mendeteksi pengaruh pasar minyak bumi dunia terhadap
TRANSCRIPT
1
MENDETEKSI PENGARUH PASAR MINYAK BUMI DUNIA
TERHADAP KRISIS HARGA
Nosami Rikadi SE, MSi
Dosen Universitas Bunda Mulia e-mail: [email protected]
ABSTRAK: The world oil market, as a result of the convergence of a number of
factors, has experienced significant tightness. Some of the factors influencing the
market might be temporary, some may be cyclical, and others may possible be
permanent. While the high price that resulted from the tight balance between oil
demand and supply caused increased energy expenditure for consumer, business, and
industry, it also led to higher incomes for energy producer. Expectations concerning
future market conditions are quickly embodied in oil price formed in futures market.
The fear of geopolitical situations are reflected in price. Speculative buying and
selling might also affect prices as financial traders adjust their investment portfolios
to reflect expected market conditions. It is possible that the economy as a whole
might experience macroeconomic effects, not only from the high oil prices themselves,
but as a result of the monetary and fiscal policy responses that might be taken if the
prices persist and are determined to constitute inflation.
Keywords: Oil price, Demand and supply, Higher incomes, Speculation
PENDAHULUAN
Kenaikan harga minyak bumi yang terus melaju menimbulkan kekhawatiran
akan terjadinya krisis ekonomi global. Pada tanggal 2 November 2007, harga minyak
bumi melonjak hingga menyentuh harga 96 dollar US per barel di New York
Merchantile Exchange (NYME), mengisyarakan prediksi harga dapat mencapai 100
dollar AS per barel akan menjadi kenyataan. Harga tersebut telah melebihi harga
tertinggi minyak bumi dalam sejarah yang terjadi pada tahun 1980 akibat konflik
Iran-Irak, dengan kurs saat ini setara dengan 95 dollar AS per barel yang
mengakibatkan resesi dunia pada saat itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ketergantungan dunia atas minyak bumi sebagai
sumber energi masih sangat besar. Bertambahnya jumlah penduduk dan
berkembangnya sektor industri terutama dari negara-negara Asia seperti Cina dan
India dalam satu dekade ini mengakibatkan meningkatnya permintaan atas minyak
bumi. Faktor geopolitis terutama di kawasan Timur Tengah juga ikut memicu
pergerakan harga minyak bumi. Hal tersebut mudah dipahami sebab hampir 65%
dari seluruh cadangan minyak bumi berada di Timur Tengah. Meningkatnya berbagai
2
bencana diseluruh dunia yang mengganggu distribusi minyak bumi dan turunnya
cadangan minyak bumi di berbagai negara juga mendorong kenaikan harga minyak
bumi.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) diminta untuk
meningkatkan produksi dan membanjiri pasar dengan minyak bumi walaupun
berdasarkan pengalaman, upaya ini tidak berjalan efektif. OPEC sendiri menengarai
adanya spekulasi dari pemain besar yang dituding sebagai penyebab tingginya harga
minyak bumi selain dari tingginya tingkat permintaan. Faktor fundamental ekonomi
seperti kelangkaan dan meningkatnya permintaan telah terdistorsi dengan adanya
faktor-faktor lain.
FAKTA HARGA MINYAK BUMI
Harga minyak bumi sangat dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi
yang paling sederhana yaitu keseimbangan antara sisi permintaan dan sisi penawaran.
Namun masing-masing sisi dari mekansime pasar ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor variabel.
Untuk jangka panjang, permintaan minyak bumi dipengaruhi oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi dunia dan besarnya jumlah penggunaan minyak yang
digunakan sebagai sumber energi. Namun pengaruh struktural tersebut tidak akan
berubah dengan cepat dan tidak mendorong krisis harga minyak dalam waktu yang
singkat.
Disisi lain, suplai minyak bumi dipengaruhi oleh output dari produksi negara-
negara OPEC dan non-OPEC dimana tingkat produksi sangat bergantung pada faktor
geologi, ekonomi dan politik. Dalam jangka panjang, suplai minyak bumi sangat
bergantung pada ketersediaan cadangan minyak bumi, penemuan eksplorasi baru dan
pengembangan teknologi peralatan. Untuk jangka pendek perubahan kuota produksi
OPEC dan gangguan suplai seperti faktor teknis, politik atau bencana alam memiliki
konsekuensi penting terhadap suplai dan harga. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut
sangat bergantung pada besarnya kapasitas produksi yang tersisa (sebagian besar
berada di Arab Saudi) dan persediaan minyak (meurujuk pada Strategic Petroleum
Reserve di Amerika Serikat). Selain itu faktor fundamental lain yang mempengaruhi
harga minyak bumi adalah kurs mata uang dollar AS, dimana perubahan nilai mata
uang dollar AS akan berdampak langsung pada jumlah permintaan dan distribusi
minyak bumi dunia.
3
Namun pasar minyak bumi memiliki karakteristik unik dan kompleks. Selain
dipengaruhi oleh faktor fundamental, harga minyak juga sangat dipengaruhi oleh
faktor ekspektasi pasar dan spekulasi di pasar spot dan futures atas perkiraan besarnya
jumlah permintaan di masa yang akan datang dan (khususnya) kondisi suplai yang
distimulasi oleh kondisi ekonomi dan politik.
PROGNOSIS KONDISI
Beberapa tahun lalu, tidak pernah terbayangkan harga minyak mencapai level
seperti saat ini. Tetepi perkembangan beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan
bukan suatu hal yang mustahil jika dalam waktu dekat harga minyak dapat mencapai
100 dollar AS per barel. Walaupun untuk saat ini, harga minyak cendrung
menunjukkan tren kenaikan akibat adanya selisih permintaan terhadap penawaran
namun keseimbangan pasar masih dapat terjaga dengan baik. Akan tetapi ditengah
ketatnya pasar minyak tersebut, ada faktor spekulasi yang memanfaatkan ruang
sempit di sela-sela mekanisme pasar. Keterbatasan informasi pelaku pasar minyak
dalam parameter kunci seperti produksi, ekspor, permintaan dan penawaran membuat
respon pasar menjadi irasional. Kegiatan makro dan mikro yang tidak dapat
dipisahkan dengan sirkulasi kapital membuat seluruh kegiatan ekonomi sangat mudah
untuk dispekulasi (Keen, 1995:607).
Pada masa 1 – 3 dekade yang lalu harga minyak bumi dunia memiliki karakter
fluktuatif, berkisar pada angka 10 – 30 dollar AS, dengan sedikit pengecualian pada
saat terjadinya krisis energi pada tahun 1973 akibat embargo minyak oleh negara-
negara Arab, terjadinya konflik Iran-Irak tahun 1979-1981 serta serangan Irak ke
Kuwait pada tahun 1991 (lihat gambar 1). Namun ketegangan dan masalah yang
sifatnya lokal dan temporal, dapat direspons dengan "jujur" oleh harga. Begitu
masalah mereda, maka harga pun turun kembali. Penyesuaian harga dapat berjalan
sesuai dengan mekanisme pasar dengan sedikit distorsi yang dilakukan oleh OPEC
(Shojai and Katz, 1992: 72).
4
Gambar 1. Sejarah Pergerakan Harga Minyak 1970-2006
PERISTIWA PENTING TERKAIT MINYAK BUMI DUNIA, 1970-2006(Harga disesuaikan atas kurs dollar AS tahun 2006)
$-
$10
$20
$30
$40
$50
$60
$70
$80
$90
19701972
19741976
19781980
19821984
19861988
19901992
19941996
19982000
20022004
2006
Ku
rs d
oll
ar A
S t
ahu
n 2
006
1973 Embargo Minyak
oleh Negara Teluk
Revolusi
Iran
Perang Iran-Irak
Saudi Arabia
meninggalkan sistem
administrative price
menyebabkan harga
minyak merosot tajam
Irak
menyerang
Kuwait
Perang
Teluk
berakhir
Krisis Moneter di
Asia menyebabkan
minyak oversupply
Harga naik akibat
pemotongan
kapasitas produksi
OPEC disaat
permintaan
meningkat
Tragedi 11
September 2002
Permintaan meningkat
tajam terutama dari AS,
Cina dan India disaat
persediaan minyak
mengalami penurunan
Source: EIA
Sumber : International Monetery Fund (IMF, 2006)
Setelah selama lima tahun sejak tahun 1998-2003 harga rata-rata minyak
bertahan di angka 20-30 dollar AS, pada tahun 2004 harga rata-rata minyak
menembus angka diatas 30 dollar AS dan terus mengalami kenaikan hingga saat ini
(lihat gambar 2).
Gambar 2. Harga Rata-Rata Minyak Bumi 2005-2007
Harga Minyak Bumi Dunia 2005-2007
(dalam dollar AS)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Apr
-05
Jun-
05
Aug
-05
Oct
-05
Dec
-05
Feb-
06
Apr
-06
Jun-
06
Aug
-06
Oct
-06
Dec
-06
Feb-
07
Apr
-07
Jun-
07
Aug
-07
Oct
-07
Har
ga p
er b
arel
Padahal berdasarkan data yang diperoleh dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir, tidak ada peristiwa ekonomi ataupun politik yang memiliki dampak luar
biasa yang dapat mempengaruhi stabilitas harga minyak bumi. Gejolak politik di
wilayah penghasil minyak seperti di Nigeria dan Venezuela sudah berakhir.
Sementara itu, perselisihan antara Pemerintah Rusia dan perusahaan negara miliknya
5
sendiri, Yukos juga berakhir. Ketegangan sekarang terbatas di wilayah Timur Tengah,
tetapi tidak meluas dan sifatnya temporal. Namun demikian, harga melonjak
sedemikian rupa secara terus-menerus. Tampaknya ketegangan politik bukan satu-
satunya faktor yang dapat mempengaruhi gejolak harga minyak bumi. Ada unsur-
unsur yang sifatnya lebih terstruktur.
CADANGAN DAN DATA PRODUKSI
Terbatasnya penawaran minyak bumi dapat mempengaruhi stabilitas dan
fluktuasi harga minyak bumi dunia yang membahayakan. Terbatasnya penawaran
atas minyak bumi sangat terkait dengan besarnya kapasitas produksi. Disisi lain,
keterbatasan produksi sangat bergantung dengan besarnya ketersediaan cadangan
minyak bumi. Sebagai catatan bahwa hampir 75% cadangan minyak bumi berada di
negara-negara angota OPEC. OPEC yang mensuplai minyak bumi hampir 42% dari
total produksi minyak bumi dunia memiliki kekuatan dan pengaruh yang kuat
didalam mengendalikan produksi minyak bumi untuk kestabilan pasar minyak.
Saat ini, para ahli memperkirakan bahwa dunia mulai memasuki fase krisis
minyak akibat menurunnya persediaan cadangan minyak bumi. Cara yang paling
banyak digunakan untuk memperkirakan mulainya krisis minyak bumi adalah Peak
Oil Theory yang diperkenalkan oleh ahli geofisika asal AS, Marion King Hubber
pada tahun 1956. Peak Oil Theory adalah sebuah model untuk mengestimasi puncak
dari produksi minyak dunia. Para pendukung Peak Oil Theory ini meyakini produksi
minyak bumi dunia saat ini sudah atau akan segera mencapai titik puncak untuk
kemudian stagnan sebelum akhirnya mengalami penurunan produksi dengan cepat
secara permanen (http://www.peakoil.ie/newsletters).
Pada tahun 1956, Hubbert memprediksikan bahwa produksi minyak di
Amerika Serikat akan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Dan ternyata puncak
tersebut terjadi pada tahun 1971. Menurut Hubber, cadangan minyak Amerika Serikat
akan habis pada akhir abad ke-21. Pada tahun 1971, Hubber kembali mencoba untuk
memprediksi puncak produksi minyak, kali ini untuk produksi minyak dunia.
Menurut beliau, puncak produksi minyak dunia akan terjadi pada tahun 1995-2000.
Prediksi ini meleset karena sampai saat ini produksi minyak dunia masih
menunjukkan peningkatan. Tetapi hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor
lain yang dapat menunda peak ini, yaitu: krisis keuangan asia 1997, perang teluk, dan
resesi pada tahun 1980 dan 1990-an.
6
Namun hasil dari kompilasi beberapa ahli dari Exxonmobil, OPEC, Total, BP
dan Rembrandt Koppelaar memperkirakan bahwa puncak produksi minyak, baru akan
terjadi setelah tahun 2030-2050. Hanya ASPO (Association for the Study of Peak Oil
and Gas), pendukung Peak Oil Theory yang memperkirakan bahwa puncak produksi
minyak terjadi pada tahun 2007
Walaupun terjadi peningkatan produksi minyak bumi serta peningkatan
produksi dari sumber-sumber non konvensional seperti minyak pasir di Rusia pada
tahun 2005, namun kecendrungan beberapa tahun terakhir ini, menunjukkan bahwa
pendukung Peak Oil Theory lebih mendekati kebenaran atas krisis minyak bumi ini.
Hal ini juga diperkuat dengan menurunnya kapasitas produksi dibeberapa lapangan
minyak terbesar di dunia seperti lapangan Centrall di Teluk Mexico, Ghawar di Arab
Saudi dan Burgan di Kuwait. Padahal teknologi yang digunakan sudah sedemikian
canggih dan berkembangnya, serta mampu meningkatkan jumlah minyak yang
berhasil di angkat dari 25% menjadi 60%. Bahkan penggunaan teknologi mutahir
tersebut ikut memberi andil dengan meningkatnya harga minyak bumi di pasar dunia
akibat besarnya biaya produksi.
Ironisnya, penurunan jumlah produksi pada tahun 2006 diikuti juga oleh
turunnya jumlah cadangan minyak bumi dunia. Secara teori, besarnya kapasitas
produksi tergantung dengan besarnya jumlah cadangan minyak yang tersedia. Pada
saat suatu negara melakukan proses produksi, maka cadangan minyak negara tersebut
akan berkurang. Sebaliknya cadangan minyak akan bertambah jika ditemukan
lapangan baru dan meningkatnya kapabilitas teknologi pengeboran. Sayangnya sejak
tahun 1990, hanya ada satu lapangan besar baru ditemukan di wilayah Kazakhstan
yang memiliki kapasitas 500.000 barel per hari pada kapasitas puncaknya.
Untuk melakukan perhitungan standar atas potensi ketersediaan minyak bumi
adalah dengan mengukur rasio cadangan minyak/ produksi atau reserve/production
ratio (R/P). R/P dapat dijelaskan dengan menghitung seberapa lama (dalam tahun)
cadangan minyak dapat memenuhi kebutuhan produksi. Selama jumlah cadangan dan
produksi minyak bumi dapat berubah dari tahun ke tahun, nilai R/P dapat
memberikan gambaran atas ukuran potensi pasar minyak bumi. Tabel 1 memberikan
gambaran nilai R/P selama 24 tahun diseluruh dunia.
7
Tabel 1. Cadangan Minyak Bumi/Produksi
1983 1993 2003 2005 2006
Dunia 31.6 42.5 41.0 38.9 37.5
Amerika Serikat 7.0 8.6 9.6 9.8 7.0
Amerika Utara 14.6 17.9 12.2 14.5 14.34
Amerika Selatan dan
Tengah
25.5 42.9 41.5 47.6 47.0
Eropa None* 16.2 17.1 24.8 20.2
Timur Tengah 76.4 92.3 88.1 85.2 85.7
Afrika 32.9 23.8 33.2 34.9 34.8
Asia Pasifik 21.4 18.6 16.6 16.2 13.5
Sumber: IEA, Statistical Review of World Energy 2007
Jika diperhatikan dari tabel tersebut, dibandingkan dengan rasio pada tahun
2005, hampir seluruh wilayah dunia ditahun 2006 mengalami penurunan rasio
cadangan minyak bumi atas produksi kecuali di Timur Tengah. Hal ini
memperlihatkan bahwa hampir diseluruh kawasan dunia ketersediaan minyak
mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Namun di Timur Tengah terjadi
kenaikan rasio dari 85,2 tahun menjadi 85,7 tahun yang disebabkan oleh menurunnya
produksi minyak mereka.
Menurut laporan BP Statistical Review of World Energy 2007, cadangan
minyak bumi dunia pada tahun 2006 mencapai 1,156 triliun. Meningkat
dibandingkan pada tahun 2003 sebesar 1,147 triliun barel, pada tahun 1993 cadangan
minyak sebesar 1,023 triliun barel dan 1983 hanya 723 juta barel. Data tersebut
menunjukkan selama 23 tahun terjadi kenaikan jumlah cadangan minyak sebesar 37%
dibandingkan tahun 1983. Akan tetapi jika dibandingkan dengan jumlah cadangan
minyak pada tahun 2005 yang mencapai titik tertinggi dalam sejarah sebesar 1,201
triliun barel total, cadangan minyak tahun 2006 mengalami penurunan (Lihat tabel 2).
8
Tabel 2. Cadangan Minyak Bumi Dunia 2005-2006
2005 2006
Dunia 1,201 triliun barel 1,156 triliun barel
Amerika Serikat 29,922 miliyar barel 21,757 miliyar barel
Amerika Utara 30,170 miliyar barel 30,273 miliyar barel
Amerika Selatan dan Tengah 103,502 miliyar barel 102,798 miliyar barel
Eropa 140,534 miliyar barel 114,686 miliyar barel
Timur Tengah 742,711 miliyar barel 739,205 miliyar barel
Afrika 114,268 miliyar barel 114,073 miliyar barel
Asia Pasifik 40,244 miliyar barel 33,366 miliyar barel
Sumber: IEA Statistical Review of World Energy 2007
Di lain sisi, kenaikan juga diperlihatkan atas produksi minyak bumi dunia
sebesar 84,603 juta barel per hari, dibandingkan 66 juta barel per hari ditahun 1993
atau 57,9 juta barel per hari pada tahun 1983. Hal tersebut menunjukkan adanya
kenaikan produksi sebesar hampir 50% dibandingkan tahun 1983. Namun
dibandingkan dengan total produksi tahun 2005 sebesar 84,633 juta barel per hari,
produksi tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 0.03%.
Walaupun terjadi penurunan jumlah cadangan minyak maupun kapasitas
produksi namun secara garis besar, data R/P tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan atas keseimbangan cadangan dan produksi minyak dalam dua tahun
terakhir ini. Walaupun dalam jangka panjang R/P mempengaruhi harga minyak bumi,
namun perubahan yang relatif kecil tersebut memperlihatkan bahwa tingginya harga
minyak bumi bukan ”hanya” disebabkan oleh adanya penurunan rasio cadangan atas
produksi minyak..
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PETA PERMINTAN MINYAK BUMI
Permintaan minyak dunia mencapai 84,66 juta barel per hari pada tahun 2006
atau meningkat 1,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meningkatnya
permintaan minyak bumi disebabkan oleh tetap tingginya pertumbuhan ekonomi di
beberapa negara besar khususnya negara-negara industri non-OECD seperti Cina dan
India (Lihat tabel 3). Dari hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan
pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya jumlah permintaan atas minyak.
9
Sebagian besar peneliti ekonomi memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di negara-
negara non-OECD dimasa yang akan datang cenderung terus meningkat.
Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi 2004-2006
2004 2005 2006
Cina 10,1% 10,2% 10,7%
India 8,3% 9,2% 9,2%
AS 4,2% 3,2% 3,3%
Rusia 7,1% 6,4% 6,7%
Jepang 2,3% 2,6% 2,2%
Dunia 4,4% 4,7% 5,4%
Sumber : International Monetery Fund, GDP Growth Outlook 2007
Dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan perekonomian Cina terus
mengalami peningkatan. Tingginya pertumbuhan ekonomi Cina mengakibatkan
tingginya permintaan minyak untuk industri dan konsumsi.
Jumlah permintaan minyak Cina mencapai record tertinggi pada tahun 2004
yang meningkat drastis hingga 16%. Ada dua faktor kunci yang menyebabkan
kenaikan tersebut : Pertama, meningkatnya jumlah ekspor mereka menyebabkan
kapasitas produksi industri meningkat, sehingga Cina membutuhkan minyak untuk
menjalankan sumber energi dan bahan baku industri mereka. Kedua, meningkatnya
pendapatan domestik mengakibatkan meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat
negara tersebut seperti listrik dan kendaraan yang membutuhkan bahan baker minyak.
Walaupun ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami
peningkatan, namun pertumbuhan permintaan minyak Cina pada tahun 2005 dan
2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2004. Penurunan pertumbuhan
permintaan minyak bumi tersebut disebabkan oleh tingginya harga minyak bumi
dunia dan keberhasilan mereka didalam menjaga keseimbangan kebutuhan
pembangkit energi sektor industri dan listrik dengan mengantisipasi melalui konversi
energi minyak dengan batu bara dan gas.
Dilain sisi, IMF memperingatkan adanya peningkatan risiko turunnya
permintaan minyak akibat menurunnya pertumbuhan ekonomi di AS, Jepang dan
negara-negara maju lainnya akibat tingginya harga minyak, tingginya tingkat inflasi
dan defisit perdagangan.
10
Jumlah permintaan Amerika Serikat pada tahun 2006 mengalami penurunan
yang disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi rata-rata Amerika Serikat pada tahun
2005-2006 sebesar 3,3% atau tertinggi dalam 10 terakhir yang hanya sebesar 2,5%.
Walaupun mengalami penurunan permintaan, namun penurunan tersebut relatif kecil
disebabkan oleh tetap besarnya kebutuhan konsumen di negara tersebut. Walaupun
jumlah penduduk negara tersebut hanya sebesar 5% dari total penduduk dunia dan
pendapatan mereka menyumbang 28% atas pendapatan domestik dunia (hasil data
2006), namun Amerika Serikat merupakan negara konsumsi minyak terbesar di dunia
saat ini, dimana negara tersebut mengkonsumsi hampir 25% produksi minyak bumi
dan 40% produksi bensin dunia. Disaat produksi domestik tidak memadai (produksi
saat ini hanya sebesar 50% dari puncak produksi mereka pada tahun 1971) dan
permintaan domestik untuk konsumsi terutama bensin meningkat, menyebabkan
negara tersebut harus mengimpor hampir 75% kebutuhan domestik negara tersebut.
Tingginya tingkat ketergantungan tersebut menyebabkan pengaruh Amerika Serikat
menjadi sangat besar atas gangguan distribusi suplai minyak bumi dunia (Klare,
2004: 12).
Timbal balik dari kenaikan harga minyak akan menimbulkan efek yang buruk
bagi tingkat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Pertama, jika otoritas
moneter meng-interpretasikan kenaikan biaya minyak sebagai inflasi harga secara
umum, maka otoritas moneter akan mengadopsi kebijakan moneter ketat yang
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat/menurun. Kedua, jika harga produk
minyak naik dan masyarakat tidak dapat atau tidak ingin menurunkan konsumsi
minyak, maka masyarakat akan menurunkan pengeluaran pada barang atau jasa
lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tingkat pendapatan domestik akan
melambat/menurun di kemudian hari (Stern and Clavelend, 2004).
Tabel 4. Keseimbangan Pasar Minyak Bumi Tahun 2003-2006 ( jutaan barel per
hari)
2003 2004 2005 2006
Suplai Minyak Bumi
Amerika Serikat 8,80 8,70 8,32 8,33
OECD lainnya 14,46 14,11 13,56 13,26
OPEC 31,47 33,92 35,56 35,30
Rusia 10,43 11,35 11,77 12,16
11
Non-OECD 14,47 15,05 15,42 15,57
Total Suplai Dunia 79,62 83,12 84,63 84,60
Permintaan Minyak
Bumi
Amerika Serikat 20,03 20,73 20,80 20,69
OECD lainnya 28,57 28,63 28,86 28,56
Cina 5,58 6,44 6,72 7,27
Rusia 3,91 4,04 4,07 4,33
Non-OECD 21,52 22,49 23,20 23,81
Total Permintaan
Dunia
79,61 82,33 83,65 84,66
Surplus/Defisit 0,01 0,79 0,98 -0,06
Sumber : International Energy Agency (IEA 2007)
Secara umum permintaan atas minyak bumi masih menunjukkan trend
kenaikan akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi secara
umum di seluruh dunia. Walaupun pertumbuhan kenaikan permintaan minyak
mengalami penurunan akibat tingginya harga minyak bumi dan dipicu oleh faktor
ekonomi lainnya, namun penurunan tersebut tidak diimbangi oleh suplai yang
memadai disebabkan oleh menurunnya produksi minyak bumi dunia.
Ketidakseimbangan mekanisme pasar ini dikhawatirkan akan mendorong kenaikan
harga ke level yang lebih tinggi (lihat tabel 4).
EFEK NILAI TUKAR DOLLAR AS
Salah satu faktor fundamental yang mempengaruhi harga minyak bumi adalah
kurs mata uang dollar AS, dimana perubahan nilai mata uang dollar AS akan
berdampak langsung pada jumlah permintaan dan distribusi minyak bumi dunia.
Pada bulan Februari 2002, berdasarkan catatan indeks nilai mata uang dollar AS
mencapai angka tertinggi. Namun sejak saat itu, nilai mata uang dollar AS terus
mengalami penurunan hingga mencapai 30%. Bahkan pada tahun 2007, mata uang
dollar AS terus turun pada titik terendah atas mata uang euro dan beberapa mata uang
kuat lainnya. Pelemahan nilai mata uang dollar AS umumnya terjadi di wilayah
Eropa. Akan tetapi penurunan nilai mata uang dollar AS tidak berdampak secara luas
terhadap mata uang kuat lainnya. Jepang dan negara-negara industri di Asia
12
cenderuang melakukan intervensi terhadap pasar uang untuk menahan penurunan
nilai dollar AS atas nilai mata uang mereka. Bahkan dengan sistem kurs tetap, yuan
Cina cenderuang tidak mangalami apresiasi terhadap dollar AS.
Besarnya nilai mata uang dollar AS sangat berpengaruh atas harga minyak
bumi dunia dikarenakan harga dan transaksi minyak bumi dunia dilakukan dengan
menggunakan mata uang dollar AS. Keterkaitan tersebut memungkinkan munculnya
beberapa akibat. Jika nilai mata uang dollar AS melemah terhadap mata uang lain,
maka dollar yang diterima oleh eksportir minyak menjadi menurun nilainya sehingga
berimbas pada penurunan daya beli negara eksportir di pasar internasional. Hal
tersebut tidak menutup kemungkinan jika eksportir minyak mampu menggunakan
kekuatan pasar dalam mengatur harga atau mendikte dengan harga yang lebih tinggi,
sehingga mereka memiliki insentif untuk menutupi turunnya nilai mata uang dollar
AS mereka sebagai upaya untuk mempertahankan daya beli di pasar internasional.
Dilain sisi efek dari penurunan mata uang dollar AS terhadap negara importir
memiliki pengaruh yang bervariasi tergantung bagaimana negara tersebut dapat
melakukan penyesuaian mata uang mereka atas perubahan mata uang dollar AS.
Bagi AS, tentunya kenaikan dari setiap dollar AS atas harga minyak secara langsung
menambah beban harga, yang dapat berakibat menurunnya permintaan. Situasi akan
berbeda dalam kasus negara-negara Eropa. Selama nilai mata uang euro
menguat/terapresiasi terhadap mata uang dollar AS, efek peningkatan harga minyak
bumi yang berdominasi dollar AS tidak akan memiliki pengaruh signifikan. Akan
tetapi apresiasi mata uang suatu negara tidak selalu berdampak positif. Ahli ekonomi
menilai apresiasi mata uang suatu negara akan berdampak pada tingginya biaya
ekspor di pasar internasional. Kenaikan biaya tersebut berakibat menurunnya
penjualan mereka di pasar internasional dan jika penurunan penjualan tersebut cukup
besar, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan produk domestik suatu negara
dengan teraprsiasinya mata uang negara bersangkutan.
Sedangkan negara-negara di Asia seperti Jepang, Cina, India dan negara-
negara pengimpor minyak lainnya, melakukan intervensi melalui pasar uang
internasional untuk menghindari kejatuhan nilai mata uang dollar AS terhadap mata
uang mereka dengan tujuan untuk lebih memilih mengamankan keuntungan yang
dapat diraih atas hasil penjualan barang ekspor mereka dengan rendahnya nilai mata
uang mereka di pasar internasional.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa menurunnya mata uang dollar AS
13
tidak memiliki pengaruh signifikan atas permintaan minyak. Hal ini terbukti bahwa
dengan menguatnya mata uang euro terhadap mata uang dollar AS tidak memberikan
perubahan yang berarti atas permintaan minyak bumi mereka bahkan cenderung
mengalami penurunan permintaan.
HARGA BENSIN DAN PERSEDIAAN
Sebesar 40% dari biaya produksi bensin berasal dari minyak mentah.
Besarnya penggunaan minyak mentah sebagai bahan dasar bensin menyebabkan ada
keterkaitan dari kedua faktor tersebut, dimana perubahan harga pada minyak mentah
berdampak pada harga bensin. Namun saat ini keterkaitan tersebut berubah terbalik,
dimana besarnya harga bensin menjadi faktor penting didalam menentukan harga
minyak bumi, terutama di New York Merchantile Exchange (NYMEX).
Saat ini harga bensin terus menciptakan rekor tertinggi baru sejak tahun 2004.
Walaupun salah satu faktor peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya
harga minyak mentah, namun peningkatan harga yang disebabkan oleh faktor lain
yang bersifat independen ikut memberikan andil yang sangat besar atas peningkatan
harga bensin di NYMEX seperti tingginya tingkat utilitias atas kapasitas penyulingan
minyak, menurunkan tingkat investasi pada penyulingan minyak baru, biaya ekstra
untuk memproduksi variasi bensin untuk persyaratan ramah lingkungan di beberapa
negara dan rendahnya persediaan di Amerika Serikat serta rendahnya data persediaan.
Di Amerika Serikat, persediaan bertujuan untuk mengamankan lancarnya
distribusi jika ada lonjakan permintaan maupun gangguan suplai. Jika persediaan
berada dibawah rata-rata, hal tersebut memberikan indikasi bahwa pasar dalam
kondisi sangat ketat dimana permintaan hampir menyamai bahkan melebihi
penawaran. Hal ini berakibat naiknya tekanan terhadap harga. Ada tiga faktor yang
memberikan kontribusi rendahnya data persediaan. Pertama, disebabkan biaya
operasional untuk persediaan minyak cukup mahal, maka untuk mengurangi beban
biaya adalah dengan mengurangi jumlah persediaan. Kedua, dalam pasar future
komoditas di NYMEX, harga pengiriman minyak di masa yang akan datang selalu
lebih rendah dibandingkan harga saat ini menyebabkan terhambatnya akumulasi
persediaan saat ini. Dan ketiga, disebabkan ketatnya pasar minyak.
Tingginya harga bensin (berdasarkan data harga bensin di pasar AS),
memberikan kontribusi atas meningkatnya harga minyak bumi dunia yang disebabkan
atas dasar ekspektasi pasar. Para pedagang yang bertransaksi di NYMEX memiliki
14
hipotesa bahwa tingginya harga bensin di Amerika Serikat disebabkan oleh
rendahnya data persediaan bensin AS yang merupakan indikasi ketatnya pasar
penawaran minyak.
DAMPAK PASAR FUTURES
Seperti seluruh sistem harga terdahulu, sistem formula harga pasar juga tidak
lepas dari kekurangan. Sistem formula harga pasar adalah patokan harga yang
menghubungkan harga jual negara produsen minyak dengan harga pasar. Patokan
harga pasar minyak bumi didasari oleh harga ”fisik” minyak mentah di WTI (Western
Texas Intermediate), Brent dan Dubai. Sistem harga pasar tersebut menjamin para
pembeli yang melakukan pembelian dari OPEC memiliki harga yang sama dengan
pembelian pada Non-OPEC (Farrel, 2001: 69).
Sistem formula harga pasar akan berjalan ideal jika didasari oleh kekuatan
rasionalitas ekonomi dimana kekuatan sistem permintaan dan penawaran menjadi
tolak ukur atas penentuan harga minyak. Sehingga dengan penggunaan sistem
tersebut diharapkan dapat membawa keseimbangan permintaan dan penawaran.
Namun pasar minyak WTI, Brent dan Dubai, yang menjadi acuan harga jual
bagi negara pengekspor minyak memiliki banyak keterbatasan. Pertama, ketiga pasar
tersebut merupakan pasar regional. Didalam menetapkan harga minyak, pasar-pasar
tersebut menggunakan parameter regional masing-masing. Harga minyak WTI
sangat dipengaruhi oleh kekuatan permintaan di Chicago dan penawaran di teluk
Mexico. Sebaliknya harga Brent lebih dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran di
Eropa. Kedua, interaksi yang semakin kompleks atas harga acuan minyak dunia
dengan berkembangnya pasar future yang lebih likuid, yaitu NYMEX (New York
Merchantile Exchange), IPE (The International Petroleum Exchange) di London, dan
SIMEX (The Singapore International Monetery Exchange). Dalam konsep pasar
future ini, pembeli ataupun penjual wajib melakukan kontrak untuk pembelian dan
pengiriman minyak dalam satu bulan atau lebih ke depan. Namun, dalam
pelaksanaannya, pengiriman minyak mentah tersebut jarang sekali memiliki
keterkaitan dengan pasar future. Investor yang melakukan kontrak di pasar future
tersebut akan menerima uang tunai disaat kontrak berakhir. Itulah sebabnya pasar
future dikatakan sebagai pasar yang sangat likuid. Didalam pasar yang sangat likuid
tersebut, pihak yang bermain (investor) dapat melakukan spekulasi, dimana mereka
memiliki kekuatan dalam mempengaruhi tekanan harga minyak bumi, tidak terlalu
15
memperhatikan fundamental fisik permintaan dan penawaran. Walaupun mekanisme
permintaan dan penawaran memiliki peranan atas harga minyak, namun faktor-faktor
lain seperti respon berita, pandangan investor atas suatu informasi dan faktor-faktor
irasional lain seperti perpindahan portofolio antar pasar minyak dengan pasar
komoditas lain, obligasi, saham atau pasar valuta asing memiliki kontribusi yang
sangat besar dalam penentuan harga minyak di pasar future tersebut (Baghestani,
2004 : 4).
PERMANEN
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan "Oil Price and Global
Imbalances" memprediksikan tekanan harga minyak sekarang ini bakal bertahan atau
permanen dan memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan dengan krisisi harga
minyak sebelumnya. Dari perspektif historis, separuh lonjakan harga minyak 1973-
1974 terbukti permanen/berlanjut, sementara krisis minyak 1979-1981 akhirnya
berbalik.
Saat ini, ekspektasi pasar maupun penilaian terhadap fundamental jangka
menengah pasar minyak mengisyaratkan sebagian besar tren kenaikan sifatnya
permanen atau bertahan. Artinya, kemungkinan koreksi atau turun, kecil.
Prediksi jangka menengah IEA juga memperkirakan kondisi pasar minyak
dunia akan tetap ketat lima tahun mendatang, dengan pertumbuhan konsumsi 2,2
persen per tahun, sementara pasokan dari non-OPEC hanya meningkat 1 persen per
tahun sebelum akhirnya stagnan. Ini akan semakin mempertinggi tensi dan
ketergantungan negara-negara maju pada OPEC. OPEC akan dipaksa menggenjot
produksi dari 31,3 juta bph sekarang ini menjadi 36,2 juta bph tahun 2012 sehingga
berakibat kapasitas tersisa hanya 1,6 persen dari permintaan global, dari sekarang 2,9
persen.
KESIMPULAN
Kondisi pasar minyak yang dipengaruhi oleh beberapa faktor variabel,
menyebabkan pasar minyak menjadi sangat ketat sejak tahun 2003 hingga saat ini.
Beberapa faktor yang mempengaruhi minyak ada yang bersifat sementara, ada yang
siklus dan bahkan beberapa faktor bersifat permanen. Sebagai akibat ketatnya
permintaan minyak dan penawaran mengakibatkan konsekuensi meningkatnya biaya
energi untuk konsumsi, bisnis dan industri. Hal ini berdampak besar pada kondisi
16
makroekonomi global, yang tidak hanya disebabkan oleh tingginya harga minyak
bumi, namun juga berdampak pada respon kebijakan moneter dan fiskal jika krisis
harga minyak berlangsung lama dan mengakibatkan inflasi global.
Walaupun menghadapi tekanan pada tahun 2003-2006, namun mekanisme
pasar minyak masih berjalan sesuai dengan fungsinya. Ketegangan dan masalah yang
sifatnya lokal dan temporal, dapat direspons dengan "jujur" oleh harga. Begitu
masalah mereda, maka harga pun turun kembali. Penyesuaian harga dapat berjalan
sesuai dengan mekanisme pasar dengan sedikit distorsi yang dilakukan oleh OPEC.
Ketegangan politik dan bencana alam masih memiliki peran yang besar
terhadap harga minyak dunia. Namun sejak tahun 2006, gejolak politik Nigeria,
Venezuela dan perselisihan antara Pemerintah Rusia dan perusahaan negara miliknya
sendiri, Yukos sudah berakhir. Ketegangan politik saat ini hanya terbatas di wilayah
Timur Tengah, tetapi tidak meluas dan sifatnya temporal. Dilain sisi kekhawatiran
banyak pihak akibat menurunnya suplai minyak tidak memiliki bukti akan munculnya
dampak yang luar biasa disebabkan tidak adanya bukti keterbatasan cadangan dan
gangguan distribusi suplai minyak, akan tetapi lebih disebabkan oleh menurunnya
produksi minyak di negara-negara produsen minyak.
Namun sejak tahun 2007, harga minyak melonjak sedemikian rupa secara
terus-menerus. Tampaknya faktor-faktor fundamental bukan menjadi satu-satunya
faktor yang dapat mempengaruhi gejolak harga minyak bumi. Pasar minyak bumi
memang memiliki karakteristik unik dan kompleks. Selain dipengaruhi oleh faktor
fundamental, harga minyak juga sangat dipengaruhi oleh faktor ekspektasi pasar dan
spekulasi di pasar spot dan futures. Ditengah ketatnya pasar minyak, ada faktor
spekulasi yang memanfaatkan ruang sempit di sela-sela mekanisme pasar.
Keterbatasan informasi pelaku pasar minyak dalam parameter kunci seperti produksi,
ekspor, permintaan dan penawaran membuat respon pasar menjadi irasional.
17
DAFTAR PUSTAKA
Association for the Study of Peak Oil and Gas (ASPO). 2006. Newsletter No. 69.
Available online: http://www.peakoil.ie/newsletters
Baghestani. 2004. On the predictive accuracy of crude oil futures prices, Energy
Policy Journal, Elsevier
Farrell, G.N., Kahn, B., and Visser, F.J. 2001. “Price Determination in International
Oil Markets: Developments and Prospects.” SARB Quarterly Bulletin, No. 219,
March 2001
International Energy Agency. 2006, Energy Balances of OECD Countries and Energy
Balances of Non-OECD Countries (2005 Edition). Paris IEA
International Energy Agency. 2007, Oil Market Report. March 2007, Available
online: http://omrpublic.iea.org/Accessed15/11/2007
International Monetery Fund. 2007. International Financial Statistic. Washington,
DC: IMF
Keen S. 1995. "Finance and economic breakdown: modelling Minsky's Financial
Instability Hypothesis", Journal of Post Keynesian Economics, Vol. 17, No. 4
Klare, M. 2004. Blood and Oil: The Dangers and Consequences of America’s
Growing Petroleum Dependency, (London: Penguin Books)
Stern, DI and Clavelend, CJ. 2004. Energy and Economic Growth, Rensselear
Working Papers in Economics 410
Siamack Shojai, Bernard S. Katz, The Oil Market in the 1980's: A Decade of Decline,
(Greenwood, 1992)