naskah akademis rancangan peraturan pemerintah tentang kajian lingkungan hidup strategis (klhs)

48
NASKAH AKADEMIK (DRAFT FINAL) RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) DISUSUN OLEH PROF. DR. MARIA S.W. SUMARDJONO, S.H., MCL., MPA. TOTOK DWI DIANTORO, SH., MA. Draft 4 1

Upload: pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp

Post on 22-Oct-2015

100 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

DISUSUN OLEH PROF. DR. MARIA S.W. SUMARDJONO, S.H., MCL., MPA.TOTOK DWI DIANTORO, SH., MA.

TRANSCRIPT

NASKAH AKADEMIK(DRAFT FINAL)

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA

TENTANG KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

(KLHS)

DISUSUN OLEH PROF. DR. MARIA S.W. SUMARDJONO, S.H., MCL.,

MPA.TOTOK DWI DIANTORO, SH., MA.

Draft 4 1

Bab IPendahuluan

A. Latar Belakang

A.1. Pokok-pokok Pikiran Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (“RPP KLHS”).

a. Degradasi sumber daya alam serta faktor-faktor yang mempengaruhi.1

Lebih dari tiga dasawarsa, pertumbuhan ekonomi yang berbasis pembangunanisme (developmentalism) sebagian besar tersumbang oleh eksploitasi sumber daya alam. Manfaat yang sedemikian besar, dengan upaya yang relatif mudah untuk memperolehnya, didukung oleh kebijakan yang sangat akomodatif dan responsif terhadap kebutuhan eksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam itu telah membawa dampak degradasi sumber daya alam—dari segi kualitas dan kuantitas—serta, bahkan dampak sosial.

Lebih-lebih manakala badai krisis moneter yang menerpa negeri ini di penghujung akhir kekuasaan rejim Orde Baru yang lalu, turut menyumbangkan alasan pembenar (apologi) tentang makin—masih—signifikannya menumpukan pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam. Dalam upaya mencari jalan keluar dari keterpurukan keuangan negara, lagkah yang relatif sederhana untuk dapat ditempuh adalah bagaimana memperoleh devisa melalui pemanfaatan sumber daya alam, namun di sisi lain tanpa menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap daya dukungnya.

Sebagai konsekuensi lebih lanjut, buah dari eksploitasi sumber daya alam selama ini telah memunculkan berbagai persoalan. Dalam tataran empiris, konflik vertikal dan horisontal berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam sudah merupakan peristiwa sehari-hari, yang sayangnya—dengan berat hati mengatakan—tak pernah diupayakan penyelesaiannya secara tuntas.

Masyarakat adat dan masyarakat lokal, sebagai ilustrasi, adalah kelompok yang paling terpinggirkan (marginal) dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam karena keberadaannya lebih banyak dipandang sebelah mata, sehingga tidak jarang merupakan korban dari praktek pembangunan. Kearifan tradisional dalam mempertahankan, mengembangkan dan melestarikan sumber daya alam dikalahkan oleh pendekatan teknokratik yang dianggap lebih menguntungkan dari sisi manajemen ekonomi modern. Bersamaan dengan hal itu, pranata yang hidup di lingkungan masyarakat adat/lokal makin tidak berdaya berhadapan dengan peraturan hukum formal.

Negara, sebagai penerima kewenangan dari masyarakat untuk mengatur sumber daya alam bagi kepentingan masyarakat, dan dengan demikian wajib mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat, seringkali tidak melakukan perannya sebagai fasilitator atau bila diperlukan, sebagai wasit yang adil.

Dalam tataran normatif, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 diberi tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep “hak menguasai negara” dan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dalam

1 Uraian dalam bagian a ini diambil dan disempurnakan dari tulisan Maria Sumardjono “Agenda yang Mendesak: Menuju RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil, Berkelanjutan dan Mensejahterakan Masyarakat”, yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam Roundtable Discussion di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tanggal 16 Nopember 2000, dimuat dalam Buku Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, cetakan ke-2, Penerbit Kompas, 2009.

Draft 4 2

operasionalisasinya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik (UUPA, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain)—dengan mengatasnamakan tanah negara, hutan negara dan sebagainya—secara langsung atau tidak langsung telah mengurangi hak masyarakat adat/lokal untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam yang bersangkutan.

Hal ini masih diperparah dengan ketidaksinkronan antara berbagai undang-undang yang mengatur tentang sumber daya alam tersebut. Walaupun sama-sama berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, namun karena egoisme sektoral yang begitu tinggi, masing-masing sektor merasa yang paling berkompeten mengatur tentang sumber daya alamnya.

Walaupun disadari bahwa segenap unsur sumber daya alam merupakan satu ekosistem, tetapi kesadaran bahwa masing-masing sektor hanya mengatur fungsi tertentu dari pengelolaan sumber daya alam, maka merealisasikan pengelolaan sumber daya alam yang ideal makin sulit diwujudkan.

Sebagai akibat lebih jauh dari egoisme sektoral itu, terjadilah tumpang tindih antara penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan koordinasi yang timpang baik antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Sementara lain, dari segi kelembagaan tidak ada satupun kementerian yang mampu mengkoordinasikan pengelolaan sumber daya alam. Masing-masing kementerian berjalan sesuai dengan sistem nilai dan peran atau fungsi yang diembannya. Persepsi setiap kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam tidak sama, tergantung sudut pandang dan agenda masing-masing.

Dampak dari kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan ini dapat dilihat antara lain pada kerusakan hutan 1,8 juta hektar pertahun, laju deforestasi 1,6 juta hektar pertahun, kerusakan hutan dan lahan pada 2004 mencapai 59,2 juta hektar, kerusakan terumbu karang 70 persen, kerusakan hutan mangrove 64 persen, kerusakan akibat kegiatan pertambangan terhadap tanah dan hilangnya vegetasi di atasnya, penggunaan tanah untuk berbagai kegiatan di atas tanah yang bertentangan dengan fungsinya sebagai daerah peresapan air dengan akibat bencana banjir, dan lain-lain.

Kelangkaan, kemunduran kualitas dan kuantitas sumber daya alam, dan perbedaan posisi tawar antara pihak yang mempunyai akses terhadap modal dan akses politik di satu pihak, dengan rakyat yang pada umumnya lemah posisi tawarnya, telah berakibat terhadap ketimpangan struktur penguasaan, peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Di samping menimbulkan berbagai konflik dalam penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

b. Upaya pengendalian kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan melalui AMDAL yang belum juga memadai.Kesadaran akan arti pentingnya kelestarian sumber daya alam yang sifatnya terbatas bagi generasi sekarang maupun yang akan datang didorong oleh kenyataan tentang ketidakseimbangan antara tingkat kebutuhan dibandingkan ketersediaan sumber daya alam, yang telah secara nyata menimbulkan tekanan yang mengancam kesejahteraan dan kualitas hidup manusia. Keadaan ini telah membuka mata tentang tiadanya pilihan lain, kecuali melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Pokok pikiran inilah yang mendasari arti pentingnya kewajiban untuk melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) bagi usaha/kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.

Draft 4 3

Pertama kali AMDAL diperkenalkan melalui UU No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Penyelenggaraan AMDAL menurut PP No. 29 Tahun 1986 itu terbatas, yaitu pada proyek tunggal, bersifat sektoral dengan 16 komisi AMDAL pusat.

Dalam perkembangannya, melalui PP No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diperkenalkan adanya AMDAL terpadu, kawasan dan regional. Bagi usaha/kegiatan yang tidak berdampak negatif penting diterapkan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).

Dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 1992, amanat Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1997 itu telah dijabarkan dalam PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Sejalan dengan semangat desentralisasi, AMDAL sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1999 menggunakan pendekatan desentralisasi dengan pembentukan 119 komisi AMDAL Kabupaten/Kota dan sentralisasi dengan keberadaan satu komisi AMDAL pusat di Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Menyusul penerbitan PP No. 27 Tahun 1999, pada tahun 2000 terbit Keputusan Bapedal No. 8 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL, yang menekankan perlunya pelibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam penyusunan AMDAL. Upaya untuk meningkatkan pelaksanaan AMDAL dilakukan terus-menerus melalui berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas konsultan lingkungan, tenaga ahli AMDAL, komisi AMDAL, serta pemrakarsa AMDAL.

Arti pentingnya AMDAL itu ditekankan kembali dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dengan pemuatannya dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 33. Salah satu amanat pentingnya AMDAL adalah dicantumkannya sanksi yang cukup berat bagi pengusaha tanpa izin lingkungan, penyusun dokumen AMDAL yang tidak bersertifikat dan pejabat yang menerbitkan izin usaha/kegiatan tanpa dokumen AMDAL.

Sebagaimana diketahui, AMDAL dilakukan ketika suatu proyek/kegiatan usaha akan segera beroperasi. Dalam praktik, pelaksanaan AMDAL relatif belum dapat dikatakan telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Beberapa gejala dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa di satu pihak tidak jarang AMDAL sekedar dijadikan alat untuk memungut retribusi dan/atau tawar-menawar lain yang secara finansial tentu memberatkan pengusaha yang sadar akan pentingnya AMDAL. Di pihak lain, belum semua pengusaha yang kegiatannya wajib AMDAL menyadari dan mematuhi kewajibannya.2

Upaya pencegahan degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam bentuk AMDAL yang terus-menerus diperkuat itu dirasakan belum cukup, mengingat bahwa AMDAL itu dilakukan dalam aras proyek sehingga memang terdapat banyak keterbatasan.

Sebelum suatu proyek disetujui, ada tahapan yang mengawalinya yakni penyusunan kebijakan, rencana dan program (KRP). KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan oleh Pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategis yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di tingkat pusat atau badan lingkungan hidup daerah di

2 SKH Kompas, 7 Juli 2009 “AMDAL Masuk Laci”.

Draft 4 4

provinsi/kabupaten/kota) cenderung “terlepas” atau “terpisah” dari KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu (embedded) atau tidak terintegrasi. Dengan perkataan lain, pertimbangan lingkungan tidak diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan pada tahap formulasi kebijakan, penyusunan rencana, atau pembuatan program-program pembangunan.3 Dalam pokok pikiran UU No. 32 Tahun 2009, bila upaya pencegahan dapat diawali sampai ke hulu yakni dalam proses penyusunan KRP, maka “keamanan” suatu kegiatan/usaha dapat lebih dijamin.

Pertimbangan inilah yang kemudian melahirkan dimuatnya ketentuan tentang kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam UU No. 32 Tahun 2009.

c. Penerapan KLHS, suatu keniscayaan.Kesadaran terhadap degradasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup telah mendorong berbagai negara maju untuk menerapkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang kemudian disusul oleh negara-negara Asia. Penerapan KLHS pada umumnya diawali dengan berbagai uji coba yang hasilnya dijadikan bahan untuk menyusun kerangka hukum yang diperlukan sebagai legitimasi penyelenggaraan KLHS.

Laporan Jiri Dusik dan Jian Xie tentang perbandingan (upaya) penerapan KLHS di Asia Timur dan Asia Tenggara menunjukkan perkembangan proses penerapan KLHS tersebut. Dari laporannya diuraikan bahwa negara-negara yang telah menerapkan dan mempunyai landasan hukum penyelenggaraan KLHS adalah RRC dan Vietnam. Indonesia menyusul, dengan diadopsinya KLHS dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Di luar itu, Malaysia, Filipina dan Thailand telah dan sedang dalam proses menuju legislasi KLHS.

Penyelenggaraan KLHS di Republik Sosialis Vietnam, yakni Law on Environmental Protection mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2006. Sebelum undang-undang tahun 2005 ini (disahkan tanggal 29 November 2005) berlaku, UU Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPLH) tahun 1993 yang belum memuat tentang KLHS.

Dalam UUPLH tahun 2005, KLHS, AMDAL dan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup dimuat dalam Bab III. KLHS diatur dalam Pasal 4–17; AMDAL dalam Pasal 18 – 23; dan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Pasal 24 – Pasal 27.

Penjabaran lebih lanjut dalam UUPLH Tahun 2005 tersebut dimuat dalam Decree No. 80/2006/ND/CP 9 Agustus 2006 dengan judul “Detailing And Guiding The Implementation of A Number of Articles of the Law on Environmental Protection”.

Menyusul terbitnya Pedoman Umum tersebut, kemudian diterbitkan Pedoman Teknis yang bersifat rinci pada bulan Januari 2008 (General Technical Guidance for SEA) dan pada tanggal 8 Desember 2008 diterbitkan Surat Edaran berjudul “Circular on Guideline for SEA, EIA and Environmental Protection Commitments”.4

Pada saat tulisan ini dibuat, Filipina sedang dalam proses legislasi peraturan perundang-undangan terkait KLHS. Dalam RUU terkait Sistem Penilaian Lingkungan Hidup (House Bill No. 4961, An Act to Establish the Philippine Environmental Assessment System and for other Purposes, Tahun 2006), diatur tentang Sistem Penilaian Lingkungan Hidup (Environmental

3 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Buku Pegangan KLHS, hal. 14 Maria SW Sumardjono, Totok Dwi Diantoro, Kajian Pengembangan Peraturan Perundang-undangan

Sebagai Instrumen untuk Mengarusutamakan KLHS, KLH-DANIDA,, September 2009, hal. 19.

Draft 4 5

Assessment System/EAS) yang terdiri dari KLHS dan AMDAL. Pengaturan tentang KLHS dalam RUU di Filipina cukup rinci.5

Penerapan KLHS tidaklah seragam, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan aturan main masing-masing negara. Pada prinsipnya dalam fungsinya sebagai instrumen pencegahan kerusakan fungsi lingkungan dan untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan, KLHS dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) KLHS sebagai instrumen untuk menjamin keberlangsungan Lingkungan Hidup dilaksanakan setelah penyusunan KRP, dan (2) KLHS diintegrasikan dalam penyusunan KRP. Varian daripada sistem pokok ini didapati di berbagai negara yang melaksanakan KLHS.6

Dusik dan Xie melaporkan hal-hal sebagai berikut: di RRC dianut dua pendekatan KLHS. Pertama, untuk perencanaan yang bersifat sektoral, KLHS dilaksanakan dalam rangka penyusunan KRP. Dan pendekatan kedua, KLHS digunakan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam setiap tahap penyusunan rencana tata ruang dan tata guna tanah, termasuk penyusunan rencana untuk pengembangan dan pendayagunaan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dan perairan pantai. Dalam pendekatan kedua, KLHS merupakan bagian/terintegrasi dalam penyusunan rencana kegiatan.7

Sedang di Vietnam, laporan KLHS merupakan bagian integral dari dokumen KRP yang harus dipersiapkan secara bersamaan/paralel pada saat perumusan KRP.8

Lebih lanjut, Dusik dan Jie melaporkan bahwa di Malaysia proses KLHS masih dalam tahap pengembangannya dan diarahkan pada proses penilaian keberlanjutan yang diterapkan pada perumusan suatu rencana.

Sementara itu di Filipina, KLHS diarahkan sebagai bagian dari penyusunan KRP, dan di Thailand tengah disiapkan suatu pedoman penerapan KLHS yang bersifat fleksibel.

Dengan demikian, di tiga negara tersebut pada umumnya KLHS dilaksanakan secara fleksibel, bersamaan dengan proses penyusunan rencana, kecuali di RRC yang mewajibkan perencanaan sektoral untuk melaksanakan KLHS sebelum (dalam) rangka penyusunan KRP, walaupun ada kecenderungan bahwa RRC pun mendorong untuk lebih proaktif melaksanakan KLHS secara fleksibel.

Di Indonesia, melalui perjuangan yang cukup panjang, KLHS diadopsi dalam UU No. 32 Tahun 2009.

d. Pengaturan KLHS dalam UU No. 32 Tahun 2009.Dalam UU No. 32 Tahun 2009, KLHS bersama dengan AMDAL, upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL), dan instrumen lain diorganisasikan dalam kelompok upaya pengendalian, khususnya dalam rangka (sebagai instrumen) pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Namun kemudian menjadi relevan untuk bertanya; apakah KLHS merupakan instrumen wajib? Tampaknya UU No. 32 Tahun 2009 menempatkan KLHS secara fleksibel, dalam arti terhadap KRP tertentu KLHS bersifat wajib, dan terhadap KRP tertentu yang lain bersifat wajib ketika memenuhi kualifikasi melalui proses penapisan (screening).

5 Ibid, hal. 12.6 Jiri Dusik, Jian Xie, Strategic Environmental Assessment in East and Southeast Asia, The World

Bank, June 2009, hal. 7.7 ibid, hal. 7.8 ibid, hal. 8.

Draft 4 6

Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS dengan tujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau KRP. Sementara itu Pasal 15 ayat (2) membatasi konteks wajib menyelenggarakan KLHS; yaitu dalam penyusunan atau evaluasi:

a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan

b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Mencermati konteks wajib bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tersebut, maka setidaknya terdapat kriteria sebagai berikut: pertama, penyelenggaraan KLHS wajib bagi rancangan/usulan kebijakan RTRW, RPJP dan RPJM; dan kedua, rancangan/usulan KRP yang potensial berdampak dan/atau risiko lingkungan. Lebih lanjut penjelasan dampak dan/atau risiko lingkungan, adalah rancangan/usulan KRP yang berpotensi (meliputi): (a) mengibatkan perubahan iklim; (b) menimbulkan kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; (c) menimbulkan peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; (d) mengakibatkan penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; (e) berpengaruh terhadap peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan; (f) berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan (livelihood sustainability) sekelompok masyarakat; dan/atau (g) mengakibatkan peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Sedangkan mekanisme pelaksanaan KLHS sebagaimana dimaksud tersebut, Pasal 15 ayat (3) menguraikannya sebagai tahapan yang meliputi:

a. pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;

b. perumusan alternatif penyempurnaan KRP; danc. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan KRP yang

mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Mengenai aspek apa saja yang musti dikaji ketika pelaksanaan KLHS, Pasal 16 menyebutkan KLHS memuat kajian antara lain:

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;c. kinerja layanan/jasa ekosistem;d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan

iklim; danf. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Sesuai dengan subtansi rancangan/usulan KRP yang menjadi objek dari wajib KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), terhadap keenam aspek kajian tersebut tidak serta merta harus merupakan kajian yang harus dilakukan secara ”ilmiah”. Akan tetapi, terlebih dahulu perlu diidentifikasi relevansi antara substansi dari rancangan/usulan KRP dan setiap aspek kajian itu. Dengan demikian, pengkajian dilakukan terhadap aspek yang relevan. Walaupun begitu, tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukannya pengkajian terhadap aspek lain—di samping keenam aspek kajian itu—jika terhadap substansi rancangan/usulan KRP dianggap perlu dilakukan pengkajian dimaksud.

Draft 4 7

Hasil KLHS menjadi dasar bagi KRP dalam suatu wilayah, dan apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, maka KRP wajib diperbaiki. Serta bahkan, segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi (Pasal 17 ayat (1) dan (2)).

Sesuai dengan asas keterbukaan, KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan (Pasal 18 ayat (1)). Secara khusus disebutkan bahwa setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (Pasal 19 ayat (1) dan (2)).

Lebih lanjut UU No. 32 Tahun 2009 memerintahkan pengaturan tentang tata cara penyelenggaraan KLHS dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 18 ayat (2)).

A.2. Peraturan Perundang-undangan yang TerkaitOleh karena arti pentingnya KLHS dikaitkan dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan, maka relevansi KLHS baik secara langsung maupun tidak langsung, terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Upaya pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan memperoleh landasan hukum berdasarkan amanat tersebut di atas. Dengan demikian maka seluruh undang-undang organik yang terkait dengan upaya pencegahan degradasi sumber daya alam demi kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang memperoleh legitimasinya dari Pasal 33 ayat (3).

b. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 22 Tahun 1999. UU ini memuat tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, yang, antara lain, meliputi pengendalian lingkungan hidup. UU ini mengisyaratkan pentingnya keselarasan pembangunan di tingkat pusat (nasional), daerah, antara pusat dan daerah dan antardaerah.

c. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa: (1) Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional; (2) Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.

Dalam kaitan dengan tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Pasal 2 ayat (4) huruf e disebutkan sebagai salah-satu tujuannya adalah untuk menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Lebih lanjut, perencanaan pembangunan nasional akan menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan rencana pembangunan tahunan (Pasal 3 ayat (3)).

d. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan RuangSemangat yang melandasi UU No. 26 Tahun 2007 adalah kesadaran akan kondisi alamiah Indonesia yang khas secara ekosistem yang merupakan sumber daya yang sangat besar sehingga penyelenggaraan penataan ruang

Draft 4 8

wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.

e. Kelompok peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam. Semua UU di bidang sumber daya alam, secara eksplisit maupun implisit juga mengarahkan orientasinya kepada pelestarian lingkungan hidup.

Beberapa di antara UU tersebut adalah sebagai berikut:(1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

(2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang KehutananDalam bagian Menimbang UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan: a. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung jawab; c. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

Selanjutnya upaya untuk melestarikan lingkungan hidup disebutkan pula dalam Bagian Keempat “Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan” (Pasal 40 – Pasal 45) yang antara lain menyebutkan bahwa “rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga”. Kemudian dalam Bagian Kelima “Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam” (Pasal 46 – Pasal 51) antara lain disebutkan bahwa “penyelenggara-an perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari”.

(3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas BumiDalam bagian Menimbang huruf e UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan: “Bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional”.

Salah satu tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi juga menyebutkan pentingnya pelestarian lingkungan hidup, hal

Draft 4 9

ini dapat dilihat dalam Pasal 3 huruf f yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

(4) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya AirDalam bagian Menimbang huruf b dan c UU No. 7 Tahun 2004 disebutkan: “b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras; c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi.”

Kemudian masalah pelestarian lingkungan hidup diatur pula dalam Bab III “Konservasi Sumber Daya Air” khususnya Pasal 21 yang menyebutkan: (a) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk

melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.

(b) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

1) pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;

2) pengendalian pemanfaatan sumber air; 3) pengisian air pada sumber air; 4) pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;5) perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan

kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;

6) pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;7) pengaturan daerah sempadan sumber air;8) rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau9) pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan

kawasan pelestarian alam.(c) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.

(d) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.

(e) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(5) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.Dalam bagian Menimbang huruf b UU No. 27 Tahun 2007 disebutkan: “b. bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional”.

Arti penting perlindungan dan pelestarian lingkungan dapat pula ditemukan dalam Pasal 1 angka 19 dan 20: “19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian,

Draft 4 10

dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya; 20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan”.

Selain itu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tujuan yang salah satunya adalah bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan (Pasal 4 huruf a).

(6) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.Salah satu pokok pikiran yang melandasi UU No. 4 Tahun 2009 adalah bahwa dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2009 angka 25, 26 dan 27 menyebutkan:25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya

disebut AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;

26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya;

27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Asas dan tujuan UU No. 4 Tahun 2009 sebagaimana disebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 di antaranya adalah asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

(7) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi PublikInformasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik (Pasal 1 angka 2).

Sedangkan tujuan dari UU ini beberapa di antaranya adalah sebagai berikut (Pasal 3):

a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan

Draft 4 11

proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;

b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;

c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;

d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggung-jawabkan;

e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

(8) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah NasionalSesuai Penjelasan atas PP No. 26 Tahun 2008 maka penggunaan penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan (Pasal 2):

a. ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;

b. keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

c. keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;

d. keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;

f. pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;

g. keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah;h. keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan

i. pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.

(9) Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009Dari 11 (sebelas) permasalahan pokok pembangunan, dirumuskan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004 – 2009 yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang bersatu, aman, rukun dan damai, menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan Hak Asasi Manusia, dan tersedianya kesempatan kerja dan landasan bagi pembangunan berkelanjutan. Adapun 3 (tiga) misi pembangunan adalah mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, dan sejahtera.

Berdasarkan visi dan misi itu dirumuskan strategi pembangunan Indonesia. Khususnya untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera, dalam sasaran nomor 4 diarahkan kepada membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada pengarusutamaan (mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang pembangunan.

Selanjutnya, dalam rangka perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup, arah kebijakannya adalah sebagai berikut:

1. mengelola sumber daya alam untuk dimanfaatkan secara efisien, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh kelembagaan yang andal dan penegakan hukum yang tegas.

Draft 4 12

2. mencegah terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin menurun.

3. memulihkan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang rusak.

4. mempertahankan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang masih dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan serta meningkatkan mutu dan potensinya.

5. meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Dalam kaitan dengan urgensi penerapan KLHS secara implisit, lebih lanjut RPJM 2004 – 2009 menyebutkan strategi pembangunan berkelanjutan yang didalamnya mencakup sasaran pembangunan untuk melestarikan lingkungan hidup dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam.

Terdapat 12 (dua belas) sasaran pembangunan lingkungan hidup; secara khusus diarahkan untuk 7 (tujuh) arahan, dan secara lebih khusus, terkait urgensi KLHS terdapat pada arahan pertama, yakni “mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan”.

Berdasarkan 7 (tujuh) arah kebijakan itu, lebih lanjut dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 dijabarkan 5 (lima) program terkait dengan KLHS, disebutkan secara khusus program nomor 5 yakni: program pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Pembahasan ringkas mengenai berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait secara implisit dengan KLHS mendukung arti pentingnya penyelenggaraan KLHS, yang bertumpu pada dua hal, yakni pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.

Telah pula ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2009 bahwa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Dengan demikian, dalam KLHS, pertimbangan dari aspek sosial dan ekonomi serta aspek lingkungan hidup merupakan keniscayaan.

B. Tujuan dan Manfaat

B.1. TujuanNaskah Akademik ini disusun untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan KLHS.

B.2. ManfaatNaskah Akademik ini diharapkan:a. dapat memberikan pemahaman kepada pemerintah dan masyarakat tentang

tata cara penyelenggaraan KLHS sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (2) UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

b. dapat memberikan kerangka hukum (legal framework) bagi perumusan ketentuan atau pasal-pasal dari RPP tentang Penyelenggaran KLHS.

C. Metode Pendekatan

Naskah ini disusun dengan menggunakan studi dokumen. Materi yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer yang terdiri dari1. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

Draft 4 13

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.3. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.4. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.5. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.6. Beberapa peraturan perundang-undangan terkait sumber daya alam.7. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.8. PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.9. Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM).

Di samping itu, sebagai perbandingan, digunakan pula peraturan perundang-undangan terkait KLHS dari Vietnam yakni Law on Environmental Protection Republik Sosialis Vietnam (2005) dan peraturan pelaksanaannya, yakni Decree No. 80/2006/ND/CP, 9 Agustus 2006, Detailing And Guiding The Implementation of A Number of Articles of the Law on Environmental Protection Tahun 2005, General Technical Guidance for SEA, January 2008 dan Circular on Guideline for SEA, EIA and Environmental Protection Commitments, Desember 2008.

Bahan hukum sekunder diperoleh dari:1. RUU terkait KLHS di Filipina (House Bill No. 4961, An Act to establish the Philippine

Environmental Assessment System and for other Purposes, Tahun 2006)2. Berbagai tulisan terkait kegiatan persiapan pengaturan KLHS di Indonesia dan

laporan hasil penelitian terkait; 3. Laporan penelitian tentang kerangka hukum dan penyelenggaraan KLHS di Asia

Timur dan Tenggara (Bank Dunia, 2009)

Draft 4 14

D. Sistematika Naskah Akademik

Naskah Akademik ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:Bab I PendahuluanBab II Ruang Lingkup Naskah AkademikBab III Kesimpulan dan SaranDaftar Pustaka

Draft 4 15

Bab IIRuang Lingkup Naskah Akademik

A. Ketentuan Umum

Dalam ketentuan umum dimuat definisi sebagai berikut:1. Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah

rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. (Definisi ini berasal dari UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 10)

2. Kebijakan adalah arah atau tindakan yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk mencapai tujuan. (Definisi ini diambil dari UU No. 25 Tahun 2004 Pasal 1 angka 15)

3. Rencana adalah hasil suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. (Definisi ini diambil dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS). Permen Neg LH No. 27 Tahun 2009 ini mencoba mengadopsi definisi dari istilah “perencanaan” yang dikonstruksikan oleh UU No. 25 Tahun 2004 Ps 1 angka 1, “Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.” Sebagai gambaran terkait dengan pengertian “rencana” dalam UU No. 26 Tahun 2007 rencana tata ruang didefinisikan sebagai “hasil perencanaan tata ruang” (Pasal 1 angka 16). Dalam UU No. 32 Tahun 2009, yang dimaksud dengan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu (Pasal 1 angka 4).

4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. (Definisi diadopsi dari UU No. 25 Tahun 2004 Pasal 1 angka 4).

5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. (Definisi diadopsi dari UU No. 25 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5).

6. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan kesatuan (ruang) geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. (Definisi diadopsi dari UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 angka 16-17, sebagaimana juga Ps 15 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 di dalam penjelasannya menyebutkan definisi “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional).

7. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. (Definisi ini diambil dari UU No. 25 Tahun 2004 Pasal 1 angka 16)

8. Pemrakarsa adalah instansi baik eksekutif atau legislatif, di pusat atau di daerah, yang berinisiatif dan bertanggungjawab terhadap rancangan/usulan kebijakan, rencana dan/atau program

9. Instansi yang berwenang adalah instansi baik di pusat atau di daerah, yang berwenang mengkoordinasikan penyelenggaraan KLHS

10. Instansi yang bertanggungjawab adalah instansi baik di pusat atau di daerah yang bertanggungjawab di dalam pengambilan keputusan kebijakan, rencana dan/atau program

11. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Definisi ini diambil dari UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 37)

Draft 4 16

12. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. (Definisi ini diambil dari UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 38)

13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

B. Tujuan

Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur tentang tata cara penyelenggaraan KLHS bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

Tujuan KLHS adalah:1. Mengidentifikasi pengaruh atau konsekuensi dari kebijakan,

rencana, atau program terhadap lingkungan hidup sebagai upaya untuk mendukung proses pengambilan keputusan.

2. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan, rencana atau program.

Walaupun tampaknya dalam UU No. 32 Tahun2009 KLHS cenderung bersifat instrumental, namun demikian tidak tertutup kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.9 Diharapkan bahwa pada masa yang akan datang KLHS berkontribusi langsung memperbaiki mutu proses perumusan kebijakan, penyusunan rencana, dan pembuatan program.

C. Asas/Nilai

C.1. Asas

UU No. 32 Tahun 2009 memuat 14 (empat belas) asas yang harus juga menjadi landasan penyelenggaraan KLHS, yaitu sebagai berikut:10

1. tanggung jawab negara;2. kelestarian dan keberlanjutan;3. keserasian dan keseimbangan;4. keterpaduan;5. manfaat;6. kehati-hatian;7. keadilan;8. ekoregion;9. keanekaragaman hayati;

10. pencemar membayar;11. partisipatif;12. kearifan lokal;13. tata kelola pemerintahan yang baik; dan14. otonomi daerah.

Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

9 Dalam hal KLHS bersifat transformatif, tujuan KLHS adalah (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Naskah Kebijakan KLHS , Desember 2007):

1. Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan, rencana dan program.2. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan agar dapat menyeimbangkan tujuan lingkungan

hidup, sosial dan ekonomi.Dalam hal KLHS bersifat substantif, tujuan KLHS adalah:

1. Meminimalisasi potensi dampak penting negatif yang akan timbul sebagai akibat dari usulan kebijakan, rencana, atau program (tingkat keberlanjutan lemah).

2. Melakukan langkah-langkah perlindungan lingkungan yang tangguh (tingkat keberlanjutan moderat).

3. Memelihara potensi sumber daya alam dan daya dukung air, udara, tanah dan ekosistem (tingkat keberlanjutan moderat sampai tinggi).10 Lihat Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2009.

Draft 4 17

perundang-undangan dan putusan hakim, yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.11

Oleh karena itu pilihan asas itu haruslah dilandasi oleh filosofi dan tujuan KLHS, dan pada gilirannya asas-asas tersebut terjabarkan dalam draf ketentuan-ketentuan peraturan yang bersangkutan nantinya.

Secara khusus KLHS memuat asas-asas/prinsip-prinsip12 sebagai berikut:1. Terpadu:

Memastikan bahwa kajian dampak lingkungan yang tepat untuk semua tahap keputusan strategik sudah relevan untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan.

Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial dan ekonomi.Terkait secara hierarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan wilayah

(lintas batas), dan bilamana perlu, dengan proyek amdal dan pengambilan keputusan.

2. Keberlanjutan:Memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan dan alternatif

rancangan/usulan yang lebih layak.3. Fokus, sebagai prinsip untuk memastikan:

- Tersedianya informasi yang cukup, reliabel dan dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan.

- Konsentrasi ke isu-isu penting pembangunan berkelanjutan.- Penyesuaian dengan karakteristik proses pengambilan keputusan.- Efektif biaya dan waktu

4. Akuntabel:- Pengambilan keputusan yang bersifat strategik merupakan

tanggungjawab instansi yang berkepentingan.- Dilakukan secara profesional, tegas, fair, tidak berpihak, dan

seimbang.- Perlu dikontrol dan diverifikasi oleh pihak independen.- Terdokumendasi mengenai bagaimana isu-isu keberlanjutan

dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan.5. Partisipatif:

- Melalui informasi yang terbuka melibatkan semua pihak yang berkepentingan, masyarakat yang potensial terkena dampak, dan instansi pemerintah pada sepanjang proses pengambilan keputusan.

- Terdokumentasi secara eksplisit segala masukan dan pertimbangan yang mengemuka di dalam proses pengambilan keputusan.

- Memiliki kejelasan informasi yang mudah dipahami, serta menjamin akses yang memadai untuk semua informasi yang dibutuhkan.

6. Iteratif, sebagai prinsip untuk memastikan:- Tersedianya hasil kajian sedini mungkin untuk mempengaruhi

proses pengambilan keputusan dan memberi inspirasi pada perencanaan masa datang.

- Tersedianya informasi yang cukup perihal dampak (potensial/aktual) dari keputusan strategis yang diimplementasikan, untuk menilai apakah keputusan harus di amandemen dan memberi basis untuk masa depan.

11 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal. 5.12 Istilah asas dan prinsip seringkali digunakan secara bergantian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “prinsip” diartikan sebagai dasar atau asas.

Draft 4 18

C.2. Nilai

Sementara itu, KLHS dikatakan telah cukup berhasil manakala rekomendasi yang dihasilkan (telah) diintegrasikan ke dalam pengambilan keputusan KRP. Dengan demikian, guna mencapai hasil yang diharapkan, pelaksanaan KLHS wajib menerapkan 3 (tiga) nilai, yakni: 13

a. Keterkaitan (holistik); b. Keseimbangan;c. Keadilan.

Keterkaitan digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS dipertimbangkan benar keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain, antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan variabel biolgi, atau keterkaitan antara lokal dengan global, keterkaitan antar sektor, antar daerah, dan seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut KLHS dapat diselenggarakan secara komprehensif atau holistik.

Keseimbangan digunakan sebagai nilai penting dalam KLHS dengan maksud agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi salah satu proses dan metode yang penting digunakan dalam KLHS.

Keadilan digunakan sebagai nilai penting dengan maksud agar melalui KLHS dapat dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang tidak mengakibatkan marginalisasi sekelompok atau golongan tertentu masyarakat karena adanya pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam atau modal atau pengetahuan.

Dengan mempertimbangkan keterkaitan berbagai variabel, komponen dan unsur diharapkan hasil KLHS dapat bersifat komprehensif. Demikian pula dalam proses penyusunan KLHS perlu dipertimbangkan keseimbangan antara berbagai faktor, misalnya faktor sosial ekonomi dan lingkungan hidup, kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, kepentingan pusat dan daerah, sehingga dengan demikian, melalui KLHS, KRP yang dihasilkan dapat memberikan jaminan akses yang adil untuk perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan yang merupakan tujuan akhir dari frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

D. Ruang Lingkup dan “Pengecualian” Penyelenggaraan KLHS

D.1. Ruang Lingkup KLHS

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi (Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009):a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan

b. Kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

Adapun kriteria berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut:1. meningkatkan risiko perubahan iklim;

13 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Buku Pegangan KLHS , hal. 9.

Draft 4 19

2. meningkatkan kerusakan, kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman hayati;

3. meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;

4. menurunkan mutu dan kelimpahan sumber daya alam terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;

5. mendorong perubahan penggunaan dan/atau alih fungsi kawasan hutan terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;

6. meningkatkan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan (livelihood sustainability) sekelompok masyarakat; dan/atau

7. meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.14

Pendekatan di dalam penyelanggaraan KLHS terdapat 2 (dua) pilihan berkaitan dengan perumusan KRP, yakni:1. KLHS yang dilakukan dalam penyusunan KRP.2. KLHS yang dilakukan dalam rangka evaluasi KRP.

Kedua pendekatan tersebut tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun demikian, tujuan dari kedua pendekatan tersebut adalah: “untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program”.

Pendekatan penyelenggaraan KLHS tersebut konsisten dengan pendekatan pelaksanaan KLHS secara fleksibel, yakni dapat dilakukan pada tahap penyusunan maupun evaluasi KRP. Dalam Peraturan Pemerintah ini, perlu diatur mekanisme dan prosedur penyelenggaraan KLHS baik dalam penyusunan maupun dalam evaluasi.

Apabila dibandingkan dengan Filipina, terkait wajib KLHS, maka ada kemiripan antara Pasal 15 ayat (2) huruf b UU No. 32 Tahun 2009 dengan Pasal 6 huruf b House Bill No. 4961 Tahun 2006, yang kemudian dikenal sebagai the Philippine Environmental Assessment Act of 2006 (“Act 2006”). Sedangkan substansi yang dimuat Pasal 15 ayat (2) huruf a UU No. 32 Tahun 2009, cenderung mirip dengn Pasal 6 huruf a Act 2006, namun Act 2006 lebih lengkap karena memuat juga kewajiban KLHS bagi sektor.

Selengkapnya Pasal 6 Act 2006 berbunyi sebagai berikut:

The SEA shall be required for a policy, plan or program proposal when all of the following conditions exist:

a. the proposal relates, but not be limited, to agriculture, forestry, fisheries, energy, health, manufacturing, resource exploration and extraction, infrastructure, transport, waste management, water management, telecommunications, tourism, coastal zone management, national, regional, provincial and municipal/city development planning or land use; and

b. implementation of the proposal may result in important adverse environmental implications, including health impact, as determined in the preliminary scan.

Di satu sisi, pada tataran hierarkhi pemerintahan sebagai pihak yang wajib menyelenggarakan KLHS, maka:

1. Pemerintah (pusat) berwenang melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi, meliputi:

(i) RPJP;

(ii) RPJM;

14 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Rancangan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyelenggaraan KLHS, Jakarta 2008. Berikut, juga mengacu pada penjelasan Ps 15 ayat (2) huruf b UU 32/2009.

Draft 4 20

(iii) RTRWN;

(iv) Rencana tata ruang pulau/kepulauan;

(v) Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; atau

(vi) Kebijakan, rencana, dan/atau program (sektoral) pembangunan nasional yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko terhadap:

(a). perubahan iklim;(b). kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman

hayati;(c). peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir,

longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;(d). penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;(e). peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;(f). peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya

keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat;(g). peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia,

yang bersifat lintas-wilayah administratif daerah provinsi.

2. Pemerintah Daerah Provinsi berwenang melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi, meliputi:

(i) RPJP Daerah Provinsi;

(ii) RPJM Daerah Provinsi;

(iii) RTRW Provinsi;

(iv) Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; atau

(v) Kebijakan, rencana, dan/atau program [sektoral] pembangunan daerah provinsi yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko terhadap:

(a). perubahan iklim;(b). kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman

hayati;(c). peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir,

longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;(d). penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;(e). peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;(f). peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya

keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat;(g). peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia,

yang bersifat lintas-wilayah administratif daerah kabupaten/ kota.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi, meliputi:

(i) RPJP Daerah Kabupaten/Kota

(ii) RPJM Daerah Kabupaten/Kota

(iii) RTRW Kabupaten/Kota

(iv) Rencana detail tata ruang kabupaten/kota

(v) Rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota

(vi) Kebijakan, rencana, dan/atau program [sektoral] pembangunan daerah kabupaten/kota yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko terhadap: (a). perubahan iklim;

Draft 4 21

(b). kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;

(c). peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;

(d). penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;(e). peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;(f). peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya

keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat;(g). peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia,

di dalam wilayah adiministratif daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pemrakarsa KRP (selain RPJP, RPJM, RTRWN, RTR Pulau/Kepulauan, RTR Zona Strategis Nasional), harus menentukan tentang sejauhmana rancangan/usulan KRP potensial akan mengakibatkan dampak penting sebagaimana kriteria tersebut. Oleh karenanya penting guna mengagendakan penjabaran indikator mengenai masing-masing kriteria secara lebih lanjut dengan lebih detail.

Manakala penentuan tersebut mengindikasikan bahwa rancangan/usulan KRP potensial menimbulkan dampak penting, maka pemrakarsa harus menyelenggarakan proses KLHS. Namun jika penentuan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada dampak penting yang merugikan yang akan timbul dari akibat KRP, maka pemrakarsa harus menyajikan catatan/dokumen tentang “Tidak Ditemukan Dampak Penting (Finding of No Significant Impact/FONSI)” yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rancangan/usulan KRP. Melalui regulasi ini, atau dalam peraturan pelaksanaan yang lebih rendah, harus mendefinisikan substansi dari pernyataan “Tidak Ditemukan Dampak Penting”. Dokumen pernyataan “Tidak Ditemukan Dampak Penting” harus dapat diakses publik dan harus disampaikan kepada otoritas lingkungan (instansi yang berwenang mengkoordinasikan penyelengaraan KLHS) untuk mendapatkan verifikasi.

Berkenaan dengan proses penyusunan KRP, pada prinsipnya dapat disebutkan bahwa untuk KLHS yang bersifat wajib terdiri dari wajib KLHS tanpa proses penapisan dan wajib KLHS melalui proses penapisan.15

Wajib KLHS menurut UU No. 32 Tahun 2009 meliputi kedua kategori tersebut di atas. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a, wajib KLHS dilaksanakan tanpa proses penapisan; sedangkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, wajib KLHS dilakukan dengan proses penapisan.

Untuk KRP Wajib KLHS dengan proses penapisan, seyogyanya Peraturan Pemerintah nanti cukup memberikan sinyal melalui kriteria dampak/risiko lingkungan sebagaimana yang juga telah disebut oleh UU 32/2009. Selebihnya secara lebih spesifik, kemudian penapisan KRP wajib KLHS akan ditentukan berdasarkan derivasi (elaborasi) lebih lanjut dari masing-masing kriteria dampak/risiko lingkungan melalui bahasa indikator.16

Berkenaan dengan jenis-jenis kegiatan yang wajib dilengkapi KLHS, sebagai perbandingan, di Vietnam diatur dalam Pasal 14 Law on Environmental Protection tahun 2005, sebagai berikut:

1. Strategies, master plans or plans for national socio-economic development.2. Strategies, master plans or plans for nationwide development of industries and

sectors.

15 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Buku Pegangan KLHS , hal. 12-13.16 Atau, dapat juga berdasarkan pada daftar (listing) jenis-jenis KRP yang akan wajib KLHS (tentu saja juga dengan alur logika yang korelatif dengan kriteria dampak/risiko lingkungan), yang lebih lanjut diturunkan melalui Peraturan Menteri LH atau peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yang bersangkutan dengan KRP yang wajib KLHS, dalam koridor pedoman teknis pelaksanaan.

Draft 4 22

3. Strategies, master plans or plans for socio-economic development of provinces and cities under central authority (hereinafter referred to as provincial level) or of regions.

4. Zoning for land use, forest protection and development; and for exploitation and utilization of other natural resources on an inter-provincial or inter-industry basis.

5. Planning for development of key economic zones.6. General planning for inter-provincial river catchment areas.

D.2. “Pengecualian” terhadap penyelenggaraan KLHS

Terkait dengan wajib KLHS, Pasal 15 UU No. 32 Tahun 2009 tidak memuat perkecualian. Sebagai perbandingan di Filipina diusulkan untuk mengecualikan 2 (dua) hal terhadap pelaksanaan KLHS, yakni:

1. Usulan KRP yang dipersiapkan sebagai jawaban dalam keadaan darurat (Clear Emergency) di mana tidak tersedia cukup waktu untuk menyiapkan KLHS. Namun demikian, harus tetap diupayakan pelaksanaan KLHS ketika usulan KRP telah disetujui, atau pada saat implementasi dari rencana atau strategi itu. Pada konteks demikian, maka KLHS dapat diselenggarakan ketika evaluasi KRP yang bersangkutan dilakukan.

2. Usulan terkait dengan keamanan nasional.17

E. Tata Laksana dan Kelembagaan KLHS

KLHS dan AMDAL serta UKL-UPL merupakan bagian dari bentuk instrumen pencegahan dalam pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan. AMDAL/UKL-UPL karena sifat penggunaannya dilakukan pada tahap proyek, maka di dalam studinya harus memperhatikan (merujuk) pada hasil KLHS baik yang telah diadopsi dalam penyusunan atau evaluasi KRP maupun belum. Namun demikian, bukan berarti manakala belum terdapat hasil KLHS lantas pelaku usaha/kegiatan menjadi tidak wajib untuk melakukan AMDAL/UKL-UPL. Dalam hal ini, meskipun belum terdapat hasil KLHS maka pelaku usaha dan/atau kegiatan tetap wajib menyelenggarakan studi AMDAL/UKL-UPL.

KLHS sendiri diselenggarakan untuk suatu kebijakan, rencana dan/atau program yang masing-masing dalam kedudukannya secara mandiri. Bukan dilaksanakan dalam konteks sebagai suatu rangkaian (KRP) ketiganya. Meskipun demikian, pelaksanaan KRP dimaksud perlu memperhatikan hasil KLHS yang ada serta terkait dengan KRP dan pembangunan wilayah yang bersangkutan.

E.1. Pelaksanaan KLHS

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian D, KLHS dapat dilaksanakan bersamaan dengan/atau sebagai bagian dari proses penyusunan atau evaluasi usulan rancangan KRP; atau KLHS dilaksanakan secara terpisah karena KRP telah diterapkan.18

Sesuai dengan Pasal 15 ayat 3 UU. No. 32 Tahun 2009, KLHS dalam proses penyusunan atau evaluasi KRP dilaksanakan melalui:a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi

lingkungan hidup di suatu wilayah, yg meliputi:i. identifikasi isu pokok pembangunan berkelanjutan (baik dari aspek

sosial, aspek ekonomi maupun aspek lingkungan hidup) yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan atau penyusunan rencana atau penyiapan program.

ii. pelaksanaan kajian antara lain (sebagaimana Pasal 16 UU No. 32 Tahun 2009, KLHS memuat kajian):

17 Terkait masalah keamanan nasional barangkali relevan bila hal itu dihubungkan dengan pengecualian dalam akses publik untuk memperoleh informasi bila hal itu menyangkut pertahanan dan keamanan negara sesuai Pasal 17 huruf c UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.18 Terhadap KLHS wajib dengan proses penapisan, KLHS dilaksanakan melalui proses kegiatan yang meliputi: penapisan, pelingkupan, penulisan, laporan/dokumen KLHS, partisipasi masyarakat, konsultasi, pengambilan keputusan, dan pemantauan dan tindak lanjut.

Draft 4 23

(a). kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;

(b). perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;(c). kinerja layanan/jasa ekosistem;(d). efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;(e). tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan

iklim; dan(f). tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Keenam kajian tersebut diselenggarakan tidak harus secara “ilmiah”. Namun demikian, yang lebih penting adalah perlu diidentifikasikan keterkaitan substansi rancangan/usulan KRP dengan masing-masing aspek kajian tersebut melalui proses konsultasi dengan pemangku kepentingan yang relevan. Jadi, kajian dilakukan dengan aspek-aspek yang relevan. Bahkan, juga memungkinkan untuk melaksanakan kajian tentang aspek-aspek lain—untuk melengkapi keenam topik kajian—jika dianggap bahwa KRP perlu untuk itu.

Dalam melakukan kajian tersebut di atas, pada dasarnya wajib menerapkan metoda “Detailed Assessment”. Namun demikian, mengingat kapasitas kelembagaan, keterbatasan SDM, atau oleh karena karakteristik KRP yang bersangkutan, maka menjadi memungkinkan untuk diterapkan metoda “Semi-Detailed Assessment”, atau bahkan “Quick Appraisal.”

b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program.

Alternatif penyempurnaan harus memperhitungkan syarat pengelolaan, proses atau alternatif lokasi, atau waktu yang memungkinkan.

c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.Rekomendasi harus mempertimbangkan semua upaya-upaya yang realistis guna menghindari, meminimalisir atau mengganti dampak yang merugikan dan memoptimalkan dampak positif dari rancangan KRP. Hal tersebut dapat meliputi:

rekomendasi perbaikan rumusan kebijakan, atau

rekomendasi perbaikan muatan rencana, atau

rekomendasi perbaikan materi program, dan

rekomendasi mengenai usaha dan/atau kegiatan yang tidak diperbolehkan lagi karena telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Sedangkan KLHS yang dilaksanakan setelah KRP diterapkan, dilaksanakan melalui:a. evaluasi/kajian pengaruh penerapan KRP yang sudah ditetapkan terhadap

lingkungan hidup. Untuk evaluasi kebijakan RPJP, RPJM dan RTRW, pengintegrasian rekomendasi KLHS dilakukan sesuai dengan siklus evaluasi yang telah ditentukan. Mengenai KRP yang lain yang tidak mempunyai ruang evaluasi periodik, maka evaluasi/kajian pengaruh KRP segera diakukan setelah ada hasil KLHS. Dan dengan demikian segera diintegrasikan hasil KLHS ke dalam revisi KRP yang bersangkutan.

b. perumusan alternatif penyempurnaan KRP; danc. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana,

dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang meliputi:

rekomendasi perbaikan rumusan kebijakan, atau

rekomendasi perbaikan muatan rencana, atau

rekomendasi perbaikan materi program, dan

Draft 4 24

rekomendasi mengenai usaha dan/atau kegiatan yang tidak diperbolehkan lagi karena telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Rangkaian kegiatan atau langkah-langkah dalam pelaksanaan KLHS secara garis besar adalah sebagai berikut:19

a. mengenali proses pengambilan keputusan KRP yang bersangkutan, sehingga pelaksanaan KLHS dapat diserasikan dengan proses yang berlaku;

b. mengidentifikasi dan keterlibatan serta peran stakeholder utama;

c. melaksanakan dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan serta konsultasi publik;

d. merumuskan konteks, tujuan, dan lingkup KLHS serta mengidentifikasi isu-isu utama pembangunan berkelanjutan yang perlu dipertimbangkan dalam KRP;

e. menelaah perkembangan kondisi lingkungan hidup dan mengkaji pengaruh rancangan KRP atau KRP terhadap lingkungan hidup;

f. mengembangkan alternatif strategi pembangunan dari KRP dan menyusun masukan untuk optimalisasi;

g. mengusulkan rekomendasi perbaikan kepada para pengambil keputusan;

h. membuat dokumentasi Laporan KLHS:(i) Dalam hal penyelenggaraan KLHS dilakukan pada proses pembuatan

kebijakan atau penyusunan rencana atau penyiapan program, maka:

(a). Tidak ada dokumen substantif KLHS tersendiri, karena substansi KLHS sudah merupakan bagian yang terintegrasi dari dokumen KRP.20

(b). Dokumen KLHS berupa rekaman penyelenggaraan KLHS dan catatan tentang pengintegrasian atau penggabungan sebagian atau penolakan rekomendasi.21

(ii) Dalam hal penyelenggaraan KLHS dilakukan setelah ditetapkannya kebijakan atau rencana atau program:

(a). Dokumen KLHS terpisah dari dokumen kebijakan, dokumen rencana, atau dokumen program, sehingga merupakan dokumen tersendiri

(b). Dokumen KLHS berisi substansi dari:

pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;

perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan

19 Diambil dari bahan (handouts) Workshop Persiapan Penyelenggaraan Peningkatan Kapasitas tentang KLHS, Maret 2010, dan dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS.20 Kalaulah hasil KLHS telah diintegrasikan di dalam dokumen KRP, namun proses penyelenggaraan KLHS sepantasnya tetap harus didokumentasikan secara jelas sebagai bagian dari dokumen KRP. 21 Dokumen KLHS harus menyediakan catatan semua analisis yang telah dielaborasi selama proses KLHS. Catatan tersebut setidaknya meliputi:

Bagaimana KLHS dilakukan (menyajikan semua ringkasan dari proses kajian dan secara penuh memperhitungkan hasil analisis dan konsultasi);

Bagaimana perencana terlibat dan apakah usulan telah dikorporasikan ke dalam rancangan KRP; dan

Gambaran kesimpulan dari dampak utama dan implikasi-implikasi rancangan KRP serta beberapa aspek dalam pengambilan keputusan.

Draft 4 25

rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan rekaman penyelenggaraan KLHS

i. memantau pengaruh pelaksanaan KRP yang bersifat signifikan terhadap lingkungan hidup.

Kegiatan pelaksanaan KLHS tersebut dilakukan oleh pemrakarsa KRP yang dikoordinasikan dengan instansi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan KLHS (baik di pusat maupun di daerah), di mana selain juga melibatkan institusi terkait dan masyarakat serta pemangku kepentingan, dapat melibatkan tenaga ahli baik sebagai fasilitator proses penyelenggaraan KLHS maupun sebagai pelaksana kajian ilmiah.

Berkenaan dengan pelaksanaan KLHS sebagaimana diuraikan dalam E.1. di atas, dapat dibandingkan dengan pelaksanaannya di Filipina; yaitu dengan Pasal 10 Act 2006. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan/atau program (KRP), terhadap kondisi lingkungan hidup, perumusan alternatif penyempurnaan KRP dan rekomendasi perbaikannya itu (Pasal 15 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2009), dalam Pasal 10 Act 2006 harus memuat secara khusus, paling tidak hal-hal sebagai berikut:

a. relevant environmental objectives that should be considered within the SEA;b. specific environmental impacts that should be analyzed;c. period of time need to be covered;d. study areas and future development trends that should be considered;e. options and alternatives;f. recommended depth of the assessment to be conducted;g. recommended consultations with relevant agencies and the public during SEA.

Menurut Pasal 10 Act 2006, dampak KRP terhadap lingkungan hidup itu dapat bermacam-macam, yakni dampak langsung maupun tidak langsung, kumulatif, sinergistik, jangka pendek-menengah-panjang, permanen atau sementara, positif maupun negatif.

Hal ini akan menjadi jelas, ketika perumusan KRP yang wajib KLHS itu kemudian dilaporkan sebagai hasil KLHS, yang di Filipina disebut dengan SEA Report yang secara rinci memuat paling tidak 9 (sembilan) unsur (lihat lebih lanjut uraian tentang laporan KLHS).

Selanjutnya, penyusunan KLHS dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang akan diatur lebih lanjut. Sebagai catatan untuk Pedoman Pelaksanaan Penyusunan KLHS dapat dirujuk General Technical Guidance for SEA, January 2008 yang diterbitkan oleh Department of Environmental Impact Assessment and Appraisal (DEIAA), Ministry of Natural Resources and Environmental (MONRE) sepanjang relevan.

Setelah Decree No. 80/2006/ND/CP 9 April 2006, Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Vietnam menindaklanjuti dengan Pedoman Teknis Pelaksanaan KLHS untuk selanjutnya disebut Pedoman Teknis. Pedoman Teknis ini terdiri dari 4 (empat) Bab ditambah dengan 2 (dua) Lampiran, yaitu:Bab I Tujuan PedomanBab II Pengantar tentang KLHS

1. Apa yang dimaksud dengan KLHS.2. Landasan hukum KLHS.3. Prinsip-prinsip efektivitas KLHS.4. Benefit dan Cost dari KLHS.

Bab III Keterkaitan antara Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) dan Kewajiban Penerapan KLHS1. KLHS sebagai Kebijakan.2. Aspek Sosial-Ekonomi Pengembangan Rencana dan Program3. KLHS untuk Program Sektoral.4. Kedudukan Tim KLHS dalam proses perencanaan.

Bab IV Pendekatan dan Langkah-Langkah KLHS1. Pendekatan KLHS.

Draft 4 26

2. Langkah-langkah KLHS.3. Uraian langkah-langkah KLHS.

1) Penapisan2) Isu pokok dan tinjauan LH terkait KRP.3) Identifikasi pemangku kepentingan kunci dan pelibatannya.4) Analisis kecenderungan LH tanpa KRP.5) Kajian usulan dan skenario tujuan pembangunan.6) Kajian kecenderungan LH yang akan datang yang di-pengaruhi oleh

tindakan-tindakan yang diusulkan dalam KRP.7) Usulan untuk menentukan tindakan yang memperkecil dampak

negatif suatu kegiatan dalam rangka penyusunan Pengendalian LH.8) Kompilasi laporan KLHS dan penyerahannya kepada pihak yang

berwenang untuk diberi penilaian.Bab V Kriteria Penilaian Informal untuk Laporan KLHSLampiran I : Ringkasan Metodologi Penerapan KLHS.Lampiran II : Ringkasan Metode Konsultasi dalam KLHS.

Adapun terkait dengan laporan KLHS, dapat dirujuk tentang isi laporan sebagaimana diatur dalam RUU terkait di Filipina (Pasal 12 Act 2006) sebagai berikut:

1) Ringkasan usulan2) Ringkasan KLHS3) Kecenderungan yang relevan terkait lingkungan hidup,

termasuk kesehatan4) Tujuan lingkungan hidup dan target yang ingin dicapai dalam

aras internasional dan regional disertai dengan pengaruh positif maupun negatif dari usulan dan jalan keluarnya

5) Dampak khusus dari usulan dan alternatifnya terkait dengan dampak langsung maupun tidak langsung, kumulatif, sinergistis, jangka pendek, menengah maupun panjang; permanen atau sementara, positif maupun negatif.

6) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam KLHS, misalnya data yang tidak lengkap, kecenderungan yang tidak diketahui dan kekurangpahaman (lack of knowledge)

7) Opsi lingkungan hidup yang dipilih dan langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi atau meminimalkan dampak signifikan terhadap lingkungan hidup yang akan datang sebagai hasil dari usulan itu

8) Fokus yang direkomendasikan untuk KLHS atau AMDAL berikutnya

9) Langkah-langkah untuk memantau dampak lingkungan hidup dari implementasi usulan itu.

Pedoman untuk laporan KLHS yang lebih rinci, dapat dirujuk ketentuan serupa di Vietnam; yaitu Circular on Guideline for SEA, EIA and Environmental Protection Commitments (“Circular”).

Surat Edaran (SE) yang diterbitkan oleh MONRE No. 05/2008/TT-BTNMT tertanggal 8 Desember 2008 ini memuat 3 (tiga) substansi. Khusus terkait dengan KLHS, dalam SE ini ditekankan pada hal-hal sebagai berikut:

1) Elaborasi laporan KLHS.2) Kelengkapan dokumen untuk

penilaian laporan KLHS.3) Penilaian laporan KLHS.4) Kewajiban Lembaga Penilai

terhadap laporan KLHS.5) Kewajiban pengusul proyek.

SE ini dilengkapi dengan Lampiran. Khusus untuk KLHS, Lampiran I memuat tentang Bentuk dan Isi KLHS, sebagai berikut:

Pengantar yang berisi:1. Profil proyek.2. Landasan hukum dan teknis KLHS.

Draft 4 27

3. Organisasi untuk pelaksanaan KLHS.Bab I Ringkasan Proyek, Isu-isu Pokok LH Terkait

1. Pemilik proyek.2. Ringkasan proyek.3. Ruang lingkup KLHS dan isu-isu pokok LH terkait proyek.

Bab II Deskripsi Pengembangan Isu LH Terkait Proyek1. Kondisi alam dan LH, kondisi sosial dan ekonomi.2. Proyeksi kecenderungan isu pokok LH terkait proyek jika proyek tidak

diimpelementasikan (skenario 0).Bab III Prakiraan Dampak Negatif Terhadap LH dalam Implementasi Proyek

1. Konsistensi antara usulan proyek dan target dikaitkan dengan perlindungan LH.

2. Kajian, perbandingan usulan alternatif pengembangan.3. Prakiraan kecenderungan isu LH jika proyek dilaksanakan.

Bab IV Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan dalam Proses KLHS1. Pengorganisasian.2. Hasil konsultasi.

Bab V Usulan untuk Program Monitoring/Pemantauan1. Usulan untuk penyesuaian dan pengembangan solusi terhadap proyek.2. Program untuk monitoring LH dan manajemen.

Bab VI Referensi Sumber Data dan Metode Kajian1. Sumber data.2. Metodologi proses KLHS.3. Komentar terhadap detail dan keandalan evaluasi.

Kesimpulan dan rekomendasi terkait dengan:1. Efektivitas KLHS terhadap kesiapan proyek.2. Dampak negatif terhadap LH.3. Persetujuan Proyek.4. Lain-lain.

E.2. Lembaga Pelaksana

Untuk menjabarkan lebih lanjut Pasal 15 ayat (2), kewajiban melaksanakan KLHS dimanifestasikan oleh: lembaga yang bertanggungjawab; pelaksana KLHS; dan peran dari para pihak yang berkepentingan, maka dalam bagian ini diuraikan beberapa hal yang relevan sebagai berikut:

a. Lembaga yang bertanggungjawab (bertindak sebagai pemrakarsa) adalah:(i) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) beserta rencana

rincinya dilaksanakan oleh Kementerian PU.(ii) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRWP/K)

beserta rencana rincinya dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota

(iii) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dilaksanakan oleh BAPPENAS

(iv) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota

(v) KRP yang dikeluarkan Pemerintah yang berpotensi menimbulkan dampak/risiko lingkungan hidup dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang yang bersangkutan dengan KRP

(vi) KRP yang dikeluarkan pemerintah daerah yang berpotensi menimbulkan dampak/risiko lingkungan hidup dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang yang bersangkutan dengan KRP

b. Pembentukan dan penetapan pelaksana KLHS (perseorangan atau kelompok orang), merupakan bagian dari instansi pemrakarsa pembuat kebijakan, penyusun rencana atau penyiap program, dengan melibatkan:

1) Pemangku kepentingan yang meliputi:(a). Pemrakarsa/pembuat keputusan

Draft 4 28

(b). Lembaga pembuat keputusan (dalam hal pembuat keputusan berbeda dari pemrakarsa)

(c). Instansi yang terkait dengan pelaksanaan KRP(d). Instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup 2) Masyarakat, yang dapat meliputi:

(a). Perseorangan dan/atau kelompok orang yang mempunyai informasi dan keahlian (akademisi, asosiasi profesi, LSM)

(b). Perseorangan dan/atau kelompok orang (termasuk dunia usaha) yang terkena dampak penerapan KRP

c. Di luar itu, “untuk dan atas nama Pemerintah dan Pemerintah Daerah,”—pada konteks kelembagaan pelaksana KLHS (pemrakarsa)—pihak lain dapat melaksanakan KLHS sepanjang tujuannya adalah untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Pihak lain di luar Pemerintah dan pemerintah daerah tersebut melaksanakan KLHS manakala KRP-nya potensial berdampak/risiko terhadap lingkungan hidup, dan harus dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

(i) disepakati oleh pihak pengusul dan instansi Pemerintah/ pemda yang diberi usulan.

(ii) dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, yakni dipantau, dikoordinasi atau difasilitasi oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan LH (sebagai instansi yang berwenang mengkoordinasikan penyelenggaraan KLHS).

(iii) menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.22

d. Penentuan peran dari para pihak yang berkepentingan:(i) Peran pemrakarsa atau representasinya, yang sekaligus bertindak

sebagai fasilitator pada kegiatan dalam wadah penyelenggaraan(ii) Peran fasilitator (di mana bukan pemrakarsa atau representasinya)

yang ditunjuk jika pemrakarsa atau representasinya tidak dapat bertindak sebagai fasilitator pada kegiatan dalam wadah penyelenggaraan

(iii) Peran representasi instansi terkait(iv) Peran representasi pemangku kepentingan(v) Peran representasi masyarakat(vi) Peran pejabat dari instansi yang bertanggungjawab di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (sebagai instansi yang berwenang mengkoordinasikan penyelenggaraan KLHS), yaitu sebagai:(a). Pembuat rekaman (catatan proses) penyelenggaraan KLHS, yang

meliputi:Proses penyelenggaraan keseluruhan secara runtut;Kompilasi produk kajian substantif; danLaporan mengenai pelaksanaan butir-butir ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam PP KLHS

(b). Penyusun catatan, apakah rekomendasi KLHS:Seluruhnya dapat diintegrasikan (catatan berisi bagaimana rekomendasi ditampung sehingga perbaikan KRP berjalan)Sebagian dapat digabungkan (catatan berisi bagian rekomendasi yang ditampung dan alasan pemrakarsa untuk tidak menampung bagian rekomendasi lain)Seluruhnya ditolak (catatan berisi alasan pemrakarsa untuk tidak menampung rekomendasi)

22 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Buku Pegangan KLHS , hal. 13.

Draft 4 29

e. Hasil KLHSHasil KLHS berupa dokumen KLHS23 memuat hal-hal sebagai berikut: identifikasi, deskripsi dan evaluasi terhadap pengaruh lingkungan yang signifikan akan timbul sebagai akibat rencana KRP dan alternatifnya,24 rumusan alternatif dan rekomendasi perbaikan KRP serta rangkaian urutan tahapan pelaksanaan yang dikerjakan.

Sebagai perbandingan, di Vietnam, sesuai dengan Pasal 16 landasan Environmental Protection 2005, dokumen KLHS (SEA Report) memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Overview of the objectives, scale and characteristics of the project as it relates to the environment.

2. General description of the natural, socio-economic and environmental conditions relevant to the project.

3. Forecast of any potential adverse environmental impact likely to occur upon implementation of the project.

4. Reference to sources of figures and data and to methods of assessment.5. Proposal on guidelines and an overall solution to resolve environmental

issues during implementation of the project. 

Lantas, bagaimana jika KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui? Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, maka:

a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan

b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

Dalam PP ini perlu diberi penegasan tentang apa yang dimaksudkan dari (original intent) ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b.

Kemungkinan pada huruf (a) dapat dipahami karena KRP ini belum menjadi proyek dan dampaknya sudah dapat diprediksi “melampaui daya dukung dan daya tampung”, sehingga sudah sewajarnya apabila KRP tersebut setelah dievaluasi, wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS.

Permasalahan akan muncul dengan perumusan Pasal 17 ayat (2) huruf b. Asumsinya adalah bahwa (1) segala usaha dan/atau kegiatan itu adalah usaha dan/atau kegiatan yang sudah berjalan dan dalam perjalanannya telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan (2) terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut belum ada ketentuan untuk melaksanakan KLHS dalam KRP-nya. Oleh karena itu, karena adanya adagium “undang-undang tidak berlaku surut,” maka terhadap hal ini seyogyanya ditafsirkan bahwa terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut, yang sudah diterbitkan izinnya oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya UU No. 32 Tahun 2009, diperkenankan untuk melaksanakan usaha dan/atau kegiatan tersebut sampai dengan selesainya batas waktu pemberian izin yang bersangkutan.25

F. Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan

Pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan, yang dilakukan melalui dialog,

23 UU No. 32 Tahun 2009 tidak merumuskan secara konkrit mengenai bentuk dari hasil KLHS. Oleh karena itu disepakati bahwa hasil KLHS disebut dengan dokumen KLHS. Sementara di Vietnam dan Filipina disebut dengan SEA Report.24ibid, hal. 16.25 KLHS dalam kondisi tertentu menyarankan semua upaya-upaya yang realistis untuk menyesuaikan dengan pengelolaan lingkungan antara lain: meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan/usaha yang telah berjalan, melaksanakan secara tegas dan menetapkan batasan waktu untuk ijin-ijin dari usaha/kegiatan baru.

Draft 4 30

diskusi, dan konsultasi publik. Hal ini sudah sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.26

1. Tujuan pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan adalah sebagai berikut:27

a. Memahami informasi latar belakang lingkungan hidup yang lebih baik dan mengidentifikasi permasalahan lingkungan hidup yang potensial serta menargetkan KLHS pada isu utama yang menjadi perhatian.

b. Mendapatkan saran dan pilihan alternatif yang layak guna kegiatan pengendalian.

c. Menyeimbangkan hak dan manfaat dari berbagai pihak dan menghindari konflik sosial yang mungkin timbul dari dampak lingkungan hidup yang merugikan.

d. Membuat proses pengambilan keputusan pemerintah lebih transparan dan terbuka untuk diberikan masukan.

2. Pihak yang berkepentingan. Pada prinsipnya pihak yang berkepentingan terdiri dari:28

a. Pemkrakarsa/pengambil keputusan.b. Lembaga pembuat keputusan (dalam hal pembuatan

keputusan berbeda dari pemrakarsa)c. Instansi yang terkait dengan pelaksanaan KRPd. Instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidupe. Masyarakat (yang meliputi):

Perseorangan dan/atau kelompok orang yang mempunyai informasi dan keahlian (universitas, asosiasi profesi, LSM)

Perseorangan dan/atau kelompok orang (termasuk dunia usaha) yang terkena dampak penerapan kebijakan, rencana, dan/atau program.

3. Kegiatan konsultasi publik. Terdapat 4 (empat) kegiatan dalam rangka konsultasi publik, yaitu:

a.Identifikasi pihak-pihak yang berkepentingan.b.Memahami aspirasi dan alasannya.c. Identifikasi “kekuatan” masing-masing pihak.d.Memahami interaksi masing-masing pihak.

4. Bentuk-bentuk konsultasi publik, antara lain:a.Wawancara langsung.b.Focus Group Discussion (FGD).c.Survey.d.Forum dengar pendapat.

Di samping itu, pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dapat dilakukan dengan cara konsultasi melalui internet, penyampaian masukan (komentar) oleh representasi/perwakilan kelompok masyarakat yang relevan, pendistribusian bahan cetakan, pameran dan peragaan, serta observasi sosial dan fisik (dalam hal KRP berpengaruh pada lokasi tertentu).29

5. Pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam penyusunan (KLHS):a. Pada level nasional:

(i) Aras pembuatan kebijakan, penyusunan rencana, atau penyiapan program (sektoral yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup):

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi nasional dan daerah (provinsi) terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat nasional dan LSM

26 Stakeholder harus sedini mungkin diberikan kesempatan yang cukup untuk memberikan komentar selama proses penentuan pelingkupan dan pada hasil akhir dari KLHS (dokumen KLHS).27 Workshop Review Materi KLHS, 21-22 Januari 201028 ibid.29 Workshop Persiapan Penyelenggaraan Peningkatan Kapasitas tentang KLHS, Maret 2010

Draft 4 31

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” nasional

(ii) Aras penyusunan rencana (RPJP, RPJM, RTRWN, rencana tata ruang pulau/ kepulauan, rencana tata ruang kawasan strategis, mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku (contoh RTRW, RPJP, RPJM)

b. Pada level daerah provinsi:

(i) Aras pembuatan kebijakan, penyusunan rencana, atau penyiapan program (sektoral pembangunan daerah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup):

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi daerah provinsi serta kabupaten/kota terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat daerah provinsi dan LSM

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” daerah provinsi yang bersangkutan

(ii) Aras penyusunan rencana (RPJP Daerah Provinsi, RPJM Daerah Provinsi, RTRW Provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi yang telah ditetapkan, sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

c. Level daerah kabupaten/kota:

(i) Aras pembuatan kebijakan, penyusunan rencana, atau penyiapan program (sektoral pembangunan daerah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup):

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi daerah kabupaten/kota terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat daerah kabupaten/kota dan LSM

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” daerah kabupaten/kota yang bersangkutan

(ii) Aras penyusunan rencana (RPJP Daerah Kabupaten/Kota, RPJM Daerah Kabupaten/Kota, RTRW Kabupaten/Kota, rencana detail tata ruang kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota yang telah ditetapkan, sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

6. Pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan pada tataran evaluasi:a. Level nasional:

(i) Aras kebijakan, rencana, atau program (sektoral yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup) yang telah ditetapkan:

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi nasional dan daerah (provinsi/kabupaten) terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat nasional

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” nasional

(ii) Aras rencana (RPJP, RPJM, RTRWN, rencana tata ruang pulau/ kepulauan, rencana tata ruang kawasan strategis yang telah ditetapkan, sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yaitu pengintegrasian rekomendasi KLHS dalam periode evaluasi rencana yang bersangkutan.

b. Level daerah provinsi:

Draft 4 32

(i) Aras kebijakan, rencana, atau program (sektoral pembangunan daerah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup) yang telah ditetapkan:

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi daerah provinsi serta kabupaten/kota terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat daerah provinsi

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” daerah provinsi yang bersangkutan

(ii) Aras rencana (RPJP Daerah Provinsi, RPJM Daerah Provinsi, RTRW Provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi yang telah ditetapkan, sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yaitu pengintegrasian rekomendasi KLHS dalam periode evaluasi rencana ybs.

c. Level daerah kabupaten/kota:

(i) Aras kebijakan, rencana, atau program (sektoral pembangunan daerah yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup) yang telah ditetapkan:

(a). Pemrakarsa dan pemangku kepentingan adalah institusi/instansi daerah kabupaten/kota terkait

(b). Melibatkan satuan representasi masyarakat tingkat daerah kabupaten/kota

(c). Menggunakan bentuk/instrumen pelibatan se-eligible mungkin menjangkau derajat ”representasi” daerah kabupaten/kota yang bersangkutan

(ii) Aras rencana (RPJP Daerah Kabupaten/Kota, RPJM Daerah Kabupaten/Kota, RTRW Kabupaten/Kota, rencana detail tata ruang kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota yang telah ditetapkan, sesuai dengan mekanisme sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yaitu pengintegrasian rekomendasi KLHS dalam periode evaluasi rencana yang bersangkutan.

G. Pengambilan Keputusan KLHS dan Penyampaiannya Kepada MasyarakatPengambilan keputusan dalam hal KLHS dilakukan terhadap evaluasi KRP, tidak ditegaskan. Dalam konteks ini, KLHS harus merekomendasikan perubahan/revisi untuk diterapkan dalam KRP (bagian-bagian mana yang paling bermasalah dari KRP sehingga jangan dilaksanakan, kecuali pemberian ijin telah ditetapkan terhadap kegiatan/usaha, dll), dan juga perubahan tambahan yang harus dipertimbangkan selama revisi KRP. Selain itu juga harus dipertimbangkan tentang sejauhmana lembaga yang berkaitan dengan KRP yang bersangkutan harus memperhatikan rekomendasi-rekomendasi usulan tersebut.

Pada konteks pengambilan keputusan (hasil) dari penyelenggaraan KLHS berupa laporan dokumentasi, wajib sifanya untuk dipublikasikan kepada masyarakat umum. Dalam hal ini KLH pada tingkat nasional, dan BPLHD Provinsi serta BPLHD Kabupaten/Kota pada tingkat daerah, mengemban peran dan fungsi sebagai pusat penyimpanan dokumen laporan hasil KLHS (central of depository), serta wajib mendesiminasikannya kepada masyarakat. Pada saat yang sama, instansi sektoral pemrakarsa KRP juga diwajibkan untuk mengumumkan laporan dokumentasi hasil KLHS (beserta catatan pengadopsiannya di dalam KRP), secara terbuka kepada masyarakat melalui mekanisme tertentu.

Sementara itu, lembaga yang menyetujui KRP harus menentapkan pernyataan ringkasan tentang bagaimana masukan-masukan di atas diintegrasikan di dalam ke dalam KRP yang disetujui. Di sisi lain, dalam hal dokumentasi KLHS sebelum diajukan dalam akhir dari pengambilan keputusan atas rancangan/usulan KRP, harus ditinjau oleh otoritas lingkungan sebagai instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan penyelenggaraan KLHS dimana akan mengajukan komentar atas kualitas seluruh proses KLHS.

Draft 4 33

Pengambilan keputusan terhadap KLHS dilakukan dengan mempertimbang-kan hal-hal sebagai berikut:30

a. kesimpulan-kesimpulan pokok yang termuat dalam KLHS.b. langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang termuat dalam KLHS.c. pandangan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang

lingkungan hidup (KLH, badan lingkungan hidup daerah atau yang setara), dan kesehatan masyarakat (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota).

d. aspirasi serta pandangan dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang berkepentingan, termasuk di sini kalangan LSM.

Di tingkat nasional, keputusan hasil KLHS menjadi satu (embedded) dengan penetapan kebijakan atau rencana atau program pembangunan nasional:31

a. RPJP dengan Undang-Undang

b. RPJM dengan Peraturan Presiden

c. RTRWN dengan Peraturan Pemerintah

d. Rencana tata ruang pulau/kepulauan dengan Peraturan Presiden

e. Rencana tata ruang kawasan strategis nasional dengan Peraturan Presiden

f. Kebijakan (sektoral) dengan Peraturan Presiden/Peraturan Menteri

g. Rencana (sektoral) dengan Undang-Undang APBN

h. Program (sektoral) dengan Undang-Undang APBN

Di tingkat provinsi, keputusan hasil KLHS menjadi satu dengan penetapan kebijakan atau rencana atau program pembangunan daerah provinsi:32

a. RPJP Daerah Provinsi dengan Peraturan Daerah

b. RPJM Daerah Provinsi dengan Peraturan Gubernur

c. RTRW Provinsi dengan Peraturan Daerah

d. Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi dengan Peraturan Daerah

e. Kebijakan (sektoral) dengan Peraturan Gubernur

f. Rencana (sektoral) dengan Peraturan Daerah APBD

g. Program (sektoral) dengan Peraturan Daerah APBD

Di tingkat kabupaten/kota, keputusan hasil KLHS menjadi satu dengan penetapan kebijakan atau rencana atau program pembangunan daerah kabupaten/kota:33

a. RPJP Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah

b. RPJM Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Bupati/Walikota

c. RTRW Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah

d. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah

e. Rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah

f. Kebijakan (sektoral) dengan Peraturan Bupati/Walikota

g. Rencana (sektoral) dengan Peraturan Daerah APBD

h. Program (sektoral) dengan Peraturan Daerah APBD

30 Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Buku Pegangan KLHS , hal. 17.31 Pelaksanaan kebijakan mengenai KLHS dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional, pelaksanaan KLHS dilakukan sekaligus dengan pelaksanaan kebijakan atau rencana atau program pembangunan nasional 32 Pelaksanaan KLHS dilakukan sekaligus dengan pelaksanaan kebijakan atau rencana atau program pembangunan daerah provinsi.33 Pelaksanaan KLHS dilakukan sekaligus dengan pelaksanaan kebijakan atau rencana atau program pembangunan daerah kabupaten/kota

Draft 4 34

Hasil KLHS dan KRP wajib diumumkan kepada masyarakat. Hal ini merupakan perwujudan asas transparansi dan akuntabilitas sebagaimana telah digariskan dalam UU No. 14 Tahun 2008 (Pasal 1 angka 2, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 huruf a sampai dengan e, Pasal 7 dan Pasal 10).

- Pasal 1 angka 2: “Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.”

- Pasal 2 ayat (1): “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”

- Pasal 3 huruf a sampai dengan e, tujuan: a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan

publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;

b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan

pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif

dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggung-jawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang

banyak- Pasal 7:

(1) Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

(2) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.

(3) Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.

(4) Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.

(5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.

(6) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.

- Pasal 10:(1) Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang

dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.(2) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Sebagai perbandingan, di Vietnam menurut Pasal 23 Decree No. 80/2006/ND/CP 9 Agustus 2006, informasi dan data terkait dengan Lingkungan Hidup wajib dipublikasikan dalam bentuk buku, pemberitaan surat kabar dan website.

H. Pemantauan dan Tindak Lanjut

Mengacu pada ketentuan serupa di Filipina maka Pemantauan dan Tindak Lanjut harus memuat hal-hal sebagai berikut:34

a. Memeriksa asumsi-asumsi.b. Melakukan pemantauan terhadap kemajuan langkah-langkah yang direkomendasikan

dalam implementasi KLHS.

34 Maria SW Sumardjono, Totok Dwi Diantoro, Kajian Pengembangan Peraturan Perundang-undangan Sebagai Instrumen untuk Mengarusutamakan KLHS, KLH-DANIDA, September 2009, hal. 14.

Draft 4 35

c. Menetapkan langkah-langkah tambahan bila perlu, berdasarkan pemutakhiran informasi.

d. Membuka kemungkinan untuk adanya masukan bagi kajian pada aras yang lebih tinggi.

e. Memastikan bahwa kajian ulang dan kajian lanjutan diperlukan bila kenyataan di lapangan ternyata berbeda secara signifikan dengan asumsi semula.

Dokumen laporan hasil KLHS yang disimpan oleh KLH pada tingkat nasional, dan BPLHD Provinsi serta BPLHD Kabupaten/Kota pada tingkat daerah, digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan pemantauan.

Pengaturan mengenai mekanisme tindak lanjut perbaikan kebijakan, rencana atau program pembangunan (dirumuskan melalui manajemen/ ketentuan transisi) dilakukan sesuai dengan sistem evaluasi dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan yang berlaku. Dalam prosedur peninjauan kembali rencana tata ruang dan penyusunan rencana pembangunan, misalnya, revisi rencana tata ruang dan penyusunan rencana pembangunan untuk periode berikutnya, dilakukan setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana yang lalu. Masa revisi rencana tata ruang dan penyusunan rencana pembangunan periode berikutnya merupakan masa yang sesuai untuk diintegrasikannya tindak lanjut perbaikan kebijakan, rencana, atau program yang telah direkomendasikan dalam hasil KLHS. Terhadap KRP yang tidak mempunyai ruang evaluasi periodik, maka tindak lanjut hasil KLHS untuk memperbaiki kebijakan, rencana, atau program dilakukan segera setelah hasil KLHS diterima oleh institusi pemrakarsa KRP atau paling lambat pada tahun anggaran berikutnya. Dalam tindak lanjut hasil KLHS ini perlu dimasukkan kompensasi kepada masyarakat yang menjadi objek pelaksanaan kebijakan, rencana, atau program semula—yang kemudian ternyata harus diperbaiki—dan anggaran biaya perbaikan/pemulihan lingkungan hidup.

Pengaturan mengenai mekanisme tindak lanjut untuk tidak diperbolehkannya usaha dan/atau kegiatan, maka terhadap usaha dan/atau kegiatan yang “divonis” telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan tetapi sudah diterbitkan izin oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya UU No.32 Tahun 2009, diperkenankan untuk tetap melaksanakan usaha dan/atau kegiatan tersebut sampai dengan selesainya/berakhirnya batas waktu pemberian izin yang bersangkutan. Namun demikian, pada saat masih berlangsungnya kegiatan tersebut, pengawasan terhadap kegiatan itu perlu ditingkatkan, untuk selanjutnya setelah jangka waktu izin habis (selesai), kemudian tidak diperpanjang/diberikan lagi.

Draft 4 36

BAB IIIKesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Sesuai dengan doktrin hukum dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, maka materi muatan PP adalah hal-hal yang secara tegas diperintahkan oleh UU. Dengan perkataan lain, PP adalah peraturan pelaksanaan UU; dengan konsekwensi bahwa isi PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.

Dalam RPP yang akan datang secara garis besar dimuat ketentuan terkait dengan:a. Ketentuan Umumb. Tujuanc. Asasd. Ruang Lingkup dan Pengecualian KLHSe. Tata Laksana dan Kelembagaan KLHSf. Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingang. Keputusan KLHS dan Penyampaiannya Kepada Masyarakath. Pemantauan dan Tindak Lanjut

B. Saran

Oleh karena tata cara penyelenggaraan KLHS sarat dengan persoalan teknis, maka langkah selanjutnya setelah penerbitan PP ini adalah segera menerbitkan Pedoman Pelaksanaan KLHS yang dapat berbentuk Peraturan Menteri. Adapun tentang substansi Pedoman dapat diacu berbagai Pedoman yang telah ada dalam peraturan perundang-undangan negara-negara yang telah terlebih dahulu menerapkan KLHS.

Draft 4 37

Daftar Pustaka

Dusik, Jiri, Jian Xie, June 2009, Strategic Environmental Assessment in East and Southeast Asia, The World Bank.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Desember 2007, Buku Pegangan KLHS. Jakarta.Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Desember 2007, Naskah Kebijakan KLHS, Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008, Rancangan Peraturan Menteri Negara

Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyelenggaraan KLHS, Jakarta.Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.Sumardjono, Maria, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, cetakan

ke-2, Penerbit Kompas, Jakarta.Sumardjono, Maria, Totok Dwi Diantoro, September 2009, Kajian Pengembangan Peraturan

Perundang-undangan Sebagai Instrumen untuk Mengarusutamakan KLHS, KLH-DANIDA, Yogyakarta.

SKH Kompas, 7 Juli 2009 “AMDAL Masuk Laci”.Workshop Review Materi KLHS, 21-22 Januari 2010

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar RI Tahun 1945UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok AgrariaUU No. 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan HidupUU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan HidupUU No. 41 Tahun 1999 tentang KehutananUU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas BumiUU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya AirUU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundanganUU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan NasionalUU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahUU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan RuangUU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau KecilUU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi PublikUU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatubaraUU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan HidupPP No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak LingkunganPP No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak LingkunganPP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan HidupPP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah NasionalPerpres RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004 –

2009Permen Neg LH No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup

StrategisKeputusan Bapedal No. 8 Tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan

Informasi dalam Proses AMDAL

Sumber Lain:Decree No. 80/2006/ND/CP tanggal 9 Agustus 2006 dengan judul “Detailing And Guiding The

Implementation of A Number of Articles of the Law on Environmental Protection”, Republik Sosialis Vietnam.

Law on Environmental Protection, 1 Juli 2006, Republik Sosialis Vietnam.General Technical Guidance for SEA, Januari 2008, Republik Sosialis Vietnam.Circular on Guideline for SEA, EIA and Environmental Protection Commitments, 8 Desember

2008, Republik Sosialis Vietnam.The Philippine Environmental Assessment Act of 2006 (House Bill No. 4961, An Act to Establish

the Philippine Environmental Assessment System and for other Purposes), Tahun 2006, Filipina.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Draft 4 38