mobilitas sosial nelayan tradisional dikampung...
TRANSCRIPT
1
MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG
BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO
(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
R. ARIEF SEGARA
NIM. 080569201006
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2015
2
SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Yang bertandatangan dibawah ini adalah dosen pembimbing skripsi
mahasiswa yang disebut dibawah ini :
Nama : R. Arief Segara
NIM : 080569201006
Jurusan/Prodi : SOSIOLOGI/ FISIP
Alamat : Jln. Ir. Sutami Gg. Sakura No. 27 F Tanjungpinang
No HP : 082386620565
Email : [email protected]
Judul Naskah MOBILITAS SOSIAL NELAYAN
TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG
KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO
(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian
Masyarakat Nelayan Tradisional)
Menyatakan judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan
untuk dapat diterbitkan:
Tannjungpinang, 23 Juli 2016
Yang menyatakan,
Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
Emmy Solina, M.Si Rahma Syafitri, M.Sos
NIDN.1020118401 NIDN.198508202015042001
3
MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG
BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO
(Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
ABSTRACT
Sifat sistem stratifikasi yang terbuka akan memberi anggota masyarakat
mempunyai kesempatan untuk berpindah-pindah kedudukan atau melakukan
mobilitas sosial. Umumnya, masyarakat pesisir bermata pencarian sebagai
nelayan seiring sumber daya yang dihadapi namun,yang terjadi dikampung
Benteng yaitu sebagian besar mereka melakukan peralihan mata pencarian dari
nelayan tradisional berpindah pekerjaan menjadi buruh nelayan, buruh bangunan
dan pengusaha percetakan batako.
Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat nelayan
tradisional di Kampung Benteng Kelurahan Moro Kecamatan Moro. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya mobilitas
sosial di Kampung Benteng. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori evolusioner fungsionalis dari Talcott Parsons dan teori surplus dari Gerhard
Lenski. Teori Talcott Parsons ini menyatakan stratifikasi sebagai aspek penting
dari evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dan teori Gerhard Lenski
menyatakan surplus produksi ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya
stratifikasi.
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan
dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan
Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan dari penelitian mobilitas
sosial menunjukan bahwa masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng
Kelurahan Moro Kecamatan Moro telah mengalami mobilitas sosial hingga
memunculkan tipe-tipe mobilitas sosial yaitu horizontal dan vertikal seiring
dengan penghasilan dan status mereka dalam pekerjaan.Faktor penyebap mobilitas
yaitu rendahnya produktifitas teknologi tangkap berupa rawai, tingginya biaya
operasional melaut dan perbedaan keterampilan yang dimiliki individu.
Kata Kunci: Mobilitas Sosial, Nelayan Tradisional
4
ABSTRACT
Open nature of the stratification system will give members of the public
have the opportunity to move their position or social mobility. Generally, the
coastal communities as a search-eyed fishermen as resource encountered however,
happens kampong Fortress that most of them make the transition livelihood of
traditional fishermen fishing transferring jobs as laborers, construction workers
and employers printing adobe.
This study discusses the social mobility of the local communities in
Kampung Benteng village Moro Moro Sub-district. The purpose of this study was
to determine how the process of social mobility in Kampung Benteng. The theory
used in this research is the evolutionary theory of Talcott Parsons's functionalist
theory and surplus of Gerhard Lenski. Talcott Parsons's theory states stratification
as an important aspect of evolution due to increasing adaptive capacity and
Gerhard Lenski declared surplus theory is economic production that led to the
development of stratification.
The method used is descriptive qualitative approach. The data collection
is done by observation, interview and documentation. Analysis of the data in this
study using a model of Miles and Huberman of data reduction, data presentation
and conclusion or verification.
Descriptive analysis has been done on the social mobility studies show
that traditional fishing communities KampungBenteng village Moro Moro Sub-
district have experienced social mobility to bring the types of social mobility that
is horizontally and vertically in line with their income and employment status.
Factor mobility is low productivity in the form of longline fishing technology,
high operational costs at sea and differences in the skills of the individual.
From the analysis it was concluded that there is social mobility in
Kampung Benteng. Mobility is happening not only cause a type of vertical
mobility but also horizontal type so owned low skills (construction workers) and
the strong dependence of the fishing workers with employer crawler. There should
be an increase in the skills of those who work as construction workers and the
need for institutions in the form of a fishermen's cooperative in order to minimize
the exploitation of the employer to the worker fishermen crawler.
Keywords: social mobility, Traditional Fishermen
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Stratifikasi sosial merupakan
pembedaan masyarakat ke dalam
kelas-kelas yang bertingkat. Sifat
sistem lapisan didalam suatu
masyarakat dapat bersifat tertutup
dan terbuka, sebaliknya didalam
sistem terbuka setiap anggota
masyarakat mempunyai kesempatan
untuk berusaha dengan kecakapan
sendiri untuk naik lapisan atau bagi
mereka yang tidak beruntung jatuh
dari lapisan atas ke lapisan bawah
(Soekanto, 2006:198). Menurut
Kingsley Davis dan Wilbert Moore
(Narwok,2007:164) stratifikasi
dibutuhkan demi kelangsungan hidup
masyarakat yang membutuhkan
berbagai macam jenis pekerjaan.
Tanpa adanya stratifikasi sosial,
masyarakat tidak akan terangsang
untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan
sulit atau pekerjaan yang
membutuhkan proses belajar yang
lama dan mahal.
Pada umumnya lapisan sosial
yang terbuka menandakan adanya
kemudahan untuk berpindah-pindah
kedudukan atau melakukan mobilitas
sosial. Mobilitas sosial merupakan
perpindahan dari suatu kelas sosial
ke kelas sosial lainnya. Menurut
Horton dan Hunt (Narwoko,
2007:208) mobilitas sosial diartikan
sebagai suatu gerak perpindahan dari
suatu kelas sosial ke kelas sosial
lainnya. Mobilitas sosial dapat
berupa peningkatan atau penurunan
dalam segi setatus sosial dan
(kebiasaannya) termasuk pula segi
penghasilan, yang dapat dialami oleh
beberapa individu atau oleh
keseluruh anggota kelompok.
Secara nyata kehidupan
dalam masyarakat tidaklah sama.
Ada yang miskin, ada yang kaya, ada
yang memiliki kedudukan tinggi, ada
pula yang memiliki kedudukan
rendah. Perbedaan tersebut
mendorong manusia untuk
meningkatkan taraf hidupnya agar
dapat naik ke strata yang lebih tinggi,
terutama bagi mereka yang berada
distrata bawah. Dengan hal demikian
manusia berusaha agar harapan dan
keinginannnya untuk meningkatkan
status tercapai sehingga ia dapat
hidup lebih baik.
Didalam sosiologi, proses
keberahasilan seseorang mencapai
jenjang status sosial yang lebih tinggi
atau proses kegagalan seseorang
hingga jatuh di kelas sosial yang
lebih rendah itu lah yang disebut
mobilitas sosial. Keinginan untuk
mencapai status dan penghasilan
yang lebih tinggi dari apa yang
pernah dicapai orang lain,
merupakan impian setiap orang.
Tetapi, apakah impian itu bakal
menjadi kenyataan atau tidak sangat
membutuhkan proses yang panjang.
Mobilitas sosial dapat terjadi pada
masyarakat manapun yang memiliki
sistem stratifikasi terbuka baik pada
masyarakat industri, masyarakat
petani, termasuk juga masyarakat
nelayan (Narwoko, 2007:207-208).
Didalam kehidupan
masyarakat nelayan yang memiliki
stratifikasi terbuka di katakan
Pollnae dalam (Satria, 2002:21) pada
umumnya, nelayan tergolong
berstatus relatif rendah. Rendahnya
status sosial nelayan tidak terlepas
dari status ekonomi mereka yang
dipengaruhi oleh ketidakpastian
6
sumber daya yang dihadapi, menurut
Kusnadi (2002:17) secara sosial
ekonomi, tingkat kehidupan nelayan
kecil atau nelayan tradisional tidak
banyak berubah, rendahnya derajat
kesejahteraan sosial menimpa
sebagian besar dari kalangan nelayan
tersebut.
Didalam kehidupan nelayan
permasalah umum yang sering
terjadi dalam menghadapi
permasalahan yang komplek, mereka
terpaksa menghentikan kegiatan
melautnya dan melakukan mobilitas
atau beralih bekerja. Kondisi
kehidupan yang dialami sebagian
besar nelayan tradisional kita dimana
pun mereka berada, kesulitan-
kesulitan merupakan siklus peristiwa
sosial ekonomi yang selalu berulang
setiap tahun atau bahkan sepanjang
tahun menimpa rumah tangga
nelayan serta persoalan lingkungan
pesisir dan laut yang selalu tidak
dapat dihindari (Kusnadi, 2002:3).
Kecamatan Moro merupakan
Kecamatan yang berada dalam ruang
lingkup Kabupaten Karimun Provinsi
Kepulauan Riau, secara geografis
Kecamatan Moro merupakan
Kecamatan yang terletak pada
ketinggian 0-138 meter diatas
permukaan laut. Kampung Benteng
RT 03/ RW 03 merupakan daerah
pesisir yang terletak dikecamatan
Moro. Kampung Benteng khususnya
RT 03/RW 03 merupakan daerah
pesisir sehingga sebagian besar
penduduknya bermatapencarian
sebagai nelayan dahulunya dalam
memenuhi ekonomi keluarga.
Dalam kehidupan masyarakat
nelayan khususnya kehidupan
nelayan tradisional Kampung
Benteng bentuk kesulitan para
nelayan tradisional dapat dilihat dari
biaya operasional melaut, kapasitas
tangkapan yang digunakan masih
sederhana serta penghasilan yang
tidak dapat diprediksi dengan pasti
menyebabkan terjadinya mobilitas
sosial pekerjaan yaitu dari nelayan
tradisional menjadi buruh nelayan,
buruh bangunan, pengusaha batako.
Mobilitas sosial dari nelayan
tradisional menjadi buruh nelayan di
Kampung Benteng adalah kesektor
buruh nelayan yang bekerja sebagai
buruh nelayan penjaring dan buruh
nelayan trawl atau kapal pukat,
terjadinya mobilitas ini dikarnakan
mereka tidak memiliki skill atau
kemampuan untuk bekerja disektor
nonprikanan seperti halnya para
nelayan yang melakukan mobilitas
ke buruh bangunan dan pengusaha
percetakan batako.
Bagi nelayan tradisional yang
beralih pekerjaan menjadi buruh
bangunan keterampilan yang mereka
miliki bermula sebelum masuknya
musim penangkapan ikan. Aktifitas
yang mereka lakukan sebelum masuk
musim penangkapan biasanya
mereka mencari pekerjaan
sampingan guna menambah
penghasilan keluarga salah satunya
iyalah bekerja sebagai kuli
bangunan, biasanya mereka
mengikuti ajakan teman yang berada
diperkampungan lain yang sudah
mereka kenal atau teman dekat.
Sebagian besar pekerjaan kuli
bangunan yang mereka jalani hanya
diposisikan sebagai pembantu yang
bertugas membawa semen, mensekop
pasir dan pekerjaan yang
diperintahkan oleh kepala borongan
atau kepala tukang. Sementara
pekerjaan khusus atau tertentu
dilakukan oleh kepala tukang yang
memang sudah memiliki
7
keterampilan dibidang tersebut. Jika,
dibicarakan hasil yang diperoleh,
penghasilan sebagai buruh bangunan
bukanlah penghasilan yang dapat
memposisikan mereka berada pada
lapisan atas melainkan mobilitas
yang mereka lakukan hanya bersifat
horizontal.
Sementara itu mobilitas sosial
yang di alami nelayan tradisional
menjadi pengusaha batako adalah
mereka yang juga pernah memiliki
latar belakang bekerja sebagai kuli
banguan. Pekerjaan sebagai kuli
bangunan yang mereka jalani cukup
lama, memberikan sedikit banyak
pengetahuan atau keterampilan
dibidang tersebut.
Dari kemampuan atau skill
yang dimiliki serta dukungan modal
dari kerabat/saudara kandung mereka
yang berada dikota, membuat mereka
para nelayan tradisional membuka
usaha percetakan batako. Peralihan
pekerjaan dari nelayan tradisional
menjadi pengusaha batako telah
menyebabkan terjadinya mobilitas
bertipe vertikal ke atas yang ditandai
dengan meningkatnya penghasilan
dari pekerjaan tersebut.
Berdasarkan permasalahan
diatas terjadinya mobilitas sosial
menandakan adanya sistem
stratifikasi yang terbuka hingga
memudahkan masyarakat untuk
bergerak atau beralih-alih pekerjaan
seperti halnya mobilitas yang
dilakukan nelayan tradisional
Kampung Benteng.
Masyarakat Kampung
Benteng adalah masyarakat pesisir.
Umumnya, masyarakat pesisir
bermata pencarian nelayan seiring
sumber daya yang dihadapi semetara
itu hal ini bertolak belakang dengan
kehidupan masyarakat pesisir
khususnya yang terjadi Dikampung
Benteng yaitu sebagian besar mereka
melakukan mobilitas sosial atau
beralih pekerjaan.
Untuk itu peneliti mengkaji
dan mengangkat judul sebagai
berikut: “Mobilitas Sosial Nelayan
Tradisional Di Kampung Benteng
Kecamatan Moro (Studi Tentang
Peralihan Mata Pencarian
Masyarakat Nelayan Tradisional)”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan diatas, maka
dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut:
Bagaimana proses terjadinya
mobilitas sosial nelayan tradisional
yang berada di Kampung Benteng
Kecamatan Moro ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas
maka tujuan dari penelitian mobilitas
sosial ini yaitu sebagai berikut :
Ingin mengetahui bagaimana
proses terjadinya mobilitas sosial
nelayan tradisional yang berada
Dikampung Benteng Kecamatan
Moro.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari
penelitian ini ialah :
1.4.1. Secara praktis
Dilihat dari kegunaan
penelitian secara praktis penelitian
ini diharapkan dapat memberi
sumbangan ilmu pengetahuan dan
pemikiran serta dapat membantu
sebagai bahan informasi mengenai
8
proses mobilitas sosial mata
pencarian nelayan tradisional yang
berada di Kampung Benteng
Kecamatan Moro.
1.4.2. Secara teoritis
Penelitian ini juga dapat menjadi
acuan informasi dalam penelitian-
penelitian berikutnya dengan
permasalahan penelitian yang sama
serta menjadi referensi pustaka bagi
pemenuhan kebutuhan penelitian
lanjutan.
1.5. Konsep Operasional
Dalam penelitian ini, Adapun
konsep yang dioperasionalkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nelayan tradisional dalam
penelitian ini adalah nelayan
tradisional Kampung Benteng
yang memanfaatkan sumber
daya perikanan dengan peralatan
tangkap tradisional, seperti alat
tangkap yang digunakan adalah
rawai sedangkan jenis kendaran
laut yang digunakan berupa
sampan baik yang menggunakan
mesin maupun dayung.
2. Mobilitas dalam penelitian ini
adalah peralihan mata pencarian
yang dilakukan nelayan
tradisional Kampung Benteng
RT 003/ RW 003 Kelurahan
Moro, diantaranya:
a) Nelayan tradisional ke
buruh nelayan dalam
penelitian ini adalah
peralihan mata pencarian
yang dilakukan nelayan
tradisional ke nelayan
buruh penjaring dan
nelayan buruh trawl.
b) Nelayan tradisional ke
buruh bangunan dalam
penelitian ini adalah
peralihan mata pencarian
yang dilakukan nelayan
tradisional ke mata
pencarian sebagai buruh
bangunan seiring dengan
keterampilan yang
mereka miliki selain
pekerjaan disektor
perikanan.
c) Nelayan tradisional ke
wiraswasta dalam
penelitian ini adalah
peralihan pekerjaan yang
dilakukan nelayan
tradisional menjadi
pengusaha percetakan
batako seiring dengan
keterampilan yang
dimiliki.
3. Saluran mobilitas sosial dalam
penelitian ini adalah saluran
yang dilihat dari segi ekonomi
dan keterampilan.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis penelitian
Adapun metode penelitian yang
peneliti gunakan adalah metode
kualitatif. Menurut Sugiyono
(2008:292) pada umumnya alasan
menggunakan metode kualitatif yaitu
permasalahan belum jelas, holistik,
komplek, dinamis dan penuh makna
sehingga tidak mungkin data pada
situasi sosial tersebut dijaring dengan
metode penelitian kuantitatif. Selain
itu peneliti bermaksud memahami
situasi sosial secara mendalam.
1.6.2. Lokasi penelitian
9
Kampung Benteng termasuk
kedalam wilayah Kelurahan Moro
Kecamatan Moro Kabupaten
Karimun. Kampung Benteng adalah
salah satu perkampungan yang
terletak dikelurahan Moro yang letak
sebagian wilayah berada di daerah
pesisir yang terbagi atas 2 Rukun
warga (RW) dan 5 rukun tetangga
(RT). Letak perkampungan yang
berada dipesisir membuat hampir
sebagian penduduk yang bertempat
tinggal di daerah tersebut bermata
pencarian sebagai nelayan tradisional
seiring dengan sumber daya yang
dihadapi.
Sementara itu keadaan alam
didaerah pesisir Kampung Benteng
berupa pantai yang memanjang
membuat masyarakat didaerah
tersebut membangun rumah tempat
tinggal mereka tidak jauh dari pantai.
1.6.3. Informan penelitian
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan teknik purposive
sampling. Menurut Sugiyono
(2008:218--19) purposive sampling
merupakan teknik pengambilan
sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu.
Adapun sampel yang peneliti
butuhkan dari informan untuk
mendapatkan informasi, peneliti
telah menentukan kesemua jumlah
informan sebanyak 18 orang
berdasarkan pertimbangan dan
tujuan yang dipandang dapat
memberikan data secara maksimal.
Adapun karakteristik yang
peneliti jadikan informan ialah
sebagai berikut :
a) Mereka nelayan tradisional
yang beralih mata pencarian
ke buruh nelayan (buruh
nelayan penjaring, buruh
nelayan trawl), buruh
banunan dan pengusaha
batako.
b) Mereka yang dilihat dari
tingkat pendidikan.
c) Mereka yang telah lama
bekerja sebagai nelayan
tradisional.
1.6.4. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber
data yang digunakan menurut
Sugiyono (2008:225) pengumpulan
data dapat menggunakan sumber
primer dan sumber sekunder. Data
primer adalah sumber data yang
langsung memberikan data kepada
pengumpul data dan sumber
sekunder merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data.
Data primer yang peneliti
butuhkan dalam penelitian ini
mengenai data yang berkaitan
dengan mobilitas sosial nelayan
kampung Benteng Kecamatan Moro
yaitu data tentang faktor yang
mempengaruhi mobilitas sosial
nelayan, bentuk-bentuk mobilitas
yang terjadi, saluran mobilitas sosial
sedangkan data sekunder yang
peneliti butuhkan adalah data jumlah
nelayan yang beralih matapencarian
(sumber: data RT), Data Profil
Kecamatan Moro.
1.6.5. Teknik dan Alat Pengumpulan
Data
Dalam bagian ini teknik dan
alat pengumpulan data yang
digunakan peneliti berupa observasi,
10
wawancara, dan studi dokumentasi
yaitu:
1.6.5.1. Observasi
Adapun observasi yang
peneliti lakukan ialah berupa
pengamatan dan pencatatan
terhadap gejala-gejala yang
diteliti sementara jenis observasi
yang peneliti gunakan ialah
observasi partisiptif yang bersifat
partisipasi pasif (Sugiyono,
2008:227).
Observasi ini dilakukan
dengan memperhatikan:
1. Tempat yaitu lokasi
penelitian RT 003/RW 003.
2. Pelaku yaitu para nelayan
yang telah beralih
matapencarian dari nelayan
tradisional menjadi buruh
nelayan, buruh bangunan dan
pengusaha batako.
3. Aktivitas yaitu pekerjaan
yang digeluti para nelayan
setelah mengalami mobilitas
sosial seperti pekerjaan
sebagai buruh bangunan,
buruh nelayan, usaha
percetakan batako.
1.6.5.2. Wawancara
Wawancara digunakan
sebagai teknik pengumpulan
data, apabila peneliti atau
pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang
informasi apa yang akan
diperoleh, oleh karena itu dalam
melakukan wawancara
pengumpul data telah
menyiapkan instrument
penelitian berupa pertanyaan-
pertanyaan tertulis (Sugiyono,
2008:233).
Dalam penelitian ini
wawancara dilakukan berupa
wawancara tidak terstruktur
dengan para nelayan yang
melakukan mobilitas sosial.
Adapun hal yang diwawancarai
dalam penelitian ini yaitu:
Pertanyaan yang berkaitan
dengan faktor-faktor pendorong
mobilitas sosial, pendapat
nelayan dengan terjadinya
mobilitas sosial, sisi ekonomi
nelayan sebelum dan sesudah
beralih matapencarian serta hal-
hal yang menjadi kebutuhan
tambahan bagi peneliti nantinya.
1.6.5.3. Dokumentasi
Menurut Sugiyono
(2008:240) dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah
berlalu. dokumentasi bisa
berbentuk tulisan, gambar atau
karya monumental dari
seseorang. Dokumentasi yang
peneliti lakukan dalam
penelitian ini berupa gambar
yaitu foto yang berkaitan dengan
situasi sosial.
1.7. Teknik Analisa Data
Sesuai dengan jenis
penelitian yang digunakan berupa
penelitian deskriptif kualitatif yaitu
menganalisa data yang diperoleh
dilapangan dalam bentuk kualitatif
dan diberi penjelasan kesimpulan
dengan menggunakan pernyataan-
pernyataan atau kalimat logis yang
berkaitan dengan mobilitas mata
11
pencarian yang terjadi di Kampung
Benteng.
Analisis data dalam penelitian
ini yang peneliti lakukan berdasarkan
acuan dari pendapat Miles dan
Huberman (Sugiyono, 2008: 246)
yang mengemukakan bahwa aktifitas
dalam menganalisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas hingga datanya sampai
jenuh.
Data yang diperoleh
dilapangan melalui observasi,
wawancara dan dokumentasi
jumlahnya cukup banyak untuk itu
perlu segera dilakukan analisis data
melalui reduksi data. Mereduksi data
berarti merangkum, memilih hal-hal
pokok, memfokuskan pada hal
penting.
Setelah data direduksi maka
langkah selanjutnya ialah
mendisplaykan data, dalam
penelitian ini penyajian data yang
peneliti lakukan adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Dengan
mendisplaykan data maka peneliti
akan lebih mudah untuk memahami
apa yang terjadi. Setelah peneliti
melakukan reduksi dan penyajian
data maka langkah akhir ialah
melakukan verifikasi atau penarikan
kesimpulan.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada kerangka teoritis ini
menjelaskan konsep dan teori yang
akan digunakan diantaranya:
2.1. Mobilitas Sosial
Horton dan Hunt (Narwoko,
2007:208) mobilitas sosial diartikan
sebagai suatu gerak perpindahan dari
suatu kelas sosial ke kelas sosial
lainnya. Mobilitas sosial dapat
berupa peningkatan atau penurunan
dalam segi setatus sosial dan
(kebiasaannya) termasuk pula segi
penghasilan, yang dapat dialami oleh
beberapa individu atau oleh
keseluruh anggota kelompok.
Mobilitas sosial mengacu
pada pergerakan individu diantara
tingkat-tingkat hierarkis sosial yang
berbeda, biasanya dijelaskan dalam
sudut pandang kategori dunia kerja
atau kelas sosial. Besarnya mobilitas
sosial sering digunakan sebagai
kajian tingkat keterbukaan dan
kecairan suatu masyarakat
(Abercrombie, 2010:518). Minat
terhadap mobilitas telah diketahui
melalui beberapa publikasi, S.M.
Lispet dan R.Bendix (Abercrombie,
2010:518) percaya bahwa mobilitas
itu penting bagi stabilitas masyarakat
industrial modern. Akses yang
terbuka menuju posisi elite akan
memungkinkan orang yang mampu
dan berambisi untuk naik dari kelas
sosial rendah.
Penulis lain tertarik pada
efisiensi dan keadilan sosial, P.M.
Blau dan O.D. Duncan
(Abercrombie, 2010:519)
berpendapat efisiensi dalam
masyarakat modern
mempersyaratkan mobilitas jika
orang yang paling mampu
diharapkan melakukan tugas yang
paling penting. Peter Blau dan O.D.
Duncan (1967) (Sanderson,
2011:273) menyimpulkan beberapa
individu dapat memperbaiki
kedudukan mereka dengan motivasi,
kerja keras bahkan dengan
keberuntungan. Banyak mobilitas
yang terjadi dengan ciri-ciri struktur
kapitalisme modern, perubahan
teknologi dan jabatan yang terus
menerus akibat sistem tersebut.
Mobilitas karna faktor-faktor
tersebut tidak ada hubungannya
dengan ideologi pemerataan
kesempatan, seperti yang ditulis oleh
Duncan dan Blau, ekspansi dan
kontraksi kelompok-kelompok
jabatan karna perubahan teknologi
adalah faktor penting penyebab
mobilisasi. Hal ini juga terjadi pada
pada masyarakat yang mempunyai
tingkat mobilitas yang berbeda-beda,
dan begitu juga dengan pola
mobilitas yang terjadi dalam periode
ini.
Gerak suatu kelas sosial ke
kelas sosial lainnya tentunya akan
sangat mempengaruhi penempatan
status sosial masyarakat. Menurut
Pitrim A Sorokin (soekanto,
2012:220) menyebutkan tipe-tipe
gerak sosial yang prinsipil ada dua
macam yaitu gerak sosial yang
horizontal dan vertikal: mobilitas
horizontal merupakan peralihan
individu atau obyek-obyek sosial
lainnya dari suatu kelompok sosial
ke kelompok sosial lainnya yang
sederajat yaitu tidak terjadi
perubahan dalam derajat kedudukan
seseorang dalam mobilitas sosialnya.
Sementara mobilitas sosial vertikal
13
adalah perpindahan individu atau
objek-objek sosial dari suatu
kedudukan sosial ke kedudukan
sosial lainnya yang tidak sederajat.
Menurut Pitrim A Sorokin
(Soekanto, 2004:252) gerak sosial
vertikal mempunyai saluran-saluran
dalam masyarakat. Proses gerak
sosial vertikal melalui saluran tadi
disebut social circulation. Saluran
yang terpenting adalah: angkatan
bersenjata, lembaga keagamaan,
pendidikan, organisasi politik,
ekonomi dan keahlian.
Prinsip-prinsip umum
mobilitas sosial vertikal dapat
dikemukakan seperti yang
disebutkan oleh Pitrim A. Sorokin
(Wulansari, 2009:124) sebagai
berikut:
1. Hampir tidak ada masyarakat
yang memiliki sifat sistim
yang berlapis-lapis yang
secara mutlak tertutup, yaitu
dimana sama sekali tak ada
gerak sosial yang vertikal.
2. Betapa terbukannya sistem
lapisan sosial dalam suatu
masyarakat tak mungkin
gerak sosial yang vertikal
dilakukan dengan sebebas-
bebasnya, sedikit banyak
akan ada hambatan. Apabila
proses gerak sosial itu dapat
dilakukan dengan sebebas-
bebasnya, tak mungkin ada
stratifikasi sosial yang
menjadi ciri tetap dan umum
dari setiap masyarakat.
3. Gerak sosial vertikal yang
umum berlaku bagi semua
masyarakat mempunyai ciri-
ciri yang khas bagi gerak
sosialnya yang vertikal.
4. Laju gerak sosial vertikal
yang disebabkan oleh faktor-
faktor ekonomi, politik serta
pekerjaan adalah berbeda.
5. Berdasarkan bahan-bahan
sejarah, khususnya dalam
gerak sosial vertikal yang
disebabkan faktor-faktor
ekonomis, politik dan
pekerjaan tak ada
kecendrungan yang kontiniyu
perihal bertambah atau
berkurangnya laju gerak
sosial.
Menurut Horton dan Hunt
(Narwoko, 2007:211) mencatat ada
dua faktor yang mempengaruhi
mobilitas pada masyarakat modern
yakni faktor struktural adalah jumlah
relatif dari kedudukan tinggi yang
bisa dan harus diisi serta kemudahan
untuk memperolehnya sementara
faktor individu adalah kualitas orang
perorang, baik ditinjau dari tingkat
pendidikan, penampilannya dan
keterampilannya termasuk faktor
kemujuran yang menentukan siapa
yang akan berhasil mencapai
kedudukan itu.
2.2. Stratifikasi sosial
Dikemukakan oleh Pitrim A
Sorokin (Wulansari, 2009:101)
lapisan sosial adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat kedalam
kelas-kelas secara bertingkat (secara
hierarkis). Perwujudannya adalah
kelas yang lebih tinggi dan kelas
yang lebih rendah. Dasar dari
lapisan-lapisan dalam masyarakat
adalah tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak-hak dan
14
kewajiban-kewajiban, kewajiban dan
tanggung jawab, nilai sosial dan
pengaruhnya diantara anggota
masyarakat.
Defenisi tentang stratifikasi
ini dipengaruhi oleh konsep tentang
masyarakat terstratifikasi (Stratified
societes) yang dikembangkan oleh
antropolog Morton Fried. Menurut
Fried (Sanderson, 2011:146)
masyarakat terstratifikasi adalah
masyarakat yang sama jenis kelamin
dan umurnya tidak mendapat
pendapatan atau penghasilan yang
sama. Selain itu Erik Wright
(Sanderson, 2011:281) menggunakan
skema kelasnya sebagai alat untuk
menganalisis ketidaksamaan
pendapatan dalam masyarakat.
Wright memulai dengan menentukan
apa yang menjadi landasan
pendapatan tiap kelas. Para pemilik
modal atau alat produksi menerima
pendapatannya dengan
mengekploitasi pekerja, dengan cara
mengupah mereka kurang dari nilai
barang dan jasa yang mereka
produksi.
Sementara itu, Marxisme
klasik (Sanderson, 2011:280)
berpendapat stratifikasi muncul
sebagai akibat dari persaingan yang
terus menerus antar individu atau
kelompok untuk memperoleh ekses
yang terpenting diantaranya adalah
kekayaan ekonomis dan proses
produksi. Ditambahkan Kurt B.
Meyer (Wulansari, 2009:104)
Ekonomi membedakan penduduk
menurut jumlah dan sumber
pendapatan, dimana biasanya
diperoleh dari suatu aktifitas
pekerjaan, pemilikan atau kedua-
duanya. Tingginya tingkat
pendapatan dan kepemilikan alat
produksi tentunya menempatkan
seseorang menduduki status yang
lebih baik, adanya status tinggi
merupakan pengakuan dari
masyarakat atas status tersebut.
Menurut Blumberg (Horton dan
Hunt, 2007:13) salah satu imbalan
dari status yang tinggi adalah adanya
pengakuan sebagai orang yang lebih
berderajat tinggi yaitu status simbol.
Sementara itu menurut
Horton dan Hunt (2007:5)
determinan Kelas Sosial, apakah
yang menyebab seseorang tergolong
kedalam suatu kelas sosial tertentu
adalah sebagai berikut: Kekayaan
dan Penghasilan, pekerjaan dan
pendidikan. Berdasarkan ukuran-
ukuran yang menempatkan seseorang
berada di kelas mana maka Pitrim A
Sorokin dalam (Satria,2002:41-42)
membagi bentuk stratifikasi menjadi
tiga yaitu:
a. stratifikasi berdasarkan ekonomi
yaitu jika dalam suatu
masyarakat terdapat perbedaan
atau ketidaksetaraan status
ekonomi.
b. stratifikasi berdasarkan politik
yaitu jika terdapat rangking
sosial berdasarkan otoritas,
prestise, kehormatan dan gelar
atau juga ada pihak yang
mengatur dan diatur.
c. stratifikasi berdasarkan
pekerjaan yaitu jika masyarakat
terdiferensiasi ke dalam berbagai
pekerjaan dan beberapa di antara
pekerjaan itu lebih tinggi
statusnya dibandingkan
pekerjaan lain.
2.2.1. Teori Stratifikasi
Teori evolusioner
fungsionalis Talcott Parsons
15
(1966,1977) didalam (Sanderson,
2011:157) Parson menganggap
bahwa evolusi sosial secara umum
terjadi karna sifat kecendrungan
masyarakat untuk berkembang, yang
disebut sebagai kapasitas adaptif.
Kapasitas adaptif adalah kemampuan
masyarakat untuk merespon
lingkungan dan mengatasi berbagai
masalah yang selalu dihadapi
manusia sebagai mahluk sosial.
Manusia telah berevolusi berabad-
abad menurut Parsons, melaui
kapasitas adaptif yang semangkin
tinggi.
Parson beranggapan bahwa
timbulnya stratifikasi sebagai aspek
penting dari evolusi akibat
meningkatnya kapasitas adaptif
dalam kehidupan sosial. Bagi
Parsons dobrakan evolusionerlah
yang membuat banyak bentuk-
bentuk kemajuan sosial. Dengan
demikian, stratifikasi menjadi alat
yang diperlukan untuk memusatkan
aktivitasnya dengan tujuan
memecahkan masalah dan
menghadapi tantangan. Semangkin
besar masalah dan tantangan yang
dihadapi, semangkin besar pula
kebutuhan akan stratifikasi.
Disimpulkan bahwa stratifikasi
timbul dalam masyarakat manusia
karna kebutuhan untuk mengatasi
masalah-masalahyang dihadapi.
Masyarakat berstratifikasi dapat
berfungsi lebih baikdari pada
masyarakat tanpa stratifikasi.
Dengan imbalan kedudukan yang
lebih tinggi, masyarakat dapat
mendorong individu-individu
menduduki jabatan sosial yang akan
mengarahkan masyarakat lebih
efektif.
Teori surplus lenski, sosiolog
Gerhard Lenski (1966)
(Sanderson,2011: 158-159) telah
mengemukakan teori stratifikasi lain,
tetapi dengan orientasi materialistik
dan berlandaskan teori konflik. Teori
Lenski berasumsi bahwa manusia
adalah mahluk yang mementingkan
diri sendiri dan selalu berusaha untuk
mensejahterakan dirinya. Individu
berprilaku menurut kepentingan
pribadi, bekerja sama dengan sesama
jika terkait dengan kepentingannya
dan akan berebut bersama jika
melihat kesempatan terbuka bagi
kepentingannya.
Lenski beranggapan, Surplus
produksi ekonomilah yang menyebab
berkembangnya stratifikasi,
semangkin besar surplus semangkin
besar pula stratifikasi yang terjadi.
Besarnya surplus ditentukan oleh
teknologi masyarakat. Dengan
demikian ada hubungan erat antara
derajat perkembanga teknologi
dengan drajat stratifikasi. Dengan
kemajuan teknologi, surplus
ekonomi terjadi dan perebutan
surplus melahirkan stratifikasi.
2.3. Konsep Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan
sekumpulan individu atau
sekelompok masyarakat yang
mendiami wilayah pesisir. Sumber
perekonomiannya bergantung secara
langsung pada sumber daya laut dan
ekosistem sekitarnya, serta
membentuk dan memiliki
kebudayaan yang khas, terkait
dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumberdaya laut secara
terus menerus (Satria, 2002:26).
Nelayan dapat dikategorikan
dari berbagai macam tipe salah
satunya adalah nelayan tradisional
menurut konsep yang dikemukakan
16
oleh Satria (2002: 28) peasent fisher
atau nelayan tradisional, biasanya
lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri (sub-sistence).
Sebutan ini muncul karna alokasi
tangkapan yang dijual lebih banyak
untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari (khususnya pangan) dan
bukan diinvestasikan kembali untuk
pengembangan skala usaha.
Seiring berkembangnya
motorisasi perikanan nelayan
tradisional mengalami kemajuan
yaitu dari peasent fisher menjadi post
peasent fisher, yang dicirikan dengan
penggunaan teknologi penangkapan
ikan yang lebih maju. Penguasaan
sarana motor itu semangkin
membuka peluang bagi nelayan
untuk menangkap ikan diwilayah
perairan yang lebih jauh dan
memperoleh surplus dari hasil
tangkapan itu karna mempunyai daya
tangkap lebih besar. Mengacu pada
pendapat Polllnac (Satria, 2002:29)
nelayan sekala besar dicirikan
dengan majunya kapasitas teknologi
penangkapan maupun jumlah
armadanya. Mereka lebih
berorientasi pada keuntungan dan
melibatkan buruh nelayan sebagai
anak buah kapal (ABK) dengan
organisasi kerja yang komplek.
Urgensi moderenisasi perikanan
melalui perbaikan teknologi atau alat
tangkap untuk peningkatan produksi
dapat dipahami. Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa kita masih
undercapacity untuk memanfaatkan
potensi perikanan budidaya maupun
tangkap. Pada umumnya,
moderenisasi perikanan melalui
peningkatan kualitas alat tangkap
didorong untuk meningkatkan
produksi perikanan, Berbagai
pengalaman menunjukan hal itu
secara umum, ada beberapa pengaruh
positif dari kelangsungan
moderenisasi perikanan tersebut,
antara lain Satria (2002:51):
terjadinya peningkatan produksi
perikanan, peningkatan pendapatan
nelayan, mendorong tersedianya
lapangan kerja baru.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
3.1. Kondisi Geografis
Kecamatan Moro merupakan
Kecamatan yang berada dalam ruang
lingkup Kabupaten Karimun Provinsi
Kepulauan Riau, secara geografis
Kecamatan Moro merupakan
Kecamatan yang terletak pada
ketinggian 0-138 meter diatas
permukaan laut, dimana sebagian
lahan merupakan lahan datar sampai
bergelombang, untuk keadaan iklim
Kecamatan Moro secara umum
beriklim tropis dipengaruhi oleh
sifat-sifat iklim laut.
Kampung Benteng RT 03/ RW
03 merupakan daerah pesisir yang
terletak dikecamatan Moro,
Kampung Benteng khususnya RT
03/RW 03 merupakan daerah pesisir
sehingga sebagian besar
penduduknya bermata pencarian
sebagai nelayan tradisional
dahulunya dalam memenuhi
ekonomi keluarga. Jika dilihat
Pemungkiman nelayan kampung
benteng RT 03/RW 03 bukan
merupakan pemungkiman yang tepat
berada dipesisir pantai melainkan
jarak pantai dengan pemungkiman
17
mereka lebih kurang 200 M dari
pesisir pantai, manfaat pemungkiman
mereka tidak terlalu dekat dengan
pesisir pantai membuat masyarakat
nelayan khusunya kampung benteng
dapat memanfaatkan lahan-lahan
disekitar perumahan mereka untuk
bercocok tanam.
3.2. Keadaan Demografis
3.2.1. Penduduk
Penduduk merupakan faktor
yang sangat dominan dalam
menunjang pembangunan dan
perubahan pada suatu daerah melalui
peningkatan taraf hidup mereka
seperti pendidikan, ekonomi dan
pekerjaan yang dapat membawa
daerah kearah yang lebih baik.
Perlunya peran penduduk
dalam pembangunan wilayah tempat
tinggalnya diharapkan mampu
membawa penduduk tersebut
menjadi semangkin maju dan
berkembang melalui kemudahan
ekses sumber daya yang dihadapi.
Semua masyarakat menghadapi
masalah dasar dalam mendorong
anggota masyarakat untuk
menempati posisi sosial, tidak
terkecuali pada masyarakat yang ada
di Kampung Benteng Kelurahan
Moro.
Jumlah penduduk
Dikampung Benteng khusunya RT
003/ RW 003 sebagai lokasi
penelitian peneliti sebanyak 139 jiwa
yang terdiri dari 31 kepala keluarga
(KK). Adapun jumlah penduduk jika
dilihat dari jenis kelamin terdiri dari
laki-laki 73 jiwa dan perempuan 66
jiwa.
3.2.2. Pendidikan
Perubahan dan kemajuan
dalam suatu masyarakat dapat dilihat
dari berbagai aspek diantaranya
iyalah pendidikan. Semangkin tinggi
tingkat pendidikan suatu masyarakat
akan berpengaruh pada jenis
pekerjaan yang mereka geluti
sehingga timbulnya mobilitas keatas
dan berpengaruh pada tingkat
stratifikasi mereka. untuk menaiki
status setiap masyarakat dengan
pendidikan maka perlu adanya
kemudahan ekses pendidikan
tersebut.
Jika dilihat, hal ini tentu saja
sangat memperihatinkan ditengah
berkembangnya dunia pendidikan
tapi masih banyak warga masyarakat
didaerah indonesia yang tidak
berpendidikan dan berpendidikan
rendah. Salah satu contohnya yakni
dikampung benteng RT 003/ RW
003 seperti terlihat pada tabel diatas
jumlah penduduk yang dilihat dari
tingkat pendidikannya hampir merata
para penduduk paling banyak hanya
mengenyam pendidikan pada tingkat
sekolah dasar (SD) yang berjumlah
72 orang dan masyarakat yang tidak
tamat sekolah sebanyak 39 orang,
SLTP berjumlah 21 orang, SLTA
berjumlah 7 orang dan perguruan
tinggi tidak ada, hal ini lah
merupakan salah satu penyebab
individu dalam masyarakat tersebut
sulit bersaing dan sulit untuk
mendapat pekerjaan yang relatif baik
karna terbatas akan status pendidikan
rendah yang dapat berimplikasi pada
sumber daya manusianya (SDM).
3.2.3. Mata pencarian
18
Diwilayah Kecamatan Moro
terdiri dari bermacam-macam mata
pencaharian dengan sumber
penghasilan dari Home Industri,
Nelayan, Pertanian, Perternakan dan
lain-lain. Kecamatan Moro
merupakan area yang Strategis dan
Potensial sebagai Wilayah Perikanan
dan Budi Daya Rumput Laut.
Nelayan merupakan jumlah
mayoritas pekerjaan masyarakat
kecamatan moro jika ditinjau dari
data Kecamatan Moro yaitu 75%,
perkebunan adalah mayoritas mata
pencarian masyarakat Kecamatan
Moro yang tinggal jauh dari pesisir
pantai yaitu dengan persentase 5%,
pertanian 10%, wiraswasta 5%,
kerajinan (tidak ada) dan
perdagangan 5% yaitu mereka
mayoritas yang bergerak dibidang
perdagangan adalah warga tiong hua.
Adapun pada lokasi
penelitian yaitu Kampung Benteng
RT 003/ RW 003 jumlah penduduk
dilihat dari matapencarian
berdasarkan data RT serta data
wawancara peneliti kepada informan
yang peneliti bandingkan ditemukan
sebagian besar masyarakat telah
berpindah pekerjaan terutama pada
sektor perikanan (nelayan
tradisional) dengan berbagai macam
alasan yang dijadikan sebagai latar
belakang peralihan tersebut.
Mayoritas pekerjaan sebagai nelayan
adalah mereka masyarakat setempat
yang bersuku melayu, bugis serta
bermungkim atau bertempat tinggal
dipesisir pantai.
BAB IV
Mobilitas Sosial Masyarakat
Nelayan Tradisional Di Kampung
Benteng Kelurahan Moro
Kecamatan Moro
(Studi Tentang Peralihan Mata
Pencarian Masyarakat Nelayan
Tradisional)
4.1. Aktifitas Umum Masyatakat
Nelayan Tradisional Kampung
Benteng
Masyarakat pesisir
didefinisikan sebagai masyarakat
yang tinggal dan melakukan aktifitas
sosial ekonomi yang terkait dengan
sumber daya wilayah pesisir dan
lautan sehingga masyarakat pesisir
memiliki ketergantungan yang cukup
tinggi dengan potensi atau kondisi
sumber daya pesisir. Satria (2002:26)
masyarakat nelayan merupakan
sekumpulan individu atau
sekelompok masyarakat yang
mendiami wilayah pesisir.
Masyarakat pesisir khususnya
masyarakat nelayan memiliki prilaku
yang sebagian besar disebabkan
karena karakteristik sumber daya
yang menjadi input utama bagi
kehidupan sosial ekonomi mereka
yaitu masyarakat nelayan akrab
dengan ketidakpastian yang tinggi
karena secara alamiah sumber daya
perikanan bersifat invisible sehingga
sulit untuk diprediksi.
Seperti halnya masyarakat
pesisir Kampung Benteng
Kecamatan Moro dahulu biasanya
aktifitas masyarakat nelayan
tradisional Kampung Benteng
hanyalah melaut yang dilakukan
dengan melihat musim ikan yaitu
pada bulan Agustus sampai bulan
Februari dengan kondisi air yang
jernih/ hijau.
19
Hal ini sering dilakukan bagi
nelayan dengan alat tangkap rawai
atau pancing kegiatan melaut
dilakukan setiap hari, biasanya
kegiatan melaut dilakukan mulai sore
hari hingga pagi hari (one day
fishing) bahkan pada musim tertentu
mereka juga melakukan kegiatan
penangkapan dengan waktu yang
cukup lama (Bertandang)
kadangkala kegiatan penangkapan
sampai tiga hari atau empat hari.
Biasanya kegiatan
penangkapan dilakukan di Pulau
Perasi Besar, Manteras, Selat Sugie,
Batu Berlobang, Karang Melvil,
Plangkat, Pulau Timun dan Pulo
Tiga (Sumber: Draft penyusunan
tentang kriteria nelayan terkena
dampak langsung/ tidak langsung
dari penambangan pasir laut,
Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia Kecamatan Moro).
Sejalan dengan waktu
lemahnya perekonomian nelayan
tradisional serta tingginya modal
yang dikeluarkan nelayan untuk
melaut sementara teknologi
tangkapan masih bersifat sederhana
dan tradisional sangat berpengaruh
pada penghasilan mereka dan
menyebabkan kerugian dari sisi
materi membuat para nelayan
memilih melakukan peralihan
pekerjaan.
Dengan berbagai macam
alasaan yang muncul yaitu
keseharian nelayan Kampung
Benteng hingga sekarang tidak lagi
mengandalkan pekerjaan nelayan
tradisional sebagai tumpuan ekonomi
rumah tangga melainkan keseharian
waktu mereka hanya dihabiskan
untuk bekerja sebagai buruh
bangunan, buruh nelayan dan lain-
lain yang dapat mendatangkan
penghasilan guna ekonomi keluarga.
Mereka para nelayan yang
beralih pekerjaan sangat dominan
terjadi hampir seluruh masyarakat
nelayan tradisional Kampung
Benteng RT 003/RW 003
menghentikan kegiatan penangkapan
ikan. Peralihan pekerjaan para
nelayan yang bekerja sebagai
nelayan tradisional menjadi buruh
nelayan, buruh bangunan dan
pengusaha percetakan batako tidak
dapat lepas dari permasalahan yang
komplek dalam kehidupan nelayan.
4.2. Karakteristik Informan
Sebelum membahas
mengenai mobilitas sosial di
Kampung Benteng RT 003/ RW 003
Kelurahan Moro maka, terlebih
dahulu akan di kemukakan
karakteristik informan dalam
penelitian ini. Adapun karakteristik
yang disajikan meliputi nelayan
tradisional yang beralih mata
pencarian ke buruh nelayan (buruh
nelayan penjaring, buruh nelayan
trawl), buruh bangunan dan
pengusaha batako, nelayan
tradisional yang dilihat dari tingkat
pendidikannya dan masa kerja
sebagai nelayan. adapun karakteristik
informan tersebut akan dijelaskan
dalam bentuk tabel-tabel sebagai
berikut:
4.2.1. Karakteristik Informan
Berdasarkan Peralihan Sektor
Pekerjaan
Mobilitas yang dilakukan
informan ke pekerjaan-pekerjaan ke
sektor perikanan dan nonperikanan
dapat dilihat pada sektor perikanan
yaitu buruh nelayan penjaring, buruh
20
nelayan trawl dan sektor
nonperikanan yaitu ke pekerjaan
buruh bangunan, (wirasawasta)
pengusaha percetakan batako.
Peralihan pekerjaan yang
dilakukan dari nelayan tradisional ke
sektor perikanan seperti buruh
nelayan penjaring, buruh nelayan
trawl lebih banyak. Hal ini
dikarnakan pekerjaan sektor
perikanan memang merupakan
karakter masyarakat pesisir. Sebagai
masyarakat pesisir tentunya sumber
daya yang dihadapi adalah sumber
daya laut sehingga pekerjaan sebagai
nelayan adalah pekerjaan yang telah
diwariskan secara turun temurun
berdasarkan sistem pengetahuan di
Kampung Benteng RT 003/ RW 003.
Selain itu adanya masyarakat
nelayan yang bekerja diluar sektor
perikanan seperti pekerjaan buruh
bangunan dan wiraswasta
(pengusaha percetakan batako)
dikarnakan mereka memiliki skill
atau keahlian yang telah mereka
tekuni seiring belum masuknya
musim penangkapan. Sedangkan
mereka para nelayan yang masih
berada disektor perikanan, pada saat
belum masuknya musim
penangkapan mereka lebih memilih
untuk beristirahat melaut dari pada
menggeluti pekerjaan lain dan hal ini
berpengaruh pada keterampilan
mereka untuk menggeluti pekerjaan
diluar sektor perikanan.
4.2.2. Karakteristik Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Bahwa tingkat pendidikan
informan sebagai nelayan tradisional
di Kampung Benteng RT 003/ RW
003 mempengaruhi sebagian nelayan
tradisional sehingga kesulitan untuk
memperbaiki taraf hidup mereka.
faktor pendidikan juga turut menjadi
penentu dalam menentukan posisi
sosial nelayan, akibat rendahnya
pendidikan masyarakat nelayan
tradisional terus dalam posisi
dependen.
4.2.3. Karateristik Berdasarkan
Tingkat Lamanya Masa Kerja
Lamanya masa kerja sebagai
nelayan tradisional sangat
berpengaruh dalam memberikan
informasi kepada peneliti, seperti
permasalahan yang komplek terjadi
sehingga mereka sebagian besar
beralih mata pencarian baik yang
berada disektor perikanan maupun
mereka yang berada disektor
nonperikanan untuk dijadikan data
mengenai bagaimana mobilitas
pekerjaan masyarakat nelayan
Kampung Benteng RT 003/ RW 003
terjadi.
Informan yang memiliki
lamanya masa kerja tersebut sangat
berpengaruh terhadap pemberian
data kepada peneliti yaitu mereka
yang bekerja selama itu tentunya
sangat banyak mengalami
pengalaman dalam bidang tersebut.
Peralihan mata pencarian yang
terjadi tentunya akan berpengaruh
kepada keterampilan mereka dimana,
pekerjaan yang baru juga akan
menuntut keterampilan yang berbeda
dari pekerjaan sebelumnya.
4.3. Mobilitas Sosial Dari Nelayan
Tradisional ke Buruh Nelayan,
Buruh Bangunan dan usaha
percetakan Batako di
Kampung Benteng
Menurut Horton dan Hunt
(Narwoko, 2007:208) mobilitas
sosial diartikan sebagai suatu gerak
21
perpindahan dari suatu kelas sosial
ke kelas sosial lainnya. Mobilitas
sosial dapat berupa peningkatan atau
penurunan dalam segi status sosial
dan (kebiasaannya) termasuk pula
segi penghasilan, yang dapat dialami
oleh beberapa individu atau oleh
keseluruh anggota kelompok.
Mobilitas sosial yang dilakukan
nelayan Kampung Benteng
merupakan perpindahan dari
pekerjaan sebelumnya ke pekerjaan
yang baru, dari perpindahan
pekerjaan tersebut seseorang akan
memperoleh status sosial yang baru
yang berbeda dengan status yang
lama yang menempatkan mereka
berada di posisi atau kedudukan
tertentu atau bahkan tetap pada
kedudukan yang tidak jauh beda
dengan kedudukan sebelumnya
hanya saja pekerjaannya saja yang
berbeda.
4.3.1. Nelayan Tradisional Ke
Buruh Nelayan ( Penjaring dan
Trawl )
Adapun mobilitas yang
dilakukan nelayan tradisional
disektor perikanan adalah mobilitas
ke buruh nelayan penjaring dan
buruh nelayan trawl yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Nelayan Tradisional Ke Buruh
Nelayan Penjaring
Pekerjaan sebagai nelayan
tradisional, awalnya modal yang
harus mereka keluarkan untuk
melaut lebih kurang Dua Ratus Ribu
Rupiah dengan modal sebesar itu
nelayan harus menutupi pengeluaran
dengan penghasilan yang didapat.
Mereka melakukan aktifitas
penangkapan selama tiga hari sampai
empat hari atau istilah setempat
disebut Bertandang. Tujuan
melakukan aktifitas penangkapan
selama itu agar pengeluaran dapat
ditutupi dengan penghasilan
tangkapan yang banyak sehingga
pada saat melaut mereka menyiapkan
berbagai perlengkapan dan
persediaan yang secukupnya.
Berdasarkan hasil wawancara
hal yang melatar belakangi mereka
beralih pekerjaan menjadi buruh
nelayan penjaring dikarnakan
pekerjaan sebagai nelayan tradisional
sulit untuk mendapatkan penghasilan
yang pasti sementara biaya melaut
semangkin hari semangkin
meningkat ditambah lagi dengan
masih sederhananya jenis alat
tangkap yang digunakan.
Menurut nelayan biaya yang
mahal yaitu mereka harus
mengambil umpan rawai dengan
status hutang kepada tauke, selain itu
minyak untuk sampan yang bermesin
mereka akan berhutang lagi kepada
pedagang minyak eceran.
Penghasilan yang diperoleh tidak
dapat diprediksi dengan pasti apalagi
jika berpengaruh kepada cuaca yang
kurang baik maka penghasilan yang
diperoleh menjadi lebih tidak pasti.
Sementara, jenis alat tangkap
rawai yang mereka gunakan memang
masih sangat tradisional, jenis
metode penangkapan dengan rawai
ini diwariskan secara turun temurun
oleh kehidupan para nelayan.
Menurut Satria (2002:16) umumnya
pengetahuan tentang teknik
penangkapan ikan didapat dari
warisan orang tua atau pendahulu
mereka berdasarkan pengalaman
empiris. Hal ini, tentunya akan
sangat berpengaruh kepada hasil
produksi mereka, sedikitnya
perolehan hasil tangkapan ikan serta
seringnya pengeluaran dan
22
penghasilan yang tidak seimbang
nelayan mengalami kerugian dalam
bentuk materi. Kerugian yang
dialami nelayan tradisional ini lah
yang menjerat mereka kedalam
hutang piutang yang komplek
dikomunitasnya.
Mereka tidak hanya
berhutang kepada tauke, pedagang
atau kerabat tetapi juga kepada
tetangga dan teman. Nelayan yang
berhutang dengan tauke kesulitan
untuk melunasi hutang piutang
mereka sehingga solusi yang
dilakukan oleh nelayan yaitu menjual
jasa tenaga mereka dengan bekerja
sebagai buruh nelayan.
Meninjau minimnya
penghasilan yang diperoleh akibat
dari masih sederhananya teknologi
tangkapan yang digunakan dan
tingginya biaya operasional serta
kesulitan mendapatkan modal
melaut, ternyata sebagian dari para
nelayan tersebut memiliki alasaan
untuk bekerja dengan tauke sebagai
jaminan sosial ekonomi mereka.
Berdasarkan analisis peneliti
berkaitan dengan hasil wawancara
maka peneliti menggunakan konsep
James Scott dalam (Satria, 2002:32-
33) yaitu:
1. penghidupan subsisten dasar,
berupa pemberian pekerjaan
tetap, penyediaan sarana
produksi, bantuan teknis.
2. Jaminan krisis subsisten berupa
pinjaman yang diberikan pada
saat klien menghadapi kesulitan
ekonomi
3. Perlindungan klien dari ancaman
pribadi maupun umum
4. memberikan jasa kolektif berupa
bantuan untuk mendukung
sarana umum setempat.
Hubungan antara buruh nelayan
dan majikan (tauke) banyak memberi
kemudahan pada saranan produksi,
jaminan ekonomi, perlindungan klien
dan memberikan jasa kolektif berupa
bantuan. Kemudahan sarana
produksi yaitu para tauke
menyediakan segala keperluan buruh
nelayan untuk melaut sehingga
permasalahan seperti biaya
operasional melaut bukan lagi
menjadi sebuah permasalahan yang
dominan. dengan bekerja sebagai
buruh nelayan penjaring masyarakat
mampu meningkatkan produksi hasil
tangkapan mereka melalui perbaikan
teknologi tangkapan yaitu berupa
jaring, kendaraan laut yang
digunakan sudah banyak
menggunakan mesin dan cara
operasionalnya pun sedikit lebih
mudah.
Jaminan ekonomi merupakan hal
yang sangat dibutuhkan oleh para
buruh nelayan, ada kalanya
penghasilan dari melaut mengalami
penurunan hasil maka salah satu
jalan yang bisa mereka lakukan yaitu
meminjam uang kepada tauke untuk
memenuhi kebutuhan keluarga
mereka. Sementara itu perlindungan
yang dilakukan tauke kepada klien
jika terjadi permasalahan umum
seperti biaya pendidikan anak klien,
biasanya tauke akan turut membantu
dengan melunasi tunggakan SPP
mereka. Jasa bantuan yang dilakukan
tauke untuk sarana umum biasanya
mereka akan membantu dalam
bentuk uang apa bila perkampungan
yang memang sebagian besar adalah
kliennya membutuhkan sarana jalan
seperti di Kampung Benteng.
Selain itu seperti yang dicatat
oleh Lenski (1966) dalam
23
(Sanderson, 2011:151) etika
redistribusi yaitu untuk mencegah
penguasa menguasainya secara
berlebihan, walau pun kelas
penguasa menikmati hak-hak
istimewanya para penguasa tetap
dianggap sebagai pemberi nafkah
yang harus terus menerus
memperhatikan kebutuhan sanak
saudaranya yang berada didalam
kelas massa.
Berkaitan dengan pendapat
Lenski, pada dasarnya pekerjaan
sebagai nelayan buruh adalah
pekerjaan yang dimana penguasa
disini yaitu tauke pemilik perahu.
Para tauke terus memanfaatkan para
nelayan buruh untuk mencari
penghasilan dari kegiatan
penangkapan namun, mereka juga
melakukan etika redistribusi berupa
jaminan krisis subsisten yaitu
pinjaman pada saat klien
menghadapi kesulitan ekonomi.
b. Nelayan Tradisional Ke Buruh
Nelayan Trawl
Selain mereka yang beralih
menjadi nelayan buruh penjaring,
ada juga mereka nelayan tradisional
yang beralih pekerjaan menjadi
buruh nelayan trawl. Bagi mereka
yang beralih menjadi buruh nelayan
kapal pukat atau trawl, biasanya cara
perekrutan yang dilakukan tidak
sembarangan melainkan harus ada
salah satu keluarga, teman atau
kenalaan yang telah lama bekerja
sebagai ABK kapal, apakah ABK
yang berada diposisi tekong (juru
mudi), kuanca (wakil juru mudi)
maupun ABK biasa yang berada
pada posisi paling bawah untuk
merekrut/ mengajak mereka untuk
bekerja atas dasar persetujuan dari
juru mudi atau istilah setempat
disebut Tekong, tekong memiliki
jabatan dibawah tauke atau pemilik
kapal.
Dalam pekerjaan sebagai
nelayan trawl pertama bagi mereka
yang baru bekerja, mereka akan
diposisikan sebagai juru masak/
tukang masak seiringan dengan
pekerjaan sebagai juru masak mereka
juga harus ikut serta dalam
membantu sistem pekerjaan walau
pun tidak sepenuhnya selayaknya
nelayan trawl yang telah
berpengalaman seperti memilih jenis
ikan tertentu untuk dipisahkan
berdasarkan jenis ikan antara ikan
ekspor ke Singapur dan ikan untuk
dijual kepasar domestik seperti ke
Tanjungpinang, Tanjung Balai dan
Tanjung Batu.
Selain itu mereka dituntut
untuk memahami peran dan
kedudukan setiap ABK mulai dari
tekong sampai ke ABK paling
bawah, umumnya dalam satu kapal
pukat terdiri dari 7 orang pekerja
yaitu tekong, kuanca (wakil
tekong/juru mudi) dan sisanya ABK
biasa yang bekerja atas perintah
tekong. Dan pengetahuan ini mereka
pelajari sendiri tanpa dibimbing.
Bagi mereka yang telah memahami
pekerjaan sebagai buruh nelayan
pukat akan ada peningkatan
kedudukan sejalan dengan
pemahaman yang mereka peroleh.
Biasanya bagi mereka yang
lulus seleksi akan menjadi pekerja
tetap namun mereka yang tidak lulus
akan dikeluarkan atau bahkan akan
menjadi beban bagi ABK yang lain.
Dikarnakan pekerjaan sebagai
24
nelayan pukat setiap individu
memiliki kedudukan dan perannya
masing-masing jika mereka tidak
mengerti maka beban kedudukan dan
perannya akan diambil oleh salah
satu ABK, ABK yang memerankan
dua peranan akan merasa
terbebankan oleh pekerjaan yang
umumnya mengandalkan fisik.
Pekerjaan sebagai buruh
nelayan pukat kedudukan yang
paling tinggi yaitu pemilik kapal
(tauke) kemudian dibawah tauke ada
juru mudi (tekong) sementara
dibawah juru mudi ada wakil juru
mudi (kuanca) dan di posisi terbawah
ada ABK biasa. Untuk mendapatkan
kedudukan sebagai tekong atau
kuanca biasanya mereka adalah
orang yang telah lama bekerja
sebagai buruh nelayan trawl atau
istilah yang sering digunakan para
pekerja trawl yaitu senior.
Seiring mereka yang telah
lama bekerja, mereka juga harus
mengerti banyak tentang
pengoperasionalan kapal pukat mulai
dari memahami peranan juru mudi,
kuanca yang juga merangkap bagian
mesin serta peranan ABK biasa serta
sistem kerja operasional jenis alat
tangkap. Terjadinya kenaikan
kedudukan seseorang didalam
pekerjaan kapal pukat yaitu
berdasarkan penunjukan secara
langsung atas dasar pertimbangan
tertentu dari tauke dan tekong.
Terutama tauke berencana
membeli sebuah kapal pukat yang
baru, maka tauke akan bercerita
kepada tekong, kemudian tekong
sebagai orang yang banyak
mengetahui tentang kualitas
ABKnya, akan mengusulkan nama
salah seorang ABKnya untuk
dipindahkan bekerja dikapal yang
baru dengan kedudukan yang lebih
tinggi seperti juru mudi atau menjadi
kuanca (wakil tekong). Sementara
ABK kapal yang baru mereka akan
melakukan perekrutan lagi.
Berdasarkan wawancara
maka analisis penelti menggunakan
konsep Blau dan Duncan (Sanderson,
2011:273) beberapa individu dapat
memperbaiki kedudukan mereka
dengan motivasi, kerja keras, bahkan
dengan keberuntungan. Banyak
mobilitas terjadi dengan struktur
kapitalisme modern yaitu perubahan
teknologi dan jabatan yang terus
menerus akibat sistem tersebut.
Blau dan O.D Duncan
(Sanderson, 2011:273) perubahan
teknologi adalah faktor penting
penyebab mobilisai. Sehingga
banyak pekerjaan diisi oleh mereka
yang berstatus rendah. Jadi pada
tahap ini mereka melakukan
mobilitas yaitu dari peasent fisher
menjadi buruh nelayan post peasent
fisher terkait dengan jenis
kendaraaan laut yang digunakan dari
sampan menjadi trawl atau kapal
pukat. Menurut Satria (2002:28)
dengan berkembangnya motorisasi
perikanan, nelayan pun berubah dari
peasant fisher menjadi post-peasant
fisher yang dicirikan dengan
penggunaan teknologi penangkapan
ikan yang lebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor.
Pada kasus nelayan trawl
dengan perubahan teknologi itu
semangkin membuka peluang bagi
nelayan untuk menaiki status mereka
25
seiring surplus dari hasil tangkapan
karna memiliki daya tangkap yang
lebih besar. Sementara itu kenaikan
posisi atau kedudukan mereka
didalam perahu sangat ditentukan
oleh pengetahuan, pengalaman,
keberuntungan serta keterampilan
yang dimiliki. Untuk menduduki
status sebagai seorang kuanca atau
wakil juru mudi mereka harus
memiliki pengalaman yang cukup
lama, pengetahuan dan ketrampilan
seiring dengan teknologi tangkapan
yang mereka hadapi.
4.3.2. Nelayan Tradisional Ke
Buruh Bangunan
Selain peralihan pekerjaan
sebagai buruh nelayan ada juga para
nelayan tradisional yang bekerja
sebagai buruh bangunan. pekerjaan
buruh bangunan merupakan
pekerjaan sambilan dikala para
nelayan tradisional belum masuk
musim penangkapan atau musim
turun melaut.
Biasanya kalangan para
nelayan tradisional yang berpindah
menjadi buruh bangunan adalah
mereka nelayan yang kesulitan
dalam mencari pinjamaan modal
melaut terutama kepada tauke.
Kesulitan ini dapat terjadi
dikarnakan pinjaman-pinjaman
sebelumnya tidak mampu mereka
lunasi. Anggapan sebagian nelayan,
mereka nelayan yang berpindah
menjadi buruh bangunan dan
kesulitan melunasi hutang piutang
kepada tauke dikarnakan faktor
kemalasan untuk melaut sehingga
tidak terlunasinya hutang kepada
tauke, para tauke pun tidak mau
memberikan pinjaman lagi.
Setiap kali para nelayan tidak
melaut atau belum masuk musim
penangkapan hal yang paling umum
dilakukan mereka yaitu mencari
pekerjaan sampingan sebagai
masukan ekonomi keluarga dengan
menawarkan diri kepada seorang
kepala borongan atau kepala tukang
untuk ikut bekerja sebagai buruh
bangunan Jika, kepala tukang masih
membutuhkan kuli pembantu maka
mereka akan diikut sertakan sebagai
pekerja tetapi jika tidak mereka akan
menganggur atau menjadi buruh
serabutan. Pekerjaan bangunaan
yang mereka geluti lebih banyak ke
sektor pembangunan perumahan
penduduk.
Pekerjaan yang dilakukan
secara terus menerus ini lah
kemampuan sebagai buruh bangunan
terlatih namun, kebanyakan dari
mereka hanya berada pada kuli biasa
atau istilah setempat kuli pembantu
dan tidak tertutup kemungkinan akan
ada peningkatan keterampilan jika
mereka bekerja keras dan
bersungguh-sungguh untuk
menggeluti pekerjaan tersebut.
Berdasarkan analisis peneliti
dengan menggunakan konsep Davis
dan Moore (Sanderson, 2011:279)
tingkat posisi sosial setiap orang
ditentukan oleh dua faktor salah
satunya iyalah kelangkaan personal
yang siap untuk mengisi posisi
dimaksud. Dan biasanya, orang
memiliki kemampuan tertentu
mendapat status yang tinggi.
Kelangkaan akan personal yang
sesuai dapat diakibatkan karena
26
kurangnya pengembangan bakat atau
tuntunan syarat-sayarat suatu jabatan
yang tinggi. Meninjau pekerjaan
sebagai buruh bangunan yang di
posisikan sebagai kuli pembantu
menandakan masih rendahnya skill
mereka dibidang tersebut.
Selain itu pekerjaan sebagai
buruh bangunan yang dijalani para
mantan nelayan tradisional di
Kampung Benteng tidak hanya
mengandalkan keterampilan mereka
dalam membuat suatu bangunan
seperti rumah. namun, untuk
mengemban suatu keterampilan
tersebut mereka juga harus mendapat
kepercayaan orang lain sehingga
pekerjaan mereka tidak hanya
diposisikan sebagai kuli bangunan
yang diposisiskan sebagai pembantu.
Posisi pembantu dalam pekerjaan
sebagai buruh bangunan di Kampung
Benteng adalah posisi yang paling
rendah dan mendapat bayaran gaji
rendah sesuai dengan posisi yang
mereka perankan. Hal ini sesuai
dengan konsep yang dikemukakan
oleh Blumberg (Horton dan Hunt,
2007:13) salah satu imbalan dari
status yang tinggi adalah adanya
pengakuan sebagai orang yang lebih
berderajat tinggi (status simbol).
4.3.3. Nelayan Tradisional Ke
Pengusaha Percetakan Batako
Peralihan pekerjaan dari
nelayan tradisional ke pengusaha
percetakan batako yang dilakukan
mantan nelayan tradisional adalah
melalui tahap menjadi buruh
bangunan. mereka bekerja sebagai
buruh bangunan seperti mana yang
dijalani para mantan nelayan yang
beralih menjadi buruh bangunan
lainnya.
Pekerjaan yang meraka jalani
juga diposisikan sebagai kuli
pembantu yang berada pada posisi
bawah. Pekerjaan kuli pembantu juga
membutuhkan keterampilan khusus
yang mereka pelajari dari kepala
borongan yaitu seperti mlaster.
Mlaster adalah cara menghaluskan
permukaan tembok. Semen yang
telah dipersiapkan dari proses
penyaringan kemudian ditempelkan
pada dinding yang masih kelihatan
batakonya. Dalam pekerjaan sebagai
buruh bangunan mereka dituntut
untuk serba bisa sehingga banyak
yang mereka pelajari salah satunya
adalah proses pembuatan batako.
Dengan keterampilan atau skill yang
dimiliki sebagian dari mereka ada
yang membuka usaha percetakan
batako.
Namun, untuk membuka
usaha tersebut mereka juga akan
membutuhkan modal awal. Untuk
informan peneliti yaitu Dul Hamid,
ia mendapatkan modal awal untuk
menjalankan usahanya iyalah dari
salah satu saudaranya yang tinggal di
kota, dengan bantuan modal dari
saudaranya ia pun mendirikan usaha
tersebut.
Melalui saluran mobilitas
sosial keterampilan atau keahlian
yang dimiliki dapat mengangkat
drajat anggota masyarakat yang
terlibat didalamnya untuk menduduki
kedudukan yang lebih tinggi dari
keadaan semula. Bagi mereka yang
berbakat atau mau bekerja keras,
berkorban dengan tujuan mencapai
jabatan penting, imbalan yang tinggi
27
akan diperolehnya namun,
sebaliknya mereka yang tidak
mempunyai motivasi dan
keterampilan akan mempunyai peran
yang kecil dengan imbalan yang
kecil pula (Sanderson, 2011:279).
4.4. Tipe-Tipe Mobilitas Sosial
Nelayan Tradisional Di Kampung
Benteng RT 003/ RW 003
Transformasi pekerjaan yang
dilakukan nelayan tradisional ke
buruh nelayan, buruh banguan dan
usaha percetakan batako sangat
dominan terjadi di Kampung
Benteng khususnya RT 003/ RW 003
tentunya akan terjadi kenaikan dan
penurunan status akibat dari
peralihan pekerjaan tersebut atau
malah status mereka tidak jauh
berubah dari sebelumnya.
Dalam mobilitas secara
prinsipil yang dikemukakan oleh
Pitrim A Sorokin (soekanto,
2004:249) menyebutkan tipe-tipe
gerak sosial ada dua macam yaitu
gerak sosial yang horizontal dan
vertikal. Mobilitas horizontal
merupakan peralihan individu atau
obyek-obyek sosial lainnya dari
suatu kelompok sosial ke kelompok
sosial lainnya yang sederajat yaitu
tidak terjadi perubahan dalam derajat
kedudukan seseorang dalam
mobilitas sosialnya sementara
mobilitas sosial vertikal adalah
perpindahan individu atau objek-
objek sosial dari suatu kedudukan
sosial ke kedudukan sosial lainnya
yang tidak sederajat.
4.4.1 Mobilitas Sosial Horizontal
(Dari Nelayan Tradisional
Ke Buruh Nelayan
Penjaring Dan Buruh
Bangunan).
Mobilitas horizontal adalah
nelayan yang beralih pekerjaan yang
berbeda dari pekerjaan sebelumnya
tetapi status ekonomi mereka tidak
berbeda jauh dengan pekerjaan
sebelumnya. Jadi tipe mobilitas ini
dapat dilihat dari nelayan yang
bekerja sebagai buruh nelayan dan
buruh bangunan dengan meninjau
pada penghasilan (ekonomi) mereka.
Mereka para buruh nelayan
penjaring bekerja dengan tauke, hasil
perolehan ikan harus dijual dengan
tauke dan ketetapan harga ikan
berada dibawah standar harga pasar
yaitu satu kilogram ikan berdasarkan
harga pasar yaitu Rp. 40.000
sedangkan harga bagi mereka yang
bekerja sebagai buruh nelayan
penjaring dihargai tauke sebesar Rp.
14.000.
Berdasarkan hasil wawancara
diatas mengacu pada pendekatan
Marxian (Sanderson, 2011:280)
kelompok-kelompok yang memiliki
modal atau kekuatan produksi yang
penting dapat menggunakan
kekuatan itu untuk mengekploitasi
sesama dan mengeruk keuntungan
untuk diri sendiri. Selain itu Erik
Wright (Sanderson, 2011:281)
menggunakan skema kelasnya
sebagai alat untuk menganalisis
ketidaksamaan pendapatan dalam
masyarakat. Wright memulai dengan
menentukan apa yang menjadi
landasan pendapatan tiap kelas. Para
pemilik modal atau alat produksi
menerima pendapatannya dengan
mengekploitasi pekerja, dengan cara
mengupah mereka kurang dari nilai
28
barang dan jasa yang mereka
produksi.
Mengacu pada konsep Erik
Wright, mobilitas pekerjaan yang
dilakukan dari nelayan tradisional ke
buruh nelayan penjaring, penghasilan
yang diperoleh sebagai buruh
nelayan pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan penghasilan sebagai
nelayan tradisional hanya saja
pekerjaan sebagai buruh nelayan
penjaring persediaan alat-alat
produksi disedikan oleh para tauke
seperti biaya operasional melaut,
kendaraan melaut dan kebutuhan
lainnya.
Namun, harga ikan yang
dijual tidak mengikuti harga pasaran
sehingga penghasilan yang diperoleh
hanya mampu untuk mencukupi
kebutuhan pangan para nelayan
buruh. Sehingga mobilitas pekerjaan
yang mereka lakukan hanya mampu
menempatkan mereka secara
horizontal yang ditandai dengan
tidak berubahnya status ekonomi
mereka.
Dalam mobilitas horizontal
tidak terjadi perubahan dalam drajat
status seseorang atau pun objek
sosial lainnya karna tidak mengalami
perubahan pendapatan atau status
sosial secara berarti (Narwoko,
2007:210). Mengutip pendapat dari
Blau dan Duncan (Sanderson,
2011:272) berdasarkan penelitiannya
tentang mobilitas sosial, mobilitas
yang terjadi lebih banyak berjarak
pendek dari pada berjarak panjang.
Jika dilihat mobilitas yang dilakukan
masyarakat nelayan tradisional dapat
dikatakan peralihan dalam jarak
pendek yaitu masih dalam sektor
perikanan dari nelayan tradisional ke
buruh nelayan penjaring.
Mobilitas sosial horizontal
yang terjadi selain peralihan ke
buruh nelayan penjaring ada juga
para nelayan yang melakukan
peralihan ke buruh bangunan.
pekerjaan sebagai buruh bangunan
digeluti karna para nelayan memiliki
keahlian atau keterampilan dibidang
tersebut. Peralihan pekerjaan ke
buruh bangunan dengan bekerja
sebagai kuli pembantu dalam satu
hari mereka bisa memperoleh upah
sebesar Rp.60.000 sementara itu jika
dihitung lebur dalam satu hari
penghasilan mereka akan bertambah
Rp. 70.000 sampai Rp. 80.000
perhari.
Minimnya penghasilan yang
diperoleh tidak diikuti dengan
semangkin meningkatnya kebutuhan
pangan, sandang dan papan sangat
mempengaruhi stabilitas para buruh
bangunan dari sisi ekonomi mereka.
Berdasarkan analisis peneliti
menunjukan rendahnya upah yang
diterima sebagian para buruh
bangunan dikarnakan rendahnya
posisi mereka dibidang tersebut.
Dalam pekerjaan buruh bangunan
hanya ada dua tingkatan lapisan,
pertama mereka yang memang
berposisi sebagai kepala tukang
(kepala borongan) diikuti
keterampilan, pengalaman serta
kepercayaan dari masyarakat untuk
membuat sebuah bangunan seperti
rumah. Jadi, posisi sebagai kepala
tukang lebih tinggi. ia dapat
melakukan negosiasi harga dalam
pembuatan sebuah bangunan dan
merekrut anggota pekerja yang akan
diposisikan sebagai kuli pembantu.
Sementara kuli pembantu adalah
pekerja yang diposisikan dibawah
29
kepala tukang dengan fungsi
membantu kepala tukang dalam
membuat sebuah bangunan.
Mengacu pada pendapat
Davis dan Moore (Sanderson,
2011:279) bahwa tingkat posisi
sosial (yaitu tingkat imbalan yang
diterima) pada setiap masyarakat
ditentukan oleh dua faktor. Salah
satunya adalah posisi yang disebut
sebagai kepentingan fungsional,
mereka beranggapan tidak semua
posisi sosial penting untuk
berfungsinya sistem sosial. Jika
dilihat pekerjaan sebagai kuli
pembantu dapat dikatakan pekerjaan
yang bukan merupakan pekerjaan
utama dalam pembuatan sebuah
bangunan, sementara pekerjaan
utama dilakukan oleh kepala tukang
(kepala borongan). sehingga upah
yang mereka terima juga sangat
berpengaruh dengan posisi mereka
dalam pekerjaan tersebut.
Mobilitas sosial yang
dilakukan ke buruh bangunan
bukanlah pekerjaan yang mampu
menempatkan mereka pada status
yang jauh lebih baik, hal ini dapat
dilihat dari penghasilaan yang
mereka terima sehingga mobilitas
yang terjadi hanya bertipe horizontal
yang ditandai tidak adanya kenaikan
drajat seseorang melalui penghasilan.
4.3.1. Mobilitas Sosial Vertikal
(Nelayan Tradisional Ke
Buruh Nelayan Trawl Dan
Pengusaha Percetakan
Batako)
Kenaikan status sosial
dianggap baik karna membuktikan
keberhasilan usaha seseorang
(Abdullah, 2009:197) mobilitas yang
terjadi pada masyarakat nelayan
tradisional Kampung Benteng tidak
hanya sebatas peralihan yang dapat
dikatakan horizontal melainkan juga
terjadi peningkatan status yang dapat
dikatakan mobilitas secara vertikal.
Proses gerak sosial atau mobilitas
yang terjadi dalam peralihan ini
dapat melalui beberapa saluran atau
disebut social circulation yaitu
saluran ekonomi dan keahlian.
Mobilitas sosial vertikal pada
nelayan Kampung Benteng dapat
dilihat adanya mantan nelayan yang
beralih pekerjaan menjadi buruh
nelayan trawl dan pengusaha
percetakan batako. Berdasarkan data
lapangan dapat dijelaskan bahwa
nelayan yang mengalami
peningkatan status dari pekerjaan
sebelumnya menjadi buruh nelayan
trawl menerima penghasilan yang
dapat dikatakan jauh berbeda dari
penghasilan sebagai nelayan
tradisional.
Penghasilan yang diterima
buruh nelayan trawl ditentukan tiap
turun melaut selama dua puluh lima
hari dengan ketetapan gaji pokok
sebesar Rp. 1.500.000 sementara
untuk penghasilan sampingan,
mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dengan
membuat ikan asin, dan penjualan
ikan asin dijual kepada penampung
dengan harga ikan asin tergantung
pada jenis ikan dan kualitas ikan
yang dibuat para buruh nelayan
trawl.
Biasanya perolehan hasil
penjualan ikan asin melebihi gaji
30
pokok mereka, dan biasanya ikan
asin yang dibuat bisa mencapai per
ton. Meningkatnya penghasilan
buruh nelayan trawl dari sisi
ekonomi seiring peralihan pekerjaan
yang dilakukan menyebabkan
mereka mengalami mobilitas vertikal
keatas.
Berdasarkan hasil wawancara
diatas, menunjukan penghasilan yang
diperoleh sebagai buruh nelayan
trawl cukup besar selain penghasilan
dari gaji pokok mereka juga
mendapatkan penghasilan sampingan
seperti membuat ikan asin untuk
dijual kepada penampung sehingga
dari sisi ekonomi pekerjaan sebagai
buruh nelayan trawl dapat memenuhi
kebutuhan mereka.
Ukuran yang menentukan
seseorang berada pada suatu kelas
tertentu dapat dilihat dari kekayaan,
penghasilan dan pekerjaan yang
mereka jalani. Untuk itu imbalan dari
status sosial yang tinggi adalah
pengakuan dari orang lain sebagai
orang yang lebih berderjat tinggi
maka, untuk memperoleh pengakuan
tersebut seseorang terbagi kedalam
kelas-kelas tertentu salah satunya
iyalah stratifikasi berdasarkan
ekonomi. Pitrim A Sorokin dalam
(Satria,2002:41-42) stratifikasi
berdasarkan ekonomi yaitu jika
dalam suatu masyarakat terdapat
perbedaan atau ketidaksetaraan status
ekonomi mereka.
Pekerjaan sebagai buruh
nelayan trawl memiliki tingkatan-
tingkatan (stratifikasi) didalam
perahu, posisi atas diisi oleh pemilik
perahu atau juragan dan dibawah
juragan ada juru mudi atau tekong,
dibawah tekong ada kuanca (wakil
tekong yang juga merangkap bagian
mesin) dan seterusnya ada ABK
biasa. Terbukanya sistem statifikasi
didalam pekerjaan sebagai buruh
nelayan trawl maka, banyak
kemungkinan akan adanya kenaikan
status didalam perahu terutama
mereka yang berstatus sebagai ABK
biasa.
ABK biasa yang menduduki
status yang lebih tinggi dikarnakan
mereka memahami ketrampilan
dalam mengoperasionalkan kapal
trawl, mengerti bagian mesin dan
bisa membaca kompas atau GPS.
Seiring peningkatnya status mereka
juga diikuti naiknya penghasilan
mereka. Terjadinya kenaikan status
sangat dipengaruhi oleh tingkat
pembagian kerja yang ada.
Dikarnakan tingkat pembagian kerja
dan terspesialisasi maka akan banyak
tuntutan untuk menduduki status
melalui ketrampilan khusus. Namun
hal ini memacu anggota untuk lebih
giat berusaha agar dapat memperoleh
status sosial tersebut (Abdullah,
2009:202).
Melihat hasil wawancara
diatas, berdasarkan analisis peneliti
menunjukan bahwa keterampilan
yang dimiliki dalam sistem
pengoperasionalan trawl sejalan
dengan waktu (pengalaman). selain
itu adanya usaha dari para ABK
biasa untuk banyak memahami peran
yang dijalankan dalam kegiatan
penangkapan sehingga mereka yang
banyak mengerti atau memiliki
ketrampilan, mendapatkan kenaikan
status dari ABK biasa menjadi wakil
juru mudi atau kuanca.
31
Mengacu pada pendapat
Lenski (Sanderson, 2011:159)
semangkin besar surplus semangkin
besar pula stratifikasi yang terjadi
dan besarnya surplus ditentukan oleh
kemampuan teknologi masyarakat.
Dalam hal ini, penggunaan trawl
dalam penangkapan ikan telah
mempengaruhi peningkatan
penghasilan nelayan. untuk
meningkatkan penghasilan atau
surplus dari penggunaan teknologi
maka butuh keterampilan dalam
pengoperasionalan trawl tersebut.
Kemampuan buruh nelayan
dalam mengoperasionalkan teknologi
tangkapan (trawl) melalui
keterampilan sangat mempengaruhi
peningkatan penghasilan mereka
sesuai dengan kedudukan atau status
mereka didalam perahu. Semangkin
meningkatnya keterampilan maka
semangkin tinggi posisi sesorang
didalam perahu. Sehingga setiap
ABK berupaya untuk menduduki
status tinggi melalui pengalaman,
pengetahuan dan keterampilan
dibidang tersebut. Menurut Davis
dan Moore (Sanderson, 2011:279)
stratifikasi merupakan sistem
insentif, sebagai alat untuk
memotivasi orang agar mengemban
tanggung jawab sosial. Bagi mereka
yang berbakat dan mau bekerja
keras, berkorban dengan tujuan
mencapai jabatan penting, imbalan
yang tinggi akan diperoleh.
Adanya peningkatan status
dan drajat kedudukan nelayan
tradisional yang melakukan mobilitas
tidak hanya pada sektor buruh
nelayan trawl namun juga terjadi
pada sektor pengusaha percetakan
batako. Dalam perpindahan
pekerjaan sebagai pengusaha
percetakan batako mereka
mengalami peningkatan status
ekonominya yang berbeda dari
sebelumnya. Menurut Blumberg
(Horton dan Hunt, 2007:13) salah
satu imbalan dari status yang tinggi
adalah adanya pengakuan sebagai
orang yang lebih berderajat tinggi
(status simbol). Hal ini dibuktikan
dengan status simbol yaitu
kepemilikan rumah yang layak,
kendaraan dan kecukupan kebutuhan
pangan, sandang dan papan.
Dalam usaha percetakan
batako penghasilan yang diperoleh
cukup besar, biasanya pemesan
batako untuk pembuatan rumah bisa
memesan mencapai seribu sampai
dua ribu batako. Kebanyakan
pemesan berada diluar Kampung
Benteng dan malah ada yang sampai
keluar dari Kelurahan Moro seperti
dari Desa Pauh, Desa Nyiur dan
Desa Pulau Moro.
Untuk penjualan satu buah
batako dihargai Rp. 2.000. selain
batako pengusaha percetakan juga
menjual batu bunga (batako yang
digunakan untuk ventilasi rumah).
Mobilitas sosial yang dilakukan ke
pengusaha batako telah mengalami
peningkatan pendapatan atau
penghasilan yang berbeda dari
penghasilan pekerjaan mereka
sebelumnya sehingga mobilitas ini
bertipe vertikal keatas seiring
peningkatan penghasilan (ekonomi).
Berdasarkan hasil wawancara
diatas menunjukan adanya
kebosanan masyarakat untuk bekerja
sebagai kuli (buruh). Sehingga
memacu adanya usaha dari para
32
mantan nelayan berupa kapasitas
adiktif yaitu merespon lingkungan
dan kecendrungan untuk berkembang
serta kemudahan ekses modal dari
saudara mereka, membuat para
mantan nelayan membuka usaha
percetakan batako sendiri seiring
dengan keterampilan yang dimiliki.
Menurut analisis peneliti
mengacu pada teori evolusioner
fungsionalis, Talcott Parsons
(Sanderson, 2011:157) Parsons
berpendapat bahwa evolusi sosial
secara umum terjadi karna sifat
kecendrungan masyarakat untuk
berkembang yang disebut sebagai
kapasitas adiktif. Kapasitas adiktif
adalah kemampuan masyarakat
untuk merespon lingkungan dan
mengatasi berbagai masalah yang
selalu dihadapi manusia sebagai
mahluk sosial.
4.4. Faktor-Faktor Mobilitas Sosial
Di Kampung Benteng RT 003/ RW
003
Mobilitas sosial yang terjadi
di Kampung Benteng yaitu peralihan
mata pencarian dari nelayan
tradisional ke buruh nelayan, buruh
bangunan dan usaha percetakan
batako dapat dilihat dari beberapa hal
yang dijadikan sebagai faktor-faktor
pendorong mobilitas sosial,
diantaranya faktor eksternal yaitu
kurang produktifnya jenis alat
tangkap yang digunakan nelayan
tradisional berupa rawai, tingginya
biaya operasisonal melaut.
Sementara faktor internal yaitu
dengan keterampilan individu
mereka bisa menduduki status yang
jauh lebih baik serta mobilitas sosial
dapat terjadi.
Menurunnya penghasilan
tangkapan nelayan sangat ditentukan
dari jenis teknologi tangkapan yang
digunakan. Pada umumnya,
pengetahuan teknik penangkapan
ikan didapat dari warisan orang tua
atau pendahulu mereka berdasarkan
pengalaman empiris (Satria,
2002:16). Jenis alat tangkap berupa
rawai yang digunakan merupakan
jenis alat tangkap sederhana atau
tradisional yang biasa digunakan
nelayan tradisional Kampung
Benteng.
Berdasarkan wawancara
tersebut sebagian besar nelayan
Kampung Benteng menggunakan
alat tangkap rawai yang masih
bersifat tradisional. Mereka
menggunakan rawai terutama pada
saat musim penangkapan ikan kurau.
Selain itu mereka juga memiliki jenis
alat tangkap yang lain selain rawai
seperti pinto, bubu, jala dan tangguk
yang dapat digunakan pada saat tidak
masuknya musim penangkapan ikan
kurau.
Menurut pendapat Lenski
(Sanderson, 2011:159) besarnya
surplus ekonomi sangat dipengaruhi
kemampuan teknologi masyarakat.
Dalam hal ini, melihat teknologi
tangkapan yang masih bersifat
tradisional maka akan sangat
berpengaruh pada penghasilan atau
pendapatan nelayan Kampung
Benteng dan juga berdampak pada
ekonomi mereka. selain itu besarnya
biaya operasional yang dikeluarkan
sementara penghasilan yang
diperoleh tidak seimbang dengan
33
pengeluaran menyebabkan kerugian
pada nelayan tradisional dari sisi
materi.
Dari hasil wawancara
tersebut juga perlu diperhatikan
tingginya resiko pekerjaan sebagai
nelayan. Kegiatan nelayan adalah
kegiatan yang beresiko tinggi,
ini tidak hanya menyangkut
besarnya modal yang
dipertaruhkan dan pencarian
keuntungan yang spekulatif, tetapi
juga berkaitan dengan keselamatan
jiwa. Gangguan alam yang datang
setiap saat, seperti ombak dan angin
yang besar adalah hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan nelayan.
Ada dua hal yang selalu menjadi
pusat perhatian nelayan ketika
perahu sedang beroperasi yaitu
masalah keselamatan jiwa dan
perolehan rezeki atau keberutungan.
Mereka berharap keselamatan dan
keberutungan dapat berpihak kepada
dirinya sekaligus.
Jika dilihat dari modal
melaut, tingginya biaya operasional
melaut sangat mengganggu nelayan
untuk melaut seperti kebutuhan
minyak bagi sampan yang
menggunakan mesin, umpan untuk
rawai, es pendingin ikan dan
kebutuhan lain yang diperlukan
nelayan sehingga sebagian dari
mereka menjual jasa tenaga kepada
klien sebagai buruh nelayan.
Berdasarkan wawancara
diatas, biaya operasional yang
dikeluarkan nelayan tradisional
cukup besar sementara pengasilan
yang diperoleh tidak dapat
diprediksi. hal ini sangat
berpengaruh pada stabilitas ekonomi
dan menyebabkan kerugian pada
nelayan. kerugian yang dimaksud
adalah banyaknya pengeluaran biaya
yang dikeluarkan nelayan tradisional
untuk melaut seperti biaya untuk
membeli umpan rawai, es pendingin
ikan, minyak solar untuk sampan
yang bermesin, perbekalan makanan.
Sementara pengeluaran tersebut
selalu tidak dikuti dengan
penghasilan yang diperoleh dari
melaut.
Mengacu pada pendapat
Parsons (Sanderson, 2011:157)
kapasitas adiktif adalah kemampuan
masyarakat untuk merespon
lingkungan dan mengatasi berbagai
masalah yang selalu dihadapi
manusia sebagai mahluk sosial.
Bentuk dari kapasitas adiktif yang
dilakukan nelayan tradisional yaitu
beralih mata pencarian sebagai salah
satu solusi untuk mengatasi berbagai
macam persoalan yang terjadi
dengan bekerja sebagai buruh
nelayan (penjaring, trawl) buruh
bangunan dan ada yang menjadi
pengusaha percetakan batako.
Dalam dunia modern, banyak
individu berupaya melakukan
mobilitas. Mereka yakin bahwa
melakukan jenis pekerjaan yang
paling cocok bagi diri mereka. bila
tingkat mobilitas tinggi, meskipun
latar belakang sosial berbeda, mereka
tetap merasa mempunyai hak yang
sama dalam mencapai kedudukan
sosial yang lebih tinggi (Abdullah,
2009:197).
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya selain faktor eksternal
yang mempengaruhi mobilitas sosial,
faktor internal juga merupakan salah
34
satu pendorong mobilitas sosial di
Kampung Benteng ini terjadi. Faktor
internal ini ditandai dengan
keterampilan yang dimiliki individu
selain disektor perikanan mereka
juga memiliki keterampilan diluar
sektor perikanan seperti pekerjaan
sebagai buruh bangunan dan usaha
percetaan batako.
Menurut Horton dan Hunt
(Narwoko, 2007:211) faktor individu
adalah kualitas orang perorang, baik
ditinjau dari tingkat pendidikan,
penampilannya dan keterampilannya
termasuk faktor kemujuran yang
menentukan siapa yang akan berhasil
mencapai kedudukan itu.
Berdasarkan wawancara
diatas, selain bekerja disektor
perikanan para mantan nelayan
tradisional juga memiliki
keterampilan untuk bekerja sebagai
buruh bangunan. Hal ini menunjukan
akan adanya kemudahan berpindah
pekerjaan melalui keterampilan yang
dimiliki. Pada dasarnya bakat yang
dimiliki setiap individu berbeda-beda
sehingga kesempatan untuk
memperoleh kedudukan yang tinggi
dimasyarakat akan berbeda pula.
Dengan demikian kemampuan atau
keterampilan untuk memperoleh
kedudukan bergantung pada usaha
yang dilakukan. Mengacu pada
konsep Blau dan Duncan (Sanderson,
2011:273) beberapa individu dapat
memperbaiki kedudukan mereka
dengan motivasi, kerja keras, bahkan
dengan keberuntungan.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisa
penelitian yang telah dilakukan,
maka selanjutnya hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi mobilitas sosial nelayan
tradisional di Kampung Benteng
Kelurahan Moro Kecamatan Moro.
Mobilitas sosial yang dilihat dari
peralihan mata pencarian masyarakat
nelayan tradisional menunjukan
adanya kenaikan status, terutama
mereka yang beralih ke mata
pencarian sebagai buruh nelayan
trawl dan pengusaha percetakan
batako. Sementara mereka yang
melakukan peralihan ke buruh
nelayan penjaring dan buruh
bangunan yang hanya diposisikan
sebagai kuli pembantu tidak
mengalami kenaikan status maupun
drajat.
Proses mobilitas sosial yang
terjadi merupakan permasalahan
yang komplek, diikuti teknologi yang
masih bersifat tradisional dan
tingginya biaya operasional melaut.
Permasalahan teknologi yang masih
tradisional sangat mempengaruhi
rendahnya penghasilan yang
diperoleh dengan menggunakan
teknologi tangkapan berupa rawai
sementara biaya operasional yang
dikeluarkan untuk melaut terus
meningkat. Tidak adanya
keseimbangan antara pengeluaran
dan pengahasilan menyebabkan
nelayan mengalami kerugian dalam
bentuk materi. Kerugian yang
dialami mempengaruhi masyarakat
untuk menjual jasa tenaga mereka
kepada tauke sebagai buruh nelayan
penjaring karna tidak memiliki
keterampilan untuk bekerja disektor
pekerjaan lain serta guna mencari
jaminan sosial ekonomi seiring
35
sumber daya yang dihadapi bersifat
spekulatif.
Nelayan yang berposisi
sebagai nelayan buruh penjaring
sangat erat dengan hubungan patron
klien yang merupakan institusi
ekploitasi sesama dan mengeruk
keuntungan untuk diri sendiri. Para
pemilik modal atau alat produksi
menerima pendapatannya dengan
mengekploitasi pekerja, dengan cara
mengupah mereka kurang dari nilai
barang dan jasa yang mereka
produksi. Tidak adanya kenaikan
penghasilan mempengaruhi pada
status dan drajat buruh nelayan
penjaring, sehingga mobilitas yang
terjadi hanya bersifat horizontal.
Sementara itu kenaikan status dapat
dirasakan nelayan tradisional yang
bekerja sebagai buruh nelayan trawl
seiring dengan meningkatnya
penghasilan (ekonomi). Pekerjaan
sebagai buruh nelayan trawl
penghasilan juga sangat bergantung
pada keterampilan mereka,
semangkin meningkat keterampilan
dalam pekerjaan maka akan
semangkin meningkat pula status
didalam perahu dan berpengaruh
pada peningkatan penghasilan.
Selain peralihan pekerjaan
sebagai buruh nelayan, mereka juga
melakukan peralihan ke buruh
bangunan yang hanya diposisikan
sebagai kuli pembantu. kuli
pembantu adalah mereka yang
bekerja sebagai buruh bangunan
namun, diposisikan pada posisi
dibawah kepala tukang (kepala
borongan) dikarnakan masih
rendahnya keterampilan serta
kepercayaan masyarakat dengan
bidang yang ia geluti. Mobilitas
sosial yang dilakukan tidak akan
berjalan dengan baik jika tanpa
adanya ketrampilan yang memadai
atau syarat-syarat untuk menduduki
status tertentu. Selain itu, peralihan
dari nelayan tradisional ke
pengusaha percetakan batako adalah
mobilitas yang dapat dikatakan
vertikal seiring dengan peningkatan
drajat dan status mereka. tentunya
kenaikan status yang dialami diikuti
dengan penghasilan yang diperoleh
dan berbeda dari penghasilan
pekerjaan sebelumnya.
5.2. Saran Untuk menindak lanjuti
beberapa kesimpulan yang telah
dikemukakan, maka disampaikan
beberapa saran diantaranya:
1. Sebaiknya masyarakat
nelayan tradisional yang
beralih pekerjaan mampu
menekuni pekerjaan tersebut
dengan mengasah
keterampilan serta mampu
beradaptasi dengan
lingkungan yang baru
dikarnakan setiap pekerjaan
yang baru akan
membutuhkan keterampilan
yang baru pula. Melalui
keterampilan atau skill yang
memenuhi syarat suatu
pekerjaan akan mendapat
imbalan berupa kenaikan
status dan juga meningkatnya
penghasilan yang diperoleh.
2. Selain itu perlunya ada
institusi seperti koperasi
nelayan yang dibangun untuk
menunjang peningkatan
status dan ekonomi nelayan,
terutama dalam menghadapi
permasalahan keterikatan
buruh nelayan penjaring
dengan tauke. Rendahnya
penghasilan nelayan buruh
36
penjaring tidak lepas dari
ekploitasi para patron untuk
meraup keuntungan dengan
cara mengupah mereka
kurang dari nilai barang
(hasil tangkapan nelayan) dan
jasa yang mereka produksi.
Daftar Pustaka
Abercrombie, Nicholas dkk, 2010,
Kamus Sosiologi,
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Horton, Paul B dan Chaster L Hunt,
(1996), Sosiologi edisi enam
jilid dua, Erlangga
Kinseng, A Rilus, (2014), Konflik
Nelayan, Edisi pertama,
Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Kusnadi,2003,Akar kemiskinan
nelayan,Yogyakarta: LkiS.
-----------.2009. Keberdayaan
Nelayan dan Dinamika
Ekonomi Pesisir.
Yogyakarta: Ar- Ruzz
Media.
Narwoko,J dwi dan bagong
suyanto(eds.),2007,sosiologi
teks pengantar dan
terapan,edisi kedua,Jakarta:
kencana prenada media
group.
Palras, Christian. 1971. Hubungan
Patron-Klien Dalam
Masyarakat Bugis
Makassar. Paris: Tidak
Diterbitkan.
Satria,Arif,2002,pengantar sosiologi
masyarakat pesisir,Jakarta:
PT.Pustaka Cidesindo.
Sanderson, K. Stephen, 2011,
Makrososiologi sebuah
pendekatan
terhadaprealitas sosiologi,
Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Silalahi, ulber, 2010, metode
penelitian sosial, Bandung:
PT Rafika aditama.
Sugyono,2008,Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif dan R
& D,Bandung:
ALFABETA.
--------------,2009,Metode penelitian
administrasi,Bandung: CV.
ALFABETA.
Soekanto,soerjono,2004,Sosiologi
suatu pengantar,Edisi
keenam,Jakarta:PT. Raja
Grafindo.
Surbakti, ramlan, 2010, Memahami
ilmu politik, PT.
GramediaWidiasarana
Indonesia, Jakarta.
Wirawan, 2010, Konflik dan
manajement konflik,
Salemba Humanika, Jakarta.
--------------,2012,Sosiologi suatu
pengantar,Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Wulansari, dewi, 2009, Sosiologi
konsep dan teori,
Bandung: PT. Refika
Aditama.