naskah akademis rancangan ... - · pdf file2 naskah akademik rancangan peraturan daerah...
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG
WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN
KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA
DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2015
2
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN
TIM PENELITI
Dr. I Gusti Ketut Ariawan., SH.,MH
Dr. I Wayan Wiryawan., SH.,MH
I Ketut Sudiarta, SH., MH.
Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH.
A.A. I Ari Atu Dewi., MH.
3
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBRANA BEKERJA SAMA DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2015
PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA Jalan Bali Nomor 1 Denpasar
Tlp. (0361)222666
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, yang selanjutnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Kemudian Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar mengatur bahwa, Pemerintah
daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar,
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing melalui Peraturan Daerah.
Sekalipun ada dasar hukum untuk menetapkan Peraturan Daerah Tentang
Wajib Belajar Dua Belas Tahun, diperlukan pula argumentasi tentang
(urgensi) membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar
meliputi argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam kerangka
inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar >> i Daftar Isi >> ii
Daftar Gambar >> iii Daftar Tabel >> iv BAB I. PENDAHULUAN >>> 1
A. Latar Belakang >>> 1 B. Identifikasi Masalah >>> 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
>>> 6
D. Metode Penelitian >>> 7 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 9 A. Kajian Teoritis >>> 9
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
>>> 10
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 14 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan
Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Daerah
>>> 24
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
>>> 27 A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 27
B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-undangan Yang Lain
>>> 31
C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah KABUPATEN JEMBRANA Teantang Wajib Belajar Dua Belas Tahun
>>> 32
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
>>> 33
A. Lanndasan Filosofis >>> 36
B. Landasan Sosiologis >>> 37
C. Landasan Yuridis >>> 37
D. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Wajib Belajar Dua
Belas Tahun
>>> 38
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN
>>> 40
A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 40
B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 42
iii
BAB VI PENUTUP >>>48 A. RANGKUMAN >>>49
B. SARAN >>>51 DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN >>>52
DAFTAR PUSTAKA >>>47 LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun di Kabupaten Jembrana
2. Rancangan Penjelasan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun di Kabupaten Jembrana
iv
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten Jembrana Tahun 2013
>>> 2
Tabel 2: Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan
Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014
>>> 2
Tabel 3: Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013
>>> 3
Tabel 4 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013
>>> 4
Tabel 5 : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar dua
belas Tahun
>>>17
Tabel 6 : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya >>>32
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah satu tujuan
dalam pelaksanaan pembangunan. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan mengemas sedemikian rupa sehingga seluruh masyarakat
dapat menikmati pendidikan, meningat pendidikan merupakan salah satu
tujuan negara yang merupakan prioritas utama adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan yang merupakan salah satu cara dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna mengadaptasi situasi
dan kondisi yang selalu mengalami perubahan secara dinamis. Berbagai
permasalahan yang muncul terkait pendidikan nasional, mulai fasilitas
pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu pendidikan yang
masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat ini kurang dapat
dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi sehingga akan
semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan karena
lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan keterbelakangan
sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan nasional.
Pentingnya pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan
mewajibkan setiap pihak untuk melaksanakan pendidikan. Kabupeten
Jembrana merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang belum memiliki
Peraturan Daerah tentan Wajib Belajar 12 Tahun. Kabupaten Jembarana
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil jumlah
penduduk di Kabupaten Jembrana per 31 Desember 2013 adalah sebanyak
321.008jiwa yang terbagi kedalam 5 kecamatan. Jumlah penduduk terbesar
adalah pada Kecamatan Negara dengan jumlah 93.070 jiwa, sedangkan
jumlah penduduk paling sedikit adalah pada Kecamatan Pekutatan dengan
jumlah 31.217jiwa. Berikut adalah Tabel.1 yang menyajikan jumlah
penduduk tiap kecamatan tahun 2013 serta perkembangan jumlah rumah
tangga dan jumlah penduduk dari tahun 2009-2013. Dari table dapat
2
dilihat bahwa jumlah rumah tangga dan jumlah penduduk mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dan jumlah yang paling tinggi adalah
pada tahun 2013 .
Tabel 1 : Jumlah Rumah Tangga Dan Penduduk di Kabupaten Jembrana Tahun 2013
No. Kecamatan Rumah
Tangga Penduduk
1. Negara 25.557 93.070
2. Mendoyo 20.136 71.023
3. Pekutatan 7.950 31.217
4. Melaya 16.564 62.908
5. Jembrana 17.952 62.790
Jumlah 89.185 321.008
2012 86.685 317.117
2011 82.635 273.918
2010 80.792 272.828
2009 77.043 269.859
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab. Jembrana, Tahun 2014
Prosentase jumlah penduduk di Kabupaten Jembrana berdasarkan
kecamatan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Tabel 2 : Prosentase Jumlah Penduduk Berdasarkan Kecamatan diKabupaten Jembrana Tahun 2014
3
Jumlah penduduk yang selalu meningkat untuk setiap tahunnya
menunjukkan peningkatan pula untuk peserta didik yang sangat
membutuhkan pendidikan. Berbagai permasalahan yang muncul terkait
pendidikan nasional, mulai fasilitas pendidikan yang memprihatinkan
sampai masalah mutu pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses
pendidikan yang saat ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena
masalah ekonomi sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam
mengakses pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan
kebodohan dan keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju
pembangunan nasional.
Berdasarkan atas permasalahan tersebut sehingga memberikan
inisiatif kepada Pemerintahan Kabupaten Jembrana untuk mengadakan
pendidikan gratis kepada masyarakat. Program yang diusung oleh
Kabupaten Jembrana adalah pendidikan bersubsidi di kalangan siswa –
siswinya baik dari tingkat SD maupun SMP. Berdasarkan program
pendidikan gratis tersebut beberapa indikator pendidikan di Kabupaten
Jembrana menunjukkan peningkatan dari tahun – ke tahun.
Jumlah penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten
Jembrana terbagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu :7- 12 tahun (SD/MI) ;
13 – 15 tahun (SLTP/ MTs) dan 16 – 18 (SMU/SMK/MA). Distribusi
penduduk terbanyak pada tahun 2013adalah pada kelompok usia 7 – 12
tahun (SD/ MI) sebanyak 28.353 penduduk sedangkan paling sedikit
adalah pada kelompok usia 16 – 18 tahun (SMU/SMK/MA) dengan jumlah
sebanyak 12.505 penduduk. Berikut adalah disajikan tabel jumlah
penduduk yang bersekolah berdasarkan usia di Kabupaten Jembrana.
Tabel 3 : Murid Berdasarkan Usia di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-
2013
No. TAHUN
Murid SD
usia 7 - 12
tahun
Murid SLTP
usia 13 - 15
tahun
Murid SLTA
usia 16 - 18
tahun
1 2009 25.527 10.363 7.860
2 2010 25.729 11.034 8.291
3 2011 25.944 10.811 8.606
4
4 2012 25.952 10.580 9.686
5 2013 28.353 12.505 12.505
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab.
Jembrana
Jenjang pendidikan di Kabupaten Jembrana adalah terbagi menjadi :
SD/Sederajat, SLTP/Sederajat dan SMA/Sederajat. Jumlah murid paling
banyak pada tahun 2013 adalah jenjang pendidikan SD/Sederajat dengan
jumlah sebanyak 28.353 siswa sedangkan paling sedikit adalah jenjang
SMA/ Sederajat dengan jumlah sebanyak 12.505 siswa.
Tabel 4 : Jumlah Murid Tiap jenjang Pendidikan di Kabupaten Jembrana Tahun 2009-2013
No. TAHUN Jumlah
Murid SD Jumlah Murid
SLTP Jumlah Murid SLTA
1 2009 29.258 12.437 7.775
2 2010 29.485 12.852 10.496
3 2011 30.433 12.845 10.753
4 2012 29.907 12.674 10.957
5 2013 29.472 13.018 11.275
J u m l a h 148.555 63.826 51.156
Sumber : Dinas Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Jembrana
Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah. Dalam kaitannya dengan pendidikan
berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti
program wajib belajar. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
5
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Pasal 7
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar
berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah. (4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah.
(5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh)
sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
Merujuk Pasal 34 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12
Tahun, mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui “Peraturan Daerah”.
6
Dengan demikian program wajib belajar dua belastahun
mengandung makna pengaturan kewenangn dalam penyelenggaraan.
Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas
Tahun.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 / 2011)
menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12
/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan
Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah
Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Mengingat
pentingnya posisi Wajib Belajar Dua Belas Tahun baik terhadap masyarakat
maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah
Akademik tentang Wajib Belajar dua belas Tahun.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat)
masalah pokok:
1. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar dua
belas Tahun.
2. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
3. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH
AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
7
Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun dirumuskan sebagai
berikut:
1. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib
Belajar Dua Belas Tahun sebagai dasar untuk memastikan objek
dan subjek Wajib Belajar Dua Belas Tahun, serta struktur dan
besarnya tarif Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
2. Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar
Dua Belas Tahun.
3. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas
Tahun.
Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun
adalah sebagai acuan:
a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
c. Partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan tertulis
dan/atau masukan lisan baik dalam penyusunan maupun
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun
1.4. METODE
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik digunakan
metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan
publik (kebijakan negara) secara kritikal dan dijelaskan makna dan
8
implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini adalah
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib
Belajar Dua Belas Tahun).
2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat
peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan
dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme
terkait dengan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum pada intinya
adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang menampilkan segi
tersurat yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan
yang ada di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan
pemahaman yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami
gagasan yang melatari pembentukan teks hukum dan wawasan konteks
kekinian saat teks hukum itu diterapkan atau ditafsirkan. Kebenaran
dalam ilmu hukum merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena
itu penting melakukan konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep,
serta pemikiran para sarjana yang mempunyai otoritas di bidang
keilmuannya berkenaan dengan penyusunan Naskah Akademis Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun.
9
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
Paradigma filsafat pendidikan, merupakan persoalan yang melekat
secaca kodrati di dalam diri manusia.1 Pendidikan menguasai berbagai
sektor baik kegiatan kehidupan masyarakat baik dalam dimensi horizontal
maupun vertikal, ketika manusia berinteraksi dengan dirinya disitulah ada
pendidikan. Ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap
kegiatan kemasyarakatan disitu ada pula pendidikan ketika manusia
berinteraksi dengan alamnya disitu juga ada pendidikan. Antara pendidikan
dan manusia bagaikan wadah dengan isinya. Dengan kata lain hubungan
kodrat pendidikan dan manusia, pada taraf eksistensial, bagaikan
hubungan antara jiwa dan badan manusia. Jika jiwa berpotensi
menggerakkan badan kehidupan manusiapun digerakkan oleh pendidikan
ke arah pencapaian tujuan akhir, tanpa pendidikan manusia kehilangan
roh penggerak kehidupan sehingga kehidupan menjadi tidak kreatif dan
pada akhirnya mengancam kelangsungan seluruh kehidupan itu sendiri.
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi anak didik
menyangkut intelektual, keterampilan serta kepribadiannya untuk
memerankan dirinya ditengah-tengah masyarakat. Tujuan pendidikan
menurut Jacques Delors,cs., dikenal Empat Pilar Pendidikan versi UNESCO
sebagai berikut:
a. Learning to know (belajar untuk mengetahui); b. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat);
c. Learning to be (belajar untuk menjadi dirinya sendiri); dan d. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain)2
1 Suparlan Suhartono, 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media, hal 91 2 Jacques Delors, 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali Muhdi
Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka Fahima, Yogyakarta, 2007, hal.6.
10
Upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan untuk
membangun karakter bangsa (national character building), tujuan
pendidikan harus ada keseimbangan antara membangun intelektual,
emosional dan spiritualitas. Terlebih-lebih lagi dalam Negara yang
berdasarkan Pancasila, tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan
pribadi yang bersusila, dan berada sebagai anggota dalam masyarakatnya,
masyarakat sekitarnya, masyarakat etnisnya, masyarakat bangsanya yang
bhinneka dan sebagai anggota masyarakat yang beradab.3
Menurut Dale ( 1989: 39-43) kontrol Negara terhadap pendidikan
umumnya dilakukan melalui 4 cara antara lain :
1. Sistem pendidikan diatur secara legal;
2. Sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi menekankan pada
ketaatan pada aturan dan obyektivitas;
3. Penerapan wajib pendidikan (compulsory education); dan
4. Reproduksi politik dan ekaonomi yang berlangsung disekolah
berlangsung dalam konteks politik tertentu.4
Dengan demikian, maka penyusunan rancangan Peraturan Daerah
tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun, merupakan sesuatu yang amat
urgen dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang
pendidikan, yaitu dengan tujuan untuk menjadi acuan bersama dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan guna mewujudkan ketentuan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada
hakikatnya dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa/negara, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa.
B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan
3 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”,
2008, Pustaka Pelajar, hal. 30. 4 M Sirozi, Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan
Kekuasaan dan Praktik Wajib Belajar 12 Tahun” , 2005, Raja Grafindo Persada, hal 63
11
yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.5
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 UU P3 2011 (khususnya dalam
pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam Pasal 137
UU Pemda), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik”, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 (khususnya
berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU
Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
5 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-
undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), hal 238-309.
12
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU P3 2011, yang dimaksud dengan asas
sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:
a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah; dan
b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian
antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan Wajib Belajar Dua Belas Tahun
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Wajib Belajar Dua Belas Tahun
bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa yang
bertanggung jawab dan apa tanggung jawabnya terhadap pengelolaan
pendidikan; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah
melakukan Wajib Belajar Dua Belas Tahun dan pelayanan kepada
masyarakat. Tujuan Wajib Belajar Dua Belas Tahun adalah efektivitas,
efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Wajib Belajar Dua Belas Tahun dengan Peraturan Daerah
dilakukan. Rancangan dapat berasal dari dari DPRD Kabupaten Jembrana.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan
Pendididkan harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang
diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan
dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas
Tahun adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada
jaminan keadilan dalam pengenaan Wajib Belajar Dua Belas Tahun; (2)
yuridis, adanya jaminan kepastian dalam Wajib Belajar 12 Tahun,
termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Wajib
Belajar Dua Belas Tahun memang dapat memberikan manfaat, baik bagi
13
pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang pengaturan Wajib Belajar Dua Belas Tahun memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan Wajib Belajar 12
Tahun memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib Wajib Belajar
Dua Belas Tahun, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting
di atas.
Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun
sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum
dalam Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun yang
menjamin kepastian.
Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal
6 ayat (2) UU P3 2011, dalam pengaturan tentang Wajib Belajar Dua Belas
Tahun , yakni:
1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi
setiap anggota kelompok masyarakat.
2. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk melaksanakan
pendidikan.
14
Dalam Pasal 4 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Sistem
Pendidikan Nasional mengatur tentang Prinsi-prinsip dalam dalam
penyelenggaraan pendidikan :
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan
C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dapat diukur dari
tingkat pemenuhan kewajiban pemerintah daerah yang diukur dari layanan
pendidikan pada semua anak yakni: a) Apakah anak-anak yang masuk
SD/MI sudah siap bersekolah, b) Apakah anak-anak yang berusia SD/MI
sudah bersekolah, c) Apakah anak-anak yang lulus SD/MI melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMP/MTs. Kondisi ini jika dimaknai bahwa
sesungguhnya bila ditinjau dari segi kesiapan secara fisik maupun mental
dan intelengensi anak-anak tersebut belum siap untuk memasuki jenjang
SD/MI . Hal tersebut berdampak pada prestasi belajar anak, utamanya di
kelas 1 ketika baru mulai beradaptasi dengan lingkungan pembelajaran di
tingkat SD/MI.
Mutu Pendidikan menjadi salah satu hal penting di dalam menilai
keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan yakni bahwa mutu
pendidikan dapat dinilai dengan indicator: a) Angka Mengulang Kelas
(AMK), b) Angka Putus Sekolah (APS), c) Mutu dan Pemerataan input
Pendidikan, dan d) Mutu Lulusan. Berdasarkan hal tersebut maka realitas
15
mutu pendidikan dalam 3 tahun terakhir berupa nilai angka mengulang
bagi anak-anak SD dan SMP, serta SLTA, dan angka putus sekolah masih
cukup besar.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas terlihat jelas bahwa terdapat
sejumlah masalah dalam bidang pendidikan yang tidak boleh dibiarkan
berlangsung terus menerus, karena hal tersebut jika diabaikan akan
menghambat pelaksanaan visi dan misi serta garis-garis besar program
pembangunan khususnya di bidang pendidikan, yang pada akhirnya akan
semakin jauh dari cita-cita bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut dapat diperoleh pemahaman, bahwa
beberapa permasalahan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan Wajib
Belajar 12 Tahun, yang juga merupakan permasalahan yang dihadapi
masyarakat, perlu mendapat perhatian.
Selain hal tersebut, pembangunan pendidikan di diarahkan sejalan
dengan rencana strategis program pendidikan yakni pada pelayanan di
bidang pendidikan akan mencakupi:
1. Pendidikan anak usia dini (PAUD);
2. Wajib belajar Sembilan Tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan
jenjang Sekolah Menengah Pertama;
3. Pendidikan Menengah;
4. Pendidikan Non formal;
5. Peningkatan Mutu Pendidik dan ke Pendidikan; dan
6. Manajemen Layanan Pendidikan.
Dengan demikian ada 6 (dua) isu hukum tentang kepastian hukum yang
perlu mendapat perhatian.
Dalam penyelenggaraan praktek empiris pengatuan tentang wajib
belajar dua belas tahun di Kabupaten Jembrana diatur berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan
Wajib Belajar dua belas tahun. Peraturan daerah yang dimaksud apabila
dikaji dalam praktek kekinian tidak bisa menampung kondisi
perkembangan dan kewenangan pengaturan.
16
Selain berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No
15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar dua belas tahun, dalam
praktek penyelenggraan di Kabupaten Jembrana selama ini didasarkan
pada beberapa Peraturan Bupati, antara lain :
1. Peraturan Bupati Jembrana No 49 Tahun 2006 tentang Pemberian
Bea Siswa Kepada Siswa Yang tidak Mampu Pada Sekolah Swasta
Dan Siswa Berprestasi Pada Sekolah Negeri Maupun Swasta Di
Kabupaten Jembrana
2. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Rintisan
WajibBelajar dua belasTahun.
3. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Subsidi Biaya
Pendidikan Pada TK, SD, SMA dan SMK Di Kabupaten Jembrana
4. Peraturan Bupati Jembrana No 25 Tahun 2008 tentang Pemberian
Bea Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Pertama , Sekolah
Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa
Kabupaten Jembrana.
5. Peraturan Bupati Jembrana No 4 Tahun 2009 tentang Pemberian Bea
Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Umum, Sekolah
Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
6. Peraturan Bupati Jembrana No 9 Tahun 2011 tentang Pemberian Bea
Siswa Pendidikan Kepada Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
7. Peraturan Bupati Jembrana No 20 Tahun 2011 tentang Pemberian
Dana Hibah Kepada Sekolah Menengah Atas ( SMA) dan sekolah
Menengah Kejuruan Swasta Se Kabupaten Jembrana Berupa
Bantuan Operasional Dalam Rangka Rintisan Wajib Belajar 12
Tahun.
Dasar pengaturan tentang Wajib Belajar dua belas Tahun yang
selama ini menjadi dasar pengaturan sudah tidak mempu menampung
perkembangan sumber hokum dan kebutuhan masyarakat, hal tersebut
nampak pada adanya beberapa hal yang masih memiliki kelemahan antara
lain sebagaimana dipaparkan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 5 : Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar dua belas Tahun
17
PERATURA DAERAH NO 15 TAHUN 2006 TENTANG RINTISAN WAJIB BELAJAR 12
( DUA BELAS) TAHUN
ANALISIS
1. Pembuatan lambang seharusnya menggunakan Parmendagri No 1
Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah
2. Dalam lampiran 3 Permendagri No 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah seharusnya
menggunakan burung garuda
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR 15 TAHUN 2006
TENTANG
RINTISAN WAJIB BELAJAR 12
( DUA BELAS ) TAHUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
1. Dalam penulisan judul tidak sesuai
dengan Pasal 112 Permendagri No 1
Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah 2. Teknik perancangan seharusnya
menyesuaikan dengan lampiran 3
Permendagri No 1 Tahun 2014
Menimbang : a. bahwa untuk
meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, maka dipandang perlu
untuk mengatur jenjang
pendidikan minimal yang wajib diikuti oleh
masyarakat;
b. bahwa wajib belajar 9
(sembilan) tahun di Kabupaten Jembrana
telah mencapai standar
pelayanan minimal (SPM), maka perlu
dirintis menjadi wajib
belajar 12 (dua belas) tahun;
c bahwa berdasarkan
pertimbangan dimaksud huruf a dan huruf b,
perlu ditetapkan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana
tentang Rintisan Wajib
Belajar 12 (dua belas)
tahun;
Kajian : Lampiran UU P3
17. Konsiderans diawali dengan kata
Menimbang. 18. Konsiderans memuat uraian singkat
mengenai pokok pikiran yang
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
19. Pokok pikiran pada konsiderans
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota memuat unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis,
dan yuridis.
- Unsur filosofis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945. - Unsur sosiologis
menggambarkan bahwa
18
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai
aspek. - Unsur yuridis
menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum
dan rasa keadilan
masyarakat. 27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup
memuat satu pertimbangan yang
berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan
pasal atau beberapa pasal dari
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan
pembentukan Peraturan Daerah
tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah yang
memerintahkan pembentukannya
Saran :
Dalam konsiderans huruf c perlu
disesuaikan agar menunjukkan adanya landasan yuridis
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor
69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam
Wilayah Daerah Tingkat I
Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 122,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara
Kajian : Lampiran II UU P3
28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
dan b. Peraturan Perundang-
undangan yang
memerintahkan
pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
39. Dasar hukum pembentukan
Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-
Undang tentang Pemerintahan
Daerah. Saran
Perlu ditambahkan bahan hukum :
19
Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 4548); 6. Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan
Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang ini bukan merupakan UU
yang berkaitan dengan dasar
penedelegasian kewenangan dan bukan memuat manteri muatan
Peraturan Daerah yang dimaksud.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan seharusnya
diganti dengan Undang_undang No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seharusnya UU No 32 Tahun
2014 tersebut diganti dengan UU No
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP ini tidak dapat
dijadikan dasar kewenangan dan
dasar pengaturan terkait dengan
materi muatan Peraturan Daerah. 6. Harus ditambahkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
20
Republik Indonesia Nomor 4438);
7. Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36,
Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3512)
sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pendidikan
Dasar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998
Nomor 1990, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 3763 ); 8. Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 4578);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
dan
BUPATI JEMBRANA
-
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RINTISAN WAJIB
BELAJAR 12 (DUA BELAS)
TAHUN.
-
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud
dengan :
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Jembrana.
2. Pemerintah Daerah adalah
Pemerintah Kabupaten Jembrana. 3. Bupati adalah Kepala Daerah
Kabupaten Jembrana.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Kajian: Lampiran II UU P3 97. Ketentuan umum dapat memuat
lebih dari satu pasal.
98. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau
definisi;
b. singkatan atau akronim
yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi
pasal atau beberapa pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas,
21
Daerah Kabupaten Jembrana. 5. Dinas adalah Dinas Pendidikan
Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Jembrana. 6. Wajib Belajar adalah program
pendidikan minimal yang harus
diikuti oleh seluruh warga masyarakat Kabupaten Jembrana
atas tanggung jawab Pemerintah
Daerah. 7. Rintisan adalah usaha paling awal
yang dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.
maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam
pasal atau bab.
99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi:
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan: 100. Frasa pembuka dalam ketentuan
umum peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis
peraturannya.
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim lebih dari
satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali
dengan huruf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik. 102. Kata atau istilah yang dimuat dalam
ketentuan umum hanyalah kata
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau
beberapa pasal selanjutnya.
103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan
dirumuskan kembali dalam
Peraturan Perundang-undangan
yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam Peraturan
Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut.
104. Rumusan batasan pengertian dari
suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan
rumusan Peraturan Perundang-
undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan
terkait dengan materi muatan yang
akan diatur.
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata
atau istilah itu diperlukan
pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata
atau istilah itu diberi definisi.
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di
dalam ketentuan umum suatu
peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau
definisi di dalam peraturan
pelaksanaan harus sama dengan
rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut.
22
107. Karena batasan pengertian atau
definisi, singkatan, atau akronim
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka
batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu
harus dirumuskan dengan lengkap
dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberi batasan pengertian
dalam ketentuan umum ditulis
dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang
diatur, penjelasan maupun dalam
lampiran.
109. Urutan penempatan kata atau
istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu
dari yang berlingkup
khusus; b. pengertian yang terdapat
lebih dahulu di dalam materi
pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan
yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di
atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Saran :
Terdapat beberapa perumusan dalam
ketentuan umum yang hanya sekali muncul dalam Pasal misalnya kata “dinas”
BAB II
FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Program wajib belajar berfungsi menumbuh
kembangkan kemampuan untuk membentuk watak serta peradaban yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pasal 3
Program wajib belajar bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang terampil, beriman dan
-
23
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang
demokratis sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional.
BAB III
PENYELENGGARAAN RINTISAN
WAJIB BELAJAR dua belas TAHUN
Pasal 4
Setiap warga Kabupaten Jembrana yang telah menyelesaikan wajib belajar 9
(sembilan) tahun diwajibkan mengikuti wajib
belajar 12 (dua belas) tahun.
Pasal 5
Orang tua dan masyarakat wajib berperan secara aktif mendukung penyelenggaraan
rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
Pasal 6 Pemerintah Daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan atas
terselenggaranya rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
1. Pelu pengkajian kembali terkait
perumusan norma Pasal 4
2. Perumusan norma dimaksud seharuskanya disusun dalam 2
Pasal
BAB IV
PENDANAAN
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah, orang tua dan
masyarakat secara bersama – sama bertanggung jawab atas pendanaan
pendidikan.
(2) Pemerintah Daerah memberikan subsidi untuk membiayai semua kebutuhan
pokok pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai kebutuhan pokok pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
1. Norma terkait dengan pendanaan
seharusnya disusun dengan jelas
mengingat dalam norma juga mengatur tentang beban keuangan daerah
2. Materi dalam ayat (2) tidak tepat
dituangkan mengingat adanya pendelegasian kewenangan dalam ayat
(2)
BAB V PENGAWASAN
Pasal 8 (1) Pemerintah Daerah, Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan
rintisan wajib belajar 12 (dua belas) tahun sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip
ejukatif, persuasif, transparan dan
akuntabel.
Bab pengawasan sebaiknya dilengkapi dengan pembinaan
1.
BAB VI 1. Pengenaan sanksi terkait dengan
24
SANKSI
Pasal 9
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 6 Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi
administrasi sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. (2) Apabila kemampuan daerah tidak
menjangkau maka Pasal 5 dikecualikan.
adanya kewajiban kepada pemerintah daerah perlu dikaji lebih
lanjut mengingat kewajiban masih
disesuaikan dengan beban keuangan daerah
2. Perumusan norma pada ayat (2)
sebaiknya menyesuaikan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
perundang-undangan.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10 Peraturan Daerah ini berlaku pada
tanggaldiundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana
orang mengetahuinya, memerintahkan
-
Ditetapkan di Negara pada tanggal 24 Mei 2006
BUPATI JEMBRANA,
I GEDE WINASA
Diundangkan di Negara
pada tanggal 29 Mei 2006 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA,
I GDE SUINAYA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN 2006 NOMOR 15.
Teknik perancangan seharusnya
berdasarkan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN
DAERAH
Dalam lingkup pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun, terdapat dua
komponen yaitu komponen yang sifatnya statis, dan komponen yang
sifatnya dinamis. Komponen yang sifatnya statis meliputi:
a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Wajib Belajar 12 Tahun;
25
b. Struktur atau kelembagaan dalam Wajib Belajar 12 Tahun;
c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Wajib Belajar 12
Tahun;
d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan
penyelenggaraan pendididkan;
e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Wajib Belajar 12
Tahun;
f. Ketenagaan;
g. Kekayaan; dan
h. Sanksi.
Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran pendidikan
yang sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan pendidikan yang
meliputi tata cara atau prosedur, yang antara lain meliputi:
a. Pendirian sekolah;
b. Pengisian kelembagaan pendidikan;
c. Pengambilan keputusan di dalam satuan pendidikan;
d. Kerja sama sekolah dengan institusi lain;
e. Status aset sekolah;
f. Pengawasan Wajib Belajar 12 Tahun;
g. Pengadaan ketenagaan;
h. Penggabungan dan pembubaran sekolah; dan
i. Pengalihan bentuk sekolah.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka adanya Peraturan
Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun ini tidak akan menimbulkan
dampak terhadap beban keuangan daerah, justru sebaliknya, akan ada
penambahan target penerimaan PAD dari sektor ini.
Dalam lampiran Perauran Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun
2008 Pengaturan terkait dengan pembiayaan pendidikan pembatasan
pengaturannya antara lain :
1. Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal sesuai kewenangannya.
26
2. Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai
kewenangannya
27
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA
Dalam penyelenggaraan praktek empiris pengatuan tentang wajib
belajar dua belas tahun di Kabupaten Jembrana diatur berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No 15 Tahun 2006 tentang Rintisan
Wajib Belajar dua belas tahun. Peraturan daerah yang dimaksud apabila
dikaji dalam praktek kekinian tidak bisa menampung kondisi
perkembangan dan kewenangan pengaturan.
Selain berdasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten jembrana No
15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar dua belas tahun, dalam
praktek penyelenggraan di Kabupaten Jembrana selama ini didasarkan
pada beberapa Peraturan Bupati, antara lain :
1. Peraturan Bupati Jembrana No 49 Tahun 2006 tentang Pemberian
Bea Siswa Kepada Siswa Yang tidak Mampu Pada Sekolah Swasta
Dan Siswa Berprestasi Pada Sekolah Negeri Maupun Swasta Di
Kabupaten Jembrana.
2. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Rintisan
WajibBelajar dua belasTahun.
3. Peraturan Bupati Jembrana No 50 Tahun 2006 tentang Subsidi
Biaya Pendidikan Pada TK, SD, SMA dan SMK Di Kabupaten
Jembrana.
4. Peraturan Bupati Jembrana No 25 Tahun 2008 tentang Pemberian
Bea Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Pertama ,
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuaran Umum dan
Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
5. Peraturan Bupati Jembrana No 4 Tahun 2009 tentang Pemberian
Bea Siswa Pendidikan Kepada Sekolah Menengah Umum, Sekolah
Menengah Kejuaran Umum dan Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
28
6. Peraturan Bupati Jembrana No 9 Tahun 2011 tentang Pemberian
Bea Siswa Pendidikan Kepada Mahasiswa Kabupaten Jembrana.
7. Peraturan Bupati Jembrana No 20 Tahun 2011 tentang Pemberian
Dana Hibah Kepada Sekolah Menengah Atas ( SMA) dan sekolah
Menengah Kejuruan Swasta Se Kabupaten Jembrana Berupa
Bantuan Operasional Dalam Rangka Rintisan Wajib Belajar 12
Tahun.
Dalam perkembangan pengaturan berdasarkan ketentuan Pasal 236
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan
Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
Kabupaten Jembrana belum memiliki Peraturan Daerah tentang Wajib
Belajar 12 Tahun, berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan
bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
Pasal 7 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program
wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya
berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat
(1). (3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Rencana
29
Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai
pendidikan menengah. (5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah. (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar yang
diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan memberikan sanksi administratif
kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.Pemerintah daerah adalah
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
Merujuk Pasal 34 UU No 20 Tahun 2003 dan Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 12 Tahun,
mengatur Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah masingmasing melalui
“Peraturan Daerah”. Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang
Wajib Belajar 12 Tahun.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana, yang menjadi
Kewenangan Kabupaten Jembrana. Dalam Bab II Urusan Pemerintahan
Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten. Dalam Pasal 4
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
Pemerintahan Daerah yang berhubungan dengan pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas 26
(dua puluh enam) urusan pemerintahan, meliputi bidang :
a. pendidikan; b. kesehatan;
30
c. …..
Dalam Lampiran Peraturan Daerah No 2 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembarana terkait dengan Kebijakan
Pendidikan mengatur bahwa :
1. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten
sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
2. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi
dan nasional.
3. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di
tingkat kabupaten.
4. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
nonformal.
5. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan
pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan
satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
6. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan
dasar bertaraf nasional dan internasional.
7. Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan
pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
8. Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis
keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
9. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan
perguruan tinggi.
10. Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan dasar dan
menengah bertaraf internasional.
11. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan
nasional untuk tingkat kabupaten.
31
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12 / 2011)
menentukan, Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik (Pasal 63 jo Pasal 56 ayat (2) UU 12
/ 2011). Perkataan “dan/atau” menunjukkan pilihan antara: (1) Rancangan
Peraturan Daerah disertai dengan keterangan (atau penjelasan) dan Naskah
Akademik; atau (2) Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
keterangan (atau penjelasan) atau Naskah Akademik. Pilihan kedua juga
memuat pilihan, memilh Naskah Akademik atau keterangan (atau
penjelasan).
Mengingat pentingnya posisi Wajib Belajar 12 Tahun baik terhadap
masyarakat maupun terhadap pemerintah, maka diperlukan penyusunan
Naskah Akademik.
B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
Materi Pokok Wajib Belajar 12 Tahun yang hendak diatur dalam
Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademiknya, mempunyai
keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tabel 6. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.
Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN
UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
PP No 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar 1. Ketentuan
Umum
2. Hak Dan Kewajiban
Pemerintah
Masyarakat, Orang
Tua, Dan
Peserta
Didik 3. Penyelengg
araan
4. Pengelolaan
5. Penjamina
n Wajib Belajar
6. Pendanaan
Pasal 236 ayat (1)
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Daerah mengatur
Untuk
menyelenggarakan
Otonomi Daerah dan
Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk
Perda
Pasal 34 menentukan
bahwa :
(5) Setiap warga
negara yang berusia
6 (enam) tahun dapat mengikuti
program wajib
belajar.
(6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin
terselenggaranya wajib belajar
minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
Pasal 7
(4… (5)Pemerintah
daerah dapat
mengatur lebih lanjut
pelaksanaan
program wajib
belajar, sesuai dengan kondisi
daerah
masingmasing melalui
Peraturan
Daerah. (6) Ketentuan
mengenai
32
Pendidikan 7. Pengawasa
n
8. Evaluasi 9. Sanksi
Administra
tif 10. Ketentuan
Peralihan
11. Ketentuan Penutup
(7) Wajib belajar merupakan
tanggung jawab
negara yangdiselenggarakan
oleh lembaga
pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah,
dan masyarakat. (8) Ketentuan
mengenai wajib
belajar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
pelaksanaan
Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, UU Pendidikan dan PP Wajib
Belajar
C. RENCANA PENGATURAN DARI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG WAJIB BELAJAR 12
TAHUN
Rencana pengaturan dari dalam Rancangan peraturan Daerah
tentang Wajib Belajar 12 Tahun. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
satu tujuan dalam pelaksanaan pembangunan. Upaya untuk mencapai
tujuan tersebut adalah dengan mengemas sedemikian rupa sehingga
seluruh masyarakat dapat menikmati pendidikan, meningat pendidikan
merupakan salah satu tujuan negara yang merupakan prioritas utama
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang merupakan
salah satu cara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna
mengadaptasi situasi dan kondisi yang selalu mengalami perubahan secara
dinamis. Berbagai permasalahan yang muncul terkait pendidikan, mulai
fasilitas pendidikan yang memprihatinkan sampai masalah mutu
pendidikan yang masih rendah. Ditambah lagi akses pendidikan yang saat
ini kurang dapat dinikmati oleh masyarakat karena masalah ekonomi
sehingga akan semakin membuka jurang pemisah dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses
pendidikan karena lemahnya faktor ekonomi menyebabkan kebodohan dan
keterbelakangan sehingga tentunya akan mengganggu laju pembangunan.
33
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada
istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang
mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap
Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,
yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi
syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.6
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan
(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.7
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai
dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa
norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan
pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya
masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,
pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih
oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide
mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan
diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh
Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah
satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin
6 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:
Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), hal. 147. 7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal.
19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961), hal. 36.
34
keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya
dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan
mereka satu sama lain.8
Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu
konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya
berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang
diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav
Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the
law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan
kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu
adalah:
1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu
suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki
keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang
berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia
maupun hubungan-hubungan diantara mereka.
2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu
tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-
pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang
hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama
tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan
dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi
kehidupan mereka.
3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif
dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka
apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus
diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau
petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan
diberlakukan.9
8 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19. 9 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies
Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109.
35
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan
kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,
yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:
1. Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles
tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan
sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan
pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.
Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus
menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.
3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,
keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.
Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian
yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-
pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur
relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,
hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.
Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan
lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus
diputuskan oleh sistem politik masing-masing.10
Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara
satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu
dengan yang lainnya.11 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang
demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang
berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi
kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah
10 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan
(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit
CV Rajawali, 1990), hal. 43. 11 Ibid., hlm. 109 -110.
36
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.12
Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.
Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3
(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
A. LANDASAN FILOSOFIS
Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Filosofis pendidikan pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social.
Perumusan landasan filosofis dalam Ranperda Wajib Belajar Dua
Belas Tahun :
bahwa dalam rangka meningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten
Jembrana, penyelenggaraan program Wajib Belajar Dua Belas Tahun
memberikan manfaat dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat
12 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20.
37
sebagaimana amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
B.LANDASAN SOSIOLOGIS
Unsur menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambunganPemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Perumusan landasan sosiologis dalam Ranperda Wajib Belajar Dua
Belas Tahun : bahwa keberadaaan wajib belajar di Kabupaten Jembrana
perlu diberikan kejelasan status dan kepastian hukum dalam sistem
Pemerintahan daerah demi mewujudkan keadilan bagi warga masyarakat
C.LANDASAN YURIDIS
Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Perumusan landasan yuridis dalam Ranperda Wajib Belajar Dua
Belas Tahun : bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15
Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun merupakan Peraturan
Daerah rintisan maka perlu ditingkatkan untuk memberikan arah dan
kepastian hukum yang jelas tentang pelaksanaan Wajib Belajar Dua Belas
Tahun kepada masyarakat.
38
D.RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur
filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan
undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur
tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan
materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan Wajib
Belajar 12 Tahun adalah pengaturan Wajib Belajar 12 Tahun mendasarkan
pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis,
sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan.
39
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Wajib Belajar 12
Tahun Wajib Belajar 12 Tahun daerah bukan merupakan sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Dalam Wajib Belajar 12 Tahun.Berdasarkan uraian
tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis bahwa pendidikan harus
mampu menjamin pemerataan kesempata pendidikan, peningkatan mutu
serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional,
dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah
membuat Peraturan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan
dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum Wajib
Belajar 12 Tahun di Kabupaten Jembrana.
Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan
kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku
kepentingan dalam Wajib Belajar
40
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TENTANG
WAJIB BELAJAR dua belas TAHUN
A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN
Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid
S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.13 Pada
tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi
muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan
diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda
Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der
wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, Attamimi mengatakan :
“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama
kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh
penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam
ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis
menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-
undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-
mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan
undang-undang”.14
Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan
perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus
diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan
dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan
perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara
berjenjang dan berbeda-beda.15 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama
bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi
13 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, hal. 193-194. 14 Ibid. 15 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, hal. 90.
41
muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan
berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula
yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam
Peraturan Presiden.16
Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi
kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya
dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.17 Dengan demikian
istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan
undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan
.Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan
pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan
dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang
bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U
menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang
lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang
mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum
dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas
Tahun adalah:
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
16 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia
Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan Jakarta, h 62. 17 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung
hal. 53.
42
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)
B. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
1. Nama Peraturan Daerah
Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa
:Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008
tentang Wajib Belajar mengatur bahwa : Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program
wajib belajar berdasarkan kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). Perumusan Norma Judul Perda harus didasarkan pada lampiran
angka 2 dan angka 3 lampiran II UU no 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan tersebut, maka Penamaan
seharusnya diintegrasikan ke dalam nama Peraturan
Perundangundangan,yang merupakan bagian dari Judul Peraturan
43
Perundangundangan. Dengan demikian, nama Peraturan Daerah yang
sedang dirancang sekaligus memuat nama :
BUPATI JEMBRANA
PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
2. Ketentuan Umum
Penting mengingat kembali sejumlah ketentuan dalam perumusan
Ketentuan Umum. Angka 98 Lampiran II UU 12/2011 menentukan
Ketentuan Umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. b.singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka dalam Ketentuan Umum
penting dirumuskan batasan pengertian atau definisi, antara lain:
1. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti
oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
2. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas (SMA) atau
bentuk lain yang sederajat. 3. Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.
4. … 5. … 6. …
44
3. Hak Dan Kewajiban Pemerintah Masyarakat, Orang Tua, Dan Peserta
Didik
Dalam penyelenggaraan Wajib Belajar Dua Belas Tahun
mengandung norma hukum tentang pengaturan tentang Hak Kewajiban
Pemerintah, Masyarakat, Orang Tua dan Peserta Didik dengan formulasi
perumusan norma hukum :
Pemerintah daerah berkewajiban : a. memberikan pelayanan kemudahan serta menjamin berlangsungnya
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu; b. menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya wajib belajar Dua
Belas tahun; c. melaksanakan standar nasional pendidikan.
Masyarakatselain berkewajiban untuk mendukung Wajar dua belas tahun
juga berhak: a. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan program wajib belajar; b. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program wajib
belajar12 (DUA BELAS) Tahun; dan memperoleh pendidikan wajib belajar 12 (DUA BELAS) tahun
Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya
4. Penyelenggaraan
Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan Wajib Belajar Dua
Belas Tahun Wajib belajar diselenggarakan pada jalur pendidikan meliputi :
a. pendidikan formal; b. pendidikan nonformal; dan c. pendidikan informal.
Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar
yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, SMA,..... dan bentuk lain yang sederajat.
5. Pengelolaan
Bupati bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikan wajib
belajar 12 (DUA BELAS) Tahun di tingkat Kabupaten.Pimpinan satuan
pendidikan bertanggujawab terhadap pengelolaan pendidikan wajib belajar
12 (DUA BELAS) Tahun di tingkat satuan pendidikan dasar
6. Penjaminan Wajib Belajar
45
Pengaturan tentang adanya jaminan tentang pelaksaan kegiatan wajib
belajar dua belas tahun oleh pemerintah daerah menjamin tanpa
memungut biaya. Setiap warga masyarakat usia wajib belajar wajib
mengikuti program wajib belajar dua belas tahun. Setiap warga
masyarakat yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab
memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya. Pemerintah
Daerah mengupayakan setiap warga masyarakat mengikuti program
wajib belajar dua belas tahun
7. Pendanaan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan beban keuangan daerah yang ditunjukkan
dengan adanya kesanggupan dari pemerintah daerah untuk
menanggung biaya dalam penyelenggaraan wajib belajar dua belas tahun
menujukkan adanya sumber pendanaan yang pasti dengan perumusan
norma hukum :
(1) Pendanaan pendidikan bersumber dari pemerintah daerah dan masyarakat.
(2) Pendanaan pendidikan pada satuan pendidikan berupa : a. biaya investasi;
b. biaya operasi; c. bantuan biaya pendidikan; dan
d.beasiswa
8. Pengawasan
Pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/madrasah
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan program wajib belajar dua
belas tahun sesuai kewenangan masing-masing.Pemerintah daerah
melaksanakan pengawasan penyelenggaraan program wajib dua belas
tahun belajar pada satuan pendidikan
9. Evaluasi
Pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program
wajib belajar 12 (DUA BELAS) Tahun secara berkala. Evaluasi terhadap
pelaksanaan program wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi:
a. tingkat pencapaian program wajib belajar; b. pelaksanaan kurikulum pendidikan dasar; c. hasil belajar peserta didik; dan
d. realisasi anggaran.
46
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan
kepada Menteri. Evaluasi terhadap pelaksanaan program wajib belajar dua
belas tahun dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang didirikan
masyarakat sesuai Standar Nasional Pendidikan
10. Sanksi Administratif
Perumusan norma hukum dalam sanksi administrasi penyelenggara
program wajib belajar yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pengaturan dalam Pasal 12 ayat (2) dikenakan sanksi administrasi
berupa teguran, penghentian pemberian bantuan hingga penutupan satuan
pendidikan yang bersangkutan
11. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan
hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
d.perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
e.mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara
Perumusan norma hukum dalam Rencana Peraturan Daerah : Pada saat
Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun
2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 (DUA BELAS) Tahun (Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku
12. Ketentuan Penutup
Tanggal mulai berlakunya diintegrasikan ke dalam struktur
Peraturan Daerah, yakni ke dalam Ketentuan Penutup. Angka 137 huruf d
Lampiran II UU 12/2011 menentukan pada umumnya Ketentuan Penutup
memuat ketentuan, antara lain, mengenai saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
47
Angka 150 huruf d Lampiran II UU 12/2011 menentukan pada dasarnya
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan
Perundang-undangan tersebut diundangkan. Contoh: a. Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. b. Peraturan Menteri ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam
perancangan Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar Dua Belas Tahun ,
rumusan Ketentuan Penutup adalah: Peraturan Daerah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan
48
BAB VI PENUTUP
A. Rangkuman
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat
ditarik konklusi bahwa Kabupaten Jembrana belum mempunyai
Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar dua belas Tahun. Berdasarkan
keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek empiris, maka
perlu disusun Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar dua belas Tahun.
Dasar kewenangan pendelegasian kewenangan mengatur diatur dalam
1. Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Dalam
kaitannya dengan pendidikan berdasarkan
2. Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa :
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yangdiselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar (1) Pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan
program wajib belajaryang dicantumkan dalam Rencana
Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
49
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan
program wajib belajar berdasarkan kebijakan nasionalsebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan program wajib belajar oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah.
(4) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai
pendidikan menengah. (5) Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan
kondisi daerah masingmasing melalui Peraturan Daerah. (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan program wajib belajar
yang diatur oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk kewenangan
memberikan sanksi administratif kepada warga negara Indonesia yang memiliki anak berusia 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas) tahun yang tidak mengikuti
program wajib belajar
Adanya kewenangan Pemerintah daerah dapat mengatur lebih lanjut
pelaksanaan program wajib belajar, sesuai dengan kondisi daerah
masingmasing melalui Peraturan Daerah.
B. Saran
1. Menyiapkan segera Peraturan Bupati sebagai bentuk pendelegasian
kewenangan mengatur
2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana tentang Wajib Belajar 12
Tahun, sesuai dengan asas keterbukaan dan ketentuan tentang
partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354
ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU
Pemerintahan Daerah 2004. Pasal partisipasi masyarakat dalam
bentuk :
a. konsultasi publik;
50
b. musyawarah; c. kemitraan;
d. penyampaian aspirasi; e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan erundang-undangan
51
DAFTAR PUSTAKA
Astawa Gede Pantje & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung.
Attamimi; A. Hamid S. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-
undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005).
Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996). Delors, Jacques 1996, “Learning: The Treasure Within” dikutip dari Ali
Muhdi Amnur (ed), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Pustaka
Fahima, Yogyakarta.
Friedmann, W. Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli:
Legal Theory, (Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1990). H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, “Kebijakan Pendidikan (Pengantar Untuk
Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik)”Pustaka Pelajar.
Suhartono, Suparlan 2005, Filasat Pendidikan AR-RUZZ Media.
Sirozi, M Politik pendidikan, “ Dinamika Hubungan Antara kepentingan Kekuasaan dan Praktik Wajib Belajar 12 Tahun” , 2005, Raja
Grafindo Persada. Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, (Sttugart: K.F. Koehler, 1961).
Radbruch, Gustav “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard
University Press, 1950) Martosoewignjo, Sri Sumantri & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan
Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke
UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta. Widjaja, Rosjidi Rangga 1998, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju
Bandung. Wija Atmaja, Gede Marhaendra”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan
Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995).
52
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 4301 )
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 5587 )
Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan Dan Wajib Belajar 12 Tahun
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Jembrana Lembaran Daerah Tahun
2008 Nomor 2
53
LAMPIRAN PERATURAN DAERAH :
BUPATI JEMBRANA
PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEMBRANA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatan kualitas
pendidikan di Kabupaten Jembrana, penyelenggaraan program wajib belajar 12 Tahun memberikan manfaat
dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat sebagaimana amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa keberadaaan wajib belajar di Kabupaten Jembrana perlu diberikan kejelasan status dan
kepastian hukum dalam sistem Pemerintahan daerah demi mewujudkan keadilan bagi warga masyarakat;
c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun merupakan Peraturan Daerah rintisan
maka perlu ditingkatkan untuk memberikan arah dan kepastian hukum yang jelas tentang pelaksanaan
wajib belajar 12 Tahun kepada masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Wajib Belajar 12 Tahun.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
54
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1555);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5657);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4496) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5410);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
55
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4737);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4863);
7. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan Dan
Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 665);
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor ....
Tahun ....... tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten Jemdrana,
(Lembaran Daerah.... Tambahan Lembaran Daerah Nomor .....);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15
Tahun 2006 Tentang Rintisan Wajib Belajar 12
Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Jembrana Nomor 15).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA dan
BUPATI JEMBRANA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 7. Kabupaten adalah Kabupaten Jembrana.
8. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Jembrana.
56
9. Bupati dalah Bupati Jembrana. 10. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana. 11. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus
diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
12. Pendidikan Dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas
(SMA/MA/SMK) atau bentuk lain yang sederajat. 13. Sekolah Dasar yang selanjutnya disebut SD adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.
14. Madrasah Ibtidaiyah yang selanjutnya disebut MI adalah salah satu
bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang
pendidikan dasar, di dalam pembinaan Menteri Agama. 15. Sekolah Menengah Pertama yang selanjutnya disebut SMP adalah
salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.
16. Madrasah Tsanawiyah yang selanjutnya disebut MTs adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain
yang sederajat, di dalam pembinaan Menteri Agama. 17. Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disebut SMA adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat.
18. Program paket A adalah program pendidikan dasar jalur nonformal yang setara SD.
19. Program paket B adalah program pendidikan dasar jalur nonformal yang setara SMP.
20. Program paket C adalah program pendidikan dasar jalur nonformal
yang setara SMA. 21. Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
22. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
23. Pendidikan Informal adalah Kegiatan pendidikan dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
24. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap
57
jenjang dan jenis pendidikan.
10. Masyarakat…. 11. Orang Tua…
12. Peserta Didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses Pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 13. Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan
yang diperlukan untuk pengelolaan satuan pendidikan dasar.
58
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH MASYARAKAT, ORANG TUA, DAN PESERTA DIDIK
Bagian kesatu Hak dan Kewajiban Pemerintah
Pasal 2
Pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan.
Pasal 3 Pemerintah daerah berkewajiban :
d. memberikan pelayanan kemudahan serta menjamin berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu;
e. menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya wajib belajar dua belas tahun;
f. melaksanakan standar nasional pendidikan.
Bagian kedua Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 4
Masyarakat berhak: c. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi terhadap penyelenggaraan program wajib belajar; d. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program
wajib belajar dua belas Tahun; dan e. memperoleh pendidikan wajib belajar dua belas tahun.
Pasal 5
Setiap warga masyarakat berkewajiban mendukung penyelenggaraan Pendidikan wajib belajar dua belas tahun.
Bagian ketiga
Hak dan Kewajiban orang tua Pasal 6
Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
Pasal 7
Orang tua berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
59
Bagian keempat
Hak dan Kewajiban peserta didik Pasal 8
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi;
d. mendapatkan biaya pendidikan; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan
lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas
waktu yang ditetapkan. Pasal 9
(1) Setiap peserta didik berkewajiban : a. Menjaga norma-norma pendidikan, menjamin keberlangsungan
proses dan keberhasilan pendidikan; b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan
pendidikan.
BAB III PENYELENGGARAAN
Pasal 10
Pemerintah daerah menyelenggarakan Program wajib belajar dua belas
sesuai kewenangannya.
Pasal 11
(1) Wajib belajar diselenggarakan pada jalur pendidikan meliputi : d. pendidikan formal; e. pendidikan nonformal; dan
f. pendidikan informal. (2) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, SMA,MA dan
bentuk lain yang sederajat. (3) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur nonformal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui program
paket A, program paket B, program paket C dan bentuk lain yang
60
sederajat. (4) Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur pendidikan informal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pendidikan keluarga dan/atau pendidikan lingkungan.
Pasal 12
(1) Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar
berkewajiban menjaga keberlangsungan pelaksanaan program wajib belajar yang bermutu dan memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
(2) Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar wajib menerima peserta didik program wajib belajar dari lingkungan
sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Penerimaan peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pada SD/MI atau yang sederajat tidak mempersyaratkan bahwa calon peserta didik yang bersangkutan telah menyelesaikan
pendidikan anak usia dini.
BAB IV PENGELOLAAN
Pasal 13
(1) Bupati bertanggung jawab terhadap pengelolaan pendidikan wajib
belajar 12 Tahun di tingkat Kabupaten. (2) Pimpinan satuan pendidikan bertanggujawab terhadap pengelolaan
pendidikan wajib belajar 12 Tahun di tingkat satuan pendidikan dasar.
BAB V PENJAMINAN WAJIB BELAJAR
Pasal 14
(1) Pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar 12 tahun tanpa memungut biaya.
(2) Warga masyarakat yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti
program wajib belajar apabila daya tampung satuan pendidikan masih memungkinkan.
(3) Warga negara masyarakat yang belum lulus pendidikan dasar dan menengah dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas
biaya pemerintah daerah. (4) Warga masyarakat usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak
mampu membiayai pendidikan, pemerintah daerah wajib bantuan
biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Setiap warga masyarakat usia wajib belajar wajib mengikuti
61
program wajib belajar 12 Tahun. (2) Setiap warga masyarakat yang memiliki anak usia wajib belajar
bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya.
(3) Pemerintah Daerah mengupayakan setiap warga masyarakat mengikuti program wajib belajar 12 Tahun.
BAB VI
PENDANAAN PENDIDIKAN
Pasal 16
(3) Pendanaan pendidikan bersumber dari pemerintah daerah dan masyarakat.
(4) Pendanaan pendidikan pada satuan pendidikan berupa : a. biaya investasi; b. biaya operasi;
c. bantuan biaya pendidikan; dan d. beasiswa.
Pasal 17
Sumber dana pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah daerah berupa :
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya;
d. sumbangan dari pemangku kepentingan pendidikan dasar di luar peserta didik atau orang tua/walinya;
e. bantuan lembaga lainnya yang tidak mengikat; f. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau g. sumber lain yang sah.
Pasal 18
Sumber dana pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang
diselenggarakan oleh masyarakat: a. bantuan dari penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan;
b. pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya;
c. bantuan dari masyarakat di luar peserta didik atau orang tua/walinya; d. bantuan pemerintah daerah;
e. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; f. bantuan lembaga lain yang tidak mengikat; g. hasil usaha penyelenggara atau satuan pendidikan; dan/atau
h. sumber lain yang sah.
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 19
62
(1) Pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan komite
sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan program wajib belajar 12 Tahun sesuai kewenangan masing-
masing. (2) Pemerintah daerah melaksanakan pengawasan penyelenggaraan
program wajib 12 Tahun belajar pada satuan pendidikan.
BAB VIII
EVALUASI Pasal 20
(1) Pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
program wajib belajar 12 Tahun secara berkala. (2) Evaluasi terhadap pelaksanaan program wajib belajar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. tingkat pencapaian program wajib belajar; b. pelaksanaan kurikulum pendidikan dasar;
c. hasil belajar peserta didik; dan d. realisasi anggaran.
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Menteri.
(4) Evaluasi terhadap pelaksanaan program wajib belajar 12 Tahun
dapat dilakukan oleh lembaga evaluasi mandiri yang didirikan masyarakat sesuai Standar Nasional Pendidikan.
BAB IX
SANKSI ADMINISTRASI Pasal 21
Satuan pendidikan dasar penyelenggara program wajib belajar yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
dikenakan sanksi administrasi berupa teguran, penghentian pemberian bantuan hingga penutupan satuan pendidikan yang bersangkutan.
BAB X
KETENTUANPERALIHAN
Pasal 22
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun (Lembaran
Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 15), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
63
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana.
Ditetapkan di Jembrana
Pada tanggal ...........................
BUPATI JEMBRANA,
.............................................
Diundangkan di Jembrana Pada tanggal ..................... SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN
JEMBRANA,
.................................................................
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN..........NOMOR.....
Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN HUKUM,
................................................. NIP..................................
.
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA,PROVINSI BALI: (NOMOR URUT PERDA/TAHUN)
64
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA
NOMOR ............ TAHUN............
TENTANG
WAJIB BELAJAR 12 TAHUN
I. UMUM
Program wajib belajar merupakan gerakan nasional yangwajib
dilaksanakan pemerintah daerah, dan masyarakat di Kabupaten
Jembrana.
Pemerintah Kabupaten Jembrana berkewajiban untuk
menyelenggarakan Program wajib belajar 12 Tahun. Penyelenggaraan
Program wajib belajar 12 (Dua Belas Tahun) sangat bermanfaat bagi
masyarakat dengan alasan untuk memberikan pelayanan pendidikan
dasar seluas-luasnya kepada masyarakat Kabupaten Jembrana tanpa
membedakan latar belakang agama, suku, sosial, budaya, dan ekonomi.
Setiap masyarakat usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan yang bermutu dan orang tua/walinya berkewajiban
memberi kesempatan kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan
dasar.
Program wajib belajar 12 Tahun diselenggarakan pada satuan
pendidikan dasar yang mencakup pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal serta harus dapat menampung anak yang
normal maupun yang berkelainan dan/atau mempunyai hambatan
dalam perkembangannya. Peraturan tentang program wajib belajar 12
Tahun mencakup hak dan kewajiban masyarakat dan tanggung jawab
pemerintah daerah.
Di Kabupaten Jembrana telah ada Peraturan Daerah Kabupaten
Jembrana Nomor 15 Tahun 2006 tentang Rintisan Wajib Belajar 12
65
Tahun yang hanya merupakan Peraturan Daerah rintisan, dalam arti
tidak berlaku wajib untuk semua masyarakat. Dengan demikian maka
perlu ditingkatkan agar peraturan daerah ini dapat memberikan arah
dan kepastian hukum yang jelas tentang kewajiban pemerintah dan
masyarakat dalam pelaksanaan wajib belajar 12 Tahun.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan mendukung penyelenggaraan Pendidikan wajib belajar 12 tahun, antara lain: a. sebagai orangtua memberikan pendidikan dasar bagi anaknya
yang sesuai program wajib belajar; b. berperanserta dalam bentuk pemberian dukungan sumberdaya
(dana sarana dan prasarana, tenaga, penyelenggaraan, manajemen) menjadi orang tua asuh.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
66
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
67
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR …….