minimally invasive surgery multi discipinary perspective with live demonstration

8
Kiri ke kanan: dr. Barlian Sutedja, Sp.B., Hanh Tran, MD., dr. Ali Suyono Purwita, Sp.U., dr. Achmad Jana, Sp.BS., dr. Errawan R. Wiradisuria, Sp.B-KBD., M.Kes., DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL(K)., DR. dr. Bambang Darwono, Sp.B., Sp.OT., FICS., FAPOA., dr. Liu Sukirman, Sp.OG.

Upload: annisa-parasayu-sirojuddin

Post on 25-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Minimally Invasive Surgery Multi Disciplinary Perspective with Live Demonstration

TRANSCRIPT

Page 1: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration

Kiri ke kanan: dr. Barlian Sutedja, Sp.B., Hanh Tran, MD., dr. Ali Suyono Purwita, Sp.U., dr. Achmad Jana, Sp.BS., dr. Errawan R. Wiradisuria, Sp.B-KBD., M.Kes., DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL(K)., DR. dr. Bambang Darwono, Sp.B., Sp.OT., FICS., FAPOA., dr. Liu Sukirman, Sp.OG.

Page 2: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration
Page 3: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration

Dalam rangka perayaan HUT RS Gading Pluit yang ke-6 dan RS Pluit yang ke-15, diadakan “7th Symposium on Minimally Invasive Surgery: Multi Disiplinary Perspective with Live Demonstration” pada tanggal 29-30 Juli 2011. Bekerjasama dengan The Indonesian Society of Endo-Laparoscopic Surgeons (ISES) sebagaimana telah dilakukan sebelumnya, acara ini diadakan untuk terus mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dalam penunjang diagnostik dan terapi pembedahan khususnya pada pembedahan dengan teknik laparoskopi.

Selaku Chairman of Organizing Comittee, dr. Peter Hasan berharap dengan dilaksanakan acara ini, teknik laparoskopi dapat dimaksimalkan penggunaannya dalam berbagai disiplin medis, yang mana teknik tersebut memiliki banyak kelebihan walaupun dengan tindakan invasif yang minimal.

Dengan mengangkat tema Minimally Invasive Surgery, suatu teknik pembedahan dengan melakukan tindakan invasif seminimal mungkin, namun dengan hasil yang maksimal ini memberikan banyak keuntungan dibandingkan dengan teknik pembedahan secara konvensional. Tindakan invasif yang dilakukan dengan minimal ini mencakup tindakan awal pembedahan yang tidak memerlukan daerah sayatan yang luas, perdarahan yang sedikit, dimana kedua hal tersebut juga meminimalisasi kerusakan jaringan yang terjadi. Selain itu, penyembuhan pasca operasi juga lebih cepat dan memberikan hasil kosmetik yang lebih baik. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama, angka kesakitan juga lebih kecil dibandingkan dengan teknik bedah konvensional.

Laparoskopi merupakan suatu tindakan invasif yang bersifat diagnostik maupun terapeutik. Ditegaskan oleh dr. Errawan R. Wiradisuria, Sp.B-KBD., M.Kes., “Laparoskopi merupakan suatu teknik

Page 4: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration

pembedahan terhadap rongga perut, yang berasal dari kata lapar yang berarti perut dan oskopi yakni melihat melalui suatu scope.” “Memiliki perbedaan dengan endoskopi, alat-alat yang digunakan bersifat rigid, sedangkan endoskopi yang juga berfungsi sebagai penunjang diagnostik dan terapeutik ini bersifat fleksibel, karena kebutuhannya untuk dapat mengikuti alur pada saluran pencernaan atas maupun bawah, seperti gastroskopi dan kolonoskopi,” tegasnya.

Dikatakan pula oleh dr. Errawan bahwa sayatan pada tindakan awal laparoskopi tidak begitu panjang. Pada bedah minimal invasif ini hanya dibutuhkan 2-10 millimeter untuk setiap lubang tempat masuknya alat-alat yang terdiri dari kamera, dan alat bedah lain seperti penjepit dan gunting. Untuk itu, dibutuhkan 4-5 lubang pada wilayah yang akan dilakukan pembedahan. Sebelum dilakukan operasi, perut pasien akan diisi gas CO2 agar menggembung dan alat-alat dapat dimasukkan melalui trokart yang memiliki katup agar udara yang ada di dalam perut tidak dapat keluar. Karena sayatan awal tidak begitu panjang seperti pada teknik bedah konvensional, maka pada tindakan ini tidak diperlukan penjahitan pada pasien dan rasa sakitpun hanya sedikit dirasakan.

Bedah laparoskopi pada kasus ginekologi juga memiliki peranan penting. Dalam sesinya, dr. Liu Sukirman, Sp.OG., menegaskan, “Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka kebutuhan akan tindakan minimal invasif untuk diagnostik dan terapi di bidang ginekologi pun akan meningkat.” Laparoskopi bermanfaat khususnya dalam diagnostik infertilitas, pengangkatan massa ginekologi (kista, ovarium, mioma uteri), kehamilan ektopik terganggu (KET), serta tindakan sterilisasi tubektomi.

Sejak lebih dari 2 dekade, tindakan bedah minimal invasif telah menjadi pilihan utama pada sebagian besar tindakan pembedahan. Tidak hanya masa penyembuhan yang lebih cepat, juga rasa sakit yang kecil adalah keuntungan paling besar yang bisa dinikmati secara langsung oleh pasien. Ditegaskan oleh dr. Ali Suyono Purwita, Sp.U, “Di RS Pluit dan Gading Pluit mayoritas dari semua pembedahan adalah bedah minimal invasif, khususnya di bedah urologi dimana 90% dari tindakan pembedahan dilakukan secara minimal invasif.” Dari tindakan laparoskopi (varicocelektomi, adrenalektomi, nefretomi, cyst-decortication, bladder diverticelektomi) sampai pada penanganan penyakit batu ginjal, ureter, dan vesika urinaria bisa dilakukan secara komperhensif dan terpadu dengan cara extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), ureteroenoskopi (URS), dan percutaneus nefro lithotripsy (PCNL) yang merupakan suatu tindakan bedah minimal invasif yang sangat efektif dengan “stone clearance” lebih dari 95%. PCNL biasanya dilakukan pada batu ginjal >2 cm pada batu staghorn aau batu ureter proximal yang besar, dimana ESWL atau URS tidak menjadi pilihan karena hasilnya kurang memuaskan. Unuk penanganan Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS) yang disebabkan oleh benign prostate hypertrophy (BPH) atau keganasan bisa dilakukan dengan terapi konvensional yakni trans urethral resection (TUR) atau Greenlight Laser Prostatectomy (GLP). GLP memiliki nilai lebih dibanding konvensional TUR bila dilihat dari minimnya efek samping, seperti perdarahan intra dan pasca operasi dan masa penyembuhan yang singkat.

Dalam disiplin lain, DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL(K)., menyatakan bahwa konsep dari Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan terapi pembedahan yang juga bersifat minimal invasif terhadap pasien dengan sinusitis. Selama lebih dari 20 tahun, FESS sudah digunakan dan terbukti aman dan efektif sebagai terapi kelainan Para Nasal Sinus (PNS). Namun, FESS sekarang telah banyak digunakan sebagai terapi terhadap tumor jinak pada hidung, sinus, fossa kranial anterior bahkan sebagai terapi penutup jika terjadi kebocoran pada cerebrospinal fluid (CSF).

Page 5: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration

Adanya fraktur nasoethmoidalis menghadirkan suatu tantangan bedah tersendiri karena akan berimplikasi terhadap gangguan fungsi dan anesthesia pada kantus medial, sistem nasolakrimalis, dan isi dari intraorbital. Penanganan dan perawatan dini secara tepat merupakan hal yang penting untuk menghindari adanya kejadian berulang. Namun, tidak jarang pula didapatkan adanya fraktur pada dasar fossa anterior kranium disertai adanya robekan pada lapisan duramater dimana dapat mengalirkan CSF. Dapat dilakukan nasoendoskopi untuk memperbaiki adanya rhinorrhea CSF.

CSF yang terakumulasi akibat adanya gangguan obstruksi, sekresi, maupun ekskresi pada intrakranial dapat menimbulkan suatu kelainan yang disebut hidrocephalus. Dalam sesinya, dr. Achmad Jana, Sp.BS menyatakan, “endoskopi dalam bidang bedah saraf telah menjadi terapi alternatif dalam menangani kasus hidrocephalus, seperti ventrikulosomi, septosomi, atau koagulasi plexus choroidalis.” Hidrocephalus yang disebabkan oleh adanya suatu obstruksi merupakan indikasi untuk dilakukannya ventrikulostomi pada ventrikel tiga, karena hal ini berhubungan dengan perjalanan CSF secara fisiologis. Adanya terapi penanganan hidrocephalus dengan endoskopi ini, dapat menghindari komplikasi dibandingkan dengan terapi pilihan sebelumnya, yakni shunt yang mengalirkan kelebihan CSF tersebut ke rongga organ lain seperti peritoneum, perikardium, maupun pleura. Komplikasi yang dapat terjadi adalah adanya overshunting atau berlebihnya CSF yang dialirkan sehingga menyebabkan hipotensi pada intrakranial yang ditandai dengan muntah yang berulang.

Ventrikulostomi dilakukan dengan cara membuat lubang pada dasar ventrikel tiga, dimana CSF tersebut dapat mengalir langsung ke subarachnoid dan diabsorbsi secara fisiologis, sehingga tidak terjadi suatu penumpukan CSF yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Selain pada pasien dengan hidrocephalus obstruktif, ventrikulostomi ini dapat dilakukan juga pada pasien dengan stenosis aquaductus, tumor, namun tidak didapatkan adanya pajanan radiasi dan terkena infeksi. Pasien dengan adanya penebalan pada ventrikel tiga, pasien dengan adanya tumor pada dasar ventrikel tiga, merupakan kontraindikasi dilakukannya ventrikulostomi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yakni MRI untuk melihat anatomi dari ventrikel tiga tersebut.

Prosedur lain seperti koagulasi plexus choroidalis dilakukan untuk menekan produksi CSF yang juga dihasilkan oleh subepindemal layer. Gejala klinik berupa kejang merupakan indikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial. Imaging, dengan mengukur ukuran ventrikel dan MRI flow, dan follow up merupakan tiga hal penting yang dilakukan sebagai hasil evaluasi pasca operasi, dalam hal ini dilakukannya ventrikulostomi.

Dalam bidang ortopedi, DR. dr. Bambang darwono, Sp.B, Sp.OT, FICS., FAPOA., mengemukakan teknik baru untuk penanganan fraktur osteoporosis seperti vesselplasty, vessel lock system dan penggunaan semen baru SrHA. Penanganan pada kasus akibat kelainan spinal seringkali menjadi suatu tantangan baru pada bidang medis, yang mana kasusnya sering terdapat pada pasien dengan usia lanjut. Osteoporosis, diabetes, kardiovaskular, dan adanya cerebrovascular disease (CVD), malnutrisi, dan komorbiditas lain yang menjadi suatu proses terjadinya kasus-kasus ini.

Berbicara mengenai kanker kolorektal, dr. Errawan dalam sesinya mengatakan bahwa hal ini merupakan indikasi dilakukannya tindakan reseksi kolon dengan minimal invasif atau teknik laparoskopi, kecuali pada tumor besar seperti phlegmon pada Crohns’s disease. Sedangkan, laparoskopi dengan kolektomi dilakukan pada kasus polip kolon jinak yang tidak bisa direseksi, volvulus, diverticulitis dan karsinoma kolon.

Page 6: Minimally Invasive Surgery Multi Discipinary Perspective With Live Demonstration

Penangangan terkini terhadap kasus batu saluran empedu menurut dr. Barlian Sutedja, Sp.B adalah dengan Laparoscopic trans Cystic dan trans-choledocal CBD stones Explorations (LCBDE) yang sudah dikerjakan pada 186 pasien di RS Pluit dan RS Gading Pluit sejak tahun 1998. Dibandingkan dengan terapi bedah konvensional, LCBDE memiliki banyak kelebihan yakni rasa sakit yang minimal, masa penyembuhan yang lebih cepat, memiliki angka kecil untuk terjadinya infeksi di tempat sayatan operasi seperti pada terapi konvensional, dan tidak harus tinggal lama di rumah sakit pasca operasi.

Pada sesi terakhir, dijelaskan oleh dr. Hanh Tran sebagai The Sydney Hernia Specialists Clinic di Australia bahwa teknik terbaru dalam terapi bedah laparoskopi yaitu single incision laparoscopic surgery (SILS) dengan menggunakan trokart tumpul sehingga menghindari perlukaan usus. Hal ini dikemukakan karena lebih dari 0.16% dan 22% kasus bowel injury selama tindakan laparoskopi dalam ginekologi akibat trokart tersebut.

Dengan adanya kemajuan teknologi, kebutuhan pemeriksaan sebagai penunjang diagnostik maupun tindakan yang bersifat terpeutik dapat dilakukan dengan teknik dan alat yang memadai sesuai dengan indikasi dari tindakan tersebut. Teknik bedah laparoskopi dengan azas meminimalkan tindakan invasif namun memaksimalkan hasil diagnostik dan terapi yang diberikan, dapat menjadi terapi pilihan dibandingkan terapi bedah secara konvensional, pertimbangannya dalam berbagai hal seperti morbiditas, kosmetika, masa penyembuhan, dan cost-effectiveness yang menjadi keuntungan lebih dilakukannya tindakan tersebut.

Annisa.