mengintegrasikan hak asasi manusia dalam pembangunan filemengintegrasikan hak asasi manusia dalam...
TRANSCRIPT
MENGINTEGRASIKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBANGUNAN
Masukan ELSAM dan Koalisi Pengawal RPJMN untuk Kementerian Hukum dan HAM dalam Penyusunan Indikator Pembangunan HAM bidang
Pendidikan, Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Masyarakat Adat
Jakarta, 31 Maret 2015
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jl. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Jakarta, Indonesia Telp. (021) 7972662, 79192564, Fax. (021) 79192519
Surel: [email protected], Laman: www.elsam.or.id
MENGINTEGRASIKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PEMBANGUNAN
Masukan ELSAM dan Koalisi Pengawal RPJMN untuk Kementerian Hukum dan HAM
dalam Penyusunan Indikator Pembangunan HAM bidang Pendidikan, Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Masyarakat Adat
A. Pengantar: pembangunan yang berbasis hak asasi manusia Pemerintah telah mengesahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional (RPJMN) 2015-2109 melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015. RPJMN akan menjadi acuan utama pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun ke depan, untuk merealisasikan seluruh agenda prioritas, khususnya yang menjadi janji-janji politiknya. Salah satu komitmen utama pemerintahan adalah memastikan negara hadir dalam seluruh kehidupan masyarakat, terutama dalam hal pemenuhan layanan dasar dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, seluruh agenda pembangunan, musti diintegrasikan dengan upaya negara untuk memenuhi kewajiban dalam hak asasi manusia, termasuk dalam sektor pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan masyarakat adat, sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut merupakan penerapan dari pendekatan berbasis hak asasi manusia (human rights based approach) dalam pembangunan. Pendekatan ini berfungsi memastikan implementasi standar hak asasi manusia, baik yang berada di tingkat domestik maupun internasional, khususnya dalam agenda pembangunan. Upaya ini mendorong pengintegrasian perspektif hak asasi dalam kebijakan pembangunan secara umum. Pendekatan ini menyadari, bahwa kebijakan (hukum) pembangunan semestinya mendudukkan individu sebagai subjek yang utuh dari pembangunan dan karenanya paradigma yang dipergunakan adalah meletakkan individu sebagai penyandang hak sebagai titik berangkat penyusunan kebijakan (hukum) pembangunan. Awalnya pendekatan ini berkembang seiring dengan berkembangnya pengakuan hak atas pembangunan di paruh delapan puluhan. Pengakuan ini sering dirujuk sebagai suatu titik kembali ke arah realisasi hak asasi sebagai hak yang indivisible. Selain itu, kehadiran deklarasi hak atas pembangunan juga menandai afirmasi global atas integrasi hak asasi manusia dalam proses pembangunan, sebagai suatu kritik atas model kebijakan pembangunan global pasca-perang dunia kedua, yang bias kepentingan negara-negara maju dan mendudukkan negara-negara berkembang sebagai objek kebijakan pembangunan yang ditransplantasikan dalam proyek-proyek bantuan pembangunan.1 Seiring dengan institusionalisasi ini, berkembang pula upaya mengintegrasikan perspektif hak asasi dalam kebijakan pembangunan secara umum. Perkembangan inilah yang melahirkan seperangkat pendekatan yang dikenal dengan pendekatan berbasis hak. Didasari pada suatu perubahan paradigma bahwa kebijakan (hukum) pembangunan semestinya mendudukkan individu sebagai subjek yang utuh dari pembangunan dan karenanya paradigma yang dipergunakan adalah meletakkan individu sebagai penyandang hak sebagai titik berangkat penyusunan kebijakan (hukum) pembangunan. Secara cepat, pendekatan ini berkembang tidak hanya mencakup kebijakan umum pembangunan yang terkait dengan hubungan kerjasama negara–negara (negara pemberi bantuan pembangunan dengan negara-negara penerima
1 Untuk rujukan lebih jauh mengenai kajian historis atas teks deklarasi hak atas pembangunan; lihat, Arjun Segupta, The right to development as human rights, dapat diunduh pada http://www.harvardfxbcenter.org/resources/working-papers/FXBC_WP7--Sengupta.pdf, bandingkan juga dengan kajian kritis atas evolusi hak ini saat ini baik dalam kebijakan tujuan millennium pembangunan maupun dalam institusionalisasi kelembagaannya di tingkat badan PBB, Kirchmeier, Felix, FES, The Rights to Development: Where do We stand, State of the debate on the right to development, FES Occasional Papers, 2006.
pg. 1
bantuan), namun juga mencakup kerja-kerja badan-badan khusus PBB, seperti badan PBB untuk program pembangunan (UNDP), badan-badan PBB dengan mandat khusus seperti FAO, UNESCO, WHO, dan lain sebagainya. Dalam perkembangan paling kontemporer, pendekatan ini tak melulu diadopsi dalam kerangka kerjasama internasional dan badan-badan internasional, namun berkembang dalam mendukung dan mendorong realisasi hak asasi di tingkat domestik. Hal ini tak dapat dipungkiri dipengaruhi juga dengan interaksi badan-badan di tingkat nasional dengan badan-badan internasional, melalui serangkaian kerjasama pembangunan, baik yang terkait dengan reformasi kebijakan maupun dalam berbagai bentuk kerjasasama pembangunan lainnya. Hingga saat ini pendekatan berbasis hak telah secara umum diterapkan dalam kerja-kerja pengarusutamaan hak asasi, tak melulu pada badan-badan negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dan lembaga-lembaga negara yang bersifat independen seperti Komisi nasional untuk hak asasi manusia, kantor ombudsman, maupun berbagai lembaga negara lainnya. Tak hanya berhenti di situ, pendekatan yang sama juga telah secara luas menjangkau kerja-kerja berbagai organisasi masyarakat sipil, khususnya terkait dengan perencanaan dan pengembangan program. Barangkali karena dikembangkan sebagai suatu perangkat atau instrumen yang bersifat praktis, sampai saat ini tidak terdapat suatu rumusan definisi yang rigid dan baku atas pendekatan berbasis hak tersebut. Secara umum, pendekatan berbasis hak dipahami sebagai suatu proses untuk mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip dan norma utama hak asasi manusia pada satu bidang kerja tertentu, yang bertujuan untuk menjamin tercapainya pemenuhan yang seutuhnya atas hak asasi manusia, oleh setiap individu pemegang hak.2 Pendekatan berbasis hak ini memiliki kelebihan karena mencakup tak hanya menyentuh aspek-aspek yang bersifat substantif, seperti penerapan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan standar aplikasi, serta kerangka hukum HAM yang berlaku secara universal, namun juga berorientasi pada aspek-aspek yang bersifat proses, seperti orientasi pada kelompok rentan, serta pemberdayaan dan partisipasi. Dengan cakupan tersebut, perangkat ini menyediakan suatu alat ukur yang tak melulu menjamin kualitas substantif kebijakan atau tindakan negara, namun juga memastikan bahwa proses pengambilan kebijakan atau tindakan pun tunduk pada prinsip-prinsip yang secara luas dikenal sebagai bagian inheren dari prinsip hak asasi manusia. Meskipun dirumuskan dengan pengertian dan rumusan operasional yang beragam, pendekatan berbasis hak memiliki lima prinsip utama yang menjadi pegangan, yaitu terdiri dari:3
1. Secara eksplisit mengaplikasikan kerangka hukum HAM internasional Secara sederhana, apabila diterjemahkan dalam konteks fungsi-fungsi badan legislatif, penerapan prinsip ini dapat dirumuskan sebagai kewajiban untuk: (1) Secara eksplisit mempertimbangkan sifat kewajiban negara dalam pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif. Hal ini mengandaikan pemahanman akan karakteristik baik sifat negative dan positif dari kewajiban negara, cakupan bentuk kewajiban positif dan negatif yang harus direalisasikan; (2) Memastikan norma-norma yang diterapkan tersebut diaplikasikan secara utuh dan tak terpisahkan, merefleksikan spektrum yang luas dan prinsip kesalingterkaitan hak asasi manusia; dan (3) Mempertimbangkan dan mengaplikasikan standar dan norma HAM dalam seluruh implementasi fungsi-fungsi lembaga legislatif, baik dalam proses penyusunan undang-undang, pelaksanaan fungsi penganggaran, maupun dalam pelaksanan fungsi pengawasan. Dengan demikian terdapat setidaknya tiga rujukan dalam melaksanakan prinsip ini, yakni norma hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Konstitusi, norma hak asasi yang diatur
2 Terdapat perumusan yang beragam sesuai dengan konteks kebijakannya, misalnya, International Human Rights Network, Human Rights Based Approach to Development: Overview, 2005, hal. 3. Lihat juga, Danish Institute for Human Rights, Applying a Rights Base Approach: An inspirational Guide for Civil Society, 2007. 3 Lihat, International Human Rights Network, Ibid., hal 7-9
pg. 2
dalam perundang-undangan seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 Tahun 2009 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan Konvensi Hak Asasi yang telah diratifikasi (ICCPR, ICESCR, CEDAW, CRC, CERD, CAT, ICMW, CIPD) melalui undang-undang.
2. Prinsip pemberdayaan Prinsip pemberdayaan mencakup pengertian pentingnya orientasi pemberdayaan dalam fungsi–fungsi lembaga legislatif. Sebagai contoh, dalam proses implementasi fungsi legislasi, orientasi pemberdayaan dipahami sebagai orientasi untuk memastikan bahwa kebijakan publik yang dihasilkan melalui produksi undang-undang bertujuan pertama-tama untuk mendorong kemampuan individu pemegang hak, yang menjadi subjek undang-undang untuk lebih berdaya dalam menikmati hak asasinya. Prinsip ini juga berorientasi pada pengembangan pengertian yang sepadan antara pemangku hak (individu) dan pemangku kewajiban (institusi negara) akan tujuan yang ingin dicapai baik dalam kerangka pemenuhan maupun penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
3. Prinsip partisipasi Secara umum, prinsip ini dipahami sebagai keharusan untuk menjamin adanya proses partisipasi yang aktif, bebas, bermakna dan secara inklusif menjangkau seluas mungkin lapisan masyarakat yang menjadi subyek dan tujuan dari pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif. Selain itu, prinsip partisipasi juga mensyaratkan adanya akses yang terbuka terhadap seluruh proses, informasi dan dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga legislatif.
4. Prinsip non-diskriminasi dan berorientasi pada kelompok rentan Prinsip ini mengandung pengertian bahwa dalam seluruh pelaksanaan fungsi, prinsip non-diskriminasi semestinya menjadi landasan pelaksanaan yang utama dan pelaksanaan fungsi lembaga legislatif diorientasikan pertama dan terutama untuk melindungi mereka yang termasuk dalam kelompok rentan, termasuk kelompok miskin, perempuan, dan anak. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi legislatif mensyaratkan adanya prasyarat pendukung seperti penerapan data yang terpilah, maupun pengarusutamaan gender, dalam melakukan penilaian dan evaluasi awal sebagai dasar pelaksanaan fungsi lembaga legislasi.
5. Prinsip akuntabilitas Pengertian prinsip akuntabilitas mencakup penerapan model penilaian dampak Hak Asasi Manusia dalam setiap pelaksanaan fungsi, baik mencakup perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi hasil kerja. Penerapan prinsip ini mensyaratkan adanya pengenalan akan sifat kewajiban negara, baik yang bersifat positif maupun negatif, identifikasi atas pemangku kewajiban dan pemangku hak dan mengevaluasi relasi antar keduanya, perumusan indikator yang aplikatif ditingkat domestik yang disusun berdasarkan pada instrumen dan standar HAM internasional, maupun pengembangan kerangka normatif yang efektif baik untuk mendorong efektifitas pertanggungjawaban maupun untuk mengembangkan prosedur administratif, mekanisme pemulihan, dan respon atas pelanggaran hak. B. Kewajiban negara terhadap hak asasi manusia (Ekosob) Pada intinya hak Ekosob dapat dikategorisasi menjadi tiga komponen: (i) Hak-hak sosial yaitu hak atas kehidupan yang layak (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25, Kovenan Ekosob Pasal 11 dan Konvensi Hak Anak Pasal 27); (ii) Hak-hak ekonomi yaitu hak milik (DUHAM Pasal 17), hak atas pekerjaan (DUHAM Pasal 23, Kovenan Ekosob Pasal 6) dan
pg. 3
hak atas jaminan sosial (DUHAM Pasal 22 dan 25, Kovenan Ekosob Pasal 9 dan Kovenan Hak Anak Pasal 26); dan (iii) Hak budaya (DUHAM Pasal 27, Kovenan Ekosob Pasal 13 dan Pasal 14 serta Konvensi Hak Anak Pasal 28 dan Pasal 29). Secara detail, hak atas kehidupan yang layak sebagai bagian dari hak-hak sosial pada dasarnya mensyaratkan pemenuhan hak-hak subsisten yang diperlukan, misalnya pangan dan gizi, pakaian, serta perumahan. Perwujudan hak-hak ini membutuhkan adanya perwujudan minimum hak ekonomi misalnya hak atas milik, hak atas pekerjaan dan hak atas jaminan sosial. Sementara itu, hak budaya meliputi hak untuk memgambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, manfaat dari ilmu pengetahuan dan sebagianya. Namun hak ini juga terkait langsung dengan hak atas pendidikan (Eide dan Rosas, 2001). Kovenan Ekosob sendiri mengatur tentang kewajiban negara (pihak) setidaknya menjadi empat: (i) kewajiban untuk mengambil langkah-langkah secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis; (ii) kewajiban memaksimumkan sumberdaya yang tersedia; (iii) secara bertahap mencapai perwujudan hak-hak Ekosob; dan (iv) melalui cara-cara yang sesuai, termasuk secara khusus melakukan perbaikan terhadap langkah-langkah legislatif. Kewajiban ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari tiga jenis kewajiban negara dalam hukum internasional hak asasi manusia, dimana negara mempunyai kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), memenuhi (obligation to fulfill) dan melindungi (obligation to protect) hak asasi manusia. Konsep ini secara umum perlahan-lahan sudah diterima sebagai tiga jenis kewajiban negara pada hak asasi manusia (Nowak, 2003: 48-51). Secara terperinci, kewajiban-kewajiban negara terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah berikut ini:
Kewajiban Negara Penjelasan
Kewajiban untuk Menghormati (The Obligation to Respect)
Kewajiban untuk menghormati (the obligation to respect) pada intinya membebankan kewajiban agar negara menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (Nowak 2005: XX-XXI). Campur tangan yang tidak sah dapat menjadi bentuk pelanggaran hak terkait. Manfred Nowak mencontohkan hak atas integritas fisik dan mental berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak menyiksa dan hak untuk memilih berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak secara sewenang-wenang mengecualikan siapa pun dan menjamin sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang demokratis (Nowak, 2003: 48-49).
Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect)
Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) membebankan pada negara kewajiban untuk melindungi hak baik terhadap pelanggaran yang dilakukan aparat negara maupun pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak non-negara. Dengan demikian, kewajiban ini memerlukan adanya tindakan positif negara. Dalam rangka memenuhi kewajiban negara untuk melindungi ini, negara mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah termasuk melakukan kriminalisasi, apabila langkah lain dipandang tidak cukup untuk melindungi hak asasi manusia dari intervensi pihak ketiga. Berkaitan dengan hak atas pangan, misalnya, kewajiban untuk melindungi membutuhkan negara pihak untuk mengambil tindakan dalam rangka mencegah perusahaan atau individu tidak meniadakan akses individu-individu lainnya terhadap bahan pangan yang layak Tindakan penimbunan beras misalnya kemudian dikriminalkan oleh negara. Kepada mereka yang menimbun beras baik individu atau pun swasta dapat
pg. 4
diproses pidana (Nowak, 2003: 48).
Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill)
Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia sebesar mungkin (Nowak 2003: 49). Kewajiban ini memuat dua dimensi kewajiban yaitu kewajiban untuk memfasilitasi dan kewajiban untuk menyediakan (Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya No. 12: Paragraf 15). Sama seperti kewajiban untuk melindungi, kewajban ini juga bersifat positif. Dapat dicontohkan untuk hak Ekosob, misalnya, dalam pemenuhan hak atas pendidikan negara wajib menyediakan dan menjamin akses baik fisik maupun ekonomi pada pendidikan. Negara pihak pada Kovenan Hak Ekosob, kemudian dibebani kewajiban untuk memenuhi pendidikan dasar secara cuma-cuma kepada rakyatnya (Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya No. 11 dan 13).
Kewajiban atas Tindakan (Obligation of Conduct) dan Kewajiban atas Hasil (Obligation of Result)
Kewajiban ini secara khusus berkaitan dengan kewajiban negara untuk pelaksanaan hak Ekosob. Seperti disebutkan di atas, Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Ekosob menyatakan bahwa pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya bersifat bertahap (progressive realization). Hal ini diatur karena pemenuhan hak-hak tersebut membutuhkan sumber daya yang banyak, misalnya untuk pelaksanaan hak atas pendidikan dan perumahan yang mengharuskan negara membangun gedung-gedung sekolah dan perumahan bagi rakyat. Namun, oleh karena sifat perwujudannya yang tidak serta merta tersebut, negara dapat menghindari pemenuhan kewajibannya dengan alasan tidak mempunyai sumber daya yang dibutuhkan. Untuk menghindari hal itu, Pasal 2 Kovenan Hak Ekosob menjelaskan bahwa negara dalam hal ini harus mengambil langkah-langkah (to take steps) guna perwujudan bertahap tersebut. Dalam hal negara mempunyai kewajiban atas tindakan (obligation of conduct). Kewajiban atas tindakan (obligation of conduct) mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah dalam perwujudan hak Ekosob. Kita kemudian dapat mencatat upaya negara untuk secara bertahap mewujudkan hak Ekosob. Dapat dicontohkan di sini sejauh mana negara memperbesar alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Negara juga memiliki kewajiban atas hasil (obligation of result) yang mewajibkan negara untuk mencapai hasil tertentu, misalnya menurunkan angka gizi buruk, angka drop out dari SD. Dengan demikian kita dapat mencatat hasil yang dicapai dari pelaksanaan kewajiban negara. Jadi, oleh karena sifat perwujudan bertahap, maka pemenuhan kewajiban negara tidak saja dilihat dari hasil semata, namun juga langkah-langkah yang diambil (Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya No. 3 Paragraf 1).
Kewajiban Negara dalam Hukum Nasional
Konsep kewajiban Negara seperti tersebut di atas juga diakui dalam hukum nasional Indonesia. Pasal 28I ayat (4) Konstitusi Indonesia menyatakan kewajiban dalam bidang hak asasi manusia terletak pada negara dengan menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia tanggung jawab
pg. 5
negara, terutama pemerintah”. Ayat (5) pasal tersebut selanjutnya menyatakan bahwa “untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, Konstitusi kita pun mengakui konsep negara sebagai pemangku kewajiban dalam hak asasi manusia dimana negara atas hak asasi manusia terdiri atas empat yaitu, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan. Konstitusi kita mengatur sedikit berbeda tentang kewajiban negara ini dimana kewajiban menghormati tidak tercantum dalam konstitusi. Sementara itu, konstitusi kita memasukkan kewajiban pemajuan dan penegakan. Ketentuan mengenai kewajiban negara, dalam hal ini pemerintah, juga dimuat dalam UU No. 39/1999. Pasal 8 UU tersebut merumuskan kewajiban negara sama dengan konstitusi dengan menyatakan “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah’ (UU No. 39/1999, Pasal 8).
C. Indikator pembangunan sub-bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan
masyarakat adat, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap HAM Dalam mengukur kewajiban negara khususnya kewajiban untuk bertindak (obligation of conduct) dan kewajiban atas hasil (obligation of results), dalam pemenuhan hak Ekosob, apakah dapat dikatakan mengalami kenaikan (progresif) atau penurunan (regresif), indikator pembangunan berikut ini dapat menjadi salah satu acuannya. Pemantauan secara berkala terhadap indikator pembangunan sub-bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan masyarakat adat sebagaimana tertuang di dalam Nawacita dan RPJMN, akan menentukan sejuah mana pencapaian secara bertahap, terhadap kewajiban negara untuk memenuhi hak Ekosob. INDIKATOR PEMBANGUNAN SUB-BIDANG PENDIDIKAN
- Indikator Nawacita sama dengan RPJMN
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Wajib belajar 12 tahun bebas gratis dan bebas pungutan
Melaksanakan Wajib Belajar 12 Tahun
Baik Nawacita maupun RPJMN juga mencanangkan wajib belajar 12 tahun, namun di dalam RPJMN tidak secara spesifik menyebutkan adanya pembebasan biaya terhadap pelaksanaan wajib belajar 12 tahun.
Mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sitem inovasi nasional (kerjasama swasta-pemerintah-perguruan tinggi)
1. Jumlah Kerjasama Litbang PT Bekerjasama
2. Dengan Industri dan Lembaga Litbang rata-rata 6.166 bentuk kerjasama pertahun.
3. Jumlah HKI yang Didaftarkan dari Hasil Litbang PT rata-rata 1917 HKI pertahun
4. Jumlah Hasil Penelitian di
Nawacita dan RPJMN memiliki program terkait penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi serta melibatkan pemerintah maupun swasta.
pg. 6
Perguruan Tinggi rata-rata 20.000 pertahun
5. Jumlah Hasil Penelitian di Perguruan Tinggi yang Dipublikasikan 19.571 penelitian pertahun.
Penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti: pendidikan sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti didalam kurikulum pendidikan nasional.
1. Memperkuat kurikulum dan pelaksanaannya (arah kebijakan).
2. Meningkatkan kualitas pendidikan karakter untuk membina budi pekerti, watak, dan kepribadian peserta didik (arah kebijakan).
3. Meningkatnya kualitas dan relevansi hasil penelitian yang digunakan sebagai acuan dalam peningkatan mutu bidang pendidikan dan kebudayaan (matriks) Persentase Evaluasi dan
pengembangan kurikulum dan perbukuan untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan rata-rata 79 aktivitas pertahun.
4. Penyempurnaan Kurikulum, Sistem Pembelajaran dan Perbukuan:
a. Terselenggaranya pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran, dan buku pelajaran: jumlah model perbukuan 116 pertahun
b. Tersusunnya Kurikulum dan Metode Pendidikan Karakter pada jenjang pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, dan menengah • Jumlah bahan kebijakan
kurikulum dan perbukuan untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan PAUDNI rata-rata 73
• Jumlah Model Kurikulum dan Pembelajaran 10 buah pertahun
Baik nawacita maupun RPJMN memiliki tujuan pengembangan kurikulum terkait pembangunan budi pekerti dan pendidikan karakter. Nawacita menekankan Penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pendidikan sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti didalam kurikulum pendidikan nasional. RPJMN hanya mengembangkan pendidikan kewargaan di sekolah untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan, memperkuat nilai-nilai toleransi, penghargaan pada keragaman sosial-budaya, memperkuat pemahaman hak-hak sipil dan kewargaan, serta tanggung jawab sebagai warga negara yang baik (good citizen). RPJMN tidak menyebutkan pendidikan sejarah. Padahal revisi kurikulum pendidikan sejarah perlu dilakukan, karena kurikulum pembelajaran sejarah selama ini didominasi oleh sejarah berbagai perang dan sejarah Jawa.
Melakukan evaluasi 1. Penguatan sistem penilaian RPJMN secara detail melakukan
pg. 7
terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional termasuk UAN dan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan aspek nasional, dalam rangka membangun pemahaman yang hakiki terhadap ke-bhinekaan yang tunggal ika.
pendidikan yang komprehensif dan kredibel
2. Terselenggaranya Pengembangan model penilaian dalam mengukur mutu pendidikan (matriks) Jumlah model penilaian
pendidikan yang dihasilkan 5 model pertahun
Jumlah soal yang terstandar sesuai kebutuhan bank soal nasional rata-rata 129.966 soal pertahun
Jumlah satuan pendidikan yang menerapkan tes berbasis komputer (CBT) 540 satuan pertahun
Jumlah laporan hasil analisis penilaian sebagai bahan kebijakan 8 laporan per tahun.
target pemodelan evaluasi belajar namun tidak secara spesifik menyatakan perlunya melakukan evaluasi pendidikan dengan pembobotan yang berbeda antar setiap daerah, dan evaluasi pendidikan masih terkesan sebagai alat untuk menghukum siswa dan bukan sebagai alat untuk mengukur kinerja pemerintah, pendidik, kurikulum dan sistem pembelajaran. Kenyataannya Kurikulum 2013 justru menyeragamamkan, menjauhkan dari hakiki terhadap kebhinekaan. Dalam nawacita sangat jelas amanat untuk tidak menyeragamkan system penilaian, artinya sistem penilaian terutama UN harus dihapus, mengembalikan hak penilaian kepada guru dan sekolah. UN seharusnya hanya sebagai parameter pemetaan, kalau pemetaan seharusnya bisa sampling.
Memberikan jaminan hidup yang memadai untuk para guru yang ditugaskan didaerah terpencil, dan pemberian uang tunjangan yang memadai, pemberian asuransi yang menjamin keselamatan kerja, fasilitas-fasilitas yang memadai dalam upaya pengembangan keilmuan serta promosi kepangkatan dan karir.
PROGRAM PENDIDIKAN DASAR • Tersedianya dan
Meningkatnya Kesejahteraan Pendidik dan Tendik yang Kompeten untuk Jenjang Pendidikan Dasar
PROGRAM PENDIDIKAN MENENGAH • Persentase Peningkatan
Kualifikasi, Karir, dan Kesejahteraan PTK SM
• Meningkatnya kesejahteraan dan ketersediaan pendidik dan Tenaga kependidikan jenjang pendidikan Menegah
Baik Nawacita maupun RPJMN memiliki keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan tendik melalui peningkatan gaji, tunjangan, peningkatan karir dan pendidikan
Membuat kebijakan rekrutmen dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas akan dilakukan secara
1. Meningkatkan profesionalisme, kualitas dan akuntabilitas guru
2. Meningkatkan kualitas LPTK 3. Meningkatkan pengelolaan
dan penempatan guru
Nawacita mengamanatkan distribusi yang merata tenaga pendidik (guru) tetapi RPJMN kurang menekankan pemerataan tersebut.
pg. 8
merata Meningkatkan pemberian subsidi kepada PTN sehingga memperbesar akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi
1. Meningkatkan pemerataan akses pendidikan tinggi • Jumlah Mahasiswa Penerima
Beasiswa/Bantuan Biaya Pendidikan dari Pemerintah 215.000 orang-319.940 orang
• Rasio Kesetaraan Gender PT 1:1
• Jumlah Prodi dengan Akreditasi Unggul (A) di Luar Jawa 876 prodi pertahun
• Jumlah Rekomendasi Pendirian PT Baru rata-rata 25 PT pertahun.
• Jumlah Mahasiswa Penerima Beasiswa BIDIK MISI 298.279 orang pertahun.
• Jumlah Mahasiswa Penerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) 297.664 orang pertahun
2. Memantapkan otonomi perguruan tinggi
Peningkatan akses pelayanan pendidikan tinggi terhadap warga miskin didalam RPJMN dilakukan melalu pemberian beasiswa, pembangunan fasilitas diluar pulau jawa dsb.
Melakukan pemerataan fasilitas pendidikan diseluruh wilayah terutama di wilayah-wilayah yang selama ini diidentifikasi sebagai area dimana tingkat dan pelayanan pendidikan rendah atau buruk harus dilakukan.
1. Meningkatnya Akses dan Mutu PK dan PLK SDLB/SMPLB • Jumlah Pusat
Pengembangan PKLK yang dibangun 5 unit pertahun
• Jumlah sekolah/lembaga daerah 3 T dan Klaster 4 mendapat pendidikan layanan khusus yang berkualitas 330 unit pertahun
2. Sekolah Menengah di setiap kecamatan pada tahun 2019 • Persentase kecamatan
yang memiliki Minimal 1 Sekolah Menengah 100% tahun 2019
3. Tercapainya Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan SMK Bermutu, Berkesetaraan Jender, dan Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat, di Semua Kabupaten dan Kota • Jumlah RKB SMK yang
dibangun 4347 unit pertahun
RPJMN berfokus pada pembangunan fisik gedung tetapi Nawacita berfokus pada pemerataan fasilitas (bisa dipersepsi peyediaan listrik, buku-buku berkualitas untuk perpustakaan, Laptop, LCD, dll)
pg. 9
• Jumlah unit SMK baru yang dibangun 108 unit pertahun
- Indikator Nawacita dan RPJMN tidak sama
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
target partisipasi 100% di tingkat SD, 95% ditingkat SLTP
Pemenuhan Hak Terhadap Pelayanan Pendidikan Dasar Yang Berkualitas: 1. Angka Partisipasi murni
SD/SDLB/PAKET A rata-rata 83,4% pertahun
2. Angka Partisipasi murni SMP/SMPLB/PAKET B rata-rata 73,012% pertahun
3. Jumlah siswa pada jenjang pendidikan dasar penerima bantuan melalui Kartu Indonesia Pintar 15.380.582 pertahun.
Terdapat perbedaan target pencapaian partisipasi anak didik antara yang Nawacita dan RPJMN.
Pembangunan politkenik dengan sarana dan prasarana dengan teknologi terkini
Jumlah Prodi Memenuhi Standar Mutu Sarana dan Prasarana rata-rata 14.500 prodi pertahun Program Penelitian dan Pengembangan komunikasi dan Informatika
Didalam RPJMN tidak memiliki ataupun menargetkan pembangunan sarana pendidikan yang mengkhususkan jurusan politeknik dengan pengembangan teknologi tinggi.
Pembangunan SMK-SMK dengan sarana dan prasarana dengan teknologi terkini
Tercapainya Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan SMK Bermutu, Berkesetaraan Jender, dan Relevan dengan Kebutuhan Masyarakat, di Semua Kabupaten dan Kota: 1. Pembangunan Prasarana
Pembelajaran SMK rata-rata 4.699 unit pertahun.
2. Jumlah ruang pembelajaran SMK yang direhabilitasi rata-rata 2673 unit pertahun.
3. Jumlah Ruang Kelas Baru SMK yang dibangun rata-rata 4347 unit pertahun.
4. Jumlah unit SMK baru yang dibangun rata-rata 108 unit pertahun
5. Jumlah SMK Berbasis Pesantren/Komunitas/Insdustri rata-rata 428 unit pertahun
RPJMN tidak secara spesifik menargetkan pembangunan SMK maupun pendidikan vocasional yang menerapkan teknologi terkini.
Untuk pendidikan dasar, pembobotan dilakukan dengan
Penyempurnaan Kurikulum, Sistem Pembelajaran dan Perbukuan
Didalam RPJMN tidak menyebutkan mengenai persentase substansi materi
pg. 10
menekankan 70% substansinya harus berisi tentang budi pekerti dan pembangunan karakter peserta didik.
a. Terselenggaranya pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran, dan buku pelajaran: • Jumlah model perbukuan
116 pertahun b. Tersusunnya Kurikulum dan
Metode Pendidikan Karakter pada jenjang pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, dan menengah • Jumlah bahan kebijakan
kurikulum dan perbukuan untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan PAUDNI rata-rata 73
• Jumlah Model Kurikulum dan Pembelajaran 10 buah pertahun
ajar, namun hanya memfokuskan pada pembuatan model pembukuan materi ajar.
Penyediaan dan pembangunan sarana transportasi dan perbaikan akses jalan menuju fasilitas pendidikan/sekolah dengan kualitas yang memadai sehingga para peserta didik dan guru di seluruh wilayah dapat menjangkau sekolah secara fisik dengan aman.
1. Pelaksanaan program Indonesia pintar untuk wajib belajar 12 tahun yang berkualitas a. Penjaminan Kepastian
Layanan Pendidikan SD • Jumlah Ruang Kelas SD
yang dibangun 2015 unit per tahun
• Jumlah Sekolah SD yang dibangun 10-20 unit pertahun
• Jumlah ruang kelas SD yang direhabilitasi 5.875 unit pertahun
b. Penjaminan Kepastian Layanan Pendidikan SMP • Jumlah sekolah
berasrama yang dibangun17-25 unit pertahun
• Jumlah Sekolah SMP yang dibangun 190 unit pertahun
• Jumlah Sekolah SD-SMP satu atap yang dibangun 130 unit pertahun
• Jumlah ruang kelas SMP yang dibangun 3386 unit pertahun
• Jumlah ruang kelas SMP yang direhabilitasi 3000 unit pertahun
c. Peningkatan Akses dan
Pembanguna infrastruktur didalam RPJMN tidak menyebutkan secara spesifik mengenai penyediaan transportasi aman dan memadai kepada masyarakat yang berada di daerah 3T, namun hanya berfokus kepada pembangunan fisik kelas dan bangunan sekolah.
pg. 11
Mutu PK dan PLK SDLB/SMPLB • Jumlah Pusat
Pengembangan PKLK yang dibangun 5 unit pertahun
• Jumlah ruang kelas SDLB/SMPLB yang direhabilitasi 200 unit pertahun
• Jumlah unit sekolah baru yang dibangun 12 unit pertahun
• Jumlah ruang kelas baru yang dibangun 211 unit pertahun
• Jumlah asrama siswa yang dibangun 20 unit pertahun
• Jumlah sekolah/lembaga daerah 3 T dan Klaster 4 mendapat pendidikan layanan khusus yang berkualitas 300-400 unit pertahun
d. Penyediaan dan Peningkatan Layanan Pendidikan SMA • Rehabilitasi Ruang
Pembelajaran SMA 86-257 unit pertahun
e. Penyediaan dan Peningkatan Layanan Pendidikan SMK • Pembangunan Prasarana
Pembelajaran SMK rata-rata 4.699 unit pertahun.
• Jumlah ruang pembelajaran SMK yang direhabilitasi rata-rata 2673 unit pertahun.
• Jumlah Ruang Kelas Baru SMK yang dibangun rata-rata 4347 unit pertahun.
• Jumlah unit SMK baru yang dibangun rata-rata 108 unit pertahun
• Jumlah SMK Berbasis Pesantren/Komunitas/Insdustri rata-rata 428 unit pertahun
f. Meningkatkan akses
pg. 12
Pendidikan Anak Usia Dini • Lembaga PAUD
memperoleh BOP PAUD Usia 3-4 Tahun 73.000-190.000 lembaga pertahun
• Jumlah Lembaga PAUD Terpadu Pembina yang dibangun/revitalisasi 70 unit pertahun
• Jumlah Lembaga PAUD Terpadu yang dibangun/revitalisasi di daerah 3T 400 unit pertahun
• Jumlah Ruang Kelas PAUD yang dibangun termasuk meubeleir 50 -200 unit pertahun
2. Meningkatkan akses, kualitas,
dan relevansi pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja
Meprioritaskan pembiayaan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan akan diupayakan untuk diberikan secara regular dengan terintegrasi dengan arah pengembangan pendidikan tinggi.
• Jumlah Hasil Litbang PT Bekerjasama dengan Industri dan Lembaga Litbang 6.166
• Jumlah HKI yang Didaftarkan dari Hasil Litbang PT 1.917
• Jumlah Hasil Penelitian di Perguruan Tinggi 20.000
• Jumlah Hasil Penelitian di Perguruan Tinggi yang Dipublikasikan 19.571
Jumlah Dokumen Perencanaan dan Penganggaran Pendidikan Tinggi rata-rata 6 dokumen pertahun
RPJMN tidak menyebutkan mengenai besar anggaran yang disediakan untuk pengembangan penelitian namun hanya menargetkan jumlah penelitian yang dilakukan setap tahunnya oleh perguruan tinggi.
- Indikator terdapat di Nawacita, di RPJMN tidak ada
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Komitmen menaikkan anggaran riset dan teknologi
Tidak ada
Pembangunan since dan techno park di daerah daerah
Tidak ada
Untuk pendidikan tinggi, 60% politeknik dan 40% sains.
Tidak ada RPJMN tidak menyebutkan pembangunan jurusan ataupun ijin pendirian PT baru yang berfokus kepada politeknik
pg. 13
maupun jurusan sains. Menginisiasi UU wajib belajar tanpa dipungut biaya untuk mencapai target partisipasi 100% di tingkat SD, 95% ditingkat SLTP
Tidak ada RPJMN sama sekali tidak menargetkan akan merubah UU SIDIKNAS sebagai payung hukum pelaksanaan Wajib belajar 12 tahun.
Pengetahuan dan penguasaan teknologi sebagai kurikulum wajib disekolah dan perguruan tinggi.
Tidak ada Tidak ada program spesifik mengenai penguasaan teknologi didalam kurikulum yang akan diterapkan di sekolah maupun PT.
- Indikator terdapat di RPJMN, di Nawacita tidak ada
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Tidak ada Meningkatkan kualitas pendidikan orang dewasa
Nawacita tidak mengkategorikan pendidikan bagi orang dewasa.
Tidak ada Memperkuat pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan tata kelola pendidikan di satuan pendidikan dasar dan menengah
Tidak ada Memperkuat peran swasta dalam menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas
Nawacita menyebutkan pelibatan swasta didalam pendidikan yaitu pada bidang penelitan dan inovasi, namun tidak spesifik melibatkan melalui penyediaan layanan pendidikan.
Tidak ada Meningkatkan keselarasan perencanaan pendidikan secara nasional berdasarkan pada data yang sahih dan handal
INDIKATOR PEMBANGUNAN SUB-BIDANG KESEHATAN
- Indikator Nawacita dan RPJMN sama
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Indikator perbaikan status gizi: Prevalensi stunting menjadi 28% pada tahun 2019
Indikator perbaikan status gizi: Prevalensi stunting menjadi 28% pada tahun 2019
Nawacita dan RPJMN luput memperhatikan masalah gizi lebih (obesitas) pada balita dan usia kurang dari 18 tahun – fokus lebih pada obesitas dan penyakit tekanan darah tinggi
pg. 14
pada usia di atas 18 tahun
- Indikator Nawacita dan RPJMN tidak sama
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Indikator Meningkatkan Status KIA: Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup
Menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 306 per kelahiran hidup
Indikator NAWACITA mengambil alih target MDGs, yang lebih merupakan utopiai jika memperhatikan AKI menurut SP 2010 maupun SDKI 2012. Sedangkan indikator RPJMN terlalu rendah.
Indikator Perbaikan status gizi: Prevalensi gizi buruk menjadi 0% pada tahun 2019
Prevalensi gizi kurang turun menjadi 17% pada tahun 2019
Kedua indikator diperlukan, namun menurunkan prevalensi gizi buruk menjadi 0% lebih merupakan utopia
Indikator Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan • Mengurangi 60%
kejadian baru TB • Mengurangi
hingga 50% kejadian baru HIV dan AIDS
• Mengurangi hingga 50% kejadian baru malaria
• Menekan prevalensi TB menjadi 245 per 100.000 penduduk
• Menekan prevalensi HIV dan AIDS pada dewasa menjadi <0,5%
• Jumlah Kab/Kota eliminasi malaria dari 212 (2013) menjadi 300 (2019)
• Kedua indikator kejadian baru (insidens) dan prevalensi diperlukan
• Indikator prevalensi HIV dan AIDS sangat konservatif < 0,5%
• Kedua indikator kejadian baru maupun eliminasi malaria tingkat kab/kota diperlukan
Indikator Perlindungan Finansial di Bidang Kesehatan • 100% masyarakat
memperoleh jaminan kesehatan universal melalui BPJS atau program serupa pada tahun 2019
• 100% kab/kota mengalokasikan anggaran untuk mendukung SJSN di daearahnya dengan porsi minimal 51% daerah dan 49% pusat pada tahun
• Jumlah penduduk yang menjadi peserta PBI melalui JKN/KIS menjadi 107,2 juta
• Unmet need pelayanan kesehatan dapat ditekan
• Indikator NAWACITA lebih tegas, sedangkan indikator RPJMN yang memasang angka peserta PBI menjadi 107,2 juta belum jelas asumsinya – apakah masyarakat rentan dan miskin yang belum berhasil dientaskan sedemikian besar? – harmonisasi dan integrasi data kemiskinan adalah kuncinya
• Regulator JKN – BPJS bidang kesehatan perlu menjalankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi (Open Government Partnership) demi kemashlahatan.
pg. 15
2019 Indikator Sumber Daya dalam bidang Kesehatan • Penyebaran nakes
secara merata dan sesuai kebutuhan, dengan 50% nakes bekerja di luar Jawa untuk pelayanan kesehatan dasar
• Mencapai proporsi 1 dokter umum: 2.500 orang pada akhir 2020, didukung mekanisme insentif dan perbaikan kesejahteraan nakes
• Meningkatkan jumlah dokter spesialis hingga 32 ribu orang pada akhir tahun 2020 melalui pemberian beasiswa bagi nakes berprestasi/ potensial, dengan fokus pada nakes di Puskesmas
• 80% dokter umum dan dokter spesialis, bidan, perawat, dokter gigi lulus uji kompetensi tambahan di bidang: pengelolaan program, komunikasi, advokasi
• Kebijakan tata kelola nakes yang menjamin pemerataan ketersediaan tenaga medis di daerah terlaksana pada tahun 2017
• Setiap kecamatan minimal memiliki 1 Puskesmas yang terakreditasi, pada tahun 2019 target 5600 puskesmas
• 481 Kab/kota memiliki minimal 1 RSUD yang terakreditasi pada tahun 2019
• 95% kab/kota mencapai 80 % imunisasi dasar lengkap bayi pada tahun 2019
• Nawacita dan RPJMN memasang indikator dengan angle yang berbeda, Nawacita terarah pada penyebaran nakes, khususnya dokter umum dan dokter spesialis. Sedangkan RPJMN terarah pada peningkatan kualitas jajaran pelayanan kesehatan publik (Puskesmas dan RSUD), dan ditambah dengan indikator imunisasi yang lebih cocok ditempatkan pada indikator pengendalian penyakit menular
• Kedua angle sifatnya saling melengkapi (komplementer)
• Beasiswa jangan hanya dibatasi untuk pendidikan dokter spesialis, tenaga kesehatan lain juga perlu ditingkatkan kualitasnya
Indikator • obat dan vaksin tersedia di • Indikator RPJMN lebih
pg. 16
Memastikan Ketersediaan obat dan mutu obat dan makanan • Terselenggaranya
manajemen logistik alat kesehatan, obat, vaksin dalam rangka pemenuhan tepat waktu baik jumlah maupun kualitas
• Tersedianya obat-obatan esensial dan vaksinasi dasar sesuai dengan standar WHO dan IDI pada akhir tahun 2015 di 40% Puskesmas dan/atau Pustu
90% puskesmas • 94% obat tersedia
memenuhi syarat
spesifik dan lebih tinggi targetnya dari indikator NAWACITA
- Indikator terdapat di Nawacita, di RPJMN tidak ada
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Indikator Meningkatkan Status KIA: • Tersedia dan
berfungsinya sarana dan prasarana pra-kelahiran (ANC) di pelayanan kesehatan primer di 100% kabupaten/kota
Tidak ada Merupakan indikator input/proses dari indikator output/impact penurunan AKI dan AKABA
Indikator Meningkatkan Status Gizi Masyarakat: • 100% bayi dan
balita menerima imunisasi dasar secara merata di seluruh desa/kelurahan pada tahun 2019
Tidak ada • RPJMN hanya memasang target 80% kab/kota imunisasi dasar dan lengkap pada indikator dan persentase penurunan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi turun menjadi 40%
Indikator Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
pg. 17
• 60% penduduk terinfeksi HIV lanjut memiliki akses pada obat ARV pada tahun 2015
• Kesehatan lingkungan : akses pada air minum berkualitas, proporsi RT yang mempunyai akses air bersih (80% pada tahun 2019), tersedianya teknologi murah dan efektif untuk produksi air bersih, proporsi RT yang mempunyai akses pad sanitasi dasar (80%) pada tahun 2019 ; tersedianya sarana waste water treatment yang dapat diakses masyarakat pada 80% kab/kota pada tahun 2019
• Terkait penurunan tekanan darah tinggi dan obesitas: dipasang indikator proses: semua makanan dan minuman mencantumkan informasi indeks glikemik; tersusun indeks diversifikasi pangan; meningkatkan konsumsi pangan non-beras sebanyak 20% per tahun; meningkatkan konsumsi sayur dan buah sebanyak 20% per tahun; turunnya konsumsi beras; proporsi penduduk dengan
Persentase Kab/Kota yang memenuhi syarat kualitas kesehatan lingkungan menjadi 40% pada tahun 2019 TIDAK ADA
• Belum sesuai dengan amanat universal health coverage (100%)
• Indikator RPJMN kurang
spesifik, namun NAWACITA masih berat pada akses dan infrastruktur, luput memasang target eliminasi Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
• Indikator proses yang penting
– apakah RPJMN juga mencakup indikator proses? Bukankah indikator input dan indikator proses lebih cocok untuk K/L/D?
pg. 18
asupan kalori minimum 1400 kal/kapita/hari menjadi 7% pada tahun 2019 dan proporsi penduduk dengan asupan kalori maksimum 2000 kal/kapita/hari menjadi 20% pada tahun 2019; angka kematian karena diabetes turun menjadi 3% pada tahun 2019
• Indikator menurunkan konsumsi rokok: 100% area publik bebas asap rokok di 100% kab/kota tahun 2019; peningkatan 200% nilai cukai rokok; angka kematian penduduk disebabkan kanker turun hingga 3% pada tahun 2019
TIDAK ADA
• Indikator penting, namun memasang indikator kematian karena kanker hingga 3% terlalu gegabah tidak semua kanker determinan sosialnya adalah merokok
Indikator Meningkatnya Pemerataan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan • Penerapan sistem
daring data rekam medik di 20% Puskesmas dan 50% RSUD
• 100% Puskesmas yang melakukan edukasi kespro
• Pemutakhiran data layanan Puskesmas dan Puskesmas online menjadi 100% pada tahun 2019
• Minimal 50% Puskesmas dan Pustu di setiap kecamatan terdata
TIDAK ADA
• Indikator penting, namun
belum ada indikator untuk layanan online rujukan, sehingga pasien yang dirujuk dari puskesmas atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke fasilitas rujukan (FKTL) dapat difasilitasi dan rekam medik dapat segera diakses oleh FKTL dan pasien tidak perlu berkeliling kota sebelum dapat mengakses fasilitas rujukan.
• FKTP (Puskesmas) dengan fasilitas rawat inap perlu ditingkatkan menjadi PONED 7/24; demikian juga RSUD Kabupaten perlu ditingkatkan
pg. 19
lengkap koordinasi lokasinya, tersedia SDM dan infrastruktur dasar (air dan listrik) pada tahun 2015
• 100% RSUD terdata koordinat lokasinya
• Terpenuhinya sarpras dan 100% berfungsinya Puskesmas dan Pustu pada tahun 2019
• Jaminan pasien memperoleh haknya tidak terbatas pada rekam medik dan informasi pada tahun 2016
menjadi PONEK 7/24 khususnya di daerah tertinggal
Indikator Perlindungan Finansial di Bidang Kesehatan • Cakupan
keterjangkauan data sharing warga yang terlindungi SJSN antara Puskesmas dan RSUD
• Persentase angka nakes menjadi penyelia layanan (service provider) untuk SJSN mencapai 100% pada tahun 2019
• TIDAK ADA
• Indikator penting yang harus
ada
Indikator Memastikan Ketersediaan obat dan mutu obat dan makanan • 100% rumah
tangga kab/kota mempunyai tanaman obat RT
• 100% obat tradisional lulus uji kelayakan BPOM
• 100% obat
• TIDAK ADA
• NAWACITA menegaskan
upaya menuju kemandirian lewat kearifan lokal (obat tradisional) yang dibakukan dan diuji kelayakannya secara ilmiah (proyek saintifikasi jamu Kemkes)
pg. 20
tradisional dipatenkan
• X% jumlah bahan baku obat diproduksi menjadi obat
- Indikator terdapat di RPJMN, di Nawacita tidak ada
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Tidak ada Indikator Meningkatkan Status KIA: • Menurunkan angka
kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup
Indikator penting
Tidak ada Indikator Meningkatkan Status Gizi Masyarakat: • Prevalensi anemia pada
bumil turun menjadi 28% pada tahun 2019
• BBLR (Berat Badan Bayi Lahir Rendah) turun menjadi 8% pada tahun 2019
• ASI eksklusif menjadi 50% pada tahun 2019
Indikator teknis yang penting
Tidak ada • Indikator Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
• Eliminasi kusta pada 34 kab/kota
• Eliminasi filariasis pad 35 kab/kota
• Prevalensi tekanan darah tinggi menjadi 23,4%
• Prevalensi BB lebih (obesitas) penduduk usia 18 tahun + menjadi 23,4%
• Penurunan prevalensi merokok pada usia <18 tahun menjadi 5,4%
Indikator teknis yang penting
INDIKATOR PEMBANGUNAN SUB-BIDANG KETENAGAKERJAAN
Indikator Nawacita Indikator RPJMN Catatan
Tenaga Kerja
• Pengendalian inflasi sebagai
• Memperkuat daya saing tenaga kerja dalam konteks
• Secara umum, Nawacita memiliki pendekatan
pg. 21
bagian integral perjuangan buruh
• Pembangunan perumahan buruh di kawasan industri
• Penambahan iuran BPJS kesehatan dari APBN/APBD
• Pelarangan alih tenaga kerja di BUMN
• Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terkait penyerapan tenaga kerja
• Mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam MEA
• Merevisi UU 39/2004 tentang penempatan TKI dengan menekankan aspek perlindungan
• Mendukung sejumlah UU terkait perlindungan dan pengupahan tenaga kerja
• Mendukung pengalihan konsorsium asuransi TKI menjadi bagian dari BPJS Kesehatan
• Mendorong perubahan UU PT untuk memberi insentif pada perusahaan yang memberikan hak pada pekerja untuk membeli saham perusahaan
tenaga kerja global • Menciptakan hubungan
industrial yang harmonis dan perbaikan iklim ketenagakerjaan
• Peningkatan akses angkatan kerja pada sumber daya produktif
• Mendorong ekonomi pedesaan
• Memfungsikan pasar tenaga kerja
perlindungan terhadap tenaga kerja.
• Sedangkan RPJMN menekankan pada hubungan industrial yang harmonis.
• RPJMN juga memperlakukan sektor ketenagakerjaan seolah-olah terlepas dari pembangunan sektor-sektor ekonomi strategis. Sehingga tidak cukup jelas, penurunan tingkat pengangguran merupakan kontribusi dari pembangiunan sektor yang mana. Meskipun di Nawacita, khususnya di sektor pariwisata, menyebutkan bahwa sektor tersebut diunggulkan untuk penciptaan lapangan kerja (namun hal ini tidak disebutkan di sektor pertanian dan maritim yang merupakan sektor unggulan Nawacita
• Perlu mempertegas sektor-sektor yang akan menyumbang penciptaan lapangan kerja selama 5 tahun ke depan
Perlindungan Pekerja Migran
1. Revitalisasi BLK: • Meningkatnya kompetensi
715 orang infrastruktur dan tenaga pengelola
Revitalisasi BLK seharusnya dilakukan secara fundamental menyangkut soal kelembagaan, kurikulum dan ideology
pg. 22
pelatihan • Terlaksananya sertifikasi
560 orang instruktur • Terlaksananya sertifikasi
144.000 orang CTKI setiap tahun (quick wins)
pendidikan, tidak sekedar aktivasi institusi yang “semaput” (idle)
2. Reorientasi BLK: • Meningkatnya kompetensi
1.815 orang instruktur dan tenaga pengelola pelatihan
• Terlaksananya sertifikasi bagi 990 orang instruktur
Reorientasi BLK seharusnya diarahkan pada peningkatan kualitas calon TKI terutama di sektor pekerja rumah tangga dan melengkapi kurikulumnya dengan materi kesetaraan dan keadilan gender, akses terhadap keadilan, kesehatan reproduksi dan pengetahuan tentang tanggungjawab negara dalam perlindungan PRT migran
3. Pembinaan Penempatan dan Perlindungan TKI: • Jumlah atase yang memberi
perlindungan pekerja migrant
• Jumlah Fasilitasi Pelayanan Penempatan TKLN berdasarkan okupasi
• Jumlah Fasilitasi Perlindungan TKLN
• Jumlah Layanan Perizinan dan Pembinaan kelembagaan dan penunjangnya
• Jumlah Fasilitasi Kerjasama Internasional Dalam rangka penguatan oenempatan dan perlindungan TKI
Tidak terlihat adanya pelibatan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan terhadap buruh migran. Selama ini proses rekruitmen di daerah selalu dituding sebagai awal dari masalah buruh migran namun ironisnya pemerintah daerah tidak pernah menjadi subyek dalam upaya perlindungan buruh migran
4. Penyelesaian masalah pekerja migrant: terjaminnya hak dan keselamatan pekerja migran: Menyusun grand design mekanisme penempatan pekerja migran
Tidak terlihat adanya upaya yang sistematik untuk merumuskan skema yang komprehensif mengenai mekanisme acces to justice bagi buruh migran
5. Penguatan sistem perlindungan pekerja migran didalam dan luar negeri: • Memperbaiki tata kelola
Tidak ada agenda mengevaluasi pencabutan kebijakan-kebijakan yang menjadi basis legitimasi migrasi berbiaya tinggi, misalnya
pg. 23
kelembagaan pelayanan pekerja migran
• Amandemen UU 39/2004 dan menyusun aturan turunannya
• Merevisi dan menyepakati nota kesepakatan bilateral dengan negara tujuan
• Jumlah dinas kabupaten/kota memberi pelayanan pekerja migran, melakukan sosialisasi pemilihan pekerjaan dan prosedur bekerja di luar negeri didaerah kantorng pekerja migran
Biaya penempatan TKI ke hongkong berimplikasi pada jeratan hutang yang dilegalkan dilanggengkan melalui : • Kepmenakertrans Kep.
98/KA/2012, Rp. 14.780.000,-(melalui skema potong gaji),
• Peraturan Kepala BNP2TKINomo2: Per 02/KA/I/2012, tanggal 24 Januari 2012 untuk eks TKI Hongkong,
• Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.158/DP2TKLN/2009 biaya ke Taiwan Rp. 12.944.500,-,
• Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.152/PPTKI/2009, biaya Taiwan sebesar Rp. 14.725.400+USD 315=17.715.900,
• Peraturan Menakertrans No. 153/PPTKI/2009, biaya Taiwan Rp. 14.005.400+USD 315=16.997.900,
• Kepmenakertrasn No. Kep.152/MEN/VI/2011 tanggl 13 Juni 2011 untuk biaya ke Malaysia, Rp. 5.040.000, (RM.1800),
• Kepmenakertrans No. 588/2012, tanggal 25 Juli 2012, biaya ke Singapura Rp. 12.647.000,- (SGD 1.806.71) untuk wilayah jawa. Rp. 13.788.000, (SGD 1.96971) luar jawa,
• Peraturan Kepala BNP2TKI No. PER, 07/KA/II/2012, tanggal 28 Februari 2012, untuk biaya penempatan ke MACAU SAR, Rp. 12.243.000,-
6. Pelatihan investasi usaha
mikro bagi TKI di Timur Seharusnya program yang diusulkan adalah penyusunan
pg. 24
Tengah, Hongkong dan Taiwan dalam rangka persiapan kembali ke tanah air: • Jumlah negara tujuan yang
memiliki pola kemitraan penyelenggaraan pelatihan persiapan kepulangan
• Jumlah lokasi penyelenggaraan pelatihan investasi usaha mikro (exit program)
tata kelola remitansi yang lebih komprehensif sebagai tahapan post-migration program.
7. Peningkatan Pengembangan Pasar Kerja: jumlah sektor dan wilayah pasar kerja dalam dan luar negeri yang dianalisis
Upaya untuk peningkatan/perluasan pasar tenaga kerja harus diimbangi dengan analisis politik global dan diplomasi perlindungan buruh migran. Harus diupayakan diplomasi perlindungan buruh migran di ASEAN dan Asia Pacific bisa menggeser pasar tenaga kerja yang selama ini terkonsentrasi ke Timur tengah (yang secara geopolitik tidak aman) dan sangat tidak ramah pada PRT migran
8. Peningkatan fasilitasi pelayanan dan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia: • Jumlah UUP di
UPTP/Balai/Loka yang memberi layanan terhadap TKI
• Presentase potensi Padupadan persediaan dan permintaan TKLN
• Prosentasi CTKI yang memenuhi syarat dan prosedur
• Jumlah TKI purna yang diberdayakan
Tidak terlihat adanya pelibatan pemerintah daerah (hingga tingkat desa) dan masyarakat sipil
9. Meningkatnya kerjasama ketenagakerjaan dan perlindungan Pekerja Migran dengan negara
Harus ada uji/konsultasi publik untuk mereview/mengevaluasi MoU/bilateral agreement yang telah ada dengan negara tujuan
pg. 25
tujuan pemenpatan dengan indikator: jumlah dokumen kerjasama ketenagakerjaan dan perlindungan Pekerja migran antar negara RI dengan negara tujuan penempatan
serta merumuskan pembaruannya dan strategi diplomasinya
10. Meningkatnya kesesuaian kualifikasi/ kompetensi CTKI potensi dengan permintaan hasil pemetaan, padupadan dan harmonisasi: • Meningkatnya persentase
kesesuaian/padupadan sesuai dengan peta jumlah kualifikasi/kompetensi CTKI potensi dengan permintaan
• Persentase pemantapan jobs info BNP2TKI sebagai informasi pasar bagi tenaga kerja LN
Pelayanan penempatan dan perlindungan CTKI/TKI berbasis online seharusnya mengacu pada prinsip-prinsip open data/ open goverment
11. Meningkatnya kesesuaian kualifikasi/ kompetensi CTKI potensi dengan permintaan: jumlah negara tujuan penempatan dengan peluang kerja jabatan formal
Penetapan negara tujuan harus dilandaskan pada analisis geopolitik regional dan tingkat kepatuhan negara tersebut terhadap prinsip-prinsip perlindungan hak-hak buruh migran serta keterjangkauan diplomasi
12. CTKI/TKI yang berangkat keluar negeri memiliki dokumen sesuai prosedur, indikator: • Persentase dokumen
penempatan yang diverifikasi berbasis system
• Persentase dokumen yang diuji petik
Pelayanan pembuatan/pembaruan dokumen buruh migran berbasis pada akurasi data dan tidak boleh membuka ruang adanya pemalsuan data dan pengambilan keuntungan secara tidak sah. Trauma buruk pengalaman “KTKLN” harus dihindari
13. Meningkatnya pelayanan penempatan pemerintah G to G dan G to P: jumlah TKI yang ditempatkan melalui skema G to G dan G to P
Kehendak ini tidak boleh mengesampingkan/mendikriminasi pelayanan terhadap buruh migran yang bekerja melalui skema mandiri
14. Meningkatnya kesiapan Harus ada pembaruan mendasar
pg. 26
CTKI yang akan berangkat keluar negeri: • Jumlah penempatan
CTKI/TKI yang memenuhi syarat kerja dan procedural berbasis system
• Persentase lembaga yang terintegrasi system non tunai dalam tata kelola TKI
mengenai konsep pengajaran, metodologi dan kurikulum PAP (Pembekalan akhir pemberangkatan). Kurikulum ini mesti diperbaharui dengan memperkuat kesadaran hak-hak dasar buruh, memperkuat posisi tawar, mendasarkan diri pada HAM dan gender serta menyertakan materi financial literary
15. Meningkatnya pemahaman masyarakat (publik) tentang prosedur dan mekanisme penempatan dan pencegahan TKI non prosedural: jumlah lokasi sosialisasi tentang prosedur dan mekanisme penempatan TKLN
Seharusnya ada pembaruan terminologi safe migration berbasis hak-hak buruh migran sesuai dengan Konvensi Perlindungan Buruh Migran (UU No. 6/2012) dan tidak melakukan kriminalisasi
16. Meningkatnya kepatuhan lembaga penempatan dan pendukung penempatan terhadap standard dan ketentuan yang berlaku: persentase lembaga penempatan dan pendukung penempatan yang mematuhi standard dan ketentuan yang berlaku
Instrumen penindakan terhadap “ketidakpatuhan” lembaga tidak hanya mengacu pada UU No. 39/2004 tetapi juga pada pemidanaan yang berbasis pada UU anti trafficking, UU anti pencucian uang yang selama ini tidak pernah dipakai untuk penghukuman kejahatan yang dilakukan oleh PPTKIS
17. Meningkatnya kemampuan TKI purna penempatan untuk mengelola keuangan, termasuk mengembangkan usaha mikro: • Jumlah pekerja migran/
purna yang mendapat edukasi pengelolaan keuangan dan wirausaha
• Persentase pekerja migran purna hasil edukasi dan kewirausahaan yang berwirausaha
• Fasilitasi pelayanan
Seharusnya program yang diusulkan adalah penyusunan tata kelola remitansi yang lebih komprehensif sebagai tahapan post-migration program.
pg. 27
pemulangan TKI illegal/ bermasalah didebarkasi ke daerah asal
18. Meningkatnya reintegrasi TKI purna berbasis ekonomi produktif/ sentra ekonomi: jumlah TKI purna yang berwirausaha dalam Komunitas kampong TKI
Seharusnya program yang diusulkan adalah penyusunan tata kelola remitansi yang lebih komprehensif sebagai tahapan post-migration program.
19. Meningkatnya persentase TKI yang berangkat secara procedural di kampung TKI non prosedural: persentase TKI yang berangkat secara procedural di kampung TKI non procedural
• Masih menggunakan targeting jumlah penempatan, sehingga tak terhindarkan bahwa kebijakan tentang penempatan buruh migran masih bersifat mobilisasi (export labour policy)
• Jika penempatan TKI di targetkan maka, sungguh Negara telah secara legal berperan dalam bisnis perdagangan manusia
• Target pengiriman TKI juga akan berdampak pada berkurangan tenaga kerja asal pedesaan karena terserap menjadi pekerja migran dan implementasi membangun desa dalam UU Desa akan terhambat
20. Pengaduan TKI yang dilayani, diproses, dan diselesaikan: persentase pengaduan yang diproses berbasis system integrasi dengan K/L terkait/ perwakilan RI
Tidak terlihat adanya upaya yang sistematik untuk merumuskan skema yang komprehensif menganai mekanisme acces to justice bagi buruh migran
21. Terpenuhinya hak-hak TKI/CTKI sejak pra, selama dan purna: • Persentase permasalahan
CTKI/TKI yang tertangani • Persentase CTKI/TKI
bermasalah yang mendapat advokasi pemenuhan hak
Tidak terlihat adanya upaya yang sistematik untuk merumuskan skema yang komprehensif menganai mekanisme acces to justice bagi buruh migran
22. Meningkatnya kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada CTKI berbasis
Pelayanan penempatan dan perlindungan CTKI/TKI berbasis online seharusnya mengacu pada prinsip-prinsip open data/ open
pg. 28
SISKOTKLN: jumlah kabupaten/ kota yang memberikan pelayanan kepada TKI (dari 438 kab/kota yang telah terintegrasi)
goverment
23. Meningkatnya kesesuaian kualifikasi/ kompetensi CTKI potensi dengan permintaan hasil pemetaan, keterpaduan dan harmonisasi: • Persentase permasalahan
CTKI/TKI yang tertangani • Persentase CTKI/TKI
bermasalah yang mendapat advokasi pemenuhan hak
Tidak terlihat adanya upaya yang sistematik untuk merumuskan skema yang komprehensif menganai mekanisme acces to justice bagi buruh migran
pg. 29