muslim uighur juga bisa berlebaran - gelora45.com · "ini masakan khas kita," kata...
TRANSCRIPT
1
Muslim Uighur juga bisa berlebaran
Sabtu, 25 Mei 2019 11:48 WIB
Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian memberikan keterangan kepada pers usai
membuka acara buka puasa bersama di Kedutaan Besar China di Jakarta,
Jumat (24/5/2019). (ANTARA/Azizah Fitriyanti)
Hari libur hanya untuk Muslim, bukan hari libur nasional
Jakarta (ANTARA) - Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian mengatakan Muslim
etnis Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang memiliki hari libur Idul Fitri untuk merayakan
berakhirnya bulan puasa Ramadhan seperti umat Islam lainnya.
"Muslim di Xinjiang juga punya hari libur Idul Fitri, yang juga dirayakan Muslim di China
dari etnis lainnya. Hari libur hanya untuk Muslim, bukan hari libur nasional," katanya usai
membuka acara buka puasa bersama di Kedubes China di Jakarta, Jumat (24/5).
Dubes Xiao menjelaskan China memiliki lebih dari 50 etnis minoritas yang memiliki hari
libur khusus yang dirayakan kalangan mereka sendiri, termasuk etnis Uighur dan warga
China Muslim lainnya yang merayakan Idul Fitri.
"Idul Fitri merupakan satu hari libur spesial, hanya untuk Muslim," ujar mantan Dubes
China untuk Hungaria itu.
Terkait suasana Ramadhan di China, khususnya di Xinjiang, dia menjelaskan bahwa
muslim di sana juga menjalankan puasa dan ibadah lainnya saat Ramadhan seperti umat
2
Islam lainnya di seluruh dunia.
"Tentu saja, sama seperti di Indonesia, 23 juta Muslim di China juga berpuasa Ramadhan,
termasuk di Xinjiang," ujar diplomat yang sudah bertugas di benua Asia, Afrika, Eropa,
dan Amerika itu.
Menurut dia, sekitar 1.4 juta Muslim Uighur di XinJiang bebas menjalankan puasa dan
ibadah lainnya di bulan Ramadhan.
Pernyataan tersebut disampaikan Xiao untuk menepis pemberitaan atau pandangan
bahwa pemerintah China menghalangi Muslim Uighur untuk menjalankan ibadah mereka.
***3***
Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: M. Irfan Ilmie
Laporan dari Xinjiang
Geliat Islam di Xinjiang (Bagian 1)
Kamis, 10 Januari 2019 16:58 WIB
Bangunan masjid megah berdiri di tengah pusat perbelanjaan Xinjiang International Grand Bazaar di
Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, yang padat pengunjung, Kamis (3/1/2019). Daerah berpenduduk utama
etnis minoritas muslim Uighur itu merupakan salah satu tujuan wisata favorit di China pada musim gugur
dan musim dingin.
3
Siapa saja boleh ke Xinjiang. Di sini banyak objek wisata menarik yang tidak kalah
dengan di berbagai tempat lainnya
Bandar udara internasional Diwopu di Kota Urumqi baru beberapa hari yang lalu dibuka
kembali setelah sempat mengalami penutupan akibat hujan salju dalam intensitas tinggi
di wilayah barat China.
Landasan pacu dan landas langsir satu-satunya bandara internasional di Ibu Kota Daerah
Otonomi Xinjiang itu sudah bisa didarati dan dilalui berbagai jenis pesawat dengan aman.
Di beberapa bagian berselimutkan salju kira-kira seukuran betis hingga lutut orang
dewasa. Tumpukan salju itu tidak mudah terurai selama suhu udara tidak kunjung turun
dari level 15 di bawah 0 dejarat Celcius.
Jalan-jalan utama di Urumqi pada Kamis (3/1/2019) siang relatif sepi. Sama sepinya
dengan suasana di dalam satu-satunya kereta bawah tanah (MRT) di Xinjiang. MRT yang
baru 1,5 tahun beroperasi itu hanya melintas di ruas jalur Bandara Diwopu-Balou
sepanjang 17 kilometer.
Secara sederhana dapat dinilai bahwa pembangunan di Xinjiang masih tertinggal
dibandingkan dengan daerah otonomi atau provinsi lain di daratan Tiongkok.
Indikator lain dapat dilihat dari postur ekonomi. GDP Xinjiang pada 2017 hanya 1,09
triliun RMB sehingga cukup bercokol di peringkat ke-26 dari 32 daerah otonomi dan level
provinsi di China.
Namun pendapatan perkapita Xinjiang masih lumayan berada pada posisi ke-21 dengan
45.099 RMB, di atas Sichuan (44.651 RMB) dan di bawah Jiangxi (45.187 RMB).
Islam-Komunis
Sebagian besar bangunan di wilayah paling barat China itu bergaya Timur-Tengah. Mulai
kantor pemerintahan, sekolahan, hotel, rumah makan, sampai apartemen pun kental
nuansa kearab-araban, senada dengan tulisan dan papan petunjuk jalan yang
menggunakan aksara Uighur berpadu dengan Hanzi.
Sekilas abjadnya mirip dengan huruf Arab. Tapi jika dicermati rangkaian huruf demi
huruf, tulisan Uighur itu pelafalannya tidak seperti Arab. Hampir sama dengan Arab
Pego yang diartikulasikan dalam bahasa Jawa oleh kalangan santri tradisional untuk
4
membedah kitab klasik.
Ornamen kubah dengan warna hijau dan kuning emas yang melambangkan budaya Islam
yang sangat lekat dengan Xinjiang, berpadu dengan warna merah menyala sebagai
identitas Partai Komunis yang berkuasa di China.
Baliho dan videotron dari berbagai ukuran yang menampilkan gambar Presiden Xi Jinping
dalam berbagai aktivitas juga menghiasi beberapa tempat strategis.
Palu dan arit berwarna merah sebagai lambang Partai Komunis China (PKC) juga
bertebaran, termasuk dalam bentuk tiga dimensi di atas gedung bertingkat milik partai
itu. Di berbagai daerah lain di China sangat jarang kantor sekretariat PKC dilengkapi
dengan logo palu arit tiga dimensi berukuran besar di atap gedung seperti yang terlihat
di Urumqi itu.
Lalu lintas di Urumqi relatif lancar dan tertib. Tidak terlihat kepadatan kendaraan
bermotor yang sangat berarti. Demikian juga dengan trotoar, tidak banyak terlihat para
pejalan kaki.
Tidak diketahui pasti apakah memang pada musim dingin seperti sekarang ini orang malas
keluar atau memang pada Kamis (3/1/2019) hingga Minggu (6/1/2019) suasana menjadi
sepi karena ada lima wartawan asing yang mengunjungi Xinjiang.
Padahal sebelumnya beberapa media China menurunkan laporan jika Xinjiang telah
mengalami "booming" pariwisata sejak September 2018. Pemerintah China juga
menyatakan bahwa Xinjiang bukan daerah tertutup seperti anggapan banyak orang
selama ini.
Aksesnya pun banyak pilihan, terutama penerbangan langsung dari Beijing dan beberapa
kota besar lain di China, juga Pakistan dan Kazakshtan.
Xinjiang juga dapat dicapai dengan perjalanan darat dari Beijing melalui jalan tol dan
kereta api dengan melintasi Gurun Gobi yang menawan dengan waktu tempuh 24 hingga
35 jam.
"Siapa saja boleh ke Xinjiang. Di sini banyak objek wisata menarik yang tidak kalah
dengan di berbagai tempat lainnya," kata Deputi Direktur Hubungan Luar Negeri dan
Pusat Pers Internasional (IPC) Kementerian Luar Negeri China, Liu Chang, di Urumqi.
5
Berbeda dengan Gansu yang juga banyak dihuni kaum muslim seperti Xinjiang. Di provinsi
tetangga Xinjiang itu masih banyak orang lalu-lalang mengenakan busana
muslim/muslimah di jalanan dan pusat keramaian lainnya. Di Xinjiang siang itu, kesan
tersebut tak tertangkap.
Para pedagang cendera mata memainkan alat musik tradisional etnis Uighur untuk
menarik minat para pengunjung Xinjiang International Grand Bazaar di Kota Urumqi,
Daerah Otonomi Xinjiang, Kamis (3/1/2019). Daerah berpenduduk utama etnis minoritas
muslim Uighur itu menjadi salah satu tujuan favorit wisata di China pada musim gugur
hingga musim dingin. (M. Irfan Ilmie)
Tapi ternyata korelasi antara situasi tersebut dengan kedatangan lima wartawan asing,
termasuk Antara, tidak sepenuhnya tepat karena didapati situasi yang berbeda di
Xinjiang International Grand Bazaar.
Pusat perbelanjaan berbagai jenis makanan khas, cendera mata, dan alat musik
tradisional Uighur itu merupakan salah satu tujuan wisata yang wajib dikunjungi siapa
saja yang menginjakkan kaki di daerah level provinsi berpenduduk sekitar 22 juta jiwa
itu.
Di tengah trotoar yang menawarkan beraneka macam barang tersebut berdiri megah
bangunan masjid bergaya Timur-Tengah dengan kubah utama yang diapit tiga menara.
Di depan pintu gerbang terdapat tiga tiang yang mengibarkan bendera nasional China
berwarna merah dengan gugusan lima bintang pada bagian sudutnya.
6
Beberapa meter dari masjid, sekelompok pemusik memainkan irama gambus dan rebana
dengan nada rancak mengiringi para penari pria dan wanita di depan kerumunan para
pengunjung.
Para penari menghibur pengunjung Xinjiang International Grand Bazaar di Kota Urumqi,
Kamis (3/1/2019). (M. Irfan Ilmie)
Dalam hitungan menit, satu hingga dua orang pengunjung bazar turut menggoyangkan
badan mengikuti gerakan gemulai tiga orang penari perempuan yang mengenakan baju
tertutup lengkap dengan penutup kepala yang memperlihatkan sebagian rambutnya.
Para pedagang tak kalah atraktifnya menawarkan berbagai jenis cendera mata dan
makanan khas seperti roti canai, kurma, dan daging-dagingan yang didominasi oleh
kambing dengan bahasa lokal, Mandarin, bahkan Inggris karena Grand Bazaar juga
dikunjungi oleh wisatawan asing.
Untuk menarik pembeli, beberapa pedagang sengaja memainkan alat musik tradisional
mereka sambil bernyanyi dengan bahasa mereka sendiri. Siang itu Urumqi nampak tak
berbeda dengan kota-kota wisata lain di seluruh penjuru dunia, kisah tentang "kamp
konsentrasi", jejak bentrok berdarah dan penindasan seakan menguap di sepotong jalan
tersebut.
Lorong pelapak berujung di tenda besar warna putih. Suasana di dalam tenda penuh
sesak. Tidak satu pun meja dan kursi tersisa. Suasana di dalam tenda yang dilengkapi
dengan pemanas itu makin hangat mana kala sekelompok seniman menyajikan musik
gambus lengkap dengan para penarinya.
Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa nampan tertutup. Begitu dibuka
7
tudungnya, tampak seekor kambing muda meringkuk siap santap.
Mengejutkan memang karena sekilas bentuknya mengerikan karena kaki dan tubuh
sampai leher dibiarkan utuh, tapi dagingnya sangat lezat dan empuk.
"Ini masakan khas kita," kata seorang pelayan sambil mempersilakan para wartawan asing
memulai santap malam dengan seekor kambing muda seberat 12 kilogram yang sudah
dimasak itu dengan harga 150 RMB (Rp315.000) per kilogram yang menggugah selera di
atas meja saji itu. (Bersambung)
Geliat Islam di Xinjiang (Bagian 2)
Kamis, 10 Januari 2019 17:18 WIB
Sejumlah pengunjung di depan Masjid Etigar, Kota Kashgar, Xinjiang, Jumat (4/1/2019) (M. Irfan Ilmie)
Kami belajar Alquran, ilmu Hadis, dan fikih selain juga belajar Bahasa Arab
"Hubbul wathan minal iman"
Seorang guru terdengar melafalkan tulisan kapur di papan yang ditirukan oleh beberapa
murid di salah satu ruang kelas di kampus Institut Islam Xinjiang (XII)
Potongan hadis Nabi Muhammad SAW yang berarti mencintai negara merupakan
sebagian dari iman itu dibaca berulang-ulang oleh para pelajar putra berusia 20 tahun ke
atas yang semuanya mengenakan kopiah tradisional mereka yang berbentuk persegi
dengan empat sudut lengkung.
8
Hadis lain dan ayat Alquran tentang persatuan dan rasa saling mengenal antara satu
dengan yang lain dibaca keras-keras oleh para pelajar dengan bimbingan seorang guru
saat Antara dan empat awak kantor berita asing lainnya memasuki ruang kelas dengan
dipandu Imam Abdur Raqib sebagai tokoh umat Islam Xinjiang.
Selesai pelajaran di kelas, mereka bergegas menuju masjid yang terletak tidak jauh dari
gedung perkuliahan di dalam kompleks XII di Kota Urumqi itu.
Di dalam bangunan yang sebagian atapnya berselimutkan salju itu, ternyata sudah banyak
jemaah lainnya.
Setelah suara azan dikumandangkan diikuti dengan ikamah, Imam Raqib pun melangkah
ke mihrab untuk memimpin jamaah shalat Ashar pada Kamis (3/1/2019).
Cara jamaah menyibakkan diri dengan memberikan jalan bagi imam yang hendak
melangkah dari pintu masjid menuju mihrab sama persis dengan tradisi para santri di
pesantren-pesantren salaf.
Bedanya, di pesantren salaf di Jawa, para santri rela membeberkan sajadahnya agar
diinjak sang kiai saat berjalan menuju lokasi pengimaman demi mendapatkan berkah. Di
Xinjiang para penuntut ilmu tidak membawa sajadah karena karpet di masjid sangat
tebal, sama dengan masjid-masjid lainnya di daratan Tiongkok sehingga makmum
bersajadah itu tidak lazim.
Tidak ada doa atau wirid seusai shalat, jemaah hanya duduk beberapa menit sebelum
bubar. Namun secara umum tata cara shalat di Xinjiang tidak beda jauh dengan di
Indonesia karena mayoritas dari mereka juga beraliran Sunni.
"Kami di sini berpatokan pada Alquran dan Hadis Nabi. Untuk mazhab, kebanyakan dari
kami menganut Abu Hanifah (Imam Hanafi)," kata Raqib.
Sampai saat ini di kampus XII terdapat 238 pelajar yang kebanyakan berasal dari dalam
wilayah Xinjiang sendiri untuk belajar agama Islam dengan rentang waktu antara enam
bulan hingga enam tahun tergantung strata.
XII memiliki delapan cabang di Xinjiang dengan jumlah pelajar secara keseluruhan
sebanyak 1.200 orang. Sebagai satu-satunya lembaga yang mencetak para imam dan
pemuka agama Islam di Xinjiang, XII mendapatkan akreditasi dari pemerintah.
9
Kebanyakan para pelajar XII yang berasal dari berbagai daerah perbatasan dengan
Kazakhstan, Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan itu
mendapatkan bantuan pembiayaan sekolah, akomodasi, dan uang jajan dari pemerintah
China.
Para pelajar mengkaji ilmu agama di Institut Islam Xinjiang di Kota Urumqi, Xinjiang,
Kamis (3/1/2019) (M. Irfan Ilmie)
Calon Imam
Fasilitas di dalam kampus pun memadai, termasuk sarana dan prasarana beribadah serta
terlindunginya berbagai kegiatan keagamaan.
"Kami belajar Alquran, ilmu Hadis, dan fikih selain juga belajar Bahasa Arab," kata Abdul
Aziz (23), pelajar XII asal Kota Hotan, yang memperkenalkan diri kepada Antara dengan
menggunakan Bahasa Arab.
Di kampus tersebut, dia juga diwajibkan belajar Bahasa Mandarin sebagai bahasa
nasional China. Sebelum menimba ilmu di Ibu Kota, Aziz sama sekali tidak mengerti
Bahasa Mandarin.
"Saya datang ke sini atas keinginan sendiri dengan harapan pemerintah nanti bisa
memberikan pekerjaan kepada saya sesuai dengan bidang yang saya tekuni," tuturnya
dalam bahasa Mandarin.
10
Nur Ahmadi yang sepantaran dengan Aziz mengaku tidak mengeluarkan uang sepeser pun
selama belajar dan tinggal di asrama kampus.
Sama dengan temannya, Nur juga berharap pemerintah setempat memberikannya
pekerjaan yang tidak jauh dari lingkungan masjid sebagai satu-satunya tempat yang
dilegalkan untuk kegiatan keislaman sebagaimana tertuang dalam Kebijakan dan
Implementasi Perlindungan Kebebasan Umat Beragama di China yang berlaku per 3 April
2018.
Regulasi yang dikeluarkan lembaga yang mengurusi masalah keagamaan di bawah Dewan
Pemerintahan China itu menekankan bahwa semua rumah ibadah harus terdaftar di
pemerintah setempat.
Pemerintah setempat sudah memberikan ketentuan mengenai pembangunan
rumah-rumah ibadah yang tidak boleh didirikan di lembaga pendidikan, kecuali lembaga
pendidikan berbasis agama.
Dalam catatan lembaga tersebut, jumlah rumah ibadah di China sebanyak 143.500 unit
yang terdiri dari 35.000 masjid, 33.500 kuil Buddha, 9.000 kuil Taoisme, 6.000 gereja
Katholik, dan 60.000 gereja Protestan.
Jumlah umat beragama di China, menurut lembaga tersebut, mencapai 200 juta jiwa atau
sekitar tujuh persen dari total populasi 1,5 miliar jiwa.
Warga Kota Kashgar, Xinjiang, duduk-duduk di depan rumah mereka, Jumat (4/1/2019). (M. Irfan Ilmie)
Meskipun masjid mendominasi rumah ibadah di China, pemeluk agama Islam hanya 20
11
juta jiwa dengan jumlah imam 58.000 orang. Jumlah itu masih kalah dengan pemeluk
Protestan di China yang mencapai 38 juta
Perhatian terhadap perkembangan Islam juga diberikan oleh pemerintah China dengan
menerbitkan Alquran dalam berbagai bahasa yang digunakan masyarakat setempat,
seperti Mandarin, Uighur, Kazakh, dan Kirgiz.
Belum lagi referensi keislaman lain yang telah mencapai 1,76 juta salinan, sebagaimana
data yang dikeluarkan oleh Dewan Pemerintahan China Urusan Keagamaan itu.
Di Xinjiang sendiri terdapat 24.000 unit masjid. Seluruhnya berada di dalam pengawasan
pemerintah China.
Sama halnya dengan masjid-masjid lainnya di China yang kebanyakan dibangun pada masa
Dinasti Ming yang memerintah China selama 276 tahun, mulai 1368 hingga 1644 Masehi.
Sebagian besar masjid di China yang sampai saat ini berdiri sudah mengalami beberapa
kali pemugaran, baik berskala besar maupun kecil, dengan semua pembiayaannya
ditanggung oleh pemerintah setempat.
Geliat Islam di Xinjiang (Bagian 3 - Habis)
Kamis, 10 Januari 2019 17:42 WIB
Masjid Institut Islam Xinjiang di Urumqi. (M. Irfan Ilmie)
12
Saya Uighur, lahir dan besar di sini. Tapi saya bukan Muslim. Kedua orang tua dan
kakek-nenek saya juga bukan Muslim
Masjid Etigar di Kota Kashgar merupakan salah satu masjid tertua di Xinjiang. Masjid
yang dibangun pada 1486 Masehi itu tidak hanya menjadi sarana ibadah bagi etnis Muslim
Uighur, melainkan juga objek wisata karena lokasinya berada di tengah kota.
Sejak pertama kali dibangun sampai saat ini Masjid Etigar sudah mengalami tujuh kali
pemugaran yang terakhir dilakukan pada 2011-2012 dengan biaya pemerintah sebesar 11
juta RMB.
Pada musim panas, masjid kuno yang berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi itu
dikunjungi sedikitnya 1.000 orang per hari, sedangkan musim panas 80 sampai 100 orang
per hari.
Masjid Etigar tidak jauh dari kawasan Kota Tua Kashgar sebagai salah satu objek wisata
favorit di Xinjiang. Sisi luar kompleks masjid terdapat lapak-lapak para pedagang yang
menjual beragam jenis cendera mata.
"Jamaah shalat harian, jumlahnya tidak pasti. Tapi kalau Jumat, ada sekitar 400 sampai
500 orang," kata Mehmed Zuma, imam Masjid Etigar, melalui seorang penerjemah
berbahasa Mandarin, Jumat (5/1/2019).
Kontras dengan kondisi bangunannya yang terkelupas pada beberapa bagian dinding dan
pintu gerbang, kompleks masjid tersebut dilengkapi beberapa kamera pemantau (CCTV).
"Bapak saya meninggal ditikam orang tidak dikenal di sini," katanya mengenang peristiwa
yang terjadi di Masjid Etigar pada 23 April 2013 yang merenggut nyawa ayahnya yang
berusia 70 tahun lebih itu.
Menurut dia, pemasangan kamera-kamera itu sebagai upaya preventif dari pemerintah
agar peristiwa maut tersebut tidak terulang, bukan sebagai upaya pengawasan yang
melekat terhadap individu-individu yang ditengarai menyebarluaskan ekstremisme di
kota terbesar kedua di Xinjiang itu.
Bahkan sampai saat ini, Imam Zuma tidak mengetahui motif di balik penyerangan yang
menewaskan ayahnya enam tahun silam itu.
Namun menurut rekam jejak di Gedung Pameran Konflik Xinjiang di Urumqi tertera
13
catatan dan gambar seorang imam di Masjid Etigar tewas dibunuh kelompok pegaris
keras. Sejumlah bentrokan berdarah memang mewarnai sejarah Xinjiang dalam
setidaknya satu dasawarsa terakhir dimana ratusan orang kehilangan nyawa dan irbuan
yang lain ditahan.
Bagi China dan dunia internasional Xinjiang merupakan topik yang tak kunjung usai.
Baru-baru ini sorotan mengarah pada keberadaan "kamp" pendidikan vokasi sebagaimana
yang diklain pemerintah China atau "kamp konsentrasi" apabila merujuk istilah yang
digunakan oleh media internasional dan para pegiat Hak Asasi Manusia. Berbagai
peraturan yang diberlakukan oleh Pemerintah China terhadap etnis Uigur di Xinjiang
juga menuai kritik dunia internasional, terutama terkait larangan-larangan untuk
menjalankan tradisi dan keyakinannya. Sesuatu yang dibantah oleh Pemerintah China.
Fasilitas Imam
Kebutuhan dasar para imam dan takmir masjid di Daerah Otonomi Xinjiang sudah
dicukupi oleh pemerintah setempat.
"Setiap bulan imam dan pengurus masjid di sini dapat bantuan biaya hidup dari
pemerintah," kata Imam Masjid Jamik Kota Hotan, Abdul Hasan, Sabtu (5/1/2019).
Selain itu, mereka masih mendapatkan tunjangan transportasi, asuransi kesehatan,
subsidi rumah, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Para pelajar berbaur dengan masyarakat muslim lainnya melaksanakan shalat Ashar berjamaah di Masjid
Institut Islam Xinjiang di Urumqi, Kamis (03/01/2019). (M. Irfan Ilmie)
14
Pemerintah daerah setempat juga mengalokasikan dana tahunan untuk biaya operasional
dan kegiatan keagamaan umat Islam.
"Setiap bulan puasa Ramadhan, pemerintah juga menyediakan menu berbuka. Demikian
dengan kegiatan pada hari besar lainnyan," katanya melalui penerjemah berbahasa
Mandarin.
Menurut Imam Hasan yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa lokal etnis Uighur
itu, kegiatan keagamaan di daerahnya dilindungi oleh undang-undang.
Pada Hari Raya Idul Adha, pemerintah pula yang menyumbangkan daging kurban. Idul
Adha merupakan perayaan terbesar bagi etnis minoritas Uighur. Pertemuan Kurban
Tulum (paman kurban) dengan pemimpin revolusi China Mao Zedong di Beijing pada 28
Juni 1958 diabadikan dalam sebuah monumen yang menjadi "tetenger" utama alun-alun
Kota Hotan.
Pertemuan keduanya sangat monumental bagi Uighur dalam hubungannya dengan PKC. Ia
pun diangkat sebagai delegasi dalam Kongres Rakyat Nasional China (NPC) yang kedua
pada 1959 dan keempat pada 1975.
Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (bagian 1)
Baca juga: Menyibak gelap lorong Kamp Vokasi Uighur Xinjiang (Bagian 2 - Habis)
Kota di wilayah barat daratan Tiongkok yang berbatasan langsung dengan Pakistan dan
India itu dihuni sekitar 2,52 juta jiwa.
Sekitar 94,17 persen penduduk kota yang banyak menghasilkan produk pertanian itu
beretnis Uighur, sedangkan 5,97 beretnis Han.
Di Kota itu terdapat sekitar 1.600 masjid yang aktif dan terdaftar di pemerintah daerah
setempat, masing-masing dengan jumlah jamaah pada shalat Jumat berkisar antara 400
hingga 1.000 orang.
Keberadaan masjid dan unsur pendukungnya, termasuk para imam tidak bisa lepas dari
pengawasan pemerintah China yang berhaluan komunis.
"Tapi bukan berarti semua imam menjadi anggota atau deputi PKC di daerah
masing-masing," kata pengelola Institut Islam Xinjiang (XII) Imam Abdur Raqib di
Urumqi, Kamis (3/1/2019).
15
Ia menyebutkan bahwa dari 1.423 imam di Xinjiang, beberapa di antaranya ada yang
menjadi deputi Partai Komunis China (PKC) di berbagai tingkatan, termasuk dirinya yang
diangkat partai penguasa tersebut sebagai anggota NPC mewakili Xinjiang.
Kaum perempuan dari etnis Uighur menawarkan barang dagangan di Kota Tua Kashgar, Xinjiang,
Jumat (4/1/2019). (M. Irfan Ilmie)
Suku minoritas Uighur yang membentuk populasi utama Xinjiang tidak semuanya
beragama Islam, meskipun mereka disatukan dalam budaya dan tradisi yang sama,
seperti bemain musik, menyanyi, dan menari.
"Saya Uighur, lahir dan besar di sini. Tapi saya bukan Muslim. Kedua orang tua dan
kakek-nenek saya juga bukan Muslim," kata Gulbostan, perempuan berusia 25 tahun,
yang berprofesi sebagai pemandu wisata di Kota Kashgar itu.
Akhir-akhir ini perempuan berambut panjang itu mengklaim jika kehidupan di kotanya,
terutama antarmasyarakat etnis Uighur, sangat harmonis tanpa ada perbedaan latar
belakang agama.
Sebagai anggota etnis minoritas Uighur, sudah barang tentu Gulbostan juga bercakap
bahasa lokal yang mirip bahasa Turki itu dalam pergaulannya sehari-hari, termasuk di
lingkungan keluarganya.
"Banyak yang mengira etnis Uighur selalu muslim. Padahal tidak semuanya. Contohnya, ya
saya ini dan keluarga. Banyak juga yang seperti keluarga saya," ujar perempuan yang
16
menguasai Bahasa Mandarin sejak masih duduk di bangku SMA di Kota Kashgar tanpa
menyebutkan jumlah pasti etnis Uighur nonmuslim itu. (Habis)
Baca juga: Amnesti Internasional: Etnis Uighur diperlakukan diskriminatif
Baca juga: Metamorfose serangan militan Xinjiang
Baca juga: Suku Uighur desak penyelidikan mandiri kasus bentrokan Xinjiang
Umat muslim di Bali gelar tradisi megibung
https://www.antaranews.com/berita/785921/geliat-islam-di-xinjiang-bagian-3-habis
Play Video
Play
Unmute
Current Time 0:00
/
Duration 1:58
Loaded: 0%
Seek to live, currently playing liveLIVEFullscreen
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani