metode istinbath imam abu hanifah tentang hukum …
TRANSCRIPT
METODE ISTINBATH IMAM ABU HANIFAH TENTANGHUKUM PERNIKAHAN ANAK PEREMPUAN YATIM DI
BAWAH UMUR OLEH SELAIN WALI MUJBIR
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
ROJA FIKRIA
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan HukumProdi Hukum Keluarga
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH2018 M / 1439 H
NIM.111309739
ABSTRAK
Nama : Roja Fikria
Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum / Hukum KeluargaJudul : Metode Istinbath Imam Abu Hanifah Tentang Hukum
Pernikahan Anak Perempuan Yatim di Bawah Umur OlehSelain Wali Mujbir
Tebal Skripsi : 64 HalamanPembimbing I : H. Mutiara Fahmi, Lc., MAPembimbing II : Dr. Badrul Munir, Lc., MA
Umur, Wali Mujbir
Jumhur ulama sepakat bahwa penikahan anak perempuan di bawah umurhukumnya boleh, namun mereka berbeda pendapat mengenai orang yang berhakmengawinkan mereka. Dalam hal ini Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapatbahwa hanya bapak, atau yang diberi wasiat mengenainya, atau hakim yangberhak menikahkan anak perempuan di bawah umur. Imam Syafi’i berpendapatbahwa hanya wali mujbirlah yang berhak menikahkannya yaitu ayah dan kakek.Sedangkan Imam Hanafi memberikan pendapat yang sangat berbeda denganmazhab lainnya, mereka membolehkan semua wali yang masuk dalam hubunganashabah untuk menikahkan anak perempuan yatim di bawah umur. Oleh karenaitu, permasalahan yang dikaji adalah apa dasar penetapan hukum Abu Hanifahterhadap pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain walimujbir, bagaimana metode istinbath hukum Abu Hanifah terhadap pernikahananak perempuan yatim di bawah umur oleh selain wali mujbir. Penelitian inimenggunakan kajian pustaka (library research), data primer yang digunakanadalah kitab Al-Mabsuṭ karangan As-Sarakhsi, sedangkan data sekundernyaadalah semua bahan yang berkaitan dengan permasalahan ini denganmenggunakan metode deskriptif analisis. Berdasarkan hasil analisis penulis, dalamfiqih mazhab Hanafi tidak ada pengkhususan terhadap wali mujbir, olehkarenanya Imam Hanafi membolehkan semua wali menikahkan anak perempuanyatim di bawah umur, hal ini karena mazhab Hanafi mengemukakan teori bahwaperwalian didasari oleh aspek kekerabatan dan ke-ashabahan serta yang palingdekat kepada perempuan yang akan dinikahkan. Dalam permasalahan pernikahananak perempuan di bawah umur ini mereka menggunakan dalil Hadis Nabi SAW.Metode istinbath hukum yang mereka gunakan lebih mengarah kepadapemahaman isi kandungan nas atau penalaran yang bertumpu pada kaidah-kaidahkebahasaan (metode bayāni). Dalam hal ini, penulis lebih sependapat denganImam Syafi’i karena hendaknya anak yang masih di bawah umur itu hanya bolehdinikahkan oleh wali yang sangat dekat dengan si anak serta mempunyai
NIM : 111309739
Tanggal Sidang : 7 Agustus 2018
tanggung jawab yang besar terhadapnya. karena pada diri bapak itu terdapatbeberapa hal yang tidak ada pada wali-wali lain.
Kata Kunci : Metode Istinbath, Pernikahan Anak Perempuan Yatim di bawah
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik
dan benar penulisan Skripsi yang berjudul “Metode Istinbath Imam Abu Hanifah
Tentang Hukum Pernikahan Anak Perempuan Yatim di bawah Umur Oleh Selain
Wali Mujbir”. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad Saw, para
sahabat, tabi’in dan para ulama yang senantiasa berjalan dalam risalah-Nya, yang
telah membimbing umat manusia dari alam kebodohan kepada alam pembaharuan
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Kemudian rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada Bapak H. Mutiara Fahmi, Lc., MA selaku pembimbing pertama
dan Bapak Dr. Badrul Munir, Lc., MA selaku pembimbing kedua, karena dengan
penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan waktu
serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka
penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan skripsi
ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Jurusan Syari’ah Hukum Keluarga, Penasehat
Akademik, serta seluruh Staf pengajar dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum
telah memberikan masukan dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis
sehingga penulis dengan semangat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Perpustakaan Syariah dan
seluruh karyawan, perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh karyawannya,
Perpustakaan Wilayah serta Karyawan yang telah melayani dan memberikan
pinjaman buku-buku yang menjadi bahan skripsi penulis, dan juga kepada
perpustakaan Baiturrahman dan beserta karyawannya. Dengan terselesainya
Skripsi ini, tidak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam rangka penyempurnaan
skripsi ini. Selanjutnya dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yaitu bapak
M.jamal dan ibu Nurmalia yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik,
memberi dukungan dan membiayai sekolah penulis hingga ke jenjang perguruan
tinggi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan tanpa pamrih.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada kawan-kawan seperjuangan pada
program Strata satu UIN Ar-Raniry dan buat teman-teman unit 1 di Prodi Hukum
Keluarga yang saling menguatkan dan saling memotivasi selama perkuliahan
hingga terselesainya kuliah dan karya ilmiah ini. Semoga Allah Swt selalu
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan balasan yang tiada tara kepada
semua pihak yang telah membantu hingga terselesainya skripsi ini. Penulis hanya
bisa mendoakan semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah Swt sebagai amal
yang mulia.
Penulis sangat menyadari bahwa Penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka diharapkan kepada siapapun yang membaca skripsi ini dan
mendapati adanya ketidakjelasan dari masalah pernikahan anak perempuan yatim
di bawah umur oleh selain wali mujbir ini agar dapat melanjutkan penelitian.
Penulis berharap penulisan skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis
sendiri dan juga kepada para pembaca semua. Maka kepada Allah jualah kita
berserah diri dan meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya
untuk kita semua. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn
.
Banda Aceh, 29 Januari 2018
ROJA FIKRIA
Penulis,
TRANSLITERASI
Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab
ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya
dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata
Arab adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket
1 ا Tidakdilambangkan
16 ط ṭ t dengan titik dibawahnya
2 ب b 17 ظ ẓ z dengan titik dibawahnya
3 ت t 18 ع ‘
4 ث ś s dengan titik diatasnya
19 غ gh
5 ج j 20 ف f
6 ح ḥ h dengan titik dibawahnya
21 ق q
7 خ kh 22 ك k
8 د d 23 ل l
9 ذ ż z dengan titik diatasnya
24 م m
10 ر r 25 ن n
11 ز z 26 و w
12 س s 27 ه h
13 ش sy 28 ء ’
14 ص ş s dengan titik dibawahnya
29 ي y
15 ض ḍ d dengan titik dibawahnya
2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin ◌ Fatḥah a ◌ Kasrah i ◌ Dammah u
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda danHuruf
Nama GabunganHuruf
◌ ي Fatḥah dan ya ai◌ و Fatḥah dan wau au
Contoh:
كیف = kaifa,
ھول = haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat danHuruf
Nama Huruf dan tanda
ا/ي ◌ Fatḥah dan alif atau ya āي ◌ Kasrah dan ya īو ◌ Dammah dan wau ū
Contoh:
قال = qāla
رمي = ramā
قیل = qīla
یقول = yaqūlu
ستنباط الحكميٳ = istimbāṭ al-ḥukmī
4. Ta Marbūṭah (ة)
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua.
a. Ta marbūṭah ( hidup (ة
Ta marbūṭah ( yang hidup atau mendapat harkat (ة fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbūṭah ( mati (ة
Ta marbūṭah ( ,yang mati atau mendapat harkat sukun (ة transliterasinya
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbūṭah ( diikuti oleh kata yang (ة
menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta
marbūṭah ( .itu ditransliterasikan dengan h (ة
Contoh:
الاطفال روضة : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl
المنـورة المديـنة : al-Madīnah al-Munawwarah/
al-Madīnatul Munawwarah
طلحة : Ṭalḥah
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai
kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misr; Beirut, bukan Bayrut; dan sebagainya.
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL .............................................................................. iPENGESAHAN PEMBIMBING............................................................ iiPENGESAHAN SIDANG ....................................................................... iiiABSTRAK ................................................................................................ ivKATA PENGANTAR.............................................................................. vTRANSLITERASI ................................................................................... viiiDAFTAR ISI............................................................................................. xi
BAB SATU : PENDAHULUAN ......................................................... 11.1. Latar Belakang Masalah.......................................... 11.2. Rumusan Masalah ................................................... 51.3. Tujuan Penelitian .................................................... 61.4. Penjelasan Istilah..................................................... 61.5. Kajian Pustaka......................................................... 91.6. Metode Penelitian ................................................... 111.7. Sistematika Pembahasan ......................................... 14
BAB DUA : KONSEP PERNIKAHAN MENURUT IMAMABU HANIFAH............................................................. 162.1. Definisi dan Dasar Hukum...................................... 162.2. Rukun dan Syarat Pernikahan ................................. 232.3. Macam-Macam Wali dalam Pernikahan................. 282.4. Wali Nikah Terhadap Pernikahan Anak di Bawah
Umur dalam Islam................................................... 34
BAB TIGA : METODE ISTINBATH HUKUM ABU HANIFAHDALAM PERNIKAHAN ANAK PEREMPUANYATIM DI BAWAH UMUR OLEH SELAINWALI MUJBIR ............................................................ 413.1. Profil Imam Abu Hanifah ....................................... 413.2. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
dalam Fiqih ............................................................. 453.3. Pendapat Abu Hanifah Terhadap Pernikahan
Anak Perempuan Yatim di bawah Umur olehSelain Wali Mujbir.................................................. 48
3.4. Metode Istinbath Abu Hanifah dalam PernikahanAnak Perempuan Yatim di Bawah Umur olehSelain Wali Mujbir.................................................. 52
3.5. Analisis Penulis....................................................... 55
BAB EMPAT: PENUTUP ..................................................................... 594.1. Kesimpulan ............................................................. 594.2. Saran........................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 62RIWAYAT HIDUP PENULIS...............................................................
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu perintah Allah SWT dan apabila dilakukan
sesuai dengan tuntunan syar’i maka ia merupakan suatu ibadah yang bernilai
tinggi. Allah SWT mensyariatkan pernikahan tentunya memiliki berbagai macam
tujuan. Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar
anggota keluarga.1
Dalam melaksanakan sebuah pernikahan, tentunya harus memenuhi rukun-rukun
dan syarat-syarat yang terdapat di dalam penikahan tersebut. Jika rukun dan syarat
tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut dianggap batal. Salah satu yang menjadi
rukun dalam penikahan adalah harus adanya wali.
Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan pertolongan, sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah SWT:2
ون ب ال غ م ال زب الله ه ن ح إ وا ف ن ين آم ه والذ ول ول الله ورس ن يـتـ وم
1Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 22.2Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2013), hlm. 117.
Artinya: “dan barangsiapa menjadikan Allah, rasul-Nya dan orang-orang yangberiman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulahyang menang.” (QS. Al-Maidah: 56).
اء بـعض ي ول م أ ه ض ات بـع ن ؤم م ون وال ن ؤم م ◌ وال
Artinya: “dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagianmereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71).
Dalam pengertian lain bisa juga bermakna kekuasaan dan kemampuan. Dikatakan
“al-Wāli” yang berarti pemilik kekuasaan. Dalam istilah, fuqaha memiliki makna
kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang. Orang yang melaksanakan akad ini dinamakan wali.3 Termasuk di
antaranya adalah firman-Nya,4 “maka hendaklah walinya mengdiktekannya
dengan benar.” (Al-Baqarah: 28/2).
Secara garis besar wali terbagi menjadi dua yaitu wali ijbār dan wali ikhtiār.5
Perwalian ijbār berdasarkan maknanya yang khusus adalah hak wali untuk
mengawinkan orang lain dengan orang yang yang dia kehendaki. Perwalian ijbār
dengan pengertian ini menurut mazhab Hanafi ditetapkan kepada anak kecil
perempuan meskipun dia adalah seorang janda. Serta kepada orang perempuan
idiot, perempuan gila, dan budak perempuan yang dimerdekakan. Orang yang
memiliki perwalian disebut wali Mujbir. Perwalian ikhtiār adalah hak wali untuk
mengawinkan orang yang dia walikan berdasarkan pilihan dan kerelaannya. Dan
orang yang memiliki perwalian ini disebut sebagai wali mukhayyir.
3Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Thalak, Khulu, Meng-illa Istri,Li’an, Zhihar, Masa Iddah, Jilid 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 178.4Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 48.5Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 179.
Para ulama sepakat bahwa seorang ayah atau kakek boleh menikahkan seorang
anak perempuan yang masih kecil. Hal ini didasari atas hadis:
ها قالت، تـزوجني رسول االله صلى االله عليه وسلم لست عن عائشة رضي االله عنـسنين وبـنى بي وأنا بنت تسع سنين.
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: RasulullahSAW telah mengawini aku ketika aku berumur enam tahun dan tinggal bersamakupada waktu aku berusia sembilan tahun. (HR. Muttafaqun Alaih)”.6
Jumhur fuqaha yang berpendapat boleh mengawinkan anak kecil saling berselisih
pendapat mengenai orang yang berhak mengawinkan mereka. Mazhab Maliki dan
Hanbali berpendapat, bagi orang yang selain bapak, atau yang diberikan wasiat
mengenainya, atau hakim, tidak boleh mengawinkan anak kecil, karena pada diri
bapak terdapat rasa kasihan, serta keinginannya yang jujur untuk mewujudkan
kebaikan untuk anaknya. Hakim dan orang yang diberikan wasiat oleh bapak
seperti bapak. Karena perhatian mereka terhadap harta dan maslahat yang
berkaitan dengan mereka tidak perlu dipertanyakan.7
Menurut imam Syafi’i, tidak ada hak bagi seorang pun selain bapak untuk
menikahkan perawan atau janda yang masih kecil kecuali dengan restu darinya,
dan tidak boleh pula menikahkan mereka hingga balik lalu diminta izin darinya.
Apabila seseorang selain bapak menikahkan perempuan yang masih kecil, maka
nikah itu dinyatakan batal. Pasangan suami istri itu tidak saling mewarisi dan
tidak pula berlaku padanya talak (cerai), hukumnya sama seperti hukum nikah
6Hadis Shahih diriwayatkan oleh Muttafaqun Alaih, Ahmad Mudjab Mahalli & Ahmad RodliHasbullah, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Bagian Munakahat dan Mu’amalat (Jakarta: Kencana,2004), hlm. 41.7Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 173.
yang rusak semua sisinya, dimana pernikahan ini tidak berkonsekuensi dengan
adanya thalak maupun warisan.8
Imam Syafi’ mengatakan bahwa pernikahan itu tidak dapat diterima. Beliau
berhujjah dengan dalil:
عن أبي هريـرة، قال: قال رسول االله صلى االله عليه وسلم: تستأمر اليتيمة في ها.نـفسها، فإن سكتت فـهو إذنـها، وإن أبت فلا جواز عليـ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, seoranggadis yatim diajak bermusyawarah perihal dirinya. Apabila ia diam, maka itulahtanda persetujuannya. Namun apabila ia menolak, maka tidak boleh memaksanya(HR. An-Nasa’i).”9
Yang disebut anak perempuan yatim adalah anak yang masih kecil dan tidak
mempunyai ayah, serta sebelum akil baligh, izinnya tidak mempunyai arti.
Seolah-olah beliau mensyaratkan usia baligh baginya. Artinya, seorang anak
yatim tidak boleh dinikahkan sehingga ia baligh dan dimintai pendapatnya.10
Kebanyakan ulama (jumhur) berpendapat, wali selain ayah dan kakek tidak
berhak menikahkan anak perempuan kecil. Jika tetap menikahkannya, maka
pernikahan tersebut tidak sah. Tapi menurut Abu Hanifah, Al-Auza’i dan
sejumlah ulama salaf, semua wali boleh menikahkan anak perempuan kecil dan
pernikahannya sah. Hanya saja setelah baligh, anak tersebut diberi pilihan
(khiyār). Pendapat ini dinyatakan oleh sejumlah sahabat Nabi SAW, seperti Umar,
Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar dan Abu Hurairah.11
8Husain Abdul Hamid Abu Nashir Nail, Ringkasan Kitab Al Umm, Buku 2 Jilid 3-6 (terj. ImronRosadi, Amiruddin, & Imam Awaluddin) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), hlm. 362.9Hadis Hasan diriwayatkan oleh An-Nasa’i, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih SunanNasa’i, Jilid 2 (terj. Fathurrahman) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 682.10Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 76.11Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid 2 (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), hlm. 298-299.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa adanya perbedaan pendapat
di kalangan imam mazhab dalam penetapan hukum terhadap permasalahan ini.
Oleh karena itu, alasan dan sebab peneliti mengkaji pendapat imam Abu Hanifah
tentang hukum pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain wali
mujbir ini, karena dari 4 imam mazhab (Hanbali, Maliki, Syafi’i, dan Hanafi)
pendapat imam Abu Hanifahlah yang paling kontroversi, walaupun masing-
masing di antara mereka juga saling berbeda pendapat. Sehingga penulis ingin
membahas lebih dalam alasan-alasan imam Abu Hanifah terhadap penetapan
hukum dalam persoalan tersebut.
Atas dasar latar belakang di atas, maka penulis berniat melakukan suatu kajian
terhadap pendapat imam Abu Hanifah. Untuk itu, maka judul yang penulis ajukan
adalah Metode Istinbath Imam Abu Hanifah Tentang Hukum Pernikahan
Anak Perempuan Yatim Di Bawah Umur Oleh Selain Wali Mujbir.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa dasar penetapan hukum pernikahan anak perempuan yatim di bawah
umur oleh selain wali mujbir menurut Imam Abu Hanifah?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah terhadap
pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain wali mujbir?
1.3. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai, demikian juga
dengan penelitian ini, adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar penetapan hukum Abu Hanifah terhadap
pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain wali mujbir.
2. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan imam Abu Hanifah
terhadap pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain
wali mujbir.
1.4. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam memahami istilah-
istilah yang digunakan dalam skripsi ini, maka perlu terlebih dahulu penulis
menjelaskan istilah-istilah tersebut, antara lain:
1. Istinbath
Secara kebahasaan, istinbath berarti mengeluarkan atau menarik. Dalam
terminologi fikih, istinbath berarti upaya mengeluarkan (menetapkan kesimpulan)
hukum dari dalil (nas). Untuk ini perlu usaha sungguh-sungguh. Istinbath juga
diartikan sebagai ijtihad, yang berarti mengerahkan segenap upaya secara
sungguh-sungguh untuk mengeluarkan atau menetapkan kesimpulan hukum dari
dalilnya. Orang yang melakukan istinbath disebut mujtahid mustanbiṭ, yakni
orang yang berijtihad untuk menetapkan kesimpulan hukum dari dalilnya (Al-
Qur’an dan Hadis).12
2. Pernikahan
Nikah menurut bahasa al-jam’u dan al-ḍammu yang artinya kumpul. Makna nikah
zawāj bisa diartikan dengan ‘aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa
diartikan waṭ’u al-zaujah bermakna menyetubuhi istri. Beberapa penulis juga
terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan.
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh, istilah kawin digunakan secara umum untuk tumbuhan,
hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda
dengan nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan
secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah
adalah akad atau ikatan karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan
qabul. Selain itu, nikah bisa diartikan sebagai bersetubuh.13
3. Yatim
Yatim bermakna inqiṭā’ aṣ-ṣabī ‘an abīh qabla bulūgih yaitu seorang anak yang
terpisah dari ayahnya (ditinggal mati) dalam keadaan belum dewasa. Syekh
Muhammad Mustafa al-Maragi dalam kitabnya Tafsir al-Maragi ia mengatakan
bahwa yatim menurut bahasa adalah orang yang ditinggal mati ayahnya.
12Azyumardi Azra (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Islam, Jilid 3, (Jakarta: PT Ichtiar Baru VanHoeve, 2005), hlm. 247.13Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 7.
Sementara itu, menurut istilah, yatim dikhususkan bagi seseorang yang ditinggal
mati ayahnya dalam keadaan belum dewasa.14
4. Wali
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk
bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan
atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan
pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik
dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu
adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya.15
5. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti
orang gila, perempuan yang belum mencapai umur mumayyiz, termasuk di
dalamnya perempuan yang masih gadis, perwaliannya boleh dilakukan wali
mujbir atas dirinya.
Maksud wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan
yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka
lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida atau
tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya. Adapun yang dimaksud ijbar
14Nasrun Haroen (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT Ichtiar BaruVan Hoeve, 2006), hlm. 1962.15Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat danUndang-Undang Perkawinan (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 69.
(mujbir) adalah hak seseorang (ayah ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya
tanpa persetujuan yang bersangkutan dengan syarat-syarat tertentu.16
1.5. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada intinya dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
suatu topik yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya sehingga tidak mengalami pengulangan dalam penelitian.
Menyangkut tentang pembahasan skripsi ini, penulis menemukan beberapa skripsi
yang mengkaji tentang wali sudah ada yang membahas, tetapi dalam persoalan
mengenai keabsahan menikahkan anak perempuan yatim di bawah umur oleh
selain wali mujbir kajian pendapat imam Abu Hanifah ini belum ditemukan secara
khusus karya-karya ilmiah yang membahas tentang permasalahan tersebut.
Namun ada beberapa tulisan secara umum tentang wali yang di tulis oleh
beberapa orang antara lain:
Pertama skripsi yang ditulis oleh Siti Aisyah Mahasiswi Fakultas Syariah dan
Hukum Prodi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
yang berjudul “Perlimpahan Wewenang Wali Mujbir Kepada Wakil Dalam
Pelaksanaan Akad Nikah (Studi Kasus di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh
Besar)” pada tahun 2015. Dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa perlimpahan
wewenang wali kepada wakil dalam akad nikah diperbolehkan jika itu terdapat
halangan yang sesuai dengan hukum dan syara’, seperti pemabuk, penjudi,
penzina dan lainnya yang dikategorikan kepada perbuatan dosa besar. Namun,
16Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 101.
jika ia masih melakukan dosa-dosa kecil maka itu masih diperbolehkan untuk
melakukan akad nikah sendiri oleh wali mujbir. Karena sebenarnya dalam aturan
fikih munakahat wali mujbirlah yang berhak menikahkan anak perempuannya
sendiri, bukan diserahkan kepada orang lain untuk mengakad nikahkan.17
Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Fitrianum Mahasiswi Fakultas
Syariah dan Hukum Prodi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Banda Aceh dengan judul skripsinya “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kawin
Paksa Karena Adanya Hak Ijbar Wali (Studi Kasus di kecamatan Permata
Kabupaten Bener Meriah)” pada tahun 2016. Dalam penelitian tersebut
menjelaskan bahwa kawin paksa dalam Islam hukumnya tidak boleh, karena salah
satu prinsip pernikahan dalam Islam adalah persetujuan masing-masing pihak dan
didasarkan atas perasaan sukarela. Oleh karena itu seorang wali harus terlebih
dahulu mempertanyakan kepada putrinya mengenai perjodohan tersebut terlebih
dahulu, karena orang tua tidak boleh memaksa mengawinkan putrinya yang sudah
dewasa dengan laki-laki yang tidak disukainya karena bisa menyebabkan
terjadinya perceraian anatara laki-laki dengan perempuan tersebut.18
Penelitian oleh Siti Ninik Purnawati mahasiswi Fakultas Syariah Jurusan Ahwal
Al-Syahksiyyah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dengan judul
“Istinbath Hukum Mazhab Hanafiyah tentang Nikah Tanpa Wali Dalam Kitab
Bada’i As-Shana’i” pada tahun 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
17Siti Aisyah, Perlimpahan Wewenang Wali Mujbir Kepada Wakil dalam Pelaksanaan AkadNikah (Studi Kasus di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar), (Skripsi tidakdipublikasikan), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2015, hlm. 66.18Fitrianum, Tinjauan Hukum Islam terhadap Kawin Paksa karena Adanya Hak Ijbar Wali (StudiKasus di Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah), (Skripsi tidak dipublikasikan), FakultasSyariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2016, hlm. 74.
menurut mazhab Hanafiyah, seorang perempuan yang merdeka, baligh, akil ketika
menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau mewakilkan dari laki-
laki yang lain dalam suatu pernikahannya, maka pernikahan perempuan itu
diperbolehkan. Menurutnya, keterangan-keterangan yang mensyaratkan adanya
wali dalam pernikahan itu tak dapat dijadikan alasan untuk mewajibkan
perempuan nikah harus disertai wali. Artinya tiap-tiap wanita boleh menikah
tanpa wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada
wali, tentunya Al-Qur’an menyebutkan tentang itu.19
Dari beberapa tulisan skripsi di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada unsur
kesamaan antara karya ilmiah yang terlampirkan dengan yang penulis kaji.
Penelitian di atas mengkaji tentang perlimpahan wewenang wali mujbir kepada
wakil, kawin paksa karena adanya hak ijbar wali dan pernikahan tanpa wali.
Sedangkan, penulis lebih menekankan pada keabsahan menikahkan anak
perempuan yatim dibwah umur oleh selain wali mujbir kajian pendapat imam Abu
Hanifah.
1.6. Metode Penelitian
Setiap penelitian memerlukan metode dan teknik pengumpulan data tertentu
sesuai masalah yang diteliti. Metode merupakan suatu cara atau jalan yang
ditempuh oleh seseorang peneliti guna mendapatkan kemudahan dalam mengkaji
dan membahas persoalan yang dihadapi.20 Tujuan penelitian harus dinyatakan
19Siti Ninik Purnawati, Istinbath Hukum Mazhab Hanafiyah tentang Nikah Tanpa Wali dalamKitab Bada’i As-Shana’i (Skripsi dipublikasikan), Fakultas Syariah, UIN Walisongo, Semarang,2015, hlm. vii.20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1989), hlm. 3.
dengan jelas dan ringkas, karena hal yang demikian akan memberikan arah pada
penelitian seseorang yang tepat.21
1.6.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan
(Library Research) yang bersifat deskriptif, yakni salah satu jenis penelitian yang
tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap serta menjelaskan sedetail munkin
tentang pendapat-pendapat imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum yang
berkaitan dengan menikahkan anak perempuan yatim di bawah umur oleh selain
wali mujbir.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah dengan studi
pustaka, yaitu mencari data-data, baik dalam bentuk buku-buku, artikel maupun
jurnal-jurnal ilmiah terkait dengan objek kajian dalam penelitian ini. Untuk itu,
peneliti mengumpulkan dan mengelompokkan data-data tersebut menjadi dua
yaitu sebagai berikut:
a. Data primer, yaitu sumber data pokok dalam penelitian yang bersifat
Autoritatif (otoritas). Adapun data primer tersebut terdiri dari kitab Al-
Mabsuṭ karangan Syamsuddin Abu Bakar Muhammad Al-Sarakhsi dan
kitab Bada’i Aṣ-Ṣana’i karangan Alaudin Abi Bakar Ibnu Maskud Al-
Kasani. Dan juga kitab-kitab lainnya seperti buku Ushul Fiqh karangan
Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Asyasyi karangan Abu Ali Asyasyi, Ushul
Bazdawi karangan Abu Hasan Al-Bazdawi.
21Bangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm.109.
b. Data sekunder, adapun bahan data sekunder diperoleh dengan cara
membaca dan menela’ah. Data sekunder yaitu sumber bahan yang
memberikan penjelasan terhadap data primer. Sumber data ini diperoleh
dari beberapa literatur, meliputi buku-buku fiqih, skripsi, jurnal serta
sumber data yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini, diantaranya karangan Wahbah Az-Zuhaili yaitu buku Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, kemudian karangan Sayyid Sabiq yaitu Fiqih Sunah.
Serta buku-buku lainnya yang dapat menjelaskan dan memperkuat data
yang termuat dalam bahan primer.
1.6.3. Langkah Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang amat penting dalam metode ilmiah. Analisis
data adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengklasifikasi data berdasarkan
tujuan penelitian. Proses ini dilakukan setelah semua data diperoleh melalui hasil
studi kepustakaan yang telah dilakukan sebelumnya. Semua data yang sudah
diperoleh dan dikumpulkan, baik data primer dan data sekunder selanjutnya akan
disusun dalam suatu susunan yang berkomprehensif kemudian deskriptif dan
dianalisis, yaitu dengan menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan
menghubungkan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
Adapun buku rujukan penulisan skripsi dalam penelitian ini adalah buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-
Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2014. Sedangkan untuk menerjemahkan
ayat-ayat al-Quran yang terdapat dalam skripsi ini berpedoman pada al-Quran dan
terjemahan yang di keluarkan oleh Kementerian Agama RI tahun 2013.
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan suatu gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat digunakan sistematika pembahasan ke
dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan dan bab ini adalah langkah awal dari
penyusunan sebuah penelitian ilmiah yang biasanya meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka,
metode penelitian serta sub bab terakhir yang berisi sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi konsep umum tentang anak di bawah umur dan wali nikah.
Dalam bab ini dijelaskan beberapa permasalahan di antaranya pengertian anak di-
bawah umur menurut hukum islam, wali dan macam-macam wali nikah, dan
pendapat-pendapat ulama terhadap anak perempuan yatim di bawah umur serta
yang berhak menjadi walinya.
Bab ketiga adalah bab inti kajian yang menjelaskan dan menganalisa
permasalahan yang menjadi objek penelitian, dalil-dalil yang digunakan serta tata
cara penetapan hukumnya terhadap keabsahan menikahkan anak perempuan yatim
di bawah umur oleh selain wali mujbir menurut ketentuan imam Abu Hanifah.
Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari penjelasan
mengenai permasalahan yang ada dalam bab-bab sebelumnya, serta saran-saran
yang dianggap penting dan perlu dengan harapan perbaikan dan kesempurnaan
dalam penulisan ini.
BAB DUA
KONSEP PERNIKAHAN MENURUT IMAM ABU HANIFAH
2.1. Definisi dan Dasar Hukum
2.1.1. Definisi Pernikahan
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan
dua kata, yaitu nikāḥ ( نكاح ) dan zawāj ( زواج ).22 Kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an
dan hadis Nabi. Kata “nakaḥa” banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti
kawin, seperti dalam surat An-Nisa’:
ن م م ك اب ل ا ط كحوا م ان ى ف ام ت ي وا في ال سط لا تـق م أ ت ف ن خ وإاع لاث ورب نى وث ثـ اء م ◌ النس
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”.(QS. An-Nisa’: 3).23
Demikian pula banyak terdapat kata “zawaja” dalam Al-Qur’an dalam arti
kawin,24 seperti pada surat Al-Ahzab:
ين ن ؤم م ى ال ل كون ع ي لا ي ك ا ل ه اك ن را زوج ا وط ه نـ د م ضى زي ا ق م ل فـرا هن وط نـ وا م ض ا ق ذ م إ ه ائ ي ع د زواج أ رج في أ ◌ ح
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
22Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 1983),hlm. 109.23Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2013), hlm. 77.24Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, hlm. 35-36.
bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripadaisterinya”.(QS. Al-Ahzab: 37).
Secara bahasa nikah adalah bermakna الضم والجمع , الضم berarti
mengumpulakan, menghimpun, sedangkan والجع berarti waṭa’. Adapun secara
istilah nikah sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang
dengan perempuan dengan berhubungan intim, mnyentuh, mencium, memeluk
dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi masa,
sesusuan dan keluarga.25
Syafiq, di dalam bukunya, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu
Keperempuanan Dalam Islam. Ia mengemukakan definisi nikah dalam Islam,
yaitu suatu syariat yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk mengatur
hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu perkumpulan kekeluargaan yang
penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut perkumpulan yang penuh cinta
dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah warahmah. Dengan
nikah, baik laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan apa saja yang
sebelumnya dilarang oleh agama, misalnya hubungan seksual.26
Menurut mazhab Hanafi makna nikah yang sebenarnya (hakiki) ialah waṭa’
(bersetubuh), sedangkan makna kiasan (majazi) ialah akad, berdasarkan makna
hakiki, apabila seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan seorang wanita
secara tidak sah (berzina) maka perbuatan yang demikian disebut nikah juga.27
25Agustin Hanafi, Edi Darmawijaya, & Husni A. Djalil, Buku Daras Hukum Keluarga, (BandaAceh: UIN Ar-Raniry, 2014), hlm. 12.26Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam,(Bandung: Mizan, 2001), hal. 149.27Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuṭ, juz 2 (Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah, 1993), hlm.192.
Apabila nikah diartikan waṭa’ menurut mazhab Hanafi maka akibat
hukumnya ialah haram bagi anak laki-laki mengawini wanita yang pernah
disetubuhi oleh bapak anak itu secara tidak sah, atau sebaliknya. Kemudian
apabila ada kasus, seorang anak perempuan yang lahir dari hasil hubungan gelap
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan maka tidak boleh dikawini
oleh laki-laki itu, karena anak perempuan itu dianggap anak laki-laki itu.28
Dalam fiqh klasik ulama Hanafiyah mendefinisikan nikah adalah akad
(perjanjian) yang berakibat pada pemilikan “seks” (buḍ’u) secara sengaja. Yang
dimaksud dengan pemilikan seks disini adalah pemilikan laki-laki atas alat
kelamin serta seluruh badan perempuan untuk dinikmati. Sudah barang tentu
kepemilikan di sini bukan kepemilikan yang bersifat hakiki, karena kepemilikan
hakiki hanya ada pada Allah SWT. Sebagian ulama Hanafiyah yang lain
berpendapat bahwa kepemilikan dalam hal ini adalah kepemilikan hak untuk
memperoleh kesenangan seksual.29
2.1.2. Dasar Hukum Pernikahan
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
ن م م ك اب ل ا ط كحوا م ان ى ف ام ت ي وا في ال سط لا تـق م أ ت ف ن خ وإاع لاث ورب نى وث ثـ اء م ن ◌ النس إ م ف ت ف لا خ واأ ل د ع ة تـ د واح و فـ اأ م
كت ل كم م ن ا يم لك ◌ أ دنى ذ لا أ و أ ول .اتـع28Agustin Hanafi, Edi Darmawijaya, Husni A. Djalil, Buku Daras…, hlm. 12.29Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN-Maliki Press,2011), hlm. 89.
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetap jika kamu khawatir tidakakan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahayaperempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamutidak berbuat zalim”.(Q.S. An-Nisa’: 3).30
juga dalam firman-Nya dalam surat Al-A’raf ayat 189:
ن ك س ي ا ل ه ا زوج ه نـ ل م ع ة وج د س واح ن نـف م م ك ق ل و الذي خ ها ه يـ ل ◌ إ
Artinya: “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanyaDia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”.(Q.S. Al-A’raf:189).
b. As-sunnah
ه ي ل ع االله ى ل ص االله ل و س ر ان ل ال : ق ال ق ه ن ع االله ى ض ر د و ع س م ن ب ااالله د ب ع ن ع ر ص ب ل ل ض غ أ ه ن إ ف ج و ز ت ـي ل ف ـة اء لب ا م ك ن م اع ط ت اس ن م اب ب الش ر ش ع م اي م ل س و .اء ج و ه ل ه ن إ ف م و الص ب ه ي ل ع ف ـع ط ت س ي لم ن م و ج ر ف ل ل ن ص ح أ و
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah SAWbersabda, “wahai generasi muda, siapa di antara kamu telah mampu untukmenikah hendaknya ia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangandan memelihara kemaluan. Dan jika dia belum mampu hendaknya ia berpuasa,sebab puasa itu dapat menjadi kendali (obat).” (HR. Muttafaq Alaih).31
c. Qaul SahabatPerkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Imam Abu
Hanifah, karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran
Rasul kepada generasi sesudahnya. Dengan demikan, pengetahuan dan pernyataan
30Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2013), hlm. 77.31Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih, Ahmad Mudjab Mahalli & Ahmad RodliHasbullah, Hadis-hadis Muttafaq ‘Alaih, Bagian Munakahat dan Mu’amalat (Jakarta: Kencana,2004), hlm. 33.
keagamaan mereka lebih dekat pada kebenaran, sebab mereka belajar dan kontak
langsung kepada Rasulullah.
Imam Abu Hanifah menggunakan qaul atau fatwa sahabat sebagai sumber hukum,
berdasarkan dalil surat At-Taubah ayat 100:
ون م ل ون الأو ق اب م والس وه ع بـ ين اتـ ار والذ ص رين والأن اج ه م ن الا ه نات تجري تحتـ م ج د له ع ه وأ ن م ورضوا ع ه نـ ان رضي الله ع حس إ ب
ا د ب ا أ يه ين ف د ال ار خ ه لك ◌ الأنـ وز ذ ف يم ال ظ ع .الArtinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti merekadengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah danAllah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yangbesar”.(QS. At-Taubah: 100).
Assābiqūn adalah sahabat yang diridhai Allah bersama pengikut mereka, maka
berpegang kepada fatwa mereka merupakan sarana mencapai keridhaan Allah
SWT.32
d. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah saw, atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus
tertentu. Ditinjau dari cara terjadinya dan martabatnya Ijma’ ada dua macam:33
1. Ijma’ Sharih, yaitu ijma’ dengan tegas, persetujuan dinyatakan baik
dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
32Sulaiman Abdulah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 65-66.33A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2013), hlm. 77.
2. Ijma’ Sukuti, yaitu ijma’ yang dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh
sebagian mujtahid, sedang sebagian lainnya diam, tidak jelas apakah
mereka menyetujui atau menentang.
Ijma’ bentuk pertama (Ijma’ Sharih) merupakan hujjah menurut jumhur ulama.
Sedangakan ijma’ yang kedua (Ijma’ Sukuti) hanya ulama-ulama Hanafiyah yang
menganggapnya sebagai hujjah, karena menurut pendapat tersebut diamnya
seorang mujtahid dianggap menyetujui apabila masalahnya telah dikemukakan
kepadanya dan telah diberi waktu untuk membahas serta diamnya bukan karena
takut.
Adapun dasar bahwa ijma’ menjadi hujjah atau menjadi dasar penetapan hukum
adalah bersumber dari Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT:
كم ن ر م ولي الأم وا الرسول وأ يع ط وا الله وأ يع ط وا أ ن ين آم ا الذ يـه ا أ يArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”.(Q.S. An-Nisa’: 59).
e. Qiyas
Qiyas ialah mempersamakan hukum yang belum dinashkan dengan hukum yang
telah ada nashnya, karena ada persamaan illat hukum. Imam Abu Hanifah
menggunakan qiyas apabila dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak menyatakan
secara eksplisit tentang ketentuan hukum bagi persoalan-persoalan yang
dihadapinya. Beliau mengaplikasikan qiyas dengan cara menghubungkan
persoalan-persoalan (furu’) tersebut kepada sesuatu yang telah ditetapkan
hukumnya oleh nash (ashal), dengan melihat kesamaan illat, maka hukum furu’
sama dengan hukum ashal.34
f. Istihsan
Menurut Abdul Wahhab Khallaf sebagaimana yang dikutip oleh Sapiudin Sadiq,
mendefinisikan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali (jelas)
kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum juz’i
(pengecualian) dikarenakan adanya dalil yang membenarkannya.35
Dasar imam Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai sumber hukum ialah
surat Al-Zumar ayat 18:
ه ن س ح ون أ ع تب ي ول فـ ق ون ال ع م ت س ين ي ك ◌ الذ ئ ول ين أ م الذ اه د هئك ◌ الله ول م وأ وه ول اب أ ب الأل
Artinya: “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk danmereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.(QS. Az-Zumar: 18).
Menurut Imam Abu Hanifah ayat diatas berisi pujian kepada orang-orang yang
mengikuti perkataan (pendapat yang baik). Mengikuti istihsan berarti mengikuti
sesuatu yang baik, oleh karena itu istihsan dapat dijadikan landasan hukum. Imam
Abu Hanifah mengemukakan bahwa menggunakan istihsan dalam formulasi
hukum adalah mengamalkan dalil syar’i, dan tidak menetapkan hukum atas dasar
kecenderungan dan subyektifitas pribadi.
g. Urf
34Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999),hlm. 143.35Sapiudin Sadiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), hlm. 82.
Imam Abu Hanifah menggunakan urf sebagai landasan hukum berdasarkan
firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 199:
ين ل ن الجاه رض ع ع رف وأ ع ال ر ب م و وأ ف ع ذ ال خArtinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
Kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya,
oleh para ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.36
2.2. Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun menurut para ulama Hanafiah adalah adalah hal yang menentukan
keberadaan sesuatu, dan menjadi bagian di dalam esensinya. Sedangkan syarat
menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu, dan bukan
merupakan bagian di dalam esensinya. Rukun menurut jumhur ulama adalah hal
yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu. Sesuatu tersebut tidak akan
terwujud melainkan dengannya. Atau dengan kata lain merupakan hal yang harus
ada. Dalam perkataan mereka yang masyhur: rukun adalah hal yang hukum syar’i
tidak mungkin ada melainkan dengannya. Atau hal yang menentukan esensi
sesuatu, baik merupakan bagian darinya maupun bukan. Sedangkan syarat
36Satria Effendi & M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 155-156.
menurut mereka adalah hal yang menentukan keberadaan sesuatu dan bukan
merupakan bagian darinya.37
Para jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:38
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3. Adanya dua orang saksi.
4. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Sedangkan rukun pernikahan menurut para ulama Hanafiyah hanya ijab dan qabul
saja. Menurut mereka ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah
satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan
qabul adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad.39
Mengenai mempelai perempuan, fuqaha mazhab Hanafi memandang sah seorang
perempuan untuk melakukan akad sendiri dengan syarat telah baligh dan berakal
sehat serta kawin dengan laki-laki yang sekufu (seimbang), apabila suaminya
tidak kufu maka dapat dimintakan pembatalan oleh walinya kepada hakim.
Namun menurut pendapat kebanyakan fuqaha, mempelai perempuan tidak boleh
melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya.40
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana
yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak
37Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 45.38Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm. 46-47.39Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 46.40A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2005),hlm. 59.
bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena
berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu.
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara
pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, yang
menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang di
lakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya
seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.
Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada:41
1. Syuruṭ al-in’iqād (syarat pelaksanaan), yaitu syarat yang menentukan
terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan
tergantung pada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus
dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. Bila syarat-syarat
itu tertinggal, maka akad perkawinan disepakati batalnya. Umpamanya,
pihak-pihak yang melangsungkan akad adalah orang yang memiliki
kemampuan untuk bertindak hukum.
2. Syuruṭ al-ṣihhah (syarat sah), yaitu sesuatu yang keberadaannya
menentukan dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk
dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka perkawinan itu tidak sah; seperti adanya mahar dalam
setiap perkawinan.
3. Syuruṭ al-nafāḍ (syarat terlaksana), yaitu syarat yang menentukan
kelangsungan suatu perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan
41Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, hlm. 60.
sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak
terpenuhi menyebabkan fasad-nya perkawinan, seperti wali yang
melangsungkan akad perkawinan adalah seseorang yang berwenang untuk
itu.
4. Syuruṭ al-luzūm (syarat kelanggengan), yaitu syarat yang menentukan
kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan
berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya
syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu
dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan
dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.
Sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, dalam permasalahan shigat nikah,
kedua belah pihak yang melangsungkan akad dalam pernikahan dan juga para
saksi, ulama Hanafiyah memiliki syarat-syarat yang harus di penuhi dalam
persoalan tersebut:
Syarat-syarat shigat (ijab dan qabul), yaitu:42
1. Harus dengan lafal-lafal khusus: dapat dilakukan secara sharih (jelas) atau
kinayah (sindiran).
2. Hendaknya ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
3. Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab.
4. Hendaknya ṣighat tersebut dapat didengar oleh kedua belah pihak yang
berakad.
42Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 89-90.
5. Hendaknya lafal yang digunakan tidak bersifat temporal, seperti sebulan,
yaitu nikah mut’ah.
Adapun syarat-syarat bagi kedua pihak yang berakad, yaitu suami dan istri,
sebagaimana berikut:43
1. Berakal: ini merupakan syarat untuk terlaksananya pernikahan. Pernikahan
tidak dapat terlaksana dari orang gila dan anak kecil yang belum
mumayyiz.
2. Baligh dan merdeka; keduanya merupakan syarat nafadz.
3. Hendaknya suami disambungkan kepada istri atau kepada bagian yang
mewakili keutuhan, seperti kepala. Pernikahan tidaklah terlaksana dengan
mengatakan, “nikahkanlah aku separuh darinya, atau tangannya, atau
kakinya.
Adapun kesaksian adalah syarat sahnya nikah. Kesaksian tersebut dapat dilakukan
oleh dua orang lelaki atau satu orang lelaki dan dua perempuan, sekalipun
keduanya sedang berihram haji. Syarat saksi ada lima, yaitu:44
1. Berakal, tidaklah sah kesaksian orang gila.
2. Balig, anak kecil tidak dapat menjadi saksi.
3. Merdeka, tidak sah saksi seorang budak.
4. Islam, dalam pernikahan sesama muslim: tidaklah sah pernikahan kaum
muslimin dengan saksi orang kafir dzimmi, kecuali jika perempuannya
adalah orang kafir dzimmi, sedangkan lelakinya seorang muslim, maka
sah pernikahannya dengan saksi dua orang kafir dzimmi.
43Ibid.44Ibid.
5. Para saksi harus mendengar perkataan kedua pihak yang melakukan akad.
Oleh sebab itu, tidaklah sah kesaksian orang yang sedang tidur. Kesaksian
orang bisu tetap sah jika dia dapat mendengar dan memahami perkataan
kedua belah pihak yang berakad.
Dalam pernikahan, ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sifat adil. Pernikahan
sah disaksikan oleh orang adil ataupun tidak, atau orang yang terkena hukuman
karena had qadzaf (menuduh orang berzina).45
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mazhab Hanafi,
yang menjadi rukun dalam pernikahan ialah ijab dan qabul saja. Sedangkan yang
lainnya seperti kehadiran saksi, wali dan mahar dikelompokkan ke dalam syarat
pernikahan.
2.3. Macam-macam Wali dalam Pernikahan
Sebagaimana diketahui bahwa mazhab Hanafiyah menyandarkan pada
rasionalitas dalam membuat keputusan hukumnya. Hal ini terlihat ketika mereka
berpandangan bahwa status wali hanyalah syarat dalam perkawinan, bukan
sebagai rukun perkawinan.
Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijab dan qabul. Status wali
menjadi syarat sahnya perkawinan khusus anak kecil, baik perempuan maupun
laki-laki, orang gila. Adapun orang dewasa yang sudah baligh, baik janda maupun
gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah bagi kedua mempelai tersebut
dengan akad nikah (ijab/qabul) dengan syarat keduanya kafāah. Jika tidak
45Ibid.
(kafāah), wali memiliki hak untuk membatalkan atau menfasakh akad tersebut.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa status wali dalam mazhab Hanafiyah,
bukan merupakan rukun sebagai syarat sahnya perkawinan, melainkan sebagai
jalan alternatif atau pelengkap sahnya perkawinan dengan syarat tertentu.46
Kalangan mazhab Hanafiyah membedakan perwalian ke dalam tiga
kelompok, yaitu:47
1. Perwalian terhadap jiwa (al-walāyah ‘alan-nafs), yaitu perwalian yang
bertalian dengan pengawasan (al-isyrāf) terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak
(keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan
ayah, atau kakek, dan para wali Lainnya.
2. perwalian terhadap harta (al-walāyah ‘alal-māl), ialah perwalian yang
berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal
pengembangan, pemeliharaan (pengawasan) dan pembelanjaan.
3. perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus (al-walāyah ‘alan-nafsi wal-
māli ma’an), ialah perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan
harta kekayaan, dan hanya berada di tangan ayah dan kakek.
Dalam membuat urutan wali nikah, mazhab Hanafiyah mengemukakan
teori bahwa perwalian didasari oleh aspek kekerabatan dan ke-ashabah-an serta
yang paling dekat kepada perempuan yang akan dinikahkan. Hal ini didasari oleh
46Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan: Dari Tekstualitas Sampai Legalitas, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), hlm. 33.47Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2005), hlm. 135-136.
النكاح الي العصبات . Ashabah adalah satu istilah kewarisan yang berarti ahli waris
yang dapat menghabiskan sisa harta peninggalan dan yang menunjukkan waris
yang paling dekat kepada yang meninggal (mayyit). Dalam konteks wali nikah,
pihak ashabah ini dipandang sebagai orang yang paling dekat unsur
kekerabatannya kepada perempuan yang akan dinikahkan. Adapun urutan wali
nikah menurut mazhab Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut:48
1. Anak laki-laki (al-ibn)
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek (ayah dari ayah atau al-jadd atau ab al-ab) dan seterusnya ke atas.
5. Saudara kandung laki-laki
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki saudara kandung laki-laki dan seterusnya ke bawah
8. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah dan seterusnya ke bawah
9. Paman kandung (‘amm li abawain)
10. Saudara laki-laki ayah seayah (‘amm li ab)
11. Anak laki-laki saudara kandung laki-laki ayah (ibn ‘amm li abawain) dan
seterusnya ke bawah
12. Anak laki-laki saudara laki-laki ayah seayah (Ibn al-‘amm li ab)
13. Paman kandung ayah (‘amm al-ab li abawain) dan anak laki-lakinya
14. Paman ayah seayah (‘amm al-ab li ab) dan anak-anak laki-lakinya
48Al-Syaikh Nizam al-Hammam, al-Fatawa al-Hindiyyah, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hal.283.
15. Paman kandung kakek (‘amm al-jadd li abawain) dan anak-anak laki-
lakinya
16. Paman kakek seayah (‘amm al-jadd li ab) dan anak-anak laki-lakinya
17. Orang laki-laki merupakan ‘ashabah jauh dari perempuan yang hendak
menikah, yaitu anak paman jauh (ibn ‘amm ba’id).
18. Orang yang memerdekakan hamba
19. Sultan atau qadi.
Penguasa (sultan) atau wakilnya (qadhi) adalah termasuk wali nikah karena ia
merupakan wakil dari segenap kaum muslimin berdasarkan hadis:
ا امرأة نكحت بغير صلى االله عليه وسلم عن عائشة قالت : قال رسول االله : أيما فالمهر لها بما أصاب فإن ، ثلاث مرات،ليـها فنكاحها باطل مواإذن دخل
ها فإن .جروا فالسلطان ولي من لا ولي له شات منـArtinya: “Diriwayatkan oleh Aisyah r.a, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,“setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal,Rasulullah SAW mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, makawanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadiperselisihan, maka sultan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidakmempunyai wali (HR. Abu Daud).”49
Kemudian jika wali dari unsur ashabah tidak ada maka kewalian berpindah ke
unsur zawil arham dan juga diurut berdasarkan yang paling terdekat. Unsur zawil
arham itu adalah:50
1. Ibu
2. Ibu si ayah (nenek)
49Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih SunanAbu Daud (terj. Abd. Mufid Ihsan dan M. Soban Rohman) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm.810.50Soraya Devy, Konsep Wali Nikah Menurut Imam Mazhab, (Banda Aceh, Ar-Raniry Press, 2014),hlm. 14.
3. Ibu si ibu (nenek)
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
5. Cucu perempuan dari anak perempuan
6. Ayah dari ibu (kakek)
7. Ayah dari ibu si ayah
8. Unsur saudara dari jaringan perempuan
9. Unsur paman dari jaringan perempuan
10. Unsur pakcik dari jaringan perempuan
11. Hakim
Selain itu, menurut mazhab Hanafi ada juga beberapa hal yang di tetapkan sebagai
syarat pada wali, yaitu:51
1. Akal
2. Baligh
3. Merdeka
4. Dan kesamaan agama
Sedangkan laki-laki dan adil tidaklah menjadi syarat wali menurut mereka.
Menurut mazhab Hanafi, laki-laki bukanlah syarat dalam penetapan perwalian.
Seorang perempuan yang baligh dan berakal memiliki kekuasaan untuk
mengawinkan orang yang diwakilkan oleh orang lain kepadanya, dengan cara
perwalian atau perwakilan.52 Begitu juga halnya keadilan bukanlah syarat dalam
penetapan perwalian, oleh sebab itu, misalnya bagi wali yang adil maupun yang
fasik dapat mengawinkan anak perempuannya atau keponakan perempuannya dari
51Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 188.52Ibid., hlm. 186.
saudara laki-lakinya karena kefasikannya tidak menghalangi adanya rasa kasihan
yang dia miliki yang membuatnya menjaga maslahat kerabatnya juga karena hak
perwalian bersifat umum.53
Sementara itu, Hanafi juga mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan
berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad
nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat,
orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang
dari dengan mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih seorang laki-laki yang tidak
sekufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada
qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan
laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh diminta
membatakan akadnya bila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.54
Jadi, dalam fiqih mazhab Hanafi, semua wali yang termasuk dalam hubungan
ashabah dapat menjadi wali dalam pernikahan. Dan terhadap orang yang sudah
dewasa, baik janda maupun gadis tidak berada dalam kekuasaan wali, cukuplah
bagi mereka dengan ijab dan qabul saja. Namun dengan ketentuan keduanya
haruslah sekufu.
2.4. Wali Nikah Terhadap Pernikahan Anak Di Bawah Umur Dalam
Islam
53Ibid., hlm. 187.54Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008), hlm. 345.
Dalam literatur fiqih Islam, perwalian disebut al-walāyah (mengurus/menguasai
sesuatu). Secara etimologi perwalian memiliki beberapa arti yaitu cinta (al-
mahabbah), pertolongan (an-naṣrah) dan kekuasaan/otoritas (as-sulṭan wa al-
qudrah). Adapun menurut terminologi para fuqaha, perwalian adalah kekuasaan
atau otoritas yang dimiliki seseorang untuk melakukan tindakan sendiri secara
langsung tanpa harus bergantung atas seizin orang lain.55 Menurut Wahbah Az-
Zuhayli perwalian ialah kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa
bergantung kepada izin seseorang,56
Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali secara
umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap dan atas nama
orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya
yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan
bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.57
Sampai sekarang ini perkawinan di bawah umur masih menjadi fenomena yang
hidup dalam masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan atau masyarakat
tradisionalis, meskipun keberadaannya sering kali tidak banyak di ketahui orang,
tidak terbuka. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan perkawinan di bawah
umur ini masih berlangsung, antara lain adalah faktor ekonomi dan sosial budaya.
Pada faktor yang terakhir ini, orang sering kali mengaitkannya dengan pengaruh
norma-norma agama atau pemahaman yang dianut masyarakat.
55Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, hlm. 134.56Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.., hlm. 178.57Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, hlm. 69.
Kitab-kitab fiqh klasik atau yang biasa di kenal dengan istilah “kitab kuning”
menyebut perkawinan di bawah umur dengan istilah nikāḥ aṣ-ṣaghīr/aṣ-ṣaghīrah,
dan kebalikannya adalah al-kabīr/al-kabīrah. Sementara kitab-kitab fiqh
kontemporer menyebutnya dengan istilah az-zawāj al-mubakkir (perkawinan
dini).
Ṣaghīr/ṣaghīrah, secara literal berarti kecil. Akan tetapi, yang dimaksud dengan
ṣaghīr/ṣaghīrah di sini adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh.58 Pada
anak laki-laki, ketentuan baligh tersebut ditandai dengan ihtilam, yakni keluarnya
sperma (air mani), baik dalam mimpi maupun dalam keadaan sadar. Sedangkan
pada anak perempuan, ketentuan baligh ditandai dengan menstruasi atau haid
yang dalam fiqh asy-Syafi’i minimal dapat terjadi pada usia 9 tahun. Ketentuan
baligh bagi anak perempuan juga bisa dikenakan sebab mengandung (hamil). Jika
tidak terdapat indikasi-indikasi tersebut maka baligh/balighah ditentukan
berdasarkan usia. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki
adalah 18 tahun, sedangkan untuk anak perempuan adalah 17 tahun. Sementara
Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan asy-Syafi’i menyebut usia 15 tahun
sebagai tanda baligh, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.59
Perkawinan di bawah umur berdasarkan keterangan di atas adalah perkawinan
antara laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila batasan baligh itu
ditentukan dengan hitungan tahun maka perkawinan di bawah umur adalah
58Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 90.59Ibid.
perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh, dan di bawah
17/18 tahun menurut pendapat Abu Hanifah.60
Perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa dalam mazhab Syafi’i, Maliki, dan
Hanbali dikenal istilah hak ijbar bagi wali mujbir. Wali mujbir ialah orang tua
perempuan yang dalam mazhab Syafi’i adalah ayah, atau kalau tidak ada ayah
yaitu kakek. Hak ijbar ialah hak ayah/kakek untuk mengawinkan anak
perempuannya, baik yang sudah dewasa maupun masih berusia muda (belia),
tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak
perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja dia bukan berstatus janda.
Berbeda dengan pendapat ini adalah pandangan dari mazhab Hanafi. Menurut
mazhab ini, hak ijbar hanya diberlakukan kepada perempuan di bawah umur dan
tidak terhadap perempuan yang sudah dewasa (balighah ‘aqilah). Tegasnya,
berdasarkan ketentuan ini, para wali memiliki hak untuk mengawinkan anak-
anaknya yang masih di bawah umur, meski tanpa persetujuan yang
bersangkutan.61
Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta-merta dapat
dilaksanakan dengan sekehendaknya sendiri. Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya
kemaslahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan,
mazhab Syafi’i menetapkan tujuh syarat bagi bapak untuk mengawinkan anak
60Ibid.61Ibid., hlm. 93.
perempuannya yang masih kecil ataupun yang sudah besar dengan tanpa
seizinnya, yaitu:62
1. Jangan sampai ada permusuhan yang jelas kelihatan antara dia dengan
anak perempuannya.
2. Dia dikawinkan dengan orang yang setara dengannya.
3. Dia dikawinkan dengan mahar mitsil.
4. Maharnya merupakan uang Negara tersebut.
5. Suami jangan sampai orang yang sulit untuk memberikan mahar.
6. Jangan sampai dia dikawinkan dengan orang yang sulit untuk hidup
dengannya, misalnya orang buta, dan orang yang telah tua renta.
7. Jangan sampai anak perempuan ini orang yang diwajibkan untuk
melaksanakan haji. Karena suaminya bisa saja melarangnya untuk
melaksanakan ibadah haji, karena haji adalah ibadah yang dilakukan
dalam jangka waktu yang panjang.
Ibn Syubrumah, Abu Bakar al-Asham, dan Usman al-Batti memiliki pandangan
yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Mereka berpandangan
bahwa laki-laki ataupun perempuan di bawah umur tidak sah dikawinkan. Mereka
hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dan melalui persetujuan
yang berkepentingan secara eksplisit.63 Dasar atau alasan yang mereka gunakan
adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’:
62Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 174.63Husein Muhammad, Fiqh Perempuan…, hlm. 94.
م م ت س ن آن إ اح ف وا النك غ ا بـل ذ إ ى حتى ام ت ي وا ال ل تـ ا وابـ د م رش ه نـم واله م م أ ه ي ل وا إ ع فـ اد ◌ ف
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memeliharaharta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisa’: 6)
Menurut mereka, jika anak-anak di bawah umur tersebut boleh dikawinkan
sebelum baligh maka apa jadinya arti ayat ini. Selain itu, mereka sebenarnya
belum membutuhkan untuk kawin. Ibn Syubrumah, lebih lanjut, mengatakan:
ن ذ أ ت و غ ل ب ـت ـتى ح لا إ ة ر ي ـغ الص ه ت ن ب ـإ ب لأ ا اح ك ن إ ز و يج لا Artinya: “ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil,
kecuali apabila telah baligh dan mengizinkannya”64
Selanjutnya, mengenai kasus perkawinan Siti Aisyah dengan Nabi
Muhammad, Ibn Syubrumah berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian
atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak bisa diberlakukan bagi
umatnya.
Pendapat Ibn Syubrumah dan kedua ahli fiqh di atas dewasa ini diikuti
oleh undang-undang negara Syria. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan
ketentuan ini adalah prinsip istishlah (kemaslahatan), realitas sosial, dan dengan
memerhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan.65
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam mazhab Syafi’i, Maliki
dan Hanbali dikenal dengan istilah hak ijbar bagi wali mujbir. Dalam mazhab
64Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, jilid 6, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th.), hlm. 409.65Husein Muhammad, Fiqh Perempuan…, hlm. 95.
Syafi’i yang menjadi wali mujbir adalah ayah dan kakek, yang mana mereka
memiliki hak untuk mengawinkan anak perempuannya baik dewasa ataupun
berusia muda/di bawah umur. Namun dalam mazhab Hanafi hak ijbar ini hanya
diberlakukan terhadap anak perempuan di bawah umur saja. Selain itu, Ibnu
Syubrumah mengemukakan pendapat yang berbeda dalam hal ini, beliau
berpandangan anak yang masih di bawah umur tidak sah dikawinkan. Dan
terhadap persoalan nabi Muhammad dengan Siti Aisyah itu merupakan
kekhususan bagi Nabi saja, tidak kepada umatnya.
Untuk lebih jelas, berikut adalah tabel pendapat-pendapat mazhab dalam
masalah ini:
No. Mazhab Pendapat
1. Maliki Hanya bapak, orang yang diberi wasiat mengenainya,
dan hakim yang berhak menjadi wali terhadap anak di
bawah umur.
2. Hambali Hanya bapak, orang yang diberi wasiat mengenainya,
dan hakim yang berhak menjadi wali terhadap anak di
bawah umur.
3. Syafi’i Hanya ayah (bapak) dan kakek yang berhak menikahkan
anak di bawah umur.
4. Hanafi Bapak dan kakek, serta semua wali yang masuk dalam
hubungan ashabah berhak menjadi wali bagi anak yang
di bawah umur.
BAB TIGA
METODE ISTINBATH HUKUM ABU HANIFAH DALAMPERNIKAHAN ANAK PEREMPUAN YATIM DI BAWAH
UMUR OLEH SELAIN WALI MUJBIR
3.1. Profil Imam Abu Hanifah
Secara politik, Abu Hanifah adalah salah seorang yang hidup dalam dua generasi.
Ia dilahirkan di Kuffah pada tahun 80 H. hal itu berarti bahwa ia lahir pada zaman
dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan ‘Abdul Malik ibn Marwan dan
meninggal pada tahun 150 H, zaman kekuasaan Abbasiyah. Ia hidup selama 52
tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyah. Selama
hidupnya, Abu Hanifah melakukan ibadah haji sebanyak 55 kali.66
Nama lengkapnya adalah Nu’man ibn Tsabit ibn Zauti bin Mah. Ia meninggal
dunia pada tahun yang sama dengan kelahiran Imam Asy-Syafi’i dan dikuburkan
di pemakaman umum Khairazan. Beberapa karya tulisnya dikumpulkan oleh
murid-murinya, antara lain Al-Makhrij, Al-Fiqh, Al-Musyad, dan Al-Fiqh Al-
Akbar.67
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang sangat tinggi ilmu ra’yi (logika/rasio),
juga seorang yang tidak haus akan kekuasaan. Ia merupakan pemberi fatwa
(mufti) yang sangat disegani di Kufah dan Baghdad. Keturunan muslim non Arab
atau yang dikenal pula sebagai Mawali, memiliki kemampuan yang sangat tinggi
66Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan: Dari Tekstualitas Sampai Legalitas, (Bandung:Pustaka Setia, 2011), hlm. 11.67Ibid.
dalam ilmu pengetahuan tentang Islam. Bahkan kaum ini mencetak banyak ahli-
ahli pada bidangnya masing-masing.68
Masa kecil Abu Hanifah berada dalam situasi yang sulit. Pemerintah saat itu,
Abdul Malik ibn Marwah lebih mengutamakan untuk memperkuat kekuasaan di
Irak dan Arab, di bawah kepemimpinan seorang Gubernur Hajjaj ibn Yusuf
hingga mencapai Spanyol dan Sind. Orientasi kekuasaan bani Umayyah mulai
berubah setelah tampuk kekuasaan dikendalikan oleh Sulaiman ibn Aziz Malik,
dengan penasihatnya Umar ibn Abdul Aziz. Akhirnya, Sulaiman ibn Abdul Malik
menjadi Khalifah yang menjalankan pemerintahan secara adil.
Abu Hanifah lebih memilih hidup sebagai pedagang daripada birokrat karena ia
menyukai kebebasan berpikir, bahkan sering memberikan kesempatan kepada
sahabat-sahabatnya untuk memberikan kritikan terhadap jalan pikirannya. Abu
Hanifah pernah menolak jabatan qadhi pada masa khalifah Marwan II, bahkan ia
kembali menolak jabatan tersebut pada masa Abbasiyah.
Abu Hanifah memiliki beberapa orang guru di Kufah, Basrah, dan Mekah. Di
Kufah adalah Salamah ibn Kuhaib, Muharib ibn Dhithar, Abu Ishaq Sab’i, Aun
ibn Abdullah, Samak ibn Hard, Amr ibn Urah. Mansur ibn Al-Ma’mar, A’mas,
Ibrahim ibn Muhammad, Adi ibn Tsabit Al-Ansari, Atha ibn Saib, Musa ibn Abi
Aishah dan Alqamah ibn Murthid; di Basra, Abu Hanifah bertemu dengan Hasan
Bashri, Shu’bah, Qatadah, Abdul Karim ibn Umayyah dan Asim ibn Sulaeman
68M. Imam Pamungkas dan Maman Surahman, Fiqih 4 Mazhab, (Ciracas: Al-Makmur, 2015),hlm. 19.
Al-Ahwal; di Mekah, Abu Hanifah berguru kepada Atha’ ibn Abi Rabbah; di
Madinah, dia berguru pada Sulaeman dan Salim ibn Abdullah.69
Salah satu murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Muhammad ibn Hasan Asy-
Syaibani, dia tidak belajar kepada Abu Hanifah dalam waktu yang lama, akan
tetapi dia menyempurnakannya dengan belajar kepada Abu Yusuf.70 Dan ulama-
ulama Hanafiyah seperti A’la Udin Abu Bakar ibn Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi
(w. 587 H) yang menyusun kitab Bada’i Al-Ṣana’i fi Tartib Al-Syar’i, dan As-
Sarakhsi (w. 490 H) yang menyusun kitab Al-Mabsuṭ, memuat masalah-masalah
fiqh disertai berbagai macam kaidah.71
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr al-
Sarakhsi, adalah seorang ahli hukum Persia atau sarjana Islam di sekolah Hanafi.
Dia secara tradisional dikenal sebagai Syams al-A’imma. Al-Sarakhsi berasal
dari Transoxiana. Ia meninggal sekitar 490 H, meskipun ada beberapa perdebatan
tentang tahun yang tepat kematiannya. Tidak banyak yang diketahui tentang
kehidupan awalnya, meskipun beberapa petunjuk ditemukan dalam
karyanya. Dikatakan bahwa al-Sarakhsi dipenjarakan karena pendapatnya tentang
masalah hukum mengenai seorang penguasa, dia mengkritik raja dengan
mempertanyakan keabsahan pernikahannya dengan seorang wanita budak. Ia
menghabiskan sekitar lima belas tahun penjara. Sementara dia dipenjara dia
menulis al-Mabsuth dan beberapa karya terpenting lainnya. Dia dikenal karena
ingatannya yang luar biasa, (dia bisa mengingat banyak teks saat dipenjara) dan
69Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, hlm. 12.70Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar, juz 9, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm.39.71Ibid.
juga kecerdasannya. Pendapat al-Sarakhsi mengenai hukum telah banyak dikutip
dan dia anggap sebagai penulis yang khas. Karya utamanya adalah Uṣul al-
Fiqh, Kitab al-Mabsuṭ, dan Syarḥ al-Siyār al-Kabīr.72
Mazhab Imam Hanafi ini sangat berkembang pesat di berbagai negara, antara lain
di India, Afganistan, Syam, Mesir, Azerbaijan, Baghdad hingga negara Cina.
Bahkan dibeberapa negara, hukum atau dalil dari mazhab Abu Hanifah ini
merupakan keputusan akhir yang harus dijalankan. Perkembangan yang paling
pesat adalah ketika masa pemerintahan qadhi utama Abu Yusuf di Daulah
Abbasiyah. Pada masa ini mazhab Hanafi dijadikan pedoman sebagai mazhab
bagi negara ini. Hal ini bahkan dapat bertahan hingga 170 tahun lebih. Sehingga
bagi setiap qadhi diwajibkan untuk menguasai berbagai pendapat pada mazhab ini
secara keseluruhan.
Perkembangan mazhab ini di Afrika tidak lepas dari peranan qadhi Asad bin Al-
Furat bin Sinan. Mazhab ini sendiri berkembang hingga tahun 400 H. Di Mesir
sendiri mazhab ini berkembang pada masa ke Khalifahan Al-Mahdy yang
dipimpin langsung oleh Ismail bin Al-Yasa’ Al-Kufy. Namun, ketika Daulah
Abbasiyah mulai turun dan digantikan dengan Daulah Fathimiyyah, maka secara
tidak langsung mazhab Abu Hanafiah mulai hilang. Kepemimpinan beralih ke
Shalahuddin Al-Ayyubi yang lebih menggunakan mazhab Imam Syafi’i dan
mazhab Imam Malik. Namun, hal ini berbalik kembali ketika kepemimpinan
72Wikipedia, Sarakhsi, diakses melalui situs: https://en.wikipedia.org/wiki/Sarakhsi pada tanggal05 Maret 2018.
kembali berganti. Pada masa Daulah Utsmaniyyah, mazhab Hanafi ini kembali
dijadikan pedoman negara.73
3.2. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah dalam Fiqih
Secara umum dalam usul fiqih tradisional, dalil-dalil diurutkan antara yang telah
disepakati seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas dengan yang belum
disepakati yaitu maslahan mursalah, istihsan, urf dan masih ada beberapa lainnya.
Namun di sebagian buku usul fiqih pembahasan mengenai metode istinbath tidak
dibahas secara terpisah dengan pembahasan tentang Al-Qur’an dan Sunnah,
sehingga tidak jelas mana pembahasan yang merupakan metode istinbath. Karena
tidak ada pembedaan yang jelas antara dalil dengan metode, maka pembedaan atas
ketentuan hukum yang didapat melalui istinbath dengan hukum yang didapat
tanpa perlu kepada istinbath menjadi tidak jelas juga.74
Mazhab Hanafi menetapkan hukum-hukum fiqih dilandaskan dengan pola pikir
yang dimiliki oleh imam Abu Hanifah. Sehingga dalam hal metode istinbath
hukum pun mereka tidak berbeda dengan imam Abu Hanifah. Abu Hanifah
sendiri tidak menjelaskan dasar-dasar pijakannya secara terperinci. Tetapi metode
istinbath dapat dijabarkan dari pernyataan beliau sebagai berikut:
سنة رسول االله إنى أخذ بكتاب االله إذا وجدته, فما لم أجده فيه أخذت ب والآثار الصحاح عنه التي فشت فى أيدى الثـقات. فإذا لم أجد فى كتاب االله وسنة رسول االله صلى االله عليه وسلم أخذت بقول أصحابه أخذت بقول ما
73M. Imam Pamungkas dan Maman Surahman, Fiqih 4 Mazhab, hlm. 22-23.74Al-Yasa’ Abu Bakar, Metode Istishlahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqih(Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry dan Bandar Publishing, 2012), hlm. 14.
خرج عن قـولهم إلى قـول غيرهم, فإذا إنـتـهى الأمر إلى إبـراهيم شئت ثم لاأ والشعبي وإبن المسيب (عدد رجالا) فاجتهد كما إجتـهدوا.
Artinya: “sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an apabilaaku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk kepadasunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnahRasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), akumengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akanpindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabiladidapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yanglainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”75
Di dalam fiqih Abu Hanifah, landasan pokok yang digunakan dalam beristinbath
terbagi atas beberapa tingkatan dalil (hujjah). Tingkatan pertama adalah Al-
Qur’an dan selanjutnya Sunnah, apabila di dalam keduanya tidak ditemukan maka
akan beralih kepada pendapat sahabat, apabila sahabat ikhtilaf maka Abu Hanifah
mengambil pendapat sahabat yang beliau kehendaki.
Abu Hanifah juga terkenal dengan sebutan sebagai ahlu ra’yi dalam penentuan
hukum dalam suatu masalah, jadi walaupun mereka menggunakan Al-Qur’an dan
Sunnah, mereka juga menggunakan nalar pikir atau rasio mereka dalam metode
istinbath-nya. Abu Hanifah juga membuka pintu qiyas seluas-luasnya dan
memandang Istihsan sebagai salah satu dalil yang mu’tabar sesudah kitabullah,
sunah rasul, ijma’, dan qiyas.
Jika terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat, Abu Hanifah memilih
pendapat yang dianggapnya paling dekat pada kaidah-kaidah umum dari hukum
syar’i. Satu hal yang perlu dicatat bahwa Abu Hanifah tidak menolehkan
75Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (terj. M. Misbah) (Jakarta: Robbani Press,2008), hlm. 201.
perhatiannya pada perbedaan pendapat yang ada di kalangan Tabi’in, kecuali
pendapat yang sesuai dengan pendapatnya sendiri.76
Ada beberapa perbedaan metode istinbath mazhab Hanafi dengan mazhab-mazhab
lainnya. Abu Hanifah adalah satu-satunya imam mazhab yang berkebangsaan
bukan Arab. Selain itu, ia hidup di Kufah, yang jauh dari pusat peredaran hadis.
Kalaupun hadis tersebut beredar, hal itu tidak lebih karena alasan politik. Kondisi
ini menyebabkan Kufah menjadi salah satu tempat pemalsuan hadis.
Dari faktor sosial historis tersebut, yang mendominasi pertimbangan akal/rasio
dalam metode pemikiran mazhab Hanafi adalah:77
1. Hadis-hadis Nabi yang berada di Irak tidak sebanyak di Hijaz sehingga
para fuqaha Irak dituntut untuk mempergunakan akal dan berusaha
memahami pengertian nash dan illat sebagai penetapan suatu hukum dari
syariat.
2. Irak merupakan pusat pergolakan politik sehingga para fuqaha dituntut
untuk berhati-hati dalam menerima periwayatan hadis.
3. Secara kultural, Irak termasuk ke dalam rumpun kebudayaan Persia
sehingga hal ini pun menjadi salah satu pertimbangan para fuqaha untuk
menciptakan syariat yang memiliki basis cultural yang dipengaruhi
budaya Persia.
3.3. Pendapat Abu Hanifah Terhadap Pernikahan Anak Perempuan
Yatim di bawah Umur Oleh Selain Wali Mujbir
76Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, jilid 1, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2003), hlm. 80.77Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, hlm. 14.
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa jumhur
fuqaha termasuk di antara mereka adalah imam empat mazhab menyatakan boleh
menikahkan anak kecil perempuan atau dengan kata lain anak perempuan di
bawah umur. Namun jumhur fuqaha yang berpendapat boleh mengawinkan anak
kecil saling berselisih pendapat mengenai orang yang berhak mengawinkan
mereka.
Menurut mazhab Maliki dan Hambali, mereka berpendapat, bagi orang yang
selain bapak, atau yang diberikan wasiat mengenainya, atau hakim, tidak boleh
mengawinkan anak kecil, hal itu karena pada diri bapak terdapat rasa kasihan,
serta keinginan yang jujur untuk mewujudkan kebaikan untuk anaknya. Hakim
dan orang yang diberikan wasiat oleh bapak, karena perhatian mereka terhadap
harta dan maslahat yang berkaitan dengan mereka tidak perlu dipertanyakan.78
Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, tidak boleh dikawinkan anak perempuan
yang masih kecil, yang belum dewasa, oleh seseorang, selain oleh bapak. Kalau
dikawinkan juga, maka perkawinan dibatalkan. Nenek laki-laki adalah bapak,
apabila tidak ada bapak yang berdiri pada tempat bapak pada yang demikian itu.79
Mazhab Hanafi berpendapat, bapak dan kakek serta yang lainnya yang masuk
dalam hubungan ashabah, boleh mengawinkan anak kecil laki-laki dan anak kecil
perempuan.80 Hal ini tentunya sangatlah berbeda dengan pendapat para imam
mazhab yang lain yang hanya membatasi kepada beberapa wali saja. Karena
78Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 173.79Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Jilid 7 (terj. Ismail Yakub) (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1983),hlm. 170.80Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, hlm. 173.
dalam mazhab imam Hanafi, jika bapak dan kakek tidak ada maka semua yang
masuk dalam hubungan ashabah bisa menjadi wali bagi anak kecil perempuan.
Seperti yang telah penulis kemukakan di bab sebelumnya, dalam masalah wali,
mazhab Hanafiyah mengemukakan teori bahwa perwalian didasari oleh aspek
kekerabatan dan ke-ashabah-an serta yang paling dekat kepada perempuan yang
akan dinikahkan. Hal ini didasari oleh النكاح الي العصبات . Dalam konteks wali
nikah, pihak ashabah ini dipandang sebagai orang yang paling dekat unsur
kekerabatannya kepada perempuan yang akan dinikahkan.81 Oleh karena itu jika
ayah/bapak dan kakek tidak ada, maka saudara kandung laki-laki, saudara laki-
laki seayah, ataupun paman kandung dan lainnya bisa menjadi wali bagi anak
perempuan yang di bawah umur menurut mazhab Hanafiyah.
Dalam persoalan terhadap pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur ini,
Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl as-Sarakhsi dalam kitabnya yang masyhur
yaitu ”Al-Mabsuṭ” yang merupakan salah satu rujukan mazhab Hanafi dalam ilmu
fiqih menyebutkan:
ر أو الصغيـرة (قال) وبـلغنا عن إبـراهيم أنه كان يـقول إذا أنكح الوالد الصغيـفذلك جائز عليهما وكذلك سآئر الأولياء وبه أخذ علماؤنا رحمهم االله تـعالى
رة وعلى قـول فـقالوا يجوز لغير الأب والجد من الأ ولياء تـزويج الصغير والصغيـمالك رحمه االله تـعالى ليس لأحد سوى الأب تـزويج الصغير والصغيـرة وعلى
رة.قـول الشافعي رحمه االله تـعالى ليس لغير الأب والجد تـز ر والصغيـ ويج الصغيـArtinya: ibrahim berkata kepada kami: “jika seorang ayah menikahkan anaknyayang masih kecil (laki-laki atau perempuan) maka hukumnya boleh. Begitu puladengan wali-wali lainnya.” Pendapat ini juga diambil oleh mayoritas ulama-
81Soraya Devy, Konsep Wali Nikah Menurut Imam Mazhab, hlm. 11.
ulama kami, semoga Allah merahmati mereka. Dengan berkata: “boleh selainayah dan kakek, serta wali-wali lainnya untuk menikahkan anak kecil (laki-lakidan perempuan).” Menurut imam Malik: “tidak ada wali yang boleh menikahkananak kecil (laki-laki dan perempuan) selain Ayah.” Menurut imam Syafi’i: “tidakada wali yang boleh menikahkan anak kecil (laki-laki dan perempuan) selainayah dan kakek.”82
Dari penggalan kalimat di atas yang diambil dari kitab Al-Mabsuṭ, mazhab
Hanafiyah mengatakan boleh wali-wali lain selain ayah untuk menikahkan anak
kecil (laki-laki atau perempuan), dan pendapat tersebut juga digunakan oleh
ulama-ulama lain dalam mazhab Hanafi, walaupun imam Malik dan imam Syafi’i
melarangnya. Pada halaman selanjutnya mereka menyebutkan hujjah mereka
terhadap pembolehan dalam permasalah ini.
هن من غيرهم فذلك دليل على جواز فأمر الأولياء بتـزوج اليتامى أو بتـزويجاالله صلى االله عليه وسلم بنت عمه حمزة رضى االله تـزويج اليتيمة. وزوج رسول
رة، والآثار في جواز ذلك عنه من عمربن أبى سلمة رضى االله عنه وهى صغيـن عمر وأبى هريـرة رضوان االله مشهورة عن عمر وعلى وعبد االله ابن مسعود وإب
عليهم. والمعنى فيه أنه وليـها بـعد البـلوغ فـيكون وليا لها فى حال الصغر كالأب والجد.
Artinya: permasalahan wali terhadap pernikahan anak yatim (laki-laki danperempuan) oleh selain ayah, terdapat dalil yang membolehkannya. “RasulullahSAW telah menikahkan anak perempuan pamannya (Hamzah radhiyallahu ‘anhu)kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu dan dia masih kecil.” Danbanyak terdapat atsar yang masyhur dalam pembolehan masalah ini. Yaitudaripada Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar dan Abi Hurairahradhiyallahu ‘anhum. “Dan maksud daripada ini bahwasanya; yang menjadi walibaginya setelah baligh maka dia juga menjadi wali baginya ketika masih kecil,sama halnya seperti ayah dan kakek.”83
82Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuṭ, juz 2 (Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah, 1993), hlm.213.83Ibid., hlm. 214.
Berdasarkan penggalan teks di atas, disebutkan bahwa terhadap permasalahan
wali bagi anak yatim baik itu laki-laki maupun perempuan terdapat dalil yang
membolehkannya dan dalil tersebut menjadi hujjah bagi mereka dalam
mengistinbatkan hukum. Di samping itu penulis ingin menekankan kepada
pembaca bahwa penelitian ini berfokus kepada siapa yang berhak untuk
menikahkan anak yang masih di bawah umur, oleh karena itu ada poin penting
yang perlu digaris bawahi yaitu dalam penggalan kalimat:
والمعنى فيه أنه وليـها بـعد البـلوغ فـيكون وليا لها فى حال الصغر كالأب والجد.Artinya: “Dan maksud daripada ini bahwasanya; yang menjadi wali baginyasetelah baligh maka dia juga menjadi wali baginya ketika masih kecil, sepertiayah dan kakek.”
Seperti yang diketahui bahwa Abu Hanifah sangat dikenal sebagai ulama yang
sangat tinggi dalam ilmu ra’yi (logika/rasio), maka tidak heran jika beliau juga
menggunakan keahliannya itu dalam menemukan hukum. Oleh karena itu,
menurut mereka orang yang akan menjadi wali baginya ketika anak itu sudah
baligh, maka pastinya dia juga menjadi wali bagi anak tersebut ketika dia masih
kecil. Hal ini bisa saja ayah, kakek, paman, saudara laki-laki kandung, saudara
laki-laki seayah dan juga lainnya. Namun tetap mengikuti pada tertib wali yang
terdapat dalam mazhab Hanafi, yang hal tersebut sudah penulis bahas pada bab
sebelumnya.
Selanjutnya Abu Hanifah juga menetapkan khiyār bagi anak tersebut ketika sudah
baligh, dan anak itu berhak memilih untuk melanjutkan pernikahan tersebut atau
justru membatalkannya.
ر والصغيـرة فـلهما الخيار إذا أدركا فى قـول فإذا ثـبت جواز تـزويج الأولياء الصغيـفة ومحمد رحمهما االله تـعالى وهو قـول إبن عمر وأبى هريـرة رضى االله أبى حنيـ
هما. عنـArtinya: “jika sudah ditetapkannya sebuah hukum tentang bolehnya wali-walimenikahkan anak kecil (laki-laki dan perempuan) maka bagi keduanya jugaterdapat hukum khiyar. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah danMuhammad berdasarkan pendapat dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah.”84
Dengan adanya khiyār bagi si anak, maka hal ini dapat menjadi kebebasan
bagi dia untuk menentukan pilihannya sendiri tanpa harus mendapat paksaan dari
walinya. Juga dapat menghindari terhadap niatan buruk daripada wali terhadap
dirinya maupun hartanya dalam perkawinan tersebut.
3.4. Metode Istinbath Abu Hanifah dalam Pernikahan Anak Perempuan
Yatim di Bawah Umur Oleh Selain Wali Mujbir
Berdasarkan alasan pembolehannya menurut mazhab Hanafi seperti yang telah
diterangkan pada bab sebelumnya, penulis berkesimpulan bahwa metode istinbath
yang digunakan mazhab Hanafi tentang hukum pernikahan anak perempuan yatim
di bawah umur oleh selain wali mujbir ini adalah dengan menggunakan pola
penalaran bayāni. Penalaran bayāni atau disebut juga lughawiyah adalah
penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan, antara
lain keumuman dan kekhususan cakupan makna kata, makna-makna perintah dan
84Ibid., hlm., 215.
larangan, terang dan tidak terangnya makna kata, muṭlaq atau muqayyad, dan
sebagainya.85
Mereka menggunakan pola penalaran bayāni dengan berpedoman pada apa yang
terdapat dalam nash, hal ini terlihat jelas sebagaimana pendapat mereka:
هن من غيرهم فذلك دليل على جواز فأمر الأولياء بتـزوج اليتامى أو بتـزويجتـزويج اليتيمة. وزوج رسول االله صلى االله عليه وسلم بنت عمه حمزة رضى االله
رة، والآثار في جواز ذلك عنه من عمربن أبى سلمة رضى االله عنه وهى صغيـمشهورة عن عمر وعلى وعبد االله ابن مسعود وإبن عمر وأبى هريـرة رضوان االله
البـلوغ فـيكون وليا لها فى حال الصغر كالأب عليهم. والمعنى فيه أنه وليـها بـعد والجد.
Artinya: “permasalahan wali terhadap pernikahan anak yatim (laki-laki danperempuan) oleh selain ayah, terdapat dalil yang membolehkannya. “RasulullahSAW telah menikahkan anak perempuan pamannya (Hamzah radhiyallahu ‘anhu)kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu dan dia masih kecil.” Danbanyak terdapat atsar yang masyhur dalam pembolehan masalah ini. Yaitudaripada Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar dan Abi Hurairahradhiyallahu ‘anhum. “Dan maksud daripada ini bahwasanya; yang menjadi walibaginya setelah baligh maka dia juga menjadi wali baginya ketika masih kecil,sama halnya seperti ayah dan kakek.”86
Yang mejadi hujjah mereka dalam hal ini yaitu berdasarkan perbuatan Nabi SAW,
Sebagaimana dalam potongan kalimat di atas yang telah penulis sebutkan. Pada
potongan kalimat tersebut Rasulullah SAW pernah menikahkan anak perempuan
pamannya (Hamzah) daripada Umar bin Abi Salamah, yang pada saat itu dia
masih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan ini mazhab Hanafi
85Nasaiy Aziz, Kemutlakan Lelaki Dalam Perwalian Nikah, (Tesis yang tidak dipublikasi),Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, 1992, hlm. 7.86Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuṭ, juz 2, hlm. 213.
menggunakan kandungan yang terdapat dalam nash tersebut. Bukan
menggunakan illat atau maslahat.
Dan juga dalam mazhab Hanafi pendapat sahabat juga merupakan salah satu dalil
yang dipakai dalam mengistinbatkan hukum. Dalam hal ini, mazhab Hanafi
mengatakan bahwa banyak terdapat aśar yang masyhur dalam pembolehan
masalah tersebut seperti Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar dan Abi
Hurairah raḍiyallahu ‘anhum. Oleh karena itu, Nampak jelas bahwa terhadap
metode istinbath yang mereka gunakan dalam pernikahan anak perempuan yatim
di bawah umur oleh selain wali mujbir ini adalah dengan menggunakan pola
penalaran bayāni.
Namun di samping itu, ciri khas daripada metode istinbath Abu Hanifah sendiri
yang dikenal sebagai Ahlul Ra’yi juga terlihat jelas pada penggalan kalimat
terakhir yang berbunyi: “Dan maksud daripada ini bahwasanya; yang menjadi
wali baginya setelah baligh maka dia juga menjadi wali baginya ketika masih
kecil, sama halnya seperti ayah dan kakek.” Maksudnya adalah seandainya anak
perempuan yatim itu dinikahkan ketika sudah mencapai usia baligh, dan pada saat
itu yang menjadi wali baginya adalah pamannya, maka di saat usia dia yang
sekarang yang menjadi wali baginya juga pamannya pula.
Walaupun Abu Hanifah sangat dikenal dengan sebutan Ahlul Ra’yi, namum hal
itu bukanlah berarti Abu Hanifah lebih mendahulukan ra’yunya daripada Al-
Qur’an dan Sunnah. Karena beliau tidak menetapkan hukum atas dasar
kecenderungan dan subyektifitas pribadi.
3.5. Analisis Penulis
Terhadap permasalahan hukum pernikahan anak perempuan yatim di
bawah umur yang dilaksanakan oleh selain wali mujbir yaitu ayah dan kakek ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab. Khususnya Abu
Hanifah memberikan pendapat yang sangat berbeda dari para imam mazhab yang
lain, beliau membolehkan bapak dan kakek serta semua wali yang masuk dalam
hubungan ashabah untuk mengawinkan anak yang perempuan yang masih di
bawah umur.
Dalam kitab Al-Mabsuṭ yang dikarang oleh Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl
as-Sarakhsi, mazhab Hanafi menyebutkan hujjah mereka terhadap permasalahan
ini:
هن من غيرهم فذلك دليل على جواز فأمر الأولياء بتـزوج اليتامى أو بتـزويجزوج رسول االله صلى االله عليه وسلم بنت عمه حمزة رضى االله تـزويج اليتيمة. و
رة، والآثار في جواز ذلك عنه من عمربن أبى سلمة رضى االله عنه وهى صغيـمسعود وإبن عمر وأبى هريـرة رضوان االله مشهورة عن عمر وعلى وعبد االله ابن
عليهم.Artinya: “permasalahan wali terhadap pernikahan anak yatim (laki-laki danperempuan) oleh selain ayah, terdapat dalil yang membolehkannya. “RasulullahSAW telah menikahkan anak perempuan pamannya (Hamzah radhiyallahu ‘anhu)kepada Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu dan dia masih kecil.” Danbanyak terdapat atsar yang masyhur dalam pembolehan masalah ini. Yaitudaripada Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Umar dan Abi Hurairahradhiyallahu ‘anhum.87
Dari penggalan kalimat di atas dikatakan bahwa terhadap persoalan wali
bagi pernikahan anak yatim baik itu laki-laki ataupun perempuan terdapat dalil
yang membolehkannya. Nabi Muhammad SAW pernah menikahkan anak
87Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuṭ, juz 2, hlm. 214.
perempuan pamannya (Hamzah) kepada Umar bin Abi Salamah dan anak
perempuan tersebut masih kecil. Selanjutnya mereka memperkuat pendapatnya
dengan mengatakan bahwa sudah banyak aśar yang masyhur dalam pembolehan
masalah ini. Dan selanjutnya mereka menetapkan khiyār pada anak tersebut untuk
menentukan pilihannya ketika sudah baligh, ia bisa melanjutkannya ataupun
membatalkannya.
Dari uraian di atas, penulis tidak sependapat dengan pendapat mazhab
Hanafi, karena anak perempuan yang masih kecil itu hendaknya tidak dinikahkan
oleh sembarangan wali, apalagi oleh wali yang mempunyai hubungan yang jauh
dengan si anak. Dalam hal permasalahan ini, penulis lebih sependapat dengan
Imam Syafi’i, yang mengatakan tidak boleh dikawinkan anak perempuan yang
masih kecil, yang belum dewasa, oleh seseorang selain oleh bapak. Kalau
dikawinkan juga, maka perkawinan dibatalkan. Nenek laki-laki adalah bapak,
apabila tidak ada bapak yang berdiri pada tempat bapak pada yang demikian itu,88
yang dimaksud nenek laki-laki di sini adalah kakek. Terhadap permasalahan ini,
Imam Syafi’i berhujjah dengan dalil:
ة م ي ت الي ح ك ن ت ـلا م ل س و ه ي ل ع ى االله ل ص ه ل و ق ب ل د ت س إ الى ع ت ـاالله ه حم ي ر ع اف الش و م ت ي لا م ل س و ه ي ل ع ى االله ل ص ال ا ق له ب أ لا تى ال ة ر ي ـغ الص ة م ي ت ي ال و ر م أ ت س ت تى ح ر م أ ت س ت ف ـغ ل ب ـت ـتى ح ة م ي ت ي ال اح ك ن ث ي د ا الح ذ ى ه ف ن ـد ق ف ـم ل الح د ع ب ـ
Artinya: “dan Imam Syafi’i rahimahullah mengambil dalil dengan sabdanya nabiSAW “tidak dinikahkan anak perempuan yatim sampai dimintai pertimbangan”dan yang dikatakan yatim itu adalah anak kecil yang tidak ada ayah baginya.Sabda nabi SAW “tidak disebut yatim orang yang telah hilm/baligh”. Pada hadits
88Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Jilid 7, hlm. 170.
tersebut di atas telah meniadakan hukum menikahkan anak yatim (kecil) sampaidia baligh dan dimintai pertimbangannya (musyawarah)”89
Terhadap permasalahan ini, Syaikh Hassan Ayyub dalam bukunya “Fikih
Keluarga” mengatakan bahwa seolah-olah Imam Syafi’i mensyaratkan usia
baligh baginya. Artinya, seorang anak yatim tidak boleh dinikahkan sehingga ia
baligh dan dimintai pendapat.90
Menurut penulis pendapat Imam Syafi’i ini lebih baik terutama bagi si anak itu
sendiri. Karena bapak dan kakek memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si
anak, dan bapak adalah orang yang sangat peduli terdahap dirinya dan masa
depannya, serta pada diri bapak itu terdapat rasa kasihan yang jauh lebih besar
daripada wali-wali yang lain. Dan juga pastinya ada beberapa hal yang hanya
dimiliki oleh si bapak dan tidak terdapat pada wali-wali lainnya.
Selain itu mazhab Syafi’i juga menetapkan beberapa syarat bagi bapak untuk
mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil, yang hal itu sudah penulis
sebutkan pada bab sebelumnya. Sehingga walaupun dia adalah bapak anak
perempuan itu, tetapi tetap saja tidak boleh mengawinkannya dengan semena-
mena. Dan apabila anak tersebut sudah tidak memiliki bapak (perempuan yatim)
maupun kakek, maka hendaknya para wali menunggu sampai anak tersebut
mencapai usia baligh dan barulah anak perempuan itu dinikahkan. Menurut
penulis hal itu lebih baik bagi si anak daripada dia dinikahkan pada saat masih
kecil oleh wali-wali lainnya.
89Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuṭ, juz 2, hlm. 214.90Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 76.
Jika melihat pada masa sekarang ini khususnya di Indonesia, jarang
dijumpai perkawinan yang dilakukan terhadap anak perempuan yang masih di
bawah umur, hal itu karena pada Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sudah
ditetapkannya umur perkawinan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah menacapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.91 Terlebih lagi dalam segi fisik, masyarakat Indonesia memiliki postur
tubuh yang kecil dibandingkan dengan negara lainnya, sehingga sangat
dikhawatirkan jika terjadi pernikahan tehadap perempuan yang masih di bawah
umur.
Namun dalam kasus tertentu, misalnya jika terjadi suatu perzinaan atau pelecehan
seksual terhadap anak yang masih di bawah umur, maka dalam hal ini pendapat
mazhab Hanafi ini bisa menjadi salah satu solusi bagi hakim dalam menetapkan
keputusan. Mengingat aib yang di emban oleh keluarga si korban serta pandangan
buruk dimasyarakat terhadap kehormatan keluarga. Selanjutnya, juga tidak
menutup kemungkinan bila terjadinya kasus terhadap permasalahan anak di
bawah umur ini, oleh karena itu pengkajian terhadap suatu hukum tetaplah suatu
hal yang penting untuk dilakukan.
91Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 290.
BAB EMPAT
PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan skripsi ini yang di dalamnya
penulis menarik beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan masalah ini.
Dalam bab ini penulis juga mengajukan beberapa saran yang bermanfaat bagi
peneliti sendiri dan juga pembaca, adapun kesimpulan dan saran yang
dikemukakan adalah:
4.1. Kesimpulan
1. Dasar penetapan hukum pernikahan anak perempuan yatim di bawah umur
oleh selain wali mujbir menurut Imam Abu Hanifah ini dengan berhujjah
menggunakan Hadits Nabi SAW, bahwasanya “Rasulullah telah
menikahkan anak perempuan pamanya (Hamzah) daripada Umar bin Abi
Salamah dan dia masih kecil.” Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa
banyak terdapat atsar yang masyhur dalam pembolehan masalah ini.
Menurut mazhab Hanafi orang yang akan menjadi wali terhadap anak
tersebut ketika ia sudah baligh, maka pastinya dia juga menjadi wali bagi
anak tersebut ketika ia masih kecil
2. Metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah terhadap pernikahan anak
perempuan yatim di bawah umur oleh selain wali mujbir adalah dengan
menggunakan pola penalaran bayāni atau disebut juga lughawiyah, yaitu
penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan.
Mereka menggunakan pola penalaran bayāni dengan berpedoman pada
apa yang terdapat dalam nash yang dalam hal ini yaitu berdasarkan Hadits
Nabi SAW. Di samping itu, juga terdapat beberapa tingkatan dalil (hujjah)
yang digunakan Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, yaitu: Al-Qu’an,
As-Sunnah, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, istihsan, urf.
4.2. Saran
1. Hendaknya kepada masyarakat yang ingin menikahkan anaknya maupun
anak yang diwalikannya, tunggulah sampai ia mencapai usia baligh,
barulah dinikahkan. Hal itu lebih baik mengingat seorang anak yang masih
di bawah umur itu belum memiliki kecakapan dalam segala bidang.
2. Pernikahan anak di bawah umur oleh wali mujbir (ayah dan kakek)
memang di bolehkan dalam Islam, tapi diharapkan kepada ayah maupun
kakek tidak semena-mena dalam menggunakan hak tersebut apalagi
sampai memaksa dan mengancamnya.
3. Diharapkan kepada masyarakat untuk menikahkan anaknya atau yang
diwalikannya kepada seseorang yang sekufu dengannya serta baik untuk
masa depannya.
4. diharapkan kepada wali untuk mengasuh serta menjaga anak yang berada
di bawah tanggung jawabnya dengan baik dan benar. Dan juga tidak
menyalahgunakan haknya sebagai wali serta menjaga harta benda anak
perempuan yatim tersebut dengan penuh tanggung jawab dan keridhaan.
5. Diharapkan kepada pemerintah agar terus menyediakan sarana pendidikan
dan kesehatan gratis untuk anak-anak yatim yang kurang mampu agar
tercapainya kesejahteraan yang merata.
6. Kepada para peneliti selanjutnya, baik mahasiswa ataupun dosen agar
dapat meneliti lebih lanjut tentang permasalahan ini. Tentunya melalui
sudut pandang yang lain, hal ini agar dapat memperkaya perpustakaan
syari’ah dalam bidang hukum keluarga Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (terj. M. Misbah), Jakarta:Robbani Press, 2008.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, jilid 6,Beirut:Dar al-Fikr, t.th.
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan HukumIslam,Jakarta: Prenadamedia Group, 2013.
Ahmad Mudjab Mahalli & Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-hadis Muttafaq‘Alaih,Bagian Munakahat dan Mu’amalat, Jakarta: Kencana, 2004.
Agustin Hanafi, Edi Darmawijaya, & Husni A. Djalil, Buku Daras HukumKeluarga, Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2014.
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Banda Aceh: YayasanPeNA, 2005.
Al-Syaikh Nizam al-Hammam, al-Fatawa al-Hindiyyah, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr,t.th.
Al-Yasa’ Abu Bakar, Metode Istishlahiah: Pemanfaatan Ilmu PengetahuanDalam Ushul Fiqih Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry dan Bandar Publishing, 2012.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara FiqhMunakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: PrenadamediaGroup,2006.
Azyumardi Azra (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Jakarta:PTIchtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Bangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 1997.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT.RajaGrafindoPersada, 1999.
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan: Dari Tekstualitas SampaiLegalitas, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Fitrianum, Tinjauan Hukum Islam terhadap Kawin Paksa karena Adanya HakIjbar Wali, Studi Kasus di Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah, (Skripsitidak dipublikasikan), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh,2016.
Husain Abdul Hamid Abu Nashir Nail, Ringkasan Kitab Al Umm, Buku 2 Jilid3-6, (terj. Imron Rosadi, Amiruddin, & Imam Awaluddin), Jakarta: PustakaAzzam, 2004.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar, juz 9, Beirut: Dar al-Fikr,1992.
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, jilid 1, Jakarta:PustakaFirdaus, 2003.
Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm, Jilid 7 (terj. Ismail Yakub), Kuala Lumpur: VictoryAgencie, 1983.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus WaDzurriyah, 1983.
M. Imam Pamungkas dan Maman Surahman, Fiqih 4 Mazhab, Ciracas: AlMakmur, 2015.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2005.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2008.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud (terj. Abd. MufidIhsan dan M. Soban Rohman), Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
_______________, Shahih Sunan Nasa’i, Jilid 2 (terj. Fathurrahman),Jakarta:Pustaka Azzam, 2006.
Nasaiy Aziz, Kemutlakan Lelaki Dalam Perwalian Nikah, (Tesis yang tidakdipublikasi). Program Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry, 1992.
Nasrun Haroen (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, Jakarta:PTIchtiar Baru Van Hoeve, 2006.Sapiudin Sadiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenadamedia Group, 2011.
Satria Effendi & M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid 2, Jakarta: Al-I’tishom, 2008.
Siti Aisyah, Perlimpahan Wewenang Wali Mujbir Kepada Wakil dalamPelaksanaan Akad Nikah, Studi Kasus di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten AcehBesar, (Skripsi tidak dipublikasikan), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2015.
Siti Ninik Purnawati, Istinbath Hukum Mazhab Hanafiyah tentang Nikah TanpaWali dalam Kitab Bada’i As-Shana’i, (Skripsi dipublikasikan), Fakultas Syariah,UIN Walisongo, Semarang, 2015.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1989.
Soraya Devy, Konsep Wali Nikah Menurut Imam Mazhab, Banda Aceh, ArRaniry Press, 2014.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Sulaiman Abdulah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu KeperempuananDalam Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Syaikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, juz 2 Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah,1993.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah LengkapJakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, Malang: UINMaliki Press, 2011.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Pernikahan, Thalak, Khulu,
Meng-illa Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, Jilid 9, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Wikipedia, Sarakhsi, diakses melalui situs: https://en.wikipedia.org/wiki/Sarakhsipada tanggal 05 Maret 2018.
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
DATA DIRI
Nama : Roja FikriaNIM : 111309739Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum/ Hukum KeluargaIPK Terakhir : 3.32Tempat Tanggal Lahir : Banda Aceh, 13 Oktober 1995
Besar
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD/MIN : MIN Bungcala (tahun lulus: 2007)SMP/MTs : MTsS Al-Manar (tahun lulus: 2010)SMA/MA : MAN Model Banda Aceh (tahun lulus: 2013)
dan Hukum (Tahun Lulus: 2018)
DATA ORANG TUA
Nama Ayah : M. JamalNama Ibu : NurmaliaPekerjaan Ayah : PNSPekerjaan Ibu : PNS
Besar
Banda Aceh, 29 Januari 2018
Roja Fikria
Alamat : Gampong Ateuk Angguk, Kec. Ingin Jaya, Kab. Aceh
PTN : UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Fakultas Syari’ah
Yang menerangkan,
Alamat : Gampong Ateuk Angguk, Kec. Ingin Jaya, Kab. Aceh