meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pengelolaan ...documents.worldbank.org/curated/en/... ·...

179
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur Edisi Workshop Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Upload: phamdung

Post on 16-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur

Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012

Analisis K

euangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012 M

eningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan K

euangan Daerah di G

erbang Indonesia Timur

Edisi Workshop

Laporan ini dicetak menggunakan kertas daur ulang

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

Pub

lic D

iscl

osur

e A

utho

rized

wb350881
Typewritten Text
66582

1

Analisis Keuangan Publik

Provinsi Sulawesi Selatan 2012

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik

dan Pengelolaan Keuangan Daerah

di Gerbang Indonesia Timur

ii

UCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIHUCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini disusun atas kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, CIDA, AUSAid, dan Bank

Dunia. Terima kasih kepada tim peneliti yang dikepalai oleh A. Madjid Sallatu, beranggotakan Agussalim,

Darmawan Salman, St. Bulkis Oesman, Budimawan, Rahim Darma, Nursini, Sultan Suhab, A. Tawakkal,

Muhammad Yunus, dan Djunaidi M. Dachlan. Terima kasih pula kepada tim data P3KM yang

beranggotakan Sanusi Fattah, A. Amrullah, Abdullah Sanusi, A.Nixia Tenriawaru, dan A. Abdul Azis

Ishak. Pengelolaan penelitian oleh P3KM dikoordinasi oleh Djunaidi M. Dahlan, dibantu oleh Agussalim

sebagai sekretaris, dan Nursini yang membantu untuk administrasi. Tim Bank Dunia dipimpin oleh

Guntur Sutiyono dan Bastian Zaini, dibantu oleh Erryl Davy, Ihsan Haerudin, Indira Maulani Hapsari,

Chandra Sugarda, Andhika Maulana, dan A. M. Rezky Mulyadi. Terima kasih kepada Luna Vidya yang

telah mengkoordinasikan kegiatan komunikasi PEACH di Sulawesi Selatan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada anggota Project Management Committe (PMC) yang telah

aktif berpartisipasi memberi masukan selama proses pembuatan laporan, dinas-dinas dan pemerintah

kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang berkontribusi dalam pengumpulan data. Tim

menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Kepala BAPPEDA Provinsi Sulawesi

Selatan, Bapak Tan Malaka Guntur sebagai Ketua PMC. Terima kasih dan apresiasi kami berikan kepada

Kepala Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Muhammad Firda sebagai

Sekretaris PMC, dan Bapak.

Arahan pembuatan laporan ini diberikan oleh Gregorius D.V. Pattinasarany dan Amin Subekti. Terima

kasih kepada Cut Dian Rahmi Agustina, Ahmad Zaki Fahmi, serta rekan-rekan dari World Bank dan CIDA

atas saran dan masukannya. Terima kasih juga kami berikan kepada Sarah Sagitta Harmoun atas

dukungan logistiknya. Tak lupa apresiasi kami sampaikan untuk Caroline Tupamahu dan Yayasan BaKTI

yang memfasilitasi PEACH di Sulawesi Selatan.

iii

KATA PENGANTARKATA PENGANTARKATA PENGANTARKATA PENGANTAR

Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memegang peranan penting di kawasan timur Indonesia. Ibu

Kotanya, Makassar sudah menjadi jantung perdagangan dan distribusi di kawasan ini secara turun

temurun. Sulawesi Selatan selama ini berperan sebagai salah satu lumbung pangan nasional dengan

produk utama seperti beras, jagung, dan kakao. Kini Provinsi Sulawesi Selatan bergerak maju dengan

produksi ternak sapi dan rumput lautnya. Dalam lima tahun terakhir, Sulawesi Selatan menikmati

pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan nasional, yang didorong oleh

pertumbuhan pada sektor konstruksi, Jasa keuangan, dan Pengangkutan.

Walaupun memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kapasitas fiskal yang semakin besar, Provinsi

Sulawesi Selatan masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, salah satunya adalah tantangan

kemiskinan. Selain itu, pendidikan dan kesehatan juga merupakan tantangan dalam upaya

meningkatkan angka Indeks Pembangunan Manusianya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah di Sulawesi

Selatan perlu berupaya keras dalam mengoptimalkan potensinya tersebut. Pertumbuhan ekonomi akan

mendorong arus perpindahan sehingga investasi di sektor infrastruktur dan penyediaan layanan dasar

akan menjadi sangat penting.

Laporan ini merupakan sebuah upaya untuk membantu Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan

dalam meningkatkan kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, meningkatkan kualitas perencanaan dan

penganggaran, dan berkontribusi dalam kinerja pembangunannya. Laporan ini merupakan hasil

kerjasama yang erat antara Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, serta dukungan dari CIDA,

AusAID, dan Bank Dunia. BAPPEDA Provinsi Sulawesi Selatan berperan penting dalam memfasilitasi

seluruh proses pembuatan laporan ini.

Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi

Selatan. Kami juga berharap laporan ini dapat menjadi sumbangsih pengetahuan bgi pemerintah daerah

di provinsi lain, para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, serta pemerhati keuangan dan

pembangunan daerah. Di masa yang akan datang, peran Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi

semakin penting, dan kami berharap laporan ini dapat berkontribusi kepada pengelolaan keuangan

daerah dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

DR. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, MSi, MH Stefan G. Koeberle

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Kepala Perwakilan Bank Dunia Indonesia

iv

DAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................................................................... ii

Kata Pengantar ............................................................................................................................................................. iii

Daftar Isi ....................................................................................................................................................................... iv

Daftar Gambar .............................................................................................................................................................. vi

Daftar Tabel .................................................................................................................................................................. ix

Daftar Kotak ................................................................................................................................................................... x

Daftar Istilah ................................................................................................................................................................. xi

Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................................................................... 1

1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan .................................................................................................... 2

2. Pendapatan dan Belanja Daerah ...................................................................................................................... 2

3. Kinerja Sektor Strategis .................................................................................................................................... 3

4. Gender dan Isu Strategis Lainnya ..................................................................................................................... 5

5. Rekomendasi Pembangunan ............................................................................................................................ 5

Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................................................................ 9

1.1 Perkembangan Daerah ............................................................................................................................... 10

1.2 Kondisi Perekonomian Daerah ................................................................................................................... 11

1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan ................................................................................................... 16

1.4 Kondisi Pembangunan Manusia ................................................................................................................. 20

1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah ..................................................................... 21

Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah ............................................................... 23

2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah ........................................................................................... 24

2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ........................................... 27

2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) ................................................................................ 31

2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah ..................................................................... 33

2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah .................................................................................. 35

2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah .................................................................................................... 39

2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................................................................................... 41

Bab 3 Pendapatan Daerah ................................................................................................................................... 43

3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan ................................................................................ 44

3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ......................................................................................................................... 47

3.3. Dana Perimbangan ........................................................................................................................................... 49

3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah ............................................................................................................. 52

3.5. Pembiayaan Daerah ......................................................................................................................................... 52

3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 54

Bab 4 Belanja Daerah ........................................................................................................................................... 55

4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah ................................................................................................................... 56

4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi ............................................................................................................... 58

4.3. Belanja Menurut Sektor ................................................................................................................................... 61

4.4. Hubungan Belanja dengan Gender .................................................................................................................. 64

4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi ......................................................................................................................... 67

Bab 5 Analisis Sektor Strategis ............................................................................................................................. 69

5.1. Analisis Sektor Pendidikan............................................................................................................................... 70

5.2 Analisis Sektor Kesehatan ................................................................................................................................. 88

v

5.3 Analisis Sektor Infrastruktur .............................................................................................................................. 99

Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan ................................................................................................................... 111

Belanja Sektor Pertanian ....................................................................................................................................... 112

Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian ......................................................................................................... 114

6.1. Komoditas Jagung .......................................................................................................................................... 115

6.2. Komoditas Kakao ........................................................................................................................................... 118

6.3. Komoditas Sapi .............................................................................................................................................. 121

6.4. Komoditas Rumput Laut ................................................................................................................................ 122

6.5. Komoditas Udang .......................................................................................................................................... 125

Bab 7 Analisis Isu Daerah ................................................................................................................................... 129

7.1 Analisis Kemiskinan ......................................................................................................................................... 130

7.2. Analisis Lingkungan Hidup .............................................................................................................................. 138

7.3. Analisis Gender ............................................................................................................................................... 142

Lampiran ........................................................................................................................................................... 149

Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan? ............................. 150

Lampiran B: Catatan Metodologi ......................................................................................................................... 151

Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi ............................................................................................ 152

Lampiran D. Master Table ..................................................................................................................................... 160

vi

DAFTAR DAFTAR DAFTAR DAFTAR GAMBARGAMBARGAMBARGAMBAR

Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia) ................................. 10

Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi

dari Pertumbuhan Ekonomi Nasional ...................................................................................................... 11

Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional ........................................... 15

Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ..................................................... 15

Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen ........................................................... 16

Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ........................................... 17

Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009 .................................... 19

Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ............................ 19

Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional dan

Masih Senjang Dengan Target RPJMD ..................................................................................................... 20

Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi Lain di

Indonesia Tahun 2009 .............................................................................................................................. 21

Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan Renstra

SKPD di Sulawesi Selatan ......................................................................................................................... 28

Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah ................................................. 31

Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007,

dari RKPD Menuju RAPBD) ....................................................................................................................... 33

Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran .......................... 36

Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah ....................................................................................... 37

Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan ......................................................... 40

Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 .................................................. 44

Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011 .......................................................... 45

Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ......... 46

Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......................................................... 47

Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .......................... 48

Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011 ................................................................. 49

Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan ........................................ 50

Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan, 2010............................................................................................................................. 51

Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi

Selatan, 2005-2010 .................................................................................................................................. 52

Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011 .................................................... 53

Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........................................ 56

Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi Selatan,

2007-2010 ................................................................................................................................................ 57

Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .............................................................. 57

Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ................................... 59

Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......... 60

Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan berdasarkan

Sektor, 2007-2011 .................................................................................................................................... 61

Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di Kabupaten

Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan. ..................................................... 63

Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi dan

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011 .................................................................................... 65

Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Sulawesi

Selatan, 2010-2011 .................................................................................................................................. 66

vii

Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat Provinsi

Bervariasi ................................................................................................................................................. 67

Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ............................ 70

Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ......... 71

Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 ........ 72

Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi Selatan,

2005-2010 ................................................................................................................................................ 73

Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*) ......................... 73

Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010 .................... 74

Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010 ....................................... 75

Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*) .................................................... 75

Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010................................. 76

Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ........................................... 77

Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ............ 77

Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 .................................... 79

Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009 ............................................ 79

Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan .............................................................. 82

Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011 ............................... 88

Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ............................................................................................. 89

Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk

di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ............................................................................................................... 89

Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 ................................ 90

Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009.......................................................................... 90

Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per 100.000 Penduduk ........................... 91

Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011. ...................... 92

Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 ......... 93

Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .......... 100

Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-2011 .............. 101

Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi ................... 101

Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar ................ 103

Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010 ............................ 103

Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010 .................................... 104

Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009 ......................................................... 105

Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan ............................... 105

Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010 .................................................................................... 107

Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011 .................................... 107

Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010 ........................... 108

Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih Baik .......... 109

Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik ........................................ 109

Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................................................ 112

Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Sulawesi

Selatan, 2005-2011 ................................................................................................................................ 113

Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi ekonomi di

Sulawesi Selatan, 2010........................................................................................................................... 113

Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan .................................................................. 114

Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ..................... 116

Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ....................... 116

Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010. ...................................................... 119

Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/ Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009. .................................... 122

Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010 ................................................... 123

viii

Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010. ..................................................................... 124

Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat

di Tahun 2010. ....................................................................................................................................... 124

Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut Kategori Jenis, 2006-2010 ......................................................................... 126

Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010 ....................... 130

Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010 ........................................ 131

Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau Sulawesi, 2010 ............ 131

Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010 ........................................ 132

Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2006-

2010 ....................................................................................................................................................... 132

Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010 ..................................................... 133

Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010 .................................. 134

Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan

di Sulawesi Selatan ................................................................................................................................. 136

Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009 ..................................................... 139

Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak. .............. 140

Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................................................................ 142

Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005 – 2009 ...................................................... 143

Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan ........................ 143

Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan ...................... 144

Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009 .................................. 145

ix

DAFTAR TABELDAFTAR TABELDAFTAR TABELDAFTAR TABEL

Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus Meningkat

Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp) ................................................................ 12

Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010 Didominasi

oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp) ............................... 13

Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta Rp) .................. 14

Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010 ............................. 16

Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009 ................................... 17

Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha di Sulawesi

Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 18

Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk Mewujudkan

Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal dan Bernafaskan

Keagaman .................................................................................................................................................. 22

Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan Untuk

Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia......................... 22

Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan ............................................. 24

Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan ............................... 25

Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam RPJMD Sulawesi

Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan Merupakan

Penjabaran dari RPJMN ............................................................................................................................. 26

Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan ....................................................................................................................................................... 27

Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan

Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013 .................................................................... 29

Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu Utara

2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010 .................................................... 29

Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014

dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014 ........................................................................ 30

Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010 ......................... 34

Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ................... 38

Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa ................................................. 41

Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,

2005-2011 .................................................................................................................................................. 51

Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009...................................................................... 74

Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi

Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 76

Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan, 2010 .............................................................................................................................. 78

Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009 .................. 80

Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di

Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009 ................................................................................................... 81

Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di Sulawesi Tahun 2009 ..................................................................... 91

Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi

Selatan, 2005-2009 .................................................................................................................................... 92

Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ..... 94

Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan di

kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009 .................................................................................................... 95

x

Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,

2009-2011 .................................................................................................................................................. 96

Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara Sultan

Hasanuddin Meningkat ............................................................................................................................ 102

Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013 ......................................... 115

Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010 ............................................... 117

Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi ................................................ 119

Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010........................................................... 120

Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN ................... 120

Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang di Sulawesi Selatan, 2010 ............................................ 126

Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan

di Sulawesi Selatan, 2005 -2009 ........................................................................................................... 133

Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009 ...................... 135

Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam

Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan ........................................................................ 145

Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah

Rumah Tangga Dalam Sehari, 2011 ......................................................................................................... 146

DAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAKDAFTAR KOTAK

Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ................... 83

Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011 ................................................... 84

Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis .......................................................................................... 85

Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan ........................................................................................ 97

xi

DAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAHDAFTAR ISTILAH

ABK Anggaran Berbasis Kinerja

AKB Angka Kematian Bayi

AKI Angka Kematian Ibu

APBD Anggaran Penerimaan Belanja Daerah

APS Angka Partisipasi Sekolah

COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program

BLHD Badan Lingkungan Hidup Daerah

DAS Daerah Aliran Sungai

DPA Daftar Pengisian Anggaran

Gerbang Emas Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Gerhan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Gernas Gerakan Nasional. Bagian dari Gerakan Nasional Kakao

Grateks-2 Gerakan Ekspor Dua Kali Lipat

IPM Indeks Pembangunan Manusia

KUA/PPA Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran

LKPD Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangungan

P3KM Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen

PDRB Pendapatan Domestik Regional Bruto

PMA Penanaman Modal Asing

PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri

PUG Pengarusutamaan Gender

PUN Program Udang Nasional

Renja Rencana kerja

Renstra Rencana Strategis

RKA Rencana Kerja Anggaran

RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah

RMS Rasio Murid Sekolah

RMG Rasio Murid Guru

RPJMD/N Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/Nasional

SKPD Satuan Kerja Perangkat Dinas

SiLPA Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

SPPD/N Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah/Nasional

TAPD Tim Anggaran Pemerintah Daerah

TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

TPT Tingkat Pengangguran Terbuka

UMKM Usaha Masyarakat Kecil Menengah

UKL Upaya Pengelolaan Lingkungan

UPL Upaya Pemantauan Lingkungan

USD United States Dollar (Dollar Amerika Serikat)

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

2

2 Ringkasan Eksekutif

1. Perkembangan Umum dan Arah Perencanaan

Sulawesi Selatan semakin memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan Kawasan Timur

Indonesia dan Indonesia. Provinsi ini terletak di tengah wilayah Indonesia dengan luas 45.764,53

kilometer persegi, jumlah penduduk 8,032,551 jiwa (2010), terdiri dari 21 kabupaten dan tiga kota.

Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu gerbang bagi Kawasan Timur Indonesia melalui

perhubungan laut (Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar), perhubungan darat (Kota Makassar sebagai

titik awal jalur darat trans-Sulawesi kearah Sulawesi Utara), dan perhubungan udara (Bandar Udara

Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar). Provinsi ini juga berperan penting sebagai lumbung

pangan nasional dan pusat perkembangan kakao di Indonesia.

Sulawesi Selatan mengalami perkembangan sosial ekonomi yang pesat dalam lima tahun terakhir.

Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),

pergeseran struktur PDRB, pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, perbaikan penanaman modal,

penurunan angka kemiskinan dan penurunan angka pengangguran, dalam kondisi pertumbuhan

penduduk yang cukup tinggi. Perkembangan ini berlangsung dalam kondisi membaiknya pelayanan

publik, meningkatnya belanja pemerintah daerah, dan meningkatnya pembangunan infrastruktur.

Kualitas manusia merupakan tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya

manusia, telah meningkat secara signifikan dan telah bergeser dari urutan 23 ke urutan 19 secara

nasional. Capaian ini tetap membutuhkan perbaikan terus menerus, seperti halnya indikator sosial

ekonomi yang lain, guna mencapai kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.

Perekonomian Sulawesi Selatan didorong oleh sektor pertanian melalui komoditas unggulannya.

Dalam lima tahun terakhir, sektor pertanian menyumbang hampir separuh PDRB provinsi dan menyerap

29 persen tenaga kerja (2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian Sulawesi Selatan masih ditopang

oleh produk primer dan sumber daya manusia di pertanian tradisional. Tantangan dalam mengelola

komoditas unggulan seperti kakao, komoditas pangan (padi dan jagung), serta komoditas kelautan

(perikanan dan rumput laut) harus dihadapi dengan berorientasi pada agro industri dan agribisnis.

Konsistensi dan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan penganggaran menunjukkan arah yang

semakin membaik. Secara umum, alokasi anggaran pemerintah daerah sejalan dengan perencanaannya.

Meski demikian, beberapa aspek perencanaan dan penganggaran masih perlu ditingkatkan. Pemerintah

daerah untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada aspek penganggaran dibandingkan

perencanaan dan konsistensinya. Beberapa inkonsistensi ditemukan pada tingkat yang berbeda,

keterlambatan penyusunan RPJPD, dan masih adanya penetapan indikator dan target kinerja yang

belum cermat.

2. Pendapatan dan Belanja Daerah

Antara tahun 2005 hingga 2010, pendapatan meningkat dua kali lipat, tetapi masih sangat bergantung

pada transfer dari pusat. Selama periode tersebut, pendapatan tumbuh sebesar 76 persen mencapai

3

3 Ringkasan Eksekutif

hampir Rp. 16 triliun. Pendapatan pemerintah kabupaten/kota tumbuh 13 persen per tahun, sementara

pendapatan pemerintah provinsi tumbuh 9 persen per tahun. Transfer pusat menyumbang 76 persen

pendapatan di Sulawesi Selatan, hingga mencapai Rp. 11 triliun pada tahun 2010. Hanya 7 persen dari

pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sementara 58 persen pendapatan pemerintah provinsi berasal dari PAD.

Daya serap anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tergolong rendah. Rendahnya daya

serap ditandai oleh besarnya Sisa Lebih Perhitungan Angggaran (SiLPA) tahun anggaran, dimana SiLPA

tahun sebelumnya mendominasi sumber penerimaan pembiayaan tahun berjalan, baik pada pemerintah

provinsi maupun kabupaten/kota. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi SiLPA tahun sebelumnya

terhadap penerimaan pembiayaan tahun berjalan mencapai 87 persen (2007), meskipun cenderung

menurun menjadi 50 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada pemerintah provinsi, seluruh

penerimaan pembiayaan bersumber dari SiLPA (2010).

Sulawesi Selatan perlu meningkatkan kualitas komposisi anggarannya. Hampir separuh belanja

pemerintah di Sulawesi Selatan (49 persen) digunakan untuk belanja pegawai, sementara belanja modal

menghabiskan 26 persen dari total anggaran. Belanja terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke

daerah bawahan (37 persen), belanja ini sebagian besar digunakan untuk Program Kesehatan Gratis dan

Pendidikan Gratis. Belanja pendidikan mendominasi belanja pemerintah kabupaten kota, sebesar 33

persen dari total belanja. Alokasi belanja untuk program-program terkait kesetaraan gender di Sulawesi

Selatan juga masih rendah.

3. Kinerja Sektor Strategis

Sektor Pendidikan

Peningkatan belanja pendidikan diikuti pula dengan peningkatan capaian. Belanja pendidikan tumbuh

sebesar 27 persen per tahun, di mana tiga perempatnya digunakan untuk belanja pegawai. Rasio guru-

murid dan rasio sekolah-murid telah membaik di semua jenjang pendidikan. Angka melek huruf

meningkat dari 85 (2005) menjadi 88 (2010), meskipun masih jauh tertinggal dari angka nasional, 93

(2010). Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih baik dibanding di kabupaten di

mana Makassar, Palopo, dan Pare-pare memiliki angka yang tertinggi. Siswa perempuan cenderung

memiliki lama sekolah yang lebih sedikit ketimbang siswa laki-laki, meskipun angka partisipasi sekolah

perempuan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bawa Sulawesi Selatan

menghadapi tantangan dalam penyediaan layanan pendidikan di pedesaan dan kepada siswa

perempuan.

Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan sinergi provinsi dengan kabupaten/kota dalam

pembiayaan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis telah meningkatkan kapasitas provinsi dan

kabupaten/kota dalam bersinergi membiayai pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan gratis, sesuai

dengan tujuannya, telah meringankan beban anak usia sekolah yang telah mengakses pendidikan,

meskipun belum efektif menarik yang belum terjangkau untuk masuk ke bangku sekolah. Kebijakan ini

telah memenuhi amanah untuk memenuhi hak dasar rakyat atas akses pendidikan, khususnya penduduk

4

4 Ringkasan Eksekutif

usia sekolah yang telah mengakses bangku sekolah, tetapi belum mendorong secara efektif anak usia

sekolah yang terhalang ke sekolah karena membantu mencari nafkah keluarga atau karena faktor

geografis.

Sektor Kesehatan

Indikator dasar kesehatan membaik seiring dengan peningkatan belanja kesehatan. Belanja kesehatan

di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai Rp. 1,7 triliun, di mana 48 persennya digunakan untuk

belanja pegawai. Proporsinya terhadap total belanja tidak berubah (9 persen). Beberapa perbaikan telah

dicapai. Rasio fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan per 10.000 penduduk meningkat dari 2,2 (2005)

menjadi 2,7 (2009) dan dari 15 (2005) menjadi 16,5 (2009). Angka harapan hidup meningkat dari 70,2

(2007) menjadi 70,8 (2010), mendekati angka nasional sebesar 70,9. Angka kematian bayi berhasil

diturunkan dari 30 (2005) menjadi 26,6 (2009) per 1.000 kelahiran. Angka kematian ibu turun dari 133

(2006) menjadi 118 (2009) per 100.000 kelahiran.

Kebijakan kesehatan gratis, telah berhasil membantu meringankan beban masyarakat dalam

pembiayaan pelayanan kesehatan. Kebijakan kesehatan gratis juga berkontribusi terhadap perluasan

cakupan layanan kesehatan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, dan perluasan pola jaminan

pemeliharaan kesehatan masyarakat. Namun kebijakan kesehatan gratis tampak lebih menekankan

pada pemberian layanan dan pengobatan penyakit (bersifat jangka pendek) dan belum menyentuh

investasi kesehatan secara jangka panjang seperti imunisasi, gizi, kesehatan lingkungan dan air bersih.

Sektor Infrastruktur

Peningkatan belanja infrastruktur juga meningkatkan peran Makassar dalam konektivitas, khususnya

di kawasan timur Indonesia. Belanja infrastruktur Sulawesi Selatan tumbuh secara substansial

menjelang pembangunan bandar udara baru. Di tahun 2010, belanja infrastruktur mencapai Rp. 2,5

triliun, atau 15 persen dari total belanja. Lebih dari 85 persennya dibelanjakan pada tingkat

kabupaten/kota. Sulawesi Selatan memiliki aksesibilitas yang terbaik di kawasan timur Indonesia.

Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar melayani hampir semua jalur penerbangan

udara yang menuju kawasan timur Indonesia. Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar adalah

pelabuhan peti kemas yang terbesar di Kawasan Timur Indonesia

Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan.

Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun

menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah

angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan

berat. Untuk jaringan irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah

cenderung menurun meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat.

5

5 Ringkasan Eksekutif

Sektor Pertanian

Belanja pertanian meningkat dua kali lipat, walaupun kontribusinya terhadap perekonomian

menurun. Belanja pertanian tumbuh sebesar 24 persen per tahun, mencapai Rp. 491 miliar pada tahun

2010. Separuh dari belanja pertanian dialokasikan untuk belanja pegawai. Sulawesi Selatan tetap

menjadi lumbung pangan nasional, dengan komoditas utama seperti beras, jagung, ternak, rumput laut,

dan kakao. Komoditas tersebut diproyeksikan mampu memenuhi target produksi masing-masing pada

tahun 2013. Terlepas dari hal itu, kontribusi pertanian terhadap PDRB turun dari 31 persen (2005)

menjadi 28 persen (2009), meski demikian pertanian masih menjadi penyumbang terbesar PDRB di

Sulawesi Selatan.

4. Gender dan Isu Strategis Lainnya

Performa Sulawesi Selatan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan indikator gender

cukup baik. Angka kemiskinan turun dari 15 persen di tahun 2006 menjadi 12 persen di tahun 2010,

sebanyak 87 persen masyarakat miskin tinggal di pedesaan. Indeks pembangunan gender (IPG)

meningkat dari tahun ke tahun, dari 50 di tahun 2005 menjadi 54 di tahun 2009. Indeks pemberdayaan

gender (IDG) meningkat dari 57,4 (2005) menjadi 61,2 (2009). Perbaikan ini perlu dipertahankan,

terlebih dikarenakan keberlanjutan program-program terkait gender masih kurang, dan belum konsisten

dalam penganggarannya.

5. Rekomendasi Pembangunan

Meningkatkan kualitas anggaran lewat perencanaan dan komposisi anggaran yang lebih

baik

Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. Pemerintah daerah

perlu memberi perhatian serius pada penguatan kapasitas perencanaan dan penganggaran melalui

peningkatan kompetensi aparat tenaga perencana dan pengelola keuangan daerah serta menciptakan

kesepahaman persepsi di kalangan para stakeholder pembangunan daerah mengenai proses dan

mekanisme perencanaan dan penganggaran. Secara spesifik, pemerintah daerah perlu lebih fokus

memberi perhatian pada penyediaan dokumen dan peningkatan kualitas perencanaan dan

penganggaran tahunan, baik pada level daerah dan terutama pada tingkat SKPD.

Meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang bersumber dari PAD. Meskipun penerimaan

daerah yang bersumber dari PAD memperlihatkan nilai riil yang meningkat, namun kontribusinya

terhadap total penerimaan daerah masih lebih kecil dibandingkan dengan transfer fiskal dari pemerintah

pusat. Untuk itu, upaya peningkatan PAD masih perlu terus dilakukan melalui: (i) pengkajian dan

perluasan potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap

memperhatikan undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru; (ii) perbaikan sistim

administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran; dan (iii)

pelatihan aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target

yang berbasis pada potensi.

6

6 Ringkasan Eksekutif

Memperbaiki komposisi dan kualitas alokasi belanja pemerintah untuk sektor-sektor strategis dan

gender. Porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah mendominasi jenis belanja lainnya, baik

pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Proporsi alokasi belanja untuk sektor strategis (pendidikan,

kesehatan, infrastruktur, dan pertanian) masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor pemerintahan

umum. Demikian halnya, alokasi belanja untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga masih

rendah. Beberapa upaya untuk memperbaiki komposisi dan kualitas belanja pemerintah daerah adalah:

(i) melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) dalam 2 - 3 tahun kedepan; (ii)

sekiranya harus merekrut pegawai baru, harus diprioritaskan pada pegawai teknis seperti tenaga

akuntan, tenaga guru, tenaga kesehatan dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai yang

pensiun; (iii) meningkatkan proporsi alokasi belanja untuk sektor kesehatan dan pertanian serta sektor-

sektor terkait dengan fungsi ekonomi, (iv) meningkatkan komitmen penentu kebijakan dalam

pengimplementasian pengarusutamaan gender; dan (v) merumuskan program dan kegiatan strategis

yang responsif gender yang disertai dengan peningkatan alokasi anggaran.

Meningkatkan kualitas layanan dasar untuk memperbaiki kualitas capaian

Memperbaiki indikator-indikator komposit IPM, terutama indikator pendidikan. Rendahnya angka

melek huruf dan rata-rata lama sekolah berkontribusi besar terhadap rendahnya capaian IPM Sulawesi

Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih dengan mengalokasikan anggaran yang

lebih signifikan untuk pemberantasan buta huruf serta mengupayakan peningkatan akses penduduk

terhadap pendidikan menengah dan tinggi. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada

perempuan dengan lokus wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto,

Bantaeng, Takalar dan Gowa. Sedangkan upaya peningkatan rata lama sekolah diarahkan pada

kabupaten dengan kinerja jauh di bawah rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Bantaeng, Jeneponto,

Wajo, dan Takalar.

Menajamkan alokasi anggaran kesehatan pada investasi kesehatan yang berdimensi jangka panjang.

Kebijakan kesehatan selama ini yang lebih bertumpu pada pengobatan (tindakan kuratif) dengan

dimensi jangka pendek perlu diimbangi dengan upaya pencegahan (tindakan preventif) dengan dimensi

jangka panjang. Tindakan-tindakan dimaksud dapat berupa imunisasi, perbaikan gizi, kesehatan

lingkungan dan air bersih. Investasi kesehatan semacam ini potensial meningkatkan kualitas kesehatan

masyarakat dalam jangka panjang dan memperbaiki indikator kesehatan IPM secara berkelanjutan.

Meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar. Meskipun secara relatif, infrastruktur dasar (sanitasi,

air bersih, dan listrik) di Sulawesi Selatan menempati urutan terbaik kedua di Pulau Sulawesi setelah

Sulawesi Utara, namun jika dibandingkan dengan angka nasional, capaian indikator tersebut masih

relatif lebih rendah. Pembangunan sanitasi dan peningkatan akses air bersih perlu mendapat perhatian,

terutama di kabupaten dengan tingkat capaian yang rendah. Sedangkan untuk peningkatan akses listrik,

meskipun kewenangan penyediaan listrik masih melekat di pemerintah pusat, pemerintah daerah perlu

terus mendorong upaya peningkatan kapasitas energi listrik di Sulawesi Selatan.

Pembangunan sektor pertanian harus tetap menempatkan peningkatan nilai tambah komoditas

unggulan sebagai prioritas utama. Komoditas beras dan jagung harus diarahkan pada perbaikan kualitas

7

7 Ringkasan Eksekutif

melalui pengembangan produk organik. Pengembangan produk pertanian organik dapat dilakukan

melalui intergrasi dengan pengembangan ternak. Integrasi padi dan jagung dengan ternak sapi akan

menghasilkan pupuk organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga

biaya produksi ketiga komoditas tersebut dapat ditekan dan kualitas dan tingkat harga produk yang

lebih baik. Untuk komoditas udang, pengembangan udang organik dimaksudkan untuk memenuhi

persyaratan permintaan internasional dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem

pertambakan agar kegiatan budidaya udang dapat lestari dan berkelanjutan. Sedangkan pengembangan

komoditas kakao dan rumput laut seyogyanya diarahkan untuk menghasilkan produk olahan yang siap

dikonsumsi.

Memperbaiki indikator pembentuk IPG dan IDG. Dengan mencermati indikator capaian IPG,

penyumbang terbesar rendahnya IPG terutama disebabkan oleh rendahnya sumbangan pendapatan

perempuan dan laki-laki dan rendahnya angka melek huruf laki-laki dan perempuan. Rendahnya

sumbangan pendapatan perempuan terutama terjadi di wilayah pesisir. Upaya untuk lebih

meningkatkan peran perempuan baik terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga maupun

berkiprah di ruang publik, perlu dilakukan beberapa hal seperti: (i) melakukan pendampingan

pengelolaan usaha kaum perempuan dan laki-laki untuk meningkatkan sumbangan pendapatan mereka

dalam rangka meningkatkan IDG dan IPG; (ii) membina pendidikan keaksaraan fungsional; (iii)

Melakukan sosialisasi secara intensif dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program Pendidikan

wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender; dan (iv) melakukan pembinaan dan

pendampingan kepada perempuan pesisir dalam hal teknis dan manajemen usaha.

9

BAB 1 PENDAHULUAN

10

10 Bab 1 Pendahuluan

1.1 Perkembangan Daerah

Sulawesi Selatan memainkan peran penting dan strategis bagi perkembangan wilayah Pulau Sulawesi

dan Kawasan Timur Indonesia. Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada titik tengah wilayah

Indonesia dengan luas wilayah 45.764,53 km persegi. Posisi tersebut menempatkannya sebagai pintu

gerbang bagi daerah Sulawesi lainnya bahkan Kawasan Timur Indonesia melalui perhubungan laut

(pelabuhan Soekarno-Hatta), darat (titik awal trans-Sulawesi) dan udara (bandar udara Sultan

Hasanuddin). Dimasa lalu, Makassar merupakan pelabuhan internasional baik sebelum maupun pada

jaman penjajahan, dan ketika Provinsi Sulawesi terbentuk pada jaman kemerdekaan, Makassar menjadi

ibu kota provinsi tersebut. Dengan demikian, dari rentang waktu masa lalu hingga masa kini, posisi

sebagai pintu gerbang Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia, bahkan posisi sebagai center point of

Indonesia, melekat pada provinsi ini.

Gambar 1.1. Posisi Makassar Berada di Tengah-Tengah Indonesia (center point of Indonesia)

Sumber: Peta olahan staf Bank Dunia, 2011.

Sulawesi Selatan termasuk daerah yang mengalami pemekaran wilayah secara signifikan pada era

desentralisasi dan otonomi daerah. Sulawesi Selatan awalnya merupakan hasil pemekaran Provinsi

11

11 Bab 1 Pendahuluan

Sulawesi pada tahun 1950-an menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Provinsi Sulawesi Selatan

dan Tenggara selanjutnya mekar menjadi Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat

gelombang desentralisasi dan otonomi daerah bergulir di Indonesia pada 2000-an; Provinsi Sulawesi

Selatan mengalami pemekaran kabupaten melalui pemecahan Kabupaten Luwu atas Kabupaten Luwu

sendiri, Kota Palopo, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur; selain itu Kabupaten Polewali

Mamasa termekarkan menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa; serta Kabupaten

Mamuju termekarkan menjadi Kabupaten Mamuju sendiri dan Kabupaten Mamuju Utara. Pada tahun

2004, Provinsi Sulawesi Selatan mekar dan melahirkan Provinsi Sulawesi Barat yang didalamnya

tergabung Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Pada dasarnya

acuan pemekaran wilayah adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada publik, maka demikian pula

Sulawesi Selatan sangat berhasrat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat luas di wilayah ini.

1.2 Kondisi Perekonomian Daerah

Perekonomian Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif namun terus meningkat

dengan pencapaian di atas rata-rata nasional. Sebagaimana ditunjukkan dalam kurun waktu 2005-2010,

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional,

namun dengan laju yang lebih tinggi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan dalam tahun-

tahun terakhir ini menjadikan perekonomian wilayah ini akan memburu ketertinggalannya. Disamping

itu, dengan pertumbuhan tinggi tersebut, Sulawesi Selatan diharapkan mampu menghela perekonomian

wilayah Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia.

Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat dan Lebih Tinggi dari

Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Sumber: Data BPS.

5.2

6.72 6.84

7.78

6.2

8.08

5.75.19

6.8

6.1

4.5

5.9

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Sulsel

Indonesia

12

12 Bab 1 Pendahuluan

PDRB Sulawesi Selatan menurut lapangan usaha ditandai oleh pertumbuhan nilai yang signifikan dan

masih didominasi oleh sektor pertanian. Nilai PDRB Sulawesi Selatan tumbuh signifikan selama periode

2005-2010, tetapi transformasi struktur perekonomian belum berjalan signifikan. Ini ditandai oleh masih

tertingginya kontribusi bidang usaha pertanian dibanding bidang usaha lainnya terhadap PDRB

meskipun pertumbuhannya sudah relatif melambat. Di sisi lain, kontribusi bidang usaha industri

pengolahan masih kecil dan pertumbuhannya juga lambat. Lambatnya transformasi pertanian menuju

industri di Sulawesi Selatan disebabkan oleh kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang

memang lebih mengutamakan pertanian dibanding industri mengingat posisi provinsi ini sebagai

lumbung pangan nasional.

Transformasi perekonomian dari pertanian ke industri berjalan lambat, berakibat pada lambatnya

penyerapan tenaga kerja di industri. Lambatnya pergeseran dari pertanian ke industri pada struktur

PDRB Sulawesi Selatan berimplikasi pada lambatnya pergeseran serapan tenaga kerja dari. Ini

mengakibatkan transformasi sumber daya manusia dari ciri sosial-ekonomi tani-tradisional menjadi

industrial-modern juga berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh kurang berkembangnya agroindustri,

hasil-hasil tani lebih banyak terpasarkan dalam bentuk produk primer. Kebijakan untuk mendorong

agroindustri yakni “petik-olah-jual”, “gerakan ekspor dua kali lipat/Grateks-2”, “Gerakan

Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)” dan “pengembangan industri lokal” telah

dijalankan dalam 20 tahun terakhir tetapi dampaknya belum signifikan. Dengan kurang berkembangnya

agroindustri, masyarakat perdesaan tidak memiliki wahana sosial-ekonomi untuk beralih dari pertanian

tradisional ke industri terlatih/terdidik, dan ini berarti pula bahwa sumber daya manusia perdesaan

tidak memiliki wahana pembelajaran untuk transformasi kapasitas dari menjadi tenaga kerja yang lebih

terlatih atau terdidik.

Tabel 1.1. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan Terus

Meningkat Nilainya Tetapi Transformasi Strukturalnya Lambat (Miliar Rp)

No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Pertanian 11.337,55 11.802,56 12.181,82 12.923,42 13.528,69 13.809,80

2 Pertambangan dan Penggalian

3.649,05 3.891,34 4.157,15 4.034,94 3.852,79 4.491,34

3 Industri Pengolahan 5.112,43 5.481,51 5.741,39 6.241,44 6.468,79 6.869,43

4 Listrik, Gas dan Air Bersih

342,43 368,27 400,88 451,00 490,45 529,82

5 Bangunan 1.712,29 1.787,87 1.942,09 2.328,42 2.656,77 2.900,27

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran

5.386,35 5.770,90 6.322,43 7.034,56 7.792,10 8.698,81

7 Pengangkutan dan Komunikasi

2.757,78 2.945,64 3.244,61 3.651,37 4.023,68 4.619,93

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

2.152,68 2.340,47 2.610,48 2.881,07 3.203,98 3.742,09

9 Jasa-jasa 3.970,80 4.479,10 4.731,58 5.003,60 5.308,83 5.535,55

PDRB DENGAN MIGAS 36.421,36 38.867,66 41.332,43 44.549,82 47.326,08 51.197,03

Sumber: Data BPS.

13

13 Bab 1 Pendahuluan

PDRB Sulawesi Selatan berdasarkan penggunaan ditandai oleh dominasi konsumsi rumah tangga dan

konsumsi pemerintah. Selama periode 2005-2010 penggunaan PDRB Sulawesi Selatan signifikan untuk

konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, sementara konsumsi swasta masih sangat rendah.

Ini berarti pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan masih lemah dari sisi peran dunia usaha dan

entrepreneurship yang mengkondisikan inovasi-teknologi dan efektivitas-efisiensi.

PDRB per kapita di Sulawesi Selatan menunjukkan kesenjangan yang tinggi. Kabupaten dengan PDRB

per kapita tertinggi adalah Luwu Timur yang terdampak dengan nilai kontribusi pertambangan nikel.

Secara nominal, nilai PDRB Kota Makassar adalah yang tertinggi di Sulawesi Selatan, tetapi PDRB per

kapitanya berada di urutan kedua, dengan nilai separuh dari PRDB per kapita Luwu Timur. Hal ini

menunjukkan kesenjangan antara Luwu Timur dengan kabupaten/kota lainnya, PDRB per kapita

terendah di provinsi terdapat di Jeneponto yang nilainya sepersepuluh dari Luwu Timur. Kabupaten

Pangkep yang juga memiliki pertambangan semen berada di posisi ketiga. Ini memperlihatkan bahwa

sektor pertambangan tidak terbarukan memegang peranan besar dalam PDRB kabupaten/kota.

Tabel 1.2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan di Sulawesi Selatan 2005-2010

Didominasi oleh Konsumsi Rumah Tangga Dimana Konsumsi Swasta Masih Rendah (Miliar Rp)

No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Konsumsi Rumahtangga 20.707,93 22.145,28 22.263,51 24.344,17 25.877,60 27.475,81

2 Konsumsi Lembaga Swasta

222,64 236,58 259,66 274,58 316,43 341,38

3 Konsumsi Pemerintah dan Pertahanan

5.427,12 5.834,15 6.075,87 6.740,98 7.087,11 7.466,20

4 Pembentukan Modal Tetap Bruto

6.168,58 6.304,06 6.973,39 8.414,11 9.783,91 11.142,66

5 Perubahan Stok 407,04 200,53 332,84 649,62 734,74 64,13

6 Ekspor Luar Negeri dan Antar Pulau

15.019,83 15.629,99 19.988,89 19.706,96 15.656,04 23.535,45

7 Impor dari Luar Negeri dan Antar Pulau

11.531,36 11.482,91 15.561,74 15.580,60 12.141,81 18.828,59

PDRB 36.421,79 38.867,68 41.332,43 44.549,82 47.314,02 51.197,03

Sumber: Data BPS.

14

14 Bab 1 Pendahuluan

PDRB per kapita memperlihatkan peningkatan yang relatif stabil, namun masih berada jauh di bawah

rata-rata Nasional. Pada tahun 2006, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan mencatat angka Rp 8 juta,

dan kemudian meningkat menjadi Rp 12,6 juta pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata

19 persen per tahun. Namun angka ini masih jauh di bawah angka nasional. Laju pertumbuhan

pendapatan per kapita Nasional pun bergerak lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan per kapita

Sulawesi Selatan. Nasional bergerak dengan rata-rata 20,5 persen per tahun, sedangkan Sulawesi

Selatan hanya 19,4 persen per tahun. Kondisi ini secara implisit mengesankan: (i) secara rata-rata,

provinsi lainnya mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang relatif lebih cepat dibandingkan

dengan Sulawesi Selatan; (ii) pendapatan per kapita Sulawesi Selatan akan terus berada di bawah angka

nasional dengan jarak (gap) yang semakin lebar; dan (iii) di masa depan, kontribusi pendapatan per

kapita Sulawesi Selatan terhadap perbaikan posisi relatif IPM, sulit diharapkan.

Tabel 1.3. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Berdasarkan Harga Konstan (Juta

Rp)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Luwu Timur 19,5 19,6 20,2 19,2 17,9 20,3

Makassar 8,8 9,3 9,9 10,9 11,6 12,1

Pangkep 6,6 6,8 7,2 7,6 7,9 8,2

Pinrang 5,6 5,8 6,1 6,4 6,8 7,2

Wajo 5,0 5,2 5,5 5,9 6,1 6,4

Palopo 5,1 5,2 5,4 5,6 5,9 6,2

Pare Pare 4,6 4,9 5,3 5,6 6,0 5,9

Sidrap 4,5 4,9 5,1 5,5 5,8 5,6

Soppeng 3,9 4,2 4,4 4,7 5,0 5,4

Luwu Utara 3,7 3,9 4,1 4,3 4,5 5,3

Luwu 4,0 4,2 4,4 4,6 4,8 5,1

Sinjai 3,6 3,8 4,0 4,3 4,5 4,7

Bone 3,3 3,5 3,7 4,0 4,2 4,5

Bulukumba 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2 4,4

Barru 3,5 3,6 3,8 4,0 4,2 4,4

Bantaeng 3,2 3,4 3,5 3,7 4,0 4,2

Enrekang 3,2 3,3 3,4 3,6 3,8 4,0

Kep. Selayar 3,0 3,0 3,2 3,3 3,5 3,8

Maros 3,0 3,1 3,2 3,4 3,5 3,6

Takalar 2,7 2,8 3,0 3,1 3,3 3,4

Tana Toraja 2,4 2,4 2,5 1,3 2,6 3,0

Gowa 2,4 2,5 2,6 2,7 2,9 2,9

Jeneponto 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 2,6

Sumber: Data BPS.

Catatan: Kabupaten Toraja Utara yang baru mekar tahun 2008 tidak diikutsertakan.

15

15 Bab 1 Pendahuluan

Gambar 1.3.PDRB per Kapita Sulawesi Selatan Masih Berada di Bawah Angka Nasional

Sumber: BPS, Tahun 2009 angka sementara; tahun 2010 angka sangat sementara.

Laju inflasi perekonomian

Sulawesi Selatan cukup tinggi

dengan komponen utama harga

bahan makanan dan sandang.

Laju inflasi Sulawesi Selatan

berfluktuasi mengikuti tren inflasi

nasional. Inflasi nasional tahun

2005 salah satunya diakibatkan

kenaikan harga bahan bakar,

tampak tidak terlalu

mempengaruhi inflasi Sulawesi

Selatan. Komponen tertinggi

pembentuk inflasi Sulawesi

Selatan adalah pangan dan

sandang. Kondisi ini menjadikan

pendapatan per kapita

masyarakat selalu berkorelasi

dengan daya beli yang turun

karena direduksi oleh inflasi yang cukup tinggi tersebut.

Kondisi investasi Sulawesi Selatan berfluktuasi tetapi cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir.

Meskipun terjadi fluktuasi dalam hal jumlah investor dan nilai investasi, dalam tiga tahun terakhir

terdapat kecenderungan perbaikan pada investasi di Sulawesi Selatan, baik dalam Penanaman Modal

Dalam Negeri (PMDN) maupun dalam Penanaman Modal Asing (PMA). Lapangan usaha yang banyak

menyerap PMDN adalah pertanian, peternakan, industri makanan, bangunan serta pengangkutan dan

Gambar 1.4. Perkembangan Inflasi di Sulawesi Selatan dan

Nasional, 2005-2010

Sumber: Data BPS.

17.11

6.60 6.59

11.06

2.78

6.967.45

7.21

5.71

11.79

3.24

6.82

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Indonesia

Sulsel

15

18

22

24

26.90

89

1113

14.67

0

5

10

15

20

25

30

2006 2007 2008 2009*) 2010**)

Rp

. Ju

ta

Indonesia

Sulsel

16

16 Bab 1 Pendahuluan

telekomunikasi; sedangkan yang menyerap PMA adalah pertanian, perkebunan, industri makanan,

industri kayu, listrik, gas dan air bersih serta bangunan. Hal ini terkait dengan daya saing daerah yang

semakin membaik khususnya dalam hal keamanan, selain itu pelayanan investasi tingkat provinsi dan

kabupaten/kota juga mengalami kemajuan, sementara promosi investasi terus didorong.

Tabel 1.4. Perkembangan Nilai Realisasi Investasi PMDN dan PMA Sulawesi Selatan 2005-2010

Tahun Nilai PMDN (Ribu Rp) Nilai PMA (US $)

2010 3.212.295.181 441.796.125 2009 1.137.863.414 76.982.850 2008 110.524.937 27.696.510 2007 244.670.640 141.430.870 2006 2.362.627.000 679.965.000 2005 940.544.000 53.558.000

Sumber: Data BPS.

1.3 Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan

Kondisi demografi Sulawesi Selatan ditandai pertumbuhan penduduk yang positif dan populasi yang

terus bertambah. Dalam enam tahun terakhir pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan rata-rata di atas

satu persen kecuali pada tahun 2007 (0,92 persen). Pertumbuhan penduduk Sulawsi Selatan rata-rata

sebesar 1,3 persen. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Sulawesi Selatan mencapai 8

juta jiwa, terdiri atas 3,9 juta penduduk laki-laki dan 4,1 juta penduduk perempuan.

Gambar 1.5. Pertumbuhan Penduduk Sulawesi Selatan Rata-Rata 1,3 Persen

Sumber: Data BPS.

Catatan: 2010 merupakan hasil Sensus Penduduk.

Penduduk usia produktif lebih besar dibanding usia tidak produktif dan populasi perempuan lebih

besar dari populasi laki-laki. Pada tahun 2009, jumlah penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 14

tahun ditambah usia diatas 65 tahun) sebesar 2,9 juta jiwa (36 persen dari populasi), sementara jumlah

7,489,696

7,595,000

7,700,255

7,805,024

7,908,519

8,032,551

7,200,000

7,300,000

7,400,000

7,500,000

7,600,000

7,700,000

7,800,000

7,900,000

8,000,000

8,100,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Jiw

a

17

17 Bab 1 Pendahuluan

penduduk usia produktif (usia 15 sampai 64 tahun) sebesar 5 juta jiwa (64 persen dari populasi). Rasio

beban tanggungan sebesar 0,57 yang berarti satu orang usia tidak produktif ditanggung oleh dua orang

usia produktif. Jumlah perempuan usia produktif lebih besar dari laki-laki usia produktif, yang berarti

jumlah perempuan pada angkatan kerja di Sulawesi Selatan lebih besar.

Tabel 1.5. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2009

Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin

0-4 375 198 352 040 727 238 106,58 5-9 447 014 407 851 854 865 109, 60

10-14 431 498 409 938 841 437 105, 26 15-19 351 712 362 508 714 220 97, 02 20-24 291 052 309 477 600 529 94, 05 25-29 301 980 343 087 645 067 88, 02 30-34 275 764 311 959 587 723 88, 40 35-39 296 539 327 183 623 722 90, 63 40-44 237 824 266 303 504 127 89, 31 45-49 210 957 228 271 439 227 92, 42 50-54 168 401 195 258 363 660 86, 25 55-59 135 327 144 647 279 973 93, 56 60-64 106 189 144 438 250 627 73, 52 65+ 207 515 268 586 476 104 77, 26 Total 3 836 971 4 071 548 7 908 519 94, 24

Sumber: Data BPS.

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) terus

meningkat dibalik pertumbuhan angkatan kerja

yang fluktuatif. Pada tahun 2010, TPAK

mencapai 64 persen ketika angkatan kerja

sebesar 3,6 juta jiwa dari 5,6 juta jiwa penduduk

usia kerja. Angka ini meningkat dari kondisi 2005

dimana TPAK sebesar 54 persen ketika angkatan

kerja hanya 3,2 juta jiwa dan penduduk usia

kerja sebanyak 6 juta jiwa. Peningkatan TPAK ini

lebih disebabkan oleh kecenderungan penduduk

usia produktif untuk memasuki dunia kerja

dibanding masuk bangku sekolah mengingat

porsi TPAK cukup banyak pada usia 15-20 tahun.

Terdapat kesenjangan antara TPAK perempuan

dengan TPAK laki-laki. TPAK perempuan di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 hanya 45 persen

sementara TPAK laki-laki sebesar 82 persen. Kondisi ini sudah mengalami perbaikan dibanding tahun

2000 di mana TPAK perempuan hanya sebesar 28 persen sedang laki-laki 70 persen. Ini menunjukkan

bahwa meskipun telah terjadi perbaikan tetapi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam akses

lapangan kerja masih jauh dari tipe ideal.

Gambar 1.6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) di Sulawesi Selatan, 2005-2010

Sumber: Data BPS.

54.20

57.17

61.0762.02 62.48

64.14

48

50

52

54

56

58

60

62

64

66

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

18

18 Bab 1 Pendahuluan

Mayoritas angkatan kerja terserap di sektor pertanian masih meskipun persentasenya cenderung

menurun. Pada tahun 2009, angkatan kerja yang bekerja pada bidang usaha pertanian, kehutanan,

perburuan dan perikanan mencapai 49 persen turun dari 55 persen pada tahun 2005. Porsi ini sangat

besar dibanding serapan tenaga kerja bidang usaha lain, terutama industri pengolahan yang hanya 7

persen pada tahun 2009 dan hanya sedikit meningkat dari 6 persen pada tahun 2005. Bertahannya

tenaga kerja pada sektor pertanian terutama dikontribusi oleh berkembangnya aktivitas budidaya

rumput laut, revitalisasi kakao yang, serta agribisnis jagung yang menyerap tenaga kerja perdesaan atau

pesisir, selain yang secara tradisional telah diserap oleh kegiatan padi sawah.

Dari total tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan, hampir setengahnya bekerja di sektor

pertanian. Pada tahun 2009, jumlah tenaga kerja perempuan di Sulawesi Selatan mencapai 1,1 juta

orang atau 88 persen dari total angkatan kerja perempuan. Proporsi ini sudah jauh lebih besar

dibandingkan dengan tahun 2005 yang baru mencapai 71 persen. Peningkatan ini menunjukkan semakin

besarnya keterlibatan perempuan dalam berbagai jenis pekerjaan. Jika diamati berdasarkan jenis

pekerjaan yang digeluti wanita, tampak bahwa sektor pertanian masih sangat dominan (48 persen),

disusul sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi (30 persen), dan sektor jasa

kemasyarakatan, sosial dan perseorangan (12 persen). Di Sulawesi Selatan, hampir tidak ditemukan

perempuan yang bekerja di sektor listrik, gas, dan air minum.

Tabel 1.6. Banyaknya Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Berdasarkan Bidang Usaha

di Sulawesi Selatan, 2005-2009

No Lapangan Usaha 2005 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan

1.678.884 (54,70%)

1.469.418 (55,76%)

1.580.962 (53,78%)

1.613.949 (51,46%)

1.588.626 (49,30%)

2. Industri Pengolahan 197.729 (6,44%)

128.966 (4,89%)

147.391 (5,01%)

183.430 (5,85%)

214.668 (6,66%)

3. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel

457.530 (14,91%)

439.047 (16,66%)

566.397 (19,27%)

578.961 (18,46%)

636.714 (19,76%)

4. Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan

361.471 (11,78%)

302.040 (11,46%)

170.135 (5,79%)

352.573 (11,24%)

362.460 (11,25%)

5. Lainnya* 373.607

(12,17%) 295.943

(11,23%) 374.578

(12,74%) 407.198

(12,98%) 419.788

(13,03%)

Jumlah 3.069.221 (100,00%)

2.635.414 (100,00%)

2.939.463 (100,00%)

3.136.111 (100,00%)

3.222.256 (100,00%)

Sumber: Data BPS.

Lainnya*: Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air, Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan

Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan.

19

19 Bab 1 Pendahuluan

Gambar 1.7. Tenaga Kerja Perempuan Menurut Lapangan Usaha di Sulawesi Selatan, 2009

Sumber:Data BPS.

Tingkat Pengangguran Terbuka

(TPT) di Sulawesi Selatan

cenderung terus menurun.

Meskipun TPT di Sulawesi

Selatan masih lebih tinggi

dibandingkan dengan angka

Nasional, namun penurunannya

berlangsung lebih cepat

dibandingkan dengan Nasional.

Penurunan TPT ini menunjukkan

adanya perbaikan pada

penyerapan tenaga kerja. Angka

pengangguran ini terutama diisi

oleh penganggur terbuka usia

15-24 tahun, yakni sekitar 20

persen. Meskipun terjadi

penurunan, hal ini harus menjadi

perhatian karena pengangguran

usia muda berarti bahwa banyak

penduduk usia sekolah yang yang terpaksa masuk dunia kerja.

47.96%

0.39%

5.56%0.00%

0.45%

29.91%

2.44%

0.96% 12.32%

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan,

Perburuan, dan PerikananPertambangan dan Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, Gas, dan Air Minum

Konstruksi

Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa

AkomodasiAngkutan, Pergudangan, dan Komunikasi

Lembaga Keuangan, Real Estat, Usaha

Persewaan, dan Jasa PerusahaanJasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan

Gambar 1.8. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulawesi

Selatan dan Nasional, 2005-2010

Sumber: Badan Pusat Statistik.

10.30 10.409.75

8.39 7.877.14

18.64

12.76

11.25

9.04 8.74 8.37

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Indonesia

Sulsel

20

20 Bab 1 Pendahuluan

1.4 Kondisi Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Selatan telah mengalami peningkatan, dan telah

mencapai kategori nilai IPM “menengah atas”. Peningkatan IPM adalah visi utama RPJMD Sulawesi

Selatan 2008-2013. Pada tahun 2008 angka IPM Sulawesi Selatan telah memasuki kategori “menengah

atas” (di atas nilai 70), dan dalam perkembangannya selama 2006-2010 angka tersebut telah meningkat

sebesar 3,44 point, yang merupakan peningkatan tertinggi ketiga secara nasional, sesudah Lampung dan

Papua Barat. Bahkan pada tahun 2008-2009 peningkatan IPM Sulawesi Selatan paling tinggi di

Indonesia. Meningkatnya nilai IPM Sulawesi Selatan selama periode 2006-2010 disebabkan oleh

beberapa faktor. Pertama, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang meningkat secara signifikan

serta inflasi yang relatif terkendali telah mendorong peningkatan daya beli masyarakat. Kedua,

perbaikan pada bidang pendidikan, yakni angka melek huruf penduduk yang meningkat dari 85,7 persen

pada 2006 menjadi 87,75 persen pada tahun 2010; begitu pula angka rata-rata lama sekolah yang

meningkat dari 7 tahun pada tahun 2006 menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Ketiga, perbaikan pada

bidang kesehatan, dimana angka harapan hidup naik dari 69,2 tahun pada tahun 2006 menjadi 70,8

tahun pada tahun 2010.

IPM Sulawesi Selatan juga menunjukkan perbaikan posisi secara nasional, namun masih angkanya jauh

dari target RPJMD. Pada tahun 2006 Sulawesi Selatan berada pada posisi 23 dari 33 provinsi di

Indonesia, kemudian naik ke peringkat 19 pada tahun 2010. Apabila diasumsikan IPM meningkat dengan

tren yang sama, maka pada akhir periode RPJMD (tahun 2013) peringkat paling tinggi yang bisa dicapai

oleh Sulawesi Selatan adalah posisi 17 dari 33 provinsi di Indonesia. Posisi ini masih relatif jauh dari

target RPJMD, yaitu masuk dalam kelompok 10 besar provinsi dalam hal pemenuhan hak dasar

masyarakat yang salah satu indikatornya adalah IPM.

Gambar 1.9. IPM Sulawesi Selatan Cenderung Meningkat Tetapi Masih Dibawah Rata-Rata Nasional

dan Masih Senjang Dengan Target RPJMD

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Menkokesra, UNDP.

70.1070.59

71.1771.76

73.40

68.81

69.6270.22

70.94

72.25

66

67

68

69

70

71

72

73

74

2006 2007 2008 2009 2010

Indonesia

Sulsel

21

21 Bab 1 Pendahuluan

Tidak signifikannya peningkatan peringkat IPM Sulawesi Selatan secara nasional disebabkan oleh

akselerasi nilai IPM yang tidak cukup cepat. Bahkan beberapa komponen pembentuk IPM menunjukkan

nilai yang lebih rendah serta peningkatan yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan capaian

Nasional. Misalnya, angka melek huruf secara nasional pada tahun 2009 sudah mencapai 92,6 persen,

sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 87 persen. Rata-rata lama sekolah secara nasional sudah

mencapai 7,7 tahun, sedangkan Sulawesi Selatan baru mencapai 7,4 tahun. Kedua indikator tersebut

juga mengalami pergerakan yang relatif lambat dibandingkan dengan nasional. Akibatnya, peran dan

kontribusinya terhadap peningkatan IPM Sulawesi Selatan relatif kecil.

Gambar 1.10. Posisi IPM Sulawesi Selatan Menempati Posisi Relatif Rendah Dibanding IPM Provinsi

Lain di Indonesia Tahun 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik.

1.5 Arah Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah

Pembangunan jangka panjang (2005-2025) Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi sebagai

wilayah terkemuka di Indonesia dengan mengandalkan kemandirian lokal dan bernafas keagamaan. Visi

ini selain menunjukkan kondisi yang dituju yakni terkemuka dalam berbagai indikator pembangunan,

juga menunjukkan cara mencapainya yakni mengandalkan potensi lokal, serta menunjukkan landasan

nilai atas hubungan antara tujuan yang mau dicapai dan cara mencapainya yakni bernafas

keagamaan.Arah umum pembangunan jangka panjang ini, selain berkontribusi terhadap arah umum

jangka panjang pembangunan nasional, juga menjadi payung bagi arah umum jangka penjang

pembangunan kabuten/kota di Sulawesi Selatan, dalam suatu konsistensi misi dan kebijakan umum

untuk mengoperasionalkannya.

70.94 71.76

55

60

65

70

75

80

Pap

ua

NT

B

NT

T

Pap

ua …

Mal

ut

Kal

bar

Sul

bar

Kal

sel

Sul

tra

Gor

onta

lo

Ban

ten

Sul

teng

Sul

sel

Mal

uku

Jatim

NA

D

Bal

i

Jaba

r

Indo

nesi

a

Jate

ng

Jam

bi

Ben

gkul

u

Bab

el

Sum

sel

Lam

pung

Sum

bar

Sum

ut

Kal

teng

Kep

. Ria

u

Kal

tim DIY

Ria

u

Sul

ut

DK

I …

22

22 Bab 1 Pendahuluan

Pembangunan jangka menengah Sulawesi Selatan diarahkan pada pencapaian posisi Sulawesi Selatan

sebagai 10 besar di Indonesia dalam pemenuhan hak dasar. Itu berarti bahwa pada periode 2008-2013,

visi terkemuka secara jangka panjang diterjemahkan pada fokus untuk terkemuka dalam hal pemenuhan

hak dasar masyarakat secara jangka menengah. Visi ini difokuskan indikatornya pada akselerasi proses

pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Selatan. Misi dan kebijakan umum pembangunan

jangka menengah Sulawesi diarahkan bagi perwujudan visi tersebut.

Tabel 1.7. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Panjang Dikerangkakan Untuk

Mewujudkan Sulawesi Selatan Sebagai Daerah Terkemuka Dengan Pendekatan Kemandirian Lokal

dan Bernafaskan Keagaman

Visi 2005-2025: Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Terkemuka di Indonesia dengan pendekatan

kemandirian lokal yang bernafaskan keagamaan

Misi Kebijakan Umum

1. Mewujudkan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan. 1. Mengupayakan peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan.

2. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas pembelajar. 2. Menjadikan masyarakat Sulawesi Selatan sebagai komunitas pembelajar.

3. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif. 3. Mengupayakan Sulawesi Selatan sebagai wilayah yang kondusif.

4. Mewujudkan Sulawesi Selatan satu kesatuan sosial ekonomi yang berkeadilan.

4. Menjadikan wilayah Sulawesi Selatan sebagai satu kesatuan sosial-ekonomi yang berkeadilan.

5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional.

5. Meningkatkan peran Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan yang mandiri, maju dalam memperkuat ketahanan nasional

Sumber: RPJPD Sulawesi Selatan 2005-2025.

Tabel 1.8. Misi dan Kebijakan Umum Pembangunan Jangka Menengah Sulawesi Selatan Dikerangkakan

Untuk Mewujudkan Kinerja Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat yang Terkemuka di Indonesia

Visi 2008-2013: Sulawesi Selatan Sebagai Provinsi Sepuluh Terbaik

dalam Pemenuhan Hak Dasar

Misi Kebijakan Umum

1. Meningkatkan kualitas pelayanan untuk pemenuhan hak dasar masyarakat.

1. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.

2. Mengakselerasi laju peningkatan dan pemerataan kesejahteraan melalui penguatan ekonomi berbasis masyarakat.

2. Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

3. Mewujudkan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi wilayah

3. Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan perekonomian.

4. Menciptakan iklim kondusif bagi ke-hidupan yang inovatif.

4. Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan.

5. Penciptaan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif.

5. Menguatkan kelembagaan dalam perwujudan tatakelola yang baik.

6. Penguatan kelembagaan masyarakat.

7. Penguatan kelembagaan pemerintah.

Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.

23

BAB 2 PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

24

24 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Keterkaitan dan konsistensi perencanaan pembangunan daerah dan penganggaran (APBD) berpedoman

pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

(SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,

Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Selain melakukan analisis isi

(content analysis) pada sejumlah dokumen perencanaan pembangunan, juga dilakukan analisis pada

proses dan mekanisme penyusunan dan implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran

pembangunan daerah pada setiap tingkatan pemerintahan. Analisis isi, proses dan mekanisme tersebut

dicermati mulai dari perencanaan pembangunan jangka menengah tingkat nasional, provinsi serta

kabupaten/kota, hingga pada perencanaan dan penganggaran tahunan tingkat provinsi serta

kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Selain itu, disajikan gambaran umum pengelolaan keuangan

daerah.

2.1 Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah

Periode waktu yang berbeda menjadi salah satu kendala mensinkronisasikan perencanaan

pembangunan nasional dan daerah. Hal ini terlihat pada periode RPJMN 2004-2009 yang memiliki

intercept waktu yang singkat dengan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013. Artinya, awal periode RPJMD

2008-2013 berada pada akhir periode RPJMN 2004-2009. Periode waktu yang lama justru nampak pada

RPJMN periode 2010-2014, tetapi tidak dapat dikatakan RPJMD memperhatikan RPJMN tersebut karena

RPJMD terbit lebih awal daripada RPJMN 2010-2014. Pemerintah Provinsi perlu untuk lebih ketat lagi

mengevaluasi RPJMD Kab/Kota sebelum disahkan agar secara substansi telah merujuk kepada RPJMD

Provinsi. Demikian pula dengan Depdagri dan Bappenas dalam konteks mengevaluasi keterkaitan atara

RPJMD Provinsi dengan RPJMN.

Tabel 2.1. Penjabaran Agenda Pembangunan RPJMN Dalam RPJMD Sulawesi Selatan

Agenda Pembangunan pada

RPJMN 2004-2009

Agenda Pembangunan pada

RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013

� Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai � Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan

inovatif

� Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis � Penguatan kelembagaan masyarakat;

� Penguatan kelembagaan pemerintahan.

� Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat � Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan

masyarakat;

� Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan

masyarakat;

� Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju

pertumbuhan ekonomi;

� Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi

yang berkeadilan

Sumber: RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 (diolah).

25

25 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

RPJMD Sulawesi Selatan 2008-20013 sudah menjabarkan agenda pembangunan nasional dalam

RPJMN 2004-2009. Tabel 2.1 menunjukkan penjabaran dari Agenda Pembangunan pada RPJMN kepada

Agenda Pembangunan pada RPJMD Sulawesi Selatan. Dilihat dari prioritas pembangunan, mayoritas

prioritas pembangunan nasional telah sinkron dengan prioritas pembangunan Sulawesi Selatan seperti

yang terlihat pada Tabel 2.2. Prioritas pembangunan daerah yang dianggap paling popular bersinergi

dengan prioritas pembangunan nasional terutama pada bidang kesehatan dan bidang pendidikan,

melalui program pembangunan kesehatan gratis dan pendidikan gratis.

Tabel 2.2. Penjabaran Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN kepada RPJMD Sulawesi Selatan

Prioritas Pembangunan pada

RPJMN 2004-2009

Prioritas Pembangunan pada

RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013

� Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak

� Pemberdayaan perempuan

� Penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa � Peningkatan kinerja SKPD; � Peningkatan kualitas profesionalisme aparatur pemerintah; � Kepenataan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah.

� Perwujudan lembaga demokrasi yang makin kokoh � Pembinaan kehidupan sosial politik; � Pembinaan kesatuan bangsa; � Peningkatan keamanan dan ketertiban masyarakat; � Peningkatan kualitas informasi dan komunikasi

� Penanggulangan kemiskinan � Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin

� Revitalisasi pertanian � Peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan;

� Peningkatan akses masyarakat kepada asset produktif dan kegiatan produksi.

� Pemberdayaan koperasi dan UMKM � Revitalisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil

� Perbaikan iklim ketenagakerjaan � Penciptaan lapangan kerja dan usaha; � Penempatan dan perluasan kesempatan kerja; � Pembinaan dan pengawasan tenaga kerja

� Pemantapan stabilitas ekonomi makro; � Peningkatan daya saing industri manufaktur

� Pengembangan industri strategis; � Pengembangan kerjasama regional dan promosi

perdagangan; � Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai destinasi pariwisata

terkemuka di Indonesia

� Pembangunan perdesaan � Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan; � Pemberdayaan komunitas desa

� Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah � Perencanaan dan pengendalian penataan ruang; � Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah

� Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas

� Pendidikan gratis; � Peningkatan kualitas layanan pendidikan; � Pemberantasan buta aksara

� Peningkatan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas

� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; � Perbaikan gizi masyarakat; � Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan pemukiman,

sanitasi dan air bersih.

� Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial � Pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan.

� Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda dan olahraga

� Pemberdayaan organisasi pemuda dan olahraga

� Peningkatan kualitas kehidupan beragama � Pemberdayaan organisasi keagamaan;

Sumber: diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.

26

26 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Tidak seluruh prioritas pembangunan nasional menjadi prioritas pembangunan Sulawesi Selatan. Ada

dua prioritas pembangunan nasional yang tidak menjadi prioritas Sulawesi Selatan, yaitu Pengembangan

IPTEK dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Sementara Sulawesi Selatan memiliki empat prioritas

khusus yaitu Pembangunan Perkotaan, Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Lokal, Penguatan Kualitas

Teknostruktur Komunitas serta Pemberdayaan Organisasi Profesi. Empat prioritas ini dirasa lebih

diperlukan oleh Sulawesi Selatan untuk dibangun.

Tabel 2.3. Prioritas Pembangunan Dalam RPJMN yang Masih Kurang Tegas Dijabarkan Kedalam

RPJMD Sulawesi Selatan Serta Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan yang Bukan

Merupakan Penjabaran dari RPJMN

Prioritas Pembangunan pada

RPJMN 2004-2009 yang bukan menjadi prioritas pada

RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013

Prioritas Pembangunan pada

RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 yang kurang

mengacu pada prioritas RPJMN 2004-2009

� Peningkatan kemampuan IPTEK

� Percepatan pembangunan infrastruktur

� Pembangunan perkotaan

� Aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal

� Penguatan kualitas teknostruktur komunitas

� Pemberdayaan organisasi profesi

Sumber: Diolah dari RPJMN 2004-2009 dan RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013

Beberapa kabupaten/kota memiliki sinkronisasi Agenda Pembangunan dengan tingkat Provinsi. Tim

peneliti PEA mengambil sampel RPJMD pada Kota Makassar dan Kabuupaten Luwu Utara. Tabel 2.4

menunjukkan penjabaran Agenda Pembangunan Nasional kepada RPJMD Makassar dan Luwu Utara.

Meski demikian, dua daerah kabupaten/kota ini tidak memiliki agenda pembangunan terkait

perwujudan Indonesia yang aman dan damai yang tertuang dalam Agenda Pembangunan Nasional.

Pemerintah kabupaten kota masih memiliki kendala dalam sinkronisasi agenda pembangunan dengan

level nasional. Selain karena kemampuan sumberdaya manusia aparatur yang belum optimal, hal ini

juga karena perhatian pemerintah daerah terhadap perencanaan makro ekonomi nasional dan daerah

yang lemah. Penyebab utamanya adalah oleh lahirnya sejumlah peraturan-perundangan. yang sering

tidak sejalan. Salah satu contohnya, berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, RPJMD

provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebaliknya, UU No. 25/2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang diterbitkan oleh Bappenas/Kementerian PPN

mengatakan penetapan RPJMD dengan Peraturan Kepala Daerah, sebagaimana juga dipertegas dengan

penetapan RPJMN dengan Peraturan Presiden. Faktanya, semua RPJMD di Sulawesi Selatan ditetapkan

dengan Peraturan Daerah, di samping melayani kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang

diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri juga dimaksudkan agar memiliki kekuatan mengikat

stakeholder pembangunan yang lebih kuat. Di sisi lain, fleksibilitas substansi perencanaan pembangunan

daerah terhadap lingkungan strategisnya justru lebih baik jika dokumen perencanaan pembangunan

daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

27

27 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Tabel 2.4. Katerkaitan agenda pembangunan dalam RPJMN dan RPJMD provinsi/kabupaten/kota di

Sulawesi Selatan

Agenda Pembangunan RPJMN 2004-2009

Agenda Pembangunan RPJMD Sulawesi Selatan

2008-2013

Agenda Pembangunan RPJMD Kota Makassar

2009-2014

Agenda Pembangunan Kabupaten Luwu Utara

2005-2010

� Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai

� Menciptakan lingkungan kondusif bagi kehidupan inovatif;

� Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis

� Penguatan kelembagaan masyarakat;

� Penguatan kelembagaan pemerintahan.

� Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bebas korupsi

� Pemantapan pelaksanaan otonomi daerah dan kemandirian pembangunan daerah;

� Penegakan supremasi hukum, politik dan pemerintahan.

� Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

� Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat;

� Peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat;

� Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertumbuhan ekonomi;

� Mewujudkan Sulsel sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan

� Peningkatan kualitas manusia;

� Pengembangan tata ruang dan lingkungan;

� Penguatan struktur ekonomi

� Peningkatan keunggulan dan daya saing wilayah;

� Pengentasan kemiskinan dengan sistem ekonomi kerakyatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

� Pembangunan perdesaan dan infrastruktur wilayah;

� Peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia;

� Upaya penanganan dan mitigasi bencana alam.

Sumber: RPJMN 2004-2009, RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013, RPJMD Kota Makassar 2009-2014 dan RPJMD

Kabupaten Luwu Utara 2005-2010 (diolah).

2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Prioritas pembangunan daerah provinsi di dalam RPJMD dan prioritas pembangunan dalam Renstra-

SKPD, secara substansial sudah konsisten, tetapi pada sejumlah kabupaten masih belum. Hal ini

menggambarkan ketimpangan pemahaman terhadap proses dan mekanisme penjabaran dokumen

perencanaan pembangunan daerah dan SKPD pada setiap daerah, terutama antara provinsi dengan

kabupaten atau antara daerah perkotaan dengan daerah yang bercirikan perdesaan. Kapasitas

kelembagaan dan kompetensi SDM aparat tenaga perencana menjadi kendala utama dalam mengatasi

ketimpangan tersebut, terutama antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antara perencana daerah

dengan perencana pada tingkat SKPD.

28

28 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Gambar 2.1. Konsistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan

Renstra SKPD di Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses

perencanaan masih rendah. Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan

penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program

pembangunan daerah dalam RPJMD

daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan

pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)

dokumen Renja-SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya

tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja

Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

sistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan

: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Kedisiplinan daerah dan SKPD dalam mengikuti proses dan tahapan penyusunan dokumen

Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan

penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program

pembangunan daerah dalam RPJMD yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas

daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan

pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)

SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya

tidak lebih dari matriks program dan kegiatan, bukan Renja-SKPD.

sistensi Proses dan Tahapan Penyusunan Dokumen Perencanaan RPJMD dan

: Diolah dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

dan tahapan penyusunan dokumen-dokumen

Tahapan penyusunan Renstra SKPD yang beriringan dengan pelaksanaan

penyusunan RPJMD belum secara konsisten dijalankan oleh hampir semua daerah. Program-program

yang mestinya dikontribusi oleh setiap SKPD masih sangat terbatas

daerah yang mampu menjalankannya secara konsisten dan sesuai tahapan yang ditetapkan. Bahkan

pada sejumlah daerah kabupaten, tidak ditemukan ketersediaan (karena belum pernah menyusun)

SKPD. Dokumen yang dipakai untuk menyusun dokumen lanjutan dan penganggarannya

29

29 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Tabel 2.5. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Dalam RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan

Renstra SKPD Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan 2008-2013

Prioritas RPJMD Sulawesi Selatan Bidang Kesehatan Prioritas Renstra SKPD Kesehatan

� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; � Perbaikan gizi masyarakat; � Peningkatan pelayanan perumahan, lingkungan

pemukiman, sanitasi dan air bersih.

� Kesehatan gratis; � Peningkatan kualtas pelayanan kesehatan; � Peningkatan gizi masyarakat; � Pencegahan dan pemberantasan penyakit; � Promosi kesehatan; � Peningkatan layanan perumahan, lingkungan

pemukiman, sanitasi dan air bersih.

Sumber: RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2008-2013.

Prioritas pembangunan daerah Sulawesi Selatan untuk bidang kesehatan secara keseluruhan

dijabarkan oleh Dinas Kesehatan dalam Renstranya dalam periode yang sama. Empat prioritas

pembangunan bidang kesehatan semuanya dijabarkan dengan substansi dan kalimat yang sama dalam

Renstra Dinas Kesehatan. Selain itu, terdapat dua prioritas dalam Renstra yang tidak diderivasikan dari

RPJMD. Kedua prioritas pembangunan SKPD tersebut adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit,

serta promosi kesehatan. Hal ini masih dapat ditoleransi dalam perencanaan, mengingat SKPD

menjabarkan lebih luas dari apa yang telah direncanakan pada tingkat daerah. Yang tidak dapat

ditoleransi adalah jika terjadi sebaliknya, adanya prioritas pembangunan daerah yang tidak terjabarkan

ke dalam prioritas SKPD sehingga prioritas pembangunan daerah tersebut tidak dapat

diimplementasikan karena tidak terdapat dalam skema prioritas masing-masing SKPD sebagai pelaksana

teknis program/kegiatan pembangunan daerah.

Tabel 2.6. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Bercirikan Perdesaan Dalam RPJMD Luwu

Utara 2005-2010 dan Renstra SKPD Dinas Pertanian Luwu Utara 2005-2010

Prioritas RPJMD Luwu Utara Bidang Pertanian Prioritas Renstra SKPD Pertanian

� Program pembangunan yang dapat mendorong tumbuhnya kegiatan sektor-sektor usaha yang ada di perdesaan.

� Pembangunan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan desa penghasil produk pertanian menuju kota-kota kecamatan dan sentra-sentra pasar.

� Percepatan upaya untuk memperlancar pergerakan arus barang hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan menuju pusat-pusat perekonomian wilayah.

� Peningkatan ketahanan pangan; � Pengembangan agribisnis; � Peningkatan SDM Aparat dan Petani-Nelayan; � Peningkatan sarana dan prasarana pertanian dan

kelautan; � Kewaspadaan rawan pangan.

Sumber: RPJMD Luwu Utara 2005-2010 dan Renstra-SKPD Pertanian 2005-2010.

Di tingkat kabupaten/kota kesesuaian Prioritas RPJMD dan Prioritas Renstra SKPD beragam. Rumusan

program prioritas pembangunan daerah bidang pertanian nampak berbeda dengan rumusan program

prioritas pembangunan SKPD Pertanian di Kabupaten Luwu Utara. Terutama karena rumusan

pembangunan daerah lebih bersifat umum dan lintas sektoral, bukan hanya oleh SKPD pertanian tetapi

30

30 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

juga harus mampu dijabarkan oleh sektor-sektor terkait lainnya. Prioritas pembangunan daerah ini juga

dijabarkan oleh bidang perindustrian untuk pengembangan industri rumah tangga di perdesaan. Begitu

juga untuk prioritas pembangunan daerah peningkatan sarana dan prasarana jalan desa untuk

memperlancar arus barang produk-produk pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, juga

merupakan bagian utama dari tanggung jawab bidang ke-PU-an serta sarana dan prasarana wilayah.

Sementara untuk sektor tertentu, penjabarannya lebih spesifik. Dinas Kesehatan Kota Makassar lebih

detail dan cermat menderivasi satu prioritas pembangunan daerah bidang kesehatan menjadi enam

belas program pokok SKPD Kesehatan. masyarakat Kota Makassar melalui akumulasi pencapaian

enambelas program pokok pembangunan kesehatan dalam lima tahun implementasi pembangunan

daerah.

Tabel 2.7. Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah Perkotaan Dalam RPJMD Makassar 2009-2014

dan Renstra SKPD Dinas Kesehatan Makassar 2009-2014

Program Prioritas RPJMD Makassar Bidang Kesehatan Program Prioritas Renstra SKPD Dinas Kesehatan

� Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat. � Obat dan perbekalan kesehatan; � Upaya kesehatan masyarakat; � Pengawasan obat dan makanan; � Pengembangan obat asli Indonesia; � Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; � Perbaikan gizi masyarakat; � Pengembangan lingkungan sehat; � Pencengahan dan penanggulangan penyakit; � Standarisasi pelayanan kesehatan; � Pelayanan kesehatan penduduk miskin; � Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan

prasarana Puskesmas/Pustu dan jaringannya; � Kemitraan pelayanan kesehatan; � Peningkatan pelayanan kesehatan anak balita; � Peningkatan pelayanan kesehatan Lansia; � Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan; � Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak.

Sumber: RPJMD Makassar 2009-2014 dan Renstra-SKPD Kesehatan 2009-2014.

Ketidakmampuan mengintegrasikan program prioritas antar SKPD menjadi kendala utama dalam

penjabaran prioritas pembangunan daerah menjadi prioritas pembangunan masing-masing SKPD.

Masing-masing SKPD cenderung parsial dengan menonjolkan ego-sektoral dalam penjabaran prioritas

program pembangunan daerah, terutama jika telah bersentuhan dengan penganggaran. Pada sejumlah

daerah, saling mengklaim tanggungjawab terhadap implementasi program pembangunan lebih

menonjol dibandingkan upaya-upaya nyata untuk mengintegrasikan dan mensinergikan setiap SKPD

untuk pencapain hasil yang lebih optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini

nampak pada kecenderungan setiap SKPD untuk menjadikan program-programnya sebagai prioritas

pembangunan daerah, dan mengabaikan upaya untuk menciptakan sinergi, keterkaitan dan saling

mendukung antar program SKPD dalam kerangka pencapaian visi-misi, kebijakan dan program

pembangunan daerah. Lemahnya kemampuan dalam mengakumulasikan rumusan perencanaan

pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran

dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komp

2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang

desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,

rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan

belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif

sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberday

lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat

yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan

didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia p

internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari

rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya

diperoleh dari pemerintah lokal dan pelaku usaha lokal.

Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah

Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyele

Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah.

keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan

pembangunan pada semua tingkatan, juga karena

pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan

Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran

dari setiap SKPD terhadap pencapaian pembangunan daerah secara komprehensif.

2.3 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang

desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,

rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan

belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif

sejatinya dari dan oleh masyarakat dengan didukung oleh segenap sumberdaya yang ada, baik dari

lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat

yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan

didukung oleh segenap sumberdaya yang tersedia pada komunitasnya, baik yang diperoleh secara

internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari

rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya

lokal dan pelaku usaha lokal.

Gambar 2.2. Alur pelaksanaan Musrenbang antar Tingkatan Pemerintahan Daerah

Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bappenas tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang, Tahun 2005.

Kualitas penyusunan perencanaan partisipatif masih tergolong rendah. Bukan hanya karena

keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan

pembangunan pada semua tingkatan, juga karena keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk

pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan

31

31 engelolaan Keuangan Daerah

pembangunan daerah secara simultan dari setiap SKPD menyebabkan terdikotominya substansi peran

Perencanaan dan penganggaran secara partisipatif masih terbatas didefinisikan dari proses Musrenbang

desa/kelurahan hingga menghasilkan RKPD pada Musrenbang provinsi/kabupaten/kota. Sejatinya,

rangkaian pelaksanaan Musrenbang tersebut hanya menggambarkan proses perencanaan bottom-up,

belum mampu menyentuh esensi utama dari perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif

a yang ada, baik dari

lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari luar komunitas masyarakat bersangkutan. Masyarakat

yang merencanakan, masyarakat yang melaksanakan hingga mengevaluasi implementasinya dengan

ada komunitasnya, baik yang diperoleh secara

internal maupun secara eksternal. Secara internal, sumberdaya yang dimiliki dan diperoleh dari

rumahtangga dan kelompok masyarakat bersangkutan, dan secara eksternal dukungan sumberdaya

Diolah dari SEB Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Bukan hanya karena

keterbatasan sumberdaya manusia dalam merumuskan dan mengkoordinasikan hasil perencanaan

keterbatasan waktu (seringkali hanya satu hari) untuk

pelaksanaan Musrenbang yang sangat terbatas, sehingga tidak mampu menghasilkan rumusan dan

32

32 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

koordinasi hasil perencanaan yang berkualitas dan menyentuh kebutuhan secara langsung. Ditambah

juga dengan arahan SKPD pada Musrenbang tingkat kecamatan/kelurahan/desa yang tidak tersosialisasi

dan tidak dipahami secara baik oleh panitia dan peserta Musrenbang, salah satunya karena ketidak-

lengkapan dokumen perencanaan yang menjadi arahan para perencana. Misalnya, tidak semua daerah

yang SKPD-nya memiliki Renja, atau belum banyak desa/kelurahan yang memiliki dokumen perencanaan

jangka menengah. Akibatnya, pelaksanaan Musrenbang pada semua tingkatan cenderung menjadi

sebuah rutinitas dan sekedar untuk menjalankan perintah peraturan-perundangan semata.

Usulan masyarakat melalui Musrenbang masih kurang diakomodasi dalam RAPBD. Hal ini terutama

karena pelaksanaan Musrenbang lebih fokus pada aspek teknisnya dibandingkan substansi Musrebang

itu sendiri. Keadaan ini semakin diperparah dengan tidak-adanya mekanisme umpan-balik pasca-

Musrenbang untuk menyampaikan kepada masyarakat yang mengusulkan program/kegiatan, tetapi

‘ditolak’ pada pelaksanaan Musrenbang tingkatan selanjutnya. Akibatnya, masyarakat pengusul tidak

mengetahui apakah usulan program/kegiatannya dianggarkan dalam RAPBD atau tidak, masyarakat

menunggu. Hal ini menyebabkan semakin lemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

pelaksanaan Musrenbang, terutama pada tingkat kecamatan/kelurahan/desa, sehingga minat

masyarakat untuk mengikuti Musrenbang semakin menurun. Apalagi Musrenbang dilaksanakan setiap

tahun dan jika tanpa dibarengi dengan implementasi kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, maka

masyarakat akan semakin apriori terhadap pelaksanaan Musrenbang tersebut, khususnya pada

tingkatan pemerintahan kecamatan/kelurahan/desa.

Secara umum nampak kualitas dokumen perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota, masih

rendah. Hal ini nampak pada kelengkapan dan kualitas dokumen perencanaan di tingkat

kabupaten/kota yang masih terbatas, bukan hanya pada rendahnya penjabaran substansi setiap

dokumen secara konsisten, tetapi juga pada ketidaktersediaan dokumen-dokumen perencanaan

pembangunan secara permanen, khususnya pada tingkat SKPD. Hal ini dapat dilihat antara lain pada

sejumlah daerah tidak terdapat Renstra dan Renja SKPD, ataupun terdapat Renstra SKPD tetapi tidak

mempedomani RPJMD dan belum semua Renja SKPD mempedomani Renstra SKPD. Demikian halnya

dengan KUA/PPAS belum semua mempedomani RKPD, dan RKA SKPD belum secara konsisten

mempedomani Renja SKPD. Akibatnya, terdapat sejumlah program/kegiatan yang dianggarkan dalam

RAPBD/APBD yang tidak pernah ada pada dokumen-dokumen perencanaan daerah sebelumnya. Hal ini

terutama disebabkan oleh adanya intervensi terhadap perencanaan pembangunan, baik secara

eksternal maupun secara internal, sehingga dibutuhkan solusi permanen untuk itu, salah satunya

perlunya diterbitkan Perda tentang sistem perencanaan pembangunan daerah pada setiap

kabupaten/kota sebagaimana Perda tentang SPPD yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi

Selatan, tentunya yang tidak bertentangan dengan perundangan-undangan yang ada (UU No. 25/2004;

PP No. 08/2008 serta Permendagri No. 54/2010).

2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan

Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran

pada APBD. Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak

disiplin menjalankan perencanaan pembangunan da

perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada

setiap stakeholder pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam

penyusunan penganggaran pembangunan

kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu

menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan

daerah.

Gambar 2.3. Proses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD

Menuju RAPBD)

Sumber: Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang

ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai

dengan perundangan. Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepen

setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari

akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD

juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPR

Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31

Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari

Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

2.4 Perencanaan Pembangunan dan Penyusunan Anggaran Daerah

Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran

Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak

disiplin menjalankan perencanaan pembangunan dan penganggaran sebagaimana peraturan

perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada

pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam

penyusunan penganggaran pembangunan daerah. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan

kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu

menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan

ses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD

Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang

ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai

Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepen

setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari

akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD

juga masih sering terlambat karena pembahasan di DPRD rata-rata membutuhkan waktu yang panjang.

Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31

Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari

33

33 engelolaan Keuangan Daerah

Masih terdapat ketidaksesuaian antara prioritas pembangunan daerah dalam RKPD dengan anggaran

Hal ini terutama terjadi pada sejumlah daerah kabupaten yang tidak konsisten dan tidak

n penganggaran sebagaimana peraturan-

perundangan yang berlaku. Kebutuhan yang sangat mendasar adalah pemahaman yang sama pada

pembangunan daerah dalam proses menerjemahkan perencanaan program ke dalam

daerah. Tanpa perspektif yang sama, menempatkan

kepentingan individu, kelompok, sektor dan bahkan wilayah di atas kepentingan daerah akan selalu

menjadi hambatan dalam menciptakan konsistensi perencanaan dan penganggaran pembangunan

ses dan Tahapan Penyusunan RAPBD (Perspektif Permendagri 59/2007, dari RKPD

Diolah dari Permendagri No. 59/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

Belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota konsisten dan disiplin mengikuti jadwal yang

ditetapkan dalam proses penyusunan dan penetapan perencanaan dan penganggarannya sesuai

Proses dan tahapan penetapan RKPD pada akhir Mei belum sepenuhnya dipatuhi,

setelah melalui proses Musrenbang Desa/Kelurahan hingga Musrenbang Kabupaten/Kota mulai dari

akhir Februari hingga awal Mei setiap tahunnya. Mekanisme RKPD menuju pembahasan RAPBD di DPRD

rata membutuhkan waktu yang panjang.

Ini penetapan Perda APBD untuk tahun berikutnya melampaui batas waktu paling lambat tanggal 31

Desember tahun sebelumnya. Keterlambatan tersebut terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari

34

34 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

keterlambatan pelaksanaan Musrenbang, keterlambatan perumusan dan sinkronisasi perencanaan

SKPD, keterlambatan penyusunan RKPD yang berakibat pada keterlambatan penyusunan KUA oleh

TAPD, keterlambatan kesepakatan KUA-PPA oleh TAPD-PAL hingga pada alotnya pembahasan di DPRD.

Secara keseluruhan hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan SDM untuk menjalankan

mekanisme dalam rangkaian panjang perencanaan-penganggaran pembangunan daerah, juga antara

lain disebabkan oleh banyaknya intervensi kepentingan dari berbagai stakeholder pembangunan daerah.

Tabel 2.8. Program prioritas dalam Renja Dinas Kesehatan 2010 dan APBD Sulawesi Selatan 2010

Renja-SKPD Kesehatan Program Bidang Kesehatan dalam APBD Sulawesi

Selatan

� Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat � Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat

� Peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak � Peningkatan kesehatan ibu melahirkan dan anak

� Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita � Peningkatan kesehatan bayi dan anak balita

� Peningkatan pelayanan kesehatan lansia � Peningkatan pelayanan kesehatan lansia

� Pelayanan kesehatan penduduk miskin � Pelayanan kesehatan penduduk miskin

� Upaya kesehatan masyarakat � Upaya kesehatan masyarakat

� Standarisasi pelayanan kesehatan � Standarisasi pelayanan kesehatan

� Obat dan perbekalan kesehatan � Obat dan perbekalan kesehatan � Pengadaan obat, peralatan dan perbekalan kesehatan

� Pengembangan obat asli Indonesia � Pengembangan obat asli Indonesia

� Penanggulangan KEP, AGB, GAKY, KVA dan kekurangan zat gizi mikro lainnya

� Perbaikan gizi masyarakat

� Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan � Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan

� Pencegahan dan pemberantasan penyakit � Pencegahan dan pemberantasan penyakit

� Promosi dan pemberdayaan masyarakat � Promosi kesehatan dan pemberdayaan

� Sarana air bersih dan sanitasi dasar � Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan � Pengendalian pencemaran lingkungan

� Tidak dianggarkan dalam APBD

� Pengembangan wilayah sehat � Pengembangan lingkungan sehat

� Pelayanan administrasi perkantoran � Pelayanan administrasi perkantoran

� Peningkatan sarana dan prasarana aparatur � Peningkatan sarana dan prasarana � Peningkatan disiplin aparatur � Peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur

� Tidak ada program prioritas yang terkait dalam Renja SKPD Kesehatan

� Pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan

� Kemitraan pelayanan kesehatan � Pemeliharaan, peningkatan sarana dan prasarana RSIA

Siti Fatimah � Pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS

Jiwa � Pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit

Sumber: Diolah dari Renja-SKPD Kesehatan 2010 dan APBD Provinsi Sulawesi Selatan 2010

35

35 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD,

demikian juga sebaliknya. APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010 memperlihatkan sejumlah program

bidang kesehatan yang tertuang dalam penjabaran APBD yang sebelumnya tidak tercantum dalam

dokumen Renja-SKPD Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2010. Misalnya pengembangan sistem

pelaporan capaian kinerja dan keuangan; kemitraan pelayanan kesehatan; pemeliharaan, peningkatan

sarana dan prasarana RSIA Siti Fatimah; pengadaan, peningkatan sarana dan prasarana RS/RS Jiwa; serta

pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit. Ini disebabkan karena kurang dipertegasnya

kedudukan rumah sakit/rumah sakit jiwa dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan

daerah. Otonomi RS/RSJ atau bahkan Puskesmas pada kabupaten/kota mengharuskannya memiliki

kewenangan dalam penganggaran, sementara itu kewenangannya dalam perencanaan program sangat

terbatas. Sebaliknya, terdapat program yang direncanakan dalam dokumen Renja-SKPD Kesehatan

Sulawesi Selatan 2010 yang tidak dianggarkan dalam APBD Sulawesi Selatan Tahun 2010. Program

tersebut adalah peningkatan sarana air bersih dan sanitasi dasar; pemeliharaan dan pengawasan

kualitas lingkungan; serta pengendalian pencemaran lingkungan. Dan ini dikarenakan program

bersangkutan bersifat lintas SKPD, sehingga SKPD Kesehatan hanya sebagai pendukung, aktor utamanya

diperankan oleh SKPD Lingkungan Hidup.

2.5 Pengukuran Kinerja dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Penerapan penyusunan anggaran berbasis kinerja belum sepenuhnya dijalankan pada setiap daerah,

bahkan pada beberapa daerah lebih kepada kinerja yang berbasis anggaran. Hal ini di samping karena

pemahaman dan operasionalisasi ABK yang masih terbatas, juga karena keterbatasan anggaran

pemerintah daerah yang menyebabkan kinerja pembangunan daerah harus ditetapkan dengan

didasarkan pada ketersediaan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Akibatnya, kinerja yang

ditetapkan dengan berbasis pada kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak dapat saja tidak

terlaksana karena adanya keterbatasan anggaran.

36

36 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran

Sumber: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerj

Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami

secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan

pada semua daerah, terutama pada sejumlah

juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain

keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah

yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki

keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan

hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga sangat penting memiliki k

filosofis dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran berbasis kinerja.

Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua

daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator

tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator

program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator

mengukur kinerja kebijakan pada ting

bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah

bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator

bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga

sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum

menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesu

kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan.

Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran

: Modul Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja (Agussalim, 2011).

Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami

secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan

pada semua daerah, terutama pada sejumlah SKPD yang memiliki jumlah kegiatan, di samping banyak

juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain

keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah

liki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki

keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan

hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga sangat penting memiliki kemampuan konseptual dan

filosofis dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran berbasis kinerja.

Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua

daerah dan dokumen perencanaan SKPD. Indikator output untuk mengukur kinerja kegiatan pada

tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon IV, indikator outcome untuk mengukur kinerja

program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator

mengukur kinerja kebijakan pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD

bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah

bersangkutan. Secara umum masih terjadi kesalahan penetapan indikator-indikator kinerja tersebut

bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga

sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum

menunjukkan indikator yang terukur, sehingga akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan evaluasi

kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan.

Gambar 2.4. Anggaran Berbasis Kinerja Dalam Kerangka Konsistensi Perencanaan Penganggaran

Anggaran berbasis kinerja, baik secara konseptual maupun secara teknis belum sepenuhnya dipahami

secara luas oleh aparat pemerintah daerah. Penerapan ABK belum sepenuhnya efektif dilaksanakan

SKPD yang memiliki jumlah kegiatan, di samping banyak

juga berupa pelaksanaan tugas wajib yang dikreasikan pemerintah pusat. Di samping karena konstrain

keterbatasan anggaran, juga karena keterbatasan sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah

liki latar belakang disiplin keilmuan akuntansi sektor publik, khususnya yang memiliki

keahlian khusus pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Aparat pemerintah daerah dituntut bukan

emampuan konseptual dan

Penetapan indikator kinerja pembangunan daerah yang tepat dan terukur belum nampak pada semua

ur kinerja kegiatan pada

untuk mengukur kinerja

program pada tingkat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon III, sedangkan indikator impact untuk

kat SKPD yang dijalankan oleh pejabat eselon II atau kepala SKPD

bersangkutan akan mengakumulasi pencapaian visi pembangunan yang dijalankan oleh kepada daerah

indikator kinerja tersebut,

bukan hanya kesalahan dalam menempatkan indikator sesuai dengan tingkatan bebannya, tetapi juga

sebagian indikator yang ditetapkan pada dokumen perencanaan pembangunan daerah dan SKPD belum

litan dalam pelaksanaan evaluasi

Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah

Sumber: Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian

Keuangan tentang Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009.

Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.

tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait

dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah, antara lain Perda tentang pokok

keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah

dan/atau SOP pengelolaan keuangan daerah. Hanya saja, dalam implementasiny

masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang

berubah-ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara

substansial dan teknis lainnya. Dibutuhka

keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata

pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.

Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Gambar 2.5. Kerangka Capaian Kinerja Pemerintah Daerah

Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian

g Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Tahun 2009.

Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.

tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait

pengelolaan keuangan negara dan daerah, antara lain Perda tentang pokok-pokok pengelolaan

keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah

dan/atau SOP pengelolaan keuangan daerah. Hanya saja, dalam implementasinya sejumlah daerah

masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang

ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara

substansial dan teknis lainnya. Dibutuhkan Perda yang secara konsisten mengatur pengelolaan

keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata

pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.

37

37 engelolaan Keuangan Daerah

Diolah dari SEB Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Kementerian

Secara umum, daerah memiliki Peraturan Daerah tentang pengelolaan keuangan daerah. Perda

tersebut bersifat dinamis mengikuti dan merupakan penjabaran dari UU, PP, dan Permen yang terkait

pokok pengelolaan

keuangan daerah dan/atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan aset daerah

a sejumlah daerah

masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain kendala kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang

ubah dan keterbatasan SDM aparat bidang pengelolaan keuangan publik, selain kendala secara

n Perda yang secara konsisten mengatur pengelolaan

keuangan daerah yang secara permanen dapat dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk menata

pengelolaan keuangan daerahnya atas dasar jaminan dan kepastian secara berkesinambungan.

38

38 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Tabel 2.9. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2010

No. Provinsi, Kabupaten

dan Kota

Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)

2005 2006 2007 2008 2009 2010**)

1. Sulawesi Selatan WDP WDP TMP TMP WDP WTP

2. Bantaeng WDP WDP WDP WDP WDP WDP

3. Barru WDP WDP WDP WDP WDP

4. Bone WDP WDP WDP WDP WDP WDP

5. Bulukumba WDP WDP TMP WDP WDP WDP

6. Enrekang WDP WDP WDP WDP WDP WDP

7. Gowa WDP WDP WDP WDP WDP WDP

8. Jeneponto TMP WDP TMP WDP *)

9. Kepulauan Selayar TMP WDP TMP WDP *)

10. Luwu WTP WDP WDP WDP WDP *)

11. Luwu Timur WDP WDP TMP WDP WDP *)

12. Luwu Utara WDP WDP WDP WDP WTP

13. Maros TMP TMP TMP TMP TMP TMP

14. Pangkajene Kepulauan WTP WDP WDP WDP WDP WDP

15. Pinrang WDP WDP WDP WDP WDP *)

16. Sidenreng Rappang WDP WDP WDP WDP WDP WDP

17. Sinjai WDP WDP WDP WDP WDP *)

18. Soppeng WDP WDP WDP WDP WDP *)

19. Takalar WDP WDP WDP WDP WDP WDP

20. Tana Toraja WDP WDP WDP WDP WDP *)

21. Toraja Utara WDP *)

22. Wajo WTP WDP WDP WDP WDP WDP

23. Makassar WDP WDP WDP WDP WDP *)

24. Palopo WDP WDP WDP WDP TMP TMP

25. Parepare WDP WDP WDP WDP WDP *)

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan LKPD BPK-RI, Tahun 2010.

Keterangan: *) Dalam Proses Pemeriksaan; **) Diperoleh Dari Bawasda Sulawesi Selatan.

WTP (opini Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (opini Wajar Dengan Pengecualian), TW (opini Tidak Wajar), TMP

(pernyataan menolak memberikan opini atau tidak memberikan pendapat-disclaimer of opinion).

Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perbaikan secara signifikan

dalam dua tahun terakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) mengalami perbaikan berarti,

dengan memperoleh opini wajar dengan pengecualian pada tahun 2009, bahkan pada tahun 2010

sukses mencapai opini kasta tertinggi dengan memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian. Hal ini

menunjukkan prestasi tertinggi karena dua tahun sebelumnya, tahun 2007 dan tahun 2008 memperoleh

penilaian terendah dengan secara berturut-turut memperoleh opini disclaimer of opinion.

Sejumlah daerah mampu mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan masih terdapat

daerah yang mendapatkan penilaian disclaimer of opinion-menolak memberikan opini atau tidak

memberikan pendapat dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Maros dan Palopo dua daerah yang

memperoleh disclaimer of opinion, bahkan Maros telah enam tahun berturut-turut memperoleh

39

39 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

penilaian tersebut. Tiga daerah yang pada tahun 2005 telah memperoleh penilaian opini wajar tanpa

pengecualian, setelah itu tidak pernah ada daerah yang memperoleh penilaian tersebut hingga tahun

2009. Pada Tahun 2010, hanya Kabupaten Luwu Utara yang memperoleh penilaian opini wajar tanpa

pengecualian (WTP), setelah empat tahun sebelumnya secara berturut-turut memperoleh penilaian

wajar dengan pengecualian (WDP). Sebaliknya, Kota Palopo mengalami kemunduran, di mana dalam

dua tahun terakhir memperoleh disclaimer of opinion, setelah tiga tahun sebelumnya berturut-turut

memperoleh opini wajar tanpa pengecualian. Daerah-daerah lainnya secara umum pengelolaan

keuangan daerahnya memperoleh penilaian sedang/cukup, dengan berhasil memperoleh penilaian

wajar dengan pengecualian, dan beberapa daerah lainnya untuk 2010 masih menunggu finalisasi hasil

pemeriksaan BPK, semoga menambah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dan

bukan sebaliknya, menambah daerah yang memperoleh disclaimer of opinion.

Kapasitas SKPD dalam melaksanakan pelaporan keuangan masih sangat rendah. Hal ini ditandai

dengan ketidaktepatan dan keterlambatan penyerahan laporan keuangan SKPD kepada pengelola

keuangan daerah. Kondisi ini terutama dialami oleh sejumlah SKPD pada sejumlah daerah dengan

volume program dan kegiatan yang sangat banyak, di samping program dan kegiatan yang dikreasikan

daerah, juga terdapat program dan kegiatan andalan nasional/provinsi, seperti yang dialami pada

urusan pendidikan dan urusan kesehatan. Keterbatasan kompetensi sumberdaya manusia aparat

pemerintah daerah menjadi alasan pokok rendahnya kapasitas SKPD tersebut dalam pelaporan

keuangannya.

Pengawasan dan monitoring internal dan eksternal terhadap pelaksanaan anggaran secara rutin dan

berkala dilakukan pada setiap daerah. Untuk kepentingan pembinaan pada sejumlah SKPD di tingkat

provinsi/kabupaten/kota audit internal oleh inspektorat daerah dapat dilaksanakan setiap bulannya,

atau minimal triwulanan. Audit eksternal dilakukan oleh BPK pada setiap daerah bisa sampai dua kali

dalam setahun, atau oleh Inspektorat provinsi melakukan audit eksternal ke kabupaten/kota sekali

dalam setahun sesuai dengan urgensi dan kebutuhan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah

masing-masing.

2.6 Hasil Analisa Pengelolaan Keuangan Daerah

Analisa pengelolaan keuangan daerah didasarkan pada hasil asessmen PKD. Pengelolaan keuangan

daerah (PKD) merupakan serangkaian proses mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan

anggaran, sampai evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan (PP No. 58 tahun 2005). Asessmen

kapasitas PKD bertujuan untuk mengambil baseline sampel kapasitas pengelolaan keuangan daerah di

Provinsi Sulawesi Selatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku atau mengarah pada

praktek-praktek terbaik pengelolaan keuangan publik. Asesmen PKD di Sulawesi Selatan dilakukan pada

1 pemerintah provinsi dan 3 kabupaten/kota sebagai sampel, yaitu Kota Pare-pare mewakili kota,

Kabupaten Jeneponto mewakili kabupaten dengan pendapatan terkapita yang rendah, Kabupaten Luwu

Timur mewakili kabupaten pemekaran. Alat asesmen yang digunakan adalah alat yang dikembangkan

oleh Departemen Dalam Negeri dan Bank Dunia berupa sistem penilaian balance scorecard pada 9

40

40 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

bidang strategis PKD, yakni kerangka peraturan perundangan daerah; perencanaan dan penganggaran;

pengelolaan kas; pengadaan barang dan jasa; akuntansi dan pelaporan; pengawasan internal; hutang

dan investasi publik; pengelolaan asset; serta audit dan pengawasan eksternal.

Kinerja PKD Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan tiga kabupaten/kota sudah baik. Hal ini terlihat

dari total skor PKD di ke empat pemerintahan tersebut yang berada di atas 60 persen. Pemerintah

Provinsi mencapai skor yang terbaik di antara sampel yang lain sebesar 77 persen. Jika dibandingkan

dengan beberapa daerah lain yang juga melakukan analisa PKD baru-baru ini, capaian Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (78 persen)

dan Jawa Timur (79%, angka sementara), dan di atas Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (60%,

angka sementara). Secara umum kinerja PKD pemerintah Sulawesi Selatan juga dapat dikatakan

Kabupaten Luwu Timur sebagai kabupaten baru justru memiliki skor PKD yang lebih baik dari

kabupaten/kota lainnya.

Gambar 2.6. Skor PKD Pemerintah Daerah yang Disampel di Sulawesi Selatan

Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.

Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare merupakan contoh daerah dengan pengelolaan keuangan

yang baik. Dari 9 bidang penilaian PKD, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selalu menempatkan diri

sebagai yang terbaik atau terbaik kedua dari 4 pemerintahan yang disampel. Kabupaten Luwu Timur dan

Kota Pare-pare mencatat nilai yang termasuk tinggi untuk ukuran kabupaten/kota. Rata-rata nilai PKD

kabupaten/kota di Sulawesi Utara adalah 64 persen. Luwu Timur memiliki capaian PKD terbaik dalam

bidang Pengelolaan Kas dan Akuntansi dan Pelaporan, Kota Pare-pare memiliki capaian PKD terbaik

dalam bidang Peraturan Perundangan Daerah. Kabupaten Jeneponto umumnya memiliki skor PKD yang

lebih rendah dari kedua daerah lainnya.

64.2%

70.1%

72.1%

73.8%

76.7%

Jeneponto

Rata-rata 3

Kab/Kota

Pare-Pare

Luwu Timur

Provinsi Sulawesi

SelatanKerangka Peraturan Perundangan Daerah

Perencanaan dan Penganggaran

Pengelolaan Kas

Pengadaan Barang dan Jasa

Akuntansi dan Pelaporan

Internal Audit

Hutang, Hibah, dan Investasi

Pengelolaan Aset

Audit Eksternal

41

41 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

Tabel 2.7. Capaian Skor PKD Daerah yang Disampel Dalam 9 Bidang yang Dianalisa

Jeneponto Luwu Timur

Pare-Pare Prov. Sulawesi

Selatan Rata-rata 3

Kab/Kota

1 Kerangka Peraturan Perundangan Daerah 66,7% 76,2% 76,2% 71,4% 73,0% 2 Perencanaan dan Penganggaran 50,0% 64,3% 64,3% 71,4% 59,5% 3 Pengelolaan Kas 57,1% 71,4% 60,7% 67,9% 63,1% 4 Pengadaan Barang dan Jasa 75,0% 81,3% 75,0% 87,5% 77,1% 5 Akuntansi dan Pelaporan 55,6% 72,2% 55,6% 66,7% 61,1% 6 Internal Audit 64,7% 76,5% 70,6% 88,2% 70,6% 7 Hutang, Hibah, dan Investasi 90,0% 90,0% 90,0% 80,0% 90,0% 8 Pengelolaan Aset 55,0% 60,0% 75,0% 75,0% 63,3% 9 Audit Eksternal 63,6% 72,7% 81,8% 81,8% 72,7% Skor Total 64,2% 73,8% 72,1% 76,7% 70,1%

Sumber: Hasil Survei PKD yang dilakukan Bank Dunia, 2011.

2.7 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan Agenda Provinsi seperti

tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional

dalam RPJMN. Di sisi lain RPJMD Sulawesi Selatan secara konsisten menjabarkan agenda dan

prioritas pembangunan nasional. Ketidaksinkronan ini antara lain disebabkan peraturan yang tidak

sejalan, misalnya UU No. 32 tahun 2004 dengan UU No 25 tahun 2004.

� Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD belum semua secara

konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah

yang tidak memiliki dokumen perencanaan tahunan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah

daerah perlu menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang berhasil atau lalai

dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.

� Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan penganggarannya

Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD,

demikian juga sebaliknya. Selain itu kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih

tergolong rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui Musrenbang

yang diakomodasi. Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi

juga disebabkan proses berlarut dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan

kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan legislatif. Juga bisa dilakukan audit

hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang mengakomodasi usulan-

usulan awal.

� Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD masih tergolong rendah,

ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak

dianggarkan dalam RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya. Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL

menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.

42

42 Bab 2 Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

� Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola keuangan daerah

belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis kinerja, baik pada tingkat daerah maupun

pada tingkat SKPD. Langkah konkrit yang penting untuk dilakukan terkait dengan hal tersebut,

antara lain: (1) Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang

keilmuan perencanaan pembangunan dan atau pernah mengikuti diklat fungsional perencanaan

pembangunan. (2) Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar

belakang keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah

mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.

� Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan perhatian pada

dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan. Terkait dengan hal tersebut yang perlu

dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan internal terhadap dokumen perencanaan dan

penganggaran daerah, serta keterkaitan di antara keduanya.

� Terlepas dari masih banyaknya kekurangan dalam proses perencanaan pembangunan dan

pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Sulwesi Selatan mencatat nilai yang baik dalam analisa

Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) yang dilakukan oleh Bank Dunia. Selain itu, dua dari tiga

kabupaten yang diambil sebagai sampel, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare, menunjukkan

nilai yang baik. Direkomendasikan agar kedua daerah ini dapat dijadikan pembelajaran dan contoh

PKD bagi daerah lainnya, paling tidak dari sisi ketersediaan dokumen.

43

BAB 3 PENDAPATAN DAERAH

44

44 Bab 3 Pendapatan Daerah

3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan

Pendapatan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) di Sulawesi Selatan meningkat hampir dua kali

lipat selama kurun waktu 2005-2010. Pada periode tersebut, Pendapatan Daerah meningkat dari Rp 9

triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 16 triliun pada tahun 2010. Pendapatan Daerah yang dikelola oleh

pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp 7,4 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 13 triliun

pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan 13 persen per tahun, sementara Pendapatan Daerah

Provinsi meningkat dari Rp 1,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 2,5 triliun pada tahun 2010 dengan

tingkat pertumbuhan rata-rata 9 persen per tahun.

Sebagian besar Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal

ini ditunjukkan oleh proporsi pendapatan kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah lebih

besar daripada proporsi pendapatan provinsi. Selama periode 2005-2010, proporsi pendapatan

kabupaten/kota terhadap total Pendapatan Daerah rata-rata 84 persen per tahun, sementara proporsi

pendapatan provinsi terhadap total Pendapatan Daerah mencapai rata-rata 16 persen per tahun.

Penyumbang terbesar Pendapatan Daerah Provinsi adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan rata-

rata mencapai 56 persen per tahun, sementara pendapatan kabupaten/kota dikontribusi oleh Dana

Perimbangan dengan rata-rata 84 persen per tahun.

Gambar 3.1. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

Ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar.

Selama periode 2005-2010, Pendapatan Daerah yang berasal dari Dana Perimbangan rata-rata mencapai

Rp 10 triliun per tahun. Sumbangan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan

berkisar 69-83 persen atau secara rata-rata 76 persen selama tahun 2005-2010. Sumber Pendapatan

1.6 1.9 2.2 2.4 2.3 2.5 2.7

7.4

10.912.3 12.1 12.3

13.4 13.2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Rp

Tril

iun

Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan 2010=100

Provinsi Kabupaten/Kota

18 15 15 16 16 15 17

82 85 85 84 84 85 83

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005

2006

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Proporsi Pendapatan Kab/Kota Terhadap Total Pendapatan

Provinsi Kabupaten/kota

45

45 Bab 3 Pendapatan Daerah

Daerah yang berasal dari PAD relatif kecil dengan rata-rata berkisar 15 persen. Selebihnya, sekitar 8

persen dikontribusi oleh Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Besarnya nilai dan proporsi Dana

Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah mencerminkan ketergantungan pemerintah daerah Sulawesi

Selatan terhadap pemerintah pusat sangat besar.

Gambar 3.2. Komposisi Pendapatan Daerah Riil Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

Pada periode 2005-2010, Pendapatan Daerah pemerintah provinsi didominasi oleh pendapatan yang

bersumber dari PAD dan cenderung meningkat. Pada tahun 2005, pendapatan yang bersumber dari

PAD sebesar Rp. 942 miliar dan meningkat menjadi Rp 1,4 triliun pada tahun 2010. Proporsi PAD

terhadap total pendapatan provinsi juga memperlihatkan kecenderungan yang meningkat sejak tahun

2006 sebesar 52 persen menjadi 58 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata setiap tahun 56 persen.

Pada tahun 2011, pendapatan dari PAD direncanakan menyumbang sekitar 62 persen. Dengan

mencermati proporsi PAD dengan sumber Pendapatan Daerah lainnya, PAD merupakan penyumbang

terbesar terhadap Pendapatan Daerah Provinsi. Hal ini ditunjukkan oleh kontribusi Dana Perimbangan

yang hanya berkisar pada 41-46 persen dari total Pendapatan Daerah Provinsi atau secara rata-rata 42

persen setiap tahun selama periode 2005-2010 dan kontribusi Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah

hanya berkisar rata-rata 1 persen per tahun.

Berbeda dengan tingkat pemerintah provinsi, sumber daya fiskal pemerintah kabupaten/kota

didominasi oleh Dana Perimbangan dan cenderung menurun hingga tahun 2010. Pada tahun 2005,

pendapatan pemerintah kabupaten/kota yang bersumber dari Dana Perimbangan sebesar Rp 6,4 triliun

meningkat menjadi Rp 10,6 triliun pada tahun 2007, kemudian tiga tahun berikutnya menurun setiap

tahun hingga mencapai Rp 10 triliun pada tahun 2010. Proporsi Dana Perimbangan terhadap total

16 13 14 15 15 15 17

78 83 79 78 78

6971

6 4 6 8 7

1611

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005

2006

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Proporsi Terhadap Total Pendapatan Daerah

PAD Dana Perimbangan Bagian Lain Penerimaan yang Sah

1.5 1.7 2.1 2.1 2.2 2.4 2.7

7.0

10.611.6 11.2 11.2 10.9 11.40.5

0.6

0.9 1.1 1.12.5 1.8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Rp.

Tril

iun

PAD Dana Perimbangan Lain-Lain

46

46 Bab 3 Pendapatan Daerah

Pendapatan Daerah kabupaten/kota juga mengalami penurunan dari 86 persen pada tahun 2005 turun

menjadi 74 persen pada tahun 2010 dengan rata-rata 84 persen per tahun. Tingginya sumbangan Dana

Perimbangan terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota mengindikasikan tingginya ketergantungan

pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Meskipun Dana Perimbangan

mendominasi Pendapatan Daerah, namun upaya-upaya pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk

menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah telah nampak. Hal ini terlihat dari peningkatan PAD

dari Rp 523 miliar meningkat menjadi Rp 987 miliar pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010,

proporsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota rata-rata 7 persen per tahun.

Kapasitas fiskal kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cenderung tidak merata.

Kabupaten/kota yang memiliki pendapatan per kapita terbesar di Sulawesi Selatan adalah Pare-Pare (Rp

3,8 juta) danKabupaten Selayar (Rp 3,4 juta). Kabupaten/kota yang mempunyai pendapatan per kapita

terendah adalah Kabupaten Bone, Kota Makassar, dan Kabupaten Gowa dengan Rp 1,1 juta. Ketiganya

juga merupakan 3 kabupaten/kota yang memiliki populasi terbesar di Sulsel. Sedangkan kabupaten

lainnya, pendapatan per kapita berkisar pada Rp 1,5 juta – Rp 2,7 juta. Perbedaan pendapatan per

kapita tersebut menandakan masih ada ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan.

Gambar 3.3. Komposisi Pendapatan per Kapita Daerah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi

Selatan, 2010

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

Kabupaten/kota yang mempunyai PAD terbesar adalah Kabupaten Pare-Pare dan terendah adalah

Kabupaten Jeneponto. Pada tahun 2010, Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan PAD per kapita

sebesar Rp 344 ribu dan terendah sebesar Rp 43 ribu ditempati oleh Kabupaten Jeneponto. Pada tahun

yang sama, dana transfer per kapita tertinggi berada di Kabupaten Selayar mencapai Rp 2,7 juta dan

terendah ditempati Kota Makassar sebesar Rp 648 ribu.

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

Rp

Juta

PAD Dana Perimbangan Lain-lain

47

47 Bab 3 Pendapatan Daerah

3.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pada periode 2005-2010, Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan (provinsi dan kabupaten/kota)

meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2005, Pendapatan Asli Daerah sebesar Rp 1,5 triliun

meningkat menjadi Rp 2,4 triliun pada tahun 2010. Porsi PAD terhadap total Pendapatan Daerah

mengalami peningkatan secara konsisten sejak tahun 2006 dengan nilai 13 persen menjadi 15 persen

pada tahun 2010 atau dengan rata-rata setiap tahun sebesar 15 persen. Pajak Daerah adalah

penyumbang terbesar PAD dengan menguasai sekitar 66 persen dari total PAD pada tahun 2005 dan

2008 dan 63 persen pada tahun 2010 dan direncanakan mencapai 70 persen pada tahun 2011.

Pendapatan dari Pajak Daerah meningkat dari Rp 971 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,6 triliun

pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi Pajak Daerah terhadap total PAD sebesar

64 persen per tahun.

Pendapatan Daerah di Sulawesi Selatan yang berasal dari Retribusi Daerah mengalami peningkatan

signifikan dan merupakan sumber PAD terbesar kedua setelah Pajak Daerah. Pada periode 2005-2010,

pendapatan dari Retribusi Daerah meningkat dari Rp 294 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 524 miliar

pada tahun 2010. Proporsi pendapatan Retribusi Daerah terhadap total PAD rata-rata mencapai 19

persen per tahun, selebihnya sekitar 17 persen dikontribusi oleh sumber-sumber PAD yang lain. Sumber-

sumber PAD yang berasal dari Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-Lain PAD

Yang Sah juga memperlihatkan angka yang cenderung meningkat.

Gambar 3.4. Komposisi Pendapatan Asli Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

971 1,0791,246

1,394 1,3601,526

1,875

294323

319348 400

524

501

8887

262120 187

124

128

112

202

266 260 208

235

23216%

13%

14% 15% 15% 15%

17%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

20%

0.0

500.0

1,000.0

1,500.0

2,000.0

2,500.0

3,000.0

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Rp

Mili

ar

Lain-lain

Keuntungan dari Perusahaan Daerah

Retribusi

Pajak Daerah

PAD (% dari Total Penerimaan)

48

48 Bab 3 Pendapatan Daerah

Pajak daerah merupakan sumber utama PAD provinsi, sementara di pajak dan retribusi menjadi

sumber pendapatan kabupaten/kota. Pendapatan dari Pajak Daerah pada pemerintah provinsi

meningkat cukup drastis dari Rp 788 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1,2 triliun pada tahun 2010

dengan rata-rata pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp 1 triliun per tahun. Tingginya pajak dalam PAD

provinsi turut disumbang dari pajak kendaraan dan pajak bumi dan bangunan. Pertumbuhan ekonomi

yang berkisar antara 6-8 persen ikut menyumbang tingginya kedua jenis pajak tersebut Sumber

penerimaan lain kontribusinya relatif kecil. Retribusi Daerah menyumbang sekitar 7-8 persen dari total

PAD. Di tingkat kabupaten/kota, pajak daerah dan retribusi menyumbang sekitar 80 persen dari total

PAD, tumbuh 60 persen pada tahun 2010 dibanding tahun 2005.

Gambar 3.5. Perbandingan Komposisi PAD per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: Diolah dari APBD-P 2010.

Pada pemerintah kabupaten/kota, sumber PAD terbesar berasal dari Retribusi Daerah. Sumbangan

Retribusi Daerah terhadap PAD kabupaten/kota mencapai 43 persen pada tahun 2005, 41 persen pada

tahun 2010, dan 35 persen pada tahun 2011. Meskipun kontribusi pendapatan dari Retribusi Daerah

berfluktuasi, namun secara rata-rata Retribusi Daerah menyumbang sebesar 37 persen terhadap PAD

kabupaten/kota. Pajak Daerah merupakan sumber PAD terbesar kedua dengan rata-rata 29 persen per

tahun selama periode 2005-2010, selebihnya PAD dikontribusi oleh Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

yang Dipisahkan dengan rata-rata 11 persen per tahun dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

sebesar 23 persen per tahun.

Komposisi Pendapatan Asli Daerah per kapita bervariasi antar kabupaten/kota pada tahun 2010.

Pendapatan Asli Daerah terbesar dikontribusi oleh Kota Makassar sekitar Rp 344 ribu dan terbesar

kedua adalah Kabupaten Pangkep sebesar Rp 241 ribu. Komponen terbesar dalam PAD di Kota Pare-

Pare adalah penerimaan Retribusi Daerah dengan nilai sebesar Rp 231 ribu dan di Kabupaten Pangkep

dikontribusi oleh penerimaan Pajak Daerah dengan nilai Rp 129 ribu. Kabupaten/kota yang mempunyai

PAD per kapita terkecil adalah Kabupaten Jeneponto dengan nilai Rp 43 ribu.

-50,000

100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000

Pajak Retribusi Keuntungan PUD PAD Lain

49

49 Bab 3 Pendapatan Daerah

3.3. Dana Perimbangan

Pendapatan Daerah yang bersumber dari DAU (provinsi dan kabupaten/kota) meningkat namun

proporsinya terhadap total Pendapatan Daerah menurun. DAU meningkat hampir dua kali lipat dari Rp

5,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 9 triliun pada tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya

sebesar 12,5 persen per tahun. Proporsi DAU terhadap total Pendapatan Daerah Sulawesi Selatan

meningkat dari 62 persen tahun 2005 menjadi 67 persen pada tahun 2006, pada tahun berikutnya

cenderung menurun hingga menjadi 54 persen pada tahun 2010. Secara rata-rata, proporsi DAU

terhadap total Pendapatan Daerah mencapai 61 persen per tahun pada periode 2005-2010 dan proporsi

DAU terhadap Dana Perimbangan secara rata-rata per tahun sebesar 75 persen per tahun.

Sumbangan DAK terhadap pendapatan relatif kecil, tetapi cenderung meningkat di tingkat pemerintah

kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, proporsi Dana Alokasi Khusus (DAK) rata-rata

menyumbang 7 persen per tahun. Jumlah ini masih sedikit lebih kecil dari Dana Bagi Hasil yang rata-rata

sebesar 9 persen per tahun. Meski demikian jumlah DAK meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp. 384

miliar di tahun 2005 menjadi Rp. 985 miliar di tahun 2010. Kontribusi pendapatan dari DAK terhadap

total Dana Perimbangan kabupaten/kota meningkat, dimana pada tahun 2005 sebesar 6 persen

menjadi 13 persen pada tahun 2010.

Lebih dari separuh pendapatan yang bersumber dari DAU dialokasikan pada pemerintah daerah

kabupaten/kota. Hal ini semakin mempertegas otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. DAU

yang diterima pemerintah kabupaten/kota meningkat dari Rp 5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 8,3

triliun pada tahun 2010. Pada periode 2005-2010, porsi DAU yang dikelola oleh pemerintah

kabupaten/kota rata-rata setiap tahunnya sebesar 92 persen, hanya sekitar 8 persen dialokasikan pada

pemerintah provinsi. Dana Alokasi Umum pada pemerintah provinsi meningkat dari Rp 464 miliar pada

tahun 2005 menjadi Rp 706 miliar pada tahun 2010 atau secara rata-rata memperoleh DAU sebesar Rp

667 miliar per tahun.

Gambar 3.6. Komposisi Dana Perimbangan Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

1,038 1,174 1,427 1,208 1,108 1,374 1,158

5,579

8,563 8,944 8,644 8,661 8,573 9,063

62.066.7

61.5 60.0 60.2 54.0 57.0

4.3 6.7 8.2 9.3 9.7 6.2 7.2

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Rp M

iliarPer

sen

Dana Bagi Hasil DAU DAK % DAU % DAK % Dana Bagi Hasil

50

50 Bab 3 Pendapatan Daerah

Gambar 3.7. Perbandingan DAU di Sulawesi Selatan Berdasarkan Tingkat Pemerintahan

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

Dana Bagi Hasil Pajak meningkat cukup signifikan dan lebih banyak dikelola oleh pemerintah

kabupaten/kota daripada pemerintah provinsi. Pendapatan dari DBH untuk kabupaten/kota

mengalami peningkatan sebesar Rp 298 miliar dari Rp 837 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 1.135

miliar pada tahun 2010. Pada pemerintah provinsi, penerimaan DBH pada tahun 2005 sebesar Rp 201

miliar meningkat menjadi Rp Rp 239 miliar pada tahun 2010. Proporsi Dana Bagi Hasil terhadap total

Dana Perimbangan kabupaten/kota secara rata-rata hanya 11 persen per tahun. Hal ini berarti selama

periode 2005-2010, sumbangan DBH Pajak masih sangat kecil.

Transfer DAU per kapita dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, Kabupaten Selayar dan Kota Pare-pare memperoleh

transfer DAU per kapita tertinggi mencapai Rp 2 juta. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah

penduduk yang cukup padat, seperti Kota Makassar dan Kabupaten Gowa memperoleh DAU per kapita

relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang memiliki jumlah penduduk relatif

kecil. Kota Makassar memperoleh DAU per kapita sebesar Rp 481 ribu dan Kabupaten Gowa sebesar Rp

661 ribu.

464 662 737 722 707 706 769

5,1157,900 8,207 7,922 7,954 7,867

8,294

91.792.3

91.8 91.6 91.8 91.8 91.5

8.31 7.74 8.24 8.36 8.16 8.24 8.49

86

88

90

92

94

96

98

100

102

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

10,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Pe

rsen

Rp

Mili

ar

Provinsi Kabupaten/kota % DAU Kabupaten/kota % DAU Provinsi

51

51 Bab 3 Pendapatan Daerah

Gambar 3.8. Perbandingan Komposisi Dana Perimbangan per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

DAU DAK Dana Bagi Hasil

Tabel 3.1. Komposisi Dana Perimbangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi

Selatan, 2005-2011

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Provinsi Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M %

Total Dana

Perimbangan 664 100 881 100 996 100 985 100 974 100 975 100 1.027 100

Dana Bagi Hasil 201 30 219 25 259 26 223 23 220 23 239 25 218 21

DAU 464 70 662 75 737 74 722 73 707 73 706 72 769 75

DAK 0 0 0 0 0 0 39 4 48 5 29 3 40 4

Kabupaten/Kota Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M % Rp M %

Total Dana

Perimbangan 6.336 100 9.712 100 10.561 100 10.208 100 10.196 100 9.958 100 10.333 100

Dana Bagi Hasil 837 13 955 10 1.168 11 984 10 888 9 1.135 11 940 9

DAU 5.115 81 7.900 81 8.207 78 7.922 78 7.954 78 7.867 79 8.294 80

DAK 384 6 857 9 1.186 11 1.302 13 1.354 13 955 10 1.099 11

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

52

52 Bab 3 Pendapatan Daerah

3.4. Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah

Realisasi Pendapatan Daerah yang bersumber dari Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi

sepanjang periode 2005-2010, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada level provinsi,

Lain-lain Pendapatan yang Sah berfluktuasi dari, Rp 18 miliar pada tahun 2005, sebelum mencapai

pendapatan tertinggi sebesar Rp 59 pada tahun 2010. Sementara di tingkat kabupaten/kota,

pendapatan dari Bagian lain-lain pendapatan yang sah cenderung meningkat hingga tahun 2010. Lain-

lain Pendapatan yang Sah sesungguhnya merupakan transfer atau dana darurat dari level pemerintahan

yang lebih tinggi. Sehingga besarannya tidak dapat selalu diharapkan meningkat.

Gambar 3.9. Perkembangan Bagian Lain-lain Pendapatan yang Sah provinsi dan Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan, 2005-2010

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

3.5. Pembiayaan Daerah

Sulawesi Selatan mengalami surplus pendapatan selama periode 2005-2007 namun defisit pada

periode 2008-2011. Surplus pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan nilai riil Rp 2.514

miliar. Surplus pendapatan pada periode 2005-2007 terjadi pada hampir semua kabupaten/kota. Hal ini

mengindikasikan daya serap anggaran pemerintah cukup rendah. Pada periode 2008-2011, pemerintah

Sulawesi Selatan mengalami defisit anggaran dan terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan nilai riil

sebesar Rp 902 miliar. Tingginya angka defisit pada tahun 2008 terutama disebabkan oleh penurunan

penerimaan pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota yang berasal dari Dana Perimbangan dan

PAD, dan pada saat yang sama belanja pemerintah daerah mengalami peningkatan cukup signifikan.

Sebagian besar surplus APBD digunakan untuk pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, transfer

ke dana cadangan dan penyertaan modal. Pada tahun 2006, pemanfaatan surplus untuk pembayaran

utang sebesar Rp 139 miliar, transfer ke dana cadangan sebesar Rp 120 milyar, dan penyertaan modal

18 35 9 4 20 59 0

520 516880

1,085 1,161

2,481

1,814

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Rp

Mili

ar

Provinsi Kabupaten/Kota

53

53 Bab 3 Pendapatan Daerah

pemerintah sebesar Rp 107 miliar. Pada tahun 2007, surplus digunakan untuk membayar utang sebesar

Rp 180 miliar, penyertaan modal sebesar Rp 92 miliar dan transfer dana cadangan sebesar Rp 47 miliar.

Pada periode defisit APBD (2008-2011), sebagian besar defisit didanai dari sisa lebih perhitungan

anggaran tahun lalu (SiLPA) dan cenderung menurun hingga tahun 2011. Pada tahun 2008, sumber

pembiayaan defisit yang berasal dari SiLPA sebesar Rp 2.095 miliar menurun menjadi Rp 780 miliar pada

tahun anggaran 2010. Pada tahun 2008, sumber pembiayaan defisit terbesar kedua setelah SiLPA adalah

hasil penjualan asset daerah dengan nilai riil sebesar Rp 130 miliar dan pinjaman sebagai urutan

terbesar ketiga dengan nilai Rp 30 miliar. Pada tahun 2009-2010, pembiayaan defisit didominasi oleh

penerimaan pinjaman daerah yang mengalami peningkatan drastis dari Rp 69 miliar menjadi Rp 305

miliar pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan peran pinjaman sebagai sumber pembiayaan

pembangunan cukup besar. Demikian halnya dengan hasil penjualan aset daerah cenderung meningkat

dari Rp 117 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp 132 miliar pada tahun 2011.

Gambar 3.10. Perkembangan Surplus/Defisit APBD Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD-Realisasi, 2010 APBD Perubahan, 2011 APBD Pokok.

Pemerintah provinsi mengalami defisit hampir setiap tahun, sementara pemerintah kabupaten/kota

mengalami defisit pada empat tahun terakhir. Pada pemerintah provinsi, defisit terbesar terjadi pada

tahun 2010 yang mencapai Rp 261 miliar dan menurun menjadi Rp 71 miliar pada tahun anggaran 2011.

Defisit anggaran pada pemerintah kabupaten/kota terbesar sebesar Rp 773 miliar pada tahun 2008.

Tingginya defisit pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seiring dengan peningkatan lebih cepat

belanja pemerintah dibandingkan peningkatan Pendapatan Daerah. Sumber pembiayaan defisit baik

pada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota berasal dari SiLPA dan sumber-sumber lainnya

sebagaimana diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004.

-10 110 -27 -128 69 -261 -71

1,033

2,404

614-773

-421-627

-285

-1,500

-1,000

-500

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

2005

2006

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Rp

Mili

ar

Provinsi Kabupaten/Kota

54

54 Bab 3 Pendapatan Daerah

3.6. Kesimpulan dan Rekomendasi

� Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar dikelola oleh pemerintah

kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana

Perimbangan. Hal ini berarti ketergantungan sumberdaya fiskal dari pemerintah pusat masih cukup

besar. Implikasinya adalah masih perlunya peningkatan sumber-sumber PAD untuk menyelaraskan

tujuan otonomi daerah khususnya pada pemerintah kabupaten/kota. Beberapa tindakan

operasional yang terkait dengan peningkatan PAD ke depan antara lain: (i) Mengkaji dan

memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya kecil dengan tetap

memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru, (ii) Memperbaiki sistem

administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk menekan kebocoran, (iii)

Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan penetapan target

yang berbasis pada potensi, (iv) Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah secara proporsional, (v) Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD

yang bersumber dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah,

(vi) mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya peningkatan PAD,

(vii) mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif

retribusi yang ditetapkan.

� Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi untuk kabupaten/kota

jumlahnya tidak signifikan. Hal ini disebabkan adanya DBH pajak umumnya bersumber dari pajak

kendaraan dan pajak bumi bangunan yang diberikan ke provinsi. Untuk meningkatkan sumber-

sumber pendapatan daerah tersebut, disarankan beberapa tindakan operasional antara lain: (i)

kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat

kabupaten/kota, (ii) evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.

� Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi Selatan bervariasi dan cukup

tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana Perimbangan. Kota Pare-Pare mempunyai pendapatan

per kapita dan PAD terbesar di antara kabupaten/kota lainnya dan pendapatan per kapita terendah

adalah Kabupaten Bone. Kabupaten Selayar memiliki pendapatan per kapita yang tinggi tetapi

didorong oleh Dana Perimbangan per kapita yang tinggi. Kabupaten/kota dengan populasi tertinggi

cenderung memiliki pendapatan per kapita yang rendah. Implikasi kebijakan ke depan adalah

daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus meningkatkan sumber

PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau

yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil seperti Barru dan Bantaeng.

� Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. Hal ini ditunjukkan oleh

besarnya SiLPA tahun anggaran berjalan. Sumber defisit lain dalam pembiayaan adalah pembayaran

pokok utang yang jatuh tempo. Kebutuhan pendanaan pemerintah untuk melaksanakan

pembangunan masih relatif besar, sementara sumber penerimaan pemerintah yang ada selama ini

masih relatif terbatas. Untuk itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas dalam mengelola

utang sehingga tidak membuat daerah terjebak dalam utang. .

55

BAB 4 BELANJA DAERAH

56

56 Bab 4 Belanja Daerah

4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah

Pada periode 2005-2010, total belanja daerah Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Pada tahun 2005, total belanja daerah sebesar Rp 8,7 triliun meningkat cukup signifikan menjadi Rp 18,3

triliun pada tahun 2010. Meskipun secara belanja pemerintah daerah meningkat setiap tahun, namun

pertumbuhannya cukup berfluktuasi selama periode 2005-2010 yang secara rata-rata mencapai 17

persen per tahun. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 37 persen dan terendah

sebesar 1,5 persen pada tahun 2009. Meskipun belanja Dekonsentrasi meningkat, tetapi belanja APBD

pemerintah di Sulawesi Selatan sendiri menurun.

Gambar 4.1. Perkembangan Belanja Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P, 2011 APBD Pokok, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan NA, 2011.

Belanja pemerintah provinsi cenderung meningkat setiap tahun selama periode 2005-2010 kecuali

pada tahun 2009. Pada tahun 2005, belanja pemerintah provinsi adalah Rp 1,6 triliun meningkat

menjadi Rp 2.6 triliun pada tahun 2010, Penurunan belanja pemerintah provinsi yang terjadi pada tahun

2009 terutama disebabkan berkurangnya belanja di sektor pemerintahan umum, infrastruktur dan

kesehatan. Penurunan terbesar dalam belanja di sektor pemerintahan umum terdapat pada belanja

tidak terduga yang turun sebesar 85persen dari tahun 2008. Di sektor infrastruktur, penurunan terbesar

terjadi pada belanja modal sebesar Rp 94 miliar dan di sektor kesehatan adalah belanja pegawai sebesar

Rp 11 miliar. Selama periode 2005-2010, rata-rata porsi belanja pemerintah provinsi terhadap total

belanja di Sulawesi Selatan tidak termasuk dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebesar 83

persen per tahun dan rata-rata pertumbuhan belanja pemerintah provinsi selama periode tersebut

sebesar Rp 10,68 persen per tahun.

Sebagian besar belanja daerah di Sulawesi Selatan dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Porsi

belanja daerah yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota rata-rata 74 persen pertahun, 15 persen

dikelola oleh pemerintah provinsi dan selebihnya dana pemerintah pusat (dana dekonsentrasi dan tugas

1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776

6,347

8,508

11,700

12,826 12,516

14,052 13,491

701

1,564

1,882

1,832 2,638

1,632

1915 14 14 13 14

17

73 7274 75

72

77

83

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

20,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Persen

Rp

Mili

ar

Dekonsentrasi dan Tugas

PembantuanKabupaten/Kota

Provinsi

Porsi Provinsi

Porsi Kabupaten

57

57 Bab 4 Belanja Daerah

pembantuan) yang berada di Sulawesi Selatan

sebesar 11 persen. Pada tahun 2005, total

belanja pemerintah kabupaten/kota sebesar Rp

6,4 triliun meningkat tajam menjadi Rp 14 triliun

pada tahun 2010. Peningkatan belanja

pemerintah kabupaten/kota terutama

diakibatkan oleh peningkatan belanja pegawai

dengan rata-rata Rp 5,3 triliun dan belanja modal

rata-rata Rp 2 triliun selama periode 2005-2010.

Secara rata-rata, pertumbuhan belanja

pemerintah kabupaten/kota sebesar 18 persen

pertahun.

Dana APBN di Sulawesi Selatan yang dikelola

oleh instansi vertikal tidak banyak berubah

selama periode 2007-2010. Pada tahun 2007

dana APBN sebesar Rp 8,5 triliun meningkat

menjadi Rp 10 triliun pada tahun 2009.

Walaupun di tahun 2010 jumlahnya menurun,

tetapi angka ini masih sementara. Rata-rata dana

APBN yang dikelola oleh instansi vertikal di

Sulawesi Selatan mencapai Rp 8,8 triliun per

tahun.

Gambar 4.3. Belanja per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: Diolah dari APBD-P Kabupaten/Kota, 2010; BPS.

1,125,939

4,421,556

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

4,500,000

5,000,000

Rup

iah

Gambar 4.2. Perkembangan Dana APBN/PHLN

yang Dikelola Oleh Instansi Vertikal di Sulawesi

Selatan, 2007-2010

Sumber: Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, 2011.

Catatan: 2010 merupakan angka sementara.

8.5 7.9

10.2

8.6

-

2

4

6

8

10

12

2007 2008 2009 2010*R

p T

riliu

n

58

58 Bab 4 Belanja Daerah

Belanja per kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Tiga daerah yang memiliki

belanja per kapita terbesar adalah juga yang pendapatan per kapitanya paling besar, antara lain Kota

Pare-Pare, Kabupaten Selayar, dan Kabupaten Enrekang. Hal ini berarti setiap penduduk memperoleh

alokasi belanja relatif lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang berada di kabupaten/kota

lainnya. Begitu pula daerah yang belanja per kapitanya terkecil sesuai dengan pendapatan per kapitanya

kecil, yaitu Makassar, Bone, dan Kabupaten Gowa. Belanja per kapita di Sulawesi Selatan lebih

dipengaruhi jumlah penduduk daripada jumlah alokasi fiskal yang diperoleh.

4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi

Belanja daerah di Sulawesi Selatan berdasarkan klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai

dengan proporsi yang cenderung meningkat. Pada tahun 2005, porsi belanja pegawai terhadap total

belanja daerah sebesar 45 meningkat menjadi 49 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata sebesar

46 persen per tahun selama periode 2005-2010. Tingginya porsi belanja pegawai di Sulawesi Selatan

disebabkan oleh banyaknya jumlah pegawai negeri yang harus digaji seperti tergambar pada belanja

tidak langsung dan banyaknya pembayaran honor pegawai terkait dengan sejumlah kegiatan dalam

belanja langsung.

Pada periode 2005-2010, belanja modal merupakan penyumbang terbesar kedua total belanja daerah di

Sulawesi Selatan. Pada tahun 2005, belanja modal sebesar Rp 1,8 triliun meningkat dua kali lipat

menjadi Rp 3.7 triliun pada tahun 2010. Pada tahun 2005 hingga tahun 2008, porsi belanja modal

terhadap total belanja cenderung meningkat dari 22 persen menjadi 29 persen. Kemudian pada dua

tahun berikutnya, porsi belanja modal menurun hingga mencapai 22 persen pada tahun 2010.

Meskipun porsi belanja modal terhadap total belanja daerah cenderung menurun pada tiga tahun

terakhir, namun secara rata-rata mencapai 26 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan belanja barang

dan jasa sebesar 18 persen dan belanja lainnya (transfer) sebesar 12 persen.

59

59 Bab 4 Belanja Daerah

Gambar 4.4. Belanja Pegawai Mendominasi Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

Pada level provinsi, porsi belanja transfer mendominasi total belanja pemerintah Sulawesi Selatan.

Pada tahun 2005 porsi belanja transfer sebesar 30 persen meningkat menjadi 42 persen pada tahun

2010. Porsi alokasi belanja pegawai menduduki urutan kedua terbesar dari total belanja pemerintah

provinsi Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 26 persen setiap tahun. Meskipun secara rata-rata

porsi belanja pegawai cukup besar, namun cenderung menurun dari 29 persen pada tahun 2005 menjadi

2 persen pada tahun 2010. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya belanja transfer pemerintah

provinsi adalah alokasi dana ke kabupaten/kota untuk kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis.

Porsi belanja modal pada tingkat provinsi lebih kecil dan cenderung menurun dibandingkan dengan

belanja barang dan jasa. Porsi alokasi belanja modal terhadap total belanja pemerintah provinsi

menurun dari 19 persen pada tahun 2005 menjadi 13 persen pada tahun 2010 atau secara rata-rata

sebesar 16 persen per tahun. Porsi belanja klasifikasi ekonomi lainnya seperti belanja barang dan jasa

menunjukkan perkembangan yang cukup berfluktuasi dengan kisaran rata-rata 22 persen per tahun.

Komposisi belanja modal dan barang dan jasa antara provinsi dan kabupaten/kota berbanding terbalik.

Hal ini disebabkan fungsi provinsi dalam mengkoordinasi menyebabkan lebih tingginya belanja

perjalanan dinas dan pertemuan. Sementara di tingkat kabupaten, desentralisasi di sektor pendidikan

dan kesehatan menyebabkan lebih luasnya tanggung jawab kabupaten/kota dalam menyediakan

fasilitas.

3,631 3,969

6,066 6,509 6,7668,109 8,4871,674

2,294

2,1872,318 2,476

2,7572,865

1,761

2,982

4,0514,423 4,043

3,734 2,967

916

1,077

1,649

2,056 1,481

2,096 1,948

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

2005

2006

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Rp

Mili

ar

Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-Lain

45%38% 43% 43% 46% 49% 52%

21%22% 16% 15%

17% 17%18%

22% 29% 29% 29%27% 22%

18%

11% 10% 12% 13% 10% 13% 12%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005

2006

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Pegawai Barang dan Jasa Modal Lain-lain

60

60 Bab 4 Belanja Daerah

Gambar 4.5. Porsi Belanja Klasifikasi Ekonomi Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,

2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

Belanja pegawai mendominasi alokasi belanja di kabupaten/kota. Selama periode 2005-2010, porsi

belanja pegawai terhadap total belanja kabupaten/kota rata-rata 45 persen per tahun, sementara porsi

belanja modal rata-rata 25 persen per tahun. Sejak tahun 2006, porsi belanja pegawai terhadap total

belanja kabupaten/kota mengalami peningkatan setiap tahun dari 41 persen menjadi 53 persen pada

tahun 2010, sementara porsi belanja modal terhadap total belanja kabupaten/kota menurun dari 31

persen pada tahun 2006 hingga menjadi 24 persen pada tahun 2010.

Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja per kabupaten/kota cukup besar dan bervariasi.

Selama periode 2005-2010, hampir semua kabupaten/kota kecenderungan mengalami peningkatan

proporsi belanja pegawai. Pada tahun 2010, terdapat 15 kabupaten/kota yang mempunyai proporsi

belanja pegawai diatas 50 persen dan diantara ke-15 kabupaten tersebut, Kabupaten Soppeng,

Makassar dan Kota Palopo mengalokasikan anggaran diatas 60 persen dari total belanja daerah masing-

masing. Pada tahun anggaran 2011, proporsi belanja pegawai pada setiap kabupaten/kota semakin

membengkak hingga mencapai diatas dari 50 persen kecuali Kabupaten Luwu Timur. Kabupaten

Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa mengalokasikan anggaran belanja pegawai diatas dari 70 persen dari

total belanja daerahnya.

29% 26% 23% 26% 28% 24% 26%

22% 25%20% 20%

22%22% 20%

19% 17%

17% 14%14%

13% 12%

30% 32%39% 40% 36%

42% 41%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Provinsi

Pegawai Barang dan Jasa Modal Transfer (Lainnya)

50%41%

47% 46% 49% 53% 58%

21%

22%15% 14%

16%16%

17%

23%31% 31% 32%

30% 24%19%

7% 6% 6% 8% 5% 7% 6%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Kabupaten/Kota

Pegawai Barang dan Jasa Modal Transfer (Lainnya)

61

61 Bab 4 Belanja Daerah

4.3. Belanja Menurut Sektor

Berdasarkan klasifikasi sektor, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) menduduki urutan

pertama terbesar dari seluruh sektor. Belanja pemerintahan umum (tidak termasuk transfer)

meningkat hampir dua kali lipat dari Rp 2,7 triliun pada tahun 2005 hingga menjadi Rp 4,4 triliun pada

tahun 2010. Porsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja pemerintah (provinsi dan

kebupaten/kota) mencapai rata-rata 27 persen per tahun. Pada periode yang sama, porsi belanja sektor-

sektor infrastruktur rata-rata 16 persen, 25 persen untuk sektor pendidikan dan selebihnya terdistribusi

pada sektor-sektor yang lain. Meskipun belanja pemerintahan umum mendominasi belanja sektor

pemerintah daerah, namun proporsinya terhadap total belanja daerah cenderung menurun hingga

tahun 2010.

Belanja sektor pendidikan menempati urutan kedua terbesar selama periode 2005-2010. Belanja

pendidikan meningkat tajam dari Rp 1,7 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 5,2 triliun pada tahun 2010

atau meningkat sebesar Rp 3,5 triliun. Porsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah juga

cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata mencapai 25 persen pertahun. Tingginya proporsi

belanja pendidikan mengindikasikan besarnya perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan

kualitas hidup manusia.

Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) di Sulawesi Selatan

berdasarkan Sektor, 2007-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

2,676 3,290 3,600 3,923 3,346 3,661 4,042

1,0491,754

2,4742,743

2,703 2,476 2,0651,668

2,030

3,5093,703 4,159

5,138 5,001

658

839

1,2181,378 1,530

1,739 1,625

916

1,077

1,649

2,056 1,481

2,096 1,948

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Mili

ar R

p

Pemerintahan Umum Infrastruktur

Pendidikan Kesehatan

Pertanian Kelautan dan Perikanan

Lain-Lain Transfer

34% 32%26% 26% 23% 22% 25%

13% 17%18% 18%

18%15% 13%

21% 20%25% 24% 28%

31% 31%

8% 8% 9% 9% 10% 10% 10%

11% 10% 12% 13% 10% 13% 12%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Pemerintahan Umum Infrastruktur

Pendidikan Kesehatan

Pertanian Kelautan dan Perikanan

Lain-Lain Transfer

62

62 Bab 4 Belanja Daerah

Belanja untuk sektor infrastruktur mengalami peningkatan hingga tahun 2008, namun dua tahun

berikutnya cenderung menurun. Jumlah anggaran yang teralokasi pada sektor infrastruktur sebesar Rp

1 triliun pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp 2,7 triliun pada tahun 2008. Pada tahun berikutnya,

belanja sektor infrastruktur kembali menurun hingga Rp 2,5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan

adanya pembangunan terminal dan landasan baru Bandara Sultan Hasanuddin yang selesai tahun 2008,

di mana biaya pembebasan lahan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Porsi belanja

untuk sektor infrastruktur terhadap total belanja daerah cenderung meningkat hingga pada tahun 2009,

kemudian menurun pada tahun 2010. Meskipun porsi belanja sektor infrastruktur cenderung menurun,

namun belanja sektor infrastruktur masih lebih tinggi dibandingkan dengan sektor strategis lainnya

seperti sektor kesehatan dan sektor pertanian. Porsi belanja untuk sektor kesehatan secara rata-rata

sebesar 9 persen dan sektor pertanian sebesar 3 persen per tahun.

Pada tingkat provinsi, belanja terbesar adalah transfer ke daerah bawahan. Belanja pemerintahan

umum meningkat dari Rp 401 miliar di tahun 2005 menjadi Rp 512 miliar pada tahun 2010 atau

bertumbuh dengan rata-rata 22 persen per tahun. Penyebab utama tingginya belanja sektor

pemerintahan umum dikontribusi terbesar oleh belanja pegawai dengan rata-rata Rp 173 miliar dan

belanja barang dan jasa sebesar Rp 171 dan miliar selama periode 2005-2010. Meski demikian, belanja

terbesar pemerintah provinsi adalah transfer ke daerah bawahan yang pada tahun 2010 mencapai dua

kali lipat belanja pemerintahan umum (Rp. 1,1 triliun).

Di tingkat kabupaten, belanja sektor pemerintahan umum (diluar transfer) menempati urutan

tertinggi. Pada periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum (di luar transfer) berfluktuasi namun

menyerap anggaran cukup besar dari Rp 2,3 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 3,2 triliun pada tahun

2010 atau dengan rata-rata Rp 2,9 triliun. Proporsi belanja pemerintahan umum terhadap total belanja

kabupaten/kota rata-rata 31 persen per tahun, selebihnya diserap oleh sektor infrastruktur dengan rata-

rata 17 persen, pendidikan rata-rata 29 persen dan selebihnya terserap pada sektor-sektor lainnya.

Proporsi belanja pemerintah yang dialokasikan pada sektor-sektor strategis (Infrastruktur,

Pendidikan, Kesehatan, Pertanian) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi belanja pada sektor

pemerintahan umum. Selama periode 2005-2010, belanja pemerintahan umum pemerintah provinsi

turun dari 25 persen menjadi 19 persen atau rata-rata menyerap anggaran 22 persen per tahun.

Sementara gabungan sektor strategis pendidikan meningkat dari 28 persen menjadi 32 persen. Di

tingkat kabupaten, belanja sektor strategis mengambil porsi yang lebih besar, rata-rata separuh dari

total belanja. Sementara belanja pemerintahan umum menyerap sepertiga alokasi belanja

Belanja sektor pendidikan pada pemerintah kabupaten/kota cenderung meningkat selama periode

2005-2010. Pada tahun 2005, belanja sektor pendidikan sebesar Rp 1,6 triliun meningkat hampir empat

kali lipat menjadi Rp 5 triliun pada tahun 2010. Selama periode 2005-2010, belanja pendidikan

bertumbuh cukup cepat dengan rata-rata 28persen pertahun. Seiring dengan percepatan pertumbuhan

belanja pendidikan, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja kabupaten/kota juga

memperlihatkan peningkatan cukup signifikan dari 25 persen pada tahun 2005 menjadi 36 persen pada

tahun 2010. Peningkatan ini sejalan dengan belanja transfer pemerintah provinsi yang makin

63

63 Bab 4 Belanja Daerah

bertambah. Meski demikian perlu dicermati bahwa 75 persen belanja pendidikan justru dialokasikan

untuk belanja pegawai .

Gambar 4.7. Belanja Transfer Mendominasi Belanja Provinsi dan Cenderung Naik, Sementara di

Kabupaten Proporsi Belanja Pendidikan Telah Melewati Belanja Pemerintahan.

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

Belanja sektor infrastruktur pada pemerintah kabupaten/kota juga memperlihatkan perkembangan

yang cukup signifikan. Belanja sektor infrastruktur (gabungan belanja perumahan, perhubungan, dan

pekerjaan umum) meningkat dari Rp 875 miliar pada tahun 2005 menjadi Rp 2 triliun pada tahun 2010

atau meningkat rata-rata sebesar 23 persen. Proporsi belanja pemerintah kabupaten/kota untuk

pengembangan infrastruktur berfluktuasi dan menurun menjadi 15 persen pada tahun 2010

dibandingkan dengan 19 persen pada tahun 2009. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur besar

banyak yang berada dalam kewenangan provinsi, sementara biaya pemeliharaan diserahkan ke

pemerintah kabupaten/kota. Dengan membandingkan belanja sektor-sektor lainnya, sektor infrasruktur

menempati urutan ketiga setelah pendidikan dan pemerintahan umum.

Belanja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan menyerap alokasi anggaran yang relatif

kecil. Pada pemerintah kabupaten/kota, proporsi belanja untuk sektor pertanian terhadap total belanja

kabupaten/kota hanya berkisar rata-rata 3 persen pertahun dan rata-rata 4 persen per tahun pada

1,585 1,913

3,3923,599

4,052

5,0284,893

25%27%

35%33%

39%41%

40%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**Rp

mili

ar

Pemerintahan Umum Infrastruktur

Pendidikan Kesehatan

Pertanian Kelautan dan Perikanan

Lain-Lain Transfer

% Pertanian % Infrastruktur

% Pendidikan % Kesehatan

% Transfer % Pemerintahan Umum

492581

888

1,000805

1,1001,14930%

32%

39% 40%

36%

42% 41%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Rp

mili

ar

Pemerintahan Umum Infrastruktur

Pendidikan Kesehatan

Pertanian Kelautan dan Perikanan

Lain-Lain Transfer

% Pertanian % Infrastruktur

% Pendidikan % Kesehatan

% Transfer % Pemerintahan Umum

64

64 Bab 4 Belanja Daerah

pemerintah provinsi. Belanja sektor pertanian sebagian besar dialokaikan untuk belanja pegawai

dengan rata-rata 49 persen per tahun.

4.4. Hubungan Belanja dengan Gender

Anggaran yang responsif gender di Sulawesi Selatan memperlihatkan pola kecenderungan yang

meningkat, meskipun dengan proporsi yang sangat kecil selama periode 2007-2010. Besaran anggaran

responsif gender di Sulawesi Selatan dapat ditunjukkan oleh belanja untuk Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai salah satu unit kerja yang mempunyai tugas dan fungsi

pokok dalam pengimplementasian pengarusutamaan gender (PUG). Total belanja untuk Badan

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sebesar Rp 555,5 juta pada tahun 2007 meningkat

menjadi Rp 25,4 miliar pada tahun 2010 dan direncanakan meningkat menjadi Rp 32 miliar pada tahun

anggaran pokok 2011. Porsi belanja pemberdayaan perempuan (Provinsi+Kabupaten/Kota) terhadap

total belanja daerah di Sulawesi Selatan berada pada kisaran 0 – 0,19 persen atau secara rata-rata 0,10

persen pertahun selama 2007-2010.

Pada level provinsi, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan meningkat dalam

kurung waktu 2009-2010. Pada tahun 2010, besaran anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan

Perempuan berkisar Rp 5,2 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 5,59 miliar pada tahun 2011.

Pada pemerintah provinsi, porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja

pemerintah Sulawesi Selatan sebesar 0,01 persen pada tahun 2009 dan 0,20 persen pada tahun 2010.

Kecilnya porsi anggaran terkait PUG tentu saja tidak memberi dampak besar terhadap keberhasilan

strategi PUG. Upaya untuk mendorong kesetaraan dan keadilan gender harus diiringi oleh penganggaran

yang cukup memadai. Komponen belanja yang terbesar adalah belanja pegawai dengan jumlah

anggaran yang terserap di atas 50 persen, disusul oleh belanja barang dan jasa dengan besaran

anggaran yang terserap sekitar 40 persen, selebihnya untuk belanja modal.

65

65 Bab 4 Belanja Daerah

Gambar 4.10. Perkembangan Anggaran Responsif Gender Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi

dan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2007-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

Pada pemerintah Kabupaten/Kota, anggaran yang dikelola oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak juga memperlihatkan kecenderungan meningkat kecuali pada tahun 2010. Pada

tahun 2007, belanja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebesar Rp 0,56 miliar

meningkat menjadi Rp 27,5 miliar pada tahun 2009 dan menurun drastis menjadi Rp 20,23 miliar pada

tahun 2010. Porsi belanja Badan Pemberdayaan Perempuan terhadap total belanja kabupaten/kota

meningkat hingga mencapai 0,22 persen tahun 2009, akan tetapi pada tahun 2010 menurun menjadi

0,14 persen. Penurunan anggaran sektor pemberdayaan perempuan tahun 2010 terutama disebabkan

oleh perubahan struktur organisasi daerah. Badan pemberdayaan perempuan sebelum tahun 2010

masih berada dalam lingkungan Sekretariat Daerah kemudian dengan struktur organisasi yang baru

bergabung kedalam Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.

Pada pemerintah provinsi, alokasi belanja pegawai hampir berimbang dengan alokasi belanja barang

dan jasa, sementara pada pemerintah kabupaten/kota, belanja pegawai lebih dominan. Pada tahun

2010, alokasi belanja pegawai pada pemerintah provinsi sebesar Rp 2,38 miliar dan pada tahun

anggaran 2011 diperkirakan meningkat menjadi Rp 2,87 miliar, sementara belanja barang dan jasa, pada

tahun 2010 sebesar Rp 2,37 miliar dan Rp 2,31 miliar pada tahun 2011. Pada pemerintah

kabupaten/kota, belanja pegawai sebesar Rp 12,71 miliar dan Rp 19,50 miliar pada tahun 2011,

sementara belanja barang dan jasa hanya berkisar Rp 5,03 miliar.

0.15

5.22 5.59

- -

0.01

0.20 0.20

-

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0

1

2

3

4

5

620

07

2008

2009

2010

*

2011

**

Persen

Rp

Mili

ar

Provinsi

Belanja Pemberdayaan Perempuan

% terhadap total belanja

0.56

10.96

27.55

20.23

26.43

0.00

0.09

0.22

0.14

0.20

-

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

2007

2008

2009

2010

*

2011

**

Persen

Rp

Mili

ar

Kabupaten/Kota

Belanja Pemberdayaan Perempuan

% terhadap total belanja

66

66 Bab 4 Belanja Daerah

Gambar 4.11. Belanja klasifikasi ekonomi badan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak

di Sulawesi Selatan, 2010-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok.

Belanja untuk program-program utama yang responsif gender pada Badan Pemberdayaan Perempuan di

Provinsi Sulawesi Selatan cukup bervariasi. Pada tahun 2010, program yang menyerap anggaran cukup

besar adalah penguatan dan pengembangan kelembagaan perempuan dengan anggaran sebesar Rp

692,1 juta, kemudian diikuti pada urutan kedua oleh program peningkatan kualitas hidup dan

perlindungan perempuan dengan anggaran sebesar Rp 372,45 juta dan urutan ketiga ditempati oleh

program perlindungan anak dengan anggaran sebesar Rp 262 juta. Porsi anggaran yang relatif lebih

tinggi pada tiga program tersebut dari program lainnya, mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah

untuk memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak

cukup tinggi. Pada tahun 2011, penguatan kelembagaan perempuan meskipun besaran alokasi anggaran

menurun, namun masih tetap memperoleh alokasi anggaran lebih tinggi dibandingkan dengan program-

program lainnya.

2.37 2.38

0.48

2.87

2.31

0.41

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

Pegawai Barang dan Jasa Modal

Rp

Mili

ar

Provinsi

2010* 2011**

12.71

5.03

2.48

19.50

4.71

2.21

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Pegawai Barang dan Jasa Modal

Rp

Mili

ar

Kabupaten/Kota

2010* 2011**

67

67 Bab 4 Belanja Daerah

Gambar 4.12. Besaran Alokasi Belanja pada Program-Program yang Terkait Dengan PUG Ditingkat

Provinsi Bervariasi

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD-P; 2011 APBD Pokok (dalam Juta Rp).

4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi

� Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode 2005-2010. Hal ini

mengindikasikan peran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat semakin

meningkat. Akan tetapi, masih terdapat kecenderungan peningkatan belanja pemerintah daerah

tidak diikuti oleh pengelolaan belanja yang berkualitas yang tercermin pada ketimpangan belanja

yang cukup besar baik berdasarkan klasifikasi ekonomi, sektor maupun berdasarkan fungsi. Untuk

memperkecil ketimpangan yang terjadi dalam pengalokasian belanja, maka pengelolaan keuangan

daerah yang terdiri dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi masih perlu

mendapat perhatian lebih serius.

� Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota

relatif sangat besar, sementara proporsi belanja modal masih relatif kecil. Besarnya proporsi

belanja pegawai dari total belanja menandakan banyaknya jumlah pegawai yang harus digaji di

daerah termasuk pegawai di Provinsi dan pegawai di Kabupaten/Kota. Untuk perspektif ke depan,

proporsi belanja pegawai sedapat mungkin dikurangi sehingga proporsi belanja modal dapat lebih

ditingkatkan. Terkait dengan itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan yaitu: (i) Pemerintah daerah

dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai baru) 2-3 tahun kedepan, (ii)

dapat melakukan penambahan tenaga teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan, tenaga

kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari jumlah pegawai negeri yang pensiun.

161.3

174.55

99.3

133.15

692.1

262.05

372.45

131.33

217.6

345.94

56.51

157.45

96.79

424.34

263.96

426.98

292.92

156.42

0 200 400 600 800

Pengembangan Data/informasi kependudukan dan keluarga

Peningkatan kualitas pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak

Kesehatan reproduksi remaja

Keluarga Berencana

Penguatan dan Pengembangan Kelembagaan Perempuan

Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan anak

Peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan

Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan gender

Keserasian Kebijakan Pengarusutamaan gender

Rp Juta

Program Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi

2011** 2010*

68

68 Bab 4 Belanja Daerah

� Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan memperlihatkan

kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa rekomendasi kebijakan

antara lain: (i) Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup

dengan melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup

banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kabupaten/kota yang

rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik, (ii) Kebijakan pemberian sertifikasi

guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan

dan pemberian sanksi terhadap guru yang telah menerima tetapi belum menunjukan peningkatan

kinerja (kualitas pelayanan pendidikan) ke tingkat yang lebih baik

� Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor pendidikan,

infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi belanja paling besar sementara

sektor kesehatan dan pertanian memperoleh alokasi yang relatif lebih kecil. Terkait dengan itu,

beberapa rekomendasi kebijakan antara lain: (i) Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-

sektor strategis seperti kesehatan dan pertanian perlu ditingkatkan ke tingkat yang lebih signifikan,

(ii) Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi

(pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga kerja,

kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya dengan jumlah

yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

� Alokasi belanja yang terkait dengan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di

Sulawesi Selatan masih sangat kecil. Rendahnya alokasi anggaran yang responsif gender disebabkan

oleh beberapa hal antara lain; (i) masih rendahnya komitmen penentu kebijakan terkait dengan

implementasi strategi PUG; (ii) penyusunan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender

oleh SKPD belum sepenuhnya dilakukan. Untuk meningkatkan proporsi belanja yang terkait dengan

program-program pembangunan yang responsif gender, direkomendasikan beberapa hal: (i) Perlu

peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait dengan implementasi

strategi Pengarusutamaan Gender (PUG), (ii) Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat

daerah (SKPD) perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan/pendampingan terkait PUG agar anggaran

yang disusun responsif gender. (iii) perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif

gender pada seluruh SKPD terkait.

69

BAB 5 ANALISIS SEKTOR STRATEGIS

70

70 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.1. Analisis Sektor Pendidikan

Pemerintah Sulawesi Selatan telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama

pembangunan daerah. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi

Selatan Tahun 2008-2013, sektor pendidikan bersama dengan sektor kesehatan menempati agenda

pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk memastikan bahwa semua anak yang berada

pada usia sekolah benar-benar duduk di bangku sekolah, pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008

telah mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis di seluruh kabupaten/kota. Bersamaan dengan

itu, juga telah dikembangkan berbagai kebijakan lainnya seperti peningkatan kualitas pelayanan

pendidikan, promosi pendidikan, pemberantasan buta aksara, dan pengembangan budaya baca.

5.1.1 Belanja Sektor Pendidikan

Secara riil, proporsi belanja sektor pendidikan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan

sudah di atas 20 persen dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2010, proporsi belanja pendidikan terhadap total belanja daerah sudah mencapai 31 persen,

padahal tahun 2005 baru mencapai 21 persen. Belanja sektor pendidikan yang meningkat lebih cepat

dibandingkan dengan total belanja daerah menyebabkan proporsi belanja sektor pendidikan terhadap

total belanja daerah terus membesar.

Gambar 5.1. Total Belanja Pendidikan dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.

Belanja untuk sektor pendidikan di Sulawesi Selatan meningkat tiga kali lipat selama periode 2005-

2011. Pada tahun 2005, total belanja riil sektor pendidikan sebesar Rp 1,7 triliun dan meningkat menjadi

1.7 2.03.5 3.7 4.1 5.1 5.0

8.010.3

14.015.3 14.8

16.7 16.3

21%20%

25% 24%

28%

31% 31%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Proporsi B

elanja Pendidikan

Tril

iun

Rp

Total Belanja Pendidikan Riil Total Belanja Dearah Riil % Belanja Pendidikan

71

71 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Rp 5,0 triliun pada tahun 2011. Belanja pendidikan kabupaten/kota berkontribusi besar bagi

peningkatan total belanja pendidikan di Sulawesi Selatan. Secara riil, belanja pendidikan kabupaten/kota

meningkat rata-rata 34 persen per tahun, sedangkan belanja pendidikan provinsi hanya meningkat 5

persen per tahun.

Proporsi belanja pegawai relatif sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 70 persen dari total belanja

sektor pendidikan. Meskipun proporsinya relatif fluktuatif namun menunjukkan kecenderungan yang

semakin meningkat. Pada tahun 2010, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan

mencapai 80 persen. Dengan kata lain, lebih dari empat per lima dari total belanja pendidikan

diperuntukkan untuk belanja pegawai. Padahal tahun 2006 proporsinya masih berada pada angka 67

persen. Peningkatan proporsi belanja pegawai telah menyebabkan penurunan proporsi belanja modal.

Gambar 5.2. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan,

2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.

Proporsi belanja modal terhadap total belanja sektor pendidikan di kabupaten/kota relatif lebih besar

dibandingkan dengan di provinsi. Pada tahun 2010, proporsi belanja modal di kabupaten/kota

mencapai 12 persen dari total belanja pendidikan, sedangkan provinsi hanya 8 persen. Namun demikian,

proporsi belanja pegawai di provinsi relatif lebih rendah, yaitu hanya 64 persen dari total belanja

pendidikan, sedangkan kabupaten/kota mencapai 81 persen. Untuk belanja barang dan jasa,

kabupaten/kota mengalokasi sekitar sepertiga, sedangkan provinsi hanya 7 persen dari total belanja

pendidikan masing-masing.

1,324 1,361

2,669 2,5813,069

4,1253,775

133

236 215

363

390561

205 476

604 908

717

624664

80%

67%

76%70%

74%

80%75%

8%9%

7% 6%9%

8%

11%12%

23%17%

25%

17%12% 13%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Pro

pors

i Bel

anja

Riil

Pegawai Barang dan Jasa Modal % Pegawai % Barang dan Jasa % Modal

72

72 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.3. Komposisi Belanja Pendidikan Riil Kabupaten/Kota dan Provinsi di Sulawesi Selatan,

2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD Perubahan.

5.1.2 Kinerja Keluaran Sektor Pendidikan

Rasio sekolah-murid pada semua jenjang pendidikan relatif konstan selama periode 2005-2010 dan

berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap sekolah rata-

rata mampu menampung 165 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap sekolah rata-rata mampu

menampung 252 murid. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMA, setiap sekolah rata-rata mampu

menampung 336 murid. Keseluruhan angka ini hampir sama dengan kinerja yang dicapai pada tahun

2005. Jika dibandingkan dengan rata-rata nasional, keseluruhan capaian Sulawesi Selatan sudah relatif

lebih baik dibandingkan dengan capaian Nasional.

Berbeda dengan rasio sekolah-murid, rasio guru-murid pada semua jenjang pendidikan menunjukkan

perbaikan selama periode 2005-2010. Pada tahun 2010, untuk jenjang pendidikan SD, setiap guru harus

melayani 15 murid. Untuk jenjang pendidikan SMP, setiap guru harus melayani 12 murid. Sedangkan

untuk jenjang pendidikan SMA, setiap guru harus melayani 12 murid. Jika dibandingkan dengan angka

rata-rata Nasional, rasio guru-murid untuk jenjang pendidikan SD dan SMP di Sulawesi Selatan sudah

lebih baik dibandingkan dengan rata-rata Nasional, namun untuk jenjang pendidikan SMA relatif lebih

tinggi. Gambaran ini mencerminkan adanya kebutuhan untuk menambah tenaga guru pada jenjang

pendidikan SMA, tetapi tidak pada jenjang pendidikan SD dan SMP.

64%

34%

2%

Provinsi

81%

7%

12%

Kabupaten/Kota

Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal

73

73 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.4. Rasio Sekolah dan Guru Terhadap Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Sulawesi

Selatan, 2005-2010

Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan Dalam Angka.

5.1.3 Kinerja Hasil Sektor Pendidikan

Angka Partisipasi Sekolah (APS) Sulawesi

Selatan relatif lebih rendah dibandingkan

dengan APS Nasional pada semua jenjang

pendidikan. Pada tahun 2010, APS SD/MI (6-12

tahun), SMP/MTs (13-15 tahun) dan

SMA/SMK/MA (16-18 tahun) Sulawesi Selatan

masing-masing sebesar 97 persen, 83 persen,

dan 53 persen, padahal secara Nasional sudah

mencapai masing-masing 98 persen, 86 persen,

dan 53 persen.

Perempuan memiliki tingkat APS yang relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada

semua kelompok umur menurut jenjang

pendidikan. Kecuali perempuan pada kelompok

umur 16-18 tahun (jenjang pendidikan

SMA/SMK/MA), rata-rata seluruh APS, baik laki-

laki maupun perempuan, pada semua jenjang

pendidikan menunjukkan peningkatan selama

periode 2006-2009.

170 160 161 165 168 165243 251 248 227 242 252298 305 292 331 346 336

21.7

18.9

21.2

17.8

15.1 15.3

12.9 13 12.5

14.9

11.7 12.1

14 14.413.4 13.9

12.1 12

0

5

10

15

20

25

0

50

100

150

200

250

300

350

400

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Rasio Sekolah-Murid SD Rasio Sekolah-Murid SMP Rasio Sekolah-Murid SMA

Rasio Guru-Murid SD Rasio Guru-Murid SMP Rasio Guru-Murid SMA

Gambar 5.5. Komparasi Angka Partisipasi Sekolah

(APS) di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2010*)

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama

Sosial Ekonomi Indonesia.

Catatan: *) Angka sementara.

98

86

56

97

83

53

0 20 40 60 80 100

6-12 Tahun

13-15 Tahun

16-18 TahunSulsel

Indonesia

74

74 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Selama periode 2006-2010, angka rata-rata lama sekolah menunjukkan peningkatan yang konsisten,

namun masih berada di bawah angka Nasional. Pada tahun 2006, rata-rata lama sekolah masih 7 tahun

dan meningkat menjadi 7,8 tahun pada tahun 2010. Angka ini masih berada di bawah angka rata-rata

nasional, yang saat ini sudah mencapai 7,9 tahun. Ini berarti bahwa secara rata-rata, penduduk Sulawesi

Selatan hanya mampu menyelesaikan pendidikan kelas I SMP dan putus sekolah sebelum naik ke kelas II

SMP. Namun kesenjangan (gap) antara capaian Sulawesi Selatan dan Nasional tampak semakin tipis dari

tahun ke tahun sebagai akibat peningkatan rata-rata lama sekolah Sulawesi Selatan bergerak lebih cepat

dibandingkan dengan peningkatan Nasional. Pada tahun 2006, jarak antara Sulawesi Selatan dan

Nasional hanya 0,2 poin dan mengecil menjadi 0,1 poin empat tahun kemudian. Jika situasi ini terus

berlanjut, maka angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan akan tampak semakin baik

dibandingkan dengan angka Nasional.

Gambar 5.6. Komparasi Angka Rata-Rata Lama Sekolah di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2006-2010

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia.

Catatan: *) Angka sementara.

Tabel 5.1. APS Menurut Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2006-2009

Tahun 7-12 tahun (SD/MI) 13-15 tahun (SMP/MTs) 16-18 tahun (SMA/SMK/MA)

Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

2006 94,53 95,66 77,18 79,69 49,58 52,25

2007 94,79 95,75 77,12 79,74 49,65 53,06

2008 95,31 95,95 77,16 79,89 49,98 53,06

2009 95,93 97,19 79,86 82,04 51,30 51,94

Sumber: BPS.

7.20

7.407.50

7.70

7.90

7.00

7.207.30

7.40

7.80

6.40

6.60

6.80

7.00

7.20

7.40

7.60

7.80

8.00

2006 2007 2008 2009 2010*)

Tah

un

Indonesia Sulsel

75

75 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.7. Komparasi Angka Melek Huruf di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2005-2010

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.

Catatan: *) Angka sementara.

Angka melek huruf di Sulawesi Selatan memiliki kesenjangan yang cukup tajam dengan angka

Nasional serta pergerakan naik yang sangat lamban. Pada tahun 2010, angka melek huruf penduduk

berusia 15 tahun ke atas di Sulawesi Selatan hanya sebesar 87,75 persen. Artinya, setiap sepuluh

penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya buta huruf. Meskipun angka ini sudah lebih besar

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun angka tersebut masih berada jauh di bawah

angka rata-rata nasional, yang saat ini sudah berada di sekitar 93 persen. Angka melek huruf Sulawesi

Selatan juga meningkat sangat lamban, perbandingan angka melek huruf laki-laki masih cukup jauh

dengan angka melek huruf perempuan. Pada tahun 2005 angka melek huruf laki-laki 87,30 persen,

sedangkan perempuan hanya sebesar 82,2 persen. Pada tahun 2010 pun masih di sekitar yang sama

untuk angka melek huruf perempuan 85,54 persen, sedangkan laki-laki sudah mencapai 90,21 persen.

Gambar 5.8. Posisi Angka Melek Huruf Sulawesi Selatan Secara Nasional, 2010*)

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.

Catatan: *) Angka Sementara.

90.9191.45 91.87 92.19 92.58 92.91

84.6085.70

86.24 86.53 87.0287.75

80

82

84

86

88

90

92

94

2005 2006 2007 2008 2009 2010*)

Indonesia

Sulsel

87.7592.91

0

20

40

60

80

100

120

Pap

ua

NT

B

Sul

sel

Jatim Bal

i

Sul

bar

NT

T

Jate

ng DIY

Kal

bar

Sul

tra

Indo

nesi

a

Lam

pung

Pap

ua …

Ben

gkul

u

Bab

el

Jam

bi

Kal

sel

Gor

onta

lo

Sul

teng

Mal

ut

Jaba

r

Ban

ten

NA

D

Kal

tim

Sum

bar

Kep

. Ria

u

Sum

ut

Sum

sel

Mal

uku

Kal

teng

Ria

u

DK

I …

Sul

ut

76

76 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.9. Angka Melek Huruf Laki-Laki Lebih Tinggi Dibandingkan Perempuan, 2005-2010

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonmi Indonesia.

Catatan: *) Angka Sementara.

Angka melek huruf di Sulawesi Selatan menempati posisi ketiga terendah di Indonesia, sesudah Papua

dan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta terendah secara regional (Pulau Sulawesi). Posisi ini bahkan tidak

berubah dalam enam tahun terakhir. Ketika Sulawesi Selatan mencatat angka melek huruf 87,75 persen

pada tahun 2010, Sulawesi Utara sudah mencatat angka 99,30 persen yang merupakan angka tertinggi

secara Nasional. Ini mengindikasikan perlunya melakukan intervensi secara serius terhadap penduduk

buta huruf di Sulawesi Selatan.

Rata-rata pengeluaran rumah tangga

untuk pendidikan antar kelompok

pendapatan menunjukkan kesenjangan

yang cukup timpang. Pada tahun 2005,

kelompok rumah tangga terkaya (kuintil

5) mengeluarkan anggaran untuk

pendidikan sebesar enam kali lipat dari

kelompok rumah tangga termiskin

(kuintil 1). Meskipun rasio tersebut

membaik pada tahun 2009, dimana

kelompok rumah tangga terkaya (kuintil

5) mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar lima kali lipat dari kelompok rumah tangga

termiskin (kuintil 1), namun secara absolut kesenjangan antar kelompok pendapatan tampak semakin

besar. Secara absolut, pada tahun 2009, setiap rumah tangga termiskin membelanjakan Rp 673.538

untuk pendidikan, sementara rumah tangga terkaya membelanjakan Rp 3.025.199 untuk hal yang sama.

Tabel 5.2. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk

Pendidikan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi

Selatan, 2005-2009

Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

2005 236,450 289,374 423,126 611,534 1,282,641

2006 205,492 297,089 422,185 758,488 1,925,791

2007 240,271 318,568 416,976 638,571 1,476,404

2008 426,744 518,343 676,021 837,362 1,465,555

2009 673,537 861,314 1,026,990 1,353,976 3,025,199

Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009.

87.30

88.32

89.41 89.23

90.29 90.21

82.20

83.30 83.4284.15 84.19

85.54

78

80

82

84

86

88

90

92

2005 2006 2007 2008 2009 2010*)

Per

sen

Laki-Laki

Perempuan

77

77 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.1.4 Analisis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan

Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan hampir sepertiga belanja

daerahnya untuk sektor pendidikan. Secara riil per kapita , Kota Pare-pare menempati urutan teratas

dalam belanja pendidikan, sedangkan Kabupaten Bone menempati urutan terbawah. Pada tahun 2010,

Kota Pare-pare mengalokasikan Rp 1.245.430 untuk sektor pendidikan per kapita, sedangkan Kabupaten

Bone hanya mengalokasikan Rp 287.220,-. Sedangkan Kabupaten Jeneponto menempati urutan teratas

dengan mengalokasikan hampir setengah dari total belanja daerahnya untuk sektor pendidikan.

Gambar 5.10. Belanja Pendidikan Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

Gambar 5.11. Belanja Pendidikan Menurut Klasifikasi Ekonomi Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,

2010

Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

1,245

287

0200400600800

1,0001,2001,400

Kot

a P

arep

are

Kot

a P

alop

o

Kab

. Enr

ekan

g

Kab

. Bar

ru

Kab

. Ban

taen

g

Kab

. Pan

gkep

Kab

. Sel

ayar

Kab

. Sid

rap

Kab

. Tak

alar

Kab

. Jen

epon

to

Kab

. Sin

jai

Kab

. Sop

peng

Kab

. Pin

rang

Kab

. Mar

os

Kab

. Bul

ukum

ba

Kab

. Luw

u

Kab

. Luw

u T

imur

Kab

. Tat

or

Kab

. Luw

u U

tara

Kab

. Gow

a

Kab

. Waj

o

Kot

a M

akas

sar

Kab

. Bon

e

Rib

u R

p

Belanja Pendidikan Riil Per Kapita

87%80% 84% 79% 76% 82% 87% 82% 82% 89%

79% 85%78%

62%

83%68%

82% 77%86%

78% 78% 83%76%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan jasa % Belanja Modal

78

78 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Belanja pegawai mendominasi belanja pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

Secara rata-rata, proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan mencapai 80 persen.

Kabupaten Bone mencatat proporsi belanja pegawai yang relatif paling kecil (62%), dan sebaliknya

Kabupaten Sinjai menunjukkan proporsi belanja pegawai yang relatif paling besar (89%). Untuk belanja

modal, Kota Makassar menunjukkan proporsi yang relatif paling kecil (7%), dan sebaliknya Kabupaten

Bone memperlihatkan proporsi yang relatif paling besar (58%).

Rasio murid-sekolah (RMS) dan rasio murid-guru (RMG) untuk setiap jenjang pendidikan relatif

bervariasi antar kabupaten/kota. Untuk tingkat SD, Kabupaten Soppeng mencatat RMS dan RMG yang

paling rendah dan Kota Makassar yang paling tinggi. Untuk tingkat SMP, Kabupaten Selayar mencatat

RMS dan RMG terendah dan Kota Palopo tertinggi untuk RMS dan Kabupaten Luwu Utara tertinggi

untuk RMG. Sedangkan untuk tingkat RMS dan RMG SMA, Kabupaten Maros terendah dan Kabupaten

Luwu tertinggi. Gambaran ini mengindikasikan perlunya pemerataan dan sebaran sekolah dan guru

antar kabupaten/kota.

Sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan rata-rata lama sekolah yang lebih rendah dibandingkan

dengan rata-rata provinsi. Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 17 di antaranya berada di bawah

rata-rata provinsi, dan hanya enam kabupaten/kota yang berada di atas rata-rata provinsi. Daerah kota

Tabel 5.3. Rasio Murid-Sekolah dan Rasio Murid-Guru Menurut Jenjang Pendidikan Berdasarkan

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Kabupaten/Kota RMS SD RMG SD RMS SMP RMG SMP RMS SMA RMG SMA

Selayar 110,66 14,05 133,77 7,91 253,00 12,49 Bulukumba 141,80 12,26 219,49 11,84 459,44 17,30 Bantaeng 196,47 11,01 306,55 12,09 596,50 13,71 Jeneponto 184,67 17,42 200,63 15,09 372,31 16,69 Takalar 151,89 10,87 279,71 10,88 405,50 10,78 Gowa 198,41 16,73 234,25 11,18 368,05 11,93 Sinjai 136,72 11,84 238,02 11,40 351,63 10,46 Maros 168,61 14,45 249,43 11,03 246,40 8,31 Pangkep 137,67 12,89 250,42 10,33 291,29 11,96 Barru 105,54 10,51 221,38 9,60 474,29 13,61 Bone 138,31 14,13 232,59 11,95 503,50 13,33 Soppeng 104,51 8,87 251,29 9,73 355,08 9,49 Wajo 106,27 16,21 276,31 10,66 397,50 11,00 Sidrap 222,71 19,88 286,20 11,23 382,43 10,93 Pinrang 153,08 13,85 339,20 15,89 498,13 15,72 Enrekang 145,02 14,92 251,97 8,25 361,87 11,88 Luwu 204,58 16,69 233,00 11,50 551,37 19,44 Tana Toraja 167,67 15,78 191,22 10,29 320,25 10,48 Luwu Utara 192,02 15,82 234,90 19,43 418,00 14,67 Luwu Timur 225,33 21,28 315,11 15,01 379,45 8,73 Toraja Utara 208,51 17,82 234,00 19,13 404,25 17,33 Kota Makassar 263,80 27,65 286,24 13,76 345,86 16,48 Kota Pare Pare 188,68 12,57 325,00 10,66 429,63 9,99 Kota Palopo 251,85 15,58 379,52 11,84 395,54 9,42

Sumber: diolah dari Sulawesi Selatan Dalam Angka, BPS.

Catatan: RMS=rasio murid-sekolah; RMG=rasio murid-guru.

79

79 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

memiliki rata-rata lama sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten. Kota

Makassar menempati urutan teratas (10,6 tahun), dan sebaliknya, Kabupaten Bantaeng menempati

urutan terbawah (5.9 tahun).

Gambar 5.12. Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009

Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.

Daerah perkotaan memiliki angka melek huruf yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah

kabupaten. Seluruh daerah kota di Sulawesi Selatan, yaitu Kota Makassar, Kota Palopo, dan Kota Pare-

Pare, mencatat angka melek huruf tertinggi di Sulawesi Selatan. Sebaliknya, daerah kabupaten yang

berada di wilayah selatan Sulawesi Selatan (Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Gowa, dan Takalar) justru

menunjukkan angka melek huruf yang paling rendah. Informasi ini memberi arah bahwa penanganan

penduduk buta huruf perlu dilakukan di daerah kabupaten, terutama di wilayah selatan Sulawesi

Selatan.

Gambar 5.13. Angka melek huruf menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2009

Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan, berbagai seri.

Secara umum, angka melek huruf laki-laki relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada

semua kelompok umur di kabupaten/kota. Kesenjangan paling jauh angka melek huruf tertinggi antara

77.2087.02

97.32

0

20

40

60

80

100

120

Per

sen

5.907.40

10.60

0

2

4

6

8

10

12

Tah

un L

ama

Sek

olah

80

80 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

laki-laki dengan perempuan terjadi pada kelompok umur 60 tahun ke atas. Pada beberapa kasus, angka

melek huruf perempuan lebih baik dibandingkan dengan laki-laki, terutama pada kelompok umur 15-29

tahun. Ini menunjukkan di masa lalu akses perempuan terhadap pendidikan berkualitas masih lebih

rendah daripada akses laki-laki. Tetapi pada generasi yang lebih muda terlihat lebih setara.

Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan antar kelompok

pendapatan di kabupaten/kota, menunjukkan kesenjangan yang sangat bervariasi. Kabupaten dengan

tingkat kemiskinan tertinggi, menunjukkan kesenjangan belanja pendidikan yang besar. Di Kabupaten

Pangkep misalnya, yang merupakan kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sulawesi Selatan,

belanja pendidikan kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) sebesar 6 kali dibandingkan dengan

kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Sidrap, yang merupakan kabupaten

dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Selatan, belanja pendidikan kelompok rumah tangga

terkaya (kuintil 5) hanya sekitar 35 persen lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga

termiskin (kuintil 1). Secara absolut, rumah tangga termiskin di Kabupaten Selayar mengeluarkan

Tabel 5.4. Angka Melek Huruf Menurut Kelompok Umur di Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2009

Kabupaten/Kota 15-29 30-44 45-60 60 ke atas

L P L P L P L P

Selayar 98,7% 98,9% 94,8% 92,4% 88,6% 84,6% 73,7% 57,6%

Bulukumba 96,9% 96,6% 95,4% 89,2% 79,8% 77,8% 67,6% 43,7%

Bantaeng 92,4% 95,7% 79,8% 77,6% 78,1% 62,4% 60,1% 37,5%

Jeneponto 90,4% 94,8% 85,6% 79,8% 60,1% 55,0% 52,5% 34,3%

Takalar 96,2% 96,1% 88,9% 89,6% 73,1% 64,4% 58,1% 32,0%

Gowa 97,3% 96,5% 87,0% 83,1% 75,6% 63,4% 52,2% 33,3%

Sinjai 98,9% 98,6% 94,1% 93,4% 80,1% 75,2% 52,3% 37,9%

Maros 97,9% 97,1% 92,3% 81,9% 76,2% 54,9% 60,7% 25,0%

Pangkep 98,2% 98,9% 91,5% 89,2% 83,8% 71,9% 65,7% 51,8%

Barru 98,9% 98,8% 93,5% 94,2% 83,9% 83,9% 77,1% 57,4%

Bone 97,3% 98,3% 94,8% 89,6% 79,3% 73,5% 59,9% 43,4%

Soppeng 97,8% 99,3% 96,8% 96,6% 87,1% 82,1% 59,1% 47,6%

Wajo 96,5% 97,3% 92,0% 89,1% 81,3% 70,8% 64,6% 37,9%

Sidrap 99,1% 99,1% 94,1% 92,7% 79,3% 69,7% 54,6% 29,0%

Pinrang 99,4% 99,7% 96,9% 93,6% 91,8% 82,9% 76,6% 47,1%

Enrekang 99,0% 98,8% 98,1% 95,8% 87,1% 80,6% 71,7% 40,1%

Luwu 96,3% 97,0% 94,1% 94,8% 86,5% 78,6% 67,4% 45,8%

Tana Toraja 97,1% 98,0% 95,1% 89,6% 84,0% 76,9% 69,1% 48,0%

Luwu Utara 98,4% 99,4% 95,1% 92,2% 85,0% 73,2% 71,8% 47,9%

Luwu Timur 99,7% 97,4% 98,0% 96,8% 96,0% 80,4% 81,0% 57,8%

Makassar 99,8% 99,4% 98,3% 97,5% 95,5% 91,4% 92,5% 73,2%

Pare-Pare 100,0% 99,2% 96,9% 97,4% 94,8% 89,2% 88,0% 72,9%

Palopo 99,5% 99,3% 98,6% 97,1% 97,4% 92,0% 90,0% 75,9%

Sulawesi Selatan 97,8% 98,1% 93,9% 90,8% 83,9% 76,0% 67,8% 46,2%

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

81

81 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

anggaran untuk pendidikan yang relatif paling besar (Rp 1,6 juta), dan sebaliknya, Kabupaten Maros

yang relatif paling kecil (Rp 319 ribu). Dengan kata lain, beban belanja pendidikan rumah tangga miskin

di Selayar jauh lebih berat dibanding rumah tangga miskin di Maros atau daerah lain

5.1.5 Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan

Dasar kebijakan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan adalah RPJMD 2008-2013 yang menempatkan

peningkatan kualitas manusia sebagai agenda pertama dimana kebijakan pendidikan gratis adalah

salah satu pilar perwujudan agenda tersebut. Pendidikan gratis dan kesehatan gratis merupakan janji

politik kepala daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, pendidikan gratis dan kesehatan gratis

dituangkan dalam RPJMD 2008-2013 untuk mendukung visi “Sulawesi Selatan sebagai 10 Terbaik dalam

Pemenuhan Hak Dasar”.

Tabel 5.5. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Menurut Kelompok

Pendapatan di Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan, 2009

Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

Selayar 1.634.910 2.093.789 1.641.826 2.298.767 2.988.902

Bulukumba 446.536 606.100 688.455 805.486 1.027.435

Bantaeng 476.008 494.070 673.027 1.007.042 2.121.994

Jeneponto 535.688 744.131 775.388 898.718 1.965.042

Takalar 436.606 573.299 649.058 1.035.340 2.816.831

Gowa 646.489 747.363 921.116 1.051.495 2.832.511

Sinjai 599.007 627.840 603.317 1.167.385 2.268.316

Maros 319.223 543.503 837.012 1.163.450 2.531.120

Pangkep 321.754 407.500 539.854 803.074 1.929.913

Barru 385.041 447.098 863.926 1.290.667 1.657.805

Bone 879.729 910.411 1.061.109 1.407.377 1.714.873

Soppeng 725.793 868.002 924.739 1.051.906 1.484.024

Wajo 614.030 751.011 837.756 1.416.800 2.324.109

Sidrap 855.456 807.019 1.139.197 1.117.655 1.188.042

Pinrang 743.691 772.508 1.191.576 1.109.996 1.780.194

Enrekang 522.448 787.213 847.590 1.195.532 1.281.045

Luwu 823.672 1.190.543 1.439.757 1.183.724 2.036.514

Tana Toraja 791.143 1.170.626 1.438.519 2.063.555 4.257.060

Luwu Utara 658.641 756.666 705.603 1.381.503 840.779

Luwu Timur 879.565 1.014.821 1.058.187 1.100.179 1.621.045

Makassar 768.492 736.174 1.340.752 1.490.257 3.700.023

Pare-Pare 951.032 1.055.324 1.150.990 1.342.745 1.967.513

Palopo 933.997 1.284.849 1.391.291 1.678.232 3.083.121

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

82

82 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

KEBIJAKAN

PENDIDIKAN

GRATIS

JUKLAK

(PERGUB)

ANGGARAN

PROVINSI

(40%)

ANGGARAN

KAB./KOTA

(60%)

REKENING

KAS DAERAH

KAB./KOTA

PROPOSAL/

USULAN

SEKOLAH

VERIFIKASI

DINAS PDDK

KAB./KOTA

KOMITE

SEKOLAH

MONEV

DINAS PDDK

KAB./KOTA

PENCAIRAN

ANGGARAN

(SEKOLAH)

PEMANFAATAN

ANGGARAN

(SEKOLAH)

PERATURAN

DAERAH)

TIM

PENGENDALI

PROVINSI

TIM

PENGENDALI

KAB./KOTA

NOTA

KESEPAHAMAN

PROV-KAB/KOTA

Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan yang dalam penyelenggaraannya didasarkan pada

kerangka regulasi yang lengkap dan dinamis guna mengatasi tantangan dibalik kompleksitas

implementasinya. Landasan hukum penyelenggaraan pendidikan gratis adalah Peraturan Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang “Penyelenggaraan Pendidikan Gratis Di Provinsi

Sulawesi Selatan” dengan pertimbangan utama bahwa ia merupakan wujud komitmen dan kepedulian

pemerintah daerah dalam peningkatan akses dan kualitas pendidikan di Sulawesi Selatan.

Pelaksanaannya setiap tahun didasarkan pada peraturan gubernur: pada tahun 2008-2009 digunakan

Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program

Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan; pada tahun 2010 didasarkan pada Peraturan Gubernur

Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Gratis Provinsi

Sulawesi Selatan; dan pada tahun 2011 didasarkan pada Pergub No. 06 tahun 2011 tentang Pelaksanaan

Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Gratis di Sulawesi Selatan. Dengan pengaturan yang diperbarui setiap tahun menunjukkan bahwa

kebijakan ini berupaya merespons dinamika sebagai proses belajar dalam penyempurnaan

pelaksanaannya.

Gambar 5.14. Skema Alur Kebijakan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari Peraturan Gubernur.

Prinsip dasar, tujuan, strategi dan organisasi penyelenggaraan pendidikan gratis terarah pada

perbaikan kualitas manusia Sulawesi Selatan dalam suatu sinergi pemerintahan dan gerakan

masyarakat. Dengan prinsip dasar bahwa “semua anak usia sekolah wajib menyelesaikan pendidikan

83

83 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

dasar dan menengah”, bahwa “bagi anak usia sekolah yang tidak ikut pendidikan maka pemerintah

daerah wajib menyurati orang tuanya”, dan bahwa “biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak

usia sekolah dari keluarga tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah”; dan bahwa tujuan

pendidikan gratis bukan hanya pada pemerataan tetapi juga perbaikan kualitas pendidikan; didukung

sinergi pendanaan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maka kebijakan pendidikan

gratis diharapkan menyentuh seluruh aspek dalam perbaikan kualitas manusia melalui pendidikan.

Kotak 5.1. Aturan Variabel Perhitungan Besaran Bantuan Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011

Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan variabel perhitungan besaran bantuan pendidikan

gratis secara berbeda antara pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Untuk SD/MI/SDLB/PPs ULA: a. Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya sebesar Rp

4.000/siswa/bulan; b. Insentif: kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, Insentif jam mengajar guru

sebesar Rp 2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata melaksanakan

pembelajaran, Insentif bendahara pendidikan gratis sebesar Rp 100.000/bulan, Insentif remedial dan

pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, Insentif Bujang sebesar Rp75.000/orang/bulan, Insentif

Satpam sebesar Rp250.000/bulan.

Untuk SMP/MTs/SMPLB/PPs.WUSTHA: (a) Tambahan biaya penunjang kegiatan pembelajaran lainnya

sebesar Rp17.600/siswa/bulan; (b) Insentif kepala sekolah sebesar Rp125.000/bulan, insentif wakil

kepala sekolah sebesar Rp100.000/bulan, Insentif kepala urusan sebesar Rp100.000/bulan, insentif

wali kelas sebesar Rp100.000/bulan, insentif guru BP/BK sebesar Rp100.000/bulan, insentif

pustakawan sebesar Rp75.000/bulan, insentif laboran sebesar Rp75.000/bulan, insentif jam mengajar

guru sebesar Rp2.500/jam pelajaran, dihitung dan dibayarkan kepada guru yang secara nyata

melaksanakan pembelajaran, insenitif remedial dan pengayaan sebesar Rp5.000/jam pelajaran, insentif

kepala tata usaha sebesar Rp1000.000/bulan, insentif bendahara pendidikan gratis sebesar

Rp100.000/bulan, insentif staf tata usaha sebesar Rp75.000/bulan, insentif bujang sebesar

Rp75.000/orang/bulan, dan insentif satpam sebesar Rp250.000/orang/bulan.

Cakupan programatik dan cakupan penerima dari program pendidikan gratis memiliki lingkup

terbatas tetapi dengan aspek yang relatif menyeluruh. Cakupan programatik dari pendidikan gratis

meliputi “bebas biaya pendidikan” bagi peserta didik yang sekolahnya memperoleh bantuan penuh

pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, “subsidi biaya pendidikan” bagi peserta didik yang

sekolahnya memperoleh bantuan tidak penuh atau sebagian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan,

dan “beasiswa pendidikan” bagi peserta didik berprestasi yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis adalah jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan

dasar, pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas. Dengan cakupan dan sasaran

yang demikian, pendidikan gratis berpotensi besar untuk berkontribusi pada peningkatan angka

partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah di Sulawesi Selatan.

84

84 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Kotak 5.2. Aturan Penggunaan Dana Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan, 2011

Pemerintah Sulawesi Selatan memberlakukan aturan penggunaan dana pendidikan gratis sedikit berbeda antara

pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Penggunaan dana pendidikan gratis untuk tingkat SD/MI/SDLB/PPS ULA adalah: 1. Pembiayaan seluruh kegiatan

penerimaan siswa baru; 2. Pembelian buku teks diluar yang disediakan dana BOS dan buku referensi untuk

dikoleksi di sekolah; 3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran, remedial, pengayaan, olahraga, kesenian, pramuka,

palang merah remaja, dan sejenisnya; 4. Pengadaan buku rapor dan foto murid; 5. Pembiayaan ulangan harian,

ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa; 6. Pembelian bahan-bahan habis pakai; 7.

Pembiayaan langganan daya dan jasa; 8. Pembiayaan perawatan sekolah; 9. Insentif tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan lainnya; 10. Pengembangan profesi guru; 11. Pemberian biaya transportasi bagi siswa miskin yang

menghadapi masalah transport ke sekolah; 12. Bantuan pembelian buku tulis, pulpen, baju seragam, baju olah

raga, sepatu, tas bagi siswa miskin; 13. Pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis.

Penggunaan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/PPS WUSTHA sama dengan SD dari poin 1 sampai 13, dan ditambah

dengan poin 14. Khusus untuk pesantren Salafiyah dan sekolah agama non Islam, dana pendidikan gratis dapat

digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan biaya. Untuk menghindari ketidakefisienan dan

ketidakefektifan penggunaan, pendidikan gratis memprioritaskan komponen buku teks pelajaran, pemberian

bantuan untuk siswa miskin: transport, pembelian buku, pensil, pulpen, baju seragam, baju olah raga, sepatu, tas

dan lain-lain yang menjadi kebutuhan pembelajaran baginya dan biaya administrasi pelaporan.

Kebijakan pendidikan gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah direspons secara variatif oleh

pemerintah kabupaten/kota. Hal ini terutama pada penerapan aturan berbagi kontribusi antara

pemerintah provinsi (40 persen) dan pemerintah kabupaten/kota (60 persen). Ada kabupaten/kota yang

pada awal pelaksanaan belum sepenuhnya memenuhi angka kontribusi tersebut, ada juga

kabupaten/kota yang telah menjalankan kebijakan pendidikan gratis sebelum kebijakan provinsi

tersebut berjalan.

Kebijakan pendidikan gratis telah memberi pembelajaran pada sinergi antara pemerintah provinsi

dengan pemerintah kabupaten/kota dalam pembiayaan dan penyelenggaraan pelayanan dasar.

Setelah empat tahun berjalan, berbagai pembelajaran telah memungkinkan penyelenggara untuk

melakukan penyempurnaan pola implementasi. Implementasi kebijakan pendidikan gratis tidak hanya

relevan dilihat pada kinerja yang sepenuhnya teknis pendidikan, tetapi juga perlu dilihat pada

peningkatan kapasitas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam inovasi pelayanannya. Kasus

Kabupaten Luwu Timur misalnya, dengan kebijakan pendidikan gratis pemerintah provinsi dalam kondisi

daerah ini sudah menjalankan kebijakan serupa sejak 2006, respons yang diberikan bukanlah penolakan

terhadap kebijakan provinsi tersebut, tetapi secara kreatif dana pendidikan gratis kabupaten dialihkan

untuk peningkatan kualitas belajar-mengajar dalam memperbaiki capaian ujian nasional, dan dana dari

provinsi tetap digunakan sesuai peruntukannya. Hasilnya, setelah tiga tahun daerah ini berhasil

mencapai prestasi terbaik ujian nasional di Sulawesi Selatan.

85

85 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Kotak 5.3. Kabupaten Luwu Timur dan Pendidikan Gratis

Kabupaten Luwu Timur adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu dengan luas wilayah 6.944, 88 km persegi,

jumlah penduduk 210.000 jiwa (2010), terdiri dari 11 kecamatan dan 107 desa/kelurahan. Visi pembangunan

daerah adalah “Luwu Timur sebagai Kabupaten Agribisnis” dengan misi “Mengoptimalkan potensi untuk

kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan”. Visi pembangunan pendidikannya adalah “ Mewujudkan manusia

yang berimtaq, berilmu, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan berprestasi” dengan Misi: 1. Meningkatkan kualitas

dan profesionalisme guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan; 2. Mengupayakan perluasan dan kesempatan

memperoleh pendidikan yang berkualitas bagi seluruh masyarakat, dan 3. Meningkatkan penyediaan sarana dan

prasarana pendidikan.

Anggaran pendidikan dalam APBD empat tahun terakhir di atas 20 persen masing-masing 19,24 persen (2006),

25,40 persen (2007), 26,04 persen (2008), 23,22 persen (2009) dan 27,83 persen (2010). Kebijakan pendidikan

gratis Sulawesi Selatan telah memberi ruang lebih luas untuk meningkatkan kinerja pendidikan daerah ini. Sejak

2006 Luwu Timur telah mendapatkan bantuan dana pendidikan gratis dari pihak swasta, setelah adanya program

pendidikan gratis dari provinsi, dana pendidikan dari swasta tersebut dialihkan peruntukannya bagi peningkatan

kualitas belajar-mengajar dalam menghadapi ujian nasional, sementara dana dari Provinsi (40 persen) dikelola

sesuai peruntukannya dan Kabupaten menanggung porsi 60 persen. Kebijakan pendidikan gratis Luwu Timur

ditetapkan dalam Perda. Dengan pengalaman pendidikan gratis sejak 2006 dan dikuatkan dengan pendidikan

gratis Provinsi maka daerah ini memungkinkan berinovasi dan mencapai berbagai prestasi menonjol di bidang

pendidikan.

Inovasi dalam pembangunan pendidikan mencakup kerjasama dengan berbagai pihak antara lain

padapeningkatan mutu dan layanan pendidikan (UNM, Unhas, ITB, ITS, UT, UIN Syarif Hidayatullah, ATS Soroako),

pada peningkatan kompetensi tenaga pendidik (UNM, LPMP, Unhas/Guru MIPA, Unicef, pihak swasta),

peningkatan mutu kompetensi bagi peserta didik dalam menghadapi ujian nasional (UNM, iNsTy), pengembangan

kesejahteraan bidang pendidikan (Bus sekolah tiap kecamatan, beasiswa untuk siswa berprestasi hingga

perguruan tinggi, bantuan buku pelajaran, bantuan operasional manajemen mutu bagi sekolah dan tunjangan

tenaga pendidik dan kependidikan pada satuan pendidikan) ,dan pengelolaan dana pendidikan berbasis sekolah

untuk SMP (pihak sekolah berhubungan langsung dengan DPRD dalam alokasi anggarannya).

Dengan pendidikan gratis dan berbagai inovasi tersebut Luwu Timur telah mencapai berbagai prestasi bidang

pendidikan. Dalam ujian nasional, pada tahun 2007 peringkat 22 dari 23 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan;

pada tahun 2008 naik ke peringkat 8; pada tahun 2009 naik ke peringkat 5 dan pada tahun 2010 mencapai

peringkat 1. Selain itu, Luwu Timur dipilih oleh Majalah Tempo sebagai satu dari 10 kabupaten/kota berpretasi;

sebagai salah satu dari tujuh kabupaten/kota yang mendapatkan penghargaan Gubernur untuk pembangunan

bidang pendidikan; Medali dari Gubernur Sulawesi Selatan untuk kepedulian bidang pendidikan; Medali untuk 10

kabupaten/kota atas penuntasan buta huruf; piagam penghargaan dari PGRI Sulawesi Selatan atas perhatian

pada guru; dan Satya Lencana Pembangunan di bidang Pendidikan dari Presiden RI.

5.1.6 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Selama periode 2005-2011, belanja pendidikan di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan

yang signifikan. Perlu dipastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar bekerja untuk memperbaiki

indikator-indikator pendidikan, terutama angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

86

86 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

� Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja pendidikan relatif sangat besar, tetapi proporsi

belanja modal terhadap relatif kecil. Akibatnya, belanja sektor pendidikan tidak memiliki dampak

signifikan terhadap capaian kinerja hasil. Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu

ditekan ke level yang lebih rendah, agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih

signifikan. Kebijakan moratorium penerimaan pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau

setidaknya menempuh kebijakan zero growth jumlah pegawai, mungkin perlu dipertimbangkan

untuk menekan proporsi belanja pegawai. Selain itu, belanja pegawai pada pos belanja langsung

harus lebih diefisienkan.

� Mengingat kebijakan pendidikan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu

dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan

pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja hasil yang ingin

dicapai. Selain itu, program pendidikan gratis hanya diterapkan pada tingkat SD dan SMP, maka itu

perlu ada kebijakan untuk pendidikan tingkat SMA.

� Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong kinerja keluaran

terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong kinerja hasil. Kinerja hasil tersebut

berupa angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf sesuai dengan

target RPJMD dan angka nasional. Direkomendasikan agar belanja pendidikan diarahkan untuk

mendorong angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di kabupaten yang masih rendah

angkanya, Rendahnya angka melek huruf berkontribusi terhadap rendahnya Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) Sulawesi Selatan. Pemerintah daerah perlu memberi perhatian yang lebih besar,

upaya yang lebih konstruktif, dan mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk

pemberantasan buta huruf. Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan

dengan wilayah bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan

Gowa.

� Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan pendidikan di Sulawesi. Angka

partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-laki, tetapi angka melek huruf laki-laki jauh lebih

tinggi dari perempuan. APS laki-laki lebih kecil karena tingkat putus sekolah laki-laki lebih tinggi

seiring tuntutan bekerja. Tetapi kualitas pendidikan yang diterima lebih rendah walaupun mereka

bersekolah. Angka buta huruf perempuan berusia di atas 29 tahun lebih besar, direkomendasikan

agar pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur tersebut. Juga

direkomendasikan agar perempuan yang buta huruf ini diberi keahlian lain sebagai bagian dari

pemberdayaan.

� Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban anak usia sekolah yang telah

mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong anak usia sekolah yang belum terjangkau

pendidikan untuk masuk ke bangku sekolah. Direkomendasikan agar kebijakan pendidikan gratis

diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa membuat anak usia sekolah untuk masuk bangku

sekolah khususnya di daerah yang terhambat secara geografis (daerah pegunungan dan

pesisir/kepulauan) dan terhambat secara ekonomi-budaya (anak putus sekolah karena bekerja).

Kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten perlu direalisasikan sebagai payung bagi upaya ini.

87

87 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

� Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok pendapatan menunjukkan

kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone,

Sidrap dan Luwu mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain. Rekomendasinya antara lain (i)

mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin,

diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap, dan Luwu. (ii) kebijakan pendidikan gratis harus

memastikan keberpihakannya pada kelompok pendapatan termiskin.

88

88 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.2 Analisis Sektor Kesehatan

Kesehatan merupakan kebutuhan penting dan sekaligus merupakan investasi bagi pembangunan

sumber daya manusia agar mereka dapat sehat dan hidup secara produktif. Sektor kesehatan bersama

dengan sektor pendidikan merupakan salah satu sektor prioritas utama pembangunan di Sulawesi

Selatan, dan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2008-

2013, kedua sektor ini menempati agenda pertama dari tujuh agenda pembangunan daerah. Untuk

menunjang program utama ini oleh Pemerintah Sulawesi Selatan sejak tahun 2008 telah mencanangkan

suatu program kesehatan gratis dengan harapan bahwa dengan program tersebut paling tidak telah

membawa dampak pada berkurangnya belanja masyarakat untuk kepentingan pembayaran kesehatan,

yang selama ini sangat memberatkan masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah.

5.2.1 Belanja Sektor Kesehatan

Proporsi belanja sektor kesehatan terhadap total belanja daerah di Sulawesi Selatan terus meningkat,

meskipun cenderung fluktuatif. Pada tahun 2005, proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja

daerah sebesar 8,2 persen, dan meningkat menjadi 10,4 persen pada tahun 2010. Meskipun mengalami

penurunan proporsi pada tahun 2006, namun pertumbuhan belanja kesehatan tertinggi justru terjadi

pada tahun 2006. Pertumbuhan total belanja daerah yang sangat signifikan pada tahun 2006,

menyebabkan proporsi belanja kesehatan mengalami penurunan. Pada tahun 2011, proporsi belanja

kesehatan terhadap total belanja daerah sebesar 10,0 persen, menurun dibandingkan dengan tahun

sebelumnya.

Gambar 5.15. Total Belanja Kesehatan dan Total Belanja Daerah Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.

Total belanja kesehatan 2010, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja

pegawai. Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja di tingkat provinsi relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tingkat provinsi, proporsi belanja pegawai terhadap

658 839 1,218 1,378 1,530 1,739 1,625

8.010.3

14.015.3 14.8

16.7 16.3

8.2% 8.1%8.7% 9.0%

10.4% 10.4%10.0%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Proporsi B

elanja Kesehatan R

iilM

iliar

Rp

Total Belanja Kesehatan Riil Total Belanja Daerah Riil % Belanja Kesehatan Riil

89

89 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

45%

28%

27%

Kabupaten/Kota

Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa

Belanja Modal

total belanja kesehatan sebesar 48 persen, sedangkan untuk kabupaten/kota sebesar 45 persen.

Sebaliknya, proporsi belanja modal pada tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan tingkat provinsi, yaitu masing-masing sebesar 276 persen dan 20 persen.

Gambar 5.16. Perbandingan Komposisi Belanja Kesehatan Menurut Jenis Belanja Antara Provinsi dan

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.

5.2.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan

Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga

pelayanannya meningkat. Pada tahun 2005,

rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk

sebesar 2,2 dan kemudian meningkat menjadi

2,7 pada tahun 2009. Meski demikian,

terdapat sejumlah kabupaten/kota yang

justru menunjukkan penurunan, seperti

Kabupaten Maros, Luwu Timur, dan Kota

Pare-Pare.

Angka harapan hidup menunjukkan hasil

yang positif dari tahun ke tahun. Angka

harapan hidup Sulawesi Selatan bergerak dari

70,2 tahun pada tahun 2007 menjadi 70,8

tahun pada tahun 2010. Meskipun demikian,

angka ini masih sedikit lebih rendah dibanding

angka harapan hidup rata-rata nasional yang

Gambar 5.17. Jumlah Fasilitas Kesehatan dan Rasio

Tenaga Kesehatan per 10.000 Penduduk di Sulawesi

Selatan, 2005-2009

Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.

2.2 2.4 2.6 2.7 2.7

15 15.713.4 14.7

16.5

0

5

10

15

20

2005 2006 2007 2008 2009

Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk

Rasio Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk

48%

32%

20%

Provinsi

90

90 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

sudah mencapai 70,9 tahun pada tahun 2010.

Angka harapan hidup tergantung pada angka

kelahiran atau kematian bayi, dan angka

kematian pada kelompok umur. Hal ini

menunjukkan bahwa Angka harapan hidup

dipengaruhi oleh kebijakan saat ini (angka

kematian bayi, pelayanan kesehatan pada

masyarakat umum), dan kebijakan masa lalu

(bagi masyarakat yang sudah berusia lebih

dewasa). Maka itu peningkatan angka

harapan hidup menuntut keberlanjutan

pelayanan kesehatan, misalnya dalam

program perbaikan gizi masyarakat,

peningkatan pelayanan kesehatan lansia,

program pencegahan dan pemberantasan

penyakit, pelayanan terhadap ibu hamil dan

pasca melahirkan.

Angka Kematian Bayi (AKB) di Sulawesi

Selatan turun mengikuti tren nasional. Pada

tahun 2005, AKB mencatat angka 30 per 1.000 kelahiran hidup dan kemudian menurun menjadi 26,6 per

1.000 kelahiran hidup. Angka ini sesuai dengan kecenderungan angka nasional yang juga menurun.

Menurunnya AKB dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan adanya peningkatan dalam kualitas

hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meski demikian, capaian AKB tersebut masih jauh dari

target provinsi tahun 2013, yaitu 22 per 1.000 kelahiran hidup.

Gambar 5.19. Angka Kematian Bayi di Sulawesi Selatan, 2005-2009

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Gambar 5.18. Komparasi Angka Harapan Hidup di

Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010

Sumber: BPS.

28.9

28.2

27.5

26.8

26.2

30

29.1

28.2

27.4

26.6

24

25

26

27

28

29

30

31

2005 2006 2007 2008 2009

AK

B p

er 1

.000

kel

ahira

n hi

dup

Nasional Sulawesi Selatan

70.4

70.5

70.7

70.9

70.2

70.4

70.6

70.8

69.8

70.0

70.2

70.4

70.6

70.8

71.0

2007 2008 2009 2010Indonesia Sulsel

91

91 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Seperti halnya AKB, Angka Kematian Ibu (AKI) di

Sulawesi Selatan cenderung mengalami penurunan

selama periode 2006-2009. Jumlah kematian ibu

maternal yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2006

sebanyak 133 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian

meningkat menjadi 143 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 2007. Namun tahun 2008 jumlah kematian

ibu maternal mengalami penurunan menjadi 121

orang per 100.000 kelahiran hidup dan terus menurun

menjadi 118 orang per 100.000 kelahiran hidup pada

tahun 2009. Untuk memperbaiki capaian kinerja yang

terkait dengan AKB dan AKI, pemerintah daerah telah

mengimplementasikan program peningkatan

keselamatan ibu melahirkan dan anak serta program

peningkatan pelayanan kesehatan bayi dan anak.

Kedua program tersebut telah diimplementasikan

secara konsisten sejak tahun 2008 hingga 2010, dan

direncanakan akan tetap dilanjutkan hingga tahun 2013. Ini mudah dipahami mengingat kinerja AKB dan

AKI hinga saat ini masih jauh dari target dan tetap menjadi prioritas secara nasional.

Sulawesi Selatan masih harus mengejar

ketertinggalan pada beberapa cakupan

kesehatan dasar. Data Susenas tahun 2009

menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dan

cakupan kelahiran yang dibantu tenaga medis

di Sulawesi Selatan lebih rendah daripada

angka nasional. Hal ini sebanding dengan lebih

besarnya Angka Kematian Bayi di Sulawesi

Selatan dibanding rata-rata nasional. Kelahiran

yang dibantu tenaga medis masih jauh di

bawah angka nasional, meskipun Angka

Kematian Ibu Sulawesi Selatan lebih kecil dari

angka nasional. Ini menunjukkan bahwa peran

penyedia kesehatan non medis cukup vital dan

bisa menjadi salah satu target program

kesehatan.

Angka gizi buruk Sulawesi Selatan tidak membaik. Menurut hasil Riset Dasar Kesehatan 2007,

prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan sebesar 5,1 persen, lebih kecil dari rata-rata nasional sebesar

5,4 persen. Tetapi pada tahun 2010, Riset yang sama justru menunjukkan prevalensi gizi buruk Sulawesi

Selatan meningkat menjadi 6,4 persen, sementara rata-rata nasional turun menjadi 4,9 persen.

Gambar 5.20. Angka Kematian Ibu di

Sulawesi Selatan, Tahun 2005-2009 per

100.000 Penduduk

Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan 2009.

Tabel 5.6. Capaian Indikator Dasar Kesehatan di

Sulawesi Tahun 2009

Provinsi Cakupan imunisasi

(%)

Kelahiran dibantu

tenaga medis (%)

Morbiditas (%)

Sulawesi Utara 79% 76% 36%

Sulawesi Tengah 73% 46% 38%

Sulawesi Selatan 76% 59% 32%

Sulawesi Tenggara 77% 36% 36%

Gorontalo 75% 37% 48%

Sulawesi Barat 68% 29% 38%

Indonesia 77% 65% 34%

Sumber: Estimasi staf Bank Dunia dari Susenas 2009.

133143

121 118

0

20

40

60

80

100

120

140

160

2006 2007 2008 2009

92

92 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Peningkatan prevalensi gizi buruk dan kurang dibarengi penurunan prevalensi gizi baik dan lebih, ini

berarti terjadi penurunan kualitas kesehatan pada balita dan ibu. Meski demikian, angka tersebut lebih

rendah dari target pencapaian program perbaikan gizi nasional sebesar 20 persen pada tahun 2015.

Dibandingkan dengan rata-rata

pengeluaran rumah tangga untuk

pendidikan, kesenjangan pengeluaran

rumah tangga untuk kesehatan antar

kelompok pendapatan tampak lebih

buruk. Pada tahun 2005, kelompok

rumah tangga terkaya mengeluarkan

anggaran untuk kesehatan hampir tujuh

kali lipat (Rp. 499 ribu) dari kelompok

rumah tangga termiskin (Rp. 77 ribu).

Meskipun rasio tersebut membaik pada

tahun 2009, namun kesenjangannya

masih berada di atas enam kali lipat antara kelompok rumah tangga terkaya (Rp. 821 ribu) dengan

kelompok rumah tangga termiskin (Rp. 135 ribu).

5.2.3 Analisis Kabupaten/Kota

Secara rata-rata, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan mengalokasikan sekitar sepersepuluh belanja

daerahnya untuk sektor kesehatan. Belanja kesehatan per kapita Kabupaten Enrekang adalah yang

tertinggi (Rp. 748 ribu), sedangkan Kota Makassar memiliki belanja terkecil (Rp. 80 ribu). Seperti halnya

belanja pendidikan per kapita, daerah yang memiliki belanja kesehatan per kapita terkecil adalah daerah

yang memiliki populasi terbesar. Sementara daerah yang belanja kesehatan per kapitanya tinggi juga

memiliki belanja pendidikan tinggi antara lain Enrekang, Parepare, dan Palopo.

Gambar 5.21. Belanja kesehatan riil per kapita menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011.

Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

748

80100200300400500600700800

Rib

u R

p

Tabel 5.7. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk

Kesehatan Menurut Kelompok Pendapatan di Sulawesi

Selatan, 2005-2009

Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

2005 77,861 107,104 149,180 208,532 499,397

2006 90,758 116,334 143,190 210,063 333,290

2007 129,661 172,169 211,995 291,100 415,186

2008 105,964 328,486 120,837 179,111 299,047

2009 135,062 188,045 262,035 378,445 821,782

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

93

93 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Proporsi belanja kesehatan menurut klasifikasi ekonomi sangat bervariasi antar kabupaten/kota.

Kabupaten Enrekang menunjukkan gambaran yang agak ekstrim, di mana proporsi belanja pegawai

terhadap total belanja kesehatan hanya sebesar 14 persen, sedangkan proporsi belanja modal mencapai

74 persen. Sebaliknya, Kabupaten Maros mengalokasikan 68 persen untuk belanja pegawai dan hanya

10 persen untuk belanja modal. Secara rata-rata, kabupaten/kota membelanjakan 47 persen dari total

belanja kesehatannya untuk belanja pegawai, dan masing-masing 28 persen dan 1726,99 persen untuk

belanja barang dan jasa serta belanja modal.

Gambar 5.22. Belanja Kesehatan Menurut Klasifikasi Ekonomi di Kabupaten/Kota di Sulawesi

Selatan, 2010

Sumber: diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga kesehatan

justru terkonsentrasi di perkotaan. Kabupaten yang secara geografis terletak jauh dari pusat provinsi

seperti Selayar, Enrekang, dan Luwu memiliki rasio fasilitas kesehatan yang jauh lebih baik dari daerah

perkotaan. Belanja kesehatan per kapita Enrekang adalah yang tertinggi di provinsi. Dan Selayar sebagai

kabupaten yang memiliki APBD relatif kecil, belanja kesehatan per kapitanya adalah terbesar ketujuh.

Meski demikian, tenaga kesehatan lebih terkonsentrasi di perkotaan seperti Makassar, Parepare, dan

Palopo. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena akan mengakibatkan banyak

fasilitas kesehatan di daerah tidak berjalan maksimal.

65%

42%35%

57% 59%

43%35% 33%

47% 48%

68%61%

35%46%

53% 51%43%

63%

14%

44%

60%

36%42%

30%

44%

30%

23% 24%42%

18% 23%

44%

10%

22%

21%

28%

46% 27%25%

30%

29%

12%

17%

24%

45% 30%

5%14%

35%

20% 18% 14%

47% 43%

9%

43%

10%18%

37%

8%20% 24% 27%

9%

74%

39%

17% 19%28%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan Jasa % Belanja Modal

94

94 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Tabel 5.8. Fasilitas Kesehatan per 10.000 Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan,

2005-2009

Kab./Kota Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk Tenaga Kesehatan per 10.000 penduduk

2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009

Selayar 5,8 6,4 6,6 8,2 7,1 22,7 20,7 18,4 16,2 21,8

Bulukumba 2,1 2,5 2,5 2,5 2,4 12,5 16,1 10,8 8,5 11,0

Bantaeng 2,7 2,8 2,8 4,3 2,7 7,4 4,9 10,5 10,1 10,6

Jeneponto 2,0 2,4 2,6 2,7 2,7 7,4 6,2 8,3 8,2 9,8

Takalar 1,1 3,0 3,9 3,2 2,9 8,1 13,8 12,0 11,7 9,7

Gowa 1,5 1,5 2,5 2,7 2,8 8,5 11,10 8,1 8,2 8,9

Sinjai 3,0 3,2 3,5 4,3 4,1 11,5 9,4 14,3 13,8 18,2

Maros 1,7 2,1 2,3 2,1 0,5 11,6 15,0 12,7 12,5 10,4

Pangkep 3,3 3,1 3,1 3,6 3,3 14,9 17,2 17,7 8,1 10,3

Barru 3,3 3,0 3,2 3,2 3,4 13,9 15,1 18,5 18,1 17,3

Bone 0,5 2,0 2,0 2,1 2,1 9,0 2,6 3,8 5,1 6,7

Soppeng 3,4 3,4 3,5 3,7 3,5 21,0 19,8 11,0 11,0 11,8

Wajo 1,1 2,4 2,8 2,6 2,6 6,5 9,4 11,0 10,7 12,1

Sidrap 2,2 2,6 2,7 2,8 2,9 12,6 9,7 13,2 12,9 15,4

Pinrang 2,1 2,3 2,4 2,3 2,3 10,6 9,8 12,1 11,7 8,9

Enrekang 3,6 4,5 4,3 4,6 5,1 15,5 14,4 13,7 15,3 15,8

Luwu 3,5 3,4 4,2 4,2 4,4 12,8 12,3 17,6 16,8 16,4

Tana Toraja 2,1 2,5 2,8 2,8 3,6 26,2 12,3 16,1 15,4 12,9

Luwu Utara 2,3 2,6 3,4 2,9 2,7 8,5 8,4 12,6 14,0 14,3

Luwu Timur 3,3 3,7 3,8 2,9 3,0 18,2 9,8 13,5 13,1 18,7

Makassar 0,5 0,7 0,9 1,1 1,2 24,0 17,4 17,3 28,1 34,0

Pare-Pare 2,7 2,7 3,1 3,1 2,3 55,8 44,8 42,3 41,4 53,4

Palopo 2,1 2,8 3,2 3,0 3,0 23,0 22,3 35,1 27,5 35,6

Sulawesi Selatan

2,2 2,4 2,6 2,7 2,7 15,0 15,7 13,4 14,7 16,5

Sumber: BPS, Indikator Sosial Sulawesi Selatan 2009.

Beberapa daerah menunjukkan belanja kesehatan rumah tangga yang senjang. Kabupaten Selayar

menunjukkan kesenjangan paling tajam, dimana kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5)

mengeluarkan anggaran hampir 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga

termiskin (kuintil 1). Sebaliknya, Kabupaten Soppeng menunjukkan kesenjangan paling rendah, dimana

kelompok rumah tangga terkaya (kuintil 5) hanya mengeluarkan anggaran sekitar 2,5 kali lipat lebih

besar dibandingkan dengan kelompok rumah tangga termiskin (kuintil 1).

95

95 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Tabel 5.9. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menurut kelompok pendapatan

di kabupaten/kota Sulawesi Selatan, 2009

Kabupaten/Kota Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5

Selayar 76,098 90,874 111,926 248,136 725,584

Bulukumba 152,112 199,400 227,487 275,605 433,303

Bantaeng 140,107 176,958 230,406 315,515 807,084

Jeneponto 191,707 214,977 269,762 427,717 639,682

Takalar 165,730 215,541 220,540 308,226 1,211,007

Gowa 151,846 113,340 177,872 261,847 790,962

Sinjai 137,360 184,102 187,159 250,304 620,704

Maros 196,792 161,256 233,804 523,026 1,071,891

Pangkep 87,451 124,343 250,478 201,586 483,683

Barru 157,897 185,438 218,673 438,951 511,918

Bone 92,768 162,449 265,455 427,628 629,321

Soppeng 189,505 152,102 290,997 414,637 464,969

Wajo 163,936 167,786 208,154 273,885 646,352

Sidrap 124,112 230,484 262,937 351,282 904,743

Pinrang 203,772 223,237 358,075 419,570 834,250

Enrekang 108,845 124,336 232,425 292,739 651,948

Luwu 154,398 280,623 263,922 412,087 903,293

Tana Toraja 112,971 242,173 300,281 369,004 489,921

Luwu Utara 138,789 172,957 192,371 327,009 722,036

Luwu Timur 134,259 193,999 153,386 300,351 545,046

Makassar 100,298 136,026 261,099 343,627 858,646

Pare-Pare 110,398 223,668 206,721 271,249 654,285

Palopo 158,214 243,949 370,756 424,737 1,041,336

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

5.2.4 Kebijakan Kesehatan Gratis

Anggaran provinsi yang dialokasikan untuk kesehatan gratis meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya

alokasi kesehatan gratis karena semua yang sakit maupun tidak sakit, ada kesiapan dananya.

Tanggungan premi asuransi kesehatan sebesar Rp 5.000 per jiwa setiap bulan. Program kesehatan gratis

dengan sistem premi menanggung sekitar 4,8 juta jiwa penduduk Sulawesi Selatan dengan total

anggaran dari Pemerintah Sulawesi Selatan sekitar Rp 175 miliar. Pada tahun 2008, anggaran kesehatan

gratis sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah provinsi yaitu sebesar Rp 81,7 miliar. Sejak tahun 2009,

baik provinsi maupun kabupaten/kota sudah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan gratis sesuai

dengan nota kesepahaman antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun

2009, pemerintah provinsi menanggung Rp 93,5 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota

menanggung Rp 45,6 miliar. Pada tahun 2010, pemerintah provinsi menganggarkan Rp 103,3 miliar,

sedangkan pemerintah kabupaten/kota menganggarkan Rp 63,9 miliar. Pada tahun 2011, pemerintah

96

96 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

provinsi mengalokasikan Rp 174 miliar, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Rp

170,7 miliar.

Tabel 5.10. Alokasi Anggaran Bantuan Pelayanan Kesehatan Gratis untuk Kabupaten/Kota di

Sulawesi Selatan, 2009-2011

No. Kabupaten/Kota Alokasi Anggaran/Tahun

2009 2010 2011

1 Rumah Sakit Provinsi 45.260.516.410 59.498.260.476 61.001.301.171 2 Makassar 5.186.759.500 6.189.696.000 15.474.240.000 3 Gowa 2.176.773.500 2.866.272.000 7.312.344.000 4 Takalar 1.012.103.500 1.203.091.200 2.783.232.000 5 Jeneponto 887.323.500 1.035.878.400 2.641.344.000 6 Bantaeng 576.223.500 722.073.600 2.203.464.000 7 Bulukumba 2.285.242.000 2.637.235.200 6.678.480.000 8 Selayar 547.578.500 691.324.800 1.734.432.000 9 Sinjai 1.186.557.500 1.366.876.800 4.106.688.000

10 Bone 4.331.455.500 4.967.116.800 12.397.176.000 11 Wajo 2.307.571.500 2.610.883.200 6.574.776.000 12 Soppeng 1.479.612.000 1.641.513.600 4.126.440.000 13 Sidrap 1.393.354.000 1.529.779.200 4.544.568.000 14 Enrekang 966.050.500 1.351.843.200 3.465.792.000 15 Tana Toraja 1.789.020.500 1.259.404.800 3.303.072.000 16 Luwu 1.008.202.000 1.382.025.600 3.361.248.000 17 Palopo 480.037.500 626.661.200 1.630.680.000 18 Luwu Utara 1.429.045.500 1.960.166.400 5.115.408.000 19 Luwu Timur 1.135.472.500 1.652.342.400 4.076.976.000 20 Maros 1.598.382.500 1.831.785.600 4.579.464.000 21 Pangkep 1.357.543.500 1.541.145.600 4.506.240.000 22 Barru 833.918.000 942.432.000 2.824.200.000 23 Pare-Pare 611.813.000 667.891.200 2.026.920.000 24 Pinrang 1.953.895.000 2.309.260.800 5.773.200.000

Sumber: Lampiran Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No.2706/VII/2008.

Sejak kebijakan kesehatan gratis diimplementasikan pada tahun 2008, terdapat beberapa tantangan

pada konsep dan pelaksanaannya. Aturan pembagian beban anggaran kesehatan gratis, dimana

provinsi menanggung 40 persen dan kabupaten/kota 60 persen, dianggap memberatkan keuangan

daerah kabupaten/kota. Diusulkan agar pembagian tersebut dibalik mengingat kebijakan ini merupakan

inisiatif pemerintah provinsi. Selain itu, kebijakan kesehatan gratis lebih menekankan pada pemberian

layanan kesehatan dan pengobatan penyakit sehingga kebijakan ini tidak berkontribusi secara signifikan

terhadap perbaikan kinerja keluaran dan kinerja hasil sektor kesehatan. Kebijakan ini juga lebih bersifat

jangka pendek karena tidak menyentuh investasi kesehatan dalam jangka panjang seperti imunisasi, gizi,

kesehatan lingkungan, dan air bersih. Pada sisi implementasinya, kebijakan ini lebih mengedepankan

pada ketersediaan layanan pengobatan dan bukan pada peningkatan akses masyarakat terhadap

layanan kesehatan. Dalam banyak kasus, masyakarat seringkali mengalami kesulitan untuk mengakses

layanan kesehatan karena keterbatasan informasi dan lokasi tempat tinggal yang terisolir. Selain itu,

perbedaan wilayah domisili dan wilayah rujukan seringkali menimbulkan masalah karena menyangkut

kewenangan pembiayaan pasien.

97

97 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Kotak 5.4: Kebijakan Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan

Implementasi kebijakan kesehatan gratis di Sulawesi Selatan berpedoman pada Peraturan Daerah No. 2 Tahun

2009 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Gratis. Peraturan Daerah ini kemudian

ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan

Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan. Di dalam berbagai peraturan tersebut disebutkan bahwa kebijakan

kesehatan gratis memiliki tujuan yang dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan

kesehatan gratis adalah meningkatnya akses pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh

penduduk Sulawesi Selatan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efisien dan

efektif. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) membantu meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan

pelayanan kesehatan; (2) meningkatnya cakupan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di

puskesmas serta jaringannya dan di rumah sakit milik pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi; (3)

meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; (4) meningkatnya pemerataan

kesehatan bagi masyarakat Sulawesi Selatan; dan (5) terselenggaranya pembiayaan pelayanan kesehatan

masyarakat dengan pola jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan.

Program pelaksanaan kesehatan gratis menggunakan metode resource sharing antara pemerintah provinsi

dengan kabupaten/kota. Resource sharing dimaksud terkait dengan alokasi anggaran untuk masing-masing

provinsi dan kabupaten/kota dimana pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk program tersebut sebesar

40 persen dan 60 persen disiapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Di dalam Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelayanan Kesehatan Gratis tertuang jenis layanan yang

digratiskan. Adapun jenis layanan yang digratiskan pada tingkat Puskesmas antara lain: (1) Kegiatan rawat jalan

tingkat pertama (RJTP) yang terbagai dalam delapan item; (2) Rawat inap tingkat pertama (RITP) yang terbagi

dalam enam item; (3) Pelayanan gawat darurat; (4) Pelayanan luar gedung yang dilaksanakan puskesmas; dan (5)

Operasional dan majemen puskesmas. Sedangkan layanan kesehatan di rumah sakit/balai kesehatan terdiri atas:

(1) Rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL); (2) Rawat inap tingkat lanjutan (RITL); dan (3) Pelayanan gawat darurat.

Namun demikian ada pelayanan-pelayanan tertentu yang tidak ditanggung dengan layanan gratis seperti: operasi

jantung, katerisasi jantung, pemasangan cincing jantung, CT Scan dan MRI, cuci darah, bedah syaraf, bedah

plastik, penyakit kelamin dan penyakit akibat hubungan seksual serta alat bantu kesehatan.

5.2.5 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan Angka Kematian Ibu

dan Bayi masih lebih tinggi. Untuk mencapai target Angka Harapan Hidup 73,7 tahun dan Angka

Kematian Bayi 20 per 1.000 kelahiran. Direkomendasikan untuk melakukan (i) sosialisasi secara

intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi pada balita; (ii) penanganan

secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang terbanyak jumlah

balita yang menderita gizi buruk; (iii) pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan

pasca melahirkan antara di perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan

buruh; dan (iv) sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan

suami.

98

98 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

� Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai 10 persen per

tahun. Jika dilihat dari komposisi belanja kesehatan, belanja pegawai masih mendominasi total

belanja kesehatan, dibandingkan dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Oleh karena

itu, untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik di masa yang akan datang, proprosi belanja

kesehatan terhadap total belanja daerah perlu dinaikkan serta mengupayakan proporsi yang lebih

seimbang antara belanja pegawai dengan belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja

kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan, tetapi juga

program yang bersifat pencegahan.

� Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan Gratis. Khususnya pada

pembiayaan pasien yang lintas batas karena kendala geografis, disamping itu masih beragamnya

pembiayaan jasa layanan pada masing-masing kabupaten/kota. Oleh karena itu, perlu diciptakan

suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota. Selain itu

perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis yang berlaku untuk

seluruh kabupaten/kota.

� Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten, sementara tenaga

kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan. Beberapa daerah seperti Maros, Pare-pare, dan

Luwu Timur mengalami penurunan rasio fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi kesenjangan tenaga

kesehatan, direkomendasikan untuk mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan.

Serta memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.

99

99 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.3 Analisis Sektor Infrastruktur

Sulawesi Selatan memiliki tingkat aksesibilitas yang baik di Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur

Indonesia. Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Saat ini melayani hampir semua jalur

penerbangan udara yang menuju dan dari kawasan timur Indonesia., selain rute internasional ke Kuala

Lumpur, Singapura, dan menjadi embarkasi haji. Transportasi laut di Sulawesi Selatan didukung oleh

Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta di Kota Makassar dan Pelabuhan Laut Nusantara di Kota Pare-Pare.

Pelabuhan di Kota Makassar, secara turun temurun telah menjadi pelabuhan utama arus barang di

kawasan timur Indonesia. Kota Makassar dan banyak daerah lainnya terhubung dengan lintas jalan Trans

Sulawesi.

Infrastruktur dasar dan jalan masih menjadi tantangan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan.

Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar yakni air bersih, sanitasi yang layak dan listrik meskipun

menunjukkan posisi relatif yang cukup baik di Pulau Sulawesi, namun capaiannya masih berada di bawah

angka rata-rata nasional. Untuk infrastruktur jalan, lebih dari sepertiga dalam kondisi rusak ringan dan

berat, serta jalan dengan kondisi moderat menunjukkan proporsi yang terus menurun. Untuk jaringan

irigasi, perbandingan antara cakupan saluran irigasi dengan luas lahan sawah cenderung menurun

meskipun secara absolut lahan sawah yang dialiri cenderung meningkat.

Pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan diarahkan untuk mendukung terwujudnya dua

agenda pembangunan daerah yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan Tahun 2008-2013. Agenda tersebut adalah perwujudan keunggulan

lokal untuk memacu laju pertumbuhan perekonomian dan agenda perwujudan Sulawesi Selatan

sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan. Kedua agenda tersebut memandatkan kebijakan

pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan bertumpu pada pengembangan dan pemeliharaan

infrastruktur wilayah (transportasi udara, laut, dan darat), peningkatan kualitas sarana dan prasarana

wilayah (air bersih, listrik, dan telekomunikasi), dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan

(jaringan irigasi).

5.3.1 Belanja Sektor Infrastruktur

Belanja sektor infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat selama periode

2005-2010. Peningkatan ini paralel dengan peningkatan total belanja daerah yang juga meningkat lebih

dari dua kali lipat. Secara riil, belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan meningkat dari Rp 1.0 triliun

tahun 2005 menjadi Rp 2,1 triliun tahun 2010. Tetapi proporsinya terhadap total belanja daerah hanya

meningkat pada tahun 2005 sampai pada tahun 2009, pada APBD Perubahan 2010 dan APBD Rencana

2011, proporsi belanja infrastruktur turun menjadi 15 persen dan 13 persen. Pembangunan Bandara

Internasional Sultan Hasanuddin yang selesai pada tahun 2008 merupakan sumber pembelanjaan

infrastruktur yang besar di Sulawesi Selatan.

100

100 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.23. Total Belanja Sektor Infrastruktur dan Total Belanja Daerah di Sulawesi Selatan, 2005-

2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.

Komposisi belanja sektor infrastruktur didominasi belanja modal. Belanja modal sektor cenderung

meningkat selama periode 2005-2010. Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur

mencapai 64 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 73 persen pada tahun 2010. Sebaliknya,

proporsi belanja pegawai terhadap total belanja infrastruktur hanya sebesar 15 persen pada tahun 2005

berfluktuasi sampai juga menjadi 15 persen pada tahun 2010. Karakteristik belanja sektor infrastruktur

yang lebih menekankan pada pembangunan fisik menjadi alasan utama mengapa belanja modal

mendominasi struktur belanja sektor infrastruktur.

1.01.7

2.5 2.7 2.7 2.5 2.18.0

10.3

14.015.3 14.8

16.7 16.3

13%

17% 18% 18%18%

15%

13%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

18%

20%

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Proporsi B

elanja Riil dengan B

elanja Daerah

Trl

iun

Rp

Belanja Infrastruktur Riil Belanja Daerah Riil % Belanja Infrastruktur

101

101 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.24. Belanja Sektor Infrastruktur Menurut Klasifikasi Ekonomi di Sulawesi Selatan, 2005-

2011

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2007-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.

Total belanja infrastruktur, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh belanja modal.

Proporsi belanja modal terhadap total belanja infrastruktur di tingkat kabupaten/kota relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2010, di tingkat kabupaten/kota, proporsi

belanja modal terhadap total belanja infrastruktur mencapai 82 persen, sedangkan untuk tingkat

provinsi hanya sebesar 60 persen. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai pada tingkat provinsi relatif

lebih tinggi dibanding tingkat kabupaten/kota, yaitu masing-masing sebesar 23 persen dan 10 persen.

Gambar 5.25. Belanja Infrastruktur di Sulawesi Selatan Tahun 2010 Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD Perubahan.

15% 12% 10% 10% 11% 12%15%

21%18%

8% 8% 9% 9%12%

64%70%

82% 82% 80% 79%73%

157 215 239 280 298 291 309211

310209 225 252 231 239

.7

1.2

2.02.2 2.2

1.9

1.5

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

.0

.5

1.0

1.5

2.0

2.5

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Tril

iun

Rp

% Belanja Pegawai % Belanja Barang dan Jasa % Belanja Modal

Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal

10%

8%

82%

Kabupaten/kota

Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal

23%

17%60%

Provinsi

102

102 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.3.2 Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur

Selama periode 2005-2010, penggunaan moda transportasi udara untuk pergerakan manusia dan

barang menunjukkan peningkatan. Dari data publikasi BPS, frekuensi penerbangan meningkat lebih dari

50 persen selama periode 2005-2010. Hal ini mendorong peningkatan jumlah penumpang yang datang

dan berangkat meningkat masing-masing 66,39 persen dan 91,93 persen selama periode yang sama.

Volume bongkar muat barang juga menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan yang

cukup besar pada arus penumpang dan barang terlihat untuk pada tahun 2010. Peningkatan ini terjadi

memasuki tahun kedua pengoperasian Bandar Udara Sultan Hasanuddin yang baru.

Penumpang pengguna transportasi laut cenderung menurun, sementara arus bongkar barang semakin

jauh melebihi arus muat. Selama periode 2005-2008, jumlah penumpang yang naik maupun yang turun

meningkat masing-masing 29,45 persen dan 10,46 persen. Namun sejak 2008, jumlah penumpang, baik

yang naik maupun turun, menunjukkan penurunan. Berbeda dengan gambaran jumlah penumpang,

volume bongkar barang, baik dalam dalam negeri maupun luar negeri, justru menunjukkan peningkatan

selama periode 2005-2010. Sebaliknya, volume muat barang, baik dalam dalam negeri maupun luar

negeri, justru menunjukkan penurunan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pintu keluar produk

komoditas di Sulawesi Selatan yang mayoritas berupa hasil pertanian atau perikanan tidak hanya melalui

pelabuhan di Makassar. Sementara pertumbuhan ekonomi menciptakan permintaan terhadap barang-

barang konsumsi yang masuk dari luar. Selain itu, perkembangan Bandar Udara Sultan Hasanuddin

memberikan pilihan lain bagi arus barang dan terutama arus penumpang.

Tabel 5.11. Frekuensi Penerbangan, Jumlah Penumpang, dan Barang yang Melalui Bandar Udara

Sultan Hasanuddin Meningkat

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pesawat Berangkat (Unit) 21,214 22,441 24,247 24,533 24,425 31,938

Pesawat Datang (Unit) 21,080 22,419 24,257 24,536 24,448 31,942

Penumpang Berangkat (Orang) 1,389,117 1,421,248 1,514,914 1,579,822 1,781,443 2,311,308

Penumpang Datang (Orang) 1,323,435 1,509,649 1,646,318 1,751,558 1,865,029 2,540,030

Penumpang Transit (Orang) 931,501 1,076,823 1,299,969 1,320,518 1,268,287 1,609,080

Bongkar Bagasi (Ton) 16,667 19,030 20,085 20,685 21,932 43,976

Bongkat Kargo (Ton) 16,069 16,398 16,550 17,934 18,513 32,064

Muat Bagasi (Ton) 14,417 30,197 32,918 17,558 19,806 27,749

Muat Kargo (Ton) 14,952 25,684 26,313 14,435 13,586 22,040

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

103

103 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.26. Jumlah Penumpang dan barang yang Melalui Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

Perkembangan ruas jalan terjadi di kabupaten/kota. Panjang jalan kabupaten/kota menujukkan

peningkatan yang paling pesat dibandingkan dengan panjang jalan provinsi dan jalan negara. Selama

periode 2007-2010, panjang jalan kabupaten/kota meningkat 38 persen per tahun, sementara panjang

jalan provinsi dan jalan negara tidak mengalami peningkatan berarti. Ini menunjukkan sisi positif dari

desentralisasi di mana kabupaten dan kota lebih berinisiatif untuk meningkatkan akses darat.

Gambar 5.27. Perbandingan Ketersediaan Prasarana Jalan di Sulawesi Selatan, 2007 dan 2010

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

426 418 410 552 511 403348 324 359 384 365 313

1.5 1.6

1.3

0.9

0.7

0.8

0.9

0.3

0

100

200

300

400

500

600

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ribu O

rangJuta

Ton

Penumpang Naik Penumpang Turun Bongkar Dalam Negeri

Muat Dalam Negeri Bongkar Luar Negeri Muat Dalam Negeri

1,555 1,209

21,501

1,556 1,260

29,616

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

Negara Propinsi Kabupaten/Kota

Pan

jang

Jal

an (

Km

)

2007

2010

104

104 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Meski demikian, kualitas jalan yang telah ada belum diperhatikan. Secara rata-rata, lebih setengah dari

seluruh panjang jalan di Sulawesi Selatan berada dalam kondisi baik. Namun demikian proporsi panjang

jalan dalam kondisi rusak (rusak berat dan ringan) juga meningkat. Pada tahun 2005 hanya ada 13

persen jalan berkategori rusak, enam tahun kemudian sudah menjadi 34 persen. Pada tahun 2010,

proporsi panjang jalan dalam kondisi rusak sudah mencapai 21 persen, yang berarti bahwa setiap 5

kilometer jalan di Sulawesi Selatan, 1 kilometer diantaranya rusak berat. Meskipun setiap tahun

anggaran infrastruktur meningkat, tetapi upaya perbaikan dan pemeliharaan jalan belum sebanding.

Gambar 5.28. Proporsi panjang dan kondisi jaringan jalan di Sulawesi Selatan, 2005-2010

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

Akses penduduk terhadap infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi

lain di Sulawesi. Cakupan air bersih di Sulawesi Selatan (45 persen) termasuk yang terbaik di Sulawesi.

Berdasarkan data BPS, volume air bersih yang disalurkan sebesar 64 juta meter kubik di tahun 2009.

Akses ke sanitasi (71 persen) dan listrik (90 persen) juga termasuk yang terbaik di Sulawesi. Walaupun

jika dibandingkan dengan rata-rata nasional angkanya masih lebih rendah. Dihitung dari tahun 2005,

daya listrik tersambung meningkat rata-rata 4,5 persen per tahun, dan pada tahun 2009 daya yang

tersambung sebesar 1,6 miliar Volt Ampere (VA). Pertumbuhan ini mengindikasikan dampak dari

pertumbuhan penduduk dan ekonomi di Sulawesi Selatan yang meningkatkan penggunaan pada barang-

barang bertenaga listrik.

37 3624 26

13 13

5 7 2019

13 13

8 816 11

21 21

50 4840 44

53 53

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Per

sen

Baik

Rusak Berat

Rusak Ringan

Moderat

105

105 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.29. Capaian Indikator Infrastruktur Dasar di Pulau Sulawesi, 2009

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

Dari 17 persen rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi Sulawesi Selatan, akses terhadap

infrastruktur khususnya air bersih perlu mendapat perhatian lebih karena mengalami kecenderungan

menurun dalam 5 tahun terakhir. Sementara itu akses rumah tangga yang dikepalai perempuan

terhadap fasilitas sanitasi dan listrik, meski berfluktuasi, mengalami kecenderungan meningkat.

Fluktuasi angka akses perempuan terhadap infrastruktur dasar ini bisa disebabkan oleh beberapa hal,

diantaranya naik-turunnya jumlah belanja modal pemerintah, pemekaran wilayah yang membuat

pelayanan pada masyarakat di beberapa lokasi menjadi tidak optimal atau perpindahan status kepala

rumah tangga dari perempuan ke laki-laki.

Gambar 5.30. Akses Perempuan Terhadap Air Bersih, Sanitasi dan Listrik di Sulawesi Selatan

Sumber: Data Olahan Bank Dunia dari Susenas.

71.5%

60.9%

36.8%

45.7%

52.4%

67.4%70.3% 70.8% 71.4%

78.2%

84.6% 85.3%

94.9%91.0% 90.7%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

Air Bersih

Sanitasi

Listrik

45

33

45

3426 26

43

83

6271

6657 59

79

96

76

90

79 7885

93

0

20

40

60

80

100

120

Per

sen

Akses air bersih

Sanitasi Layak

Akses listrik

106

106 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Akses terhadap air bersih yang bisa dinikmati rumah tangga yang dikepalai perempuan di provinsi

Sulawesi Selatan menurun signifikan khususnya di tahun 2008. Akses perempuan terhadap air bersih di

tahun 2006 sebesar 71 persen, menurun drastis di tahun 2008, mencapai 37 persen atau berkurang 44

persen dari angka awal. Angka ini kemudian meningkat lagi di tahun 2009 dan 2010, menjadi 46 persen

dan 52 persen. Namun bila dibandingkan dengan tahun 2006, akses air bersih perempuan di tahun 2010

menurun sekitar 19 persen. Akses terhadap air bersih dalam Susenas sangat dipengaruhi oleh

ketersediaan air pipa atau lokasi sumber air tanah dengan bak penampungan kotoran. Jika rumah

tangga berada di lokasi yang padat penduduk maka dapat diperkirakan bahwa sumber air tanah tidak

memenuhi syarat air bersih

Sementara itu, akses perempuan terhadap sanitasi cenderung mengalami peningkatan dalam lima

tahun terakhir. Pada tahun 2006, akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap infrastruktur

sanitasi adalah sebesar 67 persen. Angka ini kemudian meningkat di tahun 2007 menjadi 70 persen, dan

kemudian hanya bergerak kurang dari satu persen di tahun-tahun berikutnya, yaitu 71 persen di 2008

dan 71 persen di tahun 2009. Baru kemudian angka ini mengalami lonjakan cukup signifikan menjadi 78

persen di tahun 2010.

Seperti halnya akses terhadap infrastruktus dasar lain, akses perempuan terhadap listrik di provinsi

Sulawesi Selatan juga mengalami fluktuasi, namun trennya cenderung meningkat dalam 5 tahun

terakhir. Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap penggunaan listrik di tahun 2006

sebesar 85 persen. Angka ini terus meningkat, dengan peningkatan tertinggi terjadi di tahun 2008

sebesar 95 persen. Tahun 2009 dan 2010, angka akses perempuan terhadap infrastruktur cenderung

menurun, yaitu menjadi 91 persen di tahun 2009 dan 2010, namun angka ini masih lebih tinggi dari

angka di tahun 2006.

Jaringan irigasi berdampak pada produktifitas lahan sawah. Rasio jaringan irigasi pada lahan sawah di

tahun 2006 sebesar 46 persen, meningkat sedikit menjadi 47 persen di tahun 2010. Terlihat bahwa tren

produktifitas lahan sawah teririgasi mengikuti pola rasio jaringan irigasi. Ini menunjukkan pentingnya

menambah jaringan irigasi pada lahan persawahan untuk meningkatkan produksi beras. Ke depannya,

data ini dapat dijadikan masukan untuk kebijakan di bidang pertanian padi, bahwa peningkatan kualitas

lahan persawahan yang sudah ada, dengan menambah jaringan irigasi, terbukti meningkatkan

produktivitas. Di samping pilihan kebijakan memperluas lahan persawahan (ekstensifikasi).

107

107 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.31. Sawah Irigasi di Sulawesi Selatan, 2006-2010

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

Ada peningkatan kualitas infrastruktur irigasi di Sulawesi Selatan. Meskipun rasio jaringan irigasi

menunjukkan penurunan, namun luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi menunjukkan peningkatan.

Luas lahan sawah yang dialiri saluran irigasi sederhana pada tahun 2007 seluas 51 ribu hektar, turun

menjadi 43 ribu hektar di tahun 2010. Sementara itu lahan yang dialiri irigasi semi teknis meningkat dari

60 ribu hektar menjadi 73 ribu hektar. Secara keseluruhan, luas lahan yang dialiri irigasi meningkat

sekitar 6 ribu hektar. Jika dibandingkan dengan data cakupan irigasi yang menurun, ini berarti terjadi

penambahan lahan persawahan yang tidak tercakup irigasi.

Gambar 5.32. Luas Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Irigasi di Sulawesi Selatan, 2007-2011

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

46.0 46.1 46.1

47.046.8

4.65 4.69 4.73

4.895.03

4.95

4

5

6

40

42

44

46

48

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ton/H

aPer

sen

Rasio Jaringan Irigasi (%) Tingkat Produktifitas Lahan Sawah Irigasi (Ton/Ha)

153,803 154,423 154,023 156,081

60,299 64,366 74,030 72,820

51,675 49,485 43,347 43,553

0

50,000

100,000

150,000

200,000

2007 2008 2009 2010

Hek

tar Irigasi Teknis

Irigasi Semi Teknis

Irigasi Sederhana

108

108 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.3.3 Analisis Kabupaten/Kota

Belanja infrastruktur per kapita Kota Pare-pare jauh melebihi daerah lain di Sulawesi Selatan. Belanja

infrastruktur Pare-pare hampir dua kali lipat belanja terbesar kedua di Kabupaten Selayar (Rp. 607 ribu).

Kota Palopo yang belanja kesehatan dan pendidikan per kapitanya termasuk yang terbesar di Sulawesi

Selatan, belanja infrastruktur per kapitanya justru termasuk rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Kota

Palopo yang penduduknya relatif sedikit, alokasi belanja infrastrukturnya juga kecil. Kabupaten Selayar

memiliki belanja infrastruktur per kapita terbesar kedua, meski demikian, kondisi geografis Selayar yang

terdiri dari kepulauan tidak serta merta membuat layanan infrastruktur menjangkau lebih banyak

penduduk.

Gambar 5.33. Belanja Infrastruktur per Kapita Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan Tahun 2010

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD Perubahan.

Panjang jalan bervariasi dengan kualitasnya. Beberapa kabupaten dengan ruas jalan terpanjang di

Sulawesi Selatan memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih besar. Kabupaten Bone dan

Kabupaten Gowa adalah dua daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang. Sekitar separuh dari jalan di

Bone berkategori rusak, dan hampir 60 persen jalan di Gowa berkategori rusak. Kabupaten lain yang

memiliki ruas jalan terpanjang adalah Luwu Utara dan Luwu Timur, dan hampir seluruhnya berkategori

baik. Umumnya kabupaten hasil pemekaran memiliki kualitas infrastruktur yang tertinggal, tetap kedua

kabupaten ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Kabupaten lain mayoritas memiliki ruas jalan

berkategori baik yang lebih besar dari jalan berkategori rusak.

94 131 142 167 173 173 216 222 226 238 247 252 276 323 368 393 393 399484

553 576 607

1,183

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

Rib

u R

p

Belanja Infrastruktur Per Kapita

109

109 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

Gambar 5.34. Kabupaten Pemekaran Luwu Utara dan Luwu Timur Memiliki Kualitas Jalan yang Lebih

Baik

Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka.

Daerah perkotaan memiliki cakupan infrastruktur dasar yang lebih baik. Jika dibandingkan dengan kualitas

infastruktur jalan, maka daerah perkotaan yang penduduknya lebih terpusat memiliki cakupan infrastruktur

dasar yang lebih baik. Sebaliknya, kabupaten yang penduduk dan aksesnya lebih tersebar memiliki cakupan

infrastruktur dasar yang rendah. Sebagai contoh, Kabupaten Selayar memiliki belanja infrastruktur per kapita

terbesar kedua, 78 persen ruas jalan berkualitas baik, masih harus mengejar cakupan akses air bersih yang

hanya 21 persen (terendah kedua) dan cakupan akses sanitasi layak yang sebesar 46 persen (terendah

ketiga). Kabupaten pemekaran Luwu Timur memiliki capaian yang cukup baik. Sekitar 48 persen masyarakat

memiliki akses ke air bersih (tertinggi keempat), dan 81 persen memiliki sanitasi layak (tertinggi kelima).

Gambar 5.35. Daerah Perkotaan Memiliki Cakupan Infrastruktur Dasar yang Lebih Baik

Sumber: Estimasi Bank Dunia dari Susenas 2009.

586

972

441

1,52

3

724

1,10

7

1,10

0

684

764

640

1,42

0

524

1,01

7

791

495

918

920

366

2,60

3

2,51

2

910

236

317

208

517

170

18 152

1573

335

794

110 30

9

1458

416 57

6

709

366

231

652

1203

264

0

768

93 16

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

Pan

jang

Jal

an (

Km

)

Baik Rusak

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Akses Air bersih Sanitasi Layak Akses Listrik

110

110 Bab 5 Analisis Sektor Strategis

5.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di pelabuhan laut

cenderung menurun. Hal serupa dapat dijumpai juga di daerah lain di Indonesia di mana tren

transportasi udara menunjukkan perkembangan pesat. Perkembangan tersebut akan mendesak

kapasitas infrastruktur udara, sehingga pemerintah harus konsisten berbenah. Direkomendasikan

agar pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar udara

seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan dalam bandar

udara.

� Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas provinsi di Sulawesi.

Cakupan infrastruktur dasar dipengaruhi oleh sebaran penduduk dan kondisi geografi masing-

masing daerah. Cakupan infrastruktur di kota lebih baik dari di kabupaten. Kabupaten Selayar,

daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja infrastruktur yang signifikan

disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.

� Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung memburuk. Akses

air bersih dipengaruhi oleh ketersediaan air pipa dan jarak sumber air tanah dengan bak

penampungan kotoran. Kesimpulan tersebut berarti bahwa rumah tangga yang dikepalai

perempuan mayoritas berada di luar jangkauan pipa air bersih, atau tidak memiliki luasan yang layak

sehingga sumber air tanahnya tercemar. Direkomendasikan agar pemerintah daerah selain

meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih, juga

menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan.

� Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada bertumbuhnya panjang

jalan di kabupaten/kota. Panjang ruas jalan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Beberapa

daerah yang memiliki ruas jalan terpanjang juga memiliki proporsi jalan berkategori rusak yang lebih

besar. Secara umum daerah lain memiliki jalan berkategori baik yang lebih besar. Direkomendasikan

agar pemerintah daerah memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total ruas panjang

jalan.

� Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. Jumlah lahan dengan irigasi

sederhana terus menurun, digantikan dengan irigasi teknis dan semi teknis yang tingkat efisiensi

penggunaan airnya lebih baik. Meski demikian rasio jaringan irigasi menurun, menunjukkan bahwa

pertambahan luas lahan lebih cepat daripada pertambahan lahan yang diirigasi. Karena ada

hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka direkomendasikan agar

pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan kualitasnya daripada mendorong

ekstensifikasi lahan.

111

BAB 6 ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN

112

112 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Pertanian merupakan sektor ekonomi yang dominan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu lumbung

pangan nasional, penghasil kakao dan udang tertinggi di Indonesia. Kebijakan pembangunan pertanian

periode 2008-2013 adalah “peningkatan produksi pertanian dan pengembangan agribisnis perdesaan”.

Kebijakan ini dioperasionalkan pada berbagai sub sektor pertanian. Untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan menopang kebutuhan pangan nasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan

petani, pemerintah Sulawesi Selatan memprogramkan pencapaian surplus beras minimal 2 juta ton,

produksi jagung minimal 1,5 juta ton, sapi 1,0 juta ekor, kakao 340 ribu ton, udang 33 ribu ton, dan

peningkatan produksi komoditas unggulan hortikultura dari tahun ke tahun minimal 5 persen per tahun

hingga tahun 2013.

Belanja Sektor Pertanian

Selama periode 2005-2010, belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali

lipat. Laju peningkatan belanja sektor pertanian relatif berbanding lurus dengan laju peningkatan total

belanja daerah. Akibatnya, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah cenderung

konstan. Pada tahun 2005, proporsi belanja sektor pertanian terhadap total belanja daerah sebesar 2,3

persen dan kemudian pada tahun 2011 menjadi 3,1 persen. Proporsi ini, tentu saja, jauh lebih kecil bila

dibandingkan dengan sektor-sektor prioritas lainnya, seperti sektor pertanian, kesehatan, dan

infrastruktur.

Di tingkat provinsi, belanja sektor pertanian menunjukkan peningkatan yang relatif stabil, sedangkan

di tingkat kabupaten/kota cenderung fluktuatif. Belanja sektor pertanian di tingkat provinsi meningkat

rata-rata 23,5 persen per tahun selama periode 2005-2011. Untuk tingkat kabupaten/kota, peningkatan

yang relatif stabil berlangsung pada periode 2005-2008 dengan tingkat pertumbuhan yang cukup

signifikan, yaitu rata-rata 40 persen per tahun. Namun pada tahun 2009, belanja sektor pertanian

mengalami penurunan sebesar 13 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan yang relatif stabil

kembali terjadi pada tahun-tahun berikutnya.

Gambar 6.1. Belanja Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.

42 43 83 95 100 123 125145

239

361 379 329369 386

2.3%2.7%

3.2% 3.1%2.9% 2.9%

3.1%

0%

1%

1%

2%

2%

3%

3%

4%

0

100

200

300

400

500

600

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Mili

ar R

p

Provinsi Kabupaten/Kota % Pertanian

113

113 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Komposisi belanja sektor pertanian menurut klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja pegawai,

namun dengan kecenderungan yang semakin menurun. Pada tahun 2005, proporsi belanja pegawai

terhadap total belanja sektor pertanian mencapai hampir 62 persen, dan terus menurun hingga 51,5

persen pada tahun 2010. Sebaliknya, selama periode yang sama, proporsi belanja modal terhadap total

belanja sektor pertanian, justru menunjukkan peningkatan meskipun cenderung fluktuatif. Pola belanja

modal ini hampir sama dengan belanja barang dan jasa, baik dari segi jumlah dan proporsi maupun

kecenderungan peningkatan.

Gambar 6.2. Belanja Sektor Pertanian Menurut Klasifikasi Ekonomi (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di

Sulawesi Selatan, 2005-2011

Sumber: Diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota, 2005-2011.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010 APBD Perubahan; 2011 APBD Pokok.

Gambar 6.3. Alokasi belanja sektor pertanian provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan klasifikasi

ekonomi di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2010 APBD Perubahan.

53%

18%

29%

Kabupaten/kota

Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa

Belanja Modal

48%

41%

12%

Provinsi

115132 203 223 218 253 259

35

56 104 121 102 117 129

3795 137 130 109 122 123

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Rp

Mili

ar

Belanja Modal Riil Belanja Barang dan Jasa Riil Belanja Pegawai Riil

114

114 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Proporsi belanja pegawai sektor pertanian di tingkat kabupaten/kota relatif lebih besar dibandingkan

dengan tingkat provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, proporsi belanja pegawai mencapai 53 persen,

sedangkan untuk tingkat provinsi mencapai 48 persen. Namun, proporsi belanja modal di tingkat

kabupaten/kota jauh lebih besar (mencapai 29%) dibandingkan dengan tingkat provinsi (12%). Hal ini

mengindikasikan bahwa program-program penyuluhan dan perjalanan dinas penyuluh dilakukan oleh

pemerintah tingkat provinsi. Sementara pengadaan fasilitas lebih banyak menjadi tanggung jawab

pemerintah kabupaten/kota.

Kabupaten yang menjadi sentra pengembangan komoditas unggulan mengalokasikan belanja sektor

pertanian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Belanja sektor pertanian di Sulawesi

Selatan bervariasi antara kabupaten/kota. Pada tahun 2010, belanja pertanian yang tinggi terjadi pada

daerah yang merupakan sentra pengembangan komoditas unggulan. Belanja sektor pertanian tertinggi

ditunjukkan oleh Kabupaten Sidrap (Rp 37 miliar) yang merupakan daerah sentra pengembangan padi,

Pinrang (Rp. 22 miliar) sebagai produsen udang terbesar, dan Jeneponto (Rp. 23 miliar) dengan jagung

dan rumput lautnya. Secara per kapita, Kabupaten Selayar, Sidrap, dan Enrekang memiliki belanja

pertanian yang terbesar.

Gambar 6.4. Belanja pertanian riil kabupaten/kota di Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari APBD Perubahan 2010 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Pertanian

Sebagian besar target produksi komoditas unggulan diperkirakan akan tercapai pada waktunya.

Beberapa komoditas unggulan diperkirakan mencapai targetnya di tahun 2013. Komoditas tersebut

antara lain beras, jagung, dan sapi. Produksi rumput laut bahkan sudah melampaui target sejak tahun

8 20 24 25 31 39 41 47 49 52 56 59 60 63 66 67 74 75 78 95 113 135 176

1114

8

16

12 12 13

7

19

15

9

1316

22 23

15

10

18 18 17

21

37

21

0

40

80

120

160

200

0

10

20

30

40

Ribu R

pM

iliar

Rp

Belanja Pertanian Riil Per Kapita Belanja Pertanian Riil

115

115 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

2010. Komoditas udang terkendala oleh penyakit, metode tambak tradisional, dan banyaknya lahan

tidak produktif. Sementara komoditas kakao masih menunggu masa panen diakibatkan banyaknya lahan

yang diremajakan. Produksi beras Sulawesi Selatan melebihi konsumsi lokal. Produksi gabah kering giling

tahun 2010 sebesar 4,4 juta ton menghasilkan 2,7 juta ton beras (asumsi 60% rendemen), sementara

konsumsi Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar 800 ribu ton. Target Sulawesi Selatan adalah

menghasilkan surplus 2 juta ton beras di tahun 2014.

Tabel 6.1. Target Produksi Komoditas Prioritas yang Direncanakan Hingga Tahun 2013

Komoditas 2008 2009 2010 Target 2013

Beras (ribu ton gabah kering giling) 4.083 4.324 4.380 4.667 Jagung (ribu ton) 1.195 1.394 1.400 1.500 Sapi (ribu ekor) 703 769 849 1.000 Udang (ton) 17.333 17.829 22.200 30.300 Kakao (ribu ton) 110 163 172 300 Rumput Laut (ribu ton) 747 824 1.518 1.000

Sumber: Laporan kinerja dan Renstra SKPD terkait, dan BPS Sulawesi Selatan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan. Ini terlihat dari besarnya alokasi belanja pertanian di kabupaten-kabupaten yang menjadi

lokasi produk unggulan. Belanja pertanian di Sulawesi Selatan juga meningkat selama kurun 2005-

2010, dengan proporsi sebesar 3 persen dari total belanja. Jika dibandingkan dengan daerah lain,

alokasi ini relatif besar.

� Belanja pegawai di sektor pertanian masih mendominasi. Belanja pegawai di sektor pertanian sulit

diukur efektifitasnya terhadap output sektor pertanian. Direkomendasikan agar belanja pertanian

lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan atau produksi (belanja modal)

selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan.

6.1. Komoditas Jagung

Target produksi jagung minimal 1,5 juta ton diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2011 atau lebih

cepat dua tahun dari waktu yang drencanakan (2013). Produksi jagung Sulawesi Selatan pada tahun

2009 mencapai 1,4 juta ton dengan luas panen 318 ribu hektar atau rata-rata 4,685 ton per hektar.

Sulawesi Selatan saat ini berada pada urutan kelima secara nasional setelah Jawa Timur, Jawa Tengah,

Lampung dan Sumatera Utara. Komoditas jagung di Sulawesi Selatan mengalami perkembangan yang

sangat pesat selama periode 2005-2010.

Luas areal dan volume produksi jagung di Sulawesi Selatan mengalami peningkatan yang cukup

signifikan. Luas areal berkembang rata-rata 12 persen per tahun atau dari 206 ribu hektar pada tahun

2005 menjadi 300 ribu hektar pada tahun 2009. Produksi meningkat dari 705 ribu ton pada tahun 2005

116

116 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

meningkat menjadi 1,4 juta ton pada tahun 2009 (rata-rata 19,5 persen per tahun). Peningkatan

produksi dapat dicapai melalui peningkatan luas areal tanam dan peningkatan luas pertanaman. Selain

itu peningkatan produksi juga dicapai melalui penggunaan bibit unggul dan perbaikan teknik budidaya.

Gambar 6.5. Perkembangan Produksi Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.

Kabupaten Gowa, Jeneponto, dan Bantaeng merupakan sentra komoditas jagung di Sulawesi Selatan.

Ketiga daerah tersebut memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari total produksi Sulawesi Selatan.

Tingkat produktivitas yang dicapai pada tiga daerah tersebut mencapai 5 ton per hektar. Meski

demikian, rata-rata pertumbuhan produksi jagung yang dicapai selama periode di ketiga daerah tersebut

bervariasi, masing-masing adalah 5 persen, 11 persen, dan 1 persen.

Gambar 6.6. Luas Areal Pertanaman Jagung Pada Sentra Produksi di Sulawesi Selatan, 2005-2010

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan.

26,803 19,483 37,932 31,855 25,772 29,613

42,316 38,93647,199 46,406 43,807 47,890

22,121 38,638

33,861 39,279 40,39149,465

130,260 118,774

171,299 213,748

207,801 194,578

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

DAERAH LAINNYA

G O W A

JENEPONTO

BANTAENG

138.1 96.0 153.0 152.5 144.4 152.4123.0 164.3 147.4 186.1 194.6 202.4103.6 129.7

175.3 172.6287.4 245.0

0

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

1,400,000

1,600,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

KAB. LAINNYA (21,46%)

G O W A (22,10%)

JENEPONTO (11,61%)

BANTAENG (5,76%)

117

117 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Sekitar 40 persen luas areal pertanaman jagung terdapat di tiga kabupaten, yaitu Bantaeng,

Jeneponto, dan Gowa. Luas areal pertanaman jagung bertumbuh rata-rata 9 persen per tahun.

Kabupaten Gowa termasuk daerah dengan pertambahan luas areal pertanaman jagung yang sangat

tinggi, yaitu 21 persen per tahun. Hal ini disebabkan oleh tersedianya areal yang sesuai dan potensial

untuk komoditas jagung di daerah tersebut.

Tingkat produktivitas jagung di Sulawesi Selatan juga menunjukkan peningkatan selama periode 2005-

2010. Tingkat produktivitas meningkat rata-rata 5 persen per tahun atau dari 3,8 ton/ha pada tahun

2005 meningkat menjadi 4,6 ton/ha pada tahun 2010, produktifitas ini menurun jika dibanding tahun

2009. Penurunan tingkat produktivitas tersebut disebabkan oleh pertumbuhan volume produksi yang

relatif lambat dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal pertanaman jagung.

Produksi jagung di Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan memproduksi jagung organik untuk

menambah nilai produksi. Pengembangan produk jagung organik dikembangkan dengan

mengintegrasikan dengan pengembangan ternak. Sisa tanaman digunakan untuk ternak dan kotoran

ternak sebagai pupuk organik yang menggantikan pupuk kimia yang banyak digunakan. Program ini juga

akan memperbaiki kualitas lingkungan. Pengembangan produk jagung organik harus didukung dengan

penguatan kelembagaan petani dan lembaga pemasaran yang memprogramkan dan mempromosikan

produk jagung organik.

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3 pesen dari target

produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013. Keberhasilan tersebut dicapai melalui kegiatan

intensifikasi dan ekstensifikasi yang ditunjang dengan penggunaan teknis budidaya yang didukung

dengan pembiayaan pembangunan.

� Ke depan, pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk

peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan pendapatan

petani.

Tabel 6.2. Tingkat Produktivitas Komoditas Jagung di Sulawesi Selatan, 2005-2010

No. Sentra Produksi Produktivitas (Kwintal/Ha)

2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Kab. Bantaeng 5,15 4,93 4,03 4,79 5,60 5,15

2. Kab. Jeneponto 2,91 4,22 3,12 4,01 4,44 4,23 3. Kab. Gowa 4,68 3,36 5,18 4,39 4,64 4,95 4. Daerah Lainnya 2,62 2,58 2,89 3,20 3,70 4,16

Sulawesi Selatan 3.84 3.77 3.80 4.10 5.22 4.62

Sumber: Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan.

118

118 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

6.2. Komoditas Kakao

Sulawesi Selatan merupakan daerah pengahasil kakao di Indonesia yang tersebar di seluruh

Kabupaten/Kota. Sentra pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan terdapat di delapan

kabupaten/kota yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Pinrang, Bone, Soppeng, Wajo, dan

Kota Palopo. Pada sentra produksi tersebut, ada tujuh kabupaten yang mempunyai potensi lahan

tanaman kakao yang sangat luas untuk dikembangkan yaitu Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur,

Bone, Soppeng, Wajo, dan Pinrang. Pada Tahun 2010, Kabupaten penghasil kakao yang paling besar

kontribusinya (41 persen) terhadap produksi total Provinsi Sulawesi Selatan adalah Luwu Raya (Luwu,

Luwu Utara dan Luwu Timur), sedangkan produksi dari Bone, Wajo, dan Pinrang memberi kontribusi

sebesar 29 persen.

Pengembangan produksi komoditi kakao di Sulawesi Selatan belum optimal bila dilihat dari luas areal

pertanaman dan produktivitasnya. Total luas areal tanaman kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2010

seluas 266 ribu hektar. Dari luas areal tersebut masih terdapat 21 ribu hektar tanaman yang rusak atau

tanaman yang sudah tua. Areal perkebunan yang belum menghasilkan produksi juga masih cukup luas

yaitu hamper seluas 30 ribu hektar. Produktifitas lahan kakao saat ini rata-rata sebanyak 800 kilogram

per hektar.

Kakao merupakan komoditas andalan perkebunan Sulawesi Selatan dan berperan penting bagi

perekonomian daerah. Komoditas kakao di Sulawesi Selatan berperan dalam penyediaan lapangan

kerja, sumber pendapatan petani, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan sumber Devisa Negara.

Pengembangan komoditas kakao sangat didukung oleh sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi

tanah dan iklim, sehingga meningkatkan minat masyarakat dan investor untuk mengembangkan

komoditas ini. Dari sekian banyak komoditi perkebunan yang di ekspor, komoditi kakao yang

memberikan kontribusi terbesar yaitu volume ekspor sebesar 204 ribu ton dengan nilai ekspor

sebesar USD 262 Juta, dengan negara tujuan antara lain Amerika Serikat, Belanda, Belgia, Polandia,

Inggris, Brazil, China, Jepang, Jerman, Malaysia, Singapura, Spanyol, Thailand, Kanada, Australia,

Perancis, Afrika, Mesir, Meksiko, Rusia, Bulgaria, Spanyol, dan Turki.

Sampai sekarang, minat para petani mengembangkan komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih

tetap besar. Data menunjukkan adanya peningkatan areal pertanaman kakao Tahun 2006 sudah

mencapai lebih dari 222 ribu hektar dan meningkat menjadi lebih dari 265 ribu pada tahun 2010.

Jumlah keluarga petani yang terlibat dalam pertanaman kakao pada tahun 2006 tercatat lebih 255 ribu

keluarga dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 294 ribu keluarga. Kakao sebagai usaha

perkebunan rakyat, dengan ciri berskala kecil, umumnya masih di kelola secara tradisional dan sebagian

masih merupakan tanaman sampingan sehingga masih menghadapi tantangan untuk

pengembangannya.

119

119 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Gambar 6.7. Lahan, produksi, dan Produktivitas Kakao Sulawesi Selatan 2010.

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

Produksi dan produktivitas komoditas kakao di Sulawesi Selatan masih fluktuatif. Total produksi biji

kakao yang dicapai pada Tahun 2006 adalah sebesar 157 ribu ton, dan meningkat menjadi lebih dari 172

ribu ton ada tahun 2010. Hanya saja tingkat produksi yang dicapai selama kurun waktu Tahun 2006 –

2010 masih berfluktuasi. Disamping itu tingkat produktivitas rata-rata setiap hektar di Sulawesi Selatan

juga masih fluktuatif sepanjang kurun waktu tersebut. Hal ini disebabkan karena program rehabilitasi

tanaman kakao yang rusak atau tua tidak berkesinambungan, sehingga pada tahun tertentu area yang perlu direhabilitasi bertambah.

Tabel 6.3. Produksi Kakao Sulawesi Selatan Tahun 2006 Hingga 2010 Berfluktuasi

Tahun Luas Area (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha) Jumlah Petani

(KK)

2006 222.859,82 157.933,92 963,76 255.190

2007 250.854,64 117.118,52 677,44 272.304

2008 257.313,20 110.009,45 626,22 279.239

2009 263.153,05 163.001,47 784,22 288.405

2010 265.985,00 172.083,00 798,57 294.620

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam upaya pengembangan kakao di Sulawesi Selatan, pemerintah pusat, pemerintah daerah telah

merencanakan dan melaksanakan berbagai jenis program. Jumlah program pengembangan komoditas

kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 dan 2008 lebih banyak dibanding dengan tahun 2007, 2009

dan 2010. Meskipun demikian sejak tahun 2009, telah dilaksanakan program Gernas (Gerakan Nasional)

kakao. Program ini cakupannya cukup luas karena meliputi intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, dan

peremajaan kakao untuk meningkatkan produktifitas tanaman. Pada tahun 2009 program Gernas kakao

48

2930

13 11 16

38

0

10

20

30

40

50

60

Rib

u H

ekta

r

Luas Lahan Kakao

Belum menghasilkan Menghasilkan Rusak/tua

34

2024

129

14

30

708 692

803

974

791 866

667

-

200

400

600

800

1,000

1,200

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Rib

u T

on

Produksi dan Poduktivitas Kakao

Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)

120

120 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

dilaksanakan pada 11 kabupaten dan pada tahun 2010 dan 2011 diperluas menjadi 12 kabupaten.

Sebelum dilaksanakannya Gernas kakao, program pengembangan pemerintah cenderung tidak

konsisten antar tahun. Sehingga menyulitkan proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi.

Tabel 6.4. Program Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan, 2006 – 2010

Tahun Program

2006

a. Perlindungan tanaman; b. Peningkatan mutu dan pemasaran hasil perkebunan; c. Pengembangan dan pembinaan usaha perkebunan; dan d. Pengembangan agribisnis.

2007 a. Perlindungan Tanaman; dan b. Program Pengembangan Agribisnis.

2008

a. Peningkatan kesejahteraan petani; b. Peningkatan penerapan teknologi perkebunan; c. Pengembangan agribisnis, dan d. Peningkatan ketahanan pangan.

2009 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 11 kabupaten).

2010 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten).

2011 a. Pemulihan produksi dan kualitas kakao; b. Gernas kakao (intensifikasi kakao, rehabilitasi kakao, peremajaan kakao di 12 kabupaten).

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

Sebagian besar anggaran pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Selatan bersumber dari APBN.

Jumlah realisasi anggaran pengembangan kakao tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebanyak Rp. 119

milyar di mana hanya 3 persen yang bersumber dari APBD. Dalam 5 tahun pelaksanaan pengembangan

kakao, baik sebelum maupun setelah program Gernas, mayoritas anggaran bersumber dari APBN. Hal ini

menunjukkan dukungan pemerintah pusat terhadap komoditas kakao di Sulawesi Selatan. Pada APBN

2009-2011, sudah ada alokasi anggaran khusus membiayai “Gernas Kakao”.Pengalokasian anggaran

pengembangan kakao baik yang bersumber dari APBD maupun dari APBN disesuaikan potensi (luas

lahan), permasalahan dan kebutuhan daerah tersebut.

Tabel 6.5. Belanja Anggaran Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan Mayoritas Berasal dari APBN

Tahun Realisasi Anggaran (Rp) Luas area program Gernas Kakao (hektar)

APBD APBN Peremajaan Rehabilitasi Intensifikasi Total

2006 1.043.710.050 101.000.000 n.a n.a n.a n.a

2007 410.363.725 1.705.551.000 n.a n.a n.a n.a

2008 1.204.154.700 4.987.230.000 n.a n.a n.a n.a

2009 3.143.640.406 115.967.538.920 4.300 20.900 23.700 48.900

2010 920.354.050 68.368.456.504 3.550 10.149 3.350 17.049

2011 139.725.000 n.a 6.300 9.100 8.350 23.750

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan.

Catatan: Program Gernas Kakao dimulai tahun 2009, sehingga tidak ada data area untuk tahun sebelumnya.

121

121 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kakao, pemerintah pusat dan daerah telah

menetapkan kebijakan dan berbagai program, antara lain dengan Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao

yang dimulai sejak Tahun 2009. Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah

memperlihatkan kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan 2010),

walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.

� Untuk mencapai produksi kakao 300 ribu ton pada tahun 2013, masih perlu upaya rehabilitasi,

peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit, pemeliharaan dan penanganan pasca panen

tanaman kakao yang belum tersentuh program Gernas Kakao. Di sisi lain, penguatan kelembagaan

petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju “kemandirian’’ petani. Upaya lain yang telah

dirintis oleh pemerintah Sulawesi Selatan adalah industri perkakaoan, sebagai provinsi yang

memiliki keunggulan mutlak dibanding provinsi lain di Indonesia.

� Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. Dukungan pendanaan

dari pusat merupakan sesuatu yang tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Jika Sulawesi

Selatan ingin mengembangkan kakao sesuai dengan keunggulan mutlak di atas, maka pemerintah

harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk program ini. Kompetitor Sulawesi Selatan

pada produk kakao hampir tidak ada, sementara komoditas jagung, sapi, rumput laut, dan udang,

diunggulkan juga oleh beberapa provinsi lain.

6.3. Komoditas Sapi

Pada tahun 2013 pemerintah Sulawesi Selatan mencanangkan pencapaian populasi sapi sejuta ekor.

Gerakan pencapaian populasi sapi sejuta ekor dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional

khususnya penyediaan daging untuk konsumsi masyarakat. Jumlah populasi ternak sapi yang

dicanangkan di Sulawesi Selatan pada tahun 2013 diharapkan mencapai 1 juta ekor. Untuk mencapai

jumlah populasi sapi sebanyak itu, maka pemerintah daerah kabupaten dan provinsi telah melakukan

upaya peningkatan mutu intensifiksi melalui penerapan teknologi budidaya sapi dan kawin suntik

dengan melibatkan peran kelembagaan kelompok tani ternak di tingkat kabupaten/kota. Upaya yang

dilakukan untuk mewujudkan pencapaian populasi tersebut diantaranya adalah optimalisasi kelahiran

sapi dengan inseminasi buatan (IB), intensifikasi kawin alam dan penambahan induk sapi betina dan

pejantan. Upaya lain yang dilakukan adalah pengendalian pemotongan sapi betina produktif,

perdagangan sapi antar pulau dan menurunkan tingkat kematian.

Target pencapaian sejuta ternak sapi pada tahun 2013 diyakini dapat direalisasikan. Ini dapat dilihat

dari populasi sapi potong/perah di Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005-2010, yang menunjukkan

peningkatan secara konsisten. Pada tahun 2005, jumlah populasi ternak sapi di Sulawesi Selatan sebesar

600 ribu ekor. Peningkatan populasi sapi terus terjadi setiap tahun hingga pada tahun 2010 telah

122

122 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

mencapai hampir 850 ribu ekor. Apabila

pertumbuhan populasi ternak

dipertahankan sebesar 6,00 persen per

tahun maka pencapaian angka sejuta ekor

sapi akan diperoleh diakhir tahun 2013.

Pertumbuhan populasi sapi meningkat

dalam 2 tahun terakhir. Sejak

dicanangkannya target sejuta populasi sapi

pada tahun 2008, pertumbuhan populasi

sapi meningkat menjadi 9 dan 10 persen

pada dua tahun berikutnya. Melihat tren

pertumbuhan pada tiga tahun sebelumnya

yang cenderung lebih stagnan,

pencanangan target merupakan hal positif

bagi pertumbuhan ternak sapi

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Populasi sapi di Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005 sampai tahun

2010. Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada tahun 2013 jika

terus mengalami perkembangan secara konsisten dengan tingkat perkembangan sebesar 6 persen

per tahun.

� Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk memacu

kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan reproduksi dan

kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan pengembangan pakan sapi,

peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk atau bibit sapi serta pengendalian

lalu lintas ternak.

6.4. Komoditas Rumput Laut

Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia. Di daerah

ini, jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah Gracillaria verrucosa yang dibudidayakan di tambak

dan Echeuma cottoni di laut. Lokasi pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh pesisir

Sulawesi Selatan. Pemerintah Sulawesi Selatan mengelompokkan sentra-sentra pengembangan rumput

laut ke dalam 2 kluster, masing-masing Kluster Pengembangan jenis G. verrocosa berada di Kota Palopo

(inkubator), Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, Pangkep, Maros,

Takalar, Bulukumba, dan Sinjai. Sementara Kluster Pengembangan jenis E cottoni berada di Kabupaten

Gambar 6.8. Perkembangan Populasi Sapi Potong/

Perah di Sulawesi Selatan, 2005-2009.

Sumber: BPS, 2010.

594 637 669 703 769 849

7.2

5 5.2

9.3

10.4

0

2

4

6

8

10

12

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Persen

Rib

u E

kor

123

123 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Takalar (inkubator), Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Selayar, Kota Makassar, Pangkep, Barru,

Pinrang, Bone, Wajo, Luwu, Palopo, Luwu Timur dan Luwu Utara.

Produksi total rumput laut di Sulawesi Selatan meningkat secara signifikan dalam kurun waktu 2006-

2010. Produksi rumput laut Sulawesi Selatan pada tahun 2010 mencapai 1,5 juta ton, terdiri dari

rumput laut jenis E. cottonii sebesar 1,1 juta ton dan G. verrucosa sebesar 400 ribu ton. Peningkatan

yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2010, dari sekitar 800 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 1,5

juta ton pada tahun 2010 (84 persen). Produksi rumput laut jenis G. Verrucosa yang dibudidaya dalam

tambak cenderung menurun sedangkan jenis E. cottoni yang dibudidaya di laut selalu meningkat, hal ini

menunjukkan potensi laut Sulawesi Selatan masih besar.

Gambar 6.9. Produksi Rumput Laut Jenis G. verrucosa dan E. cottoni, 2006-2010

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

Lebih dari tiga perempat produksi rumput laut Sulawesi Selatan berasal dari 5 kabupaten. Takalar

adalah produsen rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, pada tahun 2010 produksinya mencapai 450

ribu ton, atau 30 persen dari total produksi provinsi. Total produksi dari 5 kabupaten tersebut mencapai

1,2 juta ton, atau 78 persen dari total produksi. Kabupaten lain yang juga memiliki luasan budidaya

rumput laut dan produksi yang besar adalah Bulukumba dan Bantaeng (5 persen), dan Pangkep (4

persen).

0.62 0.63 0.75

0.82

1.52

0% 2%

19%

10%

84%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

-

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

2006 2007 2008 2009 2010

Juta

Ton Gracilaria (ton)

E. Cottoni (ton)

Total

Peningkatan

124

124 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Gambar 6.10. Produksi Rumput Laut di Lima Kabupaten Tahun 2010.

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

Produksi rumput laut dari 5 kabupaten

utama meningkat pesat pada tahun

2010. Selama kurun 2006 hingga 2009,

kontribusi 5 kabupaten penghasil

utama rumput laut perlahan menurun

meskipun produksinya meningkat, dari

63 persen (389 ribu ton) menjadi 57

persen (475 ribu ton). Sementara

produksi dari daerah penghasil pesisir

lainnya seperti Bantaeng, Bulukumba,

Pangkep, dan Kota Palopo terus

meingkat. Proporsi produksi 5

kabupaten tersebut meningkat drastic

pada tahun 2010 menjadi 78 persen

yang terutama diakibatkan peningkatan

produksi di Kabupaten Luwu, Bone, dan

Takalar. Di tahun 2010 produksi

Kabupaten Takalar meningkat 2 kali

lipat, Bone 3 kali lipat, dan Luwu 10 kali

lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan di tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu

106 persen dari tahun sebelumnya. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan menyebutkan

ekspor rumput laut tahun 2009 sebesar dari 20 ribu ton senilai USD 17,6 juta meningkat menjadi 41 ribu

ton atau senilai US$ 47 juta pada tahun 2010. Ekspor rumput laut Sulawesi Selatan dilakukan oleh

beberapa pengusaha antara lain adalah PT. Bantimurung Indah di Maros, PT. Giwang Citra Laut di

30%

22% 22%

10%8% 8%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

0

100

200

300

400

500

Takalar Luwu Lainnya Jeneponto Bone Luwu Timur

Rib

u T

on

G. Verrucosa E. Cottoni % Total

Gambar 6.11. Kontribusi 5 Kabupaten Penghasil Utama

Cenderung Menurun Hingga 2009, Tetapi Meningkat Pesat

di Tahun 2010.

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

83.54 80.63 81.2133.43

340.9330.53 27.69 40.14

39.39

123.07136.18 132.53 141.22

134.72

149.92

113.25 116.97135.58

214.14

449.2226.03

17.34 45.57 53.28

118.97

227.94 255.55 304.84 349.05

335.58

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

Luwu Bone Jeneponto Takalar Luwu Timur Lainnya

125

125 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

Takalar dan CV. Cahaya Cemerlang di Makassar (komoditas rumput laut jenis E.cottonii), serta PT.

Agarindo Bogatama di Tangerang dan PT. Sriti di Malang (komoditas rumput laut jenis G. verrucosa).

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi, terutama jenis G.

Verrucosa. Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup besar.

Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal. Budidaya rumput laut di tambak

selain dapat meningkatkan produksi rumput laut juga dapat memperbaiki kualitas perairan tambak

melalui pengurangan laju proses eutrifikasi. Demikian halnya rumput laut jenis E. cottoni,

peningkatan produksi masih memungkinkan terutama di wilayah perairan yang berada di pulau-

pulau kecil di Sulawesi Selatan.

� Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih untuk

memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut. Selain itu, Pemerintah

dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang rumput laut untuk menjamin

stabilitas harga yang wajar.

6.5. Komoditas Udang

Udang merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulawesi Selatan. Volume ekspor udang Sulawesi

Selatan, pada tahun 2008 sebanyak 7 ribu ton dengan nilai USD 59 ribu. Tenaga kerja yang terserap

pada kegiatan budidaya, pengelola dan pemasaran udang sebanyak 381 ribu orang. Meskipun hampir

seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menghasilkan udang, ada 9 yang merupakan penghasil

utama. Daerah-daerah ini terletak di pesisir Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar yang memiliki

ragim perairan laut yang berbeda. Masyarakat petambak di Sulawesi Selatan sudah mengusahakan

budidaya udang sejak dicanangkan Program Udang Nasional (PUN) di tahun 1982an.

Kontribusi 5 kabupaten penghasil utama terhadap produksi tahun 2010 sebesar 60 persen. Daerah

penghasil utama udang di provinsi ini adalah Pinrang, Bone, Luwu, Wajo, dan Pangkep dengan total

produksi 13 ribu ton. Total luas area tambak di kelima kabupaten tersebut mencapai lebih dari 60 ribu

hektar, dari total 105 ribu hektar tambak di Sulawesi Selatan. Meski demikian produktifitas daerah

penghasil dengan luasan tambak yang besar ini relatif lebih rendah dari kabupaten lain yang luasannya

lebih kecil. Produktifitas tambak tertinggi ditemukan di Bulukumba dan Takalar yang luas tambaknya 3

dan 4 ribu hektar. Produktifitas tambak rata-rata sebesar 0,3 ton per hektar per tahun. Produktifitas

yang masih rendah ini disebabkan mayoritas tambak masih berteknologi sederhana (37 ribu hektar).

Tambak dengan teknologi intensif atau semi intensif baru mencapai 7 ribu hektar, sementara sisanya

justru belum dimanfaatkan.

Produksi benur belum mencukupi kebutuhan tambak di Sulawesi Selatan. Data dari Buku Saku Statistik

Perikanan Budidaya (2010) menyebutkan kebutuhan untuk budidaya tradisional saja sebesar

126

126 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

1,8 milyar ekor, sementara produksi

hanya sebesar 723 juta ekor. Jumlah

panti-pembenihan (hatchery) di Sulawesi

Selatan sebanyak 21 buah, dan ada 111

pembenihan berskala rumah tangga

dengan kapasitas produksi diperkirakan

mencapai 1,4 milyar ekor.

Akselerasi peningkatan produksi udang

di Sulawesi Selatan mulai diupayakan

sejak 2004. Revitalisasi budidaya tambak

pada “GERBANGMAS”, kemudian

dilanjutkan pada periode 2008-2013

melalui Program Kebangkitan Udang.

Dalam RPJMD Sulawesi Selatan,

peningkatan produksi udang dinyatakan

secara tersirat dalam Agenda ke-2, yaitu

kebijakan peningkatan produksi pertanian, termasuk komoditas udang.

Produksi udang di Sulawesi Selatan masih relatif

berfluktuasi. Produksi udang Sulawesi Selatan tahun

2010 mencapai 22 ribu ton. Jenis udang yang

diproduksi adalah udang windu (Peneaus monodon),

udang putih/vanname (Litopeneaus vannamei) dan

udang lainnya. Produksi udang windu relatif jauh

lebih tinggi dibandingkan udang putih. Udang putih-

vanamae diintroduksi untuk menanggulangi

merosotnya produksi udang windu akibat serangan

penyakit secara massif di Sulawesi Selatan. Udang

windu memiliki capaian ukuran maksimum yang lebih

besar dan harga jual yang lebih tinggi, sedangkan

udang putih-vanamae memiliki sintasan (survival

rate) tinggi dan kebutuhan protein pakannya lebih

rendah sehingga harga pakan menjadi lebih rendah.

Pada tahun 2009, posisi Sulawesi Selatan sebagai

penghasil udang windu di Indonesia berada pada

urutan ke-4 setelah Sumatera Selatan (42 ribu ton),

Jawa Barat (19 ribu ton) dan Sumatera utara (13 ribu ton).

Laju peningkatan produksi udang di Sulawesi Selatan masih di bawah target.. Produksi udang Sulawesi

Selatan rata-rata tumbuh 4,5 persen per tahun, lebih rendah dari target yang Pemerintah Sulawesi

Selatan untuk tahun 2009-2013, yaitu sebesar 13 persen per tahun. Produksi udang putih bertumbuh

sebesar 57 persen per tahun dan udang lainnya meningkat sebesar 22 persen, sedangkan udang windu

Tabel 6.6. Produksi, Luas Tambak dan Produktivitas Udang

di Sulawesi Selatan, 2010

Kabupaten/Kota Produksi

(Ton) Luas Tambak

(Ha) Produktivitas

(ton/ha)

Luwu 2.463 9.894 0,25

Wajo 1.657 12.903 0,13

Bone 3.150 11.633 0,27

Bulukumba 1.300 3.576 0,36

Takalar 1.551 4.541 0,34

Maros 1.365 9.622 0,14

Pangkep 1.610 10.977 0,15

Pinrang 4.530 15.026 0,30

Luwu Timur 1.153 11.620 0,10

Lainnya 3.441 16.068 0,21

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.

Gambar 6.12. Produksi Udang Menurut

Kategori Jenis, 2006-2010

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi

Sulawesi Selatan.

15,145 12,600 11,264

10,240 12,699

795 1,417

3,217

2,116 3,342

3,475 2,345 3,253 5,473 6,179

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2006 2007 2008 2009 2010

Udang Windu Udang Putih Udang Lain

127

127 Bab 6 Analisis Komoditas Unggulan

justru cenderung menurun rata-rata sebesar 3 persen per tahun. Teknologi intensif dengan padat

penebaran yang tinggi (30 ekor/m2) untuk udang windu tidak lagi digunakan. Udang windu hanya

dibudidayakan pada tingkat teknologi paling sederhana/tradisional (< 5 ekor/m2). Kecenderungan

penurunan produksi udang windu ini tidak sejalan dengan preferensi produsen yang memilih udang

windu sebagai primadona.

Sistim jaminan mutu, ‘Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)’ dalam produksi udang di Sulawesi Selatan

telah diterapkan. Jaminan mutu pada proses produksi (budidaya) dilaksanakan berdasarkan permintaan

dan persyaratan konsumen (tuntutan pasar). Standar dan prosedur budidaya biota periaran dengan baik

dengan istilah Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) telah diterapkan bagi pembudidaya. CBIB ini

menekankan pada aspek higenitas produk melalui manajemen sanitas yang baik. Udang hasil budidaya

dikendalikan mutunya dari ancaman pencemaran berupa bakteri, biotoxin, logam berat, pestisida dan

residu terlantar (antibiotik, hormon, dll.). Sertifikasi CBIB ini diharapkan dapat meningkatkan

kepercayaan produsen dan konsumen yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk ini.

Kesimpulan dan Rekomendasi

� Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan petani cederung tidak

membudidayakan Udang Windu, akibatnya produksi jenis udang ini cenderung menurun. Hal ini

menyebabkan target pertumbuhan produksi tidak tercapai. Pemerintah perlu merevisi targetnya,

karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor per meter persegi) resiko penyakit makin

tinggi. Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko praktek

tambak intensif.

� Produksi benur masih di bawah kebutuhan. Jika ini tidak diatasi, maka target pertumbuhan produksi

juga sulit tercapai.

� Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. Selain itu sebagian besar

dari tambak yang beroperasi masih menggunakan teknologi sederhana. Untuk meningkatkan

produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan lahan yang telah ada tanpa

membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan.

129

BAB 7 ANALISIS ISU DAERAH

130

130 Bab 7 Analisis Isu Daerah

7.1 Analisis Kemiskinan

7.1.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Sulawesi Selatan

Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menurun secara konsisten selama

periode 2006-2010. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan sebesar 913 ribu

orang atau hampir 12 persen dari total penduduk. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan

tahun 2006, dimana jumlah penduduk miskin sebesar 1,1 juta orang atau 15 persen dari total penduduk.

Dengan demikian, saat ini, setiap sembilan penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya tergolong

miskin.

Persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan selalu berada di bawah angka rata-rata Nasional

selama periode 2006-2010. Namun penurunan persentase penduduk miskin secara Nasional

berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Indonesia menurun rata-rata 5,26

persen per tahun, sedangkan Sulawesi Selatan hanya menurun rata-rata 4,46 persen per tahun.

Implikasinya, dalam beberapa tahun ke depan, persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan akan

semakin berhimpit dengan angka rata-rata Nasional. Secara implisit, fakta ini juga menunjukkan bahwa

secara rata-rata provinsi lainnya mengalami penurunan angka kemiskinan yang relatif lebih cepat

dibandingkan dengan Sulawesi Selatan.

Gambar 7.1. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Sulawesi Selatan dan Indonesia, 2006-2010

Sumber: BPS.

Secara relatif, posisi Sulawesi Selatan secara Nasional dan Regional tidak mengalami perubahan

dalam lima tahun terakhir. Secara Nasional, Sulawesi Selatan menempati urutan 17 dari 33 provinsi.

Sedangkan secara regional, dari enam provinsi di Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan menempati posisi

kedua terendah, sesudah Sulawesi Utara. Gorontalo, yang merupakan hasil pemekaran dari Sulawesi

Utara, mencatat persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi.

17.7516.58

15.4014.15

13.3314.57 14.11

13.3412.31

11.61

0

4

8

12

16

20

2006 2007 2008 2009 2010

Indonesia

Sulsel

131

131 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Gambar 7.2. Komparasi Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Indonesia, 2010

Sumber: BPS.

Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan tinggi, namun persentasenya rendah. Dari segi jumlah,

Sulawesi Selatan memiliki populasi penduduk miskin tertinggi di Sulawesi. Namun persentasenya

terendah kedua setelah Sulawesi Utara. Pada tahun 2010, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan

mencapai 913 ribu orang. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dari Sulawesi Tenggara dan empat

kali lipat dari Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan

hanya 11,6 persen atau hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo merupakan daerah dengan

persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi.

Gambar 7.3. Komparasi Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Antar Provinsi di Pulau

Sulawesi, 2010

Sumber: BPS.

11.6013.33

0

5

10

15

20

25

30

35

40

DK

I Jak

arta

Bal

i

Kal

sel

Bab

el

Kal

teng

Ban

ten

Kal

tim

Kep

. Ria

u

Jam

bi

Ria

u

Kal

bar

Sul

ut

Mal

ut

Sum

bar

Jaba

r

Sum

ut

Sul

sel

Indo

nesi

a

Sul

bar

Jatim

Sum

sel

Jate

ng

DIY

Yog

ya

Sul

tra

Sul

teng

Ben

gkul

u

Lam

pung

NA

D

NT

B

NT

T

Gor

onta

lo

Mal

uku

Pap

ua B

arat

Pap

ua

206,700

913,400

141,300

400,700475,000

209,9009.10

11.6013.58

17.0518.07

23.19

0

5

10

15

20

25

0

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

Sulawesi Utara

Sulawesi Selatan

Sulawesi Barat

Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tengah

Gorontalo

Pe

rsen

tase

Pe

nd

ud

uk

Miskin

Jum

lah

Pen

dudu

kM

iski

n

Jumlah Persentase

132

132 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Proporsi penduduk miskin yang bermukim di wilayah perdesaan jauh lebih besar dibandingkan

dengan di wilayah perkotaan. Penurunan penduduk miskin di wilayah perdesaan juga berlangsung lebih

lambat dibandingkan dengan di wilayah perkotaan. Pada tahun 2010, 87 persen dari total

penduduk miskin bermukim di perdesaan

dan 13 persen bermukim di perkotaan.

Angka ini sedikit berbeda dengan tahun

2006, dimana 85 persen bermukim di

perdesaan dan 15 persen bermukim di

perkotaan. Rata-rata penduduk miskin di

perdesaan hanya menurun 4 persen per

tahun, sedangkan di perkotaan menurun 7

persen per tahun. Akibatnya, sebaran

penduduk miskin sedikit berubah. Proporsi

penduduk miskin yang bermukim di wilayah

perdesaan cenderung meningkat, dan

sebaliknya di wilayah perkotaan cenderung

menurun.

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan

indeks keparahan kemiskinan (P2) di

Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan

secara konsisten selama periode 2006-2010.

P1 menurun dari 3,43 pada tahun 2006

menjadi 1,91 pada tahun 2010, yang

mengindikasikan bahwa rata-rata

pengeluaran penduduk miskin cenderung

semakin mendekati garis kemiskinan.

Sedangkan P2 menurun dari 1,00 menjadi

0,49 para periode yang sama, yang

mengindikasikan bahwa ketimpangan

pengeluaran antar penduduk miskin semakin

menyempit atau membaik.

Ketimpangan distribusi pendapatan di

Sulawesi Selatan cenderung meningkat

dalam tiga tahun terakhir. Kecenderungan

semacam ini juga terjadi di tingkat Nasional. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan

tingkat pengangguran terbuka yang cenderung menurun telah memberi dampak positif terhadap

penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin. Namun ketimpangan distribusi pendapatan,

ditunjukkan oleh angka koefisien gini, yang cenderung meningkat mengindikasikan bahwa pertumbuhan

ekonomi telah memberi manfaat yang jauh lebih besar bagi penduduk kaya (kelompok pendapatan

Gambar 7.4. Penyebaran Penduduk Miskin Menurut

Wilayah di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: BPS.

Gambar 7.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan,

2006-2010

Sumber: BPS.

13.05%

86.95%

perkotaan

perdesaan

3.43

2.602.44

2.081.91

1.00

0.68 0.67 0.55 0.49

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

2006 2007 2008 2009 2010

P1 P2

133

133 Bab 7 Analisis Isu Daerah

tertinggi) ketimbang penduduk miskin (kelompok pendapatan terendah). Akibatnya, distribusi

pendapatan antar kelompok masyarakat cenderung semakin melebar.

Gambar 7.6. Angka Koefisien Gini di Sulawesi Selatan dan Nasional, 2007-2010

Sumber: BPS.

Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan relatif merata

selama periode 2005-2009. Pada tahun 2005, dari seluruh rumah tangga kelompok pendapatan

terendah (kuintil 1) hanya 3,1 persen yang dikepalai oleh perempuan, sementara pada kelompok

pendapatan tertinggi sebesar 4,3 persen. Angka ini meningkat pada tahun 2009, baik untuk kelompok

pendapatan terendah maupun tertinggi. Bahkan, seluruh kelompok pendapatan menunjukkan

kecenderungan yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa secara relatif jumlah perempuan yang menjadi

kepala rumah terus meningkat di Sulawesi Selatan pada semua kelompok pendapatan. Tidak terdapat

perbedaan proporsi kepala rumah tangga perempuan yang signifikan antar kelompok pendapatan

miskin dan kaya.

Tabel 7.1. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di

Sulawesi Selatan, 2005 -2009

Tahun Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Rata-rata

2005 3,1% 3,4% 4,1% 3,6% 4,3% 3,6%

2006 3,4% 3,8% 3,8% 3,9% 4,4% 3,8%

2007 3,8% 4,1% 4,1% 4,5% 5,6% 4,3%

2008 3,3% 3,9% 3,1% 3,2% 4,1% 3,5%

2009 4,5% 4,0% 3,9% 4,3% 4,8% 4,3%

Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.

0.36

0.35

0.37

0.38

0.37

0.36

0.39

0.40

0.32

0.33

0.34

0.35

0.36

0.37

0.38

0.39

0.40

0.41

2007 2008 2009 2010

Indonesia

Sulawesi Selatan

134

134 Bab 7 Analisis Isu Daerah

7.1.2 Gambaran Kemiskinan di Kabupaten/Kota

Secara umum, kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin

selama periode 2005-2010. Kecenderungan penurunan jumlah penduduk miskin bervariasi antar

kabupaten/kota dan tidak selalu sejalan dengan kecenderungan provinsi, Dari 24 kabupaten/kota di

Sulawesi Selatan, hanya tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Soppeng, Luwu Utara, dan Kota

Makassar, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin.

Gambar 7.7. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2010

Sumber: BPS.

Sepuluh dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase penduduk miskin di

atas rata-rata provinsi. Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Enrekang merupakan tiga kabupaten

dengan tingkat persentase penduduk miskin tertinggi. Namun kabupaten/kota yang memiliki persentase

penduduk miskin yang tinggi belum tentu memiliki jumlah penduduk miskin yang juga besar, begitu pula

sebaliknya. Pada tahun 2010, Kabupaten Pangkep memiliki persentase penduduk miskin tertinggi (19,26

persen), dan sebaliknya Kota Makassar memiliki persentase penduduk miskin terendah (5,8 persen).

Namun secara absolut, Kabupaten Bone memiliki jumlah penduduk miskin terbesar (101.100 orang), dan

sebaliknya, Kota Pare-Pare memiliki jumlah penduduk miskin terkecil (8.500 orang).

Hampir setengah dari jumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan

persentase penduduk miskin. Selama kurun waktu 2005-2008, Kabupaten Soppeng menunjukkan

peningkatan persentase penduduk miskin paling drastis. Selain Kabupaten Soppeng, kabupaten lainnya

yang menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin adalah Kabupaten Luwu Utara, Barru,

Pinrang, Luwu, Wajo, Bone, Bantaeng, Bulukumba, Kota Palopo dan Pare-Pare. Sebaliknya, Kabupaten

Selayar dan Gowa menunjukkan penurunan persentase penduduk paling tinggi.

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

135

135 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Persentase kepala rumah tangga perempuan berdasarkan kelompok pendapatan bervariasi antar

kabupaten/kota. Proporsi kepala rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan miskin terbesar

terdapat di Kabupaten Pangkep (7,7 persen) dan Takalar (8,5 persen) dan sebaliknya proporsi kepala

rumah tangga perempuan pada kelompok pendapatan tinggi terbesar terdapat Kabupaten Wajo (7,3

persen), Kota Makassar (6,6 persen), dan Pinrang (6,6 persen). Selebihnya hampir relatif sama antara

proporsi kepala rumah tangga perempuan miskin dan kaya. Kabupaten yang memperlihatkan

ketimpangan pendapatan cukup parah yang dihasilkan oleh kepala rumah tangga perempuan adalah

Kabupaten Takalar dan Pangkep.

Tabel 7.2. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2005-2009

No. Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009

1 Selayar 22,71 20,82 20,45 18,49 15,00 2 Bulukumba 12,08 13,84 13,56 12,26 9,20 3 Bantaeng 10,41 12,34 12,12 10,94 10,25 4 Jeneponto 23,18 25,06 24,55 22,48 19,10 5 Takalar 14,94 14,09 13,80 12,68 11,16

6 Gowa 16,90 14,55 14,13 12,79 9,49

7 Sinjai 14,15 15,76 13,87 12,73 10,68 8 Maros 20,13 20,09 20,08 18,55 14,62 9 Pangkajene Kepulauan 22,79 23,82 23,93 21,36 19,26

10 Barru 11,69 13,91 14,73 13,49 10,69 11 Bone 16,38 18,78 18,84 17,35 14,08 12 Soppeng 4,65 5,60 5,45 11,22 10,42 13 Wajo 9,95 11,57 11,36 10,16 8,96 14 Sidenreng Rappang 8,38 8,19 8,05 7,64 7,00 15 Pinrang 9,07 10,70 10,44 9,65 9,01 16 Enrekang 21,59 23,18 22,79 20,51 16,86 17 Luwu 18,51 20,13 21,24 19,44 15,44 18 Tana Toraja 18,87 20,44 19,91 18,57 14,62 19 Luwu Utara 14,63 14,48 14,03 18,38 16,25 20 Luwu Timur 13,05 11,35 10,21 10,98 9,18 21 Toraja Utara na na na na 19,08 22 Kota Makasar 6,19 7,22 5,66 5,36 5,86 23 Kota Pare Pare 6,70 7,86 7,65 7,10 6,53 24 Kota Palopo 11,36 12,92 12,71 12,83 11,28

Sulawesi Selatan 13,71 14,57 14,11 13,41 11,61

Sumber: BPS.

136

136 Bab 7 Analisis Isu Daerah

0123456789

Per

sen

> 20 % income < 20% income

Gambar 7.8. Persentase Kepala Rumah Tangga Perempuan Berdasarkan Kelompok Pendapatan di

Sulawesi Selatan

Sumber: Penghitungan staf Bank Dunia dari Susenas.

7.1.3 Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Di Sulawesi Selatan

Isu pengentasan kemiskinan belum secara spesifik ditempatkan sebagai prioritas utama

pembangunan daerah. Hal ini disebabkan lebih rendahnya persentase penduduk miskin di Sulawesi

Selatan, setidaknya jika dibandingkan dengan rata-rata Nasional, telah menyebabkan. Meskipun

demikian, agenda-agenda pembangunan daerah, sebagaimana bisa diamati di dalam RPJMD Sulawesi

Selatan, memiliki relevansi dan kaitan yang sangat erat dengan pengentasan kemiskinan. Pemenuhan

hak-hak dasar masyarakat dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan

tema, subtansi, dan tujuan utama pembangunan daerah Sulawesi Selatan, diyakini berkontribusi besar

terhadap upaya pengentasan kemiskinan.

Upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan masih bertumpu pada program-program yang

diimplementasilkan oleh pemerintah secara Nasional, terutama melalui Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program pengentasan kemiskinan yang dikreasikan

secara lokal oleh pemerintah daerah, tampaknya masih sangat terbatas. Jika diamati, program

pengentasan kemiskinan yang diimplementasikan oleh pemerintah daerah dilakukan melalui dua skema

utama, yaitu pertama, menurunkan atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini

muncul dalam bentuk pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian

subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan produktivitas dan

pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur

perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skema bantuan modal usaha, dsb.

Beberapa lembaga donor juga banyak mendukung lewat aktifitas tidak langsung yang diyakini

137

137 Bab 7 Analisis Isu Daerah

berkorelasi dengan upaya pengentasan kemiskinan. Misalnya sebuah program di Kabupaten Jeneponto

berorientasi pada peningkatan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan layanan publik.

7.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan secara

konsisten selama periode 2006-2010. Meski demikian, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan

masih yang tertinggi secara regional (Pulau Sulawesi) dan persentase penduduk miskin masih relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Nasional. Pemerintah daerah (provinsi dan

kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif mengimplementasikan berbagai program dan

mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi

Selatan. Bersamaan dengan upaya itu, pemerintah daerah perlu menyusun road-map

penanggulangan kemiskinan daerah, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Tim

Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) juga perlu dibentuk dan diintensifkan di

seluruh wilayah kabupaten/kota.

� Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan meningkatnya laju

pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat pengangguran terbuka. Namun ketimpangan

distribusi pendapatan, yang ditunjukkan oleh angka koefisien gini, cenderung meningkat. Ini

mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh penduduk miskin (kelompok

pendapatan terendah) namun penduduk kaya (kelompok pendapatan tertinggi) memperoleh

manfaat yang jauh lebih besar. Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem

penganggaran yang lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,

perlu terus didorong ke arah yang lebih signifikan.

� Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan juga menunjukkan penurunan secara

konsisten selama periode 2006-2010. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk

miskin cenderung semakin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar

penduduk miskin juga semakin menyempit atau membaik.

� Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan persentase

penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan. Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan

perlu lebih diintensifkan di ketiga kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai

mitra pembangunan, seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.

� Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang memberi

ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh pekerjaan dan

mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan. Kebijakan semacam ini jauh lebih bisa

diandalkan ketimbang kebijakan yang populis dan program-program yang bersifat charity.

Pemerintah daerah perlu menfasilitasi keterlibatan berbagai pihak dalam upaya perbaikan taraf

hidup masyarakat, terutama penduduk miskin.

138

138 Bab 7 Analisis Isu Daerah

7.2. Analisis Lingkungan Hidup

Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk mewujudkan

peningkatan kualitas lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah masalah yang sangat fundamental

bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Kualitas kehidupan sangat bergantung pada kualitas lingkungan

hidup. Pemerintah Sulawesi Selatan menyadari pentingnya kualitas lingkungan yang baik dan

merumuskan kebijakan Pengelolaan lingkungan hidup dalam RPJMD 2008-2013 yang menekankan

peningkatan kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga proses-proses alamiah secara optimal dapat

berlangsungnya dan memberikan manfaat bagi kehidupan.

Laju peningkatan jumlah penduduk merupakan faktor utama meningkatnya tekanan pada lingkungan.

Pertumbuhan penduduk Sulawesi Selatan sebesar 1,3 persen per tahun mengakibatkan peningkatan

aktifitas dan sekaligus meningkatkan potensi pencemaran. Pertanian yang merupakan salah satu

aktifitas penting di Sulawesi Selatan menjadi penyumbang bahan cemaran dan residu pertanian pada

ekosistem perairan. Demikian juga industri merupakan sektor sekunder yang juga berkontribusi pada

peningkatan jumlah bahan cemaran. Rumah tangga selain meningkatkan permintaan terhadap alih

fungsi lahan hijau juga menghasilkan limbah secara signifikan.

Pencegahan dan penanggulangan bencana alam harus dilakukan secara terkoordinasi antar

kabupaten/kota. Belajar dari pengalaman di banyak tempat, sumber daya alam dan lingkungan sering

melewati batas administrasi. Wilayah Sulawesi Selatan sendiri cukup rentan dengan bencana longsor

dan banjir. Pengelolaan atas sumber daya harus mulai melibatkan seluruh daerah yang terkait. Sebagai

contoh, banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bila-Cenrana akan menggenangi Kabupaten Wajo, Sidrap,

dan Bone. Bencana tanah-longsor di kawasan hutan lindung Kabupaten Sinjai dan Gowa merusak

kawasan permukiman dan pertanian di dua kabupaten tersebut.

7.2.1 Belanja Urusan Lingkungan Hidup

Belanja urusan lingkungan hidup Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat. Meski demikian

mayoritas cenderung dibelanjakan untuk belanja pegawai. Belanja terkait lingkungan hidup tidak hanya

terdapat di Urusan Lingkungan Hidup, misalnya di Urusan Kehutanan, Kelautan, atau Pertanian. Analisis

ini mengambil data dari Urusan Lingkungan Hidup saja.

Pemerintah provinsi memiliki beberapa program pengendalian lingkungan hidup. Program

Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup merupakan satu dari delapan program

BLHD Sulawesi Selatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan

bencana alam. Jumlah APBD Sulsel yang dibelanjakan untuk Program ini tahun 2010 sebesar Rp 1,64

miliar dari total APBD-BLHD Sulsel sebesar Rp 8,84 miliar atau sebesar 18,5 persen. Kegiatan yang

terlaksana dalam Program ini adalah: (i) koordinasi penilaian kota sehat/ADIPURA, (ii) pengelolaan

limbah B3; (iii) koordinasi penyusunan AMDAL; (iv) pengelolaan laboratorium lingkungan hidup; dan (v)

penata-usahaan sarana laboratorium.

139

139 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Sebagian besar kegiatan pada BLHD Provinsi bukan terkait pengendalian kerusakan lingkungan dan

bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa

yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Beberapa

kegiatan yang memiliki relevansi dengan pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam yaitu (i)

pengelolaan limbah B3, (ii) koordinasi penyusunan AMDAL, (iii) pengelolaan laboratorium lingkungan

hidup, (iv) Pengembangan dan pemantapan kawasan konservasi perikanan, (v) Penyusunan Rencana

Pengelolaan lingkungan hidup, (vi) Penyusunan status lingkungan hidup daerah, dan (vi), Gerakan

penghijauan dan konservasi alam. Jumlah biaya seluruhnya adalah sebesar Rp 2,5 miliar, atau 28,3

persen (DPA-BLHD Provinsi Sulsel, 2010). Sebagian besar alokasi anggaran pengendalian perusakan

lingkungan hidup dan bencana alam dikontribusi oleh Pemerintah Pusat (APBN) melalui sektor-sektor

terkait, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Kementerian Kehutanan), Pengelolan Kawasan

Konservasi Laut (Kementerian kelautan dan Perikanan) dan Pelaksanaan AMDAL Kementerian

Lingkungan Hidup.

Gambar 7.9. Belanja Urusan Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan, 2007-2009

Sumber: diolah dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten/Kota.

Catatan: 2005-2009 APBD Realisasi; 2010* APBD Perubahan; 2011** APBD Pokok.

7.2.2 Gambaran Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan

Respon dari belanja untuk perbaikan lingkungan hidup baru dapat diukur beberapa tahun ke depan.

Analisis kinerja belanja urusan lingkungan hidup di daerah Sulawesi Selatan seharusnya dapat

menjelaskan perubahan laju perusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Tetapi, perubahan

parameter lingkungan hidup umumnya berlangsung dalam rentan waktu yang cukup lama sehingga

relatif sulit memantaunya dalam waktu singkat.

21 2543

6455

65 713345

43

4249

5755

6

17

29

4634

26

30

35%

45%

56%

36%

9%

19%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Mili

ar R

p

Pegawai Barang dan Jasa Modal % Pegawai % Barang dan jasa % Modal

140

140 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Laju perbaikan kerusakan hutan lindung dan kawasan kritis masih relatif kecil dibandingkan dengan

laju kerusakannya. Pemerintah Sulawesi Selatan lewat Status Lingkungan Hidup Daerah (2009)

mengestimasi luas lahan kritis di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 sebesar 683 ribu hektar atau sekitar

15 persen dari total luas Sulawesi Selatan. Lahan-lahan kritis tersebut tersebar dalam kawasan hutan

seluas 370 ribu hektar dan di luar kawasan hutan seluas 313 ribu hektar. Dari jumlah ini Pemerintah

Sulawesi Selatan telah melakukan reboisasi sebanyak 53 ribu hektar, atau 7 persen saja. Jika data ini

dikaitkan dengan luas hutan negara yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan seluas 2,1 juta hektar

maka sekitar 20,5 persen dari luas hutan negara yang ada telah mengalami kerusakan.

Terjadi penurunan luasan mangrove secara signifikan. Data Dinas Kehutanan dan BLHD menyebutkan

mangrove di Sulawesi Selatan pada tahun 1980-an seluas dari 113 ribu hektar turun menjadi 23 ribu

hektar di tahun 2011. Terdiri dari hutan mangrove primer seluas 1.410 hektar dan hutan mangrove

sekunder seluas 22 ribu ha Luas areal mangrove di Indonesia diperkirakan sebesar 3,7 sampai 4,2 juta

hektar, dan 75 persen berada di Papua. Di Pulau Sulawesi sendiri luas mangrove diperkirakan hanya

sebesar 133.000 ha, atau 2 persen dari luas keseluruhan mangrove di Indonesia. Penurunan luasan

mangrove disebabkan utamanya oleh alih-fungsi yang berlebihan dan tak-terkendali kawasan mangrove

menjadi kawasan permukiman dan pertambakan. Pemerintah Sulawesi Selatan telah melakukan upaya

menekan laju kerusakan mangrove melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan

berhasil merehabilitasi 5.920 hektar, menekan laju deforestitasi sebesar 10 persen. Selain itu,

Kabupaten Sinjai dan Wajo telah mengupayakan rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat yang

mampu merehabilitasi kawasan lebih besar 500 ha.

Kawasan terumbu karang mengalami

tekanan berat akibat praktek

penangkapan ridak ramah lingkungan.

Perairan laut Sulawesi Selatan memiliki

kawasan terumbu karang seluas 5.970

kilometer persegi, sebagian besar

berada dalam kondisi rusak atau kritis.

Diperkirakan terumbu karang mampu

menghasilkan stok sumberdaya ikan

sebesar 15-20 metrik ton per km2 per

tahun., Menurut estimasi, kerugian

pemerintah Indonesia akibat

pengeboman ikan (blast fishing)

sebesar US$ 370 miliar atau US$

90.000/km2 (Pet-Soede, 1999).

Beberapa Kabupaten memiliki

program perbaikan terumbu karang sendiri. Sebagai contoh, Kabupaten Pangkep dan Selayar melalui

program COREMAP II telah berhasil memperbaiki tutupan karang hidup di atas 5 persen per tahun.

Program ini selain mengintervensi langsung kepada pelaku perusak terumbu karang, juga memberikan

Gambar 7.10. Terumbu karang di Sulawesi Selatan dan

Indonesia Sebagian Besar Dalam Kondisi Rusak.

Sumber: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin

(2006)

2

22

40

36

6

26

32

36

Lingkaran dalam: Sulawesi SelatanLingkaran luar: Nasional

Sangat baik

Baik

Rusak

Kritis

141

141 Bab 7 Analisis Isu Daerah

insentif untuk beralih dari kegiatan merusak karang menjadi kegiatan yang tidak merusak kawasan

terumbu karang di dua kabupaten

Sulawesi Selatan cukup rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Sekitar 78 persen wilayah

Sulawesi Selatan memiliki topografi bergunung sampai berbukit dengan kemiringan lereng lebih besar

dari 40 persen. Daerah ini juga memiliki curah hujan tinggi dengan rata curah hujan bulanan sebesar 200

milimeter. Walaupun bencana longsor dan banjir terjadi pada tingkat lokal, penyebabnya seringkali

terbentang melewati daerah administrasi yang berbeda. Akibat jangka panjang dari rusaknya daerah

hulu dan aliran sungai akan mempengaruhi perkotaan di pesisir, menambah sedimentasi sungai dan

bendungan, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya beban pemeliharaan sumber daya dan

penanggulangan bencana pada anggaran pemerintah daerah.

7.2.3 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Sebagian besar kegiatan pada Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi bukan terkait

pengendalian kerusakan lingkungan dan bencana alam. Pada tahun 2010, dari 28 kegiatan yang

terstruktur dalam 8 program, hanya beberapa yang memiliki relevansi dengan pengendalian

kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam. Hal ini juga terlihat dari besaran belanjanya.

Belanjan urusan Lingkungan hidup meningkat 2 kali lipat dalam kurun 2005-2010, tetapi belanja

pegawai meningkat 3 kali lipat.

� Pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada orang atau perusahaan yang berhasil

menerapkan green activity. Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan

manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Program-program penanggulangan kerusakan

lingkungan sebaiknya mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Membangun pemahaman,

meningkatan sensitifitas dan kepedulian, serta mengembangkan budaya sadar-lingkungan menjadi

tahapan penting dalam mengelola lingkungan hidup. Sistem pemberian insentif bagi mereka yang

berhasil menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam

bentuk materi, seperti pengurangan pajak.

� Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi

perusahaan. Pencemaran sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia, yaitu rumah tangga dan

industri. Penerapan biaya atau pajak lingkungan seharusnya mulai diperkenalkan. Pajak lingkungan

merupakan upaya menginternalisasi dampak lingkungan melalui mekanisme ekonomi untuk

mendukung mekanisme administrasi seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),

Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

� Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun dan

mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana masing-masing.

Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia harus dapat diminimalkan

dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi, antara lain menentukan kawasan rawan bencana,

menghindari terjadi kombinasi dengan faktor alam lainnya yang dapat meningkatkan kerugian dan

142

142 Bab 7 Analisis Isu Daerah

membangun jalur-jalur evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Perencanaan mitigasi bencana sudah

menjadi keharusan yang merupakan penjabaran lebih operasional dari rencana mitigasi dalam

penataan ruang wilayah.

� Perencanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi antara

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini disebabkan pengelolaan sumber daya alam serta

bencana alam yang terjadi seringkali berdampak pada beberapa kabupaten/kota sekaligus. Daerah

yang berada di hilir atau pesisir akan menanggung dampak lebih besar dari bencana, sehingga tidak

dapat mengelola atau mencegah bencana tanpa ada upaya dan komitmen serupa dari daerah di

hulu.

7.3. Analisis Gender

7.3.1 Gambaran Umum Gender di Sulawesi Selatan,

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di

Sulawesi Selatan menunjukkan perbaikan,

namun masih terjadi kesenjangan gender.

Hal ini ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan

Gender (IPG) masih di bawah rata-rata IPM

Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009, IPG

mencapai 62,07 lebih tinggi dari tahun

sebelumnya, sementara IPM mencapai 70,82

point. Meskipun IPG berada dibawah rata-

rata IPM, namun perkembangan setiap tahun

cukup signifikan. Pada tahun 2005, IPG

berkisar pada point 57,4 meningkat cukup

signifikan menjadi 62,07 pada tahun 2009

atau mengalami peningkatan sebesar 4,67

point. Dengan mencermati indikator capaian

IPG, penyumbang terbesar tingginya IPG

terutama disebabkan oleh tingginya sumbangan pendapatan laki-laki berkisar 70,16 persen, sementara

perempuan hanya berkisar 29,84 persen. Rendahnya sumbangan pendapatan perempuan dan masih

banyaknya angka buta huruf perempuan juga menjadi penyebab rendahnya angka IPG. Untuk

mendorong IPG ketingkat capaian yang lebih tinggi maka perlu upaya peningkatan kesetaraan dan

keadilan gender.

Sementara itu, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) di Sulawesi Selatan menunjukkan

perbaikan selama periode 2005-2009, namun masih di bawah dari rata-rata Nasional. Pada

tahun 2005, IDG mengalami peningkatan dari 50 poin pada tahun 2005 menjadi 53,82 poin

pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 3,82 poin namun posisinya lebih rendah dari angka

Gambar 7.11. Perkembangan IPM dan IPG Sulawesi

Selatan, 2005-2010

Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP

dan PA; BPS.

68.06 68.81 69.62 70.22 70.82

57.4 59 60.4 61.04 62.07

0

20

40

60

80

2005 2006 2007 2008 2009

IPM

IPG

143

143 Bab 7 Analisis Isu Daerah

nasional (63,52). Penyumbang terbesar

rendahnya IDG di Sulawesi Selatan adalah

rendahnya keterlibatan perempuan di

parlemen yang hanya mencapai 4,4 persen

pada tahun 2009 dan

merupakan terendah dari seluruh provinsi

lainnya di Indonesia.Rendahnya posisi IPG

dan IDG terhadap nasional menandakan

masih perlunya keseriusan pemerintah

daerah Sulawesi Selatan untuk

meningkatkan upaya pemberdayaan

perempuan.

Perbaikan IPG dan IDG pada tingkat provinsi

ternyata merupakan cerminan dari perbaikan IPG dan IDG pada 23 kabupaten di Sulawesi Selatan.

Kabupaten yang mengalami peningkatan terbesar untuk IPG selama dua tahun terakhir (2008-2009)

adalah Gowa dari 61,52 pada tahun 2008 menjadi 81,65 pada tahun 2009. Sementara Kabupaten/Kota

lainnya juga meningkat dengan point yang berkisar pada 0 – 2. Kabupaten Pinrang mempunyai

peningkatan IDG tertinggi yaitu dari 47,05 pada tahun 2008 menjadi 48,36 pada tahun 2009 atau

meningkat sebesar 1,31 point. IDG untuk kabupaten/kota lainnya hanya meningkat pada kisaran 0-1

point selama tahun 2008-2009.

Gambar 7.12. Perkembangan IDG Sulawesi Selatan

dan Nasional, 2005 – 2009

Sumber: Pembangunan Berbasis Gender Kementerian PP

dan PA; BPS.

Gambar 7.13 Indeks Pembangunan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota diProvinsi Sulawesi Selatan

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.

61.3 61.8 62.1 62.27 63.52

50 51.8 52.6 52.9 53.82

0

10

20

30

40

50

60

70

2005 2006 2007 2008 2009

IDG NASIONAL IDG SULAWESI SELATAN

-10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

2008

2009

144

144 Bab 7 Analisis Isu Daerah

7.3.2 Perspektif Gender di Wilayah Pesisir

Serapan tenaga kerja perempuan di provinsi Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 2005 – 2009 besar

dan terus mengalami peningkatan, dari 71 persen di tahun 2005 menjadi 88 persen di tahun 2009. Bila

diamati lebih dalam, total angkatan kerja di tahun 2005 mencapai 1,2 juta hanya terserap sebesar 873

ribu atau 71 persen-nya. Angka ini terus meningkat di tahun 2006 dan 2007 menjadi 78 persen dan 82

persen, sementara untuk tahun 2008 dan 2009, tingkat serapannya mencapai 88 persen. Meski tingkat

serapan tenaga kerja perempuan cukup besar, namun kebanyakan dari mereka mendapat upah lebih

rendah dari tenaga kerja laki-laki dengan beban kerja yang sama. Hal ini terlihat pada capaian IPG

dimana sumbangan pendapatan perempuan hanya berkisar 29.84 persen, dibandingkan dengan laki-laki

yang sebesar 70.16 persen.

Gambar 7.14 Indeks Pemberdayaan Gender Pada 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi

Selatan

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010.

0

10

20

30

40

50

60

70

2008

2009

145

145 Bab 7 Analisis Isu Daerah

Gambar 7.15. Tingkat Serapan Angkatan Kerja Perempuan di Sulawesi Selatan 2005 - 2009

Sumber: Data Olahan staf Bank Dunia dari Susenas.

Namun sebuah anomali terjadi pada kontribusi perempuan dalam pendapatan ekonomi rumah tangga

pesisir (khususnya di bidang perikanan laut), dimana kontribusi pendapatan istri lebih besar dari

suami. Keterlibatan perempuan dalam pencaharian nafkah di bidang perikanan meliputi seluruh

rangkaian kegiatan, yaitu produksi, pengolahan dan pemasaran. Sekitar 70 persen perempuan terlibat

dalam lebih dari satu kegiatan, misalnya pengolahan dan pemasaran. Berdasarkan data 2011, kontribusi

pendapatan istri dari kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran lebih besar 1.3 persen dari

suaminya. Sementara itu, kontribusi pendapatan istri dari kegiatan produksi dan pengolahan lebih besar

8,83 persen dari suaminya. Perbedaan paling besar terlihat pada kegiatan pengolahan dan pemasaran,

yaitu sebesar 18,53 persen. Namun pada kegiatan tunggal, yaitu pemasaran, kontribusi pendapatan istri

lebih rendah 11 persen dari suaminya.

Tabel 7.3. Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga dan Persentase Kontribusi Perempuan Dalam

Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan

No. Jenis Kegiatan Pendapatan Rumah

tangga

Persentase Kontribusi

Suami Istri Anggota RT Lainnya

1. Produksi,Pengolahan dan

Pemasaran

2.757.150,- 43,00

44,30 6,25 6,45

2. Produksi dan Pengolahan 2,428,600,- 35,58 44,41 12.22 7.79

3. Pengolahan dan

Pemasaran

2.314.300,- 34,87 53,40 4.85 6,88

4. Pemasaran 2.752.777,- 52,06 41,06 3,18 3,70

Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011.

Meski kontribusi pendapatan istri di sebagian besar kegiatan ekonomi rumah tangga pesisir lebih

besar dari suaminya, namun hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan curahan tenaga yang

diberikan untuk mengurus kegiatan yang sama. Dengan pembagian kerja yang relatif jelas antara suami

dan istri pada ekonomi rumah tangga, terlihat curahan tenaga istri untuk kegiatan pengolahan dan

pemasaran memiliki selisih tertinggi sebanyak 153,56 jam per bulan dari curahan tenaga suami. Hal ini

874

1,074 1,229 1,220

-

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

2005 2006 2007 2008 2009

Rib

u

Total Tenaga Kerja Wanita Total Angkatan Kerja Wanita

146

146 Bab 7 Analisis Isu Daerah

berbanding lurus dengan kontribusi pendapatannya. Kondisi yang sama terlihat pada kegiatan produksi,

pengolahan dan pemasaran, dengan selisih 38,81 jam per bulan.

Namun bila melihat kegiatan produksi dan pengolahan serta kegiatan pemasaran, terdapat

ketidakwajaran curahan tenaga dengan kontribusi pendapatan. Pada kegiatan produksi dan

pengolahan, curahan tenaga istri lebih kecil dibanding suami dengan selisih sebesar 151,7 jam per bulan,

sementara pendapatan istri lebih besar. Ketidakwajaran yang sama terjadi pada kegiatan pemasaran,

dimana curahan tenaga istri lebih besar 47,78 jam per bulan dibanding dengan suaminya, tetapi

pendapatannya lebih rendah. Pada kegiatan pemasaran, kondisi curahan tenaga istri yang lebih besar

dari perolehan pendapatan, sesuai dengan kondisi keseluruhan yang tercatat dalam indikator IPG.

Namun ketidakwajaran kegiatan produksi dan pengolahan perlu dianalisa lebih jauh untuk mengetahui

apa yang terjadi dibaliknya.

7.3.3 Kesimpulan dan Rekomendasi

� Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi Selatan menunjukkan

perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional. Hal

ini mengindikasikan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di Sulawesi Selatan. Ada beberapa

rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan IPG dan IDG Sulawesi Selatan: (i) Upaya perwujudan

kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih perlu ditingkatkan, (ii) Perlu

pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat, (iii) Perlu pengembangan

program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender untuk meningkatkan persentase

melek huruf, (iv) Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program

Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender. (v) Perlu pengembangan

program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan.

Tabel 7.4. Rata-rata Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kegiatan Nafkah Rumah

Tangga Dalam Sehari, 2011

No. Jenis Kegiatan Nafkah

Rumahtangga

Alokasi Tenaga (Jam/Hari)

Suami Istri Anggota Rumahtangga

Laki-laki Perempuan

1. Produksi, Pengolahan dan

Pemasaran

12,27

(368,33)

13,56

(407,14)

10,33

(310)

10,66

(320)

2. Produksi dan Pengolahan 14,8

(444,5)

9,75

(292,8)

12,08

(362,5)

7,7

(231,66)

3. Pengolahan dan Pemasaran 6,2

(187,14)

11,35

(340,7)

4,88

(146,6)

10.66

(206,66)

4. Pemasaran 8,9

(267,77)

10,51

(315,55)

8,55

(256,66)

9,10

(297,5)

Sumber: Data Primer PSKMP UNHAS, 2011.

Catatan: Angka dalam kurung adalah rata-rata alokasi tenaga kerja dalam satu bulan (jam/bulan).

147

147 Bab 7 Analisis Isu Daerah

� Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan golongan

pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan (kuintil 1)

cenderung meningkat (sub-bab 7.1). Hal ini terlihat dari persentase rumah tangga yang dikepalai

perempuan dalam kelompok pendapatan terendah, cenderung meningkat dalam kurun 2005 hingga

2009. Dalam kaitan itu, direkomendasikan perlunya pengembangan program dan kegiatan yang

dapat mendukung peningkatan pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya

dalam bentuk pelatihan dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran

produk yang dihasilkan.

� Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah daripada laki-laki,

perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi

rumah tangga. Hanya saja kegiatan yang mereka lakukan hanya terbatas pada kegiatan informal

produksi, pengolahan dan pemasaran ikan. Untuk meningkatkan ketrampilan dan pendapatan

perempuan, berikut beberapa rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah setempat: (i) perlu

pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal teknis

dan manajemen usaha, (ii) perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang

efektif dan efisien, (iii) perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam

pengembangan industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.

149

LAMPIRAN

150

150 Lampiran

Lampiran A. Apakah yang dimaksud dengan Analisis Belanja Pemerintah Sulawesi Selatan?

Melihat pengalaman dari pelaksanaan Analisis Belanja Pemerintah dan Penyelarasan Kapasitas

(PEACH) di berbagai daerah di kawasan timur Indonesia Pemerintah Sulawesi Selatan berinisiatif untuk

melakukan program serupa.

Pengalaman PEACH di provinsi lain menunjukkan bahwa analisis partisipatif atas belanja pemerintah

merupakan titik awal yang baik untuk memperbaiki kualitas pengelolaan belanja pemerintah untuk

melaksanakan fungsi dan tanggung jawab yang baru diperoleh pemerintah daerah di indonesia yang

mulai terdesentralisasi.

Sebagai tanggapan, Bank Dunia bekerja sama dengan tim peneliti yang diorganisasi Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin melakukan analisis

menyeluruh atas pengelolaan belanja pemerintah, yang dihubungkan dengan suatu program kegiatan

untuk memperkuat kapasitas pemerintah-pemerintah daerah. Tujuan yang diharapkan dari PEACH

Sulawesi Selatan adalah perbaikan alokasi sumber daya anggaran yang mengarah pada penyediaan

layanan publik yang lebih baik di tingkat daerah yang disesuaikan dengan preferensi dan pertimbangan

di tingkat daerah. Hal tersebut dapat dicapai dengan keterlibatan para pengambil keputusan di tingkat

daerah serta para pemangku kepentingan lainnya dalam pengidentifkasian prioritas belanja pemerintah

dan pengelolaan keuangan. Tujuan utama dari komponen PEA adalah:

(i) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan belanja pemerintah di suatu provinsi

khususnya sehubungan dengan proses perencanaan dan penganggaran parsitipatif dan pemberian

layanan dasar.

(ii) mengembangkan strategi-strategi untuk memperbaiki pengelolaan keuangan Sulawesi Selatan untuk

mencapai layanan umum dan penanaman modal umum yang lebih baik untuk merangsang

pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

(iii) membentuk sistem yang lebih baik untuk menganalisis dan mengawasi anggaran daerah.

• membentuk jaringan rekan imbangan dari universitas-universitas lokal di Sulawesi Selatan dan

instansi pemerintah daerah yang akan memimpin pelaksanaan PEACH Sulawesi Selatan dan dengan

demikian akan membangun kapasitas untuk dapat melaksanakan analisis belanja pemerintah secara

mandiri di masa mendatang;

• memberikan bantuan teknis/peningkatan kapasitas pada jaringan ini untuk melakukan analisis

serupa di masa mendatang.

151

151 Lampiran

Lampiran B: Catatan Metodologi

Seluruh data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan dalam laporan ini

diperoleh dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dalam bentuk Peraturan

Daerah. Data tahun 2005-2009 menggunakan APBD Realisasi, untuk tahun 2010 menggunakan APBD

Perubahan, dan untuk tahun 2011 menggunakan APBD Rencana/Pokok. Data APBD telah disesuaikan

menggunakan inflasi dengan tahun dasar 2010.

Pengkategorian belanja sektor adalah sebagai berikut: (1) data belanja sektor infrastruktur merupakan

penggabungan belanja urusan pekerjaan umum, urusan permukiman, dan urusan perhubungan; (2) data

belanja sektor pendidikan merupakan penjumlahan belanja urusan pendidikan, urusan kebudayaan, dan

urusan perpustakaan; (3) data belanja sektor kesehatan adalah belanja urusan kesehatan; dan (4) data

belanja sektor pertanian merupakan penjumlahan dari belanja urusan pertanian dan urusan ketahanan

pangan.

Data makro mengenai perkembangan pembangunan daerah Sulawesi Selatan, data kinerja keluaran dan

kinerja hasil sektor strategis, data komoditas unggulan, dan data terkait dengan isu-isu strategis,

sebagian besar bersumber dari data publikasi BPS, antara lain Perkembangan Beberapa Indikator Utama

Sosial Ekonomi Indonesia, Data Strategis BPS, Sulawesi Selatan Dalam Angka, Indikator Kesejahteraan

Sosial, Hasil Sensus Penduduk 2010.

Sebagian data sosial ekonomi lainnya diperoleh dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) hasil

olahan Bank Dunia, UNDP, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan pemerintah

provinsi dan kabupaten kota di Sulawesi Selatan.

152

Lampiran C : Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi

Tabel C.1. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Kesimpulan Rekomendasi

Agenda Pembangunan kabupaten/kota telah mampu menyesuaikan dengan

Agenda Provinsi seperti tertuang dalam RPJMD, tetapi belum dapat

menyesuaikan dengan Agenda Pembangunan Nasional dalam RPJMN.

� Pemerintah daerah perlu secara serius mempersiapkan seluruh dokumen perencanaan

penganggaran baik pada level daerah maupun dan khususnya level SKPD.

� Sebaiknya lebih fokus pada mempersiapkan kelengkapan dokumen perencanaan tahunan,

yakni RKPD dan Renja-SKPD karena keduanya lebih banyak diabaikan.

� Pemerintah daerah melalui Bappeda, sebaiknya menyelenggarakan forum untuk

menciptakan kesepahaman tentang pentingnya setiap dokumen perencanaan tersedia

bagi setiap SKPD.

Baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Renstra dan Renja SKPD

belum semua secara konsisten menjabarkan program prioritas dari RPJMD

dan RKPD. Bahkan terdapat sejumlah daerah yang tidak memiliki dokumen

perencanaan tahunan.

� Pemerintah daerah harus menerapkan mekanisme reward dan punishment bagi SKPD yang

berhasil atau lalai dalam menyelesaikan RKPD dan Renja-nya.

Masih banyak daerah yang terlambat jadwal dalam proses perencanaan dan

penganggarannya. Terdapat sejumlah program yang tercantum dalam Renja-

SKPD yang tidak dianggarkan dalam APBD.

� Hal ini tidak hanya dipengaruhi proses dalam lembaga eksekutif semata, tetapi juga

disebabkan proses dalam lembaga legislatif. Direkomendasikan agar penguatan

kelembagaan dan sumber daya manusia mulai mengikutsertakan lembaga legislatif.

Kualitas pelaksanaan dan hasil dokumentasi Musrenbang masih tergolong

rendah, ditunjukkan dengan masih kurangnya usulan masyarakat melalui

Musrenbang yang diakomodasi.

� Pelaksanaan Musrenbang harus konsisten dan disiplin sesuai kalender perencanaan pada

setiap tingkatan pemerintahan.

� Pendampingan dan fasilitasi pelaksanaan Musrenbang, khususnya pada tingkat kecamatan

dan desa/kelurahan yang merekam proses dan hasil usulan, dan mengkerucutkan

rekomendasi.

� Audit hasil Musrenbang untuk melihat sejauh mana hasil akhir Musrenbang

mengakomodasi usulan-usulan awal.

Pada sejumlah daerah kabupaten/kota, keterkaitan RKPD dan RAPBD/APBD

masih tergolong rendah, ditunjukkan dengan terdapatnya sejumlah program

prioritas dalam RKPD dan Renja SKPD yang tidak dianggarkan dalam

RAPBD/APBD, demikian juga sebaliknya.

� Rekomendasinya adalah TAPD dan PAL menjadikan RKPD dan Renja SKPD sebagai rujukan

utama dalam penyusunan DPA dan RAPBD/APBD.

Kapasitas kelembagaan dan kompetensi SDM aparat perencana dan pengelola

keuangan daerah belum memadai dalam penerapan anggaran berbasis

kinerja, baik pada tingkat daerah maupun pada tingkat SKPD.

� Penempatan SDM aparat perencana pembangunan yang memiliki latar belakang

keilmuan perencanaan pembangunan atau pernah mengikuti diklat fungsional

perencanaan pembangunan.

� Penempatan SDM aparat pengelolaan keuangan daerah yang memiliki latar belakang

keilmuan ekonomi atau spesifik akuntansi keuangan publik dan atau minimal pernah

mengikuti diklat pengelolaan keuangan daerah.

Pengawasan (audit) internal dan eksternal masih lebih banyak memberikan

perhatian pada dokumen anggaran dibandingkan dokumen perencanaan.

� Terkait dengan hal tersebut yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan audit eksternal dan

internal terhadap dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, serta keterkaitan di

153

153 Lampiran

antara keduanya.

Pemerintah Provinsi Sulawesi, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Pare-pare

memiliki nilai yang baik dalam analisa PKD

� Ketiga pemerintahan tersebut bisa dijadikan acuan atau pembelajaran bersama bagi

kabupaten/kota lainnya paling tidak dari sisi ketersediaan dokumennya.

Tabel C.2. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAPATAN

Kesimpulan Rekomendasi

Pendapatan Daerah riil di Sulawesi Selatan meningkat dan sebagian besar

dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, namun penyumbang terbesar

terhadap Pendapatan Daerah adalah Dana Perimbangan

• Mengkaji dan memperluas potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah meskipun nilainya

kecil dengan tetap memperhatikan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terbaru,

• Memperbaiki sistem administrasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk

menekan kebocoran,

• Melatih aparat pemerintah daerah di bidang perpajakan terutama terkait dengan

penetapan target yang berbasis pada potensi,

• Memberikan insentif kepada pemungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara

proporsional,

• Mengkaji faktor-faktor penyebab rendah dan tidak stabilnya PAD yang bersumber dari

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah,

• Mengevaluasi efektifitas peraturan daerah (perda) yang terkait dengan upaya

peningkatan PAD,

• Mengevaluasi kesesuaian antara layanan yang diberikan kepada masyarakat dengan tarif

retribusi yang ditetapkan

Dana bagi hasil pajak yang diterima pemerintah provinsi meningkat, tetapi

untuk kabupaten/kota jumlahnya tidak signifikan.

� Kajian tentang potensi sumber-sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah di tingkat

kabupaten/kota

� Evaluasi proporsi transfer DBH pajak kepada pemerintah kabupaten/kota.

Ketimpangan pendapatan per kapita antar kabupaten/kota di Sulawesi

Selatan bervariasi dan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh PAD dan Dana

Perimbangan.

� daerah tidak bisa mengandalkan transfer dari pusat terus menerus dan harus

meningkatkan sumber PAD-nya antara lain yang memiliki PAD per kapita rendah seperti

Jeneponto, Gowa, dan Bone. Atau yang Dana Perimbangannya besar dan PAD-nya kecil

seperti Barru dan Bantaeng. Pemerintah di Sulawesi Selatan mengalami defisit hampir setiap tahun. • Mencari sumber-sumber pinjaman dan obligasi yang berkategori lunak,

• Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola utang sehingga tidak

membuat daerah terjebak dalam utang.

BELANJA

Kesimpulan Rekomendasi

Belanja riil pemerintah daerah di Sulawesi Selatan meningkat selama periode

2005-2010, akan tetapi proporsi belanja pegawai terhadap total belanja

daerah pemerintah lebih dominan daripada proporsi belanja modal

• Perlu pengelolaan belanja daerah pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan monitoring

dan evaluasi

• Pemerintah daerah dapat melakukan moratorium (tidak melakukan penambahan pegawai

baru) 2-3 tahun kedepan

• Melakukan penambahan tenaga yang teknis yang masih terbatas seperti tenaga akuntan,

154

154 Lampiran

tenaga kesehatan dan insinyur dengan jumlah yang lebih kecil dari pegawai yang

pensiun.

Porsi belanja pegawai terbesar dikontribusi oleh sektor pendidikan dan

memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun

• Tidak Perlu ada penambahan jumlah guru dalam beberapa tahun ke depan, cukup dengan

melakukan redistribusi tenaga guru yang ada saat ini dari perkotaan yang relatif cukup

banyak ke daerah pedesaan yang relatif masih kekurangan atau dari daerah kab/kota yang

rasio guru murid lebih baik ke daerah kab/kota yang kurang baik.

• Kebijakan pemberian sertifikasi guru perlu lebih selektif agar beban anggaran bisa

dikurangi dan harus diikuti dengan pemantauan dan pemberian sanksi terhadap guru yang

telah menerima tetapi belum menunjukkan peningkatan kinerja (kualitas pelayanan

pendidikan) ke tingkat yang lebih baik.

Alokasi belanja per sektor cukup bervariasi dan cukup timpang, dimana sektor

pendidikan, infrastruktur dan pemerintahan umum masih menyerap alokasi

belanja paling besar sementara sektor kesehatan dan pertanian memperoleh

alokasi yang relatif lebih kecil

• Proporsi pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan

pertanian perlu ditingkatkan ke jumlah yang lebih signifikan.

• Selain sektor kesehatan dan pertanian, sektor-sektor yang terkait dengan fungsi ekonomi

(pengembangan usaha kecil dan menengah dan pemberdayaan masyarakat desa, tenaga

kerja, kelautan dan perikanan dan perdagangan) perlu ditingkatkan alokasi anggarannya

dengan jumlah yang signifikan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Alokasi belanja yang terkait upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan

gender masih kecil

• Perlu peningkatan komitmen penentu kebijakan pada masing-masing SKPD terkait

dengan implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG).

• Para perencana anggaran pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) perlu mendapat

sosialisasi dan pelatihan terkait PUG agar anggaran yang disusun responsif gender.

• Perlu kajian/penelitian tentang besaran anggaran yang responsif gender untuk seluruh

SKPD terkait.

Tabel C 3. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Sektoral

PENDIDIKAN

Kesimpulan Rekomendasi

Proporsi belanja pegawai terhadap total belanja sektor pendidikan relatif

sangat besar, tetapi proporsi belanja modal relatif kecil.

� Proporsi belanja pegawai di sektor pendidikan perlu ditekan ke level yang lebih rendah,

agar proporsi belanja modal dapat diangkat ke tingkat yang lebih signifikan.

� Untuk menekan proporsi belanja pegawai, perlu kebijakan moratorium penerimaan

pegawai untuk beberapa tahun ke depan atau setidaknya menempuh kebijakan zero

growth jumlah pegawai.

� Belanja pegawai pada pos belanja langsung harus lebih diefisienkan.

Peningkatan belanja pendidikan di Sulawesi Selatan telah berhasil mendorong

kinerja keluaran terutama rasio guru-murid, tetapi belum berhasil mendorong

kinerja hasil. Terutama rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf pada

tingkat setara dengan target RPJMD dan angka nasional.

� Belanja pendidikan perlu semakin ditajamkan arah penggunaannya untuk mendorong

kabupaten/kota dengan kinerja rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf di

kabupaten yang rendah angkanya.

� Perlu rekruitmen guru di tingkat SMA, tetapi tidak perlu di tingkat SD dan SMP.

� Menjangkau dan mamasukkan ke bangku sekolah seluruh anak usia wajib belajar.

� Upaya pemberantasan buta huruf perlu difokuskan pada perempuan dengan wilayah

bagian selatan Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Takalar dan Gowa.

155

155 Lampiran

� Perlu kebijakan realokasi guru dari kabupaten/kota dengan rasio guru-murid rendah ke

kabupaten/kota dengan rasio guru-murid tinggi.

Porsi anggaran untuk kebijakan pendidikan gratis relatif cukup besar dan

menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

� Mengingat kebijakan ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2008, maka perlu dilakukan

evaluasi menyeluruh mengenai efektifitas kebijakan pendidikan gratis.

� Kebijakan pendidikan gratis perlu dikorelasikan dengan target kinerja keluaran dan kinerja

hasil yang ingin dicapai atau dikoreksi.

Terdapat ketidaksetaraan gender dalam kinerja hasil pembangunan

pendidikan di Sulawesi terutama pada kelompok usia di atas 29 tahun.

� Pemerintah memberlakukan Kejar Paket A pada kelompok umur di atas 29 tahun. � Kelompok perempuan yang buta huruf ini juga diberi keahlian lain sebagai bagian dari

pemberdayaan.

Kebijakan pendidikan gratis telah berhasil meringankan beban pada anak usia

sekolah yang telah mengakses pendidikan tetapi belum efektif mendorong

anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan untuk masuk ke bangku

sekolah

� Kebijakan pendidikan gratis perlu diikuti dengan bentuk intervensi lain yang bisa memaksa

anak usia sekolah untuk masuk ke bangku sekolah, khususnya pada anak yang terhambat

secara geografis (berlokasi di pegunungan serta pesisir, dan kepulauan) dan secara

ekonomi-budaya (yang putus sekolah karena mencari nafkah).

� Harus ada payung hukum untuk kerjasama pemerintah provinsi dan kabupaten dalam

merealisasikan hal ini.

Rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk pendidikan antar kelompok

pendapatan menunjukkan kesenjangan yang cukup timpang. Kelompok

pendapatan termiskin di Kabupaten Selayar, Bone, Sidrap dan Luwu

mengeluarkan anggaran untuk pendidikan yang relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang sama di kabupaten lain.

� Mengurangi beban pengeluaran untuk pendidikan bagi kelompok pendapatan termiskin

misalnya lewat subsidi pendidikan keluarga, diprioritaskan di Kabupaten Selayar, Bone,

Sidrap, dan Luwu..

� Kebijakan pendidikan gratis harus memastikan keberpihakannya pada kelompok

pendapatan termiskin. Hal ini bisa terlihat

KESEHATAN

Kesimpulan Rekomendasi

Angka Harapan Hidup Sulawesi Selatan masih lebih rendah dari nasional dan

Angka Kematian Ibu dan Bayi masih lebih tinggi.

� Sosialisasi secara intensif kepada rumah tangga miskin tentang pentingnya perbaikan gizi

pada balita (termasuk jenis makanan yang mengandung gizi yang tinggi dan bagus untuk

dikonsumsi anak-anak).

� Penanganan secara khusus pada daerah daerah rawan gizi buruk dan daerah-daerah yang

terbanyak jumlah balita yang menderita gizi buruk.

� Pemerataan cakupan pemeriksaan kehamilan dan perawatan pasca melahirkan antara di

perdesaan dan kepada kelompok profesi sebagai petani, nelayan, dan buruh.

� Sosialisasi gender secara intensif bagi masyarakat khususnya ibu hamil (istri) dan suami.

Proporsi belanja kesehatan terhadap belanja daerah hanya berkisar 8 sampai

10 persen per tahun.

� Mengupayakan proporsi yang lebih seimbang antara belanja pegawai dengan belanja

modal dan belanja barang dan jasa.

� Belanja kesehatan juga diharapkan untuk program yang tidak hanya bersifat pengobatan,

tetapi juga program yang bersifat pencegahan.

Masih ditemukan adanya kendala pembiayaan dalam program Kesehatan

Gratis.

� Perlu diciptakan suatu model pembiayaan lintas batas baik antar provinsi maupun antar

kabupaten/kota.

� Selain itu perlu dilakukan penyeragaman terhadap biaya jasa layanan kesehatan gratis

yang berlaku untuk seluruh kabupaten/kota

Fasilitas kesehatan di Sulawesi Selatan tersebar merata di kabupaten,

sementara tenaga kesehatan justru terkonsentrasi di perkotaan.

� Mendistribusi ulang tenaga kesehatan dari daerah perkotaan.

� Memberikan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di pelosok.

156

156 Lampiran

INFRASTRUKTUR

Kesimpulan Rekomendasi

Arus penumpang dan barang di pelabuhan udara meningkat sementara di

pelabuhan laut cenderung menurun.

• Pemerintah Sulawesi Selatan konsisten membenahi infrastruktur pendukung bandar

udara seperti terminal penumpang, loket kendaraan, lapangan parkir, dan kenyamanan

dalam bandar udara, untuk mengantisipasi pertumbuhan.

Cakupan infrastruktur dasar di Sulawesi Selatan lebih baik dari mayoritas

provinsi di Sulawesi, beberapa kabupaten masih memiliki tantangan.

• Kabupaten Selayar, daerah Luwu Raya, perlu secara konsisten mengalokasikan belanja

infrastruktur yang signifikan disebabkan sebaran penduduk dan kondisi geografinya.

Akses rumah tangga yang dikepalai perempuan terhadap air bersih cenderung

memburuk.

• Meningkatkan penyadartahuan kepala rumah tangga terhadap sanitasi dan air bersih

• Menghilangkan diskriminasi pelayanan terhadap rumah tangga yang dikepalai perempuan

Peningkatan belanja infrastruktur di Sulawesi Selatan berdampak pada

bertumbuhnya panjang jalan di kabupaten/kota.

• Pemerintah daerah harus memperhatikan pemeliharaan kualitas jalan selain dari total

ruas panjang jalan karena kualitas jalan di Sulawesi Selatan memburuk.

Terjadi peningkatan kualitas irigasi di lahan yang telah dialiri. � Karena ada hubungan positif antara cakupan irigasi dengan produktifitas lahan, maka

direkomendasikan agar pemerintah fokus pada peningkatan rasio jaringan irigasi dan

kualitasnya daripada mendorong ekstensifikasi lahan

PERTANIAN

Kesimpulan Rekomendasi

Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari

kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian

di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja

pegawai.

� Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan

atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan

Secara umum, kinerja pencapaian produksi pertanian pada setiap subsektor

menunjukkan kinerja yang baik dan sejalan dengan target pencapaian yang

ditetapkan dalam RPJMD, terutama pada komoditas-komoditas yang menjadi

andalan Sulawesi Selatan.

� Mengimplementasikan secara konsisten program-program pokok yang telah ditetapkan

dalam RPJMD

� Mengembangkan tiga komoditas prioritas utama yakni beras, jagung dan ternak kearah

peningkatan value added.

� Memperbaiki kualitas pengembangan komoditas beras dan jagung dalam bentuk

pengembangan produk organik. Produk organik dapat meningkatkan pendapatan petani

melalui penurunan biaya produksi dan peningkatan harga produk.

� Mengembangkan produk pertanian organic melalui integrasi dengan pengembangan

ternak.

� Mengintegrasikan padi dan jagung dengan ternak sapi untuk menghasilkan pupuk

organik, pakan ternak dari sisa tanaman, dan sumber energi (biogas) sehingga biaya

produksi ketiga komoditas tersebut lebih rendah dan kualitas dan harga produk lebih

tinggi.

� Mengembangkan udang organik untuk memenuhi persyaratan permintaan internasional

dan sekaligus memulihkan atau memperbaiki ekosistem pertambakan, sebaiknya

dikembangkan agar kegiatan budidaya daya udang dapat bangkit kembali, lestari dan

berkelanjutan.

� Mengolah komoditas kakao dan rumput laut untuk menghasilkan produk yang siap

dikonsumsi.

� Mengembangkan pengolahan bahan baku menjadi produk yang siap dikonsumsi agar

tercipta nilai tambah atau pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja.

157

157 Lampiran

Perkembangan kontribusi sektor pertanian cenderung menurun dengan

tingkat pertumbuhan relatif kecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya

di Sulawesi Selatan. Selain itu, ketergantungan tenaga kerja sektor pertanian

cukup tinggi.

� Melakukan pemetaan komoditas unggulan melalui sinergitas stakeholder pembangunan

bidang pertanian.

� Melakukan diversifikasi produksi pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah (value

added) sektor pertanian.

� Meningkatkan investasi sektor publik pada sektor pertanian yang memiliki akselerasi dan

daya dorong tinggi.

Tabel C.4. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Komoditas Unggulan

BELANJA PERTANIAN

Kesimpulan Rekomendasi

Program unggulan di bidang pertanian mendapat dukungan dari

kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, terlihat dari besarnya belanja pertanian

di kabupaten sentra produk unggulan. Tetapi mayoritas masih untuk belanja

pegawai.

• Belanja pertanian lebih diarahkan juga kepada pembangunan infrastruktur pengolahan

atau produksi (belanja modal) selain belanja yang lebih konvensional seperti penyuluhan

KOMODITAS JAGUNG

Kesimpulan Rekomendasi

Produksi jagung yang dicapai pada tahun 2010 sebesar 1,4 juta ton atau 93,3

pesen dari target produksi minimal 1,5 juta pada tahun 2013.

• Pengembangan komoditas dapat diarahkan pada produksi jagung organik untuk

peningkatan kualitas dan penurunan biaya produksi dalam rangka meningkatkan

pendapatan petani

KOMODITAS KAKAO

Kesimpulan Rekomendasi

Dengan kebijakan dan berbagai program kakao telah memperlihatkan

kecenderungan peningkatan produksi dan produktivitas (tahun 2009 dan

2010), walaupun belum menyamai produksi dan produktivitas tahun 2006.

• Masih perlu upaya rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi melalui perbaikan bibit,

pemeliharaan dan penanganan pasca panen tanaman kakao yang belum tersentuh

GERNAS.

• Penguatan kelembagaan petani sangat dibutuhkan sebagai satu upaya menuju

“kemandirian’’ petani kakao.

• Merintis industri perkakaoan karena Sulawesi Selatan memiliki keunggulan mutlak

dibanding daerah lain.

Anggaran program pengembangan kakao mayoritas bersumber dari pusat. • Pemerintah Sulawesi Selatan harus lebih berkomitmen mengalokasikan dana untuk

program ini mengingat Sulawesi Selatan saat ini memiliki keunggulan mutlak dan sedikit

kompetitor pada produk kakao.

KOMODITAS SAPI

Kesimpulan Rekomendasi

Pencapaian target populasi sejuta ekor sapi diperkirakan dapat dicapai pada

tahun 2013

• Intervensi yang bisa dilakukan pada subsektor peternakan hendaknya diprioritaskan untuk

memacu kegiatan inseminasi buatan, perbaikan kawin alami, penanganan gangguan

reproduksi dan kesehatan ternak sapi, penyelamatan betina produktif, peningkatan dan

pengembangan pakan sapi, peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan, penyediaan induk

atau bibit sapi serta pengendalian lalu lintas ternak

158

158 Lampiran

KOMODITAS RUMPUT LAUT

Kesimpulan Rekomendasi

Peningkatan produksi rumput laut di setiap kabupaten masih berfluktuasi.

Potensi peningkatan produksi rumput laut jenis G. verrucosa ini masih cukup

besar. Lahan tambak belum dimanfaatkan seluruhnya secara optimal.

• Intervensi dan dukungan Pemerintah dapat dilakukan melalui pengelolaan balai benih

untuk memproduksi bibit unggul yang menjadi kendala utama petani rumput laut.

• Selain itu, Pemerintah dapat memperbaiki kelembagaan petani (produsen) dan pedagang

rumput laut untuk menjamin stabilitas harga yang wajar.

KOMODITAS UDANG

Kesimpulan Rekomendasi

Trauma terhadap mewabahnya penyakit pada Udang Windu mengakibatkan

petani cederung tidak membudidayakan Udang Windu. Hal ini menyebabkan

target pertumbuhan produksi tidak tercapai

• Pemerintah perlu merevisi targetnya, karena dengan praktek intensif (penyebaran 30 ekor

per meter persegi) resiko penyakit makin tinggi.

• Alternatif lain adalah pemerintah harus dapat mencarikan solusi mengurangi resiko

praktek tambak intensif

Produksi benur masih di bawah kebutuhan. • Produksi benur di pembenihan harus dimaksimalkan, saat ini produksinya baru separuh

kapasitas maksimum.

• Produksi benur maksimum juga masih di bawah kebutuhan, pemerintah perlu membangun

pusat pembenihan baru.

Mayoritas lahan tambak di Sulawesi Selatan justru belum dimanfaatkan. • Untuk meningkatkan produksi, sebaiknya pemerintah Sulawesi Selatan mengoptimalkan

lahan yang telah ada tanpa membuka lahan baru sehingga menjaga kualitas lingkungan

Tabel C.5. Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Isu-Isu Strategis

KEMISKINAN

Kesimpulan Rekomendasi

Jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan menunjukkan

penurunan secara konsisten selama periode 2006-2010.

• Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharapkan dapat secara intensif

mengimplementasikan berbagai program dan mengalokasikan anggaran yang lebih

signifikan bagi upaya pengentasan kemiskinan di Sulawesi Selatan.

• Pemerintah daerah perlu menyusun road-map penanggulangan kemiskinan daerah, baik

untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang.

Penurunan jumlah persentase penduduk miskin berlangsung seiring dengan

meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi dan menurunnya tingkat

pengangguran terbuka.

• Pembangunan ekonomi inklusif, pengembangan sektor hulu, sistem penganggaran yang

lebih berpihak kepada kaum miskin, pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, perlu terus

didorong ke arah yang lebih signifikan

Kabupaten Pangkep, Jeneponto, dan Toraja Utara merupakan daerah dengan

persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi Selatan.

• Kebijakan dan program pengentasan kemiskinan perlu lebih diintensifkan di ketiga

kabupaten tersebut, dengan mendorong keterlibatan berbagai mitra pembangunan,

seperti perusahaan swasta, BUMN, LSM, lembaga donor, dsb.

Seperti halnya jumlah dan persentase penduduk miskin, Indeks Kedalaman

Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan

juga menunjukkan penurunan.

• Pemerintah Sulawesi Selatan perlu mendesain program pembangunan daerah yang

memberi ruang bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin, untuk memperoleh

pekerjaan dan mendapatkan pendapatan secara berkesinambungan.

LINGKUNGAN HIDUP

Kesimpulan Rekomendasi

159

159 Lampiran

Kerusakan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia

dalam memanfaatkan sumberdaya alam.

� Pemerintah daerah memberlakukan sistem pemberian insentif bagi mereka yang berhasil

menerapkan green activity tidak hanya dalam bentuk penghargaan tetapi juga dalam

bentuk materi, seperti pengurangan pajak.

� Program-program penanggulangan kerusakan lingkungan sebaiknya mempertimbangkan

aspek sosial-budaya.

� Pemerintah seharusnya menerapkan biaya beban lingkungan atau pajak lingkungan bagi

perusahaan.

Bencana alam yang umumnya diakibatkan bukan oleh kesalahan manusia

harus dapat diminimalkan dampaknya melalui beberapa langkah mitigasi.

� Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) seharusnya menyusun

dan mengimplementasikan Rencana Mitigasi Bencana berdasarkan potensi bencana

masing-masing.

� Perancanaan penganggaran kebencanaan seharusnya dilakukan secara terkoordinasi

antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

GENDER

Kesimpulan Rekomendasi

Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Sulawesi

Selatan menunjukkan perbaikan setiap tahun, namun masih dibawah IPM

Sulawesi Selatan dan rata-rata Nasional.

� Upaya perwujudan kesetaraan dan keadilan gender melalui implementasi PUG masih

perlu ditingkatkan.

� Perlu pengembangan program dan kegiatan responsif gender untuk hidup sehat.

� Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan informal yang responsif gender

untuk meningkatkan persentase melek huruf.

� Perlu peningkatan sosialisai dan penyadaran kepada masyarakat tentang Program

Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun yang responsif gender.

� Perlu pengembangan program dan kegiatan pendidikan politik terutama perempuan .

Persentase kepala rumah tangga perempuan di Sulawesi Selatan berdasarkan

golongan pendapatan relatif merata, tetapi rumah tangga miskin yang

dikepalai perempuan (kuintil 1) cenderung meningkat.

� Perlunya pengembangan program dan kegiatan yang dapat mendukung peningkatan

pendapatan kepala rumah tangga perempuan miskin, misalnya dalam bentuk pelatihan

dan pembinaan, pemberian bantuan modal, peningkatan akses pemasaran produk yang

dihasilkan

Berbeda dengan kondisi umum, dimana pendapatan perempuan lebih rendah

daripada laki-laki, perempuan pesisir di Sulawesi Selatan justru memiliki

kontribusi yang lebih besar untuk ekonomi rumah tangga.

� Perlu pengembangan program dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas perempuan

dalam hal teknis dan manajemen usaha.

� Perlu pengembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan yang efektif dan efisien.

� perlu peningkatan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan

industri perikanan, terutama dalam diversifikasi usaha industri perikanan.

160

160 Lampiran

Lampiran D. Master Table

Penerimaan (dalam Juta Rupiah)

Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PAD 942,001.34 1,008,203.93 1,220,302.07 1,362,714.82 1,324,291.63 1,421,948.68 1,678,104.86

Pajak Daerah 788,082.73 858,238.32 1,045,960.00 1,175,115.54 1,113,479.35 1,249,259.11 1,458,737.07

Retribusi Daerah 67,862.44 72,125.64 69,473.10 80,279.44 107,203.72 116,787.85 104,677.65

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 56,965.96 48,333.58 56,871.14 60,321.99 63,180.00 51,668.70 59,865.60

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 29,090.21 29,506.39 47,997.83 46,997.85 40,428.55 4,233.03 54,824.55

Dana Perimbangan 664,380.44 881,261.70 996,194.59 984,540.08 974,494.22 974,603.24 1,026,668.93

Dana Bagi Hasil Pajak 178,449.70 218,835.02 208,126.72 194,906.57 210,088.04 239,088.44 218,090.33

Bagi Hasil Bukan Pajak 22,182.83 - 50,774.81 28,513.99 9,672.18 - -

Dana Alokasi Umum 463,747.91 662,426.68 737,293.06 722,464.41 706,942.90 706,276.40 769,075.30

Dana Alokasi Khusus - - - 38,655.11 47,791.09 29,238.40 39,503.30

BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 17,996.58 34,763.18 8,879.77 4,400.50 19,693.50 58,966.73 -

Pendapatan Hibah - - 8,879.77 4,400.50 19,693.50 - -

Dana Darurat - - - - - - -

Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -

Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus - - - - - 58,966.73 -

Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -

Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - - - - - -

Pendapatan lainnya - - - - - - -

Total penerimaan 1,624,378.36 1,924,228.80 2,225,376.43 2,351,655.40 2,318,479.35 2,455,518.65 2,704,773.79

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PAD 523,329.72 683,061.73 872,730.55 760,129.12 852,488.18 986,831.14 1,058,879.76

Pajak Daerah 182,937.55 220,944.25 199,728.55 219,215.26 246,833.15 277,107.19 416,733.30

Retribusi Daerah 225,871.35 250,889.52 249,750.24 267,763.61 292,905.59 406,973.94 396,341.77

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 31,431.22 38,932.33 205,215.21 60,086.13 123,512.43 72,008.69 68,247.58

161

161 Lampiran

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah 83,089.61 172,295.63 218,036.55 213,064.12 167,085.69 230,741.32 177,557.10

Dana Perimbangan 6,336,443.73 9,712,394.68 10,561,106.68 10,207,549.15 10,195,909.11 9,957,751.97 10,332,751.82

Dana Bagi Hasil Pajak 769,623.46 940,638.82 945,924.26 867,387.70 845,706.43 1,092,153.94 939,538.08

Bagi Hasil Bukan Pajak 67,566.48 14,202.62 222,499.82 116,795.89 42,152.99 42,957.22 -

Dana Alokasi Umum 5,114,836.30 7,900,121.12 8,207,052.44 7,921,597.01 7,954,415.46 7,867,174.91 8,294,197.08

Dana Alokasi Khusus 384,417.49 857,432.12 1,185,630.17 1,301,768.55 1,353,634.24 955,465.90 1,099,016.67

BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 520,461.67 516,286.95 879,734.98 1,085,257.53 1,046,667.15 2,481,123.47 1,814,257.18

Pendapatan Hibah - - 121,374.62 70,034.71 125,073.53 169,880.85 187,356.42

Dana Darurat - - 311,341.72 150,643.94 58,900.09 32,363.00 -

Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - 290,327.00 399,416.94 299,953.60 437,931.52 470,125.44

Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus - - 108,269.76 161,410.62 309,311.20 1,388,309.87 935,491.21

Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya - - 26,995.15 197,333.84 241,845.97 270,986.85 220,624.50

Bagi Hasil Bukan Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya - - 21,426.73 106,417.48 11,582.75 181,651.39 659.60

Pendapatan lainnya - - - - - - -

Total penerimaan 7,380,235.12 10,911,743.36 12,313,572.21 12,052,935.80 12,095,064.44 13,425,706.59 13,205,888.76

162

162 Lampiran

Belanja berdasarkan Klasifikasi Ekonomi (dalam Milyar Rupiah)

Belanja berdasarkan Sektor (dalam Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Provinsi

Pemerintahan Umum 401 435 473 491 466 512 510

Pertanian 42 43 83 95 100 123 125

Perikanan dan Kelautan 14 16 24 24 32 30 31

Pertambangan dan Energi 12 12 18 17 21 19 18

Kehutanan dan Perkebunan 30 31 20 19 21 21 20

Perindutrian dan Perdagangan 37 43 48 27 33 27 27

Perkoperasian 19 38 18 19 21 18 16

Penanaman Model 9 10 11 11 11 13 17

Ketenagakerjaan 18 17 19 18 19 20 21

Kesehatan 150 152 167 223 214 232 239

Pendidikan dan Kebudayaan 83 116 117 104 108 110 108

Sosial 16 18 18 18 22 29 35

Penataan Ruang 127 107 81 0 69 20 16

Permukiman 0 0 0 69 0 0 30

Pekerjaan Umum 138 155 217 311 252 304 340

Perhubungan 36 33 40 25 46 39 46

Lingkungan Hidup 9 9 10 9 10 12 11

TAHUN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* 2011**

Provinsi

Pegawai 469 467 523 634 639 632 723

Barang dan Jasa 358 450 448 493 493 576 559

Modal 316 316 393 353 313 334 345

Lain-Lain 492 581 888 1,000 805 1,100 1,149

Total 1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776

Kabupaten

Pegawai 3,162 3,502 5,543 5,875 0 7,475 7,763

Barang dan Jasa 1,316 1,844 1,739 1,825 0 2,181 2,306

Modal 1,445 2,666 3,657 4,070 0 3,400 2,622

Lain-Lain 424 496 760 1,056 0 995 799

Total 6,347 8,508 11,700 12,826 0 14,052 13,491

Total

Pegawai 3,631 3,969 6,066 6,509 6,766 8,108 8,487

Barang dan Jasa 1,674 2,294 2,187 2,318 2,476 2,757 2,865

Modal 1,761 2,982 4,051 4,423 4,043 3,734 2,967

Lain-Lain 916 1,077 1,649 2,056 1,481 2,096 1,948

Total (Triliun Rp.) 8.0 10.3 14.0 15.3 14.8 16.7 16.3

163

163 Lampiran

Kependudukan 0 0 0 0 0 0 0

Olahraga 0 0 0 0 1 14 17

Kepariwisataan 0 0 0 0 0 0 0

Pertanahan 0 0 0 0 0 0 0

Transfer ke daerah bawahan 492 581 888 1,000 805 1,100 1,149

Total 1,635 1,814 2,252 2,480 2,250 2,642 2,776

Kabupaten/Kota

Pemerintahan Umum 2,275 2,856 3,127 3,432 2,881 3,149 3,532

Pertanian 145 239 361 379 329 369 386

Perikanan dan Kelautan 69 109 129 142 115 139 153

Pertambangan dan Energi 22 25 31 32 50 31 35

Kehutanan dan Perkebunan 57 69 81 83 98 89 92

Perindutrian dan Perdagangan 60 55 57 67 55 56 42

Perkoperasian 19 22 59 49 57 75 59

Penanaman Model 2 1 4 4 6 7 11

Ketenagakerjaan 29 35 35 38 40 43 33

Kesehatan 508 687 1,052 1,155 1,315 1,507 1,386

Pendidikan dan Kebudayaan 1,585 1,913 3,392 3,599 4,052 5,028 4,893

Sosial 26 36 63 63 90 82 102

Penataan Ruang 106 211 114 131 112 102 59

Permukiman 97 87 108 56 45 78 72

Pekerjaan Umum 714 1,400 2,002 2,177 2,243 1,925 1,457

Perhubungan 64 78 106 105 117 131 120

Lingkungan Hidup 51 78 106 143 127 136 145

Kependudukan 72 71 67 67 57 57 59

Olahraga 0 1 4 10 22 20 32

Kepariwisataan 25 38 39 39 23 28 19

Pertanahan 0 0 3 1 6 6 4

Transfer ke daerah bawahan 424 496 760 1,056 676 995 799

Total 6,347 8,508 11,700 12,826 12,516 14,052 13,491

Belanja Pemerintah Pusat yang Terdekonsentrasi ke Provinsi Sulawesi Selatan (dalam Milyar Rupiah)

2005 2006 2007 2008 2009

PELAYANAN UMUM 356 213 173 113 128

PERTAHANAN 0 0 0 0 0

KETERTIBAN DAN KEAMANAN 0 2 0 3 13

EKONOMI 2,126 2,864 2 4,023 4,850

LINGKUNGAN HIDUP 58 175 3,776 166 258

PERUMAHAN DAN FASILITAS UMUM 2,193 719 174 2,975 4,392

KESEHATAN 1,255 2,387 1,164 949 932

PARIWISATA DAN BUDAYA 54 55 2,023 53 104

AGAMA 15 19 54 0 0

PENDIDIKAN 4,978 7,199 0 9,145 14,730

KEPENDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN SOSIAL 250 334 7,569 146 143

164

164 Lampiran

Pendapatan Per Kapita Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan Tahun 2010

PAD

DAU DAK Bagi Hasil Lain-lain Pajak Retribusi Keuntungan

Perusahaan Daerah PAD Lain Makassar 100,208 47,016 4,572 10,167 481,021 34,161 133,018 277,201

Parepare 47,475 230,675 12,544 53,184 2,068,333 181,520 383,524 859,358 Palopo 32,010 158,032 6,169 21,781 1,881,928 147,808 156,866 407,775

Selayar 14,077 23,213 47,136 64,190 2,126,037 292,610 343,411 507,071

Bulukumba 22,156 60,695 2,533 47,878 970,771 129,006 100,082 322,432

Bantaeng 12,949 21,555 18,263 39,916 1,459,381 172,100 190,451 418,866 Jeneponto 7,568 12,734 7,989 15,098 919,950 126,987 170,886 315,395

Takalar 10,003 79,760 14,675 31,097 1,129,618 161,527 85,448 383,762

Gowa 12,488 44,911 6,429 4,257 660,839 89,662 46,861 246,617

Sinjai 11,489 29,953 6,115 32,342 1,290,891 169,579 155,848 287,628

Maros 38,077 52,111 7,290 34,074 1,102,309 145,715 109,981 126,149 Pangkep 129,100 49,280 29,559 33,394 1,242,718 144,372 97,512 68,908

Barru 17,480 24,048 13,743 30,531 1,600,566 196,582 182,111 708,725

Bone 10,436 34,041 2,719 20,251 755,249 97,112 87,237 76,334

Soppeng 10,513 41,138 4,514 35,108 1,484,178 154,466 131,905 386,076

Wajo 11,412 24,521 15,138 59,184 948,345 128,115 200,472 319,753 Sidrap 14,352 70,980 12,914 91,547 1,170,159 137,110 289,706 675,339

Pinrang 12,597 63,163 15,780 22,306 1,040,167 138,088 112,520 349,885

Enrekang 9,486 37,833 15,091 86,094 1,399,266 168,793 224,352 583,754

Luwu 10,755 40,005 5,637 21,805 1,101,664 151,557 65,943 249,458

Tator 9,428 91,401 4,531 11,612 1,340,718 222,443 199,313 359,103 Luwu Utara 12,279 66,719 3,010 17,311 1,193,001 141,134 127,887 312,963

Luwu Timur 62,332 74,112 12,352 59,013 982,624 115,894 383,499 510,143

165

165 Lampiran

Belanja per Kapita Urusan Strategis Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan berdasarkan APBD Perubahan

Tahun 2010

Pendidikan Kesehatan Infrastruktur Pertanian Perikanan

Makassar 483,404 79,663 172,513 8,122 -

Parepare 1,245,430 501,069 1,183,034 73,589 -

Palopo 1,030,699 461,994 166,662 46,963 31,327

Selayar 844,522 293,471 607,271 175,938 87,558

Bulukumba 666,298 174,182 237,623 49,229 17,067

Bantaeng 877,680 192,562 368,483 95,185 18,748

Jeneponto 768,791 204,582 226,209 66,097 25,854

Takalar 783,535 304,185 172,917 59,993 62,037

Gowa 542,739 108,259 246,661 25,041 9,091

Sinjai 745,934 135,610 399,293 78,208 36,565

Maros 670,624 198,673 94,121 41,499 20,678

Pangkep 861,749 249,923 323,208 38,869 41,495

Barru 946,856 192,871 576,024 55,803 28,532

Bone 287,220 97,975 141,806 20,010 16,770

Soppeng 738,900 210,189 252,185 67,349 -

Wajo 524,631 131,103 393,383 31,208 16,514

Sidrap 820,480 263,573 393,203 135,293 -

Pinrang 724,747 148,508 275,996 63,080 23,117

Enrekang 950,941 747,750 553,116 112,780 -

Luwu 657,378 179,177 130,891 24,483 27,420

Tator 595,598 209,852 215,792 59,279 8,976

Luwu Utara 582,249 297,893 222,384 52,092 21,760

Luwu Timur 647,623 320,835 483,981 75,004 25,883

KANTOR BANK DUNIA JAKARTA

Gedung Bursa Efek Indonesia Menara II, Lt. 12-13Jln. Jenderal Sudirman Kav. 52-53Jakarta – 12190Telp. (+6221) 5299 3000Faks (+6221) 5299 3111

Laporan ini dicetak pada Bulan Januari 2012

Semua foto pada halaman sampul merupakan Hak Cipta © Guntur Sutiyono.

Analisis Keuangan Publik Provinsi Sulawesi Selatan 2012. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik dan Pengelolaan Keuangan Daerah di Gerbang Indonesia Timur merupakan kerjasama tim peneliti Universitas Hasanuddin, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat Dewan Eksekutif Bank Dunia, maupun pemerintah yang mereka wakili.

Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam laporan ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tercantum pada tiap peta dalam laporan ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.

Untuk keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan hubungi Bastian Zaini ([email protected]).