menggali kehancuran di sunda kecil
TRANSCRIPT
Pengawasan Masyarakat Sipil atas Sektor Mineral dan Batubara di 2 Provinsi
: Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Korsup KPK
Koalisi Anti-Mafia Tambang
Koalisi Anti Mafia Tambang mengapresiasi inisiatif yang
dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di
sektor Minerba melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi
(Korsup) di bidang Mineral dan Batubara (Minerba). Koalisi Anti Mafia
Tambang merasa penting untuk berpartisipasi dalam implementasi
korsup Minerba ini melalui kegiatan pengawasan dan pengumpulan data-
data di lapangan untuk disampaikan kepada KPK.
Dukungan masyarakat sipil ini bertujuan untuk memperkuat kerja
pengawasan dan penegakan hukum yang masih lemah di internal
pemerintah daerah dan pusat. Korsup KPK Tahap-1 di 12 provinsi telah
dimulai sejak awal tahun 2014, sedangkan Korsup KPK Tahap-2 untuk 19
Provinsi telah dimulai sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi
dan pemantauan bersama kepala-kepala daerah di 2 (dua) provinsi yakni
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
pada 8 Juni 2015. Kertas posisi ini disusun sebagai hasil pengawasan
koalisi masyarakat sipil di 2 (dua) provinsi, terutama yang menyangkut
aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan
lingkungan.
Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di 2 Provinsi
(NTB dan NTT) telah terbebani izin pertambangan.
Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan
terdapat 255.273,39 Hektar wilayah pertambangan yang masuk di kawasan
hutan lindung di 2 provinsi (NTB dan NTT) dengan total unit izin usaha
sebanyak 111 (96 di NTT dan 35 di NTB) Izin Usaha Pertambangan (IUP)) dan
2 Kontrak Karya (KK) di NTB.
Sementara itu, di kedua provinsi itu terdapat 11.181,61 hektar wilayah
pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 22 IUP (13 di
NTB dan 9 di NTT) dan 1 KK di NTB.
Tabel 1. Jumlah Luasan Izin Pertambangan yang diindikasikan
berada pada Hutan Konservasi dan Lindung
Penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan
jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan
UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati.
Sementara kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung
hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah
(underground mining) yang faktanya sampai saat ini tidak ada satupun
pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktek ini. Oleh
karenanya, pemberian izin di kawasan hutan lindung dan
konservasi jelas melanggar aturan yang ada dan memerlukan
penegakan hukum terhadap pemegang izin usaha di kawasan
tersebut.
Sumber: Dirjen Planologi, 2014
No Daerah Fungsi Kawasan Hutan
Total (Ha) Hutan Konservasi (Ha) Hutan Lindung (Ha)
1 NTB 5.561,35 189.410,52 194.971,87
2 NTT 5.620,26 65.862,87 71.483,13
Total 11.181,61 255.273,39 266.455
Pemerintah pusat mengeluarkan Keppress No. 41 tahun 2004 yang memberi pengecualian bagi 13 pemegang izin tambang untuk melakukan penambangan secara terbuka di kawasan lindung.
1
Boks1. Perusahaan Tambang Beroperasi di Wilayah Hutan Lindung dan Konservasi
Kasus di NTT 1:
Berdasarkan SK 270 tahun 2013 tentang IUP PT Elgary Resources
Indonesia (ERI) yang berstatus Operasi Produksi di Desa Oenbit,
Kecamatan Insana, atas temuan dari WALHI NTT, PT ERI yang memiliki
luasan 1.623 hektar sebanyak 900 hektare lebih terindikasi masuk
dalam kawasan hutan lindung. Menariknya, pada tahapan eksplorasi
PT ERI status IUPnya tidak lolos CnC.
Hal ini diperparah dengan tidak koperatifnya Pemerintah Kabupaten
Timor Tengah Utara yang cenderung menutup semua informasi
berkaitan dengan keberadaan PT ERI. Padahal, informasi berkaitan
dengan status kawasan hutan, AMDAL, dan IUP harusnya menjadi
dokumen publik. Namun, hal itu tidak terjadi di TTU. Padahal, UU
keterbukaan informasi publik (KIP) No 14 Tahun 2008 sudah
mengatur dengan jelas dan terang benderang.
Kertas Posisi
MENGGALI KEHANCURAN DI SUNDA KECIL
11 (Sebelas) hal yang direkomendasikan oleh Koalisi Anti Mafia
Tambang adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah selaku pemberi izin untuk segera menghentikan
pertambangan di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan
Lindung serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan
adanya kasus korupsi dalam pemberian izin di Kawasan
Konservasi dan Lindung.
2. Mendesak Dirjen Minerba untuk memperluas kriteria CnC
dalam kegiatan usaha pertambangan untuk memperhatikan
aspek Hak Asasi Manusia, hak-hak sosial ekonomi masyarakat
dan perlindungan lingkungan hidup.
3. Mendesak pejabat penerbit izin untuk mencabut izin-izin
pertambangan yang bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, termasuk yang non-CnC (belum
menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang) dengan
tetap memproses penegakan hukum atas pelanggaran yang
dilakukan (pajak, kerusakan lingkungan, dll) serta mendesak
KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi pada
pemberian IUP yang bermasalah tersebut.
4. Meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan
sekaligus mereview seluruh izin-izin pertambangan yang
telah diterbitkan agar sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
5. Tim Korsup Minerba KPK dan pemerintah pusat serta
pemerintah daerah wajib untuk mempublikasikan izin yang
telah dicabut melalui media yang murah dan mudah dijangkau
oleh masyarakat agar bisa dilakukan pengawasan pasca-
pencabutan.
6. Mendesak pemerintah untuk melakukan fungsi pengawasan
dan penegakan hukum secara maksimal untuk memastikan
tak ada alih fungsi lahan atau kejahatan di sektor hutan dan
lahan dengan melibatkan masyarakat sipil.
7. Aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah
untuk memperbanyak penanganan dan penyelesaian kasus
yang terkait dengan kejahatan dan pelanggaran HAM di sektor
mineral dan batubara.
8. Pemerintah perlu mengembangkan skema blacklist (daftar
hitam) dan dipublikasikan ke publik bagi perusahaan dan
pemilik usahanya yang melakukan pelanggaran terhadap
penggunaan izin dan merugikan negara serta menginformasikan
kepada publik dan pihak perbankan.
9. Meminta Korsup Minerba KPK dan pemerintah mengakomodir
aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam
penertiban, penataan izin dan penegakan hukum.
10. Mendesak pemerintah untuk memperbaiki mekanisme
pengelolaan PNBP yang berpotensi terhadap kehilangan
penerimaan negara dari iuran land rent dan royalti termasuk
perlu adanya penertiban, sebagai bagian dari optimalisasi
penerimaan negara. KPK diminta untuk mengembangkan
penyidikan atas temuan dari potensi kerugian negara dari
iuran land rent dan royalti.
11. Pemerintah untuk memperjelas status wilayah pertambangan
pasca-pencabutan IUP, harus dipastikan mekanismenya
dilakukan secara transparan serta terlebih dahulu dilakukan
rehabilitasinya.
N T B P R O V 1 2 ,8 3 7 ,6 1 3 ,6 4 5 .0 2 N T T P R O V
1 6 ,1 0 6 ,1 2 4 ,7 3 4 .0 8
B IM A 2 ,7 7 3 ,3 3 9 ,7 1 2 .2 4 A L O R
3 5 8 ,4 2 9 ,3 6 6 .4 0
D O M P U 1 ,2 4 2 ,4 8 2 ,9 3 1 .3 5 B E L U
3 ,5 9 5 ,6 6 9 ,5 5 3 .7 0
K O T A B IM A (3 2 ,0 0 0 ,0 0 0 .0 0 ) E N D E
1 ,8 5 4 ,7 9 3 ,5 9 1 .2 1
L O M B O K B A R A T 2 6 2 ,6 2 9 ,4 0 4 .1 6 K U P A N G
1 ,8 2 0 ,6 5 7 ,7 3 2 .8 4
L O M B O K T E N G A H (1 4 ,0 2 7 ,0 2 0 .0 0 ) M A N G G A R A I
1 ,1 5 2 ,8 7 8 ,1 1 6 .2 2
L O M B O K T IM U R 8 8 ,9 6 8 ,5 0 2 .6 0 M A N G G A R A I T IM U R
1 7 7 ,1 9 5 ,8 7 3 .3 9
L O M B O K U T A R A - N A G E K E O
3 ,0 6 1 ,8 1 5 ,9 0 3 .7 7
S U M B A W A 5 ,5 4 3 ,3 1 0 ,2 1 7 .1 6 N G A D A
1 ,4 3 2 ,4 2 2 ,8 1 0 .1 6
S U M B A W A B A R A T (1 ,2 9 8 ,5 6 5 ,9 7 5 .4 2 ) R O T E N D A O
6 1 9 ,8 9 6 ,6 3 9 .9 9
T O T A L 2 1 ,4 0 3 ,7 5 1 ,4 1 7 .1 2 S A B U R A IJU A
1 3 1 ,8 2 0 ,5 6 5 .0 0
S U M B A B A R A T
1 ,2 3 7 ,2 7 5 ,2 8 5 .0 0
S U M B A B A R A T D A Y A
2 ,0 6 6 ,1 3 8 ,2 5 3 .2 0
S U M B A T E N G A H
1 ,7 5 1 ,0 2 7 ,9 1 8 .4 0
SU M B A T IM U R 1 ,6 3 0 ,3 5 6 ,5 2 3 .6 4
T IM O R T E N G A H SE LA T A N
1 ,3 2 2 ,8 8 3 ,5 6 2 .7 6
T IM O R T E N G A H U T A R A 2 ,8 7 9 ,5 6 1 ,0 1 5 .6 3
F LO R E S T IM U R -
LE M B A T A (3 9 0 ,7 9 0 ,9 4 7 .0 0 )
S IK K A 8 8 0 ,4 3 4 ,4 5 1 .0 0
K O T A K U P A N G 3 5 3 ,9 5 7 ,2 3 2 .0 0
M A N G G A R A I B A R A T 1 ,0 2 8 ,2 3 8 ,2 6 2 .0 0
T O T A L 4 3 ,0 7 0 ,7 8 6 ,4 4 3 .4 1
Lampiran 1
Potensi Kerugian Negara dari Iuran Land Rent per Provinsi di NTB dan NTT versi
Perhitungan Koalisi Anti Mafia Tambang Tahun 2010-2013
Rekomendasi KOALISI ANTI MAFIA TAMBANG REGION NTB dan NTT
NTB
SOMASI: DWI ARIE SANTO (081915679161)LSBH: KHERUDIN (087865368733)WALHI NTB: MURDANI (081909919748)KNTI: AMIN ABDULLAH (081805785720)
NTT
PIKUL: TORRY KUSWARDONO (0811383270)WALHI NTT: MELKY NAHAR (081338036632)JPIC OFM: MIKE PERUHE, OFM (081237895328)FORMADDA NTT: YUSTINUS DARMA (082146782463)GERAM NTT: SURYON FLORIANUS ADU (081339148771)
NASIONAL
PWYP INDONESIA: AGUNG BUDIONO (081291697629)AURIGA: SYAHRUL FITRA (08116611340)
Potensi Kerugian Penerimaan Negara dari Land Rent Mencapai Rp
64,47 Miliar Rupiah
Koalisi anti Mafia Tambang melakukan perhitungan potensi kerugian
negara dari iuran land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012
tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Dari perhitungan yang
ada diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah
dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan
potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan
(potential lost). Hasil perhitungan Koalisi Masyarakat Sipil
menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi
kerugian penerimaan mencapai total Rp.64,47 miliar, dengan
rincian di Provinsi NTT sebesar Rp. 43,07 miliar dan di Provinsi NTB
sebesar Rp.21,4 miliar. Informasi lengkap potensi kerugian
Penerimaan per kabupaten di dua dapat dilihat di Lampiran 1.
Tabel 5. Potential Lost dari Land Rent 2010-2013 di NTB dan NTT
M i n i m n y a
Transparansi
dan Keterlibatan
M a s y a r a k a t
Sipil di Sektor
Pertambangan
Minerba
K e t e r b u k a a n
i n f o r m a s i d i
segala bidang telah diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang
keterbukaan informasi publik(KIP). Implementasi UU ini dtelah
ditekankan oleh presiden bagi semua pemerintah pusat dan daerah
untuk membuka data publik untuk kepentingan masyarakat umum
termasuk data tentang izin perusahaan, Amdal dan kebijakan
pertambangan lainnya. Pengalaman Koalisi Anti Mafia Tambang di
NTT dan NTB menujukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki
komitmen keterbukaan informasi publik dan memilih menutup atas data
dan informasi yang terkait dengan dokumen izin usaha
pertambangan, tahap-tahap operasional dan pasca tambang dengan
alasan bukan wewenang mereka dan alasan lain yang terkadang tidak
logis.
Total Potensi Kerugian untuk 2 Provinsi = Rp 64,47 Miliar
Kasus di NTT 2:
Berdasarkan temuan, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korusp
Sumberdaya Alam NTT, PT Sumber Jaya Asia (SJA) melakukan
aktifitas pertambangan terbuka untuk komoditas mangan di
kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego, Kecamatan Reok,
Kabupaten Manggarai. Aktifitas pertambangan perusahaan ini
didasarkan surat keputusan (SK) Bupati Manggarai No
HK/287/2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Izin Pemindahan dan
Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian
Mangan KW 9 PP 0208 di Kecamatan Reok dari PT Tribina Sempurna
kepada PT SJA.
Namun, berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. S.40/Menhut-
VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 yang ditujukan kepada Gubernur
NTT, PT Sumber Jaya Asia tidak termasuk dalam 13 perusahaan
tambang yang diizinkan beroperasi dalam kawasan hutan lindung
sesuai Keppres No.41 Tahun 2004. Namun demikian, faktanya, PT SJA
telah melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka
pada Kawasan Hutan
Lindung RTK 103 Nggalak Rego meskipun permohonan IPPKH
ditolak oleh Menterti Kehutanan pada tahun 2009.
Fakta hukum lain yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego
RTK 103 adalah bahwa telah terjadi kriminalisasi atas dua warga di
sekitar Kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego (yaitu Rofinus
Roas dan Eduardus Saferudin) yang tertangkap tangan pihak kepolisian
sedang menebang beberapa batang pohon di dalam areal hutan lindung
tersebut. Keduanya telah diproses secara hukum dan dipenjara masing-
masing selama 1,5 tahun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ruteng
No.214/Pid.B/2009/PN.RUT. Tanggal 1 November 2009 putusan mana
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Fakta tersebut
membuktikan bahwa pihak yang melakukan kegiatan yang melanggar
ketentuan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah ditindak
tegas.
Kasus NTB:
Berdasarkan Data Dirjen Planologi 2014, wilayah izin pertambangan
yang telah masuk ke tahapan Operasi Produksi milik PT Newmont Nusa
Tenggara yang terindikasi berada di Hutan Konservasi seluas 4.057,37
hektar dan yang terindikasi masuk wilayah Hutan Lindung sebanyak
36.972,62 hektar. Sedangkan, untuk wilayah yang masuk dalam
tahapan eksplorasi sebanyak 14.350,04 hektar.
Hampir 50% IUP di 2 Provinsi (NTB dan NTT) Masih Berstatus non-
CnC
Berdasarkan data yang dikeluarkan Dirjen Minerba, Kementerian
ESDM pada Desember 2014, menunjukkan bahwa 63% dari total
IUP di 2 provinsi (NTB dan NTT) masih berstatus non-Clean and
Clear (CnC).
Provinsi NTB merupakan wilayah yang memiliki IUP non CnC dengan
prosentase tertinggi yaitu, 77% IUP dari total seluruh IUP. Sementara
itu, di provinsi NTT sebanyak 56% IUP berstatus non-CnC.
Tabel 2. Jumlah IUP yang CnC dan non-CnC di NTT dan NTB
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
NO PROVINSI CNC
TOTAL IUP CNC
Non CNC TOTAL IUP Non
CNC
JUMLAH IUP
Eksplorasi Operasi
Produksi Eksplorasi
Operasi Produksi
1 NTB 24 10 34 51 65 116 150
2 NTT 66 68 134 145 27 172 306
TOTAL 90 78 168 196 185 288 456
Data di atas menunjukkan masih maraknya pelanggaran yang dilakukan
oleh pemegang IUP dalam menjalankan usaha pertambangannya.
Sementara, pemerintah daerah dan pusat selaku pemberi izin masih lemah
dalam memberikan sanksi atau tindakan hukum kepada pemegang IUP
yang non CnC.
89,5% IUP yang non CnC di 2 Provinsi (NTB dan NTT) bermasalah
secara administratif.
Data Dirjen Minerba kementerian ESDM tahun 2014 mengemukakan
bahwa sekitar 258 pemegang izin di 2 Provinsi (NTB dan NTT) belum
menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh
IUP antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen
perusahaan. Di Provinsi NTT terdapat sekitar 91,22% IUP yang
bermasalah secara administratif disusul Provinsi NTB sebesar 87,9%.
Tabel 3. Daftar Permasalahan IUP di NTT dan NTB
95% lebih Pemegang IUP Belum Memenuhi Kewajiban Jaminan
Reklamasi dan Pasca-Tambang
Hampir seluruh pemegang izin pertambangan di 2 provinsi (NTB dan
NTT) belum memiliki jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang
Kementerian ESDM tahun 2014 mencatat bahwa dari 443 IUP yang berada
di NTT dan NTB atau sekitar 97%, tidak memenuhi kewajiban atas jaminan
reklamasi dan memiliki dokumen pasca tambang.
Tidak adanya data yang dimiliki provinsi dan minimnya IUP yang
memenuhi kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang,
menunjukkan bahwa komitmen dan pengawasan pemerintah daerah dan
pusat dalam pemulihan lingkungan pertambangan sangat rendah.
Kerugian negara yang ditimbulkan atas ketiadaan data dan rendahnya
pemenuhan kewajiban akan semakin meningkat mengingat dampak
ekologis atas absennya kewajiban IUP tersebut bisa menyebabkan banjir
dan dampak sosial ekonomi lainnya bagi masyarakat
Tabel 4. Ketersediaan Jaminan Reklamasi dan Pasca-Tambang di NTT
dan NTB
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
.
.
No Provinsi IUP NON CNC
IUP Non CNC
PERMASALAHAN ADMINISTRASI
PERMASALAHAN WILAYAH
MINERAL BATUBARA MINERAL BATUBARA MINERAL BATUBARA
1 NTB 116 0 102 0 14 0
2 NTT 171 1 156 0 28 1
TOTAL 288 258 0 43
NO PROVINSI JUMLAH IUP JAMINAN REKLAMASI BELUM ADA PASCA
TAMBANG
1 NTT 306 13 TIDAK ADA DATA
2 NTB 150 TIDAK ADA DATA TIDAK ADA DATA
Boks2. Ancaman Tambang Mangan Terhadap DAS di NTT
Berdasarkan Hasil Kajian Torry Kuswardono dan Bosman Batubara
(2014), menunjukan masifnya IUP Mangan di NTT memilliki ancaman
dan potensi ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.
Salah satu bentuk potensi ancaman yang terlihat adalah kondisi daerah
aliran sungai (DAS) yang ada di Timor Barat. Daerah aliran sungai
terbesar di Timor Barat, DAS Benanain, yang juga sungai terpanjang di
Timor Barat, 30 persen wilayahnya telah menjadi wilayah
pertambangan. Padahal, DAS Benanain adalah daerah aliran sungai
yang secara nasional mendapatkan prioritas untuk diperbaiki karena
bagian hilirnya terus-menerus dilanda banjir dengan kecenderungan
yang meningkat belakangan ini. Tetapi, tampaknya upaya ini akan
semakin sulit karena di wilayah DAS Benanain terdapat 72 IUP yang
mencakup wilayah Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah
Utara.
Daerah aliran sungai lain yang juga berpotensi terancam banjir adalah
DAS Noemuke, yang memang hanya terdapat 4 wilayah IUP, tetapi
mencakup 25 persen dari luas wilayah DAS Noemuke. Wilayah IUP yang
terhampar di DAS Noemuke berada pada bagian hulu dan tengah. Curan
hujan yang naik pada November–Mei dan intensitas matahari
sepanjang tahun membuat tanah yang sudah terbuka mengalami
pelapukan dan tererosi dengan cepat. Hal ini berkontribusi pada
peningkatan sedimen di daerah hilir. Pada akhirnya, peningkatan
sedimen pada sungai dapat mengakibatkan risiko banjir di bagian hilir
karena zona aliran sudah tertimbun oleh material sedimen. Sungai
Noemuke sudah lama selalu mengalami banjir tahunan di bagian hilir.
Dalam sebuah presentasi di Kota Kupang pada 2013, terlihat adanya
peningkatan proses sedimentasi pada sungai-sungai di Timor Barat
(BLHD Provinsi Nusa Tenggara Timor 2013).
Di wilayah-wilayah
yang telah ditambang
atau sedang ditambang,
erosi meningkat dan
mengalir menuju sungai-
sungai di bagian hilir.
Wa l a u p u n s u r v e i
tersebut bersifat awal
dan tidak dilakukan
secara menyeluruh, hal ini telah lebih dari cukup untuk menjawab
bahwa kekhawatiran akan meningkatnya ancaman tambang terhadap
daerah aliran sungai di Timor Barat sangat beralasan. Lebih jauh lagi,
hal ini telah menjadi kepedulian beberapa pihak di dalam tubuh
pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten-
kabupaten yang berada di Timor Barat, seperti ditunjukkan oleh
presentasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa
Tenggara Timur Danny Suhadi. Suhadi (2013) mengetengahkan
pentingnya pengendalian pertambangan mangan demi keberlanjutan
lingkungan hidup. Suhadi (2013) juga mengungkapkan lemahnya
kapasitas penegakan hukum dan pengendalian oleh aparat di Provinsi
Nusa Tenggara Timur.
Boks3. Ancaman Limbah Tailing Newmont dan Penambangan
Pasir Laut Limbah Tailing
Ketua kesatuan nelayan tradisional indonesia (KNTI NTB), Amin
Abdullah menyatakan bahwa keberadaan aktifitas PT Newmont Nusa
Tenggara telah menyebabkan pola tangkapan ikan di kawasan sekitar
areal pembuangan limbah yang menimbulkan kerugian yang sangat
besar bagi para nelayan. Hal itu dikarenakan areal tangkapan ikan
semakin jauh akibat terkontaminasinya air laut oleh limbah tailing
yang dibuang bebas dengan jumlah berkisar 110.000 ton per hari.
Limbah tailing tidak hanya merubah pola tangkap namun mematikan
biota laut seperti plankton, sejenis mikro organisme laut yang menjadi
sumber pakan ikan laut dan hewan laut lainnya hingga sangat
berpengaruh bagi jumlah tangkapan ikan untuk nelayan diwilayah
sekitar tambang dan lombok timur khususnya nelayan tanjung luar
lombok timur. Pendapatan nelayan Lombok Timur turun drastis
menyangkut volume hasil tangkapan dan jangkauan wilayah
penangkapan sehingga membebankan biaya produksi yang semakin
tinggi. Selain itu, Selat Alas yang merupakan wilayah fishing ground
terutama ikan cumi-cumi sudah tidak bisa diandalkan. Nelayan pun
terpaksa menangkap sampai ke sumba NTT. Limbah tailing juga
membuat kawasan hutan bakau di kawasan sumbawa dan Lombok
Timur menjadi rusak akibat dari bahan kimia yang dikandung oleh
tailing.
Tolak Penambangan Pasir Laut Di Lombok Timur
Rencana penambangan pasir laut di Lombok Timur harus segera
dihentikan karena mengancam kerusakan ekologi dan ekonomi.
Ribuan nelayan yang ada di Lombok Timur dan Sumbawa Barat telah
menolak rencana penambangan tersebut. Menurut para nelayan jika
penambangan di Selat Alas itu terjadi akan mengakibatkan kerusakan
ekologi karena posisi Selat Alas sebagai fishing ground.
Rencananya hasil pengambilan material pasir laut itu akan digunakan
untuk pembangunan reklamasi Teluk Benoa dengan seluas 700 hektar
yang dilakukan oleh PT Trita Wahana Bali Indonesia (TWBI). Sumber
material pengerukan berasal dari Teluk Benoa dan sumber material
pasir laut dari Lombok Timur dengan kisaran volume total kurang
lebih 25 juta meter kubik. Tapi Gubernur Nusa Tenggara Barat M.
Zainul Majdi sudah menolak rencana pengerukan pasir di wilayahnya
karena akan merusak ekosistem lingkungan. Adapun proyek
reklamasi Benoa ditolak masyarakat Bali.
Penolakan Penambangan Pasir Besi di Lombok Timur
Masyarakat Dusun Ketapang, Dusun Dasan Baru, Desa Peringgabaya
dan Dusun Sukamulia, Desa Pohgading di Pantai Menagis, Kecamatan
Peringabaya Lombok Timur menolak aktivitas penambangan pasir
besi yang dilakukan oleh PT. Anugrah Mitra Graha (PT. AMG). Dimana
aktivitas pertambangan tersebut dinilai merusak lingkungan desa
setempat. Aksi protes itu berawal dari meluapnya air sungai ke
pemukiman warga, karena aliran sungai yang menuju laut itu ditutup
oleh pihak Pertambangan (PT AMG) menggunakan batu dan karung
yang berisikan tanah tujuannya untuk kebutuhan aktivitas
penambangan. Sebenarnya PT. AMG telah melakukan penambangan
atau pengeboran pasir di tengah laut sejak awal tahun 2014. Dampak
dari aktivitas pengeboran pasir besi di tengah laut yang dirasakan oleh
masyarakat, mulai dari dirasakannya getaran-getaran setiap malam
karna memang pengeboran selalu dilakukan pada malam hari,
tembok rumah warga menjadi retak, garis pantai atau pinggir pantai
mulai terabrasi yang tadinya pinggir pantai itu dangkal menjadi dalam
dan puncaknya naiknya air sungai kepemukiman warga akibat aliran
sungai yang ditutup oleh pihak tambang. Semua itu, terjadi karena
adanya aktivitas pertambangan atau pengerukan pasir yang dilakukan
oleh pihak perusahaan tambang.
Wilayah Sebaran IUP Mangan di Daerah Aliran Sungai di Timor Barat, NTT
Sumber: Perkumpulan PIKUL, 2014