menatapmu itu seperti merasakan kesejukan ditengah terik matahari
TRANSCRIPT
Menatapmu itu seperti merasakan kesejukan ditengah terik matahari
Itu hanya menatapmu. . .
Dan aku mulai memejamkan mata ketika semilir angin berhembus menyejukkanku. .
Ketika aku tersadar untuk membuka mata dan bangun dari tidurku,
Kulihat dirimu seperti sebuah angan yang tergantung di atas sana. .
Mata Itu...Aku masih memandang dibalik tirai jendela kelasku. Mataku terlalu sulit untuk
mengedip dari bayangannya. Kata teman sekelasku, aku adalah penguntit. Lebih tepatnya tak
berani berbicara langsung atau hanya sekedar menyapanya. Aku terlalu malu saja.
“ Ta... masih betah liatin Vino dari sini?,” celoteh Freya yang tengah memasang
wajah manyun untuk dipotret dengan kamera 360 miliknya. Aku menoleh dan sesekali
meliriknya. “ Kenapa sih Ta, ngeliatin aku juga? Vino tuh di sana!.” Telunjuknya menunjuk
ke luar kelas. Di tempat cowok yang bernama Vino, yang berdiri sambil bergulat dengan
teriknya matahari siang itu. Dia menggiring bola di tengah lapangan dengan seragam yang
mulai basah oleh cucuran keringat.
“ Ta, samperin sana! Masa tiap hari diliatin doang.” Freya meledekku. Dia mengibas
– ngibaskan cover buku ke arahnya. Aduh, harus berapa kali aku jelaskan padamu Frey.. aku
belum siap jujur tentang perasaanku pada Vino. Aku... lah. Kok Vino main hilang aja. Aku
celingukan mencari sosok Vino di lapangan. Mataku tak hentinya menerawang bagaikan
sinyal yang mencari radar yang barusan hilang.
“ Aduh! Tata. Tuh kan, si Vino ngilang. Kamu sih kebanyakan mikir,” ledek Freya
lagi. “ Aku malu Frey.. tapi pengen banget aku bisa deket dengan dia.” Aku akuin itu.
Ngefans berat sama Vino sejak penampilannya dalam ajang perlombaan futsal antar kelas
sewaktu dies natalis sekolah setahun lalu. Kami beda kelas. Tapi sama – sama kelas 2
sekarang. Kelasnya terletak di belakang taman tengah sekolah. Sedangkan kelasku,
berlawanan arah dengan kelasnya.
“ Kamu ngapain sih nyalahin aku terus! Padahal dari tadi aku pantengin Vino terus.
Gara – gara celotehan kamu tuh dia jadi ilang.” Freya mengedipkan salah satu matanya. Dia
seakan memberitahuku tentang sesuatu. Aku malah memandangnya aneh. Masa dia kelilipan
sampai kayak gitu. Matanya kedip – kedip tak beraturan. Kepalanya juga sedikit menggeleng.
“ Apa?,” tanyaku tanpa suara. Freya tetap pada aktivitas semula.
Tak sengaja aku menoleh ke belakang. ASTAGA!! Mulutku membentuk huruf o dan
mataku melotot seperti ketemu setan yang menakutkan. Aku masih berdiri di atas kursi dalam
keadaan terkejut setengah mati. Ngapain cowok itu duduk di teras bawah jendela kelasku.
Apa dia menyadari jika aku ada dibalik jendela itu? Aku mencoba turun perlahan. Tapi
apesnya aku malah terjatuh.
BRUKKK!!! Kursi yang kujadikan tumpuan berdiri tadi ikut oleng dan menjatuhkan
tubuhku ke lantai. Freya meletakkan hapenya. Dia sontak berdiri lalu cekakaan tanpa
membangunkanku. Aku langsung melihat luar jendela. Oh my God! Vino langsung berdiri
dan melihat ke dalam kelasku. Kuambil cover buku yang tadi sempat dipakai Freya untuk
kipasan. Kupakai untuk menutupi mukaku sambil sesekali mengintip apakah Vino sudah
pergi atau belum.
Huffttt... aku mengelus dada. Akhirnya Vino pergi juga dari situ. Aku mencoba
bangkit tapi punggungku sakit. “ Kamu kayak orang tua aja, jalan megangi punggung. Encok
buk?.” Freya cekikikan melihatku berjalan memegangi punggung dan sedikit membungkuk. “
Kamu sih! Kenapa nggak bilang kalau Vino di situ?.”
“ Lah! Tadi aku kan bilang. Masa nggak sadar sama kedipan mataku? Udah aku pake
geleng – geleng segala tadi.” Freya membantuku berjalan menuju kursi. “ Kan tadi aku kira
kamu kelilipan.”
Selalu saja kayak gini kalau ketemu Vino. Ujung – ujungnya pasti aku kena sialnya.
Tapi kenapa hal ini malah terjadi padaku. Bukan pada cewek – cewek yang menjadi
penggemar gilanya itu sih?!
“ Kamu gimana pulangnya? Aku nggak bisa kalo nganter. Apa bareng Haris aja?.”
Freya mencoba menawarkan berbagai alternatif untukku. Aku sendiri malah bingung. Masa
naik angkot dalam keadaan begini? Bareng Haris? Dia pasti sibuk dengan praktek biologinya
di lab. Kalau dipikir, aku kuat sih pulang sendiri. Ini nggak terlalu sakit. Tapi...
Kenapa aku nggak bareng Kenan aja? Jam segini pasti kuliahnya udah selesai. Aku
mengeluarkan hape dari tas ranselku. Kupencet angka – angka yang membentuk satuan
nomer telepon. Kukirimi dia pesan.
Ken, kamu pulang kapan?
Sent to 087645356xxx
“ Kenapa ya, kalo kamu ketemu Vino pasti kayak gini. Dari sepengetahuanku, ini
yang ke tiga kalinya.” Ternyata Freya begitu awas denganku. Benar apa yang barusan dia
katakan. Aku selalu kena sial kalau ketemu Vino. Aku ingat, pertama kali aku ngefans dia.
Berada di luar lapangan futsal, memegangi jaring – jaring pembatas lapangan sambil sesekali
melirik dan tersenyum nggak jelas, sementara yang lain teriak – teriak nama Vino dari
berbagai sudut lapangan.
Saking asyiknya mandangin Vino, aku tak sadar jika bola futsal itu melayang ke
arahku. Bola itu mengenai dahiku hingga bayangan hitam lewat menelan cahaya terang yang
sempat kulihat. Aku tak sadar apa yang terjadi setelah itu. Yang pasti aku mendapati diriku di
kursi panjang dikelilingi Haris, Freya dan Vino juga.
Orang pertama yang kupandangi adalah Vino. Dia tersenyum dan menanyakan
keadaanku. “ Kamu nggak apa – apa?.” Aku hanya menggeleng tanpa mulutku bisa berkata
sesuatu. Dari arah lapangan, Brian berteriak memanggil Vino. “ Woi!! No! Buruan!.” Vino
langsung menghampiri panggilan Brian dan meninggalkanku dengan jejak kehadirannya.
“ Kamu kok bisa pingsan tadi? Sakit emang dicium bola sampe gitu?,” Haris kepo.
Penyakit keingintahuannya cukup besar. Kadang malah membuatku jengkel dengan rasa
penasarannya yang menurutku aneh dan terlalu hiperbola. “ Kamu penasaran banget sih Ris?
Pengen dicium juga?,” ledekku sambil mengusap dahiku yang kemerahan.
“ Ya nggaklah Ta. Mana berani tuh bola dateng ke aku. Hahaha..” tawanya sambil
memegangi perut. Dia mana bisa main futsal sih. Lari 50 meter aja sudah ngos – ngosan
kayak lari 1000 meter. Emang badannya aja yang digedhein.
Aku jadi ingat waktu Haris bilang padaku dia sedang diet. Katanya dia mulai jenuh
dikatain gendut sama teman – temannya. Semenjak itu dia memutuskan untuk diet. Dia
menahan diri untuk tak memakan makanan yang dia favoritkan. Tapi masalahnya hampir
semua jenis makanan menjadi favoritnya. Akhirnya dia hanya makan roti dan selai layaknya
bule rambut pirang berbahasa planet luar. Sayang dan sayang banget kebiasaannya itu hanya
bertahan selama seminggu. Dia tak kuat menahan godaan makanan lezat yang melambai –
lambaikan aromanya untuk masuk dalam lubang hidungnya.
Hampir lupa. Itu kejadian pertama kali aku kena sial gara – gara Vino. Kesialanku
yang kedua adalah ....
Hapeku bergetar. Satu pesan diterima
From Kenan
Sekarang. Knp?
Sesegera mungkin aku mengetik cepat balasan untuk Kenan. Untunglah dia juga pulang.
Siapa tahu aja mau diajak bareng.
Aku nebeng. Abis jatoh nih. Sakit. .
Sent to Kenan
Beberapa lama kemudian Kenan sms.
Tungguin aku di gerbang. Kamu lama, aku tinggal!
From Kenan
Aku bergegas dari kursi. Mengambil tas dan bersiap keluar kelas. Tangan Freya
menghalangiku. Matanya menyusuri setiap gerak wajahku.
“ Mau ke mana? Bukannya Haris ada praktek? Kamu mau nungguin dia?.”
“ Nggak. Aku nungguin Kenan. Bentar lagi dia jemput aku.” Penjelasanku sempat
membuat mulut Freya membentuk huruf a kemudian tersenyum nggak jelas.
“ Kak Kenan mau ke sini? Jemput kamu?,” tanyanya lagi untuk memastikan bahwa
omonganku benar. Aku menyuruh Freya minggir dari depanku. Tapi dia mengalangi jalanku.
“ Kalau gitu, aku anter ke gerbang ya.” Matanya mengedip genit. Dia seperti
penggoda yang sedang merayu seseorang untuk mengikuti kemauannya. Aku mulai curiga
maksud dibalik kabaikannya.
“ Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Bukannya kamu ada acara tadi?,” tanyaku
meliriknya cepat. Dia memutar bola mata sambil berpikir sejenak sebuah alasan.
“ Ah! Itu masih nanti. Yok!.” Freya langsung menggandeng tanganku untuk
mengikutinya menuju gerbang. Pasti ini ada maunya. Semangat banget dia mengandengku.
Apa dia tak sadar kalau yang digandeng tangannya ini sedang mengalami sekarat punggung?
Jadi jalannya harus pelan bukan jalan setengah lari begini. Punggungku kayak patah. Aduh!
“ Freya! Pelan dong jalannya! Kamu nggak sadar kalo aku...” belum selesai aku
menyelesaikan perkataanku dia langsung meneruskannya. “ Apa? Encok? Oh. Lupa mbah.
Cucumu ini bakal ati – ati kok mbah. Hehe.” Dia memelankan jalannya sambil cengengesan
melihatku. Rasanya seperti mengece.
Kenan sudah nangkring di atas motor CBR hitamnya. Dia terlihat gagah mengendarai
itu. Apalagi helmnya tuh mirip punya pembalap dunia sekelas Valentino Rossi.
“ Jatuh dari mana?,” tanya Kenan membuka kaca helm yang sempat menutupi
wajahnya yang bersih. Mulutku masih melongo akan mengeluarkan kata, malah didahului
oleh Freya. Lagi – lagi dia yang menyela. Aku jadi curiga jika ini modusnya buat bisa dekat
dengan Kenan.
“ Biasa kak. Si Tata kan banyak ulah.” Freya cengengesan menepuk ringan bahuku.
Apa coba maksudnya? Pasti nyari perhatiannya Kenan. “ Ya elah Ta! Kamu kapan berubah
sih?! Cewek kok banyak tingkah. Makanya...” Jika nggak aku stop omongan Kenan pasti ke
mana – mana. Dia paling suka menceramahi aku. Bisa tujuh hari tujuh malam loh dia kuat
kayak gitu. Sampai panas telingaku dengarnya. Dan aku hafal kata selanjutnya yang akan
keluar jika aku diam seperti ini.
“ Ta! Kamu yang sensitif dikit dong sama telinganya. Masa dibilangin gitu masuk
telinga kanan keluar telinga kiri.” Itu kalimat yang sering Kenan katakan padaku. Sementara
Kenan asyik memarahiku, Freya hanya senyam – senyum sendiri memperhatikan Kenan yang
terlihat semakin ganteng saja dimatanya. Oh God! Beneran jatuh cinta nih kayaknya si Freya.
“ Iya Ken. Maaf. Emang tadi aku nggak ati – ati aja. Sekarang pulang yuk. Nggak
tahan nih sama sakitnya. Pengen cepat tepar di kasur.” Aku langsung naik ke belakang motor
Kenan. Sumpah! Tinggi banget motornya. Aku pegangan bahunya.
“ Kak. . aku boleh ikut nggak? Hehe.” Freya antusias juga rupanya.
“ Nggak!! Enak aja ikut. Motornya aja nggak muat,” ucapku ketus. Emang dasar
Freya caper banget kalau sama Kenan.
“ Yah. . aku kan juga mau bareng pulang Ta. Kita kan searah. Apa salahnya
barengan.” Freya tak mau mengalah. Yang aku tahu dia itu nggak hanya niat pulang doang,
tapi juga berduaan sama Kenan.
“ Eh. . eh! Gini deh. Kalian berdua naik angkot aja. Trus aku tunggu depan rumah
Freya.” Ide gila Kenan muncul disaat yang tak tepat. Tahu gitu kenapa dia menghampiriku
sampai sekolah segala? Hari ini Freya memang membuatku jengkel bukan main. Tadi sama
Vino. Sekarang giliran Kenan.
“ Nggak bisa! Punggung aku sakit. Kamu tega ya Ken, ngebiarin aku makin
kesakitan. Kamu jahat sama aku! Trus ngapain kamu jemput aku segala? Kamu lagi Frey,
tadi bilangnya nggak mau nganterin aku pulang. Ada acaralah. Mentang – mentang di sini
ada Kenan, jadi niat nganter aku. Plin plan banget sih! Aku turun aja!.” Aku turun dari motor
tapi Kenan melarangnya. Dia tertawa puas setelah mengerjaiku. Itu kebiasaan terburuknya.
Freya yang tak tahu maksud tertawaan Kenan, ikut hanyut dalam tawaan. Serasa
menghadapi orang gila. Lihat saja mereka tertawa di atas penderitaanku. Aku korban bully-
an.
“ Mukanya nggak usah kusut juga kale..” Kenan menyenggol pinggangku. “ Jadi
pulang nggak?.” Tanya Kenan bersikap sok peduli. Aku hanya mengangguk dengan tatapan
tajam. Kenan menyalakan mesin motornya. Dia gas berulang. Suaranya besar.
Burm... bermmmm... beerrmmm....
“ Yah... aku beneran nggak diajak?,” Freya menampakkan wajah melasnya. Aku
yang gantian tertawa sambil melambaikan tangan padanya. Da.. Freya, belum rejekimu deket
sama Kenan.
3 Maret 2010
Namanya Alvino Prestiyan. Lebih tepatnya dia sering dipanggil Vino. Badannya
cukup atletis untuk seorang yang gemar olahraga seperti dirinya. Kulitnya kuning langsat,
matanya belo bagaikan bola bekel, alisnya tipis, bibirnya kecil kemerahan seperti diolesi
lipstik natural. Dia tinggi semampai. Mungkin jika disandingkan aku, tinggiku hanya sejajar
dengan telinganya. Hobinya bermain futsal. Bisa dibilang, futsal adalah pacarnya yang paling
setia. Setiap hari tak bisa berhenti untuk tak bermain dengan bola kecil yang permainannya
sering dinamai sepak bola mini.
Kalian tahu, aku seorang penguntit sejati. Aku tahu semua tentang Vino. Tapi dia tak
pernah tahu siapa aku. Aku lebih suka menjadi screet admire. Hampir setiap hari aku
pantengin layar hapeku untuk membuka halaman facebook, mengawasi apapun yang dia
lakukan. Aku merupakan penyuka setia status – statusnya. Pokoknya aku nggak pernah absen
deh memberikan jempolku ini untuk setiap tulisan yang dia pos pada akunnya.
“ Eh Ta, kak Kenan udah pulang belum?,” tanya Freya cengengesan. Sudah bisa
ditebak kenapa dia menanyakan Kenan padaku. Pasti ada modus yang tersembunyi. “ Udah
kali. Kenapa nggak kamu sms aja. Malah tanya aku. Mana aku tahu sih,” tukasku agak bete.
“ Kamu kan adeknya.” Freya mengedipkan mata berulang. Dia melebarkan senyum
dan menyenggol pinggulku genit. “ Emang mau ikut aku pulang kalau Kenan ada di rumah?,”
aku melirik Freya cepat. Dia mengangguk dan menarik tanganku untuk mengikutinya menuju
parkiran motor. Baru dua langkah dari tempatku berdiri tadi, aku tak sengaja menabrak
seseorang yang berjalan disampingku. “ Maap.. maap,” ucapku tergesa. Aku sempat menoleh
orang itu. Dan kalian tahu siapa dia?
Mataku terbalak sesaat dan aku mematung. Genggaman tangan Freya lepas. Mungkin
dia belum sadar karena terus saja mengomel sepanjang koridor sekolah. “ Nggak apa – apa
kok Ta,” serunya melebarkan senyum.
Apa yang kudengar barusan? Ta? Vino tahu namaku dari mana? Aku mulai salah
tingkah. “ Ehmm...” pikiranku beku sesaat. Aku bingung harus ngomong apa pada Vino. Aku
berusaha berpikir untuk memunculkan ide. Dan akhirnya hal itu sia – sia. Freya menghampiri
kami sambil sesekali bersikap sok akrab pada Vino.
“ Eh.. ada Vino. Mau pulang Vin?,” tanyanya sambil melirikku. “ Nggak. Aku masih
ada latihan futsal buat tanding senin besok. Kalian nonton ya,” ajaknya. Mulutku seakan
membentuk huruf a menjawab ajakan Vino, Freya malah menyerengai duluan.
“ Jam berapa Vin?,” tanyanya sok penasaran. “ Jam 3an. Di lapangan futsal depan
kantor pos,” jelasnya sambil bergegas meninggalkan perbincangan ini. “ Oh ya, aku duluan
ya Ta. Udah ditungguin anak – anak.”
Nggak salahkan pendengaranku kali ini? dia beneran menyebut namaku. Wajahku
terasa berseri – seri. Aku senyam – senyum tak karuan. Mataku terus saja memandang tubuh
Vino yang semakin hilang ditelan dinding – dinding bangunan sekolah. Freya
menggelitikiku. Dia meledekku habis – habisan. Terserah deh Frey.. telingaku sekarang tak
lagi mau mendengar perkataanmu. Yang ada aku sekarang sedang terngiang – ngiang pada
panggilan Vino tadi.
***
Kurebahkan tubuh di kasur yang empuk dan ternyaman ini. Kupejamkan mata dan
kubayangkan semua hal yang terjadi hari ini. Mulai dari bangun tidur, menjadi penguntit
sampai bercakap dengan Vino. Sumpah! Senang banget hari ini.
“ Ta! Kamu di dalam kan? Bukain pintunya dong! Aku mau ambil laptop,” seru
Kenan mengetok pintu kamarku berulang kali. “ Ta! Aku tahu kamu udah pulang. Jangan
bohongin aku. Cepet buka pintunya! Atau aku dobrak nih?,” ancam Kenan. Ini kebiasaan
buruknya. Nggak pernah membiarkanku istirahat dengan nyaman. Selalu saja ada hal yang
dia lakukan untuk menggangguku.
Aku melangkah menuju pintu. Kuputar kunci sampai pintu terbuka. Kenan berdiri
tegap dan langsung menerobos masuk kamarku. “ Ken! Aku juga butuh. Buat apa sih kamu?
Bukannya kamu udah janji mau pinjamin ke aku?.” Dia segera mengambil laptop yang
tergeletak di meja belajarku. Mukaku manyun. Bibirku monyong ke depan. “ Iya sih. Tapi
aku butuh banget. Ntar dek ya, aku kasih ke kamu lagi.” Dia ngeloyor keluar kamar.
10 Januari 2013
Aku hilang kontak dengan Vino. Kabar terakhir yang aku dapatkan, dia mendapat
beasiswa dari permainan futsalnya. Dia dapat beasiswa dari sebuah perusahaan terkemukan di
Indonesia. Nomernya sudah tak aktif lagi. Teman – temannya juga tak banyak yang tahu
nomer telepon baru Vino. Apa bukan jodoh? Tiga tahun aku menyukainya. Sekarang? Aku
malah kehilangan jejaknya.
Lihat kabar dari postingan status facebook terakhirnya, dia diterima di sebuah
universitas di Bandung jurusan teknik sipil. Aku turut senang. Ini cita – citanya dari dulu
untuk menjadi pemain futsal nasional dan sekolah di Jakarta. Aku memang tak terlalu dekat
dengan Vino. Hanya sebatas kenal saja. Tapi, teman sekelasnya yang bernama Haris banyak
cerita padaku. Kebetulan Haris adalah teman sebangku Vino. Aku mengenal Haris karena dia
adalah teman SDku.
“ Aku belum dapat kabar dari Vino. Facebooknya juga jarang aktif,” curhat Haris
padaku. Dia terlihat sedikit murung. “ Ah kamu Ris! Baru ditinggal Vino bentar aja udah
galau setahun,” celotehku yang membuat Haris melotot padaku. “ Nggak gitu Ta.
Masalahnya aku ada proyek bareng dia.” Haris tersenyum sambil menunjukkan ponselnya
yang bergetar.
“ Proyek apaan? Kok kamu nggak cerita?.” Aku mulai penasaran. Tumbenan Haris
punya proyek. Berdua lagi sama Vino. “ Kamu kepo deh! Ini masalah cowok. Kamu belum
cukup gender buat tahu.” Haris menjulurkan lidah kemudian tertawa cekikikan. Sepertinya
dia telah puas menertawakanku.
“ Ketawa terus! Sampe pagi. Eh, tapi kok Vino tahu namaku? Jangan – jangan kamu
lagi yang ngasih tahu?,” aku berusaha memancing Haris untuk menjawab rasa penasaranku.
Dia diam seakan menyembunyikan sesuatu. Atau mungkin sedang memikirkan sesuatu untuk
diungkapkan sekarang?
“ Ya.. kan niat awal aku ingin nyomblangin kalian. Siapa tahu aja jodoh.” Ucap Haris
jujur sambil cengengesan. “ Trus bilang apa aja tentang aku? Pasti kamu jelek – jelekin aku
deh.” Aku memasang muka manyun. Melirik wajah Haris cepat. “ Hahaha.. ya.. aku kan
harus jujur. Aku bilang kalo kamu... naksir Vino.” Haris cengengesan lagi. Mukanya buat aku
gengges.
“ Serius? Abis aku! Malu – maluin aku tahu.”
11 Januari 2013
Suara radio itu mengingatkanku tentangnya. Petra – Semua tentang dirimu.
Kau datang dengan senyum sederhana
Kusambut engkau dengan bijaksana
Kau mulai bercerita
Tentang memori kita berdua
Awalnya kuanggap biasa saja
Hingga kutemukan yang tak biasa
Mulai perhatikanmu
Ku rindu semua tentang dirimu
Reff : Dan bila sang waktu mengizinkanku
Memeluk dirimu bahagiakanmu
Jadikan diriku Semua tentang dirimu
Awalnya kuanggap biasa saja
Hingga kutemukan yang tak biasa
Terus memikirkanmu
Ku rindu semua tentang dirimu
(Reff 2x)
Kan kujaga dirimu
Selamanya untukmu
Semua tentang dirimu
Dan bila sang waktu mengizinkanku
Memeluk dirimu bahagiakanmu
Jadikan diriku Semua tentang dirimu
Dan bila sang waktu telah izinkanku
Memilikimu
Jadikan diriku Semua tentang dirimu
Kupejamkan mata sambil sesekali masuk dalam alunan nada lagu itu. Bayangan Vino
perlahan hadir sebagai objek yang layaknya menjadi model video klip dalam imajinasiku.
Flash back begin
12 Februari 2010
Semua bersiap di lapangan belakang sekolah. Hanya aku dan Freya yang masih
berada di dalam kelas.
“ Fre! Buruan! Udah ditungguin pak Seno. Kamu masih ngapain sih?,” teriakku pada
Freya yang terlihat sibuk dengan beberapa peralatan make up-nya. Sepertinya dia hanya
menganggap omonganku angin lewat. Masih sempat aja dia dandan disaat seperti ini.
“ Freya! Aku tinggal nih.” Aku berkacak pinggang. Sesegera mungkin dia
memasukkan alat make up tadi ke dalam tas kecil seperti kotak pensil. Dia berlari
menghampiriku. Kami bergegas menuju lapangan.
Langkahku terhenti di tepi lapangan. Kulihat di ujung sana, Haris dan kawan –
kawannya sedang mengenakan jas putih panjang duduk di rerumputan lapangan. Sepertinya
mereka sedang melakukan observasi. Lebih tepatnya belajar cara bercocok tanam. Vino juga
ada. Dia terlihat semakin keren saja mengenakan jas itu.
Dia memegang cangkul dan dipukulkannya ke tanah secara berulang. “ Aduh!
Katanya suruh cepet tadi. Kenapa malah kamu yang bengong di sini? Ha?!.” Freya menarik
tanganku menghampiri gerombolan siswa berseragam olahraga dengan corak perpaduan
warna merah putih. Rupanya mereka sedang melakukan pemanasan. Aku dan Freya
menyesuaikan gerakan menggelengkan kepala ke kanan dan kiri dua kali berturut – turut
sampai hitungan ke delapan gerakan itu pun selesai.
“ Ayo selanjutnya rentangkan kedua tangan ke atas dan tarik badan kalian. Sampai
jinjit. Mulai!.” Ketua kelas kami yang bernama Frian memberi aba – aba dan kami berhitung.
Mataku mendua. Memandang Vino dengan kegiatan barunya. Kebetulan aktivitas
olahraga kami menghadap ke arah Vino dan teman – temannya. Tanpa sedetikpun aku beralih
pandangan. Menyaksikan Vino mencangkul, mengambil bibit tanaman kemudian
memasukkannya pada lubang – lubang kecil yang telah dia buat. Dia sempat tertawa melihat
kerjaannya yang kurang rapi. Eh, salah.. dia malah bermain sawur – sawur-an tanah dengan
temannya.
Saking girangnya, dia tak menyadari jika ada batu yang kemudian membuatnya
terpeleset dan bukkkkkk. Jatuh. Jas putihnya kotor. Saking girangnya aku memperhatikan
Vino, aku tak menyadari jika Frian memanggil namaku berulang kali. “ Tata!.” Panggilann
Frian seperti angin lewat bagiku. Ya.. hanya lewat sesaat tanpa permisi di samping telingaku.
“ Relista Alvio!.” Dia memanggil lengkap nama panjangku. Tapi aku tetap tak beralih
sedikitpun. Pandanganku tetap pada Vino.
Mungkin Frian terlalu jengkel menghadapiku. Dia sampai menghampiriku ke barisan
belakang dan berbisik di samping telingaku. “ Relista! Kamu lagi ngapain?,” bisiknya
lembut.
“ Mandangin Vino..” Tanpa sadar jawaban jujur keluar dari mulutku.
“ Vino? Vino anak futsal XI.IA1?,” tanya Frian yang kali ini membuatku menoleh
padanya. Dia hanya menggeleng. Sementara teman satu kelasku bersorak meledekku. “ Cie...
cie Tata..”
Sontak hal ini membuatku malu. Mukaku memerah. Aku menunduk dan berusaha
menyembunyikan muka. Aduh! Ngapain Frian tanya begitu padaku. Apa dia sengaja
mempermalukanku.
“ Ta! Kamu ganti di depan gih,” seru Frian mendorong tubuhku ke depan.
“ Loh kok gitu?.” Aku tak paham maksudnya.
“ Sekarang giliran kamu ngasih aba – aba ke anak – anak. Semua udah kok. Kamu
doang yang belum.” Omongan Frian membuatku tambah bingung saja. Perasaan yang berdiri
di depan dan memberi aba – aba dari tadi Frian, bukan giliran. Apa aku yang tak
memperhatikan?
Terpaksa aku berdiri di depan barisan dan melakukan peragaan. Aku membelakangi
barisan dan berlari - lari kecil di tempat. Semua anak yang baris di belakangku mengikuti.
Salah satu anak berkomentar.
" Ta! Kamu lari ngadap sini napa. Masa ngadap situ!." Mereka nggak tahu apa aku gugup
berdiri depan mereka.
" Udah. Nggak perlu liatin Vino kale sampe segitunya." Frian ikut menambahkan. Apa -
apaan dia. Malah membuatku semakin buruk di mata anak - anak. Ya. . Walau emang benar
sih apa yang barusan dia katakan.
" Vino!!!," teriak Frian menggelegar. Omg! Apa reaksi Vino selanjutnya. Aku
memperhatikan tanpa kedip. Untungnya Vino nggak menoleh sedikitpun. Dia tetap berkutat
pada aktivitasnya.
" Selesai pemanasannya kalian boleh main basket ato voli. Nanti pak Seno menyusul."
Frian membubarkan barisan. Anak - anak menyebar ke lapangan. Aku menghampiri Frian.
" Heh Frian! Kamu tuh malu - maluin aku aja." Frian hanya cekikikan. " Lah. Aku kan
bantuin kamu. Biar kamu dikenal sama Vino gitu." Frian menampakkan tampang tak
bersalah.
Iya memang bantuin. Tapi caranya nggak kayak gitu dong. Masa teriak depan anak - anak
nyebut inisial Vino lagi.
Sesaat kemudian seseorang yang tak asing pada penglihatanku menghampiri kami. "
Kamu tadi manggil aku yan?," tanyanya sambil berjalan ke arah aku dan Frian berdiri.
Aku menunduk. Ingin sekali memalingkan muka. Tapi tubuh Frian terlalu kekar untuk
menghalangiku pergi. " Oh.. aku kira tadi kamu nggak denger Vin."
Frian melirikku cepat sambil menyunggingkan salah satu sudut bibirnya ke atas. Apa
yang akan dia katakan pada Vino? Apa dia mau memojokkanku? Aku tak berkutik.
Kakiku mundur satu langkah saja, Frian sudah melintangkan kakinya dengan gaya
sedang pendinginan sehabis olahraga. Aku jadi semakin tersudut.
" Kamu dicariin." Seru Frian singkat. Membuat aku semakin tak bisa bergerak. Aku
pasrah jika harus malu di tempat ini sekarang. Di depan Vino lebih tepatnya.
" Siapa?," Vino cukup penasaran. Aku menelan ludah.
Mata Vino bergantian memandangku dan Frian. Aku menutup mata.
" Itu. . T.. TU. Ya. TU. Kamu belom ambil kuitansi pembayaran semesteran kan?,"
penjelasan Frian akhirnya membuatku bisa bernapas lega.
Pfuuuhhh...
" Aku lupa. Ntar aku ambil. Kamu. . Olahraga apaan?," Vino celingukan mengedarkan
pandangannya ke segala penjuru lapangan.
" Biasa. . Ngemix basket sama voli."
" Mix? Yah. . Itu udah jadul. Kayak kelas aku dong." Perbincangan terhenti sesaat. Aku
dan Frian saling memandang sebelum akhirnya melempar pandangan pada sekelompok siswa
yang menjadi gerombolan Vino.
" Apaan?," tanyaku buka suara. Ini baru pertama kali aku berani ngomong depan cowok
itu.
" Dokter pertanian," ucapnya bangga.
***
" Tuh kan Frey, kita pasti telat." Ocehanku sepertinya membuat Freya geram. " Kamu tuh
cerewet ya. Tenang dikit napa. Hidup tuh gak melulu ikut arus. Monoton tuh. Sekali - kali tuh
ngelawan arus." Freya menyindir. Iya. Memang aku paling disiplin masalah waktu. Apalagi
soal berangkat sekolah. Tak akan membiarkan sedikitpun waktu terbuang untuk terlambat.
Kalau bisa dibilang aku anti hukuman. Buat apa kena hukuman jika aku bisa tepat waktu.
" Lewat gerbang belakang aja ya. Di situ ada tumpukan bata. Trus kita lompat." Freya
memunculkan ide setannya. " Kamu gila Frey! Masa lompat sih."
" Ya udah kalau nggak mau. Kamu di sini aja terus ampe pelajaran selesai atau kamu
sendirian aja masuk dari depan." Dengan sigap, Freya melakukan ancang - ancang. " Frey!
Kamu nggak serius kan? Masa kamu tega sama aku." Aku mengiba. Dia tetap dengan
sikapnya. Menaiki tumpuan bata pertama, kedua dan akhirnya lompat juga. Aku jadi bingung.
Dengan mengumpulkan seluruh keberanian aku menuju gerbang depan. Aku berdoa berkali -
kali semoga ada anak lain yang telat sepertiku.
" Jam segini baru datang? Mending pulang aja. Gerbangnya nggak bisa dibuka." Satpam
dengan kepala tanpa rambut itu menyeruku. Kalau aku bolos, apa kata orang tuaku nanti. Aku
nggak peduli. Harus tetap masuk. " Ayolah pak. Saya ada ulangan nanti. Masa saya bolos
dengan tak terhormat di sini." Aku mencoba merayunya agar pintu dibuka. Eh.. dia malah
tertawa.
" Lah. Itu lagi. Apa - apaan ini. Kalian janjian? Hah?!," aku menoleh ke arah sosok yang
satpam itu maksud. Mataku tak berkedip untuk sesaat. Bahkan aku dikira melongo. Dengar
saja pernyataannya. " Heh. Tutup tuh mulut. Kemasukan lalat ntar." Aku jadi keki. " Gini aja.
Kalian bersihin tuh selokan." Kami diberi satu sapu, dan arit.
" Lah. Trus rumputnya? berasa jadi perumput ternak aku." Omel Vino sambil mengambil
arit. Kini hanya ada aku dan Vino. Di depan selokan. Apa yang aku mimpikan semalam?
" Kamu di atas aja. Biar aku yang turun," jelasnya turun ke selokan. Tuhan. Kenapa
detak jantungku tak berubah. Sejak tadi terus saja memompa lebih cepat. Gimana kalau aku
kehabisan oksigen dalam tubuh gara - gara ini. " Oh ya. Eh kamu yang kemaren kan?
Temennya Frian sekelas?." Vino benar - benar mengenaliku. Apa jangan - jangan dia juga
ingat jika aku yang sering mengikutinya? Harus jawab apa aku jika beneran dia menanyakan
hal itu?
Aku jadi teringat puisi karangan seseorang.
Biarkan aku menyukaimu. Tapi jika tak kau ijinkan. Biarkan aku melihatmu. . . . .
" Ta! ," aku menoleh ke arah panggilan itu. Ternyata itu si Freya. Dia membawa
sekantung penuh sampah kering di tangan kanannya. " Loh. Kamu ngapain Frey? Bukannya
udah masuk kelas?," tanyaku penasaran. Freya cengengesan. Aku bisa menebak. Dia
tertangkap basah melompat pagar belakang. Haha. . Ternyata ini bukan yang pertama kalinya.
Kata dia, ini yang kedua kalinya. Freya. . Freya tak jera ya kamu.
" Jiye... Tata." Freya menyenggol pinggulku dengan sikunya setelah tahu ada Vino di
selokan. Vino menoleh dengan tatapan sinis. " Kamu cewek liar banget. Gak ada sisi
feminimnya. Masa lompat pagar. Aku aja nggak berani." Kata Vino tanpa menfilter salah
satu kata - katanya.
Freya tak ambil pusing dengan omongan Vino barusan. Dia hanya menyunggingkan
sudut kanan bibirnya. " Lebay banget kamu. Emang cowok jadi - jadian. Tinggal lompat
nggak berani." Freya pergi dari hadapan kami. Sepertinya dia sudah bosan jika terus beradu
mulut dengan Vino.
" Jadi nama kamu beneran Tata?." Aku mengangguk. " Emang kamu tahu ada bolos yang
terhormat?," tanya Vino tiba - tiba. Itu kan perkataan yang tadi aku ucapkan untuk membujuk
penjaga gerbang.
" Ada. Kalo bolos terhormat tuh. Kayak kamu bolos biasa. Tanpa ada yang nyuruh kamu
kayak tadi."
Vino malah tertawa lepas. Tawa yang membuatku cukup nyaman disampingnya. Aku tak
peduli sekarang jika aku terlihat bodoh di depannya. Biarkan aku memandangmu Vin. Jangan
larang aku detik ini. " Kamu bisa ngelucu juga. Aku pikir kamu serius." Vino terus tertawa
sesekali memegangi perut melihat wajahku yang datar. Aku sendiri bingung apa yang
ditertawakan.
Penggemar Setia. . .“ Tak salah lagi. Ternyata kamu tuh biang dari semua kekacauan yang terjadi?,” suara
menggelegar Kenan terdengar sampai kamarku. Bisa ditebak kalau sekarang dia sedang
marah – marah tak jelas pada seseorang yang menghubunginya.
Barang – barang di kamarnya berhamburan tak jelas ke udara. Benda – benda itu
pecah setelah terlempar ke tembok. Pyar...pyar.. vas bunga yang biasa di letakkan pada meja
belajarnya pun ikut pecah. Apa dia semarah itu?
Telingaku tak kuat mendengar kekacauannya. Aku memutuskan masuk kamarnya.
Dengan hati yang ragu aku membuka perlahan pintu kamar itu.
Greekkk... kulihat Kenan sedang berbaring di atas kasurnya. Kamarnya? Nggak
berantakan seperti yang aku bayangkan tadi. Semua tertata rapi seperti tak pernah ada sesuatu
terjadi sebelumnya. Lalu, apa yang aku dengar tadi? Aku nggak mungkin salah mendengar
suara Kenan.
“ Ngapain kamu bengong di situ? Ngintipin aku tidur?,” tanya Kenan dengan
santainya.
“ Tadi aku denger kamu marah – marah sampe pecahin barang – barang segala. Trus
pecahannya ke mana?.” Aku melempar pandangan ke seluruh penjuru kamarnya. Mencari
benda yang kurasa pecah.
“ Hahaha.. kamu kepo ya. Tadi aku lagi kesel sama temen aku. Biasa. . kamu tahu lah.
Masa...” Hapenya berdering lagi. Sepertinya itu telpon dari orang yang membuatnya kesal.
Kenan hanya melirik cepat layar hapenya. Dia mengacuhkan panggilan itu. Tak
disentuh sedikitpun layar itu. Apa semarah itu?
“ Nggak kamu angkat Ken? Siapa tahu penting.”
Dia malah mematikan hapenya. Kemudian menaruhnya di bawah bantal.
“ Masak yuk. Laper aku.” Kenan mendorong tubuhku keluar kamar. Aku masih
penasaran. “ Ngapain sih kamu tengok ke kasur? Penasaran?.” Dia menutup pintu kamar dan
menguncinya. Kebiasaan yang tak pernah kutemui sebelumnya.
“ Kamu. . balikan lagi Ken?,” tanya ku setelah duduk di kursi ruang makan yang
menjadi satu dengan dapur.
Kenan mengambil sayuran dari kulkas dan mencucinya ulang. “ Balikan sama siapa?
Lana? Ya nggaklah.” Dia memotong – motong sayur itu menjadi kecil – kecil.
“ Loh. Kenapa? Katanya kamu belum bisa mope on.” Kenan masih melanjutkan
aktivitasnya. Dia menyiapkan wajan penggorengan di atas kompor gas berbentuk bundar.
Jangan salah ya. Kenan tuh jago masak. Pokoknya makanan buatannya nggak kalah sama
masakan ala chef restoran terkenal deh. Mencium bau masakannya aja, pasti ketagihan.
Serius!
“ Kapan aku ngomong begitu? Aku bisa mope on. Tapi Lananya aja yang nggak bisa
mope on dari aku.” Kenan mencoba ngeles.
Masa iya? Yang sering aku temui malah dia galau di kamar sambil nyanyi – nyanyi
nggak jelas ala rocker yang teriak – teriak. Sampai apa yang dia nyanyikan nggak terdengar
jelas isi liriknya. Trus ya, dia pakai sapu lantai untuk gitarnya. Kamarnya dikunci dan kalau
diketok pintunya, pasti nggak bakal dibukain. Orang dia nggak dengar.
Pernah tuh suatu ketika aku mengintip dari jendela. Sumpah. Kelakuannya bikin
ngakak. Nggak bayangin gimana reaksi para fansnya itu melihat ulahnya.
“ Ngeles aja kamu Ken. Trus tadi siapa dong? Bukan Lana? Kenapa kamu matiin
teleponnya?.” Aku terus bertanya tanpa kehabisan pertanyaan.
Kenan mengernyitkan kening sambil menyipitkan mata kanannya padaku. “ Tadi tuh
Lani. Sodaranya Lana. Kayak reporter gosip ya kamu. Kepo banget urusan aku. Padahal artis
juga belom. Gimana kalo aku jadi artis beneran nanti.”
Aku tertawa mendengar jawabannya. Dia? Jadi artis? Apa kata dunia? Tangan
lincahnya memasukkan sayuran itu ke dalam wajan diikuti bumbu bawang putih, bawang
merah, garam yang dihaluskan dan campuran bumbu lain. Entah dia mau buat apa kali ini.
Aku tak tahu. Aku hanya ingin cepat memakannya saja.
Aku mengamati dengan jeli setiap gerakan tangannya mengaduk isi wajan itu.
Hmmm... aromanya sampai menusuk ke celah hidungku. Cacing di perutku ikut bernyanyi
tak kuat menahan aroma surga makanan ini.
Bersyukur punya Kenan yang jago masak. Jadi tak banyak jajan di luar walaupun
orang tuaku jarang berada di rumah.
“ Udah matang Ken? Cepet banget.” Aku menghampiri Kenan dan membawa
semangkuk sup campur buatannya ke meja makan. Kami menyantap makanan ini bersama.
Di rumah yang tak besar ini hanya tinggal aku, Kenan dan kedua orang tuaku. Tak
ada pembantu di sini. Kami merasa pekerjaan rumah bisa kami handle sendiri. Dari kami SD,
kami diajari untuk hidup mandiri. Termasuk mencuci sampai memasak. Maka dari itu, Kenan
jago memasak. Kegemarannya tumbuh sejak itu.
“ Abis ini kamu bayar ke aku ya.” Kenan mengatungkan tangan kanannya padaku.
Aku mengibasnya. “ Apaan sih Ken. Itung – itungan gitu sama adiknya. Durhaka lo!.” Aku
merasa ter-bully. Dia malah mengacak rambutku berulang sambil tertawa.
Terdengar ketokan pintu dari luar. Aku dan Kenan menghentikan makan sementara.
Memastikan apa kami beneran mendengar suara ketukan itu.
“ Siapa?.” Aku menatap Kenan. Dia malah mengangkat bahunya. “ Kamu buka gih
pintunya. Aku beresin dulu sisa makanan ini.” Kenan beranjak dari tempat duduknya. Dia
membawa piring penuh lauk itu ke dapur, dan aku menuju pintu depan.
Kuintip dari celah kecil, siapa sosok dibalik pintu. Seorang cewek berambut sebahu
dengan bando biru yang melingkar di atas kepalanya dan tas hitam berpernak – pernik
menggelantung di lengan kirinya.
“ Siapa?,” tanya Kenan yang mengagetkanku. “ Lana,” jawabku tanpa bersuara.
Kenan langsung masuk kamarnya tanpa berkomentar. Aku menghampirinya.
“ Ken. Aku mesti ngomong gimana?.” Teriakku di dekat kamarnya.
“ Kamu bilang aja kalo aku nggak ada di rumah. Udah males aku.”
Grekkk.. pintu kamarnya dikunci.
“ Kenapa nggak ngomong ke orangnya langsung sih?.” Kenan tak menjawab
pertanyaanku. Dia lebih memilih berdiam diri di kamar tanpa memperbolehkan siapapun
masuk sengaja ataupun mengganggunya detik ini.
Aku kembali ke ruang tamu. Membuka pintu depan dan mendapati cewek tadi berdiri
membelakangi pintu. “ Hai kak Lana,” sapaku yang membuat cewek bernama Lana itu
menoleh ke arahku. Dia tersenyum sebelum akhirnya melempar pandangan ke dalam
rumahku.
“ Nyari siapa kak?.” Aku bersikap sok polos yang tak pernah tahu maksud dibalik
kedatangan Lana kemari.
“ Kenan ada?,” tanya Lana to the point.
“ Kenan?.” Aku celingukan bergaya mencari sosok yang dimaksud. “ Nggak ada kak.
Belum pulang. Lagi futsal kali di tempat biasa.” Aku berusaha menutupi keberadaan Kenan.
Lana yang tak percaya mencoba mengecek kebenarannya. Dia menemukan motor
Kenan terparkir di samping teras rumah. “ Tuh motornya!.” Tapi aku tak kehabisan akal
untuk beralasan.
“ Owh.. itu. Dia tadi barengan sama temannya. Apa ada pesen kalo dia pulang atau
kakak mau nungguin dia? Atau nemuin dia di tempat latihannya?.” Aku memberi pilihan.
Akhirnya Lana memilih untuk datang lain kali.
Aku tak tahu pasti permasalahan yang menimpa Kenan soal asmaranya. Dia tak
pernah benar – benar jujur padaku soal ini. Soal cerita panjang tentang Lana telah menjalin
hubungan terlarang dengan Andre dibelakang Kenan. Kenan pernah memergoki keduanya
jalan bareng di mal. Makan berdua di restoan seafood saat Kenan membeli makan favoritnya
di situ. Malahan mereka mesra sekali. Saling menyuapi.
Tapi Kenan tak berani mendekat atau hanya sekedar memberi sapaan. Dia hanya
memandang dan berkirim pesan singkat pada Lana untuk menanyakan keberadaan dia saat
itu. Kalian tahu apa isi balasan Lana? Kutunjukkan ya screenshot yang kudapat dari hape
Kenan.
Aku lagi di kampus sayang. Ngerjain tugas deadlinenan. Kamu kangen ya?. .
Sender Lana My. . .
Bukannya senang seperti biasa dia menerima balasan sms dari Lana. Kali ini dia
malah mengumpat dengan nama saudara populasi. Apalagi kalau bukan . . . “ Sampel!.”
Kenan malah merasa eneg dan tak peduli lagi apa yang Lana lakukan tanpa dia bertanya
langsung pada Lana. Baginya yang dia lakukan tadi sudah cukup mewakili keadaan yang
sebenarnya.
Sejak kejadian itu, dia sering menghindari Lana. Bahkan dia langsung memutus
hubungannya dengan Lana. Sumpah ya! Kalau kalian tahu kisah perjuangan Kenan untuk
mendapatkan Lana, pasti tak tega melihatnya. Aku ceritakan ya. .
17 Mei 2010
Kenan merupakan mahasiswa baru yang tak tahu seluk beluk jurusannya secara
keseluruhan. Dia harus mencari informasi lebih banyak tentang susunan organisasi fakultas
dan jurusannya, siapa saja dosen yang kelak akan mengajarnya dan masih banyak lagi.
Sewaktu ospek, dia mendapat tugas untuk membuat logo kelasnya dan logo tersebut akan
diikutkan lomba antar kelas. Akhir acara, logo milik Kenan yang menang. Dia dihadiahi
sebuah kotak sedang berisi piagam dan kerajinan tangan. Kalian tahu siapa orang yang
memberikan hadiah itu? Lana. Alana Prameswari, wakil ketua Hima jurusan. Detik itu Kenan
jatuh cinta tanpa sebab.
Dia mencari informasi tentang Lana. Sampai dia ikut menjadi bagian dari Hima. Hal
yang tak disukainya, masuk organisasi. Tapi demi Lana, Kenan melakukannya. Ya. . nggak
satu departemen sih. Tapi kan sering ketemu. Apalagi kalau ada rapat. Dengan gayanya yang
muka tembok, dia mendekati Lana. Tapi Lana tak pernah peduli. Dia malah cuek bebek
menghadapi godaan Kenan yang selalu menggombalinya dengan kata – kata sok puitisnya
itu.
“ Kak Lana. Nanti aku anterin pulang ya. Sekalian. Kita kan se arah,” ujar Kenan
dengan pedenya. Lana hanya melirik sebelah mata.
“ Pulang rapat kan malem. Pasti kamu capek. Aku nggak tega ngebiarin cewek kayak
kamu pulang sendirian.” Kenan mulai sok menggombal. Sumpah. Sosoknya yang kadang
cool itu hilang sudah.
Lana tetap tak menggubris. Dia asyik berkutat pada tumpukan kertas yang harus di-
stamplernya. Kenan tak kehabisan cara untuk membuat Lana mempedulikannya. Lihat saja.
Dia malah membelikan Lana segelas teh hangat yang membuat teman – temannya yang lain
iri.
“ Cie Kenan . . . romantis banget sih. Kita juga mau loh tehnya,” seru Larissa, teman
sekelas Kenan yang juga menjadi anggota HIMA. “ Kamu mau Ris? Gampang. Nanti aku
kasih gelasnya,” ujar Kenan menimpali.
“ Lah. Kok gelas doang? Trus tehnya?.”
“ Kamu beli atau buat sendiri aja. Kan aku udah baik, mau minjemin. Eh salah.
Ngasih gelas gratis ke kamu.” Larissa tak terima omongan Kenan. “ Sama aja bohong Ken.
Ujung – ujungnya aku beli juga keleus.” Kenan tertawa dan perlahan Lana pun tersenyum.
Kenan mengamati wajah Lana tanpa berkedip. Dia menyangga dagu dan mencermati
cara Lana tersenyum. Lana yang merasa diperhatikan, malah risih dan memilih pergi dari
hadapan Kenan. Lagi – lagi kakakku dicuekin habis – habisan.
Dentang jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Terlihat cemas mengitari wajah
Lana. Dia mengambil tas di ruang HIMA dan bersiap pulang. Kenan berusaha mengejar
dengan motornya. “ Mau bareng aku nggak? Taksi bahaya loh kalau jam segini.” Lana
terdiam lagi. “ Aku nggak bakal aneh – aneh kok kak. Suerrr!!.” Kenan mengacungkan kedua
jarinya. “ Kenapa? Malu kak? Jalan sama berondong kayak aku?,” Kenan bermuka melas.
Dia seperti korban PHP yang mengenaskan.
Beberapa saat kemudian Lana bersuara. Dia mengiyakan tawaran Kenan. “ Iya.”
Sebenarnya bukan hanya tawaran belaka, lebih tepatnya adalah modus yang terpendam. Lana
naik ke atas motor Kenan. Biapun begitu, Kenan tak ada satu niatpun untuk membuat motor
itu mengerem mendadak dan membaut Lana Lana mendadak mememluknya. Dia malah
berusaha menjaga agar hal itu tak terjadi.
Disepanjang perjalanan menuju rumah Lana, tak ada perbincangan apapun. Yang ada
hanya semilir angin malam yang sampai menusuk epidermis kulit. Jantung Kenan terasa
berdetak tak karuan seperti baru lari 1000 meter. Parahnya lagi keringat dingin ikut keluar.
Kurang beberapa meter dari rumahnya, Lana memberi instruksi pada Kenan. “ Pagar
putih di depan berhenti ya. Yang kiri jalan.” Kenan mengangguk paham. Sesampainya di
tempat yang dimaksud, dia memberhentikan motornya. “ Makasih ya. Maaf, kamu nggak bisa
mampir.”Lana tersenyum. “ Aku langsung cabut aja. Udah malem juga.”
Lana melambaikan tangan pada Kenan. Kenan melihatnya dari kaca spion dan
tersenyum.
Flashback end
“ Dia udah pergi?,” tanya Kenan yang langsung keluar dari kamarnya setelah
mengetahui jika Lana sudah pergi. Aku mengangguk.
“ Kenapa nggak balikan aja sih Ken, kalo masih cinta? Kamu nggak inget apa gimana
dulu kamu ngejar – ngejar dia?.”
“ Kamu anak kecil tahu apa coba?! Aku udah diselingkuhin sama temen aku sendiri
gitu. Masa mau aja minta balikan.” Kenan mengambil segelas air dingin dari kulkas.
“ Kalo dia serius sama aku, nggak mungkin ngebohongin aku terus. Lagi pula,
mungkin belum nasib aku ketemu orang yang tulus sama aku. Nggak karena tampang atau
yang lainnya.” Kenan meneguk minumannya.
Tumbenan omongan Kenan berbobot hari ini. biasanya yang ada hanya omelan yang
sama dan aku sampai hafal karena seringnya dia ucapkan.
“ Kamu juga. Mesti inget. Pilihan tuh nggak cuma satu. Tapi banyak. Kamu jangan
terpaku ke satu pilihan orang aja. Kalo nasib kamu kayak aku, anggap aja kamu lagi disuruh
nganalisa jawaban sama Tuhan, mana yang salah dan mana yang benar. Nanti kalo bener
juga, kamu dapat keuntungan nilai yang lebih. Ya nggak?.” Ucapnya lagi meneruskan
nasehat.
“ Tapi Ken, sampe kapan kamu ngehindar dari kak Lana terus? Sampe nemuin yang
lain? Inget Ken, masalah tuh harus kamu adepin. Kapan selesainya coba?.” Aku mencoba
berbicara bijak. Entah didengar atau nggak oleh Kenan. Dia ngeloyor ke ruang tengah dan
menyalakan tv.
MY SPECIAL BIRTHDAY. . ." Ta, selamat ulang tahun ya." Vino memegang nampan berisi kue tart warna coklat
yang dilengkapi mayonase dan hiasan buah di atasnya. Lilin - lilin kecil menghiasi tepian kue
itu. Lilin membentuk angka 17 menyala di tengahnya.
" Tiup dong sayang kuenya. Kita lembur tahu nyiapin kejutan buat kamu." Freya
menarikku lebih dekat. Dia mendorong tubuhku tepat ke dapan Vino. Vino memandangku
cukup lama. Tatapannya tak bisa aku alihkan. Aku terjebak.
" Heh! Kalian ini. liat - liatan terus. Kuenya kasihan tuh!."
Freya membuat kami mengalihkan pandangan. " Oh ya, make a wish dulu ya." Aku
memejamkan mata.
Tuhan, andai cowok di depanku ini tahu perasaanku. Andai aku dan dia saling ketemu
dalam waktu yang lama di kemudian hari nanti.
" Udah make a wish nya?," tanya Freya memastikan. Saatnya aku meniup lilin - lilin
itu.
Aku memotong kue pertamaku hari ini. Kue ini aku berikan pada Freya sebagai
sahabatku. Selanjutnya aku berikan pada Vino dan Frian.
" Frey.. Kamu ikut aku ambil hadiah tadi yuk." Frian menarik tangan Freya untuk
mengikutinya entah ke mana. " Trus aku gimana?," teriakku pada mereka.
" Kamu sama Vino." Freya dan Frian berlari menuju ke arah timur. “ Freya!.”
Panggilku yang tak mereka hiraukan. Kini tinggal aku dan Vino ditemani tiupan angin malam
yang sepoi. Suasana ramai, tapi sepi bagiku. Aku canggung harus ngomong apa untuk
memulai percakapan ini. " A..." terbesit dipikiranku untuk berkata sesuatu. Tapi bibir kami
serentak mengatakannya. Kami salah tingkah sendiri. Saling tersenyum.
" Haris mana Vin?." pertanyaan nggak penting keluar juga akhirnya mencairkan
suasana.
" Biasa. . Di lab dokter abal - abalnya," seru Vino. Aku tertawa mendengar
ucapannya. Dia malah memandangku dengan senyuman yang membuatku semakin
menggilainya.
"Abal - abal gimana? Pasti percobaannya menyesatkan."
Vino menganggukkan jari telunjuknya ke arahku. Itu berarti dia setuju dengan
pernyataanku.
Aku jadi merasa bersalah pada Haris. Dia jadi bahan ejekan dalam perbincangan
kami. Maafkan temanmu yang hanya ingin mencari kebahagiaannya ini Ris.
" Kemaren dia mau buat alat hisap sampah. Katanya sih biar nggak susah nyapu. Tapi,
pas alatnya dicoba, langsung deh rambutnya Haris yang kayak rumput teki itu ikut ke sedot.
Parah pokoknya." Vino cekakakan sambil memegangi perutnya. Sumpah! Vino suka banget
ledekin Haris.
“ Hahaha... emang dasar tuh si Haris. Penemuannya belum ada yang sukses. Oh ya
Vin.” Perkataanku terpotong. Vino menghentikan tawanya dan memandangku cukup serius.
“ Tahu dari mana aku ultah hari ini?.” aku to the point. Wajah Vino terlihat serius
sekali. Apa dia marah aku menanyakan hal itu?
“ Kamu kepo juga. Temen kamu dua tuh. Ya. . sebenernya aku. .” belum selesai Vino
meneruskan ucapannya, Freya dan Frian datang.
“ Wah. . makin akrab aja nih temen aku,” seru Frian meledek. Aku jadi tambah malu.
Seakan dipojokkan dengan Vino. Sementara aku sendiri tak tahu bagaiman perasaan Vino
sekarang. Apa dia kecewa, senang atau malah marah.
“ Aku sama Frian punya hadiah buat kamu Ta. Nih.” Freya menyerahkan sekotak
besar kardus yang dibalut hiasan kertas kado berwarna merah jambu dengan motif batik.
“ Kalo kamu penasaran, bukanya nanti kamu sampe di rumah ya,” pinta Freya. “
Hadiah kamu mana Vin?.” Ucapan Frian membuatku ikut menatap Vino yang terlihat
bengong.
Vino menggaruk kepalanya yang tak gatal. “ Hadiah aku. . . ketinggalan.” Vino
menampakkan wajah datar. Apa benar yang barusan dia ucapkan jika dia telah menyiapkan
hadiah untukku? Aku semakin penasaran.
“ Kamu tunggu aja Ta besok. Kalo Vino lupa ngasihnya, kamu tagih aja.” Frian
menepuk bahuku. Aku hanya tersenyum.
***