mohammed arkoun

22
Mohammed Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran Indeks Islam | Indeks Artikel ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Selasa, 11 April 2000 Jakarta, Kompas Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan

Upload: imanzanatulhaeri

Post on 27-Jun-2015

251 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mohammed Arkoun

Mohammed Arkoun: Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran

 Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 Selasa, 11 April 2000Jakarta, Kompas

Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.

"Kolonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran kita masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam," ujar guru besar Universitas Sorbonne, Paris, itu dalam pembukaan

Page 2: Mohammed Arkoun

seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), yang disesaki pengunjung yang sebagian besar kalangan muda.

Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan 2020 bekerja sama dengan Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung, British Council, dan Departemen Agama.

Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah.

Namun, memasuki

Page 3: Mohammed Arkoun

abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). "Sebagai seorang ahli sejarah pemikiran Islam, bukan sebagai seorang politisi, saya katakan bahwa itu keliru," kata Arkoun.

Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci.

Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan

Page 4: Mohammed Arkoun

kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.

Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.

Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan lebih

Page 5: Mohammed Arkoun

sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman.

Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa.

"Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa

Page 6: Mohammed Arkoun

dalam perspektif humanisme.

Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. "Marilah kita terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran," ujarnya.

Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang

Page 7: Mohammed Arkoun

dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern," ujarnya.

Arkoun mencontohkan keinginan pemerintah Maroko meningkatkan status perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, tetapi sebagian yang lain menerimanya. "Hukum modern didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu?" ujarnya.

Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). "Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya," tegasnya. (wis/mba)

Diarsipkan di bawah: Esai | Tag: Edward Said, fazlur rahman, filsafat

islam, filsfat,Islam, Islamic studies, mohamed

arkoun, Muhammad, Muslim, orientalism, Prophet Muhammad, Religion and

Page 8: Mohammed Arkoun

Spirituality, Western world

 Komentar (2)

The relation between Islam and the west has passed away a long historical plot. The most

popular issue has been discussed is the Crusade which effects remain felt up till now. The

both sides of the war were keeping the psychological biases in viewing each other. On one

side, they tended to forget the big tragedy to get a better relationship between one to

another, but on the other side, a certain suspicions obsessed them.

One of the psychological impacts appeared at the Islamic studies that were performed by

the west-Christians to the east-Islam. On the time, Islam was viewed as a heretical form of

Christianity. This point of view was perpetually constructed and inherited from generation to

generation that the gap between Islam and Christians gets wider and, in the aftermath,

appears so many biased writings about Islam. At this phase, the image of Islam pictured

upon religious biases.

Furthermore, some westerners began to study Islam, although the image of Islam didn’t yet

take a favorable turn. At this phase, Islam was understood as a part of its adherers, that is, a

still primitive and uncivilized community. So, this image of Islam was contaminated by

ethnical and cultural biases. This phase was marked by the spreading colonialization and

imperialism performed by the European to its colonies (Muslih, 2003). Baca selebihnya »

HERMENEUTIKA MUHAMED   ARKOUN Telah Dituliskan Februari 20, 2009

Diarsipkan di bawah: Esai, Tokoh | Tag: hermeneutika, mohamed arkoun, teori

 Komentar (2)

(Sekedar Pengantar)

Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang

berasal dari warisan mitologi Yunani. Secara lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa

Yunani,Hermeneutikos, yang berarti penafsiran. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang

Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat

Page 9: Mohammed Arkoun

ilmu ini berkembang menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut

latar belakang budaya, pandangan hidup, politik, ekonomi dan lain-lain. Oleh sebab itu

dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang

pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat.

Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan

memperhatikan bagaimana penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang

berhubungan dengan penafsiran diterapkan terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam

berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di samping berbagai disiplin keilmuan

yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin Studi Al-Qur’an (Ulûm al-

Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.

Penting dibedakan antara hermeneutika dengan tidakan penafsiran (exegese). Tindakan

penafsiran berkaitan dengan komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan

heremeneutika berkaitan dengan metodologi yang dipakai dalam tindakan penafsiran.

[1] Dalam terminologi pesantren, tindakan penafsiran adalah sebagaimana bisa ditemukan

dalam kitab-kitab tafsir (yang paling umum ditemui adalah kitab Tafsîr al-Jalâlain),

sedangkan hermeneutika adalah Ulûm al-tafsîrnya. 

Dalam pengertian yang demikian, Farid Esack menyatakan bahwa hermeneutika

sebenarnya sudah diterapkan dalam tradisi studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân)klasik dalam

Islam. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa metodologi penafsiran yang melibatkan

konteks pewahyuan Al-Qur’an seperti Nasikh-Mansukh dan Asbab al-Nuzul. Di samping itu,

sudah ada kesadaran kategorisasi penafsiran-penafsiran sesuai dengan latar ideologis,

bidang pengetahuan dan spesifikasi.[2] Terlihat misalnya Tafsir Kalâmî (Mu’tazilah, Syî’ah,

Asy’ariyah, dll.), Tafsir Fiqhî (Syafî’iyah, Hambaliyah, Hanâfiyah, dll.), Tafsir Ilmî (Biologi,

Fisika, Kimia, Astronomi, Embriologi, dll.), Tafsir Falsafî, Tafsir Adabî-Ijtima’î dan lain

sebagainya. Sehingga, tindakan menolak hermeneutika pada dasarnya adalah tindakan

yang ahistoris.

Tindakan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat hermeneutis sudah dilakukan oleh beberapa

reformis Muslim. Nama-nama seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan kawan-

kawan pada hakekatnya sudah melakukan kerja-kerja hermeneutis, walaupun secara

terminologis mereka sendiri tidak menyebutnya demikian dan persentuhan ilmiah dengan

Barat masih belum segencar sekarang. Namun bisa dikatakan bahwa mereka adalah tokoh-

tokoh hermeneutika Al-Qur’an Modern fase awal.[3]

Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan

beberapa pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yangconcern terhadap

studi Al-Qur’an mulai memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika

dalam pemaknaannya yang spesifik. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an

mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam.

Beberapa nama bisa disebutkan di sini, seperti Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, Farid

Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain.

Tulisan ini sengaja hanya fokus pada satu orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan

tokoh muslim yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran  Al-Qur’an. Teori-

Page 10: Mohammed Arkoun

teori yang muncul dalam hal penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, bukan

tempatnya untuk memaparkan dan menyajikan semua pemikiran tokoh-tokoh itu.

Nama Muhammed Arkoun yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran

Arkoun menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan

pemikirannya, khususnya dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran

kontemporer menjadi tepat karena persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran

kontemporer sangat kentara sekali.

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual Muhammed Arkoun

Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia

merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber

adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa

non-Arab (‘ajamiyah).

Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin

Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara

mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol

bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme.

Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme

dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang

sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang

adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan

animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci

atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum

Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan

nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[4]

Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor

penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab

dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa

keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif,

sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai

tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang

berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami.

Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian

sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah

berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai

ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa

Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan

tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa

mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[5]

2. Pendidikan dan Pengalaman Muhammed Arkoun

Page 11: Mohammed Arkoun

Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan

Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan

sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-

Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi

mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne

Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun

mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang

sejarah pemikiran Islam.[6]

Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan

resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan

Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota

Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian

Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[7]

Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis,

seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di

Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas

Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas

Amsterdam.[8]

Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis.

Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern

hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[9]Referensi utamanya adalah De

Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi),

Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi), filosof Perancis Paul Ricour, antropolog

seperti Jack Goody dan sosiolog seperti Pierre Bourdieu.[10] Arkoun banyak meminjam

konsep-konsep kaum (post) strukturalisme itu untuk kemudian diterapkannya ke dalam

wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos,

logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti

bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post)

strukturalisme.

Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas

panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan

panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci

dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan

karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-

teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi

mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa

mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari

implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan

pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan

(dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang

memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam

bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).

Page 12: Mohammed Arkoun

Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai

sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan

perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan

sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah

data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-

pemikir bukan hanya bertuturtentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga

secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[11]

D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun

Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab

suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrinadalam Islam

dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran

Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya

dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk

menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-

kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk

mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;

2) Menetapkan suatu kriteriologi[12] yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang

dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk

mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.[13]

Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun

adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak

ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa

mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):

1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di

bawah keteraturan yang tampak.

2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.

3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir

logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.

[14]

1. Moment Linguistis Kritis

Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an

sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa

(modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka

tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab.

Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin

memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).

Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa

biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja

(fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan

terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants),

[15] yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan

Page 13: Mohammed Arkoun

kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai

suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata

linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat

dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting

adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”.

Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan

dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang

mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”.

Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan

kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa

nilai.[16]

Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa

Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-

pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur)

pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal

sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi

“penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga

terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.

Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir

klasik. Mereka mementingkan-dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi

Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan

“mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang

seolah-olah tidak teratur.

2. Moment Antropologis: Analisis Mitis

Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a

transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the

‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas.

Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang

tidak lain adalah “the driving force behind the text”

Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena

analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti

khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik

tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun

untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan

analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie

dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak

pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap

linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-

signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata

sebagai simbol” (mot-symbole).[17]

Page 14: Mohammed Arkoun

Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan

Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:

1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum

digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;

2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan

karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian

Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);

3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-

kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada kesesuaian yang

mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;

4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-

bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.

Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.

Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada

orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan

simbolis itu adalah:

a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral

akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku;

b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni

pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan

dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan

terakhir Kehendak Sakral-Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul-

mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada

orang-orang lain;

c) “simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi

sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;

d) “simbolisme hidup dan mati“.

Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi, saling memperkuat

untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang

disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar

mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya

pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu…, sirat mustaqim, magdlubi alaihim,

dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan

mengalahkan visi metafisis yang merasionalkan.[18]

Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif

atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang

memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku

pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang

saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya

menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana

performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan

Page 15: Mohammed Arkoun

bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-

Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi

parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita

tidak hanya mengatakan– atau membuat konstatasi tentang–suatu tindakan, melainkan juga

sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar

rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[19]

Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammed. Metode Kritik Akal Islam. dalam Jurnal Ulumul Qur’an.nomor 6 vol. V.

1994.

______________. Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS. 1997.

Asysyaukani, Luthfi. Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer. dalam jurnal

Pemikiran Islam vol. I nomor 1. Juli-Desember 1998.

Atho’, Nafisul dan Arif Fahrudin (ed.). Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis

menuju Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. hlm.

Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity against Oppression. England: Oneworld Publication. 1997.

Fais, Fkharuddin. Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial.Yogyakarta: eLSAQ

Press. 2005.

Meuleman, Haji Johan H. Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran

Mohammed Arkoun. dalam jurnal Ulumul Qur’an. nomor 4 vol. 1v 1993.

Putro, Suadi.  Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina. 1996.

Sunardi, St. Membaca Qur’an bersama Arkoun dalam Meuleman, Johan Hendrik.Tradisi,

Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed

Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 1996.

[1] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi

Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. hlm. 18

[2] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious

Solidarity against Oppression, England: Oneworld Publication, 1997, hlm. 18

[3] Fkharuddin Fais, Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ

Press, 2005, hlm. 14

[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta:

Paramadina, 1996, hlm. 11-13

[5] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran

Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, hlm.94.

[6] Ibid.

[7] DRS. Suadi Putro, MA, Op. Cit., hlm. 18.

[8] Ibid., hlm. 17.

[9] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal

Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., hlm. 62-63.

[10] Johan Hendrik Meuleman, op. cit. hlm. 12-13

[11] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6

vol. V 1994, hlm. 157.

Page 16: Mohammed Arkoun

[12] Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran (critere);

Arkoun mengatakan misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi

kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan yang membentuk berbagai praanggapan

dari setiap tindak pemahaman pada periode tersebut.

[13] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997, hlm. 48.

[14] Ibid., hlm. 51.

[15] Istilah Modalisatour, actant dan Poros dipijam Arkoun dari seorang Semiotikus kelahiran

Lithuania, Alidas Julien Greimas. Secara intelektual, Greimas banyak dipengaruhi oleh

Ferdinand de Saussure, sehingga, bisa ditebak, teorinya tentang semiotika juga bernuansa

struktural (walaupun banyak modifikasi di sana-sini).

[16] St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi,

Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed

Arkoun, Yogyakarta: LkiS, 1996, hlm. 60

[17] Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan kerancuan mengenai alur pemikiran

Arkoun, di sini perlu diuraikan secara singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol

(symbol) dan mitos (myth). Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya.

Lima huruf r,u, m, a, dan h adalah tanda yang bisa menunjuk (designare) sesuatu di luar

dirinya, yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga semacam tanda. Setiap simbol adalah

tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab, simbol mempunyai ciri khas: rujukan ganda.

Merah misalnya, tidak saja berarti merah buat darah, tapi juga untuk simbol keberanian.

Maka. Merah menjadi simbol karena memiliki rujukan ganda. Mitos adalah mirip simbol.

Mitos adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam

waktu dan tempat. Mitos adalah wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan

eksistensial dirinya sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya,

struktur cerita mitis sangat kental dan sublim. Lihat St. sunardi, Op. Cit., hlm. 81-82.

[18] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op.Cit., hlm. 57-60.

[19] St. Sunardi, op.cit., hlm. 87-88.

Buangan:

Untuk memahami kritik Epistemologinya, tulisan ini berupaya menjawab tiga pertanyaan mendasar tentang:1. Apakah yang dimaksud Arkoun dengan metode kritik atas “Akal Islam” dan bagaimana cara

kerjanya?2. Bagaimana kritik Strukturalis multidisipiler Arkoun terhadap Islam Ortodoks atau

Fundamentalis-Skriptual yang didominasi oleh Logosentrisme?3. Mengapa perlu ada Dekonstruksi pewahyuan atau kritik atas tekstualitas Al-Qur’an ?

Page 17: Mohammed Arkoun