merger cultural clash

37
MERGER & CULTURAL CLASH Elga Andina & Dian Yuniarti dipresentasikan pada seminar psikologi industri dan organisasi April 2005 Fakultas Psikologi universitas airlangga 2005

Upload: api-27351652

Post on 07-Jun-2015

3.097 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Merger Cultural Clash

MERGER & CULTURAL CLASH

Elga Andina & Dian Yuniarti

dipresentasikan pada seminar psikologi industri dan organisasi

April 2005

Fakultas Psikologi

universitas airlangga

2005

Page 2: Merger Cultural Clash

Outline

PENDAHULUAN…………………………………………………………………2

A. LATAR BELAKANG................................................................................ 3

Yang seharusnya………………………………………………………2

Yang sebenarnya………………………………………………………2

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................... 6

WHEN............................................................................................................. 7

WHO ............................................................................................................... 7

WHY ............................................................................................................... 8

WHERE .......................................................................................................... 8

HOW ............................................................................................................... 8

C. BAGAN KONSEPTUAL......................................................................... 10

KAJIAN TEORI.................................................................................................... 11

A. MERGER DAN AKUSISI....................................................................... 11

Tujuan Merger............................................................................................... 11

Pembagian Merger ........................................................................................ 12

B. BUDAYA ORGANISASI........................................................................ 14

Peran Budaya Organisasi .............................................................................. 14

Pembentukan Budaya Organisasi.................................................................. 15

C. TEORI HOFSTEDE................................................................................. 21

D. MINTZBERG’S FRAMEWORK ........................................................... 24

ANALISA ............................................................................................................. 28

A.Dimensi Hofstede...................................................................................... 28

B. Minzberg .................................................................................................. 32

PERBANDINGAN TEORI .............................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

2

Page 3: Merger Cultural Clash

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG “Pelajaran manajemen paling penting yang saya pelajari dalam 25 tahun

terakhir adalah bahwa kesuksesan tidak banyak digerakkan oleh teknologi atau satu ide,tetapi oleh manusia”

George Fisher, CEO Eastman KODAK

Karyawan di seluruh organisasi dunia tidak asing dengan perubahan.

Selama dua dekade terakhir, banyak yang telah bertahan atau mengalami

pergeseran struktur yang signifikan. Merger, akusisi, downsizing, privatisasi dan

outsourcing telah menciptakan lingkungan transisi berkelanjutan yang menuntut

karyawan untuk beradaptasi.

Penelitian mengindikasikan perubahan ini berakhir pada disrupsi dan

distress yang signifikan bukan hanya bagi anggota organisasi (mis, Brockner &

Greenberg, 1990; Cobb, Wooten, & Folger, 1995; Kilbourne, O’leary-kelly, &

Williams, 1996; Weber, 1996, dalam Logan, 2003) tapi juga bagi organisasinya

sendiri (KPMG 1999; Marchington, Cooke, & Hebson, 2003, dalam Logan,2003).

Dinamika kerja inilah yang mendorong riset mengenai perubahan kerja dan kerja

masa depan. Sekarang suatu pekerjaan tidak lagi dijamin oleh suatu perusahaan

saja. Karyawan harus lebih fleksibel dan mampu bekerja pada bermacam

pengusaha, seiring berjubelnya perubahan yang tidak dapat dihindari (Logan,

2003:1)

Bagi organisasi, perubahan harus disikapi dengan bijaksana. Perubahan

adalah kesempatan untuk berkreasi mengubah pola yang selama ini sudah

dibentuk. Perubahan dapat menjadi sarana peningkatan efektivitas jika ditangani

dengan hati-hati. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan baik, perubahan bisa

menjadi batu sandungan bagi organisasi kedepan.

3

Page 4: Merger Cultural Clash

Robbins & Barnwell menyatakan ada beberapa hal yang dapat

menyebabkan perubahan struktural dalam organisasi (Robbins & Barnwell,

2002:358), yaitu:

1. Merger dan akusisi

Penggandaan fungsi akan dihilangkan, dan posisi koordinasi baru akan

terbentuk. Dapat terjadi aktivitas politik yang intensif.

2. Perubahan tujuan

3. Pembelian peralatan baru.

4. Implementasi sistem pengolahan informasi yang lebih canggih.

5. Peraturan pemerintah.

6. Perubahan dalam hubungan industrial

7. Meningkatnya tekanan dari konsumen, kuasa hukum dan kelompok

masyarakat.

8. Tindakan pesaing

9. Menurunnya laba.

10. Reduksi lapisan manajemen.

Perubahan organisasi berhubungan erat dengan perubahan budaya

organisasi yang selama ini dianut. Seperti yang kita ketahui setiap organisasi

menerapkan budaya yang berbeda yang memperlihatkan keunikannya.

Dengan melakukan merger perusahaan-perusahaan seharusnya dapat

4Perubahan teknologi memaksa organisasi untuk maju dan mencari

keahlian baru

Page 5: Merger Cultural Clash

menggabungkan budaya organisasinya sehingga dapat memperkuat posisi mereka

dalam jajaran perindustrian. Karena dengan budaya organisasi yang dimiliki oleh

perusahaan masing-masing dapat digunakan dan digabungkan guna mewujudkan

budaya organisasi yang lebih kuat bagi kedua perusahaan. Perbedaan budaya

organisasi yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan dapat saling memperkuat

budaya organisasi satu sama lainnya, sehingga mereka dapat memperkaya budaya

organisasi yang dimiliki.

Namun kenyataannya justru sebaliknya, ditemukan banyak sekali

perusahaan-perusahaan yang bermasalah setelah melakukan merger dan akusisi.

Banyak sekali faktor-faktor yang bisa menimbulkan permasalahan tersebut. Salah

satunya adalah perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh masing-msing

perusahaan. Karena kedua perusahaan benar-benar berbeda budaya organisasinya,

sehingga kedua pihak bersikukuh untuk tetap menjunjung tinggi budaya

organisasinya masing-masing. Pihak perusahaan yang melakukan merger dan

akusisi tersebut menganggap bahwa budaya organisasi yang dimilikinya itu

merupakan budaya organisasi yang terbaik, sehingga mau tidak mau pihak

perusahaan yang satunya harus mau menerima budaya organisasi tersebut.

Sedangkan pihak perusahaan satunya ternyata juga memiliki pendirian yang sama,

dimana mereka juga menganggap bahwa budaya organisasinya adalah budaya

organisasi yang terbaik bagi keduanya. Oleh karena itu, pemaksaan budaya

organisasi yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan untuk bisa diterima oleh

pihak yang melakukan merger dan akusisi tersebut menimbulkan permasalahan

inti dalam melakukan tindakan merger dan akusisi.

Telah banyak berita tentang merger antara perusahaan, baik dilingkup

nasional maupun internasional. Berikut sejumlah perusahaan merger yang dapat

kami himpun:

1. Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Danamon

2. PT Unilever Indonesia Tbk. dengan PT Knorr Indonesia.

3. Daimler Benz-Chrysler-Mistsubishi ( AS )

4. Pengambil-alihan Nissan oleh Renault ( AS )

5. Mobil-Exxon ( AS )

5

Page 6: Merger Cultural Clash

6. BP-Amoco-Arco ( AS )

7. AOL dengan Time-Warner ( AS )

8. Dibelinya perusahaan SLJJ MCI oleh WorldCom ( AS )

9. Hewlett-Packard (HP) dengan Compaq

10. Bank of Tokyo (BOT) Ltd dan Mitsubishi Bank Ltd menjadi bank terbesar

di dunia dengan nama baru Tokyo Mitsubishi Bank. ( Jepang )

11. Chase Manhattan Corp mengakuisisi JP Morgan menjadi JP Morgan

Chase and Co. ( AS )

12. Bumiputera Bank bergabung dengan Commerce Bank menjadi

Bumiputera-Commerce. Mereka lalu melakukan ekspansi ke luar negeri

dengan membeli Bank Niaga di Indonesia. ( Malaysia )

13. DBS Bank merger dengan POS Bank menjadi DBS-POS. Mereka juga

melakukan ekspansi-lagi-lagi ke Indonesia-dengan membeli Bank

Danamon. Bank Internasional Indonesia (BII) juga dibelinya dengan

menggandeng Kookmin Bank, Korea. ( Singapura )

14. Kookmin Bank merger dengan H&CB menjadi Kookmin - H&CB,

merupakan bank komersial terbesar di negara itu. Bersama Temasek

Group membeli BII. (KorSel )

B. RUMUSAN MASALAH Dua perusahaan yang kemudian bersatu guna meningkatkan hasil produksi

mereka, maupun dalam menguatkan posisi perusahaan mereka, sudah seringkali

kita ketahui di berbagai media masaa. Bersatunya dua perusahaan tersebut yang

disebut sebagai merger, merupakan salah satu alternative yang diambil oleh

beberapa perusahaan ketika mereka mengalami kesulitan dalam kegiatan

produksinya. Tentu saja penyatuan kedua perusahaan tersebut sebelumnya harus

melalui berbagai pemikiran-pemikiran mengenai sebab akibat yang bisa

ditimbulkan dari mereger yang akan dilakukan. Baik terhadap perusahaan yang

meminta merger, maupun pada perusahaan yang diajak merger dan akusisi.

6

Page 7: Merger Cultural Clash

Ketika satu perusahaan digabungkan dengan perusahaan lain, maka tentu

saja akan terjadi banyak sekali perubahan-perubahan di dalamnya. Misalnya saja

mengenai kinerja para karyawan masing-masing perusahaan. Dimana ketika

kinerja karyawan perusahaan yang satunya sudah dikondisikan dalam keadaan

yang cepat dan on time, namun begitu terjadi merger dengan perusahaan lain,

kinerja mereka menjadi lambat. Hal tersebut terjadi karena rupanya terjadi

perbedaan kinerja karyawan antara satu perusahaan dengan perusahaan mereger

lainnya.

Tentunya bukan permalahan kinerja karyawan itu saja yang menjadi batu

sandungan ketika terjadi merger di antara perusahaan-perusahaan. Ada banyak

kasus-kasus merger yang menjadi mimpi buruk.

Untuk itulah dalam kesempatan ini kami ini ingin mengangkat

permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan ketika mereka

melakukan merger. Sehingga rumusan masalah yang yang timbul di dalamnya

adalah “Mengapa merger selalu menimbulkan masalah ?”.

WHEN Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini timbul ketika terjadi

perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh dua atau lebih perusahaan yang

melakukan merger maupun akuisisi. Sehingga ketikan kedua perusahaan tersebut

mulai merumuskan visi, misi, tujuan maupun aturan-aturan yang akan dianut

untuk kedua perusahaan tersebut, maka keduanya akan mengalami hambatan.

WHO Hambatan dalam menyatukan atau perbedaan budaya organisasi yang

dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan merger akan sangat

dirasakan oleh para pekerja masing-masing perusahaan. Dimana para pekerja akan

sangat merasakan ketika mereka mulai bekerja sama atau bergabung dengan para

pekerja pada perusahaan yang satunya. Apalagi ketika situasi, aturan, value yang

mereka anut sangat berbeda atau berseberang di antara kedua perusahaan tersebut.

7

Page 8: Merger Cultural Clash

WHY Perbedaan yang signifikan terjadi ketika dua atau lebih perusahaan

berbeda value. Baik itu karena budaya organisasinya yang berbeda, gaya

kepemimpinannya, komunikasi, ataupun individu-individu yang bekerja pada

masing-masing perusahaan.

WHERE Masalah tersebut muncul di perusahaan-perusahaan yang mengalami atau

melakukan merger dan akuisisi. Menurut Hofstede, setiap organisasi

mengembangkan budaya yang membedakannya dengan organisais lain. Saat dua

organisasi bergabung, maka cultural clash sulit dihindarkan dalam organisasi

‘baru’ itu.

HOW Rumusan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini terjadi ppada

waktu terjadi gap atau perbedaan budaya organisasi yang dimiliki oleh masing-

masing perusahaan yang melakukan merger dan akusisi. Masing-masing

perusahaan tersebut ingin menggunakan budaya organisasinya untuk membentuk

perusahaan baru hasil dari merger. Namun karena keduanya berpikiran bahwa

budaya organisasi yang dimilikinya merupakan budaya organisasi yang terbaik,

sehingga satu sama lain tidak ingin mengalah untuk menerima budaya organisasi

perusahaan lainnya. Sehingga hal tersebut membuat kedua perusahaan yang telah

melakukan merger dan akusisi tersebut seharunya bisa saling memperkuat satu

sama lain, namun yang terjadi justru mereka tidak bisa melanjutkan kegiatan

produksinya hanya karena keegoisan masing-masing perusahaan untuk

menomorsatukan budaya organisasi yang dimilikinya.Tentu saja tidak bisa

dipungkiri bahwa memang masing-masing perusahaan mempunyai hak untuk

memiliki budaya organisasi sesuai dengan misi, visi yang diembannya.

Akibat yang ditimbulkan dari permasalahan yang diangkat dalam makalah

ini adalah akan terhentinya kegiatan produksi yang dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan yang melakukan merger dan akusisi. Karena tidak ada kecocokan atau

ditemukan kata kesepakatan diantara kedua perusahaan yang melakukan merger

8

Page 9: Merger Cultural Clash

dan akusisi, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa perusahaan tersebut akan

menghentikan kegiatan produksinya lebih dulu untuk mencari budaya organisasi

yang menjadi kesepakatan diantara keduanya. Karena budaya organisasi ini sangat

penting dimiliki oleh suatu perusahaan bagi kelangsungan organisasinya, maka

mau tidak mau kedua perusahaan tersebut harus mencari alternatif budaya

organisasi yang baru ataupun meleburkan budaya organiasi yang dimiliki oleh

salah satu perusahaan untuk menggabungkannya dengan budaya organisasi miliki

perusahaan lainnya.

9

Page 10: Merger Cultural Clash

C. BAGAN KONSEPTUAL

Merger

Culture acquiring firm

Nilai

Asumsi

Artifak

Culture Acquired firm

Budaya baru

Dampak

Negatif

Nilai Asumsi

Artifak

Positif

10

Page 11: Merger Cultural Clash

KAJIAN TEORI

A. MERGER DAN AKUSISI

Many people lead bad lives that would gladly lead good ones, but do not know how to make the change

- Lord Kames, 1760

Merger terjadi saat dua perusahaan atau lebih menggabungkan diri. Pada

saat itu terjadi proses interaksi antara budaya organisasi yang mungkin berbeda,

bahkan berlawanan sehingga memunculkan budaya baru.

Pada konteks makalah ini akan dibicarakan pengaruh merger dan akusisi

terhadap perubahan budaya organisasi. Merger dan akusisi adalah dua proses yang

sering terjadi dalam dunia bisnis. Konsep penggabungan dua atau lebih

perusahaan ini menjadi topik yang masih hangat dibicarakan tertutama karena

dampaknya yang mencengangkan. Masih jelas dalam ingatan kita saat berpuluh

karyawan satelindo melakukan unjuk rasa akibat merger yang dilakukan BUMN

tersebut dengan Singapore-tech tahun lalu. Masyarakat ikut bertanya-tanya saat

putra sampoerna memutuskan menjual sebagian besar sahamnya pda produsen

rokok asing, phillip morris beberapa bulan yang lalu. Rasanya merger masih

menjadi topik yang layak diperbincangkan.

Telah banyak penelitian yang memfokuskan pada komplemen peran

sukarela di level individual yang menekankan pada motif dan memunculkan

konsep seperti identitas peran, peran orang yang merger, komitmen dan

kepemilikan psikologis. Kenyataannya perubahan seperti yang terjadi pada merger

menggeser gaya hidup karyawan di organisasi.

Tujuan Merger Tujuan atas dilakukannya merger dan akusisi pada perusahaan-perusahaan

yaitu ingin meningkatkan efisiensi, untuk mendapatkan posisi yang baik di pangsa

11

Page 12: Merger Cultural Clash

pasar dan meningkatkan pendapatan dan menggabungkan kekuatan di antara dua

organisasi.

Pembagian Merger Merger dapat dibedakan atas:

1. Vertical Merger

Pada jenis ini suatu perusahaan membeli salah satu supliernya atau merger

dengan pelanggannya. Karena itu kebanyakan interaksinya berlangsung pada level

organisasi. Kompleksitasnya pun meningkat seiring menurunnya self-

determination. Hal ini menurut Nord dapat meningkatkan turnover eksekutif,

terutama jika eksekutif perusahaan yang diambil diperlakukan seolah-olah mereka

telah ditaklukan, yang menyebabkan perasaaan inferior dan kehilangan pegangan

sosial.

2. Horizontal Merger

Pada jenis ini suatu perusahaan menggabungkan diri dengan perusahaan

lain yang produknya hampir sama dengan yang dibuatnya. Misalnya merger

phillip moris dengan sampoerna baru-baru ini.

Interaksi instensif antara karyawan kedua perusahaan dapat menimbulkan konflik

dan keseimbangan gaya dan nilai antara manajemen dan staff menjadi titik

penting dalam pengambilan keputusan.

Nahavandi dan Malekzadeh menyatakan jika budaya organisasi keduanya

jauh berbeda maka dapat terjadi penurunan produktivitas selama beberapa tahun

pertama dan yang lebih parah merger akan gagal!

3.Concentric Merger

Jenis merger ini terjadi antara dua perusahaan yang produksi dan teknologi

distribusinya sama dengan tujuan meningkatkan produktivitas dengan

menggabungkan kekuatan yang ada. Kecenderungan menggabungkan operasi

yang sama terjadi terutama pada bagian teknologi dan pemasaran. Akibatnya

terjadi pembagian keahlian yang mungkin ditolak oleh karyawan masing-masing

perusahaan. Cara terbaik mengatasinya adalah dengan mengelola manajemen

sumber daya manusia perusahaan yang akan diambil sebelum dilakukan merger.

12

Page 13: Merger Cultural Clash

4. Conglomerate Merger

Meliputi akusisi bisnis yang tidak berhubungan dengan lapangan

perusahaan. Biasanya perusahaan utama akan mengirimkan tim baru ke

perusahaan yang diambil untuk mengatur unit disana. Hal ini dapat berbuntut

konflik diantara eksekutif senior perusahaan yang diambil. Meningkatkan jumlah

pengunduran diri karyawan juga termasuk dampak yang sering terjadi.

Suksesnya merger dan akusisi bergantung pada kecocokan budaya yang

harus digabungkan. Dalam prosesnya dapat terjadi tiga bentuk penggabungan,

yaitu:

1. The Open Marriage

Disini perusahaan yang mengambil alih menerima perbedaan kepribadian

atua budaya organisasi tanpa ragu-ragu. Perusahaan utama membiarkan

perusahaan yang diambil untuk beroperasi secara otonomi tapi mencampuri

kontrol keuangan dalam bentuk prosedur dan sistem pelaporan.

2. Traditional/ Redesign Marriage

Pada bentuk ini, perusahaan yang mengambil alih menganggap aturannya

dominan dan berusaha merancang ulang perusahaan yang diambilnya. Hal ini

menyebabkan perubahan radikal dan luas pada perusahaan kedua ini.

Keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan perusahaan utama mengubah

dan mengganti budaya perusahaan yang diambilnya.

3. The Modern/Collaborative Marriage

Merger sangat bergantung pada kemampuan integrasi budaya kedua

perusahaan.

Doko made ikeru kana mirai e tsuzuku basho Tooku de kagayaite sekai o tsutsumikomu Yoake mae

I wonder how far we can go, in this place that extends to the future Shining in the distance, engulfing the whole world

Before dawn ('Before Dawn',OST One Piece)

13

Page 14: Merger Cultural Clash

B. BUDAYA ORGANISASI Dalam setiap organisasi atau perusahaan pasti akan memiliki suatu budaya

organisasi sebagai pijakan atau pedoman dalam melakukan segala kegiatan-

kegiatan organisasi oleh para pelaku organisasi. Karena budaya organisasi

merupakan akar atau dasar dari pembentukan suatu organisasi atau sebuah

perusahaan. Budaya organisasi memiliki banyak definisi-definisi yang

dikemukakan oleh para ahli-ahli organisasi. Salah satu definisinya adalah bahwa

budaya organisasi merupakan suatu kerangka kognitif yang terdiri atas sikap

(attitudes), nilai (values), norma-norma perilaku (behavioral norms) dan harapan-

harapan (expectations) yang dijalankan oleh semua anggota-anggota organisasi.

Dengan menjalankan budaya organisasi ini yaitu mempertahankan, keyakinan

yang dimiliki, harapan

dan nilai yang relatif

stabil memiliki

pengaruh yang sangat

kuat dalam

menjalankan suatu

organisasi dan juga

orang-orang yang

bekerja di dalamnya.

Hofstede

mendefinisikan budaya sebagai software otak yang menuntun interaksi kita.

Menurutnya setiap orang memiliki pola berpikir, merasa, dan potensi bertindak

yang dipelajari sepanjang hidup. Banyak diantaranya didapat dari masa kanak-

kanak, karena pada saat itu manusia paling mudah menerima dan menyerap

informasi.

Peran Budaya Organisasi Budaya organisasi memiliki banyak peran penting di dalam suatu

organisasi atau perusahaan. Yaitu yang pertama, sebagai identitas organisasi yang

menjadi keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan organisasi lainnya.

14

Page 15: Merger Cultural Clash

Terlebih lagi budaya organisasi dapat menjadi identitas khusus bagi para anggota-

anggota organisasi.

Peran budaya organisasi yang kedua adalah sebagai komitmen terhadap

misi yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan. Peran budaya organisasi yang

ketiga yaitu sebagai kejelasan dan reinforce dalam standard perilaku yang dimiliki

suatu organisasi atau perusahaan.

Pembentukan Budaya Organisasi Dalam membentuk budaya organisasi pada suatu organisasi atau

perusahaan bukankah suatu hal yang mudah. Karena terdapat berbagai macam

factor yang bisa menumbuhkan budaya orgainisasi. Budaya organisasi bisa

terwujud dari company founders, organizational experience dan internal

interaction. Company founders di sini merupakan pemilik atau orang yang

mendirikan dari suatu organisasi atau perusahaan. Dimana dirinya mengetahui

tentang misi, visi maupun tujuan dari perusahaan atau organisasi yang

dibentuknya. Sehingga dari pemikiran-pemikirannyalah budaya organisasi pada

organisasinya itu terbentuk.

Kemudian lagi yaitu bahwa budaya organisasi terbentuk karena adanya

organizational experience. Dimana organizational experience adalah budaya

organisasi merupakan hasil interaksi antara organisasi atau perusahaan dengan

lingkungan eksternalnya. Suatu organisasi pasti akan melakukan interaksi dengan

berbagai macam bentuk organisasi atau perusahaan, dan di dalam interaksi

tersebut akan menjumpai berbagai macam bentuk value-value dan hal-hal lain

yang lebih baik dari apa yang dimiliki oleh organisasinya. Sehingga dari sini

akhirnya suatu organisasi bisa menumbuhkan budaya organisasinya sendiri untuk

membedakan dengan organisasi lainnya.

Budaya organisasi juga dapat dibentuk dari internal interaction. Yaitu

budaya organisasi merupakan hasil dari interaksi internal yang dilakukan antar

anggota satu dengan anggota organisasi lainnya. Sehingga dari interaksi internal

itu muncul value-value yang telah disepakati oleh semua anggota organisasi untuk

dijadikan sebagai budaya organisasinya.

15

Page 16: Merger Cultural Clash

Efek yang bisa ditimbulkan oleh budaya organisasi adalah :

Budaya organisasi berdampak pada proses jalannya suatu organisasi dan

proses individu di dalamnya. Yaitu :

- Organizational performance

Budaya organisasi yang dimiliki oleh suatu organisasi haruslah kuat. Di

dalam budaya organisasi terdapat konsisten tidaknya aksi organisasi pada

berbagai macam kondisi, dan juga di dalamnya terdapat value-value yang

dimiliki oleh organisasi tersebut.

- Length of employment

Bahwa budaya organisasi berpengaruh pada sikap dan performance yang

ditunjukkan oleh semua anggota organisasi

- Person-organization fit

Dengan adanya budaya organisasi yang dimiliki oleh suatu organisasi

dapat membuat seseorang untuk memilih organisasi mana yang akan

dikutinya. Yaitu dengan menyesuaikan budaya organisasinya sesuai

dengan value yang dimilikinya.

Bagaimanapun juga menciptakan suatu budaya yang kuat bukan perkara

gampang. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menginternalisasi nilai yang

diinginkan. Robbins dan Barnwell mengartikan budaya yang kuat sebagai nilai

inti yang dipegang teguh, teratur dengan jelas serat tersebar secara luas (Robbins

& Barnwell,2002:382).ada tiga elemen yang menentukan kuatnya budaya

organisasi menurut pikula, yaitu:

1. Jumlah nilai, keyakinan dan asumsi yang disebarkan.

2. Jumlah anggota yang menerima nilai tersebut.

Robbins dan Barnwell menyatakan bahwa semakin banyak anggota

organisasi yang menerimanya maka semakin kuatlah suatu budaya(Robbins &

Barnwell,2002:382).

3. Semakin tinggi jumlah keyakinan, nilai dan asumsi yang disebarkan, semakin

kuatlah budaya organisasi.

16

Page 17: Merger Cultural Clash

Perubahan ini dapat berbuah

kemajuan signifikan, atau sebaliknya

menjadi batu sandungan bagi

organisasi terssebut. Telah banyak

literatur yang menyebutkan bahwa

perubahan organisasi dapat

menghasilkan kecemasan,

kehilangan, stress, dan pudarnya

kepercayaan terhadap atasan (Logan,-

-:3). Budaya menempatkan perusahaan pada jalur tertentu untuk mencapai

tujuan bersama Suatu kebudayaan tidak

mungkin berada dalam posisi statis. Kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan

karya manusia sehingga senantiasa berubah mengikuti perkembangan manusia.

Dalam konteks organisasi, budaya menjadi aspek yang sangat penting

dalam proses pencapaian tujuan perusahaan. Sebagaimana budaya dapat dibuat,

maka iapun juga dapat diubah. Ada beberapa faktor yang dapat mengubah budaya

organisasi, yaitu:

1. Komposisi tenaga kerja

semakin banyaknya tenaga kerja yang masuk ke suatu perusahaan, maka akan

semakin mudah terjadi pergeseran nilai yang dianut perusahaan tersebut. Hal ini

terjadi karena setiap orang membawa nilai-nilai pribadi yang terintegrasi pada

pola kerjanya di perusahaan.

2. Mergers dan akusisi

Merger terjadi saat dua perusahaan atau lebih menggabungkan diri. Pada saat itu

terjadi proses interaksi antara budaya organisasi yang mungkin berbeda ,bahkan

berlawanan sehingga memunculkan budaya baru.

3. Perubahan organisasi yang telah direncanakan

Perusahaan mungkin telah menggariskan strategi untuk mengubah struktur dan

operasi dasar organisasi. Saat itu terjadi, maka pergeseran budaya organisasi tidak

dapat dihalangi.

17

Page 18: Merger Cultural Clash

Bagi Scholtz pembentukan budaya terjadi dalam beberapa dimensi, yaitu

(Hodge, Anthony & Gales.2003:251-252):

1. Dimensi evolusioner

Organisasi merepon perubahan dengan mengubah budayanya menjadi budaya

yang diinginkan. Ada lima tahap dalam proses ini, yaitu:

a. Tahap stabil dimana

perubahan mulai

berkontemplasi.

b. Tahap reaktif terjadi

saat perubahan mulai

sedikit diterima oleh

anggota organisasi.

c. Tahap antisipasi

adalah ketika

perubahan lebih jauh

diterima.

d. Tahap eksplorasi

memperlihatkan

penerimaan

perubahan dalam

jumlah besar.

e. Tahap kreatif akan

membuka peluang

bagi perubahan lebih

lanjut dan lebih

panjang.

2. Dimensi internal

adalah kondisi khusus yang terjadi dalam organisasi yang mempengaruhi

budayanya.

Saat perubahan terjadi, karyawan merasa seperti ditutup matanya, tanpa tahu apa

yang akan terjadi berikutnya

18

Page 19: Merger Cultural Clash

3. Dimensi eksternal meliputi bagaimana anggota organisasi

mempersepsikan dan merespon kondisi yang sangat mempengaruhi budaya

organisasinya.

Lain Scholtz, lain lagi Robbins. Ia menuliskan perubahan budaya budaya

ini dapat terjadi dalam dua proses (Robbins & Barnwell,2002:348) :

Evolutionary change Revolutionary change

Evolusi Revolusi

Mempertahankan keseimbangan Mencari keseimbangan baru

Mengubah individu/ departemen Mengubah seluruh organisasi

Memperkuat struktur dan manajemen yang

ada

Menciptakan struktur dan manejemen baru

Perubahan teknologi lebih jauh terjadi dalam

proses produksi

Mengadopsi teknologi produksi baru

Meningkatkan produk yang ada. Mengenalkan celah pasar baru untuk produk

baru

Organisasi harus

berusaha keras mengelola

perubahan yang terjadi

sehingga memberi dampak

positif terhadap efektivitasnya.

Untuk itu perlu mekanisme

pengelolaan perubahan yang

baik pula. Robbins dan

Barnwell menyarankan suatu

model untuk mengelola

perubahan organisasi seperti yang digambarkan pada bagan di bawah:

Mengubah pola pikir karyawan bukan hal mudah

19

Page 20: Merger Cultural Clash

Model mengelola perubahan organisasi (Robbins & Barnwell,2002:357):

Unfreeze Change Unfreezing change refreezing

Perubahan Hasil

Cara Mengubah

Dorongan untuk berubah

Tipe Intervensi

Yang akan diubah: • Struktur

• Teknologi

• Prosses

• Budaya

Tindakan manajemen/ agen perubahan

Ongoing One off

Yang diubah

Yang berinisitif

berubah

Penyebab perubahan

Efektivitas Organisasi

20

Page 21: Merger Cultural Clash

C. TEORI HOFSTEDE

Sedikit sekali ahli yang berbicara tentang pola klasifikasi budaya sehingga

sulit untuk menilai dan memprediksikannya. Salah satu teoris yang paling terkenal

adalah antropologis Belanda, Hofstede. Ia merumuskan dimensi budayanya

setelah meneliti 72 negara dalam penelitian IBM pada tahun 1970-an.

Hofstede menemukan bahwa budaya nasional sangat menentukan sikap

dan perilaku kerja, lebih dari posisi organisasi atau karakteristik pribadi

(Greenberg& Baron,1997:42).

Dia menyatakan ada empat dimensi yang membedakan karyawan, yaitu:

1. Individualisme vs kolektivisme

a. Individualisme adalah ciri budaya dimana orang menekankan

perhatian pada diri sendiri dan keluarganya saja.

b. Kolektivisme yaitu ciri kebudayaan dimana orang berorientasi pada

kesejahteraan kelompok.

Individualisme/Kolektivisme

merupakan konsep yang paling banyak

didiskusikan karena mudah

diaplikasikan dalam berbagai konteks

perilaku budaya.

Di negara yang tinggi

individualismenya seperti Perancis,

Jerman, Afrika Selatan, Kanada, orang

dituntut untuk mengurus dirinya sendiri. Solidaritas bersifat organik daripada

mekanik. Nilai yang sering terlihat adalah waktu pribadi, kebebasan dan

tantangan.

Sedangkan di negara-negara seperti Jepang, Meksiko, Korea dan Yunani

yang lebih kolektivis, individu terikat loyalitas terhadap kelompoknya.

21

Page 22: Merger Cultural Clash

2. Power Distance

Adalah derajat dimana distribusi kekuasaan diterima atau ditolak. Power

Distance didefinisikan sebagai derajat dimana anggota institusi yang berkuasa di

negara mengharapkan dan mendapatkan kekuasaan didistribusikan tidak merata.

Konsep Power Distance sulit dicapai dalam konteks kerja dan sering

dicerminkan dalam perusahaan berjenjang, sama seperti rasa hormat yang

diharapkan guru dari murid, atasan dari bawahan.

Pada negara yang tinggi Power Distance-nya (Amerika Latin, Perancis,

Spanyol, kebanyakan negara Asia dan Afrika ), bawahan cenderung takut pada

atasannya dan bos cenderung paternalistik dan otoritas. Sebaliknya di negara yang

rendah Power Distance-nya (USA, Inggris, sebagian besar negara Eropa),

bawahan cenderung menentang bos dan bos sering menggunakan gaya

manajemen konsultatif.

3. Uncertainty Avoidance

Ialah derajat dimana orang merasa terancam dan berusaha menghindari

situasi yang ambigu. Uncertainty Avoidance diartikan sebagai derajat dimana

anggota organisasi merasa terancam oleh situasi yang tidak jelas/diketahui

(Hofstede,1994:113).

Saat Uncertainty Avoidance kuat, budaya cenderung merasakan situasi

yang tidak jelas yang ingin dihindari, seperti di Korea Selatan, Jepang dan

Amerika Latin. Sedangkan di Amerika, Belanda, Singapura, Hong Kong dan

Inggris, orang tidask terlalu terancam oleh ketidakpastian dan lebih berani

mencari peluang dan menghadapi resiko.

4. Masculinity/femininity

a. Masculine culture: budaya dimana orang lebih materialistis dan

mengagungkan asertivitas serta akusisi uang

b. Femininity culture: budaya dimana orang menekankan kepedulian

terhadap sesama dan hubungan antar manusia.

22

Page 23: Merger Cultural Clash

Maskulinitas/faminitas sama kuatnya. Dimensi ini sering diabaikan karena

nama kontroversial yang digunakannya mempengaruhi ketenarannya. Seringkali

ia bercampur dengan konsep individualisme/kolektivisme.

Hasil studi Hofstede menunjukkan tujuan laki-laki berbeda dengan wanita

dan dapat dieksresikan dalam kutub maskulin dan feminin. Dimana feminitas

penting (Swedia, Perancis, Israel, Denmark, Indonesia), orang cenderung

mempertahankan hubungan baik dengan atasannya, bekerja sama dengan baik,

hidup di area yang menyenangkan buatnya dan keluarganya. Sebaliknya di negara

yang tinggi maskulinitasnya: Amerika, Jepang, Meksiko, Hong Kong, Italia,

Inggris Raya, orang cenderung berorientasi penghasilan, punya kesempatan buat

pekerjaan yang lebih tinggi levelnya.

5. Long Term Orientation

Hofstede menambahkan dimensi kelima setelah ia melakukan penelitian

atas riset konfusius, yaitu Long Term Orientation.

Di China, Hong Kong, Taiwan, Japan dan India terjadi persistensi dan

persevarance yang mengagungkan hubungan status dan rasa malu.

Sedangkan short-term orientation dicirikan dengan rasa keamanan dan

stabilitas,proteksi atas reputasi, menghormati tradisi dan salam timbal balik. Ini

terjadi di Inggris, Kanada, Filipina, Jerman dan Australia.

Kelebihan dan kelemahan teori Hofstede ini adalah :

KELEBIHAN KELEMAHAN

Banyak diterapkan di dunia industri Sampel penelitian perusahaan profit,

sulit digeneralisasi pada organisasi

yang berbeda tipe, misalnya non profit

organization.

Memberi kontribusi besar bagi

manajemen lintas budaya.

Perlu penjelasan lebih dalam mengenai

bagaimana budaya tersebut terhadap

keefektifan organisasi.

23

Page 24: Merger Cultural Clash

Mudah dimengerti dalam berbagai

konteks.

Terlalu menggeneralisasi budaya suatu

negara, padahal belum tentu semua

perusahaan memiliki dimensi budaya

nasional yang sama.

Menjelaskan akar budaya yang

melandasi dimensi kebudayaan yang

teraplikasi di setiap negara.

Tidak menggali dalam mengenai

dinamika dunia kerja dalam organisasi.

Tidak menentukan budaya terbaik bagi

organisasi.

Tidak merumuskan sistem budaya yang

paling efektif sehingga dapat

diaplikasikan dalam organisasi.

Tidak berpihak pada salah satu dimensi

budaya.

D. MINTZBERG’S FRAMEWORK : FIVE ORGANIZATIONAL NORMS Teori norma-norma organisasi ini dikemukakan oleh salah satu ahli

organisasi yang bernama Henry Mintzberg. Secara khusus Mintzberg menyatakan

bahwa organisasi terbentuk dari lima elemen, atau individu dalam kelompok.

Lima dasar elemen tersebut adalah :

1. The Operating Core

Pekerja yang menampilkan dasar pekerjaannya yang berhubungan dengan

produk atau sevice yang diberikan oleh organisasi. Misal guru yang

mengajar di sekolah, pelayan di restoran.

2. The Strategic Apex

Level executive puncak yang bertanggung jawab pada berjalannya

organisasi. Misalnya pengusaha yang menjalankan bisnis kecilnya sendiri

dan general manager yang menjadi pimpinan pad automobile-nya.

3. The Middle Line

Manager yang mentransfer informasi antara strategic apex dan operating

core. Misalnya middle manager, seperti sales manager daerah ( yang

24

Page 25: Merger Cultural Clash

menghubungan top executive dengan para sales ), chair pada masing-

masing fakultas ( yang menghubungkan antara dekan dan fakultas )

4. The Technostructure

Secara khusus bertanggung jawab pada standard aspek yang bermacam-

maca pada aktivitas organisasi. Misalnya akuntan, auditor dan analist

system computer.

5. The Support Staff

Individu yang memberikan pelayanan support secara tidak langsung pada

organisasi. Misalnya consultant pada perusahaan.

Selain itu Mintzberg juga mengidentifikasi adanya lima desain khusus

suatu organisasi : simple structure, machine bureaucracy, professional

beareaucracy, the divisonalized structure dan the adhocracy.

1. Simple structure

Suatu oganisasi yang

memiliki karakteristik yang

kecil dan informal, dengan satu

power tunggal yang dimiliki

oleh individu, seringkali

dijumpai pada pengusaha yang

mengubah segalanya.

2. Machine

bureaucracy

Suatu bentuk organisasi

dimana bekerja memiliki spesialisasi yang tinggi, pengambilan keputusan

difokuskan pada pimpinan, dan lingkungan bekerja tidak prone untuk mengalami

perubahan ( misal kantor pemerintahan ).

3. Professional bureaucracy

Organisasi yang memiliki banyak aturan-aturan yang mengikuti, tapi para

pekerja memiliki keahlian yang tinggi dan mempunyai kebebasan dalam membuat

keputusan untuk dirinya sendiri.

25

Page 26: Merger Cultural Clash

4. Divisional structure

Bentuk organisasi yang digunakan oleh organisasi-organisasi yang besar,

dimana terdapat penyebara unit-unit dan terhubungan dengan lini pemasukan

produk, focus pada top management, strategi pengambilan keputusan.

5. Adhocracy

Memiliki informal tertinggi, organisasi organic dimana khusus bekerja

dalam sebuah tim, mengkoordinasikan satu pekerja dengan pekerja lainnya pada

berbagai macam proyek ( misal perusahaan pengembangan software )

Kelimanya dapat dibandingkan dalam tabel berikut:

Design Description Dominant group Example

Simple structure simple, informal, authority centralized in a single person

Strategic apex small, entrepreneurial business

Machine bureaucracy

Highly complex, formal environment with clear lines of authority

Technostructure Government offices

Proffesional bureaucracy

Complex, decision making authoriry is vested in proffesional

Operating core Universitas

Divisionalized structure

large, formal organizations with several separate divisions

Middle line Multidivision business such as General Motors

Adhocracy Simple, informal, with decentralized authority

Support staff Software development firm

26

Page 27: Merger Cultural Clash

Evaluasi Teori Kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh teorinya Mintzberg ini adalah :

KELEBIHAN KELEMAHAN

Bisa melihat bentuk-bentuk organisasi Hanya melihat dari dalam organisasi

saja

Dapat menjadi pilihan dalam membuat

organisasi

Tidak menjelaskan dari faktor eksternal

atau di luar organisasi

Dapat digunakan untuk melihat

organisasi dari internalnya

Tidak menjelaskan dari faktor sosial

Teraplikasi dalam berbagai jenis

organisasi

Hanya mementingkan struktur

organisasi

Merumuskan bentuk pekerjaan yang

sesuai dengan struktur tertentu

Tidak merumuskan anteseden struktur

yang dibentuk

27

Page 28: Merger Cultural Clash

ANALISA

A. Dimensi Hofstede (www.geert.hofstede)

Dalam studinya, Hofstede meneliti 72 negara, termasuk Indonesia.

Dibawah merupakan jabaran hasil penelitiannya.

Indonesia memiliki Power Distance (PDI) pada rangking Hofstede

tertinggi, yaitu 78. ini adalah indikasi tingginya tingkat ketidakmerataan power

dan kesejahteraan di masyarakat. Kondisi ini tidak disebabkan oleh populasi,

namun lebih sebagai warisan budaya masyarakat. Angka rata-rata PDI bagi

kebanyakan negara Asia adalah 71.

Dimensi Hofstede kedua tertinggi di Indonesia adalah Uncertainty

Avoidance (UAI) yaitu 48. bandingkan dengan rata-rata Negara Asia, 58 dan rata-

rata dunia,64. Hal ini mencerminkan pengaruh yang lebih moderat terjadi pada

masyarakat Indonesia. Secara umum tingginya UAI menunjukkan rendahnya

tingkat toleransi

terhadap

ketidakpastian. Untuk mengurangi tingkat ketidakpastian ini, peraturan yang ketat,

undang-undang dan regulasi diadopsi dan diimplementasikan. Tujuan utama

populasi ini adalah mengontrol segalanya untuk menghilangkan atau menghindari

yang tidak diinginkan. Tingginya level UAI ini menyebabkan masyarakat tidak

siap untuk menerima perubahan dan takut menghadapi resiko.

28

Page 29: Merger Cultural Clash

Indonesia memiliki tingkatan terendah untuk individualisme yaitu sekitar 14, jika

dibandingkan dengan rata-rata rangking negara Asia 23 dan dunia, 43. Skor ini

diartikan sebagai

karakteristik negara

Indonesia yang

kolektivis. Ini

menyebabkan

komitmen jangka

panjang terhadap

kelompok, baik itu

keluarga, keluarga

besar atau hubungan

lainnya. Kesetiaan dalam budaya kolektivis adalah puncak dan mendominasi

kebanyakan peraturan dan norma sosial. Masyarakat mendukung hubungan yang

kuat dimana setiap orang bertanggung jawab atas anggota lainnya.

Indonesia merupakan negara dengan penganut Islam terbesar di dunia. 88%

populasinya merupakan muslim.(The World Fact Book).

Kombinasi dua skor tertinggi tadi menciptakan masyarakat yang sangat

terpaku pada peraturan, undang-undang dan kontrol agar dapat mengurangi

jumlah ketidakpastian, sementara ketidakrataan kekuasaan dan kesejahteraan

dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat. Budaya ini cenderung mengikuti sistem

kasta yang tidak memperbolehkan mobilitas keatas.

Saat keduanya

digabungkan,

terciptalah situasi

dimana pemimpin

memiliki kekuasaan dan

otoritas utama, dan

aturan, hukum dan

undang-undang dibuat

29

Page 30: Merger Cultural Clash

oleh mereka yang berkuasa, untuk memperkuat kekuatannya. Tidaklah lazim

kemunculan pemimpin dari kalangan bersenjata-kekuatan terbesar, daripada dari

perubahan diplomatik atau demokratik.

PDI menekankan pada derajat kesamaan atau ketidaksamaan, antara orang dalam

tatanan masyarakat. Rangking PDI yang tinggi menunjukkan ketidaksamaan

kekuasaan dan kesejahteraan telah dibiarkan tumbuh kembang. Masyarakat ini

cenderung mengikuti sistim kasta dimana anggota kelompok tidak diperbolehkan

naik ke kasta yang diatasnya. Rangking Power Distance yang rendah

menunjukkan

penekanan ulang

perbedaan antara

kekuatan dan

kesejahteraan warga.

Dengan kata lain

kesamarataan dan

kesempatan ditekan

bagi setiap orang.

Individualisme (IDV) menekankan pada derajat penekanan masyarakat

terhadap pencapaian individu atau kelompok dan hubungan interpersonal.

Rangking yang rendah mengelompokkan suatu budaya yang bersifat lebih

kolektivis dimana setiap orang bertanggung jawab atas anggota kelompok lain.

Masculinity (MAS)

memfokuskan pada tingkat

penekanan masyarakat atas model

peran maskulinitas: prestasi,

kontrol dan kekuatan pria.

Tingginya rangking MAS

mengelompokkan negara sebagai

tempat yang melakukan diferensiasi

30

Page 31: Merger Cultural Clash

gender. Pada budaya ini, pria mendominasi porsi penting dalam struktur

masyarakat dan kekuasaan, dimana wanita dibawah kontrol dominasi pria.

Uncertainty Avoidance Index (UAI) menyoroti tingkat toleransi terhadap

ketidak

nilai

pastian dan ambiguitas dalam masyarakat, misalnya situasi tak berstruktur.

Rangking UAI tinggi menunjukkan rendahnya toleransi terhadap ketidakpastian

dan ambiguitas. Hal ini menciptakan masyarakat yang berorientasi pada aturan

untuk mengurangi ketidakpastian tersebut. Sebaliknya rangkin UAI rendah akan

membuat orang mengabaikan ketidakpastian dan lebih terbuka terhadap berbagai

pendapat, siap menerima perubahan, dan mau mengabil lebih banyak resiko.

Long Term Orientation (LTO) memfokuskan pada tingkat ikatan

tradisional masyarakat. Tingginya LTO menunjukkan kesetiaan terhadap tradisi

dan memiliki komitmen jangka panjang. Ini menunjang etos kerja dimana

sekarang hadiah jangka panjang lebih diharapkan sebagai hasil kerja. Meskipun

begitu, mungkin sulit untuk membentuk masyarakat seperti ini, terutama bagi

‘orang luar’. Sedangkan

rendahnya LTO menyebabkan

mudahnya perubahan terjadi

karena orang tidak lagi

berorientasi pada nilai

tradisional jangka panjang.

Penggabungan d a u

perusah

udaya salah satu perusahaan terhadap kebudayaan

perusahaan lain yang lebih lemah, disfungsional dan kurang diinginkan.

aan akan dipengaruhi

budaya yang dibawa nya.

Seperti yang telah ditekankan

Hofstede, setiap organisasi

menumbuhkan budaya yang

berbeda dengan organisasi

lain. Untuk itu proses akulturasi

Cartwright dan Cooper, yaitu:

1. Asimilasi yaitu melebarkan b

sangat penting. empat mode akulturasi menurut

31

Page 32: Merger Cultural Clash

2. Integrasi adalah penggabungan dua budaya untuk mendapatkan budaya terbaik

dari kedua organisasi yang melakukan merger.

3. Separasi merupakan penolakan salah satu perusahaan atas budaya organisasi

perusahaan lain karena budayanya lebih kuat dan ia ingin mempertahankannya.

ang lebih kuat. hal ini

B. Minzberg

dengan permasalahan yang diangkat di dalam makalah

ini, ma a ada bany

mempe

orizontal,

dan

Conglo e hal

uksi

akibatnya dapat terjadi konflik dan sulitnya implementasi.

4. dekulturasi terjadi jika budaya organisasi perusahaan yang digabung lemah,

namun tidak ingin mengadopsi budaya perusahaan lain y

dapat berujung pada konflik, kebingungan dan alienasi.

Bila dihubungkan

k ak hal yang ada di dalam kerangka teorinya Mintzberg yang

ngaruhi budaya organisasi pada perusahaan-perusahaan yang melakuakan

merger. Apabila di antara kedua atau lebih perusahaan yang melakukan merger

tersebut tidak sesuai atau berbeda bentuk organisasinya maka sudah pasti bahwa

perusahaan-perusahaan yang mengalami merger tersebut akan mengalami

kendala. Karena seperti apa yang telah kita ketahui di dalam kerangka teorinya

Mintzberg ini bahwa antara bentuk organisasi satu dengan organisasi lainnya

sangat jauh berbeda. Meskipun terdapat satu atau dua kesamaan diantaranya,

namun hal tersebut tetap saja tidak dapat merubah budaya organisasi yang dimiliki

oleh masing-masing perusahaan.

Pola pekerjaan yang berbeda akan menghasilkan budaya organisasi yang

berbeda pula. Pada

merger H

Concentric

merat

ini rentan terjadi

karena perbedaan

konsep prod

32Membuat struktur yang lebih sederhana dan dekat akan

memudahkan asimilasi budaya

Page 33: Merger Cultural Clash

akan menyebabkan perbedaan pola kerja.

Untuk itu dibutuhkan proses asimilasi yang labih terarah dan lebih hati-

hati. Beberapa tugas baru mungkin akan tercipta dan outsourcing tidak dapat

dihinda

au tidak sempurna dapat berakhir pada stres

kerja,

ri. Dengan berbagai perubahan tersebut, cepat atau lambat organisasi akan

menumbuhkan budaya yang baru.

Tentunya hal ini akan berdampak baik bagi karyawan maupun organisasi.

Asimilasi yang berjalan lambat at

kebingungan dan ketidakpastian, seperti yang telah dirumuskan banyak

peneliti. Bagi organisasi sendiri, pembentukan struktur yang kurang tepat akan

menghambat efektivitas.

33

Page 34: Merger Cultural Clash

PERBANDINGAN TEORI PERBANDINGAN HOFSTEDE MINTZBERG

Dimensi teori 5 5

Sudut pandang teori Budaya sosial masyarakat struktur organisasi

Penelitian Studi IBM meliputi 72

negara

--

Aplikasi Berbagai konteks sosial,

bukan hanya dunia

perusahaan.

Organisasi

Konsep Nilai yang tertanam pada

karyawan dalam

organisasi yang

mempengaruhi pola

kerja.

Pembentukan organisi

yang mempengaruhi pola

kerja.

Sudut pandang Sosiologi Manajemen

34

Page 35: Merger Cultural Clash

PENUTUP

Membutuhkan keberanian untuk menyadari bahwa Anda lebih berkuasa daripada suasana hati Anda, lebih berkuasa daripada pikiran Anda, dan

bahwa Anda dapat mengendalikan suasana hati dan pikiran Anda ~Stephen Covey, First Things First

Merger dan akusisi telah menjadi tantangan alami bagi setiap perusahaan di dunia.

Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang matang agar tujuan merger dapat dicapai

dengan sempurna. Telah banyak kasus-kasus buruk yang mewarnai kegagalan

merger yang berujung pada penurunan kinerja perusahaan dan dampat psikologis

pada karyawan.

Kami akan menutup makalah ini dengan sebuah cerita tentang keberhasilan KFC

sebagai perusahaan waralaba yang mendunia. Para petingginya tahu benar

perbedaan budaya yang melatarbelakangi pola konsumerisme setiap negara.

Untuk itu mereka mengirimkan peneliti sebelum membuka cabang di negara

tertentu.

KFC mencatat bahwa hamburger, dengan daging babi tidak akan laku di negara-

negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia karena mayoritas

penduduknya yang menganut agama Islam. sebaliknya komoditas ini akan

menjadi unggulan di negara Eropa dan Asia Timur, seperti Hong Kong. Lain lagi

dengan di India, KFC merancang menu yang tidak menggunakan daging sapi,

karena hewan tersebut dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

KFC melakukan perbandingan dan beradaptasi dengan budaya setempat untuk

meluncurkan produk yang sesuai.

Bisa dikatakan KFC melakukan merger dengan budaya tuan rumah.

35

Page 36: Merger Cultural Clash

DAFTAR PUSTAKA

Perry,Ronald W. 2004.Review of Public Personnel Administration, Vol. 24 no.2.The Relationship of Affective Organizational Commitment with Supervisory Trust. London : Sage Publications. Popper,Micha, Lipshitz, Raanan.2000. Organizational Learning, Mechanism, Culture , and Feasibility. Management Learning Volume 31(2):181-196.London : Sage Publications. Muchinsky, Paul M. 1993. Psychology Applied to Work. An Introduction to Industrial and Organizational Psychology (4th edition). California : Brooks/Cole Publishing Company. Greenberg, Jerald,. Dan Baron, Robert A. 1997. Behavior in Organization. 6th edition. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Hassard, John & Kelemen, Mihaela .(2002). Production and Consumption in Organizational Knowledge: The Case of the ‘Paradigms Debate’.Organizations Article. 9(2): 331–355 Haslam, S.Alexander.2001. Psychology in Organization: The Social Identity Approach. London: Sage Publications. Hodge, B.J., Anthony, W.P., Gales, L.M.(2003). Organization Theory: A Strategic Approach (6th ed).)New Jersey: Prentice-Hall. Hofstede,G.(1991).Cultures and Organization: Software of the Mind. New York: McGraw-Hill. Kreitner, Robert & Kinicki, Angelo.(2003). Perilaku Organisasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Robbins, Stephen P.& Barnwell, Neill.(2002).Organizational Theory (4th edition). Australia: Prentice-Hall. Pikula, Deborah A..(1999).Mergers & Acquisitions:Organizational Culture & HR Issues.Industrial Relations Centre. Le Queux, Stéphane & Fajertag, Giuseppe.(2001).Towards Europeanization of Collective Bargaining?: Insights from the European Chemical Industry. European Journal of Industrial Relations, 7 (2): 117–136

36

Page 37: Merger Cultural Clash

Jeffcutt, Paul & Pratt, Andy C.(2002).Managing Creativity in the Cultural Industries (Editorial). Blackwell Publisher, 11(4),225-232. Jaskyte, Kristina &Dressler, William w..(2004). Studying Culture as an Integral Aggregate Variable: Organizational Culture and Innovation in a Group of Nonprofit Organizations. Field Methods, 6 (3), 265–284. Steven P. Feldman.(1999).The Leveling of Organizational Culture: Egalitarianism in Critical Postmodern Organization Theory. THE JOURNAL OF APPLIED BEHAVIORAL SCIENCE, 35 (2),228-244. --.Socialization Tactics and Newcomer Adjustment: The Role of Organizational Culture, Team Dynamics, and Personality Dimensions. (Proposed Doctorate Research). Cooperrider, David L. &Whitney, Diana.(). A Positive Revolution in Change: Appreciative Inquiry. Peters,Abby Day .(--).Managing the Soul Schneider, Benjamin, Hanges, Paul J., Smith, D. Brent, and Salvaggio, Amy Nicole.(2003).Which Comes First: Employee Attitudes or Organizational Financial and Market Performance?Journal of Applied Psychology, 88(5), 836–851. Logan, Mary S.(2003). Using Knowledge to Facilitate Change: The Roles of Social Identity and Organizational Culture:1 Mac Neela, Pádraig.(--). Individuals and Organisations: An Exploration of the Volunteering Process in Health and Social Care Groups Final Report to the Third Sector Research Programme, Royal Irish Academy Dublin City University

37