metode ijtihad

20

Click here to load reader

Upload: annisa-rofieah

Post on 06-Aug-2015

1.175 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat Dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu problem solving atas suatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-qur’an ataupun as-sunnah, kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama, bila dianalogikan mungkin ijtihad ini bisa disebut pula filsafat, dengan sebuah indicator yang bersifat prinsipil dari segi paradigma berfikir sehingga terbentuklah suatu konklusi dalam sebuah kasus.Iijtihad dimulai sejak zaman Rasullah SAW terbukti dari beberapa hadits – hadits dan beberapa pendapat para Ulama, memang dalam hal ini terdapat suatu ikhtilaf antar ulama, bahkan bukan hanya itu saja, dalam hal pintu ijtihad tertutup pun menjadi perdebatan hingga saat ini, karena bukti rill mengungkapkan sebagaian ulama menyepakati bahwa tidak ada kata tutup dalam hal berijtihad, ada pula yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup tetapi bila kita kritisi bukti konkrit yang menjelaskannya bisa dikatakan kurang valid. Kapan mulai ditutupnya ataupun dibukanya pintu ijtihad ini masih bias.akan tetapi konon katanya Ibnu taimiyah adalah orang yang pertama kali menggembar gemborkan bahwa pintu ijtihad telah dibuka. Apakah mungkin semua itu hanya suatu manajemen konfik semata?yang pasti dalam hal ini hanya bersifat dzanni. Peranan ijtihad bersifat urgen melihat perkembangan zaman yang begitu cepat dari hasil karya fikirr seorang manusia dalam dinamika kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan hal-hal yang baru akan muncul sebagai imbas dari modernisasi. Wallahu a’lam Bisshawwab

TRANSCRIPT

Page 1: Metode Ijtihad

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Konstruksi dasar pembinaan hukum Islam telah diletakkan oleh Rasulullah SAW

yang bentuk-bentuk cakupan hukum yang diformulasikannya dapat berupa; pertama,

penjelasan yang berkaitan dengan arti dan maksud al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh

Nabi dalam contoh dan perbuatan. Kedua, penjelasan yang berkaitan dengan perluasan dasar-

dasar yang dinyatakan oleh al-Qur’an yang kelihatannya menambah hukum yang dinyatakan

al-Qur’an itu sendiri, dan ketiga, penjelasan yang berkaitan dengan pembatasan/pengurangan

kandungan al-Qur’an.

Dari konstruksi Nabi tersebut, kemudian para teoritisi hukum Islam mulai menyusun

konstruksi metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis dalam usaha untuk

mendekatkan pemahaman kepada maksud dan tujuan syari’at serta berusaha untuk

mendekatkan hasil penalaran/pemahaman tersebut dengan realitas sosial yang  berkembang

ditengah-tengah masyarakat.

 Para mujtahid tidak membuat, tetapi hanya menemukan hukum. Hal itu adalah karena

keyakinan dalam Islam bahwa hukum dibuat oleh Tuhan sebagai asy-Syari’ (pembuat

hukum). Manusia hanyalah memahami (fiqh) hukum Ilahi tersebut. Proses pemahaman

terhadap hukum itu disebut istinbaht al-hukm melalui kegiatan intelektual yang disebut

ijtihad. Hasil-hasil hukum yang diistinbat melalui kegiatan ijtihad itu dinamakan fiqih.

            Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan konkretisasi

peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada peristiwa/kasus khusus. Penemuan

hukum berbeda dengan penelitian hokum yang lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat

klinis yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan  apa hukum suatu kasus konkret tertentu.

Penelitian hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari

hubungannya dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan normatif

terhadap hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum, menemukan asas/doktrin

hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum serta menemukan hukum untuk

menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian sesungguhnya penemuan hukum hanyalah

sebagian dari penelitian hukum

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 1

Page 2: Metode Ijtihad

Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-

persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al Quran dan

Hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam metode yang diterapkan diharapakan akan

dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul,

makalah ini akan mencoba menguraikan mengenai IJTIHAD .

1.2    RUMUSAN MASALAH

Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya

sebagai berikut:

1.      Pengertian Ijtihad

2.      Dasar-dasar Ijtihad

3.      Kedudukan hukum dari hasil Ijtihad

4.      Macam-macam Ijtihad

5.      Ijtihad dalam Tinjauan Sejarah

6.      Urgensi Ijtihad

7.      Syarat-syarat Mujtahid

8.      Tingkatan Mujtahid

9.      Wilayah Ijtihad

1.3    TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

2.    Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Ijtihad

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 2

Page 3: Metode Ijtihad

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI IJTIHAD

Ijtihad berasal dari kata Jahadah (Mencurahkan segala kemampuan atau memikul

beban) Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang Mujtadid untuk mencapai suatu

putusan syarak (hukum islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-

qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Adapula ulama yang merumuskan pengertian Ijtihad adalah Mencurahkan segala

tenaga (fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’).melalui salah satu dalili syara’

dengan cara tertentu. Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna Pengerahan kemampuan

seorang ahli fiqh akan upaya kemampuannya dalam upayamengistinbathkan hokum yang

berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya. Bila penelusuran itu tanpa

diiringi oleh dalil syara’ maka itu bukanlah suatu ijtihad. Ulama-ulama terdahulu bila

memecahkan suatu pokok permasalaah yang tidak mendapatkan rujukan dalam Al-Qur’an

ataupun Asunnah, maka mereka akan menggunkan ijtihad dengan metode yang berbeda, ada

yangmenggunkaan qiyas atau istihsan, maslahah mursalah. Akan tetapi para ulama

memandang ijtihad dan qiyas ada yang berpendapat bahwa ijtihad lebih luas dari pada qiyas,

setiap ada qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas.

Berbeda dengan pendapat Imanm syafi’I yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat

perbedaan yang signifikan

2.2. DASAR-DASAR IJTIHAD

Landasan dasar dilakukannya ijtihad adalah :

a. Al-Qur’an

Surat An-Nisa’ ayat 59 :

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 3

Page 4: Metode Ijtihad

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di

antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah

ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-qur’an dan sunah,

menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan

mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam

membahas kandungan ayat atau hadits yang baragkali tidak mudah untuk dijangkau begitu

saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-

qur’an dan Sunnah Rasulullah.

b. As-Shunnah

As-Shunnah merupakan proses pengambila hukum setelah Al-Qur’an, seperti halnya

dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi tantang proses pengambilan

hukum yang tidak terdapat

dalam nash al-qur’an maupun as-shunnah.

c. Dalil Aqly (Rasio)

Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya sebatas

kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang pernah terjadi kepada

Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi mengisyaratkan bahwa peranan rasio

dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-

shunnah.

2.3.  PERKEMBANGAN IJTIHAD

Permulaan diberlakukannya ijtihad ini menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan ulama,

apakah ijtihad itu dimulai pada masa Nabi masih hidup ataukan pada masa sahabat? bila kita

menganalisis beberapa pendapat para ulama :

1.      Menurut Jumhurul Ulama ; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen pada

firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Hasr : 2

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 4

Page 5: Metode Ijtihad

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-

kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa

mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat

mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka

(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan

dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka

sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi

pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Q.S. Al-Hasr ; 2).

dan cukup banyak pula dari hadits Nabi yang mengatakan Nabi pernah berijtihad dalam kasus

strategi perang, hukum mencium isteri pada saat berpuasa diqiyaskan kepada hukum

berkumur-kumur pada saat berpuasa(studi kasus Umar Bin Khattab).

2. Golongan aliran kalam Asyariah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah

melakukan Ijtihad dan semua pernyataanya itu sesuai dengan wahyu dengan argumen :

a. Firman Allah Q.S.An-najm ; 3-4

3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.

4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

b. Nabi selalu menemukan ketentuan suatu hukum dari wahyu Allah jika sudah turun,

dan jika belum turun, beliau tidak berani untuk memutuskan suatu masalah hingga

wahyu diturunkan.

c. Nabi tidak memberi jawaban ketika pertanyaan itu ayatnya belum turun.

d. Ijtihad adalh buah karya akal yang kemungkinan sekali untuk menemui kesalahan,

sedangkannabi sendiri memiliki sifat ma'shum.

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 5

Page 6: Metode Ijtihad

e. Ijtihad boleh berlaku jika nash-nya tidak ada dalam al-qur'an maupun as-shunnah,

selagi Nabimasih hidup maka semua problematika bisa ditanyakan kepadanya, dan

hukum ijtihad di sini dilarang selama nabi masih hidup.

f. Sebagian ulama berpendapat menengahi kedua pendapat diatas dengan pernyataan

bahwa

nabi hanya berijtihad dalam masalah duniawi saja, tidak kepada hukum syara'

2.4. HUKUM BERIJTIHAD

Orang yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mencapai tingkat faqih

(orang yang mencapai derajat terutama dibidang keilmuan).adapun sebagian ulama

mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya seorang mujtahid wajib melakukan

ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan

syara' tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.maka disini peranan ijtihad dihukumi

wajib, sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur'an :

Maka ambil i'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan (Q.S. Al-Hasr;2).

dalam ayat ini mengandung makna perintah untuk mengambil sebuh ibarat, berarti

konsekuensi logisnya Allah memerintahkan kita untuk berijtihad.

2.5. UNSUR POKOK DALAM IJTIHAD

I.  Syarat Menjadi Mujtahid

a. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian

o Syarat umum bagi Mujtahid adalah baligh dan berakal

o Syarat khusus bagi Mujtahid adalah keimanan kepada Allah SWT .

b. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan syarat secara kumulatif bagi Mujtahid :

1. Menguasai bahasa Arab dan ilmu bantu yang berhubungan denganya (Ilmu alat ;

nahwu, sharaf, bayan, ma'ani, badi'), mengingat Al-qur'an dan as-sunnah ini

menggunakan teks bahasa Arab, kriteria menguasai bahasa arab menurut para ulama

sbb:

- Menurut Ibnu Subki cukup pada tingkatan pertengahan saja.

- Menurut Imam Al-Ghazali ; mampu memahami ucapan orang arab dan kebiasaan

kebiasaan yang berlaku dan pemakaian bahasa arab dikalangan mereka(bias

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 6

Page 7: Metode Ijtihad

membedakan ucapan sharih, zhahir, mujmal) yang khusus (Muhkam,Mutasyabihat,

Muthlaq, Muqayyad).

2. Pengetahuan tentang Al-qur'an, mengetahui isi al-qur'an yang berkenana dengan

hukum, menurut imam Al-ghazali minimal seorang mujtahid harus hafal 500 ayat

tentang ayat-ayat hukum.namun pendapat Iama Al-Ghazali ini tidak disepakati oleh

Muhammad bin Ali As-Syaukani, bahwa hukum islam bisa saja berlipat ganda, orang

yang berpemahaman mendalam tentang al-qur'an bisa saja mengistinbathkan ayat-ayat

tentang kisah umat terdahulu sebagai suatu hukum.

3.Mengetahui Hadits-Hadits Nabi, dan untuk menentukan shahih tidaknya hadits pun

menurut Al-Ramahurmuzi, Al-Baghdadi, Ibnu Asir, dan Ibnu Taimiyah itu diperlukan

yang namanya Ijtihad.

4.Memiiki pengatahuan tentang Ijma' Ulama, agar ijtihadnya tidak menyalahi

kesepakatan ulama yang sudah ditetapkan, dan bukti kehujjahan ulama ini sesuai

dengan Firman Allah :   " Haiorang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya,

dan ulil amri di antara kamu..(Q.S.An-Nisa; 59)

Maksud dari ulil amri menjadikan multiinterpretasi di kalangan ulama, ada yang

menafsirkannya, Ulama, Penguasa, Ijma' suatau hukum ,maka wajib diikuti dan dilaksanakan

hukumnya berdasarkan Al-qur'an, akan tetapi tentang Ijma' disini Ulama Syi'ah tidak

melegitimasi kehujjahan Ijma' karena pembuat hukum adalah imam yang dianggap mereka

ma'shum.

5. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh,Menurut Al-Ghazali bahwa seorang Mujtahid harus

mengasai tiga ilmu diantaranya ushul fiqh, dan menurut Abu ishak Al-Asfarini

menuqil pendapat Al-Razi bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang penting dimiliki oleh

seorang Mujtahid.

6. Mengetahui seluk beluk Qiyas, karena qiyas merupakan hujjah syar'iyyah terhadap

hukum-hukum syara' mengenai tindakan manusia. akan tetapi ada saja yang

berpendapat bahwa Qiyas tidak bisa dipakai sebagai hujjah syar'iyyah menurut

Madzhab Nazhamiyyah dan sebagaian kaum Syi'ah, sehingga mereka disebut sebagai

Nafatu'i qiyas (yang menafikan Qiyas).

7. Mampu menangkap tujuan Syari'at, bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah

sebagai hakim pasti mengandung suatu tujuan, meskipun dalam beberapa tempat kita

tidak mengetahuinya.

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 7

Page 8: Metode Ijtihad

8. Mengetahui tentang nasikh Mansukh.Syarat ini ditentukan oleh Imam Syafi'i dalam

kitabnya Al-Risalah.

II. Pembagian Ijtihad

a. Ijtihad fardhli

Menurut pendapat At-Thayyib Khudari As-Sayyid Bahwa Ijtihad Fardhli adal ijtidhad

yang dilakukan oleh peseorangan atau beberapa orang Mujtahid. ijtihad ini dibagi menjadi 2

bagian :

1.      Ijtihad Muthlaq adalah ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah

milah dalam masalah hukum tertentu, dan Mujtahid disini disebut sebagai Mujtahid

Muthlaq, yaitu Mujtahid yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan seluruh hukum

dari dalil-dalilnya(secara Syar'i atau 'Aqli).

2.      Ijtihad Juz'i (Parsial), Ijtihad tentang aturan hukum tertentu saja, atau bisa disebut

Mujtahid Spesialis yang hanya mengistinbathkan sebagian tertentu dari hukum syara'.

Sedangkan Muhammad Abu zahrah dalam bukunya, Ushul Fiqh membagi Ijtihad dari

segi bentuk karya ijtihadnya kepada dua bagian :

a.   Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari

dalil-dalil yang telah ditentukan.

b.   Ijtihad Tathbiqi ;Ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi

menerapkan hukum hasil temuan Mujtahid terdahulu kepada kejadian yang mencul

kemudian.

Menurut Ibnu Subkhi Ijtihad Tathbiqi (menerapkan hukum hasil temuan Mujtahid

terdahulu ) terbagai menjadi :

1.  Takhrij al-ahkam yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu kejadian yang baru

dengan cara menghubungkannya kepada hukum yang pernah ditetapkan oleh imam mujtahid

terdahulu.

2.  Tarjih yaitu usaha untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan dikemudian hari bagi

para pengikut seorang imam Mujtahid dengan memilih dan memilah pendapat mana yang

terkuat dikalangan ulama mujtahid untuk didikuti.

III. Macam-macam Ijtihad

Ijtihad dilihat dari aspek dalil yang dijadikan pedoman.

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 8

Page 9: Metode Ijtihad

1.  Ijtihad Bayani yaitu Ijtihad yang digunakan untuk menemukan hukum yang terkandung

dalam Nash Al-qur'an, namun sifatnya dhanni.

2.  Ijtihad Qiyas, Qiyas menyamakan suatu kejiadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian

yang lain yang ada nash nya dengan meliah

3.  Ijtihad istilahi Ijtihad dilihat dari aspek pelaksananya :

a.  Ijtihad Fardhi (individu)

b.   Ijtihad jama'i (Kolektif) bukan berarti Ijma', karena dalam ijtihad kolektif ini bukan

hanya dilakukan oleh ulama yang telah memenuhi syarat untuk melakukan suatu

ijma'.

IV. Peringkat Mujtahid

1.    Beberapa tingkatan Mujtahid menurut Abu Zahrah dalam kitabnya Tarikh :

Mujtahid dalam hukum syara' Mujtahid pada urutan pertama ini mampu menggali,

menemukan dan mengeluarkan hukum langsung dari sumbernya (AL-qur'an dan As-

Sunnah) dengan menggunakan beberapa metode ijtihad (Mujtahid Muthlaq) seperti :

Istinbath,Qiyas,Maslahah Mursalah,dll. contohnya seperti ke-4 Imam Fiqh,Said Ibnu

Musayyab, Al-Auza dll.

2.    Mujtahid Muntasib adalah Ijtihadnya dihubungkan dengan ijtihad yang lain. dengan

konsekuensi logis ada keterkaitan hubungan antara murid dam guru, ia hanya mengambil

metode yang telah digunakan gurunya, meskipun nantinya akan terjadi kesamaan atau

perbedaan yang prinsipil dalam segi hasil ijtihad. contoh : Abu Yusuf, Muhammad Ibnu

hasan yang menghubungkan dirinya dengan Abu hanifah(madzhab hanafi), Al-Muzanni

yang berguru cukup lama pada Imam Syafi'i.dll

3.     Mujtahid Madzhab Mujtahid yang mengikuti madzhab tempat ia bernaung(taklid

terhadap suatu madzhab), ia tidak hanya mencari hal-hal yang belum diterangkan oleh

madzhabnya, Contoh Imam Abu Al-hasan. Peranan mereka terbatas melakukan istinbath

hukum tentang masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya, menurut Imam

Maliki Mujtahid Madzhab ini selalu mengisi setiap ruang waktu /perkembangan zaman.

Fungsinya sebagai :

a.       Mengambil kaedah-kaedah yang fiqhiyyah yang bersifat umum yang termasuk

dari illat qiyas yang telah diambil oelh ualam-ulama besar.

b.      Menggali hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah

tersebut.

4.   Mujtahid Fi At-Tarjrih

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 9

Page 10: Metode Ijtihad

Mujtahid yang hanya membandingkan pendapat beberapa madzhab. dengan menganalisis

kelemahan dan keunggulan dalil yang digunakan.

5.    Mujtahid Mawazin

Menurut Ibnu Abidin tingkatanini identik dengan membandingkan antara pendapat-

pendapat dengan riwayat-riwayat.mereka lebih mengkritisi pada wilayah qiyasnya.

6.    Mujtahid Muhafidz

7.    Mujtahid ini hanya bisa hujjah untuk membedakan pendapat mana yang terkuat dan

terlemah (analisis)

8.     Mujtahid Muqallid

Ulama yang mampu memahami kitab-kitab tetapi tidak mempu menganalisis pendapat dan

riwayat dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki.

2.6. BEBERAPA PERSOALAN IJTIHAD

1. Kekosongan Mujtahid

Al-Zarkasy berpendapat dalam kitabnya Al-Bahr ; bahwa ada suatu masa kekosongan

Mujtahid(Mujtahid Muthlaq sekaliber Imam Madzhab) karena setiap zaman tidak memilki

kualitas Mujtahid sekaliber beliau. Namun Golongan ulama Hanabilah berpendapat bahwa

tidak boleh ada masa kekosongan Mujtahid, karena ijtihad sendiri hukumnya fardhu kifayah

dan secara tidak langsung kita sudah tidak menegakan hukum termaksud. Namun sering

diperbincangkna masalah Ijtihad, apakah mungkin ijtihad muthlaq masih terbuka? dalam hal

ini banyak terjadi ikhtilaf dikalangan ulama, menurut Madzhab Syafi' dan sebagian Madzhab

Hanafy mengatakan bahwa Ijtihad mutklaq masih terbuka, argumen beliau bahwa ijtihad

untuk semua tingkatan Mujtahid masedangkan sebagian ulama yang lainyya menutup keras

pintu ijtihad muthlaq.

2. Metode Ijtihad Beberapa metode Ijtihad :

a. Istihsan

b. Maslahah Mursalah

c. Istishhsab

d. 'Adat/U'rf

e. Madzhab Shahabi (Fatwa sahabat secara perorangan)

f. Syar'u Man Qoblina (Syari'at sebelum kita) Metode Ijtihad yang ditempuh

oleh Imam madzhab; :

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 10

Page 11: Metode Ijtihad

a.       Imam Abu Hanifah, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah, Qiyas, dan Istihsan,

Menurut beliau " Seandainya tidak ada riwayat, niscaya saya berbicara dengan qiyas"

b.      Imam Malik, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Amal Ahli Madinah (Ijma' dalam

artian umum), Maslahat Mursalah, Qiyas dan Syaddu Al-Zari'ah.Syar'u Manqoblana.

c.       Imam Syafi'i, metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Ijma' dan Qiyas, Istihsab. menurut

beliau Ijtihad yang menggunakan metode Qiyas, kalau sudah benar maka bisa dijadikan

sebagai hujjah (dalil) yang sah.

d.      Imam Hanbali , metode Ijtihadnya ; Al-Qur'an, As-Sunnah,Fatwa sahabat (Ijma), hadits

mursal, Qiyas, Syaddu' adzdzara'i.

3. Fungsi dan Lapangan Ijtihad

Imam Syafi'i penyusun pertama Ushul Fiqh dalam kitabnya Al-Risalah ketika

menggambarkan betapa sempurnanya Al-qur'an, dan beliau yakin bahwa semua

permasalahan yang terjadi itu dapat di jawab oleh al-qur'an, dan dalam hal ini diperlukan

peranan ijtihad untuk memahaminya. dan dalam dunia hadits menurut beliau disini peranan

ijtihad di perlukan pula, mengingat tingkatan-tingkatan hadits yang berbeda. Yang jelas

bahwa lapangan ijtihad adalah problematika yang hukum tidak dijelaskan dalam Al-qur'an

ataupun adanya ketidak pastian(dilalah)

Masalah dalam lapangan ijtihad :

a. Masalah Aqliyyah atau Nazhariyyah (Aqidah)

b. Masalah Syar'iyyah.

4. Kebenaran hasil Ijtihad

Ketetapan hukum yang daimbil oleh mujtahid semata-mata adalah hukum Allah.

sesuai dengan Q.S.Al-An'am ; 57, bahwa hukum yang dapat dicapai oleh mujtahid adalah

hukum Allah dalam lisan mujtahid.karena mujtahid menginterpretasiakan ayat-ayat yang

dinggap memilki sifat multi interpretasi. Menurut Al-Anbari bahwa yang betul dalam hasil

ijtihad itu hanya satu, sedangkan yang lainnya salah. menurutnya bahwa yang melakuka

ijtihadnya salah itu terbebaskan dari dosa. sesuai dengan Firman Allah :

Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas uasahanya(Q.S.Al-Baqarah ; 286)

5. Kekuatan Hasil Ijtihad

Hasil yang dapat dicapai oleh seorang Mujtahid bersifat Zhanni, hanya merupakan

dugaan yang kuat yang dicapai dari hasl ijtihadnya. Menurut Salam Madzkur bahwa hasil

dari Mujtahid itu mengikat pada dirinya serta orang yang meminta fatwa kepadnya.

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 11

Page 12: Metode Ijtihad

Menurut Ibnu Subki Bagi orang awam/ belum mencapai tingkatan mujtahid, ia harus

mengikuti pendapat mujtahid sesuai dengan tempat ia meminta fatwa.

Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia ijtihad

mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab yang sudah terbentuk

melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar.

Sehingga memunculkan suatu perpecahan dan hambarnya rasa toleransi sesamanya. Sehingga

lambat laun perjalanan waktu pintu ijtihad di tutup. Dalam literature fiqh tidak menjelaskan

siapa ulama yang menutup pintu ijtihad itu sendiri, dan masa seperti ini berlangsung hingga

abad ke- 13 H, dan pada fase ini disebut sebagai Periode taklid dan tertutupnya pintu Ijtihad.

      Sebab – sebab pintu ijtihad ditutup :

a.             Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang melegitimasi

konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar

b.            Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih

mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi oleh literature Al-

qur’an dan As-shunnah( ketakutan para mujtahid keluar dari jalur Al-qur’an dan As-Shunnah

dalam mencari problem solver)

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Ijtihad merupakan salah satu cara berfikir secara mendalam dengan segenap

kemampuan yang dimiliki untuk menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat

Dzanni, dengan menggunakan beberapa metode yang telah ditetapkan sebagai suatu problem

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 12

Page 13: Metode Ijtihad

solving atas suatu kasus yang belum terdapat dalam nash al-qur’an ataupun as-sunnah,

kemudian dilegitimasi lewat ijma’ para ulama, bila dianalogikan mungkin ijtihad ini bisa

disebut pula filsafat, dengan sebuah indicator yang bersifat prinsipil dari segi paradigma

berfikir sehingga terbentuklah suatu konklusi dalam sebuah kasus.

Iijtihad dimulai sejak zaman Rasullah SAW terbukti dari beberapa hadits – hadits dan

beberapa pendapat para Ulama, memang dalam hal ini terdapat suatu ikhtilaf antar ulama,

bahkan bukan hanya itu saja, dalam hal pintu ijtihad tertutup pun menjadi perdebatan hingga

saat ini, karena bukti rill mengungkapkan sebagaian ulama menyepakati bahwa tidak ada kata

tutup dalam hal berijtihad, ada pula yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup tetapi bila

kita kritisi bukti konkrit yang menjelaskannya bisa dikatakan kurang valid. Kapan mulai

ditutupnya ataupun dibukanya pintu ijtihad ini masih bias.akan tetapi konon katanya Ibnu

taimiyah adalah orang yang pertama kali menggembar gemborkan bahwa pintu ijtihad telah

dibuka. Apakah mungkin semua itu hanya suatu manajemen konfik semata?yang pasti dalam

hal ini hanya bersifat dzanni. Peranan ijtihad bersifat urgen melihat perkembangan zaman

yang begitu cepat dari hasil karya fikirr seorang manusia dalam dinamika kehidupan,

sehingga tidak menutup kemungkinan hal-hal yang baru akan muncul sebagai imbas dari

modernisasi. Wallahu a’lam Bisshawwab

DAFTAR PUSTAKA

1.    Prof.DR.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999

2.    M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 13

Page 14: Metode Ijtihad

3 R.H.Nasrun Haroen, MA, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, jakarta, 1997

4.    DR.M.Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Paramadina,Jakarta, 1999

5.    Prof.M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994

6.    Thaha Jabir, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, dalam terjemah Abd.Fahmi, Gema Insani Press,

Jakarta, 1991.

Makalah Ushul Fiqh (Ijtihad) Page 14