mitos dalam film dan televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman,...

64
Edisi 9, Nomor 1 Juli 2017 ISSN 1907-3097 Jurnal IMAJI Edisi 9 Nomor 1 Halaman 1 - 57 Jakarta Juli 2017 ISSN 1907-3097 Diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi dan Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat JURNAL Mitos dalam Film dan Televisi

Upload: dinhtruc

Post on 25-May-2019

266 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9, Nomor 1 Juli 2017 ISSN 1907-3097

JurnalIMAJI

Edisi9

Nomor1

Halaman1 - 57

JakartaJuli

2017

ISSN1907-3097

Diterbitkan olehFakultas Film dan Televisi

danLembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat

JURNAL

Mitos dalamFilm dan Televisi

Page 2: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)
Page 3: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Ketua PenyuntingRB Armantono

Wakil Ketua PenyuntingMohamad Ariansah

Penyunting PelaksanaArda MuhlisiunGerzon R. AjawailaGerman MintapradjaSuryana Paramita

Asisten PenyuntingBawuk Respati

Desain dan Tata LetakAnies Wildani

Pelaksana Tata UsahaWaluyo, TunggaRidwan, MegaRina

Pembantu Pelaksana Tata UsahaAhmad SuebAyu

ISSN 1907-3097

EDISI 9 NO 1, JULI 2017

Daftar Isi

Terbit dua kali setahun pada bulan Januari dan Juli. Edisi ini berisi enam tulisan yang diangkat dari hasil pemikiran danpenelitian di bidang media, budaya dankesenian.

ISSN 1907-3097

Alamat Penyunting dan Tata Usaha Perpustakaan dan Penerbitan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat 10330 Telepon (021) 3156176 Fax. (021) 31923603.

Homepage : http://www.fftv.ikj.ac.id Email : [email protected]

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan di media lain. Naskah diketik diatas kertas HVS A4spasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon

penulis). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu UrbanArturo Gunapriatna

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’iBintang Bayangkari

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver StoneDanu Murti

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang KetajamanJulita Pratiwi

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana BintangBawuk Respati

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-ShareSatrio Pamungkas

1 - 6

7 - 14

15 - 29

31 - 37

39 - 47

49 - 57

Page 4: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Prakata

Mitos adalah sesuatu yang terus-menerus mengiringi manusia sejak zaman dahulu kala, kini, dan entah sampai kapan. Sebagai sebuah kreasi budaya, kehadirannya sangat dibutuhkan karena berbagai alasan maupun fungsi. Jika dulu mitos menjadi sangat terkait dengan kisah-kisah dewata dan manusia luar biasa lainnya, kini ia berubah wujud menjadi teknologi, iklan, film, televisi, dan berbagai produk kebudayaan kontemporer lainnya. Bagi Roland Barthes, mitos penuh dengan tipu daya karena seolah-olah menampilkan ideologi dan sistem nilai yang alamiah, meski faktanya tidak lain hanyalah perspektif tertentu yang mengekspresikan intensi dari pendongeng, ulama, seniman, wartawan, pembuat film, dan politikus.

Jurnal IMAJI kali ini berusaha menyoroti persoalan mitos dalam medium audio-visual, seperti film dan televisi, melalui berbagai tulisan. Diawali dengan tulisan dari Arturo Gunapriatna yang membahas film hantu sebagai mitos dalam perkembangan masyarakat urban di Indonesia, Bintang Bayangkari kemudian berusaha untuk melakukan analisis tekstual terhadap mitos Islam pada film-film religi Indonesia, lalu Bawuk Respati membahas berbagai persoalan tentang mitos dan fenomena bintang dalam film, serta Satrio Pamungkas yang ingin membongkar mitos rating-share di industri televisi. Selain tulisan-tulisan tersebut, ada pula artikel tentang aspek gaya film dari Danu Murti, yang mengangkat bahasan tentang metode dan dimensi penyuntingan pada tiga buah film klasik dari Oliver Stone, serta terakhir, Julita Pratiwi mengkaji lebih jauh secara historis tentang persoalan evolusi ruang ketajaman imaji visual, mulai dari lukisan, foto, sampai film.

Selamat membaca dan mendekonstruksi mitos-mitos lain di sekitar kita.

Page 5: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Hantu Film Indonesia PindahMenjadi Hantu Urban

Arturo [email protected]

Abstrak

Film yang bertemakan hantu tidak bisa lepas dari persoalan budaya populer (pop culture). Selain karena medianya adalah media film, ini juga berhubungan dengan masalah sosial di tempat film-film ini dipresentasikan, sekaligus menjadi bagian dari representasi masyarakatnya. Perubahan artikulasi hantu pada media film tidak bisa lepas dari perubahan industri medianya, yang mengikuti perkembangan zaman dan teknologinya. Sehingga tema hantu yang tadinya merupakan kekuatan mitos rural berubah artikulasinya menjadi mitos baru pada masyarakat urban.

Abstract

Ghost-themed film cannot be separated from the matter of pop culture. Not only because the media is in fact film, this is also related to the social problems where these films are presented, as well as becoming part of its society’s representation. The transformation of how we articulate ‘ghosts’ in film cannot be separated from the transformation of the media industry itself, which follows the societal and technological developments. As a result, the theme of ghost stories in film, which used to rely on the power of rural myths, transformed its articulation towards a new myth that is oriented to urban society.

Kata Kunci

film horor Indonesia, folklor, mitos, hantu

Keyword

Indonesian horror film, folklore, myth, ghost

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 1

Hantu pada Film Nasional Kita

Membicarakan film Indonesia selalu menjadi menarik kalau melihat dari berbagai perspektif. Ada yang berupa kritik pedas tentang tema film yang tidak ada kemajuan, ada juga pujian karena jumlah produksinya yang terus meningkat. Sudah jadi pengetahuan kita bahwa film adalah salah satu media yang saat ini paling populer, baik sebagai media ekspresi, atau sebagai media hiburan. Dan saat ini yang sedang menjadi populer di kalangan penonton film kita, salah satunya adalah film bertema horor, atau hantu-hantuan, baik yang produksi impor maupun film nasional.

Film nasional dengan tema ini dalam perjalanan sejarahnya dimulai dari tema-tema “siluman” yang diimpor dari khasanah tradisi Tiongkok, karena pembuatnya adalah warga keturunan Tionghoa. Misalnya, film yang dibuat tahun 1935 berjudul Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet), karya sutradara The Eung Chun, yang kemudian disusul tahun berikutnya dengan produksi film Anaknya Siloeman Oeler Poeti dan Lima Siloeman Tikus. Karena yang memproduksi dalah warga

Page 6: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

keturunan Tionghoa, maka tidak heran cerita-cerita film tersebut juga berasal dari folklore Tiongkok.

Kalau kita sederhanakan, pengertian film horor, selain menakutkan, juga adalah film-film yang bertema dunia mistik atau alam gaib. Karena film-film tadi bercerita tentang “siluman”, maka dengan sederhana, mereka bisa dikategorikan sebagai film horor pertama di Indonesia.

Selanjutnya, film-film horor Indonesia berkembang dengan mengambil khasanah dari folklore Indonesia sendiri. Beranak dalam Kubur adalah film yang bisa dianggap fenonemal, walalupun kurang tepat kalau disebut film horor—film ini lebih cocok disebut film ber-genre thriller pembunuhan. Film yang disutradarai oleh Ali Shahab dan Awaludin pada tahun 1971 ini dianggap sukses di pasaran sebagai film horor karena sempat menjadi pembicaraan banyak orang. Kemudian, pada tahun 1974, ada pula film Kemasukan Setan, oleh sutradara Lukman Hakim Naim, yang terinspirasi oleh suksesnya film Hollywood The Exorcist (1973, William Friedkin). Di tahun yang sama, Ratno Timoer juga membuat Kuntilanak—yang mungkin bisa dianggap film horor pertama yang menggunakan subjek “kuntilanak”. Sedangkan, penggunaan pocong pertama dilakukan oleh film horor komedi yang dimainkan Benyamin S. dengan judul Setan Kuburan yang rilis pada tahun 1975 (Kristanto, 1995).

Dekade 1980-an adalah awal semaraknya film horor merajai bioskop di Indonesia, yaitu ditandai dengan debut pertama pemain Suzanna dengan sutradara Ackil Anwari pada film Ratu Pantai Selatan (1980). Yang menarik dari film ini adalah adanya perubahan tema dengan mengangkat tema folklore Indonesia dari mitos tentang Nyi Roro Kidul, makhluk halus yang menguasai lautan bagian selatan pulau Jawa. Film ini pun pembuatannya menggunakan special effect yang lumayan baik untuk tahun itu. Setelah suksesnya film ini, maka film lain yang sejenis mengikuti dengan tema-tema yang hampir sama. Ada kurang lebih 50 film horor dengan jenis bermacam-macam yang ada di khasanah folklore Indonesia. Dengan kata lain, film horor Indonesia pada masa itu mengambil pengaruh dari kebudayaan yang lahir dari masyarakat

Indonesia itu sendiri (“Culture which originates from ‘the people’—folk culture [Storey, 2007]).

Hantu sebagai Mitos Masyarakat Kita

Kalau kita catat mitos-mitos hantu yang ada di folklore Indoensia, ada sekitar 10 jenis hantu yang populer, yang dilansir dari Maubaca.com:

1. Kuntilanak

Sosok kuntilanak digambarkan dalam bentuk wanita cantik. Kuntilanak digambarkan senang meneror penduduk kampung untuk menunut balas. Kuntilanak sewaktu muncul selalu diiringi harum bunga kamboja. Konon laki-laki yang tidak berhati-hati bisa dibunuh sesudah kuntilanak berubah wujud menjadi penghisap darah. Kuntilanak juga senang menyantap bayi dan melukai wanita hamil. Dalam cerita seram dan film horor di televisi Malaysia, kuntilanak digambarkan membunuh mangsa dengan cara menghisap darah di bagian tengkuk, seperti vampir. Agak berbeda dengan gambaran menurut tadisi Melayu, kuntilanak menurut tradisi Sunda tidak memiliki lubang di punggung dan hanya mengganggu dengan penampakan saja. Kuntilanak konon juga menyukai pohon tertentu sebagai tempat “bersemayam”.

2. Sundel Bolong

Sundel bolong dalam mitos hantu Indonesia digambarkan dengan wanita berambut panjang dan bergaun panjang warna putih. Digambarkan pula terdapat bentukan bolong di bagian punggung yang sedikit tertutup rambut panjangnya sehingga organ-orang tubuh bagian perut terlihat. Dimitoskan bahwa hantu sundel bolong mati karena diperkosa dan melahirkan anaknya dari dalam kubur. Biasanya, sundel bolong juga diceritakan suka mengambil bayi-bayi yang baru saja dilahirkan.

3. Tuyul

Tuyul dalam mitologi nusantara, terutama di Pulau Jawa, adalah makhluk halus berwujud anak kecil atau orang kerdil dengan kepala gundul. Penggambaran lainnya yang tidak disepakati semua orang adalah kulit berwarna keperakan, bersifat sosial (dalam pengertian

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 2

Page 7: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

memiliki masyarakat dan pemimpin), serta bersuara seperti anak ayam. Tuyul dapat dipekerjakan oleh seorang majikan manusia untuk alasan tertentu, terutama mencuri uang. Untuk menangkal tuyul, orang memasang yuyu di sejumlah sudut rumah karena tuyul dipercaya menyukai yuyu sehingga ia lupa akan tugas yang dibebankan pemiliknya. Kejadian tuyul dipercaya berasal dari janin orang yang keguguran atau bayi yang mati ketika lahir. Karena berasal dari bayi, karakter tuyul juga seperti anak-anak: gemar bermain (seperti laporan orang melihat sejumlah tuyul bermain pada tengah malam, dll.)

4. Pocong

Penggambaran pocong bervariasi. Dikatakan, pocong memiliki wajah berwarna hijau dengan mata yang kosong. Penggambaran lain menyatakan, pocong berwajah rata dan memiliki lubang mata berongga atau tertutup kapas dengan wajah putih pucat. Mereka yang percaya akan adanya hantu ini beranggapan bahwa pocong merupakan bentuk protes dari si mati yang terlupa dibuka ikatan kafannya sebelum kuburnya ditutup. Meskipun pocong dalam film sering digambarkan bergerak melompat-lompat, mitos tentang pocong malah menyatakan pocong bergerak melayang-layang. Hal ini bisa dimaklumi, sebab di film-film pemeran pocong tidak bisa menggerakkan kakinya sehingga berjalannya harus melompat-lompat. Kepercayaan akan adanya hantu pocong hanya berkembang di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Walaupun penggambarannya mengikuti tradisi muslim, umat beragama lain pun ternyata dapat mengakui eksistensi hantu ini.

5. Genderuwo

Genderuwo adalah sejenis bangsa jin atau makhluk halus yang berwujud manusia mirip kera yang bertubuh besar dan kekar dengan warna kulit hitam kemerahan, tubuhnya ditutupi rambut lebat yang tumbuh di sekujur tubuh. Genderuwo terutama dikenal dalam masyarakat di Pulau Jawa (orang Sunda menyebutnya “gandaruwo”, sedangkan orang Jawa menyebutnya “gendruwo”). Habitat hunannya kegemarannya adalah batu berair,

bangunan tua, pohon besar teduh atau sudut-sudut yang lembab sepi dan gelap.

6. Wewe Gombel

Wewe gombel adalah sebuah istilah dalam tradisi Jawa yang berarti roh jahat atau hantu yang suka mencuri anak-anak, tapi tidak mencelakainya. Konon anak yang dicuri biasanya anak-anak yang ditelantarkan dan diabaikan oleh orang tuanya. Wewe gombel biasanya akan menakut-nakuti orang tua si anak atas sikap dan perlakuannya kepada anaknya sampai mereka sadar. Bila mereka telah sadar, wewe gombel akan mengembalikan anaknya. Menurut cerita, wewe gombel adalah roh dari seorang wanita yang meninggal bunuh diri lantaran dikejar masyarakat karena telah membunuh suaminya. Peristiwa itu terjadi setelah suami dari wanita itu berselingkuh dengan wanita lain. Sang suami melakukan hal itu karena istrinya tak bisa memberikan anak yang sangat diharapkannya. Akhirnya ia dijauhi dan dibenci suaminya, lalu dikucilkan sampai menjadi gila dan gembel. Sebutan “wewe gombel” karena kejadian ini terjadi di daerah Gombel, Semarang.

7. Leak

Dalam mitologi Bali, Leak adalah penyihir jahat. ”Le” artinya penyihir dan ”ak” artinya jahat. Leak hanya bisa dilihat di malam hari oleh para dukun pemburu leak. Di siang hari, ia tampak seperti manusia biasa, sedangkan pada malam hari ia berada di kuburan untuk mencari organ-organ dalam tubuh manusia yang digunakannya untuk membuat ramuan sihir. Ramuan sihir itu dapat mengubah bentuk leak menjadi seekor harimau, kera, babi atau menjadi seperti rangda. Bila perlu, ia juga dapat mengambil organ dari orang hidup.

8. Rangda

Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil, serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol kekuatan baik. Diceritakan bahwa kemungkinan besar rangda berasal dari ratu Manendradatta yang hidup di pulau Jawa

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 3

Page 8: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

pada abad yang ke-11. Ia diasingkan oleh raja Dharmodayana karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja tersebut. Menurut legenda ia membalas dendam dengan membunuh setengah kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya, serta milik putra Dharmodayana, Erlangga. Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Nama “rangda” berarti juga janda. Rangda sangatlah penting bagi mitologi Bali. Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga sering ditampilkan dalam tari-tarian. Tari ini sangatlah populer dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki gigi yang tajam.

9. Kuyang

Kuyang merupakan siluman berwujud kepala manusia dengan isi tubuh yang menempel tanpa kulit dan anggota badan yang dapat terbang untuk mencari darah bayi. Makhluk ini dikenal dalam masyarakat di Kalimantan. Kuyang sebenarnya adalah manusia (wanita) yang menuntut ajaran ilmu hitam untuk mencapai kehidupan abadi. Pada siang hari, seorang kuyang akan menempuh hidup sehari-hari sebagaimana orang biasa, namun biasanya ia mengenakan pakaian jubah. Pada malam hari, kuyang akan terbang untuk mencari darah bayi atau darah persalinan untuk dihisap sebagai sarana menambah kekuatan ilmunya. Orang yang melihat Kuyang terbang biasanya melihatnya seperti burung besar.

10. Palasik

Palasik, menurut cerita, legenda, atau kepercayaan orang Minangkabau, adalah sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan Minangkabau, palasik bukanlah hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Palasik sangat ditakuti oleh ibu-ibu di Minangkabau yang memiliki balita, karena makanan palasik adalah anak bayi atau balita, baik yang masih dalam kandungan ataupun yang sudah mati (dikubur). Ilmu palasik dipercayai sifatnya turun-temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang palasik, maka anaknya pun akan

jadi palasik. Pada umumnya, palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada yang badannya yang berjalan mencari makan dan ada pula yang kepalanya yang melayang-layang mencari makan.

Semua mitos di atas adalah milik kita sendiri, bukan impor dari luar. Hanya saja, dari 10 hantu yang populer di atas, Nyi Roro Kidul tidak dikategorikan, karena tradisi mitos kita membedakan sosok Ratu Selatan tersebut dari hantu-hantu yang lain. Mitos “Ratu Selatan” ini disikapi lebih sebagai realitas sejarah yang berhubungan dengan kekuasaan raja-raja Jawa. Sehingga, “Ratu” ini secara mitologi sebenarnya ada karena kepentingan politik kekuasaan raja Jawa. Ideologi dari mitos ini digunakan untuk melanggengkan kekuasaan raja Jawa, sekaligus sebagai kebutuhan pengakuan rakyat atas sakti dan kuasa raja Jawa pada kerajaan gaib di laut Selatan. Seperti yang dikatakan Storey (2007), “Beberapa teks kebudayaan menyajikan imaji realitas yang terdistorsi dan menghasilkan apa yang disebut ‘false consciousness’ yang bekerja memapankan yang ‘powerful ’ terhadap yang ‘powerless’.” Cerita ini menjadi populer dan menyatu, khususnya pada masyarakat pesisir pantai selatan dan umumnya masyarakat, sehingga kerajaan mendapat pengakuan dari rakyatnya. Negara pun berkuasa karena masyarakat bersedia untuk mengakui wewenangnya (Suseno, 1987).

Ratu Selatan sebagai Ikon Film Pop Era 80-an

Dari 10 jenis hantu di atas dan “Ratu Selatan” pada film-film horor tahun 1980-an hampir semuanya menjadi subjek dari kekayaan film horor kita. Untuk menambah variasi cerita, para pelaku film membuat artikulasi-artikulasi baru pada film, khususnya yang bersubjek “Ratu Selatan”, sehingga muncul film-film bertema hampir sama, yaitu tema “Ratu-ratuan” yang kebetulan dimainkan juga oleh Suzanna yang pada saat itu populer sebagai pemain film mistik horor. Film-film yang dimaksud adalah film-film seperti Ratu llmu Hitam (1981), Ratu Buaya (1983), Ratu Sakti Calon Arang (1985), Bangunnya Nyi Roror Kidul (1985), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988)—yang meraih 500 ribu penonton, Ratu Buaya Putih (1988), dan Ajian Ratu Laut Kidul (1991). Ada juga film bertema sama yang menghadirkan ratu hantu laut lain, seperti Nyi Blorong (1982),

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 4

Page 9: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Perkawinan Nyi Blorong (1983), dan Kisah Cinta Nyi Blorong (1989). Semua judul-judul yang mendapatkan artikulasi baru ini dibuat dengan tujuan ekonomi, karena mengikuti judul film sebelumnya yang meraih sukses merupakan usaha ideologis untuk mencari peluang ekonomi.

Yang menarik dari film horor dekade 80-an adalah beragamnya tema horor dan bercampurnya ia dengan genre lain. Jadi, horornya ada yang disajikan dengan kemasan action, perdukunan, mistik, atau bumbu-bumbu seks. Selain tema “Ratu-ratuan”, mitologi hantu-hantu lain juga menjadi tema film 80-an, seperti kuntilanak atau sundel bolong—yang mana film-filmnya juga kebanyakan dimainkan oleh Suzanna, maka ia mendapat julukan “Ratu Horor Indonesia”.

Film-film dengan 10 jenis hantu di atas yang menjadi mayoritas subjek film horor Indonesia dekade 80-an merupakan khasanah folklore Indonesia. Rata-rata, lokasi penceritaannya berada di pedesaan (rural) atau kota kecil. Ini semua semata karena cerita-cerita folklore tersebut memang berkembang dari masyarakat rural atau pedesaan, dan menjadi populer di masyarakat yang sama, baru setelahnya berkembang ke wilayah lain yang akhirnya menjadikannya bagian dari kebudayaan populer.

Di tahun 80-an, Indonesia masih memiliki banyak bioskop di daerah, dari tingkat ibukota provinsi, kotapradja sampai tingkat kabupaten, dan penonton film Indonesia terbanyak adalah masyarakat daerah atau pedesaan. Itulah salah satu sebab juga mengapa film horor Indonesia tahun 80-an menjadi bagian dari konsumsi tontonan masyarakat daerah, bukan perkotaan. Ini adalah fenomena menarik dari sejarah perfilman Indonesia dengan tema-tema horornya, yang kini seperti terulang kembali dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Artikulasi Baru Film Hantu Melalui Pembuat Film Generasi Baru

Yos Rizal menulis dalam Tempo:

“Film horor Indonesia memasuki musim panen. Tahun lalu, sepertiga jumlah total produksi film Indonesia diisi oleh film horor. Tahun ini, penonton bakal terus digempur

film-film jenis ini. Bukan apa-apa—film horor terbukti laris: rata-rata ditonton oleh setengah juta orang. Penonton film Kuntilanak bahkan menembus angkat 1,5 juta orang!”

Menjelang krisis ekonomi yang kemudian dilanjutkan keruntuhan rezim Soeharto, perfilman Indonesia juga turut merosot tajam, atau bahkan boleh dikatakan, menjadi tidak ada. Semaraknya film Indonesia kembali bangkit, salah satunya dimulai dengan kesuksesan film Jelangkung pada tahun 2002, yang konon meraih 1,2 juta penonton. Kesuksesan itu kemudian memunculkan film-film bertema horor baru, yang membuat situasinya seperti pengulangan dari dekade 80-an. Ideologinya tetap sama, yaitu ekonomi. Seperti yang dikatakan salah satu produser film horor Hantu Jeruk Purut (2006), Shankar RS, ia tak mau peduli dengan kritik pedas soal mutu film horor. Menurutnya, banyak orang yang menaruh definisi terlalu tinggi untuk film horor. “Sekarang coba lihat berapa film drama yang bisa menembus satu juta penonton dalam satu tahun?” tanyanya.

Yang menarik secara cultural studies, kita melihat sikap yang sama pada pelaku kreatif film sekarang. Walalupun mereka rata-rata adalah generasi baru perfilman yang sebagian besar sudah sangat dipengaruhi kebudayaan urban, karena mereka semua memang bagian dari masyarakat urban, mereka tetap mengambil khasanah folk culture. Hal ini dikemas dengan pengaruh-pengaruh dari sinema dunia. Jadi, 10 jenis hantu yang berasal dari mitologi atau folklore kita tetap menjadi primadona untuk subjek film horor kita. Yang paling laris dalah Kuntilanak (2006) yang disutradarai Rizal Mantovani yang meraih penonton di atas 1,5 juta orang. Selebihnya, ada pula film-film tentang sundel bolong dan pocong, namun yang berbeda dari dekade 80-an, tema mitologi tentang Ratu Pantai Selatan tidak begitu laku sebagai subjek film horor saat ini. Selain itu, film horor saat ini juga mengambil cerita-cerita seram yang berkembang di wilayah urban, seperti suster ngestor, pendeta tanpa kepala, dan sebagainya.

Yang paling menarik untuk dikaji adalah perubahan artikulasi, yang mana hantu-hantu

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 5

Page 10: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

tadi mendapat artikulasi baru sebagai bagian dari kebudayaan urban. Hampir sebagian film horor saat ini lokasi penceritaannya di wilayah kota besar. Kalau toh ada di daerah rural atau pedesaan, tetap ada perpindahan dalam cerita bahwa si hantu mengikuti ke kota, seperti film Jelangkung (2001). Kota besar di sini tidak hanya Jakarta sebagai ibu kota, tapi juga kota-kota besar lain, seperti Semarang dan sebagainya.

Artikulasi pun dilakukan pada beberapa judul film horor. Hantu-hantu sekarang diberi atau dilabeli dengan suatu tempat yang menjadi isu masyarakat urban sebagai tempat yang seram atau menakutkan. Sehingga, muncullah judul-judul semacam Hantu Binal Jembatan Semanggi, Hantu Jembatan Ancol, Hantu Jeruk Purut, Hantu Perawan Jeruk Purut, Hantu Rumah Ampera, Kereta Hantu Manggarai, Lawang Sewu Dendam Kuntilanak, Pocong Jalan Blora, Rumah Pondok Indah, dan Terowongan Casablanca (oktavita.com, 2009). Selain tempat seram populer kota, hantu-hantu itu juga dilabeli dengan tempat-tempat atau ruang-ruang yang menjadi ikon urban, seperti: Ada Hantu di Sekolah, Bangku Kosong, Bangsal 13, Hantu Ambulans, KM 13, Lantai 13, dan Toilet 105.

Dalam catatan, jumlah film horor Indonesia dari tahun 2002 sampai 2009 kira-kira ada 81 judul. Ini melebihi jumlah film horor Indonesia pada tahun 80-an, yang dalam kurun waktu 10 tahun cuma menghasilkan kurang lebih 50 judul film. Selebihnya, film-film hantu saat ini juga ada yang berupa pengulangan atau remake, dengan mengambil judul-judul yang sama dari film-film hantu 80-an.

Mengapa hantu-hantu kita pindah ke kota? Ini semua karena sistem peredaran film kita juga dikuasai oleh bioskop-bioskop kota yang sebagian besar ada di dalam mal besar kota. Setelah tahun 90-an, banyak bioskop film daerah yang bangkrut karena alasan persaingan ekonomi, kemudian muncul pula jaringan bioskop besar dengan modal besar, yaitu jaringan 21 Cineplex. Maka, pola penonton bioskop pun berubah yang tadinya di era tahun 80-an dikuasai penonton daerah, sekarang berubah dikuasai penonton kota besar dengan pola kebudayaan urban. Tidak heran, industri film horor berartikulasi menjadi hantu-hantu urban.

Namun, mengapa pelaku kreatif film horor yang notabene adalah generasi baru perfilman dengan keurbanannya tetap memiliki folklore hantu-hantu dari mitologi kita? Padahal, mereka sangat dimudahkan dengan referensi film dunia dan sangat dipengaruhi kebudayaan dunia. Tapi ternyata, para pelaku kreatif film horor kita masih merasa perlu identitas diri pada filmnya yang diwujudkan dengan tetap mengambil subjek hantu dari mitologi folklore Indonesia sendiri.

Daftar Pustaka

Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia 1926-1955. Jakarta: PT. Grafiasri Mukti. 1995.

Strinati, Dominic. Popular Culture. Jakarta: Jejak. 2007.

Storey, John. Inventing Popular Culture. Australia: Blackwell Publishing. 2007.

Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Jakarta: Gramedia. 1987.

Rizal, Yos. “Musim Panen Film Horor.” Harian Tempo.

Hantu Film Indonesia Pindah Menjadi Hantu Urban | 6

Page 11: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Tata Artistik Film Religi Indonesiayang Syar’iBintang Bayangkari

[email protected]

Abstrak

Film religi merupakan salah satu jenis film yang digemari masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, karena sarat dengan pengaruh ajaran agama Islam yang disampaikan melalui tema dari cerita yang diangkat ke layar kaca. Untuk menunjang film bertema religi, di dalam tata artistik dibutuhkan penguasaan terhadap rambu-rambu dan kaidah yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai hal tersebut menjadi wajib untuk dipahami oleh para profesionalnya, supaya masyarakat dapat mengambil hikmah dan pengajaran dari tema film religi yang mereka konsumsi. Hal ini juga dibutuhkan untuk menjamin penerimaan secara Syariat dari mayoritas mereka yang beragama Islam.

Abstract

Religious film is one of the types of film that is popular among Indonesian moviegoers, especially the Moslems, because it conveys Islam’s religious teaching through the theme of the story brought to life on screen. To support religious-themed films, the art direction requires knowledge about the signs and principles that go according to the Islamic teaching. Knowledge and mastery about this matter becomes something that art directors need to equip themselves with, so that the public can make the film in question a source of knowledge about certain religious teaching. This is also to ensure the acceptance of the general public moviegoers, who are mostly Moslems.

Kata Kunci

tata artistik, penata artistik, film religi

Keyword

art direction, art director, religious film

Film Religi Islam Indonesia dan Tata Artistik: Pendahuluan

Perkembangan film bertema religi Islam sangat pesat, khususnya pada masyarakat di Indonesia saat ini. Film bertema religi Islam yang berjudul Al Kautsar (1977, sut. Chaerul Umam) yang dibintangi oleh W.S. Rendra menjadi film religi pertama yang sukses di riwayat perfilman Indonesia. Kemudian, pada tahun 2000-an, populer pula film yang berjudul Kiamat Sudah Dekat (2003, sut. Deddy Mizwar), dan sejak saat itu film religi berkembang dari tahun ke tahun secara perlahan. Film religi berjudul Ayat-ayat Cinta (2008, sut. Hanung Bramantyo) kemudian mengangkat genre religi ini menjadi semakin populer, dengan kentalnya nuansa agama Islam dan kisahnya yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, yang dipadukan dengan bumbu unsur romansa, sejarah, dan dunia anak. Hal ini kemudian menyadarkan para produser film Indonesia untuk semakin

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 7

Page 12: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

banyak memproduksi film yang bertema religi, karena tema ini menjadi sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Dalam memproduksi film bertema religi Islam, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu salah satunya adalah soal peran bidang tata artistik. Dalam produksi film religi, tata artistik perlu menyesuaikan diri dengan unsur-unsur atau kaidah-kaidah syariat Islam.

Menurut Syaeful Anwar (2008: 105), tata artistik sendiri adalah seni adalah seni atau kerajinan (craft) dari cara bertutur sinematik (cinematic storytelling). Yang termasuk ke dalam proses tata artistik adalah merancang desain-desain sesuai skenario dan konsep sutradara atau produksi sebuah film, menciptakan “look and style”, serta menghadirkan karakter melalui penciptaan lewat make over elemen estetik. Kemudian, yang termasuk di dalam kerajinan (craft) adalah pemilihan material untuk menetapkan look dan style, pemilihan tekstur sesuai kondisi lokasi dan periode, serta koordinasi dengan personil tata artistik dan anggota produksi film lainnya.

Unsur-unsur yang menunjang atau mendorong kemajuan di bidang tata artistik adalah dalam hal setting, properti, make-up dan kostum, serta special effect. Masing-masing bidang tersebut memerlukan tenaga profesional yang memahami tentang bidang tata artistik. Untuk menerjemahkan ide atau konsep artistik tersebut, diperlukan seorang art director atau production designer. Di Indonesia, kita mengenal istilah ‘penata artistik’.

Dalam tulisan ini, fokus akan diberikan kepada 3 judul film Islami, yaitu: Ayat-ayat Cinta (2008, sut. Hanung Bramantyo, MD Entertainment), Ketika Cinta Bertasbih (2009, sut. Chaerul Umam, SinemArt), dan Sang Pencerah (2010, sut. Hanung Bramantyo, Multivision Plus Pictures). Ketiga film ini dipilih karena ketiganya termasuk ke dalam beberapa daftar film Islami Indonesia terlaris, seperti yang dilansir dari situs wartainfo.com (“5 Film Islami Terbaik Indonesia Paling Terlaris”) dan dari situs muvila.com (“10 Film Islami Indonesia Terlaris”, Reino Ezra). Ayat-ayat Cinta tercatat mampu menarik penonton sebanyak 3.581.947 orang, sedangkan Ketika CInta Bertasbih mendapatkan 3.100.906 penonton, dan Sang Pencerah menjual 1.206.000

tiket bioskop. Selain itu, ketiga film ini pun dapat mewakili berbagai jenis film religi Islam yang ada di Indonesia.

Gambar 1. Film Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Sang Pencerah

Pembahasan akan berfokus kepada telaah setting, properti, make-up dan kostum, serta special effect dari ketiga film tersebut. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui apakah unsur-unsur artistik

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 8

Page 13: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

telah memenuhi kaidah dan rambu-rambu yang sesuai dengan syariat Islam dan dapat digunakan sebagai rujukan oleh penata artistik pada produksi film religi Islam selanjutnya. Sebagai panduan, pembahasan akan dilakukan melalui kerangka beberapa pertanyaan kunci, seperti: Bagaimanakah kondisi bidang tata artistik film religi Islam di Indonesia sampai saat ini? Apakah insan tata artistik yang diwakili oleh ketiga film tersebut sudah dapat menciptakan sebuah karya yang sesuai dengan rambu dan kaidah yang diterapkan syariat Islam?

Budaya dan Syariat Islam

Agama Islam muncul dan berkembang pada abad ke-6 di Arab, maka menjadikan budaya Muslim banyak mengambil pengaruh dari budaya Arab1. Kebudayaan Islam adalah hasil olah, akal, budi, cipta, karsa, dan khususnya, interpretasi atau tafsir dari Al-Quran dan Hadits. Islam menghargai akal yang terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal, yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban. Kebudayaan Islam merupakan suatu sistem yang memiliki sifat-sifat ideal, sempurna, praktis, aktual, diakui keberadaannya, dan senantiasa diekspresikan.

Suatu tindakan yang diwujudkan oleh suatu bangsa dapat dikatakan sebagai kebudayaan bangsa tersebut. Jadi, sebuah pemikiran orang Islam yang direalisasikan dalam bentuk tindakan adalah merupakan kebudayaan Islam. Pemikiran tersebut terjadi berdasarkan perintah Allah atau ajaran-ajaran dalam Islam itu sendiri. Melalui kebudayaan, suatu kemajuan bisa tercapai. Maka, jika ajaran atau perintah agama Islam diamalkan sungguh-sungguh, umat Islam akan mencapai suatu kemajuan. Kemajuan itu kemudian akan semakin banyak menghasilkan kebudayaan baru. Singkatnya, semakin banyak umat Islam mengamalkan hukum Islam, semakin banyak kemajuan yang dihasilkan dan semakin banyak pula kebudayaan atau tamadun Islam yang lahir.

Wujud kebudyaan dalam Islam terdiri dari: wujud

1 Lalu kemudian, dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di dunia, kebudayaan Muslim saling berhubungan dan berasimilasi dengan budaya Persia, Turki, Mongol, India, Berber, dan juga Indonesia.

ideal (gagasan), wujud aktivitas, dan wujud artefak (benda). Wujud artefak sendiri merupakan wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuayatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, yang berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Dalam hal ini, salah satu contohnya adalah film religi Islam.

Syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Di dalam tata artistik film religi Islam, pemahaman tentang syariat Islam tersebut harus dijalankan sesuai dengan tema yang akan diproduksi.

Unsur-unsur Tata Artistik Sesuai Syariat Islam

Penyutradaraan, sinematografi, tata artistik, tata suara, dan editing merupakan beberapa elemen yang membentuk sebuah film, termasuk film religi Islam. Dalam hal tampilan visual, bidang tata artistik-lah yang paling menanggung peran besar. Dalam tata artistik, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1. Setting

Setting merupakan seluruh latar bersama segala propertinya. Properti dalam hal ini adalah semua benda tidak bergerak, seperti misalnya, perabot, pintu, jendela, kursi, lampu, pohon, dan sebagainya. Setting yang digunakan untuk film umumnya dibuat senyata mungkin berdasarkan konteks ceritanya. Setting yang sempurna pada prinsipnya adalah setting yang otentik.

Gambar 2. Setting film Sang Pencerah

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 9

Page 14: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Cerita film Islami tidak harus selalu tentang sejarah nabi atau para sahabat. Ia juga tidak harus selalu film berbahasa Arab dengan kostum pemain memakai surban atau jubah Arab, dengan latar belakang setting padang pasir. Namun, cerita bisa saja tentang potret masyarakat dengan kehidupan nyata mereka sehari-hari yang dituturkan dengan setting yang menarik, kreatif, dan artistik.

2. Properti

Menurut Michael Holt (1993: 106), mendapatkan properti yang tepat dalam suatu produksi sangatlah penting. Perabotan, barang-barang rumah tangga, dan benda-benda yang disentuh oleh sang aktor akan memberikan kelengkapan dari setting yang dibuat. Akan tetapi, bilamana hal ini tidak sesuai, maka ia akan memberikan kesan yang dapat menggoyahkan ketepatan desain tata artistik yang dibuat.

Di dalam properti untuk film religi Islam, perlu dihindari ornamen atau hiasan yang mengandung nilai ke-syirik-an, khurofat, dan takhayul, seperti patung, benda-benda pusaka, gambar atau lukisan makhluk bernyawa. Untuk film religi, menurut Ahmad Sarwat, situasi yang ideal adalah ketika sebuah film Islami disponsori oleh perusahaan yang produksinya baik, dan tentu saja, harus halal. Jika membuat film dakwah dengan sponsor oleh pabrik bir atau rokok, akan terjadi kontradiksi antara isi tayangan dengan sponsornya. Sebagai prinsip, detail-detail yang ada harus diperimbangkan supaya tidak menuai kritik dari kalangan Muslim sendiri.

3. Kostum

Perencana kostum adalah seorang yang sangat penting dalam tiap unit film, baik film yang berlangsung di masa kini, masa yang akan datang, atau di masa lalu. Kerja sama dan tukar-menukar ide antara perencana kostum dan penata artistik sangat penting. Seorang perencana kostum adalah seniman yang terampil dengan pengetahuan luas tentang sejarah kostum, pemotongan bahan, aneka ragam kain, dan cita, bahan celupan, pola, mode, dan juga seorang ahli jiwa alamiah dalam bekerja dengan aktor dan aktris ( John Marner, 1984: 59).

Gambar 3. Kostum dalam film Ayat-ayat Cinta

Menurut Ahmad Sarwat, di dalam film religi, meskipun cerita menuntut adegan atau peran tokoh antagonis yang tidak Islami, bukan berarti menampilkan wanita dan auratnya menjadi boleh. Kalaupun harus muncul sosok wanita, maka seharusnya wanita yang menutup aurat dengan tidak mengeksposkan kecantikan atau lemah gemulai sosoknya. Dan jika ingin menggambarkan adanya wanita yang tidak menutup aurat seperti yang secara umum dipahami, maka harus diusahakan bahwa ia tidak menjadi pusat perhatian dari sebuah adegan. Pada dasarnya, penggunaan kostum yang sesuai syariat menjadi salah satu syarat yang harus diupayakan dalam sebuah film bertema religi Islam.

4. Make-up

Make-up sebagai seuatu seni dan juga sekaligus sebagai ilmu pengetahuan membuat seorang make-up artist mampun membuat dan mengoreksi wajah dari tokoh agar sesuai dengan karakter yang diperankannya.

Gambar 4. Make-up dan kostum pada film Ketika Cinta Bertasbih

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 10

Page 15: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Menurut Abdul Syukur (2013: 231-241), Islam memandang puncak kecantikan wanita berbanding lurus dengan tingkat ketundukan dan kepasrahannya kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, dalam hal make-up, khususnya untuk wanita dalam Islam, terdapat larangan-larangan yang harus dihindari agar tidak bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya: mengikir gigi, menambal gigi menggunakan emas, memakai kuteks, menyambung kuku sebagai perhiasan, mentato anggota tubuh, memakai susuk, operasi ganti kelami, laki-laki berdandan seperti wanita atau wanita berdandan seperti laku-laki, menyemir rambut, menyambung rambut, serta mencabut dan menipiskan bulu alis.

5. Special effect

Menurut Jack Imes (1984: 1), special visual effects adalah tayangan gambar-gambar yang sifatnya hampir ajaib, yang acap kali tidak diperhatikan oleh penonton film. Visual effect yang terbaik ada visual yang dapat mengelabui para penonton, sehingga mereka percaya bahwa yang mereka lihat adalah suatu kejadian yang nyata.

Pada film religi Islam, special effect bisa digunakan di luar dari perwujudan Allah SWT dan Rasulullah SAW, karena hal tersebut sangat dilarang dan tidak sesuai syariat Islam.

Seorang penata artistik, dalam memvisualisasikan cerita bertema religi, seharusnya mampu mengikuti dan mengetahui perkembangan teknologi di dalam masyarakatnya. Hal ini supaya ia dapat menciptakan kreativitas yang mempunyai nilai seni yang tinggi dan juga peka terhadap hal-hal yang sedang menjadi tren untuk menciptakan suasana yang diinginkan pada adegan yang akan ditampilkan. Tentunya, hal itu harus diiringi dengan pengetahuan tentang unsur-unsur tata artistik yang sesuai dengan syariat Islam.

Tata Artistik dalam Tiga Film Religi Indonesia

• Ayat-ayat Cinta

Setting Pada fillm religi Islam ini mengambil lokasi di Kairo, Mesir, tetapi sebenarnya pengambilan gambar dilakukan di lokasi tanah air. Dalam produksi film ini, untuk bisa mendapatkan suasana kota Kairo, diperlukan gambar panorama

indah yang dapat didokumentasikan. Pekerjaan ini menjadi sebuah tantangan bagi penata artistic dan juga bagi sutradara, karena setelah melakukan hunting location, mereka harus membuat setting yang sesuai dengan kotanya, sedangkan di dalam cerita, banyak adegan yang terjadi di dalam set, seperti: set kafe, set hotel, dan set kamar. Penata artistik menyiasati tantangan ini dengan membuat dekor arsitektur bangunan bernuansa Arab, seperti jendela dan lorong-lorong kota, sehingga terkesan bahwa tokoh film memang sedang berada di Kairo.

Gambar 5. Adegan dalam film Ayat-ayat Cinta

Demikian juga untuk propertinya, properti yang digunakan banyak menggunakan desain Arab. Desain furnitur klasik pun digunakan agar kesan nuansa Arab yang lebih kental dapat muncul pada film ini. Agar setting yang ada di kota Kairo menjadi lebih menarik, penata artistik berusaha membuat setting yang mempunyai nilai estetika. Dengan demikian, penata artistic bersama sutradara menentukan pengambilan gambar dan panorama yang indah dan artistik dengan memasukkan identitas budaya lokal yang dirujuk.

Kostum yang digunakan oleh para pemain di dalam film ini adalah kostum dengan desain kostum “hijaber”, yaitu kostum dengan model hijab yang trendi dan menggunakan bahan-bahan katun serta motif yang chic. Sedangkan, dalam hal warna bahan, disesuaikan dengan udara pantai dengan banyak menggunakan warna-warna yang cerah yang membangkitkan kesan dari daerah tersebut. Kostum yang dipakai kebanyakan adalah kostum harian seorang muslimah, yaitu hijab.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 11

Page 16: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Sedangkan untuk make-up, digunakan make-up yang natural. Demikian pula dengan tatanan rambut yang sederhana dan terkesan alami. Make-up karakter tidak digunakan dalam film ini, tetapi warna pada make-up cenderung warna pastel atau soft natural. Yang dipentingkan di sini, antara make-up, kostum, dan setting, harus sesuai dengan karakter tokohnya.

Pada film religi ini, terdapat penggunaan special effect yang sederhana, berupa bunga-bunga yang dihamburkan dan angina pada salah satu adegan, sehingga penata artistik tidak begitu sulit dalam pekerjaannya.

• Ketika Cinta Bertasbih

Dalam film ini, lokasi yang diambil tidak hanya di kota Kairo, tetapi juga di kota Alexzandria, Mesir. Selain itu, ada pula lokasi di sebuah pesantren di kota Magelang, Jawa Tengah. Produksi film religi ini bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia Kairo, karena dibutuhkan pula untuk mengambil adegan di tempat itu. Juga banyak panorama indah yang didokumentasikan untuk menunjang setting. Dalam pemilihan lokasi untuk set, penata artistik berusaha menggali dan mencari kebudayaan yang terdapat di kota Kairo. Untuk properti, film ini banyak menggunakan properti setempat, seperti misalnya warung khas Arab dan properti interior bernuansa Timur Tengah.

Kostum yang dipakai pada film religi ini menggunakan hiba desain sharii, yang mana hijab hampir menutupi seluruh tubuh tokohnya. Kini, hijab seperti ini mulai populer juga di kalangan muslimah Indonesia. Sedangkan, untuk make-up, yang digunakan adalah make-up berkesan natural dengan warna-warna yang tidak terlalu menonjol dan berkesan alami, serta sesuati dengan tema cerita.

Unsur special effect digunakan juga dalam film ini, namun hanya efek sederhana, seperti asap dan angin untuk memenuhi tuntuan cerita agar dapat memberi kesan dramatik di dalam tata artistiknya.

Gambar 6. Persiapan set dalam salah satu adegan film Ketika Cinta Bertasbih

• Sang Pencerah

Dalam film ini, sejarah dijadikan sebagai pelajaran untuk masa kini tentang tolerasi, ko-eksistensi (bekerja sama dengan yang berbeda keyakinan), kekerasa berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Film ini berusaha menampilkan tokoh sosok pahlawan nasional dari sisi yang belum banyak diketahui publik—tidak hanya sebagai pendiri organisasi Islam Muhammadiyah, tetapi juga sebagai pembaharu Islam di Indonesia, yang memperkanalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional. Dengan demikian, setting dan kostum menjadi faktor yang menentukan karena cerita yang diangkat memiliki masalah muatan lokal, yang menurut Edi Sedyawati (2007: 139), merupakan bagian dari kekhasan suatu daerah, baik yang berkenaan dengan lingkungan alamiah, maupun dengan warisan sosial budaya.

Gambar 7. Salah satu adegan dalam film Sang Pencerah

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 12

Page 17: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Untuk properti dalam film ini, digunakan properti yang sesuai dengan budaya Jawa dan simbol ke-Islam-an. Kesan perjuangan pun harus tampak pada gaya atau style masa itu, karena ini adalah tuntutan cerita. Untuk properti tokoh utama, perlu juga mencerminkan budaya yang terkait dengan muatan lokal.

Penata busana tentu saja harus juga mendapatkan kostum yang sesuai dan tepat dengan tokoh. Kostum harus dijahit berdasarkan desain kostum tokoh yang dibuat oleh penata busana. Sedangkan untuk make-up, digunakan make-up yang soft, sesuai dengan tema religi. Tatanan rambut juga diperhatikan dan disesuaikan dengan masa latar belakang cerita. Sedangkan, untuk special effect, film ini tidak banyak menggunakannya, kecuali untuk efek asap dan angin.

Kesimpulan

Melalui contoh tiga film religi Islam Indonesia di atas, kita dapat melihat beberapa kecenderungan. Ayat-ayat Cinta menonjolkan setting yang bernuansa budaya Islam, sehingga dapat menampilkan suasana Islami dari keseluruhan adegannya. Film ini berhasil membangun dan menciptakan suasana budaya Arab dengan setting yang sebenarnya sebagian besar diproduksi di tanah air. Dengan kata lain, penata artistik berhasil menciptaan look and style produksi tersebut.

Kemudian, film Ketika Cinta Bertasbih juga berhasil menampilkan muatan lokal, dan dapat mengangkat dan memperkenalkan budaya Islam, terutama melalui kostum yang sesuai dengan syariat Islam. Film ini pun berhasil menampilkan panorama kota-kota di Mesir yang menjadi setting-nya, yang bisa membuat penonton menjadi ingin berkunjung ke sana.

Tata artistik dalam film Sang Pencerah pun berhasil mengekspresikan suasan pada masa cerita berlangsung, sesuai dengan eranya pada zaman kolonial sebagaimana yang dibutuhkan oleh cerita. Penggunaan properti yang akurat untuk menampilkan zaman tersebut menjadi ciri khas dari adegan-adegan yang ditampilkan, begitu pula dengan kostum para tokoh yang orisinal, sesuai dengan zamannya.

Penata artistik mempunyai pengetahuan dan memahami estetika dalam menciptakan sebuah karya. Penata artistik juga harus mampu menuangkan ide dalam bentuk visual yang sesuai dengan cerita, dalam kasus ini cerita film religi Islam.

Tata artistik film religi Islam di Indonesia tidak lepas dari detail-detail yang menyangkut budaya bangsa, antara lain termasuk wisata budaya, muatan lokal, dan budaya Islam. Seorang penata artistik harus mampu menangkap dan menguasai budaya tersebut dalam menciptakan tata artistik yang sesuai dengan unsur-unsur kaidah syariat Islam. Dengan berkembangnya teknologi, di dalam tata artistik film religi Islam, unsur-unsur seperti setting, properti, kostum, make-up, dan special effect—yang merupakan unsur pokok, harus disesuaikan dengan syariat Islam. Seorang penata artistik film religi Islam sebaiknya memahami proses kreatif yang sesuai dengan tema dari film yang dibuat, sehingga menghasilkan film religi Islam yang berkualitas.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 13

Page 18: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Daftar Pustaka

Buku

Anwar, Syaeful. Job Description Pekerja Film. Jakarta: FFTV-IKJ. 2008.

Holt, Michael. Stage Design and Properties. London: Phaidon Press, Ltd. 1993.

Imes, Jack. Special Visual Effects. New York: Prentice Hall Press. 1984.

John Marner, Terence. Film Design (terj.). Jakarta: Yayasan Citra. 1984.

Sedyawati, Edi. Ke-Indonesia-an dalam Budaya, Buku 1, Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 2007.

Syukur, Abdul. Panduan Lengkap Ibadah-ibadah Wanita Sepanjang Tahun. Yogyakarta: Penerbit Sabil. 2013.

Sumber Online

“5 Film Islami Terbaik Indonesia Paling Terlaris.” Wartainfo.com. N.p., 23 Mei 2015. Web.

Ezra, Reino. “10 Film Islami Indonesia Terlaris.” Muvila.com. KLN Network, 7 Juli 2014. Web.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 14

Page 19: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Pola Editing Dalam Tiga FilmOliver Stone

Danu [email protected]

Abstrak

Pembuat film dapat menggunakan editing, tidak hanya untuk menyambungkan shot satu ke shot yang lain untuk menyusun sebuah film, tetapi juga membangun dimensi yang dapat menghasilkan sebuah impresi tertentu bagi penonton film. Dalam tiga film yang dibuatnya, yaitu Platoon (1986), Born of the Fourth of July (1989), dan Natural Born Killers (1994), Oliver Stone berusaha menggambarkan bagaimana keadaan di sekitar dapat mengubah kondisi seorang karakter. Namun, dengan mengembangkan penggunaan pola editing yang berbeda-beda, tema besar yang sama tersebut dapat disajikan dengan impresi yang berbeda.

Abstract

Filmmakers can use editing, not only to connect one shot to the next shot to compose a film, but also to build dimensions that can produce a certain impression for the audience. In three films that he made, which are Platoon, Born on the Fourth of July, and Natural Born Killers, Oliver Stone attempted to portray how the surrounding condition can change a character’s own condition. However, by developing the use of different patterns of editing, that similar big theme can be presented with different impressions.

Kata Kunci

editing, Oliver Stone, Platoon, Born on the Fourth of July, Natural Born Killers

Keyword

editing, Oliver Stone, Platoon, Born on the Fourth of July, Natural Born Killers

Pola Editing: Sebuah Pendahuluan

Perkembangan jenis dan bentuk film secara umum akhirnya juga akan mempengaruhi pola pikir pembuatnya dalam hal penyajian melalui editing. Editing dalam sebuah film tidak hanya berfungsi untuk menyambung dari satu shot ke shot yang lain. Melalui editing, dapat tercipta berbagai dimensi. Penonton tidak hanya dimanjakan melalui susunan shot yang teratur dan rapi, atau dengan kata lain, penonton tidak menjadi penonton yang pasif. Melalui editing, para pembuat film dapat mengajak penontonnya untuk berpikir aktif dalam mengidentifikasi setiap susunan shot yang terjadi.

Dalam proses editing, tujuan utama seorang editor adalah memaksimalkan setiap shot yang ia miliki dengan memanfaatkan fungsinya. Seorang editor harus mampu melihat fungsi shot ketika akan menempatkannya ke dalam sebuah scene: apakah shot itu berfungsi sebagai informasi, motivasi, establishing shot, atau sebagai transisi menuju ke scene lainnya? Selain itu, seorang editor juga harus menentukan seberapa panjang durasi yang sesuai untuk shot tersebut—tidak boleh terlalu pendek

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 15

Page 20: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

ataupun terlalu panjang. Setelah kedua hal tersebut terpenuhi, yang harus dilakukan selanjutnya adalah bagaimana seorang editor secara kreatif menempatkan shot pada urutannya di dalam scene: apakah lebih tepat di awal scene, di tengah, atau di akhir? Ketika sambungan setiap shot sudah terbentuk menjadi sebuah scene, maka terciptalah keterhubungan antara shot satu dengan lainnya, atau yang disebut sebagai dimensi editing, baik dari sisi grafis, ritmis, spasial, maupun temporal.

Keterhubungan tersebut kental dalam pendekatan continuity editing. Di sisi lain, pada alternative to continuity editing dengan discontinuity spasial dan temporal, sambungan shot mengabaikan kesinambungan gambar dengan menabrakkan ruang melalui posisi kamera yang ditempatkan pada area 180 derajat, serta dengan penyambungan jump cut dan non-diegetic insert.

Dapat dikatakan, perkembangan pola editing berjalan selaras dengan genre film dan juga teknologi yang berkembang pada masa pembuatannya. Kita dapat melihat salah satu contoh perkembangan pola editing dalam serangkaian karya seorang pembuat film. Sutradara Oliver Stone yang banyak mengambil

tema-tema perang menerapkan pola editing yang berbeda pada tiga karya filmnya, yaitu Platoon (1986), Born on the Fourth July (1989), dan Natural Born Killers (1994).

Pola Editing dalam Tiga Film Oliver Stone

Di dalam film Platoon dan Born on the Fourth of July, Stone sangat mengedepankan keempat aspek dimensi editing. Dalam hal dimensi grafis, ia menggunakan graphic continuity. Irama yang teratur digunakan dalam dimensi ritmis. Dan juga, keterhubungan ruang di antara masing-masing shot diperhatikan, serta kesinambungan urutan waktunya.

Berbeda dengan Natural Born Killers, yang mana di dalam film ini Stone berani menabrakkan satu shot dengan shot lainnya yang tidak senada (graphic contrast). Framing shot pun tidak seimbang, serta urutan cerita tidak linear—dengan melompat dari cerita sekarang, ke masa lalu dan masa depan. Dalam film ini, gaya bertutur editing Oliver Stone berubah secara radikal. Bahkan, bisa dibilang, karya film-filmnya setelah Natural Born Killers tidak pernah seekspresif itu.

• Platoon (1986)

FS: Pesawat dan opening title

MLS: Dua orang tentara mengangkat kantong mayat

FS: Tentara turun dari pesawat

Two shot: Taylor dan tentara lainnya

MCU: Taylor melihat ke arah kanan

MS: tentara berpapasan dengan tentara yang lain

Gambar 1. Taylor tiba di markas tentara

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 16

Page 21: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

• Born on the Fourth of July (1989)

Opening scene film Platoon menggambarkan Taylor dan para prajurit yang baru tiba di markas. Stone menggunakan keempat aspek dimensi editing untuk memperlihatkan adegan ini, yaitu dengan irama yang konstan, warna antar shot satu dengan yang lainnya senada, serta framing yang simetris membuat susunan gambar tidak terasa sambungannya. Setiap potongan di sini dibuat dengan sangat halus sehingga penonton tidak terinterupsi olehnya. Pada adegan ini, kekuatan akting dari pemainnya lebih ditonjolkan untuk meningkatkan dramatisasi cerita.

LS: Pleton patroli

MS: Tentara Amerika membidik senjata

CU: Tentara Vietnam membidik dengan senapan

FS: Kovic dijatuhkan lawannya

MLS: Tentara Vietnam menembakkan senjata

LS: Bom meledakkan tentara

CU: Ibu yang menyemangati Kovic

MS: Tentara Amerika menembakkan senjata

Gambar 2. Tim patroli diserang Vietkong

Pada film ini, treatment editing sudah memiliki perkembangan. Tetap berlatar cerita tentara perang Vietnam, Stone memperlihatkan patriotisme yang memudar dari tokoh Ron Kovic akibat suasana dan keadaan psikologis dirinya.

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 17

Page 22: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

MLS: Kovic dipiting oleh lawannya

FS: Kovic dan tentara lainnya menyelamatkan diri dari serangan tentara Vetnam

MS: Ibu yang kecewa dengan kekalahan Kovic

FS: Kovic terbaring di arena dan menyesali kekalahannya

CU: Wasit memutuskan Kovic kalah

BCU: Slow motion Wilson menyelamatkan diri

CU: Kekecewaan teman wanita Kovic

MCU: Kovic terbaring di arena dan menyesali kekalahannya

Gambar 3. Kovic bertanding gulat

Kekalahan Kovic pada pertandingan (lihat Gambar 3) diiringi oleh kekecewaan keluarga dan kekasihnya, Donna, sehingga menjatuhkan kebanggaan Kovic akan dirinya sendiri. Scene diakhiri dengan penggunaan high angle untuk menekankan keterpurukan Kovic. Urutan shot tetap dibuat dengan kesinambungan, namun dramatisasi dilakukan melalui intercut antara medium close-up serta close-up dari ibu, ayah, Donna, teman, serta Kovic sendiri.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 18

Page 23: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Gambar 4. Kovic menembak Wilson

FS: Wilson menyelamatkan diri

BCU: Slow motion Kovic menembakkan senjata

MCU: Kovic menembak Wilson

Zoom-in CU: Kovic menembak Wilson yang dia kira tentara Vietnam

BCU: Kovic menembak Wilson

MCU: Kovic menembakkan senjata

FS: Wilson datang dari arah samping Kovic

MS: Wilson tertembak

FS: Slow motion Wilson berlari

MS: Wilson terjatuh

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 19

Page 24: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Perubahan drastis dalam irama editing terlihat ketika Kovic salah menembak Wilson. Dimensi ritmis melalui external rhythmic dimainkan dengan sangat maksimal pada adegan ini. Pergerakan kamera yang tidak stabil, ditambah dengan akselerasi dalam sambungan shot-nya semakin membuat adegan-nya menjadi tegang. Ini terlihat dengan penyambungan dari long shot hingga akhirnya menjadi big close-up terhadap Kovic yang membidik Wilson.

MCU: Kovic tidur di kasur

CU: Suasana kamar Kovic, kamera bergerak tidak stabil

MLS slow motion: Wilson menuju tempat Kovic bersembunyi, shot berwarna hitam putih

Tilt down MCU: Bayi yang menangis, shot berwarna hitam putih

Tilt down: Tentara yang berpatroli, shot berwarna hitam putih

MCU: Mayat wanita warga Vietnam korban salah tembak tentara Amerika, shot berwarna hitam putih

Pan CU: Kovic yang menembak ke arah Wilson, shot berwarna hitam putih

MS: Warga Vietnam mengerang kesakitan tertembak senjata tentara Amerika, shot berwarna hitam putih

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 20

Page 25: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

MS slow motion: Wilson jatuh tertembak, shot berwarna hitam putih

MCU: Charlie dan Kovic bertengkar, posisi Charlie di kiri frame, Kovic sebelah kanan frame

MCU: Wilson yang tewas tertembak, shot berwarna hitam putih

Zoom in BCU: Kovic yang kaget, kamera bergerak tidak stabil, shot berwarna hitam putih

BCU: Kovic bermimpi

BCU: Charlie marah, posisi Charlie di kanan frame

BCU: Kovic bermimpi

FS: tentara lain menghampiri Wilson yang tertembak, shot berwarna hitam putih

Gambar 5. Kovic bermimpi saat dia menembak Wilson

Dalam adegan mimpi Kovic tentang kejadian perang, yakni saat dia dan batalionnya salah menyerang sebuah kampung di Vietnam yang mengakibatkan korban penduduk sipil berjatuhan, serta ketika Kovic salah menembak rekannya sendiri Wilson, dibuat dengan fast cutting. Selain itu, untuk membedakan antara dunia mimpi dan dunia nyata ketika Kovic tertidur, warna dibedakan. Inilah pertama kalinya Stone terlihat melakukan contrast graphic pada sebuah scene. Urutan dalam dimensi temporal juga tidak bergerak secara linear lagi dalam penceritaannya. Penggunaan frekuensi shot sudah mulai diterapkan untuk mendramatisasi cerita.

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 21

Page 26: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

BCU: Kovic marah, posisi Kovic di kiri frame

BCU: Charlie dan Kovic saling meludah, posisi Charlie di kiri frame, Kovic sebelah kanan frame

BCU: Charlie marah, posisi Charlie di kanan frame

Gambar 6. Kovic bertengkar dengan Charlie

Pada adegan pertengkaran antara Kovic dengan Charlie, pada awalnya sambungan shot mengedepankan kesinambungan shot dengan memperhatikan aturan 180 derajat, serta setia kepada keempat dimensi editing dalam penyajiannya. Tapi, Stone melakukan hal yang cukup radikal dalam adegan ini, yaitu dengan diawali Charlie yang meludah ke wajah Kovic, mereka akhirnya bertengkar. Pertengkaran ini menggunakan aturan 360 derajat pada pengambilan gambar, serta penempatan urutan shot-nya. Dalam two shot, Kovic berada di posisi kanan, namun shot selanjutnya disambung dengan big close-up Charlie yang juga di posisi kanan.

Eye line match serta posisi dari Kovic dan Charlie diabaikan pada scene ini. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ketidaknyamanan pada kedua tokoh yang diharapkan berimbas pada penontonnya. Di sini, Stone mulai bermain dalam psikologi visual seperti yang pernah dilakukan Ozu dalam film Early Summer (1951). Kamera bermain pada posisi 360 derajat, yang mengakibatkan subjek dalam shot berpindah posisi dari kanan dan ke kiri pada scene yang sama.

Hal ini tentu dilakukan dengan pertimbangan khusus dan hanya diterapkan pada scene-scene tertentu. Adegan pertengkaran Charlie dan Kovic dibuat dengan aturan 360 derajat untuk menggambarkan keterpurukan mereka, yaitu penggambaran bagaimana mereka dibuang setelah berjuang untuk negaranya. Tapi di sisi lain, scene ini juga menjadi titik mula perubahan pandangan hidup Kovic terhadap negaranya. Sosok Kovic yang tadinya penuh patrotisme akhirnya mulai beralih melawan negaranya sendiri dan bergabung dengan para veteran perang lain untuk memperjuangkan hak-haknya.

• Natural Born Killers (1994)

Lompatan besar pada gaya tutur editing Stone terlihat nyata ketika dia membuat Natural Born Killers. Film-film terdahulunya, atau bahkan sesudahnya, mengedepankan continuity editing dalam menyampaikan pesan di dalam filmnya, yang dengan kata lain sangat mematuhi keempat dimensi editing. Tapi di film ini, Stone lebih banyak menggunakan konsep alternative to continuity editing: graphic and rhytmic Posibilities dan alternative to continuity editing: discontinuty spatial dan temporal.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 22

Page 27: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

ELS: Padang tandus, shot berwarna hitam putih

CU: Ketel listrik menuangkan kopi

ELS: Serigala di padang tandus, shot berwarna hitam putih

ELS: Kereta melintas, shot berwarna merah

CU: Ular, shot berwarna hitam putih

CU: Burung elang

Gambar 7. Opening film Natural Born Killers

Gambar 8. Koboy tiba di cafe

Film ini memulai susunannya melalui montage beberapa binatang yang menjadi predator di alamnya masing-masing. Melalui bahasa semiologi, Stone menampilkan padang pasir yang keras untuk menggambarkan suasana film secara keseluruhan, lalu dilanjutkan dengan binatang buas lainnya, seperti serigala dan ular. Di samping itu, ia juga mengedepankan graphic contrast untuk menyatukan shot-shot-nya, yaitu dengan menabrakkan warna hitam-putih, natural, merah, lalu kembali ke warna natural. Susunan shot yang demikian memiliki keterhubungan dengan tema film ini sendiri, mengenai predator yang terlahir secara alami.

CU: Kalajengking dilindas mobil pick up

BCU: Rusa mati, shot berwarna hitam-putih

Tilt up ELS: Mobil pick up menuju kafe

FS: Tiga orang koboi keluar dari mobil yang berasap

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 23

Page 28: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Adegan tiga koboi yang mendatangi kafe diawali dengan mobil mereka melindas kalajengking. Kemudian, di sini ditambahkan non-diegetic insert berupa shot rusa yang mati dengan warna hitam-putih untuk lebih jelas perbedaannya. Stone memberikan isyarat melalui shot ini bahwa ke depannya ketiga koboy ini akan menjadi korban dari Mickey dan Mallory Knox.

MS: Mickey berbicara dengan koboi di meja bar

BCU: Mickey mendengarkan ledekan koboi terhadap Mallory,

shot berwarna hitam-putih

BCU: Wajah Mickey penuh darah

Gambar 9. Mickey Knox berbicara dengan koboy

Pemanfaatan non-diegetic insert untuk memperlihatkan niat Mickey Knox membunuh koboi disajikan dengan fast cutting, untuk memperjelasnya kepada penonton. Dimensi grafis melalui warna yang ditabrakkan di sini membentuk opini baru di benak penonton.

Gambar 10. Piring kue pai

Gambar 11. Scagnetti di pom bensin

CU: Kue pai berwarna hijau dipotong dengan garpu

MCU: Scagnetti di pom bensin (menggunakan kamera 35mm)

CU: Lampu neon berwarna hijau

MCU: Scagnetti di pom bensin (menggunakan kamera 16mm)

Di antara sambungan yang menabrakkan sisi grafis untuk menciptakan ketidaksinambungan gambar, Stone menggunakan cara lain untuk menciptakan kesinambungan dengan memanfaatkan kesamaan warna objek di dalam shot. Dari susunan ini bisa kita lihat, shot kue pai yang berwarna hijau muda disambungkan dengan shot lampu yang juga berwarna hijau muda.

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 24

Page 29: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Pengenalan tokoh Scagnetti dilakukan dengan metode jump cut. Yang lebih fenomenal lagi, Stone menggabungkan film 35mm dengan 16mm di sini, sehingga terlihat perbedaan grafis yang kentara. Tujuan utama penyambungan ini untuk memperlihatkan kepada penonton bahwa sosok Scagnetti bukanlah polisi yang baik. Ia tidak berbeda dengan karakter sakit lainnya di film ini.

BCU: McClusky memperhatikan Scagnetti

CU: Scagnetti menandatangani bukunya

MCU: Gale mewawancari Mickey

ECU: McClusky menjulurkan lidah, shot berwarna hitam-putih

CU: McClusky memperhatikan Scagnetti, shot berwarna hitam putih

MCU: Gale mewawancari Mickey Knox, shot berwarna hitam-putih

Two shot: Scagnetti dan sipir penjara

Two shot: Scagnetti dan McClusky

CU: Mickey Knox

Gambar 12. Scagnetti bertemu McClusky di penjara

Gambar 13. Gale mewawancarai Mickey Knox

Tokoh kepala penjara McClusky diberikan porsi yang sama dengan karakter yang lain. Sambungan antar shot ditabrakkan dari sisi dimensi grafisnya. Kesinambungan dalam dimensi ritmis pun dipatahkan. Posisi subjek sudah tidak jelas posisinya.

Tokoh Gale pun digambarkan dengan menabrakkan dimensi grafis antar shot-nya. Semua kesinambungan diabaikan, sudut pandang ketidakwarasan tokoh disajikan dengan frame berwarna hitam-putih.

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 25

Page 30: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

MCU: Scagnetti ketakutan CU: Orang menjerit MCU: Mallory membidik senjata

Gambar 14. Mallory membunuh Scagnetti

Dalam adegan di Gambar 14, non-diegetic insert ditampilkan melalui shot orang berteriak, untuk menggambarkan ketakutan Scagnetti akan ajalnya. Di sisi lain, Mallory siap membidik dengan senjata ke arah Scagnetti.

MLS: Gale berdoa, shot berwarna hitam-putih

CU: Gale berdoa

Zoom in: Mickey dan Mallory Knox menembakkan senjata, shot

berwarna hitam-putih

Two Shot: Mickey dan Mallory Knox membidik senjata

FS: Dua burung terbang di angkasa

ECU: Ekspresi mulut Gale yang tertembak, shot berwarna hitam-

putih

MLS: Gale berdoa, shot berwarna hitam-putih

MS: Mickey dan Mallory Knox membidik senjata ke arah Gale

MLS: Gale tertembak, shot berwarna hitam-putih

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 26

Page 31: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Gambar 15. Mickey dan Mallory Knox membunuh Gale

BCU: Kamera pan kanan ke arah Mallory yang menembak,

shot berwarna hitam-putih

BCU: Kamera pan kiri dengan cepat ke arah Mickey Knox, shot

berwarna hitam-putih

MS: Gale tertembak, shot rekaman kamera video

MLS: Gale tertembak, shot berwarna hitam-putih

MCU: Iblis tertawa

Two shot: Mickey dan Mallory menembakkan senjata

Susunan gambar pada adegan pembantaian Gale oleh Mickey dan Mallory semakin memperjelas pola editing Stone pada film ini. Permasalahan psikologis terhadap karakter yang ada dalam shot ia gambarkan dengan warna hitam-putih, seperti ketakutan Gale akan kematiannya, serta naluri predator pada diri Mickey dan Mallory Knox yang membidik senjatanya ke arah Gale. Selain itu, ia juga menambahkan dua shot non-diegetic insert: shot yang pertama adalah burung terbang di udara yang melambangkan akan terbangnya nyawa Gale pada adegan ini, sedangkan shot iblis melambangkan sifat dasar dari Mickey Knox yang tidak punya rasa bersalah terhadap kejahatan yang ia lakukan. Warna alami pada shot lebih menggambarkan peristiwa di dalam adegan itu sendiri.

***

Pada Film Platoon, cara bertutur Stone mengedepankan empat dimensi editing untuk menghasilkan continuity editing. Untuk tema film perang seperti ini, bisa dilakukan fast cutting dengan tujuan untuk mendramatisasi ceritanya. Namun, dari apa yang bisa terlihat dari adegan ke adegan, semua hal diperlihatkan dengan irama yang konsisten, framing yang stabil, dalam ruang yang berdampingan, yang sesuai dengan urutan cerita yang terus maju ke depan.

Dengan melakukan hal ini, dapat dikatakan bahwa Stone ingin penontonnya untuk tetap fokus pada karakter-karakter yang ada di dalam film tersebut. Setiap karakter menempati porsi yang sama dalam setiap penggambaran jenis shot-nya, seperti pada karakter Sersan Barnes, Sersan Elias, dan Letnan Wolfie yang tetap menjadi karakternya hingga akhir film.

Sedikit perbedaan terlihat nyata pada karakter Taylor, yang mengalami tekanan psikologis selama perang, sehingga karakternya berubah menyerupai sosok yang ia benci. Taylor menjadi pemabuk, seperti yang biasa Elias lakukan, tenang dan pasif, seperti yang diperlihatkan Wolfie, dan yang paling menyedihkan, ia pun menjadi Barnes,

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 27

Page 32: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

sosok keras yang suka berperang dan membunuh temannya sendiri. Penggambaran perubahan karakter Taylor diperlihatkan tahap demi tahap dalam setiap scene-nya, dan semua itu dilakukan dengan continuity editing yang menempatkan keempat dimensi editing pada posisi yang berkesinambungan.

Sementara itu, film Born on the Fourth of July lebih banyak menceritakan perubahan karakter tokoh pasca-perang Vietnam. Tokoh Ron Kovic digambarkan oleh Stone dengan menggunakan continuity editing, yang tentunya mengedepankan keempat dimensi editing. Untuk irama dalam adegan perang, fast cutting dengan shot yang tidak stabil mulai diperlihatkan di sini untuk lebih mendramatisasi cerita.

Dalam dimensi grafis, warna mulai dibedakan ketika menggambarkan adegan mimpi. Dalam hal ini, warna hitam-putih ditampilkan, sehingga memperjelas gambaran akan mimpi itu sendiri. Stone pun melakukan hal yang berbeda untuk menggambarkan Ron Kovic yang mengingat masa lalunya. Pada adegan flashback ini, ia tetap menggunakan warna yagn sama, hanya saja ia menggunakan transisi flash kamera.

Menyeberangi screen direction juga dilakukan dalam film ini untuk menekankan keadaan psikologis yang bermasalah dari tokoh Ron Kovic dan Charlie. Stone menggunakan aturan 360° pada penggambaran adegan ini, yang membuat disorientasi posisi pada pemainnya.

Kalau pola editing dalam film Platoon dan Born on the Fourth of July mengedepankan continuity editing dalam jenjang urutan shot-nya supaya penonton mudah memahaminya, maka pada film Natural Born Killers, Stone mengabaikan kesinambungan keempat dimensi editing. Dalam setiap scene yang dibuatnya, setiap shot ditabrakkan satu sama lain untuk menciptakan makna bagi penontonnya. Bila di dua film sebelumnya Stone membedakan peran protagonis dan antagonis, serta menggambarkan perkembangan dan perubahan karakter tokoh di dalamnya, maka dalam film Natural Born Killers ia menjadikan mata penonton mewakili kegilaan dari setiap potongan yang ditampilkan.

Semua tokoh utama yang ada di dalam film ini sama-sama memiliki permasalahan psikologis, yaitu setiap karakter yang diangkat adalah predator dalam kehidupan. Mereka hanya berlindung di balik status pekerjaan mereka masing-masing. Yang terlihat jujur dalam memperlihatkan dirinya sendiri tercermin dalam sosok dua pembunuh berantai, Mickey dan Mallory Knox.

Tokoh ayah Mallory, jauh dari cerminan sosok orang tua, dengan berulang kali mencabuli anaknya sendiri, dan menjadi monster bagi keluarganya sendiri. Tokoh detektif Jack Scagnetti, yang seharusnya menjadi tokoh protagonis di film ini, tidak lebih dari seorang predator yang berlindung di balik lencana dan seragam polisinya. Trauma masa lalu akan kematian ibunya yang tewas di tangan pembunuh berantai tidak menjadikan sosok Scagnetti menjadi pelindung wanita. Scagnetti malah menjadi sosok pembunuh berantai tersebut, terobsesi dengan Mallory Knox secara seksual dan melampiaskan naluri jahatnya pada wanita tuna susila dengan berlaku kasar dan membunuhnya. Wayne Gale, yang hanya mementingkan ketenaran dan tingginya rating acara televisinya sendiri, melakukan berbagai cara untuk meraih tujuannya. Medium televisi menjadikan semua hal menjadi abu-abu. Para pembunuh berantai menjadi idola karena acara yang ia buat. Media televisi membaut seorang pesakitan menjadi pahlawan bagi orang normal yang lain. Kemudian, Warden Dwight McClusky, kepala penjara yang menjadikan jabatannya untuk meraih ketenaran, memperlihatkan sosok umum kepala penjara yang otoriter terhadap setiap tawanan yang masuk ke dalam penjaranya.

Pola editing yang dilakukan Stone pada film Natural Born Killers sangat mendetail. Ia menggambarkan permasalahan psikologis setiap tokoh yang muncul dalam frame dengan warna hitam-putih, selain juga menggunakan framing shot yang tidak simetris. Simbolisasi banyak diperlihatkan di sini untuk membuat penonton berpikir dan menganalisis setiap jenjang shot yang ia urutkan.

Perkembangan Pola Editing pada Tiga Film Oliver Stone

Perkembangan pola editing yang dilakukan dalam ketiga film Oliver Stone tersebut terjadi

Tata Artistik Film Religi Indonesia yang Syar’i | 28

Page 33: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

secara cukup drastis. Pada film Platoon, penyajian editing menggunakan continuity editing yang tentunya memaksimalkan kesinambungan keempat dimensi editing. Hal ini dilakukan agar penonton mampu menyimak dengan mudah pesan yang ingin disampaikan oleh Stone, karena apa yang terlihat pada film Platoon diambil dari kacamata kehidupan Stone sendiri ketika dia menjalani wajib militer di Vietnam. Fokus terletak pada perkembangan karakter Taylor yang sebelumnya memiliki karakter yang manusiawi menjadi karakter yang tidak memiliki perasaan. Pesan utama dalam film ini adalah bahwa musuh terbesar tentara Amerika ketika berperang melawan Vietnam adalah dirinya sendiri.

Film Born on the Fourth of July memberikan pesan kepada penontonnya bahwa patriotism tidak hanya semata membela negara dengan mengorbakan jiwa raga. Patriotisme juga bisa dilakukan dengan melawan ketidakadilan negara pada rakyatnya sendiri. Dengan menggunakan keempat dimensi editing untuk menciptakan continuity editing, Stone sudah mulai memanfaatkan simbol-simbol untuk membuat penontonnya berpikir. Di sisi lain, film ini pun sudah mulai menabrakkan shot yang satu dengan yang lainnya.

Perkembangan editing film Natural Born Killers yang dilakukan oleh Stone bisa dibilang cukup radikal. Setelah menerapkan continuity editing pada dua film sebelumnya, pada film ini ia lebih mengedepankan alternative to continuity editing dengan graphic and rhythmic possibilities dan discontinuity spatial and temporal. Bila di film-film lainnya ia melakukan penekanan dramatik di dalam adegan, dalam Natural Born Killers, ia mendramatisasi adegan dengan sambungan shot yang menabrakkan gerak, warna, posisi, sehingga membuyarkan kesinambungan itu sendiri. Apa yang ingin diperlihatkan oleh Oliver Stone dengan cara seperti ini adalah bahwa setiap karakter di dalam film ini bermasalah, tidak hanya tokoh utamanya saja.

Hal yang menjadi benang merah di antara ketiga film ini sebenarnya adalah trauma dari semua karakter utama di masing-masing film terhadap keadaan yang membuat mereka berubah menjadi liar, ganas, dan kehilangan orientasi dalam

hidupnya. Mereka adalah korban dari kondisi dunia yang semakin lama semakin hancur moral dan etikanya. Akan tetapi, meski dengan tema besar yang memiliki kesamaan ini, Oliver Stone, melalui editing, dapat membangun kesan yang berbeda-beda dari setiap filmnya.

Daftar Pustaka

Buku

Bordwell, David dan Kristin Thompson. Film Art: An Introduction, 10th edition. Oxford: Focal Press. 2013.

Dancyger, Ken The Technique of Film and Video Editing: History, Theory, and Practice, 4th

edition. Oxford: Focal Press. 2007.

Giannetti, Louis. Understanding Movies 9th

edition. New Jersey: Prentice Hall. 2013.

Reisz, Karel dan Gavin Millar. The Technique of Film Editing, 2nd edition. Oxford: Focal Press. 2010.

Thompson, Roy dan Christopher J. Bown. Grammar of the Edit, 2nd edition. Ohio: Mc-Graw Hill. 2009.

Film

Platoon. Sut. Oliver Stone. Pem. Tom Berenger, Willem Dafoe, Charlie Sheen. Hemdale, 1986.

Born on the Fourth of July. Sut. Oliver Stone. Pem. Tom Cruise, Raymon J. Barry, Caroline Kava. Ixtlan, 1989.

Natural Born Killers. Sut. Oliver Stone. Pem. Woody Harrelson, Juliette Lewis. Warner Bros., Regency Enterprises, Alcor Films, Ixtlan, New Regency Pictures, J D Productions, 1994.

Pola Editing Dalam Tiga Film Oliver Stone | 29

Page 34: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Page 35: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Depth of Field:Sebuah Telaah Historis Ruang

KetajamanJulita Pratiwi

[email protected]

Abstrak

Dalam ranah sinematografi, depth of field dapat diartikan sebagai ruang ketajaman pada sebuah gam-bar. Tulisan ini tidak meletakkan perhatian yang besar perhatian yang besar terhadap aspek teknis depth of field, melainkan berfokus pada aspek historis yang melatari lahirnya konsep tersebut. Tulisan ini hendak mencari tahu pemahaman “ruang ketajaman” dalam ranah visual lain sebelum film, yakni seni lukis dan fotografi. Bagaimana ruang ketajaman ini dipahami dalam ranah seni lukis dan fotogra-fi? Apakah ada pemahaman yang membedakannya saat dikembangkan di ranah film?

Abstract

In cinematography, depth of field is understood as the apparent sharpness in front of and behind the exact point of focus. This paper will not pay much attention in the technical aspect of depth of field, but it aims to focus on the historical aspect that becomes the backdrop of its development. This paper attempts to figure out the basic understanding of depth of field in other visual fields that preceeded cinema, namely the art of painting and photography. How did the concept of depth of field develop in painting and photography? Is there any difference between that understanding with the one we recognize in cinema?

Kata Kunci

depth of field, perspektif, ketajaman imaji

Keyword

depth of field, perspective, image sharpness

Pendahuluan

Pada pemetaan studi sinematografi, depth of field kerap diletakkan studinya di bawah elemen lensa, bersamaan dengan pemahaman tentang perspektif, focal length, diafragma, teknik deep focus, dan lainnya. Namun, depth of field lebih sering hanya ditelaah dari segi teknisnya semata. Apa saja yang mempengaruhinya? Bagaimana perhitungan matematisnya? Sejumlah pertanyaan semacam ini tidak lepas dari pendekatan teknis. Tentunya, terdapat begitu banyak literatur pengantar sinematografi yang telah memaparkan jawaban dari pertanyaan semacam itu. Oleh sebab itu, tulisan ini akan memiliki pendekatan lain di luar segi teknis, yakni pendekatan historis.

Pendekatan historis dalam menelaah depth of field dirasa menarik dikarenakan masih terhitung sedikit pemikir yang meletakkan perhatiannya di sini. Bila hendak berbicara mengenai apa yang melatari lahirnya depth of field, tentunya erat kaitannya dengan sejarah visual peradaban manusia. Peradaban telah mencatat bahwa indra penglihatan memiliki peranan yang mendasar dalam sejarah peradaban

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 31

Page 36: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

manusia, ketimbang indra lainnya. Bukan hanya itu, tetapi juga konsepsi ketajaman—bagaimana peradaban manusia menempatkan ketajaman sebagai ide akan kenormalan dalam penglihatan. Mata dianggap normal bila mampu menagkap objek secara tajam dan jelas. Bila mata menangkap objek secara buram dan tidak jelas, mata dianggap mengalami kecacatan. Oleh karena itu, dibutuhkan lensa kacamata sebagai instrument yang mampu mengembalikan mata ke esensi norma—dapat melihat dengan tajam dan jelas. Ilustrasi ini dapat memberikan gambaran akan konsepsi ketajaman dalam peradaban manusia.

Dengan demikian, menelaah depth of field dengan pendekatan historis dapat dikatakan penting karena dengan begitu, kita dapat menelaah bagaimana konsep ruang dan ketajaman memiliki peranan yang besar terhadap perkembangan sejarah visual. Selain itu, konsepsi akan ketajaman pun turut membentuk wacana realisme dalam peradaban manusia. Hal ini terkait dengan upaya manusia dalam mengejar ide-ide akan realitas pada ranah seni lukis, fotografi, hingga film.

Dalam tulisan ini, ada dua pertanyaan yang menjadi fokus penting: 1) Bagaimana ruang ketajaman hendak dibangun konsepsinya di sepanjang sejarah perkembangan visual?; 2) Apakah ada konsepsi yang membedakannya saat dikembangkan di ranah film?

Pembahasan

Seni Lukis: Ide Mengenai “Ruang” dan “Ketajaman”

Gambar 1. Corong visual Alberi

Berbicara tentang keterkaitan seni lukis dalam perbincangan mengenai depth of field tentunya tidak lepas dari usaha seni lukis dalam membentuk konsepsi tentang ruang maupun ketajaman. Tanpa adanya konsepsi dasar mengenai kedua hal ini, maka konsep mengenai depth of field tidak akan ada.

Konsepsi mengenai ruang dalam sejarah seni lukis tidak pernah lepas dari usaha manusia dalam menciptakan ilusi tiga dimensi pada bidang dua dimensi. Perkembangan ilmu pengetahuan pada era Renaisans memiliki peranan yang besar terhadap penciptaan ilusi ini dan merupakan tonggak perubahan yang cukup besar pada wajah seni lukis Barat. Penciptaan ilusi kedalaman ini sering disebut dengan perspektif.

Alberti termasuk estetikawan era Renaisans yang berhasil menjadikan perspektif1 sebagai bagian dari metode yang dapat diterapkan oleh para pelukis pada masa itu. Dalam risalah yang ia tulis, De Pictura (1436), ia memaparkan bahwa perspektif linear merupakan turunan dari studi optik—ia melakukan studi mengenai cara manusia melihat melalui sebuah corong.

Corong visual mata ditentukan oleh jauh atau dekatnya objek visual. Semakin kecil sudut corong visual penglihatan, semakin kecil objek. Begitu pula sebaliknya. Titik imajiner yang terletak pada ujung pandangan mata disebutnya sebagai “titik pusat” (centric point), yang kemudian dikenal dengan sebutan “titik lenyap” (vanishing point) (Suryajaya, 2015: 214). Apabila dari titik pusat itu ditarik garis horizontal, maka akan tercipta dua bidang visual dengan luas yang sama. Garis inilah yang menciptakan ilusi kedalaman pada bidang dua dimensi. Metode ini lambat laun mulai diterapkan oleh para pelukis era awal Renaisans, seperti Fra Angelico dan Massacio. Kemudian, bentuk mapannya dicapai oleh para pelukis seperti Da Vinci, Raphael, dan Michaelangelo, pada masa high Renaissance.

Bilamana perspektif erat kaitannya dengan cara

1 Jauh sebelum Alberti pada abad 13 M, ada Vit-ruvius (1 M) yang telah menerapkan perspektif pada studi arsitektur. Tetapi kala itu belum adanya usaha untuk men-erapkan perspektif sebagai metode seni lukis.

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 32

Page 37: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

manusia memahami ruang, maka kinerja optik erat kaitannya dengan cara manusia memahami ketajaman. Tercatat seorang estetikawan Timur bernama Ibn Al-Haytham yang berkontribusi dalam merumuskan proses penglihatan manusia. Pemikirannya ia tuangkan dalam sebuah risalah yang berjudul Kitab Al Manazir (“Buku Tentang Penglihatan”). Untuk mengetahui hal ini, Al-Haytham mengupas pemikiran para pendahulunya yang mencoba merumuskan bagaimana sebuah objek dapat dilihat oleh mata manusia.

Gambar 2. Camera lucida

Teori penglihatan yang ia rumuskan amat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu optik di Barat, khususnya saat risalah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Aspectibus pada 13 Masehi. Pada abad yang sama, mulai ada pula kesadaran para teknis untuk menciptakan instrumen yang memudahkan pelukis untuk melukiskan detail subjek. Instrumen ini menggunakan kaca cekung (concave mirror) untuk menghadirkan proyeksi dari subjek. Tercatat pelukis yang mulai menggunakan instrumen ini di antaranya: Van Eyck, Ingres, dan Carravagio. Instrumen ini nantinya akan dikenal sebagai camera lucida. Kehadiran camera lucida dalam dunia seni lukis menandakan kesadaran pelukis akan pentingnya ketajaman subjek dalam sebuah lukisan.

Penemuan perspektif dalam sejarah seni lukis memberikan kontribusi yang besar terhadap konsepsi tentang ruang dalam perkembangan visual. Selain itu, diterapkannya optic dalam praktik seni lukis memperlihatkan upaya seniman ataupun ilmuwan dalam menjadikan ketajaman sebagai suatu hal yang penting dalam penciptaan visual.

Fotografi: Lahirnya Depth of Field Sebagai Sebuah Istilah Mekanis

Istilah depth of field atau kedalaman ruang mulai hadir bersamaan dengan perkembangan fotografi pada pertengahan abad 17, saat visual mampu mengimitasi realita sebagaimana adanya dan mampu direproduksi secara massal. Namun, kesadaran atas istilah ini belum tersebar.

Lensa dianggap sebagai instrumen yang mendasar bagi fotografi. Perlu disadari bahwa prinsip kerja lensa fotografi mengingatkan kita pada prinsip kerja corong visual Alberti dan konsep optik Ibn Al-Haytham. Rancangan lensa fotografi mendapat sumbangan besar dari hasil pemikiran dua pemikir tersebut. Dengan kata lain, lensa fotografi menjadi suatu pengembangan yang pesat dan kompleks dari camera lucida. Lensa fotografi bukan hanya sebagai instrument yang meneruskan cahaya ke kamera, tetapi juga instrumen yang mengatur porsi masuknya cahaya dan ketajaman objek yang ditangkap oleh kamera.

Bilamana dahulu peran instrumen optik hanya sebagai alat bantu bagi pencipta visual (pelukis), kini instrumen optik (lensa) bukan lagi sekedar alat bantu, tetapi telah tergabung menjadi instrumen mekanis (kamera) yang turut menghasilkan gambar. Ini juga yang pada akhirnya membuat konsepsi akan ruang dan ketajaman dalam seni lukis menjadi berbeda saat masuk ke dalam ranah fotografi.

“When a painter fails to achieve such realism up to photographic standards, the difficulty is merely technological, one which, in principle, can be overcome – by more attention to details, more skill with the brush, a better grasp of the “rules of perspective.” Likewise, photographs aren’t necessarily very realistic in these sort of ways. Some are blurred and badly exposed. Perspective

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 33

Page 38: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

“distortions” can be introduced and subtleties of shading eliminated by choice of lens or manipulation of contrast. Photographic realism is not essentially unavailable to the painter, it seems, nor are photographs automatically endowed with it. It is just easier to achieve with the camera than with the brush.” (Walton, 2008:18)

Ada dua hal yang membedakan konsepsi akan ruang dan ketajaman dalam seni lukis dengan konsepsi dalam fotografi. Pertama, ruang atau perspektif dalam seni lukis amat ditentukan oleh skill pelukis dan bidang kanvasnya. Sementara dalam fotografi, perspektif pada gambar yang dihasilkan ditentukan oleh skill fotografer, lensa, dan bahan baku film pada kamera. Lensa memiliki peranan yang cukup besar terhadap perspektif yang ada pada gambar. Focal length dan sudut lensa yang beragam turut menghasilkan perspektif yang berbeda pula. Belum lagi, ada pula saat ditemukannya perspektif yang terdistorsi seperti yang dikatakan Walton di atas. Problema semacam ini tidak ditemukan dalam ranah seni lukis. Selain lensa, tentunya ukuran bahan baku (35mm, medium format) amat menentukan cakupan gambar yang mampu tertangkap, layaknya sebuah kanvas.

Kedua, perihal ketajaman. Bilamana ketajaman dalam seni lukis ditentukan oleh skill melukis, maka dalam fotografi, ini ditentukan oleh pemahaman fotografer terhadap prinsip kerja lensa tersebut. Fotografer tidak membuat ketajaman layaknya

seorang pelukis, tetapi memilih ruang mana yang ingin ditajamkan dengan lensanya. Di sinilah depth of field berbicara. Sama halnya dengan perspektif yang memungkinkan gambar menjadi terdistorsi, di sini pun gambar dapat pula menjadi blur atau tidak tajam. Ketidaktajaman di sini bisa menjadi problema teknis, atau juga pilihan yang sengaja dibuat oleh fotografer.

Di dalam lensa, terdapat gerigi yang mengatur sedikit atau banyaknya cahaya yang masuk, dengan cara membuka dan menutup. Lubang ruang yang dilalui cahaya inilah yang disebut aperture. Aperture dhitung dengan satuan f-stop. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antara depth of field dan aperture.

Dapat dipahami bahwa semakin besar angka f-stop (bukaan gerigi mengecil), maka semakin luas depth of field yang didapat. Dan sebaliknya, apabila angka f-stop menjadi lebih kecil (bukaan gerigi membesar), maka semakin sempit depth of field yang didapat. Hal ini memperjelas peran aperture dalam mempengaruhi ketajaman gambar. Namun, selain aperture, focal length pun turut memengaruhi depth of field.

Lensa dengan jangkauan sudut yang luas, atau dalam hal ini lensa wide dengan focal length 16mm, 24mm, atau 35mm, cenderung menghasilkan gambar dengan depth of field yang luas. Ini sering kali disebut dengan deep focus—sebuah teknik yang mampu menghasilkan ruang ketajaman yang tak terbatas. Teknik ini kerap digunakan

Gambar 3. Hubungan depth of field dan aperture

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 34

Page 39: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

oleh fotografer saat dirinya merasa fotonya akan berbicara, bila ruang tajam diperlihatkan dari foreground hingga background. Ada pendekatan informatif yang ditawarkan oleh teknik ini.

Lensa dengan jangkauan sudut yang sempit, atau dalam hal ini lensa tele dengan focal length 100mm, 135mm, 200mm, dan seterusnya, cenderung menghasilkan gambar dengan depth of field yang sempit. Ini kerap disebut dengan teknik shallow focus, yaitu yang menghasilkan ruang ketajaman tipis. Teknik ini memiliki cara berbicara yang berbeda dengan teknik deep focus. Fotografer yang menggunakan teknik ini tidak terlalu meletekkan perhatian besar akan ketajaman dari foreground hingga background, ataupun peran foto yang bersifat informatif. Dengan teknik ini, ada pendekatan estetis yang ditawarkan.

Dapat disimpulkan bahwa ruang dan ketajaman dalam ranah seni lukis yang terkesan sebagai dua konsepsi terpisah menjadi konsepsi yang tak dapat dipisahkan ketika memasuki ranah fotografi. Kamera dengan kompleksitasnya memiliki andil yang besar dalam menggabungkan kedua konsepsi yang sebelumnya tampak terpisah itu. Saat berbicara mengenai ketajaman tentunya tidak dapat dipisahkan dari ruang-ruang mana yang hendak dibuat tajam? Foreground, middleground, atau background? Depth of field lahir sebagai istilah mekanis untuk menjelaskan pemilihan ruang ketajaman tersebut. Focal length yang merupakan varian pada lensa, dengan perspektifnya masing-masing, dapat mempengaruhi sifat ketajaman yang berbeda pula: apakah memiliki kecenderungan deep focus atau shallow focus?

Sinematografi: Peran Ruang Ketajaman dalam Sebuah Film

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, telah disadari adanya jejak kesadaran yang kuat akan ruang ketajaman dalam ranah seni lukis maupun fotografi. Seni lukis memberikan kontribusi yang besar terkait dengan usahanya dalam membangun konsepsi akan ruang dan ketajaman. Konsepsi mengenai ruang dalam seni lukis amat terasa saat dirumuskannya dan diterapkannya kaidah perspektif pada masa Renaisans. Tak jauh dari itu, konsepsi mengenai ketajaman mulai terasa saat optik mulai diterapkan dalam seni

lukis. Baik ilmuwan maupun pelukis sama-sama mencari tahu peran optic dalam mempermudah para pelukis untuk menangkap detail maupun ketajaman pada lukisan yang hendak dibuatnya.

Kaitan antara dua penemuan terpenting ini dalam ranah sinematografi tentunya menjadi jelas. Perspektif menjadi perlu dipahami karena pada dasarnya depth of field menuntut seorang sinematografer dalam memahami kedalaman ruang yang hendak direkamnya menggunakan kamera. Bagaimana caranya memilih ruang mana yang ingin ditangkap dengan tajam, jika sinematografer tidak memahami konsep kedalaman ruang? Selain itu, kerja optik menjadi penting diakrenakan dari situlah seorang sinematografer memahami prinsip ketajaman. Mata pada dasarnya memiliki kemampuan untuk memfpokuskan diri pada objek mana yang ingin ditangkap sejarah tajam dan mana yang tidak, layaknya lensa pada kamera.

Namun, sebelum menelaah lebih jauh, perlu diingat peran kunci fotografi di antara seni lukis dan film. Fotografi menjadi kunci karena melaluinyalah istilah depth of field lahir. Kehadiran instrumen mekanis yang bernama kamera ini mengharuskannya melahirkan suatu istilah-istilah yang mampu mendeskripsikan fiturnya dan menunjang kompleksitasnya. Depth of field tidak semata-mata lahir sebagai istilah tunggal, tetapi bersamaan dengan istilah deep focus, shallow focus, focal length, aperture, dan lainnya yang terkait. Pada era seni lukis, belum ada tuntuan untuk memberikan istilah atau nama akan segala sesuatu yang terkait dengan optik dan ketajaman. Hal ini menjadi wajar karena memang belum terciptanya bentuk instrumen kompleks seperti kamera.

Film, atau dalam hal ini sinematografi, cukup banyak mengadaptasi istilah yang sudah lebih dulu dikembangkan dalam ranah fotografi. Adapun catatan yang membedakan, yakni sinematografi tidak berhadapan dengan gambar diam (still image), tetapi gambar bergerak (moving image). Gerak di sini posisinya tidak hanya yang merakam 24 frame per detik, tetapi juga gerak subjek yang ada dalam frame dan pergerakan dalam merekam gambar. Ketajaman pada gambar dalam film ditantang karena adanya pergerakan. Pergerakan inilah yang membedakan

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 35

Page 40: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

film dengan medium visual pendahulunya. Hal ini yang membuat depth of field secara ketat membutuhkan perhitungan matematis. Ini pula yang menjawab mengapa depth of field begitu erat perbincangannya dengan pendekatan teknis.

Hal lain yang membuat konsepsi depth of field dalam film menjadi berbeda dengan fotografi, yakni keterikatan dengan unsur naratif. Bilamana penggunaan teknik deep focus maupun shallow focus dalam fotografi mengikuti apa yang diinginkan atau dibutuhkan sang fotografer, di dalam film, penggunaan kedua teknik tersebut diikat dengan fungsi visual seabgai penunjang naratif film. Dengan kata lain, mereka terikat dengan kaidah menuturkan cerita (story-telling). Seberapa besar porsi ruang di dalam frame perlu diperlihatakan kepada penonton sebagai bagian dari penceritaan?

Hal semacam ini pernah dipaparkan oleh teoretikus film Andre Bazin dalam esainya “The Evolution of the Language of Cinema”. Namun, pemikiran yang ditawarkan oleh Bazin lebih kepada peran depth of field sebagai agenda politis dari tradisi realis di dalam film. Ia meyakini film yang menggunakan teknik deep focus pada adegannya mampu menghasilkan efek realis kepada penontonnya dibandingkan dengan penggunaan teknik montage. Ia menyebut sejumlah pergerakan sinema yang konsisten dengan teknik ini, seperti Neorealisme Italia, serta sejumlah film yang lahir pada era yang sama, seperti 12 Angry Men (1957, Sidney Lumet).

Bagi Bazin, film yang meletakkan kekuatannya pada teknik montage memiliki kecenderungan mendikte penontonnya, dibandingkan dengan film yang memanfaatkan teknik deep focus. Deep focus memberikan keleluasaan pada penonton untuk memilih ruang mana yang ingin menjadi perhatiannya. Dengan kata lain, adanya demokratisasi penonton dalam membentuk makna pada adegan. Bazin meyakini bahwa hal ini juga dapat membentuk keambiguitasan makna yang dihasilkan adegan. Namun, ini tetaplah menjadi bagian dari agenda politis dari teknik deep focus.

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsepsi ruang ketajaman mengalami perkembangan dari satu ranah visual ke ranah visual lainnya. Ide ketajaman yang berangkat dari konvensi dasar penglihatan manusia hendak dibangun kembali di dalam visual-visual ciptaan manusia. Dapat dilihat bahwa ruang ketajaman tidak dapat dilepaskan dari wacana mengenai usaha manusia mengejar realitas. Perumusan pemikiran maupun penemuan teknologi pun didukung atas dasar itu. Hal ini dapat ditelaah sejak hadirnya konsep perspektif dan diterapkannya kaidah optik dalam seni lukis, hingga perlahan ditemukan pula instrumen mekanis, seperti camera lucida, kamera fotografi, dan kamera film.

Adapun yang membedakan konsepsi ruang ketajaman (depth of field) di dalam film dengan medium visual pendahulunya adalah: 1) Adanya unsur gerakan yang dihadirkan dalam film, yang menuntut adanya perhitungan matematis yang ketat; 2) Terikat dengan kaidah naratif, yang menjadikan depth of field memilik fungsi visual sebagai penunjang cerita; dan 3) Adanya agenda politis terkait dengan tradisi film realis—posisi teknik deep focus sebagai tandingan dari teknik montage.

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 36

Page 41: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Daftar Pustaka

Bazin, Andre. “The Evolution of the Language of Cinema.” What is Cinema? Vol. I. University of California Press: Los Angeles. 1994.

Brown, Blain. “Visual Language.” Cinematography: Imagemaking for Director and Cinematographer. Focal Press: Oxford. 2012.

Elkins, David E. “Depth of Field.” The Camera Assistant Manual Fifth Edition. Focal Press and Elsevier: New York. 2009.

Hayward, Susan. “Deep Focus/ Depth of Field.” Cinema Studies: Key Concept. Routledge: New York. 2006.

Kingslake, Rudolf. Optics in Photography. Spie Optical Engineering Press: Washington. 1992. Präkel, David. “Depth of Field.” The Visual Dictionary of Photography. Ava Publishing House: Laussane. 2010

Suryajaya, Martin. Sejarah Estetika. Gang Kabel: Jakarta. 2016.

Walton, Kendall L. “Transparent Pictures: On the Nature of Photographic Realism.” Photography and Philosophy: Essays on the Pencil of Nature. Blackwell Publishing: Oxford. 2008.

Depth of Field: Sebuah Telaah Historis Ruang Ketajaman | 37

Page 42: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Page 43: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Genre, Kebintangan,dan Film Wahana Bintang

Bawuk [email protected]

Abstrak

Sebuah film sering kali dibuat khusus untuk seorang bintang. Industri sinema memanggil film yang demikian dengan sebutan film wahana bintang (star vehicle). Dalam kasus ini, film dirancang dan dibuat dengan memanfaatkan popularitas bintang tertentu, serta mempertimbangkan karakteristik unik milik sang bintang. Jika demikian, dapat diasumsikan bahwa sekumpulan film wahana bintang memiliki sejumlah ciri khas yang dapat diasosiasikan dengan bintang yang bersangkutan. Ciri khas tersebut dapat membangun ekspektasi penonton, sebagaimana konvensi sebuah genre juga melakukan hal yang sama. Apakah dapat dikatakan bahwa film wahana bintang beroperasi seperti film genre? Melalui studi pustaka mengenai konsep genre dan konsep kebintangan dalam kajian sinema, artikel ini menelusuri bagaimana sebenarnya kedua konsep tersebut saling berhubungan, terutama dalam konteks industri sinema komersial arus utama.

Abstract

A film is often made specifically for a star. The film industry calls such film as star vehicles. In this case, a film is designed and made by utilizing the popularity of a certain star, as well as considering his or her unique characteristics. If such is the case, we can assume that a group of star vehicle films carry within themselves a number of specific characteristics that are associated with the star in question. Those characteristics are able to build audience’s expectation, the way genre conventions also do. Is it safe to assume that star vehicles operate like a film genre? Through a literature study about the concept of genre and stardom within film studies, this article explores how exactly those two concepts are related, especially in the context of the mainstream com-mercial film industry.

Kata Kunci

bintang film, kebintangan, film wahana bintang, genre

Keyword

film star, stardom, star vehicle, genre

Film Wahana Bintang Sebagai Masalah Teoritis

Bintang film memang telah menjadi salah satu daya tarik utama sinema. Kehadiran bintang dapat dianggap sebagai sebuah elemen yang penting dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi film. Posisi bintang film yang demikian, jika dilihat dari perjalanan sejarahnya, berutang banyak kepada perkembangan sinema sebagai sebuah industri hiburan massal yang besar. Kehadiran seorang bintang di layar merupakan suatu spektakel—sebuah elemen penting dalam urusan film sebagai media hiburan. Maka tidak heran, salah satu pelopor dalam hal memunculkan sosok bintang dalam film adalah Hollywood.

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 39

Page 44: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Kehadiran bintang film di Hollywood terutama berkembang pesaT pada masa yang disebut sebagai masa sistem studio1. Pada masa ini, Hollywood dikuasai oleh studio-studio film besar yang usahanya terintegrasi secara vertikal—artinya, mereka menguasai keseluruhan kegiatan perfilman, mulai dari produksi, distribusi, hingga eksibisi. Untuk dapat memaksimalkan keuntungan mereka, studio-studio tersebut pun mengembangkan beberapa metode dan taktik produksi. Salah satu dari metode atau taktik yang dikembangkan adalah apa yang dikenal sebagai sistem bintang (star system)2.

Dalam sistem bintang, studio film Hollywood mengontrak sejumlah aktor atau pemain dalam jangka waktu tertentu. Kontrak itu mengikat para aktor tersebut sebagai pegawai setiap studio. Dengan adanya sistem ini, studio-studio tersebut memiliki keleluasaan untuk mengasah, mengendalikan, bahkan menciptakan talenta-talenta aktor yang dikontraknya untuk kebutuhan produksi film mereka. Kadangkala, ada beberapa pemain atau aktor yang diberikan perlakuan khusus karena mereka dan film-filmnya sangat populer di masyarakat. Orang-orang yang menerima perlakuan khusus inilah yang dapat disebut sebagai bintang.

Seorang bintang dapat dipandang sebagai bahan dasar dalam produksi sebuah film (Pramaggiore & Wallis, 2008: 356). Produser film terkadang merancang sebuah proyek film secara spesifik untuk seorang bintang tertentu. Film-film yang dibuat khusus untuk satu bintang tertentu ini disebut juga sebagai film wahana bintang (star vehicle). Film-film yang demikian dibuat tidak hanya untuk menonjolkan kemampuan, citra (image), atau popularitas seorang bintang, tetapi juga sebagai usaha untuk memproduksi film dengan jaminan kesuksesan tertentu.

1 Tentang Hollywood dan sistem studio, lihat Thompson dan Bordwell, Film History: An Introduction (2003), 213-238.

2 Tentang sistem bintang, lihat Hayward, Cinema Studies: The Key Concepts 2nd Edition (2000), 349-350; McDonald, The Star System: Hollywood’s Production of Popular Identities (2000).

Richard Dyer, seorang teoretisi penting dalam kajian tentang bintang film, melalui bukunya yang berjudul Stars, menawarkan pendapatnya mengenai film wahana bintang. Dyer berargumen bahwa mekanisme film-film wahana bintang mirip dengan mekanisme film-film genre. Dyer mengatakan:

“Vehicles are important as much for what conventions they set up as for how they develop them, for their ingredients as for their realisation. In certain respects a set of star vehicles is rather like a film genre such as the Western, the musical, the gangster film. As with genres proper, one can discern across a star’s vehicles continuities of iconography…visual style… and structure.” (1998: 62)

“Wahana menjadi penting karena konvensi yang mereka bentuk serta bagaimana mereka mengembangkannya, juga karena bahan yang mereka gunakan serta proses realisasinya. Dalam beberapa segi, sekumpulan film wahana bintang menyerupai sebuah genre film, seperti Western, musikal, dan film gangster. Sebagaimana genre, dalam film-film wahana milik seorang bintang, kita bisa mengenali kesinambungan ikonografi…gaya visual… dan struktur.” (1998: 62)

Akan, tetapi, dalam esainya yang berjudul “Stars and Genre”, Andrew Britton (dalam Gledhill, 2005: 201) menyanggah pernyataan Dyer. Menurutnya, kelemahan pernyataan Dyer terletak pada usulannya mengenai sekumpulan film wahana bintang yang dianggap “menyerupai” genre. Menurut Britton, eksistensi sebuah genre justru adalah sebuah kondisi yang mendahului eksistensi sebuah film wahana bintang. Baginya, wahana bintang membangun sebuah sub-set unik yang berbeda dari relasi konvensional di dalam genre. Kondisi genre sebuah film dapat dipahami sebagai sesuatu yang selalu mendahului kehadiran sang bintang.

Perdebatan ini menjadi sangat menarik, mengingat film wahana bintang merupakan salah satu aspek pembangun citra seorang bintang. Jika memang seorang bintang melalui film-film wahananya dapat dianggap sebagai genre, maka

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 40

Page 45: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

konsistensi dan kesinambungan yang ada dalam film tersebut seharusnya memiliki hubungan erat dengan citra seorang bintang, setidaknya dalam layar. Lalu, bagaimana sebenarnya konsistensi yang dapat ditemukan dalam sekumpulan film wahana bintang mempengaruhi keseluruhan konstruksi kebintangan seseorang yang notabene juga dipengaruhi oleh berbagai macam teks media yang lain? Dalam cakupan yang lebih luas, apakah sebenarnya memang ada hubungan antara konsep genre dengan konsep kebintangan?

Genre dalam Sinema

Kata ‘genre’ berasal dari bahasa Perancis (yang berakar dari bahasa Latin) yang berarti ‘jenis’ atau ‘kelas’ (Chandler, 2000). Dalam dunia media, genre merujuk kepada tipe teks yang khusus. Genre membagi-bagi, misalnya sastra, ke dalam beberapa tipe, serta bertugas untuk memberikan nama atau label pada tipe-tipe tersebut. Dalam dunia sastra, genre pada umumnya merupakan sebuah respons terhadap pertanyaan-pertanyaan teoretis atau sebagai jawaban atas keperluan klasifikasi praktis. Menurut Feuer (1992: 144), sebuah genre sebenarnya merupakan sebuah konsepsi abstrak, dan bukan sesuatu yang hadir secara empiris di dunia. Meskipun ada banyak nama yang telah kita kenali sebagai genre dalam berbagai macam media, beberapa teoretisi berargumen bahwa banyak pula genre (dan sub-genre) yang belum dinamai (Fowler, 1998: 216; Wales, 1989: 206).

Dalam sinema, istilah genre awalnya digunakan sebagai bentuk komunikasi sederhana antara distributor dan eksibitor film. Genre digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan satu jenis film dengan jenis yang lainnya. Dalam perkembangannya, ada banyak kategori genre yang digunakan dalam proses kritik film, antara lain:

“Grouping by period or country (American films of the 1930s), by director or star or producer or writer or studio, by technical process (Cinemascope films), by cycle (the ‘fallen women’ films), by series (the 007 movies), by style (German Expressionism), by structure (narrative), by ideology (Reaganite cinema), by venue (‘drive-in movies’), by purpose (home movies), by

audience (‘teenpix’), by subject or theme (family film, paranoid-politics movies)” (Bordwell 1989: 148)

“Dikelompokkan melalui periode atau negara (film Amerika tahun 1930-an), melalui sutradara atau bintang atau produser atau penulis atau studio, melalui proses teknis (film Cinemascope), melalui siklus (film ‘fallen women’), melalui seri (film 007), melalui gaya (Ekspresionisme Jerman), melalui struktur (naratif ), melalui ideologi (sinema Reaganite), melalui tempat menonton (film drive-in), melalui tujuan (film rumahan), melalui audiens (film remaja), melalui subjek atau tema (film keluarga, film paranoid-politik).” (Bordwell, 1989: 148)

Teoretisi film lain, Robert Stam, juga menawarkan beberapa cara umum dalam melakukan kategorisasi film:

“While some genres are based on story content (the war film), others are borrowed from literature (comedy, melodrama) or from other media (the musical). Some are performer-based (the Astaire-Rogers films) or budget-based (blockbusters), while others are based on artistic status (the art film), racial identity (Black cinema), locat[ion] (the Western) or sexual orientation (Queer cinema).” (Stam 2000: 14)

“Beberapa genre didasarkan kepada isi cerita (film perang), beberapa yang lain meminjam dari sastra (komedi, melodrama) atau media lain (musikal). Beberapa bisa didasarkan kepada pemain (film Astaire-Rogers) atau dana (blockbuster), sementara yang lain didasarkan kepada status artistik (film seni), identitas rasial (Black cinema), lokasi (Western), atau orientasi seksual (Queer cinema).” (Stam, 2000: 14)

Definisi konvensional genre cenderung didasarkan kepada ide bahwa genre membangun sebuah konvensi khusus yang berhubungan dengan konten (misalnya, tema atau setting) dan/atau bentuk (termasuk struktur dan gaya). Konvensi-konvensi tersebut dimiliki oleh

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 41

Page 46: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

beberapa teks yang dikatakan berada dalam naungan sebuah genre. Fitur-fitur khusus yang menjadi karakteristik sebuah genre sebenarnya tidak unik terhadap genre tersebut; namun, fungsi dan kombinasi di antara mereka menjadikan sebuah genre itu berbeda. Menurut Neale (1980: 48), genre merupakan contoh-contoh dari repetisi dan perbedaan. Perbedaan adalah elemen yang esensial dari genre (ibid.: 50), karena bila hanya repetisi saja tidak akan cukup untuk menarik penonton.

Menurut Altman (dalam Nowell-Smith, 1996: 276-7), dalam berurusan dengan peristilahan genre, ada pentingnya memilah beberapa fungsi dari ide mengenai genre itu sendiri yang bisa jadi berbeda dari satu partisipan ke partisipan lain di dalam proses sinema. Tiga fungsi penting yang disebutkan oleh Altman adalah:

1. Produksi. Dalam tahap ini, genre memberikan pola atau contoh dari keputusan-keputusan produksi tertentu. Pola atau contoh ini mempermudah komunikasi di antara anggota-anggota tim produksi.

2. Distribusi. Dalam tahap ini, genre menawarkan sebuah metode fundamental dalam pembedaan produk (product differentiation), maka mempermudah komunikasi di antara produser dan distributor, serta antara distributor dan eksibitor.

3. Konsumsi. Dalam tahap ini, genre mendeskripsikan pola-pola standar dari keterlibatan audiens atau spektator. Dengan demikian, genre memfasilitasi komunikasi antara eksibitor dan penonton, serta penonton dengan penonton.

Dari ketiga perbedaan fungsi tersebut, Altman berpendapat bahwa semua film sebenarnya dapat dimasukkan ke dalam beberapa kategori genre, setidaknya dari sudut pandang distribusi, namun hanya segelintir film yang diproduksi dan dikonsumsi secara sadar menurut sebuah model generik yang spesifik.

Pertumbuhan jumlah produksi film-film genre biasanya ditandai oleh sebuah pergeseran dari pemahaman terhadap genre berdasarkan konten ke arah definisi genre yang lebih didasarkan

kepada motif plot yang berulang, pola-pola imaji yang berulang, konfigurasi naratif yang distandarisasi, serta konvensi-konvensi lain yang dapat ditebak dalam proses resepsi. Ketika sebuah genre mulai mencapai koherensinya dan diterima oleh audiens, pengaruhnya terhadap berbagai aspek dalam proses sinema bertambah. Norma-norma yang dapat ditemukan di dalam genre memberikan sebuah pola struktur yang memungkinkan produk film dihasilkan secara cepat dan berulang-ulang. Bagi para anggota dalam tim produksi, baik penulis skenario, sutradara, maupun teknisi lainnya, keputusan produksi dapat dengan lebih mudah dicapai karena sudah ada contoh yang dapat diikuti. Dari sudut pandang distribusi, alat-alat identifikasi generik—nama genre itu sendiri, imaji, pola suara, motif plot, atau bahkan aktor tertentu—dapat menjadi alat publisitas yang penting, sehingga penonton genre yang berkomitmen dapat dipanggil dengan mudah. Bagi audiens itu sendiri, norma generik pun menawarkan kenyamanan dalam membuat keputusan. Mereka pun membentuk sebuah ekspektasi yang sangat spesifik dan mudah untuk dipuaskan.

Menurut Altman (ibid.: 283), genre tidak hanya sebatas kenyamanan, tetapi juga sebagai sesuatu yang praktis dan merupakan sebuah kebutuhan komersial. Meskipun terkadang genre meminjam elemen-elemen yang ditemukan dalam sastra atau teater, ia sebenarnya dapat dibangun dari material apapun. Film apapun yang sukses di pasaran, namun belum terbelenggu dalam sebuah label genre yang spesifik, umumnya memicu sebuah usaha untuk memformulasikan pembentukan genre baru. Formulasi tersebut akan diuji oleh studio untuk menghasilkan formula yang dianggap akan mempunyai tingkat kesuksesan yang tinggi. Usaha dalam mengidentifikasi dan mereplikasi formula ini pada akhirnya melibatkan dan mengorganisasi sekelompok individu, teknisi, dan pihak-pihak lain yang bersangkutan menjadi sebuah unit kecil yang konsisten dalam memproduksi film-film sesuai dengan formula yang ada. Ketika formula itu sudah diuji kesuksesannya, formula itu pun akan terus diaplikasikan dan pada akhirnya melahirkan sebuah genre baru yang diakui oleh industri.

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 42

Page 47: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Genre pada akhirnya dapat dipahami sebagai sebuah konsepsi abstrak yang dapat dibangun dengan menggunakan dasar apapun. Terutama dalam sinema, usaha kategorisasi film ke dalam tipe-tipe tertentu tidak pernah menemukan satu prosedur yang pakem, melainkan diperkaya karena adanya banyak alternatif cara untuk mengelompokkan film.

Bintang Sebagai Fenomena Produksi

Dalam memahami bintang sebagai fenomena produksi, bintang dianggap sebagai sebuah elemen penting dari kegiatan ekonomis dalam sinema sebagai industri. Hal ini khususnya berlaku dalam konteks industri Hollywood yang menggunakan sistem kapitalis. Ada beberapa cara memandang bintang secara ekonomis, yaitu:

• Sebagai modal. Sebagai pegawai yang bekerja untuk sebuah studio film, bintang dapat dianggap sebagai sebuah bentuk modal.

• Sebagai investasi. Bintang dijadikan sebuah jaminan, atau janji, atas kemungkinan kerugian maupun keuntungan.

• Sebagai pengeluaran. Bintang biasanya menghabiskan sebagian besar dana yang disiapkan untuk melakukan produksi sebuah film. Dengan demikian, keberadaan mereka harus ditangani dengan tepat dan hati-hati.

• Sebagai pasar. Bintang digunakan untuk menjual film dan mengatur pasar film. Keberadaan bintang diharapkan dapat menstabilisasi respons penonton.

Memahami bintang sebagai fenomena produksi juga berarti memandang fenomena kebintangan sebagai suatu kegiatan manipulasi pasar yang dilakukan oleh industri. Menurut Dyer (1998: 12), keberhasilan konsep bintang dan kebintangan memang berutang kepada usaha manipulasi pasar. Manipulasi di sini berarti bahwa banyak uang, waktu, dan energi dihabiskan oleh industri untuk membangun citra para bintang melalui publisitas, promosi, klub penggemar, dan lain-lain (Dyer, 1998: 12). Sebagaimana kepala studio Carl Laemmle yang mengarang rumor mengenai Florence Lawrence—bintang film pertama—di tahun 1910, sistem bintang pada dasarnya

adalah usaha memfabrikasi segala sesuatu yang bersangkutan dengan sang bintang. Laemmle sendiri pernah berkata, “Fabrikasi mengenai para bintang adalah hal yang paling mendasar dalam industri film.” (Morin, 1960: 134)3

Bintang Sebagai Fenomena Konsumsi

Meskipun memang terlihat bahwa produser film mempunyai peran yang cukup besar dalam menciptakan fenomena bintang, perlu diakui pula bahwa audiens atau konsumen itu sendiri juga dapat mempengaruhi munculnya bintang. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa bentuk hubungan antara audiens dan sang bintang. Andrew Tudor (1975) mengajukan sebuah tipologi hubungan tersebut yang terbagi ke dalam empat kategori, yaitu:

• Kedekatan emosional (emotional affinity). Ini adalah hubungan yang paling longgar dan mungkin yang paling umum. “Penonton merasakan ketergantungan yang longgar terhadap protagonis, yang terbentuk karena sang bintang, naratif, dan kepribadian individual dari penonton itu sendiri: dengan kata lain, situasi keterlibatan standar.” (Tudor, 1975: 80)

• Identifikasi diri (self-identification). Hubungan ini terjadi ketika keterlibatan ditandai dengan penonton yang menempatkan diri dalam situasi yang sama dan/atau persona sang bintang.

• Imitasi (imitation). Hubungan ini umumnya terjadi pada penonton muda. Hubungan antara penonton dan bintang melampaui aktivitas menonton, karena akting bintang tersebut menjadi sebuah model bagi audiens untuk dicontoh.

• Proyeksi (projection). Imitasi berubah menjadi proyeksi. Proses imitasi tidak lagi hanya mencontoh seorang bintang, tetapi penonton

3 Dalam terjemahan buku Les Stars terbitan tahun 1961 (halaman 136), kata ‘fabrikasi’ diganti dengan kata ‘produksi’: “The star system is first of all production”. Kutipan dari Laemmle terbaca, “The production of the stars is a prime necessity in the film industry.”

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 43

Page 48: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

merasa hidup seperti dan terikat dengan sang bintang. Mereka mempertanyakan bagaimana sang bintang menghadapi sebuah situasi sebagai panduan untuk menghadapi situasi tersebut.

Selain bentuk-bentuk hubungan antara audiens dengan bintang di atas, bintang juga sering kali dianggap sebagai bentuk ekspresi yang mengkonseptualisasi hasrat atau keinginan milik sebagian masyarakat.

Namun demikian, terlepas dari seberapa besar hubungan keterlibatan audiens dengan seorang bintang, peran audiens dalam membentuk sebuah fenomena bintang sebenarnya terbatas. Hubungan antara audiens dan bintang memang memberi tahu kita mengenai apa yang dilakukan oleh audiens dengan citra bintang yang ditawarkan kepada mereka dan memberikan indikasi mengenai bagaimana sebuah situasi kebintangan dapat berhasil, tetapi hubungan tersebut tidak menjelaskan bagaimana citra tersebut bisa berbentuk demikian.

Konstruksi Citra dalam Kebintangan

Richard Dyer (1998: 34) mengatakan bahwa citra seorang bintang adalah sebuah identitas yang dikonstruksi untuk tujuan komersial. Ia menambahkan:

“By ‘image’ here I do not understand an exclusively visual sign, but rather a complex configuration of visual, verbal and aural signs. This configuration may constitute the general image of stardom of or of a particular star. It is manifest not only in films but in all kinds of media text.”

“Dengan ‘citra’ saya tidak bermaksud tanda visual yang eksklusif, tetapi lebih kepada sebuah konfigurasi tanda-tanda visual, verbal, dan aural. Konfigurasi ini mungkin membangun sebuah citra umum dari kebintangan atau citra seorang bintang tertentu. Ia muncul tidak hanya dalam film tetapi juga dalam jenis teks media yang lain.”

Dyer memahami citra seorang bintang sebagai identitas yang dikonstruksi melalui beberapa kategori teks, mencakup tidak hanya penampilan seorang bintang dalam film, tetapi juga dalam bentuk publisitas maupun promosi. Seorang bintang juga dapat menjadi sebuah objek untuk ulasan kritis dan bentuk-bentuk komentar lainnya. Faktor lain yang mempengaruhi citra seorang bintang juga termasuk karakter yang mereka mainkan dalam film, gaya mereka dalam memerankan sebuah karakter, tipe atau genre film yang mereka bintangi, dan lain-lain. Bintang adalah identitas yang termediasi, sebuah konstruksi tekstual, karena audiens sebenarnya tidak pernah mendapatkan bintang sebagai orang yang sebenarnya, tetapi justru sebagai sebuah kumpulan imaji, kata-kata, dan suara yang menjadi representasi dari seorang figur bintang. Dengan kata lain, bintang adalah sebuah kumpulan makna.

Menurut Dyer (1998: 60), citra seorang bintang adalah persoalan yang kompleks dan spesifik. Citra seorang bintang dapat ditemukan dengan melihat serangkaian hubungan antara teks-teks media yang memuat kehadiran seorang bintang. Dyer mengelompokkan teks-teks media tersebut ke dalam empat kategori, yaitu: film, promosi, publisitas, serta kritik dan komentar. Untuk keperluan skripsi ini, keempat teks media berikut akan disebut sebagai ‘media pembentuk citra’.

• Film

Film memiliki posisi yang spesial dalam citra seorang bintang, karena persoalan bintang film-lah yang sedang kita tekuni. Ketenaran seorang bintang dan status mereka sebagai seorang bintang tergantung pada keterlibatan dan penampilan mereka dalam film.

Film sering kali dibangun dengan menggunakan citra seorang bintang. Cerita ditulis dengan tujuan utama menampilkan bintang tertentu, atau sebuah buku dibeli hak adaptasinya dengan pertimbangan untuk menyewa jasa bintang tertentu. Film yang dibuat dengan mempertimbangkan citra seorang bintang yang demikian disebut juga film wahana bintang (star vehicle).

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 44

Page 49: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Istilah wahana bintang adalah istilah yang muncul pada masa sistem studio Hollywood. Wahana bintang digunakan untuk mengurangi ketidakpastian daya tarik pasar untuk film. Dalam hal ini, fungsi utama dari seorang bintang adalah untuk mengajak massa bersedia membayar untuk menonton sebuah film. Sebuah film wahana bintang adalah film yang dirancang untuk mengeksploitasi popularitas seorang bintang dengan mengakomodasi tipe peran mereka yang sudah mapan dan mengulang kembali serta mengembangkan aspek-aspek tertentu dari film-film mereka yang sudah digemari oleh audiens (Shingler, 2012: 112). Film wahana bintang menghasilkan produk-produk film yang terstandarisasi. Akan tetapi, meskipun film-filmnya berstruktur sama, pada akhirnya mereka berusaha menawarkan hal yang berbeda. Kunci dari film wahana bintang sebenarnya ada pada konsistensi yang hadir bersamaan dengan pengenalan terhadap hal-hal yang baru.

Menurut Dyer (1992: 62):

“The vehicle might provide a character of the type of associated with the star (e.g. Monroe’s ‘dumb blonde’ roles, Garbo’s melancholic romantic roles); a situation, setting or generic context associated with the star (e.g. Garbo in relationships with married men, Wayne in Westerns; … or opportunities for the star to do her/his thing (most obviously in the case of musical stars – e.g. a wistful solo number for Judy Garland, an extended ballet sequence for Gene Kelly – but also, for instance, opportunities to display Monroe’s body and wiggle walk, scenes of action in Wayne’s film).”

“Sebuah wahana bintang dapat menyediakan sebuah tipe karakter yang diasosikan dengan bintang tertentu (misalnya, peran ‘dumb blonde’ [Marilyn] Monroe, peran romantis melankolis [Greta] Garbo); sebuah situasi, setting atau konteks generik yang diasosiasikan dengan bintang tertentu (misalnya, Garbo yang berhubungan dengan pria yang sudah menikah, [ John] Wayne dalam film Western; … atau kesempatan bagi sang bintang untuk mempertunjukkan

keahliannya (contoh yang paling jelas adalah bintang film musikal—misalnya, adegan bernyanyi solo untuk Judy Garland, adegan balet untuk Gene Kelly—tetapi juga misalnya, kesempatan untuk menampilkan tubuh Monroe dan cara berjalannya, atau adegan penuh aksi dalam film-film Wayne.”

Film-film wahana bintang menjadi penting karena konvensi yang mereka bentuk dan juga bagaimana mereka mengembangkan konvensi tersebut. Sekumpulan film wahana bintang dapat dianggap menyerupai sebuah genre, seperti Western, musikal, atau film gangster. Sebagaimana sebuah genre, kita dapat mengenali kesinambungan ikonografi (misalnya, bagaimana seorang bintang didandani, tingkah laku penampilannya, setting yang diasosiasikan dengannya), kesinambungan gaya visual (contohnya, bagaimana mereka disorot cahaya dan diposisikan dalam frame), serta struktur (misalnya, peran mereka dalam plot dan fungsi mereka dalam pola simbolis sebuah film). Tentu saja, tidak semua film yang dibuat oleh seorang bintang merupakan film wahana baginya. Namun mempertimbangkan keseluruhan karya mereka dalam konteks wahana bintang dapat memberikan kita bayangan mengenai film-film yang “tidak cocok”, atau merupakan subversi dari pola wahana ataupun citra bintang yang sudah mapan.

• Promosi

Apa yang dimaksud Dyer dengan ‘promosi’? Ia sebenarnya merujuk kepada materi-materi atau teks-teks yang diproduksi sebagai bagian dari sebuah kreasi atas citra seorang bintang tertentu. Teks-teks yang dirujuk sebagai promosi ini umumnya bersifat langsung dan terlihat sengaja dibuat memang untuk mempromosikan citra seorang bintang. Materi-materi promosi bisa memasarkan pribadi sang bintang itu sendiri atau posisi seorang bintang dalam film tertentu. Bagi Dyer, materi yang satu ini adalah teks media yang paling terang-terangan dalam mengkonstruksi citra seorang bintang.

• Publisitas

Materi publisitas hampir mirip dengan apa yang ditemukan dalam materi promosi, namun

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 45

Page 50: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

ia memiliki keunikan tersendiri. Apa yang dimaksud Dyer dengan ‘publisitas’ berarti materi atau teks media yang tidak sengaja, atau setidaknya dibuat seperti tidak sengaja, membangun citra seorang bintang. Biasanya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah hal-hal yang “dikuak oleh pers”, atau yang “diungkap oleh sang bintang secara tidak sengaja.” Hal-hal ini bisa saja dikontrol oleh studio film tempat sang bintang bernaung atau sebuah agen pers tertentu, namun hal ini tidak boleh diketahui oleh publik. Materi publisitas biasanya memberikan ilusi otentisitas, yang menjadi semacam akses publik terhadap kehidupan nyata dari seorang bintang. Wilayah ini dapat menjadi area tempat kita dapat menganalisis ketegangan antara sang bintang sebagai orang yang sebenarnya dan citra kebintangannya sendiri.

• Kritik dan Komentar

Kritik dan komentar mengacu kepada apa saja yang dikatakan atau ditulis mengenai seorang bintang, baik dalam bentuk apresiasi maupun interpretasi dari kritikus maupun penonton. Apapun yang ditulis mengenai sang bintang, baik di masa kontemporernya maupun jauh setelah sang bintang berhenti berkarier, dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Kritik dan komentar juga dapat berbentuk profil mengenai sang bintang.

Menurut Dyer (1992: 63), teks media yang satu ini memiliki posisi yang agak aneh dalam citra seorang bintang. Di satu sisi, ia adalah produk mesin sinematik, sebuah produk media massa. Akan tetapi, ia dianggap berada di sisi audiens, seakan memperhatikan sang bintang dari sudut pandang yang sama seperti audiens. Teks media ini menjadi penting dalam hubungannya dengan konstruksi citra seorang bintang karena ia bisa berperan sebagai pembentuk opini publik.

Film Wahana Bintang sebagai Konsep Teoretis

Melalui pembahasan di atas, konsep genre dan konsep kebintangan memang tampak sebagai dua konsep yang benar-benar berbeda. Meskipun demikian, dalam batasan tertentu kita tidak bisa menyangkal bahwa keduanya bisa saling berhubungan. Tidak hanya keduanya merujuk kepada semacam strategi yang digunakan oleh industri film untuk menghasilkan atau

menjamin profit, ternyata keduanya dapat dikatakan memiliki kerja operasi yang hampir sama.

Genre hidup untuk mengembangkan karakteristik yang unik, namun mudah dikenali, supaya penonton dapat merasa tertarik, memahami film dengan lebih mudah, dan meraih kepuasan dari film tersebut. Di lain pihak, kebintangan juga menciptakan sesuatu yang khas, unik, dan berbeda, yang terkesan atraktif bagi penonton, sehingga mereka tergerak untuk mengonsumsi film. Dengan memandang seorang bintang di layar film, penonton pun bisa dikatakan sedang mencari kepuasan tertentu. Perbedaan utama di antara keduanya adalah genre mempengaruhi film itu sendiri sebagai sebuah produk, sementara kebintangan terjadi dalam tingkatan yang lebih spesifik—orang-orang yang tampil di dalam film.

Bagan 1. Diagram Relasi antara Konsep Genre dan Kebintangan

Dengan kehadiran suatu hal seperti film wahana bintang—yang pada dasarnya adalah film yang dibuat dengan mengandalkan pengulangan pola-pola tertentu yang berkaitan dengan status kebintangan seseorang—konsep genre dan kebintangan dapat menjadi semakin terkait. Film wahana bintang dapat dikatakan merupakan sebuah genre yang dibangun dengan mengandalkan pola kebintangan tertentu, mengingat genre sebenarnya adalah konsepsi abstrak yang dapat dikembangkan dengan material apa pun. Bisa dibilang, film wahana

GENRE KEBINTANGANFILM WAHANA BINTANG

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 46

Page 51: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

bintang merupakan hasil irisan dari relasi antara konsep genre dan kebintangan (lihat Bagan 1).

Film wahana bintang pada akhirnya dapat didefinisikan sebagai film yang dibuat khusus untuk atau dengan menggunakan kehadiran seorang bintang. Film wahana bintang umumnya berfungsi untuk mempromosikan citra seorang bintang yang baru diluncurkan, atau untuk mempopulerkan dan menjaga citra seorang bintang yang sudah mapan. Film wahana bintang juga dapat dipahami sebagai film tempat seorang bintang dapat mempertunjukkan keahlian khususnya. Film wahana bintang dirancang untuk mengakomodasi suatu ‘tipe’ peran yang diasosiasikan dengan bintang tertentu, yang mana tipe tersebut sudah terbukti popularitasnya di antara penonton. Namun, film wahana bintang selalu berusaha memadukan apa yang sudah dikenal oleh penonton (familiaritas; repetisi) dengan sesuatu yang baru (variasi).

Dengan mempelajari sekumpulan film wahana bintang menggunakan pendekatan genre, kita dapat meneliti kesinambungan semacam apa yang dapat ditemukan dalam film-film tersebut. Dengan demikian, istilah film wahana bintang yang awalnya hanya berfungsi sebagai istilah dalam konteks industri sebenarnya menawarkan diskusi yang lebih kompleks mengenai situasi kebintangan yang dimiliki oleh seseorang. Kehadiran studi terhadap sekumpulan film wahana bintang dapat memberikan bahan dasar untuk memahami citra seorang bintang, setidaknya citranya di dalam film. Hal ini bisa sangat berguna untuk melakukan studi yang lebih mendalam mengenai bagaimana seorang bintang dapat menjadi sangat populer. Pendekatan semacam ini menaruh perhatian khusus kepada bagaimana film-film yang dibintangi oleh seorang bintang berkontribusi pada konstruksi citra bintang tersebut. Hal ini sepertinya wajar, mengingat bintang yang sedang kita diskusikan adalah bintang film, maka film merekalah yang seharusnya menjadi primadona.

Daftar Pustaka

Altman, Rick. “Cinema and Genre.” The Oxford History of World Cinema. Ed. Geoffrey Nowell-Smith. New York: Oxford UP, 1996. 276-85.

Britton, Andrew. “Stars and Genre.” Stardom, Industry of Desire. Ed. Christine Gledhill. London & New York: Routledge. 1991.

Chandler, Daniel. “An Introduction to Genre Theory”. 1997. September-Oktober 2014.

deCordova, Richard. “The emergence of the star system in America.” Stardom, Industry of \ Desire. Ed. Christine Gledhill. London & New York: Routledge. 1991.

Dyer, Richard. Stars. London: BFI. 1998.

McDonald, Paul. The Star System: Hollywood’s Production of Popular Identities. London: Wallflower Publishing Ltd. 2000.

Morin, Edgar. The Stars, An Account of the Star System in Motion Pictures. Terj. Richard Howard. London: Evergreen Books Ltd. 1961.

Pramaggiore, Maria & Tom Wallis. Film, A Critical Introduction. Edisi dua. London: Laurence King Publishing Ltd. 2008.

Shingler, Martin. Star Studies: A Critical Guide. London: BFI. 2012.

Steiger, Janet. “Seeing stars.” Stardom, Industry of Desire. Ed. Christine Gledhill. London & New York: Routledge. 1991.

Thompson, Kristin & David Bordwell. Film History, An Introduction. Edisi dua. New York: McGraw Hill. 2003.

Genre, Kebintangan, dan Film Wahana Bintang | 47

Page 52: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017 Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 48

Page 53: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Televisi di Indonesia dan MitosRating-Share

Satrio [email protected]

Abstrak

Televisi merupakan kebudayaan populer yang merepresentasikan teks, yang di dalamnya banyak makna baru yang berjuang mengisi dan juga hilang dari makna yang sebelumnya. Sebagai bentuk budaya populer, televisi sangat berpengaruh terhadap setiap makna yang disampaikan (encode) dan juga harus mengevaluasi bagaimana makna itu bisa diterima (decode) oleh penontonnya. Sebagian besar yang terjadi, televisi sangat terpengaruh oleh hasil riset kuantitatif yang didapat. Hasil riset itu (rating-share) begitu kuat dalam mengkonstruksi produksi tayangan yang ada pada setiap televisi. Persoalannya adalah data hasil riset tersebut. Data itu menjadi pertanyaan besar, bersumber dari mana, dan teknis pengumpulannya seperti apa. Namun data tersebut begitu dipercaya, layaknya berhala yang memiliki kekuatan yang mempengaruhi segala macam proses produksi tayangan. Rating-share menjadi mitos yang sudah melekat di benak televisi yang ada di Indonesia.

Abstract

Television is a form of popular culture that represents text, in which new meanings struggle to fill and old meanings vanish. As a form of popular culture, television is very influential in the meaning it encodes and it also has to evaluate how that meaning is decoded by the audience. Nowadays, television is very much influ-enced by quantitative research in the form of rating-share data. That data is so powerful in constructing the program production in each television station. The real matter is in the data itself. The data is questionable, where does it come from, and how was it collected? However, the data is believed for granted, as it influenced every aspect of the television program production. Rating-share has come a myth that is stuck in the Indone-sian television scene.

Kata Kunci

kebudayaan televisi, konstruksi televisi, mitos

Keyword

television culture, television construction, myth

Televisi di Indonesia

Televisi di Indonesia mempunyai perkembangan yang cukup hebat, baik secara bisnis maupun secara perkembangan isi tayangannya. Lahirnya TVRI pada tahun 1962 mempelopori tumbuhnya pertelevisian di Indonesia. Saat itu, yang memonopoli pertelevisian adalah TVRI. Kondisi demikian bertahan selama 27 tahun, hingga pada tahun 1972 pemerintah memberikan izin untuk televisi swasta berdiri. Stasiun televisi yang diberikan izin berdiri adalah RCTI.

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 49

Page 54: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Saat ini televisi swasta semakin bertambah. Tidak sedikit dari televisi swasta yang ada sekarang ini, yang mengubah bentuk image dan logo baru seiring dengan tempo waktu yang begitu cepat. Para pemilik televisi swasta juga saling gemar ingin memiliki beberapa televisi sekaligus, dengan membeli saham dari stasiun televisi swasta lainnya. Hal tersebut berdampak langsung ke stasiun televisi yang dibeli. Semua tidak lepas dari faktor kepentingan pemilik yang mendasari keberadaan dan perkembangan stasiun televisi. Itu yang terjadi pada perkembangan keberadaan industri televisi di Indonesia.

Televisi nasional, mempunyai persaingan yang dibedakan berdasarkan grafik rating-share. Grafik tersebut seolah menjadi grafik kompetisi yang terjadi di televisi. Kompetisi yang terjadi pada televisi nasional bagai bentuk klasemen sepak bola. Klasemen itu secara tidak kita sadari membentuk karakteristik penonton, walaupun pada kenyataannya penonton tidak seperti itu. Klasemen yang ada pada grafik televisi itu memperlihatkan persaingan, kubu atas, tengah, dan bawah.

Televisi yang berdiri dan bersaing di bagian atas adalah televisi yang menyajikan tayangan yang mempunyai rating-share yang tinggi. Semakin ke bawah, semakin kecil. Secara ekonomi, tengah dan bawah mendapatkan keuntungan yang kurang baik. Ini tolak ukurnya bukanlah kualitas tayangan, tapi ini berdasarkan jumlah penonton yang menonton., dengan perhitungan angka-angka yang belum tentu benar didapat.

Perekonomian televisi berkitab pada rating-share tersebut. Lembaga yang satu-satunya masih memonopoli perhitungan rating-share adalah AGB Nielsen. Stasiun televisi sangat terpengaruh oleh mereka, seperti SCTV, MNC TV, Global TV, Indosiar, ANTV, Trans TV, Trans 7, Metro TV, dan TV One, adalah stasiun-stasiun televisi yang tayang secara nasional. Keadaan itu membuat semerawut tayangan televisi dan juga konten tayangannya, bahkan sudah hampir tidak ada lagi kreativitas yang bisa kita lepas dari beban mitos rating-share. Semua televisi membudayakan untuk mengejar rating-share yang tinggi, agar mendapatkan keuntungan dari hasil rating-share itu.

Seperti kata Barker (2000: 341), televisi adalah sumber daya yang terbuka bagi hampir semua orang di masyarakat industri dan terus menjadi lebih populer di dunia “berkembang”. Televisi pada saat ini berkembang menjadi bentuk-bentuk penyiaran yang berbeda-beda. Dari televisi berbayar (TV kabel) yang mungkin sudah cukup dikenal, hingga dengan bentuk digital (TV digital), yang mulai digalangkan oleh pemerintah pada tahun 2012. Pemerintah merencanakan “Analog Switch-Off ” secara nasional pada tahun 2018, yang berarti bahwa pertelevisian di Indonesia, akan beralih ke era digital. Ini akan sangat memacu perkembangan industri pertelevisian di Indonesia, karena peralihan ke digital akan sangat memungkinkan pertumbuhan stasiun televisi semakin bertambah banyak. Ini akan memicu kompetisi yang sangat besar pada industri televisi. Keadaan ini sangat menguntungkan untuk para pekerja televisi dengan makin banyak lapangan pekerjaan yang berdiri, berarti akan semakin besar peluang untuk bekerja dan mempunyai nilai pendapatan yang lebih sebagai pekerja. Tapi memang butuh proses untuk beralih ke era digital, baik secara sistem, perangkat, kualitas pekerja, dan pola pikir masyarakat yang tidak mungkin bisa cepat lepas dari beban televisi telestrial yang sudah sangat melekat, dan juga faktor-faktor infrastruktur lainnya.

Pertumbuhan tayangan televisi sangat cepat, seiring dengan banyak kepentingan komersial yang bergantung pada media televisi. Dengan menjadikan iklan sebagai nafas hidup dan tumbuh besarnya televisi. Keadaan yang super cepat dan besar ini sulit dikontrol oleh pemerintah saja. Harapan terbesar adalah masyarakat sebagai penonton juga bisa lebih baik dan aktif dalam melihat tayangan yang ada pada televisi. Hal ini dibutuhkan kesadaran dari semua lapisan masyarakat sebagai penonton dan para kreator televisi untuk bisa ikut serta mengkontrol dan menyikapi sebuah tayangan televisi dengan bijak dan pintar, bukan hanya dari segi kepentingan keuntungan.

Mitos Rating-Share

Mitos masa kini bukanlah konsep. Mitos tidak berisi ide-ide atau menunjukan objek. Mitos masa kini mengandung pesan, bukan lagi mitologi

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 50

Page 55: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Yunani tentang dewa-dewa (Roland Barthes, 1957). Maksud Barthes, mitos adalah sebuah pesan yang ketika pesan tersebut bisa sangat sekali dipercaya dan diyakini bahkan tidak perlu tahu kebenaran dan kesalahannya. Dengan melihat apa yang diungkapkan oleh Barthes, seperti kita melihat yang terjadi dalam kebudayaan televisi: bagaimana sebagian besar produksi tayangan dihasilkan dari hasil konstruksi dari rating- share. Konstruksi rating-share merupakan bentuk mitos nyata yang terjadi dalam kebudayaan televisi.

Mitos bertugas untuk memberikan pembenaran alamiah pada suatu intensi historis, dan membuat kesementaraan seolah abadi (Barthes, 1972: 155). Pada kebudayaan televisi, rating-share menjadi acuan yang tidak pernah diragukan kebenarannya. Seolah itu semua akan pasti seperti itu dan tidak perlu lagi untuk menghindar atau mencoba membuat yang lain, dari apa yang telah dikatakan rating- share. Konstruksi itu sungguh kuat dan sudah menghegemoni semua lapisan yang terlibat dalam budaya televisi.

Televisi tidak bisa lepas dari bayang-bayang rating-share, terutama stasiun televisi nasional. Rating-share dijadikan kitab suci untuk setiap stasiun televisi mengembangkan dan membentuk konsep dari tayangan-tayangannya sampai dengan proses on air. Rating-share dijadikan acuan untuk mendapatkan keuntungan bagi stasiun televisi, dengan cara menarik iklan-iklan dari produk barang dan jasa. Para pengiklan mengacu kepada hasil rating-share yang stasiun televisi dapat. Pengiklan melihat peluang keuntungan promosi dari jumlah penonton yang menonton tayangan televisi.

Rating adalah jumlah perhitungan secara kuantitatif penonton program televisi dari keseluruhan populasi penonton berbanding dangan stasiun-stasiun televisi yang ada. Sementara itu, share adalah perhitungan kuantatif jumlah penonton pada jam tertentu berbanding dengan jumlah penonton program yang ada pada jam itu di stasiun yelevisi. Keduanya sangat dijadikan bahan pertimbangan yang kuat dalam menjalankan roda penayangan-penayangan program di stasiun televisi. Dan yang menjadi tokoh utama dalam hal ini adalah AGB Nielsen Media Research.

Gambar 1. AGB Nielsen

Tayangan televisi yang ada saat ini diolah dan dikembangkan berdasarkan hasil survei kuantitatif AGB Nielsen. Data rating-share, yang berasal dari AGB Nielsen, tidak bisa dipastikan keasliannya. Konsep survei yang dilakukan oleh AGB Nielsen menggunakan Television Audience Measurement (TAM), dengan alat yang bernama peoplemeter. Peoplemeter disebar keseluruh lapisan penonton di 10 kota besar di Indonesia dengan kelompok kelas ekonomi masyarakat yang berbeda-beda. Masyarakat itu tidak boleh diketahui oleh orang umum (bersifat rahasia). Cara penggunaan peoplemeter adalah dengan terlebih dahulu menekan tombol siapa yang ingin menonton, baru bisa memulai menekan tombol apa yang ingin ditonton. Sebagai contoh, jika ayah yang ingin menonton, maka ayah wajib menekan tombol bertuliskan nama ayah terlebih dahulu, baru menekan tombnol channel yang ingin ditonton, begitu pula dengan mematikannya (Wawancara dengan HUMAS AGB Nielsen, Jakarta, 2007). Peoplemeter begitu rumit dalam penggunaan, dan sangat besar kecenderungan terjadinya human error. Peoplemeter seperti antara ada dan tiada. Ia seperti mitos yang menghasilkan data, dan diterima oleh stasiun televisi. Namun mitos itu dipercaya dan diterapkan sampai menjadi sebuah tayangan yang ditayangkan ke masyarakat.

Gambar 2. Contoh alat Peoplemeter

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 51

Page 56: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Tayangan televisi dilahirkan dan berkembang berdasarkan pengolahan data yang didapat dari rating-share. Representasi tayangan akan berpengaruh manfaatnya ke masyarakat. Masyarakat hanya sebagai penerima makna dari representasi tayangan televisi. Dengan data rating-share yang didapat oleh AGB Nielsen, stasiun televisi sebagai pemberi makna dapat langsung mengubah dan membentuk sebuah konsep baru yang terkadang tidak sama sekali berkaitan dan terhubung dari tayangan yang ada. Tayangan yang akan dibuat juga terkadang berbeda dari image stasiun televisi. Hal demikian bagaikan sebuah mitos yang diyakini dan disembah, hanya untuk mendapatkan sumber kehidupan bagi stasiun televisi.

Gambar 3. KIRI: Poster Tukang Bubur Naik Haji yang awal; KANAN: Ketika mengalami banyak perubahan cerita

Penulis mencoba menarik salah satu contoh film televisi, yaitu Tukang Bubur Naik Haji. Film bertemakan cerita tentang tukang bubur yang ingin memberangkatkan ibunya untuk pergi Haji bersama dengan dirinya. Namun ketika tayangan ini ditransformasi ke bentuk serial drama, ia semakin banyak mengalami perubahan yang terjadi. Awalnya memang cerita mengalir dan berkembang sesuai dengan tema utama, tetapi setelah mengalami perjalanan beberapa episode, cerita mulai mengalami perubahan yang jauh dari tema cerita utama. Bahkan, tokoh utama lama-kelamaan menghilang dari cerita. Cerita itu berubah menjadi cerita yang selalu membicarakan sikap Pak Haji Muhidin, yakni karakter seorang Haji yang sombong. Sangat besar kemungkinan bahwa rating-share yang mempengaruhi hal ini. Mitos itu memaksa RCTI dan SinemArt, selaku rumah produksi, untuk membongkar konsep kreatif yang ada, yang bahkan bisa membunuh tayangan itu sendiri.

Mitos rating-share sangat dipercaya oleh kelompok yang memiliki power dalam kebudayaan televisi, dan juga kelompok-kelompok yang memberi nafas dan asupan keuntungan kepada televisi. Kekuasaan berperan dalam “melahirkan kekuatan” (force), membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan; kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya” (Foucault, 1980: 136). Foucault melihat kekuasaan bukan yang selalu jadi upaya dalam perwujudan kekuasaan, juga tidak bisa menghancurkan bentuk pemikiran-pemikiran lain yang bisa diwujudkan. Dalam televisi, jika saja para penguasa televisi bisa selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk terbuka dalam berbagai hal yang akan dijadikan bahan untuk produksi sebuah tayangan, mungkin bisa menjadi tayangan punya nilai berbeda. Dalam budaya televisi, yang banyak terjadi adalah para penguasa televisi percaya dengan mitos rating-share. Hal yang berbahaya adalah ketika mitos itu tidak sesuai dengan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai penerima tontonan atau tayangan, dan tidak bisa memberikan bentuk tanggapan atau komunikasi balik secara langsung. Keadaan yang berbahaya lagi adalah mitos yang disuarakan oleh rating-share ini adalah yang berbau negatif, seperti contohnya yang beradegan kekerasan, atau juga maki-makian kasar dari sang antagonis terhadap protagonisnya, atau bahkan ketika sang tokoh melakukan kecurangan dengan mencuri yang bukan haknya. Jika hal-hal tersebut mempunyai rating - share tinggi atau bagus, lalu bagaimanakah dengan tayangannya?

Konstruksi rating-share juga mencipatakan gelombang lahirnya program-program dengan genre sama, dengan segala macam konten yang sama, dan juga jam tayang yang paralel. Contohnya dapat ditemukan pada tayangan musik, sepetiL Dahsyat (RCTI), Inbox (SCTV), Dering (Trans TV), 100% Ampuh (Global TV), dan Mantap (ANTV).

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 52

Page 57: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Gambar 6. Serial drama Si Doel Anak Sekolahan

Pada kenyataannya, ada pula sebuah tayangan yang dapat keluar dari lingkaran itu. Ada tayangan yang direspons dengan baik oleh penonton televisi, mendapatkan rating-share yang bagus, tanpa harus menjadi pengikut dari tayangan-tayangan yang mitosnya mempunyai rating-share yang bagus. Salah satu contohnya adalah cerita drama Si Doel Anak Sekolahan. Serial drama Si Doel bisa sukses tanpa harus terpengaruh oleh rating-share. Serial ini pada awalnya tidak mendapatkan respons yang baik pada proses penjualannya ke salah satu stasiun televisi, dan mungkin stasiun televisi tersebut yang termasuk pihak yang dipengaruhi oleh rating-share. Setelah mendapatkan tempat penayangan di salah satu stasiun televisi, drama serial itu mendapatkan respons yang sangat baik dari masyarakat dan menjadi isu yang berkembang pada saat itu,

Gambar 4. Poster program musik Dahsyat (RCTI) dan Inbox (SCTV)

Program musik Dahsyat dan Inbox ini merupakan program musik yang seragam. Eksistensi keduanya cukup panjang dibanding program-program musik televisi lain yang sejenis. Keseragamannya bukan hanya isi dan jam tayang yang parelel, tapi juga sampai dengan pembuatan ajang pemberian anugerah kepada para musisi yang ada di Indonesia. Mereka menggunakan cara masing-masing dalam mengkreasikan keragamannya itu. Sementara itu, program acara musik Mantap (ANTV), 100% Ampuh (Global TV), dan Dering (Trans TV) tidak seberuntung kedua program yang mendahuluinya. Ketiga program ini lebih cepat hilang dari penayangan. Kemungkinan itu juga pengaruh rating-share yang menyuarakan datanya ke stasiun televisi yang terlibat dalam penayangan itu.

Gambar 5. Poster Ganteng Ganteng Serigala (SCTV) dan 7 Manusia Harimau (RCTI)

Kemudian, jika melihat keseragaman serial drama, seperti Ganteng Ganteng Serigala dan 7 Manusia Harimau, ini juga membuat kita bisa melihat bagaimana pola penayangan yang ada adalah bentuk konstruksi. Melalui dua tayangan tersebut, terjadi kompetisi kuat di kedua stasiun televisi besar, SCTV dan RCTI, seperti pada acara musiknya yang ditayangkan pagi hari. Keseragaman ini adalah bukti dari konstruksi mitos rating-share, bahkan juga bisa menjadi faktor hilangnya program dari penayangan. Hasil riset banyak berpengaruh terhadap lahir-lahirnya program seragam dan juga gugurnya program itu.

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 53

Page 58: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

hingga Karnos Film sebagai rumah produksi yang membuatnya, mencoba menerapkan sistem jual-beli tayangan dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan bagi hasil, karena yang sebelumnya dengan cara beli putus (Tobing, 2013).

Televisi dan Penonton

Televisi sebagai yang memproduksi makna dari representasi teksnya tidak akan lepas dari penonton yang memproduksi makna baru dari teks tayangan televisi itu sendiri. Penonton akan memproduksi di luar kendali dari yang memproduksi makna (televisi). Penonton akan memproduksi maknanya sendiri yang belum tentu akan sesuai dengan yang diharapkan oleh para pembuat maknanya. Apabila kita melihat penonton televisi yang beragam, kita bisa mengkelompokan penonton televisi menjadi tiga golongan dalam hubungannya denga produksi makna teks televisi. Tiga karakter penonton itu adalah reader, viewer, dan audiences (B. Casey: N. Casey: Ben Calvert: Liam French: Justin Lewis, 2008: 168).

Reader adalah karakter penonton yang bisa membaca tayangan dengan sudut pandang yang penuh dengan kajian-kajian lain, yang berdasarkan pemikiran-pemikiran dan teori-teori. Reader sangat cermat dalam melihat teks televisi dan menanggapinya dengan latar

belakang pemikiran-pemikiran yang bisa dipertanggung jawabkan—layaknya pembaca buku yang dapat memahami isi bacaannya dengan baik, kemudian dapat berargumentasi dengan pemikiran-pemikiran cermatnya. Reader memproduksi maknanya untuk diri sendiri dan juga dapat memberikan wacana baru untuk orang lain.

Viewer adalah karakter penonton yang lebih memilih dalam menonton tayangan televisi. Seperti contoh penggemar sepak bola, maka tayangan yang akan ditonton hanya menonton pertandingan sepak bola dan tayangan-tayangan yang bertema sepak bola. Viewer akan aktif dalam melihat dan menanggapi tayangan yang dipilihnya.

Lalu, audiences adalah penonton dengan karakter yang hanya penikmat tayangan. Biasanya penonton ini tidak begitu aktif dalam mengurai konten dan makna tayangan televisi. Audiences mencoba menghibur dirinya dan tidak banyak mempunyai beban makna yang harus diperjuangkan dalam memaknai suatu tayangan televisi. Audineces akan cenderung menelan makna televisi dengan mentah, tidak mengurai dan memfilternya dengan cermat. Audiences adalah karakter penonton hasil konstruksi konvensi masyarakat dominan yang terkadang sangat percaya sekali konvensi yang terjadi.

Bagan 1. Sistem kerja konvensi rating-share

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 54

Page 59: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Konstruksi Sistem Konvensi Rating-Share

Apabila melihat konstruksi yang terjadi pada konvensinya, rating-share bekerja cukup jelas dan sangat terstruktur rapi. Sehingga pada akhirnya, pola itu menciptakan sebuah aturan ekonomi yang terbentuk karena sebuah konvensi.

Struktur ini sekarang memang menjadi aturan ekonomi dalam budaya televisi di Indonesia. Mekanismenya adalah televisi memegang data dan masukan lain yang didapat dari AGB Nielsen, kemudian televisi dengan departemen research and development berkolaborasi dengan lainnya untuk mencoba mengurai data tersebut menjadi sebuah perencanaan produksi sebuah tayangan. Dalam prosesnya, televisi juga bergerak untuk mendapatkan sponsor dari pengiklan. Ketika tayangan itu berjalan, AGB Nielsen memberikan data penonton untuk tayangan itu. Hasil itu akan membantu televisi dalam mendapatkan pengiklan untuk mempromosikan produk mereka dalam tayangan itu. Sedangkan, dalam representasinya tayangan itu diterima oleh penonton yang beragam dan menghasilkan makna baru penontonnya.

Struktur itu adalah struktur yang konvensional, namun struktur tersebut tidak juga bisa menjamin tayangan itu akan berhasil. Berhasil di sini bisa dalam arti diterima oleh masyarakat dengan baik atau juga menghasilkan laba untuk televisi.

Dekonstruksi Sistem Konvensi Rating-Share

Dekonstruksi sistem konvensi rating-share merupakan bentuk yang melawan atau mengubah dari struktur konstruksi konvensi yang pada umumnya. Dekonstruksi ini adalah cara lain dalam mecoba melahirkan tayangan televisi, bahkan ini bisa menghasilkan metode baru yang lepas dari mitos rating-share.

Susunan bagannya terlihat sama, namun memiliki struktur konstruksi yang berbeda. Struktur ini melakukan susunan keluar dari aturan konstruksi yang umumnya. Televisi secara langsung merencanakan tayangan dan konsep televisi itu sendiri. Kemudian televisi itu mendapatkan hasil rating-share yang diberikan oleh AGB Nielsen. Hasil rating-share itulah yang menjadi bahan televisi untuk mendapatkan sponsor atau pengiklan. Konsep ini langsung dirasakan penonton televisi, dari hasil jerih payah televisi itu sendiri, tanpa perlu campur tangan awal dari AGB Nielsen.

Metode ini coba diterapkan oleh NET TV. NET TV memproduksi program-programnya berdasarkann hasil riset mereka sendiri dan daya kreativitas di dalam stasiun televisi tersebut sendiri. Seperti yang dikatakan oleh CEO NET TV, Wishnutama Kusubandio, di program Ini Talk Show pada Desember 2016, “Bukan hanya mengejar rating, tetapi juga inspiring. Memberi

Bagan 2. Dekonstruksi sistem kerja rating-share

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 55

Page 60: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

value baru kepada masyarakat, begitulah usaha kita. Acara kami dengan bentuk yang lain memberi value dengan bentuk yang berbeda bukan cuma mengejar rating saja.” NET TV cukup membuktikan bahwa dekonstruksi sistem konvensi rating-share mungkin dilakukan. Kondisi itu juga dapat menghasilkan sesuatu yang bisa menguntungkan, dan bahkan bisa menjadi trendsetter untuk yang lain sehingga bisa menghasilkan rating-share yang tinggi. Pola ini adalah pola yang membentuk rating-share, bukan pola yang dibentuk oleh rating – share.

Penutup

Apabila mitos rating-share selalu diyakini dan disembah, hal itu akan menciptakan budaya keseragaman yang sangat merugikan industri kreatif yang berlangsung dan bekerja di televisi. Televisi merupakan wujud dari kebudayaan populer yang memang di dalamnya begitu kuat dengan kreativitas dan seni. Televisi adalah industri kreatif yang aktif dan jelas bekerja. Apabila industri tersebut terbelenggu dan bermasalah dengan kreativitas yang berlangsung, maka akan menghancurkan wacana televisi itu sendiri di benak masyarakat sebagai penontonnya. Televisi adalah tempat para penontonnya terwakilkan dan terhibur dalam tayangan-tayangannya, bukan juga melulu tentang keseragaman program-programnya. Tapi bagaimana dan seperti apa program-program tersebut bisa bermanfaat dan sangat juga disenangi oleh penontonnya.

Konsep ekonomi budaya menurut John Fiske sangat sesuai untuk mengimplementasikan tayangan atau program-program yang akan dibuat dan tentunya akan berpotensi menghasilkan laba. Program dan tayangan televisi bisa kuat dan melekat menjadi wacana yang tumbuh dan hidup di masyarakat. Itu sangat dipengaruhi oleh ekonomi budaya. Ekonomi budaya punya alasannya ketika konstruksi itu bisa membentuk wacana, kesenangan, makna, dan identitas sosial yang menjadi sorortan (Fiske, 1987: 311). Kesenangan adalah faktor yang membentuk orang menjadi punya alasan untuk mewujudkan sesuatu menjadi yang menurut mereka baik dan menyenangkan. Pemahaman seseorang terhadap hal itupun menjadi alasan. Karena pemahaman, dari masing-masing orang yang secara tidak disadari itu membuat orang bisa menentukan

pilihannya. Identitas sosial sebagai penentu posisi seseorang di lingkungannya. Inilah yang menjadi tujuan mereka untuk melakukan hal apapun. Kepentingan ini sangat menentukan hidup mereka.

Ketiga konsep John Fiske ini cukup logis jika menjadi bahan rujukan dalam memproduksi tayangan televisi. Apabila bisa mengurainya dengan baik, maka itu dapat menciptakan ekonomi yang sehat juga dalam budaya televisi. Konsep tersebut sangat mewakilkan televisi sebegai kreator yang akan meng-encode makna dengan kreativitas tayangannya dan juga mewakilkan penonton yang akan meng-decode makna dari tayangan yang direpresentasikan.

Perlu sebuah kesadaran dan ketelitian terhadap sebuah tayangan yang akan ditayangkan oleh televisi. Televisi sangat dekat dengan masyarakat dan sampai saat ini masih menjadi media yang populer. Televisi perlu diperlakukan secara bijak oleh pemerintah, penguasa televisi itu sendiri, kreatornya, pengawasnya, lembaga penelitinya, dan juga masyarakat sebagai penonton.

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 56

Page 61: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Edisi 9 No. 1 Juli 2017

Daftar Pustaka

Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publication. 2000.

Casey, Bernadette, Neil Casey, dkk. Television Studies: The Key Concept. London & New York: Routledge. 2008.

Fiske, John & John Hartley. Reading Television. London & New York: Routledge. 2003.

Fiske, John. Television Culture. New York: Routledge. 1987.

Irwansyah, Ade. “Tahukah Anda: Apakah Rating Dan Apakah Share?” Archive Tabloidbintang.com. TabloidBintang.com, 13 September 2011. Web. 24 Juli 2017.

Mario Sepuh Grogi Berat Bertemu Najwa Shihab & Wishnutama. YouTube. YouTube, 6 Desember 2016. Web. 24 Juli 2017.

“The Mystery of the Audience.” The Mystery of the Audience. N.p., n.d. Web. 24 Juli 2017.

Televisi di Indonesia dan Mitos Rating-Share | 57

Page 62: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

1. Artikel yang ditulis meliputi hasil telaah dan penelitian di bidang media, budaya, dan kesenian.

2. Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, spasi ganda, dikirim sebagai attachment ke email : [email protected]

3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris.

4. Panjang artikel minimal 2500 kata.

5. Sistematika artikel adalah judul, nama penulis, e-mail penulis, abstrak (Indonesia dan Inggris), kata kunci (Indonesia dan Inggris), pendahuluan, pembahasan, simpulan, daftar pustaka.

6. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal yang ditempatkan di bawah judul artikel.

7. Judul artikel dalam bahasa Indonesia tidak boleh lebih dari 14 kata, sedangkan judul dalam bahasa Inggris tidak boleh lebih dari 12 kata.

8. Panjang tulisan abstrak berkisar antara 75 – 100 kata, yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian.

9. Kata kunci berisi 3 -5 kata.

10. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan tujuan penelitian (15-20% dari total panjang artikel).

11. Bagian pembahasan berisi deskripsi data, teknik pengumpulan data, analisis data, pemaparan hasil analisa data (40-60% dari total panjang artikel).

12. Simpulan berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan.

13. Daftar pustaka hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar rujukan. Daftar rujukan ini minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan harus merupakan sumber primer (artikel penelitian, buku, jurnal, laporan penelitian).

14. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik catatan kaki (footnote) dengan tata cara yang berlaku umum.

15. Daftar pustaka disusun dengan struktur:

16. Nama (nama belakang, nama depan), judul (ditulis miring), penerbit, kota terbit: tahun terbit.

17. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah.

18. Selain mengirimkan tulisan, penulis disarankan juga mengirimkan data pendukung lainnya (grafik, gambar, dsb.) yang memang dibutuhkan untuk mendukung artikel.

19. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan (tulisan atau grafis) dan penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penulis artikel.

Petunjuk Bagi Calon Penulis

Page 63: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)
Page 64: Mitos dalam Film dan Televisi - fftv.ikj.ac.id filespasi ganda sepanjang lebih kurang 10 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (petunjuk bagi calon penulis)

Fakultas Film dan TelevisiInstitut Kesenian Jakarta