membingkai kammi, refleksi perjalanan dalam kesatuan
DESCRIPTION
Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati. Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir. Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks. Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian. Untuk dua tahun KAMMI Kultural..TRANSCRIPT
2
Membingkai KAMMI, Refleksi Perjalanan dalam Kesatuan
Oleh: Alikta Hasnah Safitri
Copyright © 2014 by GarudaUNS
Penerbit
GarudaUNS
Desain Sampul:
Hisyam Latif
3
Ucapan Terimakasih
Untuk KAMMI Shoyyub UNS dan HMI Komisariat M. Iqbal
Untuk Forum Diskusi KAMMI Kultural
Untuk Abangku, Adiwena dan Kuncoro
Untuk Akhi dan Ukhti
Untuk Kanda dan Yunda
Untukmu yang sudi membaca paradoks dalam diriku yang tak
kunjung usai dalam tiga tahun ini (2012-2014)
4
Pengantar
Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang
saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status
sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya
menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat
menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji
matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah
yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati.
Buku ini tak hadir dengan perencanaan yang matang. Ia
hanya menghimpun kumpulan kegelisahan yang saya tuliskan
secara bebas dalam blog pribadi selama tiga tahun terakhir.
Begitu labil, emosional, dan penuh paradoks.
Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun
tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat
besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca
sekalian.
Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu
yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini
belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai.
Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang
untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang
kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.
Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt
menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.
Surakarta, 29 November 2014
Alikta Hasnah Safitri
5
Daftar Isi
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah
Refleksi 7
Karena Kita Adalah KAMMI 21
Mencari Jalan Pulang 27
“Ya, Memang Beginilah KAMMI..” 33
Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan Reformasi : Antara
Tuntutan, Realita, dan Harapan 37
Merayakan Keberagaman KAMMI 42
Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma Gerakan
KAMMI 48
Korupsi dan Budaya Jawa 70
Jelang Satu Periode 76
Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam Tubuh
KAMMI 80
Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY 85
Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah Harapan
Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam Tubuh KAMMI 88
Pseudo-independence KAMMI 102
Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS 107
Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS 114
Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS 122
Tentang Aksi KAMMI Esok Hari 130
6
Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi Gerakan
Mahasiswa Hari Ini 133
Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI 138
Melampaui Konflik dalam Kesatuan 143
Basis Massa Atau Basis Kader? 148
KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita Pertaruhkan 153
7
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia,
Sebuah Refleksi
Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’
adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di
depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi
sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent
pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan
beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku
ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke
masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama.
Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang
dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya
hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan
pikiran saya yang sederhana.
Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika
masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak
menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah
kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap
pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang
sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.
Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh
mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum
terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.[1]
Pada 16 Oktober 1905, seorang saudagar batik asal
Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan
Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas
Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal
lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain
memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya,
8
semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche
School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa
Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang
memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual
Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo,
murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan
Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap
pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar
tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah
dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang
sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari
Boedi Oetomo menulis:
Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini
memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara
maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar…
tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota
Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan
senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang
baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir”[3]
Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus
mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa
pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangan-
karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan
praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang
dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga
kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.
Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun
1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya
yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita
9
mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang
kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki
ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya,
malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri.
“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus
dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah
sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-
kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi
Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak
mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut
sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa
yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!”[4]
Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah
keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran
beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual,
tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial.
Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan
propaganda dan memimpin beragam aksi pemogokan.
Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat
Islam.[5]
Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama
dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui
tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:
“…Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh
mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada
orang Jawa… “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja,
memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya.
Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya
untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti
bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita
Nederland?”[6]
10
Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif,
kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi
kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia.
Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu
‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak
ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor,
dan terbelakang.
Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max
Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi
pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam
ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.
“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera
Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra
yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan
rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka
merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana
mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan
pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon
pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan
Tuhan…”[8]
Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia
klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para
penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya
berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan
dengan cara bekerja.”
Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah.
Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi
untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan
pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah
rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah
Rakyat’[9] bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya
11
mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan
untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga
menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk
penjajahan dan penindasan.
Begitulah, kaum intelektual di zamannya
mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam
praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi
pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik
konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk
dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis
masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat
di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun
pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang
dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya
bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS
Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam
dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk
gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu
Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih
berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-
Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan
Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai
disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan
pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda.
Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah
kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika
pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan
Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas
kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di
masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari
upaya HMI guna turut serta dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan,
12
kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan
kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan
secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa.
Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat
pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan
mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif
terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama
PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi
mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.
Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya
mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca
kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan
hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie
(Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang
Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran
Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah
mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI.
Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga
merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad
Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM
yang juga merupakan kader HMI.
Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak
dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang
berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim
bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya)
menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika
meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas
lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal
menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief
Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.
13
Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966
mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia
menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru
dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak
benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah
pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan
mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak
mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu,
kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan
bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin
tidak kelihatan.[10]
Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief
Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada
anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga
tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-
apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang
sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya.
ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi
memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang
besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang
mungkin lain, yang mungkin juga kurang menguntungkan.”[11]
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut
dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-
organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis
Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis
ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-
Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan
mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia).[12]
14
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film
Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar
organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka
saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun,
yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie
bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca
lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya
calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim
dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek,
akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi
kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasan
demokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak
muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk
antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam
kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru
yang kini berkuasa.
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan
Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis
ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus
mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus
menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan
semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.
Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi menyebabkan
munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam
kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam.
Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada
sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa
Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)
munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.
Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini
dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin
Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh
kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya
15
FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah
beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna
membahas khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan
kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus,
hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus
tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi
perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas
acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati
bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada
tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni
perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang
permanen.
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan
penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah
reformasi ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil
membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan
mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa
kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena
ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan
mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka
pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan
baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-
aturannya sendiri.
Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup.
Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide
mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud
eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-
kanan yang menggaungkan politik progresif pun digempur
militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan
masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan
tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi
menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi
16
sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin
oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri).
Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian
kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak,
antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan
dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena itu
kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling
realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.
Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para
intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi
KAMMI 1427 H, sebagai berikut:
Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi
reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini
mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau
termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat
pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak
sebagaiwatch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan,
maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang
kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini.
Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan
gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada
pemecahan masalah umat dan bangsa.
Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai
terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan
turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar
ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan
sikapnya.
Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan
guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi
penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,
kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar
17
untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam
organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding
fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia
(dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki
organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang
lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi
yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-
baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi
solusi permasalahan umat dan bangsa.
Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak.
Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan
pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum
dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana,
yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali
kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita
harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan
berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para
ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan
pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.
Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat,
dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat
manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian
terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent
of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lain-
lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada
posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih
intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena
mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap
jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,
merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
18
Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas
mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini,
menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak
dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-
mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi
terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab
kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian
inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang
kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di
perguruan tinggi.
Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian
kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri
sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa
berkaca pada Hadji Misbach yang menggaungkan semangat
perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan.
Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap
otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem
pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan.
Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak
kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.
Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada
sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran
kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari
sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah
bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual!
Akhirul kalam,
Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang
lurus Ya Tuhan kami..
19
Sumber Bacaan:
Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4,
2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang
Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225
Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta: Resist
Book.
Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N.
Saluz,Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana
Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda.Jakarta: Pustaka
Republika.
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi.
In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka
Republika.
_______________________________
[1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat
[2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme
[3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180
[4] ibid, hal 189
sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-
1926 hal 181
20
[5] Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan
kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini
pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena
dianggap sebagai aib.
[6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189
[7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan
mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
[8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165
[9] Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah
Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut
karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat.
[10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115
[11] Ibid, hal 121
[12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85
21
Karena Kita Adalah KAMMI
Apa yang pertama rekan rasakan saat pertama kali terlibat
dalam suatu aktivitas da’wah?
Barangkali yang akan muncul dalam benak rekan sekalian
ketika pertanyaan sederhana ini saya lontarkan adalah sebuah
kenangan manis bercampur getir yang rekan alami di awal mula
perkenalan dengan da’wah ini. Akankah sebuah senyuman yang
tergurat di wajah sebab merasakan bahagia dan syukur teramat
karena telah diberi kesempatan mengenal dien yang kita cintai
bersama ini? Ataukah, sebuah emosi yang tertahan jauh di dalam
jiwa seketika terpantik untuk menyala, manakala teringat bahwa
keterlibatan kita disini murni bukanlah atas dasar keikhlasan
serta ketundukan hati, melainkan paksaan dari kakak tingkat atau
murobbi.
Tentunya, akan ada banyak ekspresi lain yang akan
terjabarkan ketika kita kembali mengingat awal mula menapaki
perjalanan kita yang masih teramat panjang ini, dan pastinya
akan ada lebih banyak ekspresi yang tersirat dalam gurat wajah
ketika kita tengah menempuh perjalanan ini. Bias getir air mata?
Kekecewaan yang parah? Rona pias manakala genting menyapa?
Setiap kenangan yang terhampar menyisakan jawaban
atas pertanyaan. Dan setiap jawaban akan menciptakan satu
pertanyaan baru lagi untuk dijawab. Demikianlah da’wah
mengajarkan pada kita, bahwa jalan ini amat sangat panjang dan
berat, boleh jadi malah tak berkesudahan.
22
Saya mengenal KAMMI jauh sebelum saya menginjakkan
kaki saya di kampus. Waktu itu, saya masih anak kecil polos dan
lugu yang memproklamirkan diri sebagai Aktivis Dakwah
Sekolah. Bukan karena saya berada di kota besar serta saya
mengetahui langkah dan gerak perjuangan KAMMI maka saya
terobsesi. Bukan, bukan itu. Bahkan, yang saya ketahui tentang
KAMMI sangatlah jauh pucuk dari akar. Mendengar KAMMI pun
hanya lewat kisah dan cerita singkat murobbi mengisahkan
perjuangan yang dulu dilalui hingga akhirnya da’wah dikenal dan
tak lagi terkesan eksklusif dan saklek. Selebihnya, saya tak tahu
dan tak mau tahu.
Bagi saya, KAMMI tak lain hanya sebuah wajihah dakwah.
Ia memiliki kedudukan dalam taraf yang sama dengan Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) maupun forum-forum lain yang bergerak
dalam spesialisasinya masing-masing, entah di bidang
kepenulisan maupun sosial. Dan saya yakin, tentu saja masih
banyak wajihah dakwah lain yang terhampar dan menanti
kontribusi dari saya.
Awalnya, tak ada niat sedikit pun untuk bergabung
dengan KAMMI. Alasan saya cukup jelas kala itu. Begitu
mengetahui kepanjangan dari nama KAMMI, yakni Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia. Saya langsung antipati dan
menolak segala bentuk hal yang berhubungan dengannya
karena satu suku kata itu, AKSI.
Barangkali rasa antipati ini muncul sebab trauma
mendalam karena aksi pertama yang saya ikuti saat SMA (saat itu
saya mengikuti aksi kepedulian untuk Palestina dengan
memboikot produk-produk Yahudi laknatullah). Karena hal itu,
23
esoknya guru Kewarganegaraan di SMA saya menyindir habis-
habisan tindakan aksi yang saya ikuti dengan tak lupa sedikit
‘mendelik’ ke arah saya. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, benar-
benar drop, down, mati kutu, apapun namanya itu.
Dengan adanya kata AKSI itu, saya memasung sama sekali
keinginan saya untuk bergabung dengan KAMMI. Cukuplah saya
memberikan kontribusi saya untuk dakwah di LDK di kampus
manapun saya berada nantinya, begitu pikir saya.
Semakin menguatkan pemikiran saya kala itu, saya pun
membuat dalih macam-macam dalam otak saya: “Memangnya
kenapa kalau saya tidak ikut KAMMI? Toh, bukan KAMMI yang
saya junjung tinggi. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang wajib saya
bela sampai mati.”
Jadi, meskipun ketika itu murobbi berkisah lagi tentang
KAMMI, atau ketika mbak dan mas saya yang lebih dulu
melanjutkan studi ke perguruan tinggi mengatakan bahwa
mereka masuk dan bergabung bersama KAMMI, saya kukuh dan
kokoh, tak tergoda.
Sampai di suatu kesempatan, saya bertanya pada seorang
kakak yang saya kenal baik sejak SMA. “Mbak, kenapa memilih
KAMMI, bukan organisasi mahasiswa lain?”
Dari hasil diskusi dengan beliau, saya pun belajar dengan
menyimpulkan.
“Ya. KAMMI tak lain memang hanyalah sebuah wajihah
dakwah. Namun dengan menunjukkan kata “hanya”, tak berarti ia
24
tak memiliki arti penting dalam perjuangan dakwah ini. Berada di
dalamnya pun bukanlah suatu perkara yang mudah. Tak seperti
di Lembaga Dakwah Kampus maupun organisasi mahasiswa
internal lainnya yang memiliki suplai kader berlimpah, KAMMI
memiliki kader aktif yang relatif sedikit. Saat berada di KAMMI
akan menjadi sangat membosankan. Sedikit yang kita dapatkan,
namun begitu banyak yang harus dikorbankan. Melelahkan,
karena ia menuntut begitu banyak perhatian dari kita.
Menyebalkan, karena tak semua orang didalamnya sejalan
dengan pemikiran. Bahkan menakutkan, lantaran resiko besar
yang siap menghadang kapan saja.”
Setelahnya, bukannya saya semakin termotivasi untuk
tetap meneguhkan pendirian saya dengan menolak KAMMI
dalam hidup saya. Malah saya semakin kagum dengan
keberjalanan wajihah dakwah yang satu ini.
Nyatanya, dengan segenap problematika yang ada.
Dengan minimnya suplai kader dan dana, dakwah KAMMI tetap
eksis dalam kancah perpolitikan mahasiswa hingga sekarang. Ia
tetap kokoh berdiri meski ribuan tangan berusaha
merobohkannya. Bahkan dari rahimnya senantiasa lahir sosok-
sosok pemim pin yang teguh membawa misi juang sebagai
‘Director of Change’.
Jika diibaratkan, maka KAMMI tak lain adalah sebuah
perahu yang berlayar di atas samudra kehidupan. Sedang kita
yang berada didalamnya, masing-masing adalah nahkoda serta
awak kapalnya. Apakah kita hendak mengikuti aliran arus
kemanapun ia membawa kita tanpa perlu bersusah payah
mendayung, ataukah kita hendak membawa bahtera ini melawan
25
dinamika arus yang ada dengan mengokohkan eksistensi kita
lewat dayungan dari tangan-tangan yang kokoh serta hati-hati
yang tangguh?
Akankah jika bahtera kita terhempas ombak dan
menabrak karang yang kokoh hingga terjadi chaos padanya kita
akan menyerah dan rela menceburkan diri ke laut untuk
menyelamatkan diri, ataukah kita tetap berada didalamnya
dengan menanggung segala resiko yang ada?
Ya, semua kembali pada kita.
Maukah kita berada di dalamnya atau tidak. Semua
bergantung pada kemauan kita. Toh, seperti yang saya katakan
di awal tadi. KAMMI bukanlah satu-satunya wajihah dakwah.
Dan kini, disinilah saya berada.
Baru beberapa bulan memang. Ya, baru sebentar. Belum
ada getar-getar aneh pertanda cinta yang menggebu
didalamnya. Meski demikian, ada amarah yang bergemuruh di
dada manakala orang lain mengatakan hal yang buruk tentang
KAMMI. Katanya, KAMMI ini lah, itu lah. Saya yakin, pasti rekan
semua lebih tahu dari saya pribadi.
Namun, seperti kata Imam Hasan Al Banna dalam Bainal
Amsi Walyaum (Antara Kemarin dan Hari ini)
“Setiap pemerintahan akan membatasi gerak langkah
kalian serta menaburkan duri-duri di jalan yang kalian tempuh.
26
Para perampas akan berjuang dengan segala cara untuk
menyerang dan memadamkan cahaya dakwah kalian.
……
Semua orang akan menaburkan debu-debu keraguan di
sekitar dakwah kalian dan melancarkan tuduhan-tuduhan tak
beralasan kepadanya. Mereka akan berusaha untuk mencari-cari
setiap kekurangan di dalam dakwah kalian serta mengeksposnya
kepada khalayak ramai setelah dimanipulasi seburuk mungkin
dengan bantuan kekuatan dan kekuasaan mereka, berbekalkan
harta dan pengaruh yang mereka miliki.
‘Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-
mulut mereka, padahal Allah akan menyempurnakan cahayaNya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.’ (Ash-Shaff:8)
……
Namun, Allah SWT menjanjikan bahwa setelah itu semua
berlalu. Akan ada pertolongan bagi para mujahidin serta pahala
bagi orang-orang yang bekerja secara ihsan.
Maka Akankah Kalian Tetap Tegar Menjadi Pembela
Agama Allah? Saya menjawab seruan ini, rekan. Dan saya
pastikan, anda pun demikian.
Karena saya adalah KAMMI. Karena anda adalah KAMMI.
Karena kita adalah KAMMI.
27
Mencari Jalan Pulang
Mengapa aku mencintai KAMMI?
Pertanyaan ini sering terbersit dalam benak saya tanpa
pernah saya coba temukan jawabnya secara pasti. Entah, apakah
karena cinta itu tak pernah ada, atau karena saya masih yakin
sepenuhnya bahwa cinta tak butuh alasan, atau karena tertutupi
oleh sekian baris daftar kekecewaan yang saya rasakan selama
menjadi bagian dari barisan ini?
Beberapa orang mengatakan mereka mulai jatuh cinta
pada KAMMI sejak mengikuti Dauroh Marhalah 1. Saya? Ah,
tidak sepertinya. Dauroh Marhalah 1 (DM1) tak memberi kesan
yang mendalam bagi saya. Bukannya saya tak memperhatikan,
sungguh, saya mencoba berkonsentrasi, memperhatikan setiap
detik pemaparan materi, berusaha menyelesaikan tugas dengan
baik, berusaha sepenuhnya menjalankan setiap ketetapan
maupun peraturan yang digariskan oleh panitia. Nyatanya? Saya
gagal menyimpulkan satu ketetapan yang pasti bahwa saya jatuh
cinta pada KAMMI setelah mengikuti DM 1.
Saya belum menyerah. Saya lemparkan pernyataan pada
diri saya kembali, sekadar untuk meyakinkan. “Mungkinkah kau
jatuh cinta sejak mengikuti ICES-Islamic Civilization Engineering
School-Sekolah Rekayasa Peradaban Islam?” Saya ragu untuk
menjawab. Berfikir sedemikan panjang untuk menjawab. Namun
kembali harus dihadapkan pada jawaban jujur yang tak
memuaskan : Tidak.
28
Bukan, tentu bukan karena ICES. Saya rasakan forum-
forum yang kering dari nilai-nilai intelektualitas, miskin diskusi
dan dialektika, sekadar ceramah satu arah, Tanya jawab, lalu
selesai. Diskusi yang tak diimbangi dengan diskursus dan bacaan
komprehensif serta ketidakjelasan materi, yang sekali lagi
membuat saya kecewa karena dari sekian banyak buku yang saya
baca, tak ada satu pun yang dijadikan landasan dalam
berdialektika. Saya coba maklumi itu. Saya coba pahami bahwa
inilah kesatuan. Kesatuan pandang dalam menyikapi masalah.
Kesatuan arah dalam memandang persoalan. Dan kesatuan
gerak dalam menjawab tantangan kehidupan. Ya, karena ini
barisan yang bersatu. Karena inilah yang disebut Kesatuan.
Maka mulailah saya coba mencari alasan itu. Jawaban dari
pertanyaan “Mengapa” yang normalnya dijawab dengan kata
“karena bla bla bla ”. “Karena KAMMI adalah organisasi yang
komprehensif. Lengkap dengan gerakan dakwah tauhid,
kemamapanan intelektual profetik, aktif berkontribusi secara
langsung dalam ranah garap sosial, hingga terjun langsung
dalam pergulatan politik praktis di kampus.” Ujar saya mantap
ketika salah seorang teman di Lembaga Dakwah Kampus
menanyakan “Kenapa anti semangat banget di KAMMI ukh?”
Benar begitu? Ah, jawaban itu tak bertahan lama. Karena
pada kenyataannya, saya kembali merasa kecewa pasca didaulat
menjadi salah satu staff dalam jajaran kepengurusan KAMMI
komisariat Shollahudin Al Ayyubi UNS. Kecewa bukan main.
Karena harapan tak sesuai kenyataan? Ya. Karena saya harus
menghadapi ketidakidealan disetiap sisi? Ya.
29
Meskipun pada kenyataannya, sebagai pengurus belum
banyak yang bisa saya berikan. Bahkan barangkali tak pernah
benar-benar saya hadirkan hati dan totalitas kesungguhan dalam
setiap aktivitas, sungguhpun betapa keras saya meyakinkan diri
saya bahwa ini normal. Wajar. Tak jadi soal. Semua baik-baik saja.
Saya tak mengatakan bahwa kinerja KAMMI payah. Tak
begitu. Saya rasakan betapa KAMMI tetap berusaha untuk
bercokol, berusaha untuk tetap eksis dengan memberikan
sumbangsih dalam ranah garap sosial, intelektual, maupun
pembelajaran politik baik secara teoritis maupun praktis, tak
sebatas aksi ‘parlemen jalanan’ semata. Jauh lebih berarti dari
sekedar mereka yang sibuk bernyanyi dengan nada-nada
sumbang dalam upaya destruksi pemikiran, pemandulan kerja-
kerja intelektual dan taktis, bahkan hanya sibuk cari massa dan
cari sensasi.
Saya hanya rasa ada yang kurang pas. Mungkin saya
salah. Mungkin semua baik-baik saja. Mungkin saya yang tak
baik-baik saja.
Mengapa aku mencintai KAMMI? Belum juga terjawab.
Maka saya lakukan sebuah proses pencarian panjang
yang bahkan sampai saya selesai menuliskan tanda titik di akhir
tulisan ini, belum bisa saya temukan jawabnya.
Atas ajakan seorang teman, jelang detik terakhir semester
pertama, saya putuskan mengikuti Latihan Kader 1 HMI dengan
mendapat predikat yang sangat memalukan: TIDAK LULUS.
Predikat ini sama sekali tak membuat saya jera, malahan saya
30
semakin antusias dan bergairah. Mulailah saya rutin mengikuti
diskusi-diskusi yang diadakan komisariat, membaca buku-buku
yang sering dijadikan referensi oleh Kanda-Yunda saya,
mengikuti alur berpikir mereka yang bebas, merdeka, tanpa
sekat. Sungguh menyenangkan.
Saya semakin tertarik. Mungkin atas dasar hasrat anak
muda yang selalu ingin cari hal-hal baru. Entahlah, tak tahu.
Mengalir saja seperti itu. Maka saya biarkan diri saya larut dan
hanyut mengkomparasikan pemikiran-pemikiran Yusuf Qardhawi
dan Mukti Ali. Mulai rajin searching e-book Nurcolis Madjid,
Dawam Raharjo, dan Djohan Efendi yang notabene selalu
dikaitkan dengan JIL. Meskipun, di sisi yang lain selalu disodori
buku Fathi Yakan: Robohnya Dakwah di Tangan Da’I dan buku
Ust Eko Novianto, Sudahkah Kita Tarbiyah?
Saya sering merasa lelah dan galau, marah dan sedih,
jengkel dan kecewa, meski terkadang ada rasa asyik yang
menggairahkan saat saya temukan banyak hal baru dalam
petualangan saya ini. Beberapa teman mulai katakan saya
pengkhianat, selingkuh, dualis, dan lain sebagainya, saya tetap
berpura-pura cuek dan lakukan rutinitas saya sebagai pengurus
di KAMMI tanpa rasa bersalah. Tetap berusaha profesional dan
persembahkan totalitas kerja untuk membuat jantung KAMMI
yang bernama Kaderisasi ini berdetak—meski tak banyak yang
bisa saya lakukan.
Enam bulan berselang, tak ada tanda yang pasti bahwa
saya akan akhiri pencarian ini. Saya masih asik masyuk dengan
dialektika yang saya lakukan terhadap diri saya sendiri. Sibuk
menandingkan pikiran ustadz ini dengan syekh itu. Lakukan
31
destruksi besar-besaran pada konsepsi soal ketuhanan dan
kemerdekaan dengan menyandingkannya dengan konstruksi
pada landasan dakwah tauhid dan konsep al qiyadah wal
jundiyah. Penat. Pusing.
Pada akhirnya, saya tetap turuti dorongan yang begitu
bergemuruh dalam dada untuk kembali menjajal mengikuti
Latihan Kader 1, tepatnya di Sukoharjo. Berbeda dengan hasil
memalukan di LK pertama, di LK yang kedua ini, saya mendapat
predikat: Peserta Terbaik yang tak terlantik. Mungkin begitulah
rencana yang Tuhan gariskan, agar saya tak begitu kesulitan saat
menjadi kader ganda dimana di satu sisi saya masih terdaftar
dalam kepengurusan KAMMI namun disisi yang lain menjadi
Anggota Biasa 1 di organisasi eksternal yang lain.
Belum lagi usai kisah cinta segitiga ini, saya lakukan
pencarian kembali. Kali ini dengan Muslimah Hizbut Tahrir
Indonesia (M-HTI) yang diawali dari sebuah seminar yang batal
saya ikuti karena lebih prioritaskan ikuti pleno tengah KAMMI.
Pasca itu, rutinlah saya mengikuti Focus Group Discussion yang
dilaksanakan setiap sepekan sekali dalam komunitas M-HTI.
Dengan pemikiran yang sudah acak-acakan karena belum
sempurna terkonstruksi kembali, saya dipaksa benturkan lagi itu
pada satu konsepsi pemikiran baru yang masih asing untuk saya.
Sempurnalah kegilaan temporal yang saya alami.
Sudah demikian banyak yang saya tuliskan. Tapi belum
jua sampai pada jawaban atas pertanyaan “Mengapa aku
mencintai KAMMI?” Menjengkelkan ya? Sungguh, tak bermaksud
lakukan itu. Tapi memang dengan cara inilah saya belajar
32
mencintai KAMMI. Belajar mencintai dengan adanya acuan
kepada sikap kritis dan pertimbangan matang, sehingga
pengikutan atas dasar kecintaan itu pun dapat sepenuhnya
dipertanggungjawabkan. Yang membuat saya tidak mencintai
secara membabi-buta, akan tetapi tetap kritis dengan
pertimbangan akal sehat.
Dengan melalui semua itu, saya dapatkan pelajaran
berharga bahwa setiap etnosentris golongan maupun pribadi
yang menganggap bahwa dirinya-lah yang serba tahu dan
faham, yang anggap bahwa orang-orang diluar diri dan
lingkungannya tak mengerti soal kelembagaan, organisasi,
wawasan keislaman dan pengetahuan tak akan hasilkan apapun
kecuali kematian intelektual yang menjerumuskan.
Saya mencintai KAMMI secara sadar. Dengan kesadaran
itu, saya yakin bahwa KAMMI mampu kembalikan spirit
perjuangan yang dulu membara, yang tak akan pernah
berkompromi terhadap idealisme walau dibujuk dengan harta
dan tahta. Spirit perjuangan yang membentuk pribadi muslim
untuk menjadi penegak dalam bergerak mengembalikan
kegemilangan Islam.
33
“Ya, Memang Beginilah KAMMI..”
Prawacana
Muda dan energik, begitulah saya memandang KAMMI di
usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai
organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan
Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil
menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman,
kemahasiswaan, dan keindonesiaan. Namun, dengan latar
belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada
semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika
kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada
otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga
menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir,
dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untuk
melakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman
tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar.
Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus
menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang
menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan
parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam
tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah
ini menyisakan kalimat, “Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu
memang seperti ini..” ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari
eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif
dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu
sentral dalam pergerakannya.
34
Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti
minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di
tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mau
tidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis
sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi.
Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat
dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang
melingkupinya.
Dua Kutub dan Gebrakan Baru
Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan
mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuan-
intelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan
minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan
politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik
praktis dan kerja-kerja teknis.
Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam
mendiagnosa ‘penyakit’ ini cukup tepat untuk menjelaskan apa
yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini. Dengan konteks historis
yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut
bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis, namun
bukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian
mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan.
Bukan begitu?
Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini
mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat
sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah
mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-
35
forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang
menghadirkan para founding fathers KAMMI guna merealisasikan
secara kongkrit perubahan yang diharapkan.
Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan
terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam
kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata,
“Ya, beginilah KAMMI..”, sehingga sebuah gebrakan yang tegas
dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal
guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur
dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah
disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.
Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas
ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang
setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan,
yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan
menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan
referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia.
“Ya, Memang Beginilah KAMMI. . .”
Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa
menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan
mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan
perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tanda-
tanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa
terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan
kekritisannya menjadi tersumbat.
36
Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif
ini digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan
dengan percaya diri dan lantang mengatakan, “Ya, Memang
Beginilah KAMMI. .”
Semoga.
37
Refleksi 15 Tahun Kelahiran KAMMI dan
Reformasi : Antara Tuntutan, Realita,
dan Harapan
‘Mahasiswa’ adalah sebuah kata dengan asumsi
tanggungjawab besar dalam perkembangan keberjalanan
sebuah negara. Dengan idealisme dan ketajaman intelektual
serta energi yang melimpah, kelompok mahasiswa selalu
diidentikkan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Maka, adalah menjadi realitas historis yang sangat masuk akal
apabila kalangan mahasiswalah yang secara aktif melakukan
perlawanan terhadap otoritas kekuasaan. Hal ini lebih
dikarenakan pada alasan bahwa mereka mempunyai komitmen
serta otoritas moral yang tinggi terhadap penderitaan yang
berlangsung di sekitarnya. Sebagai intelektual, kalangan
mahasiswa dinilai mempunyai kemampuan berpikir serta
kapasitas keilmuan untuk membaca struktur sosial yang secara
kontinyu mengalami perubahan.
Dalam membaca lintas kesejarahan mahasiswa, perlu kita
lihat adanya corak khas yang menjadi karakter gerakan
mahasiswa, yakni menempatkan dirinya di posisi
ekstraparlementer yang memanfaatkan momentum dan
bertindak vis a vis negara. Tuntutan yang diusung pun relatif
sama, yakni berupaya secara tegas melawan kekuasaan yang
dinilai melakukan penindasan terhadap rakyat.
Saat rezim orde baru berkuasa, digunakanlah terminologi
baru untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, yakni politik
38
praktis versus politik moral. Ini dikarenakan pemerintah melihat
munculnya gelombang perlawanan dari mahasiswa yaitu
penolakan terhadap kenaikan BBM yang dinilai menyengsarakan
rakyat dan desakan menuntut ketegasan pemerintah
memberantas korupsi yang dimotori oleh Arif Budiman dan
Hariman Siregar. Penolakan ini berpuncak pada peristiwa Malari
tahun 1974 yang bertepatan dengan kedatangan Perdana
Menteri Jepang Tanaka, yang memunculkan lahirnya Tritura baru:
Ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi presiden, dan
turunkan harga.
Hal ini tentu saja dinilai mengancam kekuasaan dan
otoritas pemerintah. Maka, pemerintahan orde baru pun
mengambil tindakan pengekangan berupa SK No.0156/U/1978
mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan
Koordinasi Kampus) melalui SK menteri P&K No.037/U/1979
dimana setiap organisasi Dewan Mahasiswa di kampus
dibubarkan dan atau diawasi secara ketat guna menekan
aktivitas poltik yang ada. Ditambah lagi dengan UU Ormas serta
munculnya LSM sebagai gerakan alternatif yang berdampak
pada generasi kampus yang apatis dan rezim rezim pemerintah
semakin represif. Dengan demikian, politik praktis seolah
menjadi hal yang haram untuk dimasuki, sehingga mahasiswa
pun seolah berada dalam sangkar moralitas yang kesuciannya
tak boleh ternoda oleh sifat praktis dari politik.
Namun, apakah gerakan mahasiswa kemudian mati
begitu saja? Ternyata tidak! Kondisi yang demikian represif justru
menyuburkan budaya diskusi dan gelombang baru pergerakan
mahasiswa yang berporos pada masjid-masjid kampus, sebut
saja munculnya LDK di masjid salman ITB yang dimotori oleh
39
Imaduddin Abdulrahim yang berkembang dan menyebar di
seluruh kampus di Indonesia.
Pada tahun 1990, kebijakan NKK-BKK dicabut, sehingga
kebebasan berpendapat dan berorganisasi kembali dapat
berjalan meskipun masih dalam kekangan yang sedemikian rupa.
Namun, masjid kampus sebagai basis aktivisme baru mahasiswa
nyatanya semakin subur dan berkembang dengan dinamisasi
tersendiri yang tak terjamah oleh pemerintahan yang represif. 8
tahun berselang, dalam sebuah momentum FSLDK (Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) ke X se Indonesia yang
diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang pada
tanggal 29 April 1998 dicetuskan dan dimunculkanlah KAMMI
sebagai salah satu kekuatan alternatif mahasiswa yang berbasis
mahasiswa muslim.
Kejenuhan mahasiswa terhadap rezim orde baru semakin
memuncak ketika untuk kesekian kalinya Soeharto terpilih
kembali menjadi Presiden RI, ditambah lagi dengan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia sedemikian parahnya.
Gelombang perlawanan mahasiswa ini dimulai sejak 20
Mahasiswa UI mendatangi gedung MPR-DPR yang dengan tegas
menolak laporan pertanggungjawaban presiden, yang kemudian
disusul dengan aksi besar-besaran hingga menilbulkan
kerusuhan berdarah di beberapa tempat, termasuk Solo.
Selanjutnya, pada Mei 1998 ribuan mahasiswa berhasil
menduduki gedung DPR/MPR yang menjadi titik balik lahirnya
era reformasi dengan tuntutan: diturunkannya Soeharto,
dicabutnya dwi-fungsi ABRI, diberantasnya KKN,
40
diamandemennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah,
serta ditegakkannya supremasi hukum.
Pasca reformasi, banyak pihak merasa belum
terbentuknya suatu mekanisme perpolitikan nasional dalam
memformulasikan terjadinya perubahan dalam konstelasi politik
nasional. Alih-alih menciptakan pola masyarakat yang melakukan
politik konstruktif, hingar bingar dalam pentas politik kita justru
mencerminkan kebinatangan yang tak beradab dari para
lakonnya yang cenderung berorientasi pada kekuasaan dan
mengesampingkan etika serta tatanan nilai yang berlaku secara
umum dalam masyarakat.
Reformasi melahirkan sejumlah aktor politik baru yang
diharap bisa memberi wajah baru politik menjadi lebih bermoral
dan bermartabat. Mereka muncul dari kalangan akademisi,
agamawan, maupun para pengusaha, tidak melulu dari kalangan
militer. Sayangnya, integrasi yang diharapkan ini tak berjalan
sesuai yang diharapkan, politik tetap sajalah bernama politik
yang tentunya memakai perhitungan matematis kalkulasi
kekuasaan yang untuk meraihnya sering kali menggunakan cara
yang bertentangan dengan hati nurani.
Realita perselingkuhan antara kekuasaan politik dengan
mekanisme pasar globa turut membenarkan apa yang dikatakan
Marx bahwa Negara dimanapun ia, akan selalu berpihak pada
pemegang kekuasaan. Tuntutan untuk melakukan liberalisasi
secara agresif dan privatisasi secara massif baik itu dalam bidang
ekonomi maupun pendidikan telah membawa dampak yang bisa
kita rasakan bersama dimana pendidikan yang bertujuan
41
mendorong tradisi intelektual kemudian disulap menjadi pasar
kerja.
Pada akhirnya, kita menjadi anak tiri di negeri sendiri.
Selain menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada
kelompok akar rumput. Institusi yang dianggap mewakili rakyat
pun malah menjadi pengusung utama digelontorkannya
kebijakan tersebut.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Apa latar
belakang kelahiran KAMMI dan peranan yang dilakukan dalam
penggulingan orde baru menuju era reformasi dan pola yang
bisa ditempuh oleh KAMMI dan gerakan mahasiswa secara
umum untuk mengawal 15 tahun agenda reformasi? Kita lah
yang harus menjawab.
42
Merayakan Keberagaman KAMMI
Aku Berpikir, maka Aku Ada
“Apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar,
dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap
bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai
semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan
yang berfungsi.”-Erikson
Dalam teori perkembangan kepribadian yang
dikemukakan oleh Erikson, ada delapan tahap perkembangan
yang terjadi dalam perkembangan identitas seseorang.
Perkembangan ini berlangsung dalam jangka waktu yang teratur
dan bersifat hierarkis. Delapan tahap perkembangan kepribadian
menurutnya, memiliki ciri utama dimana di satu pihak bersifat
biologis, sementara di lain pihak bersifat sosial. Keduanya
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Disini, penulis hanya
akan membahas mengenai tahap ke-5 dari perkembangan teori
kepribadian tersebut.
Dalam cultural studies, saat seseorang menginjak usia
remaja hingga 18-20 tahun, sebenarnya ia tengah menjalani
masa peralihan dari ketergantungan masa anak-anak menuju
otonomi masa dewasanya. Jika orang dewasa menilai masa
muda sebagai era transisi semata, kaum muda justru
menjadikannya sarana untuk mengungkap identitas diri mereka.
Menurut Erikson, dalam tahap ini pencapaian identitas
pribadi dan menghindari peran ganda harus dicapai. Kaum muda
43
haruslah memahami siapa dirinya yang sebenarnya di tengah
pergaulan dan struktur sosialnya agar pada akhirnya tidak
mengalami kekacauan identitas.
Dalam pencapaian identitas diri tersebut, seringkali kaum
muda bertindak sangat ekstrim dan berlebihan. Oleh karena
itu, pemberontakan senantiasa mengiringi perjalanan
pengalamannya dalam mengungkap berbagai penanda ideologis
yang menguak gambaran utopis tentang masa depannya. Tak
pelak, slogan “Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari”
seolah menjadi cambuk yang melecut gairah kaum muda untuk
beraktualisasi lebih.
Mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda, dengan
menggunakan sudut pandang diatas sejatinya memiliki substansi
yang sama. Mahasiswa mencoba mengaktualisasikan
keberbedaannya dengan melakukan sebuah movement, antara
lain dengan membuat komunitas dengan masuk dalam sebuah
organisasi maupun menjadi pegiat diskusi atau kajian. Ruang
diri yang lebih terbuka seolah menjadi identitas baru yang ia
identifikasikan dalam kepribadiannya yang khas.
Pergerakan mahasiswa dalam hal ini, menggunakan
logika dengan gejala yang sama. “Aku berpikir maka aku ada”,
demikian kata Descartes yang kemudian oleh mahasiswa aktivis
diplesetkan menjadi, “aku berdiskusi, aku aksi, aku berontak, aku
berbeda dari mainstream, maka aku ada”. Mungkin hal ini
memang tidak berangkat dari teori an sich, tapi kenyataan-
kenyataan yang penulis lihat di lapangan menunjukkan gejala
yang relatif sama.
44
Dua Kutub
Pada dasarnya, dalam setiap ruang, manusia memiliki
penyikapan yang beragam atas situasi yang dihadapi.
Penyikapan ini, hemat penulis, bisa digolongkan dalam dua
kategori ekstrem, yaitu ‘adaptasi’ dan ‘rekayasa’. Sederhananya,
jika kita sedang berada dalam sebuah ruangan yang panas,
adaptasi yang kita lakukan adalah dengan menyesuaikan tubuh
kita agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
melepas jaket yang dikenakan, misalnya. Sementara, rekayasa
yang bisa kita lakukan adalah dengan mengubah kondisi
lingkungan, misal dengan menyalakan kipas angin atau
membuka jendela agar terjadi sirkulasi udara.
Demikian pula yang kaum muda lakukan dalam
pencapaian identitas kepribadiannya. Dalam dunia aktivis,
mereka akan mensekatkan diri pada pengkotak-kotakan
idealisme gerakan. Tak hanya bertumpu pada satu mainstream
gerakan, tapi tersebar dalam seluruh komponen, baik komponen
hobi, minat, bakat, aktivitas politik, keagamaan, dan lain
sebagainya. Seringkali terjadi kekacauan identitas antara dirinya
dengan entitas yang bersama hidup dalam kelompoknya. Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan ‘pengingkaran’. Ia akan
mengingkari keanggotaannnya dalam sebuah entitas tempat ia
hidup bermasyarakat dan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan
sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka
sebagai bagian dalam kelompoknya.
Hal ini menjelaskan bahwa di lapangan-dalam dunia
aktivis, ada beragam kasus yang mengungkap bahwa sebagian
45
orang dari suatu entitas cenderung keluar dari pakem kebiasaan
yang melekat di organisasinya karena menganggap bahwa
perbedaan yang mereka rasakan harus diaktualisasikan. Disisi
lain, mereka memproduksi ide perjuangannya dalam komunitas
yang memiliki mind-set seragam. Suatu hal yang kontradiktif
memang, tapi patut mendapat apresiasi.
Merayakan Keberagaman KAMMI
Berbicara tentang dunia aktivisme mahasiswa, tak akan
berlepas dari keberadaan KAMMI sebagai organisasi yang telah
penulis ikuti sejak tahun pertama di kampus. Bagi penulis, mitos
tentang internal kammi yang begitu-begitu saja, manut-manut
saja, adem ayem saja, statis dan homogen, harus diekspose
maknanya.
Sejak masa berdirinya, kenyataan yang heterogen dalam
internal KAMMI secara sadar ataupun tidak telah diingkari oleh
kelompok-kelompok internal yang seolah takut membiarkan
suara-suara yang tak beraturan berselisih paham dan
menimbulkan kekacauan internal. Hingga hari ini, ketakutan akan
resiko dan ketidakmenentuan berada pada tingkatan patologis.
Keberagaman dalam KAMMI seolah tak disepakati, disetujui, dan
bahkan didesak dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengikis
kesatuan internal.
Pertama-tama, yang harus dilakukan adalah sebuah
otokritik terhadap diri kita sendiri berkaitan dengan gagasan
tentang identitas dan perbedaan. Hal ini terjadi karena KAMMI
untuk waktu yang lama telah terjerat dalam jalan buntu
dialektika yang dibuatnya sendiri. KAMMI perlu menerima,
46
mengenali, dan bahkan merayakan keberagaman internal di
dalam dirinya.
Perlu disadari bawa keberagaman adalah sebuah fakta
kehidupan dan ciri yang bisa ditemui dalam semua peradaban.
Untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna dengan gerakan
lainnya, KAMMI harus memulainya dengan membuka dialog ke
dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi jika kita belajar
menerima perbedaan-perbedaan internal kita dengan menerima
secara bijak kehadiran suara-suara baru yang bisa jadi berbeda
dari mainstream kebanyakan.
Mengontrol energi dan suara internal yang berbeda
bukanlah dengan menghapus atau meniadakan kehadiran energi
dan suara itu sendiri. Bahkan, cara tersebut hanya akan membuat
suara-suara yang tersumbat itu bermutasi dan menyembunyikan
diri menjadi suara-suara sub-altern yang beragam, gerakan
bawah tanah yang tersembunyi, dan semakin memperparah
ketidakstabilan organisasi.
Jika memang internal KAMMI ingin menciptakan kondisi
sosial yang kondusif agar tak menghambat kinerja organisasi,
maka, membuka pintu perbincangan, pikiran, dan perbedaan
dalam diri KAMMI sendiri adalah solusi ideal yang bisa
diterapkan secara berkelanjutan.
Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri
dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,
padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan
wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.
Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan
47
memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih
jujur.
Bukankah mengenali keberagaman yang ada dalam diri
kita akan membuka jalan untuk mengenali kebergaman yang
lain-lain juga?
Penutup
Dalam teorinya, Erikson mengatakan, kesetiaan akan
diperoleh sebagai nilai positif yang dipetik setelah melewati
tahap ini. Kesetiaan yang ia maksud memiliki makna tersendiri,
yakni kemampuan hidup berdasar standar yang berlaku di
tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan,
dan ketidakkonsistenannya.
Pada akhirnya apapun yang dilakukan oleh sebagian dari
kader KAMMI yang ‘berbeda’ dari mainstream adalah dalam
rangka mencari identitas diri. Insya Allah, tak ada satu aktivitas
pun yang sia-sia. Jika memang yang dilakukan itu berangkat dari
keyakinan yang teguh akan kebenaran yang diperjuangkan,
maka biarlah Allah menilainya sebagi kebaikan, tetapi apabila
ternyata salah, minimal menjadi pelajaran untuk dirinya sendiri.
Billahi taufiq wal Hidayah.
48
Merajut Benang-Benang Epistemologi Paradigma
Gerakan KAMMI
To win being strong is not enough, you must be an idea
(Batman Begins)
Begitulah yang niscaya! Terlebih bagi sebuah organisasi
pergerakan dan terkhususnya lagi organisasi pergerakan
mahasiswa muslim. Ia tak hanya membutuhkan sejumlah besar
pasukan tangguh yang memiliki senjata tempur yang canggih,
tapi juga haruslah memiliki sebuah ide-ide dasar yang melandasi
setiap langkahnya. Ide-ide ini berkaitan dengan hal-hal yang
prinsip dan strategis dalam menentukan corak dan etika gerakan
dalam berfikir dan bertindak. Dengan landasan tersebut, maka
sebuah organisasi pergerakan akan memiliki rambu-rambu
dalam membimbing para anggotanya untuk mencapai visi yang
ingin dicapai.
Bukankah visi KAMMI sebagai wadah perjuangan
permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam
upaya mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang islami
sejatinya adalah visi dari setiap anggota KAMMI itu sendiri?
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam
dalam hal ini merumuskan substansi spirit, paham, corak,
landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan
KAMMI. Menurut Ahimsa, Paradigma dapat didefiniskan sebagai
seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara
logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi
untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan
49
masalah yang dihadapi[1]. Seperangkat konsep inilah yang akan
membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang
ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalam
bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau
segmentasi yang lain sehingga pada akhirnya lahirlah sebuah
pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada
akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan
dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.
Namun demikian, Paradigma Gerakan KAMMI sebagai
seperangkat konsep ternyata baru memberikan gambaran umum
tentang isi dari kerangka pemikiran, belum memberikan
keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu
sendiri. Padahal, dalam upaya pengembangan paradigma,
pendefinisian konsep saja belum cukup, yang lebih penting
adalah pendefinisian unsur-unsur yang tercakup dalam
pengertian paradigma itu sendiri[2].
Dalam sarasehan intelegensia KAMMI yang dilaksanakan
24 Desember 2012 di Yogya, Imron Rosyadi selaku ketua SC
Muktamar IV KAMMI tahun 2004 menyatakan bahwa paradigma
gerakan KAMMI saat ini belum selesai dan bukan sesuatu yang
final. Dengan demikian, penjelasan lebih lanjut terkait dengan
komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka
pemikiran epistemologi dari paradigma tersebut sangatlah
diperlukan sehingga penerjemahannya ke ranah aksiologis akan
lebih terarah dan tidak menimbulkan multitafsir.
Dengan tidak bermaksud lancang dan sembrono, disini
penulis ingin mencoba menyusuri jejak epistemologis Paradigma
50
Gerakan KAMMI secara ringkas dann sederhana mengingat
kedangkalan pengetahuan yang penulis miliki.
Maka, Izinkan Aku Merajutnya dengan Benang
Kesederhanaan dan Jarum Ikhtiar-Alikta
Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti,
yakni: Dakwah Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independen,
dan Politik Ekstraparlementer. Lebih lanjut, penulis akan
membahasnya dalam poin per poin.
Pertama, KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid. Tafsir
dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan dakwah tauhid adalah
gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan
terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta
mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah
SWT. 2) Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang
menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang
berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan
(ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam
(rahmatan lil ‘alamin). 3) Gerakan da’wah tauhid adalah gerakan
perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan
universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf
nahi munkar).
Mengapa dari sekian banyak frasa yang mungkin bisa
dirangkai, diambillah dua kata tersebut : Dakwah dan Tauhid.
Apa esensi yang terkandung dibaliknya? Jawaban yang paling
rasional disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki
adalah apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, beliau
menyatakan bahwa Tauhid adalah cara bertuhan yang paling
51
manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri.
Lebih lanjut, beliau menambahkan, inti kemanusiaan itu sendiri
adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan dan
memerdekakan. Sebab, manakala ia hanya bergantung dan
berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas. Contoh
analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa
bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia
tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu
dan statis[3]. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau
mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itu
sendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa(41:37). Ini disebut Tauhid,
dan lawannya disebut syirik, artinya mengadakan tandingan
terhadap Tuhan, baik seluruhnya maupun sebagian, maka
jelaslah bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan
peradaban kemanusiaan….[4]Konsekuensi logis dari tauhid ini
adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia,
materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang
merdeka.
Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat
pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan
mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar
pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidak
ada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material
dan dunia spiritual, dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan
manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain
kepasrahan kepada Tuhan. Manusia hanya bertanggungjawab
dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam,
ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan
terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud
menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan
52
Tuhan. Sehingga ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh
untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam
(rahmatan lil ‘alamin).
Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat
ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang
oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada
tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan.
Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan
dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus
mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan
dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: “Engkau
adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan
beriman kepada Allah”(3:110).
Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan
bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan
transdensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan
kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan
amar ma’ruf. Liberasi atau pembebasan merupakan
implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi
merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billaah.
Kerja-kerja kemanusiaan ini secara essensial haruslah
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, yaitu
menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang
memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia.
Usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna
mengarahkan masyarakat pada nilai-nilai yang lebih baik, lebih
53
maju, dan lebih insani itu disebut amar ma’ruf, sementara usaha
guna mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-
nilai kemanusiaan itu disebut nahi munkar.[5]
Dan pada akhirnya, marilah kita maknai dalam-dalam
mengenai apa yang disampaikan Ust. Fathi Yakan berkaitan
dengan definisi dakwah. Beliau mengatakan bahwa dakwah
adalah menghancurkan dan membangun, maksudnya
menghancurkan jahiliah dengan segala macam bentuknya, baik
jahiliah pola pikir maupun jahiliah perundang-undangan dan
hukum, setelah itu membangun masyarakat Islam berlandaskan
Islam dalam bentuk, isi, perundang-undangan dan cara hidup,
maupun dalam persepsi keyakinan terhadap alam, manusia, dan
kehidupan[6].
Maka, demikianlah unsur pertama dari Paradigma
Gerakan KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid mengantarkan
saya pada pemahaman bahwa dakwah tauhid adalah landasan
mutlak bagi kader KAMMI untuk berfikir dan berkehendak
merdeka serta menjadi petarung sejati yang pemberani.
Kedua, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik.
Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan intelektual profetik
adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas
penjelajahan nalar akal. 2) Gerakan intelektual profetik
merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus
dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang
universal. 3) Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang
mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik. 4) Gerakan intelektual
54
profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas
rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara
bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal,
dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki
daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran,
terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu :
Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran,
Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi,
kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan,
bukan yang dirubah oleh lingkungannya.[7]
Dalam menyelami makna profetik sebagai paradigma
gerakan KAMMI yang kedua ini, penulis dengan segala
keterbatasannya ternyata gagal memahami cara berfikir
Kuntowijoyo yang cenderung strukturalis-integralis, sehingga
disini penulis hanya menggunakan makalah Ahisma yang
bertutur mengenai akar epistemologis dan kritik terhadap Ilmu
Sosial-Profetik yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.
Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita mencari akar
ontologis dari kata profetik untuk memudahkan pemahaman.
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti
nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of,
pertaining or proper to a prophet or prophecy”; “having the
character or function of a prophet”; (2) “Characterized by,
containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna
profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau
55
bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita
terjemahkan menjadi ‘kenabian’.
Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa
Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat
dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan
adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,
untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik
tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini,
pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu
menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam
merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu
pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan
bertindak seorang muslim.
Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas
penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai
relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan
menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber
Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteks
profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman
kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan
dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang
beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-
pembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman
kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan
Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan
sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi
56
antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir
artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini
kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdir
berarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat
terhindarkan.
Dengan demikian, mengembalikan segala penalaran yang
dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses
sakralisasi terhadap-NYA. Inilah yang membedakan ilmu profetik
dengan ilmu sosial yang lainnya.
Pengembalian secara tulus dialektika wacana pada
prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal dalam Paradigma
Gerakan KAMMI ini bersesuaian dengan apa yang disampaikan
Ahimsa, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas
kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja
kemanusiaan yang meliputi : kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan
penghargaan.
Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar
wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Qur’an) dan
sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk
merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalam
upaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara
organik yakni merujuk pada intelektual yang merujuk pada
intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikulator dari
ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas yang
sedang tumbuh.
57
Dari Paradigma KAMMI yang kedua sebagai Gerakan
Intelektual Profetik, mestinya bisa menempatkan para kader
KAMMI sebagai ilmuwan yang memiliki ketajaman analisa
sehingga mampu menjadi penghitung resiko yang cermat yang
pada akhirnya akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang
mampu menjangkau realitas masyarakat secara tekstual dan
kontekstual guna mencari solusi paling efektif dan efisien dalam
penyelesaian masalah-masalah kerakyatan.
Ketiga, KAMMI adalah gerakan sosial independen. Tafsir
dari kalimat tersebut adalah : 1) Gerakan sosial
independen adalah gerakan kritis yang menyerang sistem
peradaban materialistik dan menyerukan peradaban manusia
berbasis tauhid. 2) Gerakan sosial independen merupakan
gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan
yang berakar pada nurani kerakyatan. 3) Gerakan sosial
independen merupakan gerakan pembebasan yang tidak
memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan politik-
ekonomi yang membatasi. 4) Gerakan Sosial Independen
bertujuan menegakkan nilai sosial politik yang tidak bergantung
pada institusi manapun, termasuk Negara, partai, maupun
lembaga donor.
Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan
beberapa tokoh yang menjadikan kebebasan manusia sebagai
bagian utama filsafat mereka, yakni Hegel, Karl Marx, dan Jean
Paul Sarte. Hegel meyakini bahwa dalam sebuah Negara modern
masyarakat menginginkan pembebasan dari segala macam
belenggu. Ide Hegel ini diteruskan oleh Karl Marx dengan
sosialismenya yang mendobrak rezim kapitalisme yang kala itu
tengah membelenggu tatanan manusia.
58
Marxisme klasik menyuarakan pembebasan kaum buruh
dari kapitalisme guna terciptanya masyarakat tanpa kelas. Bagi
kalangan marxisme klasik, revolusi adalah sebuah keniscayaan
sejarah, sebab mereka menganggap kapitalisme adalah ideologi
yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Selain itu, mereka juga menganggap bahwa hubungan antar
sesama manusia hanyalah berdasar pada sistem produksi.
Persepsi yang muncul akan hal ini adalah bahwa
sesuatu/seseorang hanya akan memiliki nilai ketika ia mampu
menghasilkan atau memproduksi barang sehingga
mengesampingkan bahwa manusia pun memiliki dimensi
sosiologis dan psikologis[8].
Ide marxisme klasik ini ditentang oleh Antonio Gramsci,
Tan Malaka dan beberapa tokoh lain (revisionis Marx) yang
menyatakan bahwa revolusi bukanlah suatu keniscayaan sejarah,
namun muncul karena adanya kesadaran masyarakat terhadap
dominasi kaum mayoritas. Sehingga, kesadaran kolektif itu
haruslah ditumbuhkan, bukan hanya ditunggu sampai titik kritis
itu datang.
Dalam dunia Islam sendiri, Hassan Hanafi, seorang
mantan aktivis IM, juga menyuarakan kritiknya terhadap relasi
antara barat dan timur, dimana barat dinilai memarginalkan
dunia timur dengan menganggap bahwa peradaban mereka
adalah peradaban yang superior sementara peradaban timur
hanyalah kaum inferior sehingga mereka berhak mendikte timur
baik dalam masalah politik, ekonomi, maupun ideologi. Ia sendiri
juga berpendapat bahwa menempatkan teks-teks agama
(skriptualisme) untuk memahami Islam dalam pencarian
kebenaran tanpa menggunakan potensi akal adalah perbuatan
59
orang yang cepat putus asa dan lemah, sehingga ia selalu
melakukan kritik pada pemahaman Islam yang bercorak mistis
dan normatif.
Keduanya, baik revisionis Marx maupun revolusioner
Islam, mengangkat isu yang sama, yakni pembebasan manusia
dari belenggu baik dogma agama maupun dominasi kaum yang
berkuasa.
Gerakan sosial merupakan fenomena penting dalam
sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa-bangsa.
Hampir semua peristiwa besar yang mengubah sebuah tatanan,
baik itu dalam konteks politik, ekonomi maupun tatanan sosial,
seringkali bermula dan mendapat momentum dari sebuah
gerakan sosial. Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia
adalah pergerakan mahasiswa yang berkembang tahun 1960-
1970an.
Menegakkan nilai sosial politik yang independen adalah
jawaban konkrit atas sinisme pendanaan yang selama ini
dilakukan oleh sejumlah ornop (organisasi non profit) atau yang
biasa kita sebut dengan LSM. Tudingan yang umum dilancarkan
adalah konten agenda program yang harus menyesuaikan
keinginan lembaga donor. Hal ini tentunya akan membawa
implikasi buruk pada citra Gerakan, selain tentunya membawa
dampak jangka panjang yakni mudahnya gerakan disetir oleh
kepentingan-kepentingan politik dari Negara atau partai,
maupun kepentingan swasta dari lembaga donor.
Keempat, KAMMI adalah gerakan Politik
Ekstraparlementer. Tafsir dari kalimat tersebut adalah 1) Gerakan
60
politik ekstraparlementer adalah gerakan perjuangan melawan
tirani dan menegakkan demokrasi egaliter 2) Gerakan politik
ekstraparlementer adalah gerakan sosial kultural dan
struktural yang berorientasi pada penguatan rakyat secara
sistematis dengan melakukan pemberdayaan institusi-institusi
sosial/rakyat dalam mengontrol proses demokrasi formal. 3)
Gerakan ekstraparlementer berarti tidak menginduk pada
institusi parlemen maupun pembentuk parlemen (partai politik
dan senator). Independensi sikap politik bulat utuh tanpa
intervensi partai apapun. 4) Gerakan ekstraparlementer bergerak
di luar parlemen dan partai politik, sebagai representasi rakyat
secara independen.
Saat menulis ini, ada yang mengganjal dalam benak
penulis, yaitu terkait stigma yang berkembang di masyarakat
secara umum mengenai hubungan struktural KAMMI sebagai
underbow dari Partai Keadilan Sejahtera yang memang
berlatarbelakang ideologi yang ‘identik’ (lepas dari kontroversi
yang muncul tentang itu). Untuk tidak memperlebar
pembahasan, maka disini penulis tidak akan membahas hal
tersebut.
Berbicara mengenai politik, seperti yang tertera dalam
Paradigma Gerakan KAMMI yang keempat, penulis melihat
bahwa politik yang ingin diperjuangkan KAMMI adalah politik
sebagai alat untuk melakukan suatu konstruksi sosial. Dalam hal
ini, ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat,
sebab manakala terjadi dikotomi antara keduanya akan berakibat
pada hilangnya kepercayaan publik (masyarakat) terhadap politik
yang diperjuangkan.
61
Namun, pada prinsipnya perjuangan guna melakukan
konstruksi sosial ini tak bisa lepas dari kondisi sosial-masyarakat
itu sendiri. Masih ingat dengan ucapan mahsyur ini ‘homo
hominis lupo est–manusia adalah serigala untuk sesama’? Akan
hal ini, Montesquieu beranggapan bahwa manusia purba yang
belum berkongsi sadar betul lemahnya ia di tengah alam
sekitarnya. Namun, hukum alam menuntun manusia guna
berkongsi dengan sesamanya yang mengakibatkan
kecenderungan untuk saling menguasai manusia lain, sebab saat
ia berkongsi, ia sadari bahwa manusia lain juga lemah dan
hilanglah ketakutannya. Kecenderungan pada kekuasaan ini
melahirkan nafsu dan tirani dalam diri manusia maupun
kelompok tempat ia melibatkan diri didalamnya.
Perlawanan terhadap tirani adalah kewajiban dari setiap
warga masyarakat. Akan tetapi, dalam prakteknya diperlukan
adanya suatu kelompok dalam masyarakat yang senantiasa
berusaha terus menerus melawan tirani yang pada prinsipnya
tidak sejalan dengan fitrah kemanusiaan guna menegakkan
keadilan yang merata.
Montesquieu berpendapat bahwa aspek pemerataan
(égalité) secara khusus bermakna persaman semua warga
dihadapan hukum. Namun, lebih lanjut ia mengatakan bahwa
égalité kurang bersifat legalis melainkan lebih menjurus kepada
faham fraternité, persaudaraan. Konsekuensinya, setiap warga
boleh memiliki harta, namun diharapkan setiap warga mencukupi
kebutuhan hidup dan keluarganya dan yang berlebihan
diberikan kepada negara untuk disalurkan kepada warga yang
kekurangan[9], sehingga muncullah solidaritas sosial sesama
62
warga, dan lahirlah sebuah konstruksi sosial menuju masyarakat
madani (civil society).
Civil society adalah modal yang dibutuhkan untuk
membentuk masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga
otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan Negara.
Akan menjadi hal menarik jika kita perhatikan kenyataan yang
ada, bahwa ternyata kekuasaan yang mendominasi kita secara
struktur justru merupakan komunitas minoritas disbanding
keseluruhan jumlah warga Negara Indonesia. Penguatan
masyarakat secara sistematis dengan melakukan pemberdayaan
institusi-institusi sosial/rakyat baik melalui jalur struktural
(meskipun saya tidak tahu bagaimana melakukan pemberdayaan
institusi melalui jalur struktural yang dimaksud disini- dengan
asumsi bahwa ggerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual
dan gerakan kultural) maupun kultural dalam meletakkan
pemahamannya pada asumsi bahwa demokrasi menuntut
keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial guna
mengontrol proses demokrasi formal yang berjalan.
Disinilah peran gerakan mahasiswa Islam sebagai basis
intelektual masyarakat untuk melakukan pencerdasan politik
pada masyarakat, dengan pembangunan opini publik maupun
penyelenggaraan diskusi rasional sehingga penguatan politik
masyarakat akan mampu membangun ruang komunikasi timbal
balik antara rakyat dan penguasa. Ketika ruang-ruang dialektis
terbuka dengan persamaan hak yang utuh, pada akhirnya akan
memberi kesempatan pada rakyat untuk bisa berperan dalam
pengambilan kebijakan/ peraturan perundang-undangan yang
hendak diberlakukan.
63
Agar hal ini dapat terjadi, maka gerakan tidak boleh
menginduk pada institusi parlemen maupun pembentuk
parlemen (partai politik dan senator). Ilustrasi sederhananya
adalah tidak mungkin seseorang akan mengatakan A dan B di
waktu yang bersamaan. Misal pada saat yang sama saya
mengatakan : IBU, saya juga mengatakan: AYAH. Apakah yang
kemudian akan didengar oleh orang lain? BUAYA? UUAAA? Atau
*&%$#@ (sebuah bahasa yang tak dikenal maknanya)? Apa
yang kemudian di dengar oleh orang lain tentulah berbeda
dengan pemaknaan awal kata IBU maupun AYAH. Jelas disini
bahwa seseorang yang berbicara atas nama rakyat tidak
mungkin kemudian berbicara juga atas nama pemerintah. Tentu
yang saya maksud bukan pengertian rakyat vis a vis pemerintah.
Namun, kontradiksi/ketidaksesuaian antara kedua institusi itulah
yang mengharuskan gerakan mengambil posisi independen,
sebab ketergantungan gerakan pada institusi partai sebagai
bagian dari pemerintah dikhawatirkan akan membuat distorsi
yang membatasi obyektivitas gerakan dalam menentukan
langkah aksiologis dalam menanggapi suatu permasalahan.
Disini, diperlukan suatu sikap independensi bulat utuh tanpa
intervensi dari pihak manapun, meskipun hal ini juga tak berarti
bahwa gerakan mengambil posisi yang sejauh-jauhnya dari
partai politik dan berantipati padanya.
Disini, penulis melihat adanya kontradiksi mengenai apa
yang ada dalam Paradigma Gerakan dan Unsur Perjuangan
KAMMI terkait independensinya sebagai gerakan politik
ekstraparlementer (merujuk pada teks, bukan pada ranah
praksis). Tanpa bermaksud melakukan tindakan korektif terhadap
kedua hal tersebut, penulis memandang bahwa hal tersebut
64
menjadi batu penghalang dalam merajut epistem pemahaman
mengenai independensi KAMMI.
Berikut penulis sampaikan agar benang epistem ini tidak
kusut dan memperburuk rajutan (yang sudah cukup buruk). Saat
dalam Paradigma Gerakan ditegaskan bahwa Independensi
KAMMMI adalah sikap bulat utuh tanpa intervensi partai apapun
serta menempatkan diri sebagai representasi rakyat yang
independen. Disisi yang lain, Unsur-Unsur Perjuangan KAMMI
pada bagian KAMMI dan Partai Politik berisikan: ‘… KAMMI akan
siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih
mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada
rakyat dalam berpolitik.’
Disini, ada semacam ‘pseudo-tolerance’[10]yang kentara
terlihat. Disebut pseudo-tolerance karena toleransi yang
demikian adalah konsep toleransi yang setengah-setengah,
penuh kompromi dan tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu
sisi KAMMI menegaskan sikap independennya, namun disisi lain
tetap membuka kran kerjasama dengan partai politik. Bagi saya,
ini bukanlah hal yang sehat. Meskipun demikian, penulis tidak
akan membahas lebih jauh hal tersebut karena (lagi-lagi) pasti
akan bersinggungan dengan ranah praksis. Harap dimaafkan.
Independensi adalah bentuk nyata dari fitrah
kemanusiaan manusia yang telah memutuskan untuk
mentauhidkan Allah SWT, ini akan teraktualisasikan dalam
dinamika berfikir, bersikap, dan berperilaku dalam konteks
hubungan vertikalnya dengan Allah SWT maupun hubungan
horizontalnya terhadap sesama manusia. Independensi ini akan
memunculkan kebebasan, keterbukaan, dan kemerdekaan yang
65
melahirkan sikap objektif, rasional, dan kritis, sehingga pada
akhirnya membentuk karakter insan yang progesif, dinamis,
demokratis, jujur, dan adil[11].
Ketika masing-masing pribadi telah mengaktualisasikan
konsep independensi dalam dirinya, maka independensi gerakan
semestinya bisa menjadi watak yang secara alamiah tergambar
dalam pola pikir maupun tindakan nyata gerakan. Hal ini akan
melahirkan sikap independensi sikap politik bulat utuh tanpa
intervensi partai apapun sebagai representasi rakyat secara
independen.
Penulis berharap, makna-makna dalam kata independensi
kaitannya dengan partai maupun lembaga donor bisa diartikan
secara lebih bijak. Sebab, independen sendiri tak mesti bermakna
‘menjaga jarak yang sama dalam semua momentum’. Sebab,
melihat tata dunia sekarang yang serba terbuka, modern, dan
kompleks, saling memengaruhi dan saling bergantung tidak bisa
dinafikan, sehingga terkadang dalam derajat tertentu kita harus
memberikan interdependensi dalam pemaknaan independensi
tersebut. Lebih lanjut lagi, ini dikarenakan KAMMI adalah
gerakan politik aktif (sebagai implementasi dari harokatul ‘amal),
bukan gerakan politik pasif.
a Man May Die, a Nation May Rise, But an Idea Lives On-J.F
Kennedy
Kata Cak Nur, ide itu berkaki. Maksudnya, ide-ide yang
kuat berakar pada persoalan-persoalan teoritis dan kontekstual
akan memiliki kakinya sendiri. Ide-ide itu akan menjadi
perdebatan di pasar bebas ide (free market of ideas). Ada orang
66
yang meneruskannya, dan tentu saja akan ada yang
mengkritiknya.[12]
Apakah Paradigma KAMMI akan mengakar kuat dalam
sanubari para kader untuk kemudian diwariskan ke generasi
berikutnya akan tergantung dari bagaimana ide-ide itu
menyentuh persoalan dari segi tekstual dan kontekstual. Karena
itulah epistemologi yang menyusun kerangka berfikir menjadi
sebuah bahasan yang penting. Meskipun demikian, penulis pun
menyadari bahwa berlelah-lelah dengan epistemologi ini
sungguh akan menghabiskan waktu dan tenaga. Apalagi jika
menilik konteks historisnya epistemologi bisa dikatakan hampir
atau telah mati.
Berangkat dari konsep Descartes yang cenderung skeptis
memandang dunia, orang-orang yang skeptis merasa bahwa
mereka berdiri otonom diluar dunia sehingga bebas
mengeksplorasi dunia sekehendak hatinya. Akan tetapi, cara
berfikir macam ini ternyata menuai kritik tajam dari aliran
posivitisme yang menitikberatkan metodologi dalam suatu
pengetahuan sesuai hukum sains, yang kemudian-sayangnya-
meminggirkan kedalaman individu dan perkembangan sosial
yang dinamis dalam sebuah masyarakat yang menyentuh
kearifan lokal. Maka, bolehlah kita mengarah pada apa yang
dikatakan Feyarabend dengan ‘anti-metode’nya, agar ilmu
pengetahuan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan menjadi
lebih kaya. Dengan konsekuensi logisnya mengakui bahwa
Epistemology is DEAD.
67
Feeling guilty is a big deal for some, since the others choose
to prove they’re guilty or not-Adiwena
Dalam tulisan ini, saya mencoba ‘berbicara’ mengenai
Paradigma Gerakan KAMMI yang sampai saat ini belum memiliki
keterangan tafsir lebih lanjut selain dari gambaran umum yang
telah ada dengan interpretasi semau saya. Pastilah sangat
dangkal dan tidak ilmiah, tak lain disebabkan oleh kedangkalan
pengetahuan, sedikitnya wacana dan sumber referensi, serta
terbatasnya ruang dan waktu. Lebih lanjut, saya pun menyadari
bahwa upaya konklusi per poin atas Paradigma Gerakan dengan
Kredo Gerakan dengan tujuan ‘memberikan kesan mendalam’
malah semakin memberi kesan ketidak-ilmiahan dalam tulisan
ini.
Namun, saya harap tulisan ini bisa menjadi prasasti dan
kenangan indah atas ikhtiar terbaik yang bisa saya berikan dalam
mengerjakan salah satu penugasan sebelum mengikuti Dauroh
Marhalah 2 KAMMDA Sleman. Karena bagi saya DM 2 bukanlah
sekedar peningkatan jenjang marhalah semata, melainkan
sebuah langkah awal untuk lebih menghayati ke-KAMMI-an saya,
belajar mencintainya dengan adanya acuan kepada sikap kritis
dan pertimbangan matang, sehingga pengikutan atas dasar
kecintaan itu pun dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan.
Yang membuat saya tidak mencintai secara membabi-buta, akan
tetapi tetap kritis dengan pertimbangan akal sehat.
Kritik apapun bentuknya, baik konstruktif maupun
destruktif akan saya terima dengan segala kerendahan hati.
Sungguh, Allah-lah yang Maha Tahu. Segala kesalahan pasti dari
68
saya pribadi. Semoga Allah mengampuni, dan pembaca
memaafkan.
Surakarta, 28 Januari 2013
[1] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Makalah Sarasehan Profetik tahun
2012 : Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah?
[2] lebih lanjut baca Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu:
Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana
[3] Zezen Zaenal Muttaqien dalam buku All You Need Is Love-
Cak Nur di Mata Anak Muda Bagian Teologi Perdamaian Cak
Nur, dengan judul Sebuah Surat tentang NDP, Tauhid, dan
Sekularisasi Cak Nur, hal 96
[4] Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Sukoharjo 2012 dalam
Nilai Dasar Perjuangan HMI BAB I (Dasar-Dasar Kepercayaan), hal
81
[5] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang
Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009.
[6] Dr. Sayid Muhammad Nuh, Dakwah Fardiyah, (Solo : Era
Adicitra Intermedia, 2011)
[7] Hariqo Wibawa Satria, Skripsi : Pemikiran Lafran Pane tentang
Intelektual Muslim Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, 2009.
69
[8] Jostein Gaarder, Dunia Sophie-Sebuah Novel Filsafat,
(Bandung : Mizan, 2006)
[9] Dalam buku Merayakan Kebebasan Beragama-Bunga Rampai
70 Tahun Djohan Effendi, bagian Agama, Teologi, dan Demokrasi,
dengan judul ‘Mengenai Roh Kehidupan Demokrasi’ oleh Prof. Dr.
Olaf Schumann, hal 691
[10] M. Asrul Pattimahu, lihat
http://rullypattimahu.wordpress.com/
Istilah ini mengutip essai yang ditulis oleh Prio Pramono dalam
Kolom Edisi 004, Agustus 2011 yang berjudul : Pseudo-Toleransi :
Metode Dakwah Al-Qardlawi Dan Masa Depan Pluralisme Kita
[11] Badan Pengelola Latihan Kader 1 HMI Cabang Sukoharjo
2012 dalam Tafsir Independensi Himpunan Mahasiswa Islam, hal
73
70
Korupsi dan Budaya Jawa
Budaya Korupsi dari Masa ke Masa
“Korupsi di negeri kita bukanlah akibat dari pikiran yang
korup, melainkan akibat dari tekanan ekonomi. . . Pada akhirnya,
ketika pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian pesat dan dan
menciptakan taraf kehidupan yang lebih baik dalam segala
bidang, para pegawai pemerintahan akan menerima gaji yang
memadai dan tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan
korupsi.”- Soeharto, mantan Presiden RI
Tidaklah mengherankan bahwa di era kepemimpinan
Suharto, Indonesia menyabet reputasi sebagai salah satu negara
terkorup di dunia. Dari pernyataanya yang seolah acuh tak acuh
terhadap korupsi seperti yang saya kutip di awal tulisan ini,
kiranya bisa memberikan gambaran bahwa persoalan suap, uang
terima kasih, hadiah yang bernilai ratusan juta pada klien atau
bawahan, anggota keluarga, atau pejabat yang loyal terhadap
kekuasaan pemerintah hanyalah persoalan kecil yang dalam
politik ‘diperbolehkan’.
Memang, bagi sebagian besar masyarakat kita, pemberian
hadiah oleh seseorang terhadap pemimpin atau rekan bisnis
bukanlah suatu perkara yang bisa dikategorikan dalam tindak
pidana korupsi. Memberikan jabatan pada keluarga maupun
kerabat dekat juga bukan merupakan bentuk tindakan nepotis.
Hal ini tentu bisa dijelaskan, mengingat bahwa jika kita ingin
menjustifikasi tindakan korupsi sebagai ‘korupsi’ kita harus
71
melihatnya berdasarkan pada perspektif budaya yang menjadi
pemahaman yang menghegemoni bawah sadar manusianya.
Beberapa praktik yang saat ini kita sebut sebagai korupsi
sebenarnya dapat kita temukan dilaksanakan di kerajaan-
kerajaan di Pulau Jawa pada masa lampau. Para raja Jawa di
masa lalu berupaya mendapat jaminan loyalitas dari para elite
politik di kerajaannya dengan menempatkan orang-orang yang
setia terhadapnya pada posisi-posisi tertentu dengan pemberian
gelar khusus agar pada saatnya nanti memberikan
kebermanfaatan bagi posisi sang Raja. Dan pemanfaatan
kekuasaan untuk hal-hal semacam itu tidak dikategorikan
sebagai nepotisme. Sebagai akibatnya, para bangsawan yang
diangkat oleh sang Raja pun secara berkala memberikan upeti
yang berfungsi sebagai simbol loyalitas dan ‘balas jasa’ kepada
sang Raja. Inilah yang seolah membenarkan praktik tahu sama
tahu, yang diadopsi untuk membenarkan praktik-praktik serupa
di era sekarang.
Konsepsi kepemimpinan Jawa yang menempatkan
kekuasaan Raja dalam hierarkis kasta yang kaku dan memberikan
pandangan bahwa jabatan sebagai Raja memiliki kekuasaan
absolut sehingga rakyat harus nrimo ing pandum pada segala
bentuk kebijakan yang diambil oleh raja yang tak pernah salah
telah memberi dampak kuatnya tradisi patronasi dalam gaya
kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik
dari masa ke masa. Patronasi ini terlembaga dalam sistem
patrimonial yang berhubungan dengan corak politik dimana
kekuasaan penguasa diperoleh terutama dari kemampuannya
mempertahankan loyalitas dari elite politik yang menyokong
kepemimpinannya dengan jalan memuaskan keinganan mereka.
72
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika penjajah datang
ke Nusantara, praktik aristokrasi tradisional pun mulai diterapkan
dengan mempekerjakan para pamong praja/ penguasa pribumi
oleh pemerintah kolonial. Sehingga, otoritas para penguasa
pribumi lebih tergantung pada koloni penjajah, bukan atas
legitimasi mereka sebagai penguasa sah. Budaya Indonesia
secara substantif pun banyak dibentuk oleh kebudayaan Jawa,
apalagi sejarah kepemimpinan republik ini secara periodik
menunjukan dominasi kepemimpinan para pribumi Jawa. Lihat
saja pada kepemimpinan Soekarno, Soeharto, Megawati, Gus
Dur, dan SBY yang memiliki latar belakang budaya Jawa yang
relatif bisa kita lihat dalam corak kepemimpinannya.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa korupsi
akan selalu menimbulkan pengaruh politis yang membawa pada
kejatuhan sebuah sistem. Pada abad ke 18, praktik bisnis korup
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkrutan VOC.
Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan kebijakan nasionalisasi
asset-aset asing menjadi milik Negara membawa dampak
mewabahnya praktik korupsi besar-besaran, seiring dengan
inflasi anggaran belanja hingga membawa kejatuhannya antara
tahun 1965-1966. Pun, demikian terulang pada Soeharto tiga
dekade setelahnya dengan praktik korupsi dalam birokrasi
pemerintahannya. Kini, di era reformasi, korupsi bukannya habis,
malah semakin berkembang dengan meluasnya otonomi daerah
yang menyebar pada tiap elemen lembaga kekuasaan negara.
Kini, yang menjadi pertanyaan adalah, akankah
pemerintahan yang kini sedang memegang tampuk kekuasaan
akan kembali digulingkan karena kasus korupsi yang juga
semakin merajalela? Jika pun hal itu terjadi, bisakah kita
73
menjamin bahwa praktik KKN akan habis sepenuhnya dari bumi
Nusantara ini?
Masihkah ada Harapan?
Sekali lagi, kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan
upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya
telah dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran
teologi korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi
setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta
pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi.
Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.
Gagasan mengenai good governance yang bersih dari
praktik KKN pun mulai terdengar sumbang untuk digaungkan,
oleh sebab para elite yang selalu berbicara mengenai
pemerintahan yang bersih pun telah menodainya ketika
menjabat dalam tatanan struktural di pemerintahan. Ironis,
memang. Kalaupun sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh
sekelompol warga masyarakat, baik itu ormas, organisasi
kemahasiswaan, maupun LSM, hasilnya belum begitu terlihat
kalau tak bisa dibilang nihil.
Tokoh dan lembaga keagamaan Islam khususnya,
haruslah memiliki common platform dalam gerakan bersama
melawan korupsi. Bukan sekedar menyuarakan jargon retoris
semata! Jikalah patronasi hierarkis budaya Jawa dalam gaya
kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik
dari masa ke masa ini masih relevan di era sekarang, maka
hierarki institusi yang berbasis keagamaan entah itu parpol,
ormas, LSM dan lain sebaginya mampu melakukan pengawasan
74
pada semua level organisasi, dari atas hingga ke bawah sehingga
transparansi dapat terwujud pasti.
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang
dalam prosesi kelahirannya merupakan salah satu pengusung
reformasi yang menuntut terselenggaranya pemerintahan yang
bebas dari korupsi dengan penegakkan supremasi hukum
memiliki tanggungjawab moral yang besar dalam upaya
pemberantasan korupsi.
Dengan paham keagamaan yang modern dan puritan,
massa yang banyak, serta basis pengkaderan yang relatif mapan,
maka KAMMI semestinya bisa memainkan peran untuk
menggaungkan gerakan anti korupsi yang lebih menyentuh pada
tatanan praksis. Sebagai pressure group, KAMMI semestinya
secara ‘cantik’ mampu memainkan perannya dengan membawa
suara moral keagamaan dalam melakukan kontrol sosial
terutama pada pimpinan parpol dan organisasi massa khususnya
yang memiliki basis keislaman untuk membuktikan bahwa
organisasi dan partainya bersih dari KKN.
Namun, sejatinya komitmen KAMMI dalam
pemberantasan korupsi harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ bi
nafsika). Sejauh mana komitmen itu terpegang teguh manakala
yang terlibat adalah salah satu kader, simpatisan, petinggi,
alumni, atau penyokong dana yang menghidupi organisasinya.
Lebih lanjut, beranikah kita bergerak secara sadar dan objektif
menyikapi kasus-kasus yang menimpa mereka sebagaimana kita
asik masyuk menilai organisasi/parpol yang juga terlibat dalam
skandal kasus korupsi. Ataukah kita malah terjebak dalam praktik
budaya para Raja Jawa yang melembagakan tradisi patronasi
75
sebab kitalah para punggawa yang ingin memberi balas jasa
pada ‘sang Raja’?
Bisakah kita bersikap dan bertindak dewasa?
76
Jelang Satu Periode
Tak terasa, satu periode kepengurusan KAMMI Shoyyub
UNS periode 2013-2014 akan segera usai. Begitu banyak cerita
yang terbingkai dalam kenangan. Seperti sebuah film pendek,
kenangan itu menyajikan abstarksi gambaran di benakku, satu
per satu. Dimulai saat pelantikan kami di gladak, di bawah
patung Slamet Riyadi, ikrarkan dengan teguh janji untuk terus
berjuang dan menegakkan dien ini.
Saat itu, sebetulnya aku masih ragu, “Sungguhkah ini jalan
yang akan kupilih?”
Mataku mencari sosok kakakku di Himpunan yang juga
turut hadir dalam pelantikan. Pagi sebelum pelantikan itu ia
mengirim sebuah pesan pendek, “Semoga bertahan.” Satu. Dua.
Tiga. Mata kami sempat bertemu sesaat, meski segera ia
mengalihkan pandangan dariku.
Lalu, dimulailah hari-hari panjang di kepengurusan baru.
Sepi. Itulah gambaran dari komisariat kami, sebuah rumah
kontrakkan di dekat kuburan Mojo. Warnanya hijau, di depannya
berjejer bendera merah putih dan bendera KAMMI, ada
beberapa tulisan yang digantung di dinding, mengguratkan
semangat perjuangan dalam sepi. Menujunya, mesti diingatkan
dengan aroma kematian yang menguar dari ratusan makam
yang berjejer di sepanjang jalan.
Syuro-syuro kami dilaksanakan disana, pun dengan
agenda diskusi dwi-pekanan yang juga sepi peminat. Tak apa.
77
Memang sepi itu indah, nikmat, manis. Jika di tempat lain
bergugurannya pengurus adalah karena faktor bosan dan lelah,
bergugurannya jumlah pengurus dalam kepengurusan kami
adalah cerita soal pembagian peran dan tanggung jawab lebih
untuk berkontribusi. Ya, begitulah kami.
Musyawarah komisariat (Muskom) KAMMI Komisariat
Shalahuddin Al Ayyubi UNS sebentar lagi akan diadakan.
Semaraknya berusaha untuk dikobarkan oleh kesekjenan meski
tak mendapat tanggapan yang begitu antusias dari kadernya.
Obrolan-obrolan tentang bagaimana komsat akan dibawa ke
depan menjadi menarik bagi beberapa kader disaat beberapa
lainnya bicara soal suksesi kepemimpinan. Namun, tak jarang
beberapa lagi yang lain tak tau apa itu muskom. Tak apa.
Aku pun risau, mau dibawa kemana KAMMI periode ini?
Akankah sama seperti sebelumnya? Ataukah hilangkan
segalanya dan mulai mengkonsepsi dari awal lagi?
Seorang kakak pernah mengutip (dan memodifikasi)
kalimat Hasan Al Banna dalam Risalah Pegerakan,
mengirimkannya padaku dalam sebuah email panjang saat
kubilang padanya aku sudah terlibat aktif sebagai staff kaderisasi
lembaga dakwah di fakultasku, dan aku mengamininya sampai
hari ini.
Mulailah dari titik dimana generasi pendahulu berhenti.
Janganlah memutus pencapaian yang telah diraih. Janganlah
hancurkan komponen-komponen yang telah dibangun. Janganlah
mendongkel pondasi yang telah diletakkan, dan janganlah
memporak-porandakan apa yang telah dirakit.
78
Kalau kau tak menambahkan pada tingggalan para
pendahulu yang baik, paling tidak kau bisa bertahan dengan
produk yang telah ada dan menjaganya sekuat tenaga.
Kalau kau tidak mengikuti jejak pendahulu dengan
menambah tingkat bangunan lalu melangkah ke tujuan yang
diinginkan, paling tidak serahkanlah tongkat estafet perjuangan
kepada yang lain. Begitu seterusnya. Sampai cita-cita dan impian
dapat terwujud.
Kekhawatiran ini semakin menjadi. Aku tenggelam dalam
perenungan yang panjang namun belum ada sedikit pun hal
yang terlintas dalam benakku. Kupikir, akan baik kalau pada
periode ini KAMMI Shoyyub UNS berfokus pada pengkaderan
dan pembinaan. Misal dengan melakukan sebuah lokakarya
kaderisasi demi tercapainya kaderisasi yang terintegrasi di
semua bidang. Mungkin bedah IJDK bisa menjadi alternatif
pilihan, karena pada dasarnya penerjemahan visi dan orientasi
kaderisasi KAMMI tak akan pernah lepas dari pemenuhan IJDK
itu sendiri.
Varian diskusi juga harus dirombak ulang. Bukan hanya
berfokus pada apa yang kader butuhkan, tapi apa yang mereka
inginkan. Untuk yang satu ini, memang aku agak konservatif.
Kupikir, banyak kader yang menginginkan suplemen soal
kepemimpinan kampus dengan menghadirkan tokoh-tokoh
kampus yang telah besar namanya. Ini bagus. Tapi, sejatinya aku
menginginkan gerakan eksternal tak terlalu berfokus ke ranah
itu, lebih ingin kembali menekuni buku-buku, berdialog,
berdiskusi, membentuk mind-set yang utuh sebagai bagian dari
tanggung jawab intelektualnya.
79
Aku telah melewati perjalanan yang cukup panjang untuk
menemukan orientasi perjuanganku, sesuatu yang membuatku
menjadi manusia lagi, dan berada di KAMMI adalah pilihan sadar
yang kubuat. Tak banyak yang bisa kuberi sejauh ini. Tapi,
memperjuangkan idealisme di tengah idealisme-idealisme yang
lain, berani memberikan inisiatif ditengah inisiatif-inisiatif kuat
yang lain, serta menemukan jalanku bertemu dengan Tuhanku
adalah sebuah keindahan yang membuatku merasakan
keutuhan diri lagi.
“Semoga bertahan.
80
Mencermati Pelabelan Kultural-Struktural dalam
Tubuh KAMMI
Labelisasi KAMMI (Struktural-Kultural)
Sejak perdebatan mengenai lahirnya sebuah gerakan
dalam tubuh KAMMI yang melabeli dirinya sebagai Gerakan
Kultural bergulir, adu argumen yang terjadi antar dua kubu
menjadi bahan kajian yang menarik untuk dibahas. Sebab, disini
kedua belah pihak yang sama-sama menolak pengkotak-kotakan
gerakan, justru mengkotaki terlebih dahulu dirinya dengan label
Struktural-Kultural di ranah perdebatan literal.
Bukannya mempertanyakan apa fungsi label struktural-
kultural ini. Ironisnya, kader KAMMI yang berada di luar arena
perdebatan literal itu malah sibuk berspekulasi dengan meng-
homolog-kan label Struktural-Kultural dengan label halal-haram.
Mungkin, karena budaya verbalisme yang telah mengurat nadi,
mereka yang tak tahu duduk persoalan pun turut mengamini
labeling tersebut, sehingga tak pelak isu yang menyatakan
bahwa gerakan kultural adalah sebuah gerakan sempalan,
gerakan manuver, yang digagas oleh beberapa kader dalam
upaya melakukan destruksi terhadap warna gerakan Ikhwanul
Muslimin dan patronasinya dengan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) pun menguar ke permukaan. Menjadikan gerakan Kultural
yang baru hadir tersebut menjadi musuh bersama bagi seluruh
kader KAMMI, baik yang masuk dalam struktur pengurus
maupun mereka yang hanya berafiliasi.
81
Nah, disinilah poin pertama yang ingin saya ungkapkan.
Homogenisasi label struktural-kultural dengan label halal-haram
ini sejatinya telah merancukan kerangka berfikir kita untuk
melihat segala sesuatunya secara objektif. Padahal, inti dari
persoalan bukanlah pada pelabelan itu, akan tetapi pada
argumentasi rasional yang akan menopang dan mengarahkan
pada posisi teoritik yang diringkaskan ke arah frasa pelabelan
yang dimaksud. Maka, sebelum melangkah ke pembahasan
selanjutnya, mari kita jernihkan terlebih dahulu persepsi kita
mengenai penggunaan kedua term ini.
Kultural, Menjawab ‘Inkusifisme Lip Service’ Struktural
Fenomena makin menggeliatnya gerakan kultural di
media sosial, baik di facebook (Group KAMMI Lintas Generasi dan
akun facebook Diskusi Kultural) maupun website
(kammikultural.org) yang berupaya membedah kembali identitas
dan ideologi KAMMI melalui kajian keilmuan yang rasional dan
empiris, serta menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan
jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta
sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual sudah
saatnya mendapat apresiasi dari rekan-rekan KAMMI di seluruh
Indonesia, bukannya mendapat label haram, ‘barisan sakit hati’,
pemberontak, sempalan, maupun ungkapan steriotipe lainnya.
Sadar tidak sadar, diakui maupun tidak, semaraknya
group dan website tersebut menandakan bahwa pada dasarnya
Kultural telah diterima untuk mengisi ruang-ruang dialektis serta
pertarungan wacana di tubuh KAMMI yang selama ini identik
dengan mitos statis, homogen, dan terkesan eksklusif. Tentu saja
82
hal ini merupakan langkah awal yang sangat positif dalam
membangun pencerdasan bersama menuju kemajuan dan
kemandirian organisasi yang egaliter di setiap level struktur.
Bahwa untuk bisa terlibat dalam dialog yang bermakna
dengan gerakan lainnya, KAMMI harus memulainya dengan
membuka dialog ke dalam dirinya sendiri. Ini hanya dapat terjadi
jika KAMMI belajar menerima perbedaan-perbedaan internal
dengan menerima secara bijak kehadiran suara-suara baru yang
bisa jadi berbeda dari mainstream kebanyakan.
Selama ini, kita seringkali acuh tak acuh (atau tidak
sadar?) apabila ideologi gerakan KAMMI yang tertuang dalam
paradigma, kredo, dan prinsip gerakan digunakan secara
apologis, yakni dengan memilih teks yang pas untuk
membebaskan diri dari inkonsistensi (atau ‘kemunafikan’) yang
terjadi dalam praktek. Malah, tanpa pikir panjang menjadikannya
sebagai tameng guna menutup diri demi menjaga kemurnian
ajaran. Padahal, ide tetaplah ide, akan selamanya bersifat ekletik.
Diperlukan pematangan meskipun harus mengkonfrontasikannya
dengan ide dan gagasan lain dalam percaturan wacana.
Memang, sebagai organisasi yang memiliki pucuk
pimpinan dan terorganisasi secara terpusat kader KAMMI
berharap bahwa struktur-lah yang mengambil peran
menentukan identitas organisasi untuk kemudian diartikulasikan
dalam perjuangan politik dan ideologinya, bukannya oleh
segelintir orang yang berada di tataran grassroot. Akan tetapi,
seringkali upaya-upaya penyadaran identitas itu tersandera oleh
kepentingan-kepentingan lain yang menyuntikkan pengaruhnya
ke dalam struktur hingga menyebabkan KAMMI terjebak pada
83
dinamika parlementer dan politik an sich serta keberpihakan
dalam penyikapan isu yang menuntut kesatuan bulat suara untuk
menghimpun massa. Heterogenitas dinilai akan menghancurkan
soliditas dan harus diberangus sampai ke akar-akarnya.
Otomatis, suara-suara sub-altern itu pun tenggelam dan tak lagi
terdengar, inklusifitas akan keberagaman pun seolah menjadi lip
service semata, inklusifitas yang malas dan cenderung parsial.
Maka, langkah yang paling masuk akal adalah membuat
agensi di luar struktur yang merumuskan identitas kolektif dan
artikulasi perjuangan organisasi dalam rangka merealisasikan
tanggungjawab moralnya sebagai kader KAMMI yang otonom
dan independen, tanpa ada tendensi untuk merebut kekuasaan
struktur dalam upaya merealisasikannya secara revolusioner.
Mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami
Selama ini, kita seolah menunjukkan pada diri kita sendiri
dan yang lain potret wajah KAMMI yang tunggal dan homogen,
padahal kita sadari betul bahwa ada begitu banyak suara dan
wajah beragam yang membentuk potret KAMMI secara utuh.
Pengakuan terhadap keberagaman ini tak hanya akan
memperindah perwajahan KAMMI, tapi juga membuat kita lebih
jujur. Dan kiranya, kalimat Mewujudkan bangsa dan negara
Indonesia yang Islami, sebagai visi KAMMI yang tertuang dalam
konstitusi bisa menjadi kalimat perekat kebersamaan yang
mempersatukan kolektivitas perjuangan kader KAMMI di seluruh
penjuru tanah air, baik yang melabeli dirinya struktural maupun
kultural.
84
Dalam pidato monumental Lahirnja Pantjasila pada Juni
1945, Bung Karno mengatakan, “Kita mendirikan negara
Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat
semua! Bukan Kristen buat Indonesia, golongan Islam buat
Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Mungkin untuk sekali lagi, kita harus memaknai bahwa
perjuangan yang heroik lagi panjang ini bukanlah untuk
kepentingan kelompok, apalagi hanya perkara struktural-kultural,
akan tetapi merupakan suatu komitmen pengabdian yang murni
dan tulus untuk merumuskan yang terbaik bagi semua, bagi
KAMMI, bagi Indonesia, bagi ummah.
Semua buat semua!
Sekalipun hanya daur ulang ide dan kesimpulan lama,
semoga tulisan ini bermanfaat,
Akhirul kalam, astaghfirullah hal’adzim.
85
Belajar dari Kunjungan ke KAMMI UNY
Senin, 11 Februari lalu saya dan rekan-rekan dari Pengurus
Komisariat KAMMI Shoyyub UNS melakukan kunjungan ke
KAMMI Komsat UNY (yang mereka sebut Gaza University) untuk
bersilaturrahim dan sharing berbagai hal yang menjadi
kegelisahan maupun tawaran solusi di masa yang akan datang
mengenai keberjalanan organisasi ini, minimal di tingkat
komisariat.
Hal pertama yang kami bahas adalah mengenai struktur
organisasi dan keberjalanannya. KAMMI UNY di komandani oleh
Mas Ngadino. Secara instruktif di bawah ketua ada dua
Sekretaris Umum dengan dua departemen di bawahnya, yakni
BPO (Pengembangan Organisasi) dan KSK (Kesekretariatan) serta
Bendum dengan BUMK (Badan Usaha Milik KAMMI) yang
dimilikinya. Sementara secara koordinatif instruktif ketua umum
KAMMI UNY mengomandani lima bidang, yakni Kaderisasi,
Humas, Kebijakan Publik, Sosial Masyarakat, dan DPW
(Departemen Pengembangan Wilayah).
Dari kunjungan kali ini saya mendapatkan pengertian baru
mengenai permasalahan kolektif yang dimiliki KAMMI baik di
komisariat UNS maupun UNY.
Pertama, mengenai dilarangnya organisasi eksternal di
internal kampus dan dualitas peran kader sabagai kader KAMMI
dan kader lembaga internal kampus. Pembahasan panjang
terkait hal ini lebih cenderung dikaitkan dengan posisi kader
sendiri yang semestinya menjadikan KAMMI sebagai wajihah dan
organisasi Internal sebagai wasilah, bukan sebaliknya.
86
Kedua, mengenai sasaran kaderisasi. Selama ini, kita harus
mengakui bahwa kaderisasi KAMMI belum mampu menghasilkan
kader genuine, kader yang asli ‘cetakan’ KAMMI. Rata-rata
mereka datang dari objek dakwah yang saat SMA sudah ngaji,
mereka yang aktif terlebih dahulu di LDK maupun AAI, bukan
karena KAMMI memang berhasil mengkader. Efeknya, apabila
kita berbicara soal loyalitas, maka KAMMI selalu dijadikan rumah
kedua bagi kader.
Ketiga, ideologisasi. KAMMI harusnya mampu mencetak
kader-kader pemimpin seperti yang tertuang dalam visinya. Hal
ini membutuhkan penanganan ekstra terlebih jika kita ingin
menjadikan KAMMI sebagai lumbung kader yang mampu
mengorbitkan banyak kader (meminjam istilah Mas Panca). Tentu
ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas kader,
sehingga aktivis KAMMI selain mapan secara intelektual dan
mentalitas, juga matang secara loyalitas.
Keempat, penetrasi nilai-nilai keKAMMIan dalam kampus.
Dari pembahasan dapat saya simpulkan bahwa KAMMI UNS
menggunakan cara-cara kultural, sedang UNY dengan cara
struktural.
Kelima, fungsi taurits. Karakter KAMMI sebagai organisasi
pengkaderan dan organisasi amal menuntut KAMMI memiliki
platform dalam gerakannya. Akan tetapi, selama ini kita belum
memiliki sebuah platform yang bisa diwariskan dan dievaluasi
secara periodik sehingga keberjalanan kepengurusan ‘seolah’
hanya mengulang lagi dari periode sebelumnya. Ini patut
menjadi evaluasi bersama. Hal yang harus diupayakan segera
adalah membuat grand desain KAMMI di masing-masing
87
komisariat agar tidak terjadi diskontinuitas program tanpa ada
taurits, selain itu pengejawantahan renstra KAMMI secara
nasional tahun 2014-2022 pun patut menjadi perhatian bersama.
Selain berbagai hal diatas, ada beberapa hal lain yang kami
bahas. Akan tetapi, agaknya lebih etis untuk dibahas dalam
forum tersendiri.
88
Membingkai Potret Pengkaderan KAMMI: Sebuah
Harapan Mencetak Kaderisasi Mandiri dalam
Tubuh KAMMI
Refleksi Sederhana
Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kaderisasi dan
pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan.
Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis,
berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka
parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana
keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai
harokatu tajnid menuntut konsekuensi logis akan kebutuhan
proses pembinaan yang berjalan secara sistemik dan
berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama
organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.
Namun, hal yang bertolak belakang dengan idealita itu
terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia
mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat
pusat hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa
penganganan yang berarti. Setiap pleno/evaluasi diadakan di
komisariat maupun tingkat daerah, kritik terhadap kaderisasi
selalu menguar ke permukaan, gagasan dan terobosan baru
diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi.
Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa
perubahan berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara,
mandul dalam praksis di lapangan.
Beberapa kali saya sempatkan membahas persoalan
kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban seragam
yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni
89
kegagalan KAMMI melakukan proses kaderisasi mandiri.
Memang, tak bisa dipungkiri, relasi kekuasaan dan politik praktis
telah membawa KAMMI dalam dilema berkepanjangan dalam
merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya berimplikasi pada
aksiologis gerak KAMMI secara taktis di lapangan.
KAMMI sebagai organisasi pengkaderan memiliki
instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj Kaderisasi
1433 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah
terbinanya kader KAMMI yang secara konseptual membentuk
Muslim Negarawan, yang pada gilirannya mampu memimpin di
berbagai sektor kehidupan dalam fase mihwar daulah dalam
kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi menunjang hal
tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki kompetensi
wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak,
ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan,
kepakaran dan profesionalitas, kemampuan sosial politik,
pergerakan dan kepemimpinan, serta pengembangan diri.
Dengan segala macam tata ukur tersebut, saya sering
membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada
haikatnya adalah manusia super yang tanpa cela dan cacat,
sebuah terminologi alay yang justru menjadi kebanggaan
organisasi bernama KAMMI. Tak masalah. Meski paradoks
dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label ini
kemana-mana.
Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua sistem
pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada kader yang
sama, dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu
membawa problema dilematis bagi KAMMI sebagai organisasi
pergerakan mahasiswa yang independen. Di satu sisi, ia ingin
melaksanakan secara total aplikasi manhaj KAMMI yang telah
disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki posisi sebagai
wajihah dakwah jama’ah Tarbiyah yang juga memberlakukan
manhaj-nya sendiri.
90
Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam pembenaran
bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan berupa
tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jama’ah, jadi buat
apa lagi KAMMI kembali mengadakan? Bukankah itu
pemborosan waktu, tenaga, dan biaya?
Awalnya, saya mengamini kalimat diatas. Namun,
kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam diri
saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum
mandiri secara ideologi. Apakah sama karakteristik gerak sebuah
organisasi mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir
gerakan mahasiswa dengan organisasi politik-keagamaan yang
menekankan pada politik praktis?
Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung menjawab
pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya
sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas
KAMMI sebagai organisasi mahasiswa independen dan
hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya,
pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas sebelum seorang
kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti
Dauroh Marhalah1.
Menyoal Dauroh Marhalah1
Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H, ada
lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh Marhalah1.
Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam,
Problematika Umat Islam, Islam Pemuda dan Perubahan Sosial,
serta Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI1. Selain lima materi
wajib ini, pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS
1 di UNS, materi ini diberi nama Ke-KAMMI-an
91
menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi,
Pengembangan Diri, serta setting dan Simulasi Aksi.
Materi tersebut semestinya diberikan oleh Instruktur yang
telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps Instruktur Daerah
Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu
maupun pengelola Dauroh. Materi pertama dan kedua biasanya
disampaikan oleh ustadz terpilih, materi ketiga dan selanjutnya
oleh instruktur (kader KAMMI yang berkompeten), sedang materi
Pengembangan Diri yang baru sekali diuji cobakan dalam
Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer
dari luar kader KAMMI.
Sangat disayangkan bahwa KIDS belum menjalankan
perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI yang
secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi
KAMMI Jawa Tengah. KIDS juga belum secara konsisten
melakukan pengelolaan proses pendidikan dan pelatihan kader
agar mampu menghasilkan kader yang berkualitas secara moral,
spiritual, maupun intelektual. Dalih yang sekali lagi muncul
adalah: tujuan menghasilkan kader yang demikian sudah
diemban oleh manhaj jama’ah, melakukan hal yang sama persis
merupakan pemborosan!
Namun, saya tidak ingin memperlebar pembahasan
mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut. Disini,
saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu
gerbang pertama bagi seorang mahasiswa memasuki organisasi
bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai dengan
diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis bagi
mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh
Marhalah1. Dalam pengelolaan Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS
pada Oktober 2013, peserta diwajibkan mengikuti screening
92
berupa tes tertulis dan wawancara. Selain mengetahui data diri
peserta, pengelola juga memberikan soal sebagai tes tertulis. Tes
berupa soal essay yang dikerjakan secara individu dan open
source. Berikut soal tes tersebut:
1. Sejauh mana anda mengetahui Aqidah
Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan
sehari-hari?
2. Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI?
Mengapa anda ikut DM1?
3. Menurut anda permasalahan apa yang paling
krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan
untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Selain tes tertulis, pengelola juga melakukan wawancara
dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta mengenai
kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di
Indonesia, kondisi sosio-politik-budaya Negara Indonesia,
pemahaman peserta terhadap ajaran Islam, serta
pengetahuannya mengenai KAMMI dan alasan peserta
mengikuti Dauroh Marhalah 1.
1. Peserta lurus aqidahnya, tidak
percaya tahayul, dll.
2. Peserta mengetahui semua gerakan
mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui
perbedaan masing-masing.
3. Peserta memahami kondisi di
Indonesia.
4. Mengetahui pemahaman peserta
terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).
93
5. Mengetahui tentang KAMMI dan tahu
alasan mengapa ikut DM1.
Secara teknis, saya tidak begitu mempersoalkan
mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa
janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai
pengetahuan peserta mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia.
Menurut saya pribadi, tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan
dalam pelaksanaan wawancara (tanpa menafikan hal yang lain)
adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang telah tercakup dalam
tes tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan 4, (2)
Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal
tertulis poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan
Kemahasiswaan yang tercakup dalam lembar biodata peserta.
Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang
KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya KAMMI, juga
mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta
Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya singgung di muka,
dualitas kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi
maupun yang dialami oleh kader KAMMI sendiri semestinya
membuat kita melakukan refleksi kritis terhadap segmentasi
peserta DM1.
Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1 akan memberikan
jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti DM1. Ada yang
menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi
kader Tarbiyah, ada yang karena desakan/ paksaan murobbi, ada
yang hanya sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain
sebagainya. Motif awal ini semestinya menjadi data berharga
94
bagi pengelola dalam melakukan proses pengelolaan data base
calon peserta DM1.
Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang
berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki kepahaman saklek
bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader
Tarbiyah membutuhkan penanganan yang berbeda dengan
peserta lain yang menganggap bahwa KAMMI adalah sebuah
entitas pergerakan mahasiswa ekstra kampus yang independen
dan bebas kepentingan golongan/partai manapun.
Ini merupakan tantangan awal yang harus dijawab oleh
pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan
selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan
onggokan kertas belaka, atau menjadi instrumen pendukung
vital dalam pengelolaan dauroh yang sebenarnya.
Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska screening
dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat essay
dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal
problematika umat, sedang buku bacaan wajib di KAMMI UNS
adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari
Gerakan ke Negara. Evaluasi dari penugasan ini, sekali lagi, hanya
menjadi onggokan kertas yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa
essay tersebut merupakan plagiasi dari tulisan yang dengan
mudah didapat di internet, tanpa penghargaan bahwa tulisan
tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat
yang luar biasa. Buku referensi yang diwajibkan pun hanya
menjadi bacaan yang mengawang di angan-angan, tak ada
pembacaan kritis mengenai buku-buku tersebut. Ya, kita baru
sampai sebatas itu.
95
Pasca pengelola melakukan screening, selanjutnya
diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang dilaksanakan
sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya
adalah mengenalkan KAMMI pada mahasiswa sekaligus
meyakinkan mereka bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1
merupakan hal yang benar, tepat, dan memang seharusnya
mereka lakukan. Tidak ada kritik mendasar mengenai
pengelolaan Pra-DM1 sampai sejauh ini oleh saya.
Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang selalu dirayakan
dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud di depan
mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias
(mungkin ditambah ekspektasi berlebih). Hal ini membuat
perasaan saya sebagai OC dalam empat Dauroh Marhalah 1
terakhir di UNS berdebar. Apakah KAMMI mampu menjawab
ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di hari
pertama Dauroh? Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka
dapat karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja?
Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak
ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya bahwa
DM1 itu payah dan begitu-begitu saja. Mungkinkah pengelolaan
DM1 selama ini memang luar bisa sempurna, atau kader KAMMI
yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas dasar
ikut-ikutan?
Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1 adalah agenda
yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI. Disinilah,
untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari
mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan, paradigma, ideologi KAMMI
dan bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang
berkembang di masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI
96
mengejawantahkan nilai-nilai syahadatain dan syumuliyatul Islam
dalam langkah gerak organisasinya.
Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic Training) Himpunan
Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen mengenai
bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa
menafikan bahwa kultur yang dibangun di HMI tak selalu tepat
dan relevan untuk diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun
memiliki karakter khas yang harus selalu dipertahankan. Namun
demikian, penulis berusaha mensarikan kritik mendasar terhadap
pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI.
Pertama, Segi Peserta
Sesuai dengan Panduan Kerja Nasional yang
digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan
yang secara nasional dijadikan parameter dalam mengukur
keberhasilan kaderisasi. Efeknya, di tingkat komisariat pengejaran
kuantitas menjadi hal yang otomatis dominan terasa. Dalam
empat DM1 yang penulis ketahui di UNS, jumlah peserta DM1
selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang sesi selalu
mengambil pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola yang
efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun sama
kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila
jumlah peserta membludak, tak akan jauh beda dengan seminar.
Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan penanganan
serius. Apabila instruktur memang menginginkan keidealan dan
kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi
jumlah peserta atau membuat kelas-kelas tersendiri yang
maksimal hanya diperuntukkan untuk 20-25 orang.
97
Kedua, Metode Penyampaian
Metode penyampaian materi pun terkesan indoktrinatif.
Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan pengantar,
waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan,
peserta berbicara saat sesi tanya jawab. Ini menyebabkan peserta
sebatas tahu dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan
hal tersebut dalam sebuah metodologi pikir yang utuh dan
integral.
Dampaknya, peserta akan gagap menarik benang merah
yang menghubungkan antara satu materi ke materi lainnya,
sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah
kepahaman yang parsial, tidak utuh dan padu.
Ketiga, Gagalnya Ideologisasi
Yang terparah dari semua permasalahan yang saya
kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1
mencetak kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran
wacana, utamanya terkait dengan tafsir paradigma gerakan
KAMMI. Dauroh Marhalah 1 mestinya menjadi gerbang utama
bagi kader untuk mengenal KAMMI, akan tetapi tidak ada materi
ideologisasi yang cukup relevan didalamnya. Peserta hanya
dituntut untuk tahu dan paham dengan sejarah gerakan KAMMI.
Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif
mengenai ideologi KAMMI.
Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam,
materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar), Sejarah
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI
(Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Struktur
98
Organisasi, Pedoman Atribut, Memori Penjelasan tentang Islam
sebagai Azas HMI, Tafsir Tujuan serta Tafsir Independensi),
kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada saat
dipaparkan mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai
Dasar Perjuangan.
Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang mencakup
banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter, unsur-
unsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi
penyampaian materi yang sama dengan materi lainnya. Menurut
hemat saya, porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang,
karena disinilah kader bisa mengkontruksi pemikirannya sebagai
kader KAMMI yang memiliki identitas jelas, jelas dalam platform
gerakan maupun karakter pribadi.
Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI
Adalah hal yang sangat wajar, manakala penulis
berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks materi
DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus
merupakan perangkat utama dalam pelaksanaan Dauroh
Marhalah 1. Setidaknya dengan modul tersebut, kita berharap
peserta memiliki kesiapan dalam menghadapi materi yang akan
diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis sebelum materi,
artinya ia tidak datang dari suatu ruang kosong, melainkan dari
argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun pengalaman
empiris yang pernah dilaluinya.
Modul tersebut akan memuat materi Dauroh Marhalah 1
yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi KAMMI atau
tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain
dan syumuliyatul Islam akan menjadi bab awal di modul ini
99
dengan judul Tafsir Paradigma Islam KAMMI. Disini, KAMMI akan
melakukan penafsiran secara qur’ani dengan dilengkapi pisau
analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh mengenai
bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islam menjadi muara
dari semangat penggerak yang dijiwai kader KAMMI dalam
setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam
melakukan perubahan sosial.
Materi ketiga mengenai Problematika Umat Islam tidak
akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi wajib diskusi.
Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat
screening diberikan pada kader KAMMI. Tugas tersebut berupa
analisa kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa
berupa isu kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena
sosial yang peserta lihat di kesehariannya. Disini, instruktur dapat
mulai memahami bagaimana peserta memposisikan dirinya
dalam dinamika kelompok, pola pikir, serta pandangannya akan
hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya, ini akan menjadi data
awal dalam pengelolaan kaderisasi saat mereka dikelompokkan
dalam kelompok diskusi.
Materi keempat mengenai Islam, Pemuda, dan Perubahan
Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul KAMMI dan
Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan
sosial macam apa yang akan dilakukan KAMMI sebagai entitas
yang lahir dari rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok
organisasi kepemudaan milik Bangsa Indonesia. Dalam kerangka
tersebut, instruktur akan mengambil benang merah dari
problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI tawarkan
sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi bagi kader
KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader
bangsa. Akan dibahas pula Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil
100
dari perubahan sosial yang coba dilakukan oleh kalangan
mahasiswa muslim di Indonesia dalam perannya sebagai kader
bangsa Indonesia.
Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI akan dibahas
dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang dirumuskan secara
nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam
menjelaskan tafsir paradigmatik ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi
Gerakan ini akan mirip dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI
yang menjadi dasar teoritis penjelasan ideologi HMI. Jika dalam
Nilai Dasar Perjuangan terdapat tujuh bab berisi : Dasar-Dasar
Kepercayaan, Pengertian-Pengertian tentang Dasar
Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan
Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan
Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan
Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan
dan Penutup.
Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan KAMMI nantinya
akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi Gerakan, Prinsip
Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur
Perjuangan, serta Kredo Gerakan.
Sementara, materi-materi yang merupakan inisiasi dari
tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian tersendiri
dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari
instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi. Keseriusan
instruktur untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari
i’tikad baiknya menuliskan tujuan dari penyampaian materi pada
peserta Dm1.
Tafsir dan Kemandirian
101
Merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI adalah PR
besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu dekat ini
membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema
besar itu. Sebab, dalam tingkat yang paling sederhana Tafsir
Filosofi Gerakan KAMMI merupakan landasan normatif dalam
perjuangan organisasi. Ia merupakan etos yang menjiwai spirit
perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam aksiologisnya,
ketiadaan tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan
kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana mungkin dibentuk
Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan
apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi
kaderisasi Jama’ah yang menancapkan pengaruhnya dengan
begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir hanyalah sekedar tafsir,
berhenti di ruang-ruang diskusi dalam dauroh maupun diskusi.
Paska itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan pembenaran
atas nama efisiensi dan efektifitas.
Ya, mau bagaimana lagi?
102
Pseudo-independence KAMMI
Relasi KAMMI dan independensi politiknya merupakan
sebuah perbincangan yang tidak akan habis untuk diwacanakan
sebab dalam waktu yang lama KAMMI telah terjerat dalam jalan
buntu dialektika yang dibuatnya sendiri mengenai hubungannya
dengan Partai Politik tertentu. Kita boleh membuat berbagai
macam argumen yang rasional (maupun tidak) untuk
membenarkan bahwa KAMMI adalah organisasi mahasiswa yang
independen. Itu sah-sah saja. Akan tetapi dalam aktifitas
keseharian organisasi ini, nyata terlihat bahwa metode yang
digunakan dalam rekruitmen anggota baru, kurikula yang
digunakan dalam proses kaderisasi, serta sistem penjagaan
kader, telah menempatkan KAMMI sebagai identitas formal
untuk melembagakan diri dalam afiliasi kader pada partai politik
yang bersangkutan.
Jika Paradigma Gerakan KAMMI adalah cerminan dari
metodologi berpikir dan bertindak, maka sejatinya saat ini kita
tengah berkaca pada cermin yang buram. Buramnya cermin ini
adalah karena adanya gap antara apa yang ada dalam pantulan
cermin dengan diri kita yang tengah berkaca di depannya.
Buramnya kaca (gap) bisa kita maknai sebagai sikap pseudo-
independence KAMMI. Disebut pseudo-independence karena
independensi yang selama ini diterapkan adalah sikap
independen yang setengah-setengah, penuh kompromi dan
tidak didasari oleh niat yang utuh. Disatu sisi KAMMI
menegaskan sikap independennya, namun disisi lain tetap
membuka kran kerjasama (bahkan hubungan mesra) dengan
partai politik tersebut.
103
Betapapun KAMMI sebagai gerakan mahasiswa
menyuarakan independensinya, independensi itu hanya menjadi
lip service secara organisatoris-formal saja, sementara secara
kultural-ideologis, adanya kesamaan latar belakang dan metode
kaderisasi, keterpautan emosional, serta kesamaan gerak
membuat ikatan yang terjalin antara keduanya susah
direnggangkan. Efeknya, sebagai gerakan mahasiswa KAMMI
pun gagap mengidentifikasi dan merumuskan jati dirinya sebagai
gerakan yang memiliki nalar politiknya sendiri, malah cenderung
menegasikan segala macam pemikiran dan tindakan politik yang
tidak sejalan dengan kepentingan partai yang bersangkutan.
Agaknya memang optimisme memperjuangkan
independensi KAMMI secara bulat utuh harus dipendam dalam-
dalam mengingat betapa secara struktural KAMMI lebih memilih
setia dengan ikatan kultural-ideologis yang dibangun secara
emosional daripada kembali pada khittah konstitusinya sebagai
organisasi yang independen.
Realisasi Independensi KAMMI, Mungkinkah?
Di tengah skeptisisme dan pesimisme tersebut, saya
meyakini bahwa pilar independensi bukan hanya sebatas
tampilan luar secara organisatoris, akan tetapi menjadi spirit
yang melandasi pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan yang
diambil oleh tiap pribadi yang menisbahkan dirinya sebagai
bagian dari kesatuan. Sehingga, poin intinya bukanlah terletak
pada output, bukan pada mereka yang selama menjadi aktifis
tergabung dalam kesatuan lantas setelahnya menjadi politikus
yang berkecimpung dalam percaturan politik praktis, melainkan
104
pada input, pada mereka yang untuk kali pertama memilih
KAMMI sebagai jalan aktifismenya.
Sudah semestinyalah, saat memutuskan berhimpun dalam
kesatuan ini, secara kolektif masing-masing dari kita
menumbuhkan independensi dalam pola pikir, pola sikap, serta
pola tindakan sehingga untuk selanjutnya secara sadar kita bisa
menimbang dan menetapkan tiap keputusan secara independen,
tanpa terpengaruh intervensi dan tekanan dari siapapun.
Sehingga, di masa yang akan datang, tak ada lagi cerita soal
kader yang ragu berpendapat karena khawatir dianggap
berbeda, takut mengambil langkah karena khawatir menyimpang
dari koridor ketaatan pada senior, tidak mau mengambil sikap
tegas karena takut dikira gerakan sempalan.
Hal ini tentu saja telah tergambar jelas dalam Kredo
Gerakan KAMMI yang sejatinya telah merangkum bagaimana
independensi kader semestinya diterapkan: Kami adalah orang-
orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tidak asa satu
orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya
bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar
keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan. Maka, yang
diperlukan saat ini adalah pemaknaan dan realisasi dari
independensi yang melekat pada watak dan kepribadian kader
KAMMI di masa kini dan masa yang akan datang.
Wujud dari pemaknaan dan realisasi ini dapat bersifat
formal dan informal. Pada ranah formal, realisasi independensi
kader dimasukkan ke dalam training perkaderan KAMMI (Dauroh
Marhalah) yang menekankan pada kontekstualisasi nilai-nilai
independensi dalam internal organisasi serta dalam kehidupan
105
berbangsa dan bernegara. Pada ranah informal, KAMMI haruslah
memberikan percontohan sikap independensi itu dalam
merespon ragam isu kampus, nasional, hingga tataran global.
Sementara, bagi kader yang memang dalam prosesnya memilih
untuk menjalankan dualisme (sebagai penggerak KAMMI
sekaligus penggerak partai politik), maka diperlukan pula tata
aturan (kode etik) yang membatasi hingga sejauh mana peran
dualisme itu bisa berjalan.
Pada Akhirnya..
Visi KAMMI sebagai wadah perjuangan permanen yang
akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya
mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami
seharusnya dapat kita maknai dalam kerangka independensi ini,
yakni lahirnya kader pemimpin independen yang kelak akan
mengisi pos-pos pengabdian, baik itu sebagai praktisi
pendidikan, birokrat di lembaga pemerintahan, pengusaha
swasta, maupun pos pengabdian lain yang dengan teguh
mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran dalam
koridor Al-Qur’an dan As sunnah di tengah kecamuk
problematika umat dan hiruk pikuknya politik transaksional demi
mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami.
Bisakah kita bayangkan apabila sejak dalam rahim KAMMI
saja kadernya sudah gagal berpikir, bersikap, dan bertindak
secara independen, bagaimana jadinya apabila mereka mengisi
pos-pos pengabdiannya di masa yang akan datang?
Pemahaman sebagaimana yang saya sebutkan di atas
memang belum lengkap atau bahkan sangat sederhana, akan
106
tetapi dari yang sederhana itu, harus saya akui betapa berat dan
lelahnya berjalan di atasnya sampai sejauh ini.
Billahi Fii Sabilil haq Fastabiqul Khairat.
107
Alternatif Dauroh Khas KAMMI UNS
Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada
hakikatnya memikul tanggung jawab untuk melaksanakan
fungsinya sebagai kaum muda terdidik yang berperan dalam
mempelopori proses perubahan masyarakat. Apalagi, bagi
mereka yang mengikrarkan dirinya sebagai bagian dari
organisasi bernama KAMMI. Mereka, pada akhirnya memiliki
tanggung jawab lebih, bukan hanya mempelopori proses
perubahan, akan tetapi berupaya dengan segenap
memampuannya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia
yang Islami (seperti yang tertuang dalam visi KAMMI).
Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki
peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti
mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi
ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang
konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah
melahirkan generasi yang lemah.
Sebagai organisasi pengkaderan, KAMMI memiliki Manhaj
Kaderisasi yang menjadi pedoman pengkaderan dalam
perekrutan, pembinaan, maupun pengkaryaan. Hanya saja,
pelaksanaan manhaj di lapangan berbenturan dengan banyak
hal, dari mulai ketidaktersediaan sumber daya, sumber dana,
hingga dalih efektifitas atau efisiensi. Semua problem itu
membawa KAMMI pada keharusan menciptakan suatu back-up
plan agar kaderisasi tidak menghasilkan kader yang lemah dalam
pikir, sikap, dan tindak.
Permasalahan yang hampir dialami oleh semua komisariat
adalah belum berjalannya Madrasah KAMMI sebagai sarana
follow-up pasca mengikuti Dauroh Marhalah1. Padahal, transfer
ideologi yang dilakukan pada saat DM1 berlangsung barulah
108
sedikit, hanya sebatas di permukaan/ kulit luar, sementara
substansi pengkaderan yang sebenarnya barulah akan dikecap
paska mengikuti DM1.
Selama beberapa tahun terakhir ini, KAMMI UNS
menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization Engineering School).
ICES didirikan karena sebagai organisasi kader, KAMMI harus
memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem penahapan
suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang
profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi
kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI sebab
ketidakberjalanan MK Khos.
Materi yang dibahas saat ICES berkisar dari Pengantar
Peradaban Islam serta Pergerakan Islam Kontemporer, Fiqh Siyasi
dan Fiqh Negara, Penegakkan Syariah Islam dan Sejarah Politik
Islam di Indonesia, Studi Gerakan Mahasiswa, serta Dakwah
Sya’biyah. Beberapa materi lain pun disisipkan dalam upaya
akselerasi tingkat kematangan kader.
Namun sekali lagi, pengelolaan ICES pun memiliki banyak
kelemahan. Diantaranya, pesertanya yang terbatas bagi para
alumni DM1, penyampaian yang masih indoktrinatif, serta
dinamika forum yang minim.
Karena hal itu, kami berinisiatif menyelenggarakan sebuah
alternatif baru kajian keilmuan yang bertujuan meningkatkan
kapasitas keilmuan kader sekaligus mahasiswa umum. Kajian
keilmuan ini dikemas dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan
dua pekan sekali berbentuk Diskusi Integratif.
Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang
oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara
integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan.
Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan
109
setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang
pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan
sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan
mahasiswa.
Tema-tema tersebut antara lain:
No. Materi Pokok Bahasan
1 Tanggungjawab
Intelektual
Mahasiswa
Dalam Konteks
Gerakan Dakwah
Kampus
1. Definisi siapa intelektual
mahasiswa
2. Bagaimana cara mencapai derajat
intelektual mahasiswa
3. Peran dan tanggungjawab
inteletual mahasiswa
2 Anatomi
masyarakat islam
(Yusuf Qhardawi)
1. Mengidentifikasi pemikiran
Yusuf Qardhawi
2. Menganalisis pemikiran
yusuf Qardawi dan
relevansinya terhadap
fenomena sosial masyarakat
muslim di setiap zaman
3 Studi
perbandingan
tokoh pemikir
islam modern
- Jamaluddin Al Afghani
- Muhammad Abduh
- M. Rashid Ridha
110
4 Studi tokoh dan
strategi kebijkan
kebangkitan
pergerakan islam
dunia
- Syaikh taqiyuddin an nabhani
- Muhammad ilyas
- Hasan Al Banna
5 Pemikiran
Kontemporer
Politik Ikhwanul
Muslimin (Prof.
Dr. Taufiq Yusuf
al Wa’iy.)
Bedah buku Prof. Dr. Taufiq Yusuf al
Wa’iy
6 Kebangkitan
Post Islamisme
Bedah buku ahmad Dzakirin “analisis
strategi dan kebijakan AKP turki”
7 Lintasan Sejarah
perkembangan
gerakan
Pembaharuan
Islam di
Indonesia
-Mengidentifikasi munculnya
gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia
- Menganalisis kelompok-kelompok
pemikiran yang berkembang di
Indonesia dalam lintasan sejarah
pembaharuan pemikiran Islam.
8 Bedah buku Api
Sejarah 1 dan 2
9 Sejarah
Pergerakan
mahasiswa
1. tahun 1945-1965 (Munculnya
Konsep Berbangsa)
2. Dinamika Gerakan Mahasiswa
selama Orde Baru
3. Mahasiswa dan Era Reformasi
111
10 Refleksi Sejarah
Pergerakan
Mahasiswa-
Rekonstruksi
Pola Gerakan
Mahasiswa yang
mampu
menjawab
Tantangan
Zaman
1. Merefleksikan sejarah
pergerakan mahasiswa yang
merupakan warisan dari
NKK/BKK dengan polarisasi
mainstream gerakan yang
menyebabkan pemodelan
spesifikasi gerakan
2. Membuat formulasi baru
gerakan mahasiswa yang
mampu menjawab tantangan
zaman
11 Quo Vadis
Gerakan
Intelektual
Mahasiswa
Mahasiswa dan Profesionalisme
Kepakaran, antara Fakta dan Realita-
Mengukur Peran Mahasiswa dalam
Pembangunan
12 Jurnalistik
Investigasi dan
Riset Gerakan
1. Metode investigasi dalam
mendapatkan berita, data dan
informasi yang akurat dan
populer
2. Mengolah data dan mengemas
informasi
3. Kaidah-kaidah asas riset gerakan,
perbedaannya dengan riset
akademis
4. Merancang kerangka dasar riset
gerakan
13 Manajeman Isu
dan Propaganda
Teknik manajemen isu yang baik dan
benar agar mampu memikat publik
(konsep gagasan, koordinasi massa,
controling dan evaluasi)
112
14 Manajemen
Jaringan
(Network
Society)
1. Urgensi jaringan dalam gerakan
2. Langkah takstis membangun
jaringan
3. Merawat jaringan sebagai bentuk
gerakan massa
15 Gagasan
Kebangkitan
Gerakan
Mahasiswa ala
KAMMI
Merumuskan gagasan kebangkitan
yang berdasar pemahaman ideologi
KAMMI
Tabel diatas bukanlah sebuah rumusan final mengenai
hal-hal yang akan dibahas, akan tetapi Insya Allah tema-tema
diatas akan dilaksanakan secara konsisten, entah dalam bilangan
pekan maupun bulan, sebab satu tema tak mesti akan selesai
dilaksanakan dalam satu hari diskusi.
Selain diskusi integratif, Badan khusus Jaringan Fakultas
UNS menyelenggarakan Diskusi Kepakaran yang bertujuan
meningkatkan profesionalisme kader KAMMI dalam bidang
kepakaran masing-masing. Kedua diskusi ini saling melengkapi
dan membangun satu sama lain.
Di tengah berbagai persoalan yang mendera KAMMI yang
menjalar dari tingkat pusat ke tingkat daerah, beberapa alternatif
inisiatif kader di tingkat komisariat patut diapresiasi. Harapannya,
ini menjadi bentuk ikhtiar terbaik selagi menunggu realisasi
113
terbentuknya Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI sebagai rujukan
kaderisasi dalam lingkup nasional, serta beberapa instrumen
pendukung lain dalam mewujudkan kemandirian organisasi.
114
Model Kaderisasi Integratif KAMMI UNS
Prawacana
Kaderisasi dan pembinaan merupakan napas utama dari
pergerakan. Apabila sebuah pergerakan ingin tetap bertahan,
eksis, berupaya memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat,
maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah
bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya.
Maka sejatinya, fungsi kaderisasi mahasiswa memiliki
peran vital dalam memasok kader-kader yang pada saatnya nanti
mengisi pos-pos strategis dalam masyarakat. Fungsi kaderisasi
ini harus ditopang oleh sistem yang kokoh dan pengelolaan yang
konsisten, agar kaderisasi mahasiswa tidak mandul atau malah
melahirkan generasi yang lemah.
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang
memiliki visi untuk melahirkan kader-kader pemimpin dalam
upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami
memiliki konsekuensi dan tanggung jawab untuk senantiasa
melandasakan seluruh aktivitas keorganisasian dalam rangka
menggali potensi kualitatif dari kader demi memenuhi kualifikasi
kepemimpinan sebagaimana yang dirumuskan dalam
terminologi Muslim Negarawan-nya.
Arah perkaderan KAMMI untuk membentuk Muslim
Negarawan ini menuntut dilaksanakannya proses perkaderan
yang dilaksanakan secara integratif dan berkesinambungan
dalam aktivitas keorganisasian. Adapun penekanan perkaderan
KAMMI menitikberatkan pada beberapa kompetensi berikut:
aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak, ibadah, tsaqofah
keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan
115
profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan
kepemimpinan, serta pengembangan diri.
Proses kaderisasi adalah sebuah refleksi panjang
mengenai bagaimana sebuah gerakan melakukan transformasi
nilai-nilai perjuangan yang dimilikinya ke dalam aktivitas
organisasi sehingga seluruh aktivitas keorganisasian tetap
diarahkan pada arah perkaderan KAMMI yakni untuk
melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan
bangsa dan negara Indonesia yang Islami.
Demikian halnya yang dilakukan KAMMI Komisariat
Sholahuddin Al Ayyubi Universitas Sebelas Maret dalam
melaksanakan kaderisasi integratif sebagai arahan kerja pada
Musyawarah Komisariat yang dilaksanakan setahun silam.
Setelah kader melalui Dauroh Marhalah 1 dan resmi
dilantik sebagai anggota biasa KAMMI, ia berhak mendapatkan
suplemen kaderisasi KAMMI UNS, antara lain:
1. Madrasah KAMMI
Manhaj Kaderisasi KAMMI 1433 H mensyaratkan
dilaksanakannya Madrasah KAMMI baik secara klasikal maupun
khos (kelompok halaqoh/usroh) sebagai instrumen wajib
kaderisasi di tingkat daerah hingga komisariat. Madrasah KAMMI
untuk Anggota Biasa ini ditujukan untuk membina kader menjadi
manusia yang memiliki syakhsiyah islamiyah (kepribadian islam)
yang memiliki kesiapan serta kesediaan untuk bergerak ditengah
tengah masyarakat guna merealisasikan, dan mengeksekusi
tugas tugas dakwah.
2. ICES (Sekolah Rekayasa Peradaban Islam)
116
Selama beberapa tahun terakhir, termasuk tahun ini,
KAMMI UNS menyelenggarakan ICES (Islamic Civilization
Engineering School) atau yang bisa disebut Sekolah Rekayasa
Peradaban Islam. ICES didirikan karena sebagai organisasi kader,
KAMMI harus memiliki sistem kaderisasi yang integratif, sistem
penahapan suplemen yang efektif sekaligus menjadi sarana yang
profesional. Diharapkan, ICES mampu mengakselerasi
kematangan kualitas kader yang diproduk KAMMI disebabkan
belum efektifnya Madrasah KAMMI Klasikal dan Khusus.
Beberapa poin materi yang dibahas di ICES antara lain:
Keislaman, Pemikiran, Keindonesiaan, Kepakaran dan
Profesionalisme, Kepemimpinan, Kekampusan, dan Pergerakan
Mahasiswa.
3. Ragam Varian Diskusi (Diskusi Integratif dan Diskusi
Kepakaran)
Diskusi Integratif adalah rumusan diskusi yang dirancang
oleh Bidang Kebijakan Publik KAMMI UNS yang tersistem secara
integral dengan beberapa tema diskusi yang saling berkaitan.
Satu tema melandasi pemahaman akan tema lain yang diadakan
setelahnya, diharapkan diskusi ini mampu menopang
pemahaman kader agar berpikir secara terpadu, integral, dan
sesuai kaidah berpikir ilmiah dalam konteks pergerakan
mahasiswa.
Ketika membahas satu tema tertentu, pembahasan tidak
hanya akan berkutat mengenai tema tersebut, akan tetapi
merambah pada aspek lain yang masih berkaitan dengan tema
yang tengah dibahas. Beberapa tema yang telah dibahas antara
lain: Tanggung jawab Intelektual Mahasiswa dalam Konteks
Gerakan Dakwah Kampus, Anatomi Masyarakat Islam, Studi
Perbandingan Tokoh Pemikir Islam Modern, Studi Tokoh dan
Strategi Kebijkan Kebangkitan Pergerakan Islam Dunia, Pemikiran
117
Kontemporer Politik Ikhwanul Muslimin, Kebangkitan Post
Islamisme, dan Lintasan Sejarah Perkembangan Gerakan
Pembaharuan Islam Di Indonesia.
Diskusi Kepakaran adalah diskusi yang diselenggarakan
secara rutin oleh biro khusus Jaringan Fakultas yang bekerja
sama dengan beberapa lembaga internal kampus, seperti
Himpunan Mahasiswa Jurusan, Himpunan Mahasiswa Prodi, serta
Lembaga Studi Mahasiswa guna meneropong suatu
permasalahan dilihat dari kacamata keilmuan yang berkaitan.
Tujuan diadakannya diskusi ini adalah untuk menumbuhkan
kepekaan kader agar menguasai disiplin keilmuan yang digeluti
sehingga dengan kapasitas tersebut ia mampu melakukan aksi-
aksi sosial, baik dalam bentuk pemberdayaan masyarakat
maupun sikap dukungan/penentangan/perlawanan terhadap
kebijakan pemerintah.
Tentunya, sinergisitas antara Diskusi Integratif dan Diskusi
Kepakaran adalah hal yang seharusnya terus diupayakan, sebab
apabila tengah berbicara mengenai suatu topik keilmuan,
seorang kader KAMMI tetaplah harus mendasarkannya pada
pandangan Islam (baik dari hukum Islam, ijtihad para ulama,
maupun belajar dari sejarah). Hal ini merupakan upaya
penyadaran akan tanggung jawab keilmuan mahasiswa sebagai
insan akademis yang berkepribadian islami.
4. Ragam Varian Dauroh (Dauroh Qur’an, Dauroh
Ijtima’i, dll)
Dauroh Qur’an adalah salah satu kegiatan yang dilakukan
bidang kaderisasi KAMMI UNS untuk (sekali lagi) memahamkan
kader bahwa fikroh KAMMI bersumber dari Al-Qur’an,
konsekuensi logisnya adalah kader KAMMI memiliki motivasi
yang tinggi untuk bertilawah, menghafal, dan mengamalkannya
dalam keseharian.
118
Dauroh Ijtima’i dilaksanakan untuk menumbuhkan
sensitivitas kader terhadap lingkungan sosialnya, sehingga ia
belajar mengenai dakwah sya’biyah hingga pada akhirnya
mampu melakukan pendekatan pada masyarakat untuk
membangun basis sosial. Hal ini perlu dilakukan mengingat
kader dakwah dan seperangkat sistem yang ia bangun (untuk
perubahan/perbaikan) tak mungkin bisa lepas dari akar
masyarakatnya.
Refleksi Hari Ini
Adalah sebuah keindahan melihat terintegrasinya proses
perkaderan yang terjadi beberapa pekan terakhir di KAMMI UNS.
Pada Rabu tanggal 19 Maret lalu, pertemuan ICES ke
empat membahas mengenai Keindonesian (konteks Solo), hal
yang dibahas dalam poin tersebut yakni Sejarah pergerakan
Islam di Solo dan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan Islam di
Solo (H.Samanhudi, HOS Tjokroaminoto, Haji Misbach, Mas
Marco Kartodikromo). Sabtu-Ahad, tanggal 22-23 Maret kemarin
diadakanlah Dauroh Ijtima’i. Selasa sore tadi (25/3), diadakan
Diskusi Integratif yang membahas mengenai Lintasan Sejarah
perkembangan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dengan
pokok bahasan: Munculnya gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia dan analisis kelompok-kelompok pemikiran yang
berkembang di Indonesia dalam lintasan sejarah pembaharuan
pemikiran Islam. Sementara, ICES esok hari (26/3) akan
membahas mengenai kepakaran dan profesionalisme dengan
melakukan pengkajian terhadap potensi/permasalahan kota Solo
dan interpretasi potensi/permasalahan tersebut untuk melakukan
konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai
keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti. Pekan yang akan
datang ICES akan membahas poin Kepemimpinan, Diskusi
Kepakaran akan membahas mengenai kepemimpinan salah
seorang tokoh nasional, disusul ICES lagi yang membahas materi
119
Kekampusan dan Diskusi Integratif yang membahas mengenai
Sejarah Pergerakan Mahasiswa Indonesia periode 1945-1965.
Jika kita perhatikan urutan dan keterkaitan kegiatan
antara satu dengan lainnya, dapat kita lihat bahwa sejatinya telah
dilakukan upaya kaderisasi secara integratif dengan arah untuk
mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan sosial. Hal-hal
yang tengah diupayakan diatas sejalan dengan teori perubahan
sosial yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Beliau menyatakan
bahwa metode historis adalah pendekatan terbaik untuk
memahami perubahan sosial. Menurut beliau, perubahan sosial
dapat mengambil pelajaran suatu umat atau sejarah masyarakat
itu sendiri. Dengan mengenal lintas kesejarahan masyarakat
dimana ia tinggal, ia dapat mengetahui gambaran pola pikir,
adat istiadat, kebiasaan, maupun cara pengambilan keputusan
masyarakat, sehingga kajian mendalam tentang masyarakat dan
budayanya adalah hal yang menjadi poin mendasar. Ini telah
coba diupayakan dalam materi ICES dan Diskusi Integratif
KAMMI UNS.
Selanjutnya, menurut Ibnu Khaldun, karena masyarakat
adalah sistem yang hidup, tentulah ia memiliki beragam faktor
perubahan sosial. Hal ini menyebabkan perubahan sosial
membutuhkan amal dan usaha yang memiliki pengaruh besar,
diantaranya adalah pendidikan dan politik. Berkaitan dengan hal
tersebut, pertemuan ICES esok hari akan menyelenggarakan
diskusi dengan wakil ketua DPRD Kota Surakarta untuk
membahas mengenai sasaran pembangunan daerah berdasarkan
prioritas nasional.
Teori ketiga yang Ibnu Khaldun kemukakan adalah bahwa
perubahan sosial berkaitan denga organisasi sosial, setelah
membahas mengenai berbagai organisasi yang ada di Indonesia
(baik yang sudah bubar maupun yang masih ada), kader
diharapkan memiliki gambaran interpretasi untuk melakukan
120
konseptualisasi Islam di sektor strategis sesuai
keahlian/kepakaran/disiplin ilmu yang digeluti dengan
membentuk/berjuang dalam wajihah amal sesuai bidang yang
menjadi lahan garapnya.
Gambaran yang terbentuk dari penjelasan diatas tentunya
masih sangat abstrak, akan tetapi hal tersebut merupakan ikhtiar
dari segenap pelaksana kaderisasi KAMMI UNS untuk
mewujudkan tujuan organisasi sebagaimana yang telah disebut
di muka.
Penutup
Saat dengan bangga dan lantangnya kita selaku kader
KAMMI menyebut diri sebagai agent of change, agent of social
control, maupun agen-agen lainnya, sudah selayaknya kita
mengimbangi slogan dan label tersebut dengan meningkatkan
kapasitas keilmuan kita.
Ada beragam jalan yang telah coba diupayakan, dari
mulai Madrasah KAMMI, ICES, maupun ragam varian diskusi dan
dauroh, yang dibutuhkan adalah kemauan dari pribadi kita
sebagai pembelajar yang selalu haus dengan terus membaca,
bertanya, dan mengetuk setiap pintu keilmuan yang ada.
Memang belum sempurna, mungkin belum ideal, ada
begitu banyak celah yang kurang disana-sini, namun salah satu
hal yang mampu menutup celah itu adalah kehadiran kita, kita
yang pernah dan telah berikrar bergabung menjadi bagian dari
kesatuan ini. Dengan segala kekurangan yang ada, setulusnya
saya meyakini, bahwa model kaderisasi integratif ini adalah
jawaban untuk membebaskan diri dari slogan dan label yang
kosong menjadi lebih berisi dan penuh kebermaknaan.
121
Mudah-mudahan kita belajar, mudah-mudahan kita
dengan lapang dada melakukan otokritik terhadap pribadi
maupun organisasi, mudah-mudahan kita selalu ingin melakukan
perbaikan. Mudah-mudahan Alloh swt memudahkan langkah
kita.
122
Merumusan Platform Kader Siyasi Kampus UNS
Tujuan Dakwah Kampus= Tujuan Dakwah KAMMI
Dakwah Islam dilaksanakan di setiap tempat, tidak
terkecuali di kampus sekalipun. Dakwah kampus (DK) merupakan
salah satu dari sekup kecil wilayah perjuangan dakwah. Dakwah
kampus dijalankan dari kampus, oleh civitas akademika
(kalangan kampus) demi manfaat untuk kampus sampai
masyarakat global. Dakwah kampus (DK) dilaksanakan untuk
sebesar-besarnya perjuangan menegakkan kemenangan Allah
swt. (Atian, 2010)
Dakwah kampus adalah implementasi dakwah Illallah
dalam lingkup perguruan tinggi. Dimaksudkan untuk menyeru
civitas akademika ke jalan Islam dalam berbagai sarana
formal/informal yang ada dalam kampus. Dakwah kampus
bergerak di lingkungan masyarakat ilmiah yang mengedepankan
intelektualitas dan profesionalitas. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa aktivitas Dakwah Kampus merupakan tiang
dari dakwah secara keseluruhan, puncak aktivitasnya, serta
medan yang paling banyak hasil dan pengaruhnya pada
masyarakat. Sasarannya, adalah terbentuknya barisan pendukung
dan penggerak DK yang terlatih untuk menjalankan kegiatan
dakwah kampus yang regeneratif. (FSLDKN, 2004)
Pada akhirnya, dakwah kampus, tiada lain bertujuan
jangka panjang untuk membentuk alumni-alumni yang memiliki
afiliasi terhadap dakwah Islam.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang lahir
sebagai anak kandung dakwah Islam ini pun memiliki tujuan
yang serupa. Hal ini ditegaskan dalam visinya, yakni: Wadah
perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader
123
pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara
Indonesia yang Islami.
Kedua tujuan yang seiring sejalan ini seharusnya ditopang
dengan sinergisitas peran antara KAMMI dengan ADK. Kaderisasi
KAMMI yang bertujuan untuk menghasilkan kader-kader
pemimpin seharusnya tetap berjalan dalam koridor dakwah
illallah yang dirumuskan oleh LDK, demikian pula peran kader
ADK juga tidak berlepas dari aktivitas siyasi sebagaimana yang
telah menjadi dasar pembinaan KAMMI selama ini.
Dalam sejarah KAMMI tertulis jelas bahwa KAMMI lahir
pasca dilaksanakannya Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah
Kampus di Malang yang ke sepuluh. Para aktivis di forum
tersebut menyadari perlunya segera berkontribusi dalam upaya
penyelesaian krisis yang terjadi. Akhirnya, setelah forum
muktamar FSLDKN berakhir, sebagian besar dari mereka
mendeklarasikan suatu front aksi yang bernama Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). (Muhammad Hasanudin,
Kartika Nurrahman, 2009)
Hal ini tentunya membawa kesadaran akan kesamaan
nasib yang sepenanggungan antara aktivis dakwah kampus
maupun KAMMI sendiri, sebab pada dasarnya sejak kelahirannya
kedua elemen ini telah dipersaudarakan, pun dalam
implementasi tujuan yang pada dasarnya bermaksud untuk
mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami dalam
naungan ridho Allah swt.
Diskusi Siyasi= Merumuskan Profil Kader Siyasi
Jumat, 7 April 2014 lalu telah diselenggarakan Diskusi
Siyasi kampus, dalam diskusi tersebut dirumuskan mengenai
124
profil kader siyasi kampus UNS. Kesimpulan diskusi tersebut
memutuskan bahwa kader siyasi, adalah mereka yang telah
mengikuti alur kaderisasi KAMMI melalui Dauroh Marhalah 1
KAMMI UNS.
Selanjutnya, kami membahas peran yang mestinya
dimiliki oleh kader siyasi. Pertama, perannya sebagai kader
dakwah. Kedua, perannya sebagai kader lembaga. Ketiga,
perannya sebagai kader KAMMI. Ketiga peran ini tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Berikut kami rumuskan bagan peran
kader siyasi tersebut.
Disisi lain, kader dakwah yang dilahirkan melalui
kaderisasi KAMMI haruslah memiliki kompetensi yang telah
dirumuskan dalam indeks jati diri kader KAMMI. Kompetensi
tersebut meliputi: Keislaman, Aqidah, Tsaqofah, Ibadah, Akhlaq,
Fikrah dan manhaj perjuangan, keindonesiaan, kepakaran dan
profesionalisme, kemampuan sosial politik, pergerakan dan
kepemimpinan, serta pengembangan diri.
Indeks jati Diri Kader tersebut akan menunjukkan
spesifikasi/kecenderungan kepemimpinan kader sebelum
berperan menjalankan amal siyasi melalui wajihah yang ada
dalam internal kampus. Meskipun, seluruh kader memang
diwajibkan untuk mengenal seluruh amalan dakwah, baik itu
Memimpin di Lembaga (Kader Lembaga)
Kader Pemimpin (Kader Dakwah)
Kaderisasi KAMMI
125
da’wiy, siyasi, maupun ‘ilmy. Dengan kata lain, kader memang
dituntut untuk menjadi seorang yang generalis, tapi memiliki
spesifikasi tertentu, sehingga pola penempatan kader dalam
wajihah amal dalam internal kampus dapat dilakukan secara
tepat dan efektif.
Titik Tekan: Pengembangan, bukan (sekedar) Perubahan
Dalam diskusi tersebut, banyak dimunculkan pernyataan
mengenai perubahan yang mestinya dilakukan di masa yang
akan datang. Baik itu mengenai suksesi kepemimpinan, pola
kaderisasi, hingga upaya sadar membuka kran keterbukaan
dengan organisasi maupun fikrah yang bertentangan. Semua isu
yang dilontarkan semakin membuat diskusi memanas.
Penulis meyakini bahwa perubahan tak selalu sama
dengan pengembangan, akan tetapi pengembangan selalu
mengandung perubahan. Pengembangan berarti meningkatkan
nilai atau mutu, sementara perubahan adalah proses pergeseran
posisi, kedudukan atau keadaan, yang mungkin akan membawa
perbaikan, tetapi dapat juga memperburuk keadaan (Lise
Chamisijatin, 2009).
Kader KAMMI (menguasai IJDK)
Amal Siyasi Lembaga Amal
Siyasi
Amal Da’wiy Lembaga Amal
Da’wiy
Amal Ilmy Lembaga Amal
Ilmy
126
Berdasar hal tersebut, penulis secara subjektif mengambil
term pengembangan dalam perumusan platform2 kader siyasi di
kampus UNS.
Jika kita membahas mengenai pengembangan platform,
kita dapat mempertanyakan mengenai dalam arti apa platform
tersebut digunakan. Apakah ia hanya dipandang sebagai alat
yang menunjang tercapainya ideologisasi, sistem guna
menghasilkan produk, ataukah hanya sebagai slogan/jargon.
Atau bisa jadi, ia bermakna sebagai sesuatu yang hidup dan
berlaku selama jangka waktu tertentu, serta selalu dikembangkan
secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Menurut penulis, dalam sebuah gerakan, platform
memiliki beberapa peran. Pertama, peran konservatif. Platform
2 menurut wikipedia, platform atau serambi merupakan kombinasi antara sebuah arsitektur perangkat keras dengan sebuah kerangka kerja perangkat lunak (termasuk kerangka kerja aplikasi). Kombinasi tersebut memungkikan sebuah perangkat lunak, khusus perangkat lunak aplikasi, dapat berjalan. Platform yang umum sudah menyertakan arsitektur, sistem operasi, bahasa pemrograman dan antarmuka yang terkait (pustaka sistem runtime atau antarmuka pengguna grafis) untuk komputer. Platform adalah unsur yang penting dalam pengembangan perangkat lunak. Platform mungkin dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tempat untuk menjalankan perangkat lunak. Penyelenggara platform menyediakan pengembang perangkat lunak dengan kesepakatan serangkaian kode logika yang akan berjalan secara konsisten sepanjang platform ini berjalan di atas platform yang lainnya. Kode logika ini mencakup bytecode, kode sumber, dan kode mesin. Dengan demikian, pelaksanaan program tidak dibatasi oleh jenis sistem operasi yang tersedia. Platform telah menggantikan sebagian besar bahasa mesin independen
127
memiliki peran konservatif sebab ia merupakan instrumen guna
mengkonservasi ideologi yang dianut oleh suatu gerakan. Tanpa
memiliki suatu platform gerakan, ideologi suatu gerakan bisa
sirna dengan sekejap karena tak adanya pengejawantahan
ideologi dalam ranah praksis maupun literal. Kedua, peran kritis
dan evaluatif. Maksudnya, platform dapat dengan kritis menilai
dan mengevaluasi implementasi ideologi yang telah
dilaksanakan, apabila dalam ranah praksis beberapa hal tidak lagi
sesuai dengan perkembangan zaman dan dibutuhkan
penyesuaian-penyesuaian, maka perlu dilakukan suatu kritik
evaluatif agar ia tetap selaras dengan kebutuhan, tetapi tidak
meninggalkan akar pijakannya.
Meskipun selalu ada hukum pengulangan dan kausalitas
dalam sejarah, namun dalam sejarah pergerakan mahasiswa, tak
pernah ada sesuatu yang kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya
yang lama akan timbul dalam bentuk yang lain. Ada masanya
pergerakan bercorak kedaerahan berdasar agama/ras/suku,
kemudian muncul rasa kebangsaan yang menguatkan
nasionalisme. Perjuangan fisik pernah berjaya, lantas berubah
menjadi perjuangan diplomasi dan lobi-lobi. Sementara
mahasiswa kembali terkotak dalam ragam gerakan mahasiswa
yang mengusung ideologinya masing-masing, timbul pulalah
suatu gerakan menentang pengkotak-kotakkan tersebut,
sehingga semua gerakan diharap menanggalkan jaket
organisasinya dan melebur dalam satu suara, demi Indonesia,
atas nama nasionalisme.
Pasca pemilu 2014 ini, gerakan mahasiswa harus
menentukan platform geraknya. Apakah gerakan mahasiswa
akan terjebak pada kepentingan politik yang cenderung
pragmatis, ataukah secara cerdas membangun basis kaderisasi
yang mapan guna menyiapkan diri menghadapi berbagai
tantangan di masa yang akan datang.
128
Setiap masa peralihan merupakan masa yang rawan.
Sebab dalam masa peralihan, di dalamnya berlangsung proses
perubahan. Dalam proses ini, gerakan mahasiswa akan mudah
terjebak dalam kebingungan, kecemasan, dan ketidakpastian.
Sama halnya yang terjadi dalam suksesi kepemimpinan KAMMI
UNS di periode 2014 ini. Selayaknyalah generasi baru tidak
mengingkari hakikat bahwa keberadaannnya merupakan mata
rantai yang menghubungkan hasil yang telah dicapai di masa
lalu dengan apa yang akan diraih di periode mendatang.
Untuk itulah, maka merupakan suatu keniscayaan bahwa
sebagai organisasi pergerakan mahasiswa, KAMMI mendidik dan
melatih para kadernya agar memiliki visi dan platform yang jelas.
Kader pemimpin yang dihasilkan KAMMI sebagaimana yang
tertuang dalam visinya akan terbentuk apabila KAMMI mulai
mempraktekkan sikap, sistem, dan prosedur demokratik yang
baik dalam membina organisasi.
Sejak awal, kader KAMMI dilatih berpikir demokratik.
Berpikir demokratik artinya membiasakan diri senang berdialog
dengan siapapun, dibiasakan untuk mendengar dan menerima
pendapat dan kebenaran orang lain, toleran dan mampu
mengidentifikasi bahkan menunjukkan kekurangan dalam
reasoning lawan dialog. Tapi, lebih penting lagi adalah
keberanian untuk mengakui kekurangan dan kekeliruan
pendapatnya sendiri secara terbuka. Persaingan secara sehat dan
terbuka harus menjadi bagian kehidupan kader. (Soemitro, 1997)
Sumber Referensi
Atian, A. (2010). Menuju Kemenangan Dakwah Kampus.
Surakarta: Era Intermedia.
129
FSLDKN, T. P. (2004). Risalah Manajemen Dakwah Kampus.
Depok: Studi Pustaka.
Lise Chamisijatin, d. (2009). Pengembangan Kurikulum SD.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Muhammad Hasanudin, Kartika Nurrahman. (2009). KAMMI:
Membentuk Lapis Intelegensia Muslim Negarawan. Dalam C. N.
Saluz, Dynamics of islamic Student Movements. Yogyakarta: Resist
Book.
Soemitro. (1997). Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
130
Tentang Aksi KAMMI Esok Hari
Dalam psikoanalisis, kekecewaan selalu berasal dari
kegagalan sesuatu yang kita harap-harapkan (rely on) untuk
memenuhi harapan dan aspirasi kita. Pada tahap selanjutnya,
kegagalan akan segera diikuti dengan ansambel ekspresi
kekecewaan: marah, protes, menggertak. Layaknya suara satu
dan suara dua dalam paduan suara, variasi paradigmatik itu tak
banyak berbeda.
Seperti banyak dilansir beberapa media belakangan ini,
isu mengenai hubungan diplomatik yang merenggang antara
Indonesia-Australia lantaran penyadapan yang dilakukan pihak
intelegen Australia terhadap beberapa tokoh penting di Republik
(termasuk Presiden dan beberapa menteri) menuai banyak kritik.
Utamanya karena ketidaktegasan Presiden dalam mengambil
sikap demi menjaga kehormatan NKRI.
Dengan memposisikan problem ini, maka alternatif solusi
yang bisa diambil adalah: mengganti presiden/anak buahnya,
mengevaluasi kenerja kementerian atau pihak-pihak terkait,
memutus hubungan diplomatik dengan australia, atau bisa jadi
hanya sekedar menumpahkan histeria dan ekspresi kekecewaan
di media/ jejaring sosial.
Saat merenungkan hal ini, saya tersenyum simpul. Semisal
memang yang dilakukan intelegen Australia merugikan
kepentingan nasional dan mencoreng harga diri Bangsa
Indonesia, lantas mengapa permasalahan ini tak kunjung
terselesaikan?
131
Mengapa pemerintah ‘seolah’ tidak berusaha
menyelesaikan persoalan ini secara sistematis?
Apa sulitnya bagi Presiden SBY menelepon pemerintah
Australia, memprotes dengan keras perilaku aparatnya yang
melakukan tindakan yang melampaui batasan etika intelejen
tersebut?
Bagi saya, jawaban pertanyaan tersebut sudah mutlak.
Negara tidak serius menangani permasalahan ini. (Memang
negara jarang serius menangani masalah diplomatik dengan luar
negeri), akan tetapi fakta ini semakin membuat saya yakin bahwa
ketidakseriusan memang telah melekat secara alamiah pada
kedaulatan negara kita.
Beberapa Tanggapan
“Atas nama Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia,
Indonesia harus mengusir Diplomat AS & Australia. Ini adalah
pesan tegas bahwa Pemerintah Indonesia memiliki komitmen
besar melindungi Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia, dan
siap bertindak tegas kepada siapapun yang mengusik dan
mengancam Kepentingan Nasional Bangsa Indonesia”, demikian
dilansir web Pengurus Pusat KAMMI (http://kammi.or.id/usir-
diplomat-as-australia-demi-melindungi-kepentingan-nasional-
bangsa-indonesia/) pada 20 November 2013.
Tak lama berselang, kira-kira pukul 15.00 WIB sore tadi,
Ketua Bidang saya di KP KAMMI UNS mengirim pesan berisi
seruan aksi kader KAMMI se-Solo Raya untuk esok Jum’at pukul
8.30 WIB.
132
Namun pikiran saya malah mengembara pada suasana
kelas tadi pagi. Dosen saya sedikit berkomentar mengenai
permasalahan ini. Menurut beliau, ketidakjelasan negara dalam
menangani kasus ini bukan karena ‘ketidakseriusan’ negara dan
minimnya nasionalisme pemimpin kita, akan tetapi jika negara
dipaksa untuk meladeni lebih jauh, maka hanya akan berimplikasi
negatif pada akumulasi kapital yang telah dibangun.
Yah, secara politik memang negara telah tunduk pada
logika kapital tertentu. Atau dengan kata lain, negara tunduk
pada sistem kapital yang menjadikannya memble dalam bersikap.
Adalah tantangan berat untuk mengubah
‘ketidakberdayaan’ pemerintah dan segala kebijakan yang
diterapkan dalam menangani kasus ini, maka mahasiswa sebagai
agent of social dan political control memiliki tanggung jawab
moral untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa.
133
Sekolah Rakyat Tan Malaka dan Kaderisasi
Gerakan Mahasiswa Hari Ini
Malam sabtu kemarin, kawan-kawan GMNI UNS
mengundang saya dan kawan-kawan KAMMI untuk hadir dalam
diskusi pekanan mereka. Diskusi kali ini membahas mengenai
sekolah rakyat Tan Malaka dan relevansi pemikirannya untuk
diterapkan pada dunia pendidikan hari ini. Berbekal tulisan Tan
Malaka yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, berangkatlah
saya untuk sekedar berbagi resah dan berbincang hangat
dengan kawan-kawan GMNI UNS. Dan tepat seperti yang saya
duga sebelumnya, mereka pun memberikan hard-copy tulisan
Tan Malaka tersebut sesampainya kami di sekre mereka.
Sebagai pemantik, dua orang kawan GMNI UNS
membuka diskusi dengan memberikan pemaparan singkat
mengenai sosok Tan Malaka berikut sejarah perjalanan hidup
yang tak hanya membuatnya menjadi seorang pejuang, tapi juga
pendidik yang konsisten dan persisten menanamkan semangat
juang pada diri setiap muridnya.
Kisah ini berawal ketika Tan bekerja menjadi guru sebuah
perkebunan kuli kontrak di Deli. Sesampainya disana, ia melihat
buruh-buruh perkebunan hidup tidak layak. Melihat realita yang
demikian, Tan berkeinginan memberikan pendidikan yang layak
bagi anak-anak kuli kontrak perkebunan tersebut. Namun, ide
mendirikan sekolah yang ‘layak’ tersebut baru terealisasi ketika
pada 1921 ia memutuskan hijrah ke tanah Jawa. Sekolah yang ia
dirikan diikhususkan bagi anak-anak Sarikat Islam di Semarang.
134
Dalam tulisannya yang berjudul SI Semarang dan Onderwijs, Tan
mengungkapkan bahwa tujuan sekolah tersebut tidak untuk
menjadi juru tulis seperti tujuan sekolah-sekolah khas kolonial,
melainkan selain untuk mencari nafkah untuk diri sendiri dan
keluarganya, juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Progresifitas sekolah tersebut membuat banyaknya permintaan
dari luar Semarang untuk membuat sekolah yang serupa,
akhirnya Tan membuka pendidikan kelas khusus bagi siswa kelas
5 untuk dipersiapkan menjadi calon guru.
Saya rasa, banyak hal yang dapat kita pelajari dari Tan
Malaka dengan sekolah rakyatnya. Bukan hanya sekadar untuk
mengkomparasikan relevansi pemikirannya guna diterapkan
dalam dunia pendidikan dewasa ini, tapi juga membuat kita turut
serta memikirkan satu konsepsi mendasar mengenai gagasan
kemerdekaan yang ia gelorakan jalur pendidikan. Ya, kita harus
berpikir jauh melampaui zaman dimana kita hidup saat ini,
seperti Tan.
Tan tidak menyebut sekolah yang ia dirikan sebagai
Sekolah Kerakyatan, tidak sama sekali. Analisa yang panjang dari
para sejarawan lah yang menghasilkan terminologi Sekolah
Kerakyatan (yang kita kenal sekarang). Sekolah khas Tan Malaka
hadir secara pragmatis untuk menjawab tantangan zaman di
masanya. Maka, wajarlah yang diajarkan di sekolah adalah ilmu-
ilmu taktis tanpa kurikulum yang tersusun secara sistematis.
Namun, selain ‘cacat’ pragmatis ini, saya harus memberikan
penghormatan sedalam-dalamnya pada gagasan Tan Malaka
dengan tujuan pendidikan sekolah rakyatnya, yakni:
mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan, serta
memperhalus perasaan…, disamping itu juga menanam
135
kebiasaan berkarya yang tak kurang mulianya dari pekerjaan
kantor.
Sebetulnya, saya rasa, ia telah melakukan need assesmen
secara mendalam sebelum mendirikan sekolah tersebut, saya
bisa katakan bahwa kepragmatisan sekolah tersebut adalah buah
dari assesmen yang ia lakukan sebelumnya: melihat kebutuhan
mendasar bangsanya yang mesti segera sadar atas keterjajahan
yang tengah dialaminya tanpa perlawanan berarti! Ya,
memberantas kebodohan yang sengaja kaum kolonial semai dan
suburkan di persada tanah airnya, Republik Indonesia. Sayang,
buah dari kepragmatisan ini pun berakhir pahit, semakin lama ia
semakin kehilangan ruh dan daya penggerak, maka sesuai
sunatullah, mandeglah sekolah tersebut.
Semangat pembebasan yang sama juga pernah dilakukan
oleh Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil. Dalam bukunya
yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (hal 27), Freire
mengatakan: “Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan
para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap
pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan
melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan.
Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah
berubah, pendidikan ini tak lagi menjadi milik kaum tertindas
tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses
mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini,
dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat
dilawan secara kultural pula.”
Kedua tokoh ini mengaktualisasikan gagasannya dalam
pola awal yang sama, yakni kaum tertindas (atau kaum kromo,
136
meminjam istilah Tan) harus menyadari ketertindasannya. Dalam
situasi apapun, ketika “Penindas” melakukan
penindasan/pemerasan pada “Tertindas”, maka hal tersebut
resmi disebut penindasan. Ini mutlak, dan sifatnya pasti,
meskipun kaum penindas menutupinya dengan penghargaan
atau kedermawanan palsu.
Agaknya, saat ini kita harus mengangkat kepala sejenak
guna memandang realitas pendidikan kita hari ini. Artikel Febri
Hendri AA di kolom opini Kompas, Jum’at 19 September 2014
kemarin patut menjadi cermin jernih untuk berkaca. Secara garis
besar, artikel tersebut membahas kekecewaan Penulis pada
kurikulum baru yang dirasanya penuh masalah yang urung
dituntaskan, diantaranya: motif yang mendasari terbentuknya
kurikulum baru baik yang berkenaan dengan motif kepentingan
maupun motif politik serta implementasi penerapan kurikum
secara teknis di lapangan.
Tentunya, hal ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita.
Dalam kurun 1920an-2014, pendidikan senantiasa menyisakan
problematika yang tak kunjung tuntas. Jika di Era Tan Malaka, ia
berjuang untuk menyadarkan rakyat hakikat kebebasan dan
kemerdekaan, saat ini yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan
menjadi alat untuk menjajah dan menindas. Pun, hal ini tak
hanya terjadi untuk pendidikan dasar dan menengah, tapi juga
bagi kita yang saat ini menyandang status sebagai mahasiswa.
Status mahasiswa bukanlah status yang permanen, kita
harus melepasnya (suka tidak suka). Akan tetapi, apa yang terjadi
jika universitas tempat kita menempa diri malah menjadi penjara
yang memasung kemerdekaan dan kebebasan kita? Bagaimana
137
jika sistem perkuliahan yang kita jalani selama ini pelan tapi pasti
malah merenggut kesadaran humanis kita? Ah, bagaimana bisa?
Kita harus menyalakan lilin, bukan mengutuk kegelapan.
Begitu kata orang. Maka, dengan keyakinan tersebut, saya masih
sangat percaya bahwa kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal
mampu menjadi titik tolak pendidikan yang membebaskan,
pendidikan yang menumbuhkan nilai dan kesadaran, pendidikan
yang membuat kita merdeka dalam pikir, tindak, dan laku.
Saat ini, kaderisasi gerakan mahasiswa eksternal masih
kembang kempis didera banyak persoalan. Kita sibuk
membandingkan heroisme generasi pendahulu dan memble-nya
generasi hari ini. Tapi, penanaman nilai dan kesadaran ini tak
boleh putus. Karena akan tiba saatnya, gerakan mahasiswa
kembali dibutuhkan oleh zaman. Mungkin bukan di zaman kita,
atau zaman adik-adik kita, tapi akan ada masanya.. Ya, saya yakin
seyakin-yakinnya. Keyakinan itulah yang membuat saya bertahan.
138
Self Assessment Dauroh Marhalah 1 KAMMI
Pengelolaan dauroh selalu menjadi topik yang menarik
untuk diperbincangkan dari waktu ke waktu, utamanya oleh saya
yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan. Setiap kali dosen memberikan
materi mengenai strategi pembelajaran, inovasi kurikulum,
manajemen berbasis sekolah, hingga asesmen pembelajaran,
dalam benak saya langsung terbayang bagaimana membuat
konsep ideal pengelolaan dauroh yang efektif di KAMMI. Akan
tetapi, saat tiba masanya bagi saya mengaplikasikan ilmu yang
telah saya dapatkan di lapangan, dalam hal ini mengajar peserta
didik, saya menyadari bahwa segala teori yang telah saya
dapatkan menguap, berganti dengan grusa-grusu, grogi, gagap
ketika kondisi ideal yang diperlukan untuk mendukung proses
pembelajaran tak terwujud sebagaimana yang saya harapkan.
Dari sinilah saya paham bahwa semua ilmu mengajar,
menajemen kelas, dan lain-lian, hanya akan hanya jadi teori
apabila saya gagap mengejawantahkannya di ranah praksis. Pun,
saya akhirnya menyadari bahwa mengimplementasikan bidang
keilmuan saya ini di KAMMI memang tak semudah membalikan
telapak tangan. Ada begitu banyak tantangan dan kesulitan yang
harus dihadapi dan ditaklukan.
Saya akan memulai tulisan ini dengan memberikan
gambaran umum pengelolaan Dauroh Marhalah 1 terakhir di
KAMMI UNS yang melibatkan saya sebagai salah satu panitia
teknisnya. Dauroh Marhalah 1 terakhir di komisariat saya
dilaksanakan beberapa bulan yang lallu dan diikuti oleh 80 an
peserta dengan input kader dari 9 fakultas di UNS. Dauroh
139
Marhalah 1 ini diawali dengan Pra-DM1 yang terbagi ke dalam
tiga sesi, yakni untuk rumpun MIPA (meliputi Fakultas
Kedokteran, MIPA, Pertanian, dan Teknik), rumpun sosial
(meliputi Fakultas ISIP, Ekonomi, Hukum), dan terakhir rumpun
FKIP. Sepanjang dilaksanakannya Pra-DM1 tersebut, pengelola
dauroh menjalankan proses screening untuk mengenal peserta
lebih mendalam dan mengetahui tingkat kepahaman mereka,
khususnya yang berkiatan dengan tsaqofah keislaman,
keindonesiaan, kepemimpinan, hingga pergerakan mahasiswa
(dalam hal ini KAMMI). Pada akhirnya, terselenggaralah Dauroh
Marhalah 1 di KAMMI UNS yang dilaksanakan selama 3 hari dua
malam dengan 5 materi wajib dan materi tambahan berupa
manajemen dan simulasi aksi. Sepintas saya tangkap, dalam lelah
dan kantuk para peserta yang mengikuti dauroh, mereka cukup
antusias mengikuti rangkaian kegiatan hingga usai.
Akan tetapi, apakah hanya karena tak ada peserta yang
memilih pulang saat acara berlangsung dapat kita tarik
kesimpulan bahwa dauroh berjalan sukses? Apakah hanya karena
mereka dapat mengerjakan soal post-test yang pengelola
berikan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dauroh menghasilkan
kader dengan output berkualitas? Apakah hanya karena satu dua
pertanyaan yang dilontarkan peserta lantas kita menganggapnya
sebagai keaktifan nyata yang pantas mendapat penghargaan?
Selayaknya, saat ini kita merenungkan kembali bagaimana
pengelolaan dauroh marhalah kita selama ini berjalan.
Pola dauroh sudah semestinya berpusat pada kebutuhan
peserta dauroh. Peserta haruslah mampu mengkonstruksi
kembali pengalaman atau pengetahuan yang dimilikinya.
140
Sementara, MOT hanya berfungsi sebagai fasilitator atau
pencipta kondisi dauroh yang memungkinkan peserta dauroh
secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan
mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkontruksinya menjadi
pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan lama yang
telah dimilikinya.
Maka, sebagai MOT, yang harus kita lakukan antara lain:
memberi kesempatan kepada peserta dauroh unuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, memberi
kesempatan pada peserta dauroh untuk mencoba gagasan baru
kemudian mendebatnya untuk selanjutnya mendorong peserta
dauroh memikirkan perubahan gagasan mereka.
Mengapa demikian? Sebab, konstruksi pengetahuan yang
ideal erat sekali kaitannya dengan pola pikir divergen, yakni
kemampuan menghasilkan jawaban alternatif. Kemampuan ini
dapat dikembangkan dengan mencoba berbagai alternatif
jawaban guna penyelesaian masalah, sehingga mereka dapat
memiliki keluwesan berpikir yang secara fleksibel dapat
dikembangkan dalam mengatasi berbagai persoalan yang
berbeda di lingkungan sekitar. Lebih jauh lagi, diharapkan kader
berhasil mengemukakan ide dan gagasan yang orisinal serta
kemampuan mengelaborasi ide sampai pada hal yang sifatnya
detil.
Hal yang perlu dimunculkan guna mencapai tahap
tersebut adalah motivasi intrinsik dari tiap individu. Hal ini yang
akan menyebabkan peserta dauroh melakukan segala aktivitas
dengan optimal dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.
141
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri setiap
individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara
berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi
mendasar, yakni kebutuhan fisik, sampai jenjang yang paling
tinggi yakni aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai keinginan
untuk mengaktualisasi diri, yakni untuk menjadi dirinya sendiri,
karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti
dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani
sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, MOT harus
bisa memfasilitasi tiap peserta dauroh untuk mengaktualisasikan
dirinya. Hal ini bisa dilakukan apabila MOT telah mengetahui
motivasi peserta mengikuti dauroh marhalah 1 KAMMI, artinya,
kita hanya perlu memberikan apa yang mereka inginkan, apa
yang menjadi ekspektasi mereka. Maka, selesai, antusiasme
mereka akan mampu menjaga semangat mereka hingga akhir.
Hal yang ingin saya bahas dalam tulisan ini bukanlah
bagaimana pengelolaan dauroh yang ideal (dari segi teknis),
karena hal itu telah saya tulis di makalah yang saya buat 24
Novermber 2013 silam, yang ingin saya tekankan disini adalah
pola asesmen terpadu yang meliputi penilaian proses serta
penilaian hasil. Hal ini penting untuk dibahas, mengingat Manhaj
Kaderisasi KAMMI belum memuat hal-hal yang berkaitan dengan
prinsip maupun pola asesmen dauroh secara komprehensif.
Padahal, dengan pola asesmen yang benar, MOT dapat
mengetahui tingkat pemahaman peserta dauroh setelah proses
dauroh berlangsung, lebih penting lagi, ini merupakan kontrol
bagi pengelola tentang perkembangan kader.
Saat pelaksanaan ICES (Islamic Civilization Engineering
School) di KAMMI UNS, pengelola merumuskan model penilaian
142
baru guna memudahkan penilaian dauroh. Model penilaian ini
dikembangakan dan dimodifikasi berdasar model penilaian
dauroh yang dilaksanakan oleh Pelajar Islam Indonesia, yakni
dengan menggunakan beberapa kriteria pokok, yang kami sebut
dengan ARLEI (Attitude, Respon, Logic, Emotion, dan Integrity).
Akan tetapi, cukupkah angka-angka tersebut mewakili
pelaksanaan penilaian proses dauroh yang berlangsung? Tentu,
hal tersebut tidaklah cukup. Baiknya, kita memberi kesempatan
pada peserta dauroh untuk melakukan self assessment (penilaian
diri).
Self assessment akan membuat peserta dauroh dapat
menilai dirinya sendiri berdasar status, proses, dan tingkat
pencapaian materi yang diberikan berdasar sejumlah acuan yang
telah disiapkan. Teknik penilaian diri ini tentunya memiliki
keunggulan, diantaranya: menumbuhkan kepercayaan peserta
dauroh karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya
sendiri, mengintrospeksi kelebihan dan kekurangan yang ia
miliki, serta mendorong peserta dauroh bersikap objektif dalam
menilai dirinya sendiri. Hal yang perlu dilakukan oleh MOT
hanyalah melakukan komparasi antara self assesment yang
dilakukan mandiri oleh peserta dauroh dan penilaian objektif
yang dilakukan oleh pengelola, sehingga didapatkanlah
pemahaman yang utuh mengenai apa yang dipahami dan
dirasakan oleh peserta selama materi berlangsung.
Tentunya, terlaksanakanya pola dauroh yang konstruktif
dan pola asesmen yang komprehensif ini tidak dapat terwujud
apabila tidak mendapat keseriusan dan perhatian serius dari
pengelola dauroh.
143
Melampaui Konflik dalam Kesatuan
Saat membuka beranda facebook sore tadi, saya
dikejutkan oleh beragam respon yang muncul untuk
menanggapi tulisan yang dirilis oleh Bang Umar akhir pekan lalu
berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI”.
(http://www.kammikultural.org/2014/10/melupakan-fahri-
hamzah-dari-pikiran.html)
Yunda Zahra memberi tanggapan dengan membangun
narasi tentang KAMMI sebagai sebuah keluarga. Setiap kader
diharapkan memiliki loyalitas terhadap KAMMI sebagai bagian
dari keluarga besar yang akan terus menopang, mendukung, dan
menguatkan. Bahkan Yunda Zahra mencontohkan Anas
Urbaningrum yang hingga saat ini masih didukung oleh kader
HMI untuk menguatkan argumennya.
Saya tidak tahu dari mana Yunda Zahra mengambil
kesimpulan naif ini. Jelaslah tidak semua kader HMI membabi
buta membela senior yang bersalah, banyak dari mereka yang
juga mengutuk alumni yang jadi broker politik, banyak juga dari
mereka yang berupaya keras menyelamatkan kader-kader baru
untuk tak terjebak pada rantai politik yang dibangun oleh senior-
senior busuk yang menggerogoti organisasi. Jangan sampai
terjadi, atas dasar solidaritas keluarga ini, KAMMI malah
melegalkan pembelaan membabi buta pada alumni yang terseret
kasus (jika ada), tentu kita tak ingin ini terjadi.
Lebih jauh, Bang Dharma membedah ingatan kita pada
tagline yang dibawa PP pada periode ini. Tagline yang menarik:
KAMMI Untuk Indonesia. Ia mencoba mengajak kader
144
menegaskan wajah baru KAMMI yang otentik Indonesia, tentu
tanpa menegasikan pemikiran Ikhwan yang lebih dulu mapan
dalam tubuh KAMMI sendiri.
Bang Faqih secara lebih detail membawa kita untuk
merenungkan QS Al Mujadalah ayat 22 yang turun setelah salah
seorang sahabat Rasulullah, Abu Ubaidah bin Jarrah membunuh
ayahnya sendiri dalam perang badar. Rasul pun bersabda bahwa
yang Abu Ubaidah bunuh bukanlah ayahnya, melainkan
kesyirikan dan kebathilan dalam dirinya (ayah Abu Ubaidah).
Senada dengan Bang Dharma, Bang Faqih pun mengajak
kita untuk menjadikan nilai kebenaran sebagai landasan dalam
gerak dan pikir, bukan pada asas kekeluargaan seperti yang
disampaikan oleh Yunda Zahra. Selanjutnya, Bang Faqih pun
mencoba melakukan analisis semantik atas tulisan Bang Umar.
(lih https://www.facebook.com/notes/865923736775903/)
Masing-masing berusaha membentuk dan
mempengaruhi opini publik dengan argumentasi dan kebenaran
pendapatnya sendiri-sendiri, dan anehnya semua terasa masuk
akal untuk dimengerti.
Beberapa kader merasa pesimis dan khawatir bahwa
perdebatan di ranah literal ini akan berdampak negatif sebab
dinilai dapat memunculkan konflik horizontal di kalangan kader
sendiri, baik itu di pengurus daerah maupun pengurus
komisariat. Beberapa lainnya merasa optimis. Mereka
menganggap perdebatan adalah hal yang wajar dan mampu
menjadi proses pendewasaan yang baik dalam keberjalanan
organisasi. Sisanya, cenderung tidak peduli, “banyak hal lain
yang lebih esensial untuk dipikirkan”, begitu pikir mereka.
145
Sebagai pribadi, saya sendiri cenderung beranggapan
bahwa munculnya konflik/perdebatan harus diterima sebagai
kenyataan hidup. Bahwa konflik/perdebatan bisa terjadi dimana
pun, kapan pun, dan oleh siapa pun. Tak terkecuali bagi
organisasi yang dalam namanya mengandung kata “kesatuan”
ini.
Perbedaan cara pandang dalam melihat dan memahami
sesuatu menimbulkan dorongan untuk meningkatkan semangat
berpikir, menulis, dan berdialektika dengan sehat. Karenanya,
perdebatan harus dikelola dengan baik, sehingga setiap pihak
memiliki kesempatan belajar membangun kemerdekaan pikir
berdasar argumen teoritisnya masing-masing. Harapannya,
sintesa baru akan lahir menjadi kebenaran sementara, begitu
seterusnya, hingga sintesa-sintesa baru terus memperkaya ruang
gagasan kita. Saya meyakini, apabila kader terbiasa dengan
budaya debat publik secara terbuka, jujur, dan tanpa tedeng
aling-aling, mereka pun akan terlatih berpikir dan bertindak
secara objektif.
Lagi-lagi, tulisan Bang Umar telah menyentuh sisi sensitif
kader KAMMI dimana pun berada. Tujuan tulisan untuk
menjadikan Fahri Hamzah serta relasi patron klien KAMMI dan
alumninya yang terjun ke pergulatan politik praktis sebagai
metafor malah dipahami sebagai provokasi untuk menegasikan
KAMMI dari akar sejarahnya. Bahkan beberapa berburuk sangka
dengan berkomentar singkat yang lepas dari konteks. Hanya
dengan mencari titik lemah dari deretan kata-kata dengan
dibumbui kecurigaan untuk melakukan serangan balik.
146
Saya berharap setiap orang yang turut berkomentar
dalam perdebatan ini, entah dalam celetukan singkat maupun
uraian panjang mampu berbesar hati membawa keakuan dan
egoisme diri ke titik yang paling rendah. Mengutip apa yang
disampaikan oleh Musa Asy’arie, “sehingga kata-kata yang
diucapkan punya jiwa dan menjadi kekuatan pencerahan, tidak
mengundang kebencian dan sakit hati, tetapi menyejukkan, dan
dapat menjadi penggerak lahirnya perilaku kesalihan sosial.”
Ketika Yunda Zahra membangun narasi tentang KAMMI
sebagai sebuah keluarga, agaknya Yunda Zahra perlu
mempertimbangkan rekonsiliasi di tingkat pusat sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas narasinya. Rekonsiliasi jelas diperlukan
sebagai upaya perdamaian di atas puing reruntuhan konflik
antara Pengurus Pusat dan KAMMI Nasional. Dan itu tak akan
dapat terwujud tanpa ada adanya loyalitas kader terhadap
KAMMI sebagai bagian dari keluarga besar yang akan terus
menopang, mendukung, dan menguatkan. Namun, sudah pasti
rekonsiliasi akan gagal manakala masing-masing dari kita
enggan mengosongkan egoisme, atau paling tidak menekan
keakuan hingga level terendah.
Ada banyak hal yang harus dikawal dalam kepengurusan
PP KAMMI periode ini. Salah satunya adalah tagline yang
digagas oleh Bang Arif Susanto: KAMMI Untuk Indonesia. Sudah
sejauh mana KAMMI mampu mengindonesia? Masihkah fasih
mengutip kalimat Hasan Al Banna tapi enggan belajar sejarah
perjuangan ulama-ulama yang berjuang menegakkan Islam di
bumi Indonesia?
147
Atau, bagaimana kelanjutan lokus-lokus kepakaran yang
sempat digagas di awal kepengurusan? Apakah ia hanya
berhenti sebatas pada pewacanaan global tanpa realisasi di
lapangan? Sudahkah ada prototype komisariat yang menjadi
bahan percontohan giatnya lokus-lokus kepakaran? Cukupkah
lokus ini menjadi kelompok studi, atau akan dikembangkan
menjadi Lembaga Semi Otonom?
Baru-baru ini, PP juga menggagas “Rekruitmen 100.000
Kader Penggerak Kebangkitan Indonesia”. Tak ada pertanyaan,
mengapa harus seratus ribu? Mungkin, karena angka itu paling
mudah diambil, karena bulat, dramatis, dan cukup abstrak untuk
dibubuhi keterangan lebih panjang. Lantas, siapkah KAMMI
melakukan pembinaan terstruktur untuk seratus ribu kader
tersebut?
“Menggagas ide adalah satu tahapan, dan mewujudkan
ide itu menjadi nyata adalah tahapan yang lain.” Kata Bang Wibi.
Fahri Hamzah telah mendeklarasikan lahirnya KAMMI.
Imron Rosyadi, Mu’tamar Ma’ruf, dan Yusuf Maulana telah
meletakkan pondasinya. Kita? Telah berproses sependek ini..
Bukan, bukan melupakan. Melampaui Fahri Hamzah dan para
senior kita adalah suatu keharusan..
148
Basis Massa Atau Basis Kader?
Beberapa waktu lalu, kawan-kawan Gema Pembebasan
menyelenggarakan ICMS. Kakak-kakak saya di sekretariat
KAMMI-lah yang menerima undangan tersebut. Katanya, mereka
sempat berbincang soal grand design kongres meskipun sedikit.
Lebih jauh, saya tak tahu apa yang mereka perbincangkan.
Kalau bicara soal kongres Gema Pembebasan, prakiraan
saya, ruhnya terasa senada dengan vergaadering yang dilakukan
Sarekat Islam di masa perjuangan melawan kolonialisme. Agitasi
masa. Pidato persuasif. Metodenya sama seperti yang dilakukan
oleh HOS Tjokroaminoto dan Soekarno. Bedanya mungkin hanya
pada kemasan dan kontennya saja. Atau, ada perbedaan yang
lain lagi?
Saya sendiri agak kaget dengan metode-metode yang
mereka gunakan. Agitasi masa tak sekali ini saja mereka lakukan.
Di banyak kesempatan mereka sering kumpulkan massa dan
lakukan propaganda. Beda betul dengan metode yang
disampaikan Ust Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul al
Hizbiy.
Jika telah terdapat tiga hal pokok, yakni fikrah yang
dalam, thariqah yang jelas, dan manusia yang bersih, maka akan
terbentuklah sel utama. Sel utama ini akan bertambah menjadi
sel-sel kecil (halqah) pertama dalam partai, yang sekaligus
menjadi pimpinan partai. Nah, barulah kemudian terbentuk
kutlah hizbiyah (kelompok kepartaian) yang akan berjuang
mewujudkan fikrah yang diyakininya. Mirip dengan sistem Partai
149
Komunis Indonesia ya? Atau sama juga dengan metodenya
Tarbiyah? Hehe
Sejujurnya saya ingin belajar secara lebih mendalam soal
propaganda yang secara persisten mereka gencarkan di kampus.
Lantas, bagaimana si kabar sel-sel ini? Pernah selama empat
bulan saya ikut ngaji dengan kawan-kawan Musliman HTI Solo
Raya, tetapi terlalu banyak perbedaan yang tak dapat saya
jembatani, karenanya, demi kebaikan saya pribadi, saya pun
memilih keluar.
Saya rasa sel-sel kecil tadi masih hidup dan eksis. Tapi
saya kurang yakin apa saja yang mereka bahas. Waktu itu, saya
masih begitu muda dan lekas bosan akan segala sesuatu,
makanya saya putuskan keluar karena wacana yang diusung
memang itu-itu lagi. Tak memberikan kebebasan berpikir dan
menuangkan gagasan alternatif lain. Judgement. Berontak. Satu
solusi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Selain aksi dan propaganda yang massif, saya rasa kawan-
kawan GP juga punya massa yang sangat militan. Kalau tak
militan. Siapalah yang mau repot-repot pasang selebaran dan
pamflet di setiap spot di kota Solo?
Dipikir lebih jauh, karakter gerakan kawan-kawan GP
sangat jauh berbeda dengan KAMMI. KAMMI memiliki karakter
sebagai organisasi kader dan organisasi amal. Makanya, yang
jadi fokus KAMMI adalah basis kader, bukan basis massa. Perlu
dibedakan antara siapa yang kita sebut sebagai kader, dan siapa
yang kita golongkan sebagai simpatisan. Lantas, mana yang lebih
baik? Fokus pada kader atau pada massa?
150
Ah, jawabannya tentu sulit. Tapi, perbedaan pendapat
antara Soekarno dan Hatta mengenai bagaimana tepatnya partai
bergerak patut jadi bahan renungan bagi kita yang mengaku
sebagai aktivis pergerakan.
Setelah dijebloskan ke penjara Sukamiskin, PNI secara
resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Aktivis partai
kemudian mendirikan Partindo (Partai Indonesia), tetapi
gerakannya tidak terasa, jarang sekali mereka mengadakan
pertemuan, dan kalaupun ada, pengunjungnya sangat sedikit.
Sementara itu, dua tokoh intelektual: Hatta dan Sjahrir pun
mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia). Aktivis dan
simpatisan PNI pun terbelah, antara mengikuti Partindo dan PNI-
Baru. Bung Karno merasa kecewa dengan perpecahan ini, ia
menginginkan persatuan dari dua kubu.
Bung Hatta : Dengan sistem Bung Karno, partai tidak
memiliki kestabilan. Ketika Bung Karno beserta tiga kawan kita
masuk penjara, seluruh gerakan tercerai berai. Gagasanku adalah
membentuk satu inti kecil dari organisasi yang kemudian akan
melatih kader untuk digembleng sesuai cita-cita kita.
Bung Karno : Lalu apa yang akan dilakukan para
kader ini? Apakah akan mendatangi massa rakyat dan
membangkitkan semangat mereka seperti yang telah kukerjakan?
Bung Hatta : Tidak. Konsepsiku lebih didasarkan
pada pendidikan praktis untuk rakyat daripada didasarkan pada
daya tarik pribadi dari seorang pemimpin. Dengan cara demikian,
bila para pemimpin puncak berhalangan, partai akan tetap
berjalan dengan pemimpin di bawahnya yang sudah sadar
mengenai apa yang kita perjuangkan. Pada gilirannya, mereka
151
akan meneruskan cita-cita ini ke generasi berikutnya sehingga
barisan kita bertambah banyak dengan mereka yang simpati
pada perjuangan kita. Kenyataannya sekarang, tanpa pribadi
Soekarno, tidak ada partai. Ini akan membuat partai bubar karena
rakyat tidak memiliki kepercayaan kepada partai itu sendiri. Yang
ada hanya kepercayaan pada Soekarno.
Bung Karno : Mendidik rakyat agar cerdas
membutuhkan waktu bertahun-tahun Bung Hatta. Cara yang
Bung lakukan baru akan tercapai puluhan tahun.
Bung Hatta : Kemerdekaan memang tidak akan
tercapai selagi kita masih hidup. Tapi setidak-tidaknya cara ini
pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun-tahun.
Seperti yang telah kita ketahui, perdebatan yang berlanjut
hingga beberapa bulan kemudian itu menemui jalan buntu. Baik
Bung Karno maupun Bung Hatta sama-sama meyakini jalan
juang yang dipilihnya. Menurut Bung Karno, yang dikatakan
Hatta adalah khayalan revolusioner. Buku teks tak dapat
mempimpin dan menggerakkan jutaan rakyat. Sementara, Bung
Hatta pun keukuh mempertahankan yang diyakininya, ia katakan,
“Ini merupakan janji kesetiaan pada negeri kita. Ini merupakan
soal prinsip. Soal kehormatan.” Bung Karno pada akhirnya masuk
Partindo, dan Bung Hatta tetap meneruskan perjuangannya
lewat PNI-Baru.
Agak janggal menarik persoalan ini pada kebimbangan
gerakan menentukan mana yang lebih baik, membina basis
massa atau basis kader. Tapi setidaknya percakapan dua tokoh
besar tadi mampu membuat kita menyelami hakikat perbedaan
152
paling prinsipil yang pernah terjadi dalam perjuangan
kemerdekaan republik.
Kawan-kawan GP, janganlah anti pada buku-buku sejarah
bangsamu sendiri. Kawan-kawan Tarbiyah, jangan hanya
andalkan wacana IM tahun 85. Mari kita saling berdialog dan
berwacana dengan kajian yang matang. Era informasi kian
membanjir, maka kita tahu bahwa era ini akan segera berakhir.
Gerakan intelektual akan kembali berjaya. Pastinya, kita harus
segera menyiapkan diri.
Referensi
1. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya
Cindy Adams
2. At Takattul Al Hizbiy karya Taqiyuddin an Nabhani
153
KIDS dan Satu Generasi Muslim yang Kita
Pertaruhkan
Training For Instructure KAMMI Daerah Solo Raya usai
dilakukan. 14 Instruktur baru resmi dilantik. Sayang, komposisi
instruktur baru ini tidak berimbang. Kebanyakan berasal dari
angkatan lama. 2008-2009. Padahal, keinstrukturan yang
dipegang kaum muda adalah keniscayaan yang kuyakini mampu
membangkitkan semangat zaman.
Aku kagum (sekaligus iri) pada kader KAMMI Jogja.
Konsep-konsep keinstrukturan yang mereka inisasi goal di
muktamar. Ide-ide mereka dipakai secara nasional meskipun
belum merata. Pemerataan in tentu merupakan sebuah proses
yang panjang. Membutuhkan waktu lama dan konsistensi yang
tak mudah surut, apalagi luruh.
Sungguh, pertanggungjawaban kita pada mereka yang
telah memilih KAMMI sebagai saluran aktualisasi dan kawah
candradimuka untuk menempa diri harus dihayati dengan
sebenar-benarnya penghayatan dan kesadaran.
Pertanggungjawaban itu harus mewujud dalam kerja-
kerja perkaderan yang tersusun dalam kerangka konseptual,
integral, dan holistik. Yang ku tahu, pembenahan kaderisasi kita
tidak akan tuntas dalam waktu singkat. Kerja-kerja kaderisasi
adalah kerja yang tak pernah putus. Mata rantainya
menyambung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Terus
begitu.
154
Hanya saja, karakter gerakan KAMMI sebagai harokatul
amal menuntut kadernya tak hanya fokus mengurus kaderisasi,
tapi secara taktis berkontribusi memecahkan persoalan umat dan
bangsa.
Atas sebab keanggotaan dan kepengurusan organisasi
yang terus berjalan dari periode ke periode, maka sangat sulit
mengharapkan kematangan sikap, kestabilan organisasi, dan
kematangan konsepsi di tubuh KAMMI sendiri. Karenanya, taurits
(pewarisan) haruslah menjadi hal pokok yang jadi prioritas.
Sayangnya, budaya taurits ini belum terwujud secara utuh. Hanya
sebatas dokumen-dokumen kerja yang tak menguraikan proses
berpikir, kurasa.
Aku berharap bisa menjadi saksi sejarah yang
mendokumentasikan serangkaian proses berpikir itu dalam
tulisan-tulisanku (termasuk tulisan ini). Proses berpikir
merupakan pondasi yang paling fundamen dalam melakukan
perbaikan. Bisa jadi, karena ketiadaan dokumen ‘proses berpikir’
ini, generasi selanjutnya akan memulai konsep dari awal lagi.
Seperti yang kubilang di awal, karena KAMMI adalah
rumah tinggal sementara (kawah candradimuka untuk menempa
diri), maka waktu yang singkat ini harus dimanfaatkan sebaik-
baiknya.
Mengoptimalkan proses perkaderan di tubuh KAMMI
dengan pengoptimalan Korps Instruktur adalah ikhtiar yang
dipilih. Di beberapa organisasi kader lain, jalan ini telah ditempuh
sejak lama. KAMMI sebetulnya tinggal mengadopsi atau
mengadaptasi saja apa yang telah diterapkan oleh PII atau HMI,
tentunya dengan tetap berpegang pada filosofi gerakan dan
155
nalar/orientasi kaderisasi nasional kita. Tapi, memang tak
semudah itu.
Kemarin, pasca TFI usai. Dilaksanakan pula lokakarya KIDS
(Korps Instruktur Daerah Solo). Ada tiga agenda yang jadi pokok
bahasan. Pertama, laporan pertanggungjawaban penanggung
jawab sementara KIDS. Kedua, pembentukan renstra KIDS.
Ketiga, pembentukan struktur dan penempatan personil KIDS.
Dari laporan PJS KIDS sebelumnya, aku menyimpulkan
bahwa fungsi keinstrukturan belum berjalan sebagaimana pola
ideal yang diharapkan. Meskipun memang KIDS telah
menginisiasi dihapusnya Sie Acara dalam kepanitiaan DM1
(sebetulnya KIDS bertanggungjawab untuk semua suplemen
dauroh yang diselenggarakan KAMMI, akan tetapi fokus garapan
pokok di periode awal ini adalah mengidealkan DM1) dan
menggantinya dengan sistem kepengelolaan.
Dari empat komisariat yang berada di KAMMI Daerah
Solo (Sholahuddin Al Ayyubi UNS, Al Fath UMS, Al Aqsha IAIN,
dan Abdullah Azzam yang merupakan gabungan beberapa
universitas macam Universitas Setia Budi, Universitas Slamet
Riyadi, serta Poltekes), hanya Shoyyub UNS lah yang telah
established menerima konsep keinstrukturan dalam pengelolaan
Dauroh Marhalah.
Maka dari itu, aku mengusulkan dibentuknya suatu
renstra jangka pendek. Dengan logika yang sama, saya, Mas
Umam, dan Mas Hartono mengusulkan renstra satu tahun.
Melalui perdebatan yang cukup alot, renstra satu tahun yang
dibagi dalam dua fase tersebut disepakati forum.
156
Ada empat poin yang menjadi acuan kerja-kerja KIDS
selama satu tahun ke depan, yakni 1) Bertambahnya jumlah
instruktur 2) Selesainya sosialisasi KIDS ke seluruh komisariat 3)
Pengelolaan DM1 yang 100% ditangani KIDS dan peninjauan
dauroh-dauroh lain untuk pembuatan SWOT renstra jangka
panjang satu tahun mendatang 4) Peningkatan kompetensi
intruktur melalui Halaqoh Instruktur (HI).
Untuk menunjang tercapainya renstra tersebut,
dibentuklah struktur sebagai berikut:
Koordinator : Ahmad Walid (Pascasarjana UNS)
Sekretaris & Bendahara : Diandaru (Pascasarjana UNS)
Tim Instruktur Lapangan : Evi (UNS-alumni), Alvian (UMS),
Irine (UNS-alumni), Fitri (IAIN), Amin (UNS)
Tim Manajemen Data dan Informasi : Rahmad (UNS), Titis
(UNS), Titik (UMS)
Tim Pengembangan Kompetensi Instruktur: Nuzul (UMS),
Alikta (UNS), Umam (UNS-alumni), Vike (IAIN), Syahid (UNS-
alumni)
Besar harapan yang ku tumpukan pada sistem
keinstrukturan ini. Aku sadar betul bahwa satu tahun ke depan
adalah masa trial and error. Mudah-mudahan Alloh SWT
mengampuni kami semua.
Aku ingin menggubah tulisan Ahmad Wahib untuk
mengakhiri tulisanku kali ini..
157
Arena telah kita pilih
KAMMI sebagai saluran
Bertahun-tahun kita membina
Satu generasi muslim kita pertaruhkan
Untuk umat Islam
Kegagalan KAMMI kegagalan satu generasi
Keberhasilan KAMMI keberhasilan satu generasi
Kita telah memilih KAMMI sebagai wadah perjuangan
permanen (seperti yang kita hafal sebagai visinya). Mari berdoa,
mudah-mudahan Alloh SWT membimbing KAMMI ke jalan-Nya
yang lurus. Mudah-mudahan Alloh SWT mengampuni kita atas
satu generasi muslim yang kita pertaruhkan.
158
TENTANG PENULIS:
Alikta Hasnah Safitri adalah mahasiswi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret. Terhitung
sejak awal tahun 2012 aktif dalam
kepengurusan KAMMI UNS. Saat ini,
masih menikmati perannya sebagai
admin website resmi KAMMI UNS
(kammiuns.org) dan Dewan Redaksi Jurnal KAMMI Kultural
(kammikultural.org).