawit dan pemukiman penduduk.(*)

Page 42: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 42 of 166 WWF-Indonesia

Detik.com,3 Maret 2006. 20:29:39 WIB Chaidir Anwar Tanjung Niatnya Direlokasi, 7 Ekor Gajah Malah Mati Karena mengganggu warga, 30 gajah direlokasi Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Kampar ke Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Tapi tujuh gajah malah mati, dan 23 lainnya tidak jelas dimana. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/03/time/202939/idnews/552331/idkanal/10

Page 43: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 43 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 4 Maret 2006 Seekor Harimau Sumatra Jadi Korban Keracunan Gajah Pekanbaru, (ANTARA news) - Seekor harimau sumatera dikhawatirkan ikut mati akibat memakan bangkai satu dari enam gajah yang mati diracun di sekitar jalan koridor bekas HPH Good Win di perbatasan Kab.Rokan Hulu (Riau) dengan Kab.Tapanuli Selatan (Sumut) yang kini dikonversi PT Mazuma Alam Indah menjadi perkebunan sawit. Anggota tim otopsi, dokter hewan Christoper Stremune DUM berkebangsaan Jerman dari Yayasan Gajah Sumatera di Pekanbaru, Sabtu (4/3) mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan bakal ada harimau yang mati karena memakan bangkai anak gajah beracun. Menurut dia, jika kekhawatiran ini terbukti, bangkai harimau yang beratnya diperkirakan mencapai 110 kg terlihat dari bekas telapak besar dan berlubang dalam tersebut, tidak bakal ditemukan karena sesuai sifat alaminya, sebelum mati harimau selalu menghilang ke hutan yang belum dijamah manusia. Sebelumnya, masyarakat setempat menemukan bayi gajah tersebut mati dengan posisi seperti menyusu ke induknya. Beberapa waktu kemudian, bayi gajah itu ternyata sudah 100 meter ke arah jurang berupa hutan register dengan daging kaki dan pundak terkoyak hebat. Namun demikian, Christoper yang berencana membawa sampel organ gajah berupa usus, lambung, hati dan kotoran gajah ke Balai Penyidikan Penyakit veteriner Medan itu, belum bisa memastikan jenis racun yang digunakan masyarakat untuk membunuh kawanan gajah itu. Sedangkan drh Rini Deswita dari BKSDA Riau bakal membawa hasil otopsi gajah tersebut ke Balai Penelitian Veteriner Bogor. Lokasi gajah mati di dekat hutan lindung Mahato ini terlihat ironis karena hutan lindung Mahato ini sudah bukan merupakan hutan lagi karena sejauh mata memandang yang terlihat di hutan gundul ini hanya semak belukar dan alang-alang serta tidak ada tegakan pohon sama sekali. Kasus kematian gajah akibat konflik dengan manusia di Provinsi Riau maupun Sumatera Utara cukup banyak sejak sepuluh tahun terakhir. Setahun lalu, sekelompok pemburu gajah dari Bengkulu membunuh sedikitnya tiga ekor gajah. Terlihat dari temuan enam batang gading oleh pihak kepolisian yang sempat baku tembak dengan pemburu. Dua polisi terluka dan empat pemburu tewas tertembus timah panas petugas.(*)

Page 44: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 44 of 166 WWF-Indonesia

Siaran Pers. Maret 6, 2006 12.00 WIB Tindak Lanjut Konflik Gajah di Riau: PHKA dan WWF Sepakati Terapkan Protokol Mitigasi Konflik Gajah. Konversi Hutan Alam Diminta Segera Dihentikan

JAKARTA—Sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan bantuan WWF-Indonesia akan segera memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang telah lama dipersiapkan di Riau. Protokol ini mencakup strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu. “Protokol mitigasi konflik gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak,” kata Adi Susmianto, Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen PHKA. “Dengan segera diimplementasikannya protokol ini diharapkan kasus-kasus konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir, kematian manusia dan gajah dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik.” Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau, yaitu matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato di perbatasan Riau dan Sumatera Utara – diduga akibat diracun - serta mengamuknya 17 ekor (menurut beberapa media sebelum dikonfirmasi ke lapangan jumlahnya 51 atau 39 ekor) gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kedua kasus ini ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo, yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatra, menjadi pemukiman, perkebunan dan HTI. Perusahaan pulp dan kertas raksasa di area tersebut Asia Pulp and Paper (APP), misalnya, membeli kayu dari atau menebang di blok hutan ini. “Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan,” lanjut Adi. “Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera”. Rumah bagi kedua satwa dilindungi ini semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja. “Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa yang terjadi, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau menyerang ternak dan manusia,” tambah Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia. Rusaknya hutan Balai Raja, lokasi dimana konflik gajah terjadi baru-baru ini, adalah sebuah contoh nyata. “Tutupan hutan Balai Raja telah berkurang secara dramatis, dari sekitar 16.000 hektar pada 1986 ketika ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa menjadi 260 hektar saja pada 2005”. Anggota tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) BKSDA dan WWF bekerjasama dengan 300 orang anggota keamanan PT. CPI/Caltex, perusahaan yang memiliki konsesi di dekat lokasi tersebut, saat ini terus melakukan penjagaan agar 17 ekor gajah liar yang beberapa waktu lalu masuk keperkampungan tidak lagi mendekati perumahan dan perkebunan penduduk. Gajah-gajah tersebut rencananya sedikit demi sedikit akan

Page 45: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 45 of 166 WWF-Indonesia

digiring menuju hutan yang masih tersisa di blok Libo, dan upaya tersebut akan membutuhkan dukungan operasi pengamanan yang lebih besar, diantaranya melibatkan pihak militer setempat. Kemungkinan tersebut akan didiskusikan dalam pertemuan antara WWF, BKSDA, dan perwakilan PT Caltex besok (7/3). “Kami akan menghubungi perwakilan militer setempat, berikut pemilik perkebunan terkait, untuk menjajaki kemungkinan partisipasi mereka dalam operasi pengamanan gajah berskala besar seperti ini,” kata Adi. “Meskipun demikian, operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di blok hutan Libo harus segera dihentikan, agar selain habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk,” kata Nazir. Salah satu aksi cepat yang dilakukan untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi di Balai Raja, PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad yang bertugas berpatroli dan memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik tersebut. Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. “Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan,” kata Nazir. Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, Flying Squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan). “Sejak adanya flying squad, untuk pertama kalinya kami bisa tidur nyenyak pada malam hari,” tambah Salim, petani kelapa sawit dan padi ladang di desa Lubuk Kembang Bunga yang biasanya harus bergadang menjaga kebun dan ladangnya setiap malam. Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Adi Susmianto, Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen PHKA, tel +62-(021) 5720227 Nazir Foead, Species Program Director, WWF-Indonesia. Email: [email protected]. Tel +62-811-793-458 (Desma).

Page 46: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 46 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 6 Maret 2006 Protokol Mitigasi untuk Atasi Konflik Gajah Jakarta, Senin--Sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bersama WWF-Indonesia akan segera memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang telah lama dipersiapkan di Riau.

Protokol ini mencakup strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu.

"Protokol mitigasi konflik gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak," kata Adi Susmianto, Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen PHKA. "Dengan segera diimplementasikannya protokol ini diharapkan kasus-kasus konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir, kematian manusia dan gajah dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik."

Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau, yang berujung pada matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit di bekas hutan Mahato, perbatasan Riau dan Sumatera Utara - diduga akibat diracun - serta mengamuknya 17 ekor (menurut beberapa media sebelum dikonfirmasi ke lapangan jumlahnya 51 atau 39 ekor) gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Kedua kasus ini ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo - yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatra - menjadi pemukiman, perkebunan dan HTI. Perusahaan pulp dan kertas raksasa di area tersebut Asia Pulp and Paper (APP), misalnya, membeli kayu atau menebang di blok hutan ini.

"Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan," lanjut Adi. "Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera".

Rumah bagi kedua satwa dilindungi ini semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja.

"Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa yang terjadi, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau menyerang ternak dan manusia," tambah Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia.

Rusaknya hutan Balai Raja, lokasi dimana konflik gajah terjadi baru-baru ini, adalah sebuah contoh nyata. "Tutupan hutan Balai Raja telah berkurang secara dramatis, dari sekitar 16.000 hektar pada 1986 ketika ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa menjadi 260 hektar saja pada 2005."

Page 47: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 47 of 166 WWF-Indonesia

Anggota tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) BKSDA dan WWF bekerjasama dengan 300 orang anggota keamanan PT CPI/Chevron, perusahaan yang memiliki konsesi di dekat lokasi tersebut, saat ini terus melakukan penjagaan agar 17 ekor gajah liar yang beberapa waktu lalu masuk keperkampungan tidak lagi mendekati perumahan dan perkebunan penduduk.

Gajah-gajah tersebut rencananya sedikit demi sedikit akan digiring menuju hutan yang masih tersisa di blok Libo, dan upaya tersebut akan membutuhkan dukungan operasi pengamanan yang lebih besar, diantaranya melibatkan pihak militer setempat. Kemungkinan tersebut akan didiskusikan dalam pertemuan antara WWF, BKSDA, dan perwakilan PT Chevron (dahulu Caltex) besok (7/3).

"Kami akan menghubungi perwakilan militer setempat, berikut pemilik perkebunan terkait, untuk menjajaki kemungkinan partisipasi mereka dalam operasi pengamanan gajah berskala besar seperti ini," kata Adi.

"Meskipun demikian, operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di blok hutan Libo harus segera dihentikan, agar selain habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk," kata Nazir.

Salah satu aksi cepat yang dilakukan untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi di Balai Raja, PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad yang bertugas berpatroli dan memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik tersebut.

Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. "Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan," kata Nazir.

Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, Flying Squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan).

"Sejak adanya flying squad, untuk pertama kalinya kami bisa tidur nyenyak pada malam hari," tambah Salim, petani kelapa sawit dan padi ladang di desa Lubuk Kembang Bunga yang biasanya harus bergadang menjaga kebun dan ladangnya setiap malam.

http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0603/06/151400.htm

Page 48: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 48 of 166 WWF-Indonesia

Kompas Cyber Media, 6 Maret 2006 WWF: Usut Kematian Gajah di Sumatra

Jakarta, Senin--Kasus kematian enam ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di perbatasan Provinsi Riau-Sumatera Utara yang terjadi pada 22 Februari lalu sebaiknya diusut tuntas dan jangan didiamkan agar kasus serupa tidak lagi terulang . Koordinator Human Elephant Conflict Officer World Wild Fund for Nature (WWF) Riau Nurcholis Fadli di Pekanbaru, Senin (6/3), mengatakan pihaknya menginginkan kematian gajah itu ditindaklanjuti dengan mencari siapa pelakunya. Fadli mengatakan, karena gajah mati itu berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yakni Desa Sungai Korang Kecamatan Huta Raja Tinggi Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), maka sudah semestinya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Sumut yang melakukan penindakan. "Penyelidikan kematian enam gajah ini mesti ditindaklanjuti KSDA Wilayah II Sumut. Itu wewenang mereka dan kami di WWF sebagai pendorong agar kasus ini dibawa ke jalur hukum," ungkap Nurcholis. Menurut dia, autopsi kematian hewan langka itu telah dilakukan pada 3 Maret lalu dan dari hasilnya akan diketahui apa racun yang telah membunuh hewan yang dilindungi UU itu, sebab kuat dugaan gajah yang terdiri dari satu kelompok itu mati karena diracun. "Kasus ini tidak bisa didiamkan. Harus ada penegakan hukum terhadap pelakunya agar tidak terulang lagi," katanya seraya menjelaskan kasus serupa telah acap kali terjadi tidak hanya di Sumut tetapi juga di Riau. Ia menjelaskan, pihaknya tidak ingin lagi kasus kematian gajah didiamkan begitu saja seperti yang terjadi pada 2002 lalu di Kecamatan Barumun, Tapsel, yang juga merupakan daerah perbatasan Riau-Sumut. Sebanyak 17 ekor gajah mati mengenaskan dilahan perkebunan sawit dan hingga kini didiamkan begitu saja. "Padahal, gajah-gajah tersebut juga mati diracun," katanya. Menurut dia, modus kematian gajah di Barumun dan Hutaraja Tinggi itu hampir sama. Kawanan hewan berbadan besar itu mati tergeletak tidak jauh dari areal perkebunan sawit dan berada dalam satu "home range" (daerah jelajah) gajah. Kawasan hutan daerah perbatasan Riau-Sumut merupakan home range gajah, di Sumut dinamai hutan Register 40 yang merupakan hutan produksi terbatas, sedangkan di Riau hutan lindung Mahato yang kini telah gundul berubah menjadi hutan ilalang dan kebun sawit. "Kawanan gajah masuk ke pemukiman penduduk karena tidak ada habitat alami. Hutan tempat mereka tinggal telah terdesak oleh ulah manusia dan makanannya juga tidak ada," ungkap Nurcholis.

Page 49: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 49 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 6 Maret 2006. 14.02

PHKA Dan WWF Sepakati Protokol Mitigasi Konflik Gajah Jakarta, (ANTARA News) - Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan World Wide Fund for Nature (WWF) sepakat untuk memberlakukan Protokol Mitigasi Konflik Gajah sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau. "Protokol mitigasi konflik gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak," kata Direktur Konservasi Keragaman Hayati Ditjen PHKA, Adi Susmianto, di Jakarta, Senin (6/3). Protokol Mitigasi Konflik Gajah, kata dia, telah lama dipersiapkan di Riau. Menurut Adi, protokol tersebut mencakup strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu. "Dengan segera diimplementasikannya protokol ini diharapkan kasus-kasus konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir, kematian manusia dan gajah dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik," katanya. Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau, yaitu matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato di perbatasan Riau dan Sumatera Utara yang diduga akibat diracun serta mengamuknya 17 ekor gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kedua kasus itu ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo, yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatra, menjadi pemukiman, perkebunan dan HTI. "Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan," kata Adi. Hal itu karena rumah bagi satwa dilindungi itu semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja. "Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau Sumatera," katanya. Pernyataan senada diungkapkan oleh Direktur Program Species WWF-Indonesia Nazir Foead. "Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa yang terjadi, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau menyerang ternak dan manusia," katanya.

Page 50: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 50 of 166 WWF-Indonesia

Rusaknya hutan Balai Raja, lokasi dimana konflik gajah terjadi baru-baru ini, kata dia, adalah sebuah contoh nyata. "Tutupan hutan Balai Raja telah berkurang secara dramatis, dari sekitar 16.000 hektar pada 1986 ketika ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa menjadi 260 hektar saja pada 2005," katanya. Menurut WWF Indonesia`s Species Program Communications Officer Desmarita Murni, saat ini, anggota tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) BKSDA dan WWF bekerjasama dengan 300 orang anggota keamanan PT. CPI/Caltex, perusahaan yang memiliki konsesi di dekat lokasi tersebut, saat ini terus melakukan penjagaan agar 17 ekor gajah liar yang beberapa waktu lalu masuk ke perkampungan tidak lagi mendekati perumahan dan perkebunan penduduk. Gajah-gajah tersebut, kata dia, rencananya sedikit demi sedikit akan digiring menuju hutan yang masih tersisa di blok Libo, dan upaya tersebut akan membutuhkan dukungan operasi pengamanan yang lebih besar, diantaranya melibatkan pihak militer setempat. Kemungkinan tersebut menurut Adi, akan didiskusikan dalam pertemuan antara WWF, BKSDA, dan perwakilan PT Caltex besok (7/3). "Kami akan menghubungi perwakilan militer setempat, berikut pemilik perkebunan terkait, untuk menjajaki kemungkinan partisipasi mereka dalam operasi pengamanan gajah berskala besar seperti ini," kata Adi. "Meskipun demikian, operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di blok hutan Libo harus segera dihentikan, agar selain habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk," kata Nazir. Salah satu aksi cepat yang dilakukan untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi di Balai Raja, PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad yang bertugas berpatroli dan memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik tersebut. Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. "Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan," kata Nazir. Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, Flying Squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan). "Sejak adanya flying squad, untuk pertama kalinya kami bisa tidur nyenyak pada malam hari," kata Salim, petani kelapa sawit dan padi ladang di desa Lubuk Kembang Bunga yang biasanya harus bergadang menjaga kebun dan ladangnya setiap malam.(*)

Page 51: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 51 of 166 WWF-Indonesia

Page 52: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 52 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 6 Maret 2006 WWF: Usut Kematian Gajah Pekanbaru, (ANTARA News) - Kasus kematian enam ekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di perbatasan Provinsi Riau-Sumatera Utara yang terjadi pada 22 Februari lalu sebaiknya diusut tuntas dan jangan didiamkan agar tidak lagi terulang kasus serupa. Koordinator Human Elephant Conflict Officer World Wide Fund for Nature (WWF) Riau Nurcholis Fadli kepada ANTARA di Pekanbaru, Senin (6/3) mengatakan pihaknya menginginkan kematian gajah itu ditindaklanjuti dengan mencari siapa pelakunya. Ia mengatakan, karena gajah mati itu berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yakni Desa Sungai Korang Kecamatan Huta Raja Tinggi Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), maka sudah semestinya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Sumut yang melakukan penindakan. "Penyelidikan kematian enam gajah ini mesti ditindaklanjuti KSDA Wilayah II Sumut. Itu wewenang mereka dan kami di WWF sebagai pendorong agar kasus ini dibawa ke jalur hukum," ungkap Nurcholis. Menurut dia, autopsi kematian hewan langka itu telah dilakukan pada 3 Maret lalu dan dari hasilnya akan diketahui apa racun yang telah membunuh hewan yang dilindungi UU itu, sebab kuat dugaan gajah yang terdiri dari satu kelompok itu mati karena diracun. "Kasus ini tidak bisa didiamkan. Harus ada penegakan hukum terhadap pelakunya agar tidak terulang lagi," katanya seraya menjelaskan kasus serupa telah acap kali terjadi tidak hanya di Sumut tetapi juga di Riau. Ia menjelaskan, pihaknya tidak ingin lagi kasus kematian gajah didiamkan begitu saja seperti yang terjadi pada 2002 lalu di Kecamatan Barumun, Tapsel, yang juga merupakan daerah perbatasan Riau-Sumut. Sebanyak 17 ekor gajah mati mengenaskan dilahan perkebunan sawit dan hingga kini didiamkan begitu saja. "Padahal, gajah-gajah tersebut juga mati diracun," katanya. Menurut dia, modus kematian gajah di Barumun dan Hutaraja Tinggi itu hampir sama. Kawanan hewan berbadan besar itu mati tergeletak tidak jauh dari areal perkebunan sawit dan berada dalam satu "home range" (daerah jelajah) gajah. Kawasan hutan daerah perbatasan Riau-Sumut merupakan home range gajah, di Sumut dinamai hutan Register 40 yang merupakan hutan produksi terbatas sedangkan di Riau hutan lindung Mahato yang kini telah gundul berubah menjadi hutan ilalang dan kebun sawit. "Kawanan gajah masuk ke pemukiman penduduk karena tidak ada habitat alami. Hutan tempat mereka tinggal telah terdesak oleh ulah manusia dan makanannya juga tidak ada," ungkap Nurcholis.(*)

Page 53: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 53 of 166 WWF-Indonesia

Senin, 6 Maret 2006 17:34 Tangani Konflik Gajah di Balai Raja KSDA-WWF Siagakan Tim Flying Squad Untuk menangani konflik antara 17 gajah dengan penduduk desa Balai Raja Duri Kabupaten Bengkalis, Tim Flying Squad disiagakan. Riauterkini-PEKANBARU-Terkait konflik gajah dengan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, anggota tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) BKSDA dan WWF bekerjasama dengan 300 orang anggota keamanan PT. CPI/Chevron serta perusahaan yang memiliki konsesi di dekat lokasi tersebut disiagakan. Hingga berita ini diturunkan (6/3), tim terus melakukan penjagaan agar 17 ekor gajah liar yang beberapa waktu lalu masuk keperkampungan tidak lagi mendekati perumahan dan perkebunan penduduk. Gajah-gajah tersebut rencananya sedikit demi sedikit akan digiring menuju hutan yang masih tersisa di blok Libo. Upaya tersebut membutuhkan dukungan operasi pengamanan yang lebih besar. Dengan melibatkan pihak militer setempat. Kemungkinan tersebut akan didiskusikan dalam pertemuan antara WWF, BKSDA, dan perwakilan PT Caltex besok (7/3). “Meskipun demikian, operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di blok hutan Libo harus segera dihentikan, agar selain habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk,”ungkap Direktur Program Species WWF-Indonesia Nazir (6/3). Salah satu aksi cepat yang dilakukan untuk mengatasi konflik yang sedang terjadi di Balai Raja, PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad yang bertugas berpatroli dan memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik tersebut. "Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan,” kata Nazir. Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, Flying Squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan). ***(H-we)

Page 54: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 54 of 166 WWF-Indonesia

Senin, 6 Maret 2006 17:08 PHKA dan WWF Sepakat Protokol Mitigasi Konflik Gajah Akan Diterapkan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan bantuan WWF-Indonesia akan segera memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah. Riauterkini-PEKANBARU-Sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan bantuan WWF-Indonesia segera memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang telah lama dipersiapkan di Riau. Protokol ini mencakup strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu. “Protokol mitigasi konflik gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak. Dengan diimplementasikannya protokol ini, kita berharap terjadinya konflik antara manusia dan gajah dapat diminimalisir. Selain itu kematian manusia dan gajah akibat konflik dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik,” ungkap Direktur Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen PHKA, Adi Susmianto kepada Riauterkini(6/3). Seperti yang dirilis Riauterkini sebeloumnya, dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau. Dari matinya enam ekor gajah di kebun sawit yang terletak di bekas hutan Mahato perbatasan Riau dan Sumatera Utara. Kematian gajah-gajah tersebut diduga akibat diracun. Selain itu konflik gajah-manusia baru-baru ini terjadi. Yaitu mengamuknya 17 ekor gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Kedua kasus ini ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo, yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatera. Bukaan lahan tersebut dijadikan pemukiman, perkebunan dan HTI. Perusahaan pulp dan kertas raksasa di area tersebut Asia Pulp and Paper (APP), misalnya, membeli kayu dari atau menebang di blok hutan ini. Direktur Program Species WWF-Indonesia, Nazir Foead mengatakan bahwa semua konversi hutan alam harus segera dihentikan. Sebab laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera. Rumah bagi kedua satwa dilindungi ini semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir saja, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja. “Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa yang terjadi, baik konflik akibat gajah yang merusak ke kebun dan rumah warga, maupun harimau menyerang ternak dan manusia,” tambah Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia.

Page 55: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 55 of 166 WWF-Indonesia

Rusaknya hutan Balai Raja, lokasi dimana konflik gajah terjadi baru-baru ini, adalah sebuah contoh nyata. Tutupan hutan Balai Raja telah berkurang secara dramatis, dari sekitar 16.000 hektar pada 1986 ketika ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa menjadi 260 hektar saja pada 2005. ***(H-we)

Page 56: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 56 of 166 WWF-Indonesia

DETIK.Com, 6 Maret 2006 Chaidir Anwar Tanjung Konflik Gajah di Riau, 16 Orang Tewas http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/06/time/173452/idnews/553339/idkanal/10

Republika, selasa, 07 Maret 2006 Gajah Lawan Manusia Perlu segera diterapkan Protokol Mitigasi Konflik Gajah untuk meminimalkan konflik gajah dengan manusia.

Brukk. Raksasa berbelalai panjang itu ambruk. Lokasinya di sebuah perkebunan sawit di bekas hutan Mahato, Riau. Peristiwanya dua pekan lalu. Sang gajah mati tidak wajar. Ia diracun.

Sedikitnya enam gajah tewas dengan mulut berbusa, sejak konflik gajah versus penduduk pecah akhir Januari lalu. Mulanya adalah 'invasi'. Tujuh belas ekor mamalia raksasa itu --diberitakan pula 39 ekor-- merangsek ke perkampungan penduduk di Desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. 'Perang' pun meletus.

Bila dirunut, insiden di Balai Raja bukanlah yang pertama. Permusuhan dua spesies ini sudah berlangsung lama. Medan pertempurannya pun luas. Lihat saja, jika pada 1999 populasi gajah Sumatra 700 ekor kini tinggal 350 ekor. Kalau bukan dibunuh, ke mana mereka?

Tapi motif pembunuhan tampak logis. Penduduk beralasan membela diri (atau nyawa taruhannya). Tak cuma satu atau dua kali memang hewan raksasa ini nyelonong ke perkampungan. Di situ mereka mengamuk. Merusak kebun. Mengoyak atap rumah. Karenanya, menghalau mereka --bahkan meracuninya-- adalah self-defense. Tapi mengapa sang hewan begitu gelisah di habitatnya. Ulah siapa?

Tak salah lagi, menurut Direktur Program Species WWF-Indonesia, Nazir Foead, ''Konversi hutan adalah akar dari permasalahan konflik manusia dan satwa.'' Di Balai Raja, semua itu nyata terjadi. Nazir menengarai pembukaan hutan Blok Libo sebagai pemicunya. Blok Libo sejatinya merupakan rumah bagi puluhan spesies gajah Sumatra. Tapi apa lacur. Daerah ini potensi menghasilkan dolar. Atas nama kapital, disulaplah kawasan rimbun ini menjadi area perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), atau permukiman. Ribuan meter kubik kayu kayu dituai setiap minggunya.

Laju penebangan di hutan Balai Raja bak mobil balap. Data dari Badan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) membuktikan hal ini. Jika pada 1986, atau pada saat wilayah ini ditetapkan sebagai suaka margasatwa, jumlah tutupan hutan sekitar 16 ribu hektare, pada 2005 tinggal 260 hektare saja.

Maka, jika ingin perang gajah versus manusia berakhir, ''Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan,'' kata Adi Susmianto, direktur

Page 57: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 57 of 166 WWF-Indonesia

Konservasi Keragaman Hayati, Ditjen PHKA, dalam keterangan persnya, Senin (6/3). Jika tidak, jangan ikut murka kalau gajah murka.

Protokol Beragam jurus dilancarkan untuk meredam konflik gajah-manusia di Riau. Yang terbaru adalah rencana Ditjen PHKA dengan bantuan WWF-Indonesia memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah. Protokol ini telah disiapkan sejak lama.

Jurus-jurus yang disiapkan untuk protokol ini antara lain meliputi strategi pengurangan konflik, penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan pengembangan mekanisme kompensasi bagi masyarakat yang mengalami kerugian akibat gangguan gajah pada kondisi tertentu. ''Protokol Mitigasi Konflik Gajah ini penting untuk segera diimplementasikan sebagai upaya penyelesaian kasus yang semakin mendesak,'' kata Adi.

Menurut Adi, diberlakukannya Protokol Mitigasi Konflik Gajah, konflik gajaah denganmanusia diharapkan bisa diminimalkan. ''Maka, kematian manusia dan gajah dapat dihindarkan, termasuk kerugian materi yang diakibatkan oleh konflik.'' kata Adi.

Flying squad Buntut kematian enam gajah itu, akankah gajah-gajah lain kembali mengamuk? Berurusan dengan hewan raksasa memang bukan perkara mudah. ''Kami akan melibatkan militer setempat,'' tutur Adi. Operasi pengamanan gajah berskala besar pun bakal niscaya.

Yang jelas, saat ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) telah menurunkan tim penanganan gangguan gajah secara cepat alias flying squad. WWF berperan banyak di dalamnya. Sebanyak 300 orang anggota keamanan PT CPI/Caltex pun dilibatkan. Mereka melakukan penjagaan intensif selama 24 jam. Targetnya agar 17 ekor gajah yang sempat ngamuk, tak lagi berbuat ulah.

Sedikit demi sedikit, gajah-gajah tersebut akan digiring menuju hutan yang masih tersisa di Blok Libo. Namun, kata Adi, upaya ini membutuhkan dukungan personel keamanaan yang lebih besar. Maklum tak mudah berurusan dengan gajah yang mengamuk. ''Karenanya, pihak militer harus dilibatkan,'' tandas Adi.

Meskipun demikian, Nazir Foead dari WWF mengingatkan operasi pengamanan ini bukanlah solusi permanen. Konversi hutan dan pembalakan liar di hutan BLok Libo harus segera dihentikan. Selain supaya habitatnya terjaga dan dapat hidup nyaman, gajah-gajah ini diharapkan tidak lagi keluar dan mengamuk ke perkebunan dan rumah penduduk.

Untuk sementara, solusi flying squad cukup ampuh di Balai Raja. Karena itulah PHKA dan WWF sepakat untuk menambah tim flying squad. Selain berpatroli, tim ini bertugas memberikan pertolongan pertama dan rasa aman bagi masyarakat di area konflik.

Teknik flying squad ini telah diujicobakan oleh WWF dan Balai KSDA Riau di zona penyangga Taman Nasional Tesso Nilo. Flying squad adalah tim patroli yang terdiri dari delapan pawang yang dilengkapi berbagai

Page 58: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 58 of 166 WWF-Indonesia

perlengkapan beserta empat gajah latih yang bertugas mengusir gajah liar kembali ke hutan.

Teknik ini terbukti efektif mengurangi kerugian masyarakat. Sejak dioperasikan April 2004, flying squad terbukti mampu mengurangi kerugian materi akibat konflik gajah hingga 16 kali lebih rendah dari sebelum dioperasikan (dari rata-rata Rp 16 juta per bulan menjadi kurang dari Rp 1 juta per bulan).

''Sejak adanya flying squad, untuk pertama kalinya kami bisa tidur nyenyak pada malam hari,'' tambah Salim, petani kelapa sawit dan padi ladang di desa Lubuk Kembang Bunga yang biasanya harus bergadang menjaga kebun dan ladangnya setiap malam. Tapi, perlu diingat, ini bukan penyelesaian akar masalah.

Online:

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=238414&kat_id=&kat_id1=&kat_id2= Suara Merdeka.com, 12 Maret 2006 : 10.18 WIB Menhut Diminta Selidiki Kematian Gajah di Riau Pekanbaru, CyberNews. Kematian gajah liar yang ditangkap tim pawang dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau kembali terjadi. Lembaga perlindungan satwa internasional World Wild Fund for Nature (WWF) meminta Menteri Kehutanan (Menhut) menyidik pembantaian tersebut.

Permintaan tersebut diungkapkan Koordinator Human Elephant Conflict Officer WWF Riau Nurcholis Fadli di Pekanbaru, Sabtu (11/3) perihal kembali terjadinya dua ekor gajah mati mengenaskan di lokasi PLG di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Minas, Kabupaten Siak.

Hewan langka itu dibuang begitu saja di dalam parit yang merupakan tapal batas kawasan Tahura dan rantai besi masih melekat di kepala gajah tersebut. Gajah berjenis kelamin jantan tanpa gading (pada bagian mulutnya terlihat jelas lobang besar bekas gading yang dicabut), kondisinya mengenaskan, tubuhnya yang besar mulai hancur membusuk, dipenuhi belatung dan langau serta menjadi santapan biawak.

Menurut Nurcholis, kasus kematian gajah liar yang ditangkap dan ditempatkan di PLG telah sering terjadi bahkan pihaknya memperkirakan dalam lima tahun terakhir ini terdapat sekitar 100 ekor gajah yang mati dibantai di PLG. "Telah berulangkali terjadi kasus gajah tangkapan mati mengenaskan di PLG," katanya.

Kuat dugaannya, bangkai gajah yang masih dirantai besi itu merupakan gajah liar hasil tangkapan tim penangkap gajah PLG, yang sengaja dibunuh dan diambil gadingnya.

Ia mengatakan, kasus pembantaian gajah liar di tempat yang seharusnya melindunginya dari kepunahan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab kasus serupa akan terulang lagi.

Page 59: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 59 of 166 WWF-Indonesia

Nurcholis menyarankan, selain Menhut melalui Dirjen PHKA melakukan penyidikan terhadap tim penangkap gajah PLG yang juga merupakan para pawang gajah, hewan liar tersebut jangan lagi ditangkap.

"Saat terjadi konflik manusia-gajah, jangan ada lagi penangkapan gajah. Cukup kawanan gajah itu diusir ke habitatnya," ujar dia.

Sarannya itu dengan pertimbangan, jika hewan berbadan besar itu terus menerus ditangkap dan dipindahkan ke tempat lain, maka akan menimbulkan konflik di lokasi baru. "Lagipula, anggaran yang dipergunakan untuk menangkap gajah yang nilainya ratusan juta rupiah dapat dipergunakan untuk kesejahteraan gajah yang telah ada di PLG," katanya.

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0603/12/nas4.htm

Page 60: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 60 of 166 WWF-Indonesia

Media Indonesia Online, Minggu, 12 Maret 2006 10:30 Nusantara, Sumatera BKSDA dan Dishut tak Sepaham Soal Penanganan Gajah di Riau

PEKANBARU--MIOL: Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau ternyata tak sepaham dengan Dinas Kehutanan (Dishut) dalam menangani konflik gajah dengan manusia di Riau.

BKSDA menginginkan gajah-gajah itu diusir masuk kembali ke kawasan habitatnya, sementara Dishut meminta dilakukan penangkapan dan selanjutnya dilepas ke kawasan lain.

"Dalam penanganan konflik gajah-manusia ini, kami memang berbeda dengan Dinas Kehutanan (Dishut). Dishut maunya semua gajah itu ditangkap dan direlokasi ke habitat lainnya," ujar kepala BKSDA Riau Wilistra Danny menjawab ANTARA di Pekanbaru, Minggu.

Tindakan seperti ini selain memerlukan dana cukup besar, juga sangat berisiko bagi gajah itu sendiri, karena jika dipindahkan ke kawasan lain, bisa terjadi konflik antara gajah pendatang dengan gajah yang sudah lama tinggal di daerah itu.

"Sebenarnya, kalaupun terpaksa ditangkap, yang ditangkap itu hanyalah gajah-gajah yang sering mengganggu. Artinya yang ditangkap itu hanya gajah yang sering mengganggu saja, gajah-gajah yang tidak mengganggu tidak perlu ditangkap dan dipindahkan, cukup diusir," ujarnya.

Menurut dia, penangkapan adalah upaya terakhir yang harus dilakukan. "Penangkapan itu bagi kami adalah upaya terakhir, jika upaya pengusiran yang dilakukan tidak berhasil," tuturnya.

Terkait konflik yang terjadi di Kelurahan Balai Raja, dia mengatakan di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Balai Raja itu terjadi

okupansi (pendudukan) yang dilakukan masyarakat dan kemudian membuka lahan perkebunan dan sebagainya.

"Sebenarnya di hutan Suaka Margasatwa Balai Raja ini telah terjadi okupansi (pendudukan) yang dilakukan oleh masyarakat, mungkin karena areal habitatnya semakin mengecil sehingga gajah-gajah itu keluar," ujarnya.

Ditanya apakah upaya pengusiran gajah di Balai Raja yang dilakukan pihaknya dengan menggunakan dua gajah jinak dari PLG BKSDA Minas sudah menunjukkan hasil nyata, dia mengakui sampai saat ini belum mendapat laporan dari petugas di lapangan.

"Memang sudah hampir enam hari petugas kita di lapangan melakukan upaya pengusiran, namun saya belum mendapat laporan tentang keberhasilannya," ujarnya.

(Ant/OL-03) http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93276

Page 61: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 61 of 166 WWF-Indonesia

Media Indonesia Online, Minggu, 12 Maret 2006 04:40 WIB WWF Minta Menhut Selidiki Kematian Gajah di Riau PEKANBARU--MIOL: Kematian gajah liar yang ditangkap tim pawang dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau kembali terjadi dan lembaga perlindungan satwa internasional World Wild Fund for Nature (WWF), meminta Menteri Kehutanan (Menhut) menyidik pembantaian tersebut. Permintaan tersebut diungkapkan Koordinator Human Elephant Conflict Officer WWF Riau Nurcholis Fadli di Pekanbaru, Sabtu (11/3) perihal kembali terjadinya dua ekor gajah mati mengenaskan di lokasi PLG di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Minas, Kabupaten Siak.

Hewan langka itu dibuang begitu saja di dalam parit yang merupakan tapal batas kawasan Tahura dan rantai besi masih melekat di kepala gajah tersebut. Gajah berjenis kelamin jantan tanpa gading (pada bagian mulutnya terlihat jelas lobang besar bekas gading yang dicabut), kondisinya mengenaskan, tubuhnya yang besar mulai hancur membusuk, dipenuhi belatung dan langau serta menjadi santapan biawak.

Menurut Nurcholis, kasus kematian gajah liar yang ditangkap dan ditempatkan di PLG telah sering terjadi bahkan pihaknya memperkirakan dalam lima tahun terakhir ini terdapat sekitar 100 ekor gajah yang mati dibantai di PLG.

"Telah berulangkali terjadi kasus gajah tangkapan mati mengenaskan di PLG," katanya.

Kuat dugaannya, bangkai gajah yang masih dirantai besi itu merupakan gajah liar hasil tangkapan tim penangkap gajah PLG, yang sengaja dibunuh dan diambil gadingnya.

Ia mengatakan, kasus pembantaian gajah liar di tempat yang seharusnya melindunginya dari kepunahan itu tidak bisa dibiarkan begitu

saja, sebab kasus serupa akan terulang lagi.

Nurcholis menyarankan, selain Menhut melalui Dirjen PHKA melakukan penyidikan terhadap tim penangkap gajah PLG yang juga merupakan para pawang gajah, hewan liar tersebut jangan lagi ditangkap.

"Saat terjadi konflik manusia-gajah, jangan ada lagi penangkapan gajah. Cukup kawanan gajah itu diusir ke habitatnya," ujar dia.

Sarannya itu dengan pertimbangan, jika hewan berbadan besar itu terus menerus ditangkap dan dipindahkan ke tempat lain, maka akan

menimbulkan konflik di lokasi baru.

"Lagipula, anggaran yang dipergunakan untuk menangkap gajah yang nilainya ratusan juta rupiah dapat dipergunakan untuk kesejahteraan gajah yang telah ada di PLG," katanya. (Ant/OL-06)

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93270

Page 62: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 62 of 166 WWF-Indonesia

Siaran Pers. WWF-Indonesia, 13 Maret 2006 Penggiringan Gajah Liar ke Habitat Asalnya Harus Menjadi Prioritas: Relokasi ke Taman Nasional Tesso Nilo hanya akan timbulkan masalah baru JAKARTA—WWF-Indonesia menyerukan agar Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak melakukan penangkapan dan pemindahan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis ke Taman Nasional Tesso Nilo. WWF meyakini bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo –yang merupakan habitat asalnya - masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait.

WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85% gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam. Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga. Tim patroli gajah Flying Squad WWF mendokumentasikan peristiwa tersebut.

“Kami menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo, karena dalam waktu dekat desa kami lah yang akan diserang,” kata Radaimon, Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo. “Kami sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad, dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil. Kami tidak bisa menerima jika Tesso Nilo dijadikan daerah pembuangan gajah dari daerah lain.”

“Gajah-gajah liar tersebut seharusnya digiring kembali ke habitat asalnya di blok Libo,” kata Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia. Menurutnya, penggiringan ini sangat mungkin dilakukan dengan melibatkan semua pihak-pihak terkait. “Penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA. Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah, kata Nazir” Tim pemantau ini terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media. Setiap tahapan penangkapan dan pemindahan yang dilakukan, WWF menuntut dilakukannya evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir.

Pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar - termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan - telah dilakukan. Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan

Page 63: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 63 of 166 WWF-Indonesia

Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah. Hingga kini hanya sebagian kecil (38.000 hektar) yang telah ditetapkan. WWF menyerukan kepada pemerintah agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar segera direalisasikan.

Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir. Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut. Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad). Sejak pengoperasian tim ini kerugian berhasil diminimalisir hingga 80%. WWF menyerukan agar Protokol Mitigasi Konflik Gajah segera diimplementasikan.

Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen − dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar - sebagian besar akibat aktifitas konversi illegal. Sementara dalam 7 tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50%, dari sekitar 700 ekor pada tahun 1999 menjadi sekitar 350-an ekor saat ini. Kawasan lindung Mahato dan SM Balai Raja Duri adalah contoh hutan berstatus kawasan konservasi yang nyaris habis akibat aktivitas illegal, sayangnya tanpa ada upaya pemerintah setempat untuk menghentikannya. WWF menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam di Riau.

Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja, saat ini hanya 25 km saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan. WWF menyerukan pemerintah untuk segera mengambil tindakan menghentikan aktivitas konversi tersebut dan menyusun rencana operasi penggiringan gajah-gajah liar kembali ke hutan asalnya.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Nazir Foead, Species Program Director, WWF-Indonesia, tel +62-811-977-604, email [email protected]

Page 64: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 64 of 166 WWF-Indonesia

Media Indonesia Online, 13 Maret 2006 15:00 WIB WWF Tolak Relokasi Gajah ke Taman Nasional Tesso Nilo

JAKARTA--MIOL: World Wildlife Fund (WWF) Indonesia meminta Dinas Kehutanan Provinsi Riau agar tidak menangkap dan memindahkan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, ke Taman Nasional Tesso Nilo.

Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (13/3), WWF Indonesia menilai bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo yang merupakan habitat asalnya masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait. Menurut Nazir Foead, Direktur Program Species WWF Indonesia, gajah-gajah liar itu seharusnya digiring kembali ke tempat asalnya.

"WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat," kata Nazir.

Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam.

Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga.

Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo, Radaimon, juga menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo, karena dalam waktu dekat desa mereka yang akan diserang.

Pihaknya sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah "Flying Squad", dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil, kata Radaimon.

Menurut Nazir, penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA.

Ia mengatakan, kalau pun terpaksa dilakukan penangkapan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media.

Pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar - termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan - telah dilakukan.

Page 65: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 65 of 166 WWF-Indonesia

Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah. Hingga kini hanya sebagian kecil (38.000 hektar) yang telah ditetapkan. WWF menyerukan kepada pemerintah agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar segera direalisasikan, katanya.

Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir, kata Nazir.

Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut.

Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad), katanya.

Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar - sebagian besar akibat aktifitas konversi illegal.

Sementara dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50 persen dari sekitar 700 ekor pada tahun 1999 menjadi sekitar 350-an ekor saat ini.

Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja, saat ini hanya 25 km saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan, katanya (Ant/OL-06)

Page 66: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 66 of 166 WWF-Indonesia

Media Indonesia Online. Senin, 13 Maret 2006 15:00 Lingkungan WWF Tolak Relokasi Gajah ke Taman Nasional Tesso Nilo

JAKARTA--MIOL: World Wildlife Fund (WWF) Indonesia meminta Dinas Kehutanan Provinsi Riau agar tidak menangkap dan memindahkan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, ke Taman Nasional Tesso Nilo.

Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (13/3), WWF Indonesia menilai bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo yang merupakan habitat asalnya masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait. Menurut Nazir Foead, Direktur Program Species WWF Indonesia, gajah-gajah liar itu seharusnya digiring kembali ke tempat asalnya.

"WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat," kata Nazir.

Insiden kematian gajah tersebut terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam.

Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga.

Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo, Radaimon, juga menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo, karena dalam waktu dekat desa mereka yang akan diserang.

Pihaknya sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah "Flying Squad", dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil, kata Radaimon.

Menurut Nazir, penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA.

Ia mengatakan, kalau pun terpaksa dilakukan penangkapan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media.

Pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar - termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan - telah dilakukan.

Page 67: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 67 of 166 WWF-Indonesia

Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah. Hingga kini hanya sebagian kecil (38.000 hektar) yang telah ditetapkan. WWF menyerukan kepada pemerintah agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo menjadi 100.000 hektar segera direalisasikan, katanya.

Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir, kata Nazir.

Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut.

Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad), katanya.

Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar - sebagian besar akibat aktifitas konversi illegal.

Sementara dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50 persen dari sekitar 700 ekor pada tahun 1999 menjadi sekitar 350-an ekor saat ini.

Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja, saat ini hanya 25 km saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan, katanya (Ant/OL-06)

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=93389 13 Maret 2006, 17:18 WIB WWF: Relokasi Gajah Liar ke Taman Nasional Tesso Nilo Tidak Selesaikan Masalah Jakarta--RRI-Online, World Wide Fund for Nature (WWF-Indonesia) meminta agar Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak melakukan penangkapan dan pemindahan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis

Page 68: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 68 of 166 WWF-Indonesia

ke Taman Nasional Tesso Nilo. Menurut Species Program Communications Officer WWF Indonesia Desmarita Murni, di Jakarta, Senin (12/3), WWF meyakini bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo yang merupakan habitat asalnya masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait. WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut, kata dia, terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam. `Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata,` katanya. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga, peristiwa tersebut terdokumentasi oleh tim patroli gajah Flying Squad WWF. `Gajah-gajah liar tersebut seharusnya digiring kembali ke habitat asalnya di blok Libo,` kata Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia. Menurutnya, penggiringan itu sangat mungkin dilakukan dengan melibatkan semua pihak-pihak terkait. `Penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA. Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah,` kata Nazir. Tim pemantau itu, kata dia, terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media, di mana pada setiap tahapan penangkapan dan pemindahan dilakukan evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir. Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo Radaimon mengatakan bahwa warga Tesso Nillo menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo karena khawatir kalau kemudian menyerang desa. `Kami sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad, dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil. Kami tidak bisa menerima jika Tesso Nilo dijadikan daerah pembuangan gajah dari daerah lain,` ujarnya Menurut WWF, pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar,

Page 69: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 69 of 166 WWF-Indonesia

termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan, telah dilakukan. Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah tetapi hingga kini hanya sekitar 38.000 hektar yang telah ditetapkan. Sedangkan, Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir. Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut. Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) yang berhasil meminimalkan kerugian hingga 80 persen. Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen -- dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar -- sebagian besar akibat aktifitas konversi ilegal. Sementara dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50 persen, dari sekitar 700 pada tahun 1999 menjadi sekitar 350an saat ini. Kawasan lindung Mahato dan SM Balai Raja Duri adalah contoh hutan berstatus kawasan konservasi yang nyaris habis akibat aktivitas ilegal, sayangnya tanpa ada upaya pemerintah setempat untuk menghentikannya. Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja saat ini hanya 25 kilometer saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan. http://www.rri-online.com/modules.php?name=Artikel&sid=20492

Page 70: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 70 of 166 WWF-Indonesia

Detik.com, 13 Maret 2006, 16:53:58 WIB Sela, Gajah Balita Kurang Gizi Tidak cuma balita manusia saja yang kekurangan gizi di negara ini. Gajah balita di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) juga bernasib serupa. Ada 5 ekor anak gajah badannya kurus karena kekurangan pasokan gizi. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/13/time/165358/idnews/557820/idkanal/10 ANTARA, Mar 14 08:39 WIB WWF: Relokasi Gajah Liar ke Tesso Nilo Tak Selesaikan Masalah Jakarta, (ANTARA News) - World Wide Fund for Nature (WWF-Indonesia) meminta agar Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak melakukan penangkapan dan pemindahan gajah-gajah liar dari Desa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis ke Taman Nasional Tesso Nilo. Menurut Species Program Communications Officer WWF Indonesia Desmarita Murni, di Jakarta, Senin (13/3) WWF meyakini bahwa alternatif penggiringan gajah liar ke lokasi terdekat di blok hutan Libo yang merupakan habitat asalnya masih bisa dilakukan dengan dukungan kerjasama dari berbagai pihak terkait. WWF merasa khawatir terhadap penangkapan dan pemindahan gajah liar ini, karena sejarah menunjukkan bahwa sedikitnya 85 persen gajah liar yang ditangkap dan dipindahkan sejak tahun 2000 berakhir mati mengenaskan. Insiden kematian gajah tersebut, kata dia, terjadi baik dalam proses penangkapan, pembiusan, transportasi ke daerah tujuan, maupun akibat perlakuan buruk di pusat pelatihan gajah atau kondisi lemah gajah ketika dilepaskan kembali ke alam. "Seandainya pun mampu bertahan hidup, gajah-gajah yang dilepaskan, akan kembali masuk ke perkampungan terdekat. Kasus yang terjadi pada Desember 2005 lalu, ketika delapan ekor gajah secara diam-diam ditangkap dari daerah lain dan dilepaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo, adalah sebuah contoh nyata," katanya. Terbukti, hanya empat pekan kemudian, gajah-gajah liar tersebut malah menyerang pemukiman terdekat, Desa Lubuk Kembang Bunga, peristiwa tersebut terdokumentasi oleh tim patroli gajah Flying Squad WWF. "Gajah-gajah liar tersebut seharusnya digiring kembali ke habitat asalnya di blok Libo," kata Nazir Foead, Direktur Program Species WWF-Indonesia. Menurutnya, penggiringan itu sangat mungkin dilakukan dengan melibatkan semua pihak-pihak terkait. "Penangkapan gajah adalah pilihan terakhir, dan hanya dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan mendapatkan persetujuan Dirjen PHKA. Kalau pun terpaksa dilakukan, WWF menuntut adanya tim pemantau independen yang selalu mendampingi tim penangkap gajah," kata Nazir. Tim pemantau itu, kata dia, terdiri dari berbagai elemen, seperti dokter hewan, pakar gajah dari dalam maupun luar negeri, serta media,

Page 71: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 71 of 166 WWF-Indonesia

di mana pada setiap tahapan penangkapan dan pemindahan dilakukan evaluasi sehingga penanganan yang membahayakan keselamatan gajah dapat diminimalisir. Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo Radaimon mengatakan bahwa warga Tesso Nillo menolak jika gajah yang bermasalah di tempat lain dipindahkan ke Taman Nasional Tesso Nilo karena khawatir kalau kemudian menyerang desa. "Kami sudah bekerja keras untuk menghentikan konflik gajah di desa kami dengan bantuan tim patroli gajah Flying Squad, dan usaha tersebut kini sudah membuahkan hasil. Kami tidak bisa menerima jika Tesso Nilo dijadikan daerah pembuangan gajah dari daerah lain," ujarnya Menurut WWF, pemindahan gajah-gajah tangkapan ke Tesso Nilo hanya dapat dilakukan jika usulan perluasan taman nasional menjadi 100.000 hektar, termasuk upaya penyelesaian masalah perambahan, pembalakan liar, dan konversi hutan di lokasi usulan perluasan, telah dilakukan. Sejak tahun 1992, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) telah mengusulkan penetapan Tesso Nilo menjadi Kawasan Konservasi Gajah tetapi hingga kini hanya sekitar 38.000 hektar yang telah ditetapkan. Sedangkan, Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang dikembangkan oleh WWF-Indonesia dengan Ditjen PHKA sejak tahun 2004 antara lain mengatur strategi penanganan insiden-insiden yang mencelakai gajah, dan jika segera diimplementasikan akan membantu dalam penyelesaian kasus-kasus konflik,gajah yang terjadi beberapa pekan terakhir. Protokol ini juga mengatur bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam upaya mengurangi konflik gajah tanpa melukai satwa dilindungi tersebut. Sejak tahun 2004, WWF telah bekerjasama dengan masyarakat di sekitar hutan Tesso Nilo untuk melakukan upaya pengurangan konflik gajah yaitu dengan pengoperasian tim penanganan gangguan gajah secara cepat (flying squad) yang berhasil meminimalkan kerugian hingga 80 persen. Selama 23 tahun terakhir tutupan hutan Riau telah berkurang hingga 57 persen -- dari 6,4 juta hektar menjadi 2,7 juta hektar -- sebagian besar akibat aktifitas konversi ilegal. Sementara dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah berkurang hingga 50 persen, dari sekitar 700 pada tahun 1999 menjadi sekitar 350an saat ini. Kawasan lindung Mahato dan SM Balai Raja Duri adalah contoh hutan berstatus kawasan konservasi yang nyaris habis akibat aktivitas ilegal, sayangnya tanpa ada upaya pemerintah setempat untuk menghentikannya. Gajah-gajah liar yang masuk ke Desa Balai Raja saat ini hanya 25 kilometer saja jauhnya dari habitat asalnya di blok hutan Libo. Saat ini Libo juga mengalami ancaman akibat pembalakan liar dan konversi hutan.(*)

Page 72: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 72 of 166 WWF-Indonesia

KOMPAS, 14 Maret 2006 Berseteru dengan Manusia, 16 Gajah Mati Pekanbaru, Kompas - Temuan dua bangkai gajah yang terbunuh di dekat lokasi Pusat Latihan Gajah Minas, Pekanbaru, Riau, Minggu (12/3), menjadikan jumlah gajah yang dibunuh di Riau menjadi sebanyak 16 ekor selama empat bulan terakhir. Ini merupakan jumlah korban gajah terbanyak dalam beberapa tahun terakhir. Pembunuhan gajah dipicu masalah gangguan gajah terhadap masyarakat. Dua pekan lalu gajah mengamuk di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, menghancurkan perkebunan serta belasan rumah warga. ”Sejak November giat dilakukan penangkapan dan relokasi gajah demi meredam perseteruan antara gajah dan manusia yang terus meningkat,” kata Human- Elephant Conflict Mitigation Coordinator World Wildlife Foundation (WWF) Riau Nurchalis Fadli, Senin (13/3). Dua gajah yang terbunuh di dekat Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas adalah gajah dari Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Pada November 2005, 30 gajah dari Kampar Kiri ditangkap tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Dinas Kehutanan Riau, serta pemerintah kabupaten. Gajah-gajah tersebut dianggap mengganggu permukiman dan perkebunan warga. Menurut Nurchalis, ada kemungkinan pemakaian suntik bius yang tidak steril dan proses yang menyebabkan gajah depresi. Selama penangkapan, satu gajah jantan mati. Pada bulan November-Desember, tiga gajah asal Kampar mati di PLG Minas. Februari lalu, tiga bangkai gajah ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo. Di Tesso Nilo, terpantau delapan gajah pindahan sakit karena tidak mengenal daerah itu sehingga sulit mencari makanan. Dua gajah dilaporkan mati dengan sisa rantai di leher. Pembunuhan massal gajah juga terjadi dua pekan lalu di perbatasan Rokan Hulu-Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) enam ekor ditemukan mati. Pembunuhan bukan solusi tepat untuk masalah perseteruan gajah-manusia. Data WWF Riau menunjukkan, sejak tahun 2002 ada 16 orang meninggal diserang gajah. Mereka ada di bekas lahan sumber makanan gajah yang berubah menjadi perkebunan atau permukiman. Serangan gajah menandakan lingkungan hidup makin tidak seimbang. Kawasan hutan secara tak semena-mena dirambah pembalak liar atau dikonversi. Dana pakan belum turun Di Way Kambas dana pakan tambahan bagi 62 gajah belum turun sehingga dua bulan ini tak ada pakan tambahan. Kepala Pusat Pelatihan Gajah Balai Taman Nasional Way Kambas (BTNWK) Soedarmadji, Senin kemarin, mengatakan, selama ini pakan tambahan pelepah kelapa diberikan setiap malam. Kini pawang gajah harus menggembalakan gajah lebih jauh ke dalam hutan. Soedarmadji mengatakan, gajah-gajah itu membutuhkan rumput lebih banyak agar tidak lapar. Sakimin, pawang gajah yang ditemui, menjelaskan, jarak antara hutan ilalang dan kandang gajah tidak begitu jauh, sekitar 3-4 kilometer. Namun dari pantauan, dengan kondisi rumput yang tipis, gajah-gajah akan selalu merasa lapar. Harga setiap pelepah kini mencapai Rp 150 per pelepah yang dibeli di daerah sekitar Way Kambas. Seekor gajah dengan berat tiga ton membutuhkan sebanyak 50-60 pelepah setiap hari. Gajah dengan berat badan 1,1 ton membutuhkan sekitar 20 pelepah. (NEL/HLN)

Page 73: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 73 of 166 WWF-Indonesia

RIAU Pos, 14 Maret 2006 Gajah Mati Beruntun, Menhut Berang Usut Tuntas, Tim Gegana Dikerahkan Laporan Tim Riau Pos, Jakarta dan Pekanbaru redaksi @riaupos.com Perseteruan gajah dengan manusia di Riau makin serius. Belum terkuak kasus tewasnya enam ekor gajah di perbatasan Rokan Hulu dan Sumatera Utara 23 Februari lalu, kini ditemukan lagi hewan dilindungi tersebut sudah menjadi bangkai di kawasan Hutan Taman Raya (Tahura), Minas, Kabupaten Siak. Kematian beruntun gajah di Riau ini membuat kesal dan berang Menteri Kehutanan MS Kaban. Ia minta diusut tuntas dan khusus untuk kasus di Rohul, Dephut akan bekerja sama dengan Brimob mengerahkan tim Gegana dan anjing pelacak untuk mengungkap pelaku pembunuhan gajah ini. Untuk kasus di Tahura Minas, wartawan koran ini yang memantau langsung ke lokasi tersebut, Senin (13/3) mendapati salah satu bangkai hewan berbelalai tersebut terkapar di ceruk berbentuk parit dengan bebukitan kecil. Bau menyengat langsung menyergap dari jasad hewan yang diperkirakan tingginya 2,5 meter dengan panjang badan sekitar 3 meter. Lokasi bangkai gajah itu berjarak sekitar 50 meter dari badan jalan menuju Pusat Pelatihan Gajah (PLG), Minas, atau tepatnya sekitar seratus meter dari prasasti Gerakan Penghijauan dan Konservasi Alam Nasional (GPKAN), yang diteken Gubernur Riau 28 Desember 2005 lalu. Melihat kondisi bangkai gajah yang sudah berulat dan dikerubungi lalat, kulit serta daging di pergelangan kaki belakang yang mulai hancur serta bau yang sangat menyengat, diperkirakan gajah tersebut sudah mati sejak beberapa hari lalu. Yang menarik lagi, tidak ada lagi gading yang melekat pada gajah tersebut. Seutas rantai berbentuk jalinan kawat, masih melilit di lehernya. Menariknya, ketika Riau Pos, mencoba konfirmasi kepada petugas di PLG Minas. Salah seorang petugas di PLG Minas yang mengaku bernama Taat ketika ditanya perihal tersebut, menjelaskan semua gajah yang berada di bawah pengawasan PLG sehat-sehat saja. ‘’Gajah di sini (PLG, red) tidak ada yang mati, semua sehat-sehat, dan saya juga tidak tahu kalau ada gajah yang mati di kawasan ini,’’ katanya. Ketika ditanya apakah kemungkinan ada gajah liar di kawasan Hutan Tahura yang mati, dia menepis kemungkinan itu. ‘’Setahu saya tidak ada gajah liar di sini, yang ada ya gajah yang kita didik ini. Saya juga tidak bisa berkomentar karena masih ada atasan saya yang lebih berwenang,’’ katanya sambil berlalu. Merasa belum mendapat informasi yang memuaskan Riau Pos, mendatangi sejumlah pelatih gajah lainnya yang sedang beristirahat. Namun, ketika ditanyakan perihal ada gajah yang mati, mereka juga mengaku tidak tahu. ‘’Kami tidak tahu kalau ada gajah yang mati, dan sejak 1,5 tahun saya di sini belum ada gajah yang mati,’’ kata Endi, salah seorang pelatih gajah di PLG Minas. Menurut penuturan Endi, melihat ciri fisik gajah dengan ukuran tinggi sekitar 2,5 meter dan panjang sekitar 3 meter

Page 74: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 74 of 166 WWF-Indonesia

diperkirakan berusia lebih 30 tahun. Informasi adanya gajah mati di lokasi sekitar 1,5 km dari PLG Minas ternyata juga tidak diketahui warga di sekitar. Seperti diungkapkan salah seorang warga bernama Tomat, dirinya sama sekali tidak tahu dan tak mendapat informasi tersebut. Soal jumlah gajah yang mati, memang masih simpang-siur. Sebab, kendati sebelumnya beredar informasi bahwa ada dua ekor gajah yang mati, pantauan Riau Pos di lokasi, hanya menemukan satu bangkai gajah. Namun menurut Humas World Wildlife Fund (WWF) Riau, Syamsidar, dari laporan timnya yang dua kali diturunkan ke sana, memang ditemukan ada dua ekor bangkai gajah. ‘’Jarak antar-keduanya tidak terlalu jauh. Memang, seperti dilaporkan tim kami, yang seekor lagi sudah tertutup dedaunan,’’ jelas Syamsidar. BKSDA Tidak Tahu Di tempat terpisah Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Dr Wilistra Danny saat dikonfirmasi terkait ditemukannya gajah mati di PLG Minas, mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan laporan tentang kematian gajah tersebut. Namun dia berjanji akan meninjau dan melakukan penelitian terhadap gajah mati tersebut. ‘’Kita belum bisa menyimpulkan apa yang menyebabkan kematian gajah tersebut bila belum melihat secara langsung. Karena ada beberapa tahapan penelitian yang dilakukan atas kematian gajah. Seperti kematian enam gajah di Perbatasan Riau dan Sumut, saat ini sampelnya telah dibawa ke Balai Veteriner di Bogor, untuk mengetahui penyebab kematian enam gajah tersebut,’’ kata Wilistra Danny. Tim Gegana Dikerahkan Sementara itu di Jakarta, Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban, sangat menyesalkan kematian beruntun hewan dilindungi tersebut, termasuk enam ekor gajah di perbatasan Rokan Hulu-Tapanuli Selatan tanggal 23 Februari 2006 lalu. Menurut Kaban, kasus itu merupakan kematian gajah terbesar dalam sejarah di Riau, dan hal ini harus menjadi perhatian bersama agar kasus serupa tidak terulang lagi. “Saya sangat sedih dan menyesalkan kejadian tersebut (kematian gajah, red). Ini merupakan kelalaian semua pihak dan ini harus diusut tuntas,” kata Kaban kepada Riau Pos dan beberapa wartawan di sela-sela menghadiri pemberian Seritifikat Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Hotel Niko, Jakarta, Senin (13/3) kemarin. Kaban menjelaskan, khusus kasus di Riau ini, habitat gajah mulai terganggu karena areal hidup mereka sudah terambah oleh manusia, baik untuk pemukiman maupun perkebunan. Alih fungsi seperti inilah, menurut Kaban, yang harus dikurangi agar konflik manusia dengan gajah dan juga binatang lainnya seperti harimau, tidak terus terjadi. “Konflik seperti ini akan terus terjadi kalau manusia tidak sadar bahwa gajah dan binatang lainnya memiliki habitat yang tidak boleh diganggu. Jika dia terganggu karena rumahnya sudah dirusak dan dirambah oleh manusia, maka seperti inilah akibatnya. Mereka akan masuk ke habitat manusia dan marah, dan manusia juga marah dan akhirnya terjadi konflik seperti di Rokan Hulu dan Duri ini,” jelas lelaki yang besar di Rohul

Page 75: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 75 of 166 WWF-Indonesia

ini. Saat ini, Dephut bekerja sama dengan Brimob, telah menurunkan tim gegana dan anjing pelacaknya ke Kecamatan Bangun Purba Rohul untuk melacak kasus terdahulu, yakni mencari siapa yang terlibat di belakang kasus ini. “Laporan yang saya terima, keenam gajah itu mati karena racun sianida, tetapi masih belum tahu siapa pelakunya. Nah, kami menurunkan tim itu untuk melakukan investigasi karena kasus kematian gajah ini membuat Indonesia terpojok di forum internasional karena dianggap tidak melakukan perlindungan terhadap gajah,” jelas Kaban lagi. Masih menurut Kaban, pihaknya mendapat laporan bahwa sejak akhir tahun 2005 hingga Maret 2006 ini, sudah 15 ekor gajah mati di Riau. Enam mati di Rohul dan 9 mati saat relokasi dari Kampar Kiri ke Taman Nasional Tesso Nilo. “Jika ini benar, ini luar biasa dan kita tidak bisa main-main lagi,” jelasnya, yang ketika wawancara dilakukan belum mengetahui kabar ditemukannya bangkai gajah di Tahura Minas. Kaban juga mengungkapkan, karena seringnya konflik manusia dan gajah di Riau, pihaknya membuat wacana untuk menjinakkan gajah agar bisa berguna bagi manusia. “Tapi ini baru wacana,” katanya mengakhiri.(mal/wws/hbk)

http://www.riaupos.com/web/content/view/9735/23/ Detik.Com 14 Maret 2006 07:34:55 WIB Alamaak...Gaji Pawang Gajah Cuma 2 Bungkus Rokok! Rutinitasnya lumayan berat mengawasi dan membina gajah. Salah asuh, gajah bisa mati atau sebaliknya, si pawang jadi korban. Mau tahu berapa gaji pawang gajah di Pusat Pelatihan Gajah (LG) Riau? Gajinya setara dengan 2 bungkus rokok http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/14/time/073455/idnews/558017/idkanal/10

Page 76: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 76 of 166 WWF-Indonesia

Riau Pos Selasa, 14 Maret 2006 Tak Setuju Relokasi

Dalam pada itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau Dr Wilistra Danny, saat dihubungi Riau Pos, Senin (13/3) terkait dengan pemindahan gajah yang berkonflik dengan masyarakat Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir, mengatakan, pada dasarnya BKSDA Riau tidak menyetujui jika gajah-gajah liar yang berkonflik dengan masyarakat harus direlokasi ke tempat lain.

Karena dengan pemindahan tersebut belum tentu akar persoalan bisa diselesaikan. ‘’Ada kesan pemindahan tersebut hanya untuk mengejar proyek,’’ kata Wilistra.

Dijelaskanya, sampai saat ini, belum diketahui jumlah pasti berapa gajah yang mengganggu warga tersebut. Memang berdasarkan hitungan masyarakat gajahnya mencapai 32 ekor, tapi itukan belum pasti. Sementara pihak Dinas Kehutanan telah menargetkan untuk menangkap 15 ekor gajah dengan anggaran Rp300 juta dari APBD Riau.

‘’Langkah yang paling tepat dilakukan adalah dengan mengusir gajah tersebut ke habitatnya. Bisa saja gajah tersebut diusir ke lokasi lain yang berdekatan dengan habitatnya terdahulu. Dan langkah ini lebih efektif, karena belum tentu gajah yang direlokasi tersebut tidak menimbulkan masalah lain di habitat barunya,’’ terang Wilistra.

Ditambahkan, dalam proses pemindahan gajah tersebut banyak resiko terhadap gajah yang dipindahkan, didalam melakukan pembiusan, takaran obat biusnya harus benar-benar sesuai dengan ketentuan. Karena berlebih saja beberapa dosis, maka bisa-bisa gajah itu mati. Selain itu, diperlukan pemisahan antara gajah yang bermasalah dengan gajah yang tidak menimbulkan masalah.

‘’Kalaulah gajah yang bermasalah dipindahkan tidak menjadi persoalan. Akan tetapi bila gajah yang dipindahkan tersebut tidak gajah yang bermasalah, maka dampaknya penyelesaian persoalan ini tidak akan selesai,’’ ungkapnya.

Persoalan gajah ini telah menjadi isu nasional, tambah Wilistra, bahkan permasalahan ini, seolah-olah yang bertanggung jawab adalah BKSDA. Sebenarnya berdasarkan Undang-undang No 5/1990 pasal 4 telah menerangkan bahwa konservasi hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Artinya di sini bukan hanya BKSDA, tetapi tanggung jawab semua pihak.

Untuk diketahui Dinas Kehutanan Riau telah membentuk tim untuk merelokasi gajah di Kawasan Suaka Margasatwa (KSM) Kelurahan Balairaja ke Tesso Nilo. Relokasi akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan anggaran yang tersedia. Untuk tahap pertama, sesuai dengan intruksi Kadishut Riau, Drs Burhanuddin Husin, akan dilakukan relokasi gajah sebanyak 10 ekor dengan menggunakan anggaran APBD Riau 2006.

Setelah dilakukan relokasi, tim akan memantau sejauh mana perkembangan dari gajah-gajah tersebut. Hal ini dilakukan, karena inilah alternatif terbaik yang bisa diambil.

Karena bila gajah tersebut diusir ke habitat aslinya, kata Burhanuddin, untuk saat ini habitat aslinya sudah tidak ada lagi, karena telah

Page 77: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 77 of 166 WWF-Indonesia

ditempati masyarakat. KSM yang dulu seluas 18.000 hektare sesuai dengan Kepmen Tahun 1986 untuk saat ini, secara de jure memang ada, tetapi secara de facto sudah tidak ada lagi.(mal/wws/hbk)

Page 78: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 78 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 14 Maret 2006. 08.42 WIB KSDA Riau Bantah Bantai Gajah Liar Pekanbaru, (ANTARA News) - Kepala Seksi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah II Provinsi Riau, Ali Nafsir Siregar membantah dua ekor gajah yang mati di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim di Minas, karena dibantai pihaknya. "Meski lokasi bangkai gajah itu ditemukan berdekatan dengan kamp PLG (Pusat Latihan Gajah-red) Minas, bukan berarti pihak kami yang melakukannya," bantah Ali Nafsir ketika dihubungi ANTARA di Pekanbaru, Senin (13/3). Satu dari dua ekor bangkai gajah yang mati mengenaskan itu ditemukan dalam parit tapal batas Tahura, hanya ditutupi ranting-ranting pohon tidak jauh dari PLG. Sedangkan, gadingnya telah dicabut dan kondisi bangkai hewan berbadan besar dengan rantai yang masih melekat dilehernya itu membusuk dipenuhi belatung. Ia mengatakan, Tahura merupakan habitat gajah dan di sana masih terdapat 17 ekor gajah liar yang kerap mengganggu masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut. Menurut dia, beberapa pekan lalu pihaknya memang diminta masyarakat yang bermukim di kilometer 41 Minas untuk menangani gangguan gajah, namun pihaknya hanya mampu mengusir. "Pengusiran tidak dapat kami lanjutkan sehingga masyarakat marah. Bukan tidak mungkin kasus gajah mati di dekat PLG di kawasan Tahura ini bagian dari dendam terhadap PLG," kata Ali Nafsir seraya menambahkan untuk melakukan pengusiran pihaknya bekerjasama dengan gajah jinak dan pawang gajah PLG. Pihaknya, menghentikan pengusiran kawanan gajah itu karena ketiadaan dana. Sedangkan, masyarakat menuntut agar rombongan hewan langka itu tidak ada di perkampungan mereka. Ia beralasan, jika orang PLG yang melakukan pembantaian terhadap gajah tersebut, sangat tidak masuk akal karena tidak mungkin dibuang begitu saja di pinggir jalan hanya berjarak beberapa ratus meter dari PLG. Ketika disinggung bahwa di leher gajah terdapat rantai besi, Ali Nafsir terkejut dan ia berdalih pihaknya tidak ada membawa gajah tangkapan ke PLG bahkan di PLG Minas jumlah gajahnya masih utuh yakni sebanyak 35 ekor. "Tidak ada gajah PLG yang mati," katanya seraya kembali menegaskan bahwa bangkai gajah tersebut kemungkinan besar dibuang oleh orang yang tidak bertanggungjawab di sekitar PLG agar PLG menjadi tertuduh. Lagipula, lanjut dia, bukan tidak mungkin kematian gajah di Tahura itu modusnya sama dengan kematian enam ekor gajah di perbatasan Riau-Sumatera Utara pada 22 Februari lalu. "Gajah dibunuh dengan cara diracun dan gadingnya diambil," ungkap Ali Nafsir seraya menjelaskan pada bangkai gajah di dekat lokasi PLG sama sekali tidak memiliki gading dan tidak ada potongan gading yang

Page 79: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 79 of 166 WWF-Indonesia

tertinggal di dalam mulutnya. Baru tangkap gajah Ketika ditanya, pada pekan lalu tim penangkap gajah PLG menangkap dua ekor gajah liar di Pasir Pengaraiyan Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Ali Nafsir mengakuinya namun gajah tersebut telah dibawa ke Taman Nasional Tesso Nilo. "Setahu saya, gajahnya dibawa ke Tesso Nilo. Yang, jelas tidak ada gajah tangkapan yang dibantai dan tidak mungkin dibuang begitu saja di lokasi PLG. Logika saja tidak mungkin kita yang melakukannya," bantah Ali Nafsir yang berkeyakinan ada pihak lain yang melakukannya. Sementara itu, Kepala PLG Riau drh Rini Deswita juga membantah bangkai gajah yang ditemukan mati mengenaskan tanpa gading di parit perbatasan Tahura berasal dari PLG atau gajah liar yang ditangkap pihak PLG. "Gajah yang mati itu badannya sangat besar sekitar 3,5 ton. Sedangkan gajah PLG tidak ada sebesar itu," ujar Rini. Menurut dia, gajah terbesar di PLG yakni Seng Arun seberat 3,4 ton dan pihaknya tidak tahu dari mana asal gajah yang mati di dekat kamp PLG itu. Rini tetap membantah keterlibatan PLG dalam kematian gajah tersebut meski di leher gajah yang mati mengenaskan itu terdapat rantai besi yang cukup besar. "Dari mana datangnya gajah ini juga menjadi PR (pekerjaan rumah-red) bagi kami," ujar Rini. Ia menambahkan pihaknya selaku kepala PLG juga belum mendapat laporan resmi dari tim penangkapan gajah dari Pasir Pengaraiyan yang telah usai bertugas sepekan lalu, karena mereka kini bertugas melakukan kegiatan serupa di Kelurahan Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis. Koordinator program konservasi gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF) Nurchalis Fadhli mengatakan, bangkai gajah yang ditemukan di lokasi perbatasan Tahura itu mati karena overdosis obat bius. Ia mengatakan, tidak mungkin hewan langka dunia itu mati begitu saja didalam parit dengan kedalaman dua meter, sebab ketika ditemukan bangkainya ditutupi ranting pohon, leher berantai besi, tanpa gading dan tanpa luka. "Indikasi gajah tersebut sengaja dibantai dengan pengunaan obat bius berlebihan, karena disekitar lokasi terdapat banyak jejak kaki gajah yang diduga berasal dari gajah jinak yang dipergunakan untuk menyeret gajah tersebut ke dalam parit," jelas Nurchalis. Ia mengakui, kasus kematian gajah tangkapan di PLG terus meningkat dan itu sebabnya pihaknya meminta Dirjen PHKA Departemen Kehutanan untuk mengusut kasus kematian gajah yang terjadi di PLG. "Gajah yang ditangkap, bukannya selamat, malah dibantai. Itu sebabnya

Page 80: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 80 of 166 WWF-Indonesia

perlu dilakukan penyidikan terhadap tim penangkap gajah KSDA," ungkap Nurcholis.(*)

Page 81: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 81 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 15 Maret 09.10 WIB Wagub Riau: Hutan Habitat Gajah Harus Tetap Dipertahankan Pekanbaru, (ANTARA News) - Pembunuhan terhadap gajah liar di Riau mendapat perhatian dari Wakil Gubernur Riau H. Wan Abu Bakar yang menyayangkan tindakan tersebut terjadi karena hilannya habitat gajah. "Hutan alami sebagai habitat gajah harus dipertahankan, KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) sebagai lembaga yang bertanggugjawab untuk menjaganya," ujar Wan Abubakar di Pekanbaru, Selasa (14/3). Ia meminta KSDA Riau untuk dapat menjaga habitat gajah karena lembaga tersebut bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup gajah serta flora dan fauna langka lainnya. Wan mengatakan, berbagai kasus kematian gajah yang terjadi di Riau harus mendapat perhatian serius dan perlu dikaji apa penyebabnya. "Apa faktor peneybab hewan langka itu mati, apakah faktor kesengajaan sehingga ia dibunuh atau karena kelalaian?" tanya Wan ketika diminta komentarnya perihal berbagai kasus kematian gajah di Riau. Ia mengakui, sesuai kebijakan pemerintah gajah merupakan binatang yang harus dilindungi dan dijaga habitatnya agar tidak punah. "Itu sebabnya saya minta KSDA Riau untuk menjaga kawasan hutan lindung yang menjadi habitat gajah," katanya. Ia mengatakan, konflik gajah-manusia di Riau terjadi karena kerusakan hutan tempat tinggal hewan langka itu. Habitat gajah telah berubah menjadi areal perkebunan dan pemukiman. "Disini kita harus mencari jalan keluar untuk mengantisipasinya hutan lindung yang ada harus dipertahankan," ujar Wan. Sayangnya, 18 kawasan konservasi yang ada di Riau yang merupakan habitat gajah terancam punah dan punah sama sekali akibat perambahan masyarakat pendatang. Habitat gajah yang punah sama sekali bahkan tidak lagi terpantau melalui satelit adalah hutan lindung Mahato di Kabupaten Rokan Hulu dan Suaka Margasatwa Balai Raja di Kabupaten Bengkalis. Pada 22 Februari lalu sebanyak enam ekor gajah mati karena racun di perbatasan hutan lindung Mahato-Sumatera Utara. Dan, di SM Balai Raja puluhan gajah mengamuk yanghingga kini masih berlangsung. Sedangkan, Pusat Latihan Gajah (PLG) di Sebanga, Duri, Kabupaten Bengkalis habis dijarah dan dirambah masyarakat sehingga lokasi PLG dipindahkan ke Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim Minas di Kabupaten Siak. Tidak ada komitmen dari KSDA untuk menuntut masyarakat yang merambah kawasan lindung apalagi kawasan yang jelas telah diperuntukkan sebagai lokasi latihan gajah.(*)

Page 82: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 82 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 15 Maret 2006. 10.13 WIB WCU Lampung Risaukan Perburuan Gajah Liar Bandar Lampung, (ANTARA News) - Wildlife Crime Unit (WCU) Lampung juga merisaukan kejadian terbunuhnya sejumlah gajah liar yang diduga diracun seperti terjadi di Riau, karena dapat saja mengancam gajah liar dan satwa dilindungi lain di kawasan hutan di Lampung. "Benar, walaupun belum ada informasi adanya gajah liar di Lampung mengalami nasib serupa seperti di Riau baru-baru ini, tapi jangan sampai kejadian itu dialami di sini," kata Koordinator WCU Lampung, Dwi Nugroho, di Bandar Lampung, Rabu (15/3). Karena itu, WCU Lampung terus mendukung upaya pengelola taman nasional dan kawasan lindung yang ada di Lampung agar dapat mengoptimalkan perlindungan dan pengamanan terhadap satwa liar yang hidup di dalam kawasan hutan di Lampung itu. WCU Lampung risau, mengingat di Lampung pernah pula ditemukan sejumlah satwa liar dilindungi, termasuk gajah liar kedapatan mati dan telah menjadi bangkai tanpa diketahui pasti penyebabnya. "Bisa saja satwa liar di dalam hutan itu mati karena sakit atau usia tua, tapi bisa pula akibat ulah kelompok pemburu liar," kata Dwi lagi. WCU Lampung juga mengingatkan perlunya kerjasama semua pihak di Lampung untuk menekan terjadinya konflik antara satwa liar dilindungi dengan masyarakat sekitar hutan. Selama ini, konflik antara satwa liar dengan penduduk di sekitar hutan telah menimbulkan akibat warga masyarakat yang menjadi korban maupun satwa liar itu sendiri yang ditangkap maupun dibunuh warga. Beberapa kali gajah liar yang keluar hutan di luar kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung Timur maupun TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Lampung Barat dan Tanggamus mencelakai warga sekitar hutan. Tapi berkali-kali pula satwa liar seperti gajah dan harimau yang keluar hutan masuk ladang maupun perkampungan penduduk, selain merusak kebun dan mengancam permukiman dan jiwa warga, juga menjadi sasaran kemarahan dan perburuan oleh masyarakat sekitarnya. "Kami mengharapkan semoga kejadian terbunuhnya beberapa ekor gajah liar yang diduga terkena racun untuk diambil gadingnya oleh orang-orang tidak bertanggungjawab tidak sampai terjadi di Lampung," kata Koordinator WCU, Dwi Nugroho pula.(*)

Page 83: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 83 of 166 WWF-Indonesia

RIAU Terkini.com Rabu, 15 Maret 2006 16:14 Melongok Suaka Margasatwa Balai Raja Luas Tutupan Masih Tersisa 200 Ha Sesuai dengan Kepmenhut no 173/Kpts-II/1986, kawasan Balai Raja dijadikan sebagai areal Suaka margasatwa. Ironisnya, kini kawasan tersebut sudah menjadi kawasan pemukiman dan perkebunan. Riauterkini-PEKANBARU-Suaka Margasatwa Balai Raja yang menjadi habitat gajah kini tinggal nama. Pasalnya, dari 18 ribu Ha alokasi areal yang dijadikan suaka margasatwa sesuai dengan Kepmenhut no.173/Kpts-II/1986, jumlah tutupan hutan tinggal 200 Ha saja. Kawasan tutupan hutan yang masih tersisa terletak di dekat lokasi perumahan Cevron Pacific Indonesia. Itu sebabnya beberapa waktu lalu perumahan CPI tersebut di'kunjungi' kawanan gajah. Lokasi SM Balai Raja yang hanya 25 Km dari blok Libo tersebut sebelumnya merupakan habitat dari Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Namun karena terjadi okupasi yang tinggi di areal suaka margasatwa, gajah-gajah tersebut masuk ke area pemukiman masyarakat dan berakhir dengan terjadinya konflik dengan penduduk. Hal itu menurut humas WWF Riau, Samsidar (16/3) sulit untuk mencegah terjadinya okupasi yang sangat berlebihan di areal suaka margasatwa Balai Raja sehingga berakibat pergeseran fungsi suaka margasatwa. Dari kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya menjadi menjadi areal pemukiman dan perkebunan. "Solusinya sangat sulit. Kalau dilakukan relokasi terhadap masyarakat dari areal suaka margasatwa dan menunggu kembalinya suaka margasatwa tersebut sulit untuk dipertanggung jawabkan setelah terjadi perubahan fungsi suaka. Kalau di pindahkan lokasi SM, tentu akan berdampak sama jika lokasi pemindahan kembali terjadi okupasi," terangnya. Sementara Koordinator Jikalahari, Zulfahmi menegaskan bahwa pemerintah daerah harus digugat atas perubahan fungsi suaka margasatwa Balai Raja. Karena sudah menyalahi kepmenhut no.173/1986. "Bahwa seharusnya dengan alasan apapun, lokasi suaka margasatwa tidak boleh dilakukan perubahan. Baik dari perijinannya maupun dari bentuknya. Karena ketentuan pemberian status Suaka Margasatwa didasari atas potensi dari areal tertentu sebuah wilayah," terangnya. Dikatakan Zul, memang perlu dilakukan gugatan secara hukum kepada pemerintah daerah yang sudah jelas mengalihkan fungsi suaka margasatwa menjadi daerah perkebunan dan pemukiman penduduk. Karena penerbitan SKT maupun sertifikat tahan di areal suaka margasatwa.***(H-we) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=8869

Page 84: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 84 of 166 WWF-Indonesia

RIAU Pos, 16 Maret 2006 Tim Forensik Mulai Usut Bangkai Gajah PEKANBARU (RP)-Langkah serius untuk mengungkap penyebab tewas beruntunnya gajah di Riau serta mencari tahu siapa pelakunya, terus digiatkan. Kini, tim dari Brimobda yang bergabung dengan dokter hewan khusus forensik terus bekerja, setelah melakukan autopsi terhadap jasad hewan tersebut. ‘’Mereka berada di lapangan. Perlu waktu untuk pengungkap penyebab matinya gajah itu. Demikian juga untuk mengetahui siapa yang membunuh gajah hingga mati dan dengan apa, bila diketahui jika gajah mati karena dibunuh,’’ kata Kapolda Riau Brigjen Ito Sumardi Rabu (15/3) kepada wartawan di Mapolda Riau. Pihaknya masih belum dapat mengungkapkan hal terbaru dari tim yang diturunkan tersebut, karena masih dalam proses penyelidikan. Yang pasti, kata Kapolda, masalah serius ini ditindak lanjuti dengan serius juga. Itu pula sebabnya, yang diturunkan adalah personel Brimobda mengingat garda elit Polri ini merupakan pasukan terlatih yang diharap dapat mengungkap penyebab tewasnya gajah, baik yang di Rokan Hulu maupun di Minas. Tim ini diperkuat dokter hewan ahli forensik. Kapolda menegaskan, tidak akan berhenti mengusut penyebab tewasnya gajah itu hingga terungkap. ‘’Kita tidak mau bekerja setengah-setengah,’’tegasnya. Lebih jauh Ito menyebutkan bahwa personel yang diturunkannya akan dibantu personel Samapta dari Polres dan Polsek terdekat, sehingga kasus tersebut cepat dapat terungkap dan misteri matinya gajah terjawab, tak lagi menjadi teka-teki yang meresahkan warga. DPRD Mendukung Langkah yang diambil aparat kepolisian ini, mendapat dukungan dari Komisi A DPRD Riau, yang tidak hanya meminta pengusutan segera, tetapi juga mendesak polisi menemukan pelaku pembunuh sejumlah gajah ini. Apalagi, kata Ketua Komisi Mastar SH, gajah jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang. ‘’Karena sudah diatur dalam undang-undang, jelas ada sanksi hukum yang dikenakan kepada pelanggarnya. Karenanya sudah tugas aparat kepolisianlah untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan gajah ini bila memang dibunuh,’’ kata Mastar kepada Riau Pos kemarin. Pihaknya meminta polisi lebih proaktif dalam melakukan penyelidikan, tidak membiarkannya berlarut-larut sebab bisa menghilangkan barang bukti. Indikasi bahwa sejumlah gajah yang ditemukan mati karena dibunuh, menurut Mastar bisa saja terjadi. Sebab pada bangkai gajah yang sudah membusuk tersebut tak ditemukan lagi gading. Diketahui, gading gajah ini merupakan salah satu komoditas yang kerap diburu oleh para tangan jahil dan orang-orang yang ingin mencari keuntungan dengan cara kotor. ‘’Dengan matinya enam ekor gajah, polisi harus pro aktif melakukan penyelidikan. Penyebabnya bisa diracun, dibunuh, ditembak, ditangkap dan lainnya. Karena gajah adalah hewan yang sudah dilindungi UU maka

Page 85: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 85 of 166 WWF-Indonesia

adalah tugas polisi untuk mengungkapnya,’’ kata dia. Mastar khawatir, bila tak ada tindakan hukum terhadap pelaku, maka masyarakat akan kian sewenang-wenang lagi, akibatnya satwa langka akan cepat punah. ‘’Dengan tak ditemukannya lagi gading pada bangkai gajah, sudah ada indikasi pembunuhan ini sengaja karena unsur bisnis,’’ kata dia. Mastar mengatakan, kejadian serupa sudah pernah terjadi di Riau sebelumnya. Namun karena tidak dilakukan penyelidikan maka kasusnya hilang begitu saja. Akibatnya masyarakat jadi kian semena-mena. Kemungkinan kata Mastar, masyarakat berbuat begitu karena awam dan tak tahu ada UU yang melindungi hewan liar ini. Selain itu juga karena tak ada penindakan terhadap pelaku.(mng/kaf)

http://www.riaupos.com/web/content/view/9807/23/

Page 86: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 86 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, 16 Maret 2006. 14.22 WIB WWF Khawatir Gajah Tangkapan di Riau Mati Lagi Pekanbaru, (ANTARA News) - Lembaga perlindungan satwa internasional World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia khawatir lima ekor gajah yang telah ditangkap tim pawang gajah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau di Kelurahan Balai Raja Kabupaten Bengkalis, mati lagi seperti kasus-kasus gajah tangkapan sebelumnya. "Kami khawatir, gajah hasil tangkapan itu mati lagi, sebab telah berulang kali gajah tangkapan yang akan di relokasi ke tempat lain mati mengenaskan. Itu sebabnya kami menolak ada penangkapan gajah liar," ujar Koordinator Human Elephant Conflict Officer WWF Riau Nurchalis Fadhli di Pekanbaru, Kamis. Dinas Kehutanan Riau telah menganggarkan dana Rp300 juta untuk menangkap sepuluh ekor gajah di Balai Raja. Penangkapan dilakukan karena sekitar 39 ekor gajah yang sebetulnya bermukim di Suaka Margasatwa Balai Raja, sejak hampir sebulan terakhir menimbulkan konflik dengan masyarakat tempatan. Nurchalis mengakui, pihaknya menolak usulan Dinas Kehutanan Riau agar gajah yang mengganggu warga di Balai Raja itu direlokasi karena kuatir hewan langka itu mati pascapenangkapan sebab tidak ada perlakuan khusus seperti yang terjadi selama ini. "Selalu terjadi malapraktek baik saat penangkapan dan pasca penangkapan, terutama pengunaan obat bius yang berlebihan dan perlakuan buruk yang diterima gajah," katanya. Ia menyesalkan, sikap Dinas Kehutanan Riau yang mengambil keputusan melakukan penangkapan gajah padahal lokasi penempatan gajah belum ditentukan. "Belum dapat solusi apa-apa telah melakukan penangkapan dan relokasi, padahal tempat baru bagi gajah tersebut tidak ada," ujarnya. Ia menyayangkan tindakan buru-buru dengan anggaran daerah yang cukup besar itu, sebab akan menyebabkan hewan berbelalai itu mengalami stres dan mati. Sementara itu, Ketua Posko Amuk Gajah Duri Berton Panjaitan ketika dihubungi mengatakan, pihaknya juga kuatir hewan langka dunia itu mengalami stress dan mati karena hingga saat ini masih terikat dilokasi penangkapan. "Sudah hampir sepekan ke lima ekor gajah itu terikat di lokasi dan tidak dipindahkan. Kami kuatir ia mati disini," ujar Berton warga balai Raja yang juga korban amuk gajah. Ia mengakui, sejak tim penangkapan gajah turun ke Balai Raja, masyarakat di daerah itu telah dapat hidup normal dan setiap malam tidak lagi diganggu kawanan gajah. Bahkan, posko pengungsian di Kantor Kelurahan Balai Raja telah ditinggalkan pengungsi.

Page 87: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 87 of 166 WWF-Indonesia

Menurut Berton, setelah ditangkap tim kesulitan untuk memindahkannya karena tidak adanya lokasi baru bagi penempatan gajah liar itu, bahkan ada tarik ulur antara KSDA dan Dinas Kehutanan Riau. "Tidak ada solusi yang baik dari Dishut (Dinas Kehutanan) buat solusi tanpa pertimbangan. kami masyarakat jadi binggung gajah telah ditangkap tapi tidak segera dipindahkan," katanya. Bahkan, lanjut dia, pemerintah Kabupaten Bengkalis pun tidak memberikan keputusan untuk menyelamatkan hewan yang dilindungi Undang Undang itu. "Sampai kini ke lima ekor gajah itu masih terikat. Kami inginkan penyelesaian yang baik, gajah selamat, masyarakat juga selamat," ungkap Berton. Ia menambahkan kawasan hutan Balai Raja yang merupakan kawasan suaka margasatwa kondisinya kini telah rusak parah, dari 18.000 hektare areal peruntukan konservasi yang tersisa hanya sekitar 200 hektare.(*)

Page 88: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 88 of 166 WWF-Indonesia

RIAU Terkini.Com Kamis, 16 Maret 2006 12:51 Gajah Mati Pasca Relokasi, Siapa Bertanggung Jawab Kematian 7 gajah hasil relokasi dari Kuntu Kampar Kiri Kabupaten Kampar menyisakan pertanyaan besar. Siapa Yang bertanggung jawab ? Riauterkini-PEKANBARU-Dalam bab VII pasal 26 Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis satwa dan tumbuhan menegaskan bahwa Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara. Namun seperti dirilis Riauterkini sebelumnya, justru Dishut Kampar melakukan penangkapan dan relokasi terhadap gajah-gajah tersebut. Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap PP no.7 tersebut. Di dalam pasal 26 ayat 2, jika penggiringan dan penangkapan dalam keadaan hidup tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh. Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi dilakukan oleh petugas yang berwenang. Hal itu menurut aktivis WWF, Nurcholis Fadli (16/3) perlu adanya pengkajian ulang terhadap program relokasi maupaun translokasi. "Kalau memang benar sudah membahayakan, pembunuhan gajah diperbolehkan oleh PP no.7 tahun 1999. Namun kalau bisa di giring atau ditangkap dan dikembalikan ke habitat aslinya, mengapa tidak dilakukan penggiringan saja,"tambahnya. Dikatakan Fadli, penangkapan gajah-gajah kemudian dilakukan relokasi perlu mendapatkan persetujuan dari pusat. Kemudian dalam melakukan penembakan bius, perlu keterlibatan dokter hewan untuk mengkontrol dosis dalam bius yang ditembakkan. "Relokasi dan translokasi merupakan tindakan yang rentan dengan kematian gajah. Karena selain stres dan infeksi luka rantai maupun luka bekas tembakan bius, kematian juga bisa disebabkan pemberian bius pada gajah selama perjalanan ke lokasi pemindahan. Untuk Kuntu ke Tesso Nilo gajah-gajah tersebut harus di inject dengan obat bius sebanyak 3 kali," terangnya. Ketua Komisi A Mastar SH, sependapat dengan hal itu. Menurutnya gajah jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang. Karena sudah diatur dalam undang-undang, jelas ada sanksi hukum yang dikenakan kepada pelanggarnya. Karenanya sudah tugas aparat kepolisianlah untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan gajah ini bila memang dibunuh. Mastar khawatir, bila tak ada tindakan hukum terhadap pelaku, maka masyarakat akan kian sewenang-wenang lagi, akibatnya satwa langka akan cepat punah.***(H-we) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=8881

Page 89: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 89 of 166 WWF-Indonesia

Riaupos, Kamis, 16 Maret 2006

Tim Forensik Mulai Usut Bangkai Gajah

PEKANBARU (RP)-Langkah serius untuk mengungkap penyebab tewas beruntunnya gajah di Riau serta mencari tahu siapa pelakunya, terus digiatkan. Kini, tim dari Brimobda yang bergabung dengan dokter hewan khusus forensik terus bekerja, setelah melakukan autopsi terhadap jasad hewan tersebut.

‘’Mereka berada di lapangan. Perlu waktu untuk pengungkap penyebab matinya gajah itu. Demikian juga untuk mengetahui siapa yang membunuh gajah hingga mati dan dengan apa, bila diketahui jika gajah mati karena dibunuh,’’ kata Kapolda Riau Brigjen Ito Sumardi Rabu (15/3) kepada wartawan di Mapolda Riau.

Pihaknya masih belum dapat mengungkapkan hal terbaru dari tim yang diturunkan tersebut, karena masih dalam proses penyelidikan.

Yang pasti, kata Kapolda, masalah serius ini ditindak lanjuti dengan serius juga. Itu pula sebabnya, yang diturunkan adalah personel Brimobda mengingat garda elit Polri ini merupakan pasukan terlatih yang diharap dapat mengungkap penyebab tewasnya gajah, baik yang di Rokan Hulu maupun di Minas. Tim ini diperkuat dokter hewan ahli forensik.

Kapolda menegaskan, tidak akan berhenti mengusut penyebab tewasnya gajah itu hingga terungkap. ‘’Kita tidak mau bekerja setengah-setengah,’’tegasnya.

Lebih jauh Ito menyebutkan bahwa personel yang diturunkannya akan dibantu personel Samapta dari Polres dan Polsek terdekat, sehingga kasus tersebut cepat dapat terungkap dan misteri matinya gajah terjawab, tak lagi menjadi teka-teki yang meresahkan warga.

DPRD Mendukung Langkah yang diambil aparat kepolisian ini, mendapat dukungan dari Komisi A DPRD Riau, yang tidak hanya meminta pengusutan segera, tetapi juga mendesak polisi menemukan pelaku pembunuh sejumlah gajah ini.

Apalagi, kata Ketua Komisi Mastar SH, gajah jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang. ‘’Karena sudah diatur dalam undang-undang, jelas ada sanksi hukum yang dikenakan kepada pelanggarnya. Karenanya sudah tugas aparat kepolisianlah untuk segera mengungkap pelaku pembunuhan gajah ini bila memang dibunuh,’’ kata Mastar kepada Riau Pos kemarin.

Pihaknya meminta polisi lebih proaktif dalam melakukan penyelidikan, tidak membiarkannya berlarut-larut sebab bisa menghilangkan barang bukti.

Indikasi bahwa sejumlah gajah yang ditemukan mati karena dibunuh, menurut Mastar bisa saja terjadi. Sebab pada bangkai gajah yang sudah membusuk tersebut tak ditemukan lagi gading. Diketahui, gading gajah ini merupakan salah satu komoditas yang kerap diburu oleh para tangan jahil dan orang-orang yang ingin mencari keuntungan dengan cara kotor.

‘’Dengan matinya enam ekor gajah, polisi harus pro aktif melakukan penyelidikan. Penyebabnya bisa diracun, dibunuh, ditembak, ditangkap dan lainnya. Karena gajah adalah hewan yang sudah dilindungi UU maka adalah tugas polisi untuk mengungkapnya,’’ kata dia.

Page 90: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 90 of 166 WWF-Indonesia

Mastar khawatir, bila tak ada tindakan hukum terhadap pelaku, maka masyarakat akan kian sewenang-wenang lagi, akibatnya satwa langka akan cepat punah. ‘’Dengan tak ditemukannya lagi gading pada bangkai gajah, sudah ada indikasi pembunuhan ini sengaja karena unsur bisnis,’’ kata dia.

Mastar mengatakan, kejadian serupa sudah pernah terjadi di Riau sebelumnya. Namun karena tidak dilakukan penyelidikan maka kasusnya hilang begitu saja. Akibatnya masyarakat jadi kian semena-mena.

Kemungkinan kata Mastar, masyarakat berbuat begitu karena awam dan tak tahu ada UU yang melindungi hewan liar ini. Selain itu juga karena tak ada penindakan terhadap pelaku.(mng/kaf)

Page 91: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 91 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, Mar 24 09:06 10 Ekor Gajah Liar Tangkapan KSDA Riau Terancam Mati Pekanbaru, (ANTARA News) - Sebanyak sepuluh ekor gajah liar tangkapan tim penangkap gajah dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau bekerjasama dengan Dinas Kehutanan sebagai penyandang dana, kondisinya kini terancam mati. Ketika kawanan gajah liar tersebut ditinjau, Kamis (23/3) di lokasi penambatan di perkebunan karet masyarakat di Kelurahan Balai Raja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis, kondisinya mengkhawatirkan, kelaparan dan mengalami dehidrasi. Tubuh besar hewan langka itu terlihat terbalut kulit dengan tulang belulang yang menonjol, muka cekung akibat stres, dehidrasi bahkan di beberapa bagian tubuh hewan malang itu terdapat luka baik pada kaki karena ikatan rantai besi maupun bekas luka yang infeksi akibat tembakan obat bius. "Kondisi gajah-gajah ini telah melemah, malah kakinya juga ada yang berdarah," ujar Ketua Posko Amuk Gajah Duri Berton Panjaitan ketika menyaksikan hewan berbelalai itu terikat tak berdaya dengan tubuh yang kurus kering. Menurut dia, meskipun masyarakat di kampungnya meminta kawanan hewan yang mengganggu tanaman itu ditangkap, namun ia tidak mengira kondisi sadis dialami hewan langka itu. "Kami tidak mengira, jika gajah ditangkap jadi begini, telantar dan kurus kering. Kasihan," ujarnya pelan. Masyarakat yang bermukim di Kelurahan Balai Raja pada pertengahan Februari lalu diamuk gajah, tiga rumah warga, puluhan hektare tanaman perkebunan dan palawija rusak, sementara keberadaan gajah ini sempat mengganggu jalan lintas timur Pekanbaru-Dumai. Amukan gajah tersebut menyebabkan masyarakat mengungsi ke kantor kelurahan selama dua pekan dan meminta dinas kehutanan menangani masalah gajah liar tersebut. "Sayangnya, setelah tim turun dan gajah ditangkap kondisinya seperti ini," ulang Berton seakan menyesal telah meminta agar gajah liar ditangkap dari kampungnya. Kesedihannya bertambah pula, saat melihat kumpulan hewan mamalia besar itu terikat tak berdaya dan tiba-tiba seekor induk gajah tumbang, tak sadarkan diri. "Kondisinya sangat lemah, ia mungkin lapar dan haus," ujar Berton memelas ketika menyaksikan seekor induk gajah yang diperkirakan masih menyusui bayinya rebah begitu saja karena kehilangan tenaga. Kelaparan Melihat kondisi memelaskan dari kawanan gajah liar itu, Koordinator Human Elephant Conflict WWF Riau, Nurchalis Fadli menyatakan

Page 92: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 92 of 166 WWF-Indonesia

kekhawatirannya karena gajah tangkapan dengan kondisi kelaparan itu dapat menyebabkannya mati. "Perlakuan seperti inilah yang kami khawatirkan bila gajah ditangkap, sebab ini dapat menyebabkan kematian," ujar Nurchalis. Ia mengatakan, WWF sangat prihatin dengan kondisi gajah tangkapan tersebut dan itu sebabnya pihaknya membawa tim medis untuk memeriksa kesehatan hewan malang itu. Tim medis yang dibawanya tidak hanya dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau tetapi juga dari Jakarta. "Luka bekas tembakan obat bius telah menjadi abses (infeksi yang bernanah), ditambah pula dehidrasi dan kelaparan," katanya. Menurut dia, kawanan hewan langka itu saat ini tidak diperhatikan baik oleh pemerintah dalam hal ini KSDA maupun perusahaan swasta yang ada di daerah tersebut. Bahkan, PT Chevron yang berjanji mau membantu menyediakan makanan kawanan gajah liar tersebut tidak menepati janjinya, sehingga hewan berbelalai itu kelaparan dan hanya memakan batang pisang, makanan yang tidak bergizi. "Penanganan hewan ini sejak awal telah salah urus. Lokasi pemindahan tidak ada tetap saja ditangkap jadinya begini, kekerasan dan kelaparan yang mereka alami," ujar Nurchalis seraya menunjukkan luka berdarah pada salah seekor kaki anak gajah yang dililit rantai besi. Ia mengatakan, jika kondisi gajah tersebut lemah tak berdaya seperti itu, hewan tersebut tidak bisa direlokasi bahkan untuk diberi antibiotikpun pada luka yang infeksi tidak bisa dilakukan karena tingginya tingkat dehidrasi yang dideritanya. Dari sepuluh ekor gajah yang berhasil ditangkap tim, terdapat lima ekor jantan dan lima betina, tiga diantaranya gajah muda dan dua induk. Salah seekor induk sedang menyusui dan bayinya masih berkeliaran di dalam kawasan hutan Balai Raja.(*) Kompas Cyber Media, 24 Maret 2006 Sepuluh Gajah Tangkapan KSDA Riau Terancam Mati

Jakarta, Jumat --Sepuluh ekor gajah liar hasil tangkapan tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau - yang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan sebagai penyandang dana - kondisinya memprihatinkan dan terancam mati. Kawanan gajah liar yang ditambatkan di perkebunan karet masyarakat, Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, berada dalam kondisi mengenaskan. Mereka kelaparan dan mengalami dehidrasi. Tubuh besar hewan-hewan itu terlihat terbalut kulit dengan tulang belulang menonjol. Mukanya cekung akibat stres, dehidrasi, bahkan di beberapa bagian tubuh hewan malang itu terdapat luka, baik karena ikatan rantai besi maupun bekas luka yang infeksi akibat tembakan obat

Page 93: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 93 of 166 WWF-Indonesia

bius. "Gajah-gajah ini berada dalam kondisi lemah, malah kakinya juga ada yang berdarah," ujar Ketua Posko Amuk Gajah Duri Berton Panjaitan ketika menyaksikan hewan berbelalai itu terikat tak berdaya dengan tubuh yang kurus kering. Menurut dia, meskipun masyarakat di kampungnya meminta kawanan hewan yang mengganggu tanaman itu ditangkap, namun ia tidak mengira kondisi menyedihkan harus dialami hewan langka itu. "Kami tidak mengira, jika gajah ditangkap jadi begini, telantar dan kurus kering. Kasihan," ujarnya pelan. Seperti diberitakan sebelumnya, pertengahan Februari lalu, kawanan gajah mengamuk di pemukiman Kelurahan Balai Raja. Tiga rumah warga, serta puluhan hektar tanaman perkebunan dan palawija rusak. Keberadaan gajah-gajah ini juga dianggap mengganggu jalur lintas timur Pekanbaru-Dumai. Amukan gajah tersebut menyebabkan masyarakat mengungsi ke kantor kelurahan selama dua pekan dan meminta dinas kehutanan menangani masalah gajah liar tersebut. "Sayangnya, setelah tim turun dan gajah ditangkap, kondisinya seperti ini," ulang Berton seakan menyesal telah meminta agar gajah liar ditangkap dari kampungnya. Kesedihannya bertambah pula, ketika tiba-tiba seekor induk gajah yang terikat rantai tumbang, tak sadarkan diri. "Kondisinya sangat lemah, ia mungkin lapar dan haus," ujar Berton memelas ketika menyaksikan seekor induk gajah yang diperkirakan masih menyusui bayinya rebah begitu saja karena kehilangan tenaga. Kelaparan Melihat kondisi memelaskan kawanan gajah liar itu, Koordinator Human Elephant Conflict WWF Riau, Nurchalis Fadli, menyatakan kekhawatirannya karena gajah tangkapan dengan kondisi seperti itu bisa mati. "Perlakuan seperti inilah yang kami khawatirkan bila gajah ditangkap, sebab ini dapat menyebabkan kematian," ujar Nurchalis. Ia mengatakan, WWF sangat prihatin dengan kondisi gajah tangkapan tersebut dan oleh karenanya pihaknya membawa tim medis untuk memeriksa kesehatan hewan malang itu. Tim medis yang dibawanya tidak hanya dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau tetapi juga dari Jakarta. "Luka bekas tembakan obat bius telah menjadi abses (infeksi yang bernanah), ditambah pula dehidrasi dan kelaparan," katanya. Menurut dia, kawanan hewan langka itu tidak diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini KSDA, maupun perusahaan swasta yang ada di daerah tersebut. Bahkan, PT Chevron yang berjanji mau membantu menyediakan makanan kawanan gajah liar tersebut tidak menepatinya, sehingga hewan berbelalai itu kelaparan dan hanya memakan batang pisang, makanan yang tidak bergizi.

Page 94: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 94 of 166 WWF-Indonesia

"Penanganan hewan ini sejak awal telah salah urus. Lokasi pemindahan tidak ada, tapi tetap saja ditangkap. Jadinya begini, kekerasan dan kelaparan yang mereka alami," ujar Nurchalis seraya menunjukkan luka berdarah pada salah seekor kaki anak gajah yang dililit rantai besi. Ia mengatakan, jika kondisi gajah lemah tak berdaya seperti itu, mereka tidak bisa direlokasi, bahkan pemberian antibiotik juga tidak bisa dilakukan karena tingginya tingkat dehidrasi yang dideritanya. Dari sepuluh ekor gajah yang berhasil ditangkap tim, terdapat lima ekor jantan dan lima betina, tiga diantaranya gajah muda dan dua induk. Salah seekor induk sedang menyusui dan bayinya masih berkeliaran di dalam kawasan hutan Balai Raja.

ANTARA, Mar 24 09:06 10 Ekor Gajah Liar Tangkapan KSDA Riau Terancam Mati Pekanbaru, (ANTARA News) - Sebanyak sepuluh ekor gajah liar tangkapan tim penangkap gajah dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau bekerjasama dengan Dinas Kehutanan sebagai penyandang dana, kondisinya kini terancam mati. Ketika kawanan gajah liar tersebut ditinjau, Kamis (23/3) di lokasi penambatan di perkebunan karet masyarakat di Kelurahan Balai Raja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis, kondisinya mengkhawatirkan, kelaparan dan mengalami dehidrasi. Tubuh besar hewan langka itu terlihat terbalut kulit dengan tulang belulang yang menonjol, muka cekung akibat stres, dehidrasi bahkan di beberapa bagian tubuh hewan malang itu terdapat luka baik pada kaki karena ikatan rantai besi maupun bekas luka yang infeksi akibat tembakan obat bius. "Kondisi gajah-gajah ini telah melemah, malah kakinya juga ada yang berdarah," ujar Ketua Posko Amuk Gajah Duri Berton Panjaitan ketika menyaksikan hewan berbelalai itu terikat tak berdaya dengan tubuh yang kurus kering. Menurut dia, meskipun masyarakat di kampungnya meminta kawanan hewan yang mengganggu tanaman itu ditangkap, namun ia tidak mengira kondisi sadis dialami hewan langka itu. "Kami tidak mengira, jika gajah ditangkap jadi begini, telantar dan kurus kering. Kasihan," ujarnya pelan. Masyarakat yang bermukim di Kelurahan Balai Raja pada pertengahan Februari lalu diamuk gajah, tiga rumah warga, puluhan hektare tanaman perkebunan dan palawija rusak, sementara keberadaan gajah ini sempat mengganggu jalan lintas timur Pekanbaru-Dumai. Amukan gajah tersebut menyebabkan masyarakat mengungsi ke kantor kelurahan selama dua pekan dan meminta dinas kehutanan menangani masalah gajah liar tersebut.

Page 95: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 95 of 166 WWF-Indonesia

"Sayangnya, setelah tim turun dan gajah ditangkap kondisinya seperti ini," ulang Berton seakan menyesal telah meminta agar gajah liar ditangkap dari kampungnya. Kesedihannya bertambah pula, saat melihat kumpulan hewan mamalia besar itu terikat tak berdaya dan tiba-tiba seekor induk gajah tumbang, tak sadarkan diri. "Kondisinya sangat lemah, ia mungkin lapar dan haus," ujar Berton memelas ketika menyaksikan seekor induk gajah yang diperkirakan masih menyusui bayinya rebah begitu saja karena kehilangan tenaga. Kelaparan Melihat kondisi memelaskan dari kawanan gajah liar itu, Koordinator Human Elephant Conflict WWF Riau, Nurchalis Fadli menyatakan kekhawatirannya karena gajah tangkapan dengan kondisi kelaparan itu dapat menyebabkannya mati. "Perlakuan seperti inilah yang kami khawatirkan bila gajah ditangkap, sebab ini dapat menyebabkan kematian," ujar Nurchalis. Ia mengatakan, WWF sangat prihatin dengan kondisi gajah tangkapan tersebut dan itu sebabnya pihaknya membawa tim medis untuk memeriksa kesehatan hewan malang itu. Tim medis yang dibawanya tidak hanya dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau tetapi juga dari Jakarta. "Luka bekas tembakan obat bius telah menjadi abses (infeksi yang bernanah), ditambah pula dehidrasi dan kelaparan," katanya. Menurut dia, kawanan hewan langka itu saat ini tidak diperhatikan baik oleh pemerintah dalam hal ini KSDA maupun perusahaan swasta yang ada di daerah tersebut. Bahkan, PT Chevron yang berjanji mau membantu menyediakan makanan kawanan gajah liar tersebut tidak menepati janjinya, sehingga hewan berbelalai itu kelaparan dan hanya memakan batang pisang, makanan yang tidak bergizi. "Penanganan hewan ini sejak awal telah salah urus. Lokasi pemindahan tidak ada tetap saja ditangkap jadinya begini, kekerasan dan kelaparan yang mereka alami," ujar Nurchalis seraya menunjukkan luka berdarah pada salah seekor kaki anak gajah yang dililit rantai besi. Ia mengatakan, jika kondisi gajah tersebut lemah tak berdaya seperti itu, hewan tersebut tidak bisa direlokasi bahkan untuk diberi antibiotikpun pada luka yang infeksi tidak bisa dilakukan karena tingginya tingkat dehidrasi yang dideritanya. Dari sepuluh ekor gajah yang berhasil ditangkap tim, terdapat lima ekor jantan dan lima betina, tiga diantaranya gajah muda dan dua induk. Salah seekor induk sedang menyusui dan bayinya masih berkeliaran di dalam kawasan hutan Balai Raja.(*)

Page 96: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 96 of 166 WWF-Indonesia

http://www.antara.co.id/seenws/?id=30535 ANTARA, Mar 26 09:22 WWF: Hentikan Penangkapan Gajah Liar Jakarta, (ANTARA News) - World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia meminta kepada pemerintah dan masyarakat untuk tidak lagi melakukan penangkapan gajah untuk mengatasi konflik antara gajah dan manusia. Menurut Species Communications Officer WWF Indonesia, Desmarita Murni, di Jakarta, Sabtu (25/3) penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, seperti tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat. Seruan tersebut dikeluarkan oleh WWF Indonesia setelah pada 21 Maret 2006 sekitar pukul 15.30 WIB, ditemukan 10 gajah dalam kondisi mengkhawatirkan terikat di pohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak profesional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada makanan atau air. Menurut WWF, 10 gajah itu adalah bagian dari 17 gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, Riau akibat rusaknya habitat hutan, baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar. Oleh karena itu, WWF juga meminta agar pemerintah segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau. Gajah-gajah itu diperkirakan masuk ke perkampungan penduduk karena habitat aslinya yang berupa hutan telah berubah menjadi pemukiman ataupun lahan pertanian. Sebagai pertolongan pertama untuk gajah-gajah itu, WWF telah menyediakan makanan, air, dan vitamin sekaligus memfasilitasi praktisi medis untuk memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut. Meskipun demikian, kata dia, mengingat kondisi kritis 10 gajah itu maka diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai, termasuk antibiotik, makanan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies -- red) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan. WWF juga meminta agar pemerintah terkait memberikan pengobatan dan perawatan serius secepatnya mengingat tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, sebab infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi

Page 97: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 97 of 166 WWF-Indonesia

gajah-gajah itu. Menurut Desma, WWF juga mendesak agar segera dilakukan pemindahan sejauh 100 hingga 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. "Saat ini gajah-gajah tersebut berada di dalam sebuah perkebunan karet, di mana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan," ujarnya. Di hari ke empat semenjak ditemukan, menurut dia, kondisi gajah-gajah tersebut belum lepas dari masa kritis sehingga masih membutuhkan perawatan dan pengobatan yang konsisten.(*) GATRA. Com, 26 Maret 2006 00:10 Konflik Gajah-Manusia WWF Serukan Hentikan Penangkapan Gajah Liar Jakarta--World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia meminta kepada pemerintah dan masyarakat untuk tidak lagi melakukan penangkapan gajah untuk mengatasi konflik antara gajah dan manusia. Menurut Species Communications Officer WWF Indonesia, Desmarita Murni, di Jakarta, Sabtu, penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, seperti tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat. Seruan tersebut dikeluarkan oleh WWF Indonesia setelah pada 21 Maret 2006 sekitar pukul 15.30 WIB, ditemukan 10 gajah dalam kondisi mengkhawatirkan terikat di pohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak profesional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada makanan atau air. Menurut WWF, 10 gajah itu adalah bagian dari 17 gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, Riau akibat rusaknya habitat hutan, baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar. Oleh karena itu, WWF juga meminta agar pemerintah segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau. Gajah-gajah itu diperkirakan masuk ke perkampungan penduduk karena habitat aslinya yang berupa hutan telah berubah menjadi pemukiman

Page 98: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 98 of 166 WWF-Indonesia

ataupun lahan pertanian. Sebagai pertolongan pertama untuk gajah-gajah itu, WWF telah menyediakan makanan, air, dan vitamin sekaligus memfasilitasi praktisi medis untuk memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut. Meskipun demikian, kata dia, mengingat kondisi kritis 10 gajah itu maka diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai, termasuk antibiotik, makanan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies -- red) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan. WWF juga meminta agar pemerintah terkait memberikan pengobatan dan perawatan serius secepatnya mengingat tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, sebab infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi gajah-gajah itu. Menurut Desma, WWF juga mendesak agar segera dilakukan pemindahan sejauh 100 hingga 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. "Saat ini gajah-gajah tersebut berada di dalam sebuah perkebunan karet, di mana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan," ujarnya. Di hari ke empat semenjak ditemukan, menurut dia, kondisi gajah-gajah tersebut belum lepas dari masa kritis sehingga masih membutuhkan perawatan dan pengobatan yang konsisten. [TMA, Ant] http://www.gatra.com/artikel.php?id=93274

Gatra, Edisi No.20 beredar 27 Maret 2006

Gajah Mati Karena Gading Lingkungan Oleh: Endang Sukendar dan Abdul Aziz (Pekanbaru) ASTAN bin Alimatudin menangis sesenggukan. Pria 36 tahun itu mendadak seperti 30 tahun lebih muda: tersedu-sedu. Ia mengiba meminta hakim mengurangi hukuman. Hari itu, Kamis pekan lalu, Astan didudukkan di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Pasir Pangarayan, Rokan Hulu, sekitar 200 kilometer di barat Pekanbaru, Riau. Sebenarnya sidang hari itu cuma mendengarkan dakwaan jaksa, bukan putusan hakim. Tapi Astan tampak terguncang ketika Jaksa Achmad Aris Mugiandono, SH, menuntutnya 20 tahun penjara, ditambah denda Rp 100 juta. "Saya uang dari mana," kata warga Desa Kandang, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu --yang cuma tamat sekolah dasar itu-- kepada Gatra usai sidang. Rupanya, denda uang lebih menakutkannya ketimbang penjara. Jaksa Achmad Aris menilai tuntutannya sudah setimpal dengan kejahatan Astan. Astan didakwa sebagai anggota komplotan pemburu gajah yang sudah membunuh, paling tidak, tiga ekor gajah dan mencuri gadingnya. "Kejahatan yang paling berat, komplotan ini memiliki dan menggunakan senjata api," kata Achmad Aris.

Page 99: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 99 of 166 WWF-Indonesia

Tapi Astan mengaku cuma ikut-ikutan karena dibujuk tetangganya, bernama Idit, untuk bergabung dengan kelompoknya. Astan menuturkan, suatu hari Agustus tahun lalu, ia didatangi Idit dan tiga temannya, Firman Hadi, Dirlan, dan Yurman. Mereka mengajak Astan merantau ke Rokan Hulu, mencari penghidupan. Singkat cerita, mereka pun berangkat dengan bus atas biaya Idit. Di perjalanan, Idit baru berterus terang kepada Astan bahwa mereka sebenarnya hendak berburu gajah untuk mengambil gadingnya. "Harganya mahal, dan kita bisa bagi-bagi uangnya," tutur Astan mengutip kata-kata Idit. Karena merasa sudah kadung berangkat, Astan manut saja. Mereka turun dari bus di kawasan hutan lindung Mahato, perbatasan antara Riau dan Sumatera Utara. Setelah berjalan kaki sejam, mereka berhenti di sebuah bedeng perladangan di kawasan Simpang Jonder. Di sanalah mereka membuka "posko". Di dalam gubuk kayu beratap seng itu, rombongan Idit menyiapkan peralatan, berupa sepucuk senapan laras panjang merek Winchester beserta pelurunya, pisau, kapak, tali-temali, dan bahan makanan. "Saya cuma disuruh menjadi juru masak," kata Astan. Keesokan harinya, perburuan dimulai. Idit, Firman, Dirlan, dan Yurman masuk ke dalam hutan mencari gajah. Seharian mereka mengubek-ubek rimba, tapi tak berhasil menjumpai kawanan gajah. Pagi keesokan harinya, mereka kembali menembus belantara. Kali ini sukses. Mereka pulang ke bedeng membawa sepasang gading, masing-masing sepanjang 80 sentimeter. Dengan bangga mereka bercerita bahwa Dirlan berhasil menembak gajah tepat di kepalanya. Lalu mereka mengusir anggota kawanan gajah lain yang masih hidup, sebelum memotong gading gajah yang tertembak. Perburuan diteruskan pada hari-hari berikutnya. Walhasil, selama empat hari berburu, mereka berhasil mengumpulkan enam batang gading, seberat 40 kilogram. Masalah lain muncul. Gading-gading itu harus dibawa ke pembelinya dengan rapi. Idit lalu pamit hendak mencari mobil yang akan mengangkut gading itu, sekaligus mencari pembelinya. Menurut Idit, gading yang mereka dapatkan bisa dijual seharga Rp 2 juta per kilogram. Tapi gerak-gerik mereka sudah tercium polisi. Sehari setelah Idit pergi, sejumlah anggota polisi dari Kepolisian Sektor Tambusae dan Kepolisian Resor Rokan Hulu mengepung bedeng mereka. Dua polisi, Bripka Kaharmansyah Gea dan Bripka Rusli Harahap, mencoba mengetuk pintu bedeng itu. Namun, menurut polisi, kawanan pemburu itu melakukan perlawanan. Dirlan langsung menyerang Bripka Kaharmansyah dengan sebilah pisau. Yurman, Firman, dan Astan menyerang Bripka Rusli dengan pisau dan kapak. Akibatnya, Bripka Rusli terluka pada ketiaknya, sedangkan Bripka Kaharmansyah berhasil menyelamatkan diri. Akhirnya, polisi menamatkan perlawanan para pemburu gelap itu dengan peluru. Firman, Yurlan, dan Dirlan tewas tertembus pelor. Sedangkan Astan cuma tertembak kakinya dan bisa diselamatkan. Dari kawanan pemburu itu, polisi menyita barang bukti sepucuk senjata api, sebilah

Page 100: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 100 of 166 WWF-Indonesia

kapak, tiga pisau, 22 butir peluru, dan enam batang gading. Hingga kini, polisi masih memburu Idit. Menurut polisi, komplotan Idit bukan satu-satunya kawanan pemburu gajah yang beroperasi di Riau. Buktinya, 22 Febuari lalu, enam ekor gajah lain ditemukan mati, masih di kawasan hutan lindung Mahato, di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Keenamnya terdiri dari tiga ekor betina dan tiga ekor jantan. Awalnya diduga gajah-gajah itu mati akibat diracun penduduk atau pemilik perkebunan. Tapi ternyata, tiga pasang gading milik gajah jantan telah hilang. Diduga pembunuhnya adalah pemburu gading. Kasus kematian gajah di hutan Mahato memang kerap terjadi. Kasus terheboh terjadi pada 2002, ketika 17 ekor gajah ditemukan mati. Seorang pria warga Kabupaten Kampar --tetangga Kabupaten Rokan Hulu-- yang pernah berbisnis gading, menuturkan bahwa perburuan gading di Riau marak sejak 1990-an. "Selain gading, yang paling dicari adalah cula badak dan batu landak," kata pria 42 tahun itu, sebut saja namanya Iskandar. Batu landak, kata Iskandar, adalah endapan pada lambung landak yang sudah membatu dan dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit. Iskandar mengatakan, di Pekanbaru ada dua bandar yang menadah barang-barang hasil buruan itu. "Mereka menampung gading gajah dari wilayah Lipatkain, Rengat, dan Libo," kata Iskandar, menyebutkan kawasan-kawasan perburuan di Riau. Menurut dia, harga gading per kilogram berkisar antara Rp 800.000 dan Rp 8 juta. Gading termahal adalah yang ukurannya paling besar, biasanya mencapai 40 kilogram satu batang. Dari Pekanbaru dijual ke Singapura lewat Batam. Ada juga yang diangkut ke Medan, selanjutnya dibawa ke Jakarta. Tak pelak lagi, jumlah gajah kian menyusut di Riau. Selain diburu untuk diambil gadingnya, hewan besar berbelalai yang dilindungi itu juga kian tersudut oleh area perkebunan dan industri kehutanan. Gajah kerap merusak tanaman perkebunan sehingga dianggap sebagai hama. Menurut data di Worldwide Fund (WWF) Riau, banyak gajah di Riau mati akibat diracun. Tahun 2002 hingga sekarang, jumlah kematian gajah yang diduga akibat diracun mencapai 45 ekor. WWF Riau mencatat, populasi gajah di Riau pada lima tahun silam masih sekitar 700 ekor. Kini jumlahnya ditaksir tinggal 300-400 ekor. "Tingkat penyusutan populasi gajah 50 ekor per tahun," kata Nurchalis Fadli, Koordinator Human-Elephant Conflict Mitigation di WWF Riau. Nurchalis menjelaskan, saat ini ada sekitar 15 kantong populasi gajah di enam kabupaten di Riau, yakni Kampar, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Bengkalis, Indragiri Hulu, dan Pelalawan. Antara lain di Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Nurchalis menyatakan, upaya pemerintah memindahkan gajah dari wilayah konflik dengan penduduk justru malah membunuh hewan raksasa itu. "Banyak gajah stres akibat proses pemindahan yang tidak tepat," kata Nurchalis. Ia menyindir, upaya pemindahan gajah-gajah itu lebih

Page 101: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 101 of 166 WWF-Indonesia

dianggap sebagai proyek saja, karena biayanya tidak sedikit. Bagaimana tanggapan pemerintah? Gatra berusaha menghubungi Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau, Wilistra Danny. Tapi ia enggan memberi penjelasan. "Tugas saya bukan buat wartawan. Masih banyak tugas pokok yang mesti saya kerjakan," kata Wilistra Danny, agak ketus. Ketika didesak, ia hanya mengatakan: "Penanganan soal gajah kami lakukan sesuai dengan prosedur perundang-undangan." Klise, ah! Endang Sukendar, dan Abdul Aziz (Pekanbaru) [Lingkungan, Gatra Edisi 20 Beredar Senin, 27 Maret 2006] Online: http://www.gatra.com/artikel.php?id=93368

Kompas Cyber Media, 27 Maret 2006, 14:01 WIB

WWF: Hentikan Penangkapan Gajah Liar

Jakarta, Senin --World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia meminta kepada pihak-pihak terkait agar tidak lagi melakukan penangkapan gajah untuk mengatasi konflik antara gajah dan manusia. "Penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, tim penangkap professional dan pemantau independen terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat," demikian diungkapkan Species Communications Officer WWF Indonesia, Desmarita Murni, di Jakarta.

Seruan tersebut dikeluarkan oleh WWF Indonesia setelah pada 21 Maret 2006 sekitar pukul 15.30 WIB, ditemukan 10 gajah dalam kondisi mengkhawatirkan terikat di pohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak profesional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada makanan atau air. Menurut WWF, 10 gajah itu adalah bagian dari 17 gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, Riau akibat rusaknya habitat hutan, baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar. Oleh karena itu, WWF juga meminta agar pemerintah segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau. Gajah-gajah itu diperkirakan masuk ke perkampungan penduduk karena habitat asli mereka telah berubah menjadi pemukiman ataupun lahan pertanian. Sebagai pertolongan pertama, WWF telah menyediakan makanan, air, dan

Page 102: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 102 of 166 WWF-Indonesia

vitamin, sekaligus memfasilitasi praktisi medis untuk memeriksa kondisi gajah-gajah tersebut. Namun WWF tetap meminta agar pemerintah memberikan pengobatan dan perawatan serius secepatnya mengingat tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi lagi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, sebab infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi gajah-gajah itu. WWF juga mendesak agar segera dilakukan pemindahan sejauh 100 hingga 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. Saat ini gajah-gajah tersebut berada di dalam sebuah perkebunan karet, di mana satu sama lain dirantai saling berdekatan sehingga menyulitkan perawatan. (Wsn/Ant)

Riau Terkini, Senin, 27 Maret 2006 14:38 Suaka Margasatwa Balai Raja Menjadi Area Pemukiman dan Perkebunan Suaka Margasatwa Balai Raja Kabupaten Bengkalis kini berubah fungsi menjadi area pemukiman dan perkebunan milik masyarakat. Beberapa LSM mempertanyakan hal itu. Riauterkini-PEKANBARU- Suaka Margasatwa Balai Raja (SMBR) di Bengkalis yang kini berubah fungsinya itu dipertanyakan berbagai kalangan LSM Lingkungan. Karena disinyalir perubahan fungsi tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Daerah setempat. Teddy dari Yayasan Kabut Riau mengungkapkan bahwa mengamuknya kawanan gajah di pemukiman penduduk beberapa waktu lalu disebabkan karena habitat gajah di SMBR berubah menjadi pemukiman dan perkebunan. Kondisi tersebut jelas melanggar peraturan pemerintah. "Yang namanya suaka margasatwa difungsikan sebagai area cagar alam dimana didalamnya terdapat potensi satwa dan potensi kehutanannya. Misalnya dalam area suaka wargasatwa terdapat habitat hewan yang dilindungi atau habitat satwa yang hampir punah. Jadi dalam peraturan pemerintah suaka margasatwa atau cagar alam tidak boleh beralih fungsi," terangnya. Menurutnya, kini SMBR sudah tidak lagi berupa area tutupan hutan. Namun sudah berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman penduduk dan kawasan perkebunan. Justru data terakhir menyebutkan bahwa area SMBR Bengkalis dari 100-an ribu Ha area yang ditetapkan pemerintah untuk suaka margasatwa kini hanya tinggal 200 ha saja yang merupakan area tutupan hutan. Ditanyakan keterlibatan pemerintah daerah, Teddy mengakui bahwa pemerintah sangat terlibat dengan perubahan fungsi suaka margasatwa menjadi area perkebunan dan pemukiman. "Indikasi keterlibatan pemerintah daerah dalam perubahan fungsi suaka margasatwa adalah dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Keterangan Tanah (SKT) diarea kawasan suaka margasatwa Balai Raja. SKT-SKT yang terbit berasal dari Kelurahan dan Kecamatan. Indikasi itu jelas

Page 103: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 103 of 166 WWF-Indonesia

menunjukkan bahwa perubahan SMBR ada campur tangan pemerintah daerah," terangnya.***(H-we)

http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9053

Riau Pos, Senin, 27 Maret 2006 Gajah Riau Terancam Punah Pembalakan liar (ilegal logging) sudah merupakan isu yang sudah lama menjadi persoalan yang sangat krusial di Provinsi Riau. Kerusakan hutan Riau yang cukup parah sehingga menempatkan provinsi yang dulu terkenal dengan hutannya di dalamnya dihuni satwa yang sangat dilindungi seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Kambing Hutan merupakan daerah tingkat illegal logging tertinggi di Indonesia sekarang.

Pembalakan yang masih terus berlangsung hingga kini, mengakibatkan ekosistem satwa satwa yang dilindungi ini terus semakin sempit. Pemerintah (Dinas Kehutanan) dan KSDA seakan menutup mata dengan pembalakan yang terus berlangsung. Ini bisa dilihat dari ketidaktahuan Dinas Kehutanan dan KSDA kondisi hutan yang ada di lapangan sudah sangat sempit. Kalau pembalakan ini tidak diantisipasi secara cepat maka dalam waktu yang tidak beberapa lama lagi Provinsi Riau tidak memiliki hutan alami lagi. Diperkirakan kerusakan Hutan Riau 160 ribu hektare per tahunnya, dan diikuti penurunan jumlah populasi satwa langka yang sangat drastis, seperti Gajah dan Harimau Sumatera. Konflik satwa liar dengan masyarakat yang sering terjadi dewasa ini merupakan gambaran, bahwa terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Semakin sempit/terbatasnya ekosistem satwa-satwa liar, sehingga terjadinya konflik terhadap manusia yang mengakibatkan kerugian di kedua belah pihak, baik itu manusia maupun satwa itu sendiri. Peristiwa gajah mengamuk yang merusak lahan dan pemukiman warga yang terjadi di Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir sehingga sekitar 86 kepala keluarga terpaksa mengungsi meninggalkan rumah, guna menghindari korban jiwa. Peristiwa terbunuhnya delapan ekor gajah di perbatasan Provinsi Riau dan Sumatera Utara —ditemukannya bangkai gajah dewasa ini di sekitar kawasan PLG Minas, kematian gajah muda yang diperkirakan akibat kelelahan berjalan di Inhil— semua diakibatkan rusaknya ekosistem yang selama ini tempat perlindungan satwa-satwa liar. Pemerintah diharapkan supaya segera mengambil tindakan darurat untuk mengatasi masalah ini dengan menghentikan pengerusakan hutan yang masih ada dengan melibatkan seluruh komponen. Masyarakat untuk secara bersama-sama mengawasi pengerusakan hutan yang masih terus berlanjut. Sesuai dengan amanat UU No5/1990 mengenai pelestarian lingkungan dan satwa-satwa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah juga harus segera melakukan upaya penyelamatan satwa-satwa yang sampai saat ini masih berkeliaran di sekitar pemukiman masyarakat, sekawanan gajah yang berada di Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir yang selama ini sudah cukup meresahkan masyarakat sekarang seakan tidak menentu nasibnya mau di kemanakan. Padahal seluruh masyarakat sudah benar-benar melakukan penolakan, dan benar-benar frustasi akan keberadaan makhluk tambun ini. Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala KSDA sudah berjanji kawanan gajah-gajah ini akan segera direlokasi. Setelah dilakukan penangkapan terhadap seluruh ekor dari kawanan gajah ini, kembali menjadi permasalahan, karena Dinas Kehutanan tidak tahu akan

Page 104: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 104 of 166 WWF-Indonesia

dipindahkan kemana, sementara kawanan gajah liar yang belum berhasil ditangkap masih saja menteror warga masyarakat akibat pelaksanaan tidak direncanakan dengan baik. Seharusnya pemerintah sudah memiliki perencanaan matang sebelum menjanjikannya kepada masyarakat. Karena di samping masyarakat menginginkan kepastian pemindahan gajah ini segera dilakukan dan Dinas Kehutanan dan KSDA juga harus memikirkan kelangsungan hidup gajah yang diikat ini. Karena setelah dua pekan lebih penangkapan terhadap, kawanan gajah kurang diperlakukan secara hewani padahal kalau ini tidak diperhatikan secara serius maka gajah-gajah ini akan terancam mengalami kematian, ini bisa dilihat dari kondisinya yang semakin lemah, akibat luka di kaki bekas tembakan bius dan dehidrasi akibat kurang memadainya pasokan air yang diberikan. Pemerintah Pusat (Jakarta) melalui Departemen Kehutanan harus segera melakukan tindakan nyata. Dengan melakukan koordinasi dengan instansi-instansi yang berwenang di daerah seperti Dinas Kehutanan, pemerintah kabupaten serta pihak kepolisian daerah dan juga melibatkan masyarakat untuk menyusun langkah secara bersama-sama mengatasi ancaman kelangsungan hidup fauna yang dilindungi ini serta melakukan perencanaan-perencanaan yang matang sebelum melakukan upaya relokasi, dengan mempertimbangkan segala aspek seperti pada saat proses penangkapan, serta mempersiapkan tempat yang benar-benar sesuai dengan habitatnya dan memonitor kehidupan pascarelokasi dengan melibatkan tenaga medis hewan dan instansi-instansi yang berpengalaman menangani masalah gajah. Untuk menghindari efek negatif yang selama ini sering terjadi saat relokasi yang justru berujung kematian terhadap gajah itu sendiri. Menteri Kehutanan MS Kaban harusnya tidak hanya melakukan upaya penyelidikan terhadap kasus kematian beberapa gajah dengan menurunkan tim dari kepolisian di samping itu juga harus mencari akar permasalahan mengapa semua bisa terjadi, dengan merumuskan bersama-sama dengan instansi-instansi berwenang di Provinsi Riau, LSM serta melibatkan masyarakat supaya ada satu persepsi mengatasi permasalahan ini dan mengupayakan solusi cerdas menjaga dan memperbaiki ekosistem serta fauna-fauna dari kerusakan dan kepunahan dengan menempatkan fauna-fauna ini sesuai dengan habitatnya dan menghentikan pembalakan hutan yang masih ada serta berusaha kembali untuk memperbaiki tata ruang kawasan hutan yang selama ini merupakan habitat satwa-satwa liar dan yang dilindungi. Demikianlah tulisan ini saya buat, agar masalah konflik antara satwa dan manusia di Provinsi Riau dapat diselesaikan dengan segera. *** Berton Panjaitan SE, Ketua Tim Penanggulangan Bencana Amukan Gajah Desa Balairaja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.

www.wwf.or.id WWF-Indonesia. Highlight. 27 Maret 2006 Kondisi 10 Gajah Tangkapan Dishut Riau Kritis. Setelah ditangkap diam-diam, 10 Gajah Sumatera dirantai tanpa makan dan minum selama 10 hari di PT. Kojo, Balai Raja, Kec.Bengkalis, Riau Pada tanggal 21 Maret 2006 pkl 15.30 WIB, WWF menemukan 10 ekor gajah yang ditangkap secara diam-diam oleh Dinas Kehutanan Riau dalam kondisi mengkhawatirkan terikat dipohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh ekor gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik

Page 105: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 105 of 166 WWF-Indonesia

akibat penangkapan yang tidak professional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada pakan atau air. Tak ada seorang pun baik dari Dinas Kehutanan Riau atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terlihat di lokasi dimana kesepuluh ekor gajah tersebut ditemukan. Sepuluh ekor gajah ini adalah bagian dari 17 ekor gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, Riau akibat rusaknya habitat hutan, baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar. Foto-foto kondisi 10 ekor gajah tersebut dapat dilihat di: http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=news.detail&id=NWS1143177522&language=e Sebagai pertolongan pertama, WWF telah secara sukarela menyediakan pakan, air, dan vitamin kepada 10 gajah-gajah tersebut sejak tanggal 22 Maret 2006, sekaligus memfasilitasi praktisi medis Drh. Wishnu Wardhana, memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut. Seorang dokter hewan dari pusat latihan gajah terdekat juga telah didatangkan untuk membantu. Meskipun demikian, mengingat kondisi kritis ke-10 ekor gajah diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai, termasuk antibiotic, pakan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan. WWF menyerukan kepada pemerintah terkait agar pengobatan dan perawatan serius terhadap 10 ekor gajah ini segera dilakuan. Melihat kondisinya saat ini, tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, karena infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi gajah-gajah itu. WWF menyerukan agar segera dilakukan pemindahan sejauh 100 – 150 meter dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. Saat ini gajah-gajah tersebut berada didalam sebuah perkebunan karet, dimana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan. WWF menyerukan agar penangkapan gajah tidak lagi dilakukan. Penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat. WWF juga menyerukan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Drh Wisnu Wardhana, Praktisi dan Veterinary Surgeon, hp 0812 6737553, e-mail: [email protected]

Desmarita Murni, Species Communications Officer, WWF Indonesia, hp 0811 793458, [email protected]

Page 106: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 106 of 166 WWF-Indonesia

Nurchalis Fadhli, Leader on Human Elephant Conflict Mitigation (HECM), WWF-Indonesia, Riau, hp 08127569650, [email protected] Riau Terkini, Senin, 27 Maret 2006 19:44 Dishut Diam-Diam Tangkap 10 Gajah Sumatera 10 Gajah Sumatera ditangkap diam-diam lalu dirantai tanpa makan dan minum selama 10 hari di Perkebunan karet Kojo, Balai Raja, Kec.Bengkalis, Riau. Riauterkini-PEKANBARU-Pada tanggal 21 Maret 2006 pkl 15.30 WIB, WWF menemukan 10 ekor gajah yang ditangkap secara diam-diam oleh Dinas Kehutanan Riau. Kini gajah-gajah tersebut dalam kondisi mengkhawatirkan. Terikat dipohon tanpa makanan dan minuman yang memadai, maupun perawatan medis. Kesepuluh ekor gajah tersebut mengalami luka-luka dan pembengkakan pada bagian kaki, perut, kepala dan belalai, baik akibat penangkapan yang tidak professional menggunakan jarum suntik bius yang tidak steril, maupun akibat rantai yang melilit tubuhnya selama berhari-hari. Ketika ditemukan, WWF memperkirakan kesepuluh gajah tersebut telah ditangkap sekitar 10 hari (sejak 11 Maret 2006). Kesemuanya dalam kondisi depresi, dehidrasi dan keletihan hebat, akibat dirantai tanpa mampu duduk atau berbaring, dan tanpa adanya akses pada pakan atau air. Tak ada seorang pun baik dari Dinas Kehutanan Riau atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terlihat di lokasi dimana kesepuluh ekor gajah tersebut ditemukan. Sepuluh ekor gajah tersebut diindikasikan adalah bagian dari 17 ekor gajah yang beberapa minggu lalu masuk ke perkampungan Balai Raja, akibat rusaknya habitat hutan. Baik akibat konversi menjadi perkebunan sawit dan akasia, pemukiman penduduk, maupun akibat pembalakan liar. Sebagai pertolongan pertama, WWF telah secara sukarela menyediakan pakan, air, dan vitamin kepada 10 gajah-gajah tersebut sejak tanggal 22 Maret 2006, sekaligus memfasilitasi praktisi medis Drh. Wishnu Wardhana, memeriksa kondisi medis gajah-gajah tersebut. Seorang dokter hewan dari pusat latihan gajah terdekat juga telah didatangkan untuk membantu. Meskipun demikian, mengingat kondisi kritis ke-10 ekor gajah diperlukan bantuan medis dan perawatan yang lebih memadai. Termasuk antibiotic, pakan, vitamin dan bantuan gajah terlatih (kunkies) yang berperan menenangkan gajah liar ketika pengobatan dilakukan. terkait dengan temuan tersebut, WWF menyerukan kepada pemerintah terkait agar pengobatan dan perawatan serius terhadap 10 ekor gajah ini segera dilakuan. Melihat kondisinya saat ini, tidak ada satu ekor pun yang layak dilepaskan atau direlokasi tanpa melalui perawatan ataupun pengobatan, karena infeksi yang dialami akan membawa kematian bagi gajah-gajah itu. Gajah-gajah tersebut segera dilakukan pemindahan sejauh 100 - 150 meter

Page 107: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 107 of 166 WWF-Indonesia

dari lokasi saat ini ke titik akses jalan terdekat untuk mempermudah perawatan. Saat ini gajah-gajah tersebut berada didalam sebuah perkebunan karet, dimana satu sama lain dirantai saling berdekatan dan menyulitkan perawatan. "Sebaiknya penangkapan gajah tidak lagi dilakukan. Penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah, dan hanya dilakukan setelah Protokol Mitigasi Konflik Gajah (HEC) diimplementasikan secara tegas, tim penangkap professional dan pemantau independent terbentuk, fasilitas medis tersedia, dan rencana strategis mengenai gajah yang telah ditangkap dibuat.Kita juga menyarankan pemerintah untuk segera menghentikan semua aktivitas konversi hutan alam habitat gajah Sumatra di Riau.," ungkap aktivis WWF, Nurchalis Fadli (27/3). ***(H-we) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9067 Riau Pos, Rabu, 29 Maret 2006 10 Ekor Gajah di Balairaja Kelaparan PEKANBARU(RP)- Tewasnya gajah di Minas, dipastikan karena racun arsenik. Meski hasil penelitian laboratorium belum keluar, namun dari tanda-tanda kematian, pihak Polda Riau —yang turun bersama dokter hewan bidang forensik, telah memastikan hal itu. Hanya saja hingga kini, pelakunya belum berhasil ditangkap.

‘’Padahal, hampir semua jejak sudah disisir,’’ ungkap Kapolda Riau Brigjen Drs Ito Sumardi DS SH MM MH kepada wartawan di ruang kerjanya. Melacak keberadaan gading gajah pun sudah dilakukan pihak kepolisian. Namun, kuat dugaan, gading gajah yang nilainya jutaan rupiah itu, masih disembunyikan pelaku karena takut ketahuan. Diyakini, gading-gading gajah itu ditanam dalam tanah dan pelaku masih menjauh dari sekitar lokasi kejadian. Namun begitu, ditegaskan bahwa Polda Riau tetap akan mengusut masalah ini hingga tuntas, sampai pelakunya tertangkap. Bahkan, kepolisian sudah melakukan kerja sama dengan warga yang tinggal di sekitar TKP, sambil tetap melakukan penyelidikan intensif. Keseriusan penanganan kasus matinya gajah ini, juga dilakukan oleh Dishut Riau. Kepada Riau Pos kemarin (28/3), Kadishut Burhanuddin Husein mengakui bahwa yang bertanggung jawab secara langsung terhadap kasus itu adalah pihak kepolisian dan KSDA. ‘’Kita berkoordinasi dengan kepolisian dan KSDA dalam menangani kasus ini. Kita berharap kasus ini benar-benar dapat diungkap. Menhut juga sudah melakukan permintaan serius kepada pihak kepolisian,’’ katanya. Diminta tanggapannya soal penyebab kematian, Burhanuddin juga mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima laporan bahwa gajah-gajah itu mati akibat racun arsenik. ‘’Dugaannya sangat kuat, dengan ciri-ciri mulut berbusa dan konsisi fisik saat ditemukan. Namun begitu, kita tetap masih menunggu hasil penelitian labor atas sampel lambung dan hati yang kita kirim,’’ tambahnya. Dijelaskan juga, bukan saja sampel gajah yang mati di Tahura, namun

Page 108: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 108 of 166 WWF-Indonesia

penelitian yang sama juga dilakukan terhadap dua ekor gajah yang ditemukan mati di sekitar hutan di Kuansing, beberapa waktu lalu. ‘’Berkoordinasi dengan Polda, kita sudah turunkan tim termasuk ke Kuansing dan perbatasan Tapsel-Rohul,’’ ujar Burhanuddin lagi. Hanya saja, saat ditanya soal pelaku, Burhanuddin mengaku pihak yang bertanggung jawab terhadap penyidikan adalah kepolisian dan KSDA. ‘’Kita memang punya polhut, tapi kita lebih kepada illegal logging. Sedangkan, KSDA juga punya Pulhut dan mereka lebih ke kawasan konservasi. Tapi, memang sampai saat ini, pelakunya ini belum jelas ya. Dugaan motifnya, adalah ambil gading atau perbuatan orang yang kebunnya terganggu akibat gajah itu,’’ ujarnya. Bukan Wewenang BKSDA Sementara itu, Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau Dr Willistra Dany saat dihubungi Riau Pos, Selasa (28/3) berkaitan dengan penyelidikan kasus kematian gajah, mengatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan dalam penyelidikan kematian gajah tersebut. Karena kasus itu, telah dilimpahkan ke Dinas Kehutanan Riau dan pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Riau. Dijelaskanya, meskipun penyelidikan kasus kematian gajah tersebut tidak wewenangnya, akan tetapi BKSDA selalu memonitor perkembangan dari penyelidikan ini. Namun sejauh ini, belum ada informasi yang diterima dari pengembangan kasus kematian gajah tersebut. Untuk diketahui, berdasarkan hasil temuan dan penyelidikan pihak kepolisian, sampai saat ini, belum diketahui siapa pelaku dan apa motif kematian gajah-gajah tersebut. Begitu juga dengan keberadaan gading gajah yang mati itu, sampai saat ini belum diketahui. Kekurangan Makanan Sementara itu, 10 ekor gajah yang ditangkap BKSDA di Balairaja, Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis, kondisinya cukup memprihatinkan. Sejak ditangkap pada 11 Maret lalu, gajah-gajah tersebut saat ini dirantai kedua kaki belakangnya ke pohon-pohon besar, hanya sekitar 300 meter dari jalan Pekanbaru-Dumai tepat di belakang perkantoran PT Kojo. Gajah-gajah tersebut terlihat stres dan cenderung agresif dan pemarah. Persoalan utama sekarang yang dihadapi adalah kurangnya suplai makanan. Pihak BKSDA melalui Balai Pelatihan Gajah (PLG) Minas dan WWF Riau sudah berupaya menghubungi pihak-pihak di Duri -termasuk PT Chevron Pacific Indonesia (CPI)— untuk bisa membantu suplai makanan, tetapi belum ada tindakan nyata. Akhirnya, karena sulitnya mencari makanan, gajah-gajah tersebut hanya makan batang-batang pisang yang tidak memenuhi jumlah standar makan mereka. Menurut Feri Harahap, pimpinan rombongan PLG di lapangan yang menangani proses sementara gajah tersebut, tiap gajah memerlukan makanan sekitar 150 Kg per hari. ‘’Untuk memenuhi standar makan mereka sehari-hari, kami memang belum bisa memenuhinya karena sulitnya mencari makanan tersebut,’’ jelas Feri. Selain masalah makanan, beberapa gajah juga mengalami luka-luka di beberapa bagian, seperti di kaki belakang akibat dirantai. ‘’Ini memang konsekuensi dari penangkapan ini. Rencananya kami akan mengalihkan

Page 109: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 109 of 166 WWF-Indonesia

talinya ke leher agar mereka lebih leluasa,’’ jelas Feri lagi. Tentang mau dibawa ke mana gajah ini dan kapan pengangkutannya dari lokasi di Balairaja tersebut, Feri belum bisa memastikan. ‘’Itu wewenang Kepala BKSDA atau Kadishut, kami hanya pekerja lapangan dan akan membawa ke mana gajah ini direlokasi sesuai perintah,’’ ujarnya lagi. Sementara itu menurut Syamsuardi, salah seorang staf WWF yang terus memantau kondisi gajah-gajah tersebut, persoalan makanan dan kesehatan gajah-gajah itu kini harus benar-benar diperhatikan. ‘’Untuk kesehatan, kita terus memantaunya termasuk menyiapkan dokter hewan yang siap kapanpun duperlukan. Namun soal makanan, ini yang menjadi masalah,’’ jelas Syam. Dia berharap ada pihak yang ikut membantu mencarikan makanan gajah-gajah tersebut karena memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Syam berharap, baik Dishut maupun BKSDA tidak terburu-buru mencarikan tempat untuk relokasi gajah-gajah tersebut. ‘’Lebih baik kalau gajah-gajah ini dikembalikan ke habitatnya semula, yakni ke hutan Blok Libo, karena di sanalah rumah mereka. Jika dipindah ke Tesso Nilo, Kerumutan atau yang lainnya, pasti akan menimbulkan efek yang lain dan bisa jadi malah akan lebih buruk lagi,’’ tambah alumnus Perikanan Unri ini.(mng/wws/ria/hbk)

Detik.com, 29 Maret 2006 14:24:34 10 Gajah Liar Tangkapan Dishut Riau Stres Sepuluh ekor gajah liar ditangkap Dinas Kehutanan Provinsi Riau untuk direlokasi dari kawasan konflik dengan manusia. Setelah ditangkap dan diikat di pohon, gajah ini sempat ditelantarkan. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/29/time/142434/idnews/567772/idkanal/10 Detik.com 29 Maret 2006 19:27:09 WIB Gajah Stres Dirawat Tim Medis Sepuluh ekor gajah liar hasil tangkapan Dinas Kehutanan (dishut) Provinsi Riau sempat mengalami luka pada bagian kakinya karena diikat dengan rantai. Kini tim medis didatangkan ke dalam hutan untuk memberikan perawatan http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/29/time/192709/idnews/568080/idkanal/10 Riau Pos Online. Jumat, 31 Maret 2006 Dishut-BKSDA Harus Koordinasi Gubri soal Kematian Gajah PEKANBARU (RP) - Gubri HM Rusli Zainal kembali menekankan kepada Dinas Kehutanan dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) selaku instansi tekhnis yang lebih bertanggungjawab terhadap kelestarian gajah, untuk meningkatkan koordinasi. Langkah koordinasi itu, diharapkan dapat membuahkan hasil konkrit dalam mengatasi dan mengantisipasi masalah gajah di wilayah Provinsi Riau. Demikian disampaikan Gubri, HM Rusli Zainal kepada wartawan baru-baru ini, terkait penanganan masalah gajah yang ada di Provinsi Riau.

Page 110: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 110 of 166 WWF-Indonesia

‘’Dengan kondisi sekarang di mana gajah yang berstatus hewan yang dilindungi pemerintah, harus mendapat perhatian serius. Untuk mengatasi masalah yang terjadi pada gajah, maka langkah konkrit harus dikedepankan dan ini sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi,’’ jelasnya. Diakui gubernur, bahwa saat ini petugas tekhnis penanganan gajah liar, sudah berhasil mengamankan dan mengumpulkan sepuluh ekor gajah dan sudah diletakkan di lokasi hutan yang dapat dijadikan sebagai wilayah perlindungan gajah. Langkah maju seperti itu harus didukung, tetapi petugas tetap harus memperhatikan kesehatan gajah, agar satwa yang dilindungi itu, harus benar-benar mendapat perhatian yang layak. Ini diperlukan, karena instansi tekhnis yang sudah ditunjuk pemerintah untuk menangani gajah, tentulah sudah disediakan bekal untuk menangani gajah. Dengan begitu, maka laksanakanlah tugas itu sesuai yang sudah diamanahkan negara. Untuk tetap memperhatikan kebaikan dan keamanan gajah, Gubri kembali mengingatkan bahwa pihaknya sudah menginstruksikan, agar Dishut Riau bersama-sama BKSDA dapat meningkatkan koordinasi. Koordinasi dimaksud, agar penanganan gajah benar-benar dilaksanakan, sehingga keselamatan gajah di bumi Riau dapat dibuktikan dalam bentuk kerja nyata. Dengan adanya instruksi itu, dia merasa yakin bahwa dinas tekhnis yang bertanggungjawab terhadap penanganan gajah, akan melaksanakan tugasnya secara benar. Keyakinan itu, karena dinas tekhnis nitu memahami betul langkah koordinasi sseperti apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan gajah. Terhadap penanganan gajah mati di beberapa kabupaten di Riau, Gubri juga meminta ketegasan petugas hukum agar dapat mengusut tuntas penyebab kematian gajah. Perlunya pengsutan kasus tersebut, agar diketahui, mengapa gajah itu mati dan siapa yang haarus bertanggungjawab. Setelah penyebab kematiaan gajah diketahui, tentulah langkah hukum akan melakukan proses pengusutan, sehingga para pihak yang terlibat dalam aksi pemusnahan gajah dapat diberikan sanksi sesuai kesalahannya. Kalau sampai sekarang belum diketahui penyebab kematian gajah, dikatakan lagi, bahwa untuk meneliti dan mengungkap sebuah kasus, di nilai bukan sebuah pekerjaan ringan, terlebih dalam hal pengusutan kasus gajah. Meski begitu, Gubri kembali meyakini kasus itu akan ada ada akhirnya, karena sampai saat ini pihak hukum diyakini masih bekerja maksimal. Untuk percepatan proses kasus itu, diharapkan agar masyarakat dapat mendukung pengungkapan kasus tersebut. Tujuannya, agar terjadi percepatan proses hukum, sehingga kalaupun ada pelaku pembunuh gajah, dapat diproses hukum. Yang jelas, kata Gubri lagi, sampai saat ini masalah gajah di Riau, baik untuk menangani gajah yang masih hidup dan gajah yang menjadi korban keganasan lingkungan harus mendapat perhatian serius. Untuk melaksanakan komitmen itu, dukungan para pihak, baik petugas tekhnis dan unsur lainnya harus memiliki komitmen, agar berbagai harapan perlindungan terhadap hewan yang dilindungi itu, benar-benar terwujud sehingga gajah di seluruh wilayah Riau dapat terselamatkan dan terus berkembang dengan baik.(asm) http://www.riaupos.com/web/content/view/10350/6/

Page 111: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 111 of 166 WWF-Indonesia

Kompas, 31 Maret 2006 Perseteruan Berlanjut, 10 Gajah Liar Disiksa

Perseteruan antara manusia dan gajah di Provinsi Riau berlanjut. Setelah enam gajah dibunuh bulan lalu, kini ditemukan 10 gajah liar yang dibiarkan terikat dalam keadaan luka parah di kaki, kelaparan, dan dua di antaranya kritis. Penyiksaan gajah ini merupakan bagian dari aksi penanggulangan serbuan gajah di Desa Balai Raja, Bengkalis. "Berdasarkan informasi warga, ada 51 ekor yang menyerang permukiman dan perkebunan. Penyebabnya, habitat gajah di Suaka Margasatwa Balai Raja telah rusak. Dari luas 18.000 hektar yang ditetapkan tahun 1986, sekarang hanya tinggal 200 hektar saja," papar Humas World Wide Fund for Nature Wilayah Riau Syamsidar, Kamis (30/3). Sampai kemarin, 10 ekor gajah masih dalam kondisi terikat di areal PT Kojo-Duri. (nel)

Antara 3 April 6, 2006 Dephut Ambil Alih Relokasi Gajah Di Riau Pekanbaru (ANTARA News) - Departeman Kehutanan (Dephut) akhirnya mengambilalih penanganan relokasi sepuluh ekor gajah liar hasil tangkapan Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau karena tidak adanya anggaran dari daerah. "Pemindahan gajah telah diambil alih departemen begitu juga penyediaan dana juga dari pusat," ujar Kepala Seksi KSDA Riau Wilayah II Ali Nafsir Siregar kepada ANTARA di Pekanbaru, Sabtu. Ia mengatakan itu ketika dikonfirmasi makin kritisnya sepuluh ekor gajah liar dilokasi penambatan di Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Kawanan gajah liar itu telah cukup lama terikat hingga menyebabkan mereka kesakitan dan stres. Makanan yang tersedia untuk gajah-gajah itu juga kurang dan rencana pemindahan pun belum dilakukan karena terhambat dana serta lokasi pemindahan yang cocok. Ali Nafsir menjelaskan, semula masalah penangkapan dan relokasi gajah dibiayai Dinas Kehutanan (Dishut) Riau dengan alokasi anggaran sebesar Rp300 juta, namun hingga kini anggaran tersebut tidak juga keluar. Sedangkan, sepuluh ekor gajah liar yang telah ditangkap tim KSDA, masih berada di lokasi penambatan, perlu makanan dan pengobatan. Ia mengakui, dana yang dianggarkan Dishut Riau sebesar Rp300 juta baru dicairkan Rp60 juta, itupun dari pinjaman sedangkan kondisi gajah semakin memprihatinkan. "Itu sebabnya, karena anggaran dari daerah belum ada, kepala balai KSDA mengajukan permintaan dana ke pusat," katanya. Menurut dia, pihaknya mengajukan dana sekitar Rp276 juta ke pusat dan jika permintaan tersebut dipenuhi maka anggaran dari Dishut yang telah dianggarkan melalui APBD Riau bakal dialihkan untuk kegiatan lain.

Page 112: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 112 of 166 WWF-Indonesia

Ketika disinggung tentang penanganan terhadap gajah hasil tangkapan tim, Ali Nafsir mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan perawatan medis terhadap hewan yang mengalami luka infeksi dan dehidrasi. "Sampai Selasa (4/4) depan, perawatan melalui obat-obatan masih diberikan setelah itu baru lokasi hutan sebagai tempat pemindahan disurvei," jelasnya. Ia mengatakan, pihaknya tidak hanya akan melakukan survei darat terhadap kawasan hutan tempat relokasi gajah tetapi juga survei udara. "InsyaAllah, seminggu lagi gajah-gajah itu dapat dipindahkan," kata Ali Nafsir. Sementara itu, kondisi sepuluh ekor gajah yang ditambat di kawasan hutan Balairaja, masih memprihatinkan meskipun upaya pengobatan terhadap luka yang infeksi dan kekurangan cairan (dehidrasi) telah dilakukan. Namun, kawanan hewan malang itu masih terlihat kritis dan tidak berdaya bahkan makanan pun tidak terlihat berada di sekitar gajah yang terikat itu. "Gajah-gajah ini baru dikasi makan apabila ada pejabat yang datang melihat. Jenis makanannyapun beragam dan bergizi, namun jika tidak ada orang luar yang datang gajah-gajah ini dibiarkan begitu saja tidak terawat dan tidak dikasih makan," ujar seorang masyarakat yang menemani ANTARA melihat kondisi gajah tersebut.(*) Detik.Com 4 April 2006, 01:10:12 WIB skor: 890 Tak Jelas Siapa Ayah Bayi yang Dilahirkan Dini Dini memang masih muda, baru berusia 20 tahun. Sabtu (1/4/2006), Dini baru melahirkan anaknya yang sehat. Sayang tak diketahui siapa ayahnya. Tapi jangan salah sangka dulu, Dini yang dimaksud adalah seekor gajah Sumatra http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/04/time/011012/idnews/569846/idkanal/10 Riau Pos, Rabu, 05 April 2006 Petugas BKSDA dan WWF Operasi Kelamin Gajah DURI (RP) - Karena didera infeksi cukup mengkhawatirkan pada bagian kelaminnya, seekor gajah jantan tangkapan BKSDA Riau terpaksa harus menjalani operasi ringan Senin sore (3/4/2006) lalu. Operasi ringan untuk mengantisipasi berlakunya kejadian lebih buruk itu berlangsung di lokasi pemasungan sepuluh ekor gajah dalam kawasan hutan di belakang Balairaja Apartment Kecamatan Pinggir. Ketua Tim Penanggulangan Bencana Amuk Gajah Kelurahan Balairaja, Berton Panjaitan SE dalam laporannya pada Riau Pos Selasa (4/4) kemarin menyebut, operasi dengan pembiusan lokal itu ditangani Drh Wisnu yang sengaja didatangkan dari Jakarta oleh tim WWF Riau. ‘’Operasi tersebut berlangsung sukses dan kita berharap kondisi gajah itu akan cepat pulih,’’ ujarnya. Saat operasi berlangsung, tambah Berton, pakar gajah dari Way Kambas Lampung Nazaruddin masih berada di lokasi tersebut guna ikut membantu menangani gajah-gajah yang sudah cukup lama menderita akibat dipasung itu.

Page 113: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 113 of 166 WWF-Indonesia

Personil dari BKSDA Riau maupun tim WWF juga hadir saat itu, ucapnya. Tak hanya mengoperasi gajah jantan yang tengah didera infeksi pada bagian kelaminnya, Selasa kemarin Drh Wisnu juga mengobati kaki gajah yang luka dan digerogoti infeksi akibat dimakan rantai pasungan selama sekitar dua pekan sejak masa penangkapan. Tak satupun dari sepuluh gajah nan malang itu yang selamat kedua kaki belakangnya dari luka dan infeksi. Untunglah penderitaan seperti itu berakhir setelah pasungan gajah tersebut dialihkan ke bagian leher belum lama ini. Kendati belum bisa memastikan, menurut Berton, hingga kemarin diperkirakannya masih ada sekitar empat ekor gajah tangkapan yang masih diikat dengan rantai pada bagian kakinya. Selebihnya sudah dirantai pada bagian leher lalu ditambatkan pada pokok kayu dalam kawasan hutan tersebut. Saat dikontak menjelang siang kemarin, Berton mengaku tim BKSDA Riau yang standby di lapangan tengah berupaya mencari makanan untuk menangkal kelaparan sepuluh ekor gajah tangkapan itu. Masalah makanan patut diakui merupakan salah satu kendala utama bagi gajah-gajah ini. Pasalnya, tim BKSDA pun memiliki dana yang sangat terbatas untuk itu. Informasi yang berhasil didapat Berton dari pihak-pihak terkait juga menyebut adanya rencana untuk memindahkan sepuluh gajah tangkapan ini ke kawasan hutan di blok Libo. Kapan relokasi itu akan terlaksana belum ada kepastian. ‘’Kendati sudah ada potret udara, kita berharap pihak terkait terlebih dulu mengecek langsung kondisi lapangan hutan blok Libo sebelum memindahkan gajah tangkapan ini kesana,’’ harapnya. Dia pun menyampaikan harapan masyarakat agar gajah liar yang masih tersisa dan hingga kini masih mengganggu tanaman penduduk di kawasan RW 5 Balairaja bisa pula dipindahkan. Selagi gajah itu masih berada disana, dia yakin konflik dengan manusia akan terus berlangsung. ‘’Kita tak ingin satwa yang dilindungi itu mati akibat konflik dengan masyarakat. Apalagi menurut Drh Wisnu, dalam dua tahun belakangan saja sekitar 50 ekor gajah Sumatera mati terbunuh akibat konflik dengan manusia,’’ tambahnya. Berton juga berharap, dalam menentukan kebijakan terhadap permasalahan gajah ini, pihak-pihak terkait seperti BKSDA maupun Dishut hendaknya bisa melibatkan peranserta masyarakat setempat. ‘’Kita dari tim Penanggulangan Amuk Gajah juga ingin ikut berperan tanpa ada embel-embel tertentu melainkan hanya untuk keselamatan penduduk maupun satwa yang dilindungi itu,’’ ujarnya lagi.(sda) http://www.riaupos.com/web/content/view/10472/6/ Riau Terkini, Senin, 3 April 2006 16:53 Relokasi Gajah, BKSDA Ajukan Dana Rp 276 Juta http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9120 Meningkatnya kematian gajah pasca relokasi, membuat BKSDA Riau turun tangan. Dari mengajukan dana ke pusat hingga melakukan perawatan medis. Riauterkini-PEKANBARU-Kasi Konservasi Sumber Daya Alam wilayah II Riau, Ali Nafsir kepada Riauterkini (3/4) menyatakan bahwa terkait kasus relokasi gajah di SM Balai Raja, BKSDA telah mengajukan anggaran kepada Departemen Kehutanan Riau. Anggaran diajukan guna penanganan gajah-

Page 114: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 114 of 166 WWF-Indonesia

gajah paska relokasi di Balai Raja. ”Kita telah mengajukan anggaran ke pusat. Besaran anggaran yang diajukan adalah Rp 276 juta. Seluruh anggaran akan digunakan untuk penanganan gajah-gajah paska relokasi. Penanganan dilakukan untuk perawatan medis serta pemulihan kondisi gajah-gajah tersebut,” terangnya. Saat ini, tambahnya, gajah-gajah tangkapan guna dilakukan relokasi sudah mendapatkan perawatan medis. Baik untuk luka infeksi maupun karena dehidrasi (kekurangan cairan). Dengan perawatan tersebut diperkirakan dalam minggu-minggu ini luka-luka akibat terkena gesekan rantai maupun dehidrasi akan segera pulih. Dikatakan Nafsir, selain pemberian obat-obatan dalam perawatan medis yang dilakukan BKSDA, juga telah diberikan makanan-makanan yang memiliki gizi tinggi untuk memulihkan kondisi gajah-gajah tersebut. Kini pihaknya sedang melakukan survey guna mencari lokasi yang cocok untuk pemindahan gajah-gajah tersebut. ”Kita sudah melakukan survey ke beberapa lokasi guna mencari tempat yang cocok untuk pemindahan gajah-gajah tersebut setelah dipulihkan kondisi maupun kesehatannya. Diperkirakan dalam minggu-minggu ini kegiatan tersebut akan segera diselesaikan,” terangnya. Ditanyakan tentang dana alokasi APBD untuk relokasi gajah oleh Dinas Kehutanan Riau yang sebesar Rp 300 juta, Nafsir menyatakan bahwa memang APBD Riau menganggarkan dana sebesar Rp 300 juta untuk relokasi gajah. Namun hingga kini baru Rp 60 juta yang cair. ”Jika nanti pengajuan dana ke pusat oleh BKSDA disetujui, maka dana tersebut akan langsung digunakan untuk penanganan gajah-gajah. Sementara dana alokasi dari APBD Riau akan digunakan untuk kegiatan atau program yang lain,” imbuhnya. Seperti di rilis Riauterkini sebelumnya, bahwa Dishut Riau merelokasi 10 gajah secara diam-diam dan kemudian diterlantarkan saja. Diikat di pohon tanpa diberikan minum dan makanan. Perlakuan tersebut membuat kondisi dan kesehatan gajah-gajah menurun.***(H-we) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9120 Riau Pos, Selasa, 04 April 2006 Siswa SMA Cendana Kunjungi Gajah Tangkapan BKSDA DURI (RP) - Nasib sepuluh ekor gajah liar hasil tangkapan BKSDA Riau yang kini ditambat dalam kawasan hutan di belakang Balairaja Apartment Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis Riau masih terkatung-katung. Mau dikemanakan kawanan gajah yang telah lama kehilangan habitat itu tak kunjung ada jawaban pasti. Ketidakpastian masa depan sepuluh gajah itu terungkap saat 20 siswa-siswi SMA Cendana Duri berkunjung ke lokasi pemasungan gajah itu Ahad (2/4/206) kemarin. ‘’Pak Feri Somba selaku kepala PLG Minas yang kami tanya di lapangan mengaku belum tahu kemana gajah-gajah itu hendak dipindahkan,’’ ujar Drs Albohari guru SMA Cendana yang memandu siswanya kala itu.

Page 115: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 115 of 166 WWF-Indonesia

Kendati demikian, menurut Albo, kondisi kesepuluh gajah tangkapan itu sudah agak lebih baik dibanding beberapa hari sebelumnya. Pakar gajah dari pusat penangkaran gajah Way Kambas Lampung, Nazaruddin juga masih berada di lokasi penambatan gajah itu hingga kemarin. Begitu juga dengan tim WWF Riau yang silih berganti turun ke lapangan, tambah Albohari. Kedatangan para siswa sekolah swasta yang bermarkas di komplek PT CPI Duri itu dimaksudkan untuk melihat dari dekat bagaimana kondisi satwa langka yang dilindungi dan berada dibawah ancaman kepunahan itu. Menurut Albo, pihaknya juga ingin menanamkan kepada para siswa agar mereka semakin mencintai satwa dan lingkungan sekitarnya. Para siswa juga membawa oleh-oleh untuk santapan gajah-gajah yang tengah dipasung itu. Kendati nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan makan hewan bertubuh besar itu, setidaknya oleh-oleh yang mereka bawa sudah merupakan suatu bentuk kepedulian kepada satwa yang hampir punah itu. Sementara itu, Human-Elephant Conflict Coordinator WWF Riau Nurchalis Fadli kepada Riau Pos kemarin juga membenarkan tentang belum jelasnya masa depan kesepuluh gajah tangkapan BKSDA itu. Menurutnya, setelah mendapat perawatan luka-lukanya yang infeksi Kamis (30/3) lewat, kesepuluh gajah itu diperkirakan akan pulih kondisinya dalam sepuluh hari ke depan. Hanya saja mau dikemanakan setelah itu, belum ada kabar yang pasti, kata Nurchalis sembari berharap semua pihak terkait bisa duduk bersama memecahkan persoalan ini. Saat ditanya tentang populasi gajah Sumatera saat ini, Nurchalis menyebut angka antara 350 hingga 450 ekor. Itu adalah data WWF untuk tahun 2003. Berapa jumlah riilnya kini belum ada informasi pasti. Tapi besar kemungkinan jumlahnya terus berkurang akibat terjadinya konflik berkepanjangan dengan manusia. Khusus untuk daerah Balairaja, taksiran yang ada menyebut jumlah gajah itu sekitar 17 ekor. Sepuluh sudah ditangkap, sedang empat ekor lagi dikabarkan masih sering mengusik tanaman warga di daerah Kaplingan RW 5 Kelurahan Balairaja. Nurchalis memperkirakan tiga ekor gajah lagi besar kemungkinan berkelamin jantan. Tabiatnya, suka moving kesana-kemari dan sesekali bergabung ke dalam kelompok betina dan anak-anaknya.(sda) http://www.riaupos.com/web/content/view/10425/6/ Jum’at, 7 April 2006 09:58 PN Pasirpengarian Vonis Pemburu Gajah 13.5 Tahun Sejarah baru dunia hukum terjadi di Riau. Pengadilan Negeri Pasirpangaraian menjatuhkan vonis 13.5 tahun penjara kepada seorang pemburu gajah. RiauterkiniPASIRPENGARAIAN- Untuk pertama kalinya sebuah vonis dijatuhkan kepada soerang pemburu gajah di Riau. Tidak tanggung-tanggung, majelis hakim Pengadilan Negeri Pasirpengarian menjatuhkan vonis 13.5 tahun penjara kepadaAstan (36) bin Alimatuddin yang terlibat

Page 116: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 116 of 166 WWF-Indonesia

dalam kasus pemburuan gajah di Kawasan Hutan Lindung Mahato, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu pada 17 Agustus 2005 lalu. Putusan pidana terhadap terdakwa Astan (36) warga Bengkulu tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Dasniel SH didampingi Anggota Majelis Hakim Fahmiron SH dan Aida Novita SH, yang dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH, Panitera Pengganti Erli Selfiani SH dalam sidang di Pengadilan Negeri Pasirpengaraian, Kamis (6/4). Vonis yang diganjarkan kepada terdakwa ini, jauh lebih ringan dibanding tuntutan 20 tahun penjara yang sebelumnya disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan surat tuntutan Nomor Reg. Perkara : PDM-196/PSP/03/2006, ditambah dengan denda sebesar Rp100 juta subsider selama lima bulan kurungan. Berdasarkan tuntutan JPU tersebut, Majelis Hakim dan anggota telah tiga kali melakukan musyawarah sebelum vonis dijatuhkan. ‘’Berdasarkan keseluruhan alasan dan fakta-fakta dalam persidangan, terdakwa Astan terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dalam lima dakwaan,’’ terang Ketua Pengadilan Negeri Pasirpangaraian, Dasniel SH, kepada wartawan, Kamis (6/4) di ruang kerjanya, seusai sidang putusan pidana terhadap terdakwa. Lima dakwaan yang membuktikan terdakwa Astan bersalah melakukan kejahatan itu yakni, pertama, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan senjata api, amunisi atau bahan peledak sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata pemukul, senjata penikam atau menusuk sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ketiga, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada sesorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mengakibatkan luka berat sebagai mana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 212 KUHP jo Pasal 214 ayat 2 ke- 2 KUHP, dalam surat dakwaan ketiga. Keempat, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup yang diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistennya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kelima, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan s engaja menyimpan atau memiliki tubuh atau bagian-bagian lain dari satwa yang dilindungi atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam tau diluar Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 2 huruf d jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang nomor 5 tahun

Page 117: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 117 of 166 WWF-Indonesia

1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Menyusul vonis tersebut, Majelis Hakim menyatakan barang bukti, berupa sepucuk senjata api laras panjang merek Winchester, sebilah kapak, tiga bilah pisau, 22 butir peluru/amunisi, dua butir selonsong peluru, satu set senter sorot, dua butir proyektil peluru, dirampas untuk dimusnahkan. Sedangkan enam batang gading gajah dirampas untuk Negara dan Menetapkan terdakwa membayar perkara sebesar Rp5.000. Selanjutnya, hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan tidak mendukung kelestarian lingkungan khususnya terhadap gajah yang termasuk satwa yang dilindungi. Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya serta tidak mempersulit jalannya persidangan. Apa reaksi Astan? Terdakwa yang tanpa didampingi pengacara dan pihak keluarganya satu orangpun, tertunduk lesu dan menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. Begitu juga jawaban yang sama yang disampaikan oleh kedua JPU yakni Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH. Dari kedua jawaban terdakwa Astan dan JPU yang mengatakan masih pikir-pikir mengajukan banding terhadap putusan pidana yang telah dibacakan Majelis Hakim, maka sebut Dasniel, putusan pidana tersebut belum mempunyai keputusan hukum yang tetap. ‘’Kita berikan waktu seminggu kepada terdakwa Astan, untuk menyatakan banding. Bila tidak ada jawaban dari terdakwa, maka putusan pidana yang telah dibacakan oleh Majelis Hakim, dianggap mempunyai keputusan hukum yang sah,’’ terang Dasniel. Dasniel menambahkan, terdakwa Astan, sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan bersama-sama dengan Pirman Hadi, Dirlan bin Marasin dan Yurman bin Idris (ketiganya meninggal dunia) serta Idit (DPO) dalam peburuan gajah di Hutan Lindung Mahato Desa Mahato Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rohul. ***(RPO) http://riauterkini.com/hukum.php?arr=9179 Eyes on the Forest.or.id 4 April, 2006 Peta Interaktif Mengenai Distribusi dan Konflik Gajah di Riau, Sumatera Pekanbaru, RIAU (EoF News). Eyes on the Forest (Koalisi LSM Lingkungan di Riau: WWF, Jikalahari, dan Walhi Riau) hari ini meluncurkan satu bagian terbaru dalam peta interaktifnya, yaitu mengenai sebaran gajah Sumatra, berikut konflik gajah dan manusia yang terjadi sejak tahun 2000 di Riau. Peta interaktif dapat diakses di: http://maps.eyesontheforest.or.id/Home/index.html Peta interaktif tersebut hanya dapat dilihat dengan Internet Explorer setelah terlebih dahulu Anda men download dan menginstall Adobe's SVG Viewer. Dengan mengklik tombol 'Elephants' pengunjung dapat melihat peta sebaran dan perkiraan jumlah gajah Sumatera di Riau terkait dengan

Page 118: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 118 of 166 WWF-Indonesia

informasi mengenai tutupan hutan, konversi hutan menjadi perkebunan akasia dan sawit, dan akibat yang ditimbulkan oleh konversi hutan yaitu konflik berkepanjangan antara gajah dan manusia. Informasi dalam peta interaktif tersebut dibuat berdasarkan data-data yang dikumpulkan WWF-Indonesia, Tesso Nilo project sejak tahun 2000, dimana beberapa diantaranya dikumpulkan dengan kerjasama Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Riau. Peta tersebut juga dapat diakses di home page www.eyesontheforest.or.id yaitu di bagian "RESOURCES-MAPs". Populasi gajah sumatera di Riau mengalami penurunan secara dramatis dari sekitar 1067 -1617 ekor di sebelas kantung sebaran gajah pada 1985 (Blouch and Simbolon Technical Report, 1985), menjadi 709 ekor di 16 kantung pada 1999 (Laporan BKSDA Riau, 2002), dan sekitar 353-431 di 15 kantung pada 2003 (WWF dan BKSDA Riau, 2004). Tim survey mengumpulkan semua laporan terkait mengenai gajah, memetakan lokasi-lokasi yang disebutkan didalam laporan-laporan tersebut, mewawancarai masyarakat setempat dimana gajah dilaporkan terlihat, dan melakukan pengecekan di lokasi dimana tanda-tanda keberadaan gajah ditemukan. Setelah semua informasi dikumpulkan, tim survey memperkirakan berapa jumlah gajah yang berada di setiap blok hutan yang masih tersisa di Riau. Fragmentasi hutan telah menyebabkan hutan Riau terkotak-kotak dalam delapan blok hutan, dimana masing-masing dikelilingi oleh ladang dan perkebunan. Gajah keluar dari hutan habitatnya dan mencari makanan di ladang dan perkebunan masyarakat bisa disebabkan oleh dua hal; baik karena tidak adanya cukup makanan didalam hutan, maupun karena makanan di luar hutan lebih menarik dan disukai. Konflik antara gajah dan manusia telah berulangkali terjadi dengan insiden yang berakhir tragis. Sejak 2000, enambelas orang tewas akibat konflik dengan gajah dan 45 ekor gajah mati baik karena diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Sementara itu, sekitar 201 gajah ditangkap oleh pemerintah setempat sebagai upaya penanganan konflik Empat puluh lima ekor gajah (22%) mati akibat penangkapan tersebut. Sekitar 102 ekor menghilang tanpa diketahui jejaknya setelah ditangkap, tim WWF tidak menemukan adanya bukti-bukti keberadaan mereka baik di Pusat Latihan Gajah atau kebun binatang. Ada kemungkinan bahwa gajah-gajah tersebut juga telah mati walaupun kematiannya tidak pernah terungkap. Jika satwa dilindungi tersebut mati, maka kematian akibat penangkapan di Riau telah mencapai 73%. Empat puluh satu ekor telah dilepaskan, umumnya secara sembunyi-sembunyi, di beberapa tempat di hutan Riau. Tim WWF telah melacak semua informasi yang tersedia dan mewawancari warga setempat untuk kemudian menghitung jumlah yang dilepaskan tersebut. Hasil temuan menunjukkan bahwa, gajah-gajah tangkapan yang dilepaskan di hutan tidak pernah dicek keberadaan atau kondisinya oleh tim pelepas. Meskipun demikian, ada satu kasus yang informasinya berhasil

Page 119: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 119 of 166 WWF-Indonesia

didapatkan. Pada bulan Desember 2005, tim penangkap (yang diperintahkan oleh Dishut Prov. Riau) melepaskan 11 ekor gajah tangkapan mereka ke hutan Tesso Nilo. Setelah pelepasan tersebut, tim WWF mendapat informasi dari masyarakat setempat mengenai penemuan kerangka 3 ekor gajah di lokasi pelepasan Tak lama setelah itu, WWF juga berhasil memfilmkan sebuah insiden dimana 8 ekor gajah yang masih hidup mengamuk masuk ke kebun masyarakat di desa terdekat. Jelas sekali bahwa delapan ekor gajah tersebut adalah gajah tangkapan, terbukti dari luka-luka yang tampak ditubuh mereka. Tidak lama setelah itu, satu ekor anak gajah dari 8 ekor tersebut mati. Nasib dari tujuh ekor lainnya tidak diketahui. Peta interaktif ini menunjukkan lokasi penangkapan dan gajah mati terkait dengan informasi mengenai hutan, perkebunan, kawasan lindung, dan lain-lain. Antara tahun 2000 dan 2006 hanya ada tiga laporan mengenai gajah mati yang terkait secara langsung dengan perburuan. Meskipun demikian, banyak gajah yang mati akibat diracun dan sebagian besar yang ditangkap, gadingnya lenyap tanpa diketahui informasi dimana hilangnya, apakah disimpan oleh oknum pemerintah terkait atau telah diperdagangkan. http://www.eyesontheforest.or.id/eofnew/ele_map_announ_bhs.php Riau Terkini. Selasa, 4 April 2006 16:53 Swaka Margasatwa Balai Raja Pusat Tata Air Kawasan Hilir Riau Selain sebagai rumah gajah dan harimau sumatera, penetapan kawasan hutan di Balai Raja menjadi Suaka Margasatwa karena di wilayah tersebut menjadi tata air kawasan Hilir Riau. Riauterkini-PEKANBARU- Suaka Margasatwa Balai Raja ditetapkan sebagai kawasan lindung/ Suaka Margasatwa, bukan hanya karena tegakan pohon yang ada atau potensi kayunya saja, namun ada beberapa alasan penting lainnya sehingga kawasan tersebut dapat ditetapkan menjadi sebuah kawasan yang dilindungi. Dua dari alasan penting tersebut adalah pertimbangan fungsi ekologis sebuah kawasan yang mana di dalamnya terdapat fungsi sebagai tata air bagi kawasan hilir, dan keberadan flora, fauna. Walhi Riau melihat keberadaan SM. Balai Raja harus tetap dipertahankan sebagi sebuah kawasan yang dilindungi. Hal itu disebabkan untuk menghindari terjadinya bencana ekologis bagi kawasan hilir dan konflik satwa dengan manusia di sekitar Suaka Margasatwa tersebut. "Sebagaimana kita ketahui SM. Balai Raja yang ditetapkan lewat Kepmenhut No. 173/ Kpts-II/ 1986 tanggal 6 Juni 1986, merupakan catchment area bagi kawasan hilirnya. Selain itu kawasan tutupan hutan (waktu itu.red) juga merupakan habitat dari satwa yang dilindungi. Yaitu Gajah dan Harimau Sumatera," terang Aktivis Walhi Riau, Teguh (4/4). Menurutnya kawasan ini bertopografi datar dengan type ekosistem hutan hujan dataran rendah yang dialiri 3 buah sungai, sungai Balai raja,

Page 120: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 120 of 166 WWF-Indonesia

sungai Meliliang, dan sungai Titian Jangkar yang bermuara di sungai Mandau. Menurutnya pemerintah kabupaten Bengkalis tidak bisa merubah fungsi SM. Balai raja hanya karena alasan kawasan tersebut sudah rusak akibat pemukiman penduduk dan perkebunan, karena kerugian yang timbul ketika kawasan ini dirubah fungsinya akan jauh lebih besar. Selain itu menurutnya juga pencarian lokasi baru pengganti SM. Balai Raja sebagaimana yang diusulkan oleh anggota DPRD Bengkalis bukanlah jalan keluar yang bijak. Karena fungsi ekologis SM. Balai Raja tidak bisa digantikan dan tidak semua kawasan bisa dijadikan kawasan lindung. ***(H-we) http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9145

ANTARA Apr 06 09:16 Populasi Gajah Sumatra di Riau Semakin Berkurang Jakarta, (ANTARA News) - Populasi Gajah Sumatera di Riau mengalami penurunan secara dratis dari sekitar 1.067 hingga 1.617 ekor di sebelas kantung sebaran gajah pada 1985 (Blouch and Simbolon Technical Report, 1985) menjadi 709 ekor di 16 kantung pada 1999 (Laporan BKSDA Riau, 2002) dan sekitar 353 ekor hingga 431 ekor di 15 kantung pada 2003 (WWF dan BKSDA Riau, 2004) atau kurang dari 450 ekor. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Species Program Communications Officer WWF-Indonesia Desmarita Murni di Jakarta, Rabu (5/4). Menurut dia, perkiraan kasar itu diperoleh setelah tim survei dari Eyes on the Forest yaitu Koalisi LSM Lingkungan di Riau yang terdiri dari WWF, Jikalahari, dan Walhi Riau, mengumpulkan semua laporan terkait mengenai gajah, memetakan lokasi-lokasi yang disebutkan di dalam laporan-laporan tersebut, mewawancarai masyarakat setempat dimana gajah dilaporkan terlihat, dan melakukan pengecekan di lokasi di mana tanda-tanda keberadaan gajah ditemukan. Setelah semua informasi dikumpulkan, kata dia, tim survey memperkirakan berapa jumlah gajah yang berada di setiap blok hutan yang masih tersisa di Riau. Fragmentasi hutan telah menyebabkan hutan Riau terkotak-kotak dalam delapan blok hutan, dimana masing-masing dikelilingi oleh ladang dan perkebunan. Itulah sebabnya dalam beberapa waktu terakhir acapkali terdengar kabar gadjah masuk ke perkampungan manusia sehingga menimbulkan konflik antara gajah dan manusia. Gajah keluar dari hutan habitatnya dan mencari makanan di ladang dan perkebunan masyarakat, kat adia, bisa disebabkan oleh dua hal yaitu karena tidak adanya cukup makanan didalam hutan atau karena makanan di luar hutan lebih menarik dan disukai. Menurut data Eyes on the Forest, konflik antara gajah dan manusia telah berulang kali terjadi dengan insiden yang berakhir tragis. Sejak 2000, 16 orang tewas akibat konflik dengan gajah dan 45 ekor gajah mati baik karena diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Sementara itu, sekitar 201 ekor gajah ditangkap oleh pemerintah

Page 121: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 121 of 166 WWF-Indonesia

setempat sebagai upaya penanganan konflik Tetapi, prosedur penangkapan yang tidak professional berulangkali menyebabkan kematian gajah, terutama karena rantai yang terlalu ketat mengikat kaki, penggunaan obat bius tak terkontrol dan luka-luka pasca penangkapan yang tidak diobati. Dari 201 gajah itu, sekitar 45 gajah atau 22 persennya mati akibat penangkapan itu sedangkan 102 lainnya menghilang tanpa diketahui jejaknya setelah ditangkap, tim WWF tidak menemukan adanya bukti-bukti keberadaan mereka baik di Pusat Latihan Gajah atau kebun binatang. Menurut Desma, ada kemungkinan bahwa gajah-gajah tersebut juga telah mati walaupun kematiannya tidak pernah terungkap dan jika satwa dilindungi tersebut mati, maka kematian akibat penangkapan di Riau telah mencapai 73 persen. Sedangkan pelepasan 41 gajah sisanya umumnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi di beberapa tempat di hutan Riau. Tim WWF, kata dia, telah melacak semua informasi yang tersedia dan mewawancari warga setempat untuk kemudian menghitung jumlah yang dilepaskan tersebut. Gajah yang dilepaskan kembali ke hutan umumnya tidak pernah dicek kembali keberadaan atau kondisinya oleh tim pelepas. Antara 2000 dan 2006, kata dia, hanya ada tiga laporan mengenai gajah mati yang terkait secara langsung dengan perburuan. Meskipun demikian, banyak gajah yang mati akibat diracun dan sebagian besar yang ditangkap, gadingnya lenyap tanpa diketahui informasi dimana hilangnya.(*)

http://www.antara.co.id/seenws/?id=31320

Riau Pos, Jumat, 07 April 2006 Pemburu Gajah Mahato Dipenjara 13,5 Tahun PASIRPENGARAIAN(RP)-Jatuh sudah palu hakim buat pemburu gajah liar di Hutan Mahato. Terdakwa Astan (36) bin Alimatuddin yang terlibat dalam kasus pemburuan gajah di Kawasan Hutan Lindung Mahato, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu pada 17 Agustus 2005 lalu, divonis 13 tahun 6 bulan penjara, dengan denda sebesar Rp100 juta subsider satu bulan kurungan. Terdakwa saat ini ditahan di Rutan Pasirpengaraian. Putusan pidana terhadap terdakwa Astan (36) warga Bengkulu tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Dasniel SH didampingi Anggota Majelis Hakim Fahmiron SH dan Aida Novita SH, yang dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH, Panitera Pengganti Erli Selfiani SH dalam sidang di Pengadilan Negeri Pasirpengaraian, Kamis (6/4) Vonis yang diganjarkan kepada terdakwa ini, jauh lebih ringan dibanding tuntutan 20 tahun penjara yang sebelumnya disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan surat tuntutan Nomor Reg. Perkara : PDM-196/PSP/03/2006, ditambah dengan denda sebesar Rp100 juta subsider selama lima bulan kurungan. Berdasarkan tuntutan JPU tersebut, Majelis Hakim dan anggota telah tiga kali melakukan musyawarah sebelum vonis dijatuhkan. ‘’Berdasarkan keseluruhan alasan dan fakta-fakta dalam persidangan, terdakwa Astan terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dalam lima

Page 122: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 122 of 166 WWF-Indonesia

dakwaan,’’ terang Ketua Pengadilan Negeri Pasirpangaraian, Dasniel SH, kepada Riau Pos, Kamis (6/4) di ruang kerjanya, seusai sidang putusan pidana terhadap terdakwa. Lima dakwaan yang membuktikan terdakwa Astan bersalah melakukan kejahatan itu yakni, pertama, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan senjata api, amunisi atau bahan peledak sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata pemukul, senjata penikam atau menusuk sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ketiga, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada sesorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mengakibatkan luka berat sebagai mana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 212 KUHP jo Pasal 214 ayat 2 ke- 2 KUHP, dalam surat dakwaan ketiga. Keempat, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup yang diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistennya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kelima, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan s engaja menyimpan atau memiliki tubuh atau bagian-bagian lain dari satwa yang dilindungi atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam tau diluar Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 2 huruf d jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Menyusul vonis tersebut, Majelis Hakim menyatakan barang bukti, berupa sepucuk senjata api laras panjang merek Winchester, sebilah kapak, tiga bilah pisau, 22 butir peluru/amunisi, dua butir selonsong peluru, satu set senter sorot, dua butir proyektil peluru, dirampas untuk dimusnahkan. Sedangkan enam batang gading gajah dirampas untuk Negara dan Menetapkan terdakwa membayar perkara sebesar Rp5.000. Selanjutnya, hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan tidak mendukung kelestarian lingkungan khususnya terhadap gajah yang termasuk satwa yang dilindungi. Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya serta tidak mempersulit jalannya persidangan. Apa reaksi Astan? Terdakwa yang tanpa didampingi pengacara dan pihak keluarganya satu orangpun, tertunduk lesu dan menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. Begitu juga jawaban yang sama yang disampaikan oleh

Page 123: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 123 of 166 WWF-Indonesia

kedua JPU yakni Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH. Dari kedua jawaban terdakwa Astan dan JPU yang mengatakan masih pikir-pikir mengajukan banding terhadap putusan pidana yang telah dibacakan Majelis Hakim, maka sebut Dasniel, putusan pidana tersebut belum mempunyai keputusan hukum yang tetap. ‘’Kita berikan waktu seminggu kepada terdakwa Astan, untuk menyatakan banding. Bila tidak ada jawaban dari terdakwa, maka putusan pidana yang telah dibacakan oleh Majelis Hakim, dianggap mempunyai keputusan hukum yang sah,’’ terang Dasniel. Dasniel menambahkan, terdakwa Astan, sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan bersama-sama dengan Pirman Hadi, Dirlan bin Marasin dan Yurman bin Idris (ketiganya meninggal dunia) serta Idit (DPO) dalam peburuan gajah di Hutan Lindung Mahato Desa Mahato Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rohul. Di tempat terpisah, Terdakwa Astan bin Alimatuddin yang dijumpai Riau Pos, seusai sidang, hanya diam, tertunduk lesu dan mengeluarkan air mata. Ia langsung menaiki mobil tahanan yang membawanya menuju Rutan Pasirpengaraian.(epp) Riau Terkini, Jum’at, 7 April 2006 09:58 PN Pasirpengarian Vonis Pemburu Gajah 13.5 Tahun Sejarah baru dunia hukum terjadi di Riau. Pengadilan Negeri Pasirpangaraian menjatuhkan vonis 13.5 tahun penjara kepada seorang pemburu gajah. RiauterkiniPASIRPENGARAIAN- Untuk pertama kalinya sebuah vonis dijatuhkan kepada soerang pemburu gajah di Riau. Tidak tanggung-tanggung, majelis hakim Pengadilan Negeri Pasirpengarian menjatuhkan vonis 13.5 tahun penjara kepadaAstan (36) bin Alimatuddin yang terlibat dalam kasus pemburuan gajah di Kawasan Hutan Lindung Mahato, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu pada 17 Agustus 2005 lalu. Putusan pidana terhadap terdakwa Astan (36) warga Bengkulu tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Dasniel SH didampingi Anggota Majelis Hakim Fahmiron SH dan Aida Novita SH, yang dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH, Panitera Pengganti Erli Selfiani SH dalam sidang di Pengadilan Negeri Pasirpengaraian, Kamis (6/4). Vonis yang diganjarkan kepada terdakwa ini, jauh lebih ringan dibanding tuntutan 20 tahun penjara yang sebelumnya disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan surat tuntutan Nomor Reg. Perkara : PDM-196/PSP/03/2006, ditambah dengan denda sebesar Rp100 juta subsider selama lima bulan kurungan. Berdasarkan tuntutan JPU tersebut, Majelis Hakim dan anggota telah tiga kali melakukan musyawarah sebelum vonis dijatuhkan. ‘’Berdasarkan keseluruhan alasan dan fakta-fakta dalam persidangan, terdakwa Astan terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dalam lima dakwaan,’’ terang Ketua Pengadilan Negeri Pasirpangaraian, Dasniel SH, kepada wartawan, Kamis (6/4) di ruang kerjanya, seusai sidang putusan pidana terhadap terdakwa.

Page 124: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 124 of 166 WWF-Indonesia

Lima dakwaan yang membuktikan terdakwa Astan bersalah melakukan kejahatan itu yakni, pertama, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan senjata api, amunisi atau bahan peledak sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan hak menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan sesuatu senjata pemukul, senjata penikam atau menusuk sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ketiga, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada sesorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mengakibatkan luka berat sebagai mana diatur dan diancam pidana dalam melanggar Pasal 212 KUHP jo Pasal 214 ayat 2 ke- 2 KUHP, dalam surat dakwaan ketiga. Keempat, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja membunuh satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup yang diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistennya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kelima, sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan dengan s engaja menyimpan atau memiliki tubuh atau bagian-bagian lain dari satwa yang dilindungi atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam tau diluar Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 2 huruf d jo Pasal 40 ayat 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Menyusul vonis tersebut, Majelis Hakim menyatakan barang bukti, berupa sepucuk senjata api laras panjang merek Winchester, sebilah kapak, tiga bilah pisau, 22 butir peluru/amunisi, dua butir selonsong peluru, satu set senter sorot, dua butir proyektil peluru, dirampas untuk dimusnahkan. Sedangkan enam batang gading gajah dirampas untuk Negara dan Menetapkan terdakwa membayar perkara sebesar Rp5.000. Selanjutnya, hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan tidak mendukung kelestarian lingkungan khususnya terhadap gajah yang termasuk satwa yang dilindungi. Sedangkan hal-hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya serta tidak mempersulit jalannya persidangan. Apa reaksi Astan? Terdakwa yang tanpa didampingi pengacara dan pihak keluarganya satu orangpun, tertunduk lesu dan menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. Begitu juga jawaban yang sama yang disampaikan oleh kedua JPU yakni Fitri Zulfahmi SH dan Aris Mugiandono SH. Dari kedua jawaban terdakwa Astan dan JPU yang mengatakan masih pikir-

Page 125: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 125 of 166 WWF-Indonesia

pikir mengajukan banding terhadap putusan pidana yang telah dibacakan Majelis Hakim, maka sebut Dasniel, putusan pidana tersebut belum mempunyai keputusan hukum yang tetap. ‘’Kita berikan waktu seminggu kepada terdakwa Astan, untuk menyatakan banding. Bila tidak ada jawaban dari terdakwa, maka putusan pidana yang telah dibacakan oleh Majelis Hakim, dianggap mempunyai keputusan hukum yang sah,’’ terang Dasniel. Dasniel menambahkan, terdakwa Astan, sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan bersama-sama dengan Pirman Hadi, Dirlan bin Marasin dan Yurman bin Idris (ketiganya meninggal dunia) serta Idit (DPO) dalam peburuan gajah di Hutan Lindung Mahato Desa Mahato Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rohul. ***(RPO) http://riauterkini.com/hukum.php?arr=9179 Detik.com, 9 April 2006. 19:45:14 WIB skor: 988 Sebulan Pisah, Temukan Keluarganya Terikat Rantai Inilah kisah sedih menimpa satu keluarga. Mereka berpisah lebih sebulan. Belakangan dua sanak familinya menemukan keluarganya dalam keadaan terikat rantai. http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/09/time/194514/idnews/573344/idkanal/10

Kompas Cyber Media, Selasa, 11 April 2006, 22:41 WIB

Surat Kepada Presiden untuk Selamatkan Gajah Sumatera

Jakarta, Selasa --Untuk menyelamatkan gajah Sumatera, hari Selasa ini (11/4), World Wide Fund for Nature (WWF) mengirimkan surat himbauan kepada Presiden Republik Indonesia.

Surat ini berisi permintaan agar pemerintah memperhatikan kondisi gajah Sumatera, khususnya di Provinsi Riau, yang dalam beberapa waktu terakhir ini mengalami laju kepunahan sangat tinggi.

Disebutkan bahwa populasi gajah Sumatera di Riau telah berkurang hingga 75 persen dari 1067-1617 ekor (data tahun 1985) menjadi 353-431 ekor (data tahun 2003). Dalam dua bulan terakhir saja, telah ditemukan 12 ekor gajah Riau mati terbunuh.

"Kondisi yang memprihatinkan ini telah menyita perhatian dunia, sebagaimana tergambar dalam sekitar 200 liputan di media nasional dan internasional dalam lima pekan terakhir," begitu dituliskan WWF dalam surat yang juga dialamatkan kepada Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Riau, serta bupati-bupati di lingkungan Pemda Riau.

WWF juga menegaskan bahwa habitat tempat tinggal gajah Sumatera di Riau terus menyempit akibat konversi hutan menjadi peruntukan non-kehutanan. Akibatnya, gajah terpaksa mencari pakan dan masuk ke perkebunan dan pemukiman yang sebelumnya adalah habitat satwa dilindungi tersebut.

Page 126: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 126 of 166 WWF-Indonesia

"Sangat disayangkan, situasi ini kerap kali menimbulkan kerugian material maupun jiwa manusia, selain juga menyebabkan kematian satwa langka ini," tulis WWF. "Kematian satwa biasanya karena diracun dan ditembak oleh masyarakat dan/atau perusahaan, dan buruknya penanganan selama proses penangkapan gajah oleh aparat setempat."

"Bapak Presiden, kami menyaksikan laju kepunahan gajah Sumatera di Riau dengan keprihatinan mendalam. Selama enam tahun terakhir, WWF-Indonesia telah berupaya keras menghentikan laju penurunan populasi gajah Sumatera di Riau, bekerjasama dengan Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah dan petugas terkait di lapangan. Dengan kecenderungan yang sedang terjadi di Riau, upaya tersebut tampaknya belum menunjukkan hasil yang nyata."

Oleh karenanya WWF menyampaikan himbauan kepada Presiden, agar memberikan dukungan bagi upaya penyelamatan dan konservasi gajah Sumatra dengan menindaklanjuti butir-butir berikut:

• Meminta Presiden agar memerintahkan kepada setiap warga negara Indonesia dan lembaga pemerintah untuk menghentikan pembunuhan gajah Sumatera, baik secara langsung melalui peracunan, penembakan atau penangkapan yang tidak profesional, maupun secara tidak langsung melalui perusakan habitatnya.

• Memerintahkan kepada lembaga-lembaga terkait dan perusahaan perkebunan untuk mengimplementasikan dengan tegas dan konsisten Protokol Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah yang dikembangkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau dan sejumlah LSM, termasuk WWF. Penangkapan gajah hendaknya menjadi alternatif terakhir, dan hanya dilakukan setelah implementasi Protokol Mitigasi Konflik tidak berhasil.

• Memerintahkan lembaga pemerintah terkait, Pemerintah Daerah dan perusahaan perkebunan untuk menghentikan konversi kawasan konservasi yang dilindungi oleh undang-undang dan membatalkan/mengembalikan izin konversi yang telah diberikan, terutama kawasan habitat gajah Sumatera. Untuk diketahui, Suaka Margasatwa Balai Raja Duri di Riau, dengan tutupan hutan seluas 16.000 hektar sewaktu ditetapkan, kini hanya tersisa 260 hektar saja.

• Mohon agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Riau dan Jambi yang mencakup seluruh hutan habitat gajah di sekitarnya, dapat diprioritaskan dan direalisasikan segera dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Balai Taman Nasional sebagai unit manajemen yang efektif. Kedua kawasan tersebut adalah benteng terakhir gajah Sumatera di bagian tengah Pulau Sumatera. Melindungi habitat mereka dan mengelolanya secara tepat akan memungkinkan gajah Sumatera hidup tanpa menimbulkan konflik besar dengan manusia seperti yang Riau hadapi sekarang.

• Mohon agar Presiden dapat memperkuat proses penegakan hukum dalam perlindungan gajah Sumatera dan habitatnya. Dengan dilaksanakannya proses penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum - upaya-upaya seperti membunuh gajah atau menelantarkan mereka setelah ditangkap, mengeluarkan izin dan/atau melakukan

Page 127: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 127 of 166 WWF-Indonesia

konversi hutan habitat gajah secara tidak sah - akan dapat dihentikan.

WWF-Indonesia juga menyatakan kesiapannya untuk membantu Pemerintah dalam mengimplementasikan rencana konservasi gajah Sumatera yang komprehensif.

Pada bagian akhir, surat yang ditandatangani Direktur Eksekutif WWF Indonesia, Mubariq Ahmad, PhD, menegaskan sekali lagi permohonan agar Presiden mendukung upaya penyelamatan gajah Sumatera.

"Mohon kiranya Bapak dapat memberikan dukungan terhadap upaya penyelamatan dan konservasi gajah Sumatera sebagai bentuk konkrit dari komitmen pemerintah Indonesia untuk perlindungan kekayaan hayati negara kita," tulis WWF. "Dukungan ini juga merupakan cerminan dari komitmen Indonesia dalam Convention of Biological Diversity yang sudah kita ratifikasi pada tahun 1994."

http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0604/11/224153.htm Apr 11 15:43 Seekor Bayi Gajah Terperangkap Jerat Babi di Riau Pekanbaru, (ANTARA News) - Seekor bayi gajah berusia 1,5 tahun kaki kanan bagian belakangnya menderita infeksi parah setelah terjerat tali nilon perangkap babi di areal perkebunan kelapa sawit di Desa Langkan, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau. "Anak gajah liar ini diperkirakan tertinggal dari induknya dan terperangkap jerat babi. Meski dia telah terlepas dari jerat tersebut namun tali nilon masih melilit kakinya hingga menyebabkan luka infeksi," ujar Kepala Seksi Wilayah I Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Riau Nukman ketika dihubungi di Langgam, Selasa (11/4). Menurut dia, anak gajah jantan itu bagian dari 14 ekor rombongan gajah liar yang mengganggu perkebunan sawit PT Peputra Suprajaya yang telah diusir ke kawasan hutan Tesso Nilo, tidak jauh dari areal perkebunan. Namun, lanjut dia, saat pengusiran anak gajah tersebut terperangkap jerat babi yang terbuat dari tali nilon sehingga melukai kakinya. "Diperkirakan, tali nilon yang masih melekat pada kaki gajah itu telah seminggu lamanya, hingga infeksi," katanya. Pihaknya, saat ini sedang menyiapkan tim penangkap gajah beserta gajah jinaknya untuk menangkap gajah kecil itu untuk diobati. "Jika, luka yang telah membusuk itu tidak segera ditangani maka infeksi bakal merenggut nyawa gajah kecil tersebut," kata Nukman. Sebanyak 14 ekor kawanan gajah liar yang terdiri dari induk dan beberapa anak-anaknya sejak empat bulan terakhir menghuni areal perkebunan PT Peputra Suprajaya dan meluluhlantakkan tanaman kebun

Page 128: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 128 of 166 WWF-Indonesia

perusahaan tersebut. Lokasi perkebunan kelapa sawit perusahaan tersebut berbatasan dengan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Siak Raya Timber yang letaknya berdampingan dengan kawasan konservasi gajah Tesso Nilo. "Gajah-gajah tersebut masuk ke perkebunan karena eks HPH Siak Raya Timber telah digunduli PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) untuk dijadikan lahan HTI (Hutan Tanaman Industri)," jelas Humas PT Peputra Suprajaya, Syamson. Ia berdalih, sejak hutan produksi terbatas itu digunduli untuk ditanami tanaman akasia, kawanan gajah masuk ke perkebunannya dan melahap tanaman sawit. "Biasanya gajah tersebut hanya lewat meski menyantap sawit tapi dapat kami maafkan karena yang dimakannya tidaklah banyak. Tapi kini keterlaluan," katanya. Ia mengatakan, lokasi hutan di dekat areal perkebunannya merupakan hutan sialang yang merupakan hutan adat yang hanya seluas 10 hektare. Menurut dia, luas hutan tersebut tidak cukup bagi belasan gajah dan tidak tersedia pula makanan. Sehingga, kawanan hewan berbelalai itu lebih memilih bermukim di areal kebun, walaupun pada siang hari mereka ke hutan sialang dan malam mencari makan di kebun sawit. Kawanan gajah liar itu sejak dua minggu terakhir telah diusir oleh tim pengusir dari KSDA dan WWF Riau, namun salah seekor anaknya tertinggal dan terperangkap jerat babi. Menurut catatan ANTARA, nasib anak gajah yang terjerat perangkap babi ini masih beruntung dibanding nasib anak gajah lainnya di Kabupaten Indragiri Hulu yang mati terjerembab di perkebunan setelah terpisah dari induknya pada akhir Maret 2006 lalu. Jumlah populasi gajah di Riau menurut KSDA setempat tahun 2004 mencapai 300-400 ekor, sementara tahun 2005 terdapat 39 ekor gajah yang mati dan hingga Pebuari 2006 angka kematian ini terus meningkat mencapai 45 ekor. http://www.antara.co.id/seenws/?id=31601 Detik.com, 11 April 2006. 16:27:53 WIB skor: 897 Lebih Dua Hari Gajah ABG Terjerat di Kebun Sawit Lebih dua hari seokor gajah ABG jantan terjerat di perkebunan kepala sawit milik PT Peputra. Pihak WWF Riau akan segera membebaskannya dari jeratan itu. Gajah jantan yang masih remaja ini diperkirakan salah sa http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/11/time/162753/idnews/573924/idkanal/10 Republika Online, Selasa, 11 April 2006 13:52:00 Penangkapan tak Profesional, Seekor Gajah Tangkapan Kritis

Pekanbaru-RoL--Akibat proses penangkapan yang kurang profesional, satu dari sepuluh ekor gajah liar hasil tangkapan tim Konservasi Sumber Daya

Page 129: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 129 of 166 WWF-Indonesia

Alam (KSDA) dan Dishut Riau, kini dalam keadaan kritis dan nyaris mati akibat menderita tetanus di bekas tembakan obat bius.

Gajah jantan berusia sekitar 12 tahun itu, Selasa pagi tiba-tiba rebah di lokasi penambatan di Kelurahan Balairaja, Kec.Pinggir, Kab.Bengkalis dan tidak mampu berdiri dengan napas megap-megap dan kejang-kejang. Sejak Sabtu (8/4) lalu gajah jantan remaja yang telah memiliki gading sepanjang 30 sentimeter ini, menderita demam hebat hingga tubuhnya menggigil dan tidak mau makan.

Bahkan, tim medis telah memberikan perawatan ekstra tidak hanya membersihkan abses (luka infeksi bernanah) dari bekas tembakan obat bius tetapi juga memberinya infus hingga 25 botol.Namun, perawatan ekstra pada gajah yang diberi inisial Gajah Jantan 2 itu tidak membuahkan hasil karena infeksi pada lukanya telah menjalar ke seluruh jaringan tubuh dan menimbulkan tetanus.

"Kami telah berupaya maksimal, tetapi kerusakan jaringan akibat tetanus sangat hebat hingga menyebabkannya kritis," ujar seorang tim medis drh Wisnu Wardana. Ia terlihat sangat sedih menatap hewan yang telah dirawatnya dengan susah payah namun harus mendekati ajal akibat perlakuan pascapenangkapan yang tidak baik.

Meskipun gajah remaja itu telah diinfusnya dan dua luka abses (infeksi bernanah) akibat tembakan obat bius di bagian paha kanan telah dibersihkan, namun infeksi dari luka itu telah menyebabkan tetanus yang menjalar pada jaringan tubuh. "Dua lobang absesnya berdekatan, menyebabkan kerusakan jaringan tubuhnya sangat hebat dan sampai ke organ dalam hingga menyebabkan tetanus," ujar Wisnu.

Konsultan World Wide Fun for Nature (WWF) Indonesia ini menjelaskan, tetanus merupakan penyakit mematikan yang sulit disembuhkan, bahkan di dalam literatur pun peluang untuk sembuh dari penyakit ini dari hewan yang terinfeksi hanya 19 persen. Bahkan, dari pengalamannya sebagai dokter hewan yang memiliki klinik hewan, dari tujuh ekor kuda yang menderita tetanus yang ditanganinya hanya tiga ekor yang hidup.

Menurut Wisnu, luka bekas tembakan obat bius pada gajah tangkapan di Riau merupakan salah satu penyebab mematikan bagi gajah terebut. Sebab, lanjut dia, luka bekas jarum suntik obat bius yang ditembak itu sangat kecil, kadang tidak terlihat dan baru diketahui setelah menjadi abses yakni luka pada jaringan kulit yang membengkak dan dipenuhi nanah.

Luka tembakan Menurut dia, penembakan obat bius dilakukan berulangkali pada seekor gajah liar bahkan dari sepuluh ekor gajah yang ditangkap itu, masing-masing gajah terdapat dua sampai tiga abses pada tubuhnya belum lagi luka bekas ikatan rantai besi pada kakinya. "Gajah-gajah ini hanya ditangkap tanpa dirawat pascapenangkapan," katanya seraya menjelaskan overdosis obat bius juga menjadi penyebab gajah tangkapan di Riau mati.

Sementara itu, dari catatan Antara, buruknya penanganan gajah hasil tangkapan akibat tembakan obat bius pada tahun 2001 pernah merisaukan seorang dokter hewan dari Amerika, Susan Mikota, yang langsung datang ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau di minas.

Page 130: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 130 of 166 WWF-Indonesia

Dokter hewan tersebut, merawat gajah-gajah tangkapan yang sekujur tubuhnya menderita abses dan kaki yang dipenuhi belatung karena luka goresan rantai besi. Luka-luka infeksi yang menjadi tetanus itu diakui Susan sebagai penyebab matinya gajah-gajah liar yang ditangkap.

Namun, dokter asing itu akhirnya diusir secara paksa oleh PLG karena tidak mau kasus `pembantaian` yang mereka lakukan terbongkar. Dan, kini kasus serupa terjadi di Balairaja. Saat akan melakukan penangkapan dengan anggaran dana Rp300 juta dari Dinas Kehutanan Riau, tim semula akan melakukannya secara diam-diam.

Namun, kasus tersebut terkuak karena gajah hasil tangkapan itu kondisinya kritis, kurus kering dan dehidrasi dan kurang diberi makan hingga kemudian setelah kasus ini mencuat baru kemudian tim medis berdatangan memberikan perawatan. antara/pur

http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=243236&kat_id=23 Surat Terbuka, WWF-Indonesia kepada Presiden SBY, 11 April 2006 Perihal: Himbauan Terbuka Untuk Penyelamatan dan Konservasi Gajah Sumatera 04-SP/WWF-ID/ED/04-06 11 April 2006 Kepada Yth, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Sekretariat Negara Republik Indonesia Gedung Utama Setneg Jl. Veteran No.17 Jakarta 10110

Dengan hormat,

Melalui surat ini kami ingin mohon perhatian Bapak terhadap kondisi gajah Sumatera, khususnya di Provinsi Riau yang dalam beberapa waktu terakhir ini mengalami laju kepunahan sangat tinggi. Perlu diketahui bahwa populasi gajah Sumatera di Riau telah berkurang hingga 75 persen dari 1067–1617 ekor (data tahun 1985) menjadi 353-431 ekor (data tahun 2003). Dalam dua bulan terakhir saja, telah ditemukan 12 ekor gajah Riau mati terbunuh. Kondisi yang memprihatinkan ini telah menyita perhatian dunia, sebagaimana tergambar dalam sekitar 200 liputan di media nasional dan internasional dalam lima pekan terakhir.

Habitat tempat tinggal gajah Sumatera di Riau terus menyempit akibat konversi hutan menjadi peruntukan non-kehutanan. Akibatnya, gajah terpaksa mencari pakan dan masuk ke perkebunan dan pemukiman yang sebelumnya adalah habitat satwa dilindungi tersebut. Sangat disayangkan, situasi ini kerap kali menimbulkan kerugian material maupun jiwa manusia, selain juga menyebabkan kematian satwa langka ini. Kematian satwa biasanya karena diracun dan ditembak oleh masyarakat dan/atau

Page 131: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 131 of 166 WWF-Indonesia

perusahaan, dan buruknya penanganan selama proses penangkapan gajah oleh aparat setempat.

Bapak Presiden, kami menyaksikan laju kepunahan gajah Sumatera di Riau dengan keprihatinan mendalam. Selama enam tahun terakhir, WWF-Indonesia telah berupaya keras menghentikan laju penurunan populasi gajah Sumatera di Riau, bekerjasama dengan Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah dan petugas terkait di lapangan. Dengan kecenderungan yang sedang terjadi di Riau, upaya tersebut tampaknya belum menunjukkan hasil yang nyata. Oleh karena itu, kami menghaturkan himbauan kepada Bapak Presiden, agar kiranya memberikan dukungan bagi upaya penyelamatan dan konservasi gajah Sumatra dengan menindaklanjuti butir-butir berikut: 1. Mohon kiranya Bapak dapat memerintahkan kepada setiap warga negara

Indonesia dan lembaga pemerintah untuk menghentikan pembunuhan gajah Sumatera baik secara langsung melalui peracunan, penembakan atau penangkapan yang tidak profesional, maupun secara tidak langsung melalui perusakan habitatnya.

2. Memerintahkan kepada lembaga-lembaga terkait dan perusahaan perkebunan untuk mengimplementasikan dengan tegas dan konsisten Protokol Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah yang dikembangkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau dan sejumlah LSM, termasuk WWF. Penangkapan gajah hendaknya menjadi alternatif terakhir, dan hanya dilakukan setelah implementasi Protokol Mitigasi Konflik tidak berhasil.

3. Memerintahkan lembaga pemerintah terkait, Pemerintah Daerah dan perusahaan perkebunan untuk menghentikan konversi kawasan konservasi yang dilindungi oleh undang-undang dan membatalkan/mengembalikan izin konversi yang telah diberikan, terutama kawasan habitat gajah Sumatera. Untuk Bapak ketahui, Suaka Margasatwa Balai Raja Duri di Riau, dengan tutupan hutan seluas 16.000 hektar sewaktu ditetapkan, kini hanya tersisa 260 hektar saja.

4. Mohon agar perluasan Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Riau dan Jambi yang mencakup seluruh hutan habitat gajah di sekitarnya, dapat diprioritaskan dan direalisasikan segera dan ditindaklanjuti dengan pembentukan Balai Taman Nasional sebagai unit manajemen yang efektif. Kedua kawasan tersebut adalah benteng terakhir gajah Sumatera di bagian tengah Pulau Sumatera. Melindungi habitat mereka dan mengelolanya secara tepat akan memungkinkan gajah Sumatera hidup tanpa menimbulkan konflik besar dengan manusia seperti yang Riau hadapi sekarang.

5. Mohon kiranya Bapak dapat memperkuat proses penegakan hukum dalam perlindungan gajah Sumatera dan habitatnya. Dengan dilaksanakannya proses penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum – upaya-upaya seperti membunuh gajah atau menelantarkan mereka setelah ditangkap, mengeluarkan izin dan/atau melakukan konversi hutan habitat gajah secara tidak sah– akan dapat dihentikan.

Page 132: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 132 of 166 WWF-Indonesia

Bapak Presiden, WWF-Indonesia siap bekerjasama membantu Pemerintah cq. Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah dan Lembaga terkait lainnya dalam mengimplemantasikan rencana konservasi gajah Sumatera yang komprehensif. Mohon kiranya Bapak dapat memberikan dukungan terhadap upaya penyelamatan dan konservasi gajah Sumatera sebagai bentuk konkrit dari komitmen pemerintah Indonesia untuk perlindungan kekayaan hayati negara kita. Dukungan ini juga merupakan cerminan dari komitmen Indonesia dalam Convention of Biological Diversity yang sudah kita ratifikasi pada tahun 1994. Atas perhatian dan dukungan Bapak, kami ucapkan terima kasih. Hormat Kami,

Mubariq Ahmad, PhD Direktur Eksekutif Tembusan disampaikan dengan hormat:

1. Bapak Menteri Kehutanan 2. Bapak Menteri Pertanian 3. Bapak Menteri Negara Lingkungan Hidup 4. Bapak Menteri Dalam Negeri 5. Bapak Gubernur Riau 6. Bapak-Bapak Bupati di lingkungan Pemda Riau 7. Ketua Badan Pengurus Yayasan WWF-Indonesia 8. Eksekutif Direktur WALHI Nasional 9. Eksekutif Direktur WALHI Riau 10. Koordinator JIKALAHARI 11. Media

Republika Online, Rabu, 12 April 2006 14:30:00 Penanganan Gajah di Riau Hanya Jadi 'Proyek'

Pekanbaru-RoL -- Ketua DPRD Riau drh H Chaidir MM menilai, penanganan gajah sumatera di Riau tidak profesional bahkan terkesan dijadikan proyek guna menghabiskan anggaran yang disediakan.

"Saya melihat pihak yang diberi kepercayaan untuk menangani permasalahan gajah di Riau khususnya di Balai Raja, Kabupaten Bengkalis tidak profesional sekali," ujarnya menjawab wartawan di Pekanbaru, Rabu.

Dia mengatakan, mengapa dirinya mengatakan tidak profesional karena melihat gajah-gajah yang sudah ditangkap dibiarkan begitu saja, padahal seharusnya perlakuan terhadap hewan langka itu tidak demikian.

"Setelah hewan itu ditangkap lalu dirantai, dan dibiarkan begitu saja tanpa diberi makan, ini kan sudah tidak benar," ujarnya lagi. Dikatakannya, dirinya juga melihat ada kesan pihak yang diberi kepercayaan untuk menangani persoalan gajah ini bekerja sekehendak hati saja dan menganggap pekerjaan ini semacam proyek.

Page 133: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 133 of 166 WWF-Indonesia

"Misalnya dana yang dianggarkan Rp300 juta, dari anggaran itu diharuskan menangkap 15 ekor gajah, lalu setelah satu ekor gajah ditangkap, dilakukan penangkapan terhadap gajah lainnya, gajah pertama yang ditangkap tadi dibiarkan begitu saja," ujarnya lagi.

Ditambahkannya, sebenarnya ada cara lain, misalnya dengan mengusir gajah-gajah tersebut ke kawasan lainnya dan kalau terpaksa ditangkap harusnya gajah-gajah yang dianggap mengganggu saja ditangkap dan direlokasi. "Yang jelas saya melihat ini tidak profesional sekali, karena wajar saja banyak gajah yang ditangkap itu banyak yang sakit dan stres dan akhirnya mati," ujarnya lagi.

Dia juga menyarankan, agar instansi yang diberi kepercayaan untuk menangani hal ini melakukan kerjasama dengan pakar-pakar yang memang ahli dalam hal ini dan harus melibatkan LSM-LSM yang berkompeten dan berpengalaman dalam menangani persoalan gajah. "Jika tidak, saya yakin persoalan gajah tidak akan selesai. Perlakukan hewan itu sebaik mungkin, jangan sekehendak hati saja," ujarnya.

Terhadap kondisi kehidupan gajah di Riau ini, sebelumnya pihak WWF telah mengirim surat kepada Presiden yang isinya meminta perhatian pemerintah dalam penanganan gajah khususnya di Riau karena dalam dua bulan terakhir setidaknya 12 ekor gajah ditemukan mati terbunuh. antara/pur

http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=243415&kat_id=23 Republika Online, Rabu, 12 April 2006 19:41:00 Populasi Gajah Berkurang Lebih 50 Persen Selama 20 Tahun

Jakarta-RoL -- Populasi gajah di Indonesia telah berkurang lebih dari 50 persen selama dua puluh tahun dari sekitar 4.500 ekor pada 1985 menjadi hanya 2.000 ekor pada saat ini.

"Gajah tersebut tersebar di Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumbar, Riau, Sumut, dan Aceh," kata Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam, Arman Malolongan, di Dephut, Jakarta, Selasa. Gajah-gajah tersebut selain berada di habitatnya juga berada di luar habitat. Gajah yang berada di luar habitat sekitar 635 ekor yakni berada di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) 310 ekor. Taman rekreasi dan kebun binatang 173 ekor, serta di perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar 152 ekor.

Namun keberadaan gajah di HPH tersebut perlu diteliti lagi apakah masih ada atau tidak. Sekitar tahun 1990-an, Dephut meminta HPH untuk memelihara gajah yang saat itu banyak yang mengamuk akibat habitatnya semakin berkurang. Gajah-gajah tersebut sudah terlatih dan diharapkan dapat membantu perusahaan untuk mengangkut kayu.

Mengenai penyebab berkurangnya populasi gajah tersebut, Arman mengatakan, untuk gajah yang tinggal di tempat habitanya antara lain karena fragmentasi habitat sehingga habitat gajah yang semula satu kesatuan menjadi terpisah-pisah. "Padahal gajah perlu tempat yang luas," katanya.

Page 134: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 134 of 166 WWF-Indonesia

Selain itu juga terjadi degradasi habitat antara lain akibat perubahan fungsi hutan terutama di Sumatera Utara dan Riau. "Perambahan hutan juga banyak terjadi di Lampung," kata Arman. Penyebab turunnya populasi gajah yang tidak kalah pentingnya adalah perburuan liar antara lain untuk mengambil gading gajah. Sebagai contoh, katanya, baru-baru ini sebanyak enam gajah mati diburu di Tapanuli Selatan, Sumut (sebelumnya disebutkan di Riau).

Saat ini sudah ada titik temu pelaku pembunuhan gajah tersebut. "Targetnya adalah menemukan mereka yang meracun gajah dan yang mengambil gadingnya," kata Arman. Sebelumnya LSM lingkungan WWF telah mengirim surat kepada Presiden yang isinya meminta perhatian pemerintah dalam penanganan gajah khususnya di Riau karena dalam dua bulan terakhir setidaknya 12 ekor gajah kedapatan mati terbunuh.

Mengenai penangkapan gajah oleh Pemda Riau, Arman mengatakan, bahwa tindakan penangkapan harus menjadi tindakan yang terakhir karena mengandung risiko tinggi. Selain memerlukan biaya tinggi untuk membius, juga belum ada cara yang membuat gajah tersebut tidak cidera.

Gajah yang telah dibius biasanya dirantai. Setelah siuman, gajah seringkali berontak sehingga menyebabkan kakinya terluka. Ia mengatakan, dari 10 gajah yang ditangkan, sebanyak dua gajah kondisinya kritis karena luka parah. Saat ini, kata Arman, sudah dikirim dokter hewan untuk menangani gajah tersebut. Mengenai upaya untuk mengamankan populasi gajah, Arman mengatakan, pihaknya akan berupaya keras agar gajah-gajah tersebut dapat berkembang biak.

Pemerintah, katanya, antara lain berupaya memperluas habitat gajah seperti yang dilakukan di Riau yakni memperluas Taman Nasional Tesonilo. Pada habitat gajah yang sudah terfragmentasi, diupayakan dibuat koridor sehingga gajah dapat menyeberang dari satu habitat ke habitat lainnya yang terpisah.

Upaya lain adalah translokasi atau memindahkan gajah dari satu lokasi ke lokasi lain yang lebih cocok, kapasitas personel akan ditingkatkanm dan merestorasi taman nasional yang rusak. antara/pur

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=243466&kat_id=23 Riau Pos, Rabu, 12 April 2006 Gajah Liar Terkapar dan Diinfus DURI (RP) - Kendati sudah mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, kondisi 10 ekor gajah tangkapan BKSDA yang kini ditambat dalam kawasan hutan di Kelurahan Balairaja Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis Riau tampak masih sangat mencemaskan. Selasa (11/4) kemarin saja, satu gajah terkapar tiba-tiba sementara satu ekor lagi sempat pula muntah-muntah. Ketua Tim Penanggulangan Bencana Amuk Gajah Kelurahan Balairaja Berton Panjaitan SE kepada Riau Pos kemarin menyampaikan kekhawatirannya setelah memantau kondisi gajah tersebut dari jam 10.00 pagi hingga jam 13.30 siang.

Page 135: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 135 of 166 WWF-Indonesia

‘’Kondisi dua ekor gajah tampak sangat memprihatinkan. Yang satu terkapar. Sewaktu saya sampai di TKP kondisinya masih megap-megap. Sedangkan satu ekor lagi sempat pula muntah-muntah,’’ ucap Berton prihatin. Melihat kondisi yang mencemaskan itu, petugas pencinta gajah dari berbagai pihak yang berada di lapangan langsung melakukan tindakan pertolongan pertama. Baik gajah yang terkapar maupun yang mengalami muntah-muntah langsung diinfus demi penyelamatan nyawa mereka. Untuk satu hari, satu ekor gajah itu bisa menghabiskan 25 hingga 30 botol infus, ujar Berton mengutip ucapan petugas lapangan. Kabar terbaru dari lokasi pemasungan gajah liar ini cukup mengagetkan. Bila semua pihak terutama instansi pemerintah terkait tak juga cepat tanggap, kabar lebih buruk bisa saja tersiar dalam beberapa hari mendatang. Pasalnya, kesalahan penanganan awal hingga membuat gajah-gajah ini didera infeksi bisa saja mengundang malaikat maut datang bertandang. Seperti dituturkan Berton, beberapa pihak yang sangat peduli terhadap keselamatan gajah Sumatera yang di ambang kepunahan itu hingga Selasa kemarin tetap tak beranjak dari lapangan. Diantaranya dokter hewan Christoper Secremune dari Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) Medan, Nazaruddin (pakar gajah dari Way Kambas Lampung), staf WWF Riau yang turun ke lapangan secara bergiliran, serta petugas dari PLG Minas. Sementara itu konsultan WWF dari Jakarta drh Wisnu Wardhana kemarin masih berada di Bukittinggi untuk satu urusan dan baru akan balik Kamis (13/4) besok. Terkaparnya satu ekor gajah serta muntah-muntahnya seekor gajah lain itu, menurut beberapa sumber di lapangan, diduga kuat berkaitan erat dengan infeksi yang sedang mereka idap. Infeksi tersebut terjadi karena kedua kaki belakang sepuluh ekor gajah itu terluka dalam perantaian awal yang tidak tepat lalu digerogoti infeksi. Tak hanya itu, kesalahan sasaran tembakan bius di tubuh gajah tersebut juga dikeluhkan beberapa pihak. Kamis siang kemarin, Berton mengaku langsung mengontak drh Wisnu Wardhana guna mengabarkan kondisi terakhir gajah-gajah tersebut. Menurutnya, dokter hewan yang juga konsultan kebun binatang Bukittinggi itu sempat mengangis mendengar kondisi terbaru gajah-gajah yang ikut ia tangani itu. Seperti ditirukan Berton, terkapar serta muntah-muntahnya gajah itu, menurut Wisnu, merupakan salah satu akibat dari infeksi yang ia derita. Infeksi itu sangat berbahaya dan bisa saja mematikan gajah itu dalam waktu dekat, tambahnya. Penanganan yang dilakukan berbagai pihak terkait terhadap kesepuluh ekor gajah ini tampaknya sudah maksimal dengan segala keterbatasan yang ada. Hanya saja amat disayangkan karena hingga kini belum juga ada gerakan terpadu dari seluruh pihak terkait disertai dana penanganan yang memadai. Selain didera infeksi, ketersediaan makanan untuk gajah-gajah itu juga memprihatinkan. Hendaknya, pihak pemerintah tertinggi di daerah ini segera mencurahkan perhatian serius sebelum berlaku kejadian yang lebih fatal,’’ harap Berton. Tak hanya kondisi gajah itu yang memprihatinkan, keadaan para pekerja lapangan dari BKSDA ataupun petugas dari PLG Minas juga tak kalah

Page 136: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 136 of 166 WWF-Indonesia

merisaukan. Dana operasional untuk para petugas lapangan itu ditengarai sangat tak memadai. Dalam kondisi seperti itu, dikhawatirkan penanganan gajah hasil tangkapan BKSDA itu tak akan maksimal, pungkas Berton.(sda) http://www.riaupos.com/web/content/view/10691/6/ Rabu, 12 April 2006 09:06 Investigasi Riauterkini di Balai Raja 10 Gajah Tangkapan, 1 Sekarat, 1 Dirawat 6 dari 10 Gajah tangkapan anggota PLG Minas yang ditambat di tepi hutan Balai Raja sakit. Bahkan 1 ekor pejantan sekarat. 1 ekor lagi sedang dalam perawatan intensif. Riauterkini-PEKANBARU-Selasa (11/4), Riauterkini melakukan investigasi media ke SM Balai Raja. Tepatnya ke lokasi penambatan 10 ekor gajah tangkapan anggota PLG Minas 1 bulan lalu. Gajah-gajah tersebut kini sedang dirawat secara intensif karena 6 diantaranya sakit akibat infeksi. Rata-rata pergelangan gajah-gajah terdapat luka. Bahkan 2 gajah yang sakit di infus dengan cairan NL dan Glukosa. Bahkan Ahad (9/4) lalu telah menghabiskan 30 botol infus. Sementara Selasa (11/4) satu ekor gajah telah menghabiskan 15 botol infus. Upaya perawatan melibatkan 12 anggota yang menangkap gajah-gajah tersebut. Selain itu juga melibatkan 4 dokter hewan. Yaitu Kepala PLG Minas, Rini Deswita, dokter hewan dari WWF, Wisnu, dokter asal Jerman dari yayasan gajah sumatera (YAGASU), Christoper dan Wahyu serta ahli gajah dari Way Kambas Lampung. Dokter hewan yang juga Kepala PLG Minas, Rini Deswita membenarkan adanya gajah yang sedang sakit. Menurutnya gajah tersebut roboh dan tidak mampu berdiri sejak pagi hari (11/4). “Gajah yang roboh adalah gajah jantan. Ia tumbang dan tidak mampu berdiri lagi sejak pagi hari ini,“ terangnya. Gajah pejantan yang tumbang adalah gajah jantan 2. Kondisinya cukup mengenaskan karena terjadi infeksi di pergelangan kaki dan leher. Bahkan kaki gajah pejantan 2 mengalami pembengkakan akibat tetanus yang berasal dari luka infeksi. Ketahanan hidupnya diperkirakan hanya 10 %. Dokter hewan asal Jerman, Christoper mengungkapkan gajah-gajah tersebut mengalami tetanus akibat infeksi serta stress. Akibatnya mereka tidak bisa makan. Terpaksa dilakukan infus sebagai ganti makanan . “Kalau gajah-gajah tersebut tidak makan, maka sisa-sisa makanan dalam tubuh gajah tidak bisa keluar. Karena jika tidak ada makanan yang masuk dan mendorong sisa-sisa makanan, maka kotoran gajah tidak akan keluar dan harus dibantu,“ terangnya sembari mengeluarkan kotoran gajah dengan memasukkan tangannya ke anus gajah. Selain mengeluarkan kotoran gajah, Chris bersama-sama dengan tim lainnya membersihkan perut gajah dengan menginjectkan air suling ke perut gajah melalui anus. Dampak perilaku tersebut, kotoran tersemprot keluar bersama sisa-sisa makanan.

Page 137: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 137 of 166 WWF-Indonesia

Untuk membantu kerja tim dalam mensuply makanan, 10 hari terakhir ini 2 ekor gajah terlatih dari PLG Minas di perbantukan di lokasi. Gajah-gajah tersebut membantu mengangkat makanan dari jalan menuju ke lokasi gajah. Selain itu, gajah terlatih tersebut juga membantu menggiring gajah tangkapan untuk ditambatkan ke tambatan lain setelah menjalani perawatan. Untuk makanan gajah, tim telah menyiapkan makanan untuk gajah berupa pisang, nenas, wortel, tebu, batang pisang dan tangkai daun kelapa. Makanan-makanan tersebut disuply setiap hari dengan volume sangat tinggi. Karena perharinya 1 ekor gajah mampu memakan makanan seberat 10 % dari bobot badannya sendiri. (BB gajah 1 ton = 100 Kg). Informasi yang dihimpun Riauterkini di lapangan menunjukkan bahwa 4 dari 10 gajah sudah pulih kondisinya dan siap dilepaskan kembali. Yang masih menjadi permasalahan adalah hingga kini belum ada lokasi yang bakal menjadi tempat pelepasan gajah-gajah tersebut. “Dishut dan BKSDA saat ini sedang melakukan survey untuk mencari lokasi penempatan gajah-gajah. Ada beberapa tempat yang dilakukan survey. Yaitu blok Libo dan Tesso Nilo. Namun hingga kini belum ada informasi lokasi penempatan. Kalaupun sudah ada, tim tidak akan melepas gajah-gajah tersebut sendiri-sendiri. Kita akan melepas minimal sepasang-sepasang,“ ungkap salah satu anggota tim. Menurutnya, saat ini sudah ada 4 ekor yang siap di lepaskan. Kemudian akan menyusul 3 atau 4 gajah lainnya. Mengenai obat-obatan, informasi yang dihimpun Riauterkini terungkap hingga kini Dishut Riau tidak ada dana untuk upaya penyelamatan gajah-gajah. Karena walaupun sudah dianggarkan pada APBD Riau 2006, dana tersebut baru akan cair bulan Juni mendatang. Untuk mensuply obat-obatan, saat ini beberapa sumber sudah menyediakan obat-obatan seperti WWF maupun YAGASU. Aktivis WWF Nurchalis Fadli ketika dikonfirmasi menyatakan bahwa WWF memang aktif mengirimkan obat-obatan. ***(H-we) KOMPAS, Kamis, 13 April 2006 oleh Neli Triana Wisnu Wardana, Dokter Gajah Liar

Berada di belantara Suaka Margasatwa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, tepat di tengah kelompok gajah liar, laki-laki separuh baya itu tampak santai. Kaus dan celana hitam selutut menjadi seragamnya, sendal jepit dan topi turut melengkapi.

Wisnu Wardana, demikian nama laki-laki asal Boyolali, Jawa Tengah, kelahiran 25 Mei 1959 itu, adalah salah satu dari segelintir dokter hewan di Indonesia yang ahli di bidang medis satwa liar.

Selama dua pekan hingga awal April ini, Wisnu sibuk luar biasa. Sabtu (8/4) siang itu, Wisnu baru selesai mengoperasi salah satu gajah liar yang sakit.

Page 138: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 138 of 166 WWF-Indonesia

Bahu kanan gajah itu terinfeksi akibat lubang menganga karena tembakan. Sebelumnya, bersama dua dokter dari Yayasan Gajah Sumatera, Wisnu menyelesaikan operasi tiga gajah liar lain.

"Gajah ini merupakan bagian dari 10 ekor gajah liar yang menyerang Desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Maret lalu. Mereka ditangkap petugas setempat untuk dialihkan ke lokasi penampungan agar tidak mengganggu masyarakat. Namun, ada kesalahan prosedur sehingga justru gajah-gajah ini terluka parah dan hampir mati kelaparan," katanya.

Sebagai dokter yang dipercaya menjadi konsultan penanganan satwa liar oleh World Wide Fund for Nature (WWF), Wisnu langsung dihubungi begitu organisasi dunia pemerhati kehidupan satwa liar itu menemukan 10 ekor gajah liar dalam kondisi terikat, terluka parah, dan kelaparan di daerah Balai Raja akhir Maret lalu.

Pertama kali melihat kondisi 10 gajah liar itu, Wisnu yang juga bekerja di Balai Penyelidikan dan Pengujian Veterinary Regional II, Bukittinggi, Sumatera Barat, tak kuasa menahan air mata. Rasa sedih dan marah meluap di hatinya.

"Kaki mereka terluka begitu hebat karena tergerus rantai pengikat. Kulitnya terkelupas hingga menampakkan dagingnya yang kemudian membusuk. Tak ada makanan apa pun tersedia di sekitar gajah diikat. Mereka sudah 10 hari tidak makan!" ungkap Wisnu.

Semakin menyusut

Menurut Wisnu yang mengamati perkembangan masalah lingkungan di Riau sejak tahun 1985-an dan dari berbagai jurnal penelitian, gajah sumatera yang berhabitat di hutan Riau pada tahun 1980-an berjumlah sekitar 1.600 ekor.

Dalam waktu 20 tahun terakhir, populasi binatang endemik Sumatera ini terus menyusut. Tahun 2006, diperkirakan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Riau kurang dari 300 ekor.

Populasi itu berkurang drastis akibat menipisnya luasan hutan, habitat alami binatang ini. Berdalih pembangunan dan peningkatan perekonomian rakyat, antara tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an pembukaan hutan di Riau sempat dilegalkan, antara lain lewat hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI).

Sebagai dokter yang juga ilmuwan dan peneliti, Wisnu mengerti benar tentang kearifan alam. Hutan ada untuk mengolah air dan udara yang tercemar agar kebutuhan dasar manusia dan seluruh makhluk hidup selalu terpenuhi.

Memahami fenomena alam, menurut Wisnu tidak harus dengan menuntut pendidikan formal. Yang penting keinginan selalu belajar dan sering-sering berada di lapangan, langsung menimba ilmu dari sumbernya.

Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor tahun 1985 ini memang tidak terlalu menyukai gelar formal. Namun, berbagai kursus

Page 139: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 139 of 166 WWF-Indonesia

dan pendalaman materi serta praktik lapangan menyangkut dunia medis hewan telah dilakukannya hingga ke Munchen, Jerman, beberapa negara di Asia, dan Amerika Serikat.

Di Arkansas, Amerika Serikat, pada tahun 2003 ia mengikuti pendidikan dan pelatihan penanganan medis khusus satwa liar. Penanganan medis terhadap gajah liar adalah pilihannya dan menjadi bidang keahlian tambahan yang kini dia kuasai.

Hewan besar

Dalam kegiatannya sehari-hari, ayah dua putra ini antara lain berhasil melatih 17 anjing pelacak narkotika dan obat-obatan terlarang yang kini tersebar di berbagai bandara internasional di Indonesia. Tim anjing pelacak binaannya itu berhasil memergoki Corby, model asal Australia, dan enam warga Australia anggota sindikat perdagangan narkoba di Bali.

Wisnu juga laris diminta menjadi konsultan sejumlah kebun binatang di Indonesia. Selain membuka praktik pribadi di Jakarta dan Bukittinggi, ia menjadi pengawas Kebun Binatang Bukittinggi. Di kebun binatang ini, ia mulai intensif menangani hewan besar, seperti unta, orangutan, dan gajah.

Operasi kepala orangutan pernah dia lakukan dan binatang yang sempat divonis bakal kehilangan nyawa itu sekarang masih asyik menghibur pengunjung kebun binatang. Perkenalan dengan hewan besar itu turut memberinya bekal dasar menekuni penanganan satwa liar, terutama gajah.

WWF termasuk salah satu pihak yang kemudian mendaulatnya sebagai konsultan penanganan medis terhadap gajah liar. Kerja sama dengan WWF semakin mempererat "hubungan kasih"-nya dengan gajah liar. Menurut dia, gajah adalah binatang paling cerdas dan berperasaan halus.

Jumlah pakan yang dikonsumsinya sama besar dengan keuntungan yang bakal diperoleh alam dari kotorannya. Biji tanaman dalam kotoran gajah akan tersebar ke seluruh areal hutan sebab radius jelajah gajah mencapai 10 kilometer persegi.

Wisnu menegaskan, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat Riau turut andil dalam pelestarian gajah. Kehidupan gajah dan satwa liar yang terjamin dalam hutan yang lestari berarti telah melestarikan kehidupan manusia.

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/13/Sosok/2574193.htm Detik.com, 12 April 2006. Akibat Tetanus, Satu Keluarga Gajah Terancam Mati Nasib apes menimpa satu keluarga gajah. Mereka ditangkap, diikat dengan rantai dan menyisakan infeksi serius. Malah sebagian ekor gajah mengalami tetanus. Mereka terancam mati. Menteri Kehutanan MS Kaban diminta segera mengambil tindakan http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/12/time/165330/idnews/574732/idkanal/10

Page 140: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 140 of 166 WWF-Indonesia

ANTARA, Apr 13 10:10 Dalam 20 Tahun Populasi Gajah Berkurang Lebih Dari 50 persen Jakarta, (ANTARA News) - Populasi gajah di Indonesia telah berkurang lebih dari 50 persen selama dua puluh tahun dari sekitar 4.500 ekor pada 1985 menjadi hanya 2.000 ekor pada saat ini. "Gajah tersebut tersebar di Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumbar, Riau, Sumut, dan Aceh," kata Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam, Arman Malolongan, di Dephut, Jakarta, Selasa (11/4). Gajah-gajah tersebut selain berada di habitatnya juga berada di luar habitat. Gajah yang berada di luar habitat sekitar 635 ekor yakni berada di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) 310 ekor. Taman rekreasi dan kebun binatang 173 ekor, serta di perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sekitar 152 ekor. Namun keberadaan gajah di HPH tersebut perlu diteliti lagi apakah masih ada atau tidak. Sekitar tahun 1990-an, Dephut meminta HPH untuk memelihara gajah yang saat itu banyak yang mengamuk akibat habitatnya semakin berkurang. Gajah-gajah tersebut sudah terlatih dan diharapkan dapat membantu perusahaan untuk mengangkut kayu. Mengenai penyebab berkurangnya populasi gajah tersebut, Arman mengatakan, untuk gajah yang tinggal di tempat habitanya antara lain karena fragmentasi habitat sehingga habitat gajah yang semula satu kesatuan menjadi terpisah-pisah. "Padahal gajah perlu tempat yang luas," katanya. Selain itu juga terjadi degradasi habitat antara lain akibat perubahan fungsi hutan terutama di Sumatera Utara dan Riau. "Perambahan hutan juga banyak terjadi di Lampung," kata Arman. Penyebab turunnya populasi gajah yang tidak kalah pentingnya adalah perburuan liar antara lain untuk mengambil gading gajah. Sebagai contoh, katanya, baru-baru ini sebanyak enam gajah mati diburu di Tapanuli Selatan, Sumut (sebelumnya disebutkan di Riau). Saat ini sudah ada titik temu pelaku pembunuhan gajah tersebut. "Targetnya adalah menemukan mereka yang meracun gajah dan yang mengambil gadingnya," kata Arman. Sebelumnya LSM lingkungan WWF telah mengirim surat kepada Presiden yang isinya meminta perhatian pemerintah dalam penanganan gajah khususnya di Riau karena dalam dua bulan terakhir setidaknya 12 ekor gajah kedapatan mati terbunuh. Mengenai penangkapan gajah oleh Pemda Riau, Arman mengatakan, bahwa tindakan penangkapan harus menjadi tindakan yang terakhir karena mengandung risiko tinggi. Selain memerlukan biaya tinggi untuk membius, juga belum ada cara yang membuat gajah tersebut tidak cidera. Gajah yang telah dibius biasanya dirantai. Setelah siuman, gajah seringkali berontak sehingga menyebabkan kakinya terluka. Ia mengatakan, dari 10 gajah yang ditangkan, sebanyak dua gajah kondisinya kritis karena luka parah. Saat ini, kata Arman, sudah dikirim dokter hewan

Page 141: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 141 of 166 WWF-Indonesia

untuk menangani gajah tersebut. Mengenai upaya untuk mengamankan populasi gajah, Arman mengatakan, pihaknya akan berupaya keras agar gajah-gajah tersebut dapat berkembang biak. Pemerintah, katanya, antara lain berupaya memperluas habitat gajah seperti yang dilakukan di Riau yakni memperluas Taman Nasional Tesonilo. Pada habitat gajah yang sudah terfragmentasi, diupayakan dibuat koridor sehingga gajah dapat menyeberang dari satu habitat ke habitat lainnya yang terpisah. Upaya lain adalah translokasi atau memindahkan gajah dari satu lokasi ke lokasi lain yang lebih cocok, kapasitas personel akan ditingkatkanm dan merestorasi taman nasional yang rusak.(*) Siaran Pers, 15 April 2006. Satu Ekor Gajah Tangkapan Dishut Riau Mati. WWF meminta proses penegakan hukum yang transparan: “Perlu segera dibentuk tim investigasi untuk mengusut pelaku pelanggaran hukum dalam penangkapan gajah liar”

PEKANBARU—Satu ekor gajah tangkapan Dinas Kehutanan Riau kemarin (14/4) mati setelah jatuh terkapar selama hampir tiga hari akibat tetanus. Gajah jantan berusia sekitar 9 tahun tersebut mati setelah luka pada kaki - yang disebabkan oleh lilitan rantai dan tembakan panah tumpul yang tidak steril saat penangkapan - mengalami infeksi parah. “Gajah ini hanyalah satu dari sekian banyak gajah liar yang mati akibat kesalahan prosedur penangkapan selama bertahun-tahun,” kata drh. Wisnu Wardana, praktisi dokter hewan yang melakukan upaya pertolongan medis sejak satwa dilindungi tersebut ditemukan pada 21 Maret lalu . WWF menemukan gajah liar itu - bersama 9 ekor lainnya - dalam kondisi terluka, lemah dan terikat tanpa makanan dan air di Balai Raja, Riau. Meski berbagai upaya medis telah dilakukan untuk menyelamatkan gajah liar ini– mulai dari suntikan vitamin, antibiotic, serum anti tetanus hingga puluhan botol infus, satwa malang ini tak dapat diselamatkan. “Sudah lebih dari 70 botol infus kami berikan sejak gajah ini mengalami masa kritis 9 April lalu, “ kata drh. Wisnu. Ia berharap kesembilan ekor lainnya dapat diselamatkan. Saat ini, satu ekor gajah liar lainnya (betina) dalam kondisi kritis, sementara delapan ekor lainnya sedang dalam perawatan serius oleh tim medis WWF dan Yayasan Gajah Sumatra. “Penangkapan seharusnya menjadi alternatif terakhir dalam penanganan konflik gajah liar, dan hanya dilakukan oleh tim penangkap professional yang didampingi oleh ahli medis dan tim pemantau terkait lainnya, “kata Wisnu. Konsultan medis WWF ini juga menyayangkan adanya penelantaran terhadap gajah-gajah liar tersebut setelah penangkapan. “Sewaktu ditemukan, 10 gajah tersebut setidaknya sudah dibiarkan terikat selama lebih dari 10 hari tanpa perawatan terhadap luka-lukanya” katanya. Menurut drh. Wisnu, jika luka paska penangkapan tidak langsung diobati, maka peluang gajah liar tersebut untuk hidup akan sangat kecil. “Meski diobati, gajah yang mengalami infeksi biasanya hanya berpeluang 25% untuk sembuh dan biaya pengobatan pun sangat tinggi,” jelasnya.

Page 142: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 142 of 166 WWF-Indonesia

WWF mencatat bahwa sedikitnya 201 gajah liar ditangkap oleh pemerintah di Riau sejak tahun 2000 sebagai upaya penanganan konflik. Sedikitnya 46 ekor diantaranya mati akibat penangkapan yang tidak professional, misalnya akibat luka infeksi karena rantai yang terlalu kuat mengikat kaki, jarum bius yang tidak steril, overdosis obat bius, dan luka-luka pasca penangkapan yang tidak segera mendapat pengobatan. Sementara, 41 ekor diantaranya dilepaskan kembali setelah ditangkap –tanpa pernah dicek diketahui kondisinya oleh tim pelepas. WWF juga mencatat sedikitnya ada 103 ekor gajah tangkapan dan peliharaan di Riau yang tidak diketahui nasibnya antara tahun 2000-2006. “Perlu segera dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki secara tuntas kasus pelanggaran hukum terkait dengan perlindungan gajah sumatra dan habitatnya, “ kata Nurchalis Fadhli, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah WWF-Indonesia, Program Riau. ”Pelanggaran hukum baik terkait kasus penangkapan gajah liar diluar prosedur - seperti yang terjadi di Balai Raja baru-baru ini, maupun kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, harus segera diselidiki dan pelakunya ditindak tegas,” kata Nurchalis. WWF juga meminta adanya penyelidikan secara transparan terhadap keberadaan gading-gading dari gajah yang mati di Riau. Dengan adanya proses penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum, lanjut Nurchalis, diharapkan upaya-upaya seperti membunuh gajah, menelantarkan mereka setelah ditangkap, menyimpan dan/atau mperjualbelikan bagian tubuhnya, mengeluarkan izin dan/atau melakukan konversi hutan habitat gajah secara tidak sah akan dapat dihentikan. WWF juga menyerukan pengimplementasian Protokol Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah secara tegas dan konsisten. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: drh Wisnu Wardhana, Praktisi dan Veterinary Surgeon/ Konsultan medis WWF untuk gajah liar, hp 0812 6737553, e-mail: [email protected] Nurchalis Fadhli, Leader on Human Elephant Conflict Mitigation (HECM), WWF-Indonesia, Riau, hp 08127569650, [email protected] Desmarita Murni, Species Communications Officer, WWF Indonesia, hp 0811 793458, [email protected] Catatan: Populasi gajah sumatera di Riau mengalami penurunan secara dramatis dari sekitar 1067 -1617 ekor pada 1985 (Blouch and Simbolon Technical Report, 1985), menjadi sekitar 353-431 pada 2003 (WWF dan BKSDA). Lihat Press Release WWF, 13 Maret 2006: Penggiringan gajah liar ke habitat asalnya harus diprioritaskan. http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=press.detail&language=i&id=PRS1142213648 Informasi terkait mengenai gajah Sumatra dapat dilihat di www.wwf.or.id, dan http://www.eyesontheforest.or.id/eofnew/ele_map_announ_bhs.php Foto-foto dan video terkait mengenai konflik gajah bisa didapatkan dengan menghubungi, [email protected]

Page 143: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 143 of 166 WWF-Indonesia

GATRA Online, Gajah Tangkapan di Riau Akhirnya Mati Pekanbaru, 15 April 2006 12:22 Seekor gajah jantan tangkapan di Balairaja, Bengkalis, Riau, yang luka akibat tetanus, akhirnya mati pukul 15.05 Wib, Jumat petang. Nasib gajah liar berinisial Gajah Jantan 2 (12) itu berakhir tragis setelah menderita tetanus akibat infeksi pada luka bekas tembakan obat bius yang tidak terawat sejak awal penangkapan. Kondisinya diperparah pula tidak adanya makanan dan air pascapenangkapan sehingga menyebabkankan Gajah Jantan 2 beserta sembilan ekor rekannya yang lain mengalami kelaparan, dehidrasi dan stress. Gajah Jantan 2 itu terkapar pada hari ke sepuluh perawatan dan jiwanya tidak dapat ditolong lagi meski enam orang dokter hewan dari berbagai instansi merawatnya. "Kita sudah berusaha, namun gajah ini tidak tertolong," ujar Koordinator Tim Medis yang juga merupakan konsultan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia drh Wisnu Wardhana. Ia mengakui, sejak gajah tersebut rebah tak berdaya saat sedang dirawat oleh tim medis pada Senin awal pekan ini, pihaknya telah mengusahakan kesembuhan bagi hewan langka itu, namun semua bantuan obat bahkan infus sebanyak 89 botol tidak mampu melawan penyakit yang diderita gajah malang itu. "Semua organ tubuhnya telah rusak. Tetanus mematikannya," ujar Wisnu dengan nada sedih. Ia mengatakan, jika penanganan gajah liar di daerah itu tidak dilakukan dengan sembrono maka kematian gajah tidak akan terjadi. Sebab, lanjut dia, gajah-gajah tersebut hanya bertahan untuk hidup ketika memasuki perkampungan penduduk, namun karena kepentingan proyek yang nilainya ratusan juta hewan langka itu ditangkap dan dibiarkan telantar tanpa makanan, air dan perawatan luka infeksi dari lilitan rantai besi serta bekas tembakan obat bius. "Ini yang sangat saya prihatinkan," ungkapnya menyesal terjadinya peristiwa buruk yang menimpa aset lingkungan itu. Kekesalan dan kekuatirannya telah menjadi kenyataan sejak mengetahui ada gajah yang ditangkap di Riau, dan ia yakin akan ada gajah lain yang bakal menyusul Gajah Jantan 2, mati mengenaskan. "Saat ini juga ada seekor anak gajah betina yang sedang sekarat, meski telah diinfus namun kondisinya sangat memprihatinkan," ungkap Wisnu. Menurut konsultan Kebun Binatang Bukit Tinggi itu Gajah Betina 4 (6) yang merupakan inisial anak gajah yang sedang sakit itu juga menderita tetanus dan sejak empat hari perawatan telah menghabiskan 101 botol infus namun belum menunjukkan gejala akan sembuh.

Page 144: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 144 of 166 WWF-Indonesia

Sementara itu, aktivis WWF Riau Samsuardi menjelaskan, bangkai gajah tersebut sebelum dikuburkan dikawasan hutan tempatnya terikat juga akan dilakukan autopsi. "Nanti malam (Jumat malam) akan dilakukan autopsi setelah itu baru dikubur," katanya seraya menambahkan WWF Riau mengkoordinir perawatan medis dan obat-obatan bagi sepuluh ekor gajah yang ditangkap itu. Tim medis tidak hanya dari WWF yakni drh Wisnu tetapi juga dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Riau drh Rini Deswita, dua orang dokter dari Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) yakni Christoper Scremune DUM dan drh Muhammad Wahyu serta dari PLG Bengkulu drh Yanti serta dari Dinas Peternakan Riau. Sejak 11 Maret 2006 lalu tim penangkap gajah dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Riau sebagai penyandang dana sebesar Rp300 juta, melakukan penangkapan 10 ekor gajah di Balairaja dengan alasan menganggu penduduk. Kawanan hewan langka yang ditangkap itu diantaranya lima jantan dan lima betina yang terdiri dari tiga anak gajah dan dua induk bahkan salah seekor induknya masih menyusui. Gajah yang ditangkap untuk dipindahkan ke kawasan hutan Tesso Nilo itu akhirnya telantar selain tidak adanya biaya juga tidak adanya tempat relokasi baru karena penolakan masyarakat di Tesso Nilo. Tindakan sembrono tanpa memperkirakan dampak yang akan timbul terhadap hewan langka inilah yang sangat disayangkan aktivis lingkungan hidup, ditambah pula instansi terkait seperti KSDA dan Dinas Kehutanan Riau lepas tangan pascapenangkapan gajah liar itu. [TMA, Ant] RIAU Terkini, Ahad, 16 April 2006 11:59 Gajah yang Sekarat itu Akhirnya Mati Gajah jantan berbobot mati hampir 2 ton itu akhirnya mati setelah sekarat selama 3 hari. Riauterkini-PEKANBARU—Satu ekor gajah tangkapan Dinas Kehutanan Riau kemarin (14/4) mati setelah jatuh terkapar dan sekarat selama hampir tiga hari akibat tetanus. Gajah jantan berusia sekitar 9 tahun tersebut mati setelah luka pada kaki - yang disebabkan oleh lilitan rantai dan tembakan panah tumpul yang tidak steril saat penangkapan - mengalami infeksi parah. “Gajah ini hanyalah satu dari sekian banyak gajah liar yang mati akibat kesalahan prosedur penangkapan,” kata drh. Wisnu Wardana, praktisi dokter hewan yang melakukan upaya pertolongan medis sejak satwa dilindungi tersebut ditemukan pada 21 Maret lalu . WWF menemukan gajah liar itu - bersama 9 ekor lainnya - dalam kondisi terluka, lemah dan terikat tanpa makanan dan air di Balai Raja, Riau. Meski berbagai upaya medis telah dilakukan untuk menyelamatkan gajah liar tersebut, mulai dari suntikan vitamin, antibiotic, serum anti tetanus hingga puluhan botol infus, satwa malang ini tak dapat diselamatkan.

Page 145: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 145 of 166 WWF-Indonesia

“Sudah lebih dari 70 botol infus kami berikan sejak gajah ini rebah dan mengalami masa kritis 9 April lalu, “ kata drh. Wisnu. Namun demikian, ia berharap kesembilan ekor gajah lainnya dapat diselamatkan. Saat ini, satu ekor gajah liar lainnya (betina) dalam kondisi kritis, sementara delapan ekor lainnya sedang dalam perawatan serius oleh tim medis WWF dan Yayasan Gajah Sumatra. “Penangkapan seharusnya menjadi alternatif terakhir dalam penanganan konflik gajah liar, dan hanya dilakukan oleh tim penangkap professional yang didampingi oleh ahli medis dan tim pemantau terkait lainnya, “kata Wisnu. Konsultan medis WWF ini juga menyayangkan adanya penelantaran terhadap gajah-gajah liar tersebut setelah penangkapan. Karena menurutnya sewaktu ditemukan, 10 gajah tersebut setidaknya sudah dibiarkan terikat selama lebih dari 10 hari tanpa perawatan terhadap luka-lukanya. Menurut Wisnu, jika luka paska penangkapan tidak langsung diobati, maka peluang gajah liar tersebut untuk hidup akan sangat kecil. “Meski diobati, gajah yang mengalami infeksi biasanya hanya berpeluang 25% untuk sembuh dan biaya pengobatan pun sangat tinggi,” jelasnya. WWF mencatat bahwa sedikitnya 201 gajah liar ditangkap oleh pemerintah di Riau sejak tahun 2000 sebagai upaya penanganan konflik. Sedikitnya 46 ekor diantaranya mati akibat penangkapan yang tidak professional. Ketidak profesional seperti misalnya akibat luka infeksi karena rantai yang terlalu kuat mengikat kaki, jarum bius yang tidak steril, overdosis obat bius, dan luka-luka pasca penangkapan yang tidak segera mendapat pengobatan. Sementara, 41 ekor diantaranya dilepaskan kembali setelah ditangkap –tanpa pernah dicek dan diketahui kondisinya oleh tim pelepas. WWF juga mencatat sedikitnya ada 103 ekor gajah tangkapan dan peliharaan di Riau yang tidak diketahui nasibnya antara tahun 2000-2006. Sementara itu Nurchalis Fadhli, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah WWF-Indonesia, Program Riau kepada Riauterkini Sabtu (15/4) mengungkapkan perlunya segera dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki secara tuntas kasus pelanggaran hukum terkait dengan perlindungan gajah Sumatra dan habitatnya. "Pelanggaran hukum baik terkait kasus penangkapan gajah liar diluar prosedur seperti yang terjadi di Balai Raja baru-baru ini, maupun kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, harus segera diselidiki dan pelakunya ditindak tegas,” katanya. Dikatakan Al, panggilan akrab Nurchalis Fadli, WWF juga meminta adanya penyelidikan secara transparan terhadap keberadaan gading-gading dari gajah yang mati di Riau. Dengan adanya proses penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum, lanjut Nurchalis, diharapkan upaya-upaya seperti membunuh gajah, menelantarkan mereka setelah ditangkap, menyimpan dan/atau memperjual-belikan bagian tubuhnya, mengeluarkan izin dan/atau melakukan konversi hutan habitat gajah secara tidak sah akan dapat dihentikan. WWF juga menyerukan

Page 146: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 146 of 166 WWF-Indonesia

pengimplementasian Protokol Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah secara tegas dan konsisten.***(H-we) Riau Mandiri Online, 17 April 06 Pasca Kematian Gajah di Pinggir, Pemerintah Diminta Bentuk Tim Investigasi PEKANBARU-Pihak WWF meminta pemerintah beserta instansi penegak hukum segera membentuk tim investigasi guna menyelidiki secara tuntas sejumlah kasus pelanggaran hukum yang berkenaan dengan perlindungan gajah Sumatera. Sebab, pelanggaran disinyalir sudah sering terjadi namun penegakan hukumnya dinilai masih kurang. Hal itu dilontarkan Koordinator Mitigasi Konflik Gajah WWF-Indonesia Program Riau, Nurchalis Fadhli, dalam rilis yang diterima redaksi baru-baru ini. Hal itu dilontarkannya menanggapi kematian gajah di Balai Raja Kecamatan Pinggir, baru-baru ini. Menurut Nurchalis, pihaknya mensinyalir bahwa pelanggaran hukum baik terkait kasus penangkapan gajah liar di luar prosedur seperti yang terjadi di Balai Raja baru-baru ini, maupun kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, sudah sering terjadi. WWF mencatat, sedikitnya 201 gajah liar ditangkap pemerintah di Riau sejak tahun 2000 lalu guna menyelesaikan konflik dengan masyarakat. Dari jumlah itu, sedikitnya 46 ekor di antaranya mati akibat penangkapan yang tidak professional. Misalnya akibat luka infeksi karena rantai yang terlalu kuat mengikat kaki, jarum bius yang tidak steril, overdosis obat bius, dan luka-luka pasca penangkapan yang tidak segera mendapat pengobatan. WWF juga mencatat sedikitnya ada 103 ekor gajah tangkapan dan peliharaan di Riau yang tidak diketahui nasibnya antara tahun 2000-2006. "Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum," ujarnya.

Salah Prosedur

Sementara itu, praktisi dokter hewan dari WWF, drh Wisnu Wardana menilai, kematian gajah liar di Balai Raja baru-baru ini akibat kesalahan prosedur penangkapan. Setelah ditangkap beberapa waktu lalu, WWF menemukan gajah liar itu bersama 9 ekor lainnya dalam kondisi terluka, lemah dan terikat tanpa makanan dan air. Meski berbagai upaya medis telah dilakukan untuk menyelamatkan gajah liar ini- mulai dari suntikan vitamin, antibiotic, serum anti tetanus hingga puluhan botol infus, satwa malang ini tak dapat diselamatkan. Menurutnya, penangkapan seharusnya menjadi alternatif terakhir dalam penanganan konflik gajah liar, dan hanya dilakukan oleh tim penangkap professional yang didampingi oleh ahli medis dan tim pemantau terkait lainnya. (sis,rilis)

Kompas Cyber Media, 17-04-2006, 12. 35 WIB Satu Ekor Gajah Tangkapan Mati Mengenaskan

Pekanbaru, Senin --Satu ekor gajah tangkapan Dinas Kehutanan Riau akhirnya mati setelah jatuh terkapar selama hampir tiga hari akibat tetanus, Kamis (14/4). Gajah jantan berusia sekitar 9 tahun itu mati setelah luka pada kaki - yang

Page 147: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 147 of 166 WWF-Indonesia

disebabkan oleh lilitan rantai dan tembakan panah tumpul yang tidak steril saat penangkapan - mengalami infeksi parah.

“Gajah ini hanyalah satu dari sekian banyak gajah liar yang mati akibat kesalahan prosedur penangkapan selama bertahun-tahun,” kata drh. Wisnu Wardana, praktisi dokter hewan yang melakukan upaya pertolongan medis sejak satwa dilindungi tersebut ditemukan pada 21 Maret lalu . WWF menemukan gajah liar itu bersama 9 ekor lainnya dalam kondisi terluka, lemah dan terikat tanpa makanan dan air di Balai Raja, Riau.

Meski berbagai upaya medis telah dilakukan untuk menyelamatkan gajah liar ini, dari suntikan vitamin, antibiotik, serum anti tetanus, hingga puluhan botol infus, satwa malang ini tak dapat diselamatkan. “Sudah lebih dari 70 botol infus kami berikan sejak gajah ini mengalami masa kritis 9 April lalu, “ kata drh. Wisnu.

Ia berharap kesembilan ekor lainnya dapat diselamatkan. Saat ini, satu ekor gajah liar lainnya dalam kondisi kritis, sementara delapan ekor lainnya sedang dalam perawatan serius oleh tim medis WWF dan Yayasan Gajah Sumatra.

“Penangkapan seharusnya menjadi alternatif terakhir dalam penanganan konflik gajah liar, dan hanya dilakukan oleh tim penangkap professional yang didampingi oleh ahli medis dan tim pemantau terkait lainnya, “kata Wisnu. Konsultan medis WWF ini juga menyayangkan adanya penelantaran terhadap gajah-gajah liar tersebut setelah penangkapan.

“Sewaktu ditemukan, 10 gajah tersebut setidaknya sudah dibiarkan terikat selama lebih dari 10 hari tanpa perawatan terhadap luka-lukanya” katanya. Menurut drh. Wisnu, jika luka paska penangkapan tidak langsung diobati, maka peluang gajah liar tersebut untuk hidup akan sangat kecil. “Meski diobati, gajah yang mengalami infeksi biasanya hanya berpeluang 25 persen untuk sembuh dan biaya pengobatan pun sangat tinggi,” jelasnya.

WWF mencatat bahwa sedikitnya 201 gajah liar ditangkap oleh pemerintah di Riau sejak tahun 2000 sebagai upaya penanganan konflik. Sedikitnya 46 ekor diantaranya mati akibat penangkapan yang tidak profesional, misalnya akibat luka infeksi karena rantai yang terlalu kuat mengikat kaki, jarum bius yang tidak steril, overdosis obat bius, dan luka-luka pascapenangkapan yang tidak segera mendapat pengobatan. Sementara, 41 ekor diantaranya dilepaskan kembali setelah ditangkap tanpa pernah dicek diketahui kondisinya oleh tim pelepas.

WWF juga mencatat sedikitnya ada 103 ekor gajah tangkapan dan peliharaan di Riau yang tidak diketahui nasibnya antara tahun 2000 hingga 2006. “Perlu segera dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki secara tuntas kasus pelanggaran hukum terkait dengan perlindungan gajah sumatra dan habitatnya, “ kata Nurchalis Fadhli, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah WWF-Indonesia, Program Riau.

”Pelanggaran hukum baik terkait kasus penangkapan gajah liar diluar prosedur - seperti yang terjadi di Balai Raja baru-baru ini, maupun kasus-kasus yang terjadi sebelumnya, harus segera diselidiki dan pelakunya ditindak tegas,” kata Nurchalis. WWF juga meminta adanya

Page 148: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 148 of 166 WWF-Indonesia

penyelidikan secara transparan terhadap keberadaan gading-gading dari gajah yang mati di Riau.

Dengan adanya proses penegakan hukum yang transparan dan hukuman yang signifikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran hukum, lanjut Nurchalis, diharapkan upaya-upaya seperti membunuh gajah, menelantarkan mereka setelah ditangkap, menyimpan dan/atau mperjualbelikan bagian tubuhnya, mengeluarkan izin atau melakukan konversi hutan habitat gajah secara tidak sah akan dapat dihentikan. WWF juga menyerukan pengimplementasian Protokol Mitigasi Konflik Manusia dan Gajah secara tegas dan konsisten.

http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0604/17/123800.htm Riau Pos, Selasa, 18 April 2006 Drama Otopsi Bangkai Gajah Sumatera di Malam Buta Kilatan Pisau Berkelebat di Mulut Kubur http://www.riaupos.com/web/content/view/10933/6/ Bangkai gajah jantan itu teronggok tak berdaya di sisi lubang kubur yang sudah digali. Pejantan remaja yang tak lagi tangguh itu semakin tak berdaya ketika kulit dan dagingnya dicabik-cabik mata pisau yang berkelebat tajam. Laporan SYukri Datasan, Pinggir

[email protected] Alamat Email inidilindungi dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya TULANG rusuk gajah liar itu pun tak luput dari desahan mata gergaji yang menggerusnya di malam itu. Lalu satu-persatu organ dalamnya yang tampak masih hangat dipreteli untuk kepentingan penyelidikan. Otopsi terhadap bangkai gajah berusia antara sembilan hingga sepuluh tahun yang tewas Jumat sore (14/4/2006) sekitar jam 15.00 itu berlangsung dramatis pada malam harinya. Dibawah penerangan petromak, lampu neon baterai dan senter, kilatan pisau dan mata gergaji silih berganti berkelebat mencabik tubuh dan menggerus tulang-belulangnya. Peristiwa itu berlangsung di tengah gelapnya kawasan hutan di belakang komplek Balairaja Apartment Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis. Drama mirip penjagalan itu berlangsung sejak selepas magrib. Di tengah nyanyian koor satwa hutan di malam itu, drh Wisnu Wardhana memimpin langsung acara otopsi. Dia dibantu beberapa orang tenaga skill, diantaranya drh Yanti serta Nazaruddin pakar gajah dari Way Kambas Lampung. Pencinta gajah tempatan Drs Albohari juga turut aktif membantu para petugas otopsi. Saat itu Kepala PLG Minas Feri Somba juga ada di TKP. Secara total, peristiwa otopsi ini diikuti setidaknya duapuluhan pasang mata. Mereka berasal dari berbagai lembaga seperti WWF dan lain-lain. Ketua tim Penanggulangan Bencana Amuk Gajah Kelurahan Balairaja Berton Panjaitan SE juga hadir. Saat otopsi sedang sengit-sengitnya berlangsung, drh Christoper dari Yagasu Medan belum terlihat di TKP. Saat itu di tempat terpisah, dia tengah sibuk pula menangani seekor gajah lain yang juga kritis karena mengalami penyumbatan saluran kerongkongan. Sekitar pukul 21.15 WIB lelaki asal Jerman ini sampai pula di TKP dengan sebuah petromak di

Page 149: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 149 of 166 WWF-Indonesia

tangan. Lelaki tinggi besar dengan kepala plontos ini pun langsung terjun membantu proses otopsi. Kala itu, seekor gajah penjinak juga dibawa ke TKP untuk membantu penguburan saudara sejenisnya itu. Air mata raksasa malang nan bergading panjang itu tampak meleleh membasahi pipi. Lokasi otopsi malam itu tampak macam rumah jagal. Persis dibawah lampu neon baterai yang digantung dengan akar hutan yang menjulur dari batang sebuah pohon kecil, kulit tebal sang gajah dicabik-cabik dengan mata pisau. Dagingnya disayat-sayat. Tulang rusuk kanannya pun digergaji untuk memudahkan tim mengambil sampel organ dalam satwa yang malang ini. Usus yang gembung penuh air setelah diinjeksikan beberapa hari lalu dibongkar. Satu-persatu organ-organ penting yang tampak masih hangat seperti paru-paru, hati, limfa, ginjal dan terakhir jantung diangkat. Sebelum itu, sampel daging pinggul kanan bekas tembakan bius saat penangkapan juga diambil. Gadingnya pun sudah digergaji pada tahap awal otopsi untuk diserahkan kepada petugas BKSDA. Sepanjang berlangsungnya otopsi penuh ketegangan dan minim kelakar itu, tim mendapati beberapa hal. Diantaranya menemukan cacing dan belatung serta gejala penebalan pada organ jantung. Sampel organ-organ penting yang dicurigai dan sudah diambil, dalam waktu dekat akan segera dikirim ke laboratorium BPPV untuk diteliti lebih lanjut. Sekitar jam 21.50, bangkai gajah yang habis dipreteli itu digeret ke lubang kubur yang sudah dipersiapkan terlebih dulu. Pekerjaan penguburan itu dilakukan seekor gajah penjinak. Setelah satu gading yang masih tersisa dipotong di liang kubur sedalam hampir tiga meter, beberapa petugas lapangan langsung menimbun kuburan. Makam satwa langka itu terletak persis dibawah pokok kayu sebesar paha orang dewasa. Di tempat itulah gajah malang ini sempat ditambat sebelum diterjang sakarat sejak Selasa (11/4) lalu. Tak berapa jauh dari mulut kubur, terkapar membelintang sebuah pokok kayu yang sudah lama dijahanamkan manusia. Sisa keperkasaan hutan itu layak ditancapkan sebagai monumen kepunahan hutan suakamargasatwa Balairaja dekat pusara gajah itu. Para petugas otopsi dan pihak-pihak terkait mulai beranjak pulang sekitar pukul 22.00 WIB. Kala itu, rembulan pasca purnama tampak melongok dari balik dedaunan kayu-kayan yang tinggal belukar dan tak lagi belantara itu. Sekeliling kuburan, satwa malam terus melantunkan koornya. Mungkin saja menangisi kepergian sang gajah yang tewas akibat berkonflik dengan ‘’hewan’’ berakal nan serakah. Konsultan WWF drh Wisnu Wardhana menjawab Riau Pos di TKP mengatakan, tewasnya gajah berusia antara sembilan hingga sepuluh tahun ini diduga kuat akibat penyakit tetanus yang telah menggeogoti tiga lapisan tubuh di bawah kulitnya. Menurut Wisnu, kuman tetanus itu diduga kuat meruyak dari bekas luka tembakan obat bius yang tidak ditangani dengan baik selepas penangkapan. Sementara itu, satu ekor gajah tangkapan lain yang kritis dari sembilan yang tersisa kini juga masih dalam penanganan intensif. Seperti dikatakan Wisnu, gajah itu mengalami penyumbatan saluran kerongkongan oleh makanan berserat kasar. Itu terjadi akibat gajah itu kekurangan

Page 150: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 150 of 166 WWF-Indonesia

minuman. Sebagian penyumbatan sudah berhasil dikeluarkan. Sisanya akan terus diupayakan Wisnu dkk bersama rekannya Christoper yang tampak sangat peduli atas keselamatan hewan dilindungi ini. Para pencinta satwa langka dunia patut berduka saat mendengar kabar miris tewasnya gajah Sumatera ini pada Jumat sore (14/4) lalu. Ironisnya, gajah itu tewas dalam habitatnya sendiri, kawasan hutan suakamargasatwa Balairaja yang kini tinggal nama. Lebih ironis lagi, satwa langka ini menemui ajal justru setelah berada dalam masa pengawasan pihak berkompeten setelah ditangkap petugas BKSDA Riau pada 9-12 Maret lewat.(ril) http://www.riaupos.com/web/content/view/10933/6/ Riau Pos, Jumat, 21 April 2006 Selamatkan Gajah Seperti Menyelamatkan Manusia Seekor gajah berhasil diselamatkan oleh tim Flying Squad WWF Riau dalam sebuah operasi sederhana. Selama hampir satu bulan, gajah remaja itu berkelana dengan luka di kaki kirinya. Sebuah sling penjerat babi mengikat dengan kuat dan menimbulkan luka bernanah yang kalau tak ditangani, bisa membuat kaki gajah itu putus. Laporan HARY B KORI’UN, Langgam [email protected] Alamat Email inidilindungi dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya RABU, 12 April 2006. Suatu siang yang terik. Kebun sawit yang sedang berbuah pasir milik PT Peputra Supra Jaya di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan (sekitar 150 Km dari Pekanbaru) itu tetap tak bisa menjadi pelindung dari sengatan matahari di siang bolong. Namun, tim Flying Squad (sebuah tim pengusir gajah yang dibentuk WWF Riau) yang dikomandoi oleh Syamsuardi, tetap dengan sigap mempersiapkan diri untuk sebuah operasi penyelamatan. Seekor gajah remaja berusia kira-kira 4 tahun sudah lebih sebulan berada di lokasi kebun sawit itu dan terpisah dari rombongannya. Menurut keterangan penduduk setempat, mulanya, sekitar sebulan sebelumnya, ada rombongan gajah (sekitar 5 ekor) masuk ke kawasan kebun tersebut. Namun sehari kemudian, ketika kawanan gajah itu sudah masuk hutan ke kawasan HPH Siak Raya Timber, tidak jauh dari kebun, ternyata masih terdengar suara raungan dan beberapa penduduk kemudian melihat ada seekor gajah tanggung berjalan pincang sambil meraung-raung. Gajah itu tidak pergi jauh, dan hanya berputar-putar di radius 500 meter persegi. “Saya melihatnya sendiri. Gajah itu terpincang-pincang dan jalannya lambat,” kata Suyono, seorang buruh kebun yang tinggal tidak jauh dari lokasi gajah itu ditemukan. Karena kasihan melihat penderitaan gajah tersebut, manajemen PT Peputra Supra Jaya kemudian menghubungi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau dan WWF Riau, meminta agar gajah tersebut diselamatkan dan kemudian dikembalikan ke habitatnya. “Selain membuat penduduk dan pekerja takut, gajah itu memang menderita,” kata Samson Siregar, Humas Peputra. WWF Riau kemudian membuat rencana operasi penyelamatan dengan mendatangkan dua ekor gajah jinak dan pawangnya dari markas Flying

Page 151: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 151 of 166 WWF-Indonesia

Squad di Desa Lubuk Kembang Bunga, Ukui, hanya sekitar satu setengah jam perjalanan dari Gondai. Setelah dipastikan gajah naas itu masih berada di lokasi, operasipun dilakukan dengan melibatkan WWF, BKSDA dan pihak perusahaan. Operasi ini berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Dua gajah yang dipawangi oleh Junjung, Fikri, Irwanto dan Edi Putra plus Syamsuardi sendiri langsung menuju sebuah kawasan rawa-rawa sekitar 200 meter dari jalan di mana gajah itu beradar. Riau Pos yang ikut langsung dalam operasi itu melihat bagaimana dengan sangat terlatih, kedua gajah dan pawangnya tanpa kesulitan berhasil mengikatkan tali ke leher gajah itu setelah kedua gajah penjinak itu menghimpit dari samping kanan dan kiri, dan tanpa perlawanan berarti, gajah muda itu berhasil dibawa ke luar kebun. Setelah itu, gajah yang oleh Syamsuardi kemudian diberi nama Putra itu, diikat di sebuah pohon sawit, dan kemudian dilakukan operasi pengambilan sling di kakinya. Saat itulah terdengar raungan ngilu dari Putra ketika Syamsuardi dkk berusaha membuka sling. Gajah muda itu meronta-ronta sambil meraung dan membuat banyak penduduk yang datang ke lokasi itu menjadi trenyuh. “Kasihan gajah ini ya, seperti anak kecil yang menangis karena kesakitan,” kata Mardiah, seorang warga yang bersama keluarganya khusus datang siang itu untuk melihat operasi penyelamatan gajah muda itu. Tidak gampang membuka sling yang mengikat keras dan menimbulkan luka itu karena Putra terus meronta. Namun, setelah gajah itu berhasil direbahkan dan dipegang banyak orang, sling berhasil dibuka. Namun, ketika kawat sling yang melingkar itu lepas, darah segar mengucur seperti sumber air dari sumur yang digali. Syamsuardi dkk kemudian mengucurkan betadin dan berusaha menyumpal luka itu dengan tembakau agar kucuran darah berhenti. Namun karena terus meronta, akhirnya setelah setengah jam darah itu mengucur, baru berhasil dihentikan dengan cara mengikat luka itu setelah membubuhkan tembakau di dalamnya. Baju Syamsuardi menjadi kain pengikat selain sebuah kain yang sudah dipersiapkan. “Darah yang keluar lebih satu liter, dan kalau tidak cepat dihentikan, gajah ini bisa mati kehabisan darah,” kata Syamsuardi, beberapa saat setelah operasi penyelamatan itu selesai. Meski terlihat lelah, di wajah mereka juga terlihat rona kepuasan berhasil menyelamatkan nyawa seekor gajah itu. “Seperti menyelamatkan manusia saja,” kata Junjung Daulay menimpali. Ketika dihubungi kemarin, Senin (17/4), Syamsuardi menjelaskan bahwa gajah remaja tersebut sudah dilepaskan ke hutan HPH Siak Raya, setelah dilakukan perawatan intensif selama 4 hari. “Kami merawat gajah itu di kebun sawit dengan mengecek setiap waktu apakah lukanya kena tetanus atau tidak akibat kawat sling itu. Ternyata sampai hari Ahad (16/4), kondisinya membaik, luka nanahnya sudah mengering. Gajah itu doyan makan, ini membantu dia untuk cepat sembuh karena kekuatan tubuhnya tidak drop,” jelasnya. Syamsuardi berharap, semua pemilik perkebunan sawit mau bekerja sama dengan BKSDA atau WWF jika kasus seperti ini terjadi lagi, seperti yang dilakukan PT Peputra. “Kami sangat menghargai upaya perusahaan tersebut yang ingin menyelamatkan gajah yang terluka itu. Kami berharap, semua

Page 152: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 152 of 166 WWF-Indonesia

perusahaan memiliki komitmen seperti ini,” jelas lelaki kelahiran Padang itu.(fiz)

http://www.riaupos.com/web/content/view/11004/9/

Sepintas, tak menyangka bahwa pria berusia sekitar 45 tahun itu, satu dari 30-an orang pawang gajah di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Minas. Sukiman, begitulah panggilan sehari-harinya. Ditemani selinting rokok tembakaunya dia duduk sambil memperhatikan hamparan hutan yang berada di depannya. Di kawasan itulah sekitar 30-an gajah dilatih. Laporan EDWIR SULAIMAN dan HERIANTO [email protected] Alamat Email inidilindungi dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya SELASA Siang (18/4) sekitar pukul 02.15 WIB, laki-laki yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain sarung itu manyapa ramah ketika tim Riau Pos mendekatinya. Wajahnya ramah, sementara tangannya melinting rokoknya di bawah pondok beratapkan rumbia yang menghadap ke arah barat. Di pondok tersebut, terdapat meja yang dibuat memanjang, tanpa dilapisi cat, dipadukan dengan tempat duduk yang juga mengikuti batas meja. Di sisi kirinya, duduk Buyung (26) yang juga pawang gajah. Sesekali, mereka terlihat bercanda dan seketika itu juga asap rokok lintingan yang mengepul ke udara menutup wajah mereka. Sepertinya, mereka sedang menikmati istirahat siang, ditemani segelas teh hangat yang diminum bergantian. Kelelahan terpancar dari balik pandangan kedua orang pawang binatang yang memiliki belalai ini. Sementara rekan-rekan seprofesinya, tengah beristirahat di dalam mes yang tepat berada di samping pondok. Ketika supir mobil tim Riau Pos mematikan mesin kendaraan, terdengar dari mes bunyi hentakan batu domino diselingi canda dari pawang gajah, sehingga mes yang terlihat kumuh sepertinya sedang melaksanakan hajatan yang besar. Selain bunyi hentakan domino, salah seorang pawang gajah, dengan nada yang sedikit sumbang, memainkan petikan gitar. Suara yang ditimbulkannya membuat kesunyian PLG Minas sedikit riyuh. Sementara itu, Buyung dan Sukiman masih asik berbicara dengan kepulan asap lintingan rokoknya. Tim Riau Pos menghampiri mereka, pada awalnya kedua orang ini masih ragu-ragu untuk menyambut kedatangan kami. Bahkan kedua orang ini, terkesan menghindar ketika diajak untuk berbicara. Sepertinya ada sesuatu yang ditutup-tutupinya. Setelah tim Riau Pos, menyebutkan maksud dan tujuannya datang ke PLG, akhirnya kedua orang ini mulai membuka diri. Sukiman pawang gajah satu ini, memang memiliki tubuh ringkih, dengan

Page 153: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 153 of 166 WWF-Indonesia

menggunakan kemeja berwarna merah yang memudar. Sementara dia tak mengenakan baju (telanjang dada), hanya menggunakan kain sarung, namun setelah diajak berbincang-bincang seputar kehidupan gajah, diapun akhirnya bergegas mengambil baju kemejanya. Sedangkan Buyung menggunakan kaos berwarna biru dipadu dengan celana jeans yang tersandar diantara tiang-tiang penyanggah pondok untuk beristirahat. Rekan-rekan mereka yang sebelumnya tidak menyadari kehadiran kami, dari balik jendela mes, yang hampir sebagian kaca nakonya telah pecah, mengintip dengan mata curiga melihat kehadiran tim Riau Pos. Untuk mencapai ke PLG Minas, memang membutuhkan waktu yang cukup lama, setelah melewati Jalan Pekanbaru-Minas atau tepatnya pada jarak 45 kilo meter dari Kota Pekanbaru. Sebelum masuk kekawasan PLG, tim Riau Pos, harus melewati jalan yang bergelombang, karena memang tidak ada satu meterpun jalan yang di aspal. Perjalanan masuk ke PLG dari jalan raya ini, membutuhkan waktu 15 menit. Memasuki kawasan itu, tertulis ‘’Selamat Datang di PLG Minas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD).’’ Tak jauh dari pintu gerbang, terdapat sebuah pos penjagaan berwarna putih dengan bentuk bangunan yang sederhana. Sedangkan di depannya juga terdapat kayu yang dibuat menyerupai portal. Saat itu, tidak satu orangpun yang menjaga pos tersebut, sehingga tim Riau Pos, dengan leluasa masuk kawasan PLG. Semula tim Riau Pos, mengira bahwa ketika tiba di kawasan PLG ini, hal pertama yang dijumpai pastilah puluhan ekor kawanan gajah. Ternyata, hanya dua ekor anak gajah yang bernama Sela dan Rohid yang menyambut kehadiran kami. ‘’Gajah-gajah yang besar dari pagi sampai sore tidak berada di sini, mereka sama seperti sapi, juga diangonkan dihutan oleh pawang masing-masing gajah. Sebab setiap pawang bertanggungjawab atas satu ekor gajah,’’kata Sukiman. Meskipun menurut pengakuan Sukiman, dia baru bertugas di PLG sekitar empat bulan, namun Sukiman telah tahu benar seluk beluk kawasan PLG ini. Bahkan Sukiman dengan sukarela menunjukkan Riau Pos, bagaimana proses penjinakan gajah liar, disebuah tempat yang diberi nama ‘’RUNG.’’ RUNG ini dibentuk dari tiga batang kayu, yang ditancapkan ke tanah dengan tinggi empat meter dengan diameter 150 senti meter. Selain itu, dua batang kayu, dengan ukuran yang sama juga dilintangkan di antara tiga tancapan kayu yang berdiri. Fungsi RUNG ini adalah untuk mengikat gajah liar, dimana di RUNG ini juga terdapat rantai dan tali yang dieratkan ke tiang-tiang RUNG tersebut. ‘’Beginilah kehidupan kami, paginya pergi ke hutan, siangnya istirahat dan sorennya kembali ke hutan untuk membawa pulang gajah, malamnya kami berkumpul bersama. Tidak ada istilah hari libur, meskipun hari keagamaan, apalagi hari minggu. Jadi kami di sini benar-benar makan gaji buta sebesar Rp650 ribu, tanpa diberi fasilitas lain, seperti fasilitas kesehatan. Padahal kerja kami ini cukup berat,’’ ujar Sukiman. Sukiman melanjutkan, gajah liar yang baru ditangkap, selanjutnya dengan bantuan dari beberapa pawang gajah ke empat kaki gajah tersebut diikat

Page 154: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 154 of 166 WWF-Indonesia

dengan tali sebesar lengan anak umur lima tahun. Selanjutnya gajah-gajah diikatkan ke rung, rantai besi yang berada di rung tersebut selanjutnya mengikat perut gajah. Posisi gajah melintang mengikuti alur kayu rung yang melintang. Di sisi gajah liar tersebut, kata Sukiman diikatkan juga satu ekor gajah jinak. Proses gajah dalam ikatan rung ini, hanya memakan waktu satu jam lebih. Selanjutnya gajah dilepaskan dengan kaki tetap diikat. ‘’Perlu waktu satu tahun untuk benar-benar menjinakkan gajah liar ini. Banyak resiko yang harus kami hadapi ketika menjinakkan gajah ini, sementara penghasilan tak seberapa. Sampai saat ini, memang kami belum ada yang mengalami cidera akibat amukan gajah,’’kata Sukiman.(ril)

http://www.riaupos.com/web/content/view/11055/6/

Kompas, Sabtu 22 April 2006

Tewas Terinjak Gajah Seekor Gajah Tangkapan Mati akibat Tetanus

Bandar Lampung, Kompas - Seorang perambah hutan di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung, meninggal akibat terinjak gajah. Korban Abdul Kamit (70) ditemukan di areal TNWK di Desa Raja Basa Lama I, Rabu (19/4). Peristiwa itu terjadi saat Kamit dan beberapa orang lainnya mencoba menghalau kawanan gajah yang masuk kebun singkong, Selasa malam.

Menurut Koordinator Wildlife Crime Unit (WCU) Lampung Dwi Nugroho Adhiasto, sesuai dengan laporan Cakno, warga lainnya, kawanan gajah itu masuk ke perkebunan singkong. Merasa tidak mampu menghalau gajah-gajah itu, seorang warga lainnya, Supriyono, keluar meminta bantuan. Namun, saat bantuan datang, gajah-gajah sudah pergi.

Para perambah yang masih berjaga melihat sekawanan gajah datang lagi pada pukul 04.00 dan baru pergi menjelang matahari terbit. Setelah kawanan gajah pergi, Cakno dan Supriyono baru berani mendatangi lokasi itu. Korban tergeletak di pinggiran kebun singkong. Jumat kemarin korban sudah dimakamkan.

Dony Gunaryadi, Project Manager Crop Protection Unit (CPU) Wildlife Conservation Society (WCS), mengatakan, perambahan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sudah berlangsung sejak lima tahun lalu. Sekitar lima persen dari kawasan TNWK seluas 125.621,30 hektar itu sudah dirambah.

Akibat perambahan TNWK, habitat gajah rusak dan sumber pangan binatang itu berkurang. Karena itu, tidak heran jika gajah-gajah liar di TNWK sering turun ke wilayah perambahan mencari sumber makanan.

Page 155: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 155 of 166 WWF-Indonesia

M Husin, polisi hutan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung, Jumat, mengatakan, hampir setiap malam sekawanan gajah liar turun ke ladang di desa-desa di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Desa-desa yang paling sering didatangi gajah itu adalah Sri Menanti, Padang Tampak, Sidomulyo, dan Sidomakmur. Desa-desa tersebut terletak persis berbatasan dengan wilayah TNBBS.

Melarikan diri

Sementara itu, kondisi gajah liar hasil tangkapan yang ditempatkan di Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, sejak tanggal 9 Maret lalu semakin merana. Seekor gajah melarikan diri, sementara seekor gajah mati akibat penyakit tetanus.

"Mungkin karena keteledoran, satu gajah terlepas. Satu gajah mati disebabkan tetanus kronis akibat infeksi pada luka di tubuhnya karena proses penangkapan yang tidak sesuai prosedur," kata Koordinator Mitigasi Konflik Gajah WWF-Indonesia Wilayah Riau Nurchalis Fadhli.

Hingga kini belum diketahui bagaimana gajah betina yang tengah hamil itu lepas dari rantai pengikatnya. Pelacakan masih dilakukan tim, terdiri dari BKSDA Riau, WWF Riau, dan Yayasan Alam Sumatera. (HLN/nel)

Riau Pos, Sabtu, 22 April 2006 Mengamuk Lagi, Warga Tangkap Gajah Liar http://www.riaupos.com/web/content/view/11046/23/ PASIRPENGARAIAN (RP)-Gajah liar mengamuk lagi. Kali ini sasarannya adalah Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu. Meski demikian satu dari enam ekor gajah yang mengamuk berhasil di tangkap warga, Kamis (20/4). Akibat amukan hewan liar ini, puluhan hektare lahan tanaman sawit, karet dan padi dimakan dan dirusak oleh gajah liar tersebut. Menurut seorang warga Kampung Baru Desa Pekan Tebih bernama Ismail (35) didampingi beberapa temannya Adam (34), Syahrial (31) dan yusuf (40), kepada Riau Pos, Jumat (21/4) mengatakan, amukan gajah yang mulai memasuki kampung mereka terjadi sejak tanggal 11 April 2006 sekitar pukul 14.00 WIB lalu hingga Kamis (20/4) kemarin.Warga setempat, sangat resah dan ketakutan masuknya hewan satwa liar tersebut di dusunnya. “Sekitar 40 hektare tanaman sawit, karet, padi dan 3 gubuk milik masyakat kampung Baru telah dirusak oleh enam ekor gajah di daerah kami.Satu ekor gajah liar dengan tinggi 160 meter telah ditangkap dan diikat dengan tali nilon di Dusun Kampung Baru, kamis kemarin,” paparnya, yang mengaku telah menyampaikan aspirasinya kepada DPRD Kabupaten Rokan Hulu, agar gajah liar segera di bawa ke luar dan meminta bantuan atas kerugian material daripemerintah daerah Kabupaten Rohul. Dia menyebutkan, keberhasilan masyarakat Kampung baru dalam menangkap dan mengikat satu ekor gajah liar dengan kedua gading yang besar itu,

Page 156: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 156 of 166 WWF-Indonesia

pada Kamis (20/4) sekitar pukul 13.00 WIB melegakan warga kampung lainnya. Tiga dari dari enam gajah yang telah merusak tanaman sawit, karet di lihat oleh masyarakat setempat di Sungai Danau Baru di Desa Pekan Tebih Dengan tekad yang keras dan mempunyai niat yang baik, untuk mengusir gajah liar, sekitar 12 warga Dusun III Kampung Baru , tepat pukul 14:00 WIB berupaya mendekati tiga ekor gajah yang ada di sungai dengan cara berteriak, terus dua ekor gajah liar lari ke kebun lainnya, semenetara satu ekor gajah masih tetap berada di sungai. Akhirnya beberapa warga sempat menarik ekor gajah dan langsung mengikat kedua kaki gajah dengan tali akar yang ada saat itu, sementara masyarakat lainnya melompat diatas pundak gajah sambil mengikat leher gajah dan masyarakat lainnya memegang belalainya. Setelah diikat, sebut Ismail, masyarakat secaras bersama-sama membuat sebuah rakit untuk membawa gajah dengan aliran air sungai ke Kampung Baru. Setelah gajah tiba di kampung baru, kedua kaki gajah dengan jarak 15 cm diikat kembali dan leher diikat di sebuah pohon. Namun pukul 22:00 WIB, seekor gajah liar yang dianggap telah diikat kuat oleh masyarakat, mengamuk sehingga lepas dari ikatan dan lari masih disekitar Kampung baru. Karena lari, meskipun hujan deras malam itu, beberapa masyarakat berupaya mencari dan menangkap kembali.Akhirnya Jumat (21/4) sekitar pukul 08:00 WIB, gajah bisa ditangkap kembali dengan cara mistik yang dilakukan oleh salah seorang dari 12 masyarakat. “Penangkapan dan pengejaran satu ekor gajah, dilakukan dua kali oleh masyarakat, Tadi siang gajah tersebut masih terikat dengan tali nilon yang diameter besar dipohon yang dijaga beebrapa masyarakat.Kami tidak mau membunuh hewan ini, karena gajah salah atu hewan yang dilindungi pemerintah,” ungkapnya bersama rekan-rekannya di Pasirpengaraian Mereka berharap Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu, segera memindahkan gajah yang telah ditangkap dan diikat oleh masyarakat. “Meski gajah ini diberi makan oleh masyarakat, Kami kuatir, hewan ini bisa lepas, kalau lambat dipindahkan oleh Tim BKSDA Provinsi Riau,” ujarnya serius. Dengan telah ditangkapnya gajah dan kerugian material dari amukan gajah sekitar ratusan juta, Adam (35) mengatasnamakan masyarakat Kampung Baru, meminta perhatian dari pemerintah terhadap rusaknya puluhan tanaman sawit, karet dan padi masyarakat di Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan. Ditempat terpisah, ketika di konfirmasikan Riau Pos, Jumat (21/4), kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu Ir Sri Hardono MM, dia membenarkan, menerima laporan masyarakat Dusun Kampung Baru, bahwasnya satu ekor gajah jantan yang telah ditangkap oleh masyarakat diminta segera dipindahkan dan meminta bantuan kerugian materi masyarakat akibat beberapa kawanan gajah liar mengamuk dan memakan tanaman masyarakat setempat. “Masalah gajah di Rohul, kerap terjadi. Biasanya bila musim banjir tiba, gajah mengamuk dan keluar untuk mencari tempat yang tinggi yakni di

Page 157: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 157 of 166 WWF-Indonesia

perkampungan masyarakat. Februari 2006, lalu Tim BKSDA Riau telah menangkap empat ekor gajah liar di Kecamatan kepenuhan,” katanya. Dia mengatakan, dengan menerima laporan masyarakat kampung baru, pihaknya mengaku telah mengirim Fax ke Tim BKSD Riau, terhadap desakan masyarakat yang meminta gajah jantan yang ditangkap untuk segera dipindahkan. “Kita telah menurunkan Anggota Polhut dan staf Dinas Kehutanan Rohul, untuk membantu dan mengamankan masalah penanggulangan satwa gajah liar di tengah masyarakat.Instansi terkait yang bisa memindahkan dan menangkap gajah adalah tim BKSDA Riau. Sekarang staf kita sudah berada di Dusun kampung baru, berbaur dan menenangkan masyarakat dalam permaslahan ini,” katanya. Dalam pada itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Rokan Hulu Syafaruddin Poti kepada Riau Pos, mengakui telah menerima laporan masyarakat Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan, bahwasanya puluhan hektar tanaman sawit, karet dan padi masyarakat rusak dan musnah dimakan gajah liar serta meminta dinas terkait untuk segera memindahkan gajah liar jantan yang ditangkap oleh warga setempat. Syafaruddin Poty wakil raknyat asal dari pilihan masyarakat Kepenuhan, mengatakan, DPRD Kabupaten Rokan Hulu segera menyikapi permasalahan ini dengan serius, agar masyarakat merasa tenang dan nyaman tinggal didaerah tersebut.Untuk meninjaklanjuti aspirasi masyarakat ini, “Kita akan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Kab Rokan Hulu, Badan Konservasi Sumber Daya Alam Riau serta Polres Rokan Hulu, untuk memberikan ketenangan kepada masyarakat di Pekan Tebih,” ungkap nya, Jumat (21/4), menanggapi aspirasi masyarakat terhadap permasalahan gajah tunggal yang berada di Desa Pekan Tebih. Permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat Pekan Tebih ini, DPRD Kabupaten Rokan Hulu, meminta instansi terkait dalam hal ini pemerintah kab Rokan Hulu serta Polres Rokan Hulu, Tim BKSDA Riau untuk dapat turun kelapangan secepatnya, untuk memindahkan gajah yang telah ditangkap, sebagai langkah antisipasi untuk menghindari korban jiwa dari amukan gajah liar jantan di Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan.(epp)

http://www.riaupos.com/web/content/view/11046/23/

Detik.com, 22 April 2006, 02:28:03 WIB skor: 879 Satu Ekor Gajah Tangkapan Dishut Riau Mati Untuk kesekian kalinya, program relokasi gajah di Riau berakhir dengan kematian. Dari 10 ekor gajah ditangkap Dinas Kehutanan Riau, satu ekor gajah usia 9 tahun mati. Duh! "Kami dari WWF meminta proses penegakan hukum yang transparan dalam kasus relokasi gajah yang sering gagal” http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/022803/idnews/579999/idkanal/10 Detik.com, 22 April 2006, 02:36:38 WIB skor: 836 Gara-gara Program Relokasi, 46 Gajah di Riau Mati Program relokasi gajah di Riau dinilai tidak melalui prosedural. Hal itu memungkinkan relokasi gajah liar sering berakhir dengan kematian. Sedikitnya 46 ekor gajah di Riau mati karena relokasi tersebut.

Page 158: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 158 of 166 WWF-Indonesia

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/023638/idnews/580000/idkanal/10 Detik Com, 22 April 2006, 12:55:34, skor: 851 6 Gajah Liar Rusak 40 Hektar Kebun Sawit di Riau Enam ekor gajah liar masuk ke perkampungan penduduk di Desa Kepenuhan dan Desa Kampung Baru, Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Gerombolan gajah ini sudah 3 hari berputar-putar di perkampungan ter http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/22/time/125534/idnews/580308/idkanal/10 KCM, April 25, 2006 Warga Tewas Karena Amukan Gajah

Bandar Lampung, Selasa--Seorang warga ditemukan sudah tidak bernyawa lagi dalam areal hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lampung Timur. Ia diduga tewas akibat amukan gajah liar penghuni taman nasional itu.

"Ini mengenaskan sekaligus memprihatinkan," kata Donny Gunaryadi, Project Manager Gajah Sumatera di TNWK, Bandar Lampung, Selasa (25/4). "Tapi hendaknya musibah ini menjadi pembelajaran bagi masyarakat sekitar hutan agar tidak menjadi perambah karena berisiko tinggi," lanjutnya.

Peristiwa tewasnya Abdul Kamit (70) akibat amukan gajah liar di TNWK itu pada Selasa (18/4) malam lalu itu sekali lagi memunculkan keprihatinan mengenai banyaknya konflik antara hewan liar dengan masyarakat yang mengganggu habitat mereka. "Kerusakan hutan dan gangguan satwa liar di TNWK cukup serius, perlu dukungan masyarakat sekitar hutan supaya tidak lagi mengusik kawasan konservasi ini," kata Donny. Informasi dari Tim Wildlife Crime Unit (WCU) Lampung menyebutkan, Abdul Kamit tewas setelah sekelompok gajah Sumatera (Elephas maximus) mengamuk di areal perambahan TNWK pada Selasa (18/4) sekitar Pkl 23:00 WIB, sekitar dua kilometer dari batas kanal TNWK. Korban adalah seorang petani yang waktu itu sedang menjaga kebun singkong. Menurut Cakno dan Supriyono, teman korban, kejadian tersebut bermula ketika mereka mendengar jeritan minta tolong dan sempat melihat ada rombongan gajah masuk di areal tanaman singkong tempat mereka berkebun. Merasa tidak mampu menghalau, Supriyono minta bantuan ke PT Nusantara Tropical Fruit (PT. NTF) menemui petugas polisi dan Satpam yang pada malam itu sedang bertugas di perusahaan. Setelah bantuan datang, kawanan gajah sudah tidak ada di lokasi. Tapi keberadaan korban belum diketahui karena kondisi masih gelap. Ternyata, tidak lama kemudian sekitar Pkl 04.00 Rabu (19/4) pagi, kawanan gajah kembali lagi ke lokasi. Menjelang pagi kawanan gajah pergi, Cakno dan Supriyono serta beberapa

Page 159: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 159 of 166 WWF-Indonesia

orang lain baru berani mendatangi lokasi. Mereka menemukan tubuh Abdul Kamit tergeletak di pinggiran tanaman singkong. Korban diketahui sudah empat tahun membuka lahan dan berladang dengan anaknya serta masyarakat lainnya di dalam kawasan hutan TNWK. Pembukaan ladang di Taman Nasional ini rawan memunculkan konflik antara manusia dengan hewan liar.

Menurut informasi, korban sempat melakukan pengusiran dan penggiringan gajah liar yang masuk ke "kebunnya" seorang diri, dengan peralatan lampu belor (senter menggunakan aki) serta gembolo (bola api). Biasanya korban ditemani anaknya Nur Kotib, tapi pada malam kejadian, ia sedang tidak ada di lokasi. Pada malam itu, anggota masyarakat lain juga sedang tidak ada di lokasi karena sudah banyak yang panen dan pulang ke rumah. Menurut masyarakat penggarap di sana, mereka terpaksa masuk ke dalam kawasan taman nasional dan bercocok tanam karena faktor ekonomi. Selama ini mereka hanya mengandalkan hasil perikanan musiman yang tidak menentu. Sementara bertani di sawah/rawa tidak bisa karena kalau musim penghujan banjir dan kemarau, irigasi tidak berfungsi dengan baik. Perambahan yang terjadi di TNWK, saat ini mencapai sekitar 5 persen dari total luas areal hutan yang seluruhnya 125.621,30 hektar. Menurut para aktivis LSM yang kerap ikut dalam operasi patroli gajah di sana, lokasi perambahan itu merupakan wilayah jelajah gajah Sumatera, sehingga kemungkinan terjadi konflik cukup besar.

Beberapa bulan lalu ditemukan juga bangkai seekor gajah di area perkebunan singkong, yang diduga dibunuh petani. Sedangkan satu minggu sebelum tewasnya Abdul Kamit, ada seekor anak gajah terperosok dalam sumur tempat mengambil air untuk menyiram tanaman semangka. Tapi gajah kecil itu berhasil diselamatkan oleh induknya. Anak gajah tersebut diketahui berasal dari rombongan gajah yang jumlahnya sekitar 20-an ekor.

Donny Gunaryadi Manajer Proyek Gajah Sumatera Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) mengatakan, populasi gajah Sumatera di TNWK saat ini sekitar 180-250 ekor.

http://www.kompas.com/teknologi/news/0604/25/151942.htm Riau Terkini, Senin, 24 April 2006 16:09 Soal Kematian Gajah di Riau WWF Kirim Surat Kepada Presiden Tingginya angka kematian gajah di Riau membuat WWF menyurati Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. WWF minta Presiden menghimbau agar ada upaya penyelamatan dan konservasi gajah Sumatera. 12 Gajah Mati di Riau Riauterkini-PEKANBARU- 20 tahun belakangan ini, populasi gajah di Riau menurun cukup signifikan. Penurunan populasi gajah mencapai 75 %. Tahun 1985 jumlah gajah Sumatera di Riau berkisar 1067-1617 ekor. Namun ketika tahun 2003 dilakukan pengamatan, diketahui

Page 160: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 160 of 166 WWF-Indonesia

jumlah gajah hanya berkisar 353-431 ekor saja. Bahkan dalam 2 bulan terakhir (akhir February-akhir April), WWF telah menemukan sedikitnya 12 gajah Sumatera di Riau yang mati terbunuh. Tingginya angka kematian gajah menjadi perhatian dunia. Menurut Direktur Eksekutif WWF Indonesia, Mubariq Ahmad (24/4) tingginya mortalitas species Gajah Sumatera disebabkan menyempitnya habitat akibat konversi hutan alam Riau. Penyempitan karena adanya pergeseran fungsi hutan menjadi non hutan. Alhasil gajah-gajah terpaksa mencari makan ke areal perkebunan dan pemukiman penduduk yang sebelumnya adalah habitat satwa yang dilindungi tersebut. “Situasi tersebut seringkali berakibat pada konflik yang diakhiri dengan kematian gajah karena ditembak, dibius atau diracun oleh masyarakat dan perusahaan serta buruknya penanganan aparat selama proses penangkapan gajah,” imbuhnya. Berdasarkan hal itu, tambahnya, WWF mengirimkan surat kepada presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dengan Nomor Surat 04-SP/WWF-ID/04-06 tentang permintaan kepada Presiden untuk melakukan himbauan secara terbuka untuk penyelamatan dan konservasi Gajah Sumatera. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa enam tahun belakangan ini WWF bersama Dephut dan pemerintah daerah serta petugas di lapangan telah berupaya menghentikan laju penurunan populasi Gajah Sumatera di Riau. Namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. “Ada 5 permintaan WWF kepada presiden RI yang tertuang dalam surat tersebut. Pertama adalah meminta Presiden RI menginstruksikan kepada seluruh lapisan warga Indonesia untuk tidak membunuh gajah Sumatera. Kedua meminta presiden menginstruksikan kepada isntansi terkait dan perusahaan perkebunan untuk melaksanakan protocol mitigasi konflik manusia-gajah. Ketiga meminta presiden menginstruksikan pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan menghentikan konversi di kawasan konservasi. Keempat meminta Presiden RI memprioritaskan realisasi perluasan Taman nasional Tesso Nilo dam Taman nasional Bukit Tigapuluh di Riau dan Jambi. Terakhir meminta presiden memperkuat proses penegakan hukum dalam perlindungan gajah sumatera dan habitatnya,” urai Mubariq. Menurutnya, terkait dengan hal itu, WWF siap bekerjasama dengan pemerintah dalam mengimplementasikan rencana konservasi gajah sumatera secara komprehensif. Laporkan Kondisi SM Balai Raja Duri Dalam surat tersebut, WWF juga menyampaikan kepada Presiden RI tentang kondisi suaka margasatwa Balai Raja Duri. Dalam keterangannya, Mubariq Achmad mengemukakan bahwa suaka margasatwa Balai Raja yang perijinannya seluas 16 ribu Ha, kini luas tutupan hutannya hanya tinggal 260 Ha saja. Padahal SM Balai Raja Duri merupakan habitat gajah sumatera dengan jumlah sedikitnya 60-an ekor. “Kami juga meminta kepada Bapak Presiden RI untuk membatalkan izin konversi di kawasan yang konservasi yang dilindungi. Terutama di Suaka Margasatwa Balai Raja Duri yang kini dialih fungsikan menjadi area pemukiman dan perkebunan,” imbuhnya. ***(H-we)

Page 161: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 161 of 166 WWF-Indonesia

http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=9370 Riau Pos, Senin, 24 April 2006 Lima Gajah Liar Rusak Tanaman Masyarakat KEPENUHAN (RP) - Warga Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih, Desa Sungai Dua Indah dan Dusun Pebadaran Desa Kepenuhan Barat Kecamatan Kepenuhan mendesak Tim Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau dan Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu untuk menangkap lima ekor induk gajah liar yang masih berkeliaran setiap hari, sambil merusak dan memakan tanaman milik warga setempat. Salah seorang warga Kampung Baru bernama Usman (38) yang dijumpai Riau Pos, Sabtu (22/4) di Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih, mengatakan, sejak dua bulan terakhir ini, enam ekor gajah liar kembali memasuki perkampungan, tepatnya di Desa Pekan Tebih, Desa Pebadaran dan Desa Sungai Dua Indah Kecamatan Kepenuhan. Dimana gajah liar tersebut, telah merusak gubuk dan memakan tananman sawit, karet milik masyarakat setempat. Dikatakan Usman, enam ekor gajah yang hingga saat ini masih berkeliaran dan belum tertangkap oleh Tim BKSDA Riau tepatnya di Desa Kampung Baru dan Desa Sungai Dua Indah Kecamatan Kepenuhan, mengakibat kerugian material yang sangat besar oleh masyarakat, yang diperkirakan hampir mencapai sekitar ratusan juta rupiah. Namun hingga saat ini, gajah liar tersebut, masih juga belum tertangkap oleh Tim BKSDA Riau dan Dinas Kehutanan Rohul. ‘’Kami (warga), sangat resah dan ketakutan di kampung ini, gajah masih tetap berkeliaran saat warga mendodos sawit maupun menyadap karet di kebun. Hewan itu, tidak tau siang ataupun malam merusak dan memakan tanaman warga,’’ papar Usman didampingi teman-temannya yang dijumpai Riau Pos, disaat menjaga seekor gajah betina di samping rumahnya di Dusun III Kampung Baru. Usman menyebutkan, gajah liar yang ditangkap warga Kampung Baru, yang sekarang kaki dan lehernya dalam keadaan terikat, hingga kemarin belum dibawa oleh Tim BKSDA Riau. Namun warga setempat masih mengawasi dan menjaga anak gajah betina dengan cara bergantian. ‘’Gajah ini kita beri makan setiap hari. Warga menjaga gajah siang-malam. Kami sangat resah dan kuatir, bila tidak segera dipindahkan, bias saja nyawa kami (warga) sasarannya setelah tanam habis dimakannya,’’ ucapnya serius. Karena gajah masih berkeliaran, sebut Bustami (35) didampingi Syafaruddin Sape (36) bahwasanya di Dusun Sungai Dua Indah dan Kampung Baru tidak berani untuk keluar rumah pergi kebun sawit maupun karet. Apalagi, bila gajah liar ini bertemu dengan warga sedang menyadap karet, hewan satwa liar tersebut langsung mengejar dan merusak tanaman. ‘’Sekarang aktivitas warga untuk mencari nafkah di desa ini, sudah lumpuh, sementara anak dan isteri perlu makan.Bagaimana kami mau keluar pak, induk gajah masih saja sering berkeliaran. Sudah dua bulan gajah liar memasuki kampung, dengan merusak gubuk dan tanaman milik masyarakat,’’ ungkap Bustami, yang mengharapkan gajah liar di daerahnya segera ditangkap oleh pemerintah, sebelum warga tewas dinjak-injak

Page 162: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 162 of 166 WWF-Indonesia

gajah. Dalam pada itu, Syafaruddin Sape menyebutkan, meskipun gajah telah merusak tanaman dan meresahkan ketenangan warga setempat, namun gajah liar yang dilindungi oleh pemerintah, warga tempatan tidak mau membunuhnya, baik diracun maupun ditembak. ‘’Kami beserta masyarakat disekitar kampung, mengerti hewan satwa seperti gajah liar ini dilindungi, kami tidak akan membunuh hewan ini.Tapi Jika tidak segera dipindahkan, satu ekor gajah dan menangkap kawanan gajah lainnya, kami akan beri racun.Karena anak gajah ditangkap, takut induknya mengejar dan menyerang masyarakat sekitar kampung,’’ tegasnya meminta lima ekor gajah liar yang amsih berkeliaran segera ditangkap oleh Tim BKSDA Riau dan Dinas Kehuatnan. Segenap masyarakat Kepenuhan yang hampir setiap tahun diganggu oleh gajah lair, berharap kepada Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu maupun Pemprov Riau, untuk menyikapi serius masalah gajah liar yang telah banyak merusak ratusan hektare tanaman milik masyarakat di Kepenuhan ini serta mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk membantu kerugian materi yang selama ini dirusak oleh gajah. Dalam pada itu, Kasi Wilayah II Tim BKSDA Provinsi Riau Alinafsir Siregar yang di jumpai Riau Pos, Ahad, (23/4) di Desa Rambah Hilir Kecamatan Rambah Hilir ketika hendak menuju Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan kepenuhan, mengatakan, pihaknya Sabtu (22/4) malam, telah pergi melihat anak gajah liar yang ditangkap warga. Dimana gajah liar dalam keadaan terikat dengan tinggi 150 meter tersebut, Tim BKSDA Riau segera membawa anak gajah itu ke Pusat Pelatihan gajah di Minas, untuk dilakukan perawatan. Karena kaki kanan bagian belakang anak gajah itu, terluka akibat ikatan kabel sling. ‘’Ahad malam ini, anak gajah liar akan kita bawa ke Pusat pelatihan gajah yang ada di Minas, untuk diobati, karena kakinya terluka,’’ jelasnya. Ditanya upaya Tim BKSDA Riau untuk menangkap lima ekor induk gajah liar yang berkeliaran merusak tanaman masyarakat di Dusun Kampung Baru dan Desa Sungai Dua Indah, Alinafsir mengatakan, tim BKSDA Riau belum melakukan uapaya penangkapan terhadap ke lima ekor gajah tersebut, tetapi hanya melakukan pengusiran dengan membawa seekor gajah jantan sebagai pemikat gajah. ‘’Kita belum melakukan pengkapan, sebelum ditentukannya tempat pemindahan gajah liar oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu. Bila gajah sudah ditangkap, tapi tempat pemindahan gajah tidak ada, nanti akan menjadi beban lagi, bagi Tim BKSDA,s eperti kasus gajah di Balai Raja,’’ ujarnya sambil mengatakan tim BKSDA yang turun ke Rohul, hanya melakukan pengusiran, bukan melakukan penangkapan gajah. Pantauan Riau Pos di Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan, Sabtu (22/4), sekitar pukul 18:00 wib, anak gajah liar masih dalam keadaan terikat di pohon yang berdekatan dengan rumah warga yang jarak sekitar lima meter masih dijaga dan diawasi oleh masyarakat sambil menunggu kedatangan tim BKSDA Riau. Jauh lokasi dari Desa Pekan Tebih ke tempat Anak gajah liar yang telah

Page 163: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 163 of 166 WWF-Indonesia

di Tangkap oleh warga Kampung Baru sekitar 4 Km, dimana Riau Pos melihat Kampung tersebut masih dilanda banjir. Hal itu tampak dibeberapa titik jalan, genangan air setinggi lutut untuk sampai kelokasi. Dengan masih berkeliarannya induk gajah di perkampungan tersebut, warga tidak berani keluar, dimana tepat pukul 17:30 WIB, jalan dengan panjang empat kilometer menuju tempat anak gajah yang telah diikat terlihat sepi.Hanya beberapa warga saja yang berani keluar dari rumah, akibat ketakutan dan kersahannya terhadap lima ekor jgajah liar yang sudah meluluhlantak tanaman milik masyrakats elama dua bulan terakhir pada tahun 2006 ini.(epp) http://www.riaupos.com/web/content/view/11155/6/ Riau Pos, Selasa, 25 April 2006 Tanggapan Masyarakat Korban Amukan Gajah ‘’Maunya Kami, Gajah Liar Itu Dibunuh Saja’’ Amukan segelompok gajah yang terjadi di Kepenuhan membuat masyarakat takut, kesal dan ada lagi yang trauma. Hal ini dilontarkannya kepada Riau Pos, kemarin. Laporan Engki Prima Putra, Kepenuhan [email protected] Alamat Email inidilindungi dari bot spam, Anda Harus Mengaktifkan Javascript Untuk Melihatnya AKIBAT rusaknya hutan di Kabupaten Rokan Hulu oleh orang-orang yang tak bertanggung jabwab, yang mempunyai kepentingan pribadi, dengan merambah hutan, yang akhirnya sekarang hutan tersebut telah beralih fungsi, dijadikan sebagai lahan perkebunan dan tanaman oleh masyarakat dan pihak perusahaan, sehingga hewan satwa liar yang dilindungi oleh pemerintah seperti gajah yang telah kehilangan habitanya, mereka masuk perkampungan untuk mencari makan. Karena hutan yang telah beralih fungsi dan makanan sudah tidak ada lagi, hewan satwa liar mengamuk serta merusak, menginjak-injak warga hingga tidak bernyawa dan memakan tanaman-tanaman masyarakat yang ada di perkampungan, untuk kelangsung hidupnya. Permasalahan gajah liar yang hampir setiap tahun masuk perkampungan, merusak tanaman dan menjadi korban manusia hingga tidak bernyawa sebanyak empat orang, kasus ini terjadi di Kabupaten Rokan Hulu khususnya di Kecamatan Kepenuhan dan Rambah Hilir sebagai tempat berkeliarannya gajah liar semenjak empat tahun terakhir hingga tahun 2006 ini. Dengan rusaknya tanaman seperti sawit, karet, padi, gubuk milik masyarakat yang tidak terhitung hingga saat ini serta menginjak-injak masyarakat hingga tewas yang hampir setiap tahun terjadi di Kecamatan Kepenuhan, maka dari sejumlah aspirasi masyarakat Kepenuhan, yang sering diganggu, diamuk dan dikejar oleh gajah, maka masyarakat mempunyai solusi yang negatif, kalau maunya kami (masyarakat) Kepenuhan, gajah liar itu dibunuh saja, karena hewan tersebut telah meresahkaan dan menggu ketenagna warga. Salah satunya aspirasi yang disampaikan oleh Tokoh Pemuda Kepenuhan Syafaruddin (38) yang dipanggil akrab Safe yang juga sebagai Ketua

Page 164: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 164 of 166 WWF-Indonesia

Ikatan Keluarga Kerukunan Antar Suku didampingi Bustami (35) kepada Riau Pos, Ahad, (23/4) di Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu. ‘’Karena hewan ini (gajah) sifatnya mengganggu ketenangan dan merusak tanaman-tanaman milik warga di perkampungan, maunya kami (masyarakat), gajah liar itu dibunuh saja.Tapi kami tau dengan hukum, bahwa hewan yang mempunyai belalai ini, dilindungi oleh pemerintah maupun dunia,’’ ungkap Safe, berkaitan masuknya enam ekor gajah liar, Selasa (11/4) lalu di tiga Desa, yakni Desa Sungai Dua Indah Kecamatan Rambah Hilir, Dusun Kampung Baru Desa Pekan Tebih dan Dusun Pebadaran Desa Kepenuhan Barat Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rohul yang telah merusak dan memakan tanaman sawit, karet, padi milik masyarakat hingga kemarin. Dia menyebutkan, kenapa kalau gajah liar yang dilindungi oleh pemerintah tersebut mati dibunuh atau diracun oleh masyarakat, pihak penegak hukum melakukan pengusutan atau memperkarakan permasalhan kematian hewan ini.Namun sebaliknya, apabila gajah liar melukai warga dan menginjak-injak hingga tewas, tak pernah di usut. ‘’Disini kita bisa menganalisa, nyawa hewan satwa gajah ini, lebih berharga dari pada nyawa manusia, oleh pemerintah maupun dunia,’’ ujarnya. Dikatakan Safe, pihaknya telah memberikan instruksi kepada warga perkampungan di Kepenuhan, apabila gajah liar sudah sangat mengganggu ketenangan dan melukai masyarakat yang akhirnya menjadi korban, gajah tersebut dibunuh saja.Maksud dibunuhnya gajah liar ini, jangan salah mengartikan, bukan mencari keuntungan atau mengambil gading gajah.Tetapi sebagai penyelamatan diri dan usaha masyarakat sebagai atau petani di perkampungan. Disebutkan Safe, mengapa timbul aspirasi masyarakat Kepenuhan yang mempunyai niat untuk membunuh gajah liar, karena pemerintah sangat lamban mengantisipasi dan menaggapi permasalahan gajah yang selama ini terjadi di Rokan Hulu.Dimana setiap laporan gajah mengamuk yang disampaikan masyarakat ke pemerintah, sudah musnah tanaman-tanaman milik masyarakat baru tim BKSDA dan Dinas Kehutanan Rohul turun ke TKP. ‘’Kalau saya menilai wajar-wajar saja, maunya masyarakat ingin membunuh gajah, sebagai penyelematan diri dan usahanya sehari-hari sebagai petani dalam mencari nafkah,’’ katanya. Dalam pada itu, warga Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih Kecamatan Kepenuhan Rohul bernama Adam (38) didampingi Ismail (35) dan Nasrul (45) yang dijumpai Riau Pos, Senin (24/4) di Dinas Kehutanan Rokan Hulu, menyebutkan, bahwasanya lima ekor induk gajah masih berkeliaran di Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih dan Dusun Pebadaran Desa Kepenuhan Barat Kecamatan Kepenuhan, gajah tersebut masih merusak dan memakan tanaman milik masyarakat, baik siang maupun malam.Sehingga aktifitas warga perkampungan lumpuh, diantara masyarakat tidak berani keluar karena ketakuatan. ‘’Sejak gajah merusak dan memakan tanaman diladang, masyarakat kampung tidak berani keluar mendodos sawit dan menyadap karet dalam mencari nafkah.Mereka hanya berada didalam rumah, karena takut dengan amukan gajah.Dusun Kampung Baru seakrang dilanda banjir,’’ papar Ismali,

Page 165: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 165 of 166 WWF-Indonesia

mengatakan, tadi malam dua dari lima ekor gajah masih berkeliaran yang terlihat oleh warga, belum ada gajah yang ditangkap oleh Tim BKSDA Riau. Ismail menyebutkan, Senin (24/4) kamerin, anak gajah liar yang berumur 5 tahun dan tinggi 150 meter yang telah ditangkap warga, masih berada di Dusun III Kampung Baru Desa Pekan Tebih.Anak gajah liar ini, dijaga dan diawasi oleh masyarakat dengan system, shif siang dan malam sebanyak 12 orang. ‘’Karena anak gajah belum dipindahkan oleh Tim BKSDA Riau, kita kuatir induk gajah akan mencari anaknya yang hilang, menyerang masyarakat, bisa-bisa mengobrak-abrik apasaja yang ada di kampung ini,’’ ucapnya sambil mengatakan warga Dusun Kampung Baru dan Pebadaran Kecamatan Kepenuhan saat ini resah dan ketakutan siang dan malam akibat amukan gajah. Warga di Kecamatan Kepenuhan dan Rambah Hilir, berharap Kepada Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu maupun Tim BKSDA Riau, untuk menyikapi masalah gajah liar ini dengan serius, sebelum hewan tersebut merengut nyawa manusia serta meminta perhatian pemerintah atas kerugian materi yang selama ini telah dirusak oleh gajah liar. Khusus kepada Tim Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau dan Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hulu diminta untuk segera menangkap lima ekor induk gajah liar yang masih berkeliaran setiap hari di Desa Pekan Tebih dan Kepenuhan Barat. Di tempat terpisah, Kasi Wilayah II Tim BKSDA Provinsi Riau Alinafsir Siregar kepada Riau Pos, Senin (24/4), mengatakan anak gajah liar yang berumur 5 tahun dengan tinggi 150 meter tersebut, Ahad kemarin, belum di pindahkan ke Pusat Pelatihan Gajah yang ada di Minas, Sekarang kaki gajah yang diikat warga dengan sling, ikatannya sudah dilepas karena kaki bagian belakang gajah terluka. Hanya lehernya saja yang dikat dengan rantai.’’Senin (24/4) malam ini, Tim BKSDA Riau akan membawa anak gajah itu ke Pusat Pelatihan gajah di Minas, untuk dilakukan perawatan, karena kaki gajah terluka dan segera diobati,’’ uajrnya. Ditanya upaya Tim BKSDA Riau untuk menangkap lima ekor induk gajah liar yang berkeliaran merusak tanaman masyarakat di Dusun Kampung Baru dan Desa Sungai Dua Indah, Alinafsir mengatakan, tim BKSDA Riau belum melakukan upaya penangkapan terhadap ke lima ekor gajah tersebut, hanya melakukan pengusiran dengan membawa seekor gajah jantan sebagai pemikat gajah,’’ Kalaupun solusi ini, tidak masksimal, namun itu sudah mengurangi beban masyarakat. Karena Pemkab Rohul belum menentukan lokasi pelepasan gajah, Tim tidak akan menangkap, karena itu akan menjadi beban besar nantinya, seperti kasus gajah di Balai Raja.Tim menunggu jawaban Pemkab, soal lokasi pelepasan gajah ini, sebelum dilakukan penagkapan,’’ ujarnya. Menggapi lokasi pelepasan gajah liar, Kepala Dinas Kehutanan Rohul Ir Sri Hardono MM mengatakan, pelepasan gajah liar yang sudah ditangkap oleh Tim BKSDA Riau, Rabu (26/4), Pemkab Rohul akan mengadakan rapat, membahas penanganan gajah lair dan loaksi pemindahan gajah tersebut.Untuk sementara ini, Tim BKSDA bersama Polhut Dinas Kehutanan

Page 166: National Media Coverage

National Media Coverage Feb/Mar/April 2006: Human Elephant Conflict, Riau, Sumatra 166 of 166 WWF-Indonesia

Rohul berada di lapangan, melakukan pengusiran gajah liar bersama-sama masyarakat,sebelum melakukan penagkapan.(ril)