modul rjpo

71
MODUL 3 RESUSITASI KARDIOPULMONER PENYUSUN Sutrisno, dr PPDS I ANESTESIOLOGI PEMBIMBING RTH Supraptomo, dr., Sp. An. SATUAN MEDIS FUNGSIONAL/BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA/FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: christine-notoningtiyas-santoso

Post on 21-Jan-2016

434 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

rjpo

TRANSCRIPT

Page 1: Modul Rjpo

MODUL 3

RESUSITASI KARDIOPULMONER

PENYUSUN

Sutrisno, dr

PPDS I ANESTESIOLOGI

PEMBIMBING

RTH Supraptomo, dr., Sp. An.

SATUAN MEDIS FUNGSIONAL/BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: Modul Rjpo

LEMBAR PENGESAHAN

Modul KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI III

Telah dipresentasikan oleh Sutrisno pada:

Hari :

Tanggal :

Waktu :

Tempat :

Surakarta,

dr.RTH Supraptomo,SpAn

Page 3: Modul Rjpo

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………………………………………………………. i

Lembar Pengesahan ………………………………………………………. ii

Daftar Isi ……………………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1

BAB II RJPO DEWASA ………………………………………... 4

2.1 Perubahan pada algoritma Basic Life Support (BLS) .... 4

2.2 Algoritma RJPO sederhana…………………………… … 5

2.3 Algoritma RJPO khusus……………………………….. … 7

2.4 Penggunaan Automatic External Defibrilation(AED)… 12

2.5 Advance Life Support (ALS)……………………………. 14

2.6 Algoritma pada RJPO tahun 2010(AHA 2010)……………….. 15

2.7 Advance RJPO…………………………………………… 23

2.8.Obat-obat yang dipakai dalam manajemen RJPO……. 23

BAB III RJPO PADA INFANT DAN ANAK……………………….. 28

3.1 Bantuan Hidup Dasar…………………………………... 28

3.2 Bantuan Hidup Lanjut…………………………………. 31

3.3 Perawatan Post Resusitasi………………………………. 31

3.4 Ringkasan Masalah dan Perubahan Utama AHA 2010... 32

Page 4: Modul Rjpo

BAB IV RESUSITASI NEONATUS………………………………. 39

4.1 Langkah awal untuk memulai resusitasi Neonatus…. 39

4.2 Penghentian Resusitasi……………………………….. 43

BAB V DAFTAR PUSTAKA…………………………………….. 45

Page 5: Modul Rjpo

BAB I

PENDAHULUAN

Henti jantung didefinisikan sebagai gambaran klinis berhentinya sirkulasi tiba-tiba pada

pasien yang tidak diharapkan mati pada saat itu.

Berhentinya sirkulasi didiagnosa jika terdapat semua keadaan berikut ; ketidaksadaran, henti

nafas atau mengap-mengap seperti mati (sianosis atau pucat) dan tidak teraba denyut pada arteri

besar. (misal carotis, radialis, femoralis).

Cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat terjadi dimana saja dan memerlukan

tindakan segera Resusitasi Jantung Paru. Peluang yang besar kejadian cardiac arrest selama

anestesi mengharuskan dimilikinya kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan RJP

merupakan suatu paket berupa Airway (A), Breathing (B), Circulation (C) yang sering disebut

Basic Life Support (BLS) dan bila dilanjutkan dengan drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan

Fibrillation tratment (F) merupakan Advanced Life Support (ALS) dan bila harus masuk ICU

disebut sebagai Prolonged Life Support (PLS).

Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri perifer besar (carotis, radial atau femoral), tidak

sadar. EKG mungkin memperlihatkan asystole, Ventricular Fibrillation (VF), Ventricular

Tachycardial (VT) atau Pulseless Electrical Activity (PEA).

Penyebab paling sering daripada cardiac arrest adalah hypoxemia, gangguan

keseimbangan asam basa, gangguan kalium, calcium, dan magnesium, hipovolemia, adverse

drug effects, pericardial tamponade, tension pneumothorax, pulmonary embolus, hypotermia,

infark miokard.

Penyebab henti jantung dapat dikelompokkan menjadi :

a.Henti jantung primer

Penyebab henti jantung primer yang paling sering adalah fibrilasi ventrikel akibat

iskemia miokard tak homogen (sesaat). Sebab lain henti jantung primer mencakup

Page 6: Modul Rjpo

fibrilasi ventrikel dan asistol akibat penyakit jantung, syok listerik atau obat-

obatan.

b.Henti jantung sekunder

Dapat terjadi dengan cepat atau lambat dan biasanya disebabkan asfiksia atau

kehabisan darah. (3)

Contoh henti jantung sekunder yang cepat ialah anoksia alveolus (akibat sembab

paru atau inhalasi gas tanpa oksigen), asfiksia akibat sumbatan jalan nafas atau

henti nafas dan kehilangan darah yang cepat.

Contoh henti jantung sekunder yang lambat ialah hipoksemia berat (akibat

pneumonia atau konsolidasi – sembab paru, yaitu paru syok (“shok lung). Syok

type kardiogenik, oligemik atau distributif (septik) dan kerusakan otak akut (yang

mengakibatkan kegagalan medula dan hipotensi berat intraktabel serta henti

nafas).

Dengan cardiac arrest akan berakibat aliran darah yang efektif berhenti, hipokasia

jaringan, metabolisme anaerobik, dan akumulasi sisa metabolisme sel. Fungsi organ terganggu,

dan kerusakan permanen akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit (tidak

lebih dari 4 menit). Acidosis dari metabolisme anaerobik menyebabkan vesodilatasi sistemik,

vasokonstriksi pulmoner, dan penurunan respons terhadap katekolamin.

Apapun penyebab henti jantung, jika akan dicegah kerusakan otak ireversibel atau

kematian, RJP harus segera dimulai. Karena jika pada henti jantung primer reoksigenasi melalui

RJP dimulai lebih lambat dari kira-kira 5 menit, kemungkinan pemulihan tanpa kerusakan otak

kecil jika tindakan resusitasi otak khusus tidak dilakukan.

The American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan untuk melakukan RJP

(Resusitasi Jantung Paru) terbaru. Rekomendasi terbaru menunjukkan bahwa penolong harus

lebih berfokus pada kompresi dada ketimbang pernapasan buatan melalui mulut.

Panduan terdahulu (2005) menekankan pada penanganan “ABC” (Airway, Breathing,

Chest Compression) yaitu dengan melakukan pemeriksaan jalan napas, melakukan pernapasan

buatan melalui mulut, kemudian memulai kompresi dada. Panduan terbaru (2010) yang

dikeluarkan oleh AHA lebih menekankan pada penanganan “CAB” (Chest Compression,

Page 7: Modul Rjpo

Airway, Breathing) yaitu dengan terlebih dahulu melakukan kompresi dada, memeriksa jalan

napas kemudian melakukan pernapasan buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan

buatan melalui mulut boleh tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang asing dan

kurangnya pelatihan formal. Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu

membuat aliran darah dan oksigen tetap bersirkulasi secepat mungkin.

Pada tahun 2008, AHA menyatakan bahwa penolong tak terlatih atau mereka yang tidak

mau melakukan pernapasan buatan melalui mulut dapat melakukan kompresi dada hingga

bantuan medis datang. Panduan terbaru (2010) dari AHA menyarankan kompresi dada terlebih

dahulu baik bagi penolong terlatih maupun penolong tidak terlatih.

The American Heart Association (AHA) menyarankan, ketika seorang dewasa ditemukan

tidak responsif dan tidak bernapas atau mengalami kesulitan bernapas, setiap orang yang ada di

sekitarnya wajib untuk menghubungi tenaga kesehatan kemudian segera melakukan kompresi

dada.

Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan dan melakukan kompresi dada, maka

tindakan berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan segera bisa mendapatkan akses

terhadap AED (automatic external defibrillator), sebuah alat bantu kejut jantung yang dapat

membantu ritme jantung kembali normal.

Ketiga mata rantai awal ini dapat membantu meningkatkan keberhasilan pertolongan dan

angka kehidupan pada korban. Perubahan panduan ini mengacu pada penelitian-penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berarti pada

hasil dari tindakan RJP kompresi dada dan pernapasan buatan dengan RJP kompresi dada saja.

Panduan “Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah dilakukan juga bagi

orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk mempertahankan aliran darah dan

oksigen dalam  darah tetap mengalir ke jantung dan otak. Kompresi dada memang cenderung

lebih mudah untuk dilakukan, dan setiap orang dapat melakukannya.

Kompresi dada dapat dilakukan dengan meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain

dan menekan dengan kuat pada dada korban. Panduan RJP yang baru ini menekankan bahwa

penolong harus berfokus memberikan kompresi sekuat dan secepat mungkin, 100 kali kompresi

dada per menit, dengan kedalaman kompresi sekitar 5-5,5 cm. Dan, sangat penting untuk tidak

bersandar pada dada ketika melakukan kompresi dada pada korban. Penolong tidak perlu takut

Page 8: Modul Rjpo

dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang dalam karena risiko ketidakberhasilan justru

terjadi ketika kompresi dada yang dilakukan kurang dalam.

BAB II

RJPO DEWASA

2.1 Perubahan pada algoritma Basic Life Support (BLS)

BLS  adalah pilar dasar pertolongan pertama henti jantung. Aspek penting dalam BLS

adalah pengenalan dini terhadap henti jantung dan mengaktifasi sistem respon darurat untuk

memanggil bantuan, RJP dini yang berkualitas, penggunaan alat defibrilasi otomatis sesuai

dengan indikasi.

Perubahan yang terlihat adalah pada algoritma Basic Life Support (BLS) umum untuk

dewasa dan anak (terkecuali neonatus), yaitu urutan “A-B-C” (Airway, Breathing, Chest

compression) yang telah lama digunakan kini berubah menjadi “C-A-B” (Chest compression,

Airway, Breathing). Rekomendasi ini berdasarkan studi analisis komprehensif dari literatur

mengenai resusitasi yang pernah dipublikasikan.

Alasan untuk perubahan tersebut adalah :

•    Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan

hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme

Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut

elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi

otomatis segera (early defibrillation).

•    Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses 

pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat

pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka

kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus

kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).

•    Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang

sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan

Page 9: Modul Rjpo

adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam

Airway adalah prosedur yang kebanyakan orang umum temukan paling sulit. Memulai dengan

kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban

yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut

setidaknya  dapat melakukan kompresi dada.

AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi korban dewasa

yaitu sederhana untuk penolong non petugas kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan.

Berikut algoritma terbaru dan penjelasannya.

2.2Algoritma RJPO sederhana

Algoritma sederhana ini diperuntukan untuk semua penolong untuk mempelajari,

mengingat, dan mempraktekkan.

Tahap-tahap algoritma ini adalah :

a. Pengenalan dini.

Jika seorang penolong menemukan korban dewasa yang tidak ada respon (tidak

ada pergerakan atau respon terhadap stimulus luar) atau melihat korban tiba-tiba

jatuh pingsan, maka penolong harus memastikan keamanan tempat kejadian lalu

mengecek respon dengan menepuk bahu korban selagi meneriakkan nama

korban. Jika penolong lebih dari satu orang maka langkah-langkah dalam

algoritma ini dapat dilakukan bersamaan dan sinergis.

b. Aktivasi sistem respon darurat.

Penolong sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam hal ini

berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat,

hal ini dapat berupa menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.

Penolong non petugas kesehatan harus siap menerima instruksi dan

melakukannya.

c. Jika melihat korban tidak berespon dan dan tidak bernapas atau hanya sesak

terengah-engah maka penolong dapat mengasumsikan bahwa korban mengalami

henti jantung.

d. Pemeriksaan denyut nadi.

Page 10: Modul Rjpo

Riset menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam pemeriksaan denyut nadi

korban baik dilakukan oleh penolong non petugas ksesehatan ataupun petugas

kesehatan sehingga dapat membuang waktu yang berharga. Karena hal tersebut

maka terdapat dua rekomendasi baru yaitu :

(a) Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa

denyut nadi korban, penolong sebaiknya berasumsi bahwa korban mengalami

henti jantung jika melihat gejala yang disebutkan diatas.

(b) Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari

10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang

definitif maka petugas sebaiknya memulai RJP dengan kompresi dada.

Resusitasi Jantung Paru dini. Berbeda dengan panduan BLS AHA 2005,

kompresi dada dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya dua kali ventilasi

awal sehingga membentuk algoritma “C-A-B”. Kompresi dada dilakukan

sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik). Untuk mendapatkan 

kompresi dada yang efektif dalam algoritma tersebut terdapat dua kata kunci

yaitu “push hard, push fast” yang berarti “tekan kuat, tekan cepat” hal ini

memudahkan penolong non petugas kesehatan dalam melakukan kompresi

seefektif mungkin. Dalam RJP yang efektif, kecepatan kompresi diharapkan

mencapai sekitar 100 kompresi/menit dengan kedalaman sekitar 5 cm (2

inchi). Lokasi kompresi dilakukan pada tengah dada pasien.

(c) Setelah kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus dilanjutkan dengan

ventilasi mulut ke mulut sebanyak dua kali ventilasi. Hal yang perlu

diperhatikan adalah berikan jarak 1 detik antar ventilasi, perhatikan kenaikan

dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat, dan

perbandingan kompresi dan ventilasi untuk satu siklus adalah 30 : 2.

(d) Pengunaan alat defibrilasi otomatis. Algoritma diatas menunjukan adanya

langkah terpisah untuk mendapatkan alat defibrilasi otomatis. Jika hanya

terdapat satu penolong maka sebaiknya setelah mengaktivasi sistem darurat,

penolong diharapkan mencari alat defibrilasi otomatis ( jika tersedia dan

dekat) lalu kembali ke korban untuk melakukan RJP. Jika ada lebih dari satu

penolong maka langkah tersebut dilakukan bersamaan.

Page 11: Modul Rjpo

Tipe strategi RJP. Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong

sesuai dengan keadaannya.

Pertama, untuk penolong non petugas kesehatan yang tidak terlatih, mereka dapat

melakukan strategi “Hands only CPR” (hanya kompresi dada).  Kompresi dada sebaiknya

dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.

Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka dapat melakukan

strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP

sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.

Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang

dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut hingga advanced

airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan

ventilasi setiap 6-8 detik/kali (8-10 nafas/menit).  Untuk petugas kesehatan penting untuk

mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin yang terjadi pada saat itu.

Contohnya, jika melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi

bahwa korban mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan mengkonfirmasi bahwa

korban tidak merespon dan tidak bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka petugas

sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan

menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan RJP. Namun jika

petugas menemukan korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP

konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon

darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem

pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab

jantung yang diketahui.

2.3 Algoritma RJPO khusus

Algoritma khusus ini diperuntukan bagi petugas kesehatan untuk mempelajari,

mengingat, dan mempraktekkan.

Tahap-tahap daripada algoritma ini adalah :

Page 12: Modul Rjpo

1. Pastikan semua kondisi aman

2. Periksa respon pasien :

Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsif maka petugas kesehatan

harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan

teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.

Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Korban yang tidak

responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat

mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung.

3.Jika respon :

Posisikan pada posisi semula dan pastikan tidak ada bahaya yang mengancam

Mencari tahu penyebab dan meminta bantuan

Menilai ulang pasien secara teratur

Jika tidak respon:

Teriak minta bantuan

Memposisikan pasien terlentang dan membuka jalan napas dengan heat tilt – chin

lift

Menjaga jalan napas tetap terbuka, lihat, dengar dan rasa untuk Breathing

Lihat pengembangan dada

Dengan suara napas dari mulut

Rasakan hembusan udara dengan pipi

Buat kesimpulan apakah pernapasan normal, tidak bernapas normal,atau tidak

bernapas

Lakukan tidak lebih dari 10 detik

4.Jika bernapas normal :

Posisikan pasien dalam posisi pemulihan

European Resuscitation Council merekomendasikan posisi stabil, posisi hampir lateral

dengan kepala tertahan dan tanpa tekanan pada dada.

Panggil bantuan

Menilai pernapasan ulang

Jika tidak ada bernapas normal atau tidak bernapas :

Page 13: Modul Rjpo

Aktivasi sistem darurat. Petugas sebaiknya mengaktifasi sistem respon darurat

yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan gawat

darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.

5. Resusitasi Jantung Paru dini. Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan

algoritma  “C-A-B” yaitu :

1. Mulai kompresi dada :

Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria

penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah :

Letakkan pangkal salah satu telapak tangan pada pertengahan dada pasien

(pertengahan bawah sternum) dan pangkal telapak tangan lain diatasnya

Kunci jari-jari tangan, pastikan tangan tetap lurus

Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit (tidak lebih dari 120 x/menit)

Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk

bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½

inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).

Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).

Petugas berlutut di sisi kanan pasien jika korban terbaring di bawah, atau berdiri

disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila perlu dengan bantuan

ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang diinginkan sehingga dan papan kayu

untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak memakan waktu).

Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.

Setiap selesai kompresi, bebaskan penekanan telapak tangan pada dada tanpa

melepaskan kontak antara tangan dengan sternum

Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.

Menghindari ventilasi berlebihan.

Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2

menit.

2. Setelah itu melakukan langkah Airway dan Breathing.

Kriteria peting pada Airway dan Breathing adalah :

Airway.

Page 14: Modul Rjpo

Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan

jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang

belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.

Breathing

Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik

diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume

tidal yang masuk adekuat.

Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :

• Pastikan hidung korban terpencet rapat dengan menekan bagian lunak

hidung untuk menutup lubang hidung dengan menggunakan ibu jari dan

jari telunjuk

• Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)

• Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin

• Berikan pernapasan perlahan dan konstan sekitar 1 detik, melalui mulut

sampai dada mengembang. Lakukan sebanyak 2x dengan tidak lebih dari

5 detik

• Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu

detik.

Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban

dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.

Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa

dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume

tidal sekitar 600 ml.

Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8

detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.

Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi

dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa

denyut nadi kembali setiap 2 menit.

Page 15: Modul Rjpo

Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat

advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan

ventilasi tiap 6-8 detik/kali.

Berhenti untuk pemeriksaan ulang pasien hanya jika pasien mulai bangun, bergerak, buka

mata dan bernapas normal

CPR hanya kompresi dada dapat dilakukan jika :

Penolong tidak terlatih atau menginginkan member pernapasan bantuan

Kontinyu 100 – 120 x /menit

Jangan melakukan interupsi atau menghentikan kompresi sampai :

Bantuan professional mengambil alih

Pasien mulai bangun, bergerak, buka mata dan bernapas normal

Penolong kelelahan

Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal yang tidak dianjurkan

setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :

Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel, listen”.

Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan alasan dasar hal

tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat disalah artikan sebagai nafas

yang adekuat oleh profesional maupun bukan.

Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering kali terdapat nafas

terengah yang dapat disalah artikan sebagai pernafasan yang adekuat. Maka tidak

dianjurkan memeriksa pernafasan dengan “look, feel, listen” dan

direkomendasikan untuk menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada

pernafasan.

Memeriksa denyut nadi pasien.

Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10

detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitif

maka petugas sebaiknya memulai RJP.

Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir waktu untuk

memulai RJP.

Page 16: Modul Rjpo

RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas

ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari

10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

6. Alat defibrilasi otomatis.

Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat

kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut

dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan

RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi

kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah

tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban

mulai bergerak.

7. Posisi mantap.

Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban tidak responsif

yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi

standar, namun posisi yang stabil dan hampir lateral menjadi prinsip ditambah menaruh

tangan yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan

dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat

2.4 Penggunaan Automatic External Defibrilation(AED)

Penggunaan AED aman dan efektif, dan memungkinkan untuk melakukan defibrilasi

sebelum bantuan professional dating. AED standar sesuai digunakan untuk anak usia >8 tahun;

untuk anak 1-8 tahun digunakan paediatric pads, bersama dengan attenuator atau mode pediatric

jika tersedia.

Teknik :

1. Pastikan semua dalam kondisi aman

2. Lakukan BLS

Mulai CPR sesuai dengan BLS. Jika hanya sendiri dan AED tersedia, mulai

dengan menggunakan AED.

Page 17: Modul Rjpo

3. Jika AED tersedia :

Aktifkan AED dan pasang pad elektroda

Pastikan tidak ada yang menyentuh pasien ketika mulai menganalisa ritme

4. Jika indikasi penghantaran syok :

Pastikan tidak ada yang bersentuhan dengan pasien

Tekan tombol “push”

Segera memulai CPR 30 : 2

Jika indikasi syok tidak ditemukan :

Segera memulai CPR 30 : 2

5. Jangan melakukan interupsi atau menghentikan kompresi sampai :

Bantuan professional mengambil alih

Pasien mulai bangun, bergerak, buka mata dan bernapas normal

Penolong kelelahan

Defibrilasi merupakan proses penghantaran arus listrik melintasi miokard untuk

mendepolarisasi sejumlah miokard dan memunculkan kembali aktivitas terkoordinasi listrik

jantung. Defibrilasi menghentikan fibrilasi atau menghilangkan VF / VT 5 detik pasca

defibrilasi. Tujuan dilakukannya defibrilasi adalah untuk memulihkan ritme dan memunculkan

sirkulasi spontan.

Defibrilasi pertama

1. Defibrilator monofasik : 360 J (high energy shock)

2. Defibrillator bifasik :

Minimal 120 J (Rectilinear biphasic / RLB)

Minimal 150 J (biphasic truncated exponential / BTE)

Ideal : 150 J

Kardioversi

Kardioversi elektrik digunakan untuk mengkonver atrial atau ventrikel takiaritmia. Pasien

yang sadar harus mendapat anestesi atau sedasi sebelum kardioversi sinkronisasi. Bifasik lebih

efektif pada AF dan menyebabkan lebih sedikit kulit terbakar.

1. Atrial Fibrilation (AF)

Page 18: Modul Rjpo

Monofasik : 200 J

Bidasik : 120 – 150 J

2. Atrial flutter dan Paroksismal supraventrikel takikardia (PSVT)

Monofasik : 100 J

Bifasik : 70 – 120 J

3. Ventricular Tachycardia (VT)

Monofasik : 200 J

Bifasik : 120 – 150 J

2.5 Advance Life Support (ALS)

Irama jantung dihubungkan dengan cardiac arrest dibagi 2 kelompok. Perbedaan utama

pada penatalaksanaannya adalah perlu tidaknya dilakukan defibrilasi.

1. Shockable rhythms (VF / Pulseless VT)

Jika didapatkan VF / VT, charge defibrillator sementara kompresi dada tetap

dilanjutkan. Ketika defibrillator telah siap, kompresi dihentikan. Pastikan dengan cepat bahwa

semua penolong bebas dari pasien dan kemudian beri 1 x defibrilasi (360 J untuk monofasik ;

150 – 200 untuk bifasik)

Minimalkan pre – shock pause

Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setalah

defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada.

Lanjutkan CPR selama 2 menit, kemudian hentikan untuk menilai ritme. Jika

masih ditemukan VF / VT, berikan defibrilasi kedua (360 J untuk monofasik; 150 – 200 untuk

bifasik)

Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setelah

defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada

Lanjutkan CPR selama 2 menit, kemudian hentikan untuk menilai ritme. Jika

masih ditemukan VF / VT, berikan defibrilasi ketiga (360 J untuk monofasik; 150 – 200 untuk

bifasik)

Tanpa menilai ulang ritme atau meraba nadi, lanjutkan CPR 30 : 2 segera setelah

defibrilasi, dimulai dengan kompresi dada

Page 19: Modul Rjpo

Jika akses intravena atau intraoseus tersedia, beri andrenalin 1 mg dan amiodaron

300 mg ketika kompresi dilanjutkan

Penggunaan kapnograf dapat mendeteksi ROSC tanpa menghentikan kompresi

dada dan menghindari injeksi andrenalin bolus setelah ROSC tercapai

Jika setelah 2 menit siklus CPR, ritme berubah menjadi asistol atau PEA, lihat

non – shockable rhythms

Berdasarkan ritme arrest, beri andrenalin 1 mg setiap 3-5 menit sampai ROSC

tercapai, atau setiap 2 siklus algoritma

Jika tanda-tanda kehidupan muncul, periksa monitor

Jika ritme terorganisir muncul periksa nadi. Jika nadi teraba, lenjutkan dengan

perawatan pasca resusitasi atau peri – arrest arrhythmia

Jika nadi tidak teraba, lanjutkan CPR

Pergantian penolong setiap 2 menit

2.6 Algoritma pada RJPO tahun 2010(AHA 2010)

Ada beberapa perubahan algoritma pada RJPO pada tahun 2010 yang merupakan

penyempurnaan daripada algoritma RJPO tahun 2005, perubahan-perubahan itu antara lain :

1.    Bukan lagi ABC, melainkan CAB

•    AHA 2010 (new)

“A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation

of chest compression before ventilation.”

•    AHA 2005 (old)

“The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal

breathing, and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest compressions and

2 breaths.”

      Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: Airway,

Breathing, Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan

kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana

difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya

untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering  pada bayi baru lahir yang tidak

Page 20: Modul Rjpo

sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk

yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah masalah

Circulation kecuali bila kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah

selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan

jalan nafas.

2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel

•    AHA 2010 (new)

“Look, listen, and feel for breathing was removed from the sequence for assessment of

breathing after opening the airway. The healthcare provider briefly checks for breathing when

checking responsiveness to detect signs of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the

home rescuer opens the victim’s airway and delivers 2 breaths.”

•    AHA 2005 (old)

“Look, listen, and feel for breathing was used to assess breathing after the airway was

opened.”

        Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah Bertindak

bukan Menilai. Telepon ambulan segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas

dengan baik (gasping).. Jika Anda mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan

mendekatkan pipi Anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban

tidak bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu

3. Tidak ada lagi Resque Breath

•    AHA 2010 (new)

“Beginning CPR with 30 compressions rather than  2 ventilations leads to a shorter delay

to first compression”

        Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua kali setelah

kita mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010,

hal ini sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak sehingga terjadi

penundaan pemberian kompresi dada.

4. Kompresi dada lebih dalam lagi

•    AHA 2010 (new)

“The adult sternum should be depressed at least 2 inches (5 cm)”

Page 21: Modul Rjpo

•    AHA 2005 (old)

“The adult sternum should be depressed 11/2 to 2 inches (approximately 4 to 5 cm).”

Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah 1 ½ - 2 inchi

(4 – 5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan

kedalaman minimal 2 inchi (5 cm).

5. Kompresi dada lebih cepat lagi

•    AHA 2010 (new)

“It is reasonable for lay rescuers and healthcare providers to perform chest

compressions at a rate of at least 100x/min.”

•    AHA 2005 (old)

“Compress at a rate of about 100x/min.”

AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan dada sekitar 100

kompresi/ menit. Sekarang AHA merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100

kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.

6. Hands only CPR

•    AHA 2010 (new)

“Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially improves survival

following adult out-of-hospital cardiac arrests compared with no bystander CPR.”

AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan pada pedoman tahun 2010 pun

AHA masih menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada

korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan terbesar adalah: apa yang harus

dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban

yang bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini, namun ada saran

sederhana disini: berikan Hands Only CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik daripada tidak

berbuat sama sekali.

7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)

•    AHA 2010 (new)

“Check for response while looking at the patient to determine if breathing is absent or

not normal. Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or only gasping.”

•    AHA 2005 (old)

Page 22: Modul Rjpo

“Activated the emergency response system after finding an unresponsive victim, then

returned to the victim and opened the airway and checked for breathing or abnormal

breathing.”

      Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti meminta pertolongan

orang di sekitar, menelepon ambulans, ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap

menjadi prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesadaran dan ada

tidaknya henti nafas (terlihat tidak ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat.

8. Jangan berhenti kompresi dada

•    AHA 2010 (new)

“The preponderance of efficacy data suggests that limiting the frequency and duration of

interruptions in chest compressions may improve clinically meaningful outcomes in

cardiac arrest patients.”

       Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak yang

mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan

beberapa kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus

melakukan kompresi selama kita bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap

untuk menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk pernapasan dari mulut

ke mulut, lakukan segera dan segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push

Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih ditekankan disini.

Ditambahkan dengan Avoiding excessive ventilation.

9. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure

•    AHA 2010 (new)

“The routine use of cicoid pressure in cardiac arrest is not recommended.”

•    AHA 2005 (old)

“Cricoid pressure should be used only if the victim is deeply unconscious, and it usually

requires a third rescuer not involved in rescue breaths or compressions.”

      Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas yang

lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid

pressure. Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid yang

dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada pedoman AHA

Page 23: Modul Rjpo

2005 diyakini dapat mencegah terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat

penolong ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada.

10. Pemberian Precordial Thump

•    AHA 2010 (new)

“The precordial thump should not be used for unwitnessed out-of-hospital cardiac arrest.

The precordial thump may be considered for patients with witnessed, monitored, unstable

VT (including pulseless VT) if a defibrillator is not immediately ready for use, but it

should not delay CPR and shock delivery.”

•    AHA 2005 (old)

“No recommendation was provided previously.”

      Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump dapat mengembalikan

irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya,

precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular fibrillation ke irama

sinus atau kondisi Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak

laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial thump seperti

fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada

korban dewasa dan anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan untuk

dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak stabil, dan bila defibrilator

tidak dapat disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak

boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi

Page 24: Modul Rjpo
Page 25: Modul Rjpo
Page 26: Modul Rjpo
Page 27: Modul Rjpo

2.7 Advance RJPO

Drug atau obat adalah salah satu lanjutan dari basic RJPO. Agar obat-obatan dapat masuk

dan beredar ke sirkulasi tubuh, maka dapat dimasukkan melalui beberapa jalur, antara lain :

Akses Intravena

Merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah vena sentral,

vena jugularis interna, vena jugularis externa, vena subclavia, vena femoralis atau vena parifer

dengan kateter panjang atau pendek tetapi aliran harus lancer. Buat akses intravena, dan obat-

obat yang diberikan melalui kalur intravena perifer harus diikuti dengan bolus minimal 20 ml

cairan dan elevasi dari ekstremitas selama 10 – 20 detik untuk memfasilitasi penghantaran obat

ke sirkulasi sentral.

Rute Intraoseus

Jika akses intravena sulit atau tidak mungkin dilakukan, pertimbangkan untuk rute

intraoseus. Rute intraoseus telah ditetapkan sebagai rute efektif pada pasien dewasa.

Rute Trakeal

Pemberian obat melalui rute ini menyebabkan konsentrasi plasma obat tidak dapat

diprediksi.

2.8.Obat-obatan yang dapat dipakai dalam manajemen RJPO:

1. Vasopresor

Tujuan utama dari CPR adalah menghasilkan kembali aliran darah ke orga-organ vital sapai

ROSC tercapai. Pemberian vasopresor direkomendasikan untuk meningkatkan perfusi

koroner dan serebral selama CPR

Adrenalin

Adrenalin telah menjadi agen simpatomimetik primer untuk manajemen cardiac

arrest selama 40 tahun.

α – adrenergik

Efek vasokonstriksi menyebabkan vasokonsrtiksi sistemik, yang meningkatkan

tekanan perfusi koroner dan serebral.

Page 28: Modul Rjpo

β – adrenergik (inotropik kronotopik)

Meningkatkan aliran darah koroner dan serebral, tetapi diikuti dengan

meningkatnya konsumsi O2 miokard, artimia ventrikel aktopik, transien hipoksemia,

gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi miokard pasca cardiac arrest.

Vasopressin

Vasopressin perupakan alternative vasopresor. Secara alami, vasopressin

merupakan anti diuretic hormone. Pada dosis tinggi merupakan vasokonstriktor kuat

yang bekerja melalui stimulus reseptor V1 otot polos.

Dua penelitian terbaru yang membandingkan pemberian andrenalin tunggal

atau dengan kombinasi vasopressin, member kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan

dalam ROSC, survival, dan kejadian neurologis pasca resustasi. Belum ditemukan

vasopresor lain sebagai alternatif ketika dibandingkan dengan andrenalin.

2. Anti aritmia

Amiodaron

Amiodaron merupakan obat anti aritmia penstabil membrane yang

meningkatkan durasi potensial aksi dan periode refrakter pada miokard atrium dan

ventrikel. Konduksi atrioventrikuler menjadi lambat. Amiodaron memiliki aksi

inotropik negatif dan menyebabkan vasodilatasi perifer melalui efek α blocker non

kompetitif.

Lidokain

Lidokain merupakan alternatif jika amiodaron tidak tersedia. Lidokain adalah

obat anti aritmia penstabil membrane yang bekerja dengan meningkatkan periode

refrakter miosit. Hal ini menyebabkan penurunan automatisasi ventrikel dan aksi

anestesi local menekan aktivitas ektopik ventrikel. Lidokain menaikkan ambang VF.

Magnesium

Magnesium memegang peran penting pada transmisi neurokimiawi, dimana

akan menyebabkan berkurangnya pelepasan asetilkolin dan menurunkan sensitivitas

motor endplate. Magnesium juga memperbaiki respon kontraksi dari stunned

myocardium dan membatasi ukuran infark. Pemberian rutin magnesium tidak

direkomendasikan pada cardiac arrest, kecuali didapatkan Tarsades de Pointers.

Page 29: Modul Rjpo

Adenosine

Untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat

A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan

untuk membantu membuat diferensial diagnosis supraventricular tachycardia (misalnya

atrial flutter dengan rapid response versus PSVT). Dosis 6 mg dengan bolus IV cepat.

Bila PSVT tak berhasil diatasi, dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12 mg. pada

anak-anak dosis 0.1 mg/kg; dosis ulang 0.2 mg/kg; dosis maksimal 12 mg.

Beta Blocker (atenolol, metoprolol dan propanolol)

Sudah dipakai untuk pasien-pasien dengan unstable Angina, infark miokard.

Obat-obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark nonfatal, VF postinfark. Kontras

dengan penghambat calcium, beta blockers bukan inotropik negatif direk. Esmolol

berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, Atrial flutter, ectopic atrial tachycardia. Dosis

initial dan lanjut bila tolerans adalah atenolol, 5 mg selama 5 menit, ulangi sekali pada 10

menit, metoprolol, 5 mg sebanyak tiga kali setiap 5 menit, propanolol 0,1 mg/kg dibagi

dalam tiga dosis setiap 2-3 menit, esmolol, 0.5 mg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan

infus mulai dari 50 mikrogram/menit dan titrasi sampai 200 mikrogram/ menit.

Kontraindikasi adalah heart block derajat dua atau tiga, hipotensi dan congestive heart

failure berat. Atenolol dan metoprolol, relatif lebih beta-1 blocker, lebih disukai daripada

propranolol pada pasien dengan jalan napas reaktif. Sebagian besar pasien dengan

penyakit obstruktif menahun, umumnya tolerans terhadap beta-blockers.

Calcium Channel Blockers

Verapamil dan diltiazem melambatkan konduksi dan complex yang tidak respons

terhadap manuver vagal atau adenosine. Keduanya dapat pula dipakai untuk

mengendalikan laju respons ventrikel pada AF atau atrial flutter. Dosis verapamil initial

adalah 2.5 – 5.0 mg IV, dengan dosis selanjutnya 5 sampai 10 mg IV diberikan tiap 15 –

30 menit. Diltiazem diberikan dengan dosis initial bolus 0.25 mg/kg sampai 0.35 mg/kg

dan infus 5 – 15 mg/jam bila perlu. Efek samping hipotensi, eksaserbasi congestive heart

failure, bradikardia. Hipotensi dapat direverse dengan Calcium Chloride 0.5 – 1.0 g IV.

Page 30: Modul Rjpo

Isoproterenol

Adalah beta-1 dan beta-2 agonist adrenergik. Ini merupakan obat second line

untuk mengatasi bradikardia yang tidak responsive terhadap atropine dan dobutamin

dimana pacemaker temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan

hipotensi. Isoproterenol diberikan dengan IV 2 – 10 mikro/menit. Dititrasi untuk

mencapai heart rate yang diinginkan.

Procainamide

Mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan yang masih ada

cadangan fungsi ventrikel. Loading dose adalah 20 mg/menit sampai aritmia dapat

tersupresi, timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total

17 mg/kg tercapai. Bila aritmia dapat diatasi, infus maintenance 1 – 4 mg/menit harus

dimulai, dosis dikurangi bila ada gagal ginjal.

3. Obat lain

Atropin

Atropine mengantagonis akdi neurotransmitter parasimpatis asetilkolin pada

reseptor muskarinik. Atropiin menghambat efek nervus vagus pada nodus SA dan

nodus AV, meningkatkan automatisasi sinus dan memfasilitasi konduksi nodus AV.

Kalsium

Kalsium berperan dalam mekanisme seluler kontraksi miokard. Kalsium dapat

memperlambat denyut jantung dan mempresipitasi aritmia.

Bikarbonat

Pemberian rutin sodium bikarbonat semala cardiac arrest dan CPR atau setelah

ROSC tidak direkomendasikan. Pemberian sodium bikarbonat 50 mmol jika cardiac

arrest disebabkan karena hiperkalemia atau overdosis anti depresan trisiklik.

Dopamine

Memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang dari 2 mikro/kg/ menit), beta

adrenergik (pada 2 – 5 mikro/kg/menit), dan alpha adre-nergik (pada 5 – 10

mikro/kg/menit). Tapi efek adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah

sekalipun. Mulai dengan 150 mikro/menit dan titrasi sampai efek yang diinginkan (urine,

tekanan darah meningkat, heart rate meningkat).

Page 31: Modul Rjpo

4. Cairan Intravena

Hipovolemia merupakan penyebab cardiac arrest yang reversibel, sehingga infus cepat

cairan diharapkan dapat mengatasi cardiac arrest jika hipovolemia adalah penyebabnya. Infus

NaCl 0,9% atau Hartmann’s adalah pilihan. Dektrosa tidak direkomendasikan karena

didistrbusikan keluar dari intravaskuler dengan cepat dan menyebabkan hiperglikemia.

Page 32: Modul Rjpo

BAB III

RJPO PADA INFANT DAN ANAK

Resusitasi adalah tindakan utama pada kegawatan yang terdiri atas bantuan hidup dasar

dan lanjut. Bantuan hidup dasar adalah proses pemberian oksigen dan ventilasi untuk

memulihkan henti jantung, terdiri dari pembebasan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

Bantuan hidup lanjut adalah cara invasif untuk menstabilkan bayi dan anak, dimulai dari

pemberian cairan intravena sampai dukungan kardiopulmonal buatan secara total.

Tujuan resusitasi anak adalah untuk mempertahankan oksigenasi dan perfusi darah yang

adekuat ke seluruh tubuh, di mana di saat yang sama dilakukan langkah-langkah untuk

menstabilkan kondisi anak dan menciptakan homeostasis jangka panjang. Tindakan harus

dilakukan secara berurutan, dimulai dengan ABC: airway, breathing, dan circulation. Sebagai

tambahan untuk “A” juga mewakili pemeriksaan kesadaran, dan antisipasi situasi berisiko tinggi

seperti trauma, respiratory distress, atau exacerbations of chronic life-shortening conditions.

Diawali dengan memeriksa kesadaran pasien, termasuk di dalamnya respons terhadap

rangsang, suara dan gerakan spontan, serta tonus otot.

3.1 Bantuan Hidup Dasar

Pembebasan Jalan Napas

1. Bila tidak ada cedera kepala atau leher, buka jalan napas dengan cara head tilt

atau chin lift:

1. letakkan satu tangan pada dahi, tekan perlahan ke arah posterior

sehingga kemiringan kepala pada posisi normal atau sedikit ekstensi

(hindari hiperekstensi karena dapat menyumbat jalan napas)

2. letakkan jari (bukan ibu jari) tangan yang lain pada tulang rahang

bawah tepat di ujung dagu dan dorong keluar atas sambil

mempertahankan manuver pertama. Hindari penekanan pada bagian

lunak dagu karena dapat menyumbat jalan napas.

2. Bila anak tidak sadar dan dicurigai cedera leher atau kepala, buka jalan napas

dengan cara jaw thrust tanpa head tilt (setelah upaya imobilisasi leher atau

kepala):

1. posisi penolong di sisi atau di atas kepala

Page 33: Modul Rjpo

2..letakkan 2-3 jari (tangan kiri dan kanan) pada masing-masing sudut

posterior mandibula kemudian angkat dan dorong keluar

3.bila posisi penolong di atas kepala, kedua siku penolong diletakkan

pada lantai atau alas di mana korban diletakkan

4.bila upaya ini belum membuka jalan napas, kombinasikan dengan

head tilt dan membuka mulut (metode gerakan triple)

5.untuk cedera kepala atau leher lakukan jaw thrust dengan imobilisasi

leher.

Pernapasan

Bila tidak bernapas lakukan napas buatan dengan cara:

1. pasang sungkup sesuai ukuran sehingga dapat menutup mulut dan hidung

2. sambil mempertahankan jalan napas lakukan tiupan napas dengan mulut

atau balon resusitasi dengan frekuensi:

1. 12-20 kali/menit pada bayi dan anak di bawah usia 8 tahun

2. 40-60 kali/menit pada neonatus.

Napas buatan yang sukses terlihat dari naiknya dinding dada dan berkurangnya sianosis.

Jika dengan penggunaan sungkup tidak memfasilitasi masuknya udara secara adekuat, maka

intubasi diindikasikan. Indikasi intubasi antara lain apnea, kehilangan kontrol SSP untuk

pernapasan, obstruksi jalan napas yang tidak dapat diatasi dengan manuver membuka jalan

napas, meningkatnya usaha bernapas yang ditakutkan akan menyebabkan fatigue, kebutuhan

akan positive end-expiratory pressure (PEEP) atau peak inspiratory pressure (PIP) yang tinggi,

refleks proteksi jalan napas yang buruk, atau sedasi. Ketika pasien diintubasi, penempatan pipa

endotrakeal yang tepat harus dipastikan dengan cara mendengarkan bunyi napas, kenaikan

dinding dada, dan analisis instan dari karbondioksida yang diekshalasi menggunakan kalorimetri.

Sirkulasi

Page 34: Modul Rjpo

1. Penilaian sirkulasi dilakukan dengan memeriksa denyut nadi setelah

dilakukan 2 kali napas buatan

2. Pijat jantung dilakukan pada bradikardia atau henti jantung

3. Tempat pijatan pada 1/3 bagian bawah tulang dada dengan kedalaman 1/3

tebal dada

4. Pada bayi pijatan dilakukan dengan menggunakan ibu jari atau 2 jari

(telunjuk dan jari tengah). Pada anak < 8 tahun dengan pangkal telapak tangan. Pada anak

> 8 tahun dengan pangkal telapak tangan terbuka dan dibantu oleh tangan yang lain di

atasnya

5. Pijat jantung dilakukan sekitar 100 kali/menit pada bayi dan anak,

neonatus 120 kali/menit

6. Koordinasi antara pijat jantung dan napas buatan:

1. neonatus = 3:1

2. bayi dan anak < 8 tahun:

1. i.     satu penolong = 30:2

2. ii.     dua penolong = 15:2

3. anak > 8 tahun: 30:2

Gambar II.3 Dua jari

Gambar II.4 Dua ibu jari + BVM

3.2 Bantuan Hidup Lanjut

Page 35: Modul Rjpo

Bila terdapat henti jantung, lakukan prosedur di bawah ini:

oksigen

Sebagian besar pasien yang memerlukan RJP juga membutuhkan jalan napas yang paten

melalui intubasi trakea. Berikan oksigen 100% selama ventilasi dengan kantong-katup-sungkup

(bag-valve-mask = BVM) dan setelah itu dilakukan intubasi. Oksigenasi harus didahulukan

sebelum pemberian obat-obatan intravena dan defibrilasi atau kardioversi

cairan dan obat-obatan

Jalur alternatif bila akses vena sulit didapat adalah melalui pipa endotrakeal, sehingga

obat diabsorpsi melalui permukaan kapiler saluran napas bawah. Namun jalur ini terbatas untuk

obat yang larut dalam lemak (epinefrin, atropin, lidokain, dan nalokson)

1. Akses vena. Bila akses vena perifer sulit diperoleh, gunakan jalur vena

sentral atau intraoseus. Untuk bayi dan anak lokasi vena sentral yang dipilih adalah vena

jugularis interna kanan dan vena femoralis. Pada situasi darurat, kateterisasi vena

subklavia menimbulkan banyak komplikasi.

2. Resusitasi cairan. Pada anak dengan henti jantung dan napas yang tidak

menunjukkan respons terhadap oksigenasi dan ventilasi, berikan bolus cairan 10-20

ml/kg untuk memperoleh volume sirkulasi yang cukup dan membantu mengembalikan

ritme perfusi.

3. Terapi farmakologi.

3.3 Perawatan Post Resusitasi

Saat resusitasi berhasil, perawatan di PICU biasanya diperlukan untuk melihat potensi

timbulnya sindrom disfungsi multipel organ dan melanjutkan kebutuhan inotropik jantung.

Hiperglikemi dan hipertermi harus dihindari. Observasi lanjutan untuk gangguan neurologis dan

perkembangan neurologis jangka panjang sangat penting. Sedangkan saat resusitasi gagal dan

pasien meninggal, keluarga pasien harus ditenangkan dan dijelaskan mengenai apa yang terjadi

dan usaha apa saja yang sudah dilakukan.

3.4 Ringkasan Masalah dan Perubahan Utama AHA 2010

Banyak hal berkenaan dengan perubahan algoritme RJPO pada anak yang sama dengan

RJPO pada dewasa berdasarkan AHA 2010, perubahan tersebut antara lain :

1.Inisiasi RJPO dengan kompresi dada untuk mengurangi jeda waktu untuk kompresi

dada yang pertama

Page 36: Modul Rjpo

Modifikasi kedalaman dari kompresi dada yaitu 1/3 diameter anterior-posterior dada,

kurang lebih 1,5 inchi (4cm) pada infant dan sekitar 2 inchi (5cm) pada anak karena dari

penelitian radiologis kompresi 1/2 diameter anterior-posterior tidak dapat digunakan

2. Dihapuskannya 'look,listen,feel'

Penolong harus mampu menentukan adanya denyut dalam waktu 10 detik,jika dalam 10

detik denyut tidak teraba,maka harus segera dilakukan RJPO

3. Penggunaan AED pd infant maupun anak

Sebaiknya digunakan defibrilator manual,tetapi jika tidak tersedia,AED yang dilengkapi

dengan mode anak bisa digunakan,jika keduanya tidak tersedia,AED tanpa mode anak dapat

digunakan

4. Perubahan tahapan RJPO dari ABC ke CAB

RJPO dimulai dengan 30x kompresi (pada 1 penolong) atau 15x kompresi (pada 2

penolong / pada infant) dibandingkan 2x ventilasi. Hal ini menimbulkan perdebatan karena

kematian pada anak biasanya disebabkan oleh asfiksia bukan cardiac arrest seperti yang terjadi

pada dewasa. Manajemen yang baru ini tetap dilakukan dengan harapan penolong dapat menjaga

sirkulasi dengan tanpa mengacuhkan ventilasi (selisih waktu antara kompresi dengan ventilasi

maksimal 18 detik)

5. Cek nadi

Jika bayi atau anak tidak berespon dan tidak bernafas ataupun hanya gasping,penolong

memiliki waktu maksimal 10 detik untuk meraba denyut nadi,jika tidak teraba ataupun

ragu,mulai kompresi dada. Akan sangat sulit untuk memperkirakan ada/tidaknya nadi,terlebih

pada saat gawat darurat.penelitian menunjukkan penolong maupun petugas terlatihpun sulit

mendeteksi nadi. Dalam hal ini managemen tahun 2005 sama dengan 2010 tetapi pada

tatalaksana terbaru terdapat saran untuk melakukan kompresi tanpa deteksi nadi untuk

mengurangi resiko keterlambatan kompresi dada pada pasien cardiac arrest dan jikalau ada nadi

tetapi dilakukan kompresi dada,resiko terjadinya komplikasi adalah minimal

Banyaknya masalah saat peninjauan ulang literatur PALS menyebabkan perbaikan

rekomendasi yang sudah ada daripada rekomendasi baru. Informasi baru disediakan untuk

resusitasi anak dan bayi dengan kelainan jantung kongenital tertentu serta hipertensi pulmonal.

Page 37: Modul Rjpo

Pemantauan capnography/capnometry ulang direkomendasikan untuk memastikan posisi

endotracheal tube yang tepat dan mungkin berguna selama RJP untuk menilai dan

mengoptimalkan kualitas dari kompresi dada.

Algoritma dari PALS cardiac arrest telah disederhanakan untuk menekankan aturan dari

penatalaksanaan periode 2 menit RJP tanpa terganggu.

Penggunaan defibrilator awal 2-4 J/kg atau gelombang bifasik atau monofasik lain cukup

beralasan. Untuk kemudahan, dosis 2 J/kg dapat digunakan (dosis ini sesuai dengan rekomendasi

pada tahun 2005). Untuk dosis kedua dan selanjutnya, berikan paling tidak 4 J/kg. Dosis lebih

dari 4 J/kg (tidak lebih dari 10 J/kg atau dosis dewasa) masih aman dan efektif, terutama jika

diberikan dengan defibrillator bifasik.

Atas dasar adanya bukti bahwa pemaparan oksigen dosis tinggi berpotensi menimbulkan

bahaya, rekomendasi baru telah ditambahkan untuk titrasi oksigen inspirasi (apabila alat yang

sesuai tersedia) segera setelah sirkulasi spontan pulih, untuk mempertahankan saturasi

oksihemoglobin arteri ≥94% namun <100% untuk mencegah risiko hiperoxemia.

Bagian baru telah ditambahkan pada resusitasi anak atau bayi dengan kelainan jantung

bawaan, seperti single ventricle, palliated single ventricle, dan hipertensi pulmonal.

Beberapa rekomendasi obat-obatan telah direvisi. Termasuk tidak memberikan kalsium

kecuali pada kondisi tertentu serta membatasi penggunaan etomidate pada syok septic.

Indikasi terapi hipotermia post resusitasi telah diklarifikasi.

Pertimbangan diagnosis baru telah dikembangkan untuk sudden cardiac death dengan

etiologi yang belum diketahui.

Jika memungkinkan, provider disarankan untuk mencari konsultasi ahli ketika

memberikan amiodarone atau procainamide untuk pasien hemodinamik stabil dengan aritmia.

Definisi wide-complex tachycardia telah berubah dari >0,08 detik menjadi >0,09 detik.

6. Rekomendasi Monitoring CO2 Ekspirasi

2010 (Baru) : Direkomendasikan untuk mendeteksi CO2 ekspirasi (capnography atau

colorimetry) disamping penilaian klinis untuk menilai posisi tracheal tube untuk neonatus, bayi,

dan anak dengan perfusing cardiac rhythm baik di prehospital, ED, ICU, bangsal, kamar operasi,

dan selama di dalam rumah sakit ataupun saat diperjalanan antar rumah sakit. Monitoring

Page 38: Modul Rjpo

capnography atau capnometry berkelanjutan, jika tersedia, bermanfaat selama RJP untuk

memandu terapi, khususnya terhadap efektivitas kompresi dada.

2005 (Lama) : Pada bayi dan anak dengan perfusing cardiac rhythm, gunakan

colorimeter detector atau capnography untuk mendeteksi CO2 ekspirasi untuk menilai posisi

endotracheal tube sebelum masuk rumah sakit, kawasan rumah sakit, dan selama perawatan di

rumah sakit maupun saat di perjalanan antar rumah sakit.

Alasan : Monitoring CO2 ekspirasi (capnography atau colorimetry) secara umum

memastikan penempatan endotracheal tube di saluran pernapasan dan lebih sensitif mendeteksi

kesalahan penempatan/pergeseran posisi daripada monitoring saturasi oksihemoglobin. Karena

proses pemindahan pasien meningkatkan risiko pergeseran posisi tube, monitoring sangatlah

penting dilakukan.

Penelitian terhadap hewan dan orang dewasa menunjukkan adanya korelasi yang erat

antara konsentrasi PETCO2 dan intervensi yang meningkatkan kardiak output selama RJP. Nilai

PETCO2 yang konsisten < 10 hingga 15 mmHg menunjukkan bahwa upaya difokuskan pada

peningkatan kompresi dada dan memastikan ventilasi tidak berlebihan. Peningkatan PETCO2

yang tiba-tiba dapat diobservasi sebelum identifikasi klinis ROSC, sehingga monitoring PETCO2

dapat menurunkan intensitas penghentian kompresi untuk menilai pulsasi.

7. Dosis Daya Defibrilasi

2010 (Baru) : Penggunaan dosis 2-4 J/kg untuk defibrilasi dapat diterima, tetapi untuk

kemudahan pembelajaran, dosis awal 2 J/kg dapat digunakan. Untuk VF yang sulit diatasi, dapat

dilakukan peningkatan dosis. Pemberian defibrilasi selanjutnya paling tidak 4 J/kg, atau dengan

tingkat energi yang lebih tinggi, asalkan tidak melebihi 10 J/kg atau dosis maksimum dewasa,

dapat dipertimbangkan.

2005 (Lama) : Dengan defibrillator manual (monofasik atau bifasik), gunakan dosis 2

J/kg untuk pemberian pertama dan 4 J/kg untuk pemberian selanjutnya.

Alasan : Dibutuhkan lebih banyak data untuk mengetahui dosis energi optimal untuk

defibrilasi pada pediatric. Dari bukti yang ada, sementara ini hanya dapat diketahui dosis efektif

atau dosis maksimal saja. Nnamun beberapa data menunjukkan bahwa dosis yang lebih tinggi

masih aman dan lebih efektif. Mengingat bukti-bukti yang ada masih terbatas untuk mendukung

perubahan, rekomendasi baru hanya mengalami sedikit modifikasi yang memperbolehkan

Page 39: Modul Rjpo

pemberian dosis yang lebih tinggi hingga dosis maksimal yang dipercaya para ahli masih dalam

batas aman.

8. Pembatasan Oksigen Hingga Nilai Normal Setelah Resusitasi

2010 (Baru) : Ketika sirkulasi pulih, awasi saturasi oksihemoglobin arteri.Bila peralatan

tersedia, titrasi pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksihemoglobin arteri ≥94%.

Bila peralatan yang sesuai tersedia, ketika ROSC tercapai, sesuaikan FiO2 ke konsentrasi

minimal yang dibutuhkan untuk mencapai saturasi oksihemoglobin arteri ≥94%, dengan tujuan

menghindari hyperoxia, sementara memastikan pengiriman oksigen yang memadai. Karena

saturasi oxyhemoglobin arteri 100% sesuai dengan PaO2 kurang lebih sekitar 80 dan 500 mmHg,

pada umumnya merupakan hal yang tepat untuk menghentikan FIO2 ketika saturasi 100%,

asalkan saturasi dapat dipertahankan ≥94%.

2005(Lama) : Hyperoxia dan risiko cedera reperfusi ditujukan dalam AHA Guidelines

for CPR and ECC in General tahun 200, namun rekomendasi untuk titrasi oksigen inspirasi tidak

spesifik.

Alasan : Bila peralatan untuk melakukan titrasi oksigen tersedia, titrasilah oksigen untuk

mempertahankan saturasi oksihemoglobin 94% hingga 99%. Data ini menunjukkan bahwa

hiperoksemia (seperti PaO2 yang tinggi) meningkatkan kerusakan oksidatif yang tampak setelah

reperfusi iskemia seperti yang terjadi setelah resusitasi pada cardiac arrest. Risiko kerusakan

oksidatif dapat dikurangi dengan mentitrasi FiO2 untuk menurunkan PaO2 (yang tercapai dengan

memonitor saturasi oksihemoglobin arteri) sementara memastikan oksigen arteri yang adekuat.

Data terbaru dari penelitian orang dewasa menunjukkan hasil yang buruk mengenai hiperoksia

setelah resusitasi dari cardiac arrest.

9. Resusitasi Bayi dan Anak dengan Kelainan Jantung Kongenital

2010 (Baru) : Panduan resusitasi spesifik telah ditambahkan dalam manajemen dari

cardiac arrest pada bayi dan anak dengan single ventricle anatomy, Fontan atau hemi-Fontan,

bidirectional Glenn physiology, dan hipertensi pulmonal.

Page 40: Modul Rjpo

2005 (Lama) : Topik ini tidak ditujukan dalan AHA Guideline for CPR dan ECC tahun

2005.

Alasan : Variasi anatomi spesifik dengan kelainan jantung congenital memberikan

tantangan unik untuk resusitasi. AHA Guidelines for CPR and ECC tahun 2010 menguraikan

rekomendasi untuk masing-masing kondisi klinis tersebut. Secara umum dari keseluruhan

kondisi ialah potensial awal menggunakan oksigenasi membrane ekstracorporeal sebagai pilihan

terapi di beberapa senter dengan kapabilitas yang canggih.

10. Managemen Takikardia

2010 (Baru) : Wde- complex takikardia ialah bila lebar gelombang QRS > 0,09 s

2005 (Lama) : Wde- complex takikardia ialah bila lebar gelombang QRS > 0,08 s

Alasan : Pernyataan ilmiah terbaru , durasi QRS dikatakan memanjang bila >0,09 s

untuk anak di bawah usia 4 tahun, dan ≥ 0,1 s dikatakan memanjang untuk anak usia antara 4

hingga 16 tahun. Untuk alas an ini, penyusun PALS guideline menyimpulkan bahwa akan lebih

sesuai bila lebar QRS > 0,9s dikatakan memanjang pada pasien anak-anak. Meskipun mata

manusia tidak dapat membedakan perbedaan 0,01 s, interpretasi computer terhadap EKG dapat

menghitung lebar QRS hingga milliseconds.

11. Obat-obatan selama Cardiac Arrest dan Syok

2010 (Baru) : Rekomendasi terhadap pemberian kalsium lebih kuat daripada AHA

Guideline sebelumnya. Pemberian kalsium secara rutin tidak direkomendasikan untuk anak

cardiopulmonary arrest yang diketahui mengalami hipokalsemia, overdosis calcium channel

blocker, hipermagnesemia, atau hiperkalemia. Pemberian kalsium secara rutin pada cardiac

arrest tidak memberikan manfaat dan bahkan justru berbahaya.

Bomidate telah ditunjuk untuk memfasilitasi intubasi endotracheal pada bayi dan anak

dengan efek hemodinamik minimal namun tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada

pasien pediatric dengan kejadian syok septic.

2005 (Lama) : Meskipun AHA Guideline for CPR and ECC tahun 2005 mencatat bahwa

pemberian kalsium secara rutin tidak meningkatkan hasil dari cardiac arrest, kata “tidak

direkomendasikan” di tahun 2010 menggambarkan pernyataan yang lebih kuat dan

mengindikasikan potensi yang membahayakan. Etomidate tidak ditujukan dalam AHA Guideline

for CPR and ECC tahun 2005.

Page 41: Modul Rjpo

Alasan : Bukti yang lebih kuat mengenai penggunaan kalsium selama cardiopulmonary

arrest mengakibatkan peningkatan penekanan dalam menghindari penggunaan obat ini secara

rutin kecuali untuk pasien dengan hipokalsemia, overdosis kalsium channel blocker,

hipermagnesemia, atau hiperkalemia.

Bukti dari potensi bahaya yang ditimbulkan dengan penggunaan etomidate pada dewasa

maupun anak dengan syok septic memunculkan rekomendasi untuk tidak menggunakan obat ini

secara rutin pada kondisi tersebut. Etomidate menyebabkan supresi adrenal, dan respon steroid

endogen yang sangat penting pada pasien dengan syok septic.

12. Perawatan Post Cardiac Arrest

2010 (Baru) : Meskipun belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan mengenai terapi

hipotermia pada anak, berdasarkan fakta pada orang dewasa, terapi hipotermia (32oC hingga

34oC) dapat bermanfaat pada remaja yang masih dalam keadaan koma setelah resusitasi dari VF

cardiac arrest.Terapi hipotermia dapat juga dipertimbangkan untuk bayi atau anak yang masih

tetap koma setelah resusitasi dari cardiac arrest.

2005 (Lama) : Berdasarkan penelitian terhadap orang dewasa dan neonatus, ketika

pasien anak masih tetap koma setelah resusitasi, pertimbangkan untuk menurunkan suhu mereka

menjadi 32oC hingga 34oC selama 12-24 jam.

Alasan : Penelitian tambahan terhadap orang dewasa menunjukkan adanya manfaat dari

hipotermia terapi untuk pasien koma setelah henti jantung, termasuk dengan irama selain VF.

Data untuk pediatric masih diperlukan.

13. Evaluasi Korban Sudden Cardiac Death

2010 (Baru) : Ketika terjadi cardiac death yang tidak diketahui penyebabnya pada anak-

anak maupun orang dewasa, kumpulkan data-data riwayat medis dan penyakit keluarga

(termasuk riwayat pingsan episodic, kejang, gejala klinis yang tidak diketahui penyebabnya,

tenggelam, atau kematian mendadak pada usia <50 tahun) dan nilai status GCS pasien. Semua

bayi, anak-anak dan dewasa muda dengan kematian mendadak, jika keadaan memungkinkan,

sebaiknya dilakukan autopsi lengkap, lebih baik jika dilakukan oleh ahli patologi yang terlatih

dan berpengalaman di bidang patologi kardiovaskuler. Sampel jaringan dari korban sebaiknya

dilakukan analisis genetic untuk memeriksa channelopathy.

Page 42: Modul Rjpo

Alasan : Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kematian mendadak pada bayi, anak-

anak, dan dewasa muda berkaitan dengan mutasi genetik yang menyebabkan gangguan transport

ion jantung saat ini semakin banyak. Kelainan transport ion jantung ini disebut channelopathy.

Kelainan ini dapat menyebabkan aritmia yang fatal, dan diagnosis yang tepat sangat penting

untuk keluarga korban.

BAB IV

RESUSITASI NEONATUS

Page 43: Modul Rjpo

Penyebab utama dari cardiac arrest pada neonatus adalah asfiksia, oleh karena itu

monitoring A-B-C dengan kompresi : ventilasi 3:1 diutamakan kecuali bila penyebabnya ialah

murni kardiak.

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung

bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti mengeringkan,

menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau kateter penghisap.

Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan langkah-langkah

resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi.

Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi

2. Ventilasi

3. Kompresi dada

4. Penggunakan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk

menuju ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit

bayi. Contohnya,apnea dangasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau

penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis

sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi

dari resusitasi lebih lanjut.

4.1 Langkah awal untuk memulai resusitasi Neonatus

1. Menghangatkan

Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat

dilakukan dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang

diletakkan di bawah radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan

baik serta mencegah terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram,

mempunyai risiko tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus

dengan plastik, selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu

untuk mencapai normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi

iatrogenik.

Page 44: Modul Rjpo

2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas

Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang

dengan sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas harus

dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka

hidung dan mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb

syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih

dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga

mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu

kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan

bradikardi dan apneu.

Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari

100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan hidung

dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan.

Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses

persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas yang

buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan

suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat

dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French

(F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan memasukkan

endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan

mekonium sangat minimal.

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan

Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya

kehilangan panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat

diberikan rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak

kaki, atau dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.

Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama

yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang

Page 45: Modul Rjpo

cepat maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau

menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.

Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan

beberapa usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apnu sekunder.

Selama masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha

pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan

untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun

pada saat bayi mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya

apnu sekunder.

4. Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit

Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan

warna kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping

menunjukkan adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan positif.

Selain itu, laju nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan

palpasi tekanan nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri.

Jika laju nadi kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif.

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi

untuk menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya hipoksemia,

sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen

tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari 100 kali

per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu

dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.

a. Penilaian Jalan Nafas

Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat

dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi pada sniffing position untuk

membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan warna

kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang

abnormal, akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi neonatus,

pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif.

b. Pemberian Oksigen

Page 46: Modul Rjpo

Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari

100 kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen diberikan

dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan sungkup,

T-piece resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan.

Untuk memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup harus

diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara dengan Continuous

Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Jika

menggunakan selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan

diletakkan di depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit

(LPM) untuk waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi.

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Terdapat

penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen 100% untuk

resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat merugikan selama masa

post asfiksia, hal ini berdasarkan teori :

1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia

bergantung pada konsentrasi oksigen

2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level lebih

tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia , maka

dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat

mengurangi luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.

3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm dan

pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah jangka

panjang pada bayi preterm.

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada

penggunaan oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus preterm

juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih rendah

daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi menggunakan

oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan

mortalitas neonatus bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi terhadap aturan

di negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat menurunkan angka

kematian pada neonatus maupun bayi.

Page 47: Modul Rjpo

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan

jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya penggunaan

oksigen dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan

oxygen blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi

udara yang diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan oksigen

100% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-

95%, dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan.

Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi

tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:

1. Bayi yang apnea

2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik

3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

4.2 Penghentian Resusitasi

Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain

bayi dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400

gram, anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan

penghentian resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam

waktu 15 menit.

Page 48: Modul Rjpo
Page 49: Modul Rjpo

DAFTAR PUSTAKA

1. Hazinki, M. F., et al. 2010. American Heart Association Guidelines for CPR and ECC 2010.

Dallas, Texas, USA.

2. Morgan, G. E., et al. 2006. Chapter 47 Cardiopulmonay Resuscitation. Clinical Anesthesiology 4th

Edition. The McGraw – Hill Companies, Inc. USA. p:979 – 100

3. American Heart Association. 2005. Neonatal Resuscitation Guidelines. Circulation

Journal of the Amerivan Heart Association. USA..

4. Amoro,Wiji. 2011. Resusitasi kardiopulmoner dewasa. Surakarta, Indonesia

5. Ris, Andi. 2009. Ketrampian Dasar Anathesiology 3, RJP Neonatus – Dewasa, Modul 3.

Surakarta, Indonesia