menyelami - d2jt48ltdp5cjc.cloudfront.net fileundangan jungfrau railway, editor feature femina....

4
84 FEMINA FEB 2018 BERTEMU EUGENE CHAPLIN Smile though your heart is aching. Smile even though it’s breaking...When there are clouds in the sky, you’ll get by… Suara merdu Nat King Cole saat menyanyikan Smile, mengalun, memenuhi halaman seluas 14 hektare, tempat Manoir de Ban, kediaman Charlie Chaplin, di Kota Vevey, Swiss. Sebuah chandelier cantik menjuntai dari salah satu dahan pohon oak berusia ratusan tahun yang meneduhi halaman depan rumah bercat hijau daun mint itu. Sinar lampunya yang keemasan mengaksentuasi langit senja yang berarak pergi berganti malam. Menghadirkan suasana syahdu dan melankolis. Di sinilah saya berjumpa Eugene Chaplin, putra bungsu komedian pantomim Charlie Chaplin, salah satu ‘pahlawan’ saya sejak kecil. Bisa bertemu dengan salah satu keturunan Chaplin dan bertanya banyak tentang sisi pribadi ayahnya, menjadi sebuah kemewahan yang tak ternilai. “Dari Chaplin saya belajar untuk meyakini bahwa mimpi bisa menjadi nyata, dan keajaiban itu ada,” ungkap saya penuh haru kepada Eugene. Chaplin sendiri bagi saya adalah sebuah keajaiban. Akting dan mimiknya berbicara jauh melebihi kedalaman kata-kata. Pria yang hidup hingga usia 88 tahun ini berhasil menangkap kelucuan di balik tragedi, bahkan bersahabat dan tertawa bersamanya. Dengan cara ini tragedi tidak lagi menguasai hidupnya. “Tawa adalah minuman tonik pelega penghapus lara. Sehari tanpa tawa adalah hari yang sia-sia,” ujar tokoh The Tramp ini. Persis seperti yang terungkap dalam lirik lagu Smile, yang baru saya tahu dari Eugene bahwa lagu ini ditulis oleh ayahnya untuk film Modern Times. Sama seperti lirik lagu itu, sebagai seorang penghibur, kehidupan Chaplin sendiri sangat keras. Pria kelahiran Walworth, Inggris, 16 April 1889, itu tumbuh dan besar dalam kemiskinan. Menyelami DUNIA AJAIB Charlie Chaplin PENGANTAR REDAKSI: “Hidup itu tragis. Komedi adalah pita kehidupan.” Kutipan Charlie Chaplin (1889-1977) ini mendasari misinya untuk mengubah penderitaan menjadi tawa pelipur lara. Awal Desember 2017, atas undangan Jungfrau Railway, editor feature femina. Naomi Jayalaksana, mendapat kesempatan mengenal sisi pribadi komedian humanis itu di seperempat babak terakhir hidupnya di Swiss.

Upload: lamhanh

Post on 12-Feb-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

84 F E M I N A F E B 2 0 1 8

Venesia

BERTEMU EUGENE CHAPLINSmile though your heart is aching. Smile even

though it’s breaking...When there are clouds in the

sky, you’ll get by…

Suara merdu Nat King Cole saat menyanyikan Smile, mengalun, memenuhi halaman seluas 14 hektare, tempat Manoir de Ban, kediaman Charlie Chaplin, di Kota Vevey, Swiss. Sebuah chandelier cantik menjuntai dari salah satu dahan pohon oak berusia ratusan tahun yang meneduhi halaman depan rumah bercat hijau daun mint itu. Sinar lampunya yang keemasan mengaksentuasi langit senja yang berarak pergi berganti malam. Menghadirkan suasana syahdu dan melankolis.

Di sinilah saya berjumpa Eugene Chaplin, putra bungsu komedian pantomim Charlie Chaplin, salah satu ‘pahlawan’ saya sejak kecil. Bisa bertemu dengan salah satu keturunan Chaplin dan bertanya banyak tentang sisi pribadi ayahnya, menjadi sebuah kemewahan yang tak ternilai.

“Dari Chaplin saya belajar untuk meyakini bahwa mimpi bisa menjadi nyata, dan keajaiban itu ada,” ungkap saya penuh haru kepada Eugene.

Chaplin sendiri bagi saya adalah sebuah keajaiban. Akting dan mimiknya berbicara jauh melebihi kedalaman kata-kata. Pria yang hidup hingga usia 88 tahun ini berhasil menangkap kelucuan di balik tragedi, bahkan bersahabat dan tertawa bersamanya. Dengan cara ini tragedi tidak lagi menguasai hidupnya.

“Tawa adalah minuman tonik pelega penghapus lara. Sehari tanpa tawa adalah hari yang sia-sia,” ujar tokoh The Tramp ini. Persis seperti yang terungkap dalam lirik lagu Smile, yang baru saya tahu dari Eugene bahwa lagu ini ditulis oleh ayahnya untuk film Modern Times.

Sama seperti lirik lagu itu, sebagai seorang penghibur, kehidupan Chaplin sendiri sangat keras. Pria kelahiran Walworth, Inggris, 16 April 1889, itu tumbuh dan besar dalam kemiskinan.

MenyelamiDUNIA AJAIB

CharlieAJJAIBChaplin

PENGANTAR REDAKSI:“Hidup itu tragis. Komedi adalah pita kehidupan.” Kutipan Charlie Chaplin(1889-1977) ini mendasari misinya untuk mengubah penderitaan menjadi tawa pelipur lara. Awal Desember 2017, atas undangan Jungfrau Railway, editor feature

femina. Naomi Jayalaksana, mendapat kesempatan mengenal sisi pribadi komedian humanis itu di seperempat babak terakhir hidupnya di Swiss.

F E M I N A . C O . I D 85

TRAVEL

“Seumur hidupnya, ia adalah seorang pekerja keras,” ungkap Eugene, bungsu dari delapan bersaudara ini. Kepada anak-anaknya, Chaplin sering berpesan, “Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan, jika kamu mengusahakannya dengan keras. Jika kamu memiliki fokus tujuan yang pasti, kamu akan tiba di sana.”

Pengalaman hidup ini pula yang menurut Eugene membuat Chaplin cukup ketat memperhatikan pendidikan mereka. Eugene harus siap kena 'semprot' jika pulang sekolah dengan nilai buruk. “Ini karena kamu tidak belajar cukup keras,” tegur Chaplin. Meski bukan ayah yang keras, sindiran tajam ini bisa berlanjut hingga berhari-hari. “Ibu sampai meminta saya sembunyi tiap kali Ayah muncul,” kenang Eugene tertawa, mengingat akal-akalan ibunya, Oona Chaplin.

Tumbuh dan besar dalam ketidakteraturan agaknya membuat Chaplin cukup disiplin dalam membimbing anak-anaknya. Segala kegiatan di rumah mereka berjalan sangat terjadwal. Tepat pukul 19.45 mereka sudah duduk di meja makan untuk makan malam bersama. “Tidak ada

satu orang pun yang pergi meninggalkan meja sebelum waktunya. Jika terpaksa, mereka harus minta izin dengan sopan,” lanjut Eugene.

Meski terkesan cukup ketat, Chaplin tetaplah figur ayah yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Terlebih, karena sikap humoris itu tidak hanya berlangsung di layar kaca, tapi juga di dalam keseharian. Melalui potongan rekaman video buatan Oona, kami menyaksikan bagaimana Chaplin selalu berhasil membuat anak-anaknya tertawa. Ia bermain sulap, bercanda sampai mereka terguling-guling di rumput. Salah satu ulah konyolnya adalah mengurutkan kedelapan anaknya berdasarkan tinggi badan dan usia. Apakah itu saat mereka berfoto bersama, atau saat mengantre karcis di gedung pertunjukan.

NATAL DI KELUARGA CHAPLINKeesokan harinya, Eugene mengajak kami berkeliling Manoir de Ban. Bangunan bergaya neoklasik karya arsitek tersohor Philippe Franelini dibingkai oleh keindahan kebun anggur warisan dunia UNESCO Lavaux, Danau Geneva, dan puncak pegunungan Swiss yang memesona.

Sepeninggal Charlie dan Oona Chaplin, pada tahun 1991 rumah ini dipercayakan kepada Charlie Chaplin Museum Foundation. Hingga 8 April 2008, Genii Capital, sebuah perusahaan investasi asal Luxemburg, membeli rumah peninggalan Chaplin tersebut untuk mewujudkan proyek Museum Chaplin’s World.

Di tangan mereka, Manoir de Ban direka ulang ke masa kejayaannya, seperti saat Chaplin, Oona, dan kedelapan anak mereka tinggal di situ. Tepat di peringatan ulang tahun Chaplin ke-127, pada 16 April 2016, Chaplin’s World dibuka.

Begitu masuk pintu, kami disambut pohon Natal cantik setinggi lebih dari 2 meter yang menjulang, melewati anak-anak tangga menuju lantai atas. Sorot mata Eugene sarat dengan kenangan indah masa kecil. Senyumnya mengembang.

“Natal adalah saat paling istimewa di keluarga kami". Pagi-pagi benar, Santa Claus datang membawa sekarung hadiah, sambil menyanyikan lagu-lagu Natal di sepanjang selasar,” kenang Eugene. Suasana makin meriah saat paman mereka, Sidney Chaplin (kakak Charlie Chaplin) yang aktor film musikal, ikut menyanyi.

Senja di Manoir de Ban, diiringi lantunan merdu Nat King Cole.

satu orang pun yang pergi meninggalkan meja “Seumur hidupnya, ia adalah seorang pekerja

Pojok narsis di salah satu setting adegan film Modern Times di Chaplin's World.

Meresapi keindahan Natal di keluarga Chaplin.

Chaplin melengkapi layar TV di kamar mandinya dengan wiper untuk mehapus uap air. Inovatif!

86 F E M I N A F E B 2 0 1 8

Di saat Natal ini pula ayahnya akan menjamu teman-temannya, di antaranya aktris Sophia Lorens dan aktor Marlon Brando. Setelah usai, semua anak akan naik dan bermain di lantai atas, sementara orang dewasa berkumpul di ruang keluarga, mengobrol hangat, atau menyanyi sambil bermain musik.

Meski begitu, Eugene mengaku bahwa ayahnya itu tidak terlalu suka dengan cara orang memaknai Natal. Misalnya, saat Oona dan anak-anaknya heboh membuka kado-kado yang terhampar di bawah pohon Natal, Chaplin lebih memilih membaca koran di ruang keluarga. “Ia tidak suka dengan perayaan Natal yang komersial,” ujar Eugene. Lucunya, Chaplin justru meninggal tepat di pagi Natal, 25 Desember 1977. Ia mengembuskan napas terakhirnya di tengah kehangatan kasih dari orang-orang tercinta.

SAHABAT ALBERT EINSTEINDi lantai atas, sisi pribadi Chaplin sebagai sosok selebritas bisa disaksikan lewat deretan foto dirinya dengan tokoh dunia. Mulai dari Dalai Lama,Sophia Lorenz, Winston Churchil, dan Albert Einstein. Tidak banyak yang tahu bahwa Chaplin dan Einstein berteman dekat. Sebuah ruangan dipersembahkan khusus untuk mengenang persahabatannya dengan ilmuwan eksentrik ini.

“Yang mengagumkan dari karya senimu adalah sifatnya yang mendunia. Kamu tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi dunia memahamimu,” puji Einstein kepada Chaplin. Menyambut ucapan Einstein itu, Chaplin berujar, “Itu benar, tapi terlebih lagi ketenaranmu. Dunia mengagumimu ketika tidak seorang pun memahamimu.” Perbincangan bromance ini terjadi saat Einstein dan Chaplin berkendara di kawasan Hollywood, sebelum menghadiri penayangan perdana film Chaplin, City Lights (1931).

SOSOK PERFEKSIONIS“Perpustakaan menjadi ruangan favorit ayah saya,” cetus Eugene, mengantar kami memasuki ruangan bergaya Inggris. Sebuah meja kerja kayu tebal model Victoria berdiri bersisian dengan jendela kaca tinggi berkelambu merah hati yang menghadirkan pemandangan indah ke arah taman.

Di ruang perpustakaan inilah ayahnya paling banyak menghabiskan waktu. Hanya mengenyam pendidikan hingga usia 13 tahun, Chaplin mengedukasi dirinya dengan membaca buku. “Ia suka membaca buku karya Shakespeare,Charles Dickens, Guy de Maupassant,Nietzsche, buku-buku ensiklopedia. Dia gemar melahap buku sejarah,” ungkap Eugene.

Setidaknya, dua filmnya, A King in New York, A

Countess from Hong Kong, dan The Freak (belum sempat difilmkan), lahir di ruangan ini. Di sini juga ia merampungkan bukunya, My Autobiography

(terbit 1964). Ia kemudian akan membawa draft tulisannya kepada tetangganya, Truman Capote,penulis buku In Cold Blood. Meski pada akhirnya Chaplin sebal saat menerima naskahnya kembali dengan coretan pensil di sana-sini.

Sebagai seorang perfeksionis, pria yang piawai memainkan piano, cello, dan akordeon ini mengerjakan sendiri semua posisi dalam pembuatan film. Mulai dari penulis naskah, produser, pemain, sutradara, sampai komposer lagu.

Ruang keluarga menjadi lokasi Chaplin menciptakan lagu-lagu tema untuk filmnya. Sebuah piano pemberian pianis klasik asal Rumania, Clara Haskil, berdiri anggun di pojok ruangan. Saat Chaplin membuat komposisi lagu, Oona dengan sabar bersiaga di balik proyektor untuk memutar film. Di saat yang sama, Chaplin menggubah lagu langsung di atas piano.

“Kalau kurang puas, Ayah akan meminta Ibu mengulang adegan film tertentu. Karena belum ada teknologi digital, pekerjaan ini sangat rumit. Ibu harus mengingat di menit ke berapa adegan yang diminta Ayah,” kisah Eugene.

Ruang perpustakaan. Membayangkan sosok Chaplin membaca buku atau sibuk menulis naskah film di mejanya.

Pukul 1945 Semua orang harus duduk di kursinya masing-masing .

Di kaca ajaib ini, Anda tidak bisa melihat bayangan sendiri!

Kapan lagi dicukur oleh "Charlie Chaplin" di film The Dictator.

F E M I N A . C O . I D 87

TRAVELFO

TO: N

JL, J

UN

GFR

AU

, CH

AP

LIN

’S W

OR

LD

peristiwa bahagia itu. Ada yang berteori bahwa Oona menemukan figur ayah, sedangkan Chaplin mengikuti kegemarannya mengejar daun muda.

“Guess what? Cinta mereka bertahan hingga akhir. Rumah ini menjadi begitu aman dan nyaman karena kehadiran mereka berdua,” ujar Eugene. Tiap hari mereka tak pernah lupa mengungkapkan kasih sayang, entah lewat pelukan, ciuman, kerlingan mata menggoda, dan banyak lagi.

Di masa tuanya, ketika Chaplin tak bisa lagi berjalan sendiri, dengan setia Oona akan mendorong Chaplin di kursi rodanya. Berdua mereka menyusuri keindahan Danau Geneva, duduk-duduk di bangku taman, atau sekadar mengobrol sembari minum kopi di kafe. Sepeninggal Chaplin, Oona patah hati. Dengan setia ia tetap tinggal di Manoir de ban, mengurus rumah tangga dan anak-anaknya hingga meninggal 14 tahun kemudian, pada 27 September 1991.

HUMANIS SEJATI“Aku tidak punya masalah dengan Tuhan, tapi aku bermasalah dengan manusia,” ungkap Chaplin, seperti dikutip Eugene. Chaplin tak habis pikir bagaimana manusia kehilangan kemanusiaannya. Mereka hanya mengejar ego pribadi, bahkan jika itu harus menghancurkan manusia lain yang lemah dan harus dilindungi.

Pergolakan batinnya ini menjadi inspirasi bagi karya-karyanya. Tak ubahnya seorang jurnalis, ia menjadi saksi sejarah, dan mendokumentasikannya dalam film-film komedi bisu.

ROMANSA ABADI“Susah bicara tentang Ayah tanpa membicarakan tentang ibu saya. Sebagian besar kebahagiaan hidup ayah saya adalah hasil upaya dari ibu saya,” ungkap Eugene. Ia ingat benar, pagi-pagi sekali Oona bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka buku resep untuk merencanakan menu mereka seharian nanti.

“Saya kagum dengan kedisiplinan Ibu dalam mengelola waktu dan mengatur kegiatan di rumah kami,” kenangnya, saat kami memasuki ruang makan keluarga. Layar video di dinding memutar adegan kocak Chaplin dan kedelapan anaknya mengangkat sendok dari piring ke mulut dengan gerakan yang seragam, seperti robot. “Tentu saja ini hanya terjadi untuk kepentingan film yang dibuat ibu saya,” ujar Eugene, tertawa.

Oona adalah istri ke-4 sekaligus terakhir Chaplin. Ia putri pasangan penulis sandiwara Amerika dan kandidat peraih Nobel Literatur, Eugene O’Neill dengan Agnes Boulton,seorang penulis. Semasa hidupnya Eugene menentang pernikahan putrinya itu dengan Chaplin. “Sehari setelah kakek meninggal, saya lahir. Untuk mengenang Kakek, saya diberi nama Eugene,” kisah pria yang bergerak di bisnis pertunjukan sirkus dan pencari bakat itu.

Charlie mengenal Oona dalam audisi. Saat itu, sebagai bintang muda, Oona baru berusia 17 tahun dan Chaplin berusia 53 tahun. Keduanya saling jatuh cinta, dan menikah setahun kemudian. Banyak komentar miring mengiring

Kehidupan Chaplin dan karyanya menginspirasi seniman patung asal Inggris, John Doubleday, untuk mengabadikan sosok Chaplin di puncak tertinggi Eropa, Jungfrau yang berada pada ketinggian 4.158 meter di atas permukaan laut. John memilih salah satu adegan dalam film The Kid.

“Bagi saya, The Kid mewakili contoh sempurna dari sosok rapuh, namun dengan semangat kuat untuk tetap hidup. Ini yang membuat film klasik ini masih beresonansi kuat dengan kehidupan orang modern sekarang,” jelas John, yang mulai mengerjakan patung itu sejak Maret 2017.

Peresmian patung pada 7 Desember 2017 itu berlangsung meriah dengan kehadiran puluhan siswa sekolah usia 10 hingga 12 tahun. Mereka datang dengan mengenakan kostum Chaplin, lengkap dengan tongkat,

kumis, dan bowler hat. Anda bisa menyaksikan patung Chaplin ini di wahana Ice Palace, Jungfrau.

Butuh setidaknya satu jam perjalanan kereta, dari Stasiun Interlaken menuju Jungfrau. Namun, dengan pemandangan lanskap musim dingin di sepanjang jalan, waktu terasa berlalu begitu cepat!

Dengan layanan kereta dari Jungfrau Railway, kami diajak melintasi perbukitan, desa, hutan pinus dengan dahan-dahan berselimut salju, air terjun yang airnya mengeras oleh bunga-bunga es, dan menembus padasnya pegunungan. Melihat dari jauh para pemain ski meluncur di atas salju, dan bias sinar senja di antara puncak pegunungan di perjaanan pulang, menjadi makanan batin menyegarkan.

Ada lebih dari 80 film yang dihasilkan oleh Chaplin dalam 75 tahun kariernya di dunia film. The Great Dictator (1940) menjadi salah satu filmnya yang kontroversial. Adegan orasi Chaplin si tukang cukur yang dengan sempurna menirukan gaya Adolph Hitler membuat pemerintah Amerika Serikat mencurigai Chaplin sebagai simpatisan fasisme. Padahal, film itu merupakan kritik satir terhadap kekejaman pimpinan Nazi itu, dan tentang kehidupan damai dalam keberagaman ras.

Gara-gara hal ini, izin visanya dicabut oleh pemerintah AS. Chaplin yang baru saja pulang dari liburan keliling dunia (termasuk ke Bali, Indonesia) tidak diperbolehkan kembali ke Amerika. Alasan ini pula yang membawanya menetap di Swiss.

Di Museum Chaplin’s World, saya bisa menyaksikan penggalan adegan dari film-film terkenal Chaplin yang direkonstruksi ulang secara apik persis setting asli filmnya. Anda yang hobi berfoto narsis akan puas dengan wahana yang cukup interaktif ini!

Sempurna rasanya jika petualangan seru di Museum Chaplin’s World ini bisa ditutup dengan menikmati keindahan lanskap Manoir de Ban dari atas balon udara. Sayang, kondisi angin musim dingin yang kencang membuat kami batal terbang. Ah, setidaknya kami bisa tetap naik ke atas keranjang penumpang dan berfoto bersama. Tapi, siapa tahu, di kunjungan Anda yang berikutnya, cuaca cukup indah untuk berkelana dengan balon udara cantik bergambar Chaplin ini. �

Mengabadikan Chaplin di Puncak Eropa

Untuk informasi pemesanan tiket kereta api dan merencanakan liburan Anda bersama Jungfrau Railway, cek: www.jungfrau.ch.

Keindahan lanskap di sepanjang perjalanan menuju puncak Jungfrau.

John Double day mengabadikan Chaplin dalam adegan film The Kid.