ms mmd tuggas neuro
DESCRIPTION
NEUROTRANSCRIPT
Referat
MULTIPLE SCLEROSIS
Penyusun:
Maria Mustika Dewanti 11.2014.242
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
RS. Dr. Esnawan Antariksa TNI AU
Periode oktober-november 2015
Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNya sehingga
referat ilmu penyakit Saraf dengan judul “Multiple Sclerosis” dapat selesai. Referat ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan ilmu penyakit Saraf di RS
Angkatan Udara Jakarta (RSAU Antariksa)
Referat ini membicarakan sebuah kasus saraf yang umum terjadi di dalam
masyarakat, yaitu multiple sclerosis. Yang dibahas dalam referat ini antara lain definisi MS,
klasifikasinya, etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis MS. Penulis
berharap referat ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi para pembacanya, baik
teman-teman sejawat, kalangan medis lain, maupun masyarakat awam.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Penulis memohon
maaf apabila ada kesalahan dalam pemilihan kata-kata atau penulisan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terima kasih.
Jakarta, November 2015
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II MULTIPLE SKLEROSIS
2.1. DEFINISI 5
2.2. ETIOLOGI 6
2.3. PATOFISIOLOGI 6
2.4. KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS 6
2.5. MANIFESTASI KLINIS 7
2.6. DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS 9
2.7. PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS 10
2.8. KOMPLIKASI 16
2.9. PROGNOSIS 16
2.10 PENUTUP 18
DAFTAR PUSTAKA 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
Lebih dari 100 tahunyang lalu sejak Charcot, Carswell, dan Cruveilhier, berhasil
menjelaskan tentang gambaran klinis, patologis, dan karakteristik multiple sklerosis. Penyakit
sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering menyebabkan relaps ini terus
menimbulkan tantangan bagi para peneliti untuk mencoba memahami patogenesis dan
tatalaksananya sehingga mencegah penyakit tersebut terus berkembang.1,2
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat yang
disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya.Sekitar400.000 orangdi
Amerika Serikat dan 2,5 juta orang di seluruh dunia, dengan prevalensi sekitar 1 kasus per
1000 orang dalam populasi dan rasio perempuan dengan laki-laki 2:1 menderita penyakit ini.
Sekitar 85% pasien dengan multiple sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja.
Lebih dari setengah dari pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan berlanjut dari
serangan akut dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu 10 hingga 20 tahun setelah
terdiagnosis.1
Harapan hidup pasien dengan MS menjadi berkurang. Dalam satu studi di Kanada,
harapan hidup penderita berkurang sebesar 4 sampai 7 tahun, dan di Denmark berkurang
hingga 10sampai 12 tahun. Kualitas hidup seorang pasien ini sangat dipengaruhi oleh gejala
fisik yang timbul termasuk kelelahan, kesakitan, dan kesulitan dengan mobilitas, dan masalah
sosial dan gangguan perasaan dan mood.1
Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan menyembuhkan MS. Terapi
yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan
memperpanjang masa remisi.Salah satu alasan mengapa MS sulit disembuhkan adalah sekali
sistem saraf pusat (SSP) rusak maka perbaikan neuron yang telah rusak akan sulit.1
Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang penatalaksanaan dan
penggunaanobat yang mungkin dapat merangsang 'remyelinisasi' saraf yang rusak
danmemperlambat atau menghentikan proseskerusakan lebih lanjut masih terus
dilakukan.Pada makalah ini, akan dibahas tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis
sehingga dapat menambah pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.1,2
4
BAB II
MULTIPLE SCLEROSIS
DEFINISI
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang
belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan
pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam
sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi
dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum
terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada
myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat
demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang
disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls
tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik
tertentu di berbagai bagian tubuh.3
Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif yang multipel di
substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis. Lesi tersebut umumnya berlokasi
di periventrikel, korpus kalosum, nervus optikus, dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan
di batang otak dan serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin
parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta makrofag,
sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang relatif aseluler umumnya
aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi, sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi
degenerasi aksonal.3
Gambar 2.1 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi.4
5
ETIOLOGI
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting yang
menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun, infeksi, dan herediter. Meskipun bukti
yang meyakinkan kurang,f aktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi
juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai
faktor.3,4
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga
menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Genetika : penurunan kontrol respon immun
e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress
PATOFISIOLOGI
Secara umum hipotesis yang sering digunakan dalam menggambarkan teori terjadinya MS
yaitu “the inside-out model” dan “the outside-in model”. The outside-in model merujuk pada
demielinasi yang disebabkan karena kehilangan akson dan degenerasi sistem saraf, sementara the
inside-out model menjelaskan bahwa terjadinya kerusakan neuron dan akson disebabkan karena
adanya demielinasi dari sistem saraf .5
Sistem imun berperan penting dalam patofisiologi terjadinya Multiple Sclerosis (MS).
Beberapa sel dalam sistem imun yang terlibat dalam proses terjadinya MS antara lain sel
dendritik, NK cell (Natural Killer cell), Sel B, dan makrofag. Sel dendritik merupakan APC
(antigen prresenting cell) memiliki peran penting dalam memediasi respon imun.Sel dendritik
dapat menyediakan sinyal transduksi untuk sel T belum aktif untuk berdiferensiasi menjadi sel T
reaktif terhadap myelin (myelin-reactive T-cell). Kemudian sel T reaktif ini menjadi pencetus
terjadinya reaksi autoimun yang menyebabkan demielinasi sistem saraf pusat.5
6
Gambar 1. Peran Sel Dendritik (DC) dalam patogenesis Multiple Sclerosis (MS).6
KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS :
1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang gejalanya
bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan klinis yang
klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala hanya
memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi secondary
progressive multiple sclerosis.7
2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan
pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali.
Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama
penglihatan).7
3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak
terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang biasanya
15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin
awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign MS
akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin tidak
terjadi selama 20 atau30 tahun setelah diagnosis.7
4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk
secondary progressiveMS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun
frekuensi remisi cukup jarang.7
7
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa
gejala dan tanda yang timbul pada MS:8,9
Disfungsi usus dan saluran kencing
Menurunnya persepsinyeri, getaran, dan posisi
Kelelahan dan gangguan mobilitas
Depresi dan gangguan kognitif atau memori
Masalah penglihatandan pendengaran
Tremor, hiperefleksia, spastisitas, dan tanda babinsky yang positif
Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah neuritis
optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang
dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata,
sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral.
Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis
optika posterior / retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu
pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan
terus-menerus atau pada pergerakan bola mata.Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik
yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi
oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang
dibandingkan neuritis optika.8
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh 21-
55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan
(parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu
ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan
diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik
atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di
daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan
useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan.
Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda
8
Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan
lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya
meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.8
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama.
Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria,
disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain
itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal.9
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski
frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma
Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak
simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia
bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan
merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya
pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot
pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada
hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise
berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan / kelambatan mental.9
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk
memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu pada
pasien MS (13). Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas
dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS
disebabkan lesi hemisfer bilateral.9
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain
pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus,
vertigo, dan sangat jarang terjadi penurunan kesadaran (stupor dan koma).9
DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan
kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald
menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time (dua serangan atau lebih)
dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda).
Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan ruang yang
9
dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh
pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).8,9
Tabel 2.1. Kriteria McDonald10
Attacks Clinical
lesion
Requirements for diagnosis MS
2 or more 2 or
more
None
2 or more 1 lesion Dissemination in space (DIS), demonstrated by: MRI
(CSF (+) or further clinical attack)
New criteria: DIS demonstrated by the presence of 1 or more 2
lesions in at least 2 of 4 of area CNS: Periventricular,
Juxtacortical, Infratentorial, or Spinal Cord.
1 attack 2 lesion Dissemination in time (DIT), demonstrated by: MRI or second
clinical attack
New criteria: No longer a need to have separate MRIs run; DIT
demonstrated by: Simultaneous presence of asymptomatic
gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions at any time; or
A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up
MRI, irrespective of its timing with reference to a baseline scan;
or Await a second clinical attack. [This allows for quicker
diagnosis without sacrificing specificity, while improving
sensitivity.]
1 attack 1 lesion New criteria: DIS and DIT, demonstrated by:
For DIS: 1 or more T2 lesion in at least 2 of 4 MS-typical
regions of the CNS (periventricular, juxtacortical, infratentorial,
or spinal cord); or Await a second clinical attack implicating a
different CNS site; and For DIT: Simultaneous presence of
asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions
at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s)
on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a
baseline scan; or Await a second clinical attack.
10
0 attack
Insidious neurological
progression
suggestive of MS
New criteria: One year of disease progression (retrospectively or
prospectively determined) and two or three of the following:
1. Evidence for DIS in the brain based on 1 or more T2 lesions
in the MS-characteristic (periventricular, juxtacortical, or
infratentorial) regions
2. Evidence for DIS in the spinal cord based on 2 or more T2
lesions in the cord
3. Positive CSF (isoelectric focusing evidence of oligoclonal
bands and/or elevated IgG index)
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana
jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24
jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis
obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.10
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:
1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. Minimal 1 lesi infratentorial
3. Minimal 1 lesi juxtakortikal
4. Minimal 3 lesi periventrikel.
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh
pembesaran ventrikel.10
11
Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS.11
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis / LCS sangat membantu
diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat
peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk
memenuhi kriteria disseminated in space.10,11
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang
cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi
pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP
secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum
terdapat gejala klinis neuritis optika.10,11
PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS
Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8 Multiple
Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi menggunakan
tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC).12
Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi.12
Grade Keterangan
A Kategori I
B Kategori II atau dengan penambahan kategori I
C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II
D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III
DS Berdasarkan bukti diagnostic
HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004
Kondisi Grade
Setiap yang mengalamiepisode akut(termasukneuritis optik) menyebabkan
distresatauketerbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini sebaiknya dilakukansesegera mungkinsetelah muncul relaps :
intravenametilprednisolon, 500 mg-1g sehari, selama 3- 5 hari
atau
dosis tinggimetilprednisolon oral 500 mg-2 g sehari, selama 3 - 5
hari.
A
Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan D
12
kortikosteroid.
Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3
kali setahun harus dihindariD
Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan
kecuali ada protokol lainD
Penderita MSharus disarankan mengkonsumsiasamlinoleat17-23g/hariagar
mengurangiperkembangan kecacatan.Sumber makanan kaya
akanasamlinoleattermasukbunga matahari,jagung,kedelai dan
minyaksafflower.
A
Tatalaksanaberikuttidak boleh dilakukankecuali dalam
keadaan khusus:
setelahdiskusi lengkapdan melalui pertimbangansemua risiko
denganevaluasi, sebaiknya denganstudiprospektif lain
dilakuakan oleh seorang pakardalam penggunaanobat-obat dibawah
inidenganpemantauan ketatuntukefek samping. Pengobatan:
azathioprine
mitoxantrone
intravenaimunoglobulin
plasma exchange
intermiten(4-bulan) pendek(1-9hari) program
metilprednisolon dosis tinggi.
D
A
Tatalaksanaberikuttidak boleh digunakankarenabukti penelitiantidak
menunjukkanefek menguntungkan pada:
siklofosfamid
anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)
cladribine
pengobatan jangka panjangdengan kortikosteroid
hiperbarikoksigen
linomide
iradiasi seluruh tubuh
A
13
basicproteinmyelin(tipeapapun).
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah :
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise
seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,
spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,
dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.3,4
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan respon
yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau
amitriptilin.3,4
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi
infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah
kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik
Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya
infeksi.3,4
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus diterapi
sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun
bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter
yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare
cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.3,4
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan
disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat
terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.
Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan
depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang
memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat
digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.3,4
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja
sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien MS. Obat
14
diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat
menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan
baik diberikan pada Oktober hingga Maret.3,4
Terapi relaps
1. AdrenalKortikosteroid. Kortikosteroidmerupakan terapi andalandalam mengurangi gejala-
gejala MSrelapsakut.Agen inibekerja melaluiefekimunomodulatordan antiinflamasi,
pemulihanblood brain barier, dan pengurangiedema.kortikosteroidjuga dapat
meningkatkankonduksiaksonal.Terapi kortikosteroidmemperpendekdurasirelapsakutdan
mempercepatpemulihan.Namun, kortikosteroid belum bisa meningkatkanpemulihan secara
keseluruhan MS.6
Jika seorang pasienmenjadi cacat setalah mendapat serangan akut,dokter
harusmempertimbangkan pengobatandengan intravena metilprednisolon selama tiga
hinggalima hari(atau kortikosteroid yang setara)dalam dosis1gdiberikan secara
intravenadalam 100 mLnormal salin selama 60menitsekali seharidi pagi hari.6
2. Perawatanlainnya. Pada pasiendengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukanuntuk
meningkatkanfungsi dan kualitashidup dari ketergantungan obattherapy.Perawatan
pendukungberupakonseling, terapi okupasi, saran dari sosial,masukan dariperawat,dan
partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dariperawatan kesehatandengan
pendekatan timdalampengelolaanMS. Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba
terapi alternatif seperti diet khusus, vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun
bukti definitif efektivitas perawatan ini kurang.5,7
Disease-Modifying Therapies
Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan,
dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan awal MS saat
ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan
interferonbeta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone).
Agen kelima, mitoxantrone(Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder progresif MS yang memburuk.15
1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai
imunomodulasi dan memilikiaktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang
digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan
15
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan
glatiramer padarelapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control
trial, penggunaan interferon beta dapatmengurangi 50 sampai 80 persen lesi inflamasi yang
divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini meningkatkan kualitas hidup
dan fungsi kognitif.
Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise,nyeri otot, dan kelelahan, terjadi
pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau interferon beta-1b.
Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-
inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis
titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.
Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi,
anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek samping ini
biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.
2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang untuk
meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20 mg
subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga.
Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan
Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentoler interferon beta. Hasil
terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasiyang terlihat pada MRI.
Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-
likesymptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak umum
seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat sembuh
spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang
diobati dengan glatiramer, dan kemampuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak
terganggu.
3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agenan
tineoplastikanthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan
memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada pasien
dengan bentuk Progressive MS.
Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya
cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau
16
untuk dosis kumulatif 120-140mg perm2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus
diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang berpengalaman.
KOMPLIKASI11
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih
PROGNOSIS
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang
signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki
fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang
terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif.17
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan
respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.
Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan.10,12
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi
sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg
varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan
koma atau kematian dalam beberapa hari.11
KESIMPULAN
Multiple Sclerosis (MS) adalah penyakit sistem saraf pusat kronis yang ditandai dengan
kehilangan selubung mielin dan akson. MS biasanya menyerang dewasa muda dan dapat
17
berkaitan dengan resiko osteoporosis dan penurunan masa tulang.Saat ini belum ada obat yang
dapat mencegah timbul dan menyembuhkan MS. Terapi yang diberikan hanya meminimalkan
timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Salah satu
alasan mengapa MS sulit disembuhkan adalah sekali sistem saraf pusat (SSP) rusak maka
perbaikan neuron yang telah rusak akan sulit.12
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Ajami, S., Ahmadi, G., & Etemadifar, M. (2014). The role of information system in
multiple sclerosis management. Journal of Research in Medical Sciences : The
Official Journal of Isfahan University of Medical Sciences, 19(12), 1175–1184
2. Bomprezzi, R. (2015). Dimethyl fumarate in the treatment of relapsing–remitting
multiple sclerosis: an overview. Therapeutic Advances in Neurological Disorders,
8(1), 20–30. doi:10.1177/1756285614564152
3. Razavi, S., Nazem, G., Mardani, M., Esfandiari, E., Salehi, H., & Esfahani, S. H. Z.
(2015). Neurotrophic factors and their effects in the treatment of multiple
sclerosis. Advanced Biomedical Research, 4, 53. doi:10.4103/2277-9175.151570
4. Fisher, Naomi D. L., Williams, Gordon H. Hypertensive Vascular Disease.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill. USA.2005.
5. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin D
Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838
6. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA.2009.
7. Malan LK, Stump SE. Krause’s. Food, Nutrition, and Diet Theraphy. 11 thEdition.
Saunders. USA. 2004:1109-1111
8. Kira. J, Tobimatsu S, Gotto I. Vitamin B 12 Metabolisme and Massive Dose Methyl
Vitamin B12 Therapy in Japanese Patients ith Multiple Sclerosis. Report :Internal
Medicine 1994:33:82-86
9. About MS. 2012. Bayer Health Care Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on
November02sd,2015.
10. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on November
02sd, 2015.
11. McDonald Criteria. 2011. Wikipedia. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/McDonald_criteria was accessed on November02sd, 2015.
12. Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on
Novemberr 02sd, 2015.
19