menyeimbangkan perekonomian - bi.go.id november... · (kode area) 500 131 e-mail:...

16
Menuju Keseimbangan Ekonomi Dari Yogyakarta untuk Indonesia Respons Kebijakan BI: Biduk di Samudera Bergejolak Tantangan di Depan Mata 3 15 13 6 D i tengah upaya pemulihan ekonomi global, In- donesia mencatatkan situasi kompleks. Pada satu sisi pertumbuhan ekonomi masih melaju tinggi, tetapi rupiah terus melemah, dan ne- raca perdagangan mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak memasuki 2013. Impor mencuat menjadi sorotan, dengan beragam sudut pandang. Daya tahan ekonomi memang sudah jauh lebih baik daripada saat krisis moneter Asia 1997-1998 terlihat dari masih terkendalinya inflasi sekalipun di tengah tahun ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Me- masuki November 2013, inflasi pun sudah terlihat kembali menuju tren normal, meskipun masih ada imbas kenaik- an harga bahan bakar minyak itu. Namun, rencana Bank Sentral Amerika (The Fed) me- ngurangi kucuran stimulus seiring membaiknya ekonomi negara tersebut, menjadi sinyal nyaring tuntutan pem- benahan yang lebih luas dan mendasar bagi perekonomi- an Indonesia. Apalagi, saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pemulihan dengan tiga ke- cepatan. Sebuah pencarian keseimbangan baru ekonomi. Tak cukup pembenahan mengandalkan kebijakan moneter. Tiga kali kenaikan BI rate semata upaya korek- si atas kompleksitas ekonomi hari ini. Pembenahan sejati harus dilakukan pada komponen dan sektor yang me- mang fundamental. Struktural. u Kenaikan BI Rate: Saatnya Menginjak Rem 10 EDISI 44 n NOVEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA GERAI Susanto Menyeimbangkan Perekonomian Saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pe- mulihan dengan tiga kecepatan. Sebuah pencarian keseim- bangan baru.

Upload: buiduong

Post on 09-Mar-2019

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Menuju Keseimbangan Ekonomi

Dari Yogyakarta untuk Indonesia

Respons Kebijakan BI:Biduk di Samudera Bergejolak

Tantangan di Depan Mata

3

15

13

6

Di tengah upaya pemulihan ekonomi global, In-donesia mencatatkan situasi kompleks. Pada satu sisi pertumbuhan ekonomi masih melaju tinggi, tetapi rupiah terus melemah, dan ne-raca perdagangan mengalami defisit untuk

pertama kalinya sejak memasuki 2013. Impor mencuat menjadi sorotan, dengan beragam sudut pandang.

Daya tahan ekonomi memang sudah jauh lebih baik daripada saat krisis moneter Asia 1997-1998 terlihat dari masih terkendalinya inflasi sekalipun di te ngah tahun ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Me-masuki November 2013, inflasi pun sudah terlihat kembali menuju tren normal, meskipun masih ada imbas kenaik-

an harga bahan bakar minyak itu. Namun, rencana Bank Sentral Amerika (The Fed) me-

ngurangi kucuran stimulus seiring membaiknya ekonomi negara tersebut, menjadi sinyal nyaring tuntutan pem-benahan yang lebih luas dan mendasar bagi perekonomi-an Indonesia. Apalagi, saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pemulihan dengan tiga ke-cepat an. Sebuah pencarian keseimbangan baru ekonomi.

Tak cukup pembenahan mengandalkan kebijakan moneter. Tiga kali kenaikan BI rate semata upaya korek-si atas kompleksitas ekonomi hari ini. Pembenahan sejati harus dilakukan pada komponen dan sektor yang me-mang fundamental. Struktural. u

Kenaikan BI Rate: Saatnya Menginjak Rem

10

EDISI 44 n NOVEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA

gerai

Susanto

Menyeimbangkan Perekonomian

Saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pe-mulihan dengan tiga kecepatan. Sebuah pencarian keseim-bangan baru.

2 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

MEj

A R

EDA

KSI

DARI MEJA GUBERNUR

Dok BI

Penanggung JawabDIFI A JOHANSYAH

Pemimpin RedaksiPETER JAcOBS

Redaksi PelaksanaRIzANA NOOR

DWI MUKTI WIBOWOERNAWATI JATININGRUM

WAHYU INDRA SUKMASURYA NANGGALA

DAHLIA DESSIANAYANTHILINA ERNAWATI

Alamat RedaksiDepartemen Komunikasi

Jl MH Thamrin No 2 - Jakarta Pusatcontact center BIcARA:

(Kode Area) 500 131e-mail: [email protected]

website: www.bi.go.idtwitter: @bank_indonesia

Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.

redaksi

AGUS DW MARTOWARDOJOGubernur Bank Indonesia

Pertumbuhan yang tinggi dan ber kua litas adalah ultimate target pembanguna n ekonomi yang ingin kita ca pai. Dalam

konteks ini, ekonomi tumbuh berkesinam-bungan yaitu ber tumbuh secara stabil dalam jangka panjang.

Dinamika ekonomi 2013 mengharuskan Bank Indonesia sebagai pengawal stabilitas tampil ke depan. Mengapa?

Kami harus memastikan bahwa pereko-nomian nasional tumbuh dalam jalur yang seharusnya (on-track). Perekonomian harus tumbuh berimbang dan sehat, untuk melan-dasi kesinambungan pertumbuhan.

Dinamika ekonomi kita memang mulai menunjukkan ketidakseimbangan dan per-geseran. Dimulai dari defisit neraca transaksi berjalan pada akhir 2011 dan masih berlanjut hingga November 2013.

Ketahanan Neraca Pembayaran Indone-sia (NPI) tambah goyah karena dampak dari per geseran lanskap ekonomi global. Mo-mentum laju pertumbuhan ekonomi sejak 2010 pun tersendat, terkendala lemahnya keta hanan neraca pembayaran (balance of payment constrained growth).

Tak berimbangnya NPI tergambar jelas da ri berlebihnya permintaan devisa di pasar, mengakibatkan fluktuasi tajam nilai tukar ru-piah. Dan, fluktuasi nilai tukar berarti ketidak-pastian bagi dunia usaha dan masyarakat luas.

Ketidakpastian adalah musuh, karena merusak apa yang sudah direncanakan, ter-masuk investasi. Sementara, investasi diper-lukan agar ekonomi lebih memiliki ruang (ca-pacity) untuk tumbuh tinggi dan menyerap angkatan kerja.

Pelemahan rupiah yang terlalu tajam pun dapat merugikan perekonomian nasio nal karena bisa memicu lingkaran negatif yang membahayakan, antara ekspektasi depresia-si dan ekspektasi inflasi. Apalagi, inflasi sem-pat melambung karena kebijakan kenaikan harga BBM pada pertengahan 2013.

Dalam pandangan kami, keseimbangan ekonomi sudah bergeser dari jalurnya. Inilah saatnya kita menyetel ulang (rebalancing)

per tumbuhan dan melakukan penyesuai an agar ekonomi kembali ke jalur yang seha-rusnya, lebih sehat dan kembali berimbang.

Menyehatkan kembali postur neraca pembayaran memang butuh kebijakan re-for masi struktural, karena itulah akar pe nye-babnya. Ini alasan pemerintah menggulir-kan paket kebijakan struktural pada Agustus 2013.

Namun, efektivitas kebijakan struktural memerlukan waktu cukup lama untuk terli-hat hasilnya. Sementara tekanan pelemahan ru piah sebagai respon atas defisit neraca transaksi berjalan sudah terlanjur terjadi de-mikian cepat, bahkan bergerak berlebihan, serta berisiko memicu gejolak.

Karena itu, Bank Indonesia tidak bisa menunda-nunda waktu. Lambat merespons gejolak seringkali membuat kita kehilangan momentum, berkonsekuensi pada besarnya biaya yang harus ditanggung perekonomian.

Kebijakan stabilisasi harus dikedepankan. Baik melalui kenaikan suku bunga, makropru-densial, maupun intervensi di pasar valas.

Kenaikan suku bunga memang dapat memperlambat laju pertumbuhan, namun per lambatan itu harus dilihat sebagai proses penyesuaian yang diperlukan, agar ke depan perekonomian kita memiliki fondasi yang le bih kokoh untuk tumbuh sehat dan berim-bang. u

Menyetel UlangKeseimbangan Ekonomi

Inilah saatnya kita menye-tel ulang (rebalancing) per-tumbuhan dan melakukan penyesuai an agar ekonomi kembali ke jalur yang seha-rusnya, lebih sehat dan kembali berimbang.

3EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

fOK

US

Susanto

Apakah setiap resesi ekonomi yang dalam masih selalu diikuti pemulihan secara cepat? Adakah perubahan pola soal siklus bisnis (business cycle) di perekonomian

hari ini dibandingkan sejarah ekonomi mo-dern yang ditorehkan dua abad terakhir?

Dari abad ke-19 sampai sebelum Perang Dunia I, ketika bank sentral belum dibentuk di Amerika Serikat, banyak ditemui fenome-na resesi ataupun krisis ekonomi yang pe-mulihannya berlangsung cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengulangan siklus per ekonomian itu pun sederhana, biasanya terkait aktivitas sektor riil entah investasi in-frastruktur, kondisi hasil panen, atau pene-muan tambang emas baru.

Setelah era Perang Dunia I, faktor yang mem pengaruhi resesi dan pemulihan eko-nomi makin kompleks dan lebih banyak di-do minasi kebijakan bank sentral. Depresi Hebat 1929-1930 menunjukkan karakteristik yang berbeda dari krisis pada periode sebe-lumnya. Pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat, dampak krisis terasa ke seluruh du-nia, termasuk Hindia Belanda yang kala itu terpukul anjloknya harga komoditas ekspor perkebunan.

Sesudah era tersebut, resesi ekonomi yang terjadi pun menorehkan warna bera-gam. Ada yang cepat pulih, ada yang lambat,

bahkan ada yang lambat sekali. Dalam satu dekade terakhir, muncullah istilah baru un-tuk menyederhanakan siklus bisnis itu, men-jadi boom dan bust.

Lima tahun terakhir, menyusul krisis fi-nansial global pada 2008, ekonomi Amerika Serikat dan Eropa tumbuh sangat lambat se-dangkan negara berkembang tumbuh me-lesat didorong perpindahan aliran modal. Hing ga hari ini, ekonomi masih tumbuh lambat di seluruh belahan dunia, dengan be-ragam dinamika.

Siklikal atau Struktural?Lambatnya pemulihan ekonomi dalam

dinamika perekonomian global saat ini ke-mudian memunculkan pertanyaan besar. Apa kah penurunan kinerja ekonomi seka-rang masih merupakan problem siklikal atau sudah menjadi persoalan struktural?

Pola siklikal biasanya hanya bersifat jang-ka pendek, untuk pulih tak lama kemudian. Se mentara pemulihan yang butuh waktu pan jang pada umumnya merupakan pertan-da ada persoalan struktural di dalam pereko-nomian.

Kompleksitas persoalan juga terlihat dari pergeseran lanskap perekonomian global. Dua tahun lalu muncullah perbincangan ten tang two-speed world recovery, yakni pe-mulihan ekonomi negara maju berjalan

lambat sedangkan di negara berkembang akan berlangsung cepat. Fakta hari ini, situa-si berbalik. Ekonomi Amerika mulai terlihat menguat lagi, Eropa memperbesar peluang keluar dari krisis utang, sementara ekonomi negara berkembang malah melambat.

Dalam acara bankers dinner November 2013, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Mar towardojo menyebut situasi ekonomi glo bal hari ini sebagai three-speed world re-covery. Laju pemulihan ekonomi global ma-kin tak seragam.

Keseimbangan BaruEkspor komoditas yang menjadi andal-

an negara berkembang selama super cycle pa da 2001 sampai 2008, kini anjlok seiring pe nurunan harga komoditas. Pada saat yang sama, impor masih deras, karena kemam-puan untuk menghasilkan bahan baku dan barang modal belum terbangun optimal.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini tinggi di negara berkembang kebanyakan tak didorong oleh fundamental struktural di da lam negeri. Terlihat saat ekspor komoditas melemah, impor masih tetap tinggi, maka defisit neraca perdagangan menganga. Di-tambah pembalikan arus modal, maka ber-guncanglah ekonomi negara berkembang yang pada tahun-tahun terakhir dipenuhi pujian.

Indonesia bukan pengecualian dari gam-baran umum negara berkembang tersebut. De fisit neraca perdagangan yang terjadi un tuk pertama kali dalam beberapa dekade ter akhir, ditingkahi fluktuasi nilai tukar dan harga saham di Bursa Efek Indonesia. Inflasi yang melejit menyusul kenaikan harga ba-han bakar minyak bersubsidi menjadi faktor tambahan.

Maka, koreksi tak terhindarkan lagi. Kali ini untuk menemukan keseimbangan baru ekonomi yang lebih selaras dengan peno-pang fundamental. Kebijakan ekonomi disu-sun untuk memastikan inflasi terkendali, nilai tukar rupiah terjaga pada kondisi fundamen-talnya, serta defisit neraca transaksi berjalan dapat ditekan menuju tingkat yang sehat. u

MenujuKeseimbanganEkonomi

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini tinggi di negara berkembang kebanyakan tak didorong oleh fundamental struktural di dalam negeri.

4 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

fOK

US

Tanpa pertanda, pada 22 Mei 2013 Gu-bernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mengatakan sudah saatnya Amerika mengurangi guyuran stimu-lus. Untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi, The Fed mengucurkan 85 miliar dolar AS per bulan untuk membeli obligasi negara.

Pidato Bernanke sontak berdampak, salah satunya berupa pembalikan arus modal. Arus mo dal yang selama beberapa waktu mengalir ke emerging market, berbalik kembali ke Ameri-ka, di tengah perekonomian global yang tak ter-lalu bergairah.

Bagi Indonesia, pidato ini ibarat dentang lonceng memekakkan, menambah lagi alarm yang bermula dari defisit neraca perdagangan dan berujung pada pelemahan kurs rupiah. Sepanjang 2013 defisit transaksi berjalan Indo-nesia membesar akibat perlambatan ekspor.

Penurunan neraca ekspor Indonesia meru-pakan dampak dari anjloknya harga komodi-tas yang saling bersilang-sengkarut dengan me lemahnya permintaan dari pasar ekspor utama. Pada saat yang sama, impor masih kuat. Hasilnya, defisit neraca transaksi berjalan men-capai 3,4 persen produk domestik bruto.

Modal asing yang selama ini parkir di surat utang negara (SUN) banyak pula yang keluar.

Penurunan neraca ekspor Indonesia merupakan dampak dari anjloknya harga komoditas yang saling bersilang-sengkarut dengan melemahnya permintaan dari pasar ekspor utama.

MElaMbatuntuk lebihSEiMbang

Susa

nto

5EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

fOK

US

Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun melonjak 275 basis poin selama 2013. Karena banyak modal asing keluar, neraca pembayaran In-donesia pun ikut defisit.

Tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia sempat menurunkan cadangan devisa sampai tinggal 92,7 miliar dolar AS. cadangan devisa baru kembali bertambah 96,1 miliar dolar AS pada September 2013.

Lalu, pada Juni 2013 Pemerintah menaik-kan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Inflasi melejit seiring melonjaknya harga pa ngan, meski masih terkendali. Namun tak bisa dipungkiri lonjakan inflasi ini mengubah tren penurunan inflasi yang sudah berlang-sung selama satu dekade terakhir.

Dengan semua rententan peristiwa ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat selama 2013. Tak hanya target pertumbuhan ekonomi 2013 yang kemudian direvisi, tetapi juga proyeksi 2014. Meskipun, perlambatan yang terjadi tak sedrastis seperti di cina dan India, yang sebelumnya juga sama-sama mencatatkan angka pertumbuhan fantastis.

Berbenah Lebih BaikBeragam strategi untuk mengantisipasi

dinamika perekonomian global, termasuk pe ngurangan stimulus oleh The Fed, diran-cang. Tak terkecuali oleh Bank Indonesia. Bauran kebijakan diperkuat. Paket kebijakan tersebut sekaligus disusun untuk membantu perbaikan defisit neraca transaksi berjalan.

Selama kurun Juni sampai November 2013, Bank Indonesia tiga kali menaikkan suku bunga acuan (BI rate). Total kenaikan nya mencapai 175 basis poin, dari 5,75 persen menjadi 7,5 persen. Pada rentang Juni sam-pai Sep tember 2013, Bank Indonesia juga memperkuat operasi moneter untuk menye-rap kelebihan likuiditas di perbankan, seka-ligus memompa upaya pendalaman pasar ke uangan domestik.

Bank Indonesia memastikan pula bera-gam langkah stabilisasi nilai tukar rupiah. Di antaranya dengan mendorong penyediaan ragam instrumen lindung nilai dan meme-nuhi kebutuhan likuiditas valuta asing di pasar domestik.

Kerja sama antar-bank sentral di kawasan juga diperkuat. Salah satunya berupa kese-pakatan pinjaman dana siaga (billateral swap agreement) dengan bank sentral Jepang.

Dari sisi makroprudensial, Bank Indo-nesia membantu menahan laju permintaan yang mayoritas didorong sektor konsumsi, seperti di sektor otomotif dan properti, mela-lui pengaturan manajemen risiko perbankan. Salah satu kebijakan terkait hal itu adalah ter-bitnya revisi aturan mengenai loan to value ratio (LTV) untuk kucuran kredit kepemilikan kendaraan dan perumahan.

Situasi perekonomian global dan kondisi di dalam negeri harus diantisipasi dengan

langkah bervisi ekonomi stabil dan seim-bang. Respons kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia lebih diarahkan untuk me-mastikan penyesuaian ekonomi di tengah tekanan global berjalan secara terkendali (orderly rebalancing) menuju arah yang lebih sehat.

Beruntung, sistem keuangan Indonesia saat ini relatif cukup solid, terutama di sektor perbankan. Angka kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL) masih rendah de ngan posisi rasio kecukupan modal (cAR) cukup tinggi. Kondisi tersebut memberi ru-ang untuk menyerap tambahan risiko selama perlambatan ekonomi berlangsung.

Posisi utang luar negeri pemerintah mau pun swasta juga masih dalam proporsi yang sehat dan aman, mengurangi satu lagi risiko perlambatan ekonomi. Dari sisi fiskal, defisit APBN juga masih terkendali. Pemerin-tah pun telah mengeluarkan paket kebijakan pada Agustus dan Oktober yang memberi-kan insentif fiskal untuk mendorong investasi sekaligus mendorong ekspor.

Hasilnya, indikator ekonomi Indonesia mulai memperlihatkan indikator positif. Pro-ses koreksi ekonomi Indonesia terkendali. Defisit neraca perdagangan pada kuartal ketiga 2013 mulai menurun. Aliran modal a sing pun kembali masuk.

Membaiknya neraca perdagangan juga berdampak positif pada nilai tukar rupiah sejak akhir September 2013. Inflasi juga pela-han menurun, kembali ke pola historis, se-iring terkendalinya imbas dari kenaikan har-ga BBM.

Namun, inflasi masih tercatat tinggi pada barang-barang yang harganya ditentukan pemerintah (adminestered price) dan pangan (volatile food). Sedangkan inflasi inti ada di bawah 5 persen, masih berada pada rentang target inflasi 4,5 plus minus 1 persen. Hingga akhir tahun, inflasi diperkirakan bakal berada di level sekitar 8,5 persen.

Tapering yang tak jadi dimulai pada Ok-tober 2013 sebagaimana perkiraan banyak kalangan, merupakan tambahan waktu bagi negara berkembang termasuk Indonesia un-tuk bernapas. Namun, tantangan tetap ada di depan mata. Pengurangan stimulus pasti akan terjadi, hanya soal waktu dan tahapan-nya.

Apapun kebijakan dari Bank Indonesia, sesuai fitrahnya adalah respons yang bersifat jangka pendek sesuai dengan siklus pereko-nomian global maupun domestik. Penguat-an ekonomi yang lebih fundamental jelas butuh perbaikan struktural, yang itu mutlak perlu gerak langkah serentak dari seluruh in-stansi dan warga negara Indonesia.

‘’Ketika perekonomian berada dalam proses koreksi menuju soft landing, kami melihat beberapa tantangan dari global dan domestik masih mengemuka. Tantangan bu kan hanya berpola siklikal, namun juga struktural, sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama,’’ kata Gubernur Bank Indone-sia, Agus DW Martowardojo. Bagaimanapun, mimpi besar yang harus diwujudkan adalah ekonomi yang tumbuh mantap, bukan seka-dar tumbuh cepat. u

Respons kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia lebih diarahkan untuk memastikan pe-nyesuaian ekonomi di tengah tekanan global berjalan secara terkendali (orderly rebalancing) menuju arah yang lebih sehat.

Susanto

6 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

Sebuah pernyataan dilontarkan Gu bernur Bank Sentral Amerika Se rikat, Ben Bernanke, pada 22 Mei 2013. Singkat saja. “If the data supports, The Fed could take a step

down in the next two meetings.” Namun, dampaknya mengglobal. Sen-

timen para investor langsung ber go yang. Dana asing yang sebelumnya mem banjiri negara berkembang, berbalik arah. Pasar keuangan di kawasan negara berkembang pun langsung tertekan, tak terkecuali Indo-nesia. Bagi Indonesia, wacana tapering ada-lah satu lagi tantangan di depan mata.

Ada tiga tantangan utama dengan im-plikasi besar yang kini menghadang Indo-nesia. Selain tapering dan imbas kebijakan Amerika secara umum, dua tantangan lain adalah pergeseran lanskap ekonomi global dan berakhirnya era super-cycle.

Tiga Kecepatan Optimisme perbaikan ekonomi global

sempat merebak pada awal 2013. Roda eko-nomi dunia diprediksi bergulir lebih cepat, dengan cina dan India sebagai tumpuan ketika ekonomi Jepang, Amerika, dan Eropa diperkirakan masih berkutat dengan krisis. Proyeksi ini menggambarkan ekonomi glo-bal mulai masuk fase pemulihan dua kece-patan dan akan segera keluar dari krisis.

Dalam perkembangannya, pertumbuh-

an te tap melambat, hanya pendorongnya bergeser. Mesin ekonomi cina dan India kehilang an tenaga. Di sisi lain, ekonomi Amerika Se rikat dan Jepang mulai bergu-lir cepat. Permintaan domestik di Amerika Serikat menguat, sedangkan pemulihan ekonomi Jepang tertolong kebijakan Abe-nomics. In dikator ekonomi Eropa juga me-nunjukkan tanda-tanda keluar dari krisis.

Lanskap ekonomi global bergeser, men-jadi fase pemulihan tiga kecepatan. Perta-nyaannya, perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut ini masuk kriteria kejadian sesaat (siklikal) atau permanen (struktural)? Pada kasus perlambatan eko-nomi Ame rika Serikat dan cina, ada indikasi persoalan struktural.

Pertumbuhan potensial Amerika Serikat yang dulu 3,5 persen kini hanya 1,75 persen, meskipun sekarang sudah mulai membaik.

Perubahan demografi, penurunan inovasi teknologi, serta lemah nya penelitian dan pengembangan menjadi faktor penyebab.

Adapun model pertumbuhan cina telah men capai batas optimum dan memasuki fase baru (new normal). Ekonomi cina hanya mam pu tumbuh sekitar 7 persen setelah se-belumnya melaju dua digit. Kontribusi eks-por dan investasi cenderung turun karena utang negara maju sudah cukup tinggi dan terjadi over-investment di cina.

Imbas Kebijakan Amerika Serikat Dalam sistem moneter internasional

saat ini, Amerika Serikat memiliki keistime-waan (exorbitant privilege) sebagai pemasok dollar dunia. Dinamika ekonomi Amerika Se rikat berdampak signifikan terhadap eko-nomi global, termasuk soal kebijakan mone-ter ultra-akomodatif oleh the Fed.

Sejak krisis 2008, the Fed menggelon-torkan likuiditas dalam jumlah besar untuk mendorong ekonomi domestik yang se-dang lesu. Likuiditas tersebut memicu aliran modal masuk ke negara berkembang. Nilai tukar dollar AS melemah, sementara nilai tukar mata uang negara lain cenderung me-nguat.

Lima tahun berlalu, penyesuaian per-mintaan global mulai terlihat. Ekonomi Ame rika Serikat menguat lagi seiring pe-ningkatan kepercayaan konsumen dan pe-

nyerapan tenaga kerja serta berkurangnya angka pengangguran. Muncullah rencana tapering alias pengurangan stimulus itu.

Rencana tapering menimbulkan gelom-bang besar di pasar keuangan global. Harga saham berjatuhan, nilai tukar tertekan, dan risiko keuangan meningkat tajam. Penun-daan tapering dan masalah anggaran Ame rika, hanya menjadi tambahan faktor ketidakpastian perekonomian global, beru-jung gejolak di pasar keuangan.

Akhir Era Super-CycleKetidakpastian juga terjadi pada per-

kembangan harga komoditas global. Dalam satu dasawarsa terakhir, harga komoditas melejit dan dikenal sebagai super-cycle harga komoditas. Era supercycle terutama didorong permintaan tinggi seiring indus-trialisasi dan urbanisasi. Ekonomi dunia yang tumbuh cukup pesat, terutama sejak munculnya cina sebagai kekuatan baru di tataran eko nomi global, menjadi pen-dorong melonjaknya permintaan dan harga komoditas.

Sejak 2010, kondisi tersebut berubah. Harga komoditas, kecuali minyak, menun-jukkan tren menurun. Penelitian Jacks (2013) menyimpulkan bahwa puncak su-per-cycle telah terjadi pada dasawarsa tera-khir. Sesudah 2010, harga komoditas terus menunjukkan penurunan. Penelitian juga mengindikasikan pergerakan harga komo-ditas global yang semakin tidak stabil (vola-tile).

Mutlak BersiapTiga isu global tersebut menggambar-

kan tantangan yang tidak ringan. Apalagi, the Fed diperkirakan segera mengurangi kebijakan moneter ultra akomodatif. Jika ini terjadi, likuiditas global akan semakin ketat. Investor global akan tambah bergegas me-narik modalnya dari negara berkembang.

Indonesia harus bersiap diri mengha-dapi badai tantangan di depan mata. Bagi Indonesia, penguatan fundamental ekono-mi adalah harga yang tidak bisa ditawar. Re-formasi struktural mendesak dilakukan dan butuh dukungan semua kalangan, selain memperkuat kerja sama bilateral, regional, maupun internasional. u

fOK

US

Dok

FIRMAN HIDAYATDepartemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola

tantangan di Depan MataBagi Indonesia, penguatan fundamental ekonomi adalah harga yang tak bisa ditawar.

7EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

fOK

US

Setelah bertahun-tahun menunjuk-kan kinerja perekonomian yang ba gus, negara-negara emerging mar ket mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meski-

pun, beberapa negara berkembang sudah semakin tangguh dan lebih baik menyikapi persoalan ekonomi akibat pengaruh ekster-nal, selepas krisis ekonomi Asia pada 1997.

Para ekonom masih berdebat apakah si-tuasi kali ini bersifat siklikal ataukah jangka panjang. Kalaupun siklikal, para ekonom ber-pendapat kondisi ekonomi negara berkem-bang tak akan pulih ke tingkat pertumbuhan sebelumnya.

Negara berkembang sebenarnya juga sudah mengambil beragam tindakan pence-gah an untuk menghindari risiko sistemik yang meluas di sistem keuangan. Brasil, misalnya.

Negara itu melakukan kombinasi ke bijak-an moneter dengan menaikkan suku bu nga acuan, pengetatan fiskal, dan kebijakan makro-prudensial. Tujuan utamanya, meredam in flasi dan mewujudkan kestabilan sistem finansial.

Menjaga Laju KreditKetika harga komoditas masih melam-

bung tinggi bersamaan dengan likuiditas glo bal mengalir ke emerging market, kenaik-

an agregat permintaan juga mendorong kredit domestik melaju kencang.

Menghadapi fenomena tersebut, Brasil

memfokuskan kebijakan makroprudensial-nya ke tiga instrumen. Yaitu, pajak transaksi finansial (imposto sobre operações financei-ras/IOF), reserve requirement (giro wajib mi-nimum), dan istrumen pembatas untuk pin-jaman konsumer. 

IOF sebesar 2 persen diterapkan lagi sebagai respons banjir arus modal asing ke instrumen portofolio per Oktober 2009. Be-saran itu dikenakan untuk pembelian oleh pihak asing atas portofolio dalam negeri se-perti obligasi dan saham.

Tujuan penerapan IOF adalah mencegah fluktuasi keluar masuknya hot money. Penge-naan pajak diharapkan membuat modal yang masuk itu berdiam di dalam negeri dalam jangka panjang.

IOF diklaim sukses untuk mengurangi beberapa jenis arus modal masuk. Namun, mengingat tingkat suku bunga Brasil relatif tinggi, masih banyak hot money menyasar ke instrumen fixed income.

Situasi ini membuat otoritas keuangan Brasil memperluas pajak itu ke beberapa ins-trumen lain dengan masa jatuh tempo ber-beda. Pada Maret dan April 2011, IOF diterap-kan pula untuk pinjaman luar negeri dengan masa kurang dari 360 hari dan 720 hari.

Bank Sentral Brasil menerapkan pula aturan yang mengaitkan giro wajib mininum (GWM) dengan laju pertumbuhan kredit. Ke-bijakan ini diselaraskan juga dengan penge-tatan aturan kredit konsumer.

Bank besar bisa menikmati penurunan giro wajib mininum bila menyalurkan likuidi-tas kepada bank kecil dan menengah yang mengalami kesulitan pendanaan. Kebijakan berbasis GWM tersebut efektif menaikkan suku bunga kredit, menahan laju kredit pada tingkat yang sehat.

Namun perbankan berusaha mencari ce-lah menggunakan pinjaman antar bank, ter-utama melalui anak perusahaan di bidang multifinansial. Bank Sentral Brasil pun kemu-dian menerapkan aturan GWM 100 persen untuk pinjaman jangka pendek antarbank.

Sementara, booming di sektor kredit kon-sumer telah menyebabkan tingginya debt service ratio di rumah tangga Brasil. Tingkat utang rumah tangga di Brasil melampaui 40 persen pendapatan.

Kredit yang dikhawatirkan bakal menim bulkan masalah adalah kartu kredit, kredit tanpa agunan, kredit dengan cici-lan langsung potong gaji, kredit pemilikan kendara an, dan kredit pemilikan rumah. Untuk menanggulanginya, Bank Sentral Bra-sil mene rapkan ketentuan loan to value ra-tio (LTV) di sisi debitur dan juga GWM di sisi kreditur untuk penyalur an kredit ke sektor berisiko ini.

Mengefektifkan MakroprudensialKebijakan makroprudensial akan benar-

benar efektif bila dipadukan dengan kebi-jakan moneter yang tepat pada saat situasi eksternal mendukung pula. Paduan kebijak-an fiskal dan moneter di Brasil yang diambil setelah terjadi krisis finansial global tak bisa menahan ekonomi negara itu kepanasan.

Salah satu indikator yang terjadi di Brasil adalah melebarnya defisit neraca transaksi berjalan. Situasi ini menjadi landasan Bank Sentral Brasil melakukan modifikasi kebijak-an makroprudensial.

Pelaku pasar yang terus berusaha men-cari celah untuk “mengakali” aturan adalah tantangannya. Pada akhirnya kebijakan ma-k ro prudensial bukanlah pengganti kebijakan moneter, tetapi melengkapinya. u

Kombinasi Tepat

Kebijakan makroprudensial akan benar-benar efektif bila dipadukan dengan kebijakan moneter yang tepat pada saat situasi eksternal mendukung pula.

7EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

Susanto

8 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

LIpU

TAN

Dok

Dok

BI

Hujan deras di petang hari menjelang Maghrib, 14 November 2013, tak me-nyurutkan para undangan datang ke Gedung Kebon Sirih Kompleks Perkan toran Bank Indonesia. Mereka

ada lah para pimpinan dan anggota DPR, menteri di bidang ekonomi, pimpinan perbankan, dan ka-langan dunia usaha.

Hadir pula di jajaran para tamu, pimpinan redaksi media massa utama, pengamat ekonomi, pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian, dan sejumlah lembaga internasional. Semua me-nanti pidato akhir tahun Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardjojo, di pertemuan tahunan perbankan 2013.

Pertemuan akhir tahun menjadi ajang strate-gis perekonomian nasional dan menjadi pusat per hatian. Maka, setiap detil penyajian acara pun menjadi penting. Bank Indonesia harus menjadi tuan rumah yang baik dan ramah.

Tepat pukul 19.00 WIB, Gubernur Bank Indo-nesia dan anggota Dewan Gubernur beserta para undangan memasuki ruang chandra. Suguhan makan malam disajikan diiringi musik jazz. Tiba pukul 19.45 WIB, Gubernur Bank Indonesia me-nyampaikan pidato akhir tahunnya.

Tiga Isu Besar GlobalDalam pidato tersebut, Gubernur Bank Indo-

nesia memaparkan tiga isu besar perekonomian

global yang memberikan ketidakpastian dan te-kan an kepada ekonomi Indonesia pada 2013. Ke-tiga isu itu mencakup ketidakpastian pemulih an perekonomian global, ketidakpastian terkait ke-bijakan di Amerika Serikat, dan ketidak pastian harga komoditas.

Tiga isu utama ekonomi global tersebut tidak dapat dihindari menurunkan kinerja ekonomi In-donesia. Di tengah kuatnya pertumbuhan ekono-mi domestik, isu-isu besar itu memicu tekanan ter hadap neraca transaksi berjalan. Karenanya, kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk memastikan inflasi tetap terkendali, nilai rupiah terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit neraca transaksi berjalan dapat ditekan ke tingkat yang sehat.

Arah KebijakanSebagai respons atas tantangan yang diha-

dapi, Gubernur Bank Indonesia memaparkan arah kebijakan bank sentral ke depan, termasuk meng-hadapi transisi politik 2014. Seluruh paparan tak hanya disampaikan lisan tetapi disertai presentasi tabel dan diagram dalam layar lebar di samping podium.

Dalam paparannya, Gubernur Bank Indonesia menegaskan arah kebijakan yang konsisten men-jaga stabilitas perekonomian dan sistem keuang-an. Stabilitas dikedepankan agar struktur pereko-nomian menjadi lebih seimbang dan sehat.

Sambutan akhir tahun gubernur bi

Meletakkan Fondasi Ekonomi

EDHIE HARYANTODepartemen Komunikasi

Arah kebijakan yang konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan.

9EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

MO

NET

AR

IA

MONETARIA

Mendekati akhir 2013, istilah rebalancing ekonomi kembali mencuat. Lanskap ekonomi global disebut telah bergeser, dari proyeksi pemulihan dua

kecepatan (two speed recovery) menjadi pe-mulihan tiga kecepatan (three speed recovery).

Lagi-lagi adalah Ben Bernanke, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, yang menjadi-kan istilah pemulihan dua kecepat an dalam konteks ekonomi global itu terke nal. Pada 19 Juli 2010, Bernanke berpidato di depan jajaran petinggi Bank Sentral Uni Eropa (EcB), ber-judul Rebalancing the Global Reco very'.

Dalam pidato tersebut, Bernanke banyak berbicara tentang perbandingan perekono-mian negara ekonomi berkembang (emerging market economies) dan negara maju (advanced economies). Dia mendefinisikan pemulihan dua kecepatan sebagai situasi ketika negara ekonomi berkembang memiliki laju pertum-buhan yang jauh melampaui negara maju, pada masa pemulihan setelah krisis keuang an global yang bermula dari Amerika Serikat .

Bernanke mengatakan, perbedaan ke-cepatan pemulihan tersebut pada satu sisi disebabkan oleh perbedaan potensi kedua kelompok negara,. Namun, pada sisi lain harus diakui ada perlambatan pertumbuhan di ne-gara maju meskipun kondisinya sudah mem-baik. Pidato itu menyajikan pula data bahwa sepulih-pulihnya ekonomi negara maju tak akan kembali ke tingkat sebelum krisis, se-baliknya negara berkembang telah tumbuh pada kisaran angka yang sama dengan saat negara maju mulai mendekati krisis.

Pada 2013, gambaran soal kesetimbanga n baru melalui pendekatan dua kecepatan pe-mulihan ekonomi global itu mentah. India dan cina yang semula diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi tinggi di negara berkembang, tiba-tiba kehabisan tena-ga. Amerika dan Jepang yang masuk kategori negara maju justru mencatatkan percepatan tren pemulihan ekonomi. Namun, Eropa yang ada dalam satu kategori dengan Amerika dan Jepang masih berkutat de ngan krisis utang.

Inilah yang kemudian mendorong munculnya frasa pemulihan tiga kecepatan. Ditambah, membaiknya ekonomi Amerika pun akan segera diikuti pengurangan kucur-an stimulus. Artinya, aliran modal bakal turut ber balik. Tantangan besar menghadang ne-gara berkembang.u

Speed Recovery

Tu ju annya, menyiapkan fondasi yang kuat bagi transformasi ekonomi ke depan. Kebi-jakan itu diimplementasikan dalam bauran kebijakan di bidang moneter, makropruden-sial, dan sistem pembayaran.

Dari sisi kebijakan moneter, BI Rate akan konsisten diarahkan untuk mengendalikan inflasi agar sesuai target. Kebijakan nilai tu-kar ditempuh guna mengarahkan agar ber-gerak sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat berperan menjadi instru-men peredam gejolak.

Lalu, operasi moneter akan melanjutkan strategi menyerap ekses likuiditas struktural secara terarah dan terukur. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat pengembang-an pasar uang rupiah maupun valas dan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan.

Di samping itu, Bank Indonesia juga akan terus mening katkan ketahanan eks-ternal melalui kerja sama keuangan de-ngan bank sentral dan otoritas keuangan di kawasan. Dalam upaya memperkuat ketahanan sektor eksternal, BI juga akan menempuh kebijakan makroprudensial melalui supervisory action yang di arahkan untuk memperkuat komposisi kre dit kepada sektor-sektor produktif yang berorientasi ekspor dan menyediakan barang substitusi impor serta mendukung upaya peningkatan kapasitas perekonomian.

Dalam kaitannya sebagai otoritas ma-kroprudensial, kebijakan BI akan diarahkan pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan penguatan struktur permodalan. Dalam pe-ngelolaan risiko likuiditas, akan disempurna-kan GWM syariah dan penerapan bertahap instrumen Liquidity Coverage Ratio (LcR) mu-lai 1 Januari 2015.

Adapun untuk ruang lingkup penguatan stabilitas sistem keuangan, BI memandang pen ting upaya penguatan koordinasi ma-kro-mikro antara Bank Indonesia dengan

OJK. Dari sisi kebijakan sistem pembayaran, Bank Indonesia akan mengembangkan in-dustri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien melalui penyempurnaan ar-sitektur sistem pembayaran dan perluasan akses layanan pembayaran.

Gubernur Bank Indonesia juga mene-gas kan penguatan kebijakan terkait keuang-an inklusif dan UMKM. Di ujung kesimpulan pertimbangan tantangan ekonomi serta arah yang akan ditempuh Bank Indonesia dan pemerintah, perekonomian Indonesia masih akan konsolidasi pada 2014, dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan mem-baik di kisaran 5,8-6,2 persen, inflasi akan ber ada di rentang 4,5 plus-minus 1 persen, dan pertumbuhan kredit antara 15 sampai 17 persen ditopang pertumbuhan dana pi-hak ketiga pada kisaran yang sama.

Agus DW Martowardjojo menyampai-kan pula perspektif jangka menengah 2015 sampai 2018 serta visi Bank Indonesia yang telah dicanangkan hingga 2024 untuk men-jadi bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional.

Untuk perspekstif jangka menengah 2015-2018, ekonomi global diperkirakan da-pat tumbuh rata-rata sekitar 3,9 persen. Per-tumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6,5 persen pada 2018, bila ber-bagai kebijakan transformasi perekonomian berjalan sesuai harapan. Namun, pertum-buhan ekonomi berpotensi tersendat di se-kitar 6 persen bila proses transformasi tidak berjalan sesuai harapan.

Guna mencapai visi tersebut, Bank Indo-nesia ingin memastikan bahwa semua po-tensi sumber daya yang dimiliki berfungsi secara lebih efektif melalui nilai-nilai strate-gis. Nilai-nilai itu adalah menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas, mengedepan-kan profesionalisme, mengupayakan kesem-purnaan kinerja, memprioritaskan kepen-tingan publik, serta memperkuat koordinasi dan kerja sama. u

Dok

BI

10 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

RUA

Ng

BA

cA Si Badu sedang senang-senangnya

na ik sepeda. Memacu sepeda de-ngan kecepatan tinggi menimbul-kan sensasi menyenangkan. Bak ter bang si Badu menikmati angin

semilir yang menerpa wajahnya, terlebih di jalanan menurun tanpa perlu mengayuh.

Ibu Badu selalu mengingatkan anaknya untuk selalu berhati-hati. Termasuk soal ber-sepeda ini. Pegangan yang kuat. Konsentrasi ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja, jangan lupa mengerem!

Kondisi perekonomian Indonesia pada November 2013 ibarat si Badu yang sedang se nang-senang nya bersepeda. Di tengah si-tuasi perekonomian global yang lesu, Indo-ne sia masih mencatatkan pertumbuhan eko nomi yang tinggi. Harus dipastikan, kece-patan itu tak justru membuat perekonomian Indonesia terperosok.

Gambaran SituasiPer Oktober 2013, pertumbuhan ekono-

mi Indonesia masih di kisaran 6 per sen. Lebih rendah dari perkiraan, namun te tap saja ti-nggi dibandingkan negara kawasan bahkan global.

Ibarat jalan, perekonomian global pada hari-hari ini ibarat jalan yang terlihat menge-cil lagi berbatu. Karenanya, keseimbangan dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi ha rus dikedepankan, stabilitas perekono-mian harus diutamakan, dengan cara laju “sepeda” perekonomian diperlambat.

Bagaimanapun, defisit neraca transaksi berjalan kuartal III 2013 masih mencapai 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Ang-ka ini melampaui perkiraan 3,4 persen PDB berdasarkan proyeksi Bank Indonesia pada Oktober 2013. Kondisi ini dikhawatirkan ma-sih berlanjut hingga kuartal I dan II 2014, de ngan kisaran di atas kondisi nyaman 2,5 persen PDB.

Data menunjukkan defisit besar karena impor migas belum terlihat bakal menurun. Pelaku ekonomi sadar betul bahwa defisit di neraca transaksi berjalan berarti ada kebu-tuh an pembiayaan ‘net-impor’ mengguna-kan devisa (foreign currency).

Belum lagi rencana pengurangan kucur-an stimulus moneter oleh bank sentral Ame-rika (The Fed) yang hanya soal waktu untuk terjadi. Dulu stimulus ini ibarat jalan menu-run yang mulus bagi negara-negara lain se-hingga tak butuh banyak tenaga untuk me-ng ayuh perekonomian melintasinya.

Pengurangan bertahap yang berujung pada penghentian kebijakan uang longgar (diistilahkan sebagai tapering) ini, mengonfir-masi kembali menariknya perekonomian AS, dan selanjutnya perekonomian negara maju lain termasuk di Eropa, bagi para investor.

Dengan prospek membaik di belahan dunia lain tersebut, negara-negara emer-ging market seperti Indonesia akan menjadi relatif berkurang daya tariknya. Inilah wujud an cam an pembalikan modal (capital reversal) yang dapat menggulung rupiah.

Tak Melulu MengeremKompleksitas situasi di atas mendorong

Bank Indonesia untuk maju memimpin di depan. Untuk ketiga kalinya selama 2013, su ku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dinaikkan pada November 2013, menjadi 7,5 persen. Peran kebijakan moneter menaikkan suku bunga acuan yang dipadu dengan be-ragam kebijakan lain, tak beda dengan pesan Ibu si Badu. Pegangan yang kuat. Konsentrasi ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja, jangan lupa mengerem!

Kabar baik pun datang di pertengahan November 2013. Lembaga pemeringkat Fitch mempertahankan peringkat ‘layak in-vestasi’ (investment grade) untuk Indonesia, dengan outlook stabil. Pengumuman soal peringkat investasi ini datang hanya tiga hari setelah Bank Indonesia menaikkan suku bu-nga acuan untuk yang ketiga kali pada 2013.

Dalam siaran pers-nya, disebutkan bah-wa faktor kunci pertama yang mendasari ke-putusan Fitch adalah “kebijakan pengelolaan ekonomi yang baik terutama dalam meng-hadapi gejolak perekonomian global terkini.”

Konfirmasi yang melegakan.Kabar baik berikutnya, neraca perda-

gangan Indonesia pada akhir November 2013 turut membaik juga. Walaupun neraca tran-saksi berjalan masih defisit, namun neraca perdagangan sudah berada di teritori positif. Ada surplus 772 juta dolar AS pada Novem-ber 2013, lebih tinggi daripada surplus pada Oktober 2013 sebesar 81 juta dolar AS, akibat penurunan impor sebesar 4,5 persen diban-dingkan bulan sebelumnya (mtm) yang lebih besar daripada penurunan ekspor sebesar 0,1 persen (mtm).

Data inflasi sepanjang November 2013 pun memancarkan optimisme. Dengan in-flasi bulanan di kisaran 0,12 persen, maka inflasi selama 11 bulan pada 2013 adalah

7,79 persen. Bila inflasi Desember 2013 ada-lah 0,7 persen atau bahkan kurang, inflasi sepanjang 2013 akan berada di bawah level 8,5 persen. Angka-angka tersebut jauh lebih ren dah dari pada perkiraan Agustus 2013, yang memperkirakan inflasi sepanjang 2013 di kisaran 10 persen.

Neraca pembayaran Indonesia pada tri-wulan ketiga 2013 juga terlihat jauh lebih bagus dibandingkan triwulan sebelumnya. Se cara konsep maupun empirik, kenaikan suku bunga acuan dalam enam bulan ter-akhir telah sedikit mengurangi laju “sepeda” perekonomian, sekalipun masih tetap berke-cepatan tinggi.

Kebijakan BI menaikkan suku bunga acu an hingga tiga kali dalam rentang waktu singkat, memang sempat me ngundang kri-tik dan kekecewaan. Namun, setiap sepeda harus punya rem yang juga tak lupa untuk digunakan. Itu pun, tak selama nya meru-pakan satu-satu nya senjata mengendalikan laju sepeda. Pada akhirnya, walau rem siap digunakan setiap saat, si Badu tetap harus menga yuh sepeda dengan hati-hati dan mengarah kan setangnya. Badu juga tak boleh lupa mera wat sepeda dengan benar dan memperbaiki bagian yang rusak. De-mikian pula perekonomian. Faktor struktural tetap harus dijaga dan dibenahi, tak bisa se-lamanya meng andalkan instrumen kebijakan yang bersifat siklikal saja.

Alan Greenspan pernah membuat remark penting pada awal 2000-an setelah pecahnya dot.com bubble. Saat memberikan pan-dangan terkait perekonomian AS di depan Kongres, salah seorang senator menanyakan dengan nada tajam, mengapa The Fed me-naikkan suku bunga pada saat perekonomian Amerika jelas-jelas sedang berada di tengah ketidakpastian. Greenspan menjawab, “Kami menaikkan suku bunga justru karena pere-konomian Amerika sedang berada di tengah ketidakpastian.... “ Nah. u

Kenaikan bi RateSaatnya Menginjak Rem

HARIS MUNANDARDepartemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola

10 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

Dok

11EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

gER

AI c

AN

DA

pEMENANg KUIS

Nama Pemenang Kuis Gerai Info Bank Indonesia Edisi September 2013.

1. Henni Monika DoloksaribuAlamat: PematangsiantarTelepon: 08136200xxxx

2. Rezha Mario IbrahimAlamat : PekanbaruTelepon: 08788336xxxx

Dari iseng-iseng lalu ketagihan, Paijo sudah bermain saham selama beberapa waktu. Namun, kondisi ekonomi global membuatnya menyerah. Dia pun mencairkan semua saham

yang sempat dia miliki dan berencana menabung saja di bank. Biarpun hanya dapat bunga kecil tetapi setidaknya Paijo bisa

memastikan jumlah uang yang dimilikinya. Maklum, uang yang dia putar di saham masih sekelas ‘amatir’, sehingga fluktuasi jelas berdampak besar padanya.

Petugas bank pun heran ada pemain saham yang sudah luma-yan lama berkecimpung, bisa berpikiran demikian. Dia tanyakan lebih jauh alasan Paijo. “Bermain saham sudah membuat siklus tidur saya seperti bayi,” ujar Paijo ketika ditanya lebih jauh soal alasannya.

“Apakah itu buruk, Pak?” tanya petugas bank masih belum me-nangkap maksud Paijo. “Oh, iya,” kata Paijo lugas. “Gara-gara ber-main saham saat pasar berfluktuasi besar, saya akan tidur selama beberapa jam, lalu terbangun untuk ‘menangis’ selama beberapa jam juga,” ujar dia dengan raut kesal. u

Pemain Saham Gulung Tikar...

HUMOR Dua lelaki yang telah lama bersahabat bertemu dalam sebuah pesta. Obrolan pun tak terasa sampai soal asmara. Selain punya pacar, mereka

saling me ngaku masih melirik perempuan lain. Pada saat sedang enak-enaknya ngobrol, tiba-

tiba wajah salah satu lelaki itu pucat. Pandangannya tertumbuk pada dua perempuan yang sedang asyik mengobrol juga.

Lelaki yang mukanya pucat itu pun berbisik pada temannya, “Aduh, itu pacarku mengobrol bersama perempuan lain incaranku.” Sahabatnya menyahut, “Baru juga aku mau bilang hal yang sama.” u

Sahabat..HUMOR

Dja

lu’1

3

12 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

Banyak ekonom berkeyakinan bah-wa inflasi yang rendah merupakan prasyarat pendukung kesinam-bungan pertumbuhan ekonomi. Berbagai studi seakan kompak

menyebut inflasi rendah akan mendorong daya beli, meningkatkan efisiensi dan pro duktivitas, serta akhirnya berkontri-busi pada kesinambungan pertumbuhan ekonomi.

Beranjak dari pandangan ini pula, studi-studi lanjutan seolah juga satu suara menyebut penurunan inflasi akan mening-katkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Argumentasinya, berkurangnya tekanan har ga akan menurunkan kemiskinan dan me ngurangi kesenjangan antar-kelompok pendapatan.

Risiko TersembunyiNamun, keyakinan hubungan in-

flasi dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi tersebut sepertinya terusik dalam dekade terakhir. Ada gambaran baru bah-wa pertumbuhan ekonomi dapat dengan cepat menurun, meskipun inflasi cukup terkendali dan rendah. Ada risiko tersem-bunyi di balik inflasi yang rendah tersebut.

Penyebab fenomena ini, yang pertama adalah perubahan perilaku pasar ke uangan, disinyalir mulai nampak sejak dekade awal 90-an dan berlanjut hingga kini. Perubahan perilaku yang kemudian mengubah asumsi lama yang sebelumnya telah terbentuk.

Asumsi lama mengatakan pasar keuang an merupakan perantara kegiatan pasar barang atau sektor riil. Dalam asumsi itu, saat terjadi pertambahan likuiditas maka pasar keuangan akan menjadi peran-tara yang baik, dengan mengalirkannya ke pasar barang dan kemudian mendorong

kenaikan permintaan barang. Sesuai hu-kum ekonomi, bila permintaan barang meningkat, penyesuaian akan terjadi di sektor riil berupa kenaikan harga alias in-flasi. Jika inflasi terus berlangsung, kesi-nambungan pertumbuhan ekonomi pun terganggu. Sebaliknya, likuiditas yang ter-kendali akan dapat menurunkan inflasi dan mendorong keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Belakangan, asumsi itu berubah karena ternyata pasar keuangan pun tak bebas da-ri inovasi dan teknologi canggih. Inovasi ini meningkatkan kemampuan pasar ke-uangan menyerap risiko kelebihan likuidi-tas yang seharusnya dapat memicu kenaik-an harga dan selanjutnya inflasi. Artinya, risiko inflasi tersamarkan karena tetap sta-bil, meskipun pada sisi lain terjadi kelebih-an likuiditas.

Padahal inovasi di pasar keuangan mengangkat risiko lain bagi kesinambung-an pertumbuhan ekonomi. Pasar keuang-an yang semula pasif mengikuti kegiatan ekonomi, telah berubah menjadi sangat aktif bergerak sendiri. Pengalaman krisis keuangan global 2008 menunjukkan penu-runan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dengan cepat saat gejolak terjadi di pasar keuangan, meskipun inflasi di lain pihak be-rada pada level yang masih rendah.

Faktor ImporAspek kedua yang menyebabkan inflasi

rendah belum cukup mendorong pertum-buhan ekonomi ada lah peningkatan impor. Peningkatan permintaan domestik yang se-harusnya bisa mendorong kenaikan harga dan inflasi, untuk sementara juga diserap pasokan impor.

Dalam dekade terakhir, peningkatan pasokan impor untuk memenuhi pertum-buhan permintaan domestik antara lain aki-bat merebaknya produk murah dari cina. Nilai tukar riil yang menguat juga berpe-ngaruh pada kenaikan impor, karena relatif mempermurah harga barang impor ter-hadap barang domestik. Satu faktor yang mempengaruhi penguatan nilai tukar riil ialah peningkatan pesat aliran modal yang masuk ke negara berkembang sejak krisis keuangan global 2008. Belum lagi berbagai subsidi pemerintah, termasuk subsidi ener-gi. Pemberian subsidi mengesankan harga murah, sekalipun harga komoditas energi global mengalami tren kenaikan.

Berbagai faktor yang mendorong pe-ning katan impor tersebut, di satu sisi me-mang dapat mengendalikan inflasi ke level

yang rendah. Namun pada sisi lain, impor melonjak.

Untuk konteks Indonesia, impor terus menguat juga karena pada saat bersamaan permintaan domestik mening kat didorong lonjakan kebutuhan kelas menengah yang belum dapat dipenuhi produksi dalam nege ri. Satu studi menunjukkan semua faktor itu mengakibatkan elastisitas per-mintaan domestik terhadap impor cende-rung me ningkat setelah krisis Asia pada 1997-1998.

Kenaikan impor ini harus menjadi so-rot an sekalipun di sisi lain telah menekan inflasi ke level rendah. Impor akan membe-ri te kanan pada kinerja neraca transaksi ber jalan. Tekanan terhadap neraca transak-si berjalan akan semakin kuat bila pada saat bersamaan ekspor sumber daya alam juga terpuruk akibat harga komoditas global yang menurun tajam, lagi-lagi seperti yang sekarang dialami Indonesia.

Bila kondisi ini tidak segera dibenahi, ujungnya akan terjadi tekanan terhadap nilai tukar mata uang, yang bila berlanjut akan memberikan tekanan balik kepada inflasi. Akhirnya, kesinambungan pertum-buhan ekonomi pun terganggu.

KeseimbanganBagi bank sentral, keberadaan dua fak-

tor penyerap risiko inflasi ini menjadikan kebijakannya tak bisa hanya berpaku pada pengendalian inflasi tetapi harus diperluas. Yaitu diperluas pada upaya penciptaan lingkungan ekonomi yang seimbang, de-ngan ditopang stabilitas sistem keuangan yang tetap terkendali.

Dalam konteks ini, kebijakan moneter ditempuh untuk me ngelola inflasi tetap rendah, sambil bersamaan secara seim-bang mengelola kegiatan perekonomian agar tak berlebihan membebani neraca transaksi berjalan. Selain itu, kebijakan makroprudensial yang ditempuh bank sen-tral juga menjadi strategis agar risiko sis-temik terhadap stabilitas sistem keuangan dapat diminimalkan.

Kebijakan bank sentral dalam konteks menjaga keseimbangan di pasar barang dan pasar uang tersebut selaras dengan Hicks (1939) dalam “Value and capital”. Kebijakan untuk keseimbang an perlu ditempuh karena mengacu pada potensi pergeseran portofolio di pasar barang dan pasar uang, bahkan di pasar komoditas un-tuk konteks kekinian, yang kemudian akan menentukan kesinambung an ekonomi se-cara keseluruhan. u

pER

SpEK

TIf

FIRMAN MOcHTARDepartemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Dok

Tak Cukup Inflasi Rendah Saja

13EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

pER

SpEK

TIfIbarat lautan, gejolak ekonomi sepan-

jang 2013 adalah ombak besar yang meng getarkan jiwa dan menciutkan nyali penumpang biduk yang berlayar. Samudera bergejolak ini, dalam pereko-

nomian global sekarang adalah pasar ke-uangan.

Untuk bertahan menghadapi gelom-bang, bauran peralatan pun harus dikeluar-kan untuk memastikan biduk berlayar sta-bil sampai ke tempat sandar. Semakin besar gelombang, butuh pula semakin banyak manuver untuk menaklukkannya.

Kompleksitas permasalahan tak cukup dihadapi dengan satu peralatan. Demikian pula dalam konteks kondisi ekonomi hari ini, tak cukup dihadapi hanya dengan ke-bijakan suku bunga. Operasi moneter dan penguatan nilai tukar rupiah harus berjalan seiring kenaikan suku bunga acuan.

Improvisasi Operasi MoneterSaat ini suku bunga pasar sudah men-

dekati level suku bunga deposit facility (DF). Operasi moneter pun sudah mengalami im provisasi. Misalnya, menggunakan suku bunga DF sebagai sinyal bahwa saat ini ber-laku kebijakan yang lebih ketat.

Masih ada improvisasi selain pengguna-an sinyal DF tersebut. Improvisasi lain ini mengupayakan instrumen pasar uang le-bih fleksibel demi kepentingan manajemen likuiditas bank dan mendorong penda-laman pasar.

Pertama, penerbitan Sertifikat Deposi-to Bank Indonesia (SDBI). Instrumen ini di-nilai bakal ampuh menyerap likuiditas dan mendukung pendalaman pasar uang tanpa memberi ruang spekulasi bagi hot money. Karena, SDBI hanya dapat diperdagangkan antarbank.

Kedua, melonggarkan kembali fitur month holding period pada instrumen ser-tifikat Bank Indonesia. Bila setelah paket kebijakan Oktober 2010 SBI baru dapat di-perdagangkan setelah dimiliki minimal se-lama 6 bulan, sekarang diperlonggar men-jadi 1 bulan. Harapannya, pelonggaran ini akan membuat pasar sekunder SBI berkem-bang, pada saat penyerapan likuiditas un-tuk tujuan operasi moneter tetap optimal.

Manuver Stabilisasi KursSedangkan untuk nilai tukar, manu-

ver yang dilakukan antara lain berupa in tervensi ganda (twin operation). Yaitu me lalui penambahan pasokan valuta

a sing dibarengi dengan pembelian surat berharga negara (SBN) secara terukur di pasar sekunder. Tujuannya, meminimalkan dampak volatilitas berlebihan di pasar SBN terhadap nilai tukar. Pemerintah juga turun tangan dengan membeli kembali (buyback) SBN di pasar sekunder.

Sementara untuk memenuhi kebutuh-an pengelolaan likuiditas valuta asing, Bank Indonesia menambah keragaman tenor le lang term deposit (TD) valuta a sing. Ada tambahan tenor overnight, selain tenor 7,14, dan 30 hari yang selama ini ada. Ber-samaan disediakan pula instrumen lin-dung nilai (hedging) untuk perbankan dan ka langan usaha, berupa transaksi FX Swap bilateral dan lelang.

Kebijakan pelonggaran juga dilakukan. Seperti, pengecualian perhitungan keten-tuan pinjaman luar negeri jangka pendek masimum 30 persen modal. Juga, diperbo-lehkannya bank secara bebas menerus-lan-jutkan (pass-on) transaksi FX Swap dengan nasabahnya kepada bank lain atau ke Bank Indonesia.

Intinya, operasi moneter Bank Indone-sia bertujuan menjaga stabilitas dan me-mastikan penyesuaian pasar berjalan mu lus. Bank Indonesia menyiapkan pula ins trumen term repo yang menerima under-lying SBI dan SBN, apabila diperlukan.

Makroprudensial dan Cadangan Devisa

Bauran kebijakan juga berlaku di sisi makroprudensial, untuk mengelola kredit dan manajemen risiko perbankan. Bentuk-nya, kebijakan loan to value (LTV), bersamaan dengan penerbitan aturan yang me ngaitkan kinerja kredit dengan besaran kewajiban

giro wajib minimum (GWM) sekunder. Kinerja kredit diukur menggunakan

loan to deposit ratio (LDR). Untuk menam-bah keyakinan pasar, SDBI dimasukkan se-bagai komponen baru yang diperhitungkan untuk GWM sekunder per 1 Oktober 2013.

Sebagai penguat, bantalan kecukupan cadangan devisa pun disiapkan berlapis. Mes ki cadangan devisa diperkirakan masih mencukupi menahan tekanan neraca pem-bayaran, antisipasi ketidakpastian pereko-nomian global diupayakan pula dengan memperkuat kerja sama antar-bank sentral terkait kebijakan moneter dan stabilitas sis-tem keuangan.

Wujud penguatan berlapis untuk ca-dangan devisa ini antara lain berupa per-panjangan billateral swap arrangement (BSA) dengan cina dan Jepang, BSA baru dengan Korea, serta menambah kerja sama yang telah ada dalam kerangka chiang Mai Initiative Multilateralisation (cMIM) dan Global Finacial Safety Net (GFSN) dari IMF. Ada pula pembahasan kerja sama serupa dengan bank sentral di kawasan.

Menjaga WaspadaSeluruh senjata bauran kebijakan te-

lah dikerahkan. Biduk pun tak terhantam gelombang terlalu keras. Inflasi sudah kembali ke pola normal lima tahun terakhir, defisit neraca perdagangan juga sudah ber-kurang.

Arus modal asing yang masuk masih cukup banyak pula untuk menopang kebu-tuhan domestik. Nilai tukar, putri duyung nan seksi yang menjadi perhatian seluruh samudera pasar keuangan, bergerak lebih stabil. Pertumbuhan ekonomi pun melam-bat sesuai perkiraan dan terkendali, tercer-min dari pertumbuhan yang masih cukup tinggi dibandingkan negara di kawasan.

Namun, biduk ini tetap tak boleh le-ngah. Ombak siklikal masih akan mengha-dang, demikian pula karang struktural per ekonomian dan pasar keuangan. Butuh senjata lain yang lebih ampuh lagi untuk menghadapi karang struktural itu.

Maka, koordinasi dengan pemerintah dan otoritas lain harus terus diperkuat pula. Misalnya, dengan Forum Koordinasi Stabili-tas Sistem Keuangan (FKSSK). Tujuannya, didapatkan kebijakan yang komprehensif dan tepat sasaran. Bila terwujud, biduk be-sar ini akan jauh lebih siap menghadapi to-pan badai dan karang sepanjang pelayaran membelah samudera bergejolak. u

Respons Kebijakan bibiduk Raksasa di Samudera bergejolak

FITRIA IRMI TRISWATIDepartemen Pengelolaan Moneter

13EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

Susa

nto

14 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

pER

IST

IWA

& H

UM

AN

IOR

A

Gerakan Indonesia Menabung (GIM) dicanangkan pada 20 Februari 2010. Setiap Rabu di awal bulan, ditetapkan pula sebagai Hari Rajin Menabung pada 2012. Beragam upaya terus dilakukan Bank Indonesia untuk menyukseskan ke-dua program nasional tersebut.

Pada 2013, Bank Indonesia menggandeng 21 Bank Pokja Edukasi Keuangan dan TabunganKu serta Badan Musyawarah Perbankan Dae-rah, menggelar kampanye GIM di sembilan wilayah. Lokasi yang dipi-lih adalah Makassar, Banjarmasin, Denpasar, Surabaya, Semarang, Ban-dung, Palembang, Pekanbaru, dan Medan.

Sebagai pembuka, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI, mem bawahi Jawa Barat dan Banten, menjadi tuan rumah perdana. Ke-giatan digelar pada 13 Oktober 2013, bertempat di halaman Gedung Sa te, Kota Bandung, Jawa Barat. Gelaran ini terlaksana dengan kerja sama Bank BJB, BcA, dan Bank DKI.

Puncak acara dibuka oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Her yawan, dihadiri Kepala Per-wakilan Bank Indonesia Wi-la yah VI, sejumlah pejabat ter kait, serta sekitar 1.000 ma-syarakat dan pelajar. Pada hari itu, ketiga bank membuka re kening bagi 900 pelajar, ditandai penyerahan buku TabunganKu secara simbolis kepada perwakilan pelajar.

Kampanye GIM berikutnya berlangsung di Banjarmasin, Kaliman-tan Selatan, pada 19 Oktober 2013. Kali ini menggandeng BRI, Bank Danamon, dan Bank cIMB Niaga. Di sini, tak kurang dari 360 pelajar sekolah dasar diajak serta, dengan pembukaan rekening TabunganKu secara sim bolis pula.

Selanjutnya, kegiatan serupa berlanjut di Surabaya, Jawa Timur, pada 27 Oktober 2013. Di kota ini, 950 siswa hadir dalam kegiatan. Em-pat kota lain disambangi kegiatan yang sama selama November, yakni Pekanbaru, Palembang, Medan, Denpasar, dan Makassar. Sementara un-tuk Semarang, kegiatan serupa digelar pada Desember 2013.

Rangkaian kegiatan GIM bertujuan meningkatkan kesadaran pelajar dan masyarakat tentang pentingnya menabung sejak usia muda. Akses keuangan pelajar dan masyarakat pun diharapkan turut meningkat pula.

Per Agustus, program tabungan murah TabunganKu telah memiliki 5.201.856 rekening. Jumlah tersebut melejit 43 persen dibandingkan pada akhir 2012. Angka ini diharapkan masih akan meningkat lagi, bi-la program Bantuan Siswa Miskin dari pemerintah disalurkan melalui produk ini kepada 12,5 juta siswa penerimanya. u

Mendorong indonesia Menabung

Sejak kelahiran bank syariah pertama di Tanah Air pa da 1992, sistem keuangan syariah berkembang cepat. Tidak hanya perbankan, industri keuangan

non-bank syariah seperti asuransi, dana pensiun, perusa-haan pembiayaan, obligasi (sukuk), reksadana, dan pasar modal syariah juga maju pesat.

Sistem syariah pun merambah ke sektor riil dengan berkembangnya industri busana muslim, hotel, dan res-toran syariah, serta berbagai produk halal. Namun, per-kembangan pesat ini dinilai belum diikuti dengan pema-haman dan penerimaan masyarakat terhadap ekonomi syariah.

Sebagai upaya untuk mengoptimalkan edukasi dan sosialisasi mengenai ekonomi syariah, Bank Indonesia menginisiasi program nasional. Nama yang dipilih ada-lah Gerakan Ekonomi Syariah alias gres!. Gerakan ini dica-nangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 November 2013 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta.

Presiden dalam sambutannya mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbe-sar di dunia, dengan jumlah penduduk kelas menengah yang juga terus bertambah, punya potensi menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Saat ini, aset industri perbank an syariah Indonesia telah meningkat 14 kali sejak pertama kali muncul, rata-rata pertumbuhannya mencapai 15 persen per tahun.

Pencanangan gerakan ini, kata Presiden, merupakan sebuah sejarah baru dalam agenda nasional. Pemerintah ingin masyarakat berperan aktif mengembangkan eko-nomi syariah melalui gerakan ini.

Selain di Jakarta, pencanangan gres! dilakukan se-rempak di 24 kota lain, sebagai implementasi dari cetak biru perbankan syariah. Kampanye melalui gerakan ini juga bertujuan mendorong kesadaran para pemegang otoritas, pelaku industri dan bisnis, serta asosiasi dan lembaga penunjang, untuk bersinergi membangun sis-tem ekonomi syariah nasional.

Bersamaan dengan pencanangan gres!, diluncurkan pula program ‘Sejuta Berdaya’. Lewat ‘Sejuta Berdaya’, di-salurkan pembiayaan dengan nilai mulai dari Rp 1 juta per orang atau keluarga, untuk 10.000 orang atau kelu-arga prasejahtera. Sumber dana pembiayaan ini berasal dari dana kebajikan yang dihimpun bank syariah dan lembaga amil zakat.

‘Sejuta Berdaya’ bertujuan meningkatkan kapasitas ekonomi mikro dan kecil. Sejalan dengan strategi na sio nal keuangan inklusif, program ini bertujuan pula mem buka akses bagi masyarakat yang selama ini belum memiliki akses terhadap sistem keuangan, termasuk perbankan. u

gres! dan Sejuta berdayaD

ok B

I

Dok

BI

Dok

BI

15EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

pER

IST

IWA

& H

UM

AN

IOR

A

Era perdagangan bebas dan Masya-rakat Ekonomi ASEAN 2015 sudah di depan mata. Sudah saatnya produk Indonesia memperlihatkan kemam-puan bersaing dengan produk a sing.

Menyongsong era tersebut, Kantor Per-wakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yog yakarta menginisiasi gerakan sosial ekonomi bertajuk ‘Bela dan Beli Produk In-donesia’. Tujuan kegiatan, meningkatkan kesadaran konsumen untuk mempromo-sikan produk-produk Indonesia, sekali-gus menumbuhkan apresiasi dan ke banggaan menggunakan produk buatan bangsa sendiri.

Pencanangan dilakukan pada 14 November 2013, di halaman Gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dae rah Istimewa Yogyakarta. Hadir dalam pencanangan tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istime-wa Yogyakarta, Arief Budi Santoso.

“Indonesia harus berdikari di bidang eko nomi,” pesan Sri Sultan dalam kesempat-an itu. Sultan juga mengatakan masyarakat ha rus bangga menggunakan produk lokal, un tuk dapat mewujudkan kemandirian eko-nomi itu.

Sedangkan Arief dalam sambutannya me ngatakan bahwa gerakan ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’ berlatar belakang sema-ngat dan keinginan meningkatkan nilai tam-bah produk Indonesia. Pencanganan gerak-

an dilakukan dengan penandatanganan ko mitmen ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’ menggunakan canting batik pada selembar kain panjang, melibatkan masyarakat umum.

Beragam KegiatanBeragam kegiatan digelar untuk meme-

riahkan pencanangan gerakan tersebut. Rang kaian aktivitas berlangsung pada 14-17 November 2013. Di antara kegiatan itu ada-lah seminar, temu responden, dan pagelaran batik Yogyakarta.

Sejumlah budayawan Indonesia, antara

lain Butet Kertaradjasa, Slamet Rahardjo, Ja-jang c Noer, dan Happy Salma, hadir pula dalam kegiatan ini sekaligus menjadi Duta Gerakan Bela dan Beli Produk Indonesia.

Pada hari kedua kegiatan, 15 November 2013, Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi (PPA) Kosmetika Indonesia menggelar talk-show bertajuk ‘Upaya Peningkatan Daya Sa-ing Kosmetika Indonesia’.

Lalu pada hari ketiga, 16 November 2013, kembali digelar talkshow. Kali ini mengha-

dirkan motivator Hepy Trenggono dan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo. Hasto dikenal dengan keberhasilannya mem-promosikan produk dan komoditas lokal lewat Gerakan Bela dan Beli Kulonprogo.

Selama empat hari kegiatan, ber-langsung pula expo produk-produk ke-

banggaan nasional asli Yogyakarta dan pameran foto. Expo tersebut diikuti UMKM

dari berbagai jenis usaha seperti otomotif, teknologi informasi, teknologi tepat guna, handicraft, mebel, fashion, kuliner, dan ba-han pangan.

Rangkaian kegiatan ini hanyalah permu-laan. Berhasil tidaknya kampanye yang di-kumandangkan tergantung pada praktik di lapangan. Sebagai upaya untuk menjaga ke-berlanjutan gerakan, bantuan teknis diran-cang untuk para pelaku ekonomi riil, berupa Forum Pengembangan Ekonomi Daerah, optimalisasi penggunaan produk nasional, serta penyusunan peraturan daerah untuk mendorong penggunaan produk lokal. u

Dari Yogyakarta untuk indonesia

Kesehatan jasmani itu penting. Apa-lagi bila dibarengi dengan kondisi keuangan prima. Inilah yang ke-

mudian mendasari Bank Indonesia menggelar kampanye “Sehat Money dan Jasmani”, pada Minggu, 26 November 2013.

Bertempat di Jalan M H Thamrin, de-ngan memanfaatkan momen hari bebas ken daraan, Departemen Komunikasi BI dengan DPKL, DSDM, DPSI, dan DLP membuka stan pelayanan masyarakat, menebar ajakan untuk memperhatikan kesehatan badan dan keuangan.

Kegiatan ini pun mendapat sambut-an positif dari masyarakat. Stan yang di sediakan BI tak pernah sepi dari pe-

ngunjung. Antrean terjadi untuk menda-patkan layanan pemeriksaan kesehatan, BI checking, dan konsultasi keuangan ber sama para ahli.

Bila pemeriksaan kesehatan dilaku-kan untuk tekanan darah, BI checking ada lah permintaan rekam jejak Infor-masi Debitur Individual (IDI). Layanan ini diharapkan memberi edukasi kepada masyarakat untuk bertanggung jawab dengan kewajiban kredit mereka.

Melalui layanan BI checking, masya-rakat diajak untuk ikut serta menga-wasi kebenaran dan akurasi data yang dilaporkan lembaga keuangan kepada Bank Indonesia. Seperti halnya badan, kesehatan keuangan pun penting. u

Sehat Money dan Jasmani

Dok BI

Dok

BI

16 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA

EKSp

OSE

Selama 2013, Bank Indonesia tiga kali menaikkan suku bunga acu-an (BI rate). Dari posisi 5,75 pers-en menjadi 7,5 persen. Ba nyak kalangan terkejut bahkan tak

sedikit yang mempertanyakan. Ba nyak sudut pandang masih menempatkan BI rate semata instrumen moneter.

Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Mar towardojo, mengatakan kenaikan BI rate sebesar 175 basis poin ini tak terle-pas dari strategi bauran kebijakan yang menjadi arah strategi kebijakan bank sen-tral. Menurut Agus, tiga kenaikan BI rate sepanjang 2013 adalah untuk memasti-kan terkendalinya proses koreksi pereko-nonomian Indonesia.

Kilas Balik November 2013Perekonomian Indonesia pada awal

November 2013 masih mencatatkan per-tum buhan sekitar 6 persen. Angka ini melebihi pertumbuhan ekonomi negara tetangga bahkan di seantero bumi. Inflasi pun sudah lebih terkendali setelah baru saja ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, walau masih terbaca ada peningkatan permintaan agregat, de-ngan imbas pada inflasi inti.

Sementara itu, risiko yang meninggi masih terdeteksi pada bagian eksternal. Neraca pembayaran menunjukkan lampu kuning yang masih pekat. De fisit neraca transaksi berjalan kuartal III masih besar, sekitar 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Diperkirakan pula sampai kuartal II 2014, perekonomian masih akan suram.

Data menunjukkan besarnya defisit ne raca perdagangan disumbang impor migas yang tampaknya belum menunjuk-kan tanda-tanda penurunan. Bersamaan, gelagat membaiknya perekonomian AS dan global, menguatkan rencana pe ngu-rangan stimulus oleh bank sentral Ameri-ka Serikat, alias tapering.

Dengan prospek membaik di belahan dunia lain tersebut, daya tarik negara-ne-

gara emerging market termasuk Indonesia relatif berkurang. Modal asing pun ber-siap meninggalkan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Sementara, ke bu tuhan valuta asing tetap berjalan, terutama untuk pembayaran impor dan utang.

Naiknya porsi kelas menengah Indo-nesia telah membuat kebutuhan barang dan jasa semakin kompleks. Sayangnya in dustri dalam negeri belum bisa me-menuhi demand tersebut. Jadilah impor sebagai penambal kebutuhan pada saat ekspor Indonesia masih berbasis sumber daya alam.

Sebenarnya, obat dari tekanan defisit neraca transaksi berjalan memang baik-nya be rupa perbaikan struktural, artinya yang menyentuh sendi-sendi mendasar per ekonomian. Yakni, perindustrian, per-dagangan, ketenagakerjaan, sampai per-tanian.

Sayangnya, 2014 merupakan tahun po litik yang akan membatasi ruang per-baikan struktural itu. Bukan berarti dibe-narkan untuk berdiam diri tanpa ada ko-reksi perekonomian nasional.

Respons dan DampakMencermati segala fenomena yang

saling bersilang-sengkarut, Bank Indone-sia mengambil langkah ke depan. Di anta-ranya adalah dengan menaikkan suku bu nga acuan, semata ibarat mengerem laju perekonomian yang terlalu kencang. Sedikit ditahan meski tak kemudian me-melan drastis. Inilah latar kenaikan BI rate untuk ketiga kali pada November 2013, yang banyak mendapat sorotan.

Bank Indonesia berkeyakinan, kese-imbangan dan berkelanjutannya per-tumbuhan harus dikedepankan, bukan semata ekonomi tumbuh. Stabilitas ada-lah lebih utama, walaupun berarti laju ekonomi sedikit diperlambat dalam pro-sesnya.

Kabar baik sudah datang pada akhir

November 2013. Surplus terjadi di nera ca perdagangan, defisit neraca tran saksi ber-jalan sudah dipersempit. Tingkat inves tasi Indonesia pun tak turun meski rupiah ter-hantam dinamika perekonomian global yang mengharuskan terus berlanjutnya upaya mencari titik keseimbangan nilai tukar baru.

Walaupun neraca transaksi berjalan masih defisit, namun neraca perdagan-gan pada November 2013 sudah berada di teritori positif. Terjadi surplus sebesar 772 juta dolar AS, karena penurunan im-por jauh melampaui penurunan ekspor.

Data inflasi sepanjang November me-mancarkan pula optimisme, dengan in-flasi bulanan sebesar 0,12 persen. “Tanpa bermaksud berpuas diri, tidak berlebihan bila dikatakan, berbagai res pons kebi-jakaan mulai berkontribusi po sitif,” kata Agus.

Namun, pembenahan struktural tetap mutlak menjadi tantang an. Rem paling bagus sekalipun tak akan selamanya me-nyelamatkan pengendara kendaraan, bila kondisi sepeda atau cara berkendara tak menjamin keselamatan. u

Stabilitas adalah lebih utama, walaupun berarti laju ekonomi sedikit diperlambat.

Kenaikan bi RateSEbUah langKah KoREKSi

Susa

nto