metodologi penelitian agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfsedangkan sebagai fenomena...

22

Upload: others

Post on 02-Nov-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik
Page 2: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

1

Metodologi Penelitian Agama

(Metodologi Penelitian Islam, Mungkinkah?)

Oleh Mudjia Rahardjo

A. Pengantar

Ketika mulai dikenalkan pada tahun 1960-an seiring dengan

perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, penelitian agama (Islam),

lebih tepatnya disebut “studi agama” atau “kajian agama”, mengundang

kontroversi dari para peneliti, bahkan para ahli agama itu sendiri, walau

sebenarnya di Barat penelitian agama telah lama dilakukan oleh para

ilmuwan. Marx, Durkheim dan Weber adalah para ilmuwan yang telah

melakukan penelitian agama, khususnya Nasrani dan Yahudi, secara

intensif. Mungkin karena kurangnya bahan pustaka yang memadai

tentang Islam menjadi salah satu penyebab penelitian agama Islam

kurang memperoleh perhatian di mata para ilmuwan Barat.

Kontroversi tentang penelitian agama di Indonesia berpusat pada

persoalan ontologis dan epistemologis, yakni apa yang diteliti dari

agama, atau apa wilayah penelitian agama, bukankah penelitian bertujuan

untuk mengungkap kebenaran, sedangkan agama itu sendiri berisi

kebenaran, bukankah agama itu menyangkut hal-hal ghaib atau abstrak,

sedangkan sebagai kerja ilmiah penelitian hanya menjangkau hal-hal

konkret, dan terakhir jikalau bisa diteliti, bagaimana metodologi

penelitian yang tepat untuk agama, apa sama dengan ilmu-ilmu yang

lain?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengiringi kehadiran

penelitian agama di Indonesia. Selain memang masih baru, menurut saya

Page 3: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

2

kontroversi semacam itu lumrah, sebab umumnya orang memahami

agama itu berisi hal-hal ghaib yang tentu tidak bisa dijangkau oleh

penelitian ilmiah. Menurut saya, kontroversi itu justru menjadi tantangan

tersendiri bagi para ahli agama dan peneliti agama untuk segera

menyusun konsep metodologis yang jelas apa yang disebut penelitian

agama, apa saja objek kajiannya, dan bagaimana metodenya.

Di tengah kontroversi itu, ada pihak lain yang optimis bahwa

penelitian agama bisa dilakukan sebagaimana penelitian bidang-bidang

lain dengan beberapa kekhususan. Lebih-lebih sebagai negara dengan

jumlah umat Islam terbesar di dunia, perilaku beragama masyarakat

Indonesia menjadi wilayah atau objek yang tidak saja sangat menarik

tetapi juga menantang para peneliti agama. Ia menjadi bagian tak

terpisahkan dari perilaku kehidupan masyarakat Indonesia secara

keseluruhan.

Sajian pendek ini diharapkan dapat menambah khasanah

pengetahuan tentang metodologi penelitian agama yang masih sangat

langka di Indonesia untuk digunakan sebagai referensi oleh para

mahasiswa, dosen dan peneliti agama.

B. Objek Penelitian Agama: antara Teks dan Perilaku Beragama

Tak dapat dibantah oleh siapapun bahwa agama menyangkut

keyakinan (belief), dan itu bersifat abstrak. Keyakinan terhadap Tuhan,

malaikat, wahyu, pahala, dosa, hari kiamat, surga, neraka, alam ruh, dan

sebagainya semuanya bersifat abstrak. Bagi pemeluknya, realitas abstrak

itu harus diyakini sebagai kebenaran, walau tidak pernah melihat atau

mengalaminya. Bagi umat Islam peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi

Muhammad SAW wajib diterima sebagai kebenaran, walau secara nalar

logis sulit dibuktikan. Itu sebabnya, usai peristiwa isra’ dan mi’raj dan

Page 4: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

3

Nabi Muhammad SAW bercerita kepada para sahabat dan pengikutnya,

banyak pengikut mulai meninggalkannya karena nabinya dianggap

pembohong, mulai linglung dan bahkan gila.

Percaya kepada yang ghaib merupakan salah satu dari rukun iman

dalam Islam, sehingga tidak beriman ketika seorang yang mengaku

sebagai muslim tetapi tidak percaya kepada hal-hal yang ghaib. Begitu

juga di agama-agama lain, hal-hal yang tidak dapat dinalar diterima

sebagai kebenaran, sebab agama memang mengandung hal-hal yang di

luar kemampuan daya nalar manusia. Bagi umat Islam, peristiwa isra’ dan

mi’raj merupakan pengetahuan a priori.

Sebagai aktivitas ilmiah, penelitian apapun jenis dan

pendekatannya akan menghasilkan kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah

bersifat tentatif, dan bukan kebenaran mutlak atau absolut. Kebenaran

ilmiah hakikatnya adalah sesuatu yang dianggap benar oleh pengkaji atau

penelitinya berdasarkan proses dan data ilmiah, sehingga ketika anggapan

itu dapat dipatahkan oleh temuan baru maka dengan sendirinya tidak

berlaku lagi. Begitulah sifat ilmu pengetahuan. Temuan baru dapat

menegasikan temuan lama yang mungkin sudah bertahun-tahun dianggap

sebagai kebenaran.

Penelitian agama tentu wajib mengikuti prosedur dan kaidah

ilmiah lazimnya penelitian ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya. Salah

satu kaidah ilmiah ialah empirik dan tidak menjangkau hal-hal ghaib

seperti disebut di atas. Penelitian hanya terbatas pada gejala empirik

(maujud) baik terkait fenomena alam, sosial, maupun kemanusiaan.

Menurut M. Dawam Rahardjo (2004) agama memang mengajarkan hal-

hal ghaib. Misalnya, dalam ajaran agama disebut para nabi pernah

mengalami sendiri dan berkomunkasi dengan malaikat. Tetapi itu semua

merupakan hal yang harus dipercaya begitu saja dan bukan pengalaman

langsung manusia, apalagi manusia modern. Sebagai akitivitas ilmiah,

Page 5: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

4

penelitian , termasuk penelitian agama, tidak berurusan dengan masalah-

masalah itu.

Ada kejadian menarik seorang dosen di jurusan matematika

sebuah universitas menugaskan mahasiswa yang sedang menulis skripsi

untuk menghitung jarak antara surga dan neraka. Saya tidak tahu

kelanjutan penelitian mahasiswa tersebut dan tidak tertarik mengikutinya,

karena saya anggap tidak logis. Dunia ilmu pengetahuan tidak dapat

menyediakan alat untuk membuktikan alias tidak mampu memverifikasi

hal semacam itu. Padahal verifikasi merupakan salah atu syarat dan

kaidah ilmiah. Jika gejala semacam itu dibenarkan, bisa saja suatu saat

dosen menyuruh mahasiswanya menghitung panasnya neraka atau

dinginnya neraka ghassaq. Di dalam al Quran, ghassaq artinya air yang

sangat dingin dan menyiksa.

Setelah memahami hakikat agama, maka yang paling awal

dilakukan oleh peneliti agama ialah membedakan antara agama sebagai

doktrin ajaran dan agama sebagai fenomena sosial. Di dalam ungkapan

yang lain agama menyangkut dua hal mendasar, yakni sistem

kepercayaan (belief system) dan praktik keagamaan (religous practice).

Sebagai doktrin, agama sudah final dan diterima saja sebagai kebenaran

absolut. Dari doktrin agama, peneliti dapat meneliti sikap pemeluk agama

terhadap doktrin atau makna doktrin itu bagi kehidupan pemeluk agama.

Penelitian agama tidak meneliti benar dan salahnya sebuah doktrin, tetapi

memahami makna sebuah doktrin.

Seorang pemeluk agama tertentu akan bertindak tertentu terhadap

sesuatu atas dasar doktrin agamanya. Bagi pemeluk agama Hindu, sapi

merupakan hewan yang disakralkan, karena diyakini sebagai lambang

dari ibu pertiwi yang memberikan kesejahteraan kepada semua manusia

di muka bumi. Maka, perilaku orang Hindu terhadap sapi sangat berbeda

dengan pemeluk agama lain yang menganggap sapi sebagai binatang

Page 6: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

5

piaraan biasa. Itu sebabnya orang Hindu tidak memakan daging sapi,

sebagaimana orang Islam tidak memakan daging babi.

Pemeluk agama lain pun wajib menghormati sikap orang Hindu

terhadap sapi. Bagi orang Kristen, gereja merupakan tempat sakral yang

mereka hormati, sebagaimana masjid bagi orang Islam, klenteng bagi

orang Konghucu dan seterusnya. Bentuk penghormatan terhadap gereja

tentu berbeda antara pemeluk agama Kristen dan pemeluk agama lain.

Demikian pula dengan doktrin-doktrin ajaran agama yang lain

berimplikasi terhadap perilaku mereka.

Sedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi

perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik beragama.

Menurut Mattulada (1989: 1) mengkaji fenomena keagamaan berarti

mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragamanya. Perilaku

beragama atau sikap beragama merupakan gejala empirik yang dapat

diteliti, sebagaimana gejala-gejala sosial lain yang menjadi wilayah

penelitian sosial.

Fenomena keagamaan itu sendiri merupakan perwujudan dari sikap

dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci,

keramat, yang berasal dari keghaiban. Penelitian dapat mengamati

perilaku manusia seperti itu untuk ditemukan pola atau kaidahnya yang

dapat dibuktikan secara ilmiah. Diyakini bahwa perilaku manusia itu

terpola atau ajeg dan akan diketahui lewat penelitian secara mendalam.

Perilaku beragama pun demikian. Peristiwa beragama keseharian yang

tampak sederhana dan biasa-biasa saja dapat digali pola atau

keajegannya. Salah satu tujuan penelitian ialah untuk menemukan pola,

dalil, dan hukum yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih luas baik

untuk kepentingan praktis maupun pengembangan ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut, Mattulada menyatakan ilmu-ilmu sosial seperti

sejarah, sosiologi, antropologi dan psikologi merupakan disiplin ilmu

Page 7: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

6

modern yang sanggup memahami gejala perilaku beragama masyarakat

secara mendalam. Melalui perspektif sejarah, perilaku beragama

seseorang bisa dilacak dari proses terjadinya perilaku dari sejarah sosial

seseorang. Kapan dia lahir, di mana dilahirkan, bagaimana kondisi

kehidupan beragama di masyarakat ketika seseorang tumbuh, kapan

belajar agama dan kapan mulai mempraktikkan ajaran agama.

Melalui sosiologi, seseorang bisa dilihat bagaimana interaksi

sosialnya dalam beragama. Apakah dia masuk kategori orang inklusif

atau ekslusif dalam bergaul dengan pemeluk agama lain. Semaraknya

aktivitas keagamaan juga bisa menjadi lahan penelitian sosiologi agama

untuk menggali pemahaman ajaran agama dan praktik kehidupan di

masyarakat. Begitu juga perspektif antropologi, seseorang dapat diketahui

pola-pola perilaku dalam tatanan nilai yang dianut atau yang telah

menjadi shared-belief di masyarakat. Psikologi dapat mendalami

kejiwaan seorang penganut agama tertentu setelah melakukan acara ritual

keagamaan. Atau, sebagai disiplin ilmu positivistik, psikologi dapat

mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh

keyakinan terhadap agama yang dianut, sehingga pendekatannya

kuantitatif.

Dalam khasanah Islam, penelitian agama sebenarnya bukan sesuatu

yang baru. Sebab, para ulama muslim telah mempopulerkan studi agama

sebagai sebuah disiplin ilmiah jauh sebelum ilmuwan Barat

melakukannya. Taufik Abdullah (1989) memberi contoh ketika Imam

Bukhori mengumpulkan dan menentukan tingkat keabsahan hadits ia

sebenarnya telah memulai tradisi penelitian. Mencari keabsahan hadits,

berarti Imam Bukhori mencari mana hadits yang benar dan mana yang

salah. Di sini tentu diperlukan sebuah metode yang dapat

dipertanggungjawabkan. Mencari kebenaran sebuah hadits (teks) tidak

cukup dengan mencari sanad atau mata rantai lahirnya hadits, tetapi juga

Page 8: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

7

menuntut pengetahuan sejarah tentang situasi sosial ketika sebuah hadits

diturunkan. Konteks sosial dan sejarah sangat menentukan kebermaknaan

sebuah hadits. Dalam perspektif filsafat hermeneutika, sebuah teks hanya

menjadi naskah mati dan merupakan untaian kata-kata belaka ketika

konteks belum dihadirkan.

Sudah hampir menjadi dalil bahwa tidak ada teks, apapun

bentuknya, yang hadir di ruang hampa. Ia selalu terkait dengan teks-teks

lain di sekitarnya dan ruang di mana penafsir berada. Itu sebabnya, teks

selalu kompleks sehingga tidak bisa dikaji melalui perspektif tunggal,

misalnya hanya lewat gramatika atau semantik saja karena akan

mereduksi makna teks secara keseluruhan. Karena itu, studi teks

melibatkan setidaknya tiga aspek penting, yakni makna objektif teks itu

sendiri, penafsir, dan realitas ketika teks dihadirkan yang disebut konteks.

Demikian pentingnya konteks untuk memahami teks, karena dari

konteks makna akan ditentukan. Teks yang sama dalam konteks berbeda

akan memiliki makna berbeda pula. Menafsir teks keagamaan hakikatnya

sebagai upaya mengungkap makna teks dan menelusurinya seolah

menjadi entitas hidup. Teks bukan barang yang sudah jadi (given) untuk

menjawab berbagai persoalan, melainkan suatu konstruksi produsernya.

Ulama-ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Ghozali, Ibnu Taimiyah,

dan Ibnu Khaldun adalah ilmuwan-ilmuwan Islam yang telah

membumikan penelitian dalam keilmuan Islam. Menurut Taufik

Abdullah, Imam Syafi’i, misalnya, tidak sekadar menentukan hukum

tentang sesuatu, tetapi lebih dulu memperkenalkan usul fiqh dalam upaya

penen tuan hukum tersebut. Fokus penelitian Imam Syafi’i ialah mencari

hadits yang benar.

Imam Ghozali tidak sekadar menyalahkan ajaran para filsuf, yang

dianggapnya telah terbawa ke dalam alam pikirannya sendiri sehingga

tergelincir ke dalam kesesatan, tetapi ia terlebih dulu meneliti metode

Page 9: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

8

pemikiran filsafat dan membandingkannya dengan kesadaran akidah.

Fokus Imam Ghozali ialah ingin merumuskan sikap hidup beragama yang

benar. Begitu juga Ibnu Taimiyah yang ingin mendapatkan ajaran yang

benar tentang Islam, dan Ibnu Khaldun berusaha melukiskan,

menguraikan, dan menerangkan realitas yang “sebenarnya”, semua

menggunakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam pengantar buku “Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu

Sosial dan Keagamaan” yang diedit oleh Imron Arifin (1996), KH.

Muhammad Tolkhah Hasan menulis secara ringkas bahwa seorang

ilmuwan terkemuka bidang optik bernama Hasan bin Al-Haitsam (430 H)

menyatakan “Saya memulai penelitian dengan melakukan investigasi data

yang ada, kemudian mengamati keadaan yang terlihat, selanjutnya

memilah karakteristik bagian-bagiannya. Kemudian, saya melakukan

analisis, analogi, dan pengujian-pengujian keabsahannya guna

menghindari kesalahan-kesalahan pada tingkat kesimpulan, dan pada

akhirnya saya tetap komitmen terhadap objektivitas dan menghindari

subjektivitas”.

Proses kerja Hasan bin Al-Haitsam dalam menemukan kebenaran

objektif sejalan dengan pemikiran Guba dkk terutama dalam menentukan

kriteria keabsahan dalam penelitian kualitatif, yaitu kredibilitas,

transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas. Ini artinya apa yang

dilakukan Hasan bin Al-Haitsam menunjukkan bahwa praktik dan

prosedur kerja untuk menemukan kebenaran ilmiah para ilmuwan muslim

sesuai dengan yang dilakukan para ahli Barat dalam mengembangkan

penelitian. Kemajuan peradaban Islam di abad pertengahan dapat

dipastikan salah satu penyebabnya ialah karena para ilmuan muslim telah

mengembangkan tradisi penelitian.

Ketika para ilmuwan muslim mencari kebenaran suatu hadits

hakikatnya mereka melakukan studi teks sebagai salah satu jenis

Page 10: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

9

penelitian, terutama penelitian kualitatif. Karena itu, sangat disayangkan

jika ada ilmuwan atau akademisi berpendapat bahwa Islam itu normatif

dan tidak mengenal penelitian. Barangkali hanya kurangnya pengetahuan

atau belum banyak membaca literatur tentang Islam, mereka membuat

simpulan seperti itu.

Ada juga yang berpendapat bahwa para ilmuwan hanya melakukan

studi teks dalam penelitian dan hasil studi semacam itu tidak objektif dan

penuh bias, bahkan dianggap tidak ilmiah. Ini juga anggapan yang tidak

tepat. Salah satu rintangan yang dihadapi setiap pengkaji teks ialah ia

harus bisa membuat teks hidup dan sanggup berdialog dengannya. “How

to make a text speak is not an easy matter”. Ini pekerjaan tidak mudah.

Menurut Hamim Ilyas (2004) pengkaji atau penafsir teks

keagamaan perlu melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual yang

luas dan tinggi, untuk menuangkan hasil pengembaraannya dalam tafsir

yang disusunnya, yang sebagiannya bisa dipandang sebagai “liar” karena

sulit untuk dicerna oleh orang yang tidak memiliki pengalaman

pengembaraan yang sama. Kualitas tafsir dapat dilihat dari aspek-aspek

yang berkaitan dengan bahasa, corak penafsiran, akurasi dan sumber

penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis,

kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.

Menurut salah satu tokoh hermeneutika Ricouer teks bukan

realitas final setelah selesai diperoleh pemahaman dari pembacaan.

Menurutnya, teks tidak pernah habis dan selesai dalam pemahaman.

Sebab, pemahaman bukan kulminasi atau titik akhir dari penziarahan

subjek. Subjek justru tidak cukup jika hanya memahami teks. Teks

malah semakin lebar maknanya ketika dia dicoba dipahami. Jadi

hakikatnya teks ialah ruang penziarahan “of the self”. Artinya, subjek

dalam penziarahan (journey) nya menjumpai dirinya sebagai disiple of

the text (follower of texts). Subjek berhadapan dengan teks dan dia terus

Page 11: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

10

menerus memperbaruhi dirinya. Artinya, teks tidak habis dalam

pemahaman melainkan berlanjut dalam penghayatan dan cara hidup yang

baru. Karena itu, bagi Ricouer tidak ada gunanya seseorang sangat

memahami ajaran agama, tetapi dalam praktik kehidupannya justru

banyak melanggar ajaran agama.

Para filsuf muslim sebagaimana disebut di atas jelas menempatkan

teks-teks keagamaan, baik itu wahyu dan hasil renungannya, tradisi, serta

catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang digali dalam

penelitian agama. Dengan demikian, selain doktrin agama dan perilaku

beragama sebagai gejala yang teramati (observable), teks keagamaan

merupakan objek kajian penelitian agama yang sangat penting. Melalui

teks keagamaan akan diketahui gagasan, pandangan hidup (world view)

penulis dalam memahami kenyataan, ideologi, konteks sosial, kultural,

dan bahkan politik ketika teks ditulis.

C. Al- Quran dan Hadits sebagai Sumber Utama Pengetahuan Agama

Islam

Dilihat dari substansinya, penelitian agama memiliki beberapa

versi. Menurut ulama Mesir Syaikh Mahmood Shalthoot (sebagaimana

dikutip A. Mukti Ali, 2004) Islam terdiri atas dua elemen, yakni aqidah

dan syariah, dan pendekatannya dengan cara filosofis-doktriner. Apa

yang ada di benak Mahmood Shalthoot ialah penggabungan pendekatan

filosofis dan doktriner tak dapat terhindarkan dalam studi agama, karena

memang sebagian isi ajaran agama adalah doktrin.

Ulama-ulama sebelumnya membagi Islam menjadi dua, yakni

aqidah dan mu’amalah (sedangkan mu’amalah dibagi dua, yakni

mu’amalah yang berbubungan dengan Tuhan dan mu’amalah yang

berhubungan dengan manusia), pendekatannya doktriner. Berbeda dengan

ulama-ulama Mesir tersebut, cendekiawan Pakistan Fazlur Rahman

Page 12: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

11

membagi ajaran Islam menjadi tiga, yakni kepercayaan (keimanan kepada

Tuhan), pembentukan masyarakat adil, dan kepercayaan kepada hidup

setelah mati.

Secara lebih rinci, LIPI (Imron Arifin, 2004) membagi ilmu

pengetahuan Islam ke dalam delapan kelompok, yakni : (1) kelompok

sumber agama Islam yang terdiri atas bidang ilmu-ilmu al-Quran, ilmu

Tafsir, dan ilmu Hadits, (2) kelompok pemikiran dasar Islam yang terdiri

atas bidang-bidang ilmu kalam, filsafat, tasauf, perbandingan agama dan

perkembangan pembaharuan pemikiran, (3) kelompok hukum Islam dan

pranata sosial serta ilmu falaq dan hisab (astronomi), (4) kelompok

sejarah dan peradaban Islam yang terdiri atas sejarah dan peradaban

Islam, (5) kelompok sastra dan bahasa Islam yang terdiri atas bahasa

Arab dan Sastra Islam, (6) kelompok pendidikan Islam dan pengajaran

Islam serta ilmu jiwa Islam (nafsil Islam), (7) kelompok dakwah, dan (8)

kelompok perkembangan pemikiran modern dalam Islam. Dalam

perkembangan terakhir di beberapa perguruan tinggi Islam, manajemen

pendidikan Islam dan pendidikan bahasa Arab dapat ditambahkan di

nomor (6) yakni kelompok pendidikan Islam. Paradigma integrasi yang

saat ini dikembangkan di semua perguruan tinggi Islam tentu menambah

kajian Islam semakin melebar.

Memetakan wilayah atau objek penelitian agama (Islam)

menjadikan mata kita terbuka betapa luasnya wilayah kajian Islam yang

dapat dijadikan objek penelitian. Selain luas, di sini tergambar betapa

rumit dan kompleksnya ilmu agama, sehingga secara metodologis sangat

sulit ditentukan sebuah metode penelitian yang tepat untuk meneliti

persoalan agama. Tidak seperti ilmu-ilmu lain, ilmu alam maupun ilmu

sosial, yang dapat dijangkau dan diukur secara secara nalar logis,

sehingga mudah menentukan metode penelitian yang tepat, tidak

demikian dengan agama. Namun demikian tawaran metodologisnya dapat

Page 13: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

12

dibaca di uraian berikut. Itu pun hanya sebatas pada hasil ijtihad keilmuan

dalam metodologi penelitian.

D. Pendekatan Penelitian Agama: Kuantitatif dan Kualitatif

Hingga saat ini diakui terdapat dua aliran pemikiran besar atau

paradigma penelitian yang sangat berpengaruh dan saling berhadapan,

yaitu paradigma positivistik dan interpretif atau fenomenologi, sering

pula disebut konstruktivistik atau naturalistik. Paradigma positivistik

yang berkembang sangat pesat abad ke-19 berkait erat dengan aliran

rasionalisme yang dikembangkan oleh Rene Descartes sebagai titik tolak

perkembangan filsafat Barat modern, walau ada sebagian yang

beranggapan bahwa positivisme lahir bukan oleh rasionalsisme saja,

tetapi juga empirisisme.

Menurut aliran rasionalisme sumber utama pengetahuan ialah

reasons (nalar) dengan cara berpikir logis. Nalar atau akal juga digunakan

untuk mengukur pengetahuan benar tidaknya pengetahuan. Nalar atau

akal dianggap sebagai bawaan manusia sejak lahir. Sebagai aliran

pemikiran filsafat, rasionalisme sangat mengagungkan peran subjek dan

mengesampingkan objek. Ini dianggap sebagai salah satu kelemahan

rasionalisme. Pengagungannya pada subjek mengakibatkan sikap superior

para penganut aliran ini (Barat) terhadap penganut aliran lain.

Dari rasionalisme muncul empirisisme yang dikembangkan oleh

Aristoteles sebagai reaksi terhadap rasionalisme yang mengagungkan

nalar. Menurut empirisisme, pengetahuan diperoleh bukan melalui nalar,

melainkan pengalaman melalui perantaraan indra (senses). Empirisisme

menolak mentah-mentah bawaan manusia berupa akal. Pengetahuan yang

benar menurut empirisisme ialah yang dapat dibuktikan. Karena

mengandalkan kemampuan indra, aliran ini juga memiliki kelemahan,

yakni keterbatasan indra manusia dalam menangkap objek. Sebagai

Page 14: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

13

contoh, puncak gunung selalu tampah indah dari jauh, tetapi sangat

berbeda ketika didekati. Begitu juga laut, dari jauh tampak sangat indah

oleh indra manusia. Puncak gunung dan pemandangan laut adalah objek

yang menipu. Jika rasionalisme mengagungkan subjek, maka empirisisme

mengagungkan objek ..... objek yang sebenarnya tidak akan pernah sama

dengan yang ditangkap oleh indra. Semua adalah fatamorgana.

Walaupun bertentangan, keduanya akhirnya dapat bertemu dan

saling melengkapi. Jika rasionalisme melahirkan pendekatan deduktif

dalam proses pencarian pengetahuan, maka empirisisme melahirkan

pendekatan induktif. Keduanya diakui sebagai metode pencarian

pengetahuan yang sah hingga saat ini. Tidak hanya proses pencarian

pengetahuan yang keduanya saling melengkapi, tetapi juga dalam

menentukan prasyarat ilmiah suatu pengetahuan. Jika rasionalisme

mensyaratkan reasonable dan logical sebagai syarat kebenaran, maka

dalam empirisisme kebenaran harus secara empirik dapat dibuktikan

(empirically verifiable). Keduanya pun akhirnya bertemu sehingga

kebenaran pengetahuan ilmiah harus memenuhi syarat

“reasonable/logical and verifiable”. Artinya, sesuatu pengetahuan itu

dapat disebut benar secara ilmiah jika masuk akal, logis dan dapat

dibuktikan secara empirik.

Ada beberapa landasan yang mendasari positivisme atau

positivistik sebagai sebuah paradigma berpikir, yakni kebenaran itu

sesuatu yang logis, ada buktinya dan dapat diukur, yang menjadi objek

ilmu pengetahuan ialah sesuatu yang tampak sebagai fakta (bukan

sesuatu yang ada dibalik yang tampak), dan semua peristiwa di alam

semesta ini terjadi dalam hubungan sebab akibat (causality).

Selanjutnya paradigma positivistik melahirkan metode penelitian

kuantitatif yang prosesnya deduktif, sedangkan paradigma interpretif

melahirkan metode penelitian kualitatif yang prosesnya induktif. Walau

Page 15: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

14

belakangan muncul metode penelitian campuran (mixed methods) sebagai

pendekatan baru, tetapi hakikatnya metode baru ini berangkat dari dua

model metode sebelumnya, yakni metode kuantitatif dan kualitatif.

Tak terhindarkan penelitian agama pun dipengaruhi oleh dua arus

besar pemikiran tersebut. Penelitian agama dapat menggunakan masing-

masing metode tersebut, dengan nalar paradigmatik yang benar.

Penelitian kuantitatif dapat digunakan untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan kehidupan beragama masyarakat sebagai fakta atau

kenyataan sosial. Misalnya, jumlah pemeluk agama berdasarkan jenis

kelamin, usia, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kondisi ekonomi,

sumber ekonomi, suku, dan lain-lain. Dengan diperolehnya gambaran

tersebut, perlu diambil langkah-langkah praktis untuk pembinaan dan

pelayanan keagamaan oleh pihak yang memiliki otoritas. Penelitian

lanjutan secara lebih mendalam dapat dilakukan untuk melihat

kecenderungan, karakter, dan kebutuhan umat beragama terkait dengan

gejala modernitas yang sedang terjadi.

Penelitian kuantitatif juga dapat digunakan untuk melihat pengaruh

pemahaman agama terhadap praktik kehidupan di masyarakat dengan

logika hubungan sebab akibat (cause and effect relationship) dengan

menggunakan variabel bebas yang mempengaruhi dan variabel terikat

yang dipengaruhi. Pemahaman agama disebut sebagai variabel bebas

(independent variable) yang berpengaruh terhadap praktik kehidupan

sebagai variabel terikat (dependent variable). Sebagai langkah awal perlu

dibuat hipotesis bahwa pemahaman agama yang baik berpengaruh pada

perilaku yang baik di masyarakat. Atau sebaliknya, pemahaman agama

yang kurang (dangkal) berpengaruh terhadap perilaku tidak baik di

masyarakat. Atau dengan kata lain, terjadinya perilaku yang kurang baik,

semacam kejahatan, di masyarakat disebabkan oleh kurangnya

pemahaman keagamaan yang dianut oleh warga masyarakat.

Page 16: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

15

Penelitian kualitatif juga dapat digunakan untuk melakukan

penelitian agama, selain studi teks sebagaimana diuraikan di atas. Di

bawah payung paradigma interpretif, penelitian kualitatif bertujuan

memahami gejala atau fenomena secara mendalam. Berbeda dengan

penelitian kuantitatif yang berangkat dari paradigma positivistik yang

menganggap gejala sebagai fakta atau kenyataan sosial, penelitian

kualitatif justru sebaliknya menganggap gejala atau peristiwa adalah

sebuah fenomena yang di baliknya ada realitas yang sebenarnya. Adalah

tugas peneliti untuk menggali realitas di balik persitiwa atau gejala yang

terjadi tersebut.

Sebagaimana diketahui, penelitian kualitatif lahir dari aliran

sosiologi pemaknaan (interpretivist sociological tradition) yang

dikenalkan oleh Max Weber dengan menyebut istilah verstehen. Weber

dapat disebut sebagai founding father aliran ini. Tentu Weber tidak

sendirian, karena filsafat fenomenologi juga sangat kuat mempengaruhi

tradisi penelitian ini. Selain fenomenologi (Husserl, sebagai salah satu

tokohnya), etnografi (Taylor), etnometodologi (Garfinkel), dan

interaksionisme simbolik (Blumer) juga memperkaya metode penelitian

kualitatif.

Karena memahami kenyataan, lebih-lebih kenyataan sosial

keagamaan, tidak mungkin lepas dari unsur subjektivitas peneliti, maka

fenomenologi mengajarkan bahwa suatu kenyataan objektif adalah

fenomen (empirik) yang dimaknai oleh subjek yang mengamatinya.

Supaya peneliti sungguh memahami kenyataan sosial keagamaan, maka

dia wajib mendengarkan dengan berempati (termasuk perasaan) subjek

penelitian. Pemahaman dengan empati demikian dapat menghindarkan

peneliti dari kekeliruan memahami realitas secara subjektif. Inilah yang

disebut verstehen oleh Weber, yakni memahami suatu peristiwa yang

Page 17: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

16

dialami subjek dari sisi pandangan subjek itu sendiri, bukan dari sisi

peneliti ((Antonius Sad Budianto, 2018: 386).

Selanjutnya aliran pemikiran yang disebut terakhir, yakni

fenomenologi, etnografi, etnometodologi, interaksionisme simbolik tidak

hanya menyumbang atau memperkaya metode penelitian kualitatif, tetapi

menjadi jenis penelitian kualitatif, selain studi kasus, grounded theory

dan studi teks yang berkembang pesat beberapa dasa warsa terakhir.

Penelitian agama tentu dapat memanfaatkan semua aliran tersebut untuk

memperkaya khasanah penelitian agama sebagai sebuah disiplin ilmiah!

Sebagaimana telah diuraikan di muka, secanggih apapun

metodologi penelitian dengan menggunakan ilmu-ilmu modern sebagai

pespektif seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, rasanya masih

sangat sulit memahami agama dan membongkar misteri ajaran agama

secara komprehensif. Sebuah metodologi penelitian dengan perspektif

mono disiplin rasanya mustahil untuk dapat memahami agama secara

keilmuan melalui penelitian.

E. Metodologi Penelitian Islam (Islamic Research Methodology) sebagai

Tawaran

Agama memang unik. Ada sisi yang menjadi wilayah Tuhan yang

tidak mampu dijangkau nalar manusia sampai kapanpun, tetapi ada sisi

lain yang terbuka untuk olah pikir manusia sebagai makhluk bernalar.

Hal-hal yang terkait dengan sikap beragama, toleransi beragama, sejarah

agama, pokok-pokok ajaran agama, aliran-aliran pemikiran tentang

agama, perbandingan agama, konflik atau kekerasan atas nama agama,

perkembangan pemahaman agama masyarakat dan lain-lain adalah gejala

teramati yang dapat dijadikan objek penelitian agama. Penelitian agama

tidak akan mampu menggali tingkat kedalaman keimanan seseorang

terhadap ajaran agamanya.

Page 18: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

17

Menyadari objek penelitian agama sedemikian rumit, maka selain

dengan pendekatan inter atau multi-disipliner, penelitian agama

seyogyanya tetap menggunakan ayat dan hadits serta pendapat para

ulama sebagai rujukan dan medan dialog keilmuan temuan penelitian di

bagian tersendiri, tetapi tidak untuk justfikasi. Temuan ilmiah dari

penelitian agama tetap didialogkan dengan sumber ajaran Islam. Dengan

demikian, kebenaran ilmiah ditemukan dengan kebenaran agama baik itu

yang berupa wahyu, hadits, maupun pendapat para ulama.

Secara teknis, disiapkan bab tersendiri yang membahas dialog

temuan ilmiah penelitian dengan ayat, hadits, atau pandangan para ulama

terhadap sebuah isu yang menjadi teman sentral penelitian. Diyakini

dialog antara temuan ilmiah dan kebenaran doktrin agama akan

melahirkan bentuk pengetahuan baru. Ibaratnya ketika sebuah teks

keilmuan bertemu dengan teks lain akan melahirkan teks ketiga dalam

bentuk pengetahuan baru. Melalui kekuatan nalar atau akal, para peneliti

muslim dapat mengilmiahkan doktrin agama yang dapat diterima nalar

logis sehingga dapat menambah keimanan penganut agama.

Di sini perbedaaan antara penelitian agama dengan penelitian ilmu-

ilmu lain. Karena objek penelitian agama memang berbeda dengan objek

penelitian ilmu-ilmu lain, maka sudah barang tentu metode yang

digunakannya berbeda. Objek menentukan cara (an object determines a

means), bukan sebaliknya cara yang menentukan objek. Metodologi

penelitian agama menyesuaikan dengan sifat objek kajian agama yang

memang sangat kompleks dan rumit. Penelitian agama harus mampu

menghadirkan wajah keilmuan tersendiri yang berbeda dengan penelitian

ilmu-ilmu empirik yang lain, yakni dimensi spiritual.

Untuk itu, sudah waktunya para ahli agama Islam dan peneliti

agama melahirkan metodologi penelitian tersendiri bercorak keislaman

(Islamic research methodology) sebagai sebuah disiplin baru dalam

Page 19: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

18

khazanah keilmuan Islam yang dapat diterima oleh nalar ilmiah ilmu

pengetahuan. Mungkin terdengar aneh, tetapi bukan hal yang tidak

mungkin jika para peneliti dan ilmuwan Islam sanggup berpikir secara

serius untuk berijtihad mengkonstruksi sendiri untuk menemukan

kebenaran secara ilmiah dalam perspektif Islam.

Paradigma penelitian positivistik, interpretif atau fenomenologi,

refleksif atau kritis, atau post postivistik dan teori-teori penelitian modern

lainnya yang selama ini menjadi andalan para ilmuwan dalam penelitian

empirik tidak akan mampu menggali substansi ajaran agama yang

sedemikian kompleks.

Contoh sudah ada,yakni ketika para ahli ekonomi muslim

melahirkan konsep ilmu ekonomi Islam (Islamic economics) yang

ternyata dapat berdiri tegak sebagai sebuah disiplin keilmuan baru dalam

bidang ekonomi. Dalam perkembangannya, ekonomi Islam tidak hanya

sebuah disiplin ilmiah, tetapi sudah berdiri sebagai nama program studi

atau jurusan. Pada awalnya, kehadiran konsep ekonmi Islam juga

dipertanyakan banyak pihak. Karena itu, ketika para ekonom muslim

dapat melahirkan Islamic economics atau Islamic finance, dan para

arsitek muslim melahirkan ilmu arsitektur Islam (Islamic arhitecture)

mengapa para ilmuwan muslim lainnya yang memiliki konsen tinggi

dalam bidang penelitian tidak melahirkan metodologi penelitian Islam

(Islamic research methodology) untuk penelitian agama.

Islam yang demikian kaya khasanah keilmuannya, ditunjang

dengan peran agama Islam yang tak ternilai besarnya bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara serta keberadaan institusi pendidikan Islam

formal dan non-formal di Indonesia yang tersebar di seluruh negeri,

jumlah ilmuwan muslim Indonesia yang besar dan lain-lain terbuka

peluang bagi para peminat metodologi penelitian untuk mengkonstruksi

konsep metodologi penelitian Islam yang berbeda dengan metodologi

Page 20: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

19

penelitian Barat yang selama ini digunakan untuk semua ilmu

pengetahuan.

F. Penutup

Sebagai khasanah pengetahuan, penelitian agama atau studi agama

(Islam) di Indonesia lebih terlambat dibanding dengan penelitian ilmu-

ilmu lain, lebih-lebih ilmu alam. Keterlambatan itu karena umat Islam itu

sendiri kurang menyadari pentingnya penelitian dalam pengembangan

keilmuan Islam dan karena langkanya ilmuwan muslim yang memiliki

kompetensi dalam penelitian agama.

Di Barat studi agama sudah lama dilakukan oleh para ilmuwan

sosial, seperti Marx, Durkheim dan Weber untuk agama Nasrani dan

Yahudi. Ketika penelitian agama mulai dikenalkan di Indonesia tahun

1960-an dengan menggunakan metode yang kurang lebih sama untuk

penelitian agama Nasrani dan Yahudi muncul persoalan. Kendati sama-

sama agama Samawi, di antara Nasarani, Yahudi dan Islam terdapat

ajaran yang secara fondamental berbeda.

Ada dua dimensi agama yang tidak bisa dipungkiri, yakni yang

terkait dengan sistem kepercayaan yang bersifat abstrak, dan perilaku

beragama dalam kehidupan di masyarakat yang terkait dengan hubungan

dengan sesama manusia dan alam sekitar. Penelitian agama hanya

menjangkau dimensi kedua sebagai gejala sosial yang teramati. Karena

itu, ilmu-ilmu sosial modern seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan

psikologi dapat digunakan sebagai ilmu bantu memahami gejala agama.

Khusus Islam, karena khasanahnya demikian luas dan kompleks

serta rumit penelitian dengan pendekatan mono disiplin rasanya akan

gagal memahami agama secara komprehensif. Pendekatan inter dan multi

disipliner lebih tepat digunakan dalam penelitian agama. Selain itu,

karena sifat objek kajian agama yang khas, maka mendialogkan temuan

Page 21: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

20

penelitian yang diperoleh dari proses deduktif dan induktif dengan ayat,

hadits, atau pandangan para ulama harus dilakukan. Dialog itu bukan

untuk justifikasi, tetapi membuka arena atau ruang diskusi lebih luas

untuk menemukan pengetahuan baru. Cara ini sebenarnya mirip yang

dilakukan oleh para peneliti pada umumnya ketika sampai tahap dialog

teoretik antara temuan penelitian dengan teori yang telah ditulis pada bab

kajian pustaka untuk mengkonstruksi temuan formal dalam bentuk

proposisi atau bahkan teori. Bedanya jika pada penelitian sekuler, jika

bisa disebut demikian, temuan didialogkan dengan teori, maka dalam

penelitian agama temuan didialogkan dengan ayat, hadits atau pandangan

para ulama.

Sebagai sebuah ijtihad ilmiah, menyebut metode demikian dengan

istilah “Metodologi Penelitian Islam” atau “Islamic Research

Methodology” tentu sah-sah saja. Ini sebagai sebuah tawaran metodologis

yang perlu ditindaklanjuti oleh para pakar Islam dan peneliti muslim.

Tentu diperlukan perjuangan dan waktu yang tidak pendek untuk

mensosialisasikan gagasan ini menjadi sebuah khasanah pengetahuan

yang dapat diterima secara nalar ilmiah!

_____________

Surabaya, 25 Februari 2020

Daftar Pustaka

Antonius Sad Budianto, 2018. Penelitian Sosial dalam Berteologi. Dalam

A. Tjatur Raharso dan Yustianus (ed.). Metodologi Riset Studi

Filsafat Teologi. Malang: Penerbit Dioma.

Mukti Ali. 1989. “Metodologi Ilmu Agama Islam”. Dalam Taufik

Abdullah dan M. Ruslim Karim (ed.). Metodologi Penelitian

Agama. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Imron Arifin (ed.). 1996. Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial

dan Keagamaan. Malang: Kalimasahada Press.

Page 22: Metodologi Penelitian Agamarepository.uin-malang.ac.id/5193/1/5193.pdfSedangkan sebagai fenomena sosial, agama dilihat dari sisi perilaku manusia dalam kehidupan beragama atau praktik

21

Mattulada. 2004. “Studi Islam Kontemporer: Sintesis Pendekatan Sejarah,

Sosiologi, dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena

Keagamaan”. Dalam Taufik Abdullah dan M. Ruslim Karim (ed.).

Metodologi Penelitian Agama. Suatu Pengantar. Yogyakarta:

Tiara Wacana.

M. Dawam Rahardjo. 1989. “Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena

Keagamaan”. Dalam Taufik Abdullah dan M. Ruslim Karim (ed.).

Metodologi Penelitian Agama. Suatu Pengantar. Yogyakarta:

Tiara Wacana

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.) 2004. Metodologi Penelitian

Agama. Suatu Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana.