mitopoik dalam novel puya ke puya karya faisal oddang dan …

172
MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN MANUSIA LANGIT KARYA J. A. SONJAYA (KAJIAN TEORI LEVI-STRAUSS) MYTHOPOEIC FORMS IN THE NOVEL PUYA KE PUYA BY FAISAL ODDANG AND MANUSIA LANGIT BY J.A SONJAYA (STUDY OF LEVI-STRAUSS THEORY) Tesis Oleh ZULKIFLI Nim 105 04 13 003 18 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL

ODDANG DAN MANUSIA LANGIT KARYA J. A. SONJAYA

(KAJIAN TEORI LEVI-STRAUSS)

MYTHOPOEIC FORMS IN THE NOVEL PUYA KE PUYA BY

FAISAL ODDANG AND MANUSIA LANGIT BY J.A SONJAYA

(STUDY OF LEVI-STRAUSS THEORY)

Tesis

Oleh

ZULKIFLI Nim 105 04 13 003 18

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

Page 2: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

i

MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL

ODDANG DAN MANUSIA LANGIT KARYA J. A. SONJAYA

(KAJIAN TEORI LEVI-STRAUSS)

MYTHOPOEIC FORMS IN THE NOVEL PUYA KE PUYA BY

FAISAL ODDANG AND MANUSIA LANGIT BY J.A SONJAYA

(STUDY OF LEVI-STRAUSS THEORY

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan diajukan oleh

ZULKIFLI

Nomor Induk Mahasiswa: 105 04 13 003 18

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

Page 3: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

ii

Page 4: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

iii

Page 5: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

iv

Page 6: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

v

ABSTRAK

ZILKIFLI. 2021. Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddan dan Novel Manusia Langit Karya J.A Sonjaya (Kajian Teori Levi-Straus), dibimbing oleh A. Sukri Syamsuri dan Sitti Aida Azis.

Tujuan penelitian ini ialah untuk melakukan pembacaan terhadap bentuk mitopoik dalam teks novel. Lebih spesifik tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian teori Levi-Straus.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah keterangan yang dijadikan objek kajian, yaitu setiap kata, kalimat atau ungkapan yang mendukung bentuk mitopoik dalam novel. Sumber data ini menggunakan novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dengan jumlah 215 halaman diterbitkan oleh PT. KPG (Keperpustakaan Populer Gramedia) tahun 2015, di Jakarta, dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya dengan jumlah 210 halaman diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2010, di Jakarta. Teknik pengumpulan data penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara penelitian pustaka. Teknik analisis data dilakukan meliputi identifikasi data, klasifikasi data, mendeskripsi, menganalisis, dan membuat kesimpulan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddan dan novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya terdiri atas pola-pola kebudayaan manusia yang meliputi; a) pola kepercayaan dan keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d) pola ritual adat.

Kata Kunci: Mitopoik, Novel, Puya ke Puya, Manusia Langit

Page 7: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

vi

Page 8: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

vii

MOTTO

“Kunci untuk mewujudkan impian bukanlah dengan fokus pada

kesuksesan tapi pada arti. Bahkan langkah kecil dan

kemenangan kecil sepanjang perjalananmu bisa memberikan

arti yang lebih hebat”.

Page 9: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

viii

KATA PENGANTAR

Allah maha penyayang dan pengasih, demikianlah kata untuk

mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Tesis ini adalah setitik dari

sederetan berkah-Mu puji dan syukur atas nikmat-nikmat agung yang

tiada terkira yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh

gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar. Salawat dan salam yang melimpah semoga

selalu tercurah kepada Nabiullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan

para pengikutnya yang istiqomah.

Setiap orang dalam berkarya selalu berusaha mempersembahkan

yang terbaik, tetapi terkadang yang terbaik itu terasa jauh dari kehidupan

seseorang. Demikian juga halnya dalam penyusunan tesis ini segala

usaha dan upaya telah dilakukan penulis untuk menyelesaikan tesis ini

dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari sepenuhnya bahwa

tesis ini masih sangat jauh dari sempurna dan hanya Allah dzat yang

memiliki kesempurnaan mutlak.

Secara istimewa, penulis menyampaikan sembah sujud sedalam-

dalamnya serta terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada orang tua tercinta, bapak saya Abakar dan ibu saya Hadijah yang

telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis dengan segala

curah kasih sayang dan iringan Do‟a yang terus mengalir dalam setiap

darah, keringat, dan air matanya sejak dalam kandungan hingga detik ini,

sungguh penulis tidak mampu membalasnya dengan apapun juga. Dan

ucpan terima kasih saya curahkan untuk adek-adek dan keluaga besar

saya, Nuridawati, S. Ak, Sam‟udin, Sufian dan Nursinta Rahmawati yang

Page 10: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

ix

selalu hadir memberi dorongan dan motivasi untuk kesuksesan saya

dalam menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagi pihak, tesis

ini tidak akan terselesaikan, oleh karena itu, penulis menyampaikan

penghargaan dan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah

Makassar, Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. Direktur Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar bapak Dr. H. Darwis Muhdina,

M.Ag, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia bapak Dr. Abd. Rahman Rahim,M.Hum. selaku Dosen

Pembimbing I bapak Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. dan

Pembimbing II ibu Dr. Siti Aida Azis, M.Pd, yang telah meluangkan waktu,

pikiran, dan tenaganya untuk memberikan arahan, motivasi, serta

bimbingan dengan penuh kesabaran dan ketulusan kepada penulis dalam

penyelesaian tesis ini.

Penulis juga tak lupa khaturkan kata terima kasih kepada segenap

dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang

telah memberikan ilmu pengetahuan selama menempuh perkuliahan

sampai pada penyusunan tesis ini, serta kepada staff dan karyawan pada

Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah

banyak membantu penulis dalam hal urusan administrasi. Saya ucapkan

terimah kepada pak Erwin Akib, M. Pd. Ph. D. beserta keluarga atas

dukungan dan bimbingan selama proses perkuliahan. Saya ucapkan

terima kasih kepada bapak Syekh Adi Wijaya Latief, S.Pd.,M.Pd. Tasrif

Akib, S.Pd, M.Pd, Ismail Sangkala, S,Pd, M.Pd., Wildhan Burhanuddin,

S,Pd., M. Hum., dan Muhammad Zia Ulhaq, S.Pd, M.Pd., M. Ik, atas

bimbingan dan Do‟anya saat selama proses berkuliah di Unismuh

Makassar.

Selanjutnya, terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman-

teman saya Muhammad Dahlan, S.Pd., M.Pd., Muhammad Idham Asfar,

S.Pd., M.Pd, Syafarudidin, SPd., Suhardi Kana, S.Pd, Abdul Rahman,

S.Pd., M.Pd., selama saya kuliah di Makassar sering membantu saya,

Page 11: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

x

rekan-rekan seperjuangan di bangku kuliah, terutama mahasiswa

Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A

Angkatan 2018, atas segala dorongan, saran, dan bantuannya selama ini

kepada penulis serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

penyelesaian tesis ini yang tidak sempat penulis sebutkan namanya.

Akhirnya, penulis berharap semoga amal baik semua pihak yang

turut memberikan andil dalam penyusunan tesis ini mendapat pahala dari

Allah Swt. Semoga kesalahan atau kekurangan dalam penyusunan tesis

ini, akan semakin memotivasi penulis dalam belajar. Amin yaa rabbal

alamin.

Makassar, Januari 2021

Penulis

Zulkifli

Page 12: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i

HALAMAN PENEGESAHAN ..............................................................ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI................................................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..................................................... iv

ABSTRAK ......................................................................................... v

ABSTRACT ...................................................................................... vi

MOTTO ............................................................................................. vii

KATA PENGANTAR ......................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................. 1

B. Fokus Peneletian ............................................................. 11

C. Tujuan Penelitian ............................................................. 12

D. Manfaat Penelitian ........................................................... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya ..................................... 14

B. Kajian Teori dan Konsep .................................................. 17

1. Esensi Karya Sastra .................................................. 17

2. Konsep Novel ............................................................ 21

3. Tinjauan Mitopoik ....................................................... 24

4. Teori Levi-Strauss ...................................................... 32

C. Kerangka Pikir ................................................................. 34

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ................................................................ 37

B. Data dan Sumber Data .................................................... 38

C. Batasan Istilah ................................................................. 39

Page 13: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

xii

D. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 40

E. Teknik Analisis Data ......................................................... 41

F. Pengujian Keabsahan Data ............................................. 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ............................................................... 45

B. Pembahasan .................................................................. 114

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ........................................................................ 122

B. Saran ............................................................................. 124

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 125

RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 14: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra adalah salah satu hasil kebudayaan manusia yang

menggambarkan keadaan hidup manusia. Gambaran kehidupan di

dalamnya, merupakan manifestasi ekspresi pengarang yang diperoleh

dalam kehidupan nyata. Kehidupan manusia dengan kompleksitas

persoalan dan kejadian sehari-hari. Kompleksitas suatu karya sastra dapat

dipelajari pada strukturnya secara intrinsik tersusun dari berbagai

peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia dituangkan secara

imajiner. Dengan demikian, struktur karya satra terbentuk dari struktur

kehidupan manusia yang diserap oleh pengarang dapat difungsikan

sebagai kiritik dan pencerahan kepada masyarakat pembaca.

Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang

sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu

dengan pengarang yang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi.

Proses tersebut bersifat individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-

tiap pengarang dapat berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal di

antaranya metode, munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan

apa yang ada dalam diri pengarang hingga bahasa penyampaian yang

digunakan (Waluyo, 2013:68)

Page 15: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

2

Pada hakikatnya orang-orang yang hidup pada zaman turunnya Al-

Qur‟an merupakan masyarakat yang mengetahui keistimewaan dan

keunikan serta keindahan. Sebagaimana di jelaskan pada Q.S. Al-Isra

ayat 88 menjelaskan:

كان قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن لا يأتون بمثله ولو

بعضهم لبعض ظهيرا

Terjemahannya:

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.

Sejak awal terbentuknya sastra, Al-Qur‟an memang sudah

bersentuhan dengan tradisi kesusasteraan Arab yang sudah mapan, yaitu

sastra Jahiliyyah. Ketika interaksi itu berlangsung dan supremasi al-Qur‟an

begitu dominan, maka al-Qur‟an, dalam kapasitasnya sebagai dustur

Islam, hadir sebagai ide sentral sekaligus solusi pemecah persoalan.

Secara sederhana interaksi yang terjadi antara al-Qur‟an dan

kesusasteraan berkisar pada tiga persoalan. Pertama, persoalan yang

berhubungan dengan konsep estetika, hubungan antara karya sastra dan

filsafat keindahan dalam ruang transenden („aqidah). Kedua, rujukan yang

mengarah pada etika (akhlaq) serta kaitannya dengan hakikat sastra dan

tujuannya dalam konteks sosiologis. Ketiga, masalah perbedaan wacana

dan pendekatan terhadap ekspresi dan proses kreatif dalam konteks tafsir

hukum agama (syari‟ah).

Page 16: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

3

Hal inipun ditegaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 147 yang

berbunyi:

بك من الحق ين من تكونن فل ر ممتر ال

Terjemahannya:

“Kebenaran itu adalah Rrab-mu, sebab itu janganlah sekali kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S Al-Baqarah ayat 147).

Dalam ayat di tersebut di tegaskan bahwa Muhammad rasul utusan

Allah swt. Bagiamanapu dan sepandai apapun mereka menyembunyikan

kebenaran, kebenaran itu pasti datang Tuhan. Tidak ada satupun

kekuatan dalam dunia ini yang dapat menghalangi atau menyembunyikan

kebenaran itu karena itu pasti akan terungkap.

Sejalan dengan penjelasan ayat tersebut diatas, dalam Islam mitos

adalah cerita-cerita bohong mengenai suatu hal, asal usul tempat, alam,

manusia, serta mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara

gaib. Sedangkan Islam menyebutnya khurafat, yakni ajaran atau

keyakinan yang tidak mempunyai landasan kebenaran, disebut pula

takhayul.

Percaya pada khurafat dan mitos adalah cara berfikir dan berdalil

orang-orang musyrik. Mereka tidak menggunakan akal dan hati untuk

mencari dan mengamalkan kebenaran sebagaimana di jelaskan dalam Al-

Qur‟an Surat al-Mulk ayat 10 di bawah ini:

Page 17: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

4

عير ا فى اصحب الس ا نسمع او نعقل ما كن وقالوا لو كن

Terjemahannya:

“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)

niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang

menyala-nyala.”

Dari ayat tersebut diatas bahwa jika kamu mendengar segala

sesuatu harus jangan langsung percaya, akan tetapi kalian harus

menelaah dal memikirkan apa yang akan terjadi, sehingga kalian tidak

terjeremus ataupun menjadi hamba Allah yang kafir yang menyakini

segala sesuatu yang bukan dari petunjuk Allah swt. Dan jika kalian lalai

dan tidak mengindahkan peringatan Allah maka kalian merepukan ummat

calon penghuni neraka, apabila kalia mendengarnya maka kalian

termasuk ummat calon penghuni surga.

Wiyatmi, 2011: 19 mengemukakan tentang fiksi memiliki fungsi

merangkum fakta sosial kebudayaan menjadi suatu kebutuhan yang sarat

nilai. Oleh karena itu, berbagai macam nilai kehidupan tersebut terefleksi

dalam hadirnya sebuah cerita mengenai peristiwa-peristiwa yang

dianggap mempunyai makna dan tingkat penalaran yang kuat disebut

sebagai mitos. Awal yang cukup sederhana dari kisah rakyat berlatarkan

kehidupan istana centris, rakyat jelata dan dunia gaib diperkenalkan oleh

sastra lisan. Hal tersebut tidak berhenti menjadi cerita rakyat saja, para

penikmat cerita merangkum cerita rakyat menjadi sastra tulis, sehingga

dapat dibaca oleh generasi berikutnya.

Page 18: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

5

Kehadiran karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan

manusia. Sastra bisa menjadi bahan refleksi manusia. Sebagai karya

imajinatif, karya sastra tidak hanya menawarkan hiburan bagi

pembacanya, tetapi juga membawa pesan berupa pengukuran nilai-nilai

kehidupan. Sastra pada kenyataannya adalah interpretasi yang hidup dari

kehidupan nyata melalui gambar pengarang dari pengarang. Oleh karena

itu, mempersembahkan segala bentuk kehidupan manusia sebagai

cerminan kehidupan yang dapat menjembatani sikap dan perilaku

manusia, tafsir masyarakat yang bersangkutan sehingga dapat

menentukan aspek-aspek kehidupan yang lebih bijak. (Sumardjo, 2013:

54)

Karya sastra ditulis oleh penciptanya (penulis) untuk mengungkap

permasalahan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dikelola secara

bergantian. Tugas penulis tentang permasalahan kehidupan antara lain

berusaha menemukan berbagai elemen yang diekspresikan dalam

masyarakat sebagai dinamika, baik elemen yang menghambat

pemenuhan keinginan dasar individu maupun anggota kelompok/

komunitas. yang dapat menyebabkan ketimpangan sosial, atau

mencerminkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi.

Rafiek (2010: 32) mengemukakan bahwa seorang sastrawan juga

berusaha untuk merefleksikan apa yang ada di dalam jiwa, apakah itu

luapan emosi putus asa, berpuas diri, protes diri terhadap cita-cita,

keinginan, nilai atau pencatatan peristiwa yang terjadi sebagai sarana

Page 19: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

6

ekspresi kehidupan. Dengan kata lain, karya sastra berfungsi sebagai

wahana dialog dan merenungkan segala persoalan yang ada di benak

penulisnya.

Sastra sejak awal perkembangannya tidak dapat mengambil dari

aktivitas dan perspektif budaya. Sastra sebagai salah satu unsur budaya

dalam masyarakat (Faruk, 2001: 43). Dengan kemampuan komposisi

seorang pengarang, sejumlah relasi atau kontribusi sosial yang ada dalam

masyarakat dirumuskan sebagai cerminan sosial masyarakat, yang

berkontribusi pada pemikiran dan potret sosial. Pada titik ini, ada

kecenderungan karya sastra hidup bermasyarakat sebagai milik bersama.

Membaca karya sastra adalah suatu keharusan untuk memperoleh

wawasan dan pengalaman tentang kehidupan dan kehidupan. Sedangkan

(Lubis, 1997: 18), menyatakan bahwa membaca karya sastra merupakan

salah satu masukan yang diterima oleh anak manusia selama hidupnya

untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Sastra dapat menginspirasi perasaan, pikiran dan hati pembaca.

Dalam jumlah yang cukup banyak, karya sastra mampu mendorong

perubahan di masyarakat. Sastra melalui karya sastra menyadarkan

anggota masyarakat akan masalah yang terjadi di masyarakat dan harus

mampu mengubah masyarakat pula. Di sisi lain, sastra merupakan seni

yang menyuguhkan keindahan yang faktual dan imajinatif sehingga

mampu memberikan hiburan dan kepuasan bagi pembacanya.

Page 20: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

7

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat mengaplikasikan

karya sastra yang lahir untuk dapat dibaca oleh masyarakat sehingga

masyarakat memahami nilai kehidupan yang terlibat. Jika hakikatnya

ditelisik, sastra bisa dijadikan alat untuk mengatur kehidupan manusia.

Sastra membuat Anda lebih sabar, bijak, dan mampu menyelamatkan

hidup dengan segala sikap positif. Dengan demikian, kesusastraan

memberikan manfaat yang sangat berharga.

Salah satu genre karya sastra yang dapat dibaca dan diserap

nilainya yaitu novel. Genre karya sastra ini berbentuk prosa naratif yang

memiliki struktur yang kompleks. Dalam novel terdapat beragam narasi

tentang kehidupan nyata, salah satunya merefleksikan dimensi sosial

budaya dan mencitrakan mitos yang secara esensial menarasikan

kehidupan pada zaman tertentu dari realitas sosial budaya suatu entitas

masyarakat.

Dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia tumbuh bersama

berbagai mitos. Hal ini dapat ditelusuri dalam struktuk cerita novel Puya ke

puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya.

Dua novel ini memiliki struktur mitos dalam teks yang dikonstruk

pengarangnya. Misalnya, pada novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang

mencerita yang kental akan mitos-mitos kematian di Tana Toraja Provinsi

Sulawesi Selatan yang disajikan dengan setting zaman modern. Mitos di

Tana Toraja merupakan aspek yang unik dalam novel ini yang

Page 21: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

8

mengetengahkan dinamika sosial budaya yang terakulturasi dengan

modernitas.

Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya juga mengeksplorasi

budaya di Pulau Nias. Aspek mitopoik yang kompleks pada novel ini dapat

ditelusuri pada suatu kepercayaan bahwa Pulau Nias merupakan tempat

turunnya manusia langit. Tidak hanya itu, struktur budaya dalam teks

novel yang berupa peninggalan nenek moyang seperti megalit dan mitos

yang terdapat di bebatuan megalitik masih tetap terjaga dan penataan

masyarakat Pulau Nias meski zaman telah berubah. Nilai-nilai luhur yang

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pulau Nias.

Kekayaan mitos dalam kedua novel tersebut dapat dikaji

menggunakan pendekatan mitopoik dengan teori analisis Levi-Strauss.

Logika dasar atau nalar manusia menurut Levi-Strauss, mestinya terwujud

dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Nalar ini memang mengikuti

struktur tertentu dalam bekerjanya, perlu dianalisis berbagai aktivitas yang

merupakan perwujudan dari nalar tersebut. Fenomena budaya pada

dasarnya merupakan perwujudan dari nalar. Akan tetapi, tidak semua

fenomena sama mudahnya untuk dibedah. Perlu dicari fenomena budaya

yang sesuai, dan itu adalah mitos (Ahimsa Putra, 2009:75-76)

Mitos dalam pandangan Levi-Strauss tidak harus dipertentangkan

dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua

konsep ini terasa semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Mitos dalam

konteks strukturalisme Levi-Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng

Page 22: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

9

ialah cerita atau kisah yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari

khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari

apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Salah satu yang

menarik bagi Levi-Strauss adalah kenyataan bahwa nalar manusia

tersebut mendapatkan tempat ekspresinya yang paling bebas dalam

dongeng. Dongeng-dongeng seringkali ditemukan mirip atau agak mirip

satu dengan yang lain (Ahimsa-Putra, 2009:75-76)

Mitos-mitos yang sering dijadikan sebagai kajian oleh Levi-Strauss

perlambangan dari bentuk kebudayaan dan antropologi sebagaian bangsa

tidak hanya terdapat di wilayah Eropa saja. Akan tetapi, mitos yang

tercipta di Indonesia juga dapat dikaji berdasarkan teori struktural Levi-

Strauss. Jajaran pulau di seluruh Indonesia telah menghadirkan

kemajemukan cerita rakyat, dongeng dan mitos.

Mitos sebagai sebuah seni, menurut pemikiran Levi-Strauss

(2005:277) bersifat dialektikalan itu melahirkan oposisi biner (binary

opposition), misalnya atas-bawah, kiri-kanan, kaya-miskin, langit-bumi,

dan air-api. Oposisi biner tersebut melahirkan suatu keharmonisan.

Keharmonisan itu tampak pada pola pikir masyarakat pemilik mitos

tersebut. Dengan demikian, ada hubungan homologis antara mitos dan

konteks sosial-budaya masyarakat.

Hubungan homologis mitos dan konteks sosial-budaya merupakan

mediasi dari masyarakat untuk mengatasi konflik (Barnauw,1682:254).

Masyarakat mencari jalan yang solutif untuk mengatasi konflik dalam

Page 23: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

10

keadaan sosial-budaya mereka dengan cara menyalurkannya pada cerita.

Penyaluran tersebut dilakukan dalam ketidaksadaran antropologis. Karena

itu, mediasi yang dilakukan terkadang tidak disadari.

Kajian terhadap aspek mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya

Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya dapat

dilakukan dengan mengunakan pendekatan struktarisme teori Levi-

Strauss Pradopo (2002:267,269) menyarankan perlunya analisis struktural

untuk memahami karya sastra. Dengan analisis struktural, makna intrinsik

karya sastra dapat digali berdasarkan pemahaman tempat dan fungsinya

dalam keseluruhan karya sastra. Dengan kata lain, totalitas lebih penting

daripada bagian-bagiannya. Keseluruhan dan bagian-bagiannya dapat

dijelaskan dengan baik hanya dalam kaitannya dengan hubungan yang

ada di dalamnya.

Senada dengan hal tersebut, Teeuw (1983: 61) menjelaskan

bahwa karya sastra adalah suatu struktur yang tersusun dari lapisan

lapisan norma yang saling terkait. Selain itu, sastra juga merupakan

struktur yang berwujud. Oleh karena itu, menganalisis karya sastra

merupakan upaya untuk menangkap makna dan memberi makna pada

teks sastra (Culler, 1977: vii). Dengan demikian, analisis struktural menjadi

prioritas utama sebelum yang lain karena tanpa itu kebulatan makna-

makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak akan

dapat ditangkap karena makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat

Page 24: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

11

dilakukan atas dasar pemahaman, dilihat dari tempat dan fungsi elemen

yang ada dalam karya itu sendiri secara keseluruhan, Teeuw (1983: 61)

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, terdapat beberapa alasan

mendasar bagi pentingnya dilakukan penelitian ini, diantaranya; 1) kedua

novel memiliki struktur mitopoik dalam teks novel yang dikontsruk

pengarangnya, 2) dari segi pendekatan kajian, mitopoik merupakan

pendekatan penelitian membongkar struktur mitos dalam teks sastra, 3)

penggunaan teori Levi-Strauss dianggap sangat cocok karena teori ini

terfokus pada pembacaan strutuktur kebudayaan, sehingga dapat

diterapkan dalam kajian novel, 4) setelah penulis melakukan observasi

awal menunjukkan bahwa penelitian terhadap teks mitos dalam sastra

menggunakan mitopoik masih sangat minim dilakukan, dan 5) penelitian

dengan pendekatan mitopoik di lingkungan Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar juga belum pernah dilakukan oleh para peneliti.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis termotivasi

melakukan penelitian dengan judul, “Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya

Karya Faisal Oddang dan Manusia Langit Karya J. A. Sonjaya (Kajian

Teori Levi-Strauss)”

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka fokus masalah

penelitian ini yaitu, “Bagaimanakan bentuk mitopoik dalam novel Puya ke

Page 25: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

12

Puya karya Faisal Oddang dam novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya

ditinjau dengan kajian teori Levi-Strauss?

Bentuk data kedua novel tersebut akan dianalisis berdasarkan

cakupan bentuk-bentuk mitopoik dan dianalisis secara antropologis.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguraikan mitopoik dalam teks novel.

Lebih spesifik tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui bentuk

mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang novel Manusia

Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian teori Levi-Strauss?. Dan

bentuk data kedua novel tersebut akan dianalisis secara antropologi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat bermanfaat bagi pengembangan teori kajian sastra yang

dapat digunakan sebagai pengayaan bahan literasi dalam bidang

pendidikan.

b. Dapat dijadikan sebagai sumber rujukan teoritik bagi peneliti

lanjutan, sehingga memeroleh konsep baru yang akan memperkaya

wawasan dan pengetahuan dalam bidang sastra.

Page 26: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

13

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk menambah

wawasan pembaca tentang bentuk-bentuk mitopoik dalam novel

Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya

J. A. Sonjaya dengan menggunakan kajian teori Levi-Strauss.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan untuk menambah

pengetahuan bagi komunitas sastra memahami penerapan teori

Levi-Strauss dalam kajian teks novel.

Page 27: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Kajian mitos dalam karya sastra prosa telah banyak dilakukan oleh

penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya dilakukan oleh Harahap

(2009: i) dengan judul Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo

penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan

mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel

Kuntowijoyo. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori

antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan

adalah metode hermeneutika. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa merupakan hal yang tidak

dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada akhirnya bermuara pada

satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme)

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Gani (2016) dengan

judul Mitos dalam Babad Songennep. Disertasi ini menggunakan

pendekatan semiotik Saussurean. Data korpus dalam penelitian ini berupa

kutipan cerita dalam Songennep Babad. Setelah ditentukan maka

ditentukan tingkat fisik mitos, alam batin mitos, dan fungsi mitos dalam

Babad Songennep. Sedangkan sumber datanya adalah Babad

Songennep. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis adalah (1) membuat

skema plot utama tiap bab Babad Songennep, (2) menulis potongan mitos

Page 28: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

15

pada masing-masing poin plot utama, (3) menuliskan poin-poin dari setiap

poin plot, (4) menyisipkan mitem ke dalam tabel kekerabatan, (5)

membuat skema relasi mitis tiap bab, (6) menganalisis makna mitem

masing-masing bab (7) menganalisis hubungan kekerabatan, hambatan

kekerabatan, keunggulan manusia, dan kelainan manusia, (8)

menganalisis mitos-mitos dalam Babad Songennep, dan (9) menganalisis

fungsi mitos dalam Babad Songennep.

Hasil penelitian ini adalah tidak ada penjelasan tahun kejadian

pada Babad Songennep Bab I dan Bab II. Kerangka waktu tidak

menjelaskan secara tepat kapan setiap peristiwa terjadi. Tahun kejadian di

bab III. Tokoh-tokoh yang bergerak di Bab I, Bab II, dan Bab III adalah

tokoh-tokoh dari istana. Uraian tentang makna keadaan mental Babad

Songennep berisi anjuran untuk (a) menghormati dan menghormati semua

ayah, ibu, guru dan raja (bhâppa 'bhâbbhu' ghuru rato); (b) membina

keharmonisan keluarga dan kekeluargaan, serta mempersiapkan generasi

penerus yang unggul; (c) mematuhi norma yang berlaku; (d) bersedia

berkorban untuk bangsa dan negara serta setia kepada atasan; (e)

bekerja dengan serius dan mencapai; dan (f) gotong royong, keadilan,

tanggung jawab, berpihak pada kebenaran, dan pantang menyerah. Hal-

hal yang tersirat dalam mistis batin dalam Babad Songennep

mencerminkan bâburughân beccè '(nasehat yang baik) yang senantiasa

disosialisasikan dalam masyarakat Madura.

Page 29: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

16

Muhammad Hasyim (2014) melakukan penelitian berjudul,

Kontruksi Mitos dan Ideologi dalam Iklan Komersial Televisi; Suatu

Analisis Semiologi. Penelitian ini bertujaun mengungkapkan mitos dan

ideology yang dibangun dalam iklan komersial televisi. Penelitian ini

mencoba menjelaskan bagaimana produk yang dikonsumsi dan

digunakan, bekerja secara ideologis, dengan mengamati hubungan

dinamis antara penanda dan petanda dalam teks iklan komersial televisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media iklan televisi komersial di

Indonesia tidak menekankan makna denotasi (manfaat produk), tetapi

menekankan tanda simbolik yang mewakili realitas simulacrum. Makna

kehidupan manusia saat ini sangat ditentukan oleh hubungan yang

dibangun antara manusia dan produk komersial, bagaimana iklan

memaknakan manusia melalui produk yang digunakan dan produk

berfungsi dari waktu ke waktu sebagai simbol identitas dan diferensiasi.

Iklan komersial bekerja sebagai simulacrum yang membuat kesan produk

dan gambar dibangun dalam pikiran manusia menjadi alami danwajar

meskipun realitas itu ambivalen.

Berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa penelitian

terdahulu diatas, belum ditemukan penelitian tesis maupun disertasi yang

mengkaji karya sastra, khususnya novel, yang menggunakan pendekatan

mitopoik. Disinilah letak urgensi mitopoik dengan menggunakan kajian

Levis-strauss dalam penelitian ini, dengan pertimbangan lain pula bahwa

pendekatan mitopoik dalam karya sastra juga belum pernah digunakan

Page 30: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

17

dalam penelitian-penelitian dilingkungan Universitas Muhammadiyah

Makassar, khusus pada program Magister bahasa dan sastra Indonesia.

B. Kajian Teori dan Konsep

1. Esensi Karya Sastra

Sastra merupakan salah satu instrumen yang menjadi indikator

capaian suatu peradaban umat manusia. Sebagai suatu kegiatan kreatif

dan menjadi sebuah cabang seni, sastra telah berkembangan dalam

berbagai bentuk genre. Luxemburg (Purba, 2010: 3) mengemukakan

sastra ialah salah satu karya seni yang muncul dari permintaan atau fiksi

penulisnya. Sastra adalah otonom, kenapa karya sastra di katakana

karena karya sastra memiliki pandangannya sendiri dibandingkan dengan

struktur kehidupan lainnya.

Wellek (2014: 4) menjelaskan sastra sebagai suatu kegiatan kreatif,

sebuah seni. Kehidupan dalam karya sastra yaitu hidup yang diwarnai

oleh sikap pengarang, latar belakang moral, keyakinan, dan lainya.

Sedangkan karya sastra mengandung kebenaran yang telah membuktikan

keyakinan indrawi dan kebenaran dari kehidupan sehari-hari.

Burnet (Semi, 1988: 20) mengemukakan bahwa sastra sama

dengan karya seni lainnya, hampir setiap perubahan memegang peran

penting karena dapat menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan yang

berfungsi sebagai alat tradisional suatu bangsa dalam arti yang positif,

baik saat ini maupun yang akan datang.

Page 31: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

18

Sastra merupakan refleksivitas masalah sebagai manusia hasil

refleksi penulis terhadap kehidupan manusia dan sekitarnya. Sastra

merupakan alat untuk menyampaikan ajaran, nasehat, atau agama

(Rampan, 1984: 14). Realitas pengarang yaitu bahan mentah. Agar

menjadi sebuah karya sastra masih perlu diolah dalam mimpi

pengarangnya. Tidak hanya mengolah dari segi cara penyampaiannya,

tetapi juga memberikan nilai yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seorang

pengarang menciptakan sebuah karya sastra tidak hanya untuk

menggambarkan apa yang disaksikan dalam kehidupan, kemudian

menuangkannya ke dalam karyanya, akan tetapi pengarang mempunyai

tugas yang lebih berat, karena pengarang harus menyumbang dan

membidik serta memberikan tafsir tentang alam dan kehidupan.

Sumardjo dan Saini (2013: 3-4) mengemukakan bahwa Sastra ialah

ungkapan pribadi berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan,

keyakinan, keyakinan berupa gambaran konkrit yang menimbulkan daya

tarik terhadap alat bahasa. Sehingga memiliki unsur-unsur berupa pikiran,

pengalaman, gagasan, perasaan, semangat, keyakinan, ekspresi atau

ekspresi, bentuk dan bahasa. Ini dikuatkan oleh opini.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sastra menjadi

representasi ungkapan pribadi manusia yang merekam pengalaman

secara empiris. Dengan demikian, sastra tidak bisa hanya dipandang

sebagai artefak atau benda mati semata. Pendapat tersebut memiliki

benang merah dengan apa yang dikemukakan oleh Saryono (2013: 16-

Page 32: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

19

17) bahawa sastra bukan sekedar artefak, melainkan sastra adalah tokoh

pinjaman. Sebagai tokoh hidup dalam sastra yang berkembang dinamis,

tokoh lain seperti politik, bisnis, seni dan budaya. Bisa menjadi literatur

dengan cara yang benar, karena sastra yang baik ialah karya sastra yang

ditulis dengan kejujuran, hak, keikhlasan, kearifan dan keluhuran. Sastra

yang baik dapat mengenali orang, membangunkan mereka dan menuntun

mereka kembali ke jalan yang benar, menuntun mereka di jalan

kebenaran, memberikan kehidupan pada tugas-tugas.

sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra

merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra

berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti

politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu

menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik

adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan,

kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik

tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan

manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha

menunaikan tugas-tugas kehidupannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa karya

sastra merupakan pengalaman manusia yang menggambarkan realitas

sosial masyarakat. Sugihastuti (2007: 81-82) menjelaskan bahwa karya

sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk

menyampaikan gagasan-gagasan danpengalamannya. Sebagai media,

Page 33: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

20

peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran

pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra

juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai

masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan

melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai

fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan

kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu,

karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya

wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya

dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca

tanpa berkesan mengguruinya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

sastra terbangun dari pemikiran dan imajinasi manusia yang melahirkan

bentuk-bentuk karya sastra yang merekam pengalaman dan pemikiran,

ide dan perasaan, semangat dan keyakinan dalam bentuk teks dengan

menggunakan bahasa sebagai instrumen penceritaan. Sastra sangat

memiliki nilai tinggi bagi kehidupan karena bermanfaat sebagai alat untuk

meningkatkan kepekaan terhadap nilai kehidupan dan kearifan yang

terdapat di lungkungan masyarakat.

Karya sastra dengan demikian, dapat pula membentuk sikap hidup

dan pematangan mentalitas individual. Hal ini dibangun melalui citra

setiap karakter di dalam karya sastra. Pembaca akan dapat membentuk

dirinya melalui karekter-karakter tokoh yang ada di dalam karya sastra

Page 34: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

21

serta mampu memahami realitas sosial yang ditampilkan dalam

keseluruhan struktur karya sastra.

2. Konsep Novel

Novel berasal dari bahasa itali, novella berarti suatu barang baru

yang kecil, dapat diartikan cerita pendek dalam prosa, Abrams (Purba,

2010: 3). Adhar (1997: 9) mengemukakan bahwa novel merupakan suatu

bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk

menyampaikan ide atau gagasan pengarang. Sejalan dengan pendepat

tersebut, Wellek dan Austin (2014: 182-183) mengemukakan novel adalah

gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan

jalan hidup baru baginya.

Sedangkan novel secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu

novellus yang diambil dari kata novles berarti baru. Secara istilah, novel

ialah salah satu jenis karya sastra diartikan sebagai penggunaan bahasa

yang indah dan memberikan rasa seni pada pembacanya. Sebagaimana

telah dikemukana Sumardjo (1994: 3) bahwa novel (sastra) ialah

ungkapan imajinasi individu manusia yang berdasarkan pengalaman,

perasaan, pemikiran, ide, semangat, keyakinan, kepercayaan berupa

gambar konkrit yang membangkitkan daya tarik alat bahasa.

Novel dapat dipahami sebagai salah satu karya sastra berbentuk

naratif, serta berkesinambungan yan ditandai adanya aksi dan reaski tiap

tokoh, khusunya tokoh antagonis dan tokoh pratagonis. Semi (1988: 36)

mengemukakan novel adalah salah satu bentuk narasi yang bersifat

Page 35: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

22

bercerita, yang di ceritakan yaitu sosok manusia dengan semua

kemungkinan yang ada di dalamnya. Olehnya itu, ciri utama yang

membedakan naratif (termasuk fiksi atau novel) dan deskripsi adalah aksi-

aksi, atau aktor.

.Pendapat tersbut menjabarkan tentang Novel tersebut memuat

cerita tentang kehidupan seorang tokoh yang diciptakan secara fiktif,

namun dinyatakan sebagai sesuatu yang nyata. Yang nyata dalam hal ini,

adalah berita yang peduli dengan fakta sebenarnya, tetapi nyata dalam

arti kebenaran yang dapat diterima secara logis, hubungan antara

peristiwa dan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat

untuk memberikan informasi bagi penggemar sastra. . Novel juga

dimaknai sebagai karangan proses panjang yang berisi rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang-orang disekitarnya dengan karakter

dan sifat tingkah lakunya masing-masing. (Depdikbud, 1993: 694)

Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat tersebut, Dapat

disimpulkan bahwa novel merupakan cerita yang berupa proses yang

menghadirkan lebih dari sekedar objek yang didasarkan pada suatu

struktur tertentu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari dan

mempelajari novel untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang

ungkapkan penulis.

Novel dalam arti luas adalah cerita yang berbentuk proses yang

kompleks. Besar kecilnya area disini dapat diartikan sebagai cerita dengan

plot (plot). Namun, kompleks, suasananya beragam, dan latar cerita yang

Page 36: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

23

bervariasi. Namun luas disini juga mutlak, mungkin lingkungan tersebut

hanya salah satu dari fiksi, misalnya hanya satu karakter dan setting.

Sumardjo (1994: 16) merumuskan novel tersebut terdiri dari tiga

jenis, yaitu novel roman, novel petualangan, dan novel fantasi. Pertama,

novel roman melibatkan peran tokoh perempuan dan laki-laki secara

seimbang, dan terkadang peran perempuan lebih dominan. Kedua, novel

petualangan hanya didominasi oleh laki-laki, karena karakter laki-laki

sendiri banyak melibatkan masalah laki-laki yang tidak ada hubungannya

dengan perempuan, dan Ketiga, novel fantasi menceritakan tentang hal-

hal tidak logis yang tidak sesuai dengan kondisi kehidupan manusia. Jenis

novel ini menekankan pada gagasan, konsep, dan gagasan penulis yang

hanya bisa jelas jika diceritakan dalam bentuk cerita yang fantastis, artinya

mereka mengalami hukum empiris dan hukum pengalaman sehari-hari.

Klasifikasi yang disebutkan di atas hanyalah klasifikasi utama,

sehingga dalam prakteknya terdapat ketiga jenis novel tersebut dalam

sebuah novel. Khususnya, Muchtar Lubis (Tarigan 1985: 166) membagi

novel atas beberapa bagian sebagai berikut.

a) novel avontur berpusat pada karakter utama atau pahlawan wanita,

yang merupakan hambatan untuk mencapai suatu tujuan.

b) Novel psikologis perhatian tidak ditampilkan dalam petualangan fisik

atau spiritual, ia lebih diutamakan daripada keseluruhan

pemeriksaan semua pikiran para pelaku.

Page 37: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

24

c) Novel detektif, kecuali digunakan untuk meragukan pikiran pembaca,

menunjukkan jalan penyesalan cerita. Untuk mengungkap rahasia

sebuah kejahatan, tentunya dibutuhkan bukti-bukti agar bisa

menangkap si pembunuh.

d) Novel sosial dan politik aktor pria dan wanita yang dibenamkan

dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita

e) Novel kolektif tidak hanya memuat cerita tetapi mengedepankan

cerita komunitas sebagai satu kesatuan, gabungan dari sudut

pandang antrologi dan sosiologis.

f) Novel sejarah hanyalah kenangan indah untuk dokumen,

menceritakan kisah kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya

menjadi korban revolusi.

g) Novel pengalaman batin keluarga diejek oleh pembaca tentang

kegelisahan, baik berupa kecemasan sosial, kegelisahan batin, dan

keresahan rumah tangga. Jenis-jenis novel tersebut secara umum

dapat dikaji menggunakan berbagai metodologi dalam kajian sastra.

Kajian mitopoik dapat diterapkan untuk mengetahui nilai-nilai

mitologis di dalam jenis-jenis novel terbut untuk mengkonstruk

perspektif tentang dimensi mitos yang adalam dalam struktur novel.

3. Tinjauan Mitopoik

Ratna (2011: 110) mengemukakan mitopoik merupakan salah satu

istilah yang sangat sulit didefinisikan sebab istilah tersebut digunakan

dalam berbagai bidang ilmu, secara etimologis mythopoic berasal dari

Page 38: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

25

myth. Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan

fabel dan legenda. Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab

memasukan hampir semua unsur kebudayaan, seperti: sejarah,

sosiologis, psikologis, agama, filsafat, dan kesenian. Cara penelitian ini

sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan

teori strukturalisme.

Wallek dan Warren (2014: 222) mengemukakan bahwa mitos

adalah istilah yang populer dalam kritiks modern. Istilah ini mengacu dan

meliputi wilayah makna penting yang masuk dalam bidang agama,

antropologi, sosiologis, dan seni rupa. Beberapa bidang ilmu yang

dianggap berlawanan dengannya adalah “Sejarah”, “Ilmu Pengetahuan”,

dan kebenaran.

Mitos adalah narasi cerita yang dikontraskan dengan wacana

dialektis, eksposisi. Mitos bersifat irasional dan intuitif, bukan uraian

filosofis yang sistematis, Aristoteles (Wellek dan Austin, 2014: 222). Levi-

Strauss (Ratna, 2004: 113) mengemukakan bahwa ada tiga jenis mitos

yan bekerja yaitu:

a. Mitos selalu ada di lingkungannya dengan mitos lain, fenomena lain

di masyarakat,

b. Walaupun begitu, mitos-mitos tersebut tetap mempertahankan

identitasnya masing-masing, dan

Page 39: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

26

c. Sebagai sistem bahasa, baik sebagai kualitas individu maupun

transindividual, mitos mengalahkan kualitas kebahasaan, mitos

sebagai wacana.

Menurut Bascom (Rafiek, 2010: 56) fungsi mitos ada 4, yaitu; a)

sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan

suatu kolektif; b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga

kebudayaan; c) Sebagai alat pendidikan anak; dan d) dan sebagai alat

pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi

oleh anggota kolektifnya.

Mitopoik secara leksikal berarti cerita tentang para dewa, dan

makhluk lainnya, yang didalamnya terdapat berbagai tafsir, bahkan yang

supranatural. Mite biasanya dibedakan dengan dongeng, cerita tentang

binatang, legenda, cerita tentang asal usul. Noth (Ratna, 2011: 110)

mengatakan bahwa mitos berarti kata, ucapan, cerita tentang dewa-dewa.

Tetapi alam perkembangan mitos diartikan sebagai wacana fiksional,

dipertentangkan dengan logos, wacana rasional. Pada zaman Yunani

Kuno, mitos dianggap sebagai cerita naratif itu sendiri, sebagai plot. Mitos

adalah prinsip, struktura dalam sastra memungkinkan hubungan antara

cerita dan makna.

Menurut Levi-Strauss (Ratna, 2004: 74) mengemukankan bahwa

mite-mite pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita, mite-mite

tersebut menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak

pada kejadian-kejadian itu sendiri dalam detail yang menyertainya. Jadi

Page 40: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

27

mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya

menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain, mite bisa dikisahkan

ulang dalam kata-kata yang lain, bisa diparafrasekan dan dipadatkan,

diperluas dan dielaborasikan.

Ahli-ahli antropologi meneliti fungsi magis semi primitive, Thomson

(Wellek dan Austin Warren, 2014: 120) mencoba mengaitkan tragedi

Yunani dengan kepercayaan dan ritual, serta dengan revolusi sosial pada

zaman Aeerschlus. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan

erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang

diperagakan oleh ritual.

Ritual dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk

menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan dalam suatu

masyarakat. Ritual merupakan acara yang selalu dan tiap kali diperlukan,

misalnya berkaitan dengan panen, kesuburan inisisasi anak muda ke

dalam kebudayaan masyarakat dan upacara kematian. Tetapi dalam

pengertian yang lebih luas, mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai

asal mula mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup.

Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh masyarakat kepada

anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, cerita alam,

dan tujuan hidup manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.

Untuk bidang ilmu sastra, motif-motif mitos yang penting adalah cerita

atau gambar yang ditampilkan, unsur mitos yang bersifat sosial

merupakan perwujudan simbolis dari hal-hal yang ideal dalam adegna-

Page 41: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

28

adegan yang nyata, sifatnya menyiratkan ramalan, rencana, dan unsur

mistiknya.

Pemikiran moderen biasanya berpusat pada salah satu unsur

mitos, kemudian menyerempet unsur atau motif lainnya. Georges (Wellek

dan Austin Warren, 2014: 223) menganggap “demostrasi umum” semua

buruh dunia, sebagai suatu “mitos”. Maksudnya, hal itu mungkin tidak

akan pernah terjadi, tetapi harus digambarkan debagai motivasi dan

dorongan bagi kaum buruh.

Mitos banyak dibahas di bidang agama, namun dibedakan dengan

masalah yang tidak berupa tindakan. Sebagai basis dasar kebudayaan,

perubahan pandangan yang cukup mendasar terjadi dalam setengah

abad terakhir, di mana para sarjana barat mulai melihat mitos dari sudut

pandang yang berbeda.

Pada abad ke-19 masyarakat hanya mengaitkannya dengan ciri-ciri

fabel dan legenda yaitu cerita-cerita yang didominasi oleh fiksi, fantasi dan

senantiasa memperhatikan kehidupan masa lalu masyarakat purba.

Namun, seiring perkembangan zaman mitos kini hidup dan dianggap

sebagai sesuatu yang saklar dan dijadikan sebagai bagian dari budaya

suatu daerah tertentu.

Diantara gejala kebudayaan yang paling sulit dipahami adalah

mitos dan religi. Meskipun demikian, mitos menyediakan keberagaman

metafora bagi para ilmuwan dan para penulis. Melalui mitos kemudian

bertindak. Di satu pihak, mitos bukan irasional melainkan suprasional atau

Page 42: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

29

supranatular sehingga misteri berfungsi untuk melengkapi rasio,

menggabungkann antara teori dan aktivitas kreatif. Tidak ada gejala alam

yang tidak memerlukan interpretasi mistis. Sifatnya konseptual sekaligus

perceptual. Di pihak lain, menurut Malionowski (Ratna, 2011: 114)

mengatakan bahwa adanya mitos memperkuat tradisi, serta bisa dijadikan

sebagai bahan proses pembelajaran baik itu dari segi budaya ataupun

agama.

Dalam kaitanya dengan mitos, tak bisa dipungkiri bahwa agama

dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu problem yang tidak bisa

terlepas dari karya sastra. Sebagai salah satu gendre sastra, novel hadir

dalam suasana lingkungan sosial yang sangat kompleks tentunya karya

sastra tersebut membawa pesan religius atau agama yang merupakan

representasi dari kehidupan sosial pengarang.

Manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan, kesadaran, dan

pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada

sesuatu yang luar biasa di luar dirinya, sesuatu yang luar biasa pasti

berasal dari sumber yang luar biasa pula. Dan ada berbagai sumber yang

luar biasa menurut bahasa manusia itu sendiri, seperti Tuhan atau Dewa.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikemukakan bahwa mitos

juga tidak bisa dipisahkan dalam objek kajian agama. Konteks agama

merupakan problem penting yang ingin disampaikan pengarang sebagai

salah satu amanat untuk menambah khasana konsepsi epistemologi

Page 43: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

30

pembaca tentang hubungan manusia dan lingkungannya, manusia dan

individunya serta manusia dengan penciptnya.

Selain unsur religi (agama), karya sastra juga erat kaitannya

dengan budaya dalam kajian budaya (culture study). Sastra merupakan

representasi budaya sehingga keberadaannya sangat sulit dipisahkan

satu sama lain. Sebagaimana diketehui, bahwa pada zaman yang modern

seperti sekarang ini mitos telah hidup dan menjadi bagian sesuatu

kebudayaan daerah tertentu. Mitos tentang karma pahala bagi masyarakat

Bali, sebab akibat yang logis bagi kehidupan manusia secara universal

menyebabkan perubahan tingkahlaku. Di satu pihak, bagi mereka yang

memerloleh kebahagiaan, masuk ke dalam kerajaan surga diakhir

hayatnya, maka cenderung berbuat baik. Dipihak lain, jauh lebih banyak di

antara kita yang bersifat mengabaikan, bahkan tidak memercayainya

sama sekali.

Budaya pada hakikatnya dapat dibagun dalam dua bagian;

pertama, budaya yang bisa dilihat, disentuh atau dicicipi dengan

menggunakan panca indera; dan kedua, itu adalah akumulasi

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan tradisi

lain, yang merupakan hasil nalar manusia. Budaya adalah keseluruhan

yang kompleks, yang berisi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,

hukum, adat istiadat, kemampuan lain yang diperoleh seseorang sebagai

anggota masyarakat.

Page 44: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

31

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan dan memasukkan gagasan atau

sistem yang ada dalam benak manusia, sehingga dalam kehidupan

sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa dengan mempelajari mitos akan diperoleh

gambaran/model untuk bertindak yang selanjutnya berfungsi untuk

memberikan makna dan nilai bagi kehidupan. Dengan kalimat lain, mitos

selalu dikaitakan dengan realitas, secara kosmogonis masyarakat selalu

ingin membuktikannya.

Memahami mitos bukan semata-mata untuk memahami sejarah

masa lampau tetapi yang jauh lebih penting justru memahami kategori

masa kini. Mitos tentang kelahiran, demikian juga sebaliknya kematian

adalah benar sebab kelahiran dan kematian benar-benar terjadi. Dikaitkan

dengan makna, teladan dan nilai-nilai secara keseluruhan yang dihasilkan

pada dasarnya kehadiran mitos kadang memberikan nilai positif terhadap

keseluruhan tingkahlaku individu di dalam masyarakat.

Berdasarkan pemaparan teori dan konsep di atas, maka penelitian

ini menggunakan pendekatan Levis-Strauss untuk mengetahui bentuk

mitopoik dengan objek penelitian novel Puya ke Puya karya Faisal

Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya. Penerapan

pendekatan mitopoik ditunjang dengan penggunaan teori Levis-Strauss

dalam penelitian ini akan membongkar keragaman teks novel tersebut.

Page 45: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

32

4. Teori Levis-Strauss

Claude Levi-Strauss merupakan seorang strkturalis dari Perancis.

Tokoh ini dikenal sebagai seorang antropolog dengan gaya pemikiran

sktrukturalisme dalam dunia filsafat dan sastra. Lixian (2013: 163) Claude

Levi-Strauss terkenal sebagai seorang ahli antropologi strukturalisme.

Meskipun strukturalisme tidak dibangun oleh Levi- Strauss, tetapi teori

strukturalisme yang dikembangkannya sampai puncak. Metode

strukturalisme sudah dianggap sebagai metode ilmiah yang banyak

digunakan dalam analisis mitos, karya sastra, musik, bahasa, sistem

kekerabatan, totemisme, klasifikasi primitif, topeng, dan fenomena-

fenomena sosial-kebudayaan lain.

Levi-Strauss menggunakan analisis strukturalnya terhadap karya

sastra kalis berjudul Oedipus Clompex. Pemikiran Levi-Strauss yang

bersifat struktural ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran metodologi

linguistik struktural. Pandangan dalam metodologi linguistik struktural

berpengaruh besar terhadap pemikiran Levi-Strauss yang kemudian

melihat budaya sebagai suatu sistem simbolik dengan sistem konfigurasi

perlambangan. Oleh karena itu, dalam memahami suatu sistem budaya

harus dipahami sebagai perangkat struktur yang terbangun sebagau suatu

relasi yang saling berkaitan.

Toforov (Yanti, 2019: 312) mengemukakan bahwa hampir sama

dengan teori yang dikemukakan dalam teori sastra, karena memang

berpijak pada dasar yang sama yaitu linguistik, Levi-Strauss

Page 46: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

33

mengemukakan bahwa objek dari ilmu-ilmu struktural adalah hal-hal yang

memperlihatkan sifat-sifat suatu sistem, yaitu semua kesatuan yang salah

satu unsurnya tidak dapat diubah tanpa mengubah semua unsur-unsur

lain.

Perhatian teori Levi-Strauss terfokus pada aspek pola-pola formal

dan bagaimana berbagai unsur simbol terstruktur secara logis membentuk

sistem secara keseluruhan dalam sebuah struktur. Teeuw (1984: 135)

mengemukakan bahwa dalam ilmu sastra, kajian struktural bermaksud

untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, detail, teliti dan

keterkaitan yang dalam serta jalinan semua elemen dan aspek karya

sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang holistik.

Lévi-Strauss (Prakoso, 2016: 17-18) mengemukakan bahwa mitos

tersusun dari satuan-satuan yang disebut mytheme (mythemes) atau

gross constituent unit. Setiap mytheme akan terdiri atas satu relasi yang

bukan merupakan relasi terisolasi, melainkan satu bundel relasi. Satu

bundel relasi adalah relasi-relasi dalam satu kolom yang akan

menghasilkan makna jika menetapkan satu bundel relasi dan

mengkombinasikannya. Dengan kata lain, bila substansi mitos adalah

cerita, satuan-satuan yang membentuknya adalah bukan sebagaimana

yang terdapat dalam bahasa. Satuan-satuan mitos tersebut tidak dapat

ditemukan dalam fonem, morfem, ataupun semem, tetapi pada tataran

yang lebih tinggi lagi sehingga untuk mengidentifikasinya dan mengisolasi

mytheme yang ada sebaiknya dicari dalam tataran kalimat.

Page 47: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

34

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini akan

menggunakan pendekatan teori Levi-Stratuss sebagai metodologi analisis

novel “Puya ke Puya’ karya Faisal Oddang dan novel “Manusia Langit”

karya J. A. Sonjaya. Analisis akan dilakukan secara teliti untuk memahami

bentuk yang terkandung dalam struktur cerita kedua novel.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian pada kajian pustka di atas, selanjutnya bagian

ini akan menjelaskan beberapa hal yang penulis gunakan sebagai dasar

pemikiran selanjutnya. Landasan berpikir yang dimaksud akan

mengarahkan penulis untuk mencari data dan informasi penelitian ini guna

memecahkan masalah yang telah diuraikan untuk itu, akan diuraikan

secara rinci dasar pemikiran yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini.

Karya sastra bentuk prosa pada awalya prosa tidak hanya di

bangun dari unsur instrinsik, tema, plot, penokohan, sudut pandang, serta

gaya bahasa. Melaikan karya sastra juga dibangun oleh unsur ekstrinsik;

yaitu agama, budaya, dan pendidikan. Unsur ini yang merupakan motivasi

sehingg berbentuklah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa.

Salah satu bentuk karya sastra seperti novel “Puya ke Puya’ karya

Faisal Oddang dan novel “Manusia Langit” karya J. A. Sonjaya yaitu salah

satu proses kegiatan kreatif yang berdasar dalam pemikiran penulis

(pengarang) itu sendiri. Novel di tuliskan oleh pengarang bukan sekedar

menceritkan penjalanan dan kisah hidup, akan tetapi mengkaji kenyataan

Page 48: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

35

hidup, terutama pandangan masyarakat dalam mengaitkan mitos

kehidupan sosial.

Levi-Strauss adalah ahli antropologi berkebangsaan Prancis. Di

masa mudanya dia lebih banyak membaca buku-buku hukum dan filsafat

karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan

pada saatyang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Levi-

Strauss mengikuti persiapan untuk ujian agregation dalam filsafat, yang

merupakan salah satu gelar tertinggi di Prancis. Paradigma strukturalisme

yang dirintis oleh Levi-Strauss diaplikasikan ke berbagai karya-karya

monumental Levi-Strauss berupa tertalogi, mengenai mitos-mitos orang

india di benua Amerika yang dianalisis struktural.

Levis-strauss dalam kajian mitopoik yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi seluruh aspek kebudayaan dalam teks novel yang

dikaji dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia

Langit Karya J. A Sonjaya.

Page 49: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

36

Bagan Kerangka Pikir

Bentuk Mitopoik

Karya Sastra

Novel Puya ke Puya Novel Manusia Langit

Antropologis

Hasil

Pola Kepercayaan dan Keyakinan

Pola Perilaku Pola Status Sosial

Pola Ritual Adat.

Temuan

Teori Levi-Strauss

Page 50: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

37

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara untuk

memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Karena karya sastra

memiliki karakteristik tersendiri, penggunaan metode tentu berbeda.

Metode dalam studi sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang

ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem. Karena itulah,

metode penelitian memiliki peran besar atas berhasil tidaknya sebuah

penelitian. Metode adalah suatu cara kerja untuk mencapai tujuan

(Satoto,1993: 9, Soeratno, 1994: 19).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka prosedur dalam

menyelesaikan dan penyusanan penelitian sebagai berikut:

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Oleh karena

itu dalam pelaksanaannya dirancang berdasarkan prinsip metode

deskriptif kualitatif yaitu mengumpulkan, mengolah, mereduksi,

menganalisis dan menyajikan data secara obyektif atau sesuai dengan

fakta di lapangan untuk memperoleh data. Lebih lanjut, Moleong

mencirikan penelitian kualitatif sebagai berikut: pengaturan alam, teori

dasar, deskripsi, lebih menekankan pada proses, adanya 'batas' yang

Page 51: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

38

ditentukan oleh 'fokus', adanya kriteria khusus untuk validitas data, desain

alami, dan hasil penelitian yang dinegosiasikan. dan disepakati bersama.

Sedangkan penelitian kualitatif memiliki kriteria pengembangan induktif

yaitu konsep berdasarkan data yang ada, mengikuti desain penelitian

yang fleksibel sesuai konteks. Desain yang dimaksud tidak kaku sehingga

memberikan kesempatan untuk beradaptasi dengan konteks yang ada

(Pradopo, 1996: 122; Moleong, 1990: 102).

Pengambilan penilitian kualitatif dalam tulisan ini, Pemilihan

penelitian kualitatif dalam tulisan ini, berdasarkan pada sasaran dan

tujuan yang ingin dicapai peneliti. Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dengan

menggunakan teori intertekstual, yaitu menjaring dan mendeskriptifkan

bentuk mitopoik yang ada dalam novel Puya ke Puya karya Faisal

Oddang dan Manusia Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian

teori Levi-Strauss dan dianalisis secara antropologis.

B. Data dan Sumber Data

1. Data

Data dalam penelitian ini ialah keterangan yang di jadikan sebagai

objek kajian, yaitu setiap kata, kalimat, dan ungkapan-ungkapan yang

mendukung bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal

Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya. ditinjau dari kajian

Page 52: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

39

teori Levi-Strauss. Data yang dimaksud adalah a) pola kepercayaan dan

keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d) pola ritual adat.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu novel Puya ke Puya karya

Faisal Oddang dengan jumlah 215 halaman diterbitkan oleh PT. KPG

(Keperpustakaan Populer Gramedia) tahun 2015, di Jakarta, dan novel

Manusia Langit karya J. A. Sonjaya dengan jumlah 210 halaman

diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2010, di Jakarta. Penentuan dua

novel tersebut sebagai sumber data berdasarkan pertimbangan; 1) kedua

novel tersebut mengandung unsur mitos dalam struktur novel yang ditulis

oleh pengarangnya; 2) dari segi pertimbangan kepengarang, kedua novel

merepresentasikan eksistensi pengarang yang hidup di dua lingkungan

yang berbeda. Faisal Oddan hidup di lingkungan Bugis-Makassar-Toraja

dan tentunya mewarnai karya yang dituliskannya. Sedangkan J.A Sonjaya

lahir di lingkungan kultur Jawa Barat. Dan, 3) kedua novel belum dikaji

menggunakan pendekatan teori Levi-Strauss untuk mengetahui bentuk

mitopoik yang terkandung dalam kedua novel.

C. Batasan Istilah

Definisi istilah hakikatnya, yaitu definisi istilah dalam bentuk yang

dapat diukur, lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau

membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi

istilah sesuai dengan tujuan penelitiannya, dan tataran teori dari fokus

Page 53: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

40

yang ditelitinya. Untuk menghindari salah tafsiran dalam penelitian ini,

maka fokus definisi istilah yang akan dibahas yaitu:

1. Pola kepercayaan dan keyakinan adalah pola sikap manusia terhadap

dunia lain yang bersifat metafisik atau alam non materil.

2. Pola perilaku adalah tindakan manusia yang dipengaruhi oleh adat,

emosi, nilai, etika, kekuasaan yang berlaku di lingkungan manusia

hidup.

3. Pola status sosial adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok

sosial masyarakat yang meliputi adanya derajat hak dan kewajiban.

4. Pola ritual adat adalah ciri tradisi masyarakat tradisional yang memiliki

nilai yang relevan untuk menjawab kebutuhan masyarakat

penganutnya seperti pemakaman dan acara-acara pernikahan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam

mengumpulkan data yaitu dengan cara penelitian pustaka:

1. Membaca berulang-ulang novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang

dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya.

2. Mencatat data yang termasuk bentuk mitopoik ke dalam tabel korpus

data.

3. Mengklafikasikan data yang termasuk bentuk mitopoik dalam teks

novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit

karya J. A. Sonjaya.

Page 54: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

41

4. Menyusun pola-pola mitopoik dalam teks novel berdasarkan

pendekatan kajian yang digunakan

E. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan sejak awal peneliti mengumpulkan data,

dilanjutkan mereduksi data, kemudian menyajikan data, selanjutnya

melakukan penafsiran data, penarikan simpulan. Jika dianggap kurang,

dilakukan pengumpulan ulang, mereduksi ulang, dan menafsir ulang,

sampai pada tahap menarik simpulan. Demikian , dilakukan secara ulang-

ulang.

Analisis data dilakukan sejak awal penelitian mengumpulkan data,

dan mengelaborasikan pandangan Ricouer, menggunakan menggunakan

metode fenomenologi dengan teknik: (1) analisis domain yaitu, membaca

data secara berulang-ulang dan teliti sehingga diperoleh data yang benar-

benar mengandung nilai dan fungsi yang disebut tahap reduksi data yang

meliputi proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, (2) analisis

taksonomi, yaitu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan data secara

utuh menurut masing-masing kategori, (3) analisis komponensial, yaitu

penyajian, penafsiran, penganalisisan semua data khusus yang

berkenaan dengan komponen-komponen tersebut; (4) penarikan

kesibukan; dan (5) verifikasi atau triagulasi dengan pakar yaitu menguji

kebenaran interpretasi dan kecocokan dengan data (Azis Aida 2011; 89-

90 dalam Spradley, Miles dan Humbermas).

Page 55: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

42

F. Pengujian Keabsahan Data

Berkaitan dengan proses analisis, Krippendorf (1993: 224),

mengemukakan bahwa dalam analisis data terdapat kemungkinan

terjadinya penafsiran yang berbeda, sehingga dibutuhkan diskusi dan

penilaian hasil analisis data dari beberapa pakar yang berkompeten, agar

temuan penelitian dapat dipertanggungjawabkan keabsahan atau

kevalidasiannya.

Untuk menentukan keabsahan hasil analisis data, dilakukan

pengujian keabsahan data dengan cara triagulasi pada tahap analisis.

Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi penyidik yaitu teknik yang

yang memanfaatkan penelitian atau pengamat yang memiliki kemampuan

yang memadai dalam menganalisis data untuk keperluan pengecekan

kevalidan pembahasan. Triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa

kembali keabsahan data yang diperoleh dalam kegiatan identifikasi,

klasifikasi, analisis, interpretasi, dan deskripsi.

Berdasarkan kriteria dan pertimbangan diatas di tetapkan

Triangulator sebagai validator yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu:

1. Dr. Muhammad Akhir, M.Pd.

Muhammad Akhir merupakan salah satu dosen tetap Universitas

Muhammadiyah Makassar yang mengajar pada program studi

pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau,

pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar, pendidikan S2

di Universitas Negeri Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas

Page 56: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

43

Negeri Makassar. Validator ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti,

jurnal-jurnal beliau dapat di temukan di google scolar antara lain: a)

Interferensi Bahasa Bugis dalam Penggunaan Bahasa Indonesia Lisan

Mahasiswa Jurusa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP

Unismuh Makassar, padan tahun 2017, b) Menamamkan Pendidikan

Karakter Melalui Strategi Belajar Membaca Di Sekolah, padan tahun

2017, c) Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan

Keterampilan Menulis Mahasiswa Di Perguruan Tinggi pada tahun

2018, d) Tindak Tutur Ilokusi Sebagai Media Penyampaian Pesan

Sosial Pada Iklan Layanan Masyarakat, tahun 2019, dan e)

Pembelakaran Bahasa Indonesia dengan Teknik Permainan Kelompok

Siswa Kelas V dI SDN 110 Lagoari di Kabupaten Wajo, tahun 2020

serta masih banyak lagi jurnal-jurnal beliau yang terpablis di google

scolar, sedangkan

2. Dr. Anzar, M.Pd.

Anzar juga salah satu dosen tetap Universitas Muhammadiyah

Makassar yang mengajar pada program studi pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau, pendidikan S1 di

Universitas Negeri Makassar, pendidikan S2 di Universitas Negeri

Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas Negeri Makassar. Validator

ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti, jurnal-jurnal beliau dapat di

temukan di google scolar antara lain: a). Keefektifan Model Problem

Based Introduction (PBI) dalam Menulis Karangan Argumentasi di

Page 57: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

44

SMA, tahun 2013, b) Kajian Keterampilan Menulis Kata Turunan Siswa

Kelas IX SMP Negeri 1 Liukang Kabupaten Pangkep, tahun 2016, c)

Research Material Development of Drama Appreciation Based on Local

Wisdom on Student in Indonesian Literature and Language Education

Program at Muhammadiyyah University, tahun 2018.

Berdasarkan hasil diskusi, analisis, koreksi, dan pengamat serta

saran dari kedua validator diatas mengenasi data yang di kutip dalam

kedua novel yang menjadi data dalam penyelasai studi pada program

Magister pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Data yang di ambil

peneliti telah sesuai dengan fokus yang menjadi objek yang diteliti dan

data yang ditemukan peniliti sudah layak digunakan dalam penyusanan

tesis. Data ini, kemudian di deskripsikan sesuai acuan penelitian

deskripritif kualitatif.

Page 58: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

45

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Mitopoik merupakan salah satu pendekatan dalam kajian sastra

yang dipandang sangat beragam karena manjangkau semua unsur dari

kebudayaan manusia meliputi sejarah, sosiologi, kepercayaan. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa mitopoik merupakan pendakatan yang

melakukan pembacaan terhadap nili dari konstruksi bangunan

kebudayaan manusia dalam berbagai karya sastra, terutama novel.

Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan Manusia Langit

karya J.A Sonjaya merupakan salah satu novel yang terbangun dari

struktur kebudayaan manusia Toraja dan pulau Nias. Tana Toraja dan

pulau Nias merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya

yang termanifestasi melalui ragam ritual. Dalam cerita vabel mitos banyak

dituturkan bahwa moyang orang Toraja dan kehidupan Masyarakat pulau

Nias merupakan sosok yang turun langsung dari surga melalui tangga.

Dalam konteks cerita ini, tangga tidak hanya sebagai jalan turun ke bumi

namun menjadi instrumen yang memiliki fungsi sebagai medium

komunikasi kepada Puang Matua yang dikonstruk sebagai satu-satunya

Tuhan.

Page 59: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

46

Mitopoik di lingkungan masyarakat Toraja dan pulau Nias sangat

dinamis karena terwariskan secara turun-temurun dan menemukan

berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dari masyarakat pemiliknya. Inti

utama kebudayaan masyarakat Toraja terletak pada Aluk Todolo yang

merupakan struktur kepercayaan warisan nenek moyak Toraja berkaitan

dengan berbagai aturan hidup dan ritual. Novel Puya ke Puya dan

Manusia Langit merefleksikan nilai luhur Aluk orang Toraja dan

masyarakat pulau Nias yang dapat dibaca sebagai bentuk mitopoik yang

terkandung di dalam kedua novel. Lebih lanjut bentuk mitopoik dalam

kedua novel ini diuraikan sebagai berikut.

1. Pola Kepercayaan dan Keyakinan

Kedua novel ini merefleksikan pola kepercayaan masyarakat

Toraja dan pulau Nias terhadap “mayat yang sakit” dan “roh”sebelum

dilakukan upacara pemakaman melalui acara rambu solo. Hal ini

dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.

“Dulu kampung ini hanya akan ramai jika ada kematian yang dirayakan. Ketika ada mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit. Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang Toraja, sebelum rambu solo, semua mayat masih sakit. Selayaknya mereka yang sakit, kerabat akan tetap mengajak bicara. Memberi mereka makan, rokok, serta sirih. Kini, disekitar rumah Rante Ralla, Kampung Kete‟, kau akan temuakan keramaian hampir setiap hari. Orang-orang asing menyelusup mirip kutu dalam rambut yang tidak pernah dicuci.” (Oddang, 2015: 6)

Kutipan teks novel di atas menunjukkan bahwa mayat yang

disemayamkan dipercayai dalam kondisi sakit sebelum dilakukannya

rambu solo. Mayat yang sakit dalam budaya masyarakat Toraja diarak

Page 60: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

47

dalam suatu prosesi ritual yang disebut upacara Ma‟nene yang

dilakukan sebagai suatu rangkaian mengganti pakaian mayat leluhur.

Dalam sistem budaya masyarakat Toraja, prosesi ritual ini dilakukan

setiap tiga tahun sekali sebelum masa panen, karena dipercayai jika

tidak dilakukan pada masa sebelum panen akan berdampak secara

ekologis yakni kerusakan tanaman dan munculnya banyak hama

seperti tikus dan ulat secara mendadak. Deskripsi mayat yang sakit

juga dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.

“Aku tidak menjawab. Ia memang bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Kendati pun di Toraja mayat sepertiku yang belum diupacarakan masih dianggap sakit, tentu Tina cukup berpikir bahwa aku tidak bisa apa-apa selain terbaring dan mendengar ceritanya. Tetapi seandainya saja aku telah diupacarakan, dan beruntung aku menjelma dewa, To Membali Puang, tentu aku akan mengijabah doa-doanya, atau paling tidak mengantar doanya ke Tuhan, ke Puang Matua.” (Oddang, 2015: 53)

Proses arakan mayat yang sakit tersebut dapat dipahami secara

antropoligis telah melalui sejarah panjang sehingga pola kepercayaan

ini terwariskan melalui sebuah peristiwa penting dalam masyarakat

Toraja. Banyak dituturkan bahwa ritual ini tidak bisa dilepaskan dari

sejarah seorang Pong Rumasek, seorang pemburu yang berburu di

hutan Balla dan menemukan jasad manusia yang meninggal dengan

mengenaskan. Pong Rumasek kemudian membawa jasad ini dan

dikenakan pakaian kemudian dikuburkan di tempat aman.

Pong kemudian mendapatkan banyak berkah setelah

pemakaman ini diantaranya mendapatkan buruan dengan mudah saat

berburu di hutan karena Pong selalu bertemu dengan arwah manusia

Page 61: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

48

yang dimakamkannya tersebut menjadi penuntun dan penunjuk jalan.

Dari peristiwa ini melahirkan kepercayaan yang teguh pada diri Pong

bahwa jasad manusia haruslah dirawat dan diberikan penghormatan

yang layak meskipun setiap bagian jasad ini telah hancur. Dari sini

lahirlah semacam amanah ritual mengarak mayat dengan berbagai

tahapan memenuhi kebutuhan jasad leluhur.

Keyakinan manusia juga merupakan salah satu tema penting

yang membangun novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.

Keyakinan ini dapat dilihat pada penggambaran dunia lain sesudah

kematian seperti perjalanan menuju surga melalui tokoh utama novel.

Setiap orang Toraja yang meninggal akan melakukan serangkaian

penantian dalam persemayaman (sebelum upacara rambu solo)

hingga melakukan perjalanan ke surga menggunakan tedong

(kerbau). Penggambaran berkaitan dengan pola keyakinan dalam teks

novel ini dapat disimak pada kutipan data sebagai berikut.

“Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk kelurga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus te ong onga yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai relegius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uag cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja! (Oddang, 2015: 14-15)

Page 62: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

49

Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa pola keyakinan

dalam masyarakat Toraja menjadikan surga sebagai tempat yang

dituju setelah kematian. Untuk menuju ke surga, bagi penganut aluk

todolo hanya mampu ditempuh dengan menggunakan kerbau, dan

diantara kerbau yang paling tinggi di mata tuhan adalah kerbau

belang. Pemotongan kerbau lain juga bisa digunakan seperti kerbau

pudu dan kerbau bulan. Meskipun demikian, lebih banyak bangsawan

yang memilih kerbau belang untuk membuat tuhan menang dan

sebagai gengsi jika acara selesai banyak dibicarakan oleh para tamu.

Hal ini seperti tergambar pada perdebatan keluarga Ralla dalam

memutuskan kerbau belang sebagai kerbau yang akan dipotong

dalam acara rambu solo.

Rambu solo merupakan proses kunci pembebasan roh kerabat

yang sudah meninggal. Seperti terefleksi dalam teks novel Puya ke

Puya bahwa proses perjalanan ke surga merupakan sutu dambaan

menjelma menjadi to membali puang atau dewa yang tinggal di surga.

Fase perjalana roh ini dikemukakan oleh tokoh utama dalam novel

yang sesungguhnya oleh pengarang novel menggunakan roh yang

bercerita kepada pembaca. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks

novel sebagai berikut.

“Dulu aku, pernah berharap untuk menjadi To Mem ali puang

menjadi dewa, ketika kelak tiba di surga. Aku ingin, bahkan sampai saat ini aku asih diam-diam memeram keinginan itu. Soal rohku yang kini masih tergantung antara langit dan bumi, menjadi bombo karena belum diupacarakan, biarlah menjadi

Page 63: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

50

tanggunganku sendiri, biarlah kuderitakan sendiri.” (Oddang, 2015: 32)

…………………………………………………………………………. “Sekalian lagi, dengan sangat berat meninggalkan beban, aku

tetap berharap kerabat mengupacarakanku dengan sempurna sehingga aku menjelma dewa To Membali Puang. Semoga kelak cucu-cucuku bisa kubantu keinginannya serta doa-doa-nya, cucu-cucuku yang masih hidup di dunia.” (Oddang, 2015: 33)

Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa proses

pemakaman melalui upacara rambu solo merupakan unsur penting

yang dapat membuat roh menjelma menjadi dewa. Jika hal ini bisa

dicapai maka anak cucu yang mengupacarakan akan dengan muda

terijabah doanya oleh roh yang menjelma menjadi dewa di surga

tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan prosesi pemakaman

tersebut mengandung keyakinan perjalana ke alama setelah kematian

yakni menuju surga. Sesampainya di surga, kerabat yang telah wafat

yang sudah mendapatkan prosesi pemakaman melalaui upacara adat

diyakini menjelma menjadi dewa. Jika tidak makan roh kerabat yang

mati, seperti pada penuturan tokoh dalam novel, akan terjebak antara

langit dan bumi menjadi bombo.

Pola kepercayaan juga ditemukan dalam novel Manusia Langit

merefleksikan kepercayaan terhadap adanya kegaiban yakni

eksistensi roh. Pola semacam ini dapat ditemukan dalam banyak

struktur kebudayaan di Indonesia, termasuk pada masyarakat Toraja

yang telah dibahasa terdahulu. Data tentang adanyanya roh pada

Page 64: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

51

suatu tempat tertentu yang dikeramatkan ini dapat disimak pada

kutipan teks novel sebagai berikut.

“Orang ini berkata bahwa mereka akan membicarakan izin nanti dengan Tuan Mbowo Laiya. Tapi, kata dia, jika Bang Mahendra ingin mengetahui sejarah Banuaha, pulang saja. Pak Nai Laiya bisa berbicara dengan roh, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Jangan repot-repot mencari, katanya. "

“Benar?‟ “Lau, aina ba nomo yaitu, “kata pria itu. “Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan leluhur?” Pak Nai Laiya kelihatannya mengerti pertanyaanku. Ia

melirik pada Sayani sebagai tanda meminta terjemahkan. Sayani menjawab dalam Bahasa Nias. Terjadilah obrolan yang tak ku mengerti. Aku berusaha memahami dari bahasa tubuhnya. Kecurigaan belum hilang dari mata dan cara Pak Nai bicara.

“Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bias bicara pada leluhur melalui odu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bias dipanggil, tapi harus upacara dulu” (Sonjaya, 2010: 5-6).

Kepercayaan terhadap roh penunggu suatu tempat tertentu

muncul seiring pertumbuhan budaya manusia jaman dahulu. Nias

merupakan salah satu wilayah dengan akar kepercayaan animisme

sebelum masuknya agama Kristen. Roh dianggap memiliki kesaktian

dalam masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada kutipan novel,

sebagai berikut.

“Benarkah yang dikatakannya?” tanyaku kepada Sayani. “Bila

benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-suah lagi menggali, tinggal tanya saja kepada mereka apa yang terjadi serratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (Sonjaya, 2010: 6)

Page 65: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

52

Roh-roh tersebut akan menempati pohon-pohon, gunung-

gunung, atau tempat-tempat tertentu yang telah dipersiapkan. Tempat

berdiamnya roh itu kemudian akan disembah dan dijadikan tempat

keramat bagi masyarakat. Roh orang yang telah wafat dianggap

sebagai pelindung yang kuat bagi masyarakat untuk menangkal

pengaruh negatif dan sihir-sihir dari kelompok masyarakat lain. Roh

tersebut hanya dapat dibangkitkan oleh seorang ahli kunci yang dipilih

oleh masyarakat sebagai pembimbing bagi roh-roh tersebut. Cara

mendatangkan roh dilakukan dengan diiringi nyanyian, tarian, puji-

pujian, dan berbagai sajian-sajian. Didatangkannya roh orang yang

telah wafat dilakukan sebagai bentuk perlindungan dan pencarian

berkah bagi mereka yang masih hidup.

Kepercayaan terhadap roh tersebut melahirkan semacam tradisi

yang secara antropologis bida dipahami sebagai penemuan laku hidup

masyarakat Nias yakni dilakukannya upaca pemukulan gong dan

gendang pada saat pembangunan fondasi rumah untuk menjauhkan

dari roh-roh jahat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai

berikut.

“Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara

pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (Sonjaya, 2010: 12-13).

Page 66: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

53

Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa dahulu karena

kepercayaan terhadap roh-roh jahat mendorong masyarakat Nias,

khususnya di Banuaha melakukan upaya pemukulan gong dan

gendang. Proses ini mengiringi pembangunan rumah baru, bahkan

jika rumah sudah selesai dibangun masih harus dilakukan upacara

dengan mengudang para lelaki masuk ke dalam rumah menguji

kekuatan rumah dengan tarian hewa-hewa. Setelah itu para penari

harus dijamu dengan penyembelihan puluhan ekor babi.

Aspek kepercayaan lainnya yang terdapat pada novel ini yaitu

percaya adanya Sirao. Kisah lain, seperti Sirao, dikatakan sebagai

anak hasil perkawinan dua penjuru langit, dan proses perkawinannya

seperti perkawinan manusia. Hal tersebut diceritakan oleh sosok Ama

Budi kepada sosok Mahendra. Seperti yang tertera pada kutipan di

bawah ini.

“Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak daris hasil perkawinan dua angina di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angina tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia.” (Sonjaya, 2010: 110-111)

Berdasarkan kutipan tersebut, suku Nias dianggap berasal dari

langit. Namun, dari versi lain cerita, suku Nias dianggap berasal dari

sebatang pohon kehidupan bernama Sigaru Tora'a. Kutipan di atas

tidak masuk akal secara rasional untuk disebut mitos. Mitos menurut

Barthes (Rafiek, 2012: 103-105) dapat hidup dalam suasana aksi

Page 67: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

54

revolusioner dengan membayangkan sesuatu. Mitos apa pun dengan

beberapa derajat generalisasi pada dasarnya ambigu, karena itu

mewakili kemanusiaan. Mitos juga merupakan sistem komunikasi

karena mitos adalah pesan. Mitos dapat tumbuh dan berkembang

dalam karya sastra sesuai dengan kreativitas pengarangnya.

Novel Manusia Langit, menggambarkan budaya atau kultur

secara umum, juga menggambarkan religius masyarakat Nias yang

berbeda dengan masyarakat lainnya. Religius adalah cara pandang

seseorang terhadap agamanya dan bagaimana orang tersebut

menggunakan keyakinan atau agamanya dalam kehidupan sehari-

hari.

Masyarakat Nias masih memegang teguh ajaran atau aliran

animisme. Animisme adalah kepercayaan pada roh dan roh yang

merupakan prinsip kepercayaan agama yang pertama kali muncul di

antara manusia primitif. Animisme meyakini bahwa setiap benda di

Bumi (seperti daerah tertentu, gua, pohon atau batu besar) yang

memiliki jiwa dan harus dihormati agar tidak mengganggu manusia,

bahkan dapat membantu mengusir roh jahat dalam kehidupan sehari-

hari. Di Nias digambarkan bahwa masyarakatnya masih mempercayai

hal-hal gaib. Seperti yang tertera pada kutipan di bawah ini.

“Sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi

keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!” “baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata tesafo.

Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh

Page 68: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

55

halusbeberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali” (Sonjaya, 2010:14)

Tesafo adalah penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus,

menurut kepercayaan masyarakat Nias. Biasanya seseorang yang

terkena Tesafo akan langsung memberikan salip di keningnya

menggunakan bahan dapur yaitu kunyit atau arang. Menurut

masyarakat Nias, Tesafo adalah makhuk halus yang belum bisa

tenang. Artinya jika seseorang meninggal dunia, belum dilaksanakan

ritual, maka jiwanya akan resah. Salah satu ritual khusus setelah

kematian di Nias adalah doa setelah empat hari kematian. Roh

almarhum diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Diyakini

bahwa selama empat hari setelah kematian roh-roh tersebut masih

berada di dalam atau di sekitar rumah. Pada hari upacara atau ritual

kematian, tidak boleh ada orang di tengah jalan, apalagi di depan

pintu rumah karena bisa terkena Tesafo Roh akan diperlakukan

secara khusus dengan menyembelih babi. dan setelah empat hari,

semangat itu siap untuk meninggalkan segalanya di dunia dan

kembali ke Lowalani. Dan jika seseorang yang terkena tesafo tidak

segera tertolong, atau sudah terlambat, akan berakhir dengan

kematian. Selain tesafo, masyarakat Nias juga mempercayai arwah

nenek moyang yang masih hidup dan bisa memberikan perlindungan

kepada keturunannya. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.

“Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi

dengan Pak Mbὅwὅ Laiya. Tapi, katanya jika Bang Mahendra

Page 69: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

56

ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja kerumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur datang kerumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali katanya”(Sonjaya, 2010: 5)

Kutipan tersebut jelas menjelaskan masyarakat Nias masih

menyakini hal-hal yang gaib. Sikap dan karakter masyarakat Nias

masih patuh atau taat untuk menjalankan ajaran agama (animisme).

Masyarakat Nias masih menyembah dan meminta sesuatu pada zat

(patung orangtua0. Patung ini bisa berkomunikasi layaknya seperti

manusia.

“Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur

melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah pak Nai Laiya” (Sonjaya, 2010: 6)

Selain itu, masyarakat Nias juga mempercayai Lowalani yang

dianggap sebagai penguasa bumi dan langit untuk keselamatan. Hal

tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut.

“Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa

pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja di lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar menyambar dilangit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membehana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memangil para tetangga di gubuk-gubuk yang berdekatan. Beberapa perempuan dewasa dan gadis datang menghampiri gubuk kamiyang beralaskan tanah itu” (Sonjaya, 2010: 18)

Lowalani dianggap yang sangat dekat dengan leluhur dan yang

paling menakutkan bahkan menyebut namanya harus hati-hati agar

Page 70: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

57

tidak sembarangan, jika sembarangan ia akan kena hukuman yang

mengerikan. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.

“Tadi aku menyebut leluhurku, Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebutnamanya. Dia yang di langit sana bisa marah,”ujar Ama Budi. Angin berembus kencang di dalam ruangan kala Ama Budi menyebut kembali nama Lowalani. Sayani mengusap kuduknya sambil melirik kanan-kiri. Ia tampak ketakutan.“tidak apa-apa,”kata Ama Budi berusaha menenangkan anaknya. “dia sudah pergi” (Sonjaya, 2010: 19)

Apa yang dilakukan Ama Budi untuk menyebut nama

Lowalani tidak di sengaja, seperti yang dikatakannya pada Mahendra

dan Sayani. Namu Lowalani marah, jadi sasaran kutukan adalah Bu

Sayani, yaitu ibunda dari Sayani meninggal akibat kesalahan Ama

Budi yang secara tidak sengaja menelpon Lowalani tanpa berdoa dan

berkurban lebih dulu. Kematian ibu Sayani berkaitan dengan teks di

bawah ini.

“Aku melihat Ama Budi tengah termenung. Ia sama sekali tak menangis menghadapi istrinya terbujur kaku. Sayani dan Ina Berna yang menangis paling keras.aku memeluk Ama Budi erat, merasa sangat menyesal dan takut. Lagi-lagi, ini gara-gara aku yang memancing Ama Budi menyebut nama leluhur tanpa syarat adat. Ama Budi pasti berpikit seperti itu” (Sonjaya, 2010: 113)

Menurut mitologi Nias, alam dan segala isinya ialah ciptaan

Lowalani. Langit yang dia ciptakan memiliki sembilan lapis. Setelah

selesai menciptakan semua itu, ia kemudian menciptakan pohon

kehidupan bernama Tora'a. Pohon itu kemudian menghasilkan dua

buah, yang setelah mengerami seekor laba-laba emas, yang juga

Page 71: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

58

merupakan ciptaan Lowalangi, menetaskan sepasang dewa pertama

di alam semesta ini. Mereka diberi nama Tuhamora'aangi

Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi

Burutiraoana'a adalah perempuan. Keturunan pasangan dewa

pertama ini kemudian mendiami sembilan lapisan langit. Untuk

menciptakan sesuatu, Lowalani menggunakan udara berbagai warna

sebagai bahan. Dia mengaduk warna dengan tongkat sihir yang

disebut sihai.

Sonjaya dengan jelas menggambarkan kehidupan masyarakat

Nias yang masih menganut animisme. Status sosial dalam kehidupan

masyarakat Nias sangat religius menurut agamanya. Setiap orang tua

yang meninggal dibuatkan patung untuk dipajang di rumah adat.

Diasumsikan bahwa arwah orang tuanya masih tinggal di dalam

patung tersebut. Sehingga jika anak mempunyai keinginan atau

keinginan, minta saja bantuan dari patung orang tuanya agar

keinginannya terkabul, namun dengan membawa sesaji.

Bentuk penghormatan terhadap leluhur ini diwujudkan dalam

lambang patung bernama Adu Zatua. Patung ini diletakkan di dalam

rumah pada bingkai dinding atau pada bagian sekeliling tiang

penyangga utama. Penghormatan terhadap leluhur juga ditemukan

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nias yang masih menyebut

kata leluhur jika mengalami musibah atau mendapat tuah. Penyebutan

leluhur menunjukkan bahwa leluhur yang dianggap berada di dunia

Page 72: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

59

lain masih memiliki hubungan yang erat dengan keturunannya di dunia

nyata. Ungkapan dalam bentuk rasa syukur dengan jelas

menunjukkan bahwa nenek moyang dianggap dapat mempengaruhi

kehidupan keturunannya. Untuk menjaga agar kepercayaan pada

leluhur tetap dalam sistem, maka tatanan masyarakat dalam suatu

kesatuan keluarga sangat penting dalam kaitannya dengan

kepercayaan pada leluhur. Contohnya adalah garis keturunan pada

keturunan hoho nenek moyang orang Nias, terlihat jelas adanya garis

keturunan awal orang Nias yang kemudian menghasilkan keturunan

sampai sekarang. Tapi Anda harus berhati-hati dengan roh jahat

pemakan bayi. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.

“…karena sering hilang dimakan roh halus itulah, populasi

belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka seringhilang di makan roh jahat. Cerita itumasih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu” (Sonjaya, 2010: 20)

Masyarakat Nias sangat percaya akan adanya alam lain (alam

tak terlihat). Roh yang tinggal di alam lain dapat memengaruhi

kehidupan orang yang masih hidup. Ada lapisan surga yang memiliki

struktur yang sangat erat kaitannya dengan ritual yang dilakukan

dalam upaya mencapai taraf sosial tertentu.

Selain Adu Zatwa, Lowalani, ada juga pohon tertentu yang

dianggap sakral dan memiliki kekuatan supranatural untuk disembah,

jika menginginkan sesuatu harus memberikan sesaji terlebih dahulu

Page 73: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

60

kepada pohon tersebut agar sesuatu bisa berhasil. Dalam novel

Manusia Langit, tokoh-tokoh agama masyarakat Nias digambarkan

melalui sikap dan perilaku yang masih percaya pada hal-hal

supranatural, dan arwah nenek moyang, patung orang tua yang dapat

menolong dan menolong jika memiliki keinginan atau keinginan. Jika

dilihat dari sudut pandang Islam cenderung syirik. Namun jika dilihat

dari sudut pandang seni sastra sangat menarik.

2. Pola Perilaku

Novel Puya ke Puya memanifestasikan perilaku masyarakat

Toraja dalam pemakaman khususnya pemakaman bagi anak balita.

Jika ditelusuri, pemakaman anak balita di Toraja terbilang sangatlah

unik dan memiliki ciri khas tersendiri secara antropologis dilakukan

pada pepohonan tertentu. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks

novel sebagai berikut.

… Sejak tujuh belas tahun yang lalu, aku dirawat oleh ibu yang baru, sebelum akhirnya aku menuju puya-menuju surga. Begitu kata ibu yang baru. Ibu Pohon. Katanya lagi, aku tinggal menunggu taubuhku dihancurkan batang pohon, menyatu bersama getahnya yang kami susui, menyatu dengan ranting, menjadi daun, lalu kering, lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke asal, dan kembali ke surga. Aku sudah mau bertemu Ambe di alam arwah ini. Kata Ibu Pohon, kalau Ambe sudah di-rambu solo, kami sudah bisa bertemu. Tapi Ibu Pohon juga bilang, Ambe menyisahkan beban buat keluargaku. Terutama buat kakakku, Allu Ralla. Tongkonan kami ramai di hari kematian Ambe. Aku dan Ambe sama, sama-sama menunggu tiba di surga. Bedanya, untuk sampai ke surga Ambe harus diupacarakan, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan babi. Hal itu tidak mudah, tetapi demi derajat dan adat, sebagai keturunan bangsawan tana-bulaan-Ambe harus melakukannya, lagi-lagi itu kata Ibu Pohon. Setiap malam, ia bercerita kepada anak-anaknya tentang keluarga yang

Page 74: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

61

ditinggalkan anak-anak itu. Ibu pohon mengatakan, apalagi sebagai penualaan tetua, pemimpin tongkongan di kete kesu Ambe harus bikin mewah acaranya...” (Oddang, 2015: 11-112)

Kutipan teks novel di atas menunjukkan narasi tentang tokoh

cerita yang dirawat oleh ibu baru atau ibu pohon. Dapat dipahami

bahwa sudut pandang narator yang berkisah pada teks tersebut

adalah roh anak balita yang dalam fase perjalanan pascakematiannya

menuju surga. Pohon bagi pemakaman anak balita dalam struktur

masyarakat Toraja adalah pengganti rahim.

Pohon Tarra dalam kutipan teks tersbut dapatlah ditelsurui dalam

kehidupan nyata. Pada konteks ini, pengarang menggunakan benda-

benda di dunia nyata untuk membangun dunia fiksi yang dibangun

dalam novel. Pohon Tarra secara khusus merupakan Passiliran bayi

dapat diamati di Desa Kambira dan Sarapung. Ada pohon besar yang

dinamakan pohon Tarra yang tinggi menjulang. Pada batang pohon

inilah dibuat lubang pemakaman bagi anak bayi yang belum tumbuh

gigi, penutup setiap lubang pemakaman pada batang pohon

menggunakan segel ijuk dari pohon enau. Penggambaran pohon tarra

dapat disimak pada kutipan data sebagai berikut.

“Bisakah kau bayangkan sebatang pohon besar? Daun rimbun.

Batangnya penuh pahatan kotak-kotak yang ditutupi ijuk. Setiap pagi, hampir saban hari, getah putih menguncur dari pohon itu. Jika bisa, baiklah, berarti tak susah kau mengerti hidup Maria Ralla di dalamnya. Makam pohon itu, disebut makam passiliran. Makam yang dibuat pada batang pohon tarra. Tidak bakalan cukup jika kau melingkarkan lengan dibatangnya. Bayangkan besarnya. Kau bisa ajak teman kau. Seorang lagi. Atau dua orang. Barangkali masih tidak cukup. Di dalam pohon itu ada

Page 75: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

62

dunia. Ada kehidupan. Begitulah orang Toraja percaya. (Oddang, 2015: 42)

Pola perilaku pemakaman anak bayi ini didasari oleh

kepercayaan bahwa cara pemakaman tersebut bisa menyelamatkan

bayi lainnya yang lahir dari takdir kematian. Pada sisi lain, getah

pohon tarra yang melimpah dianggap sebagai pengganti air asi ibu.

Posisi lubang makam pada batang pohon juga mencerminkan kasta di

lingkungan masyarakat Toraja. Semakin tinggi lubang makam pada

batang pohon semakin tinggi kasta bayi yang dimakamkan.

Pola perilaku juga ditemukan dalam novel Manusia Langit. Teks

novel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Nias memiliki perilaku

kekerasan “memenggal kepala”. Hal ini berkaitan dengan pola hidup

masyarakat Nias di pedalaman yang keras.Hal ini dapat disimak pada

kutipan teks novel sebagai berikut.

“Tenang saja, Bang, tidak boleh ada rasa takut kalau kita

benar!” Sayani mengepalkan tangannya. “Lagi pula sekarang penggal-penggal kepala sudah jarang, sudah gereja. Pendeta melarang kami penggal-penggal kepala lagi. Jadi sekarang ada hukum adat dan hukum gereja yang mengatur kami, juga hukum pemerintah. Orang yang membunuh karena dendam tidak akan pernah sampai ke surga, tidak akan pernah sampai ke langit.” (Sonjaya, 2010: 7-8)

Kutipan teks novel di atas menunjukkan bahwa jika masyarakat

Nias dahulu memiliki tradisi bebruru kepala (memenggal kepala)

manusia. Hal ini terjadi jauh sebelum adanya hukum adat dan hukum

gereja serta hukum negara yang menjadi kontrol ketat bagi

Page 76: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

63

masyarakat Nias sehingga mulai meninggalkan tradisi ini. Teks novel

tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Nias itu sendiri

di mana terdapat legenda Awuwukha sang manusia perkasa.

Dalam mitologi Nias, gelar Awuwukha diberikan kepada orang

kuat, perkasa, dan sakti. Banyaknya kepala manusia yang dipenggal

oleh kerabatnya. Dan Awuwukha adalah emali alias jagal terbaik di

masanya. Awuwukha berubah menjadi tukang daging besar karena

ibu dan 7 saudara kandungnya dibakar hidup-hidup di rumahnya oleh

sekelompok orang dari desa lain. Penjajah juga mewarisi lumbung

padi Laimba, seseorang yang belutnya dipuja di desa.

Awuwukha yang datang terlambat dan melihat dengan mata

kepala sendiri bahwa korban telah dibakar bersama keluarganya,

sangat marah. Ia juga melakukan kekerasan terhadap mereka yang

melakukan tindakan tersebut. Beberapa hari kemudian, Awuwukha

pulang. Langkahnya kembali tenang dan mantap, dengan wajah yang

memberikan kesan puas. Ia memanggul karung yang ternyata berisi

pecahan puluhan kepala manusia, kepala orang yang bepergian dan

membunuh keluarganya, serta mempermalukan penduduk desa.

Sejak itu, mangai binu atau perburuan kepala dimulai tepat

karena apa yang dilakukan Awuwukha ternyata adalah. Semakin

banyak musuh karena ingin menyimpan dendam. Namun, Awuwukha

tidak terkalahkan sampai menutup mata terhadap usia. Nama

Page 77: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

64

Awuwukha menjadi legenda, sekaligus diabadikan sebagai gelar yang

diberikan kepada orang-orang seperti dia.

Masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam novel memiliki

satu kebiasaan unik dalam memperlakukan tamu mereka. Hal

tersebut ialah menyodorkan atau menyiapkan tuak untuk diminum.

Kebiasaan ini unik karena bagi sebagian orang yang tidak biasa

meminum tuak mungkin saja dianggap kurang etis. Namun, tuak

yang disiapkan bagi tamu yang datang merupakan simbol

penghormatan dan penghargaan bagi tamu tersebut. Tuak sudah

menjadi minuman yang rutin dikonsumsi oleh laki-laki di Banuaha

karena selain mudah didapat, tuak dianggap sebagai cara jitu untuk

menjalin persahabatan dan keakraban di antara mereka. Itulah

sebabnya, tuak dianggap media atau wahana untuk menyampaikan

salam penghormatan orang Banuaha bagi tamu yang datang.

Walaupun demikian, tuak bukanlah sajian umum bagi semua

tamu. Tuak hanya diberikan kepada tamu laki-laki yang oleh orang

Banuaha sudah dianggap sebagai bagian dari mereka. Artinya, tamu

yang baru datang tidak serta-merta disediakan tuak untuk diminum.

Tuak hanya disajikan kepada tamu (dalam artian orang luar Nias)

yang sudah menetap dalam waktu yang relatif lama sehingga sudah

dianggap sebagai bagian dari orang Banuaha. Dalam Hal itu,

meminum tuak bersama menjadi simbol bahwa tamu tersebut

bukanlah orang asing lagi bagi warga setempat, melainkan sudah

Page 78: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

65

dianggap sebagai warga mereka. Dengan begitu, tamu tersebut tidak

perlu merasa risih atau sungkan berada di Banuaha, karena sudah

dianggap sebagai “orang dalam”.

“Kenapa tidak dimulai sekarang?!” ajaknya serius. “Kami sangat senang dengan niat baik Bang Mahendra,” lanjutnya sambil menyodorkan gelas dan sejeriken tuak.

“Ambil, Nak Hendra,” kata Ama Budi. “Itu satu kehormatan bagi kamu.” (Sonjaya, 2010:81)

Mahendra sudah hampir setahun berada di Banuaha. Ia

kemudian memutuskan untuk mengabdikan dirinya sebagai guru

relawan yang akan mengajar di Banuaha. Ketika bertemua dan

menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah, ia disodorkan

segelas tuak. Hal itu dianggap sebagai penghargaan orang Banuaha

kepada tamunya. Tidak hanya ketika berada di rumah kepala

sekolah, Mahendra rutin disajikan tuak ketika berada di sekolah yang

dikirim oleh teman dan tetangganya. Unik, atau bahkan dianggap

kurang tepat oleh sebagian orang dari luar Banuaha, namun itulah

budaya, itulah kebiasaan mereka. Tuak sudah menjadi wujud

ekspresi orang Banuaha dalam menghormati dan menghargai

tamunya. Tuak merupakan simbol kearaban di antara masyarakat

Banuaha.

Masyarakat suku Nias di Banuaha menjunjung tinggi nilai-nilai

kekeluargaan. Hal itulah yang menjadikan mereka selalu kompak dan

hidup rukun. Tidak hanya kepada sesama masyarakat Banuaha.

Orang luar Nias pun dapat dianggap menjadi bagian keluarga

Page 79: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

66

mereka jika sudah tinggal lama di Banuaha, dan berperilaku baik

sesuai tatanan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Pada

awalnya, orang luar yang datang di Nias diperlakukan layaknya

seorang tamu pada umumnya. Disambut, dijamu, bahkan diberikan

pelayan terbaik, karena tamu bagi masyarakat Nias memiliki posisi

yang sangat tinggi, yaitu seperti raja. Tatkala tamu tersebut sudah

menetap lama di Banuaha, maka ia sudah dianggap seperti

masyarakat asli di sana. Hal itu tidak lantas menjadikannya sebagai

orang yang tidak dihormati lagi. Ia tetap dihormati, dihargai, namun

sudah dalam konteks yang berbeda. Jika pada saat baru datang ia

dihormati sebagai seorang tamu, setelah menetap lama di Banuaha

ia tetap dihormati, namun dalam posisinya sebagai anggota

masyarakat atau bahkan anggota keluarga tertentu. Tidak ada lagi

sekat di antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat pada

data berikut ini.

““Baiklah kalau begitu, tapi tolong tutup dulu pintu, aku sudah

mulai merasa kedinginan, maklum sudah tua,” Ama Budi menunjuk pintu atap rumbia. Aku merasa senang mendapat perintah seperti itu karena itu salah satu tanda bahwa aku sudah diterima di keluarga Ama Budi. Jika masih menganggap aku sebagai tamu, mana mungkin orang Banuaha akan memberi perintah kepada tamunya seperti itu. Bagi orang Banuaha, tamu benar-benar didudukkan sebagai raja yang harus dihormati. Jelas, aku tidak mau didudukkan sebagai raja. Hal itu akan membuatku rikuh saja” (Sonjaya, 2010: 16)

Tokoh Mahendra merupakan pendatang di Banuaha. Pada awal

kedatangannya, ia diperlakukan dengan baik sebagai tamu oleh

Page 80: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

67

masyarakat Banuaha. Setelah lama tinggal di Banuaha, ia tetap

mendapat perlakuan yang baik, namun ia sudah dianggap sebagai

bagian dari keluarga Ama Budi. Bagi Mahendra yang tidak ingin

selalu diperlakukan seperti raja, dan ia ingin hidup lebih dekat

dengan masyarakat Banuaha, perlakuan seperti ini sangat

diharapkannya. Salah satunya adalah perlakuan Ama Budi yang

menyuruhnya menutup pintu rumahnya. Mahendra diperlakukan

layaknya anak atau kerabat Ama Budi lainnya. Tidak ada lagi sekat di

antara mereka. Hal itu menandakan bahwa Mahendra sudah

dianggap sebagai bagian dari keluarga Ama Budi.

Perilaku masyarakat dalam novel Manusia Langit sangat

menjunjung tinggi harga diri. Bagi masyarakat suku Nias, harga diri

dan wibawa menjadi salah satu tolok ukur status sosial seseorang.

Orang Nias menyebutnya lakhőmi dan sumange (harga diri dan

wibawa). Untuk mendapatkan lakhőmi dan sumange, seseorang

diwajibkan untuk menggelar pesta adat yang tidak kecil biayanya.

Dalam novel disebutkan.

“Ya, seperti itulah,” jawab Ama Budi. “Orang yang bisa

menyelenggarakan pesta dan memberi makan orang banyak disebut lakhőmi dan sumange.”

“Apa artinya, Ama?” “Artinya harga diri dan berwibawa.” “Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah

menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung” (Sonjaya, 2010:101)

Page 81: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

68

Semakin besar pesta yang digelar, semakin banyak harta yang

dikorbankan, semakin tinggi pula harga diri dan wibawa seseorang

baik dalam tatanan sosial maupun adat. Jika lakhőmi dan sumange

telah disandang oleh seseorang, maka ia akan semakin dihormati

dan disegani. Dalam tatanan sosial orang yang telah mencapai

lakhőmi dan sumange, memiliki status yang lebih tinggi daripada

orang lain. Sementara dalam tatanan budaya orang yang telah

mencapai lakhőmi dan sumange menjadi salah seorang pengambil

keputusan adat, yang setiap kata-kata dan perintahnya harus ditaati.

Jika pada kelompok masyarakat lain, tingkat sosial seseorang

ditentukan oleh posisi atau kedudukannya di masyarakat, di Nias

tidak demikian. Kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, misalnya

sebagai kepala desa, belum menjadikan seseorang dihormati dan

dipatuhi kata-katanya. Ia harus menggelar upacara adat dan pesta

besar untuk menyempurnakan harga diri dan wibawanya di

masyarakat.

Agar kata-katanya didengar dan dipatuhi, seseorang harus

menggelar pesta tertinggi yang disebut mangowasa. Dengan begitu,

ia sudah bisa dikatakan menyandang lakhőmi dan sumange, artinya

harga diri dan wibawa tertinggi. Hal itu seperti yang dialami oleh

tokoh Ama Budi sebagaimana digambarkan dalam novel Manusia

Langit. Ama Budi yang terpilih menjadi kepala desa tidak serta merta

didengar kata-katanya. Agar bisa didengar kata-katanya, ia

Page 82: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

69

diharuskan menyelenggarakan pesta. Ia harus memotong 30 ekor

babi untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai kepala desa.

Namun, semua itu tidak cukup. Ia masih harus menggelar

mangowasa atau pesta tertinggi yang biayanya sangat besar

sehingga membebaninya. Butuh ratusan ekor babi, puluhan gram

emas, dan berkarung-karung beras untuk melaksanakan pesta siang

dan malam tersebut. Sejak saat itu, Ama Budi menjadi orang yang

paling dihormati dan didengar kata-katanya. Belum ada yang mampu

melaksanakan pesta mangowasa setelah dia.

“Memang mereka minta apa?” “Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat.”

“Ama melakukannya?”

“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun

sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya.

Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan,

berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak

yang datang ke pesta tujuh hari tujuh malam” (Sonjaya,

2010:101)

Status lakhőmi dan sumange yang disandang oleh seseorang

harus dibayar mahal dengan pengorbanan harta benda. Bahkan, jika

harta sendiri tidak cukup, ia harus meminjam kepada keluarga dan

berhutang kepada orang lain untuk mencukupkan seluruh biaya

pesta. Tidak ada pengembalian uang atau harta benda bagi orang

Page 83: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

70

yang telah menggelar mangowasa. Imbalannya hanya akan

diterimanya ketika ada orang lain yang berpesta. Ia akan

mendapatkan bagian daging babi paling banyak, mendapat bagian

kepala babi, sebagai wujud penghormatan baginya.

Mengorbankan harta benda dan memotong ratusan babi, pada

hakikatnya merupakan simbol pertaruhan jati diri di antara

masyarakat Nias. Mengorbankan harta benda dan memotong babi

berarti mengangkat harga diri dan wibawa. Tidak hanya harga diri

dan wibawa pribadi orang tersebut, namun hal itu berarti juga

mengangkat harga diri dan wibawa seluruh keluarganya. Satu orang

yang berkorban, seluruh keluarga dan keturunanya menjadi orang-

orang yang dihormati dan disegani. Itulah prinsip penyelenggaraan

pesta mangowasa pada masyarakat Nias.

“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai

diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha” (Sonjaya, 2010: 103)

Pesta adat sebagai salah satu aspek kebudayaan suku Nias

mengandung makna yang mendalam bagi masyarakat setempat.

Dengan menggelar pesta adat, berarti seseorang telah menghargai

diri sendiri dan yang tidak kalah pentingnya adalah memupuk nilai-

nilai kebersamaan di antara masyarakat Nias. Pesta yang digelar

memang menghabiskan banyak biaya, namun di balik pesta adat

Page 84: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

71

tersebut tali silaturahmi semakin erat dan kebersamaan pun semakin

kokoh. Bagi masyarakat Banuaha, pesta adat sama artinya dengan

syukuran untuk berbagi kepada sesama sehingga antara orang yang

memiliki kelebihan dan orang-orang yang kekurangan dapat bersatu.

Masyarakat suku Nias sebagai salah satu wilayah dengan

komunitas etnis yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya

lokalnya, selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam

sidang adat untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau untuk

mengambil suatu keputusan. Lebih-lebih lagi jika permasalahan atau

keputusan itu berhubungan dengan kelangsungan hidup orang

banyak, dan berkaitan dengan pelanggaran etika sesuai ukuran

norma dan hukum adat masyarakat setempat. Segala keputusan

diserahkan kepada para tetua atau para pemangku adat yang

dipercaya menjadi representasi suara masyarakatnya. Apapun yang

telah diputuskan oleh para pemangku adat dalam sidang adat

menjadi sesuatu yang tetap, harus ditaati, dan harus dilaksanakan.

Salah satu contoh aturan adat di Nias sebagaimana terdapat

dalam novel Manusia Langit yang telah disepakati dan ditetapkan

oleh para pemangku adat adalah aturan batas pekerjaan laki-laki dan

perempuan dalam sebuah rumah tangga. Salah satu ketentuan yang

ditetapkan adalah laki-laki tidak bisa mengerjakan tugas-tugas rumah

tangga. Semuanya diserahkan kepada perempuan. Akibatnya, jika

ada seorang suami yang ditinggal mati istrinya, maka ia harus segera

Page 85: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

72

menikah kembali dengan perempuan lain sehingga ada yang

mengurus dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Dalam

lingkungan adat Nias, tabu seorang laki-laki mengerjakan tugas-

tugas rumah tangga. Padahal, untuk menikahi seorang perempuan

sangatlah besar biayanya. Meskipun berat untuk dilaksanakan,

namun karena aturan tersebut telah menjadi kesepakatan dan telah

ditetapkan sebagai aturan atau hukum adat, tetap harus dipatuhi dan

dilaksanakan.

“Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan

laki-laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (Sonjaya, 2010: 123)

Contoh lain pengambilan keputusan secara musyawarah adat

dalam novel Manusia Langit adalah pemberian hukuman atau denda

kepada seseorang atau beberapa orang yang dianggap melanggar

aturan atau hukum adat yang telah berlaku di Banuaha. Orang-orang

yang dianggap melanggar atauran akan dibawa ke tempat

persidangan adat. Dengan dihadiri para tokoh adat dan disaksikan

oleh seluruh masyarakat, sidang ada dilaksanakan secara terbuka

sehingga tidak ada kesan main hakim sendiri dan keberpihakan.

Page 86: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

73

“Baiklah, sekarang sudah jelas, Mahendra dan Sayani wajib

membayar babi kepada keluarga Laiya, jumlahnya nanti kita bicarakan antarkeluarga saja!” kata Ama Budi mengambil keputusan.

“Tidak, Ama, harus diputuskan sekarang!” sanggah Amoli. “Kami minta sepuluh ekor babi dan penggalian di ladang kami dihentikan!”

Sebelum aku menjawab, seorang pria angkat tangan minta bicara. “Karena kalian empat orang, adilnya babinya empat ekor, kenap minta sepuluh?”

“Baiklah, demi adat, demi harga diri kami, aku setuju!” Ucap Amoli. (Sonjaya, 2010:77)

Dalam persidangan adat di kalangan masyarakat Banuaha,

perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa. Setiap orang dapat

memberikan saran, kritik, dan masukan untuk menjadi bahan

pertimbangan oleh para tokoh adat dalam mengambil keputusan.

Namun pada akhirnya, keputusan para tokoh adatlah yang menjadi

pegangan. Setelah diputuskan, semuanya harus menerima sebagai

komitmen bersama demi menjunjung tinggi hukum adat. Jika ada

yang menentang keputusan tersebut, maka pihak-pihak tersebut

akan mendapat sanksi sosial karena dianggap tidak mau mematuhi

aturan adat yang telah dijalankan sejak dahulu.

3. Pola Status Sosial

Konstruksi teks novel Puya ke Puya dan Manusia Langit juga

menunjukkan penggambaran terhadap strata sosial masyarakat

Toraja dan pulau Nias. Penggambaran ini dilakukan dengan

pendekatan sosiologis karena menggambarkan masyarakat Toraja

Page 87: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

74

dan pulau Nias dalam teks novel sebagaimana pada realitasnya yang

dilakukan dengan menganggkat satu kasus seperti pola pemakaman

dan seluruh prosesinya untuk menunjukkan pola posisi sosial tertentu

pada masyarakat Toraja dan pulau Nias. Hal ini dapat dilihat pada

kutipan teks novel:

“Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah-setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah.” (Oddang, 2015: 14-15)

………………………………………………… “Waktunya tiba, kami melingkar di tengah tongkonan. Mayat

Ambe kaku di dalam peti mati, diluar lingkaran kerabat yang segera memulai rapat. Bagaimana saya seharusnya? Hanya Indo barangkali yang mendukung. Sementara itu, saudara-saudara Ambe, ponakannya, dan kerabat yang lain pasti etap menuntut memewahkan kematian Ambe demi gengsi dan demi tidak tercorengnya nama keluarga Ralla.” (Oddang, 2015: 17)

Pelaksanaan pemakaman di lingkungan masyarakat Toraja

merupakan produk budaya yang kian berkembang menjadi persaingan

citra atau gensi yang menandai status sosial tertentu. Kutipan teks

novel tersebut menunjukkan narasi tentang keluarga Ralla yang

berupaya memewahkan pemakaman untuk mencapai surga sekaligus

mencari popularitas di mata tamu yang menghadiri pemakaman Ambe

(data 4). Proses pemakaman juga dimaksudkan untuk tidak

mencoreng keluarga besar Ralla. Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa konstruksi budaya pemakaman masyarakat Toraja dalam novel

merupakan pola yang menggambarkan posisi sosial tertentu yang

menunjukkan kasta atau kebangsawanan dalam lingkungan

Page 88: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

75

masyarakat Toraja. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel

sebagai berikut.

“Kau paham, pasti. Jika ada rambu solo, wajah kerabat akan

tercoreng. Gengsi kelurga Ralla akan jatuh mirip buah ranum yang meninpa bebatuan. Akan remuk harga diri mereka. Ya, akan remuk oleh tiga penyataan masyarakat: (1) Wah, bangsawan kok pelit; (2) Dasar mereka tak tahu berterima kasih kepada mayat kerabatnya; (3) Keluarga itu memang malas bekerja sama cari uang, makanya tak ada upacara. (Oddang, 2015: 33)

Kutipan teks novel di atas menunjukkan perdebatan dalam suatu

acara pertemuan keluarga untuk membahasa persiapan pemakaman

Ambe. Proses pemakaman dengan sendirinya menjadi pertaruhan

menjaga gengsi keluarga dan harga diri untuk menghindari persepsi

masyarakat lainnya sehingga tidak dipandang pelit, menjadi rasa

terima kasih kepada mayat kerabat, sekaligus menjadi ukuran etos

kerja. Keluarga yang ulet bekerja dapat merancang upacara

pemakaman dengan sangat meriah.

Masyarakat suku Nias khususnya yang ada di Banuaha tidak

mengenal kasta. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Banuaha

mengenal tingkatan atau lapis sosial yang menyebabkan seseorang

atau sekelompok orang menjadi dihormati atau dihargai. Seperti yang

dideskripsikan di dalam novel Manusia Langit, ada tiga kelompok

sosial yang memiliki status atau kedudukan yang sangat dihargai dan

dihormati di antara masyarakat lainnya. Yaitu, orang yang telah

menjalankan adat atau pesta adat, orang-orang dari keluarga atau

Page 89: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

76

marga tertentu, dan kedudukan sebagai guru. Ketiga status ini

menjadi sangat dihormati dan dihargai sehingga kata-kata mereka

sangat didengar, bahkan ditakuti oleh sebagian orang.

Pertama, status orang yang telah menjalankan adat atau pesta

adat. Orang kaya dan banyak harta tidaklah menjadi ukuran

seseorang atau sebuah keluarga menjadi sangat dihormati dan

dihargai di Banuaha, selama mereka belum menggelar pesta adat.

Walaupun hidup pas-pasan, namun mampu menggelar pesta adat,

akan menjadi orang yang lebih dihormati dan didengar kata-katanya.

Yang dimaksud dengan pesta adat adalah menggelar upacara adat

dengan memberikan makan masyarakat sekitar. Pesta adat tertinggi

di Banuaha disebut mangowasa. Pesta adat tersebut dimaksudkan

untuk mengukuhkan posisi atau kedudukan seseorang, baik dalam

konteks sosial maupun budaya. Untuk menyelenggarakan pesta adat

tentu tidak sedikit jumlah biaya yang harus dikeluarkan. Dibutuhkan

ratusan ekor babi, puluhan gram emas, dan berkarung-karung beras.

Pestanya pun sampai berhari-hari digelar.

Tidak hanya bermodalkan kaya, namun harus berani

mengorbankan kekayaan tersebut untuk menggelar pesta adat yang

menelan banyak biaya. Akibatnya, tidak sedikit orang di Banuaha

yang menggelar pesta adat mangowasa, namun karena keterbatasan

biaya harus meminjam kepada kerabat dan berhutang kepada orang

lain, agar dapat menggelar pesta tersebut. Memang terasa sangat

Page 90: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

77

berat, namun demi status sosial dan kedudukan dalam adat yang

tinggi, menjadikan seseorang rela melakukannya. Apabila seseorang

telah berhasil menggelar pesta adat, sejak saat itu ia menjadi orang

yang sangat dihormati dan disegani. Setiap kata-katanya menjadi

petuah. Setiap perbuatannya selalu menjadi sorotan dan panutan.

Bahkan, semua anggota keluargannya pun menjadi orang-orang

yang dihormati.

Tokoh Ama Budi merupakan contoh orang di Banuaha yang

telah melaksanakan pesta adat mangowasa. Sebelum melaksanakan

pesta adat tersebut, Ama Budi berkedudukan sebagai kepala desa.

Namun, kedudukannya tersebut tidak serta-merta menjadikan kata-

katanya didengar oleh masyarakat. Nanti setelah ia menggelar pesta

adat mangowasa, kedudukannya sebagai kepala desa menjadi lebih

kuat, sehingga setiap kata-katanya didengar oleh masyarakat.

Demikianlah ketentuan adat istiadat masyarakat suku Nias di

Banuaha. Berikut data cerita di dalam novel.

“Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah

menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” (Sonjaya, 2010: 101)

Kedua, kedudukan seorang guru. Guru menjadi sosok yang

sangat dihormati dan disegani dalam konteks sosial masyarakat Nias

di Banuaha. Selain jumlahnya yang sangat terbatas, guru juga

dianggap sebagai figur yang dapat diteladani perbuatan dan kata-

Page 91: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

78

katanya. Sosok guru menjadi sangat langka karena untuk menjadi

seorang guru tentu harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan

yang tinggi sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya. Selain itu,

tugas seorang guru yang memberikan pencerahan dan pendidikan

kepada orang lain menjadikannya sebagai figur yang sangat

disegani.

Dalam novel Manusia Langit dicontohkan tingginya kedudukan

seorang guru. Tokoh Amőli yang menuntut denda 10 ekor babi

kepada Mahendra dan Sayani karena dianggap telah berbuat

kesalahan, tidak dapat berbuat apa-apa ketika tokoh Ama Firma

mengusulkan denda empat ekor babi saja sesuai jumlah mereka.

Ama Firma merupakan guru senior di Banuaha. Posisinya sebagai

guru sangat dihormati dan disegani karena setiap pemikirannya

dianggap sangat berwibawa dan bijak sehingga apa pun yang

diusulkan selalu didengarkan.

“Tantangan dari Ama Firma tampaknya membuat Amőli tak

berkutik. Posisi guru sangat dihormati di kampung itu, apalagi Amőli bekas murid Ama Firma. Semua yang sekolah dikampung itu pasti pernah brhadapan dengan Ama Firma karena ia guru senior” (Sonjaya, 2010: 78)

Kasus lain terjadi pada tokoh Mahendra yang telah mendapat

sanksi denda karena dianggap telah melanggar aturan adat di

Banuaha. Selanjutnya ia disarankan menjadi guru relawan di

Banuaha. Usulan tersebut langsung diterimanya dengan harapan

Page 92: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

79

status sosialnya akan kembali baik setelah menjadi guru. Dengan

menjadi guru, status sosial seseorang akan meningkat karena profesi

guru merupakan profesi yang sangat dihormati di Banuaha.

“Aku tersenyum. Kenapa ini tak terpikir sebelumnya? Orang tua

yang sangat bijak itu sangat memahami apa yang ada dalam pikiranku. Aku merasa saran Ama Budi untuk mengajar di SMP sebagai peluang yang baik untuk menjamin kembali hubungan dengan masyarakat karena profesi guru sangat dihormati di kampung.” (Sonjaya, 2010: 81)

Ketiga, marga-marga tertentu. Masyarakat suku Nias di

Banuaha menghormati keluarga-keluarga yang memiliki marga

tertentu. Contohnya marga Hia seperti digambarkan dalam novel

Manusia Langit. Marga Hia menjadi salah satu keluarga yang

dihormati di Nias. Marga Hia dianggap sebagai marga tertua di Nias.

Menghormati marga Hia samahalnya dengan menghormati leluhur

mereka. Demikian pula sebaliknya, tidak menghormati keluarga Hia

berarti tidak menghormati leluhur.

Dalam novel Manusia Langit digambarkan tokoh Sayani yang

merupakan keturunan marga Hia dihormati oleh para lelaki di

Banuaha. Pada saat itu, tokoh Mahendra akan dikeroyok oleh para

pemabuk. Ketika Sayani datang membantu, para pemabuk tersebut

tidak jadi mengeroyok Mahendra. Mereka kelihatan hormat kepada

Sayani karena menghargai posisinya sebagai salah satu anggota

keluarga yang bermarga Hia. Hal tersebut dapat dilihat pada data

novel berikut ini.

Page 93: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

80

“Kenapa para pemabuk itu kelihatan hormat kepadamu dan tak berani lagi kepadaku.”

“Karena aku orang Banuaha dari keluarga Hia. Marga Hia sangat dihormati karena dianggap yang tertua di Nias.” (Sonjaya, 2010:73)

Tidak hanya Sayani yang dihormati karena merupakan anggota

keluarga yang memiliki pertalian darah dengan keluarga Hia lainnya.

Mahendra yang merupakan pendatang di Banuaha menjadi orang

yang dihargai. Selain statusnya sebagai tamu, ia pun tinggal di rumah

Ama Budi yang notabenenya merupakan keluarga bermarga Hia.

Mahendra dihormati karena ia berada di dalam lingkungan keluarga

Hia yang dihormati. Bahkan, oleh para tetangga Ama Budi, Mahendra

sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Hia.

Kian hari hubunganku dengan Ama Budi kian dekat.

Kedekatanku dengannya melebihi Ama Budi dengan Sayani, anak

kandungnya. Apalagi Sayani sering tidak di rumah sejak kepergian

ibunya. Semua kerabat dan tetangga saya lambat laun mulai

mengenali saya sebagai anak Ama Budi. Jadi, saya mulai

mendapatkan embel-embel di belakang nama saya. Mahendra Hia.

Kedengarannya bagus.

“Aku sangat senang menyandang nama itu. Baru kali ini aku

merasa benar-benar dianggap ada. Aku pun merasa tidak keberatan ketika Ama Budi mengusulkan untuk menyelenggarakan pesta. Aku menyambut ide itu karena aku masih punya sedikit tabungan. Lalu disiarkanlah kabar jika keluarga Ama Budi Hia hendak menyelenggarakan pesta

Page 94: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

81

pengukuhan anak angkatnya, Mahendra Hia” (Sonjaya, , 2010:126)

Begitulah sistem kekerabatan yang berlaku di Banuaha. Ikatan

persaudaraan dan kekeluargaan tidak hanya diakui dengan pertalian

darah di antara mereka. Jika ada orang lain yang memiliki kedekatan

dengan keluarga mereka, dan orang tersebut sudah dipercaya serta

telah memiliki kedekatan emosional dengan keluarga tersebut, maka

orang tersebut dapat diangkat sebagai anggota keluarga baru.

Tidak hanya nama orang tersebut yang mengalami

penambahan marga di belakangnya, namun semua status yang

menempel pada keluarga inti pemilik marga tersebut akan menjadi

hak dari orang tersebut. Akan tetapi, pengangkatan anggota keluarga

baru tidak hanya dilisankan atau sekadar diketahui oleh semua

anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Pengangkatan anggota

keluarga baru harus dikukuhkan secara adat dengan cara

menyelenggarakan pesta. Pesta adat tersebut harus dihadiri oleh

semua anggota keluarga inti. Jika ada anggota keluarga inti yang

tidak hadir atau belum bisa hadir karena alasan yang jelas, maka

pesta tersebut belum bisa dilaksanakan.

Hal tersebut di atas dimaksudkan agar seluruh anggota

keluarga inti, terutama yang ditandai dengan penggunaan marga,

dapat menilai secara langsung tabiat atau karakter orang yang

diangkat sebagai anggota keluarga baru. Jika semua anggota

Page 95: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

82

keluarga inti tersebut sudah setuju dan sepakat dengan

pengangkatan anggota keluarga baru tersebut, barulah pengukuhan

adat dilakukan. Sebaliknya, jika ada anggota keluarga yang kurang

sepakat bahkan menolak pengangkatan tersebut berdasarkan

penilainnya, maka pengangkatan tersebut harus ditunda untuk

mencapai kesepakatan, bahkan mungkin dibatalkan karena tidak ada

kesepakatan bulat dalam keluarga inti.

Sebagai salah satu kelompok budaya yang hingga saat ini

masih kokoh dengan berbagai pola kebudayaannya, masyarakat

suku Nias diikat oleh seperangkat aturan yang terus dijaga dan

dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat setempat. Salah

satunya adalah aturan tentang hubungan laki-laki dan perempuan

yang belum menikah. Walaupun perempuan di Nias memiliki tugas

dominan dalam melaksanakan berbagai urusan keluarga, tidak

berarti bahwa perempuan harus diperlakukan semena-mena.

Sebaliknya, perempuan di Nias sangat dilindungi dengan aturan-

aturan peradatan yang ketat. Bahkan, perlindungan terhadap

perempuan menjadi salah satu ukuran harga diri laki-laki di

Banuaha. Falsafah “Jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi

perempuan” menjadi prinsip hidup laki-laki di Banuaha.

Perlindungan terhadap harkat dan martabat perempuan lebih

ketat bagi perempuan yang masih gadis atau belum menikah.

Jangankan menyentuh atau memperkosa, memandang perempuan

Page 96: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

83

saja dengan nafsu birahi, akan dikenai denda sesuai ketentuan

sidang adat setempat. Itulah sebabnya, menikahi gadis Nias

membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menggugurkan semua

aturan peradatan yang mengikatnya.

“Kalau di sini justru laki-laki yang harus melindungi perempuan, bukan sebaliknya; jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan.” (Sonjaya, 2010: 67)

Kuatnya hukum adat yang mengatur hubungan perempuan

dan laki-laki di Nias memberikan dampak positif. Terutama

terhindarnya kasus-kasus perselingkuhan, pemerkosaan, serta

hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah,

sebagaimana yang marak terjadi di kota-kota besar. Dalam sistem

peradatan suku Nias, hukum-hukum adat masih kental dan masih

terus berlaku. Hukum-hukum adat ibarat “teropong” yang

senantiasa memantau dan mengawasi setiap tingkah laku

anggota masyarakatnya. Dengan begitu, masyarakat di suku Nias

selalu merasa terlindungi dari hal-hal negatif serta merasa terus

diawasi oleh aturan-aturan yang sudah menjadi kesepakatan

bersama.

“Tapi,” Sayani mengingatkan, “Jika Abang menatap buah dada

itu dengan tatapan birahi, Abang akan kena denda.” “Tentu, Sayani, aku tahu itu,” aku memotong. “Itulah

hebatnya di sini, orang Banuaha mempunyai kontrol sosial yang kuat yang mengalahkan hukum positif di kota. Di sana banyak sekali perselingkuhan dan perkosaan, sedangkan di sini tidak ada. Bukankah begitu?” (Sonjaya, 2010: 92) ………………………………………………………………………

Page 97: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

84

“Begitulah di sini, Bang, perilaku kita saling dicermati oleh sesama. Jika ada yang melanggar, maka orang lain, terutama dari marga yang berbeda, akan melaporkannya ke tetua adat. Begitulah keteraturan dibangun di Banuaha. Tidak tertulis, tapi kekuatannya sungguh luar bisaa.” (Sonjaya, ML, 2010:93)

Jika terjadi perselingkuhan, pemerkosaan, hingga hubungan

gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah,

maka hukum adat akan ditegakkan. Konsekuensinya pun tidak

ringan. Mulai dari hukuman denda hingga hukuman mati. Itulah

yang berlaku di suku Nias. Hukuman berat seperti ini dianggap

sangat mujarab untuk melindungi harkat dan martabat perempuan

di Nias. Hukuman yang diberikan mampu memberikan efek jera bagi

orang-orang yang melanggar aturan.

“Iya, Bang Hendra ini aneh juga, masa belum nikah kok sudah

begituan sama Kak Yasmin,” komentar Sayani polos. “Jika di sini ada yang seperti itu, keduanya sudah mati. Si perempuan akan dihanyutkan ke sungai dan si lelaki akan dipenggal kepalanya di tengah kampung.” (Sonjaya, ML, 2010:70)

Hubungan laki-laki dan perempuan dalam tatanan peradatan

suku Nias harus dikukuhkan dalam upacara perkawinan. Seorang

laki-laki yang menyukai seorang perempuan dianjurkan untuk

segera menghubungi pihak keluarga perempuan untuk

melamarnya. Prosesi lamaran dan pernikahan nanti akan

dibicarakan, disepakati, dan dilaksanakan sesuai dengan tata

upacara adat pernikahan suku Nias. Apabila terjadi hubungan

Page 98: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

85

spesial antara laki-laki dan perempuan tanpa sepengatahuan atau

tanpa restu orang tua, dipastikan akan terjadi perselisihan bahkan

perang antara dua keluarga mereka. Hal itu seperti yang digambarkan

oleh J.A. Sonjaya dalam novel Manusia Langit. Mahendra yang

menyukai Saita bermaksud membantunya yang harus mengangkat

beras dari pasar di kecamatan hingga ke Banuaha. Maksud baik

Mahendra tersebut justru dinilai melanggar adat Nias yang melarang

laki-laki berjalan bersama perempuan yang belum dinikahinya. Hal

tersebut lebih diperparah lagi dengan tindakan Mahendra yang

sempat mencium Saita ketika sedang menyeberangi sungai. Hal

tersebut memicu amarah dari pihak keluarga Saita. Tabu bagi

orang Nias melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang belum

diikat dengan pernikahan untuk berjalan bersama, apalagi sampai

mencium. Apalagi Saita sudah dilamar oleh pemuda lain. Mahendra

pun dihukum denda oleh pihak keluarga Saita.

Aku dianggap sudah melanggar dua pasal. Pertama, aku

mencium Saita. Kedua, aku telah berjalan berduaan dengan anak gadis tanpa ikatan apa pun. Aneh bukan? Setelah membantu mengangkat beras bukannya mendapat tanda terima kasih, malah disuruh membayar denda. Anak-anak babi yang baru saja aku beli untuk pesta pengukuhan namaku kelak terpaksa harus aku ikhlaskan untuk membayar denda itu. Tapi, bukan itu yang membuat aku sakit hati. Aku merasa terpukul ketika mengetahui Saita akan menjadi milik lelaki lain (Sonjaya, 2010:160)

Hukum adat di Nias tidak mengenal pernikahan yang bubar

atau berpisah karena perceraian. Hubungan pernikahan harus abadi.

Page 99: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

86

Perpisahan hanya akan terjadi jika ada di antara keduanya yang

meninggal dunia. Ketika seorang suami ditinggal mati istrinya,

maka diwajibkan laki-laki tersebut menikah kembali. Hal itu

dimaksudkan agar ada yang mengurus rumah tangga. Sesuai adat

di Nias, perempuanlah yang mengerjakan segala urusan rumah

tangga. Tabu jika ada laki-laki dewasa yang harus mengerjakan

sendiri segala urusan rumah tangga. Terlebih lagi jika laki-laki

tersebut menduduki posisi adat yang tinggi di kalangan masyarakat

Nias. Tidak pantas seorang pemangku adat harus hidup sendiri dan

mengerjakan semua urusan keluarganya.

Kasus ini pernah terjadi pada tokoh Ama Budi seperti

digambarkan dalam novel Manusia Langit. Ama Budi merupakan

salah seorang tokoh adat yang memiliki kedudukan tinggi dalam

tatanan peradatan Nias. Ketika istrinya meninggal dunia, ia harus

mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri. Pada prinsipnya

Ama Budi merasa mampu mengerjakan semua itu, namun aturan

adat tidak membolehkan hal tersebut. Dia harus menikahi seorang

perempuan untuk mengerjakan semua itu. Namun, di sisi lain ia

terbebani dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk

melamar seorang perempuan di Banuaha. Karena sudah menjadi

sebuah kesepakatan, Ama Budi pun harus menjalankan aturan

adat tersebut, meskipun dengan berat hati karena harus

mengorbankan banyak harta dan biaya.

Page 100: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

87

“Kepergian Ina Budi sangat memukul pendiriannya. Seorang lelaki di Banuaha dengan status tinggi, seperti Ama Budi, tidak mungkin mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Ama Budi bukannya tidak mau dan tidak bisa mengerjakan itu, tetapi statusnya telah membelenggu dirinya untuk turut pada aturan yang telah disepakati dalam masyarakatnya. Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan laki- laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (Sonjaya, 2010: 123)

Satu lagi hukum adat yang berlaku di Nias, yaitu tidak boleh

perempuan memiliki suami dua. Ini mungkin umum ditemukan di

mana pun. Namun, keteguhan orang-orang Nias dalam menjalankan

aturan adatlah yang menjadikan mereka berbeda dari kelompok

masyarakat lain. Mereka konsisten dalam menjalankan aturan atau

hukum adat yang telah mereka sepakati bersama. Perempuan yang

sudah dilamar dan dinikahi seorang laki-laki, berarti perempuan

tersebut sudah dibeli. Segala hak dan kewajiban perempuan

seutuhnya menjadi milik laki-laki sebagai suaminya. Jika ada laki-laki

lain yang mencoba mengganggu perempuan yang sudah menjadi

istri orang lain, maka akan terjadi perang keluarga yang sampai

menelan korban jiwa.

Page 101: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

88

“Benar, dulu aku sangat berharap bisa memiliki Saita, tapi sekarang Saita sudah resmi menjadi milik orang lain. Tak ada dalam hukumnya orang Banuaha bercerai. Tak ada pula ceritanya perempuan Banuaha memiliki dua suami.” (Sonjaya, 2010:183)

Semua hukum adat di suku Nias yang mengatur hubungan laki-

laki dan perempuan merupakan mekanisme kontrol yang mampu

mengendalikan pola tingkah laku masyarakat setempat. Jika aturan-

aturan seperti ini diberlakukan pula pada masyarakat-masyarakat di

perkotaan, niscaya kasus-kasus perselingkuhan, pemerkosaan,

maupun hubungan gelap tanpa status perkawinan, akan berkurang

bahkan nilang. Dengan aturan yang mengikat seperti ini, setiap

anggota masyarakat akan merasa selalu terawasi dan terlindungi.

Tidak aka ada saling mengganggu, saling mencurigai. Yang ada

hanyalah saling menjaga, saling menghormati satu dengan yang lain.

Dengan begitu, tatanan kehidupan sosial di dalam kelompok

masyarakat menjadi lebih baik, aman, nyaman, tenteram, dan

sejahtera karena semuanya berpegang teguh pada aturan yang

sudah menjadi kesepakatan bersama.

4. Pola Ritual Adat

Adat istiadat dapat dipahami sebagai berbagai aturan atau tata

krama kelakuan hidup yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat

pemiliknya. Adat istiadat diwariskan secara turun-temurun yang

memiliki fungsi mengatur masyarakat untuk mencapai ketertiban

sosial. Adat istiadat juga tentunya menjadi ciri mendasar suatu entitas

Page 102: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

89

suku bangsa di Indonesia, termasuk pada masyarakat Toraja dan

pulau Nias.

Pola adat istiadat ini dapat diidentifikasi dalam teks novel melalui

setiap tokoh yang menekankan pentingnya mengetahui adat seperti

Aluk dan Rambu Tuka. Hal ini dapat disimak pada kutipan novel

dibawah ini.

“Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang sekarang,

Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti.

“Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman, sungguh tongkonan, tidak baik digelar am u tuka upacara kesenangan macam kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam ditongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputuskan rencana pemakamannya.” (Oddang, 2015: 99)

Aluk dalam kutipan teks novel tersebut di atas merujuk pada

dasar kepercayaan Aluk Todolo yang dianut oleh masyarakat Toraja.

Tradisi ini merupakan asas kepercayaan kepa To Membali Puang.

Sedangkan rambu tuka merupakan upacara adat yang lebih

menekankan pada ucapan syukur. Di upacara ini, tidak akan

ditemukan kesedihan atau pun ratapan tangis. Hanya anda

kegembiraan dan suka cita. Upacara ini biasanya diadakan di acara-

acara seperti pernikahan, syukur atas hasil panen, atau peresmian

rumah Tongkonan. Di acara ini, semua rumpun keluarga akan

berkumpul dan sekaligus menjadi ajang mempererat hubungan antar

keluarga.

Page 103: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

90

Pola adat istiadat selanjutnya yang dapat dicermati dalam novel

ini yaitu pada aspek pelaksanaan rambu solo sebagai penyempurnaan

kematian orang yang meninggal. Hal ini dapat disimak pada kutipan

teks novel sebagai berikut.

Saya akan mengupacarakan Ambe dengan rambu solo paling sempurna. Demi kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, saya ingin Ambe masuk ke puya lau menjadi To Membali Puang. Tidak ada lagi tingkatan arwah yang lebih tinggi daripada itu. Diam-diam, tanpa ada yang tahu saya menyetujui penjualan tanah warisan kami kepada paka soso. Saya sebagi kepala keluarga , jadi saya berhak dan memiliki keleluasaan untuk menentukan semuanya. Jika sedikit saja Indo mengerti dan sedikit saja ia membersihkan kepalanya dari kata masa lalu dan warisan yang harus dijaga, saya yakin Indo akan memahami niat baik saya. Indo tidak akan menolak lagi. Saya percaya hal itu.” (Oddang, 2015: 120)

Rambu Solo merupakan upacara kematian yang melekat pada

nilai-nilai adat istiadat yang masih ada di Toraja. Sebuah kepercayaan

menjelaskan asal usul Aluk dari langit. Oleh karena itu, bisa disebut

Tuhan dan semua orang Toraja tunduk pada Aluk. Budaya kematian

Rambu Solo disebut juga Aluk Rampe Matampu yang artinya

dilaksanakan pada sore hari.

Upacara Rambu Solo yang dilaksanakan oleh bangsawan

biasanya sangat mewah, bahkan bisa dilakukan dalam waktu yang

lama. Ketika yang meninggal adalah keluarga bangsawan, keluarga

besar akan memberikan upacara yang sempurna. Nyatanya, rakyat

jelata tidak bisa melakukan upacara seperti bangsawan. Ini karena

mereka tidak mampu melaksanakan materi untuk melaksanakannya

Page 104: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

91

seperti bangsawan. Selain itu, mereka tidak diperbolehkan melakukan

upacara bak bangsawan menurut etika budaya di Toraja. Hal ini terkait

dengan tingkatan strata sosial di Tana Toraja. Beberapa tahapan dari

prosesi pemakaman ini juga diuraikan oleh pengarang novel Puya ke

Puya melalui tokoh utama novel sebagai berikut.

Pertama, pelaksanaan mappassulu‟. Proses ini merupakan

pemberitahuan kepada warga bahawa rambu solo akan digelar dalam

waktu dekat. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel sebagai

berikut.

“Hari ini diadakan mappassulu‟, sebuah acara sebagai pencanangan bahwa keluarga akan mengadakan rambu solo. Begitulah cara yang kami tempuh yang sekaligus untuk mengabari warga setempat bahwa kami akan menggelar acara besar dalam waktu dekat. Saya akan membiayai acara ini. Sedikit nyeri juga dada saya merogoh saku untuk Ambe. Saya bukan hitung-hitungan. Bukan itu, saya hanya merasa apa yang saya lakukan ini tidak sempurna menyenangkan Ambe. Tetapi uang yang untuk membeli empat puluh babi yang dagingnya kemudian kami bagikan itu bukanlah uang seperti biasanya. Saya mendaptka karena pekerjaan yang sama sekali tak seorangpun membenarkannya. Saya mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Saya melakukannya demi Ambe juga, tetapi pastilah jika saya katakan hal ini, tidak ada yang akan mengerti. Tetapi saja hal ini dianggap kesalahan. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk Indo. Karena itu, rahasia ini kupendam dan kuperam sendiri.” (Oddang, 2015: 123)

Kutipan teks tersebut menunjukkan proses mappassulu’ setelah

seluruh keluarga Allu bersepakat melaksanakan rambu solo. Proses ini

menjadi yang paling pertama dilakukan dengan memberitahukan warga

sehingga terbangun semacam kerjasama menuju hari pelaksanaan

Page 105: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

92

prosesi rambu solo yang telah direncanakan dengan berbagai persediaan

ritual.

Kedua, mang iu’ atu. Jika dicermati dalam realitasnya merupakan

proses gotong-royong masyarakat melaksanakan rambu solo.

Penggambaran mang iu’ atu ini dapat disimak pada kutipan novel

sebagai berikut.

“Mang iu’ atu pasti mendatangka banyak warga yang

membantu; batu menhir setinggi tiga meter yang ditemukan oleh Leba Ralla sepupu satu kali saya dari paman marthen akan ditarik bersama-sama. Leba menemukannya dipuncak gunung. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya membawa batu itu ke ante lapangan tempat pusat acara rambu solo. Butuh banyak tenaga, dan tenaga-tenaga itu patutlah dibayar dengan daging kerbau. Lihatlah, begitulah adat membuat rasa pamrih, begitulah adat secara halus menanamkan paham tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan tenaga harus dibayar dimasyarakat tradisioanal yang masih jauh dari individualisme masyarakat kota.” (Oddang, 2015: 136)

Mangriu 'batu merupakan kegiatan gotong royong laki-laki untuk

mengangkat batu menhir dari atas bukit. Batu itu dibawa dan diletakkan di

tengah lapangan. Nantinya akan dijadikan tempat mengikat kerbau yang

akan disembelih pada tanda tunggal saat rambu solo.

Ketiga, proses ma’popengkaloa. Dalam novel Puya ke Puya

dideskripsikan bahwa proses ini dilakukan kepada Rante Ralla atau

bagian lain teks novel juga disebut oleh tokoh utama novel dengan

sebutan Ambe Ralla. Refleksi proses ini dalam novel dapat disimak pada

kutipan teks sebagai berikut.

Page 106: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

93

“Orang-orang menyebutkan ini sebagai ma’popengkaloa. Jenazahku disemayamakan tiga hari tiga malam di dalam lumbung sebelum diadakan uapacara ma’pasonglo dan menaikkan jenazahku ke keranda jenazah yang telah dihiasi macam-macam ukiran dan berbentuk miniatur tongkonan saringan namanya. Sebagi mantan ketua adat, aku tahu pasti semua rangkaian upacara yang bakal ranut dan tidak aka dibiarkan luput satu pun oleh Marthen. Setelah di atas saringan jenazahku aku akan ditandu keliling lokasi upacara.” (Oddang, 2015: 137).

Kutipan teks novel di atas menjelaskan bahwa proses

ma’popengkaloa merupakan tahapan penurunan mayat ke lumbung dalam

rangka persemayaman selama tiga hari sebelum diadakan yang namanya

proses ma’pasonglo. Proses ini umumnya dikenal dengan proses

mengarak mayat yang telah dibungkus menuju persemayaman. Tujuan

utama dari ma’pasonglo ialah menaikkan mayat ke dalam kerandan yang

telah terhiasi dengan bermacam-macam ukiran dan berbentuk miniatur

tongkonan, saringan namanya.

Proses keempat yang digambarkan dalam novel yaitu mappasilaga

tedong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.

“Sebelum mantanu tedong, di antara kerbua-kerbau yang akan

dibantai itu ada beberapa yang diadu dalam rangkaian upacara mappasilaga tedong. Acara ini bersifat hiburan, dan semasa hidupnya aku tidak sekalipun melewatkannya. Selain mengakrabkan, acara itu juga bisa jadi ajang berjudi, dan aku sangat suka. Bayangkan jika kerbau unggulan menang, pasti akan dapat pujian. Dan, beruntung aku adalah ketua adat. Ketika kerbau andalanku kalah, tak ada yang berani menghujat. Orang lain pasti akan diolok sampai tuntas.” (Oddang, 2015:172)

Page 107: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

94

Mappasilaga tedong yang berisi rangkaian acara hiburan di hari sakit

setelah proses resepsi dilengkapi dengan pertunjukan maapasilaga

tedong yang artinya adu kerbau. Saat upacara Rambu Solo, kegiatan ini

yang paling ditunggu-tunggu. Oleh karena itu, penonton sangat antusias

dengan hal ini. Adu kerbau ini digunakan sebagai sarana hiburan.

Maapasilaga tedong dilakukan oleh seorang ahli bernama Pa'tingoro,

yaitu seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam menebas kerbau.

Kerbau itu roboh dalam satu gerakan. Setelah itu darah yang mengalir

dari tubuh kerbau akan ditampung dalam wadah untuk dimasak. Lalu ada

warga yang siap mengambil darah kerbau tersebut. Selanjutnya darah

kerbau akan makan dan makan bersama. Setelah itu rangkaian acara

selanjutnya yang dilakukan adalah Mantunu Tedong.

Pola adat selalu terkait dengan makna sosial bersama, yaitu

berbagai cara memahami dunia. Makna dalam budaya dibangun melalui

tanda, terutama tanda bahasa. Kajian budaya menilai bahwa bahasa

dicari oleh media untuk pesan makna dan pengetahuan tentang objek

yang ada di luar bahasa, tetapi merupakan bagian utama dari makna dan

pengetahuan tersebut.

Bahasa memberi makna pada objek dan praktik sosial yang disajikan

sehingga orang dapat menjawabnya dalam konteks yang menyusun

bahasa tersebut. Proses menghasilkan makna adalah praktik makna

(tanda). Memahami budaya berarti mengeksploitasi bagaimana makna

dihasilkan oleh suatu sistem dalam bahasa sebagai sistem tanda.

Page 108: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

95

Hubungan makna dengan tradisi kematian Rambu Solo terletak pada

pandangan masyarakat Toraja. Mereka berpendapat bahwa setiap orang

yang meninggal karena tidak setuju telah meninggal sebelum upacara

Rambu Solo yang diadakan oleh pihak keluarga. Makna dalam tradisi

Rambu Solo bagi masyarakat adalah kesepakatan bersama. Tradisi ini

tetap dijaga dan dijalankan karena kepercayaan yang dianut. Mereka

memiliki keyakinan bahwa seseorang yang telah meninggal,

Pola ritual adat juga tergambar begitu menonjol dalam novel

Manusia Langit. Dulu, bagi masyarakat Nias, rumah merupakan hal yang

berharga karena tidak hanya didirikan untuk tempat tinggal. Pendirian

rumah bagi masyarakat Nias dulunya digunakan juga untuk menunjukkan

status sosial pemiliknya. Dalam pendiriannya, sebuah rumah adat juga

harus mengikuti beberapa tahapan upacara, seperti yang terlihat dalam

kutipan berikut ini.

“Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan

bahwa Sirao, leluur Nias “Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adat sangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktu bertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara.” (Sonjaya, 2010: 12)

………………………………………………………………………… “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara

pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari

Page 109: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

96

hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makanan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (Sonjaya, 2010: 13)

Tahapan-tahapan upacara yang dilakukan dalam pendirian

sebuah rumah adat ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Sayani,

seperti yang tergambar dalam kutipan novel di atas. Seperti yang

dijelaskan sebelumnya, sistem religi yang dianut masyarakat Nias

menunjukkan adanya kepercayaan terhadap roh-roh halus. Dari

kutipan di atas terlihat bahwa pemukulan gong dan gendang dalam

tahapan upacara dimaksudkan agar orang yang tinggal di dalam

rumah tersebut nantinya terbebas dari gangguangangguan roh-roh

jahat. Selain itu, adanya penyembelihan babi dapat dilihat sebagai

sarana untuk memperlihatkan kemakmuran si pemilik rumah tersebut.

Di dalam Manusia Langit juga disebutkan bahwa pada zaman dahulu,

bukan hanya babi yang disembelih, kepala seorang budak juga ikut

dikorbankan dalam upacara pembangunan rumah adat tersebut. Hal

tersebut terlihat dari kutipan berikut.

“Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak

yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budah itu kemudian disimpan di atas pole rumah.” (Sonjaya, 2010: 13)

Penyembelihan kepala budak maupun babi dilakukan untuk

menunjukkan harga diri dan kedudukan pemilik rumah dalam

masyarakat maupun dalam kedudukannya di depan leluhur. Namun,

seperti yang sudah dijelaskan, pembangunan rumah adat saat ini

Page 110: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

97

sudah tidak serumit itu karena terhalang oleh fasilitas dan masuknya

agama dalam kehidupan mereka. Pada masa sekarang, masyarakat

tidak dengan mudah dapat mengumpulkan pulihan bahkan ratusan

ekor babi untuk dikorbankan. Hal inilah yang membuat syarat-syarat

pembangunan rumah adat di Banuaha saat ini sudah jauh lebih

mudah.

Penggambaran upacara pendirian rumah adat yang

digambarkan dalam Manusia Langit memiliki perbedaan dengan

tahapan upacara pendirian rumah adat. Apabila seseorang mendirikan

rumah, maka ia harus membayar adat yang disebut fanara nomo

(pendirian rumah) berupa satu ekor babi, pada saat memberikan atap

rumah juga membayar adat yang disebut fanouomo (pengatap rumah)

berupa seekor babi, dan pada saat rumah telah selesai, maka kembali

ada pembayaran adat yang disebut famaheu nomo (keselamatan

rumah yang telah selesai) berupa enam ekor babi dengan berat

masing-masing babi lebih kecil daripada babi yang dipakai membayar

adat sebelumnya. Jadi, dalam pembuatan rumah adat tradisional ada

tiga tingkat kegiatan yang harus dibayar sebagai hutang adat.

Perbedaan antara pengambaran tata upacara adat pendirian

rumah adat yang terdapat dalam Manusia Langit dengan tata upacara

adat pendirian rumah adat yang terdapat dalam buku Legitimasi

Kekuasaan Pada Budaya Nias adalah pada jumlah tahapan serta

jumlah babi yang disembelih. Di dalam Manusia Langit, tahapan

Page 111: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

98

upacara pembuatan rumah hanya ada dua, yaitu ketika pembuatan

fondasi rumah dan ketika pengujian kekuatan rumah. Jumlah babi

yang dikorbankan untuk menjamu tamu mencapai puluhan babi.

Semua tahapan upacara tersebut berbeda dengan apa yang dituliskan

dalam Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias. Di dalam buku

tersebut, tahapan pembangunan rumah adat terdiri dari tahap

pendirian rumah, pengatapan rumah, dan keselamatan rumah yang

sudah selesai. Jumlah babi yang dikorbankan juga tertulis sebanyak

delapan ekor babi.

Selain upacara pendirian rumah, novel ini juga mengangkat pola

pengangkatan pemimpin adat masyarakat Banuaha Nias. Dalam novel

Manusia Langit ini, tokoh Ama Budi digambarkan sebagai salah satu

orang yang memiliki pengaruh penting di Banuaha. Ama Budi

mendapatkan posisi tinggi dalam masyarakat karena sebelumnya

telah melakukan upacara owasa atau mangowasa. Owasa atau

mangowasa adalah pesta yang dilakukan untuk mengukuhkan posisi

Ama Budi sebagai seorang kepala desa dan juga sebagai tetua adat

di Banuaha. Sebelum melakukan owasa atau mangowasa, Ama Budi

telah terlebih dahulu melaksanakan upacara pemotongan babi seperti

terlihat dari kutipan berikut ini.

“Adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah

menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.”

“Begitulah,” jawab Ama Budi lirih. “Keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku buntuk membuat pesta. Aku

Page 112: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

99

memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tak didengar.” (Sonjaya, 2010: 101)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sebagai seorang kepada

desa yang telah mengukuhkan dirinya melalui pesta atau upacara

pengukuhan sebagai kepala desa, kedudukan atau statusnya masih

belum dihargai oleh masyarakat.

“Menjadi kepala desa tak berarti membuat seseorang dihargai

di kampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka para tetua marga dan adat,” tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua adat itu banyak yang iri kepadaku.” (Sonjaya, 2010: 101)

Para tetua marga dan tetua adat banyak yang iri kepada Ama

Budi karena Ama Budi berhasil menjadi seorang kepala desa. Banyak

di antara mereka yang tidak bisa menjadi seorang kepala desa karena

tidak bisa membaca. Ama Budi berhasil terpilih menjadi kepala desa di

Banuaha karena memenuhi persyaratan bisa baca tulis dari

pemerintah, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini.

“Karena hanya aku yang bisa baca tulis,” jawab Ama Budi

dengan tegas. “Waktu itu ada pemerintah, salah satu syarat menjadi

kepala desa harus bisa baca tulis. Karena syarat itu, bayak tetua marga dan adat yang tidak bisa menjadi kepala desa.” (Sonjaya, 2010: 100)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun berhasil

menjadi kepala desa, Ama Budi masih belum dihormati seutuhnya

Page 113: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

100

oleh masyarakat di sana. Ama Budi menjadi kepala desa sejak tahun

1982 hingga tahun 1992. Pada tiga tahun pertama menjadi kepala

desa, ia masih juga belum didengar oleh masyarakat. Oleh karena itu,

setelah tahun ketiga menjabat sebagai kepala desa, Ama Budi

kemudian melaksanakan upacara adat atau pesta tertinggi untuk

mejadi tetua adat. Pesta atau upacara adat tertinggi ini dimakan

owasa atau mangowasa. Pelaksanaan mangowasa digambarkan

dalam kutipan berikut ini.

“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak

menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (Sonjaya, 2010: 101)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa untuk melaksanakan sebuah

upacara atau pesta tertinggi agar bisa dihargai dalam masyarakat,

Ama Budi banyak mengorbankan harta bendanya. Semua itu

dilakukan agar bisa mendapatkan penghargaan dan penghormatan

dari masyarakat, seperti yang digambarkan melalui perkataan Ama

Budi berikut ini.

“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai

diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (Sonjaya, 2010: 103)

Page 114: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

101

Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk menghargai diri

sendiri dan menghargai masyarakat, seorang Ama Budi

mengorbankan harta yang ia punya. Namun, pengorbanan Ama Budi

ini tidak sia-sia. Dengan melakukan upacara adat atau pesta adat ini,

Ama Budi menjadi sangat dihargai di Banuaha. Hingga saat ini belum

ada lagi orang Banuaha yang bisa mengadakan pesta owasa atau

mangowasa sebesar yang diadakan Ama Budi.

Sikap dan kritikan pengarang kembali muncul pada

penggambaran upacara pemilihan pemimpin adat ini. Melalui tokoh

Mahendra, pemerolehan gelar pemimpin adat di Nias disamakan

dengan proses pemerolehan gelar sarjana di universitas, seperti yang

tergambar dari kutipan ini.

“Seperti masyarakat di sini yang dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bergelar-gelar, di sana pun ada jabatan-jabatan, ada gelar-gelar.”

……………. “Ya, seperti ritual adat di sini, Ama!” Aku sedikit enggan

menceritakan ritual wisuda yang dirasa membebani sebagian besar mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan di universitas. Untuk keperluan wisuda, seorang mahasiswa diwajibkan membayar dua ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah kepada universitas…” (Sonjaya, 2010: 105-106)

Kutipan data di atas menunjukkan bahwa perbandingan yang

digambarkan melalui tokoh Mahendra bisa dianggap sebagai sebuah

kritikan dari pengarang. Seperti pemunculan sikap dan kritik

pengarang yang terlihat pada bagian-bagian sebelumnya, sebagai

seseorang yang bekerja dalam lingkungan kampus, melalui kisah

Page 115: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

102

dalam cerita inilah kritikan-kritikan pengarang terhadap lingkungan

kampus bisa tersampaikan. Sama halnya dengan apa yang

digambarkan dalam Manusia Langit, pelaksanaan upacara atau pesta

pengukuhan pemimpin adat owasa ini juga dilakukan sebagai proses

pemberian gelar adat kepada seseorang dengan hak-hak

istimewanya. Ddalam adat masyarakat Banuaha, semua perkataan

orang yang telah melaksanakan pesta owasa adalah hukum yang

tidak bisa disanggah atau dilanggar.

Penggambaran pesta owasa dalam Manusia Langit sama

dengan penjelasan pesta owasa yang dijelaskan Sonjaya dalam buku

hasil penelitiannya di Nias. Pesta owasa digambarkan melalui kutipan

berikut.

“Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.

Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes diatas batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah menyatu dengan batu dan bumi.

Ketika anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dikukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.

Ketika sakit dan akan meninggal, ai harus menyeleng-garakan pesta fatome dengan memotong beberapa ekor babi dan mengambil batu dari gunung untuk didirikan saat ia meninggal kelak. Ketika ia meninggal dan tulang-tulangnya siap dikubru sebelum menhir didirikan sebagai penanda bahwa ia sesengguhnya masih hidup di menhir tersebut.” (Sonjaya, 2010: 95-96)

Page 116: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

103

Kisah pesta yang dilaksanakan oleh Ama Watilina Hia terlihat

memiliki kesamaan dengan pesta owasa yang dilaksanakan Ama

Budi. Owasa dalam kedua buku ini merupakan upacara yang

dilakukan untuk mengukuhkan posisi dalam masyarakat setelah

terpilih menjadi kepala desa. Tahun pelaksanaan upacara owasa juga

sama, yaitu pada tahun 1984. Sampai saat ini, belum ada orang lain

yang sanggup melaksanakan owasa lebih besar bahkan sebesar yang

dilakukan Ama Watilina Hia. Hal yang dialami Ama Watilina Hia ini

sama dengan apa yang dialami tokoh Ama Budi dalam Manusia

Langit. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Legitimasi Kekuasaan

dalam Budaya Nias.

Upacara owasa merupakan sebutan untuk upacara peningkatan

status sosial bagi masyarakat Nias bagian utara sedangkan bagi

masyarakat Nias bagian selatan, upacara ini dinamai faulu. Upacara

owasa/faulu ini juga dikatakan sebagai pesta besar yang memerlukan

biaya yang besar sehingga tidak semua masyarakat Nias mampu

untuk melakukannya. Melihat penggambaran dari beberapa sumber,

terlihat bahwa upacara owasa ini memang upacara besar hingga tidak

banyak masyarakat yang bisa melaksanakannya.

Pola ritual adat juga dapat ditemukan melalui penggambaran

upacara kelahiran setiap anak di lingkungan masyarakat Banuaha.

Pada bagian awal cerita, Ama Budi sempat bercerita tentang proses

Page 117: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

104

kelahirannya dulu. Proses kelahiran yang diceritakan oleh Ama Budi

digambarkan sangat terkait dengan bantuan roh leluhur yang dinamai

Lowalani oleh masyarakat. Ama Budi bercerita bahwa saat dilahirkan,

inang dari Ama Budi sedang berada di sebuah gubuk di tengah

ladang. Saat inang Ama Budi melahirkan inilah kemudian inang Ama

Budi meminta tolong kepada roh leluhur agar memudahkan jalan

napas Ama Budi. Penggambaran ini terlihat dari kutipan berikut ini.

“Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada , penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membahana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memanggil para tetangga di gubuk-gubunk yang berdekatan. Beberapa perempuan dan gadis dewasa datang menghampiri gubuk kami yang beralaskan tanah itu.” (Sonjaya, 2010: 18)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam proses kelahiran,

peranan dari Lowalani sebagai roh leluhur sangatlah penting. Untuk

itu, doa yang ditujukan kepada Lowalani perlu dipanjatkan agar bayi

yang dilahirkan selamat serta dijauhkan dari roh-roh jahat. Setelah

berlangsungnya proses kelahiran, perlu diadakan beberapa tahapan

dalam upacara kelahiran. Dalam novel Manusia Langit ini, tahapan

dalam upacara kelahiran masyarakat Nias tergambar pada bab “Air

dan Batu”. Pada bab ini, terdapat cerita mengenai hubungan antara

batu-batu peninggalan masa megalitikum dengan siklus hidup

masyarakat Banuaha. Salah satu siklus hidup yang digambarkan

Page 118: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

105

adalah upacara kelahiran, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut

ini.

“Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang

Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.” (Sonjaya, 2010: 96)

Pendirian menhir sebagai tanda adanya kelahiran juga

menunjukkan adanya penghormatan terhadap leluhur karena batu

bagi masyarakat Banuaha dianggap sebagai tempat bersemayamnya

roh leluhur. Setelah pendirian menhir saat bayi dilahirkan, tahapan

upacara kelahiran di Banuaha yang tergambar dalam Manusia Langit

berlanjut kepada upacara menginjak batu, disunat, dan akhirnya

melakukan upacara owasa saat beranjak dewasa. Tahapan upacara

tersebut terlihat dari kutipan berikut ini.

“Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus

diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah meyatu dengan batu dan bumi.”

“Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakanpesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dukukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.” (Sonjaya, 2010: 96)

Penggambaran tahapan upacara kelahiran di atas menunjukkan

bahwa dalam setiap perkembangan anak tersebut, perlu dilakukan

upacara-upacara sebagai ungkapan rasa syukur terhadap roh-roh

Page 119: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

106

leluhur mereka. Dengan melakukan dan mengikuti berbagai tahapan

upacara ini, diharapkan nantinya sang anak akan tumbuh di bawah

lindungan roh leluhur mereka.

Pola ritual adat selanjutnya dapat dibaca pada penggambaran

tentang upacara pernikahan. Pernikahan merupakan saran penting

bagi masyarakat Banuaha melangsungkan keturunan dan membentuk

hubungan kekerabatan secara sosial. Penggambaran berkaitan

dengan hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel, sebagai berikut.

“Saat dewasa, setiap masyarakat Nias akan melangsungkan

pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu siklus hidup manusia pertama kali digambarkan di dalam novel Manusia Langit pada saat Mahendra bertanya kepada Sayani mengapa sampai sekarang Sayani belum menikah. Saat ditanya seperti itu, Sayani hanya menjawab “Aku belum punya harta yang cukup untuk membayar mas kawin.” (Sonjaya, 2010: 68)

Besarnya mas kawin yang digunakan untuk melamar calon istri

di Banuaha kemudian digambarkan kembali saat setelah sepeninggal

Ina Budi, Ama Budi menikah lagi dengan seorang gadis gunung.

Pernikahan bagi masyarakat Banuaha dalam novel Manusia Langit

merupakan sebuah ikatan kekerabatan yang harus dijaga

kekuatannya dengan membayarkan mas kawin yang tinggi untuk

pihak perempuannya. Penggambaran yang menunjukkan bahwa

pernikahan adalah sebuah ikatan kekerabatan terlihat dari kutipan di

bawah ini.

“Simpul kekerabatan adalah pernikahan. Mas kawin yang tinggi

untuk perempuan adalah salah satu aturan yang sengaja

Page 120: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

107

diciptakan untuk menjaga agar simpul itu tidak kendur dan lepas. Mas kawin yang harus dibayarkan seorang lelaki jika ingin menikah tentu saja tidak akan mungkin dipenuhi si lelaki seorang diri. Pekerjaannya sebagai petani tidak akan pernah cukup untuk mengadakan babi, emas, dan uang sebanyak itu. Utang itu harus dibayar jika kerabat dan saudaranya menyelenggarakan pesta.” (Sonjaya, 2010: 124)

Sulitnya mengumpulkan kekayaan untuk keperluan mas kawin

inilah yang membuat orang-orang seperti Sayani dan Ama Budi

mengalami keraguan untuk menikah dengan perempuan di Banuaha

untuk waktu dekat. Tidak hanya melalui peristiwa yang di alami tokoh-

tokoh dari Nias, upacara pernikahan juga terkait dengan apa yang di

alami tokoh Mahendra. Mahendra yang merupakan orang dari luar

Banuaha akhirnya jatuh cinta kepada Saita, perempuan dari Banuaha.

Saat itulah penjelasan mengenai syarat-syarat dan pelaksanaan

upacara pernikahan digambarkan.

“Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah őni niha,

kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan.”

“Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itumasih kecil dengan membayar 2/3-nya dulu,” jelas Ama Budi. “Itu kami sebut solayairaono atau kawin gantung.”

“Hah, usia berapa?” “Setelah dibayar 2/3-nya, anak perempuan itu dibawa ke

rumah pihak lakilaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawin.” (Sonjaya, 2010: 140)

Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa dalam masyarakat

Banuaha, terjadi sistem kontrak. Kontrak ini dimaksudkan untuk

mengikat hubungan dengan calon pengantin perempuan hingga

Page 121: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

108

pembayaran lunas dan bisa dinikahkan. Perhitungan pembelian

perempuan yang dinamakan őni niha juga dijelaskan oleh Ama Budi

kepada Mahendra. Perhitungan őni niha dilakukan menggunakan

pucuk daun kelapa yang sudah mengering sebagai pengganti babi

yang akan dikeluarkan. Biaya pertama yang harus dikeluarkan adalah

biaya pertunangan yang dinamakan bobojiraha. Biaya pertunangan

yang harus diberikan kepada orang tua perempuan adalah enam batu

atau 6x5 alisi babi, kira-kira 12 ekor babi berukuran tanggung. Alisi

adalah ukuran untuk babi, berupa rotan yang dilingkarkan pada bahu

babi. Selain babi, orang tua perempuan juga mendapatkan gari/

alőja’a (emas) sebanyak 60 ketip.

Biaya pertunangan ini, di dalamnya tidak hanya orang tua

perempuan yang mendapatkan penghargaan. Anak laki-laki pertama,

nenek, kakek, orang-orang kampung, perantara dalam pernikahan,

saudara perempuan, paman dan nenek dari pihak perempuan, bahkan

istri kedua ayah dari pihak perempuan juga diberi penghargaan. Bőli

niha untuk mereka digambarkan dalam Manusia Langit.

Perhitungan mas kawin menunjukkan bahwa perempuan di

Banuaha dihargai sangat tinggi. Selain membayar perempuan dan

seluruh anggota keluarganya, proses ketika mengunjungi rumah

perempuan dan biaya kain yang dipakai oleh perempuan juga harus

dibayar oleh pihak laki-laki. Penjelasan panjang lebar yang diberikan

Ama Budi kepada Mahendra ini membuat Mahendra memikirkan

Page 122: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

109

harga yang harus ia bayar jika ingin menikah dengan Saita. Hasil

perhitungannya menunjukkan bahwa untuk menikahi Saita, ia harus

membayar 56 ekor babi, 10 paung emas, dan 300 kg beras. Syarat ini

menjadi sulit karena Mahendra bukanlah orang Banuaha sehingga

akan sulit mendapatkan pinjaman babi dari masyarakat Banuaha

lainnya.

Setelah menjelaskan upacara pertunangan, upacara pernikahan

dalam masyarakat Banuaha digambarkan ketika Saita, perempuan

yang disukai Mahendra akhirnya dinikahkan dengan Arafősi. Proses

pernikahan Saita dalam Manusia Langit dimulai dengan arak-arakan

pengantin laki-laki saat menunju rumah Saita yang diiringi dengan

suara gong bertalu-talu. Sesampainya di rumah pengantin

perempuan, diadakan kembali pembicaraan adat yang dilakukan

dengan berbalas pantun sambil diselingi dengan tarian famolaya (tari

elang). Setelah pembicaraan yang berlangsung selama 1-2 jam itu

selesai, Saita dikeluarkan dari rumah untuk selanjutnya dibawa ke

rumah pengantin laki-laki, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut

ini.

“Setelah pembicaraan antarpihak selesai, Saita diekeluarkan

dari rumah. Ia mengenakan pakaian adat dengan dominasi warna merah, kuning, dan hitam. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya; mahkota yang diperolehnya secara turun-temurun dari para leluhur. Saita tampak begitu cantik. Ia berjalan dipapah para kerabat perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki yang telah menunggunya di halaman.” (Sonjaya, 2010: 160-161)

………………..………………………………………………….

Page 123: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

110

“Liriknya itu berisi minta sumbangan kepada hadirin, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hadirin banyak yang memberi, mulai dari seribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Setiap orang yang hadir di situ yang dipanggil namanya dalam nyanyian harus maju ke depan sambil menari dan memberikan sumbangan.” (Sonjaya, 2010: 162)

Setelah sampai di luar, muda-mudi lainnya menyambut dengan

tarian maena dan nyanyian-nyanyian. Tari maena yang ditampilkan ini

memiliki lirik yang unik. Lirik dalam lagu yang mengiringi tari maena ini

menunjukkan bahwa tarian tersebut dilakukan untuk meminta

sumbangan dari para tamu yang datang. Sumbangan yang diberikan

melalui tarian maena ini merupakan sumbangan awal sebelum

sumbangan yang sesungguhnya diberikan saat pesta di rumah

pengantin laki-laki diadakan. Setelah diberi faotu atau pengarahan dan

pesan terakhir, Saita dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Ketika

sampai di rumah pengantin laki-laki, Saita kemudian disambut oleh

keluarga laki-laki tersebut dengan pemotongan babi untuk dijadikan

korban dalam upacara pernikahan tersebut. Kejadian ini terlihat dari

kutipan beikut.

“Di halaman, suara babi sudah makin banyak yang

dipersembahkan oleh kerabat pengantin laki-laki yang datang untuk mengucapkan selamat. Babibabi itu ditarik ke lapangan penjagalan. Setiap keluarga berhak menjagal satu babi. Keluarga yang paling terhormat mendapat bagian untuk mengeksekusi babi yang paling besar. Binatang malang itu ditarik oleh lima orang. Tanpa sepengetahuannya, sebilah ono nekhe menghunjam tepat pada jantungnya yang tersembunyi dibalik ketiak kaki depan. Darah menyembur dari luka itu, juga dari mulu disertai lolongan menyayat hati. Si babi tertatih-tatih sebentar, lalu menggelepar. Satu telah mati, giliran babi lainnya

Page 124: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

111

menyusul ditarik ke arena. Babi kedua dan seterusnya tampak panik, mungkin karena sudah mencium bau darah dan ancaman kematian. Tepat! Mereka pun akhirnya mati, menjadi korban upacara perkawinan.” (Sonjaya, 2010: 164)

Pemotongan babi seperti yang digambarkan dalam Manusia

Langit tersebut selain untuk menjamu tamu pada pesta pernikahan,

digunakan untuk menunjukkan status sosial setiap kerabat. Semakin

tinggi derajat dan statusnya dalam masyarakat, maka akan semakin

besar ukuran babi yang akan dipotong oleh keluarga tersebut. Konflik

yang muncul pada upacara pernikahan Saita dalam Manusia Langit ini

mungkin membuat bagian upacara mengunjungi orang tua menjadi

tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam cerita.

Upacara kematian juga merupakan serangkaian ritual yang tidak

bisa dipisahkan dari masyarakat Banuaha. Upacara kematian

merupakan upacara terakhir dalam siklus hidup seseorang. Dalam

novel Manusia Langit ini upacara kematian digambarkan ketika Ina

Budi, ibu dari Sayani meninggal dunia. Pada awalnya, Ama Budi dan

Sayani mempercayai meninggalnya Ina Budi diakibatkan serangan

tesafo.

Sayani yang tidak menerima kematian mendadak ibunya mulai

menyalahkan Mahendra karena telah mengajak ayahnya berbincang

mengenai leluhur tanpa melakukan upacara sebelumnya. Ama Budi

yang pada awalnya mengatakan Ina Budi terkena tesafo kemudian

menenangkan Sayani dan menjelaskan bahwa meninggalnya Ina Budi

Page 125: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

112

bukan karena tesafo melainkan karena gangguan pernapasan.

Upacara kematian yang dilaksanakan saat kematian Ina Budi sudah

terpengaruh oleh masuknya agama Kristen di Banuaha. Jenazah Ina

Budi dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur dengan tata cara

pemakaman dalam agama Kristen.

Saat pemakaman, Bang Budi, kakak dari Sayani bercerita bahwa

dulu cara pemakaman masyarakat Banuaha tidak seperti itu. Jenazah

dari orang yang meninggal didiamkan hingga membusuk dan tinggal

tengkorak. Tengkorak itu nantinya akan diletakkan di dalam bekhu

atau menhir. Upacara kematian yang dulu dijalankan oleh masyarakat

Banuaha ini digambarkan dalam kutipan berikut ini.

“Aku sebenarnya enggan membicarakan perihal ini. Rasanya

tidak pas dalam suasana berkabung seperti ini itu. Tapi, Bang Budi meneruskan penjelasannya. “Waktu dulu, jika ada orang yang meninggal, kami meletakkan jenazahnya di depan rumah, di atas dipan dari bamboo. Kami biarkan selama berbulan-bulan hingga dagingnya luruh. Setelah tinggal tulang-belulang, maka kami menaruh tengkoraknya di atas piring dan meletakannya di bawah awina.”

“Ya, di situlah kuburan kami dulu, di depan rumah,” jawab Bang Budi. “Setelah kami siap dengan puluhan babi, kami membuat patung dari kayu dam memuat upacara memanggil roh si mati agar mau sesekali kembali pada patung itu, saat kami membutuhkan bantuan mereka.” (Sonjaya, 2010: 118-119)

Awina yang disebut dalam kutipan tersebut adalah dolmen atau

meja yang terbuat dari batu yang biasanya terdapat di depan rumah

warga Banuaha. Keberadaan awina ini digunakan masyarakat

Banuaha sebagai wadah kubur atau wadah tempat menaruh

Page 126: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

113

tengkorak jenazah. Sementara itu, dalam upacara kematian.

Disiapkan pula puluhan babi serta sebuah patung kayu untuk

menghormati orang yang sudah mati itu.

Roh orang yang sudah mati dalam masyarakat Banuaha

dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dan memiliki peranan dalam

kehidupan. Untuk itulah mereka meletakkan tengkoraknya di atas

bekhu dan di bawah awina. Selain itu, masyarakatnya juga membuat

patung dari kayu sebagai penghormatan kepada roh orang yang

sudah meninggal tersebut seperti yang terlihat dari kutipan di atas,

dengan membuat patung, diharapkan roh orang yang sudah

meninggal itu sewaktu-waktu dapat datang untuk membantu

masyarakat.

Bila melihat perbandingan upacara kematian yang digambarkan

dalam Manusia Langit dengan upacara kematian dalam dua buku

sumber lain yang telah disebutkan di atas, terlihat adanya sebuah

perbedaan. Ada sebuah bagian dari upacara kematian yang tidak

tergambar dalam Manusia Langit, yaitu bagian peletakkan kepala hasil

perburuan di antara tengkorak orang yang sudah mati. Dalam setiap

upacara adat yang berlaku dalam masyarakat Banuaha di dalam novel

Manusia Langit, terlihat bahwa pemotongan babi selalu ada sebagai

simbol yang menunjukkan status sosial orang yang

menyelenggarakan upacara adat. Namun, tidak hanya itu, babi

merupakan hewan yang terkait dengan leluhur mereka. Dengan

Page 127: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

114

demikian, Penggunaan babi dalam setiap upacara adat Nias

dimaksudkan untuk menggantikan “babi” atau manusia untuk

dipersembahkan kepada dewa mereka.

B. Pembahasan

Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang bercerita tentang

kepercayaan masyarakat Toraja, namun kerabat yang meninggal tidak

diberi tanda tunggal, sehingga arwah tidak akan diterima di surga.

Upacara kematian di Toraja membutuhkan biaya, karena mereka harus

membeli puluhan kerbau dan ratusan babi. Jumlah dan ragamnya tidak

terkalahkan dengan asal muasal kasta. Hewan-hewan itu akan

menyambut kerabat yang datang untuk berduka cita. Semua kerabat dari

jauh akan terjadi. Secara meyakinkan, roh hewan yang disembelih akan

menemani roh manusia ke surga.

Perbedaan kasta sosial sangat terlihat pada tradisi yang

dinarasikan melalui novel. Mulai dari bentuk upacara pemakaman hingga

peletakan jenazah di kuburan. Karena Allu berasal dari kasta tinggi yang

telah datang sebelum upacara harus sempurna, maka jenazah Rante

harus dikuburkan di atas tebing. Zona ini akan membuat arwah tiba di

puya atau surga lebih cepat.

Dalam novel tersebut diceritakan bahwa, karena upacaranya

membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka setiap jenazah yang belum

bertelur akan dianggap masih hidup, melainkan sebagai manusia yang

Page 128: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

115

sakit. Keluarga akan memperlakukan mereka sebagaimana mereka

seharusnya hidup, memberi makan, minum, termasuk berbicara dengan

mereka, dan sebagainya. Kerabat juga datang berkunjung. Penelitian

terhadap novel Puya ke Puya menemukan perbedaan antara penguburan

jenazah dewasa dan jenazah bayi. Jika jenazah orang dewasa harus

melalui upacara kematian adat, kadang harus menunggu untuk

dibacakan, kemudian dikuburkan di dinding gua, maka jenazah bayi

tersebut tidak diperingati. Jenazah bayi akan dibuat kuburan persegi kecil

(selama jenazah cukup dimasuki) di pohon besar khusus untuk

penguburan bayi, dan lubang pohon akan ditutup ijuk. Tubuh bayi akan

ditinggalkan di pohon.

Sesuai dengan uraian mengenai Identitas, bahwa suatu budaya

dapat memiliki corak yang khas, antara lain memiliki unsur budaya fisik,

kelembagaan dengan pola sosial khusus, dan warga budaya yang

menganut tema budaya khusus. Berikut ini adalah hasil pengelompokan

corak budaya khas yang tergambar dalam novel Puya ke Puya karya

Faisal Oddang.

Antropologis menjadi ciri khas dalam membentuk gaya budaya.

Dalam novel terdapat berbagai istilah yang menjadi simbol fisik suatu

budaya yang berbeda dengan budaya lainnya. Beberapa penggambaran

dari unsur fisik yang mewakili antropologis fisik dalam novel Puya ke Puya

meloputi; penggambaran Tongkonan, kain khas Toraja, pohon Tarra,

ballo, dondi, tau-tau, dan lantang.

Page 129: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

116

Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Bagian atapnya

berbicara tentang bahtera perahu yang terdiri dari susunan bambu, di

bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau, bagian dalamnya

digunakan sebagai kamar tidur dan dapur. Tongkonan terdiri dari

Tongkonan utama dan Lumbung. Tongkonan sebagai tempat tinggal,

sedangkan lumbung adalah tempat menyimpan padi dan berfungsi pada

saat upacara adat. Tongkonan biasanya diturunkan dari generasi ke

generasi, sehingga dijaga ketat oleh keluarga.

Kain ini ditenun oleh ibu-ibu. Pola kainnya seperti lurik, dengan

beberapa helai benang berwarna emas. Biasanya kain khas Toraja ini

digunakan dalam upacara adat. Selain itu kain ini juga diperjualbelikan

sebagai oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke Toraja. Seperti

yang digambarkan dalam novel, bahwa seorang ibu menenun kain dan

menjualnya.

Tarra adalah nama pohon besar. Diameternya mencapai tiga depa

orang dewasa atau lebih. Pohon tarra dimanfaatkan masyarakat sebagai

tempat menguburkan bayi. Sedangkan ballo merupakan wine khas Toraja

yang memabukkan. Biasanya di event-event besar tuan rumah akan

selalu menyediakannya. Selain itu, Ballo disediakan sebagai tempat

jamuan makan, sekaligus sebagai alat bantu bagi seseorang yang lebih

akrab saat bercengkerama sambil minum. Dan pria biasanya tidak setuju

jika ditawari minuman Ballo.

Page 130: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

117

Dondi adalah puisi Toraja. Puisi ini biasanya dibawakan oleh

masyarakat. Menyanyi sajak tidak harus selalu dalam Anugerah, tapi bisa

setiap hari seperti kebanyakan orang menyanyi. Sedangkan tau-tau

adalah miniatur mayat yang dibuat dari kayu berukir. Sebisa mungkin

miniatur itu dibuat dengan wajah mirip orang yang sudah meninggal. Nanti

Tau-tau akan disimpan sebagai bentuk penghormatan terhadap jenazah.

Selain itu, menggambarkan lantang atau balai-balai yang didirikan

sementara pada saat diadakannya upacara adat, misalnya pada saat

Rambu Solo '. Aula tersebut terbuat dari bambu dan ditutup dengan kain

yang berfungsi sebagai hunian sementara bagi tamu yang datang dari

jauh. Sementara

Novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya merupakan salah satu

novel etnografi antropologis yang ada dalam dunia sastra Indonesia.

Dengan mengangkat tulisan etnografis maka novel ini merupakan novel

yang memiliki tema kebudayaan sehingga dalam novel ini banyak

dimunculkan berbagai macam bentuk kebudayaan yang antara lain adalah

kebudayaan Nias, Yogyakarta dan Arab. Bukan hanya sekedar

kebudayaan asli yang dimunculkan dalam novel ini tetapi juga

memunculkan kebudayaan baru yang masuk dalam budaya suatu daerah.

Pertama, kebudayaan yang terdapat di Nias. Dalam novel ini

kebudayaan Nias yang dimunculkan antara lain adalah kebudayaan dalam

pengambilan keputusan yang dilakukan di dadaoma ono zalawa.

Dadaoma ono zalawa adalah tempat berkumpul para tetua adat untuk

Page 131: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

118

mengambil keputusan yang terdapat batubatu besar yang ditata rapi yang

setiap batu merupakan tempat duduk para tetua adat. Kebudayaan

pengangkatan tetua adat, tetua adat merupakan bentuk harga diri yang

tinggi dalam masyarakat Nias karena status tetua adat merupakan hal

yang penting maka untuk menjadi tetua adat ada pengorbanan yang

besar. Dalam budaya Nias pengangkatan tetua adat harus melalui

upacara mangowasa, pesta tertinggi dalam Masyarakat Banuaha Nias.

Mangowasa adalah pesta yang dilakukan selama tujuh hari tujuh malam

dengan memberi makan seluruh.

Masyarakat yang datang dalam pesta, dalam pesta tersbut harus

mengorbakan ratusan ekor babi dan bergram-gram emas. Kebudayaan

tentang adat pernikahan, upacara pernikahan dalam masyarakat Nias

merupakan sesuatu yang mahal karena seorang wanita di Nias yang akan

dinikahi harus dibeli dari orang tuanya atau disebut boli niha. Kebudayaan

tentang aturan adat yang terdapat di Nias, peraturan adat Nias tidak

berbentuk tertulis tetapi sangat mengikat masyarakatnya.

Setiap kesalahan ada denda yang diputuskan secara mufakat oleh

tetua adat. Selain kebudayaan asli dalam novel ini digambarkan juga

kebudayaan yang sudah mendapat pengaruh dari luar, antara lain adalah

adat penguburan jenazah yang dilakukan seperti adat penguburan

jenasah yang ada di Jawa. Hal tersebut terjadi karena pengaruh

masuknya agama kedalam kebudayaan Nias, cara penguburan jenasah

seperti adat Jawa merupakan ajaran dari gereja. Kemudian adat luar yang

Page 132: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

119

lain yang masuk dalam kebudayaan Nias adalah tergantikannya tuak

sebagai minuman tradisional oleh minuman alkohol kemasan yang

diproduksi pabrik seperti merk topi miring.

Kedua, kebudayaan Yogyakarta yang digambarkan oleh J. A.

Sonjaya lewat latar belakang tokoh utama Mahendra. Dalam novel ini

kebudayaan Yogyakarta yang ditampilkan oleh pengarang adalah

kebudayaan Yogyakarta yang sudah termasuki oleh kebudayaan dari luar,

antara lain adalah permainan biliard. Biliard merupakan permainan

ketangkasan yang berasal dari eropa, biasanya permainan biliard identik

dengan dunia malam karena didalam novel ini dilukiskan sebuah tempat

biliard yang berisi dengan kebebasan dunia anak muda. Kemudian, selain

biliard digambarkan juga perbedaan tempat kos zaman dahulu dengan

zaman modern. Di dalam novel ini tempat kos modern digambarkan

tentang kebebasan penghuni kos untuk keluar masuk kos dan juga

kebebasan membawa lawan jenis untuk masuk ke dalam kamar kos.

Bertolak belakang dengan gambaran kos modern, kos tradisional yang

digambarkan dalam novel ini sangat penuh dengan keterikatan peraturan-

peraturan masyarakat.

Tentang harga diri, tingkat harga diri di Yogyakarta dinilai dari

status pekerjaan yang dimiliki, seperti Mahendra yang seorang dosen

merupakan memiliki status sosial atau harga diri yang tinggi dan saat

Mahendra melakukan kesalahan dengan menghamili mahasiswinya di luar

nikah maka harga dirinya tercoreng.

Page 133: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

120

Novel ini juga mengeksplorasi keragaman budaya yang ada di

Indonesia yang secara antropologis terdiri dari beragam suku bangsa.

Dalam novel ini beberapa kebudayaan yang ditampilkan oleh J. A.

Sonjaya antara lain adalah kebudayaan Nias, Yogyakarta dan

kebudayaan Arab keturunan. Dari perbedaanperbedaan kebudayaan yang

ada dalam novel Manusia Langit ini J. A. Sonjaya menampilkan konflik

yang dikarenakan perbedaan-perbedaan kebudayaan tersebut.

Perbedaan kebudayaan yang lain yang ditunjukan oleh J. A.

Sonjaya dalam novel Manusia Langit adalah perbedaan budaya yang ada

di Nias dan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan budaya Nias dan

Yogyakarta yang ditunjukan dalam novel ini antara lain adalah tingkat

harga diri yang ada dan peraturan masyarakat yang ada di Nias dan

Yogyakarta. Di Nias tingkat harga diri seseorang dilihat dari pesta yang

pernah dilakukan biasanya seorang tetua adat akan memiliki harga diri

yang tinggi apabila sudah melakukan upacara Mangowasa berbeda

dengan cara pandang masyarakat Yogyakarta yang melihat harga diri dari

status pekerjaan yang dimiliki seseorang. Peraturan masyarakat di Nias

tidak tertulis tetapi sangat mengikat warga masyaraknya dan sangat

dipatuhi, berbeda dengan peraturan yang ada di Yogyakarta yang tertulis

namun tidak terlalu mengikat masyarakatnya, bahkan sering terjadi

pelanggaran-pelanggaran.

Berdasarkan uraian pembahasan data penelitian yang telah

diuraikan, dapat dirumuskan kesimpulan bahwa secara antropologis

Page 134: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

121

kedeua novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan Manusia Langit

karya J.A Sonjaya tersusun dari bentuk mitopoik. Dalam struktur mitopoik

ini ditemukan pola-pola kebudayaan manusia yang secara khusus

menetap di Banuaha, Nias. Pola-pola kebudayaan ini meliputi; a) pola

kepercayaan dan keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d)

pola ritual adat.

Page 135: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

122

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat diuraikan simpulan

berikut.

Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang terkonstruk dari berbagai

unsur fisik antropologis. Unsur fisik ini meliputi penggambaran tentang

antropobudaya masyarakat Toraja meliputi; penggambaran pohon tarra,

kerbau dan babi sebagai hewan sesaji, ballo, kain khas toraja, lantang,

aluk, rambu solo, passiliran, to balu, tana bulaan, penuluan, dondi, puya,

to M Kembali Puang, bambu, Puang Matua, to raija, rambu tuka, tau-tau,

mangriu 'batu, gudang, mangriu' batu, hingga pa'tingoro. Adapun bentuk

mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.

Novel Manusia Langit merupakan sebuah novel yang memuat

beberapa sisi kehidupan masyarakat Banuaha sebagai bagian dari

masyarakat Nias. Sistem religi yang merupakan dasar masyarakat dalam

melakukan aktivitas terlihat dari adanya penggambaran keyakinan yang

dijalankan oleh masyarakatnya. Di dalam novel ini, adanya keyakinan

dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Banuaha terhadap leluhur dan

asal-usul leluhur mereka, kepercayaan terhadap roh-roh halus,

kepercayaan terhadap tradisi dan mitos-mitos yang berlaku dalam

masyarakat, serta pelaksanaan upacara-upacara adat.

Page 136: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

123

Masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam Manusia Langit ini

memiliki kepercayaan bahwa leluhur mereka yang disebut Lowalani

merupakan manusia yang diturunkan dari langit. Oleh karena itu, leluhur

mereka ini disebut sebagai “Manusia Langit”. Untuk menghormati leluhur,

masyarakat Banuaha dalam Manusia Langit ini mendirikan bekhu atau

menhir sebagai tempat penghormatan. Dalam menyebut nama leluhur,

masyarakat Banuaha juga mengikuti aturan-aturan yang sudah disepakati

dalam adat karena jika melanggar, hal buruk akan terjadi pada diri

mereka. Selain kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Banuaha

dalam Manusia Langit ini juga mempercayai adanya roh-roh halus dalam

kehidupan mereka, seperti roh pemakan bayi dan tesafo. Roh pemakan

bayi dipercaya sebagai roh yang suka memakan bayi-bayi masyarakat

Banuaha setelah dilahirkan.

Meskipun berita roh pemakan bayi ini sudah berkembang dalam

masyarakat Nias di dalam novel, pada akhirnya ditemukan kenyataan

bahwa roh pemakan bayi tersebut hanyalah mitos yang diciptakan oleh

masyarakatnya sendiri sebagai pembelaan atas tindak kejahatan yang

mereka lakukan. Sama seperti dalam kepercayaan mereka terhadap

leluhur, penyebutan leluhur dengan sembarangan menjadi salah satu

penyebab seseorang terserang tesafo. Hasil pembahasan menunjukkan

bahwa struktur mitopoik ini ditemukan pola-pola kebudayaan manusia

yang secara khusus menetap di Banuaha, Nias.

Page 137: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

124

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa bentuk mitopoik dalam

novel Puya ke Puya karya Faisal Oddan dan Manusia Langit karya J.A

Sonjaya terdiri atas pola-pola kebudayaan manusia yang meliputi; 1) pola

kepercayaan dan keyakinan, 2) pola perilaku, 3) pola status sosial, dan 4)

pola ritual adat.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis merumuskan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Kajian tentang mitopoik masih, khususnya dengan menggunakan

objek kajian teks novel, masih harus dilakukan untuk memperkaya

khasan kajian keilmuan sastra Indonesia. Minimnya literatur tentang

mitopoik yang respresentatif falam kajian novel sangat mendorong

bidang kajian ini menjadi prioritas pengembangan penelitian.

2. Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddang dan Manusia Langit karya J.

A. Sonjaya merupakan novel Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai

antropologi budaya masyarakat Nusantara, sehingga dapat menjadi

bahan bacaan alternatif yang menghibur dan mencerahkan di tengah

pandemik Covid-19.

Page 138: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

125

DAFTAR PUSTAKA

Adhar, Al-Fisal. 1997. Penokohan dalam Novel Harimau-Harimau. Karya ZMuhtar Lubis, Tesis. Ujung Pandang: Unismuh.

Ahimsam-putra, 2009: Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika

Azis Aida, S. 2011. Etika dan Kepemimpinan dalam Novel-Novel Karya Pramoedya Ananta Toer. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Barnauw, V.1989. Etnology.Illinois: Dorsey Press.

Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balao Pustaka.

Faruk. 2001. Sastra dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Gema Press

Gani. 2016. Mitos dalam Babad Songennep. Malang: Tesis. Universitas Negeri Malang. Diakses 20 Februari 2020.

Harahap, 2009: Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo: Sumetera: Tesis: Universitas Sumatera Utara. Diakses 20 Februari 2020.

Hasyim, Muhammad. 2014. Kontruksi Mitos dan Ideologi dalam Iklan Komersial Televisi; Suatu Analisis Semiologi. Disertasi. Makassar: Unhas.

Krippendorf, Klaus. 1993. Analisis Isi. Pengantar Teori dan Metodologi. Terjemahan oleh Farid Wajdi. 1993. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Levi-Strauss, Claude. 1971. Myth and Meaning : Cracking the Code of Culture. Amazon : Amerika Serikat.

Lixian, Xiao. 2013. Analisis Struktural Novel Hong Lou Meng. Jurnal Humaniora Volume 25 No. 2 Juni 2013. Di akses 20 Februari 2020

Lubis, Mukhtar. 1997. Sastra dan Kehidupan. Jakarta: Indah Press

MOLEONG, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Akses online

Page 139: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

126

http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=7619&pRegionCode=UN11MAR&pClientId=112

Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1996. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, danPenerapannya. Jakarta: Pustaka Pelajar

_______________.2009 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prakoso, Teguh. 2016. “Pemaknaan Novel Bekisar Merah dan Belantik dengan Teori Strukturalisme Lévi-Strauss dan Hermeneutika Geertz”. Tesis. Program Studi Ilmu Sastra Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Rampan. 1984. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Refike Aditama.

Rafiek, Muhammad. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Refike Aditama.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______________2014. Antopologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saryono, Djoko. 2013. Dasar Apresiasi Sastra.Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Satoto, Sudiro. 1993: Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press

Semi, M. Atar. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

_______________2013. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Soeratno, Siti Chamamah. 1994. “Penelitian Sastra Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar dalam Teori Sastra 1994”. Jobrohim (penyaji) Yogyakarta: Masyarakat Poitika dan IKIP Muhammadiyah

Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 140: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

127

Sumardjo, Jakob dan Saini. 2013. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress.

Sumardjo, Jakob. 2013. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.

Tarigan, Henri Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1983. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Weren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan. (Diterjemahkan oleh Mellany Budianto). Jakarta: Gramedia.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. UNS. Surakarta.

Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:

Kanwa Publisher.

Yanti Kh, Neneng. Analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap Kisah

Pedagang dan Jin dalam Dongeng Seribu Satu Malam. Jurnal

Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009

Page 141: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

RIWAYAT HIDUP

Zulkifli, lahir 17 Februari 1991 di langgentu Desa O‟o

Kecamatan. Donggo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat.

Penulis anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan

Abakar dan Hadijah.

Latar belakang pendidikan, penulis Mengenyam pendidikan

Sekolah Dasar SDN Kala langgentu masuk tahun 1998,

tamat pada tahun 2003, selanjutnya penulis melanjutkan

studi ke jejang menengah pertama /SLTP Negeri 1 Donggo.

Kab. Bima tahun 2003, tamat tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Donggo, tahun 2006 dan tamat pada

tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di

Universitas Muhammadiyah Makassar pada program studi pendidikan bahasa

dan sastra Indonesia dan alhamdulillah selesai pada tahun 2014.

Berkat, Doa, wejangan, dukungan, dan suport kedua orangtua, keluarga,

sahabat dan seganap civitas akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

tempat saya mengabdikan diri dan menuntut ilmu untuk terus proses. Alhamdillah

pada tahun 2018 penulis studi pada Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar program studi Magister pendidikan bahasa dan sastra

Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi bangsa

memotivasi penulis untuk mengambil program Magister Pendidikan dengan satu

harapan kelak dapat menjadi pendidik profesional. Selain kuliah, penulis juga

banyak bergerak dalam dunia organisasi baik internal maupun eksternal.

Diantaranya, Ketua bidang Depertemen Pengembangan Organisasi FKKMDB

(Forum Komunikasi Keluarga Besar Mahasiswa Donggo Bima) priode 2011-

2002. Anggota bidang Depertemen Pengembangan Organisasi HMJ Bahasa dan

sastra Indonesia priode 2011-2002, Wakil Ketua Umum HMJ Bahasa dan sastra

Indonesia priode 2012-2013, Pembina FKKMD (Forum Komunikasi Keluarga

Mahasiswa Donggo Bima) tahun 2016-sekarang, Pembina KKBED (Kerukunan

Keluarga Besar Etnis Donggo) Sul-Sel 2017-2021, Tahun 2021, penulis berhasil

menyelesaikan program Magister di Universitas Muhammadiyah Makassar,

dengan judul Tesis Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddang

dan Manusia Langit Karya J. A. Sonjaya.

Page 142: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …
Page 143: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 1

Deskripsi Data Terpilih

No Fokus Penelitian

Data Terpilih Sumber

1. Pola Kepercayaa

n da Keyakinan

(1) Dulu kampung ini hanya akan ramai jika ada kematian yang dirayakan. Ketika ada mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit. Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang Toraja, sebelum rambu solo, semua mayat masih sakit. Selayaknya mereka yang sakit, kerabat akan tetap mengajak bicara. Memberi mereka makan, rokok, serta sirih. Kini, disekitar rumah Rante Ralla, Kampung Kete‟, kau akan temuakan keramaian hampir setiap hari. Orang-orang asing menyelusup mirip kutu dalam rambut yang tidak pernah dicuci.” (2) Aku tidak menjawab. Ia memang bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Kendati pun di Toraja mayat sepertiku yang belum diupacarakan masih dianggap sakit, tentu Tina cukup berpikir bahwa aku tidak bisa apa-apa selain terbaring dan mendengar ceritanya. Tetapi seandainya saja aku telah diupacarakan, dan beruntung aku menjelma dewa, To Membali Puang, tentu aku akan mengijabah doa-doanya, atau paling tidak mengantar doanya ke Tuhan, ke Puang Matua.” (3) “Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbowo Laiya. Tapi, katanya, jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja ke rumahnya. Pak Nai Laiya bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali, katanya.” “Benar?‟ “Lau, aina ba nomo yaitu, “kata pria itu. “Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan leluhur?” Pak Nai Laiya kelihatannya mengerti

Puya ke

Puya 2015: 6

Puya ke Puya

2015: 53

Manusia Langit

2010: 5-6

Page 144: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

pertanyaanku. Ia melirik pada Sayani sebagai tanda meminta terjemahkan. Sayani menjawab dalam Bahasa Nias. Terjadilah obrolan yang tak ku mengerti. Aku berusaha memahami dari bahasa tubuhnya. Kecurigaan belum hilang dari mata dan cara Pak Nai bicara. “Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bias bicara pada leluhur melalui odu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bias dipanggil, tapi harus upacara dulu. (4) “Benarkah yang dikatakannya?” tanyaku kepada Sayani. “Bila benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-suah lagi menggali, tinggal tanya saja kepada mereka apa yang terjadi serratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (5) “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (6) “Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak daris hasil perkawinan dua angina di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angina tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia. (7) “Sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!” “baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata

Manusia Langit

2010: 6

Manusia Langit

2010:12-13

Manusia Langit

2010:110-111

Manusia Langit

Page 145: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

tesafo. Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh halusbeberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali” (8) “Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbὅwὅ Laiya. Tapi, katanya jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja kerumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur datang kerumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali katanya” (9) “Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah pak Nai Laiya” (10) “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja di lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar menyambar dilangit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membehana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memangil para tetangga di gubuk-gubuk yang berdekatan. Beberapa perempuan dewasa dan gadis datang menghampiri gubuk kamiyang beralaskan tanah itu” (11) “Tadi aku menyebut leluhurku, Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebutnamanya. Dia yang di langit sana bisa marah,”ujar Ama Budi. Angin berembus kencang di dalam ruangan kala Ama Budi menyebut kembali nama Lowalani. Sayani mengusap kuduknya sambil melirik kanan-kiri. Ia tampak ketakutan.“tidak apa-apa,”kata Ama Budi

2010:4

Manusia Langit

2010: 5

Manusia Langit

2010: 6

Manusia Langit

2010:18

Manusia Langit 2010:

19

Page 146: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

berusaha menenangkan anaknya. “dia sudah pergi” (12) “Aku melihat Ama Budi tengah termenung. Ia sama sekali tak menangis menghadapi istrinya terbujur kaku. Sayani dan Ina Berna yang menangis paling keras.aku memeluk Ama Budi erat, merasa sangat menyesal dan takut. Lagi-lagi, ini gara-gara aku yang memancing Ama Budi menyebut nama leluhur tanpa syarat adat. Ama Budi pasti berpikit seperti itu” (13) “…karena sering hilang dimakan roh halus itulah, populasi belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka seringhilang di makan roh jahat. Cerita itumasih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu” 14) Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk kelurga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus tedong bonga yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai relegius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uag cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja! (15) “Dulu aku, pernah berharap untuk menjadi To Membali puang menjadi dewa, ketika kelak tiba di surga. Aku ingin, bahkan sampai saat ini aku asih diam-diam memeram keinginan itu. Soal rohku

Manusia Langit

2010: 113

Manusia Langit 2010:

20

Puya ke Puya

2015: 14-15

Puya ke Puya

Page 147: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

yang kini masih tergantung antara langit dan bumi, menjadi bombo karena belum diupacarakan, biarlah menjadi tanggunganku sendiri, biarlah kuderitakan sendiri.” (26) “Sekalian lagi, dengan sangat berat meninggalkan beban, aku tetap berharap kerabat mengupacarakanku dengan sempurna sehingga aku menjelma dewa To Membali Puang. Semoga kelak cucu-cucuku bisa kubantu keinginannya serta doa-doa-nya, cucu-cucuku yang masih hidup di dunia.”

2015: 32

Puya ke Puya

2015: 33

2 Pola Perilaku

(16) … Sejak tujuh belas tahun yang lalu, aku dirawat oleh ibu yang baru, sebelum akhirnya aku menuju puya-menuju surga. Begitu kata ibu yang baru. Ibu Pohon. Katanya lagi, aku tinggal menunggu taubuhku dihancurkan batang pohon, menyatu bersama getahnya yang kami susui, menyatu dengan ranting, menjadi daun, lalu kering, lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke asal, dan kembali ke surga. Aku sudah mau bertemu Ambe di alam arwah ini. Kata Ibu Pohon, kalau Ambe sudah di-rambu solo, kami sudah bisa bertemu. Tapi Ibu Pohon juga bilang, Ambe menyisahkan beban buat keluargaku. Terutama buat kakakku, Allu Ralla. Tongkonan kami ramai di hari kematian Ambe. Aku dan Ambe sama, sama-sama menunggu tiba di surga. Bedanya, untuk sampai ke surga Ambe harus diupacarakan, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan babi. Hal itu tidak mudah, tetapi demi derajat dan adat, sebagai keturunan bangsawan tana-bulaan-Ambe harus melakukannya, lagi-lagi itu kata Ibu Pohon. Setiap malam, ia bercerita kepada anak-anaknya tentang keluarga yang ditinggalkan anak-anak itu. Ibu pohon mengatakan, apalagi sebagai penualaan tetua, pemimpin tongkongan di kete kesu Ambe harus bikin mewah acaranya...” (17) “Bisakah kau bayangkan sebatang pohon besar? Daun rimbun. Batangnya penuh pahatan kotak-kotak yang ditutupi ijuk. Setiap pagi, hampir saban

Puya ke Puya

2015: 11-12

Page 148: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

hari, getah putih menguncur dari pohon itu. Jika bisa, baiklah, berarti tak susah kau mengerti hidup Maria Ralla di dalamnya. Makam pohon itu, disebut makam passiliran. Makam yang dibuat pada batang pohon tarra. Tidak bakalan cukup jika kau melingkarkan lengan dibatangnya. Bayangkan besarnya. Kau bisa ajak teman kau. Seorang lagi. Atau dua orang. Barangkali masih tidak cukup. Di dalam pohon itu ada dunia. Ada kehidupan. Begitulah orang Toraja percaya. (18) “Tenang saja, Bang, tidak boleh ada rasa takut kalau kita benar!” Sayani mengepalkan tangannya. “Lagi pula sekarang penggal-penggal kepala sudah jarang, sudah gereja. Pendeta melarang kami penggal-penggal kepala lagi. Jadi sekarang ada hukum adat dan hukum gereja yang mengatur kami, juga hukum pemerintah. Orang yang membunuh karena dendam tidak akan pernah sampai ke surga, tidak akan pernah sampai ke langit.” (19) “Kenapa tidak dimulai sekarang?!” ajaknya serius. “Kami sangat senang dengan niat baik Bang Mahendra,” lanjutnya sambil menyodorkan gelas dan sejeriken tuak.

“Ambil, Nak Hendra,” kata Ama Budi. “Itu satu kehormatan bagi kamu.” (20) ““Baiklah kalau begitu, tapi tolong tutup dulu pintu, aku sudah mulai merasa kedinginan, maklum sudah tua,” Ama Budi menunjuk pintu atap rumbia. Aku merasa senang mendapat perintah seperti itu karena itu salah satu tanda bahwa aku sudah diterima di keluarga Ama Budi. Jika masih menganggap aku sebagai tamu, mana mungkin orang Banuaha akan memberi perintah kepada tamunya seperti itu. Bagi orang Banuaha, tamu benar-benar didudukkan sebagai raja yang harus dihormati. Jelas, aku tidak mau didudukkan sebagai raja. Hal itu akan membuatku rikuh saja” (21)

Puya ke Puya

2015: 42

Manusia Langit

2010: 7-8

Manusia Langit

2010: 81

Manusia Langit

2010: 16

Page 149: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

“Ya, seperti itulah,” jawab Ama Budi. “Orang yang bisa menyelenggarakan pesta dan memberi makan orang banyak disebut lakhőmi dan sumange.”

“Apa artinya, Ama?” “Artinya harga diri dan berwibawa.” “Adat sudah menggariskan bahwa mereka

yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung” (22) Memang mereka minta apa?”

“Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat.”

“Ama melakukannya?” “Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi

butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta tujuh hari tujuh malam” (23) “Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha” (24) “Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan laki-laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ

Manusia Langit

2010:101

Manusia Langit

2010: 101

Manusia Langit

2010: 103

Manusia Langit

2010: 123

Page 150: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (25) “Baiklah, sekarang sudah jelas, Mahendra dan Sayani wajib membayar babi kepada keluarga Laiya, jumlahnya nanti kita bicarakan antarkeluarga saja!” kata Ama Budi mengambil keputusan. “Tidak, Ama, harus diputuskan sekarang!” sanggah Amoli. “Kami minta sepuluh ekor babi dan penggalian di ladang kami dihentikan!” Sebelum aku menjawab, seorang pria angkat tangan minta bicara. “Karena kalian empat orang, adilnya babinya empat ekor, kenap minta sepuluh?” “Baiklah, demi adat, demi harga diri kami, aku setuju!” Ucap Amoli.

Manusia Langit

2010:77

3 Pola Status Sosial

(26) “Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah-setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah.” (27) “Waktunya tiba, kami melingkar di tengah tongkonan. Mayat Ambe kaku di dalam peti mati, diluar lingkaran kerabat yang segera memulai rapat. Bagaimana saya seharusnya? Hanya Indo barangkali yang mendukung. Sementara itu, saudara-saudara Ambe, ponakannya, dan kerabat yang lain pasti etap menuntut memewahkan kematian Ambe demi gengsi dan demi tidak tercorengnya nama keluarga Ralla.” (28) “Kau paham, pasti. Jika ada rambu solo, wajah kerabat akan tercoreng. Gengsi kelurga Ralla akan jatuh mirip buah ranum yang meninpa bebatuan. Akan remuk harga diri mereka. Ya, akan remuk oleh tiga penyataan masyarakat: (1) Wah, bangsawan kok pelit; (2) Dasar mereka tak tahu berterima kasih kepada mayat kerabatnya; (3) Keluarga itu memang malas bekerja sama cari uang, makanya tak ada upacara.

Puya ke Puya

2015: 14-15

Puya ke Puya

2015: 17

Puya ke Puya

2015: 33

Page 151: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

(29) “Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” (Manusia Langit, 2010: 101) (30) “Tantangan dari Ama Firma tampaknya membuat Amőli tak berkutik. Posisi guru sangat dihormati di kampung itu, apalagi Amőli bekas murid Ama Firma. Semua yang sekolah dikampung itu pasti pernah brhadapan dengan Ama Firma karena ia guru senior” (31) “Aku tersenyum. Kenapa ini tak terpikir sebelumnya? Orang tua yang sangat bijak itu sangat memahami apa yang ada dalam pikiranku. Aku merasa saran Ama Budi untuk mengajar di SMP sebagai peluang yang baik untuk menjamin kembali hubungan dengan masyarakat karena profesi guru sangat dihormati di kampung.” (32) “Kenapa para pemabuk itu kelihatan hormat kepadamu dan tak berani lagi kepadaku.” “Karena aku orang Banuaha dari keluarga Hia. Marga Hia sangat dihormati karena dianggap yang tertua di Nias.” (33) “Aku sangat senang menyandang nama itu. Baru kali ini aku merasa benar-benar dianggap ada. Aku pun merasa tidak keberatan ketika Ama Budi mengusulkan untuk menyelenggarakan pesta. Aku menyambut ide itu karena aku masih punya sedikit tabungan. Lalu disiarkanlah kabar jika keluarga Ama Budi Hia hendak menyelenggarakan pesta pengukuhan anak angkatnya, Mahendra Hia”

Manusia Langit

2010: 101

Manusia Langit

2010: 78

Manusia Langit

2010: 81

Manusia Langit

2010: 73

Manusia Langit

2010: 126

4 Pola Ritual Adat

(34) “Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang

Page 152: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

sekarang, Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti. “Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman, sungguh tongkonan, tidak baik digelar rambu tuka upacara kesenangan macam kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam ditongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputuskan rencana pemakamannya.” (35) Saya akan mengupacarakan Ambe dengan rambu solo paling sempurna. Demi kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, saya ingin Ambe masuk ke puya lau menjadi To Membali Puang. Tidak ada lagi tingkatan arwah yang lebih tinggi daripada itu. Diam-diam, tanpa ada yang tahu saya menyetujui penjualan tanah warisan kami kepada paka soso. Saya sebagi kepala keluarga , jadi saya berhak dan memiliki keleluasaan untuk menentukan semuanya. Jika sedikit saja Indo mengerti dan sedikit saja ia membersihkan kepalanya dari kata masa lalu dan warisan yang harus dijaga, saya yakin Indo akan memahami niat baik saya. Indo tidak akan menolak lagi. Saya percaya hal itu.” (36) “Hari ini diadakan mappassulu‟, sebuah acara sebagai pencanangan bahwa keluarga akan mengadakan rambu solo. Begitulah cara yang kami tempuh yang sekaligus untuk mengabari warga setempat bahwa kami akan menggelar acara besar dalam waktu dekat. Saya akan membiayai acara ini. Sedikit nyeri juga dada saya merogoh saku untuk Ambe. Saya bukan hitung-hitungan. Bukan itu, saya hanya merasa apa yang saya lakukan ini tidak sempurna menyenangkan Ambe. Tetapi uang yang untuk membeli empat puluh babi yang dagingnya kemudian kami bagikan itu bukanlah uang seperti biasanya. Saya mendaptka karena pekerjaan yang sama sekali tak seorangpun membenarkannya. Saya mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Saya

Puya ke Puya

2015: 99

Puya ke Puya

2015: 120

Puya ke Puya

2015: 123

Page 153: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

melakukannya demi Ambe juga, tetapi pastilah jika saya katakan hal ini, tidak ada yang akan mengerti. Tetapi saja hal ini dianggap kesalahan. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk Indo. Karena itu, rahasia ini kupendam dan kuperam sendiri.” (37) “Mang iu’ atu pasti mendatangka banyak warga yang membantu; batu menhir setinggi tiga meter yang ditemukan oleh Leba Ralla sepupu satu kali saya dari paman marthen akan ditarik bersama-sama. Leba menemukannya dipuncak gunung. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya membawa batu itu ke ante lapangan tempat pusat acara rambu solo. Butuh banyak tenaga, dan tenaga-tenaga itu patutlah dibayar dengan daging kerbau. Lihatlah, begitulah adat membuat rasa pamrih, begitulah adat secara halus menanamkan paham tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan tenaga harus dibayar dimasyarakat tradisioanal yang masih jauh dari individualisme masyarakat kota.” (38) “Orang-orang menyebutkan ini sebagai ma’popengkaloa. Jenazahku disemayamakan tiga hari tiga malam di dalam lumbung sebelum diadakan uapacara ma’pasonglo dan menaikkan jenazahku ke keranda jenazah yang telah dihiasi macam-macam ukiran dan berbentuk miniatur tongkonan saringan namanya. Sebagi mantan ketua adat, aku tahu pasti semua rangkaian upacara yang bakal ranut dan tidak aka dibiarkan luput satu pun oleh Marthen. Setelah di atas saringan jenazahku aku akan ditandu keliling lokasi upacara.” (39) “Sebelum mantanu tedong, di antara kerbua-kerbau yang akan dibantai itu ada beberapa yang diadu dalam rangkaian upacara mappasilaga tedong. Acara ini bersifat hiburan, dan semasa hidupnya aku tidak sekalipun melewatkannya. Selain mengakrabkan, acara itu juga bisa jadi ajang berjudi, dan aku sangat suka. Bayangkan

Puya ke Puya

2015: 136

Puya ke Puya

2015: 137

Page 154: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

jika kerbau unggulan menang, pasti akan dapat pujian. Dan, beruntung aku adalah ketua adat. Ketika kerbau andalanku kalah, tak ada yang berani menghujat. Orang lain pasti akan diolok sampai tuntas.” (40) Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias “Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adat sangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktu bertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara.” (41) “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makanan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (42) “Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budah itu kemudian disimpan di atas pole rumah.” (43) “Adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” “Begitulah,” jawab Ama Budi lirih. “Keluarga dan

Puya ke Puya

2015: 172

Manusia Langit

2015: 12

Manusia Langit

2015: 13

Manusia Langit

2015: 13

Page 155: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

kerabatku akhirnya mendorong aku buntuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tak didengar.” (44) “Menjadi kepala desa tak berarti membuat seseorang dihargai di kampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka para tetua marga dan adat,” tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua adat itu banyak yang iri kepadaku.” (45) “Karena hanya aku yang bisa baca tulis,” jawab Ama Budi dengan tegas. “Waktu itu ada pemerintah, salah satu syarat menjadi kepala desa harus bisa baca tulis. Karena syarat itu, bayak tetua marga dan adat yang tidak bisa menjadi kepala desa.” (46) “Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (47) “Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (48) Seperti masyarakat di sini yang dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bergelar-gelar, di sana pun ada jabatan-jabatan, ada gelar-gelar.” … “Ya, seperti ritual adat di sini, Ama!” Aku sedikit enggan menceritakan ritual wisuda yang dirasa

Manuisa Langit

2015: 101

Manusia Langit

2015:101

Manusia Langit

2010: 100

Manusia Langit

2010: 101

Manusia Langit

2010: 103

Manusia Langit

2010: 105-

Page 156: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

membebani sebagian besar mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan di universitas. Untuk keperluan wisuda, seorang mahasiswa diwajibkan membayar dua ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah kepada universitas…” (49) Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan. Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes diatas batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah menyatu dengan batu dan bumi. Ketika anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dikukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya. Ketika sakit dan akan meninggal, ai harus menyelenggarakan pesta fatome dengan memotong beberapa ekor babi dan mengambil batu dari gunung untuk didirikan saat ia meninggal kelak. Ketika ia meninggal dan tulang-tulangnya siap dikubru sebelum menhir didirikan sebagai penanda bahwa ia sesengguhnya masih hidup di menhir tersebut.” (50) “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada , penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membahana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memanggil para

106

Manusia Langit

2010: 95-96

Manusia Langit

Page 157: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

tetangga di gubuk-gubunk yang berdekatan. Beberapa perempuan dan gadis dewasa datang menghampiri gubuk kami yang beralaskan tanah itu.” (51) Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.” (52) “Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah meyatu dengan batu dan bumi.” “Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakanpesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dukukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.” (53) “Saat dewasa, setiap masyarakat Nias akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu siklus hidup manusia pertama kali digambarkan di dalam novel Manusia Langit pada saat Mahendra bertanya kepada Sayani mengapa sampai sekarang Sayani belum menikah. Saat ditanya seperti itu, Sayani hanya menjawab “Aku belum punya harta yang cukup untuk membayar mas kawin.” (54) “Simpul kekerabatan adalah pernikahan. Mas kawin yang tinggi untuk perempuan adalah salah satu aturan yang sengaja diciptakan untuk menjaga agar simpul itu tidak kendur dan lepas. Mas kawin yang harus dibayarkan seorang lelaki jika ingin menikah tentu saja tidak akan mungkin

2010: 18

Manusia Langit

2010: 96

Manusia Langit

2010: 96

Manusia Langit

2010: 68

Page 158: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

dipenuhi si lelaki seorang diri. Pekerjaannya sebagai petani tidak akan pernah cukup untuk mengadakan babi, emas, dan uang sebanyak itu. Utang itu harus dibayar jika kerabat dan saudaranya menyelenggarakan pesta.” (55) “Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah bőni niha, kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan.” “Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itumasih kecil dengan membayar 2/3-nya dulu,” jelas Ama Budi. “Itu kami sebut solayairaono atau kawin gantung.” “Hah, usia berapa?” “Setelah dibayar 2/3-nya, anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak lakilaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawin.” (56) “Setelah pembicaraan antarpihak selesai, Saita diekeluarkan dari rumah. Ia mengenakan pakaian adat dengan dominasi warna merah, kuning, dan hitam. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya; mahkota yang diperolehnya secara turun-temurun dari para leluhur. Saita tampak begitu cantik. Ia berjalan dipapah para kerabat perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki yang telah menunggunya di halaman.” (57) “Liriknya itu berisi minta sumbangan kepada hadirin, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hadirin banyak yang memberi, mulai dari seribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Setiap orang yang hadir di situ yang dipanggil namanya dalam nyanyian harus maju ke depan sambil menari dan memberikan sumbangan.” (58) (“Di halaman, suara babi sudah makin banyak yang dipersembahkan oleh kerabat pengantin laki-laki yang datang untuk mengucapkan selamat. Babibabi itu ditarik ke lapangan

Manusia Langit

2010: 124

Manusia Langit

2010: 140

Manusia Langit

2010: 160-161

Manusia Langit

2010: 162

Page 159: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

penjagalan. Setiap keluarga berhak menjagal satu babi. Keluarga yang paling terhormat mendapat bagian untuk mengeksekusi babi yang paling besar. Binatang malang itu ditarik oleh lima orang. Tanpa sepengetahuannya, sebilah ono nekhe menghunjam tepat pada jantungnya yang tersembunyi dibalik ketiak kaki depan. Darah menyembur dari luka itu, juga dari mulu disertai lolongan menyayat hati. Si babi tertatih-tatih sebentar, lalu menggelepar. Satu telah mati, giliran babi lainnya menyusul ditarik ke arena. Babi kedua dan seterusnya tampak panik, mungkin karena sudah mencium bau darah dan ancaman kematian. Tepat! Mereka pun akhirnya mati, menjadi korban upacara perkawinan.” (59) “Aku sebenarnya enggan membicarakan perihal ini. Rasanya tidak pas dalam suasana berkabung seperti ini itu. Tapi, Bang Budi meneruskan penjelasannya. “Waktu dulu, jika ada orang yang meninggal, kami meletakkan jenazahnya di depan rumah, di atas dipan dari bamboo. Kami biarkan selama berbulan-bulan hingga dagingnya luruh. Setelah tinggal tulang-belulang, maka kami menaruh tengkoraknya di atas piring dan meletakannya di bawah awina.” “Ya, di situlah kuburan kami dulu, di depan rumah,” jawab Bang Budi. “Setelah kami siap dengan puluhan babi, kami membuat patung dari kayu dam memuat upacara memanggil roh si mati agar mau sesekali kembali pada patung itu, saat kami membutuhkan bantuan mereka.”

Manusia Langit

2010: 104

Manusia Langit

2010: 118-119

Page 160: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 2

Lembar Pengesahan Validator

Page 161: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …
Page 162: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 3

Surat keterenga Penelitian

Page 163: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 4

Sinopsis Novel

Puya ke Puya Karya Faisal Oddang

Puya ke Puya adalah salah satu buktinya.

Sebuah novel yang sarat dengan kisah seputar

adat Toraja, dan mengantarkannya sebagai

pemenang ke-IV dalam sayembara novel DKJ

2014.

Dikisahkan, kematian Rante Ralla, sang ketua

adat Kampung Kete‟ di tanah Toraja,

memerlukan biaya sangat besar untuk upacara

mengantarkan mayat (rambu solo) ke alam tempat menemui Tuhan

(puya). Ketua adat harus diupacarakan besar-besaran, dipotongkan

puluhan kerbau dan ratusan ekor babi demi derajat.

Konflik bermula saat Allu Ralla, putra satu-satunya menolak

mengadakan upacara, dan menyarankan agar ayahnya dimakamkan di

Makassar. Allu Ralla hanya memiliki tabungan untuk membiayai

pemakaman sederhana. Tidak cukup untuk mengupacarakan bangsawan

sekelas ayahnya). Bagi Allu, kebudayaan adalah produk manusia, dan

relevansi dengan zaman sangatlah penting. Jika sudah tak relevan, tidak

perlu dipertahankan. Rencana itu ditentang keluarga besar sehingga

mayat Rante Ralla tak kunjung diupacarakan.

Konflik lain muncul dengan masuknya perusahaan tambang di

Tanah Toraja. Pengusaha hendak membeli tanah warisan milik Rante

Ralla karena dianggap menghalangi akses menuju lokasi tambang (hal.

40). Pihak perusahaan bahkan telah membujuk Rante Ralla sejak dia

masih hidup namun bersikukuh tak akan menjualnya.

Page 164: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Sepeninggal Rante Ralla, pihak perusahaan berusaha membujuk

keluarganya. Salah satu anggota keluarga, yaitu Paman Marthen

menyetujuinya dengan alasan uang penjualan akan digunakan untuk

membiayai upacara rambu solo. Namun Allu Ralla menolaknya dengan

tegas.

Tak kehilangan akal, pihak perusahaan tambang yang

bersekongkol dengan kepala desa, memasang siasat dengan menyuruh

Malena, anak kepala desa untuk merayu Allu Ralla. Malena adalah wanita

yang dicintai Allu Ralla sejak lama. Malena mengajak Allu Ralla menikah.

Permintaan itu disambut gembira oleh Allu Ralla, yang kemudian

mengabarkan kepada ibunya Tina Ralla. Namun sang ibu melarang Allu

menggelar rambu tuka, atau upacara kesenangan semacam pernikahan.

Pemakaman Rante Ralla harus diselesaikan terlebih dulu.

Tak ada jalan lain bagi Allu Ralla, selain berusaha mengumpulkan

uang untuk membiayai pemakaman ayahnya dan pernikahannya nanti.

Allu Ralla kemudian menyetujui permintaan pengusaha tambang untuk

mencuri mayat bayi dengan imbalan puluhan juta rupiah. Di Toraja, bayi

yang meninggal tidak langsung dikuburkan, melainkan disimpan dalam

makam pada batang pohon, atau disebut passiliran. Saat galian tambang

runtuh dan memakan korban, masyarakat setempat percaya bahwa untuk

menghentikannya adalah dengan menguburkan mayat bayi di pusat

tambang. Bayi dianggap makhluk suci, sehingga bisa membuat tanah

menjadi suci dan mencegah kemarahan penunggu lahan.

Allu Ralla diam-diam juga menjual tanah warisan kepada pihak

tambang. Rasa bersalah karena telah menelantarkan mayat ayahnya,

akhirnya membuat Allu Ralla berniat menebusnya dengan menggelar

upacara yang paling sempurna. Dia akan mengadakan rapasan sundun

atau tingkat pemakaman tertinggi.

Rapat keluarga digelar. Persiapan rambu solo segera dilaksanakan.

Namun tepat pada hari upacara, pihak perusahaan tambang datang

dengan alat berat untuk meratakan tanah. Secara hukum, pihak keluarga

Page 165: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Rante Ralla akan kalah jika tidak mengizinkan. Keluarga pun menggelar

rapat. Tina Ralla akhirnya membeberkan rahasia yang selama ini ia

simpan, bahwa penyebab kematian Rante Ralla karena diracun orang-

orang tambang.

Terbongkarnya rahasia menyulut kemarahan keluarga juga

sebagian besar warga Kampung Kete‟. Mereka kemudian beramai-ramai

membakar lokasi penambangan. Situasi menjadi kacau. Konflik terbuka

antara warga Kampung Kete‟ dengan pihak tambang pun tak

terhindarkan.

Dengan cara bertutur yang unik dan keragaman perspektif, novel ini

mampu mengangkat persoalan lokal berlatar budaya Toraja pada dimensi

yang lebih luas. Pergantian Puya pencerita antara tokoh yang hidup

maupun yang sudah mati secara lancar menjadi salah satu poin plus.

Novel ini membuka wawasan pembaca bahwa keteguhan terhadap tradisi

juga perlu dicermati agar tidak menimbulkan pergesekan dengan

kehidupan sosial dan modernisasi.

Page 166: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Manusia Langit

Karya J. A. Sonjaya

MAHENDRA, seorang arkeolog muda, berusaha

melepaskan diri dari kungkungan peradaban

kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung

di pedalaman Pulau Nias, yang diyakini penduduk

aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari

langit. Di sana ia banyak belajar soal persamaan

dan perbedaan antara dua dunia: dunia kampus

di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha.

Persamaan dan perbadaan yang menyangkut prinsip hidup-mati, harga

diri, pesta, juga soal... perempuan.

Bagaimana kegundahan hati Mahendra saat jatuh cinta pada Saita,

gadis Nias yang ternyata sudah dibeli pemuda kampung tetangga?

Bagaimana kelanjutan nasib Yasmin, gadis asal Lombok, mahasiswinya di

Yogyakarta? Bagaimana pula Mahendra akhirnya sampai pada kesadaran

diri sebagai manusia langit?.

Novel yang membawa kita menyelamai kultur Nias yang eksotik

sekaligus hanyut dalam dunia kampus yang penuh romantika. Sebuah

kisah cinta yang mengharukan dengan latar beragam budaya yang

berbeda.

Page 167: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 5

BIOGRAFI PENULIS

1. FAISAL ODDANG PENULIS NOVEL PUYA ke PUYA

Faisal Oddang (lahir di Wajo, 18 September 1994; umur 26

tahun), adalah penulis asal Sulawesi Selatan. Ia menulis puisi, cerpen,

dan novel. Sebagian besar karya yang ditulisnya bertema tentang

tradisi dan adat istiadat di Sulawesi. Karya-karya dari alumni jurusan

Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin ini pernah mendapatkan

beberapa penghargaan, di antaranya Penghargaan Cerpen terbaik

Kompas tahun 2014 atas cerpennya berjudul Di Tubuh Tarra dalam

Rahim Pohon. Pada tahun yang sama, ia juga mendapatkan

penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah

Thailand. Novelnya berjudul Puya ke Puya menjadi pemenang ke-4

dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dan pada tahun

2015 dipilih sebagai novel terbaik oleh majalah Tempo dan menobatkan

Faisal Oddang sebagai Tokoh Seni Tempo 2015 di bidang prosa. Pada

tahun 2016, Faisal mengikuti residensi penulis di Belanda dengan

dukungan Komite Buku Nasional. Selain itu, ia juga diundang

menghadiri International Writing Program 2018 di Iowa City (Amerika

Serikat), dan pada tahun yang sama menerima Robert Bosch Stiftung

and Literariches Colloquium Berlin Grants 2018.

Page 168: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Karya-karya Faisal Oddang yang lain adalah Rain & Tears

(Novel, 2014), Pertanyaan Kepada Kenangan (Novel, 2016), Manurung

(Puisi 2017)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori puisi,

Perkabungan Untuk CInta (Kumpulan Puisi, 2017), dan Tiba Sebelum

Berangkat (Novel 2018)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018

kategori prosa. Faisal Oddang juga kerap diundang dalam festival-

festival sastra, seperti: Ubud Writers and Readers Festival 2014,

Salihara International Literary Biennalle 2015, dan Makassar

International Writers Festival 2015, Festival Sastra Banggai 2018,

Rainy Day Literary Festival 2018, Borobudur Writers and Cultural

Festival 2018 dan Iowa Book Festival 2018.

2. JAJANG AGUS SONJAYA PENULIS NOVEL MANUSIA LANGIT.

Jajang Agus Sonjaya (lahir Kuningan, 25 juni 1974), lulusan

SDN 2 Purwawinangun, SMP Negeri 1 Kuningan, dan SMA Negeri 2

Kuningan. Jajang mendirikan Mangrove Action Project Indonesia, yang

sekarang berganti nama menjadi Blue Forests, bersama Ben di tahun

2004. Minat Jajang terhadap pelestarian lingkungan sudah terlihat sejak

masih di SMA dengan mengikuti organisasi pecinta lingkungan. Lulus

S1 dari Jurusan Arkeologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan

meraih gelar Magister di universitas yang sama, Jajang lalu bekerja

sebagai dosen dan peneliti di UGM.

Jajang terlibat di banyak proyek penelitian, pelatihan, dan

pengembangan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Dia juga

Page 169: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

membuat berbagai artikel yang telah dipublikasikan di media nasional,

tujuh film dokumenter, dan lima buku di antaranya: Pergulatan Dayak

dan Indonesia (Galang, 2005), Melacak Batu Menguak Mitos (Kanisius,

2008), Zanj (Kepel, 2009), Manusia Langit (Kompas-Gramedia, 2010),

dan Manajemen Pelatihan (Kanisius, 2013). Selain aktif sebagai

Advisor di Blue Forests, Jajang juga merintis sebuah unit usaha

konstruksi bambu sebagai bahan yang ramah lingkungan.

Page 170: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …

Lampiran 6

Hasil Turnitin

Page 171: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …
Page 172: MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG DAN …