model pengembangan manajemen risiko kecelakaan kerja dengan fokus pada perilaku pekerja di industri...
DESCRIPTION
MODEL PENGEMBANGAN MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN KERJA DENGAN FOKUS PADA PERILAKU PEKERJA DI INDUSTRI KIMIATRANSCRIPT
11
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi uraian teori-teori yang akan mendasari dalam
menganalisa dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan
manajemen risiko dalam industri kimia. Adapun sumber teori-teori tersebut dari
berbagai literatur, buku, penelitian-penelitian terdahulu, dan jurnal. Bab ini akan
menjabarkan secara detail mengenai penelitian terdahulu dan informasi yang
mendukung penelitian ini terkait dengan industri kimia, manajemen risiko,
kecelakaan kerja, safety climate, safety behavior, serta review terkait topik dari
penelitian terdahulu dan posisi penelitian. Dari teori – teori ini diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan dengan jelas serta mendapatkan hasil analisis yang
akurat.
2.1 Industri kimia
Banyak perusahaan di indonesia yang menggunakan bahan kimia dalam
proses produksinya, baik itu dimanfaatkan sebagai bahan baku maupun bahan
bakar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 19/M/I/1986
dimana industri kimia termasuk dalam pengklasifikasian industri yaitu industri
dengan modal besar serta membutuhkan keahlian tinggi dan penerapan teknologi
maju dalam mengolah bahan-bahan kimia. Untuk itu setiap aktivitas kerja yang
berhubungan dengan bahan kimia akan menimbulkan peluang dan dampak
munculnya kecelakaan.
Reniers (2009) mengatakan bahwa industri kimia yang terdiri dari
sebagian besar peralatan produksi, tangki penyimpanan, serta sistem perpipaan
untuk jaringan transportasi bahan kimia berbahaya. Karena pesatnya pertumbuhan
industri ini, maka terus – menerus semakin kompleks peralatan produksi yang
digunakan dengan kondisi proses yang lebih ekstrim dan kritis. Kompleksitas
industri kimia juga ditandai dengan besarnya potensi kecelakaan yang muncul
dengan banyaknya kasus kecelakaan pabrik kimia seperti Seveso pada tahun
1976, Bhopal pada tahun 1984, dan Chernobyl 1986. Hal ini juga didukung oleh
Huang (2012) menyatakan bahwa meskipun industri kimia berkembang pesat
12
selama lima dekade terakhir, kecelakaan akibat bahan kimia mengakibatkan
kerugian yang besar bagi perusahaan serta lingkungan sekitarnya.
Bahaya yang ditimbulkan dari kecelakaan indutri kimia mampu
memberikan pengaruh buruk bagi kesehatan maupun kesejahteraan manusia.
Tereksposnya tubuh dengan bahan kimia berbahaya akan berakibat buruk bagi
keselamatan seseorang, misalnya orang yang terkena langsung dengan cairan
asam, kulitnya akan mengalami oksidasi, berubah warna menjadi putih yang
disertai dengan rasa perih dan gatal. Bahkan penggunaan bahan kimia berbahaya
juga berpotensi menyebabkan kematian bila terhirup dengan konsentrasi tertentu.
Bahan kimia dapat masuk ke dalam tubuh dengan tiga cara yaitu pernapasan
(inhalation), kulit (skin absorption), dan tertelan (ingestion).
2. 2 Bahaya dan Risiko
Bahaya dan risiko dalam permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja
memiliki hubungan yang erat. Setiap sumber bahaya yang mengandung risiko
dapat menimbulkan kecelakaan yang berdampak pada kerugian manusia,
kerusakan lingkungan, dan property (Wicaksono, 2011).
Gambar 2.1 Hubungan antara bahaya dan risiko (Wicaksono, 2011)
Hazard atau bahaya merupakan sumber, situasi atau tindakan yang
berpotensi memberikan efek buruk pada manusia atau kelainan fisik atau mental
yang teridentifikasi berasal dari kegiatan kerja atau segala hal yang berhubungan
dengan pekerjaan (OHSAS 18001: 2007). Hal ini juga didukung oleh Cross
(1998) dimana bahaya merupakan sumber potensial munculnya kerusakan atau
kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian. Segala sesuatu yang memiliki
risiko dan menimbulkan hasil negatif disebut dengan sumber bahaya. Dengan
Bahaya Kecelakaan
Risiko Property
Lingkungan
Manusia
13
mengidentifikasi dan menghilangkan atau mengendalikan bahaya dapat
membantu mencegah kerugian akibat kecelakaan.
Dalam bahasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), bahaya dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Bahaya Keselamatan Kerja (Safety Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang memberikan efek timbulnya kecelakaan
yang dapat menyebabkan luka (injury) hingga kematian serta kerusakan
pada property perusahaan. Dampak yang ditimbulkan bersifat akut. Jenis
bahaya keselamatan kerja antara lain:
• Bahaya mekanik: bahaya yang disebabkan oleh mesin atau
peralatan kerja mekanik seperti terjatuh, tertindih, tersayat, dan
terpeleset.
• Bahaya elektrik: bahaya yang disebabkan oleh peralatan yang
mengandung arus listrik
• Bahaya kebakaran: bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia yang
bersifat mudah terbakar (flammable)
• Bahaya peledakan: bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia yang
bersifat mudah meledak (explosive)
2. Bahaya kesehatan kerja (Health Hazard)
Merupakan jenis bahaya yang memberikan efek pada kesehatan,
menyebabkan gangguan kesehatan, dan penyakit akibat kerja. Dampak
yang ditimbulkan bersifat kronis, jenis bahaya kesehatan antara lain:
• Bahaya fisik, diantaranya getaran, kebisingan, suhu ekstrim, radiasi
ion dan non pengion, serta pencahayaan.
• Bahaya kimia, diantaranya yang berkaitan dengan bahan atau
material seperti antiseptic, aerosol, insektisida, dust, fumes, dan
gas.
• Bahaya ergonomi, diantaranya gerakan berulang (repetitive
movement), statistic posture, manual handling, dan postur janggal
14
• Bahaya biologi, diantaranya bahaya yang ditimbulkan dari
makhluk hidup yang berada di sekitar lingkungan kerja seperti
virus, bakteri, protozoa, dan jamur (fungi) yang bersifat pathogen
• Bahaya psikologi, diantaranya beban kerja yang terlalu berat,
hubungan dan kondisi kerja yang tidak nyaman.
Dalam bukunya, Mamduh (2006) menyatakan bahwa risiko merupakan
kejadian yang merugikan yang harus dihindari. Pengertian risiko menurut The
Australia / New Zealand Standard for Risk Management (AS/NZS 4360: 2009)
yaitu peluang munculnya suatu kejadian yang menimbulkan efek terhadap suatu
objek.
Berdasarkan buku Risk Assessment and Management Handbook: for
Environmental, Health, and Safety Profesional, risiko terbagi menjadi 5 (lima)
macam:
1. Risiko keselamatan kerja (safety risk)
Secara umum risiko ini memiliki probabilitas rendah, tingkat
pemaparan yang tinggi, tingkat konsekuensi pemaparan yang tinggi,
bersifat akut, dan menimbulkan efek secara langsung. Tindakan
pengendalian yang harus dilakukan dalam respon tanggap darurat adalah
dengan mengetahui penyebab secara jelas dan lebih fokus pada
keselamatan manusia dan pencegahan timbulnya kerugian terutama pada
area tempat kerja.
2. Risiko Kesehatan (Health risk)
Risiko ini berfokus pada kesehatan manusia yang berada di luar
tempat kerja atau fasilitas. Umumnya memiliki probabilitas tinggi, tingkat
pemaparan rendah, konsekuensi yang rendah, dan bersifat kronik.
Hubungan sebab – akibatnya tidak mudah ditemukan.
3. Risiko Lingkungan dan ekologi (Environmental and Ecological Risk)
Pada risiko ini melibatkan interaksi yang beragam antara populasi
dan komunitas ekosistem pada tingkat mikro maupun makro, ada
ketidakpastian yang tinggi antara sebab dan akibat, risiko ini fokus pada
habitat dan dampak ekosistem .
4. Risiko Kesejahteraan Masyarakat (Public Welfare/ Goodwill Risk)
15
Risiko ini lebih berhubungan dengan persepsi kelompok maupun
umum tentang kinerja sebuah organisasi. Fokusnya pada nilai – nilai yang
terdapat pada masyarakat dan persepsinya.
5. Risiko Keuangan (Financial Risk)
Risiko ini dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam
pengambilan keputusan dan kebijakan organisasi, karena setiap
pertimbangan akan selalu berkaitan denga aspek financial dan mengacu
pada tingkat efektifitas dan efisiensi.
2.3 Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja merupakan kejadian yang berhubungan dengan
hubungan kerja dengan perusahaan, dimana hubungan kerja yang dimaksud yaitu
kecelakaan kerja yang terjadi saat melakukan pekerjaan di tempat kerja maupun
saat melakukan perjalanan ke dan dari tempat kerja (Suma’mur, 1987). Dalam
bukunya Wickens (1998) menyebutkan bahwa kecelakaan disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya faktor manusia, peralatan, kesalahan desain peralatan,
faktor lingkungan serta kombinasi berbagai faktor tersebut.
Menurut Wicaksono (2011) yang dikutip dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Program jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas,
Borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu, definisi kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit
yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam
perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah
melalui jalan biasa atau wajar dilalui.
Departemen Kesehatan dalam situsnya www.depkes.go.id mendefinisikan
kecelakaan kerja yaitu kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan yang
biasanya menyebabkan kerugian material dan penderitaan dari yang paling ringan
sampai kepada yang paling berat. Penyebab kecelakaan menurut departemen
kesehatan yang diambil dari situsnya www.depkes.go.id dibagi dalam 2
kelompok:
16
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition) yaitu kondisi tidak aman dari:
Mesin, peralatan, bahan dan lain-lain
Lingkungan kerja
Sifat pekerjaan
Cara kerja
2. Perbuatan berbahaya (unsafe act) yaitu perbuatan berbahaya dari manusia
yang dapat terjadi antara lain:
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan pekerja/pelaksana
Cacat tubuh yang tidak kentara (bodily defect)
Keletihan dan kelemahan daya tahan tubuh
Sikap dan perilaku kerja yang tidak baik
Tindakan tidak aman (unsafe action) menimbulkan terjadinya kecelakaan,
hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran akan keselamatan yang dapat
dilihat dari tingkat pekerja yang mengabaikan peraturan keselamatan kerja serta
pihak manajemen yang tidak memberikan perhatian penuh dalam upaya
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Maryani,
2012).
Menurut Reason (1997) dalam Maryani (2012) menyatakan bahwa
tindakan tidak aman dapat disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang
ditimbulkan oleh manusia (human error) dalam bekerja. Berdasarkan Health and
Safety Executives (HSE, 2003, p. 38) menyimpulkan bahwa kesalahan perilaku
manusia memberikan kontribusi sebesar 80% terhadap munculnya kecelakaan.
Sehingga penelitian untuk mengetahui dan menganalisa penyebab kecelakaan
akibat tindakan tidak (unsafe action) aman perlu dilakukan untuk membantu
manajemen menentukan kebijakan dalam mengurangi serta meminimalkan risiko
akibat kecelakaan kerja.
2.4 Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan upaya terkoordinasi untuk mengarahkan dan
mengendalikan kegiatan - kegiatan organisasi terkait dengan risiko (ISO 31000).
Menurut University (2003) manajemen risiko merupakan aplikasi sistematis
tentang manajemen, kebijakan, prosedur, dan cara kerja terhadap kegiatan analisa,
17
evaluasi, pengendalian dan komunikasi yang berkaitan dengan risiko. Hal ini juga
diperkuat oleh Supriyadi (2005) dimana manajemen risiko merupakan
keseluruhan prosedur yang dihubungkan dengan identifikasi bahaya, penilaian
risiko, meletakkan pengukuran kontrol pada tempatnya serta meninjau ulang
hasilnya.
Berdasarkan AS/NZS (4360: 2009) manajemen risiko merupakan metode
efektif dalam mengelola potensial bahaya dan efek yang merugikan . Manajemen
risiko dilakukan pada setiap jenis pekerjaan yang melibatkan seluruh pihak yang
terkait dilingkungan kerja. Sehingga dalam pelaksanaan manajemen risiko
diperlukan peran aktif seluruh elemen yang terlibat.
Beberapa tahapan dalam melaksanakan manajemen risiko menurut
AS/NZS 4360 (2009) yaitu:
1. Menetapkan tujuan dan ruang lingkup dalam pelaksanan manajemen risiko
2. Melaksanakan identifikasi risiko
3. Melakukan analisa risiko untuk menetapkan kemungkinan dan
konsekuensi yang akan terjadi
4. Menetapkan evaluasi risiko untuk menetapkan skala prioritas dan
membandingkan dengan kriteria yang ada
5. Melakukan pengendalian risiko yang tidak dapat diterima.
6. Melakukan pemantauan dan peninjauan program manajemen risiko yang
telah dilaksanakan
7. Mengkomunikasikan dan mengkonsultasikan proses manajemen yang
melibatkan pihak internal dan eksternal.
18
Gambar 2.2 Tahapan Proses Manajemen Risiko (AS/NZS 4360,2009)
2.4.1 Manfaat Manajemen Risiko
Beberapa manfaat yang akan didapatkan perusahaan dalam menerapkan
manajemen risiko berdasarkan AS/NZS 4360:2009 antara lain:
1. Memperkecil kemungkinan munculnya kejadian yang tidak diinginkan
serta mengurangi efek yang ditimbulkan dari kejadian tidak diinginkan
tersebut
2. Meningkatkan produktifitas kerja
3. Meningkatkan perencanaan kerja perusahaan yang efektif, proses
produksi, lingkungan kerja, serta mampu mencapai target perusahaan
dengan baik
4. Memperoleh keuntungan dari sisi ekonomi bagi perusahaan
5. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
Sistem manajemen risiko yang baik dalam sebuah perusahaan mampu
menghindari berulangnya kejadian yang tidak diinginkan (Qi-Ruifeng, 2012).
2.4.2 Proses Manajemen Risiko
Berdasarkan gambar 2.2 Tahapan dalam proses manajemen risiko menurut
AS/NZS 4630:2004 yaitu:
1. Penentuan Ruang lingkup yang akan diidentifikasi
Menentukan Konteks
Identifikasi Bahaya
Analisa Risiko
Evaluasi Risiko
Pengendalian Risiko
Kom
unik
asi d
an K
onsu
ltasi
Pem
anta
uan
dan
Tinj
auan
Ula
ng
19
Dalam menentukan parameter dasar sebuah proses manajemen risiko
diperlukan penentuan ruang lingkup terlebih dahulu. Proses yang terjadi dalam
tahapan ini antara lain: menetapkan tujuan yang jelas dan objektif pada aktifitas
yang akan dipelajari, mengidentifikasi studi kasus yang dibutuhkan, membatasi
luasnya rencana dari segi waktu dan lokasi, memberi batasan luasnya kegiatan
manajemen risiko yang dihasilkan. Disamping itu, penentuan ruang lingkup
meliputi peraturan yang mendukung kebutuhan manajemen sesuai dengan tujuan
dan target yang ingin dicapai dengan memperhatikan kebutuhan dana, jadwal, dan
sumber daya manusia.
2. Identifikasi bahaya
Identifikasi bahaya merupakan langkah dalam manajemen risiko untuk
mengidentifikasi apa yang memungkinkan terjadinya kecelakaan kerja (kegiatan
proses produksi, sumber daya manusia, dan lingkungan) dan bagaimana skenario
kecelakaan itu bisa terjadi. Hal ini juga didukung oleh Hidayati (2008) dimana
identifikasi risiko secara terstruktur dapat memudahkan dalam menemukan risiko-
risiko yang mungkin terjadi.
Menurut Iryaning (2012), proses identifikasi merupakan tahapan penting
dalam mengidentifikasi risiko (risk event) dalam sebuah proses produksi. Dengan
melakukan pemetaan aktifitas produksi kemudian menganalisa apa saja yang
menjadi risiko (what), dimana terjadinya risiko tersebut (where), kapan risiko
tersebut muncul (when), bagaimana risiko tersebut dapat muncul ditempat itu
(how), dan mengapa risiko tersebut muncul (why). Hal ini untuk mengetahui
risiko dan penyebab dari risiko yang terjadi. Penyebab risiko disebut dengan risk
factor.
Menurut Chrysler (2008) dalam Iryaning (2012) menyatakan bahwa
penyebab terjadinya risiko (potential effects) dalam penelitian ini disebut risk
cause yaitu indikasi bagaimana risiko atau kegagalan dapat terjadi yang
menggambarkan sesuatu yang dapat dikontrol atau diperbaiki. Proses identifikasi
ini penting dilakukan karena selain berpengaruh terhadap penilaian risiko juga
membantu dalam menentukan tingkat kemunculan (occurance) dan juga menjadi
landasan dalam melakukan mitigasi risiko. Proses identifikasi penyebab risiko
dilakukan dengan mengidentifikasi akar permasalahan dari masing-masing risiko
20
yang telah teridentifikasi sebelumnya secara menyeluruh dimana suatu risiko
dapat terdiri dari beberapa penyebab risiko (risk caused) dan juga sebaliknya,
suatu penyebab risiko dapat menyebabkan terjadinya beberapa risiko.
3. Analisa Risiko
Analisa risiko adalah sistematika dari informasi yang didapatkan saat
identifikasi risiko serta untuk memperkirakan suatu risiko terhadap individu,
populasi, bangunan atau lingkungan (kolliri, 1996). Dalam AS/NZS 4360: 2009
dijelaskan bahwa analisa risiko merupakan pengembangan pemahaman tentang
risiko, dimana terdapat data pendukung yang digunakan sebagai pertimbangan
pengambilan keputusan tentang cara pengendalian yang paling tepat dan cost-
effective. Risiko diukur dalam nilai peluang dan dampak. Peluang merupakan
kemungkinan dalam satu periode waktu risiko tersebut akan muncul yang
dinyatakan dalam frekuensi. Dampak merupakan akibat dari suatu kejadian.
Perhitungan tingkat risiko dapat dirumuskan sebagai perkalian dari peluang dan
dampak
4. Evaluasi Risiko
Pada tahap evaluasi risiko bertujuan untuk membuat keputusan
berdasarkan hasil analisis risiko yaitu menentukan risiko yang perlu diprioritaskan
untuk mendapatkan mitigasi (Iryaning, 2012). Evaluasi risiko merupakan suatu
proses membandingkan tingkatan risiko dengan kriteria risiko yang ada.
Pemantauan dan tinjauan ulang secara periodik dilakukan apabila risiko
dikategorikan pada level rendah.
5. Pengendalian Risiko
Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola
dengan tepat, efektif serta sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam pengendalian risiko adalah
identifikasi dan penilaian risiko, sehingga dapat lebih terfokus kepada bahaya
potensial yang dinilai memiliki risiko tinggi sehingga lebih efektif dan efisien.
Tingkat Risiko = Peluang x Dampak
21
Berdasarkan OHSAS 18001 dalam Wicaksono (2011) , pedoman
pengendalian risiko yang yang spesifik untuk bahaya K3 adalah dengan
pendekatan:
1. Eliminasi
2. Substitusi
3. Pengendalian teknis
4. Pengendalian administratif
5. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Menurut AS/NZS 4360, pengendalian risiko secara umum dapat dilakukan
dengan pendekatan sebagai berikut:
1. Menghindari risiko dengan mengambil keputusan untuk menghentikan
kegiatan atau proses produksi, alat, bahan yang berbahaya
2. Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko (reduce likelihood)
3. Mengurangi konsekuensi kejadian (reduce consequence)
4. Mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer)
5. Menanggung risiko yang tersisa. Pengendalian risiko tidak mungkin
menjamin risiko atau bahaya hilang seratus persen, sehingga masih ada
sisa risiko (residual risk) yang harus ditanggung oleh perusahaan.
2.5 Safety Climate
Safety climate menggambarkan persepsi karyawan terhadap pandangan
mengelola keselamatan di lingkungan kerja dalam jangka waktu tertentu. Safety
climate menjadi prioritas dalam keselamatan kerja di suatu organisasi (Darvish,
H,. 2011). Hal ini juga didukung oleh Dong-chul (2004) dimana safety climate
sebagai gambaran pekerja terhadap keadaan iklim kesehatan dan keselamatan
kerja yang merupakan indikator dari budaya keselamatan suatu kelompok atau
organisasi. Menurut Zohar yang dikutip dari Clarke (2006) menyatakan bahwa
safety climate merupakan hasil akhir dari pandangan pekerja terhadap lingkungan
kerja serta batasan dalam upaya mengarahkan pekerja pada perilaku aman atau
meminimalisir frekuensi unsafe behaviour.
Dari beberapa definisi diatas, secara garis besar safety climate merupakan
persepsi atau pandangan pekerja terhadap iklim kerja dan keadaan keselamatan
22
kerja pada lingkungan perusahaan, semakin baik persepsi terhadap keselamatan
kerja maka semakin rendah perilaku tidak aman (unsafe behaviour) yang
dilakukan pekerja.
Aspek-aspek dalam safety climate yang mempengaruhi pekerja dalam
menciptakan lingkungan kerja yang aman menurut Dagdeviren (2008) antara
lain:
1. Aspek organisasi perusahaan (Organizational factors): Faktor-faktor
dalam manajemen perusahaan yang mempengaruhi terciptanya lingkungan
kerja yang aman
2. Aspek kepribadian pekerja (Personal factors): faktor-faktor dalam diri
pekerja dalam menciptakan suasana aman dalam bekerja
3. Aspek pekerjaan (job related factors): faktor-faktor dari pekerjaan itu
sendiri yang mempengaruhi pelaksanaan peraturan keselamatan kerja.
Sedangkan menurut Cigularov (2010) aspek dalam safety climate yang
paling berpengaruh dengan kondisi lingkungan kerja saat ini adalah:
1. Safety Communication : keterbukaan dalam berkomunikasi antara
karyawan dan manajemen mampu menurunkan angka kecelakaan kerja
(Barling, 1999)
2. Errors Management : Safety Climate dalam lingkungan perusahaan
dapat dipengaruhi oleh errors management
Dalam penelitian yang dilakukan menunjukkan pengaruh yang signifikan
antara safety communication dan errors management terhadap terciptanya kondisi
lingkungan kerja yang aman.
Safety Climate dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang terkait
dengan keselamatan, termasuk didalamnya perilaku aman, lingkungan kerja,
manajemen yang terkait dengan keselamatan atau keefektifan program
keselamatan dalam perusahaan. Faktor-faktor safety climate kemungkinan besar
akan mempengaruhi kepatuhan pekerja terhadap program-program keselamatan
kerja yang telah diberlakukan oleh perusahaan.
Pada dasarnya safety climate memiliki kontribusi yang jelas terhadap
budaya K3 organisasi melalui sikap (attitudes) yang diekspresikan dalam perilaku
K3 (Safety behavior). Safety climate sebaiknya dipahami sebagai bagian dari
23
persepsi dan keyakinan yang terkait dengan bagaimana K3 dapat dikelola dengan
baik dan benar (Mearns, 2001).
2.6 Safety Behavior
Penyebab utama terjadinya kecalakaan kerja berdasarkan riset oleh NCS
sekitar 80% dari total seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh
unsafe behavior. Untuk itu muncul pandangan baru dalam kesehatan dan
keselamatan kerja yaitu Behavior Safety. Behavior Safety merupakan aplikasi
sistematis dari dunia psikologi tentang perilaku manusia pada masalah
keselamatan di tempat kerja (Setiawan, 2012). Hal ini didukung oleh Syaaf
(2010), menyatakan bahwa safety behavior adalah sebuah perilaku yang
dihubungkan langsung dengan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja,
seperti pemakaian alat pelindung diri, penandatanganan formulir risk sebelum
bekerja atau berdiskusi masalah keselamatan kerja.
Dalam beberapa penelitian hanya dibahas mengenai program behavior
based safety, dimana program ini banyak diaplikasikan di perusahaan-perusahaan
di luar Indonesia. Menurut buku safety management a human approach, behavior
based safety merupakan sistem manajemen keselamatan untuk setiap tingkatan
organisasi, dimana menggambarkan perilaku yang diperlukan serta mendorong
sehingga tercapainya perilaku yang diinginkan. Hal ini juga didukung oleh Salem
(2007) behavior based safety merupakan suatu metodelogi untuk meningkatkan
keselamatan dengan cara pengintegrasian ilmu perilaku manusia, pengembangan
prinsip organisasi dan mutu dengan manajemen keselamatan dalam rangka
mengurangi kerugian industri.
Banyaknya riset yang menunjukkan penyebab kecelakaan kerja adalah
unsafe behavior. Dimana unsafe behavior itu sendiri merupakan tipe perilaku
tidak aman yang mengarah pada munculnya kecelakaan seperti bekerja tanpa
menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin, menyingkirkan
peralatan keselamatan, menggunakan peralatan tidak standar, mengoperasikan
peralatan dengan kecepatan berbahaya, bertindak kasar dalam bekerja, kurangnya
pengetahuan serta keadaan emosi yang terganggu (Minner, 1994).
24
Banyak upaya dilakukan untuk mengurangi angka kecelakaan melalui
peningkatan peraturan keselamatan kerja, peningkatan alat-alat produksi, safety
training, hingga pada peningkatan disiplin kerja. Namun perubahan yang didapat
tidak dapat bertahan lama, hal ini karena pekerja kembali pada kebiasaan lama
yaitu unsafe behavior. Berdasarkan permasalahan ini dimana unsafe behavior
merupakan penyebab terbesar dalam kecelakaan kerja dan untuk meningkatkan
safety performance maka usaha yang dapat dilakukan fokus pada pengurangan
frekuensi unsafe behavior.
Berdasarkan laporan dari Du Pont’s company terdapat sebuah hirarki yang
menunjukkan kontribusi unsafe behavior terhadap kecelakaan, hal ini dikenal
dengan the safety triangel seperti ditunjukkan pada gambar
Gambar 2.3 The Safety Triangel (Du Pont’s Company)
Namun Geller (1988) dalam Hanum (2012) menyatakan bahwa model
pada gambar 2.3 tersebut menggunakan pendekatan yang bersifat reaktif yang
berfokus terhadap penurunan unsafe action. Sedangkan menurut Geller dalam
mengurangi fatalities seharusnya bersifat preventif dimana lebih fokus pada
peningkatan safe action. Pendapat ini juga didukung oleh Rebber dan Wall (1984)
dalam Hanum (2012) melalui observasi yang dilakukan terhadap lingkungan
perusahaan berat, mereka melaporkan adanya hubungan negatif yang signifikan
antara safe behavior dan tingkat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan injury
serta hilangnya hari kerja. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin kecil
25
tingkat safe behavior pekerja, maka semakin tinggi tingkat kecelakaan yang
menyebabkan injury. Data tersebut mengindikasikan bahwa meningkatkan safe
behavior mampu menurunkan tingkat kecelakaan dan injury yang diakibatkannya.
Berikut ini gambar 2.4 yang menunjukkan strategi proaktif yang digagas Geller
dimana lebih fokus pada peningkatan safe action.
Gambar 2.4 The Safety Triangel (Geller, 1988)
Menurut Setiawan (2012) menyatakan bahwa dengan fokus pada unsafe
behavior akan memberikan indeks yang lebih baik tentang safety performance
dibandingkan dengan fokus pada angka kecelakaan kerja. Hal ini didasarkan pada
dua alasan yaitu: kecelakaan kerja adalah hasil dari serangkaian unsafe behavior
dan unsafe behavior bisa diukur dengan cara tertentu. Jika perusahaan fokus pada
angka kecelakaan kerja maka sistem management safety cenderung bersifat
reaktif. Perusahaan hanya memperhatikan safety jika angka kecelakaan kerja
meningkat. Sedangkan pendekatan behavioral safety lebih bersifat proaktif, sebab
dengan pendekatan ini perusahaan cenderung berusaha untuk mengidentifikasi
setiap unsafe behavior yang muncul, sehingga dapat langsung dikendalikan.
Beberapa alasan mengapa pekerja sering melakukan unsafe behavior di
lingkungan kerja menurut Setiawan (2012):
1. Unsafe berhavior terbentuk karena pengaruh lingkungan yang besar
sehingga terus dilakukan dalam pekerjaan. Para pekerja sebenarnya ingin
26
mengikuti kebutuhan akan keselamatan namun karena adanya kebutuhan
lain sehingga menimbulkan konflik dalam dirinya. Hal ini membuat
pekerja menomorduakan safety need dibandingkan faktor lainnya. Faktor-
faktor lainnya termasuk keinginan untuk menghemat waktu, merasa lebih
nyaman, menarik perhatian, mendapat kebebasan dan mendapat
penerimaan dari lingkungan.
2. Merasa telah ahli pada bidangnya dan belum pernah mengalami
kecelakaan sehingga pekerja berpendapat bahwa bila selama bekerja
dengan cara ini (unsafe) tidak terjadi apa-apa, mengapa harus berubah.
Pendapat ini merupakan salah satu potensi besar munculnya kecelakaan
kerja.
3. Pengawas atau manajer yang tidak peduli dengan safety juga menjadi
pemicu munculnya unsafe behavior. Secara tidak langsung keberadaan
pengawas dan manajer ini mendorong pekerja untuk melakukan unsafe
behavior dalam kegiatan produksi. Ketidakpedulian manajer terhadap
safety ini membuat pekerja meremehkan komitmen perusahaan terhadap
safety.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi unsafe behavior
menurut Setiawan (2012) antara lain:
1. Menghilangkan risiko yang ada di lingkungan kerja dengan merekayasa
faktor-faktor risiko atau melakukan kontrol fisik. Cara ini dilakukan untuk
mengurangi potensi terjadinya unsafe behavior, namun tidak selalu
berhasil karena pekerja mempunyai kontrol penuh terhadap unsafe
behavior.
2. Mengubah sikap pekerja agar lebih peduli terhadap keselamatan dirinya.
Hal ini dengan asumsi bahwa dengan merubah sikap akan berpengaruh
pada perilaku. Beberapa upaya yang dapat dilakukan seperti kampanye
keselamatan kerja, safety training. Namun perubahan sikap tidak selalu
diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang
seharusnya dilakukan bukan apa yang sebenarnya dilakukan.
3. Memberikan punishment terhadap pelaku unsafe behavior.
Pelaksanaannya harus konsisten diterapkan di setiap elemen perusahaan
27
dan segera setelah munculnya pelanggaran. Namun sulit dilakukan karena
tidak semua unsafe behavior dapat terpantau secara langsung.
4. Memberikan reward terhadap munculnya safety behavior. Namun kendala
dari upaya ini karena reward minimal harus setara dengan reinforcement
yang didapat dari perilaku unsafe behavior.
2. 6. 1. Pendekatan Safety Behavior untuk mengurangi Unsafe Behavior
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cooper (1999) menyebutkan
kriteria-kriteria yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program behavior safety
antara lain:
1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan
Parameter keberhasilan dalam pelaksanaan behavior safety yaitu
melibatkan seluruh pekerja dalam sefety management. Umumnya pada
perusahaan banyak dijumpai safety management yang bersifat top-down
dimana perkerja yang terlibat langsung dengan unsafe behavior tidak
dilibatkan langsung dalam proses perbaikan safety performance. Behavior
safety mengatasi hal ini dengan sistem bottom-up, sehingga individu yang
terlibat langsung dibidangnya dapat mengidentifikasi adanya unsafe
behavior. Dengan keterlibatan pekerja serta komitmen secara menyeluruh
terhadap program ini diharapkan proses improvement dapat berjalan
dengan baik.
2. Memusatkan Perhatian pada Unsafe Behavior yang Spesifik
Fokus terhadap unsafe behavior (sampai pada porsi yang terkecil) juga
menjadi ukuran keberhasilan behavioral safety. Menghilangkan unsafe
behavior berarti menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang
berhubungan dengan perilaku. Banyak peneliti menggunakan teknik
behavioral analysis terapan dan memberi reward dalam mengidentifikasi
terjadinya unsafe behavior. Mengidentifikasi kekurangan dalam sistem
manajemen agar tidak lagi memicu munculnya unsafe behavior.
28
3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi
Observer memonitor safety behavior pada kelompok pekerja dalam waktu
tertentu. Makin banyak observasi makin akurat data tersebut dan safety
behavior akan meningkat
4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data
Semua perilaku kerja dirangkum dalam prosentase jumlah safety behavior.
Dari data akan terlihat letak hambatan yang dihadapi serta memberikan
pengaruh bagi karyawan yang telah berperilaku aman, selain itu bisa juga
menjadi dasar dalam mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan.
5. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional
Keunikan sistem behavior safety karena adanya jadwal intervensi yang
terencana. Karyawan diminta untuk menjadi relawan dalam observer yang
tergabung dalam sebuah project team. Observer diberi pelatihan untuk
dapat mengidentifikasi unsafe behavior yang didokumentasikan dalam
sebuah lembar check list. Observasi dilakukan dalam suatu periode waktu.
Setelah itu program intervensi dilakukan dengan menentukan goal setting
yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Data hasil observasi dianalisis
untuk mendapatkan feed back bagi karyawan. Team project juga
memonitor data secara berkala sehingga perbaikan dan koreksi terhadap
program dapat terus dilakukan.
6. Menitikberatkan Pada Umpan Balik Terhadap Perilaku Kerja.
Dalam sistem behavior safety umpan balik dapat berbentuk umpan balik
verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi, umpan
balik dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat
yang strategis dalam lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing
dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalisis untuk
mendapatkan umpan balik yag mendetail tentang perilaku yang spesifik.
7. Membutuhkan Dukungan dari Manajer
Komitmen manajemen terhadap proses behavior safety dapat dilihat dari
kebebasan observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan
penghargaan bagi karyawan yang melakukan safety behavior,
menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera
29
dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan
meningkatkan inisiatif untuk melakukan safety behavior. Dukungan yang
diberikan oleh managemen sangat penting karena kegagalan dalam
pelaksanaan program safety bahavior biasanya disebabkan oleh kurangnya
perhatian pihak managemen.
2.7 Causal Effects Diagram
Causal Effects Diagram (CED) merupakan suatu alat yang mampu
menganalisa penyebab masalah dalam suatu proses dengan menampilkan seluruh
penyebab dan efek yang ditimbulkan oleh permasalahan tersebut. Alat ini
menyajikan sejumlah informasi yang menunjukkan hubungan antara kejadian
dengan penyebab kejadian.
CED ditampilkan dalam bentuk garis dan simbol yang menunjukkan
hubungan sebab akibat. CED baik digunakan untuk:
• Secara cepat dalam menangkap hipotesis yang kita buat mengenai
penyebab dari dinamika
• Memunculkan dan menangkap model mental dari individu maupun
kelompok
• Mampu mengkomunikasikan feedback yang penting yang diyakini
bertanggung jawab terhadap permasalahan.
Awalnya CED dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa untuk mengetahui
akibat dari suatu permasalahan yang kemudian diambil tindakan perbaikan.
Menurut Prabowo (2012), CED adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan
sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar dimana gambar yang
ditampilkan adalah panah-panah yang saling terkait dimana hulu panah
mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat.
CED merupakan diagram pengulangan sebab akibat yaitu model yang
menekankan pada pertimbangan kompleksitas dinamis dari sistem. Model ini
menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel-variabel yang
bersangkutan dalam bentuk garis untuk menghubungkan mana yang merupakan
variabel penyebab dan mana yang variabel akibat (Malabay, 2008). Pendekatan
30
dengan model CED ini berguna untuk memahami kejadian-kejadian, pola perilaku
yang menyebabkan kejadian itu dan yang terpenting mengetahui struktur yang
bertanggung jawab terhadap pola perilaku tersebut. Dengan mengetahui pola
struktur yang bersangkutan akan dapat mengidentifikasi yang paling memegang
peranan dalam sistem sehingga untuk melakukan perbaikan dapat didahulukan
atau diprioritaskan.
Penerapan CED misalnya dalam menghitung banyaknya penyebab
kesalahan yang mengakibatkan terjadinya suatu masalah, menganalisis
penyebaran pada masing-masing penyebab masalah dan menganalisis proses.
Proses menghitung penyebab kesalahan dilakukan dengan mencari akibat terbesar
dari suatu masalah kemudian dijelaskan ke dalam beberapa penyebab utama.
Dalam menyusun model CED dapat digunakan teknik brainstorming dari seluruh
karyawan yang terlibat dalam permasalahan K3. Hasil brainstorming masalah
dikelompokkan ke dalam beberapa tema sebab utama.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan CED antara
lain:
1. Mengetahui batasan masalah atau ruang lingkup
2. Dimulai dari komponen yang menarik
3. Mempertanyakan tentang pengaruh dari suatu komponen dan hal apa
saja yang mempengaruhinya
4. Menentukan komponen apa saja yang terlibat
5. Penggunaan kata benda terhadap komponen yang akan dibahas
6. Pembuatan diagram harus realistis, mudah dipahami agar perubahan
diagram jika diperlukan dapat dilakukan dengan baik.
Keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan model CED ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendorong untuk melihat permasalahan secara menyeluruh, baik dari
segi cakupan dan waktu sehingga dapat mencegah pemikiran yang
sempit
2. Gambaran rantai hubungan sebab akibat membuat lebih eksplisit dan
dasar pemikiran akan menjadi lebih baik
31
3. Memungkinkan efektifitas komunikasi dapat berjalan dan perwujudan
kerja sama tim akan lebih baik
4. Membantu mengeksplorasi alternatif kebijakan dan keputusan
sehingga konsekuensinya dapat diantisipasi lebih awal
5. Memungkinkan keberadaan posisi yang baik untuk mengambil
keputusan
2.8 Analytic Network Process (ANP)
Menurut Lu (2007) yang dikutip dari Kasih (2012) Analytic Network
Process (ANP) merupakan pengembangan dari Analytic Hierarchy Process
(AHP). Dimana secara esensial AHP merumuskan pemahaman intuitif dari
permasalahan kompleks dengan menggunakan struktur hierarki. Struktur AHP
merumuskan permasalahan keputusan ke dalam hubungan hierarki dengan goal,
kriteria keputusan, dan alternatif-alternatif, sedangkan struktur ANP merupakan
sebuah jaringan. Struktur ANP mempertimbangkan hubungan ketergantungan
serta feedback sedangkan AHP tidak (Tuzkaya, 2008). Kelebihan lain dari ANP
yaitu memberikan hasil yang lebih baik dalam pembuatan model perbandingan
analitik yang sesuai dan dibuat dengan tepat (Guneri, 2009). Sebuah ilustrasi yang
menggambarkan tentang perbedaan hirarki dan jaringan terdapat pada gambar 2.5.
Linear Hierarchy
component,cluster(Level)
element
A loop indicates that eachelement depends only on itself.
Goal
Subcriteria
Criteria
Alternatives
Feedback Network with Components having Inner and Outer Dependence among Their Elements
C4
C1
C2
C3
Feedback
Loop in a component indicates inner dependence of the elements in that componentwith respect to a common property.
Arc from componentC4 to C2 indicates theouter dependence of the elements in C2 on theelements in C4 with respectto a common property.
Gambar 2.5 Perbedaan hirarki dan jaringan (Saaty, 2004)
ANP menyediakan sebuah kerangka kerja yang umum untuk
menyelesaikan dengan keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi mengenai
ketidaktergantungan dari elemen-elemen pada tingkat yang lebih tinggi dari
32
elemen-elemen pada tingkat yang lebih rendah dan mengenai ketidaktergantungan
dari tiap elemen-elemen dalam suatu tingkatan pada sebuah hirarki (Saaty, 2004).
Hal ini juga didukung oleh Mardiantony (2012) Pembobotan dengan ANP
membutuhkan model yang merepresentasikan saling keterkaitan antar kriteria dan
subkriteria yang dimilikinya. Ada dua kontrol yang perlu diperhatikan dalam
memodelkan sistem yang hendak diketahui bobotnya. Kontrol pertama adalah
kontrol hirarki yang menunjukkan keterkaitan kriteria dan subkriteria. Kontrol
lainnya adalah kontrol keterkaitan yang menunjukkan adanya saling keterkaitan
antar kriteria atau klaster.
Kelebihan yang dimiliki dari ANP antara lain:
1. Dapat menangkap pengaruh ketergantungan antar komponen secara timbal
balik
2. Mampu mengkombinasikan dan membandingkan nilai-nilai yang tidak
dapat diukur dan penilaian subjektif dengan menggunakan data-data
kuantitatif yang konsisten dalam skala rasio
3. Mampu menghasilkan indikator pengaruh positif dan negatif
4. Mampu mensintesis semua pengaruh antar komponen menjadi satu
kesatuan yang utuh.
Hal-hal tersebut diatas menjadi alasan metode ANP sering digunakan
dalam pengambilan keputusan dalam riset kualitatif yang melibatkan berbagai
faktor yang saling berkaitan yang mempunyai perbandingan lebih objektif,
prediksi yang lebih akurat, serta hasil yang lebih stabil dan sempurna. ANP
menggunakan proses yang sederhana namun permasalahan yang kompleks dalam
berbagai bidang dapat diselesaikan (Kasih, 2012).
33
Gambar 2. 6 Struktur dan Supermatriks dari sebuah hirarki (Saaty, 1999)
Tahapan dalam memprioritaskan kriteria menggunakan ANP
(Saaty,2001):
1. Menentukan konstruksi model permasalahan
Masalah perlu distrukturkan kedalam komponen – komponen
penting seperti penentuan goal, kriteria, sub-kriteria, dan prioritas
alternatif dalam bentuk suatu hubungan hirarki, dimana semakin tinggi
level maka semakin strategis keputusannya.
2. Pembentukan matriks-matriks perbandingan berpasangan dari level-level
komponen yang berkaitan.
Pengambilan keputusan diminta untuk merespon suatu deret perbandingan
berpasangan (pairwise comparison) dengan melihat pada kriteria kontrol level
yang lebih tinggi maupun level yang lebih rendah. Dalam kasus saling
ketergantungan (interdependencies), komponen dalam level yang sama akan
dilihat sebagai komponen kontrol untuk komponen yang lain.
Untuk membandingkan dua elemen, baik ANP maupun AHP
menggunakan skala pengukuran rasio sembilan-point dari Saaty, yang dapat
dilihat pada tabel 2.1. ANP mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan harus
membuat perbandingan kepentingan antara dua pasangan atribut yang mungkin,
menggunakan skala verbal (dari yang paling penting ke kurang penting) untuk
tiap varian. Pengambilan keputusan juga membuat perbandingan yang mirip untuk
seluruh pasangan subkriteria untuk tiap kriteria. Informasi yang diperoleh dalam
proses ini untuk menghitung skor subkriteria dengan melihat tiap kriteria.
34
Tabel 2.1 Skala ANP
Nilai Numerik Definisi Keterangan
1 Sama penting Dua faktor dengan kontribusi yang
sama terhadap tujuan
3 Sedikit lebih penting Pengalaman dan penilaian satu faktor
lebih kuat dibanding faktor lain
5 Lebih penting Pengalaman dan penilaian satu faktor
lebih kuat dibandingkan faktor lain
7 Sangat penting Suatu faktor lebih kuat dan
dominasinya terlihat dalam praktek
9 Amat sangat penting Perbedaan antara item yang
dibandingkan sangat besar sehingga
semestinya tidak dibandingkan
langsung
2, 4, 6, 8 Nilai tengah Untuk menggambarkan kompromi di
antara dua penilaian yang berdekatan
Skor 1 menunjukkan dua pilihan mempunyai tingkat kepentingan yang sama
atau tidak ada perbedaan dan skor 9 menunjukkan dominasi yang besar sekali dari
suatu komponen (komponen baris) terhadap komponen pembanding (komponen
kolom). Jika suatu komponen mempunyai tingkat pengaruh yang lemah, rentang
skor berkisar dari 1 sampai 1/9 (satu per sembilan), dimana 1 menunjukkan tidak
ada perbedaan dan 1/9 menunjukkan dominasi yang kuat dari elemen kolom
terhadap elemen baris. Ketika penilaian skor dilakukan untuk suatu pasangan,
suatu nilai kebalikan secara otomatis merupakan perbandingan kebalikan didalam
matriks. Jadi jika aij merupakan suatu nilai dalam matriks yang menunjukkan
hubungan antara komponen i terhadap komponen j, maka aij sama dengan 1/aij.
Jika perbandingan berpasangan telah lengkap, vektor prioritas w (yang
disebut eigen vector) dihitung dengan rumus:
A . w = Λmax . w ...............................................(2.1)
35
Dimana A adalah matriks perbandingan berpasangan dan lamda max
adalah eigen value terbesar dari A. eigen vector merupakan bobot prioritas suatu
matriks yang kemudian digunakan dalam penyusunan supermatriks.
3. Perhitungan rasio konsistensi
Dalam penilaian proses terdapat kemungkinan masalah kelengkapan atau
konsistensi dari perbandingan berpasangan. Rasio konsistensi (consistency ratio/
CR) memberikan suatu penilaian numerik mengenai bagaimana
ketidakkonsistenan suatu evaluasi. Indeks konsistensi (consistency index/ CI)
suatu matriks perbandingan dihitung dengan rumus
CI = Λmax – n ..................................................(2.2)
n – 1
dimana: Λmax = eigenvalue terbesar dari matriks perbandingan berpasangan n x n
n = jumlah item yang dibandingkan
Rasio konsistensi diperoleh dengan membandingkan indeks konsistensi dengan
satu nilai yang sesuai dari bilangan indeks konsistensi acak (random consistency
index/RI) atau dengan rumus:
CR = CI / RI .................................................(2.3)
dimana: CR = Consistency ratio
CI = Consistency index
RI = Random Consistency index
4. Formasi supermatriks
ANP menggunakan formasi dari suatu supermatriks untuk memberikan resolusi
pengaruh ketergantungan antar klaster dari hirarki jaringan keputusan.
Supermatriks terdiri dari submatriks – submatriks yang disusun dari suatu set
hubungan antara dua level yang terdapat dalam model. Prioritas dari elemen-
elemen yang diturunkan dari perbandingan berpasangan dengan kriteria kontrol
tertentu, disusun baik secara vertikal dan horizontal sesuai dengan komponennya
supermatriks. Tiap vektor yang diambil dari matriks perbandingan berpasangan
merupakan pengaruh dengan mempertimbangkan kriteria kontrol dari elemen
36
suatu komponen pada elemen tunggal dari komponen yang sama atau berbeda
yang terdapat dibagian atas supermatriks (Saaty, 2001)
5. Penentuan prioritas akhir
Penentuan prioritas akhir ditentukan dari nilai akhir untuk masing – masing
pilihan atau alternatif.
2.9 Penelitian terdahulu
Studi literatur mengenai penelitian terdahulu bertujuan untuk mendapatkan
gambaran penelitian yang telah dilakukan pada topik manajemen risiko
kecelakaan kerja, perilaku pekerja sebagai penyebab kecelakaan kerja, dan ANP.
Hal ini agar penelitian yang dilakukan memiliki dasar yang kuat dan belum
pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang menjadi acuan dalam
memecahkan permasalahan ini diantaranya:
2. 9. 1 Manajemen Risiko keselamatan Kerja
Penelitian mengenai manajemen risiko yang berkaitan dengan keselamatan
kerja banyak dilakukan pada negara – negara berkembang. Hal ini didasari karena
perkembangan suatu negara juga diikuti dengan perkembangan industri yang
tentunya berdampak pada munculnya kecelakaan kerja. Untuk mengetahui adanya
bahaya yang memicu munculnya kecelakaan kerja, seseorang harus tahu dimana
sumber risiko tersebut. Dalam menentukan sumber risiko perlu adanya identifikasi
risiko serta kemudian dilakukan analisa risiko. Sehingga peran manajemen risiko
dalam hal ini adalah untuk mengetahui sumber risiko dan menemukan strategi
pengendalian dari risiko tersebut (Pasman, 2009).
Banyak penelitian mengenai manajemen risiko dalam industri proses yang
menjadi acuan dalam penelitian ini diantaranya penelitian oleh Qi-Ruifeng (2012)
yang menyatakan bahwa manajemen risiko merupakan proses sistematik dalam
upaya meningkatkan proses keselamatan kerja. Penilaian risiko sebagai bagian
dalam manajemen risiko terhadap bahan kimia banyak dikembangkan sebagai
upaya untuk menurunkan tingkat risiko lingkungan (Wang, 2012). Mampu
meningkatkan kinerja K3 dengan mengidentifikasi dan mengurangi sumber-
sumber risiko di lingkungan kerja (Glickman, 2007).
37
Dalam penelitiannya Marhavilas (2011) menjelaskan penilaian risiko
sebagai proses sistematis dalam mengukur dampak dari kejadian dan konsekuensi
akibat kegiatan manusia di lingkungan yang berbahaya. Sebuah model yang
kompleks antara manusia, mesin dan interaksi antara manusia dan mesin akan
dibayangi dengan kegagalan sehingga perlu adanya analisa risiko untuk
mengurangi dan menghindari kegagalan tersebut. Penerapan manajemen risiko
dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor – faktor yang dapat memicu
kegagalan sistem. Namun tidak dijelaskan bagaimana mengendalikan faktor-
faktor tersebut sebagai upaya dalam menghindari terjadinya kegagalan sistem.
Tahapan dalam manajemen risiko yang dilakukan dalam penelitian ini seperti
terlihat pada gambar 2.2
2. 9. 2 Pengaruh Safety Behavior dalam Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak direncanakan yang
muncul dan memberikan dampak cedera (ringan atau berat) atau kerusakan
maupun tidak. Penyebab kecelakaan secara umum diantaranya kondisi yang tidak
sesuai dengan aturan keamanan dan keselamatan kerja serta perilaku – perilaku
yang tidak aman. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai pengaruh perilaku
manusia dalam munculnya kecelakaan.
Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini
diantaranya Abu-Kadher (2004) yang menyatakan kunci sukses dalam
pelaksanaan manajemen risiko di sebuah pabrik adalah komunikasi dua arah
antara manajemen dengan pekerja. Faktor lingkungan dan perilaku manusia dalam
sebuah hubungan sosial mempengaruhi komunikasi antar manusia, oleh karena itu
diperlukan pemahaman mengenai faktor dan perilaku manusia untuk menciptakan
suasana kerja yang aman. Hal ini juga didukung oleh Qing-gui (2012) dimana
perilaku manusia sebagai suatu yang harus dikontrol dan dikendalikan dalam
manajemen risiko di lokasi tambang batubara. Pengoptimalan kontrol terhadap
perilaku manusia penting dilakukan manajemen risiko karena munculnya risiko
disebabkan karena perilaku tidak aman dari pekerja. Model perilaku manusia
dapat dilihat pada gambar 2.7
38
Gambar 2. 7 Model Perilaku Manusia (Qing-gui, 2012)
Behavioural safety merupakan pendekatan yang efektif dalam
meningkatkan safety performance suatu perusahaan karena yang berhubungan
langsung dengan kondisi keselamatan adalah perilaku pekerja (Wirth, 2008).
Menurut Dagdeviren (2008) faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya
perilaku tidak aman dalam sistem keselamatan kerja diantaranya faktor organisasi,
faktor manusia dan pekerjaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2. 8 Faktor yang mempengaruhi munculnya unsafe behavior
(Dagdeviren, 2008)
Hanya saja dalam penelitiannya Dagdeviren (2008) tidak menjabarkan
lebih spesifik mengenai safety culture sebagai pemicu munculnya permasalahan
S (Stimulus) O (Individual) R (Respond)
F (Feedback variables)
Wei
ghtin
g Fau
lty B
ehav
ior C
ausin
g Fac
tors
Organizational Factors
Personal Factors
Job Related Factors
Safety Culture
Training and Development
Management-Worker Relationship
Inspection
Overtime work
Lack of Skill
Tendency of Risky Behavioring
Sensory Adaptation
Competition
Task Context
Routinization
Role Conflict
Work Flow
Stage 1: Goal
Stage 2: Factors
Stage 3: Sub-Factors
39
unsafe behavior. Penelitian lebih bersifat makro dengan melihat pengaruh
manajemen keselamatan dalam lingkungan industri.
2. 9. 3 Posisi Penelitian
Berdasarkan hasil review dari penelitian terdahulu, selanjutnya dapat
ditentukan posisi penelitian yang akan dilakukan dari analisa gap yang ada.
Dimana banyak penelitian mengenai manajemen risiko dilakukan namun
penelitian dengan pengendalian risiko berbasis pendekatan perilaku di industri
kimia belum pernah dilakukan sebelumnya. Model manajemen risiko berbasis
perilaku yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alat pengambil keputusan
mengenai strategi pengendalian risiko untuk mengurangi angka kecelakaan kerja.
Rangkuman posisi penelitian dapat dilihat pada gambar 2. 9. Melalui
bagan tersebut terlihat bahwa penelitian yang dilakukan mampu mengisi gap
penelitian yang ada dan dapat memberikan kontribusi keilmuan pada bidang
manajemen risiko kecelakaan kerja pada industri kimia.
Gambar 2. 9 Posisi Penelitian
Gap PenelitianManajemen Risiko Safety BehaviorPasman, 2009; Bouloiz, 2010;
Badri, 2011Manajemen risiko dalam hal ini
adalah mengidentifikasi dan menganalisa risiko ditempat
kerja, belum spesifik membahas bagaimana pengendalian terhadap risiko tersebut
Marhavilas, 2011; Andersen, 2011; Milazzo, 2012; Qing-gui,
2012; Huang, 2012Identifikasi, analisa serta
pengendalian telah dilakukan dalam proses manajemen risiko, namun pengendalian risiko yang dilakukan terhadap kondisi baik
peralatan, lingkungan, sistem perpipaan diberbagai industri seperti oil and gas company,
coal mining, steam power plant.
Dagdeviren, 2008 ; Pangeran 2010
ANP dalam pengambilan keputusan prioritas risiko
belum ada yang membahas risiko kecelakaan kerja yang berhubungan dengan unsafe
behavior
Metode
Causal Effects DiagramTool dalam menganalisa penyebab permasalahan dalam suatu proses serta
dampak dari masalah tersebut, mampu menjelaskan
hubungan antar penyebab
Abu-Kadher, 2004Perilaku sebagai kunci sukses
dalam pelaksanaan manajemen risiko yang mengarah pada komunikasi dua arah antara
manajemen dan pekerja, namun belum menjelaskan lebih detail
faktor perilaku tersebut
Cooper, 2000; Cox, 2000; Lin, 2008; Ogle, 2008; Darvish, 2011;
Fugas, 2012Safety climate memberikan
pengaruh terbentuknya faktor perilaku pekerja, namun belum
mengintegrasikan dengan proses manajemen risiko sebagai
pemicu kecelakaan kerja
Cacciabue, 2000; Anderson, 2005; Cigularov, 2010; Konstandinidou, 2011;
Rathnayaka, 2012Perilaku sebagai bagian dari human factors memberikan dampak terhadap munculnya
kecelakaan kerja, namun belum dijelaskan hubungan antar faktor
perilaku manusia tersebut
Patradhiani, 2012Pemodelan manajemen risiko dengan pendekatan perilaku pekerja untuk meminimalisir
risiko kecelakaan kerja di Industri kimia
Tixier, 2002Identifikasi awal terhadap
sumber risiko mampu meminimalisir risiko
kecelakaan, namun belum spesifik manusia sebagai
sumber risiko
40
Untuk mengetahui bahwa gap dalam penelitian ini merupakan topik yang
belum pernah diteliti, maka perlu adanya studi lebih luas mengenai penelitian
dengan topik manajemen risiko kecelakaan kerja di industri dan perilaku pekerja
sebagai pemicu munculnya risiko kecelakaan kerja. Adapun hasil dari studi
tersebut ditampilkan dalam tabel 2.2. Pada tabel tersebut diketahui bahwa gap
penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Tabel 2.2 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu
No Nama (Tahun) Manajemen Risiko
Penyebab Kecelakaan Keterangan Objek Penelitian
Identifikasi Analisa Pengendalian
1 Bouloiz, H. (2010) Risiko Organisasi Industri Kimia
2 Hassim, M. H. (2010)
Risiko Layout pabrik Industri Kimia
3 Badri, A. (2011) Industri Perakitan
4 Pasman, H. J. (2009)
5 Marhavilas, P. K. (2011)
Pengendalian tempat kerja (conditions)
Steam Power Plant
6 Andersen, S. (2011) Pengendalian Sistem Integrated Operations (Conditions)
Oil and Gas Company
7 Milazzo, M. F. (2012)
Pengendalian sistem perpipaan (Conditions)
Industri Kimia
8 Qing-gui, C. (2012) Pengendalian Layout pabrik (Conditions)
Coal Mine
9 Huang, R. (2012) Pengendalian kompleksitas peralatan (Conditions)
Industri Kimia
10 Cox, S. J. (2000) Safety Climate Offshore in Mexico
11 Darvish, H. (2011) Safety Climate Steel Industry
12 Fugas, C. S. (2012) Safety Climate berpengaruh terhadap Safety Behavior
Europe
13 Lin, S. (2008) Safety Climate China
14 Ogle, R. A. (2008) Error Operator
15 Rathnayaka, S. (2012)
Human Factors and Management Organization
LNG Process
16 Konstandinidou, M. (2011)
Human Factors Industri Petrokimia
17 Anderson, M. (2005) Behavior Safety
18 Abu-Khader, M. M. (2004)
Behavior Safety Industri Kimia
19 Cacciabue, P. C. (2000)
Human Factors
41
Tabel 2.2 Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu (lanjutan)
No Nama (Tahun) Manajemen Risiko
Penyebab Kecelakaan Keterangan Objek Penelitian
Identifikasi Analisa Pengendalian
20 Cigularov, K. P. (2010)
Management Climate Construction
21 Ismail, F. (2012) Behavior Based Safety Oil and Gas Company
22 Dagdeviren, (2008) Behavior Safety
23 Patradhiani, R. (2013)
Pengendalian risiko dengan pendekatan perilaku pekerja
Industri Kimia
42
Halaman ini sengaja dikosongkan
11