modul a1 konsep dan ruang lingkup ketahanan keluarga diy 7

76

Upload: others

Post on 01-Jun-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 2: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 3: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

a. Modul B1.a Visi Berkeluarga

b. Modul B1.b Fungsi dan Peran Keluarga

c. Modul B1.c Persiapan‐persiapan Pernikahan

d. Modul B1.d Tatacara Memilih Calon Pasangan

e. Modul B1.e Memahami Karakter Pasangan Hidup

f. Modul B1.f Kesehatan Reproduksi

g. Modul B1.g Pendidikan Keuangan Keluarga

19

29

37

45

51

59

69

Page 4: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 5: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 6: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 7: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang mendukung individu anggotanya dan menjadi sumber kekuatan utama untuk menghadapi tantangan dan perubahan. Setiap manusia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga adalah dunia yang melindungi, membentuk, membesarkan, memperkuat individu sejak dalam kandungan sampai menjadi dewasa. Hal ini karena keluarga memiliki fungsi yang penting (Soeleman: 1994) seperti fungsi edukatif, sosialiasi, lindungan, afeksi, religius, ekonomi, rekreasi, dan biologi. Namun demikian fungsi‐fungsi penting tersebut bisa gagal dilakukan apabila keluarga dalam kondisi rentan atau lemah. Kerentanan ini bisa munculkan karena faktor laten seperti ekonomi, sosial dan psikologis. Kerentanan juga bisa muncul karena faktor lemahnya input dan output baik saat masa prapernikahan ataupun masa pascapernikahan. Oleh sebab itu, membangun ketahanan keluarga guna menghadirkan keluarga tangguh menjadi upaya paling mendasar dalam menghadirkan keluarga bahagia dan sejahtera.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi ini, peserta mengetahui urgensi pembangunan ketahanan keluarga

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Menjelaskan konsep ketahanan keluarga. 2. Menjelaskan budaya ketahanan keluarga di DIY. 3. Menjelaskan roadmap ketahanan keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Pokok Bahasan 1: Konsep Ketahanan Keluarga 1. Pengertian Ketahanan Keluarga. 2. Arah dan Tujuan Ketahanan Keluarga. 3. Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga.B. Pokok Bahasan 2: Budaya Ketahahan Keluarga di DIYC. Pokok Bahasan 3: Roadmap Ketahanan Keluarga.

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, spidol, LCD proyektor, alat peraga.

7

Page 8: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, Tanya‐Jawab, Diskusi kelompok, Latihan, Roleplay, dan Menonton Video.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam pelajaran 2 @45 menit. Untuk memfasilitasi tersampaikannya materi dan mendorong keterlibatan aktif seluruh perserta, dirincikan langkah‐langkah kegiatan sebagai berikut:

A. Langkah 1: Penyiapan Proses Pembelajaran (15 menit) 1. Kegiatan Fasilitator a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan ice breaking di kelas. b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan menanyakan kabarnya. c. Apabila sebelumnya belum pernah bertemu peserta yang dihadapi, fasilitator

memperkenalkan diri dengan menyebutkan hal‐hal yang penting untuk diketahui peserta, seperti nama, keluarga, latar belakang pendidikan dan aktivitas/instansi tempat bekerja.

d. Menggali pendapat peserta (brainstorming) tentang kasus permasalahan keluarga yang diketahui dan banyak dijumpai di tengah masyarakat.

e. Menggali pendapat perseta, apakah yang menjadi penyebab permasalahan keluarga muncul di tengah masyarakat (keluarga rentan).

f. Menggali pendapat peserta bagaimana upaya untuk menguatkan keluarga sehingga menjadi keluarga yang tangguh.

g. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran tentang materi pembangunan ketahanan keluarga.

2. Kegiatan Peserta a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan. b. Mengatur HP agar tidak mengganggu pembelajaran. c. Berpatisipasi aktif dalam kelas (misalnya dengan mengemukakan pendapat atas pertanyaan

fasilitator, menyumbangkan ide, dll). d. Mendengar dan mencatat hal‐hal yang dianggap penting. e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal‐hal yang belum jelas dan perlu

diklarifikasi agar materi dapat diterima dengan jelas.

B. Langkah 2: Dinamika Kelompok (30 menit) 1. Kegiatan Fasilitator a. Meminta kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (4 kelompok) dan setiap kelompok akan

diberikan tugas diskusi kelompok. b. Meminta kelompok untuk mendiskusikan dua hal: 1) Apakah sajakah yang menjadi faktor kerentanan keluarga? 2) Bagaimanakah membangun keluarga yang tangguh? c. Meminta masing‐masing kelompok untuk menuliskan hasil dikusi untuk dipresentasikan. d. Mengamati peserta dan memberikan bimbingan pada proses diskusi. 2. Kegiatan Peserta a. Membentuk kelompok diskusi. b. Mendengar, mencatat, dan bertanya terhadap hal‐hal yang kurang jelas kepada fasilitator. c. Melakukan proses diskusi sesuai dengan pokok bahasan/sub pokok bahasan yang

ditugaskan fasilitator dan menuliskan hasil dikusi pada lembar flip chart untuk dipresentasikan.

8

Page 9: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

C. Langkah 3 : Review Pokok Bahasan (45 menit) 1. Kegiatan Fasilitator a. Menyampaikan Pokok Bahasan dan sub pokok bahasan dari materi awal sampai dengan

materi terakhir secara garis besar dalam waktu yang singkat, dengan cara interaktif (melibatkan peserta secara aktif).

b. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan oleh peserta. c. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan atau mendiskusikan lebih

lanjut hal‐hal yang masih belum jelas. 2. Kegiatan Peserta a. Mendengar, mencatat, dan menyimpulkan hal‐hal yang dianggap penting. b. Berbagi pengalaman yang dapat memperkaya pembahasan c. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang diberikan. d. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

VII. URAIAN MATERI

A. Pokok Bahasan 1: Konsep Ketahanan Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang mendukung individu anggotanya dan

menjadi sumber kekuatan utama untuk menghadapi tantangan dan perubahan. Setiap manusia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga. Keluarga adalah dunia yang melindungi, membentuk, membesarkan, memperkuat individu sejak dalam kandungan sampai menjadi dewasa. Hal ini karena keluarga memiliki fungsi yang penting (Soeleman: 1994) seperti fungsi edukatif, sosialiasi, lindungan, afeksi, religius, ekonomi, rekreasi, dan biologi. Namun demikian fungsi‐fungsi penting tersebut bisa gagal dilakukan apabila keluarga dalam kondisi rentan atau lemah. Kerentanan ini bisa munculkan karena faktor laten seperti ekonomi, sosial dan psikologis. Kerentanan juga bisa muncul karena faktor lemahnya input dan output baik saat masa prapernikahan ataupun masa pascapernikahan.

Sebagai contoh keluarga rentan adalah keluarga miskin yang hidup di kontrakan. Kondisi ekonomi dan tempat tinggal yang tidak memadai, menyebabkan beberapa fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan baik. Faktor kekurangan ekonomi juga sering memicu gesekan antara suami istri. Di sisi lain ada juga sebuah keluarga yang kaya secara ekonomi tetapi rentang karena faktor komunikasi, sehingga antara suami‐istri saling curiga memiliki selingkuhan. Kondisi ini menyebabkan kondisi di dalam rumah penuh ketegangan yang secara langsung memiliki pengaruh buruk terhadap anak. Data yang dirilis berbagai lembaga menyebutkan angka perceraian yang terus meningkat, angka kekerasan dalam rumah tangga yang tak kunjung berkurang setiap tahunnya di Indoensia. Data serupa juga ditemui di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana pada tahun 2015 terdapat 5.851 kasus perceraian meningkat dari data tahun sebelumnya.

Konsep Ketahanan Keluarga Definisi tentang Ketahanan Keluarga pernah muncul dalam UU 10 Tahun 1992: “Ketahanan

keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik‐materiil dan psikis‐mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.” Definisi ini mengalami perubahan dalam UU 52 Tahun 2009: “Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan

9

Page 10: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.” Dari definisi dalam UU tersebut, konsep Ketahanan Keluarga setidak memiliki:

1. Keuletan dan Ketangguhan, 2. Kemampuan fisik‐ material, 3. Kemampuan Psikis‐Mental Spiritual.

Ketahanan Keluarga Keluarga Tangguh

Keuletan danKetangguhan

Psikis‐MentalSpiritual

Fisik‐Material

Mampumengatasimasalah

Fungsikeluarga

berjalan baik

Harmonis

Arah yang dituju dalam konsep Ketahanan Keluarga adalah membentuk Keluarga Tangguh. Keluarga Tangguh dalam hal ini mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik, dimana dalam PP. 87 tahun 2014 disebutkan ada 8 fungsi keluarga:

1. Fungsi keagamaan 2. Fungsi sosial budaya 3. Fungsi cinta kasih 4. Fungsi perlindungan 5. Fungsi reproduksi 6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan 7. Fungsi ekonomi 8. Fungsi pembinaan lingkungan Keluarga tangguh juga merupakan keluarga yang harmonis dimana pembagian peran dan

komunikasi antara anggota keluarga berjalan baik, saling menghormati dan saling melengkapi. Dan yang tidak kalah penting, keluarga tangguh memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan baik persoalan internal maupun eksternal.

Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga Upaya membangun Keluarga Tangguh melalui pembangunan Ketahanan Keluarga tidak dapat

dilakukan secara instan. Hal ini mengingat pembentukan keluarga juga melalui proses yang bertahap dimana setiap tahapnya memiliki ruang kerentanan yang berbeda.

10

Page 11: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Broad themes

Macro‐level context

Accumulation of positiveand negative effectson health and well‐beingover the life‐course

Prenatal Early years Working age Older age

Family‐building

Perpetuation ofinequities

SystemsWider society

Life‐course stages

WHO menyebutkan ada 4 tahapan yang perlu diperhatikan dalam pembentukan keluarga: masa sebelum melahirkan (prenatal), masa anak‐anak (early years), masa bekerja (working age), dan masa tua (older age). Lebih jauh Prof. Sunarti menyebutkan kerentanan dalam tahapan keluarga sbb:

11

Page 12: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Memperhatikan beberapa konsep di atas, ruang lingkup dalam Kurikulum dan Modul Ketahanan Keluarga ini dibagi dalam 2 tahapan besar:

1. Prapernikahan yang difokuskan kepada masa perkembangan dari semenjak anak‐anak hingga dewasa dan secara khusus calon pasangan yang akan melaksanakan perkawinan. Pada lingkup ini, kurikulum dan modul mengarah kepada pemberian bekal yang cukup bagi individu sehingga memiliki pemahaman yang baik tentang keluarga, kecintaan kepada keluarga dan penyiapan dalam berkeluarga.

2. Pascapernikahan, yang melingkupi pasangan di awal menikah, prenatal, saat memiliki anak usia dini, saat memiliki anak di usia remaja, hingga saat usia tua. Pada lingkup ini kurikulum dan modul mengarah kepada pemberian bekal kepada orang tua sehingga memiliki bekal yang memadai dalam pengasuhan anak pada masa bayi dan usia dini, menyiapkan anak masuk dunia sekolah, menyiapkan anak usia remaja dan dewasa agar memiliki kesiapan dalam berkeluarga serta kesiapan kehilangan pasangan hidup.

B. Pokok Bahasan 2: Budaya Keluarga di DIY Salah satu aspek penting dalam Keistimewaan DIY adalah terkait dengan Kebudayaan

Ngayogyakarta Hadiningrat yang Adiluhung. Budaya Kraton terbentuk dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya. Demikian pula saat kemudian melihat budaya masyarakat Yogyakarta dalam berkeluarga, terkandung nilai‐nilai positif yang perlu untuk dilestarikan. Sebagaimana disampaikan oleh Geertz, di setiap kebudayaan, akan ditemui pola pengasuhan dalam keluarga yang berbeda pula. Di mulai dari keluarga, terdapat sebuah tata cara mendidik seorang anak yakni pendidkan karakter, pembentukan moral dan etika, yang keseluruhan itu terbingkai pada falsafah hidup masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, keluarga inti bagi masyarakat Jawa merupakan kesatuan keluarga yang paling penting.

Di dalam budaya keluarga di Yogyakarta, hal yang cukup menonjol dapat disaksikan adalah pengajaran tentang kerukunan dan tatakrama. Dalam bab kerukunan, di dalam keluarga banyak wejangan untuk saling menghormati dan menyayangi antara sesama anggota keluarga. Bahkan setiap anggota keluarga juga harus mampu bersosialisasi kepada masyarakat di sekitarnya. Dalam bab tatakrama, di dalam keluarga diajarkan sopan satun (unggah‐ungguh) baik dari sisi berbahasa maupun dalam sikap. Seorang anak harus menghormati dan patuh kepada orang tua, hal ini tercermin dengan penggunaan bahasa krama inggil, sebaliknya orang tua memberikan kasih sayang kepada anak.

12

Page 13: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Di dalam pengasuhan terhadap anak, akan ditemukan di dalam budaya masyarakat Yogyakarta, hal tersebut tidak hanya menjadi monopoli dari seorang ibu akan tetapi juga seluruh anggota keluarga seperti kakek, ayah maupun kakak. Hal ini menunjukkan tidak ada dikotomi peran, yang mengharuskan pengasuhan hanya dilakukan oleh seorang ibu. Seorang ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam membingbing anak. Hildred Geertz (1992:53) mengatakan bahwa orang tua dalam budaya keluarga Jawa merupakan pengatur norma‐norma masyarakat kepada anaknya.

Cukup banyak norma/ falsafah hidup yang berkembang sebagai tatanan nilai kehidupan bermasyarakat dan keluarga di Yogyakarta, sebagian di antara dapat dilihat dalam tabel di bawah. Norma/ falsafah yang banyak mengandung nilai kebaikan ini terbukti mampu membentuk keluarga yang tangguh, karena di dalamnya mengajak kepada nilai‐nilai postif dalam berkeluarga.

No.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Falsafah

Holopis kuntul baris

Tuna sathak bathi sanak

Rukun agawe santosa,crah agawe bubrah

Jer basuki mawa bea

Meksa luwih becik ingomahe dhewe

Obah mamah

Becik ketitik, ala ketara

Rawe‐rawe rantas,malang‐malang putung

Dhemit ora ndulit,setan ora doyan

Makna dalam Keluarga

Bergotong‐royong yang bermakna pentingnya bekerjasama di dalam keluarga yang didasari cinta‐kasih untuk saling berbagi dan meringankan beban.

Kehilangan harta tetapi bertambah saudara. Sebagai pedoman bahwa dalam membina keluarga tidak menjadikan harta benda menjadi ukuran utama, tetapi lebih penting wujud kasih sayang.

Bahwa kerukunan di dalam keluarga akan menghadirkan kebahagiaan, sebaliknya apabila banyak bertengkar akan menghadirkan kerusakan keluarga.

Setiap keberhasilan membutuhkan usaha. Anggota keluarga dididik untuk bekerja keras dalam upaya meriah kesuksesan.

Tempat bagi keluarga yang paling nyaman adalah rumah sendiri yang bangunannya tidak harus besar, tetapi di dalamnya hidup rukun.

Memberi pengajaran bahwa setiap anggota keluarga terutama seorang ayah punya tanggung jawab utama untuk bekerja demi kelangsungan keluarga.

Kebaikan akan tampak, keburukan akan terlihat. Hal ini menjadi pedoman agar senantiasa mengutamakan kejujuran di dalam keluarga.

Terus maju dan pantang menyerah. Sekali sudah membangun rumah tangga harus berusaha mempertahankan sekuat tenaga.

Agar setiap anggota keluarga, terutama suami maupun istri untuk tidak mudah tergoda sehingga keluarga senantiasa dalam keselamatan.

13

Page 14: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Golek banyu bening

Jembar segarane

Ajining diri dumuninganeng lathi

Alon‐alon watonkelakon

Angon mongso

Ngalem legining gula

Pupur sadurunge benjut

Ojo dumeh

Bahwa dalam berkeluarga perlu untuk senantiasa menambah bekal dengan belajar kepada guru yang baik dan benar.

Pentingnya interaksi di dalam keluarga dilandasi dengan jiwa besar, mau mendengarkan pasangan, saling pengertian dan mau memaafkan.

Kualitas diri tercermin dari tutur kata. Bermakna pentingnya senantiasa mengasah perilaku sehingga menjadi pribadi yang berkualitas.

Bahwa setiap keluarga perlu membuat rencana yang kemudian diwujudkan secara bertahap sehingga mencapai keberhasilan.

Tepat saat bertindak, bermakna setiap anggota keluarga khususnya pasangan suami‐istri harus memperhatikan kondisi dan situasi dalam berkomunikasi sehingga tidak menimbulkan salah pengertian.

Memuji sesuatu yang baik bermakna pentingnya untuk memberikan apresiasi. Suami memuji kebaikan istri dan sebalik, orangtua memuji dan menghargai kebaikan anak‐anaknya.

Berhati‐hati sebelum celaka, mengajarkan agar setiap anggota keluarga khususnya orangtua harus senantiasa berhati‐hati dalam melangkah karena menjadi contoh dan panutan bagi anak.

Siapapun di dalam keluarga tidak boleh sombong karena akan merusak hubungan harmonis di dalamnya.

C. Pokok Bahasan 3: Roadmap Ketahanan Keluarga Tujuan utama dari pembangunan ketahananan keluarga adalah membentuk keluarga tangguh

yang dengannya akan menghadirkan keluarga yang bahagia. Oleh sebab itu Pembangunan Ketahanan Keluarga harus harus dilakukan secara integral, simultan dan berkelanjutan mengingat kondisi keluarga rentan yang semakin meluas. Sebagaimana terlihat, berbagai faktor yang mempengaruhi kerentanan keluarga masih banyak di temui di wilayah DIY. Dari aspek fisik‐material, masih ada 15 % penduduk DIY yang berada di bawah garis kemiskinan. Masih terdapat 20 ribu rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni. Masih terdapat 9% pengangguran, belum lagi pada aspek Psikis‐Mental Spiritual di mana angka kekerasan dan kejahatan yang meningkat. Dari aspek kesiapan dalam membangun keluarga, masih sangat minim pembekalan bagi caten belum lagi data dispensasi pernikahan yang meningkat dari tahun ke tahun akibat caten hamil karena hubungan di luar nikah.

14

Page 15: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Upaya mengatasi permasalahan dengan pendekatan pembangunan ketahanan keluarga perlu dilakukan dalam tahapan‐tahapan yang terukur. Salah satu instrument utama dalam pembangunan ketahahan keluarga di DIY adalah Relawan Konselor Keluarga. Pada tahap awal, ditargetkan terdapat 1 Konselor di tiap Desa/Kelurahan. Tahap berikutnya diharapkan terus bertambah sehingga di setiap RW terdapat 1 orang Relawan Konselor Keluarga. Pada tahap akhir keberadaan Relawan Konselor Keluarga ada di tiap RT.

Tahap I.Penyiapan

Konselor Keluarga(1 Desa,

1 Konselor Utama)

Tahap II.Perluasan

Konselor Keluarga(1 RW,

1 Konselor Pembantu)

Tahap III.Pemantapan

Konselor Keluarga(Tiap 1 RT, 1 Konselor Pembantu)

Semakin bertambahnya Relawan Konselor Keluarga hingga level RT diharapkan mampu memperbanyak kegiatan bertema keluarga di level RT, mengingat cukup banyak pertemuan warga masyarakat di level terkecil. Pengetahuan tentang keluarga dapat menyebar secara luas dan diharapkan mendorong tumbuhnya Keluarga Tangguh.

VIII. REFERENSI

Soelaeman , M. I. 1994. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: AlfabetaSoekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga, Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta:

Rineka CiptaGunarsa, Y. S. D. 2002. Asas‐asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: Gunung Mulia.http://ncipuii.org/wp‐content/uploads/2016/03/NCIP‐2016‐Sunarti‐Penguatan‐Karakter‐dan‐

Ketangguhan‐Keluarga‐Indonesia.pdfhttp://www.kingsfund.org.uk/sites/files/kf/media/Peter‐Goldblatt‐Social‐determinants‐of‐ageing‐

well.pdfGeertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

15

Page 16: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 17: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 18: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 19: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Visi Berkeluarga ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan pentingnya visi dalam berkeluarga. Selain itu, diharapkan mereka juga mampu memandu peserta pelatihan pra‐nikah agar mampu merancang dan merumuskan visi berkeluarga. Berdasarkan data Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014 menjelaskan bahwa jumlah angka perceraian mencapai 5851 kasus. Sementara itu, permintaan dispensasi nikah di kotamadya Yogyakarta, berdasar data Pengadilan Tinggi Agama mencapai kisaran angka 370 pasang. Data Pengadilan Agama Kabupaten Sleman 2015 menyebutkan bahwa permintaan dispensasi nikah di Kabupaten Sleman sebesar 132 pemohon, 60% di antaranya adalah anak usia SMP. Dispensasi nikah merupakan izin untuk menikah karena yang bersangkutan masih berada di bawah usia pernikahan. Gejala tingginya angka permohonan dispensasi nikah, menunjukkan bahwa secara umum pasangan yang akan menikah sebenarnya belum memiliki visi berkeluarga. Mereka mengajukan dispensasi nikah karena faktor‐faktor tertentu yang memaksanya untuk segera menikah. Kondisi ini tentu saja dapat memunculkan kerentanan dalam keluarga. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait pentingnya visi dalam keluarga serta bagaimana merumuskannya perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah mengikuti materi ini, konselor keluarga konsultan keluarga komunitas memahami visi,

tujuan, dan fungsi berkeluarga.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan pentingnya visi dalam keluarga dengan baik. 2. Merancang rencana berkeluarga dalam bentuk Proposal Keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Pokok Bahasan 1: Keluarga Sebagai Sebuah Tim 1. Pengertian keluarga. 2. Keluarga sebagai tim. 3. Prinsip‐prinsip membangun soliditas tim keluarga.B. Pokok Bahasan 2: Visi Dalam Keluarga 1. Membangun keluarga karena visi. 2. Urgensi visi dalam keluarga. 3. Merumuskan visi keluarga Yogya.

19

Page 20: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

C. Pokok Bahasan 3: Langkah‐Langkah Berbagi Visi Dalam Keluarga 1. Memilih pasangan sevisi sejak awal. 2. Menyepakati tujuan dan visi keluarga (bersama calon pasangan).D. Pokok Bahasan 4: Merancang Proposal Keluarga 1. Urgensi merancang proposal menjelang pernikahan. 2. Langkah‐langkah merancang proposal keluarga.

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=2jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut.

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. Fasilitator mengajak peserta untuk melakukan beberapa

simulasi. a. Fasilitator meminta salah seorang peserta untuk menggambar “mulut tersenyum” pada

sebuah sketsa wajah di flipchart, dengan ditutup matanya. b. Peserta lain memandu secara bersamaan dengan berteriak. Beberapa peserta memandu

dengan benar, sebagian memberikan panduan secara salah. c. Setelah peserta yang ditutup matanya selesai menggambar, fasilitator membuat meminta

satu peserta gantian mencoba. d. Pada percobaan kedua sama seperti instruksi sebelumnya, hanya saja peserta yang berhak

memandu dengan bersuara hanya satu. e. Di akhir permainan, fasilitator membuat refleksi. Seseorang membutuhkan arahan yang

jelas dalam hidup ini, agar ia tidak diombang‐ambingkan oleh banyak hal. Pengarah hidup kita, terlebih dalam berkeluarga adalah visi.

2. Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok bahasan.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan: a. Keluarga sebagai sebuah tim, b. Visi dalam keluarga, c. Langkah‐langkah berbagi visi dalam keluarga. 2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta. 3. Peserta dengan dipandu fasilitator merancang proposal keluarga mereka. 4. Peserta membacakan proposal keluarga mereka.

20

Page 21: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Peserta diberi kesempatan untuk bertanya dan atau mendiskusikan beberapa hal yang dianggap

belum jelas. 2. Fasilitator memberikan tanggapan balik kepada peserta. 3. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 4. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

VII. URAIAN MATERI

A. Keluarga Sebagai Sebuah Tim 1. Pengertian Keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami‐istri, atau

suami‐istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Pengertian di atas merujuk pada UU No. 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Pengertian tersebut lebih fokus berbicara pada komposisi keluarga.

Pengertian lain memandang keluarga sebagai struktur yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya, dan juga untuk memelihara masyarakat yang lebih luas. Pengertian ini lebih sesuai dengan cara pandang masyarakat Yogyakarta terhadap keluarga. Pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis anggotanya merupakan bagian dari fungsi keluarga untuk menciptakan kondisi rukun dalam keluarga. Sementara itu, peran memelihara masyarakat yang lebih luas, terwakili dengan konsep srawung.

2. Keluarga Sebagai Tim Bersatunya suami dan istri dalam keluarga tidak hanya berupa persatuan fisik, tetapi juga

merupakan penyatuan tujuan, cita‐cita, dan harapan. Suami, istri, dan anggota keluarga yang lain harus menyadari bahwa mereka merupakan sebuah tim yang memiliki visi, tujuan, dan arahan bersama yang akan dicapai bersama‐sama pula. Layaknya sebuah tim, keluarga semestinya juga memiliki ciri‐ciri dasar, seperti (a) memiliki visi dan tujuan yang dipahami bersama, (b) menentukan kepemimpinan bersama, (c) menentukan dan mendistribusikan tugas dan peran secara baik, dan (d) memiliki aturan bersama sebagai sebuah tim.

3. Prinsip‐prinsip Membangun Soliditas Tim Keluarga Sebuah keluarga yang menyadari diri mereka merupakan sebuah tim akan memiliki

ketahanan yang baik manakala mengikuti sejumlah prinsip. Prinsip‐prinsip tersebut, antara lain: a. Terpahaminya nilai, tujuan, kebutuhan, dan minat bersama oleh setiap anggota keluarga.

Sebuah keluarga yang tidak didasarkan pada kesamaan nilai, tujuan, minat, dan kebutuhan memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi daripada yang memiliki nilai dan tujuan yang sama.

b. Tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang antar anggota keluarga. c. Adanya kepemimpinan dalam keluarga yang ditegakkan dan dihormati. d. Distribusi tugas dan peran berjalan dengan baik sebagai sebuah tim. e. Adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan semua anggota keluarga.

Musyawarah keluarga berjalan dengan baik sebagai mekanisme pengambilan keputusan. f. Adanya aturan bersama dalam keluarga yang dihormati dan ditegakkan. Aturan ini dibentuk

berdasarkan nilai‐nilai yang diyakini dan dipegang erat dalam keluarga. Dalam praktiknya, aturan dalam keluarga bisa tidak tertuang secara formal dan tertulis, tetapi poin‐poinnya terpahami dengan baik oleh setiap anggota keluarga.

21

Page 22: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

B. Visi dalam Keluarga 1. Membangun Keluarga Karena Visi Sebuah keluarga dibangun tidak hanya karena cinta, tetapi juga karena visi. Keluarga yang

tegak karena visi akan memiliki ketahanan lebih baik dalam menghadapi banyak situasi dalam perkawinan. Kehidupan keluarga, seperti diungkapkan Stephen R Covey (1997), seperti halnya sebuah penerbangan. Sebelum pesawat lepas landas, pilot memiliki rencana penerbangan. Sang pilot tahu persis akan menuju ke mana dan memulai penerbangan dengan rencana apa. Dalam konteks berkeluarga, tujuan penerbangan itu adalah visi.

Dalam perjalanannya, rencana penerbangan tidak selamanya berjalan mulus. Adakalanya cuaca, turbulensi, hujan, lalu lintas udara, kesalahan manusia, dan faktor‐faktor lain memaksa pilot menggerakkan pesawat ke arah yang sedikit berbeda. Hanya karena sang pilot telah menentukan tujuan perjalanan sejak awal, sekaligus telah merancang rencana perjalanan yang akan dilakukannya, setiap pergeseran arah dalam perjalanan karena menyesuaikan kondisi tersebut, akan dengan mudah untuk dikembalikan ke arah tujuan awal dengan lintasan yang telah direncanakan.

Demikian pula dengan sebuah keluarga. Semestinya ia dibangun berdasarkan visi yang jelas. Visi itulah yang akan memandu perjalanan sebuah keluarga. Visi pula yang akan menjadikan sebuah keluarga mampu mengatasi rintangan‐rintangan yang dihadapi. Tanpa visi, sebuah keluarga akan berjalan tanpa arah dan sangat rentan untuk menyimpang jauh. Jadi, sebuah keluarga tidak hanya dibangun dengan cinta, tetapi juga visi yang kuat dan jelas.

2. Urgensi Visi Dalam Keluarga Visi dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting karena beberapa alasan

berikut ini. a. Visi akan memandu dan memberikan arah perjalanan sebuah keluarga, b. Visi memperkuat daya tahan keluarga dalam menghadapi banyak situasi dan masalah, c. Visi memandu keluarga dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukannya. 3. Merumuskan Visi Keluarga Yogya Sebagai bagian dari masyarakat Yogyakarta, selayaknya keluarga Yogyakarta dibangun

berdasarkan nilai‐nilai yang membentuk masyarakatnya. Nilai‐nilai dasar yang membentuk keluarga Yogyakarta dapat dirujuk pada falsafah hidup dari Sultan Hamengkubawana I, yaitu pertama, prinsip sangkan paraning dumadi. Kedua, prinsip hamangku, hamengku, dan hamengkoni. Ketiga, prinsip catur sagatra, yaitu sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.

Prinsip pertama, yaitu sangkan paraning dumadi. Prinsip ini bermakna kesadaran akan asal (sangkan) dan tujuan hidup (paran) sebagai makhluk. Prinsip ini dapat terlihat jelas pada tata kota Yogyakarta, sejak Panggung Krapyak hingga Kraton sebagai pralambang sangkan atau asal kehidupan. Sementara dari Kraton hingga Tugu Golong Gilig mewakili makna paran, atau tujuan hidup manusia.

Jika dirunut lebih jauh, sepanjang Panggung Krapyak hingga Plengkung Nirbaya di Gading memperlihatkan simbol‐simbol kelahiran hingga bagaimana membesarkan bayi dan anak‐anak hingga beranjak remaja. Dimulai dari asal mula (wiji) manusia yang berasal dari nutfah, ‘alaqah, dan mudghah dengan ditandai adanya kampung Mijen di sebelah selatan Panggung Krapyak. Kelahirannya ditandai dengan penamaan kampung di sisi utara Panggung dengan Mijil. Di kanan dan kiri jalan yang menghubungkan Panggung Krapyak dan Baluwarti Kraton ditumbuhilah pohon Asem Jawa (Tamarindus indica) dan pohon Tanjung (Mimusops elengi L.). Betapa dalam Sultan HB I menuntunkan bagaimana masyarakat Yogyakarta harus membesarkan anak‐anak.

22

Page 23: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Fase anak‐anak mésem (tersenyum) sebagai pertanda syukur pada Sang Pencipta, sebab seorang bayi memang mempesona (nyengsemake). Oleh karena itu, di fase ini, anak‐anak perlu dibesarkan dengan sanjungan sepenuh kasih‐sayang, sembari menyanjung pula Penciptanya. Inilah salah satu cara menumbuhkan potensi anak‐anak. Daun pohon Asem Jawa (sinom) juga simbol keindahan masa remaja.

Memasuki Alun‐alun Selatan simbol masa‐masa remaja hingga masa pernikahan terlihat lebih jelas. Ini menunjukkan bahwa selayaknya pernikahan bagi warga Yogyakarta haruslah dipersiapkan dengan lebih matang. Dimulai dari makna pohon Wok atau Beringin (Ficus benyamina) yang ditanam sepasang di tengah alun‐alun. Keduanya melambangkan tanda kedewasaan (baligh). Akar‐akar beringin yang menjuntai menandai tumbuhnya brewok bagi anak laki‐laki, atau juga rambut kemaluan yang menunjukkan perubahan secara fisik dari masa kanak‐kanak ke masa dewasa, baik pada anak laki‐laki maupun perempuan.

Tumbuh pula di seputaran Alun‐alun Selatan pohon Pakel (Mangifera foetida L.), Pelem (Mangifera indica), dan Kweni (Mangifera odorata). Pekel bermakna seseorang memasuki masa ‘aqil (dewasa secara fisik dan matang pula dari sisi akal), Pelem berarti gelem (bersedia), yaitu untuk melaksanakan beban beragama sebagai konsekuensi dari masa akil‐baligh. Sementara itu, Kweni bermakna wani (berani), yakni berani untuk bertanggungjawab atas setiap tindakannya. Jadi, sebelum memasuki perkawinan, seseorang harus matang, taat, serta bertanggungjawab.

Bergerak ke utara terdapat tratag, yang berundak‐undak, menuju Sitihinggil. Inilah perlambang kehidupan yang mesti dijalani dengan kesungguhan. Di kiri dan kanannya tumbuh pohon Gayam (Inocarpus fagiferus). Gayam menyaran pada makna ayem (tenang). Begitulah perasaan yang akan muncul manakala seseorang menjadikan Allah sebagai sandaran hidupnya saat meniti jalan yang menanjak dan berundak‐undak sekalipun. Akan tetapi, ia juga menyaran pada makna ketenangan yang akan diperoleh pada mereka yang mulai bertemu dengan jodohnya, lalu bersungguh‐sungguh hendak menuju ke jenjang perkawinan.

Maka memasuki Sitihinggil tumbuhlah Gayam, Soka (Ixora coccinea) merah‐putih, dan Mangga Cempora (Mangifera indica cempora) yang berbunga halus. Inilah lambang pertemuan jodoh dan kehidupan rumah tangga yang diharapkan penuh sakinah (Gayam, tenteram), mawaddah (Soka), dan rahmah (Cempora). Di Sitihinggil pula terdapat Sela Gilang, tempat singgasana Sultan–dulu sering digunakan Sultan untuk menyaksikan latihan perang, gladi, persiapan grebeg, hingga rampogan (pertandingan ketangkasan manusia, kerbau, dan harimau). Inilah lambang bahwa seorang temanten teribaratkan sebagai raja sehari.

Tumbuh pula pohon Kepel (Stelechocarpus burahol), Pelem, dan Kelapa Gading (Cocos nucifera L.), Jambu Dersana (Syzygium malaccense L.) yang ditanam di depan Kemandungan, yang melahirkan temanten putri yang sedang mengandung. Sebuah keluarga seharusnya memiliki kebulatan tekad (kempel)–semacam kesatuan visi keluarga, kemauan yang kuat (gelem) untuk berikhtiar, dan kesediaan untuk membangun keluarga dengan kasih sayang (sudarsana), serta Kelapa Gading yang bermakna harapan untuk mendapatkan anak yang bersih dan sehat.

Ada banyak simbol di dalam Kraton, tetapi kita akan melompat pada makna bagian depan Kraton hingga ke Tugu Golong Gilig sebagai pralambang paraning dumadi atau tujuan hidup sebagai makhluk Tuhan.

23

Page 24: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Berjalan ke arah utara setelah dari Alun‐alun Utara, terbentanglah jalan Marga Mulya atau jalan kemuliaan. Untuk menempuhi jalan kemuliaan itu kadang terdapatlah ujian‐ujian yang terlambangkan atas beberapa bangunan di samping kanan dan kirinya; ada pengaruh budaya asing yang terlambangkan oleh Kediaman Residen Gedung Agung dan Benteng Vredeburg, godaan harta dengan pralambang Pasar Beringharjo, dan sebagainya. Menyambung jalan ini adalah Jalan Malioboro. Kata ini terambil dari kata Malih dan Obora. Jadilah obor, pelita keteladanan bagi sesama. Dalam konteks keluarga, ia mengarahkan kita untuk membentuk keluarga yang dapat dijadikan tuladha. Tapi Jalan Malioboro juga terambil dari kata wali dan ngalemboro. Perubahan bentuk dari wali ke mali, seperti pada kata wadon ke madon yang menyaran makna menyukai. Akhirnya, ia dapat pula bermakna jadilah para penempuh laku para wali.

Jika perjalanan berlanjut lurus ke utara sampailah ke Marga Utama atau jalan keutamaan. Di ujungnya tegak berdiri Tugu Golong Gilig. Dialah makna kebulatan tekad (golong) dan juga ketegasan akidah (gilig). Tugu inilah simbol persatuan raja dengan rakyat untuk satu tujuan dan tekad mewujudkan peran kehambaan (abdullah) dan peran pemakmur bumi (khalifatullah).

Keseluruhan filsafat hidup yang dirancang Sultan Hamengkubawana I tersebut berakar pada prinsip sangkan paraning dumadi. Prinsip inilah yang semestinya mendasari pula pembangunan keluarga Yogyakarta. Sebuah keluarga yang ditegakkan atas dasar prinsip dan visi kehambaan tetapi juga pemakmuran bumi. Sebuah keluarga yang kokoh berasaskan Ketuhanan Yang Mahaesa, tetapi sekaligus juga tegak di atas prinsip hamangku (melayani), hamengku (melindungi dengan keadilan dan kasih sayang), serta hamengkoni (kesedian bertanggung‐jawab atas amanah yang disematkan kepadanya). Ini artinya, keluarga Yogyakarta tidak hanya kokoh secara internal, tetapi sekaligus memiliki tugas untuk melayani, melindungi, dan menunaikan tugas untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan alamnya. Ini sekaligus terjiwai oleh prinsip Sultan Hamengkubawana I, Hamemayu Hayuning Bawana, memperindah keindah‐an semesta.

Keseluruhan falsafah hidup tersebut mewujud dalam watak keluarga dan masyarakat Yogyakarta yang semestinya sawiji (menyatu), greget (bersemangat), sengguh (yakin tanpa jumawa), dan ora mingkuh (berkemauan keras dan bertanggung jawab). Ketika seseorang telah memutuskan untuk menikah mereka harus menyatu (nyawiji), tidak hanya fisik, tetapi juga rasa dan pikiran. Anggota keluarga menyatukan dirinya dalam visi pernikahan. Kehidupan pernikahan dan seluruh fungsi dan perannya haruslah dijalankan dengan semangat (greget), terutama untuk mewujudkan visi bersama tersebut. Jika dalam perjalanannya terkadang dijumpai ada masalah yang mendera, sebagai sebuah tim, suami‐istri harus punya keyakinan untuk mampu mengatasinya. Tapi dalam usaha tersebut, mereka tidak harus saling bersikap angkuh dan jumawa. Sebagai sebuah tim mereka harus saling bersinergi. Selanjutnya, dalam perjalanannya sebuah keluarga harus berorientasi pada visi bersama. Apapun tantangannya mereka harus bersikap ora mingkuh.

Jika dirumuskan secara sederhana maka keluarga Yogyakarta semestinya diarahkan agar menjadi keluarga yang tangguh. Konsep tangguh ini terjadi ketika sebuah keluarga hidup rukun dan harmonis. Itulah sebabnya, sebuah keluarga yang rentan konflik biasa disebut sebagai keluarga yang ora rukun atau congkrah. Akan tetapi, keluarga yang dapat menjadi tuladha (teladan) tidak hanya yang hidup rukun dan harmonis, ia juga harus memiliki keterlibatan dan kontribusi sosial yang baik. Ide ini terwakili dengan konsep srawung. Sebuah keluarga yang tidak pernah terlibat dalam aktivitas sosial kemasyarakatan akan dianggap sebagai keluarga yang ora tau srawung.

24

Page 25: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

C. Langkah‐Langkah Berbagi Visi dalam Keluarga 1. Memilih Pasangan Sevisi Sejak Awal Pernikahan yang kokoh tidak hanya didasarkan pada perasaan cinta. Ia semestinya dilandasi

oleh visi yang kokoh. Itulah sebabnya kejelasan visi hidup akan mengarahkan seseorang untuk memilih pasangan hidup yang memiliki kesamaan visi. Jadi, langkah pertama untuk membangun kesamaan visi adalah memilih pasangan yang sevisi sejak awal. Jika seseorang berpandangan bahwa suami‐istri adalah penanggung jawab pendidikan anak, ia akan memilih pasangan hidup yang memiliki pandangan serupa. Mengenali calon pasangan semestinya tidak hanya pada perkara fisik, tetapi juga mengenai perasaan dan pikiran‐pikirannya. Yang perlu diperhatikan perkawinan yang dilakukan akan berlangsung sepanjang usia dan tidak hanya main‐main saja.

2. Menyepakati Tujuan dan Visi Keluarga (Bersama Calon Pasangan) Menyamakan persepsi dan visi bersama calon pasangan haruslah menjadi prioritas.

Masing‐masing calon pasangan dapat saling bertanya tentang untuk apa mereka melaksanakan pernikahan? Keluarga seperti apa yang diidealkan? Bagaimana suami‐istri harus memainkan perannya di dalam keluarga?

Jadi seseorang melangsungkan pernikahan bukan semata‐mata sebagai penyaluran hasrat biologis, tetapi hendaknya didasarkan pada kejelasan visi di antara calon pasangan.

25

Page 26: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

D. Merancang Proposal Keluarga 1. Urgensi Merancang Proposal Menjelang Pernikahan Ada beberapa manfaat merancang proposal keluarga menjelang perkawinan, antara lain

sebagai berikut: a. Memandu calon pasangan untuk mengkomunikasikan visi dan tujuan berkeluarganya pada

calon pasangan, maupun pihak lain yang terkait. b. Membantu calon pasangan untuk mengukur kesiapan sekaligus menyiapkan program‐

program yang mendukung penyiapan dirinya saat akan melangsungkan pernikahan. c. Memberikan deskripsi tentang rumah tangga yang akan dijalani, bagaimana langkah untuk

mengokohkannya sekaligus mengantisipasi sejumlah kerentanan yang mungkin akan terjadi.

2. Langkah‐langkah Merancang Proposal Keluarga Langkah‐langkah dalam menyusun keluarga adalah sebagai berikut: a. Menuliskan deskripsi diri. b. Merancang visi dan tujuan pernikahan. c. Menentukan proyeksi masa depan terkait dengan keluarga. d. Memetakan kesiapan diri untuk berkeluarga beserta program‐program yang dapat

dilakukan, misal mengikuti pelatihan pranikah, silaturahmi dengan tokoh untuk menggali kesuksesan berkeluarga, dan membaca buku‐buku pernikahan.

e. Deskripsi pasangan untuk mendukung visi dan tujuan pernikahan.

VIII. REFERENSI

Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective Families. US: FranklinCovey Co.Suhardjo, Dradjat. 2004. Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: Safiria Insania Press.Takariawan, Cahyadi. 2016. Wonderful Journey for Marriage: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan

Suci. Solo: Era Intermedia.

26

Page 27: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 28: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 29: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Fungsi dan Peran Keluarga ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan fungsi dan peran keluarga. Selain itu, diharapkan mereka juga mampu memandu peserta pelatihan pra‐nikah agar mampu mengontekstualisasikan fungsi dan peran keluarga, terutama yang tercantum dalam PP No 87 Tahun 2014, dalam konteks sosial dan budaya Yogyakarta. Salah satu arah kebijakan nasional pembangunan keluarga adalah memberdayakan fungsi keluarga. Sebuah keluarga dikatakan berdaya ketika ia dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal. Fungsi‐fungsi keluarga tersebut adalah fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi pembinaan lingkungan. Kerentanan yang terjadi di dalam sebuah keluarga, biasanya terjadi karena tidak berjalannya fungsi keluarga dengan baik. Pada 2015, sebagaimana catatan Women Crisis Center Rifka Annisa, kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat menjadi 313 kasus, setelah sebelumnya berada pada angka 252 kasus (merdeka.com, 23/12/2015). Terjadinya KDRT adalah contoh sederhana tidak berjalannya fungsi perlindungan di dalam keluarga. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait delapan fungsi keluarga serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan berkeluarga perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Konsultan keluarga komunitas memahami fungsi dan peran keluarga dan dapat mentransfernya

dalam pelatihan.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan delapan fungsi keluarga. 2. Memahami, menjelaskan, dan memandu peserta pelatihan pranikah untuk merumuskan

peran keluarganya berdasarkan delapan fungsi keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Ruang Lingkung Fungsi Keluarga 1. Ruang Lingkup Keluarga 2. Urgensi Memahami Fungsi Keluarga 3. Dampak Keberfungsian KeluargaB. Delapan Fungsi Keluarga dan Konteksnya dalam Keluarga Yogyakarta 1. Fungsi Keagamaan 2. Fungsi Sosial Budaya 3. Fungsi Cinta Kasih 4. Fungsi Perlindungan 5. Fungsi Reproduksi 6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan 7. Fungsi Ekonomi 8. Fungsi Pembinaan Lingkungan

29

Page 30: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam pelajaran (T=1jp, P=1jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan: Delapan Fungsi Keluarga. 2. Fasilitator memandu diskusi kelompok tentang Delapan Fungsi Keluarga dan konteksnya dalam

keluarga Yogyakarta. 3. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

30

Page 31: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Ruang Lingkup Fungsi Keluarga 1. Ruang Lingkup Keluarga Keluarga, sebagai unit sosial terkecil, memiliki beberapa fungsi, baik yang bersifat internal

maupun eksternal. Fungsi internal keluarga diarahkan agar keluarga mampu menjalani seluruh kehidupannya. Sementara itu, fungsi eksternal keluarga ditujukan agar sebuah keluarga memiliki peran dalam membangun masyarakat dan memelihara alam.

2. Urgensi Memahami Fungsi Keluarga Fungsi keluarga harus dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh anggota keluarga. Dengan

cara demikian tujuan keluarga untuk memperoleh kesejahteraan akan lebih mudah dicapai. Sunarti (2014) menjelaskan dua alasan agar fungsi‐fungsi keluarga, baik yang internal maupun eksternal, dipahami seluruh anggota keluarga.

a. Memudahkan keluarga untuk melaksanakan dan memenuhi fungsi keluarga. b. Bagi pasangan yang akan berkeluarga pemahaman terhadap fungsi keluarga akan

memandu mereka untuk menyiapkan diri sehingga kelak dapat menjalani kehidupan berkeluarga dengan lebih baik.

3. Dampak Keberfungsian Keluarga a. Dampak ketika fungsi keluarga berfungsi dengan baik: 1) Lebih memudahkan pencapaian tujuan keluarga. 2) Menjamin terciptanya kepuasan, kesejahteraan, dan kebahagiaan setiap anggota

keluarga. 3) Mendorong terbentuknya masyarakat dan negara yang lebih kokoh dan sejahtera

karena keluarga merupakan unit sosial terkecil. b. Dampak ketika fungsi keluarga tidak berjalan: 1) Memicu terjadinya ketidakharmonisan di antara anggota keluarga. 2) Terhambatnya pencapaian tujuan keluarga. 3) Terakumulasinya sejumlah masalah dalam keluarga tanpa ada penyelesaian yang baik. 4) Tidak berjalannya fungsi keluarga dalam peran‐peran kemasyarakatan akan

menciptakan ketidakseimbangan sosial. Keluarga yang tidak berfungsi dengan baik akan cenderung menjadi masalah bagi masyarakat dan negara.

B. Delapan Fungsi Keluarga dan Konteksnya dalam Keluarga Yogyakarta 1. Fungsi Keagamaan Keluarga merupakan wadah bagi seluruh anggota keluarga untuk menginternalisasi dan

mengimplementasikan nilai‐nilai keagamaan. Dalam keluarga pula aktivitas keagamaan dijalankan. Takariawan (2007: 38‐45) menyebutkan beberapa konsekuensi dasar keluarga yang ditegakkan atas fungsi keagamaan, antara lain sebagai berikut. (a) didirikan atas landasan ibadah, (b) terjadinya internalisasi nilai‐nilai keagamaan dalam keluarga, (c) tegaknya keteladanan dalam penerapan nilai‐nilai keagamaan dalam keluarga, terutama dari orangtua, (d) penempatan posisi masing‐masing anggota keluarga sesuai aturan agama. Dalam konteks ini, hak dan kewajiban berkeluarga harus dilaksanakan dengan sebaik‐baiknya, (e) rumah tangga harus kondusif bagi terlaksananya aturan‐aturan dan nilai agama, dan (f) terjaganya keluarga dari pengaruh‐pengaruh luar yang tidak sesuai dengan nilai‐nilai keagamaan.

31

Page 32: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Pelaksanaan fungsi keagamaan dalam keluarga misalnya dalam mendidik anak sejak dini. Agama dijadikan pedoman utama dalam pendidikan anak. Anak‐anak (dan anggota keluarga lainnya) dibiasakan untuk melaksanakan ibadah secara bersama‐sama. Anak‐anak dibiasakan memiliki adab dalam banyak hal, misalnya adab makan, tidur, bertamu, bermain dengan teman, bahkan juga adab saat ke kamar mandi. Fungsi keagamaan ini, dalam konteks falsafah hidup masyarakat Yogyakarta, sangat terkait dengan prinsip sangkan paraning dumadi, bahwa fungsi ini merupakan kesadaran atas asal dan tujuan hidup manusia, yaitu beribadah kepada Tuhan. Demikian pula halnya dengan keluarga, seyogyanya ia tegak berasaskan ketaatan kepada Tuhan Yang Mahaesa.

2. Fungsi Sosial Budaya Keluarga merupakan wahana persemaian, pembinaan, dan penjagaan nilai‐nilai luhur

budaya yang selama ini menjadi asas tegaknya masyarakat. Keluarga Yogyakarta hendaknya memiliki kesadaran sebagai penjaga kebudayaan. Ketika arus budaya asing tak terelakkan masuk ke dalam masyarakat dengan saluran media informasi, keluarga sebagai unit sosial terkecil menjadi penyaring sekaligus penjaga nilai‐nilai luhur budaya Yogyakarta.

Contoh pelaksanaan fungsi sosial budaya dalam keluarga adalah pelajaran unggah‐ungguh pada setiap anggota keluarga. Keluarga memiliki peran yang besar dalam pengajaran unggah‐ungguh, baik dari sisi tutur bahasa maupun perilaku. Cara mengajarkan unggah‐ungguh bisa sangat variatif. Dongeng dan cerita dapat digunakan. Demikian pula dengan bermain peran (role play) atau teknik‐teknik lainnya. Namun, dari semua cara tersebut keteladanan dan pembiasaan di rumah merupakan cara yang paling efektif.

3. Fungsi Cinta Kasih Keluarga merupakan tempat untuk mengekspresikan dan menumbuhkan cinta kasih di

antara anggotanya. Rasa cinta kasih tersebut tidak saja dinyatakan dalam perilaku, tetapi juga sering terungkapkan dalam komunikasi sehari‐hari. Keluarga yang penuh cinta kasih akan menciptakan masyarakat yang damai, guyup, dan rukun.

Keluarga yang menjalankan fungsi cinta kasih terlihat dari tradisi dalam keluarga tersebut untuk mengungkapkan rasa cinta (tresna). Ada beberapa kebiasaan mengungkapkan cinta dan kasih dalam keluarga yang akan menciptakan kekokohan keluarga, antara lain (a) Cinta dan kasih terungkapkan dengan bahasa verbal dan nonverbal, (b) tradisi saling memberikan hadiah, (c) kebiasaan saling memahami, merasakan kesedihan, dan menolong anggota keluarga lainnya, dan (d) menumbuhkan kepercayaan dan saling memahami di antara anggota keluarga.

Dalam tradisi kuliner Yogyakarta berkembang etika dan budaya “Pawon Anget” yang arti harfiahnya adalah dapur hangat. Makna dari budaya ini adalah bahwa kebersamaan di dalam keluarga untuk menikmati apapun yang tersaji di dalam rumah lebih diutamakan. Dalam masa‐masa paceklik, semangat “Pawon Anget” akan berkembang menjadi semangat “Mangan Ora Mangan Kumpul.” Budaya ini agak sedikit berbeda dengan Surakarta yang lebih cenderung mengembangkan tradisi “Keplek Ilat” atau memanjakan lidah. Surakarta lebih adaptif terhadap gaya masakan dari luar. Selat Solo, misalnya, merupakan perpaduan kuliner Barat dengan rajikan dan bumbu Jawa. Berbeda dengan “Pawon Anget”, “Keplek Ilat” lebih cenderung menikmati sajian masakan di luar daripada di rumah.

Tradisi “Pawon Anget” adalah tradisi masyarakat Yogyakarta untuk mengokohkan hubungan cinta kasih di dalam keluarga melalui sajian masakan. Sebuah keluarga akan menghidangkan masakan yang disukai anggota keluarga dan akan dinikmati bersama‐sama oleh seluruh anggota keluarga. Masakan yang dihidangkan suatu hari akan dihangatkan dan disajikan kembali pada hari berikutnya, karena berbagai alasan, misalnya karena masakan itu disukai oleh anggota keluarga atau karena masakan tersebut tak habis sehingga eman‐eman untuk dibuang. Jadi, sebuah kebiasaan memasak yang bermula dari tradisi “Pawon Anget” ini adalah kebiasaan “ngenget” atau menghangatkan makanan.

32

Page 33: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Kebiasaan makan bersama seluruh anggota keluarga pada keluarga Yogyakarta adalah tampilan luar; aktivitas makan bersama biasanya akan dihidupkan dengan berbincang di antara anggota keluarga sehingga tercipta keakraban, cinta, dan kasih sayang.

4. Fungsi Perlindungan Keluarga merupakan tempat untuk menciptakan rasa aman dan nyaman di antara seluruh

anggota keluarga. Setiap anggota keluarga merasa terlindungi di dalam keluarga, bahkan ketika salah seorang di antara mereka mendapatkan masalah, masalah tersebut diangkat menjadi masalah keluarga. Menurut Soemardjan (2009: 472‐473) adalah hal lumrah dalam masyarakat pedesaan di Yogyakarta yang berorientasi pada tradisi, semua masalah adalah masalah keluarga. Jika seseorang terbelit hutang hingga tidak sanggup untuk melunasi, misalnya, maka keluarganya akan berusaha sekuat mungkin untuk memenuhi kewajiban itu. Meskipun individualitas di keluarga priyayi lebih tinggi, ternyata kepentingan keluarga juga tetap menjadi prioritas seluruh anggota keluarga. Kesadaran untuk saling sepenanggungan merupakan alam pikiran masyarakat Yogyakarta yang terinternalisasi pula dalam kehidupan berkeluarga mereka. Membantu keluarga dekat, sebagaimana dijelaskan Suseno (1984: 172), merupakan kewajiban moral bagi masyarakat Jawa.

Solidaritas di tengah keluarga tersebut pada akhirnya akan menjadi solidaritas sosial yang lebih luas. Dalam konteks budaya Yogyakarta, sebagaimana hasil penelitian Mulyadi, dkk (1989: 110‐111) terdapat dua tata kelakuan dalam lingkungan sosial masyarakat Yogyakarta. Pertama, sambatan, yaitu lembaga tradisional yang bertujuan saling tolong menolong sesama warga dan bergerak dalam keperluan rumah tangga. Istilah sambatan ini biasa pula disebut gotong royong. Kedua, pralenan. Pralenan mirip dengan sambatan tetapi lebih khusus menyangkut peristiwa kematian.

5. Fungsi Reproduksi Keluarga yang dibangun melalui ikatan perkawinan yang sah, merupakan institusi yang sah

untuk membangun keturunan melalui kehamilan dan kelahiran anggota keluarga baru (Sunarti, 2014: 22). Fungsi reproduksi tidak hanya berkaitan dengan lahirnya keturunan baru di dalam keluarga, tetapi juga menyangkut terpenuhinya kualitas keturunan yang dihasilkan.

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Keluarga merupakan wahana pendidikan informal bagi seluruh anggota keluarga (Sunarti,

2014: 23). Proses pendidikan di dalam keluarga tersebut berupa sosialisasi pengetahuan, internalisasi nilai‐nilai, dan pengajaran keterampilan hidup sejak dini. Di samping itu, pasangan suami istri juga harus terus‐menerus belajar meningkatkan kecakapan hidup. Jika fungsi sosialisasi dan pendidikan berjalan dengan baik maka keluarga akan terus berkembang dan tumbuh menjadi keluarga yang kokoh.

Contoh berjalannya fungsi sosialisasi dan pendidikan dalam keluarga, antara lain sebagai berikut:

a. Suami‐istri saling belajar tentang gaya dan kecenderungan emosi masing‐masing, sehingga suami istri mampu bersikap secara tepat kepada pasangannya.

b. Orangtua mengajarkan keterampilan‐keterampilan hidup kepada anak, seperti bagaimana mengatur dan membersihkan tempat tidur, memelihara barang, mengatur waktu, dan menyelesaikan tugas‐tugas mereka secara mandiri. Pada setiap keterampilan hidup yang diajarkan senantiasa ada pendidikan karakter yang ditanamkan.

c. Orangtua mengajarkan anak untuk srawung dengan lingkungannya. Misalnya, dengan menyertakan anak dalam aktivitas‐aktivitas sosial yang dapat diikuti sesuai usia perkembangan mereka.

33

Page 34: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

7. Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi dalam keluarga terkait dengan bagaimana sebuah keluarga memperoleh

sumber daya ekonomi sekaligus bagaimana mengelolanya bagi kepentingan pencapaian visi keluarga. Setiap pengelolaan keuangan keluarga seharusnya didasarkan pada visi keluarga dan tidak pada sikap konsumerisme anggota keluarga. Dengan cara demikian, sebuah keluarga akan mencapai ketangguhan ekonomi keluarga. Keluarga yang tangguh secara ekonomi akan menguatkan masyarakat dan negara.

8. Fungsi Pembinaan Lingkungan Fungsi ini menempatkan keluarga terintegrasi dengan lingkungan. Keluarga bukan unit yang

terpisah dari lingkungan sosialnya. Keluarga yang tangguh tidak hanya menjaga keharmonisan di antara anggota keluarga. Akan tetapi, semestinya keluarga juga membangun keharmonisan dengan tetangga dan keharmonisan dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam konteks budaya Yogyakarta, upaya menciptakan keharmonisan bukanlah sesuatu yang asing. Ia ada dalam falsafah hidup masyarakat Yogyakarta. Prinsip hamangku (melayani), hamengku (melindungi dengan keadilan dan kasih‐sayang), serta hamengkoni (kesedian bertanggungjawab atas amanah yang disematkan kepadanya), seperti digagas Sultan Hamengkubawana I, menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta semestinya bukan orang‐orang yang terasing dengan lingkungannya. Seluruh prinsip‐prinsip hidup tersebut tergambarkan dalam sikap hidup sepi ing pamrih dan rame ing gawe. Sepi ing pamrih merupakan kesediaan diri untuk tidak menomorsatukan diri sendiri, rame ing gawe adalah kesediaan untuk melakukan apa saja yang menjadi kewajibannya (Suseno, 1984: 205).

Contoh pelaksanaan fungsi pembinaan lingkungan dalam keluarga, antara lain sebagai berikut:

a. Keluarga terlibat dalam program penghijauan dan atau pengelolaan sampah rumah tangga. b. Anggota keluarga terlibat aktif dalam aktivitas sosial, seperti gotong‐royong, bersih desa,

dan sambatan.

VIII. REFERENSI

Mulyadi, dkk. 1989. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Depdikbud.

Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.Sunarti, Euis. 2014. Modul Ketahanan Keluarga bagi Motekar (Motivator Ketahanan Keluarga).

Bandung: IKK‐FEMA‐IPB.Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.

Jakarta: Gramedia.Takariawan, Cahyadi. 2016. Wonderful Journeys: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan Suci. Solo: Era

Intermedia._________________. 2007. Pernik‐pernik Rumah Tangga Islami: Tatanan dan Peranannya dalam

Masyarakat. Solo: EraIntermedia.

34

Page 35: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 36: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 37: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Fungsi dan Peran Keluarga ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan persiapan‐persiapan menjelang pernikahan dan bagaimana mentransfernya pada peserta pelatihan pranikah bagi masyarakat. Pilihan untuk memasuki pernikahan semestinya disiapkan secara baik. Hal ini perlu dilakukan karena kehidupan berkeluarga akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pasangan suami‐istri yang memasuki perkawinan tanpa kesiapan‐kesiapan yang baik akan cenderung membentuk keluarga yang memiliki kerentanan tinggi. Sayangnya, angka perkawinan yang disinyalir tanpa persiapan sangat tinggi. Besarnya angka permohonan dispensasi nikah di kotamadya Yogyakarta saja, berdasar data Pengadilan Tinggi Agama mencapai kisaran angka 370 pasang. Data Pengadilan Agama Kabupaten Sleman 2015 menyebutkan bahwa permintaan dispensasi nikah di Kabupaten Sleman sebesar 132 pemohon, 60% di antaranya adalah anak usia SMP. Dapat dibayangkan persiapan apa yang telah dilakukan oleh anak usia SMP untuk memasuki kehidupan perkawinan? Oleh karena itu, upaya untuk menyiapkan pasangan‐pasangan muda agar memiliki kesiapan memasuki kehidupan berkeluarga menjadi prioritas kita bersama. Pemahaman utuh terkait kesiapan‐kesiapan menjelang pernikahan serta bagaimana menentukan batas usia kesiapan berkeluarga perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Konsultan keluarga memahami hal‐hal yang perlu disiapkan sebelum seseorang memutuskan

berkeluarga.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan kesiapan‐kesiapan menjelang pernikahan. 2. Memandu peserta dalam merancang batas waktu kesiapan menikah.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Kesiapan‐Kesiapan Menjelang Pernikahan 1. Kesiapan Emosional 2. Kesiapan Spiritual 3. Kesiapan Konsepsional 4. Kesiapan Material (Finansial) 5. Kesiapan Sosial‐Kultural 6. Kesiapan Fisik

B. Merancang Batas Waktu Pernikahan 1. Batas waktu kesiapan menikah 2. Merancang batas waktu kesiapan

37

Page 38: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Video, flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 4 jam pelajaran (T=2jp, P=2jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (135 menit) 1. Fasilitator meminta peserta untuk menyebutkan kriteria pasangan yang diinginkan. (Ketika

sebagian besar peserta menyebutkan kriteria ideal, fasilitator dapat merefleksikannya bahwa daripada menyibukkan diri mencari pasangan yang sempurna lebih baik menyiapkan diri menjadi pribadi yang siap memasuki jenjang pernikahan).

2. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan: Kesiapan‐kesiapan Menuju Pernikahan. 3. Fasilitator menugaskan peserta untuk merancang batas waktu kesiapan menuju pernikahan. 4. Peserta mempresentasikan hasil “rencana batas waktu kesiapan menuju pernikahan” mereka. 5. Fasilitator memberikan umpan balik atas presentasi peserta. 6. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

38

Page 39: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Kesiapan‐Kesiapan Menjelang Pernikahan Kesiapan menjelang perkawinan meliputi seluruh pengetahuan, sikap, mental, dan ketrampilan

tertentu yang harus dimiliki setiap individu yang akan memasuki kehidupan pernikahan. Kesiapan‐kesiapan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Kesiapan Mental‐Emosional Persiapan mental perlu dimiliki setiap individu yang akan menikah agar nantinya tidak

gamang tatkala menghadapi berbagai macam kondisi setelah pernikahan. Kesiapan tersebut meliputi banyak hal, seperti kesiapan menanggung beban, kesiapan menyelesaikan masalah, kesiapan mengelola konflik, dan kesiapan menghadapi cobaan hidup di dalam keluarga. Pasangan muda perlu menyadari bahwa kehidupan berkeluarga tidak hanya berisi kesenangan‐kesenangan. Mereka juga perlu menyadari bahwa setiap keluarga juga akan berhadapan dengan masalah demi masalah.

Kesiapan mental yang perlu dimiliki oleh setiap individu yang akan memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan, antara lain sebagai berikut:

a. Terbentuknya sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Tanggung jawab merupakan salah satu indikator terbentuknya sikap kepemimpinan dalam diri seseorang. Setiap individu haruslah pribadi yang bertanggung jawab. Mereka harus siap memimpin anggota keluarganya, sekaligus juga siap pula untuk dipimpin.

b. Komitmen untuk menanggung beban. Salah satu beban tersebut adalah beban menafkahi keluarga bagi laki‐laki. Kesediaan untuk menafkahi anggota keluarga menuntut sikap kerja keras dan pantang menyerah. Dalam konteks ini, indikatornya bukan besar‐kecilnya penghasilan, tetapi kesediaan untuk menanggung beban.

c. Stabilitas emosi saat menghadapi masalah keluarga. Salah satu yang perlu disiapkan adalah kematangan emosi saat terjadi konflik di dalam keluarga. Individu yang masih kekanak‐kanakan saat menghadapi masalah, meskipun dari sisi usia telah dianggap cukup, tetap dianggap belum siap memasuki pernikahan.

d. Kesiapan menghadapi pasangan. Salah satu tanda kematangan emosi individu yang siap menuju pernikahan adalah kesiapannya untuk menghadapi perbedaan dengan pasangan, misal perbedaan karakter, selera, dan pandangan. Termasuk dalam kesiapan ini adalah kesiapan dan kesediaan untuk menerima kekurangan pada diri pasangan, serta dorongan untuk menumbuhkan pasangan agar dapat menjadi individu yang lebih baik.

2. Kesiapan Spiritual Kesiapan spiritual sangat diperlukan bagi setiap pasangan yang telah memutuskan untuk

memasuki kehidupan pernikahan. Spiritualitas akan memandu setiap individu menghadapi hidup, termasuk kehidupan dalam keluarga. Selain itu, spiritualitas juga memandu individu untuk menghadapi masalah‐masalah dalam kehidupan berkeluarga.

39

Page 40: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Beberapa contoh kesiapan spiritual, antara lain sebagai berikut: a. Lurusnya orientasi pernikahan. Pernikahan bukanlah aktivitas main‐main, apalagi

hanya sekedar pelampiasan gejolak syahwat semata. Pernikahan yang kokoh harus didasarkan pada orientasi yang kuat, orientasi tersebut harus berakar pada prinsip ketuhanan. Falsafah sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa tujuan hidup adalah beribadah pada Tuhan, tentu termasuk kehidupan pernikahan. Pernikahan yang dilaksanakan harus berorientasi pada paraning dumadi, tujuan hidup kita sebagai makhluk. Jadi, pernikahan itu ditujukan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, dan bukan sekedar mencapai kesenangan duniawi semata.

b. Optimis dalam menghadapi masalah. Kesadaran spiritualitas menjadikan suami‐istri lebih optimis dalam menghadapi masalah.

c. Komitmen beragama. Selain lurusnya orientasi perkawinan, komitmen terhadap nilai dan aturan agama dari setiap pribadi yang akan menikah sangat diperlukan. Komitmen tersebut berpengaruh pada bagaimana seseorang menentukan kriteria pasangan, memilih pasangan, meminang, dan prosesi menuju perkawinan berikutnya. Kuatnya komitmen beragama akan menentukan kematangan seseorang dalam mengelola keluarga dan menjalani pernikahan. Namun, yang dimaksud komitmen beragama di sini bukanlah (sekedar) banyaknya pengetahuan keagamaan. Ia adalah kesadaran untuk menjadikan agama sebagai sistem nilai dalam kehidupan.

3. Kesiapan Konsepsional Kesiapan konsepsional atau ilmiah ditandai dengan penguasaan berbagai pengetahuan

(dan keterampilan) yang diperlukan untuk menjalani kehidupan pernikahan. Ada banyak pengetahuan yang harus dikuasai seseorang ketika akan menikah, antara lain sebagai berikut:

a. Hukum agama (terutama yang terkait dengan pengelolaan keluarga). b. Komunikasi dalam keluarga. c. Parenting (pengasuhan anak). d. Hukum negara (terutama terkait dengan keluarga). e. Pengelolaan keuangan keluarga.

4. Kesiapan Finansial Hal lain yang harus disiapkan setiap individu yang akan menikah adalah kesiapan finansial.

Kesiapan ini tidak berarti menjadikan jumlah penghasilan tertentu sebagai indikator kesiapan. Lebih dari sekedar nominal penghasilan, yang kadang bersifat tentatif (sementara dan mudah berubah), yang lebih penting adalah munculnya etos kerja serta sikap tanggung jawab untuk menafkahi keluarga. Oleh karena itu, individu yang telah siap untuk melaksanakan pernikahan seharusnya mulai membiasakan hidup mandiri. Kemandirian tersebut terlihat pada dua kemampuan dasar dalam masalah finansial:

a. Kemampuan untuk memperoleh penghasilan dari sumber‐sumber yang legal dan halal. b. Kemampuan untuk mengelola penghasilan (harta) seberapapun jumlahnya untuk

menyelesaikan sendiri beban‐beban ekonomi keluarga.

5. Kesiapan Sosio‐Kultural Kesiapan sosial merupakan kemampuan berinteraksi dengan masyarakat secara

kontekstual dengan memperhatikan budaya setempat. Kesiapan ini merupakan kemestian bagi anggota keluarga, karena begitu seseorang memutuskan untuk berkeluarga, mereka akan segera memperoleh pengakuan sosial. Sebelumnya, seorang yang belum menikah tidak memiliki beban sosial sebab seluruh tanggungjawab sosial masih menginduk kepada orangtuanya.

40

Page 41: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Oleh karena itu, membiasakan diri untuk berinteraksi dengan masyarakat dengan memperhatikan unggah‐ungguh sangat diperlukan. Kebiasaan terlibat dalam kerja‐kerja sambatan (gotong royong), resepsi pernikahan (tarub), rembug warga, pertemuan pemuda desa, tilik wong loro (bezuk orang sakit), dan aktivitas sosial lainnya merupakan cara‐cara sederhana menyiapkan aspek sosio‐kultural sebelum memasuki pernikahan. Seseorang yang telah terbiasa membangun interaksi sosial sebelum menikah, akan lebih mudah menyesuaikan diri pascaakad nikah, dan ketika keluarga barunya mulai memperoleh pengakuan sosial dari masyarakat.

6. Kesiapan Fisik Kesiapan ini diarahkan agar seseorang memiliki kesehatan yang memadai sehingga mampu

melaksanakan fungsi sebagai suami atau istri secara optimal, baik fungsi reproduksi maupun fungsi‐fungsi lainnya. Upaya untuk menjaga kebugaran tubuh dengan olahraga dan istirahat yang cukup harus menjadi program bagi mereka yang akan menikah. Memperhatikan jenis dan kualitas makan, serta pola makan yang teratur merupakan bagian dari penyiapan fisik sebelum menikah. Tentu saja termasuk menghindari dari konsumsi narkotika dan obat‐obat terlarang, yang dikhawatirkan akan merusak badan sehingga mengganggu ketenangan dan kebahagiaan kehidupan keluarga nantinya.

Karena sebagian besar kita tidak mengetahui kondisi kesehatan secara tepat, upaya pemeriksaan umum (check up) pranikah baik sekiranya dilaksanakan. Upaya ini dilakukan untuk memperdalam pengenalan terhadap diri dan calon pasangan. Dengan pengenalan yang lebih baik dan ilmiah, diharapkan proses antisipasi dan terapi terhadap gangguan kesehatan dapat dilakukan lebih dini, sehingga ke depan tidak menimbulkan masalah setelah memasuki kehidupan berkeluarga. Selain itu, sebenarnya tes kesehatan pranikah juga bermanfaat untuk mendapatkan keturunan yang sehat.

B. Merancang Batas Waktu Pernikahan 1. Batas Waktu Kesiapan Menikah Menentukan batas waktu kesiapan untuk menikah merupakan proses perencanaan untuk

menentukan dan menyiapkan proses pernikahan. Pada usia berapa seseorang akan merasa siap dan memutuskan untuk menikah, sekaligus persiapan apa saja yang akan dilakukan sehingga pada waktu yang direncanakan benar‐benar telah merasa siap untuk menikah. Kesiapan dalam menikah memang tidak dapat dipaksakan, tetapi jelas dapat disiapkan. Semestinya lelaki dan perempuan lajang melakukan upaya terarah untuk menyiapkan diri menuju pernikahan (Takariawan, 2016: 124).

Sayangnya, dalam kehidupan sehari‐hari, sebagian lelaki dan perempuan lajang menghabiskan waktu untuk mencari pasangan dan menjalin hubungan pacaran pada waktu yang lama, tetapi luput menyiapkan diri menuju jenjang perkawinan. Padahal, seseorang menemukan pasangan akan lebih mudah dilakukan pada saat seseorang telah memiliki kesiapan untuk menikah. Kecocokan terhadap pasangan itu penting, tetapi ketika kesiapan untuk menikah belum dimiliki, panjangnya usia pacaran seseorang tidak akan menjamin berlanjut ke jenjang pernikahan. Namun, tatkala kesiapan untuk menikah telah dimiliki, sesingkat apapun pertemuan terjadi, peluang untuk berlanjut ke pernikahan jauh lebih besar.

Pada usia berapakah seseorang dianggap siap untuk menikah? Pembahasan tentang usia selalu menimbulkan perdebatan. Sunarti (2014: 18) mengutip penelitian Sari (2012) bahwa usia menikah yang ideal bagi laki‐laki adalah 26 tahun dan perempuan 24 tahun. Namun, bagaimana jika ternyata kita menjumpai seseorang yang di usia 20 tahun telah memiliki kematangan untuk menikah? Ia matang secara emosional, mandiri secara finansial, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, dan memiliki orientasi yang jelas mengenai perkawinan. Sementara di sisi lain

41

Page 42: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

banyak dijumpai anak muda yang belum memiliki kejelasan visi dalam berkeluarga meskipun usia telah memasuki 25 tahun. Memang tidak ada patokan baku pada usia berapa seseorang memiliki kesiapan untuk menikah. Sekali lagi, kematangan dan kesiapan seseorang untuk memasuki pernikahan perlu disiapkan. Seiring fokus seseorang diarahkan untuk menyiapkan diri, usia mereka telah memasuki batas minimal untuk menikah sesuai aturan pemerintah.

2. Merancang Batas Waktu Kesiapan Pada bagian ini relawan konselor keluarga membimbing dan memandu peserta pelatihan

pranikah untuk merancang batas waktu kesiapan mereka untuk menikah. a. Menentukan batas waktu kesiapan peserta pelatihan untuk menikah. b. Menyusun rencana dan program pengembangan diri untuk memenuhi kesiapan menuju

jenjang pernikahan. Misal, untuk memperkuat kesiapan konsepsional disusunlah program membaca buku‐buku pernikahan, silaturahmi tokoh untuk menggali pengalaman pernikahannya, mengikuti pelatihan‐pelatihan pranikah, dan sebagainya.

VIII. REFERENSI

Sunarti, Euis. 2014. Modul Ketahanan Keluarga bagi Motekar (Motivator Ketahanan Keluarga). Bandung: IKK‐FEMA‐IPB.

Takariawan, Cahyadi. 2016. Wonderful Journeys: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan Suci. Solo: Era Intermedia.

42

Page 43: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 44: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 45: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Tata Cara Memilih Pasangan ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan tata cara memilih calon pasangan agar mereka yang hendak melangsungkan pernikahan dapat membentuk tim keluarga yang kokoh dan tangguh. Memilih calon pasangan merupakan salah satu langkah awal untuk membentuk keluarga baru, yang sangat menentukan kehidupan sebuah keluarga di masa‐masa berikutnya. Berdasarkan data Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2014 menjelaskan bahwa jumlah angka perceraian mencapai 5851 kasus. Tingginya angka perceraian tersebut menunjukkan gambaran tentang kerentanan keluarga di Yogyakarta. Jika ditelusuri lebih lanjut, seringkali akar masalah munculnya kerentanan dalam keluarga terjadi sejak awal, salah satunya sejak menentukan calon pasangan. Sebagian terjebak pada pertimbangan pragmatis, seperti faktor fisik, materi, dan atau keturunan. Faktor budaya secara salah kaprah lalu dijadikan sebagai pembenar untuk pengambilan keputusan pragmatis tersebut. Faktor bobot, bibit, dan bebet, misalnya dimaknai secara salah tanpa merujuk pada sumber rujukan utama. Akibatnya, dalam kurun waktu lama terbentuklah persepsi kurang tepat tentang bagaimana masyarakat Jawa menentukan calon pasangan hidupnya. Padahal, falsafah hidup yang digariskan Sultan Hamengkubawana I sejak awal mula pendirian Yogyakarta telah meletakkan dasar‐dasar yang kokoh tentang bagaimana masyarakat Yogyakarta dipandu untuk menjalani kehidupan, tentu termasuk di antaranya adalah kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait tatacara memilih calon pasangan perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Peserta memahami dan menjelaskan tata cara memilih calon pasangan dan mampu mentransfer‐

nya pada peserta pelatihan pranikah.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan kriteria dalam memilih calon pasangan. 2. Memahami dan menjelaskan tanggungjawab saat seseorang memutuskan untuk memilih

pasangan hidupnya.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Menentukan Kriteria Calon Pasangan 1. Mempertimbangkan aspek fisik 2. Mempertimbangkan aspek keturunan 3. Mempertimbangkan aspek materi 4. Mempertimbangkan aspek perilaku

45

Page 46: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Video, flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam pelajaran (T=1jp, P=1jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (60 menit) 1. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan: a. Menentukan kriteria calon pasangan. b. Saat harus mengambil keputusan menikah. 2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

B. Saat Harus Mengambil Keputusan Menikah 1. Mengenal lebih jauh calon pasangan 2. Meminta pertimbangan pihak terpercaya 3. Meminta persetujuan orangtua 4. Berkenalan dengan calon mertua 5. Mengambil keputusan terbaik

46

Page 47: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Menentukan Kriteria Calon Pasangan 1. Mempertimbangkan Aspek Fisik Di tengah masyarakat, aspek paras dan wajah menjadi pertimbangan yang sangat

manusiawi untuk menentukan calon pasangan hidup. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kata bibit sering digunakan untuk mewakili makna syarat calon pasangan yang hendak dipilih dengan memperhatikan keelokan paras dan kepandaiannya (Wibawa, 2013: 336). Dalam serat Centhini ada 21 macam wanita yang dapat dipertimbangkan untuk menjadi istri. Sekedar contoh, ada wanita bongoh, biasanya wanita seperti ini berseri, gemuk lagi kuat. Wanita bongoh biasanya bijaksana. Kategori lain adalah sengoh, yaitu wanita yang berkulit kuning langsat dan indah dalam senyuman. Contoh lain yang dapat dipertimbangkan adalah wanita yang ndhemenakake, menyenangkan. Sinar mata dan tutur katanya menyenangkan hati.

Tentu saja seluruh kriteria fisik tersebut sangat relatif dan bersifat sementara saja. Sejumlah pertimbangan yang ditulis oleh beberapa serat dan naskah lama sangat dipengaruhi oleh konteks zaman pada saat naskah tersebut ditulis. Jika poin bibit menjadi (salah satu) pertimbangan maka sesungguhnya ia tak lebih dari pemenuhan kecenderungan fitrah dan penguat ketertarikan terhadap calon pasangannya.

2. Mempertimbangkan Aspek Keturunan Aspek lain yang sering menjadi pertimbangan adalah aspek sosial, yaitu

mempertimbangkan faktor keturunan pasangan. Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini. Pertama, kemampuan reproduksi calon pasangan. Hal ini perlu menjadi pertimbangan karena dorongan untuk memperoleh keturunan yang berkualitas. Kedua, faktor latar belakang keturunan. Dalam konteks budaya Jawa, aspek ini biasa disebut dengan bibit, yaitu hendaknya seseorang memilih pasangan hidupnya dengan melihat faktor keturunan (Wibawa, 2013: 336).

Ada tujuh macam calon pasangan berdasar pertimbangan keturunan, yaitu (1) bangsawan, keturunan raja Jawa yang memiliki kedudukan tinggi, (2) keturunan ulama, yang ahli dan menguasai ilmu agama, (3) keturunan para pertapa, yang kuat melakukan tapa brata, (4) keturunan sujana atau orang baik, yang memiliki kepahaman budaya, ketajaman rasa, dan kebijaksanaan, (5) keturunan cendikia, yang pintar dalam segala pekerjaan, cekatan, serta terampil, (6) keturunan perwira, yaitu prajurit yang tangkas dalam pertempuran serta memiliki keberanian, dan (7) keturunan supatya, yaitu keturunan petani yang rajin, gigih, tangguh, dan patuh. Jadi, faktor bobot tidak semata berkaitan dengan penilaian materi. Lebih dari sekedar pertimbangan materi dan status sosial, seperti yang selama ini disalahpahami, faktor sentuhan pendidikan dalam keluarga lebih tepat menjadi pertimbangan. Sejumlah kriteria status sosial yang disebutkan selalu disertai alasan yang membatasi. Selain itu, beberapa status sosial yang disebutkan tentu sangat dipengaruhi oleh konteks zaman. Sebuah kebudayaan yang adiluhung tentu terus berkembang dan tidak statis (Rahyono, 2015: v). Jenis status sosial di masyarakat dapat terus berkembang sesuai zaman, tetapi konsideran yang mempertimbangkan faktor keturunan dan aspek pendidikan di dalam keluarga akan senantiasa relevan.

Faktor keturunan tentu saja bukan harga mati. Ia disebutkan sebagai kenyataan di masyarakat bahwa aspek keturunan seringkali menjadi salah satu pertimbangan. Sekali lagi, jika aspek keturunan menjadi salah satu pertimbangan, maka bukan pada status sosialnya yang utama, tetapi pada tradisi dalam keluarga serta pola pendidikan dalam keluarga yang akan banyak mempengaruhi pembentukan karakter dan watak calon pasangan.

47

Page 48: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

3. Mempertimbangkan Aspek Materi Kenyataan di masyarakat, seringkali, aspek materi menjadi salah satu pertimbangan untuk

menentukan calon pasangan. Dalam tradisi masyarakat Jawa dikenal istilah bebet, yaitu syarat yang mempertimbangkan harta benda dengan memilih orang supadya. Artinya, seseorang yang banyak harta dan bersedia memberi dana kepada fakir miskin dan mereka yang berkekurangan. Jadi, bukan sekedar yang berharta, tetapi juga mereka yang mudah berbagi dengan sesama.

Kriteria materi ini tentu bukanlah yang utama untuk menentukan calon pasangan. Ia disebutkan dalam bab kriteria menentukan calon pasangan jelas bukan sebagai syarat, tetapi sebagai kenyataan dalam kehidupan bahwa ada sebagian orang yang memilih pasangan dengan mempertimbangkan aspek materi. Yang perlu menjadi penekanan dalam hal ini adalah bahwa sebuah keluarga yang disandarkan pada materi semata akan berpotensi rapuh dan mudah roboh.

Materi itu bersifat tentatif dan sementara. Sebuah keluarga yang mengawali dengan serba kekurangan, dapat berubah menjadi keluarga yang berkecukupan. Demikian pula sebaliknya, sebuah keluarga yang pada mulanya berkemewahan dapat tiba‐tiba berkekurangan.

4. Mempertimbangkan Aspek Perilaku Kriteria utama yang semestinya menjadi pertimbangan dalam menentukan calon pasangan

adalah aspek perilaku, akhlak, tindak tanduk, serta budi pekerti. Pribadi yang netepi aturaning agami, memenuhi aturan agama, tentu langkung utomo, lebih utama untuk dijadikan pasangan hidup. Sebab, mereka yang berakhlak mulia dan hidup berlandaskan agama: jika ia mencintai, ia akan memuliakan sepenuh jiwa. Jika cinta belum tumbuh bersemi, ia tak akan pernah menyakiti pasangannya.

Dalam konteks budaya Jawa, seseorang semestinya mituhu dhawuhing Gusti Allah kang Mahawikan ‘patuh pada perintah Tuhan yang Mahatahu.’ Sebab dengan cara demikianlah ia memahami makna sangkan paraning urip ‘asal dan tujuan hidup.’ Pemahaman akan hal ini menjadi sandaran kokoh untuk membentuk keluarga yang tangguh. Pribadi yang hidupnya berlandaskan kesadaran sangkan paraning dhumadi tersebut akan menjadi pasangan yang utama ‘luhur’ dan bukan sebagai pribadi yang nistha ‘nista,’ tan mikani rasa, sepi asepa lir sepah samun ‘tidak memahami makna, kosong tak berasa bagaikan sepah.’

Itulah sebabnya, pertimbangan agama menjadi utama. Ada beberapa catatan dalam hal ini. (1) Memilih calon pasangan yang seagama. Memilih pasangan yang seagama akan mengokohkan pondasi hidup berumah tangga. Keyakinan yang sama akan menguatkan pilihan nilai yang akan ditegakkan dalam keluarga. (2) Kesediaan untuk menjalankan agama dan unggah‐ungguh dalam kehidupan sehari‐hari, baik di keluarga maupun di masyarakat. (3) Bertindak tanduk yang luhur lan utama. (4) Pasangan suami‐istri bersedia untuk terus berubah menjadi lebih baik ngudhi kasempurnaning urip ‘mengupayakan kesempurnaan hidup,’ menjadi pribadi yang lebih baik. Jadi, dalam konteks ini tidak semata‐mata memilih mereka yang mengerti agama, tetapi mereka yang bersedia berubah dan mengikuti ajaran agama.

B. Saat Harus Mengambil Keputusan Menikah 1. Mengenal Lebih Jauh Calon Pasangan Mengenali calon pasangan tidak hanya pada hal‐hal yang bersifat fisik. Pengenalan sedapat

mungkin dilakukan secara utuh, meliputi juga pandangannya tentang kehidupan, peran, tugas dan kewajiban sebagai manusia, visi berkeluarganya, keinginan‐keinginannya, selera dan kesukaannya, dan sebagainya. Bahkan, termasuk juga mengenali kesehatan, perilaku dan kebiasaannya, serta hal‐hal lain yang memang perlu diketahui.

48

Page 49: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

2. Meminta Pertimbangan Pihak Terpercaya Meminta pertimbangan orang‐orang baik dan terpercaya sebaiknya dilakukan. Tidak saja

karena dengan meminta pertimbangan dari orang terpercaya menjadikan sudut pandang kita menjadi lebih luas, kadangkala cara ini juga menambah pengetahuan seseorang dalam mengelola keluarga. Mendasarkan urusan pernikahan pada diri sendiri kadangkala menjebak seseorang pada subjektivitas pribadi. Oleh karena itu, pertimbangan pihak terpercaya sangat diperlukan, agar seseorang tidak hanya terjebak pada rasa cinta ketika menentukan pasangan, tetapi juga mempertimbangkan hal‐hal lainnya yang kadang lebih mendasar.

3. Meminta Persetujuan Orangtua Yang paling utama tentu saja meminta pertimbangan dan persetujuan kepada orangtua.

Dalam hal ini, seseorang yang akan berkomunikasi kepada orangtua, untuk meminta persetujuan menikah, semestinya memperhatikan prinsip unggah‐ungguh dan tidak cenderung memaksakan kehendaknya.

4. Berkenalan dengan Calon Mertua Berkenalan dengan calon mertua diperlukan untuk saling menjaga kepercayaan, tentu

dalam batas tertentu, dengan tetap menjaga unggah‐ungguh dan tata krama pergaulan. Selain itu, perkenalan dengan calon mertua diharapkan akan menghilangkan segala praduga yang mungkin dapat muncul. Takariawan (2016: 316‐317) menjelaskan dua hal yang layak diperhatikan saat seseorang hendak berkenalan dengan calon mertua. (1) Mencari informasi dan data mengenai orangtua calon. Data yang akurat akan menentukan pilihan bahasa, sikap, dan topik pembicaraan yang tepat untuk membuka komunikasi dengan calon mertua. Termasuk tentunya adalah tradisi dan adat istiadat setempat, seperti model sopan‐santun yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat. (2) Pertimbangkan pembicaraan saat berkenalan. Hal ini terkait dengan pilihan bahasa dan topik pembicaraan yang pas saat berkenalan.

5. Mengambil Keputusan Terbaik Jika seseorang telah merasa mampu dan siap, dengan sejumlah tahap‐tahap yang terbahas

sebelumnya telah terpenuhi, maka semestinya ia segera memutuskan untuk melangsungkan pernikahan.

VIII. REFERENSI

Rahyono. 2015. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.Takariawan, Cahyadi. 2014. Wonderful Journeys for Marriage: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan

Suci. Solo: Era IntermediaWibawa, Sutrisno. 2013. “Nilai Filosofi Jawa dalam Serat Centhini”, dalam Litera: Jurnal Bahasa,

Sastra, dan Pengajarannya, volume 12, nomor 2, hal. 328‐344.

49

Page 50: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 51: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Memahami Karakter Pasangan Hidup ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan karakter khas pasangan hidup agar mereka yang hendak melangsungkan pernikahan dapat membentuk tim keluarga yang kokoh dan tangguh. Pada banyak kasus, pertikaian di dalam keluarga, yang kadang berujung pada perceraian seringkali terjadi bukan karena kedua pasangan tidak lagi saling mencintai. Persoalan yang sering muncul karena keduanya kurang memahami karakter masing‐masing pasangan. Alasan bahwa masing‐masing pasangan tidak lagi memiliki kecocokan sehingga hari‐harinya dipenuhi percecokan, sebagian besar disebabkan kegagalan dalam memahami pasangan. Akibatnya, perbedaan karakter itu menyebabkan perlakuan yang salah terhadap pasangan. Sebagian (tanpa sadar) memperlakukan pasangannya sebagaimana dirinya ingin diperlakukan dan bukan memperlakukan pasangan sebagaimana ia ingin diperlakukan. Jadi, salah satu langkah mengokohkan ikatan keluarga sesungguhnya adalah dengan memahami secara utuh pasangan lalu memperlakukan mereka sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Bersebab latar belakang inilah maka pemahaman secara utuh terkait karakter pasangan perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Peserta memahami dan memiliki kesiapan untuk mengelola perbedaan alamiah pasangannya

setelah menikah.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan perbedaan antara laki‐laki dan perempuan untuk mengokohkan

ikatan keluarga. 2. Memahami dan menjelaskan akibat kurangnya pemahaman akan perbedaan laki‐laki dan

perempuan dalam keluarga. 3. Memahami dan menjelaskan strategi efektif mengelola perbedaan laki‐laki dan perempuan

untuk mengokohkan ikatan keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Perbedaan Karakter Pasangan 1. Cara memandang masalah 2. Cara menghadapi tekanan 3. Cara menjaga hubungan 4. Cara mengungkapkan kebutuhan 5. Kondisi termotivasi 6. Kebutuhan Emosi

51

Page 52: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Video, flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 3 jam pelajaran (T=2jp, P=1jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (90 menit) 1. Fasilitator mengelompokkan peserta. Masing‐masing peserta diminta mendiskusikan contoh‐

contoh konflik sederhana dalam kehidupan sehari‐hari di keluarga sekaligus menganalisis sebab‐sebabnya.

2. Masing‐masing kelompok diminta mempresentasikan hasil diskusi di dalam kelompoknya. 3. Fasilitator memberikan umban balik atas presentasi peserta dan mengaitkan hasil diskusi

dengan pentingnya memahami karakter pasangan sekaligus perubahan‐perubahan yang terjadi di dalam keluarga.

4. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

B. Mengelola Perbedaan untuk Menguatkan Kemesraan 1. Memahami dan menenggang perbedaan 2. Memperlakukan pasangan seperti mereka ingin diperlakukan 3. Menerima ketidaksempurnaan pasangan 4. Mengenali sisi kebaikan pasangan sejak awal 5. Menumbuhkan pasanganC. Mengenali dan Menyikapi Secara Tepat Perubahan Pasangan 1. Menyadari bahwa pasangan terus tumbuh dan berubah 2. Komunikasi yang mengokohkan keluarga

52

Page 53: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Perbedaan Karakter Pasangan 1. Cara Memandang Masalah Cara memandang masalah antara laki‐laki dengan perempuan berbeda. Salah satu

perbedaan itu terdapat pada level aman saat berhadapan dengan masalah. Cara bereaksi saat berhadapan dengan masalah, secara umum, antara laki‐laki dengan perempuan sangat berbeda. Perbedaan pada level aman tersebut menyebabkan perbedaan pula pada penanganan terhadap masalah yang juga berbeda.

Laki‐laki memiliki level aman yang tinggi saat berhadapan dengan masalah, akibatnya ia terlihat tidak panik. Sementara itu, perempuan (biasanya) memiliki level aman yang rendah saat berhadapan dengan masalah. Itulah sebabnya, sebagian istri memiliki tingkat kepanikan dan kekhawatiran yang lebih tinggi saat berhadapan dengan masalah. Masalah sebesar apapun bagi laki‐laki akan direspon tenang, sehingga terkesan bagi istri, suami terlalu menggampangkan masalah. Sebaliknya, masalah sekecil apapun akan ditanggapi istri dengan kepanikan, yang dalam persepsi suami, istrinya sangat membesar‐besarkan masalah.

Akhirnya, cara penanganan terhadap masalah pun berbeda antara suami dan istri. Laki‐laki, dibalik ketidakpanikannya, sesungguhnya berfokus pada penyelesaian masalah. Ia tampak cuek, padahal sedang berpikir solusi yang tepat yang akan diakukannya sendiri. Sementara itu, para istri cenderung mementingkan adanya saluran untuk membagi, mengungkapkan, dan ia merasa diperhatikan. Yang penting bagi istri bukan solusi, tapi saluran berbagi. Istri merasa nyaman dan puas membicarakan detil masalah, sementara suami lebih suka menyederhanakannya.

Masalah dalam keluarga akan rentan terjadi ketika masing‐masing pasangan memperlakukan pasangan seperti dirinya ingin diperlakukan. Ketika istri sedang membutuhkan perhatian dengan menceritakan masalahnya, suami menukas cerita dan menganggap hal yang diceritakan sebagai perkara remeh, “Koyo ngono wae kok dadekne masalah. Solusinya begini lho!” Saat itulah istri merasa tak diperhatikan, suaminya dianggap tidak mau mendengarkan. Fatalnya, ketika istri tidak menemukan perhatian dari suaminya, lalu memilih berbagi cerita dengan orang lain. Sementara suami, beranggapan bahwa istrinya amat menyebalkan karena suka membesar‐besarkan masalah. Padahal, yang terjadi hanyalah perbedaan cara memandang masalah.

Pada banyak hal, dalam situasi demikian, masing‐masing pasangan harus memperlakukan pasangannya sebagaimana mereka ingin diperlakukan. Istri lebih membutuhkan kepastian, sementara suami sangat menghajatkan kepercayaan. Para suami harus mampu menjadi pendengar yang baik dan tulus ketika sang istri menceritakan masalah‐masalahnya. Dengan cara demikian, ia akan merasa nyaman dan diperhatikan. Sementara itu, bagi para istri, berikanlah kepercayaan pada suami untuk menyelesaikan masalah‐masalahnya. Perlakukan ia sebagaimana ia ingin diperlakukan.

2. Cara Menghadapi Tekanan Ketika menghadapi tekanan seseorang akan bereaksi untuk mengurangi beban tekanannya.

Untuk mengurangi beban, para istri cenderung berbagi, bercerita, dan bicara. Sementara itu, para suami lebih cenderung menyendiri untuk mengurai beban masalah yang dihadapi. Ada cara menghadapi tekanan yang berbeda di antara keduanya.

Kecenderungan untuk berbagi, berbicara, dan bercerita pada istri membutuhkan respon positif dan penerimaan dari suami. Para istri akan merasa nyaman ketika mereka merasa didengarkan dan mendapatkan nasihat‐nasihat dari suaminya. Dengan demikian, untuk menghadapi kecenderungan istri yang suka bercerita dan mengungkapkan perasaan serta

53

Page 54: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

beban‐bebannya ketika mendapat tekanan, para suami harus belajar mendengarkan, memahami, dan (tak kalah penting) memberi isyarat bahwa dirinya memahami dan mengerti perasaan istrinya.

Karakter istri yang suka berbagi dan termotivasi saat berhadapan dengan masalah, seringkali diterapkan pada suami dengan meminta suami bercerita dan juga memberikan nasihat‐nasihat tanpa diminta sang suami. Padahal, bukan hal seperti itu yang dibutuhkan suami. Hal yang sama, sekali lagi, terjadi ketika istri sedang menceritakan perasaan‐perasaan dan beban‐bebannya, kemudian suami selalu menyela dan menawarkan solusi. Kedua kondisi tersebut sama tidak menyenangkan dan rentan menimbulkan konflik di antara suami dan istri.

Menghadapi kondisi yang berbeda tersebut, kunci utamanya adalah memperlakukan pasangan sebagaimana dirinya ingin diperlakukan. Ketika seorang istri berkehendak menceritakan perasaan dan masalah‐masalahnya, sang suami harus bersabar mendengarkan dengan sepenuh perhatian; tanpa nyambi dengan aktivitas lainnya (pegang handphone, gadget, dan sebagainya) dan berusaha untuk tidak menyela dan memberikan solusi terlebih dahulu. Sementara itu, cara terbaik bagi para istri untuk membantu suaminya menghadapi masalah adalah memberi kesempatan kepadanya untuk menyendiri dan mengurai masalah‐masalah tersebut sendiri. Ini merupakan seni berkomunikasi yang perlu latihan. Dengan cara memahami karakter masing‐masing diharapkan pola komunikasi di dalam keluarga menjadi lebih baik.

3. Cara Menjaga Hubungan Para istri mencintai seperti gelombang, demikian tutur Jhon Gray (2014: 167).

Kemampuannya mencintai naik turun sesuai dengan perasaannya. Saat‐saat tertentu ia terlihat sangat bersemangat di dalam mencintai, tetapi di saat yang lain ia nampak tidak bergairah. Saat pasang ia merasa memiliki limpahan cinta yang siap dibagi. Akan tetapi, saat surut ia merasa aras‐arasan dan tidak bersemangat. Jika ia tidak merasa mendapat dukungan, ia akan meluapkan perasaan‐perasaannya. Tapi yang perlu dicatat, ia hanya mengungkapkan perasaannya, bukan menyampaikan fakta apalagi tuduhan. Biasanya, tidak ada maksud menyerang atau memojokkan suami, meskipun kata‐katanya terdengar menyakitkan. Sekali lagi, biasanya, istri hanya mengungkapkan perasaannya, bukan fakta yang sebenarnya. Dalam situasi demikian, para suami hanya perlu mendengarkan, tetapi tidak mendiamkan. Ketika perasaan‐perasaannya mulai pasang kembali ia akan menyadari dengan sendirinya.

Sementara itu, ketika istri bersikap seperti gelombang dalam mencintai, para suami cenderung seperti karet gelang. Ia berubah‐ubah antara kebutuhan untuk mendekat dan dorongan untuk menjauh. Ini hal yang biasa dan wajar. Dalam kondisi wajar, para suami akan kembali lagi mendekat dan bersikap penuh cinta dan dukungan, seolah‐olah tidak pernah terjadi apa‐apa. Saat‐saat tertentu, misalnya, seorang suami akan terlihat lebih asyik menonton televisi dan tidak menanggapi istri yang duduk di sampingnya. Pahami karakternya, biasanya ia akan kembali dan mendekat setelah meregang dan menjauh.

4. Cara Mengungkapkan Kebutuhan Cara mengungkapkan kebutuhan antara laki‐laki dengan perempuan ternyata tidak

sepenuhnya sama. Para istri sering menggunakan bahasa kiasan, hiperbolis, dan penyamarataan untuk mengungkapkan kebutuhan‐kebutuhannya. Sementara itu, suami (dan kebanyakan laki‐laki) cenderung menggunakan bahasa yang lugas, harfiah, dan informatif. Jika para istri berbicara sering untuk mengungkapkan perasaan‐perasaannya, para suami berbicara untuk menyampaikan fakta dan informasi.

Masalah akan muncul ketika suami menangkap bahasa istri secara harfiah dan tidak berusaha memahami bahwa ada makna lain di balik penggunaan bahasa yang generalis,

54

Page 55: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

hiperbolis, dan simbolis itu. Seorang istri boleh jadi akan mengungkapkan, “Mas, kita kok tidak pernah jalan‐jalan, ya.” Ungkapan ‘tidak pernah jalan‐jalan’ boleh jadi yang diinginkan adalah, “Mas, kita pergi keluar yuk. Makan bersama. Berbincang bersama. Aku selalu menyukai saat‐saat bersamamu. Maukah kamu menemaniku pergi keluar?” Sekali lagi, itu bukan fakta bahwa selama menikah tidak pernah jalan‐jalan. Itu adalah ekspresi ingin diperhatikan dan mendapatkan dukungan.

Pertengkaran akan bermula ketika suami mengartikan kalimat istri secara harfiah, lalu ia menganggap bahwa pernyataan itu merupakan fakta. Itu bukan fakta. Itu ekspresi emosional saat butuh perhatian. Memahami bahwa antara suami dan istri memiliki cara mengungkapkan kebutuhan yang berbeda, mengarahkan setiap pasangan memperlakukan pasangannya secara tepat.

5. Kondisi Termotivasi Kondisi termotivasi antara suami dan istri ternyata juga berbeda. Para suami akan

termotivasi dan bersemangat ketika ia merasa dibutuhkan. Sementara itu, istri merasa termotivasi ketika ia merasa dicintai dan diperhatikan. Kondisi ini akan menjadi masalah ketika disikapi secara kurang tepat. Suami akan merasa tidak nyaman ketika ia di beri perhatian lebih, nasihat, peringatan‐peringatan, dan pertanyaan‐pertanyaan yang menelisik. Suami akan merasa tidak dipercaya. Padahal, kepercayaan adalah kebutuhan emosional suami. Ketika merasa diingatkan terus‐menerus oleh istri, suami merasa tidak mendapat dukungan dan kepercayaan.

Berbeda dengan suami, istri akan lebih termotivasi ketika suaminya pandai mengungkapkan perasaan cintanya pada istri, baik verbal maupun nonverbal. Kata‐kata indah dan penuh nasihat suami yang dikirimkan melalui pesan singkat di handphone, misalnya, akan disimpan lebih lama. Istri akan menghargainya sebagai ekspresi cinta dari suaminya. Jadi, kata‐kata indah, hadiah, perhatian, dan pengertian yang diberikan seorang suami kepada istrinya akan memotivasi sang istri.

6. Kebutuhan Emosi Seringkali akan dijumpai sepasang suami istri yang saling mencintai pasangannya dan

mengungkapkan rasa cintanya (dengan caranya) ternyata tidak mendapat sambutan seperti yang diharapkan. Masalahnya, di antara mereka sering mengungkapkan rasa cinta dengan cara yang tidak diharapkan pasangannya. Jhon Gray (2014: 198) menjelaskan bahwa kebutuhan emosi suami dan istri ternyata berbeda. Seorang istri menganggap ia menunjukkan cintanya pada suami dengan memberikan perhatian dan kepedulian, sekaligus mengingatkan dan menasihati suami, tanpa diminta sang suami. Padahal, cara demikian sangat mengganggu suaminya. Demikian pula halnya dengan para suami, ia merasa mencintai istrinya dengan cara‐cara yang ternyata menjadikan istri merasa diabaikan dan tidak didukung. Misalnya, saat istri marah dan mengungkapkan beban‐bebannya, sang suami menganggap ia dapat mencintai dan memotivasi istrinya dengan mengecilkan seluruh beban dan kesulitan‐kesulitannya. Alih‐alih merasa dicintai dan didukung, cara demikian malah menjadikan istri merasa diremehkan dan diabaikan.

Berikut ini daftar kebutuhan utama akan cinta pada wanita maupun pria, sebagaimana diungkapkan Jhon Gray (2014: 200):

55

Page 56: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Wanita perlu menerima

Perhatian

Pengertian

Hormat

Kesetiaan

Penegasan

Jaminan

Pria perlu menerima

Kepercayaan

Penerimaan

Penghargaan

Kekaguman

Persetujuan

Dorongan

B. Mengelola Perbedaan untuk Menguatkan Kemesraan Perbedaan tidak untuk diingkari. Perbedaan adalah realitas yang harus disikapi secara pas dan

tepat. Dalam konteks hubungan suami istri, adanya perbedaan merupakan hal yang wajar. Pemahaman secara utuh akan pasangan dengan sejumlah karakter khasnya akan mengarahkan seseorang untuk memperlakukan pasangannya sebagaimana pasangannya ingin diperlakukan. Ia mencintai dengan cara yang diharapkan pasangannya. Oleh karena itu, ada beberapa cara untuk mengelola perbedaan agar menguatkan kemesraan:

1. Memahami dan menenggang perbedaan. 2. Memperlakukan pasangan seperti mereka ingin diperlakukan. 3. Menerima ketidaksempurnaan pasangan. 4. Mengenali sisi kebaikan pasangan sejak awal. 5. Menumbuhkan pasangan.

C. Mengenali dan Menyikapi Secara Tepat Perubahan Pasangan Seiring dengan perjalanan usia perkawinan, pasangan suami istri harus menyadari bahwa

proses mengenali pasangan tidak hanya terjadi di awal perkawinan. Proses tersebut berlangsung sepanjang rentang waktu kehidupan bersama dengan pasangan. Ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian bagi pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan:

1. Menyadari bahwa pasangan terus tumbuh dan berubah Menyadari bahwa pasangan akan mengalami perubahan itu penting. Dengan kesadaran ini,

sepasang suami istri semestinya terus berusaha memahami dan mengenali pasangannya. Tanpa menyadari akan perubahan‐perubahan yang terjadi pada diri pasangannya, suami atau istri akan merasa terkaget‐kaget dan mengira bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam diri pasangannya. Sekali lagi, pasangan hidup kita akan berubah setiap saat. Jika pengenalan terus dilakukan, sebenarnya tidak ada yang benar‐benar berubah mendadak.

Perubahan‐perubahan tersebut dapat berupa perubahan selera, cara pandang, kebutuhan, kebiasaan, dan sebagainya. Perubahan‐perubahan tersebut dapat disebabkan banyak hal,

56

Page 57: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

seperti (a) lingkungan, (b) komunitas dan pertemanan, (c) media dan bacaan, (d) pendidikan, (e) tuntutan kebutuhan, dan bisa juga karena (f) pengaruh pasangannya. Sebagai contoh, seorang istri pernah membeli kendaraan agar aktivitas suami istri tidak saling tergantung. Seiring berjalannya waktu, sang suami berusaha untuk memenuhinya. Ia menabung hingga suatu hari ia berhasil memberi motor bagi istrinya. Namun, ketika motor diberikan, sang istri merasa tidak senang. Dia berpandangan bahwa daripada untuk beli motor lebih baik untuk membayar biaya pendidikan anak‐anak. Rupa‐rupanya ada perubahan kebutuhan pasangan seiring dengan hadirnya anak‐anak dalam keluarga mereka.

2. Komunikasi yang mengokohkan keluarga Salah satu cara untuk mengenali pasangan adalah melalui jalan komunikasi, selain cara

pengamatan yang intensif tentunya. Ada beberapa strategi komunikasi untuk menghadapi perubahan‐perubahan dalam keluarga:

a. Merancang komunikasi intensif (intensive communication). Sebuah keluarga perlu mengalokasikan waktu untuk berbincang dan memantau

perubahan‐perubahan yang terjadi di dalam keluarga, lalu membicarakannya secara terbuka. Misalnya, sang istri mulai melihat suaminya suka berdandan dan berpenampilan rapi yang berbeda dengan kebiasaan sebelumnya. Perubahan‐perubahan sederhana tersebut perlu dikomunikasikan secara terbuka. Saat‐saat seperti itulah kedua pasangan dapat meninjau ulang pola‐pola komunikasi mereka. Hal ini terlihat sederhana, tetapi banyak keluarga mengalami krisis karena tidak sanggup lagi melakukan perbincangan secara terbuka. Aneh lagi, ketika suami atau istri lebih bisa terbuka dengan orang lain daripada dengan pasangannya. Oleh karena itu, salah satu yang dapat menunjang komunikasi yang lebih intensif di dalam keluarga adalah penciptaan iklim komunikasi yang lebih kondusif.

b. Menciptakan komunikasi yang lebih intim (intimate communication). Hal yang perlu diwaspadai dalam keluarga adalah perubahan iklim komunikasi di

dalamnya. Ketika obrolan‐obrolan di dalam keluarga tak lagi hangat dan cenderung hanya membicarakan “yang perlu‐perlu saja” (matter of fact), itu pertanda unsur emosi mulai berkurang di dalam keluarga. Ketika komunikasi di dalam keluarga mulai berangsur kering dan gersang, lalu masing‐masing anggota keluarga mulai sibuk dengan pikiran dan bebannya masing‐masing, itu artinya harus ada yang diperbaiki dalam pola komunikasi keluarga. Menciptakan komunikasi yang akrab dan intim sangat dianjurkan.

c. Merevitalisasi komunikasi dalam keluarga (revitalizing communication). Hubungan keluarga yang rutin dan cenderung monoton adalah salah satu perubahan

yang perlu dikenali, kemudian direvitalisasi dan digairahkan kembali. Sesekali pasangan suami istri dapat mengkhususkan waktu berdua, tanpa anak‐anak (misalnya), dengan menyewa kamar hotel atau penginapan, untuk menyegarkan kembali hubungan suami istri. Menciptakan kejutan‐kejutan pada pasangan atau memberikan hadiah, dapat menjadi alternatif merevitalisasi hubungan dalam keluarga. Tentu saja ada banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menyegarkan dan menggairahkan kembali hubungan suami‐istri.

VIII. REFERENSI

Allan & Barbara Pease. 2015. Mengapa Pria Tidak Bisa Mendengarkan dan Wanita Tidak Bisa Membaca Peta. Gramedia: Jakarta.

Covey, Stephen R. 1997. The 7 Habits of Highly Effective Families. US: FranklinCovey Co.Gray, Jhon. 2014. Man Are From Mars, Women Are From Venus. Jakarta: Gramedia.Takariawan, Cahyadi. 2014. Wonderful Family. Solo: Era Intermedia.

57

Page 58: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 59: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Pendidikan Keuangan Keluarga ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan pentingnya kesehatan reproduksi, terutama bagi mereka yang akan melangsungkan pernikahan. Perkara kesehatan seringkali luput dari perhatian pasangan yang akan melangsungkan pernikahan, terlebih ketika di antara keduanya tidak merasakan adanya gangguan kesehatan yang berarti. Padahal, pada kenyataannya faktor kesehatan menjadi salah satu parameter ketangguhan sebuah keluarga. Beberapa konflik dalam keluarga, tidak jarang, muncul karena permasalahan kesehatan di dalam keluarga. Kemampuan untuk melaksanakan fungsi reproduksi yang tidak dapat dijalankan dengan baik, hambatan memiliki keturunan, dan gangguan‐gangguan lain misalnya, merupakan masalah kesehatan yang dapat diantisipasi dan ditanggulangi sejak dini, bahkan sebelum pernikahan dilaksanakan. Hal itu dapat terjadi jika kesadaran akan kesehatan reproduksi telah tumbuh dan dimiliki pasangan suami‐istri. Itulah sebabnya, di beberapa negara, program pemeriksaan kesehatan (premarital screening) telah menjadi salah satu tahap yang harus dijalani bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Jika kesadaran dan program untuk menjaga kesehatan keluarga dapat dijalankan, maka (di masa depan) Yogyakarta akan mampu mewujudkan keluarga yang tangguh, sehat, dan sejahtera. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait kesehatan reproduksi perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Peserta memahami pentingnya menjaga kesehatan reproduksi menjelang dan pada saat

pernikahan.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan urgensi kesehatan reproduksi menjelang pernikahan. 2. Memahami dan menjelaskan gangguan‐gangguan kesehatan reproduksi dan cara mencegah

dan atau mengatasinya.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Urgensi Kesehatan Reproduksi 1. Memastikan kedua mempelai dinyatakan sehat secara medis sehingga siap melangsungkan

perkawinan. 2. Menunjang pembentukan keluarga yang sehat. 3. Mendukung lahirnya keturunan‐keturunan yang sehat. 4. Mencegah terjadinya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh masalah kesehatan,

kesuburan, dan keturunan. 5. Mencegah, mengantisipasi, dan melakukan penanganan lebih dini terhadap gangguan‐

gangguan kesehatan yang dialami anggota keluarga.

59

Page 60: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Video, flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam pelajaran (T=1jp, P=1jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (30 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (60 menit) 1. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan Kesehatan Reproduksi. 2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (15 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

B. Program Penjagaan Kesehatan Reproduksi Pranikah 1. Menjaga kebugaran tubuh. 2. Menjaga dan merawat tubuh dan (terutama) organ reproduksi. 3. Penapisan (screening) kesehatan secara umum, terutama fungsi organ reproduksi untuk

mendeteksi dan mengatasi gangguan lebih dini. 4. Vaksinasi dan atau terapi hasil screening.C. Gangguan Kesehatan Reproduksi dan Langkah Penanganannya 1. Infeksi organ reproduksi. 2. Kelainan anatomi. 3. Kelainan hormonal. 4. Trauma fisik, dan lain‐lain.

60

Page 61: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Urgensi Kesehatan Reproduksi Seringkali masalah kesehatan lebih banyak diabaikan sebagian masyarakat kita, termasuk ketika

hendak melangsungkan perkawinan. Salah satu parameter keluarga tangguh semestinya adalah keluarga yang sehat pula, baik sehat secara fisik maupun psikis. Pada kenyataannya, seringkali kerentanan dalam keluarga terjadi karena persoalan kesehatan yang tidak terdeteksi sejak dini. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga kesehatan, terutama kesehatan reproduksi, menjadi prioritas yang tidak boleh diabaikan oleh mereka yang akan melangsungkan pernikahan.

Ada beberapa manfaat seseorang perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah kesehatan (reproduksi) sebelum menikah:

1. Memastikan kedua mempelai dinyatakan sehat secara medis sehingga siap melangsungkan pernikahan.

2. Menunjang pembentukan keluarga yang sehat. 3. Mendukung lahirnya keturunan‐keturunan yang sehat. 4. Mencegah terjadinya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh masalah kesehatan,

kesuburan, dan keturunan. 5. Mencegah, mengantisipasi, dan melakukan penanganan lebih dini terhadap gangguan‐

gangguan kesehatan yang dialami anggota keluarga.

B. Program Penjagaan Kesehatan Reproduksi Pranikah 1. Menjaga kebugaran tubuh Calon pengantin perlu menjaga kebugaran tubuh sehingga kelak mereka dapat melakukan

fungsi dan peran keluarga secara maksimal, termasuk tentunya fungsi reproduksi. Dengan menjaga kebugaran, anggota keluarga mampu melaksanakan aktivitas sehari‐hari tanpa kelelahan yang berarti. Dengan demikian, ia masih dapat menikmati waktu luang untuk proses pengokohan keluarga. Anggota keluarga yang tidak bugar akan kesulitan menunaikan tugas dan fungsi keluarga dengan lebih baik. Kondisi badan yang tidak bugar juga cenderung mempengaruhi kondisi psikologis. Oleh karena itu, seringkali dijumpai konflik‐konflik di dalam rumah tangga yang disebabkan kelelahan yang tidak diantisipasi ini, baik kelelahan fisik maupun kelelahan psikologis.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga kebugaran tubuh: a. Membiasakan olahraga secara rutin. Minimal selama 30 menit setiap 3‐5 kali perminggu. Rutinitas olahraga akan menjadi

lebih mudah dilakukan apabila sebelum menikah kebiasaan ini telah dilakukan. Olahraga yang dapat dilakukan adalah olah raga yang mampu menggerakkan otot‐otot besar secara aktif dan ritmis, misalnya dengan joging, bersepeda, berenang, atau jalan cepat.

b. Menjaga pola makan dan kualitas asupan makanan. Makanan sehat yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh tentunya banyak ragam dan

macamnya, intinya makanan tersebut harus kaya nutrisi, bervariasi, sesuai dengan kebutuhan, seimbang, dan terjaga kebersihannya. Sedangkan syarat tambahan untuk makanan sehat adalah mengandung elemen‐elemen mineral penting dan senyawa zat antioksidan. Mengkonsumsi makanan secara wajar dan sesuai dengan porsi tubuh akan menjadikan tubuh lebih sehat dan terjaga. Termasuk dalam hal ini menjaga tubuh dari makanan‐makanan yang tidak sehat. Selain itu, kebutuhan tubuh akan cairan juga harus dipastikan cukup. Air dan mineral yang cukup di dalam tubuh akan menjamin berlangsungnya metabolisme yang optimal.

61

Page 62: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

c. Istirahat yang cukup. Menjaga pola tidur sangat dianjurkan. Waktu tidur terideal sekitar 7 jam sehari. Lebih

dari 8 jam beresiko tinggi untuk meninggal lebih cepat, demikian laporan penelitian yang dilakukan Institusi American Cancer Society yang bekerjasama dengan UCSD. Jim Horne, Ph.D bahkan menyatakan bahwa kebanyakan tidur sama bahayanya dengan kebanyakan makan ketika lebih dari yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu, jadwalkan waktu dan lama tidur yang teratur, selebihnya patuhi jadwal itu. Jadwal tidur yang kacau dan tidak teratur dapat mengganggu jam biologis tubuh. Akibatnya, sering menyebabkan gangguan tidur pada seseorang (Ramadhani, 2008: 166‐167). Tidur yang cukup akan menjamin senyawa antioksidan alamiah di dalam tubuh untuk bekerja secara optimal. Tidur yang cukup dan berkualitas akan memberi kesempatan tubuh untuk memperbaiki dan memperbarui sel‐sel yang rusak dan menua. Oleh karena itu, pada seseorang yang tidurnya berkualitas akan terasa bugar ketika bangun tidur.

d. Membiasakan hidup bersih. Hidup bersih dapat dilatih dengan membiasakan diri. Dalam kehidupan sehari‐hari,

hendaknya kita memastikan kebersihan dari tubuh (termasuk dalam hal ini organ reproduksi), pakaian, dan lingkungan sekeliling kita (termasuk air bersih yang kita gunakan untuk sehari‐hari). Dalam hal penjagaan organ reproduksi perlu diperhatikan bahwa higienitas yang tidak baik akan menimbulkan akibat yang fatal. Berbagai infeksi saluran reproduksi dapat menyerang apabila higiene tidak terjaga. Infeksi pada saluran reproduksi ini dapat menimbulkan akibat yang beragam, seperti: rasa tidak nyaman (gatal, panas, rasa terbakar, bau yang tidak sedap), keputihan dengan segala akibat yang terasa), sakit pada panggul atau perut bawah (kadang kala menyebabkan gangguan sistemik seperti demam), bahkan dapat berakibat kemandulan. Dalam suatu penelitian secara in‐vitro (pengamatan di luar tubuh manusia), cairan keputihan yang muncul akibat infeksi Clamydia akan dapat menyerang sel‐sel sperma. Infeksi saluran reproduksi yang menyerang daerah panggul atau saluran bagian atas (pelvic inflammatory disease –PID) juga berisiko menyebabkan sulit hamil. Selain itu, infeksi saluran reproduksi seperti herpes genitalis akan dapat berkembang menjadi ganas. Perkara kebersihan ini harus diperhatikan baik oleh calon pengantin perempuan maupun laki‐laki. Pada banyak kasus, infeksi saluran reproduksi perempuan dapat terjadi akibat tertular dari suaminya. Perkara infeksi ini tentu juga dapat mengganggu keharmonisan keluarga, tidak hanya akibat sakit yang ditimbulkan, tetapi juga akibat ketidaknyamanan (misal, akibat keputihan yang berbau) bahkan kemandulan. Menjaga higiene dapat dilakukan dengan memperhatikan kebersihan air yang digunakan untuk bersuci, mengganti pakaian dalam secara teratur (minimal 2 kali sehari), dan menjaga kelembaban daerah genital (dapat dilakukan dengan memilih bahan pakaian yang tidak panas, tidak ketat, lembut, dan menyerap keringat; mengeringkan organ genital setelah bersuci). Pada pria, penggunaan pakaian bawah yang terlalu ketat dan panas juga dapat merusak sperma. Penggunaan cairan pencuci vagina pada perempuan juga harus berhati‐hati. Di dalam organ reproduksi, terdapat flora normal (bakteri komensal) yang justru bermanfaat untuk melindungi organ reproduksi dari bakteri jahat (patogen) yang merugikan. Apabila salah dalam menggunakan cairan pencuci vagina, flora normal justru akan banyak berkurang. Akibatnya, bakteri patogen akan lebih mudah menyerang.

Kebersihan makanan juga harus diperhatikan. Ada beberapa macam parasit yang berbahaya bagi janin, seperti toksoplasma. Kuman toksoplasma dapat masuk ke tubuh akibat bahan makanan yang terkontaminasi parasit tersebut. Hal ini dapat diminimalkan

62

Page 63: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

dengan mencuci lalapan yang dikonsumsi, juga memasak daging hingga matang. Kebersihan dan kesehatan inatang peliharaan (seperti kucing dan unggas) juga tidak luput dari perhatian.

2. Penapisan (screening) kesehatan secara umum Akan lebih baik jika pasangan yang akan menikah melakukan pemeriksaan kesehatan

(premarital screening). Hal ini dilakukan untuk mendeteksi lebih dini kemungkinan munculnya masalah kesehatan pasca‐perkawinan, yang berpengaruh pada hubungan keluarga. Pasangan yang akan menikah hendakanya tidak melihat sisi keribetan yang dirasakan, tetapi hendaknya lebih mengutamakan tujuan yang lebih besar, yaitu menjadikan keluarga semakin kokoh dan kuat. Ada beberapa rangkaian pemeriksaan kesehatan yang perlu dilakukan, antara lain sebagai berikut:

a. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan dini dilakukan, misalnya, untuk mengetahui tekanan darah, apakah tinggi,

normal, ataukah rendah. Dari hasil pemeriksaan ini, pasangan yang akan menikah memiliki peta yang lebih jelas tentang peta kesehatan keluarga. Adakah yang mengalami hipertensi? Apakah ada faktor keturunan yang mempengaruhi? Dengan pengetahuan ini, keluarga yang akan terbentuk memiliki gambaran untuk melakukan tindakan‐tindakan antisipatif, misalnya dengan merancang pola makan dan pola hidup sehat dalam keluarga. Jika hipertensi terjadi pada istri, keluarga dapat mengantisipasinya lebih awal. Pemeriksaan klinis juga dapat digunakan untuk mendeteksi gejala obesitas pada ibu hamil sekaligus memilih tindakan‐tindakan medis untuk menjaga kesehatan janin dan ibu.

b. Pemeriksaan darah. Deteksi dini terhadap anemia juga perlu dilakukan dengan pemeriksaan darah rutin.

Anemia tentu akan berpengaruh terhadap kebugaran sehari‐hari. Selain itu, kondisi anemia akan dapat menjadi penyulit perempuan yang hamil dan melahirkan. Selain deteksi dini terhadap anemia, pemeriksaan darah rutin juga dapat memberikan gambaran mengenai beberapa hal, misalnya: infeksi kronis, alergi, kelainan darah lainnya. Apabila diketahui menderita penyakit tertentu yang terdeteksi dari pemeriksaan darah, langkah antisipatif tentu akan jauh lebih signifikan dibandingkan apabila sudah terlanjur berakibat fatal. Pemeriksaan darah yang lain juga dapat dilakukan sebagai skrining terhadap infeksi yang dapat membahayakan kandungan, antara lain: pemeriksaan toksoplasma, citomegalovirus, herpes, dan rubella.

c. Pemeriksaan urine. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan urine juga dapat dilakukan sebagai sarana

penapisan. Beberapa hal yang dapat diketahui dari pemeriksaan urin ini, antara lain: kemungkinan infeksi organ genitalia, risiko terjadinya batu saluran kemih, dan penyakit‐penyakit ginjal lainnya yang lebih serius.

3. Vaksinasi dan atau terapi hasil screening. Dari hasil screening yang dilakukan, apabila terdapat indikasi adanya penyakit tertentu,

maka sebaiknya terapi segera dilakukan. Tentunya, berkonsultasi pada dokter yang kompeten dan mengikuti sarannya adalah anjuran terbaik. Bagi yang tidak mengharuskan terapi, sekedar berkonsultasi kepada dokter sebelum melangsungkan pernikahan juga sangat dianjurkan. Dokter akan memberikan saran yang tepat sesuai kondisi kita, termasuk menyarankan apakah vaksinasi harus dilakukan untuk mengantisipasi penyakit tertentu, terlebih bagi individu yang memiliki risiko tinggi.

63

Page 64: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

C. Gangguan Kesehatan Reproduksi dan Langkah Penanganannya 1. Gangguan kesehatan reproduksi pada laki‐laki a. Kelainan anatomi. Kelainan anatomi dapat menimpa laki‐laki maupun perempuan. Pada laki‐laki, biasanya

berupa kondisi penis yang tidak lurus. Jadi bukan berkaitan dengan ukuran panjang pendek. Selama organ vital laki‐laki tersebut masih dapat memasuki organ vital perempuan, peluang untuk hamil bagi pasangan perempuan masih ada. Oleh karena itu, konsultasi ke dokter sangat dianjurkan jika ada yang mengalami demikian. Namun, karena manusia tidak memiliki sudut, maka proses penetrasi organ vital laki‐laki ke organ vital perempuan tidak harus lurus benar; agak serong sedikit pun tidak jadi masalah dalam proses pembuahan nantinya.

b. Hitungan sperma yang rendah. Penyebab rendahnya hitungan sperma sangat beragam (Ramadhani, 2013: 88‐89),

antara lain karena stres, merokok, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, terkena bahan kimia dan radiasi, penyakit yang diderita selama kanak‐kanak (seperti gondongen/ parotitis), serta trauma pada organ seksual laki‐laki. Parotitis dapat menyebabkan rendahnya hitungan sperma karena mekanisme “penipuan” terhadap sistem pertahanan tubuh. Saat tubuh mengalami parotitis, ia akan membuat antibodi. Antibodi ini akan menyerang sel‐sel terinfeksi, sayangnya ada bagian lain yang semestinya tidak ikut diserang tetapi diserang juga, bagian yang dapat diserang itu adalah testis. Oleh karena itu, ketika seseorang mengalami gondongen berkepanjangan, seyogyanya ia melakukan periksa analisis sperma.

Penyebab lain yang dapat mempengaruhi jumlah sperma antara lain: tersumbatnya saluran sperma, keganasan, infeksi, maupun adanya kelainan imunologis pada sperma (terdapat antibodi tertentu yang melekat pada sperma sehingga menyebabkan penyerangan oleh sel darah putih). Faktor trauma pada testis (tempat produksi sperma) juga dapat menyebabkan jumlah sperma menjadi rendah. Faktor truma antara lain: pukulan pada testis, pemuntiran testis (torsio testis), trauma oleh suhu yang terlampau ekstrem, atau bahkan akibat celana yang terlalu ketat.

Jumlah sperma yang kurang akan menghambat seorang pria untuk dapat membuahi sel telur perempuan. Meskipun sel sperma yang membuahi sel telur hanya satu, akan tetapi untuk dapat menembus lapisan pembungkus sel telur diperlukan jumlah tertentu dari sperma. Jumlah sel sperma yang kurang akan mengurangi kemampuan sel sperma dalam menembus lapisan sel telur dan kemudian membuahinya.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kondisi ini antara lain: memperhatikan faktor suhu di sekitar kemaluan (beberapa pekerjaan dan kebiasaan tertentu mungkin berpengaruh pada kondisi ini), menghindari pemakaian celana yang terlalu ketat, memangku laptop, dan sebagainya. Meskipun demikian, pengaruh dari faktor suhu ini sebenarnya hanya sementara saja. Artinya, saat kebiasaan dan suhu kembali normal, maka produksi sperma juga akan kembali normal.

c. Sel sperma abnormal dan permasalahan hormonal. Sel sperma abnormal dapat disebabkan oleh faktor gizi, hormonal, radiasi, obat‐obatan,

atau aktivitas berlebih. Sel sperma abnormal mengacu pada bentuk sperma yang berbeda dari sel sperma normal. Untuk dapat membuahi, tentunya sperma harus memiliki bentuk yang normal dan memungkinkan sperma bergerak normal serta memiliki komponen normal. Untuk mengantisipasinya (khususnya pada kasus yang ringan, dapat dilakukan perbaikan nutrisi, menghindari penyalahgunaan obat, dan mengatur aktivitas. Pada kelainan hormonal, mungkin diperlukan intervensi medis yang lebih kompleks.

64

Page 65: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

2. Gangguan kesehatan reproduksi pada wanita. a. Permasalahan hormonal. Fungsi organ reproduksi perempuan ditopang oleh bermacam‐macam hormon yang

bekerja secara teratur dan dalam pola yang cukup rumit. Permasalahan hormonal akan mempengaruhi pertumbuhan organ kelamin sekunder, siklus menstruasi, dan akhirnya akan berpengaruh pada kesuburan atau kemungkinan memperoleh keturunan. Kelainan hormonal dapat terjadi secara bawaan (sejak lahir terdapat kelainan ini) atau dapat juga disebabkan oleh faktor tertentu. Olah raga dengan intensitas yang sangat tinggi (misal pada atlet perempuan) dapat mempengaruhi aktivitas hormon pengatur organ reproduksi dengan sekian akibat yang dapat terjadi. Pada kelainan hormonal ini, mutlak diperlukan konsultasi dengan dokter ahli yang kompeten dalam permasalahan ini.

b. Kelainan organ kewanitaan. Kelainan organ kewanitaan dapat disebabkan kerena infeksi, adanya berbagai jenis

benjolan di organ reproduksi (polip, kista, atau myoma), maupun kelainan anatomi. Kelainan infeksi, khususnya pada organ reproduksi bagian bawah, dapat dicirikan dengan adanya keputihan. Keputihan sebenarnya secara normal dapat dialami oleh perempuan. Akan tetapi, apabila keputihan ini bergeser tanda‐tandanya dari kebiasaan, maka kita dapat mencurigai adanya kelaianan. Tanda‐tanda tersebut antara lain: adanya perubahan warna keputihan (hijau, kuning, abu‐abu, bahkan merah), perubahan bau (berbau amis, berbau telur busuk), perubahan bentuk (bergumpal‐gumpal atau sepeti keju dan susu busuk), serta munculnya tanda‐tanda penyerta lainnya (gatal, rasa terbakar di kemaluan, warna kemerahan di kemaluan). Infeksi pada bagian atas saluran reproduksi (infeksi panggul) dapat menyebabkan adanya jaringan parut pada saluran telur. Adanya jaringan parut ini akan menghambat pertemuan antara sperma dan sel telur sehingga menyulitkan terjadinya pembuahan. Adanya berbagai benjolan seperti polip, myoma, dan kista juga dapat mengganggu proses pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Selain itu, adanya benjolan tersebut juga dapat menggaggu penempelan hasil pembuahan pada tempat yang semestinya (rahim). Pada kasus di mana pembuahan dan penempelan dapat terjadi, adanya benjolan juga akan mempengaruhi tumbuh kembang janin di dalam kandungan. Hal ini karena janin harus berbagi tempat (mungkin juga nutrisi) dengan benjolan tersebut di dalam rahim.

c. Gangguan ovulasi. Ovulasi adalah pelepasan sel telur dari ovarium (indung telur) menuju ke saluran telur

(tuba falopii) setiap siklus menstruasi. Ovulasi memungkinkan adanya pertemuan antara sel telur dan sperma apabila dalam masa tersebut terjadi hubungan seksual. Proses ovulasi dapat terjadi akibat kerja sama berbagai hormon reproduksi. Oleh karena itu, gangguan hormonal tentu juga dapat mempengaruhi proses ovulasi. Adanya kelainan berupa kista‐kista di ovarium (tempat penghasil sel telur) yang dikenal dengan PCOS (poly cystic ovarian syndrome) akan dapat mengganggu fungsi hormonal yang menpang terjadinya ovulasi. Penyebab PCOS belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, pola hidup yang tidak sehat diduga turut berperan dalam timbulnya PCOS ini. Oleh karena itu, pembisaan hidup yang sehat sedari dini penting dilakukan untuk menghindari terjadinya kelainan ini. Pole hidup sehat tersebut antara lain: mengatur asupan makanan, olah raga secara teratur dan terukur, menghindari paparan asap rokok, dan mengatur berat badan. Dengan pengaturan kebiasaan tersebut, sebagian besar gejala PCOS mengalami perbaikan nyata.

65

Page 66: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VIII. REFERENSI

Decherney, A.H., Goodwin, T.M., Nathan, L., Laufer, N. 2007. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. McGraw‐Hill: New York.

Ramadhani, Egha Zainur. 2012. Sehat dan Sukses Pranikah. Yogyakarta: ProU Media.____________________. 2008. Super Health. Yogyakarta: ProU MediaTakariawan, Cahyadi. 2014. Wonderful Journeys for Marriage: Menyiapkan Diri Menuju Pernikahan

Suci. Solo: Era Intermedia.

66

Page 67: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 68: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 69: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

I. DISKRIPSI SINGKAT

Modul Pendidikan Keuangan Keluarga ini disusun untuk membekali konselor keluarga agar mampu memahami dan menjelaskan pentingnya pengelolaan keuangan keluarga, terutama bagi mereka yang akan melangsungkan pernikahan. Perkara finansial seringkali menjadi masalah bagi sebuah keluarga. Kesalahan dalam mengelola keuangan keluarga dapat menimbulkan kerentanan keluarga. Itulah sebabnya, kearifan lokal Jawa, dan Yogyakarta khususnya, telah mewanti‐wanti agar setiap kita memiliki kesadaran yang baik dalam pengelolaan keuangan. Sayangnya, prinsip‐prinsip pengelolaan keuangan keluarga seringkali luput dipersiapkan oleh pasangan yang memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Aspek ekonomi, menurut Sunarti (2014: 37) memang bukan satu‐satunya aspek dalam kehidupan keluarga. Namun, ia menjadi aspek penting dan banyak mempengaruhi kehidupan keluarga. Itulah sebabnya, pada banyak kasus, tekanan ekonomi sering menjadi salah satu sebab munculnya kelompok keluarga rentan. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh terkait pentingnya Pendidikan Keuangan Keluarga perlu dipahami dan dikuasai para konselor keluarga yang akan menjadi fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan pranikah di masyarakat.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum Peserta memahami pentingnya pendidikan keuangan keluarga dan mampu mengarahkan peserta

agar mampu merencanakan dan mengelola keuangan keluarga.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti materi ini peserta mampu: 1. Memahami dan menjelaskan urgensi pengelolaan keuangan keluarga dalam menjaga

ketahanan pernikahan. 2. Memahami, menjelaskan, dan memandu peserta agar mampu mengelola keuangan keluarga.

III. POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN

A. Ruang Lingkup Pengelolaan Keuangan Keluarga 1. Mengidentifikasi dan mendata sumber‐sumber pendapatan keluarga 2. Mengelola penghasilan keluarga dengan pengelolaan yang baik

B. Dasar Pengelolaan Keuangan Keluarga 1. Menetapkan sasaran hidup 2. Menyusun prioritas sasaran hidup 3. Mengantisipasi kebutuhan tak terduga

C. Cara Mengelola Keuangan Keluarga 1. Merencanakan keuangan keluarga 2. Mengimplementasikan rencana keuangan keluarga 3. Mengevaluasi perencanaan dan implementasi keuangan keluarga

69

Page 70: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

IV. BAHAN BELAJAR

Video, flip chart, spidol, LCD proyektor, kertas plano, worksheet, modul.

V. METODE PEMBELAJARAN

Ceramah, tanya‐jawab, diskusi, dan latihan.

VI. LANGKAH‐LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam pelajaran (T=1jp, P=1jp, PL=0jp) dengan masing‐masing JP sepanjang 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran dan meningkatkan keaktifan peserta, dilakukan langkah‐langkah pembelajaran sebagai berikut:

A. Langkah 1: Pengkondisian (20 menit) 1. Penyegaran dan pencairan suasana. 2. Fasilitator meminta peserta untuk menyampaikan refleksinya atas materi yang telah diberikan

sebelumnya. 3. Fasilitator menyampaikan materi yang akan dibahas serta tujuan pembelajaran dan pokok

bahasannya.

B. Langkah 2: Penyampaian Pokok Bahasan (60 menit) 1. Fasilitator menyampaikan pokok bahasan: ruang lingkup pengelolaan keuangan keluarga, dasar

pengelolaan keluarga, dan cara mengelola keuangan keluarga. 2. Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya hal‐hal yang kurang jelas dan

membuka diskusi atas masalah‐masalah yang dikemukakan peserta.

C. Langkah 3: Rangkuman (10 menit) 1. Fasilitator meminta komentar, penilaian, saran dan kritik dari peserta pada kertas evaluasi yang

telah disediakan. 2. Fasilitator menutup sesi pembelajaran dengan memastikan bahwa TPU dan TPK sesi telah

tercapai.

70

Page 71: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

VII. URAIAN MATERI

A. Ruang Lingkup Pengelolaan Keuangan Keluarga 1. Mengidentifikasi dan mendata sumber‐sumber pendapatan keluarga. 2. Mengelola penghasilan keluarga dengan pengelolaan yang baik.

B. Dasar Pengelolaan Keuangan Keluarga 1. Menetapkan sasaran hidup Sebuah keluarga yang tangguh adalah keluarga yang memilki kejelasan sasaran hidupnya.

Kejelasan sasaran hidup itulah yang menjadi tolok ukur dalam setiap pengambilan keputusan di dalam keluarga, termasuk di dalamnya dalam hal pengelolaan keuangan keluarga. Alokasi untuk memenuhi sasaran hidup itulah yang sebenarnya merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Sementara, alokasi pengeluaran keuangan keluarga di luar sasaran hidup sebenarnya hanya merupakan daftar keinginan, yang bersifat pilihan atau opsional.

Ketidakjelasan dalam menetapkan sasaran hidup akan menyebabkan kebingungan sebuah keluarga untuk memetakan mana kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan. Sebagai contoh, membeli dawai atau gadget dapat menjadi kebutuhan tetapi juga dapat pula hanya sebagai keinginan. Bagi keluarga yang menetapkan pendidikan sebagai sasaran hidup, misalnya, kebutuhan akan gadget mungkin dipertimbangkan mendukung proses pendidikan salah seorang anggota keluarganya. Saat itulah gadget menjadi kebutuhan. Demikian pula halnya dengan keluarga muda yang mengembangkan bisnis secara online, barangkali gadget tersebut merupakan kebutuhan utama. Pembeliannya untuk menunjang produktivitas dan tidak hanya memperturutkan kesenangan.

2. Menyusun prioritas berdasar sasaran hidup Pada banyak hal, seringkali kebutuhan‐kebutuhan hidup yang banyak membutuhkan

pemenuhan yang (seakan) bersamaan. Padahal, pendapatan keluarga tidak sebesar yang semestinya dikeluarkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, menyusun prioritas harus dilakukan. Jika pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan (apalagi sekedar daftar keinginan) lebih besar dari pendapatan keluarga, kearifan lokal kita mengingatkan dengan sebuah proposisi: gegedhen empyak kurang jagak.

Dalam hal ini, penting pula memrioritaskan sesuatu berdasarkan hal yang penting dan mendesak. Hal penting ialah hal‐hal yang paling penting bagi keluarga, kebutuhan‐kebutuhan utama keluarga, yang berkontribusi terhadap pencapaian misi serta sasaran keluarga. Sementara itu, hal yang mendesak ialah segala sesuatu yang menekan, yang menuntut pemenuhan dan perhatian segera. Gambaran tersebut dapat terlihat sebagaimana kuadran sebagai berikut:

71

Page 72: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Kuadran pertama: Keluarga yang pandai menyusun prioritas. Keluarga ini telah merencanakan kebutuhan penting yang belum mendesak untuk dipenuhi. Sebelum waktu bayar biaya sekolah anak, misalnya, keluarga telah menyiapkan dana untuk itu, yang mungkin dilakukan dengan menyisihkan sehingga tampak lebih ringan dan tidak membebani. Contoh lain, keluarga muda yang masih ngontrak, yang pandai menyusun prioritas, akan menyiapkan dana untuk biaya kontrakan yang harus dibayarkan setahun sekali. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, dan akhirnya masuk dalam kategori kebutuhan mendesak, biaya itu akan terasa besar untuk ditanggung. Beban psikologisnya juga akan menjadi tekanan bagi anggota keluarga.

Kuadran kedua: keluarga yang suka “kemrungsung” sebab biasa menunda perencanaan. Hal ini terjadi karena keluarga tersebut tidak merencanakan kebutuhan‐kebutuhan keluarga dengan baik, baik yang terduga maupun yang tak terduga. Contoh, biaya kontrakan rumah yang tidak disiapkan, akibatnya kebutuhan yang penting berubah menjadi mendesak dan berat untuk dipenuhi saat itu juga. Akibat sebuah keluarga berada dalam kuadran ini adalah anggota keluarga akan rentan mengalami stres dan kecemasan, kelelahan, dan kurang tenang.

72

Page 73: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

Kuadaran ketiga: keluarga rentan. Inilah keluarga yang hidup dalam kesia‐siaan. Keluarga ini lebih memprioritaskan hal yang tidak penting dan tidak juga mendesak. Pengeluaran terjadi tanpa perencanaan, dan bahkan cenderung untuk hal‐hal yang berisi daftar keinginan daripada kebutuhan keluarga. Keluarga yang memperturutkan gaya hidup dan melupakan kebutuhan utama termasuk dalam kuadran ini. Kondisi ini perlu diwaspadai, terutama bagi keluarga muda, begitu seseorang memutuskan untuk melangsungkan perkawinan, ia perlu mengerem keinginan‐keinginan pribadi. Kebutuhan keluarga haruslah menjadi prioritas.

Kuadran keempat: keluarga yang tertipu (kapusan). Keluarga di kuadran ini menganggap hal‐hal mendesak sebagai sesuatu yang penting dan harus dipenuhi. Kondisi di kuadran ini dapat terjadi pada pasangan keluarga muda, ketika masa lajang baru saja ditinggalkan, inilah masa peralihan yang sangat krusial. Ada banyak hal mendesak, sebagai bagian dari interaksi masa lajang, tetapi tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi keluarga. Ajakan dari teman untuk melakukan sesuatu sebagai aktivitas yang biasa dilakukan pada masa lajang, seperti hobi, nonton bareng, atau aktivitas lain, seringkali menjadi sesuatu yang mendesak tetapi sulit untuk ditolak karena menyinggung perasaan teman. Kondisi ini, sekali lagi, dapat menipu karena sesuatu yang mendesak (dianggap) sebagai hal penting, padahal tidak sama sekali dalam pertimbangan keluarga.

3. Mengantisipasi kebutuhan tak terduga Keluarga perlu mengantisipasi kebutuhan yang tidak terduga. Hal ini perlu diakukan karena

dalam hidup seringkali dijumpai hal‐hal yang tak terduga dan merupakan perkara penting. Seringkali kebutuhan‐kebutuhan tak terduga memang tidak diharapkan, hanya saja ia mesti dihadapi dan dipenuhi. Misalnya, anggota keluarga yang mendadak sakit dan kerusakan kendaraan yang parah.

B. Cara Mengelola Keuangan Keluarga 1. Merencanakan keuangan keluarga. Sunarti (2014: 54) menjelaskan beberapa cara merencanakan keuangan keluarga, antara

lain sebagai berikut: a. Mencatat dan menghitung pendapatan keluarga, b. Menghitung biaya kebutuhan keluarga setiap bulannya, c. Menetapkan selisih pendapatan dan pengeluaran yang perlu ditabung dan atau

diinvestasikan, d. Menetapkan aset dan investasi yang baik dan tepat bagi keluarga. 2. Mengimplementasikan rencana keuangan keluarga. Tahap berikutnya adalah konsisten dalam mengimplementasikan keuangan keluarga sesuai

dengan yang direncanakan. Akan tetapi, dalam kondisi dan taraf tertentu kadang diperlukan fleksibilitas. Pada saat menerapkan rencana tersebut kita seyogyanya memperhatikan prinsip‐prinsip sebagai berikut:

a. Nastiti (cermat). Prinsip ini mengarahkan keluarga Yogyakarta semestinya cermat dan teliti dalam pengelolaan keuangan keluarga. Jangan sampai ada kebutuhan penting yang terlewatkan dari perencanaan, sehingga masuk dalam kategori mendesak untuk dipenuhi.

b. Gemi (hemat). Dalam hal ini, perhitungan antara daya dan dana diperlukan, baik dalam tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan (Rahyono, 2015: 167). Di tengah budaya konsumtif yang melanda masyarakat, semestinya keluarga Yogyakarta menimbang masak‐masak aspek kebermanfaatan barang‐barang yang dibutuhkan. Jangan sampai karena gengsi melakukan tindakan yang salah kaprah sehingga masuk dalam kategori mburu uceng kelangan dheleg ‘mengejar yang remeh‐temeh dan tak bermanfaat dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar.’

73

Page 74: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7

c. Empan papan (kontekstual). Prinsip ini merupakan prinsip fleksibilitas dalam bertindak. Segala sesuatu haruslah dilakukan dengan bener sekaligus pener.

d. Rigen (efektif dan efisien). Pengelolaan keuangan keluarga seyogyanya mempertimbangkan prinsip efektif dan efisien, agar segala sesuatu tidak mindhon gaweni ‘dua kali kerja.’ Kondisi ini tentu saja menuntut perencanaan yang tepat dan implementasi yang cermat.

e. Satitahe (sesuai dengan kemampuan). Keluarga Yogyakarta semestinya memiliki pengendalian diri yang baik, termasuk dalam penggunaan keuangan keluarga. Mereka tidak mudah tergoda untuk memenuhi semua keinginan, tanpa mempertimbangkan kemampuan. Bahkan, seandainya ia mampu sekalipun, ia masih harus mempertimbangkan nilai kemanfaatannya. Keluarga yang tangguh memegang penuh nasihat aja dhumeh. Proposisi direktif aja dumeh merupakan kata‐kata bijak yang berisi anjuran agar segala perbuatan manusia dikendalikan dan diarahkan pada kearifan (Rahyono, 2015: 175). Ojo dumeh sugih ‘mentang‐mentang kaya’ lalu menghambur‐hamburkan uang semaunya. Prinsip‐prinsip tersebut di atas harus menjadi panduan dalam pengelolaan keuangan keluarga Yogyakarta.

3. Mengevaluasi perencanaan dan implementasi keuangan keluarga. Suami dan istri perlu mengevaluasi pengelolaan keuangan keluarga secara periodik, sejak

perencanaan hingga implementasinya. Sebagai sebuah tim, langkah ini merupakan bagian dari upaya mengokohkan keluarga.

VIII. REFERENSI

Rahyono. 2015. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.Sunarti, Euis. 2014. Modul Ketahanan Keluarga bagi Motekar (Motivator Ketahanan Keluarga).

Bandung: IKK FEMA‐IPB.Takariawan, Cahyadi. 2014. Wonderful Family. Solo: Era Intermedia.

74

Page 75: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7
Page 76: Modul A1 Konsep dan Ruang Lingkup Ketahanan Keluarga DIY 7