mekanisme dan lembaga pemakzulan presiden di...
TRANSCRIPT
MEKANISME DAN LEMBAGA PEMAKZULAN PRESIDEN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapat Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Frida Aprillia
11140480000109
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
i
MEKANISME DAN LEMBAGA PEMAKZULAN PRESIDEN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapat Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Frida Aprillia
11140480000109
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
ii
MEKANISME DAN LEMBAGA PEMAKZULAN PRESIDEN DI
INDONESIA DAN KOREA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Frida Aprillia
11140480000109
Pembimbing:
__________________________
Nur Rohim Yunus, L.L.M
NIP. 1979 0416 2011011 004
P R O G R A M S TU D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Mekanisme dan Lembaga Pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea
Selatan diujikan dalam sidang munaqasyah pada 2 Agustus 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2018
Mengesahkan,
Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP. 19691216 199603 1 001 (.................................)
2. Sekertaris : Indra Rahmatullah, S.H.I, M.H.
NIP. (.................................)
3. Pembimbing I : Nur Rohim Yunus, L.L.M.
NIP. 19790416 201101 1 004 (.................................)
4. Penguji I : Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., M.H.
NIP. 1973024 200212 1 007 (.................................)
5. Penguji II :: Dr. Mesraini, S.H., M.Ag.
NIP. 19760213 200312 2 001 (.................................)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2018
Frida Aprillia
v
ABSTRAK
Frida Aprillia, 11140480000109. MEKANISME DAN LEMBAGA PEMAKZULAN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN. Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. ix + 69 halaman .
Studi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme serta lembaga yang berwenang dalam proses pemakzulam presiden di Indonesia dan Korea Selatan. Beberapa pertanyaan penting seputar fokus penelitian adalah: pertama, bagaimana mekanisme pemakzulan di Indonesia dan Korea Selatan dalam sistem ketatanegearaan di masing-masing negara? Kedua, apa kewenangan lembaga negara dalam mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan?
Penelitian ini merupakan penelitian berjenis yuridis normatif dan menggunakan metode penelitian kualitatif. Sumber data terdiri dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, yaitu UUD NRI 1945 dan Konstitusi Korea Selatan (The Constitution of the Republic of Korea; 대한민국 헌법) dan bahan hukum sekunder jurnal, laporan penelitian, artikel, skripsi, dan karya ilmiah lainnya yang memiliki relevani dengan masalah penelitian. Metode pengumpulan data melalui studi dokumentasi dengan cara mengumpulkan data melalui: UUD NRI 1945, Konstitusi Korea Selatan serta surat-surat, arsip-arsip, dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan.
Studi ini menyimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam mekanisme pemakzulan di Indonesia dan Korea Selatan serta lembaga yang berwenang dalam proses pemakzulan. Putusan akhir pemakzulan presiden di Indonesia ada di tangan MPR sementara di Korea Selatan ada di MK, sedangkan lembaga yang berwenang di Indonesia ada tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR. Sementara di Korea Selatan hanya Majelis Nasional dan MK.
Kata kunci: Mekanisme, Pemakzulan, Presiden, Lembaga Negara
Pembimbing : Nur Rohim Yunus, L.L.M
Daftar Pustaka : Tahun 1983 sampai tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan berkah dan
nikmat kesehatan sehingga skripsi yang berjudul; Mekanisme dan Lembaga
Pemakzulan di Indonesia dan Korea Selatan ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Shalawat serta salam senantiasa dipanjatkan pada Rasulullah Muhammad Saw.
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada para pihak
yang telah membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini, kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum,
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Nur Rohim Yunus, L.L.M, dosen pembimbing skripsi yang telah menyediakan
waktu serta memberikan bimbingan dan dukungan dalam proses penyusunan
dan penyelesaian skripsi.
4. Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia sebagai tempat untuk mengadakan penelitian.
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala Perpustakaan DPR-RI, dan Kepala Perpustakaan
Universitas Indonesia yang telah mengadakan bahan-bahan pustaka untuk
kelancaran penulisan skripsi.
vii
6. Teruntuk kedua orangtua penulis, Firman Wahjudi (Ayah) dan Ir. Abidatul
Kholisah (Ibu), serta adik Farell Afif Wahjudi, yang telah memberikan
semangat dan dukungan demi kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Teruntuk sahabat-sahabat tercinta, Dhaneswari Pratita, Nadya Saffina Karim,
Hafizah Zahra, dan Sandra Fitriyana, atas seluruh dukungan moral dan selalu
mendampingi penulis dalam segala hal.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karua ilmiah ini di masa mendatang. Akhir kata,
peneliti mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Agustus 2018
Peneliti,
Frida Aprillia
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah, Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ............. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 7 D. Metode Penelitian ............................................................................................ 7 E. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 9
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep ............................................................................................ 11 B. Kerangka Teori ................................................................................................ 12
1. Teori Perbandingan Hukum....................................................................... 12 2. Pemakzulan (Impeachment) ...................................................................... 16 3. Prinsip Check and Balance ........................................................................ 20
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu .................................................................... 25
BAB III: PEMAKZULAN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
A. Pemakzulan Presiden di Indonesia .................................................................. 27 B. Pemakzulan Presiden di Korea Selatan ........................................................... 37
ix
BAB IV: MEKANISME PEMAKZULAN PRESIDEN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
A. Mekanisme Pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan ............... 44 B. Kewenangan Lembaga Pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea
Selatan ............................................................................................................ 54
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 59 B. Rekomendasi .................................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 62
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Impeachment merupakan salah satu kewenangan yang dipegang oleh
lembaga legislatif sebagai bentuk dari fungsi kontrol parlemen atas tindakan
setiap pejabat publik yang telah diamanatkan rakyat melalui konstitusi untuk
menjalankan tugas dan kewajibannya. Apabila di masa jabatannya pejabat publik
tersebut melakukan pelanggaran baik yang telah diatur oleh konstitusi maupun
hukum positif yang berlaku, maka terhadap yang bersangkutan dapat dihadapkan
pada proses impeachment yang mengarah pada pemecatan yang bersangkutan dari
jabatannya.1
Di Amerika Serikat, pengaturan mengenai impeachment terdapat pada
article of impeachment yang menyatakan, “the president, vice president, and all
civil officers of the united states, shall be removed from office on impeachment for
and conviction of treason, bribery, or other high crimes or misdemeanors.” Pasal
inilah yang kemudian menjadi acuan berbagai konstitusi negara lain dalam
pengaturan impeachment.2
Banyak orang dari kalangan ahli maupun umum yang memahami bahwa
impeachment adalah turun, berhenti atau dipecatnya presiden atau pejabat tinggi
negara lain dari jabatannya. Arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau
dakwaan, sehingga impeachment lebih berfokus pada sebuah alur atau proses dan
tidak harus berakhir dengan diberhentikan atau diturunkannya presiden dari
1 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Pidato Nawaksara (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 53
2 Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), h. 9
2
jabatannya. 3 Proses, alasan, dasar hukum yang mengatur pemakzulan pejabat
tinggi negara berbeda-beda di setiap negara, namun tidak menutup kemungkinan
terdapatnya kesamaan dalam proses itu di negara satu dengan negara lainnya
didukung oleh beberapa latar belakang serupa yang dapat ditemukan di kedua
negara tersebut.
Setelah terjadinya empat kali amandemen UUD 1945, hal ini berakibat
pada beberapa perubahan, antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit
mengatur pemberhentian presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasan pemberhentian presiden disebutkan secara terbatas dalam konstitusi, yaitu
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Ketentuan
tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 7A dan 7B Amandemen Ketiga UUD
1945.4
Sebelum terjadinya Amandemen UUD 1945, Presiden dapat
diberhentikan dengan berbagai alasan yang bersifat politis, bukan yuridis. Hal ini
bisa dikatakan tidak lazim jika kita berbicara mengenai negara yang menganut
sistem pemerintahan presidensiil. Oleh sebab itu, amandemen ketiga UUD 1945
memuat ketentuan pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya yang
didasarkan semata-mata pada alasan-alasan bersifat yuridis dan hanya mengacu
pada ketentuan normatif-terbatas yang ditentukan konstitusi.5
Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali amandemen
UUD 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur
pemberhentian presiden dalam masa jamatannya oleh Majelis Permusyawaratan
3 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, Alasan-alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Menurut UUD 1945, cet. I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2015), h.13
4 Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), h.42-43
5Winarno Yudho, Mekanisme Impeachment, ..., h.5
3
Rakyat (MPR) atas usul Dewan perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian
presiden disebutkan secara terbatas dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, rindak pidana berat lain, perbuatan tercela,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Ketentuan tersebut dimuat
dalam pasal 7A dan 7B perubahan ketiga UUD 1945.
Impeachment dalam sistem ketatanegaran di beberapa negara dunia
seringkali digunakan untuk melakukan pemberhentian jabatan yang berada pada
kekuasaan eksekutif. Kebiasaan kenegaraan yang sering terjadi dalam pelaksanaan
pemberhentian jabatan dari kekuasaan eksekutif yang disebabkan oleh
impeachment adalah karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Disamping itu, pemberhentian presiden dari jabatannya juga dapat
disebabkan oleh aspek-aspek lain yang sangat kuat namun tidak sepenuhnya
tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Tetapi di Indonesia, setelah
berlakunya amandemen ketiga, pemberhentian Presiden harus didasari pada
alasan-alasan yuridis yang tertera dalam Undang-Undang Dasar.
Struktur ketatanegaraan Indonesia yang sejak awal menurut UUD 1945
menganut sistem pemerintahan presidensiil telah mengalami beberapa kali
pergantian Presiden yang abnormal. Dari enam presiden yang telah menjabat,
terdapat empat orang yang berhenti menjabat, baik diberhentikan atau
memberhentikan diri yaitu Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie dan
Abdurrahman Wahid. Semenjak menjabat hingga sebelum berakhir masa
jabatannya, Presiden Soekarno berhenti karena dimakzulkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tahun 1967, setelah adanya
memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang
meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno terkait Gerakan 30 September
1965.6 Sementara Presiden Abdurrahman Wahid berhenti dalam masa jabatannya
karena dimakzulkan oleh MPR dalam sidang istimewa MPR, karena dianggap
melanggar Undang Undang Dasar dan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
6 Ikhsan Daulay Rosyada Parluhutan, Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.36
4
karena diduga menerima dana bantuan dari Sultan Brunei dan terlibat pencairan
dana Yanatera Bulog.7
Bila berbicara mengenai negara kesatuan dengan sistem presidensiil,
Korea Selatan juga merupakan negara kesatuan dengan sistem presidensiil. Korea
Selatan dipimpin oleh seorang Presiden yang dipilih melalui pemilihan umum
setiap lima tahun sekali, dan menjabat hanya untuk satu periode notabene tidak
dapat mengajukan diri untuk dipilih kembali di pemilihan umum selanjutnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden diperbantukan oleh Perdana Menteri
yang ditunjuk oleh Presiden atas persetujuan Majelis Nasional. Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara sementara Perdana Menteri berkedudukan
sebagai kepala pemerintahan. 8
Dalam sejarah ketatanegaraan di Negeri Ginseng, proses pemakzulan
presiden melalui Mahkamah Konstitusi pernah juga terjadi pada 2004. Tak selang
beberapa waktu yang lalu, Presiden Korea Selatan, Roh Moo Hyun, terkena kasus
impeachment atas tuduhan kasus suap dalam pemilihan umum yang
dimenangkannya. Oleh Parlemen Korea Selatan Roh Moo Hyun telah terbukti
bersalah dan diberhentikan dari kedudukannya. Atas putusan Parlemen itu Roh
Moo Hyun dinonaktifkan dari jabatannya dan dapat mengajukan perkaranya
kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah diperiksa di Mahkamah Konstitusi, putusan
Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Roh Moo Hyun memang melakukan
suap tapi tuduhan itu tidak cukup untuk membuat dia turun dari jabatannya. Oleh
karena itu Roh Moo Hyun tetap dalam jabatannya sebagai Perdana Menteri akibat
putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan sebagai benteng terakhir dari proses
impeachment di Korea Selatan.9
7 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h.9
8 https://www.academia.edu/9134203/Sistem_Pemerintahan_Republik_Korea_Selatan, diakses pada 28 Oktober 2017.
9 Winarno Yudho, dkk, Mekanisme Impeachment, ..., h. 2
5
Yang terbaru adalah pemakzulan Presiden Park Geun-hye. Presiden Park
Kasus ini terjadi pada akhir Oktober 2016, di mana teman dekat Presiden Park
Geun-hye, Choi Soon-sil, yang tidak memiliki posisi resmi dalam pemerintahan,
telah menggunakan posisi dan kewenangan Presiden Park untuk mencari dana dari
beberapa bisnis kepada dua yayasan yang dia miliki, yaitu Mir Foundation dan K-
Sports Foundation. Choi ditangkap dan Park Geun-hye akhirnya meminta maaf
tiga kali kepada rakyatnya, dimulai sejak bulan Oktober, namun unjuk rasa lebih
besar terus terjadi. Setelah melalui proses panjang proses pemakzulan di
Makhamah Konstitusi Korea Selatan, pemberhentian jabatan Presiden Park
disahkan pada tanggal 10 Maret 2017.10
Impeachment di Korea Selatan juga harus berdasarkan alasan-alasan
yuridis dengan bukti yang kuat. Mahkamah Konstitusi mempunyai andil besar
dalam semua proses pemakzulan, dari awal pelaporan tindakan melanggar hukum
yang dilakukan Presiden hingga putusan sah atau tidaknya pemberhentian
Presiden dari jabatannya. Di Korea Selatan, usulan pemakzulan dilakukan oleh
Majelis Nasional dengan persetujuan mayoritas anggota Majelis Nasional dan
disetujui minimal 2/3 anggota Majelis Nasional. Setelah mosi dakwaan disetujui
oleh Majelis Nasional, Presiden harus nonaktif dari jabatannya sampai keluar
putusan Mahkamah Konstitusi. 11 Mahkamah Konstitusi mempunyai yuridiksi
atas impeachment proceeding dan memiliki otoritas final
atas impeachment dengan tanpa hak untuk banding.
Dari uraian di atas mengenai latar belakang ketatanegaraan Indonesia dan
Korea Selatan yang berfokus pada pemakzulan, Indonesia dan Korea Selatan
mempunyai cukup banyak poin persamaan maupun perbedaan dalam sistem
ketatanegaraannya. Dalam pemakzulan pejabat negara yang dalam hal ini presiden,
kedua negara ini mempunyai beberapa aspek yang dapat diteliti lebih lanjut, baik
10 https://www.kompasiana.com/makenyok/masalah-pemakzulan-presiden-park-geun-
hye-dan-sistem-politik-republik-korea-selatan_58533b5b23afbd2b39643072, diakses 28 Oktober 2017
11 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden. ..., h.34
6
dari sisi persamaan maupun perbedaan, serta kelebihan dan kekurangan
mekanisme dari kedua negara.
Dengan adanya persamaan maupun perbedaan yang menjadi dasar
penelitian atas prosedur pemberhentian Presiden di Indonesia dan Korea Selatan,
dilakukanlah penelitian dengan metode komparatif yang berjudul
“MEKANISME DAN LEMBAGA PEMAKZULAN PRESIDEN DI
INDONESIA DAN KOREA SELATAN”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Permasalahan penelitian yang akan diajukan dapat diidentifikasi
permasalahannya sebagai berikut:
a. Alasan pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan.
b. Lembaga negara yang berwenang dalam mekanisme pemakzulan Presiden.
c. Mekanisme pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan.
d. Pejabat-pejabat negara yang dapat di-impeach di Indonesia dan Korea
Selatan.
e. Sifat putusan pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan.
f. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pemakzulan presiden di
Indonesia dan Korea Selatan.
2. Pembatasan masalah
Mengenai pembatasan masalah guna mempermudah pembahasan pada
fokus bahasan, penelitian ini akan dibatasi masalahnya guna menghindari
adanya perluasan maupun pelebaran objek kajian. Berdasarkan pemaparan
latar belakang sebelumnya, pembatasan masalah dalam penelitian ini ada pada
mekanisme pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan, termasuk di
dalam kajian komparatif mengenai persamaan dan perbedaan dalam proses
tersebut dilihat dari konstitusi masing-masing negara serta lembaga yang
berwenang dalam proses pemakzulan di kedua negara, mulai periode pasca-
7
amandemen UUD NRI 1945 dan pasca-amandemen Konstitusi Korea Selatan
pada 22 Oktober 1987.
3. Permasalahan Penelitian dan Pertanyaan Riset
Dalam penelitian ini, ditemukan permasalahan penelitian yang menjadi
inti dari penelitian, yaitu status eksistensi persamaan maupun perbedaan dalam
mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan, serta
lembaga –lembaga yang berwenang.
Dari permasalahan penelitian tersebut, terdapat beberapa pertanyaan riset
sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea
Selatan dalam sistem ketatanegaraan di masing-masing negara?
b. Apa kewenangan lembaga negara dalam mekanisme pemakzulan Presiden
di Indonesia dan Korea Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui mekanisme pemakzulan Presiden di Indonesia dan
Korea Selatan menurut konstitusi dan sistem ketatanegaraan kedua negara.
b. Untuk mengetahui kewenangan lembaga negara di Indonesia dan Korea
Selatan dalam pemakzulan Presiden.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Teoretis, memberikan bahan pemikiran baru bagi perkembangan
Hukum Kelembagaan Negara.
8
b. Manfaat Praktis, menambah pengetahuan serta wawasan mengenai
masalah dalam penelitian ini yaitu pemakzulan presiden di Indonesia dan
Korea Selatan.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
komparatif (comparative approach) dalam rangka mengupas lebih dalam dan
menjawab masalah yang ada di dalam penelitian ini. Pendekatan perundang-
undangan ialah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
ditangani.12 Pendekatan komparatif adalah pendekatan yang membandingkan
salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari sistem hukum yang satu
dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum)
lainnya.13
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan berbagai bahan
yang berasal dari berbagai buku, artikel, jurnal, makalah, koran, serta bahan-
bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, serta penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.93.
13 Johni Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ketiga), h. 300-322.
9
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk kegunaan
penelitian adalah teknik dokumentasi. Dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu, berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental
dari seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan.14 yaitu
dengan membaca buku atau literatur, baik fisik maupun non-fisik (dalam
bentuk software atau temuan pustaka daring) yang relevan dengan penelitian
ini.
4. Sumber Data
Data Sekunder, yang terdiri dari:
a. Bahan primer, di dalamnya termasuk UUD NRI 1945 dan Konstitusi
Republik Korea (The Constitution of the Republic of Korea; 대한민국
헌법)
b. Bahan sekunder, di dalamnya termasuk buku, makalah, jurnal, artikel,
dan bahan kepustakaan lainnya.
5. Metode Analisis Data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dianalisis dengan teliti
dan menyeluruh sehingga sampai pada penemuan kebenaran untuk
menjawab persoalan yang ada selama proses penelitian. Data-data tersebut
diolah menggunakan metode analisis perbandingan, yaitu perbandingan
antara mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan
serta lembaga yang terlibat dalam proses pemakzulan di kedua negara.
14 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: CV.
Alfabeta, 2013), h.240.
10
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini digunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II adalah kajian pustaka yang berisi kerangka teori dan kerangka
konsep yang menjabarkan pemakzulan presiden dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia dan Korea Selatan serta sistem ketatanegaraan Indonesia dan Korea
Selatan secara umum dan kajian (review) penelitian terdahulu.
BAB III adalah pembahasan mengenai pemakzulan di Indonesia dan
Korea Selatan, mencakup fenomena pemakzulan di Indonesia sebelum dan
sesudah amandemen UUD 1945 serta fenomena pemakzulan di Korea Selatan
terhadap dua presidennya, dan dasar hukum pemakzulan di Indonesia dan Korea
Selatan.
BAB IV adalah analisis perbandingan mekanisme pemakzulan di
Indonesia dan Korea Selatan yang mencakup lembaga yang berwenang dalam
mekanisme pemakzulan di Indonesia dan Korea Selatan, serta persamaan dan
perbedaan mekanisme pemakzulan di Indonesia dan Korea Selatan.
BAB V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konsep
1. Impeachment: pertanggungjawaban dalam rangka pengawasan parlemen
kepada presiden, apabila presiden melanggar hukum.1
2. Pemberhentian: tindakan lebih lanjut dari berhenti karena mengundurkan diri,
atau dalam keadaan dimana tidak lagi dapat menjalankan tugas (incapacity)
jabatan.
3. Presiden: kepala atau pemimpin tertingggi sebuah lembaga, organisasi,
perusahaan, dan sebagainya. Secara spesifik, istilah tersebut adalah sebutan
untuk jabatan tertinggi pemerintah nasional pada kebanyakan negara yang
menggambarkan kepala negara dan/atau kepala pemerintahan.2
4. Sistem Presidensiil: suatu pemerintahan dimana kedudukan eksekutif tidak
bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain
kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan (langsung) parlemen.3
5. Majelis Permusyawaratan Rakyat: menurut Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum.
6. Majelis Nasional (National Assembly): lembaga legislatif unikameral Korea
Selatan yang terdiri dari anggota dua partai besar dan independen.
7. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: lembaga peradilan independen
yang berwenang untuk menangani perkara yang bersifat konstitusional.
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2012), h. 43
2 B.N Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet.I, h.451 3 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 151
11
12
8. Mahkamah Konstitusi Korea Selatan: Lembaga peradilan tertinggi yang
terdiri dari sembilan hakim yang berwenang untuk mengadili perkara yang
bersifat komstitusional.
B. Kerangka Teori
1. Teori Perbandingan Hukum
Membandingkan suatu sistem hukum terhadap sistem hukum lainnya
merupakan suatu kajian penelitian hukum yang dapat dilakukan dalam
penelitian. Upaya membandingkan hukum memiliki metode penelitian
tersendiri yang kerap digunakan oleh para ahli sebagai pisau analisis
penelitiannya. Menurut Black’s Law Dictionary, perbandingan hukum
(comparative law) adalah the scholarly study of the similarities and
differences between the legal systems of different jurisdictions, such as
between civil-law and common-law countries.4
Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief dalam bahasa
asing, diterjemahkan sebagai berikut:5
1. Comparative law (bahasa Inggris)
2. Vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda)
3. Droit compare (bahasa Perancis)
Berbeda halnya dengan K. Zweigert dan H. Kotz dalam An Introduction to
Comparative Law, mengemukakan bahwa perbandingan hukum
(comparative law) adalah the comparison of the different legal systems of
the world.6
Berbicara lebih lanjut mengenai definisi comparative law, istilah tersebut
dapat didefinisikan sebagai sebuah perbandingan sistem hukum di dunia.
4 Bryan A. Garner, Garner's Dictionary of Legal Usage, (New York: Oxford Universty
Press, 2011), 3rd revised edition, h.137 5 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 1990), h.3 6 K. Zweigert dan H. Kotz, An Introduction to Comparative Law, (Oxford: Clarendon
Press, 1998), 3rd edition, h.2
13
Dalam hal ini, Peter Cruz mengemukakan bahwa:7
“Hukum komparatif dapat digunakan untuk menggambarkan studi sistematik mengenai tradisi hukum dan peraturan hukum tertentu yang berbasis komparatif. Untuk dapat dikatakan sebagai hukum komparatif yang sesungguhnya, ia juga membutuhkan perbandingan dari dua atau lebih sistem hukum, atau dua atau lebih tradisi hukum, atau aspek-aspek yang terseleksi, institusi atau cabang-cabang dari dua atau lebih sistem hukum”.
Mengenai cakupan hukum komparatif, Michael Bogdan berkata lain.
Menurut Bogdan, cakupan hukum komparatif termasuk membandingkan
berbagai sistem hukum yang berbeda yang bertujuan menegaskan
persamaan dan perbedaan masing-masing; bekerja dengan menggunakan
persamaan dan perbedaan yang telah ditegaskan, misalnya menjelaskan asal
usul, mengevaluasi solusi yang dipergunakan dalam sistem hukum yang
berbeda, mengelompokkan berbagai sistem hukum menjadi keluarga-
keluarga hukum, atau mencari kesamaan inti dalam sistem hukum tersebut;
dan menguraikan masalah metodologis yang muncul berhubungan dengan
tugas-tugas tersebut, termasuk masalah metodologis yang terkait dengan
sistem hukum di luar negeri.8
Perbandingan hukum sendiri merupakan suatu metode penyelidikan, bukan
suatu cabang ilmu hukum, sebagaimana seringkali diungkapkan orang.
Metode yang dipakai adalah membandingkan salah satu lembaga hukum
dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum, yang kurang lebih
sama dari sistem hukum yang lain. Dari proses membandingkan itulah kita
dapat menemukan unsur persamaan maupun perbedaan dari kedua sistem
hukum itu. 9
7 Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law dan Socialist
Law, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, (Bandung, Nusa Media, 2010), h.4
8 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Hukum, Penerjemah Dirta Sri Widowartie, (Bandung, Media Nusa, 2010), h.4
9 Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), cet.ketujuh, h.1
14
Perlu diketahui juga bahwa dalam perbandingan hukum terdapat metode
yang berkaitan dengan menyusun perbandingan hukum, yaitu perbandingan
hukum secara makro dan mikro. Perbandingan hukum makro
membandingkan masalah hukum pada umumnya, sementara perbandingan
hukum mikro membandingkan hukum tertentu. Dengan kata lain,
perbandingan hukum mikro lebih spesifik dan mendetail dalam
membandingkan dua atau lebih hukum. Hal lain yang harus diperhatikan
adalah tiga istilah dalam perbandingan hukum, yaitu comparatum,
comparandum, dan tertium comparatum. Comparatum adalah hukum yang
telah diketahui yang akan dibandingkan, sementara comparandum adalah
hukum yang akan dibandingkan dengan yang sudah diketahui. Setelah
diketahui hal atau aspek apa saja yang akan dibandingkan dari dua hukum
tersebut, misal dalam hal ini mekanisme dan lembaga pemakzulan, maka hal
itu disebut dengan tertium comparatum. 10
Perkembangan perbandingan hukum sudah terlihat bahkan sejak sebelum
masehi. Rincian praktik perbandingan hukum yang pernah dilaksanakan
para sarjana sebelum masehi hingga abad 20 adalah sebagai berikut11:
a. Plato (430-470 SM), melakukan serangkaian kegiatan perbandingan
hukum. Dalam salah satu karyanya Politeia (negara), Plato
membandingkan beberapa bentuk negara.
b. Aristoteles (384-322 SM), dalam politiknya ia membandingkan
serangkaian peraturan dari berbagai negara.
c. Theoprastos (372-287 SM), membandingkan hukum yang berkaitan
dengan jual beli di berbagai negara.
d. Collatio (Mosaicarium et Romanium Legum Collatio), sebuah karya
tanpa pengarang yang membandingkan Undang-Undang Mozes
10 Achmad Dlofilul Alam, “Studi Komparasi antara Konsep Hak Jaminan resi Gudang
menurut Undang-Undang no. 9 Tahun 2011 dengan Konsep Rahn (gadai) dalam Hukum Islam.” (Skripsi S1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), h. 29
11 Achmad Dlofilul, Studi Komparasi, ..., h. 29-30
15
(Pelateuch) dengan ketentuan-ketentuan yang mirip dengan hukum
Romawi.
e. Leibniz (1646-1716) menulis uraian tentang semua sistem hukum di
seluruh dunia dalam rangka mendapatkan dasar dari semua hukum.
f. Montesquieu (1687-1755) dalam L’esprit des Lois, membandingkan
organisasi negara di Inggris dan Perancis.
g. Fortescue (1930), seperti layaknya Montesquieu, membandingkan
organisasi negara di Inggris dan Perancis.
Dalam melakukan perbandingan hukum, terjadi kesalahpahaman teori
perbandingan hukum itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan perbandingan
hukum disini bukanlah membandingkan hukum perdata dengan hukum
pidana, dan sebagainya, melainkan membandingkan sistem hukum yang satu
dengan lainnya. Arti membandingkan adalah mencari dan mengidentifikasi
berbagai perbedaan maupun persamaan dengan memberikan penjelasan dan
meneliti bagaimana hukum berfungsi dan bagaimana pemecahan yuridisnya
dalam praktik serta faktor-faktor non-hukum apa saja yang
mempengaruhinya.
Membandingkan hukum tentunya mempunyai tujuan (goals). Menurut
Van Apeldoorn, ada dua jenis tujuan perbandingan hukum, yaitu tujuan
yang bersifat teoritis dan tujuan yang bersifat praktis. Tujuan teoritis dari
perbandingan hukum menjelaskan bahwa hukum berperan sebagai gejala
dunia. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami
gejala tersebut; dan karena itulah kita juga harus memahami hukum yang
berlaku di masa lampau dan masa sekarang. Sementara maksud dari tujuan
praktis dari perbandingan hukum adalah sebagai alat pertolongan untuk
tertib masyarakat dan pembaruan tentang berbagai peraturan dan pikiran
hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim.12
12 Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, (Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1989), h.29
16
Dalam praktiknya, membandingkan hukum bukan sekedar menghimpun
berbagai peraturan perundang-undangan untuk dicari persamaan dan
perbedaannya saja, namun juga memperhatikan seberapa jauh pelaksanaan
peraturan perundang-undangan maupun kaidah tidak tertulis dalam
masyarakat. Untuk itu, dicarilah perbedaan dan persamaannya.
2. Pemakzulan (Impeachment)
a. Etimologi Pemakzulan
Istilah Pemakzulan merupakan derivatif dari kata “Makzul” berasal
dari kata bahasa Arab, akar katanya adalah “azala” yang memiliki dua arti,
yaitu 1) mengasingkan, menyisihkan, memisahkan, memencilkan,
menyendiri; dan 2) memecat, pemberhentian, penarikan kembali (Recall),
memecat dari jabatan.13
Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemakzulan
berasal dari kata makzul, yaitu meletakkan jabatan atau turun takhta.
Sementara pemakzulan itu sendiri berarti proses, cara, perbuatan
memakzulkan.14
Dalam bahasa Inggris, pemakzulan diartikan sebagai impeachment.
Impeachment berasal dari kata to impeach, berarti meminta
pertanggungjawaban; mencurigai; mendakwa; dan menuduh15, atau dapat
juga diartikan to change with a crime or misdemeanour, to call to account;
to denounce; to challenge.16 Impeachment sendiri merupakan kata benda
yang berarti tuduhan atau dakwaan.17
13 Harith Suleiman Faruqi, Faruqi’s Law Dictionary, Arabic-English, (Beirut: Librairie
du Liban, 1986), 3rd Edition , h.20 14 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), h. 457 15 Peter Salim, Advanced English – Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English
Press, 1991), cet.Ketiga, h.416 16 John Gage Alle, Webster’s Dictionary, (Chicago, IL: Wilcox & Follet Book Company,
1983), h.186 17 Peter Salim, Advanced English, ..., h.416
17
b. Terminologi Pemakzulan
Dalam Black’s Law Dictionary, impeachment diartikan sebagai “a
criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court,
instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment” 18 .
Impeachment juga dapat diartikan sebagai “a formal accusation of
wrongdoing. To impeach a public official is to accuse him of crimes of
misdemeanours in the execution of his duties19; the trial of public official,
by the upper house of the legislature, the lower house having made the
charge. 20 ” Secara luas, impeachment merupakan dakwaan tindak
kejahatan yang dilakukan di badan legislatif. Impeachment tidak sama
dengan pemecatan jabatan, tapi lebih mirip dakwaan tindak kejahatan.21
Baik publik atau kalangan ilmuwan memahami bahwa
impeachment merupakan turun, berhenti atau dipecatnya eorang pejabat
tinggi negara, seperti Presiden, dari jabatannya. Impeachment sendiri
berarti tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment berfokus pada
prosesnya dan tidak harus berakhir dengan berhenti atau turunnya seorang
pejabat tinggi negara dari jabatannya. Dalam praktik impeachment yang
pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses
impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan
negara.22
18 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases
of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, (St. Paul, Minn.: West Group, 1991), h.516
19 Iain Mclean dan Alistair McMillan, Oxford Concise Dictionary of Politics, (New York:
Oxford University Press, 2009), 3rd edition, h.258
20 John Gage Alle, Webster’s Dictionary, ..., h.186 21 Roger Scruton, Kamus Politik (Terjemahan dari The Palgrave MacMillan Dictionary of
Political Thought), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Pertama, 2013), h.438
22 Winarno Yudho, dkk, Laporan Penelitian: Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2005), h.1
18
Dalam hubungan dengan kedudukan kepala negara atau
pemerintahan, impeachment berarti pemanggilan atau dakwaan untuk
meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang
dilakukan dalam masa jabatannya oleh lembaga legislatif.23
c. Sejarah Pemakzulan
Penerapan sistem pemakzulan pertama kali adalah dalam sistem
politik Inggris pada awal abad ke-14. Pada praktik Good Parliament 1376,
upaya impeachment pertama dilakukan terhadap William Latimer, Baron
Latimer ke-4 pada tahun 1376, namun gagal. Upaya impeachment kedua di
Inggris adalah impeachment terhadap Lord Melville (Dundas) pada tahun
1806. Impeachment Lord Mellville adalah yang terakhir untuk saat ini dan
sejak saat itu, Inggris belum memakzulkan pejabat negaranya.24
Konsep impeachment terhadap pejabat negara untuk pertama
kalinya disetujui oleh Founding Fathers Amerika Serikat pada tahun 1787
dalam Konvensi Konstitusional di Philadelphia. Pemakzulan terhadap
pejabat negara yang dapat dikategorikan sebagai awal mula praktik
pemakzulan terhadap pejabat negara terdapat pula di Amerika Serikat,
yang mengadopsi peraturan mengenai pemakzulan dari Inggris yang
dibentuk di awal abad ke-14.
Di Amerika Serikat, beberapa upaya impeachment terhadap
presiden, senator, maupun hakim telah beberapa kali dilakukan. Kasus
yang paling terkenal adalah impeachment Presiden Andrew Johnson,
Presiden Richard Nixon, dan Presiden Bill Clinton.25 Dari tiga presiden
yang dimakzulkan, hanya Johnson dan Clinton yang berhasil melewati
23 Soimin, Impeachment Presiden & Wakil Presiden Indonesia, (Yogyakarta, UII Press,
2009), h.9
24 Jack Simson Caird, Impeachment, Briefing Paper number CBP7612, 6 June 2016, (United Kingdom: House of Commons Library, 2016), h.4
25 Kenneth C. Davis, The History of American Impeachment, (t.t, t.p, 2017), h.2
19
proses persidangan di House of Representative, dan hanya Presiden
Andrew Johnson yang berhasil diturunkan dari jabatannya, karena
Presiden Nixon mengundurkan diri secara sukarela sebelum sidang
impeachment dilakukan di House of Representative terkait keterlibatan
Nixon dalam skandal Watergate. Sementara Bill Clinton telah disidang di
hadapan majelis House of Representative namun tidak diturunkan dari
jabatannya karena sebagian besar suara menyatakan Clinton tidak bersalah
terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya.26
Pemakzulan tidak hanya terjadi di dua negara yang sudah
disebutkan di atas, namun tindakan pemakzulan pada pejabat negara dalam
kurun waktu yang sama dengan Amerika adalah pemakzulan terhadap
presiden Lithuania, Rolandas Paksas, pada tahun 2004 karena dianggap
melakukan sumpah palsu (perjury). Litnuania merupakan satu-satunya
negara di Eropa yang pernah memakzulkan pejabat negaranya hingga saat
ini.27
d. Pemakzulan dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden menduduki
kekuasaan eksekutif dan merupakan kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan yang memegang peran penting dalam menjalankan
pemerintahan di suatu negara, serta tidak bergantung kepada badan
perwakilan rakyat. Secara teoritis, kedudukan presiden dalam sistem
pemerintahan presidensial sangat kuat dibandingkan kedudukan perdana
menteri dalam sistem pemerintahan parlementer, dan merupakan hal wajar
karena sistem presidensial dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan
yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu (fix term office period).28
26 Jack Simson Caird, Impeachment,, ..., h.13 27 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
h.58
28 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden, (Jakarta: Konstitusi Press, 2011), h.30
20
Mengenai pertanggung jawaban antarlembaga, pemerintah tidak
bertanggung jawab pada parlemen, yang dalam hal ini adalah DPR, karena
posisi pemerintah dan parlemen adalah sejajar dalam sistem presidensial.29
Di sistem presidensial Indonesia, lembaga eksekutif dan legislatif tidak
dapat saling menjatuhkan, namun legislatif dapat mengajukan usulan dan
menyerahkannya pada Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang
kekuasaan yudikatif yang berhak memeriksa perkara pemakzulan dan
memberikan putusan yang bersifat final and binding.
Impeachment sebagaimana diterapkan saat ini ditujukan untuk
memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh negara-
negara yang menganut sistem ini, seperti Indonesia dan Korea Selatan
karena presiden tidak dapat dengan mudah diturunkan dari jabatannya oleh
Parlemen tanpa dasar/alasan konstitusional melalui impeachment.
3. Prinsip Check and Balance
Berbicara mengenai asal mula checks and balances, tidak terlepas dari
teori pemisahan kekuasaan milik John Locke (1632-1704) yang nantinya
disempurnakan oleh Montesquieu (1689-1755) dan diberi nama trias politica.
Montesquieu melalui bukunya L’esprit des Lois berpendapat bahwa dalam
sistem suatu pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan tersebut harus
terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat perlengkapan
(organ) yang melaksanakan.30
Dalam perkembangannya, memang terdapat perbedaan arti dari pemisahan
kekuasaan dan pemegang masing-masing kekuasaan dalam suatu negara di
antara keduanya. John Locke berpendapat kekuasaan eksekutif merupakan
kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili berarti
melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar
negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri. Montesquieu berpendapat
29 Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2011), cet.kedua, h.74 30 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, ..., h.110
21
berbeda. Menurutnya, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif
karena melakukan hubungan luar negeri termasuk kekuasaan eksekutif,
sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri
sendiri dan terpisah dari eksekutif.
Dari perdebatan panjang para sarjana setelahnya mengenai perbedaan
pemahaman lingkup kekuasaan eksekutif antara Locke dan Montesquieu, pada
akhirnya teori Montesquieu-lah yang paling diterima, karena kenyataannya
saat ini kekuasaan eksekutif memegang wewenang untuk melaksanakan
kekuasaan federatif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing. 31
Menyesuaikan dengan latar belakang sejarah, perkembangan zaman dan
masyarakat serta kebutuhan yang berbeda, seperti halnya Indonesia, negara-
negara lain pun memiliki lembaga-lembaga negara lain di luar kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di Belanda, ada lembaga negara bernama
Algemene Reken Kamer yang serupa dengan BPK di Indonesia dan Raad van
State yang serupa dengan DPA di Indonesia atau Conseil d’Etat di Perancis di
samping Staten Generaal (legislatif), Regering (eksekutif), dan Rechtspraak
(yudikatif). Perancis memiliki Counseil d’Etat dan Conseil Constitutionel, di
samping Assemble National (legislatif), President dan Cabimet (eksekutif),
dan Judicative (yudikatif).32
Pada hakikatnya, checks and balances merupakan sebuah mekanisme yang
memastikan bahwa tidak ada pemusatan kekuasaan di satu lembaga negara,
untuk menghindari ketimpangan kekuasaan dan lembaga negara yang
bertingkah otoriter terhadap lembaga lainnya. Checks and balances dapat juga
dikatakan sebagai sistem saling mengawasi dan mengimbangi antarlembaga
negara yang dilacak dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power).
Ivor Jennings dalam bukunya “The Law and the Constitution”, menyatakan
bahwa pemisahan kekuasaan dapat dilihat dari sudut materiil dan formil.
31 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, ..., h.74
32 Bagir Manan, “Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances dalam UUD 1945”,
dalam majalah hukum Varia Peradilan, no. 334, September 2013, h. 9
22
Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan
dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang bila dilihat
dari karakternya memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga
bagian, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebaliknya, apabila
pembagian kekuasaan tidak dibagi dan terlihat dengan tegas garis pemisahnya,
hal itu disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil. 33 sementara Prof. Dr.
Ismail Suny SH, M.C.L berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti
materiil lebih pantas disebut Separation of Power (pemisahan kekuasaan),
sedangkan dalam arti formal disebut Division of Power (pembagian
kekuasaan).34
Pada mulanya, prinsip ini diterapkan dalam sistem ketatanegaraan
Amerika Serikat, di mana sistem ketatanegaraan dimaksud memadukan antara
prinsip pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances. Kekuasaan
negara dibagi atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, masing-
masing dipegang oleh lembaga yang berbeda tanpa adanya kerjasama satu
sama lain, sedangkan dengan checks and balances, antara satu lembaga dan
lembaga lainnya terdapat keseimbangan kekuasaan dan mekanisme saling
kontrol. Prinsip checks and balances tidak dapat dipisahkan dari masalah
pembagian kekuasaan. Sebagaimana ditulis oleh Robert Weissberg 35 , “A
principle related to separation of powers is the doctrine of checks and
balances. Whereas separation of powers divides governmental power among
different officials, checks and balances gives each official some power over
the others.”
Seperti yang sudah diuraikan di atas, checks and balances lahir agar tidak
terjadi miskomunikasi dan kekosongan hubungan antarcabang kekuasaan dan
33 Sunarto, “Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”,
dalam Jurnal Masalah-Masalah Hukum, jilid 45, no. 2, April 2016, h. 158 34 Baehaki Syakbani dan Hery Suprayitno, “Check and Balance dalam Sistem
Pemerintahan Indonesia”, dalam Jurnal Valid, vol. 10, no. 2, April 2013, h.49 35 Robert Weissberg, Understanding American Government, (New York: Holt Rinehart
and Winston), h.35
23
mencegah penyalahgunaan kekuasaan. 36 Prinsip ketatanegaraan ini
menghendaki agar kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berkedudukan
sama dan saling mengontrol satu sama lain. Kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi, bahkan dikontrol dan diawasi dengan sebaik-baiknya, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun
individu-individu yang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara
dapat dicegah dan ditanggulangi.37
Untuk menghindari kekuasaan yang terpusat pada satu individu atau
institusi, maka diterapkan sistem checks and balances. Mekanisme checks and
balances merupakan hal yang wajar dalam konteks demokrasi dalam rangka
menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh individu atau suatu institusi,
karena dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang
lain akan saling mengontrol atau mengawasi, bahkan bisa saling mengisi.38
Seiring berjalannya waktu, pemisahan kekuasaan di Indonesia berjalan
dengan semestinya dan sesuai harapan para negarawan di negeri ini. Namun,
walaupun pemisahan kekuasaan tersebut berjalan dengan semestinya, bukan
berarti mekanisme checks and balances tidak dihiraukan oleh lembaga-
lembaga negara. Checks and balances masih perlu diperlukan dan diawasi
praktiknya agar tidak terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) dan yurisdiksi.39
Dalam ketatanegaraan Indonesia, mekanisme ini lahir ketika adanya
perubahan terhadap Konstitusi 1999 hingga 2002 yang telah menganut prinsip
pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan checks and balances
36 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.110 37 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h.61 38 Sunarto, Prinsip Checks and Balances, ..., h. 159 39 Deddy S. Bratakusumah, “Aktualisasi Checks and Balances Antar Lembaga Eksekutif,
Legislatif, dan Yudikatif”, dalam Jurnal Negarawan, no. 29, tahun 2013, h.78
24
dan bukan lagi pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of
power).
Operasionalisasi prinsip checks and balances dapat dilakukan melalui
cara-cara sebagai berikut40:
a. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari
satu lembaga, misalnya eksekutif dan legislatif;
b. Pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan kepada lebih dari satu
lembaga, misalnya kewenangan pembuatan undang-undang diberikan
kepada pemerintah dan parlemen;
c. Pengawasan langsung dari satu lembaga terhadap lembaga negara lainnya,
seperti eksekutif diawasi oleh legislatif;
d. Upaya hukum impeachment lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya;
serta
e. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai lembaga pemutus
perkara sengketa kewenangan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Prinsip checks and balances dalam kaitan penelitian ini lebih
mengutamakan adanya hubungan timbal balik dalam hal ini DPR dan lembaga
eksekutif dalam hal ini lembaga kepresidenan.
Dalam pemakzulan presiden, lembaga negara yang terlibat dalam
prosesnya harus berjalan di koridornya masing-masing tanpa melupakan
tugas satu sama lain, karena lembaga-lembaga negara yang terlibat juga
saling bertanggung jawab dalam proses dan mekanisme pemakzulan presiden
dalam menjalankan tugasnya masing-masing, seperti Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia yang harus dapat mempertanggung jawabkan
laporan atas usulan pemakzulan terhadap presiden yang diajukan pada
Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.
C. Kajian (Review) Studi Tedahulu
40 Sunarto, Prinsip Checks and Balances, ..., h. 160
25
Dari literatur yang telah ditelaah dalam rangka penulisan penelitian ini,
terdapat beberapa karya tulis dan buku yang dijadikan acuan untuk penulisan
penelitian.
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Prosedur Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” yang ditulis oleh Irawan Amin Nugroho
(Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009) membahas tentang prosedur
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut
UUD 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan. Selain itu juga
untuk mengetahui implikasi yurudis dari adanya ketentuan mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan yang diatur
dalam UUD 1945 setelah perubahan. Perbedaan antara skripsi tersebut dengan
skripsi yang akan diteliti adalah pokok bahasan mengenai pemakzulan yang lebih
detail dan bersifat perbandingan antara mekanisme pemakzulan di Indonesia dan
Korea Selatan dilihat dari konstitusi yang berlaku dan lembaga yang berwenang di
kedua negara.
Skripsi selanjutnya berjudul “Studi Komparatif Proses Impeachment
Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan Iran” yang ditulis oleh
Indah Khoiril Bariyyah (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016) yang membahas tentang prosedur pemberhentian presiden antara Indonesia
dan Iran dilihat dari UUD NRI dan UUD Republik Islam Iran. Jelas berbeda
antara skripsi tersebut dengan skripsi yang akan diteliti. Perbedaan yang sangat
mendasar terletak pada negara yang akan dibandingkan mekanisme
pemakzulannya, yaitu Indonesia dan Korea Selatan.
Buku berjudul “Pemakzulan Presiden di Indonesia” yang dikarang
Hamdan Zoelva (Jakarta:Sinar Grafika, 2013) menjelaskan tentang pemakzulan
Presiden di Indonesia secara detail, yang selanjutnya dijelaskan pula mekanisme
pemakzulan presiden di Indonesia sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.
Perbedaan pembahasan buku tersebut dengan skripsi ini adalah pembahasan
secara rinci mengenai pemakzulan presiden di Indonesia. Dalam skripsi ini,
26
pembahasan mengenai pemakzulan presiden di Indonesia dibatasi pada
mekanisme sebelum dan sesudah amandemen serta lembaga yang berwenang.
Jurnal Rechtsvinding tertanggal 17 Desember 2013 berjudul Pemakzulan
Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 yang ditulis oleh Eko
Noer Kristiyanto yang membahas tentang pemakzulan presiden di Indonesia
sebelum amandemen UUD 1945 yang berbeda pasca amandemen UUD 1945.
Perbedaan antara jurnal tersebut dengan skripsi yang akan dibahas adalah
pemakzulan Indonesia yang akan dibahas dalam skripsi adalah pemakzulan
sebelum dan sesudah amandemen, lalu dibandingkan dengan pemakzulan di
Korea Selatan dalam aspek mekanisme dan lembaga yang berwenang.
27
27
BAB III
PEMAKZULAN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
A. Pemakzulan Presiden di Indonesia
1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Secara garis besar, Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik,
yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Dalam praktiknya,
Indonesia menganut prinsip pemisahan kekuasaan bernafaskan checks and
balances yang kental antarlembaga negaranya, yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, antara
eksekutif dan legislatif tidak dapat saling menjatuhkan, dan tidak bertanggung
jawab terhadap satu sama lain. Lembaga eksekutif, dalam hal ini Presiden,
diawasi performanya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Seiring berjalannya pemerintahan dan sistem ketatanegaraan di Indonesia,
sesama lembaga negara, saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain.
Prinsip ini dinamakan checks and balances, untuk menghindari adanya
penyelewengan kekuasaan dan kesewenang-wenangan (abuse of power) satu
atau lebih lembaga negara terhadap lembaga lainnya. Tiga lembaga penting
dalam menjalankan pemerintahan adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Lembaga eksekutif berperan sebagai eksekutor atau pelaksana
peraturan dan/atau hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif yang berperan
sebagai legislator, yaitu lembaga yang membuat peraturan dan/atau hukum.
Lembaga yudikatif berfungsi sebagai lembaga peradilan yang bertugas
mengadili dan mengawasi tugas eksekutif serta berkedudukan sebagai
lembaga peradilan tertinggi yang diduduki oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia.1
1 Indra Rahmatullah, “Rejuvinasi Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan di
Indonesia”, dalam Jurnal Cita Hukum, vol. 1, no. 2, Desember 2013, h.216
28
26
Di Indonesia, pemegang kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang
Presiden yang didampingi oleh seorang Wakil Presiden, yang dipilih melalui
pemilihan umum dengan masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih
kembali sebanyak satu kali dengan masa jabatan yang sama. Segala hal yang
berkaitan dengan presiden termaktub dalam UUD NRI 1945 pasal 4 sampai
dengan pasal 16.2 Dalam melaksanakan tugasnya, presiden diperbantukan oleh
menteri-menteri yang tergabung dalam satu kabinet yang disusun oleh
presiden sendiri. Presiden berhak mengangkat dan memberhentikan menteri-
menteri tersebut.
Untuk lembaga legislatif, pemegang kekuasaannya adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Dalam memegang dan melaksanakan kekuasaan legislatif,
DPR mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
DPR RI bertugas untuk membuat undang-undang yang kemudian akan
disahkan oleh presiden (fungsi legislasi), membuat Rancangan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) untuk satu tahun (fungsi anggaran), dan
mengawasi pelaksanaan undang-undang dan APBN (fungsi pengawasan). 3
Pengaturan lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang DPR RI diatur dalan
Undang Undang nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Bila menelisik ke dalam kekuasaan yudikatif, pemegang kekuasaannya
adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Tiap
lembaga negara mempunyai fungsi, tugas dan wewenang yang berbeda.
Mahkamah Agung berperan sebagai lembaga peradilan tertinggi yang
menangani kasus pidana maupun perdata yang menempuh upaya hukum
kasasi. Mahkamah Konstitusi mengadili perkara konstitutif, yang termasuk
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah membubarkan partai politik dan
2 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 114-118 3 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara, ..., h. 120
29
menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. 4 Pengaturan lebih lanjut
mengenai fungsi, tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. Sementara Komisi Yudisial adalah suatu lembaga yang salah satu
wewenangnya adalah mengusulkan calon hakim agung kepada DPR serta
menjaga kehormatan serta keluhuran perilaku hakim. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur lebih lanjut mengenai fungsi, tugas dan wewenang
Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial.
Selain tiga pemegang kekuasaan yang dikenal dengan trias politica,
Indonesia juga mempunyai sejumlah organisasi atau lembaga negara yang
membantu tugas ketiga lembaga inti tersebut maupun yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang berbeda serta bersifat independen. Lembaga seperti
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pengawas Pemilu adalah beberapa dari
sekian banyak lembaga independen yang mempunyai andil penting dalam
menjalankan pemerintahan.
2. Fenomena Pemakzulan Presiden di Indonesia
a. Sebelum Amandemen UUD 1945
Dalam ketatanegaraan Indonesia sebelum perubahan UUD NRI
1945, MPR dapat memberhentikan presiden sebelum habis masa
jabatannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 4 Tap MPR No.
III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tertinggi dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara yang
menjelaskan alasan pemberhentian tersebut sebagai berikut:
a. Atas permintaan sendiri;
b. Berhalangan tetap;
4 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara, ..., h. 123-124
30
c. Sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III/MPR/1978 diuraikan
bahwa Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada majelis dan pada
akhir masa jabatannya memberikan pertanggungjawabannya atas
pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD atau majelis di
hadapan sidang majelis. Dilanjutkan di ayat (2), Presiden wajib
memberikan pertanggungjawaban di hadapan sidang istimewa majelis
yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban presiden
dalam pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau majelis.
DPR melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,
termasuk segala tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan
Haluan Negara. Namun apabila DPR menganggap Presiden telah
melanggar Haluan Negara, maka sesuai Pasal 7 ayat (2) Tap MPR
No.III/MPR/1978, DPR menyampaikan memorandum untuk
mengingatkan Presiden. Pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa apabila
dalam waktu 3 bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum DPR
tersebut, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. Apabila
dalam waktu 1 bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan
oleh Presiden, maka sesuai dengan ayat 4 pasal yang sama, DPR dapat
meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden.
Sebelum amandemen, Pasal 8 UUD 1945 menyatakan bahwa Jika
Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa
jabatannya.”
1) Presiden Soekarno
Presiden Soekarno adalah presiden pertama yang menjabat di
Indonesia merangkap sebagai salah satu Founding Fathers yang
membangun negara Indonesia dengan pertama kalinya
31
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Presiden yang dikenal dengan orasinya yang menggugah dan lantang
menjabat sebagai Presiden selama 22 tahun sebelum diberhentikan
oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada tahun
1967.
Awal mula perubahan dalam gaya kepemimpinan Soekarno
menjadi otoritarian yang membawanya pada kejatuhannya dari
kepemimpinan presiden di istana negara terlihat dari pembubaran
DPR hasil pemilu 1955 yang digantikan dengan keberadaan DPR-GR
berdasarkan ketetapan presiden no. 4/1960. Keotoriteran Soekarno
tidak berhenti sampai situ saja, ia lalu merombak Kabinet III menjadi
Kabinet IV dengan menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPR GR,
Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua DPA serta
Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai menteri yang
berkedudukan tepat di bawah presiden. Kejadian G30S/PKI juga
merupakan turning point saat Soekarno menjabat, dilanjutkan dengan
perombakan kabinet yang terjadi berkali-kali, terakhir dengan Kabinet
Dwikora. 5
Pada 22 Juni 1966, Soekarno menyampaikan Pidato Nawaksara
bersamaan dengan sidang umum MPRS yang salah satu isi pidato
tersebut adalah hal-hal yang berkaitan dengan G30S/PKI. DPR-GR
yang seakan tidak puas dengan pidato tersebut, membuat
memorandum pada MPRS terkait pelengkapan pidato Nawaksara
sekaligus mempertanyakan pertanggung jawaban Soekarno atas
pidato tersebut. kemudian digelar Sidang Istimewa MPRS untuk
meminta pertanggung jawaban Soekarno, namun pertanggung
jawabannya tidak dapat diterima yang berakhir dengan dicabutnya
5 Fatkhurohman dan Miftachus Sjuhad, “Memahami Pemberhentian Presiden
(Impeachment) Di Indonesia (Studi Perbandingan Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid)”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. III, No.1, Juni 2010, h.175-176
32
kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia oleh MPRS
berdasarkan Tap no. XXXIII/MPRS/1967.6
Mekanisme pemakzulan Soekarno yang dapat disorot dari kilas
balik penyebab dimakzulkannya Soekarno dapat dilihat pada
pertimbangan MPRS untuk mengeluarkan ketetapan MPRS terkait
pencabutan jabatan Soekarno sebagai presiden. Soekarno yang
berperan sebagai mandataris dinilai tidak memenuhi kewajiban
konstitusionalnya dan tidak menjalankan haluan serta putusan MPRS.
Soekarno tidak diadili melalui Mahkamah Konstitusi seperti yang
termaktub dalam UUD NRI 1945 pasca amandemen, namun peranan
MPRS dalam memutuskan pencabutan jabatan serta pemakzulan
pada masa jabatan dapat terlihat dari kasus Soekarno.
2) Presiden Abdurrahman Wahid
Presiden Abdurrahman Wahid adalah presiden kedua yang
dimakzulkan di Indonesia dan merupakan kasus terakhir karena
hingga saat ini, bahkan setelah melalui empat kali amandemen UUD
NRI 1945, belum ada presiden Indonesia yang dimakzulkan.
Pemakzulan Gus Dur, begitu sapaan Abdurrahman Wahid,
memunculkan polemik di antara kaum oposisi dan kaum pendukung
Gus Dur.
Proses pemberhentian Presiden dimulai dari maraknya pemberitaan
di media massa mengenai dana Yanatera Bulog sebesar 35 miliar
rupiah pada Mei 2000 dan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam
sebesar US$ 2 Juta yang mengaitkan nama Presiden Abdurrahman
Wahid terkait penggunaan dana-dana tersebut untuk keperluan pribadi.
Hal ini kemudian memicu 236 Anggota DPR untuk mengajukan usul
penggunaan hak mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus
6 Fatkhurohman, Memahami Pemberhentian, ..., h.177
33
tersebut dan pada tanggal 28 Agustus 2000 melalui Sidang Paripurna
DPR, usul itu disetujui. Pansus segera dibentuk dan disahkan pada 5
September 2000 untuk menyelediki kedua kasus itu.
Berdasarkan penyelidikan Pansus, Gus Dur diduga terlibat
langsung dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog,
serta terdapat inkonsistensi pernyataan terkait dana bantuan Sultan
Brunei, karena Gus Dur dianggap telah memberikan pernyataan yang
tidak konsisten pada masyarakat. Oleh karena itu, terbitlah
memorandum pertama per tanggal 1 Februari 2001.7
Dalam Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid
tersebut, ada dua pelanggaran haluan negara yang dituduhkan oleh
DPR dilakukan oleh Presiden Aburrahman Wahid adalah: a.
Melanggar UUD Rl Tahun 1945 Pasal mengnai Sumpah labatan
Presiden; dan b. Melanggar Ketetapan Majelis MPR Rl No.XI
IMPRlI998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Lini waktu yang dapat disimpulkan mulai dari memorandum awal
hingga pemberhentian presiden Gus Dur dapat disimpulkan sebagai
berikut:8
1. Memorandum pertama yang ditetapkan dengan Keputusan DPR-RI
Nomor 33/DPR-RI/III/2000-2001 tentang Penetapan Memorandum
DPR-RI kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid tertanggal 1
Februari 2001.
2. Kedua, yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor 47/DPR-
RI/IV/2000-2001 tentang penetapan memorandum yang kedua
DPR-RI kepada Presiden K.H.Abdurrahhman Wahid tertanggal 30
April 2001.
7 Fatkhurohman, Memahami Pemberhentian Presiden, ..., h. 178-179 8 Fatkhurohman, Memahami Pemakzulan Presiden, ..., h.181
34
3. Ketiga, Sidang Istimewa berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna
ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang menyatakan bahwa Presiden
K.H. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan memorandum kedua.
4. Keempat, diberhentikannya Presiden K.H.Abdurrahman Wahid
melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001.
b. Sesudah Amandemen UUD NRI 1945
UUD NRI 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali dan ada
pasal yang diubah maupun dihapus, termasuk di dalamnya pasal
mengenai pengaturan pemakzulan presiden, yakni pasal 7A dan 7B.
Kedua pasal tersebut mengalami perubahan pada sejumlah aspek, yang
akan dijelaskan dalam bagian ini. Dalam empat kali perubahan, terdapat
ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hasil amandemen ketiga melahirkan pasal 7A dan 7B UUD NRI
1945 yang mengatur secara detail dan eksplisit mengenai alasan-alasan
dan mekanisme pemberhentian Presiden. Dalam pasal 7A, pemakzulan
dapat dilakukan pada Presiden (dan/atau Wakil Presiden) berdasarkan
alasan-alasan berikut: a) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara; b) Telah melakukan korupsi; c) Telah
melakukan penyuapan; d) Telah melakukan tindak pidana berat lainnya; e)
Telah melakukan perbuatan tercela; dan f) Telah terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden (dan/atau Wakil Presiden).
Selain yang diatur dalam UUD NRI 1945, hal-hal mengenai
impeachment pasca amandemen UUD diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan mengenai wewenang
Mahkamah Konstitusi yang berhak mengadili perkara impeachment serta
hukum acara di Mahkamah Konstitusi terkait perkara yang sama.
35
c. Dasar Hukum Pemakzulan di Indonesia
Setelah amandemen UUD 1945, pasal yang mengatur mekanisme
pemakzulan presiden lahir, yaitu pasal 7A dan 7B UUD NRI 1945 hasil
amandemen ketiga. Dalam pasal tersebut, disebutkan presiden tidak dapat
diberhentikan karena alasan yang bersifat politik, melainkan harus
berdasarkan alasan yang bersifat yuridis yang secara terbatas disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar. Pasaal 7A secara lengkap berbunyi:9
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tervela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Secara garis besar, pasal 7A menjelaskan bahwa seorang presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR apabila terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
ataupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Hal ini
menunjukkan bahwa pasal ini secara spesifik mengatur alasan presiden
dapat diberhentikan atau dimakzulkan pada masa jabatannya.10
Sementara, dalam pasal 7B hasil amandemen ketiga UUD NRI
1945, tertulis dengan jelas mekanisme pemakzulan seorang presiden
dalam masa jabatannya, mulai dari usul pemberhentian hingga keputusan
akhir yang memberikan wewenang MPR untuk memberhentikan
Presiden, serta penegasan pasal 7A dengan disebutkan kembali alasan-
alasan Presiden dapat dimakzulkan. Secara detail, pasal 7B berbunyi:11
9 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 223-224 10 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara, ..., h. 223-224 11 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara, ..., h. 224-225
36
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadaili, dan memutus Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau pebuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap Dewan Plerwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota daan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
37
Yang dapat ditangkap dari uraian pasal 7B UUD NRI 1945
tersebut, bahwa mekanisme pemakzulan Presiden pasca amandemen
benar-benar harus berdasarkan alasan yuridis, tidak ada ruang untuk
alasan politik yang dapat mendukung seorang Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya. Memang belum ada kasus
pemakzulan pasca amandemen ketiga, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa proses itu ada. Hasil amandemen ketiga ini
merupakan titik balik dari konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya,
karena saat Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid
dimakzulkan, kedua presiden tersebut dimakzulkan dengan alasan
politik dimana Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR tidak
mempunyai batas-batas yang jelas, mengakibatkan banyak hal yang
harus dijelaskan mengingat Indonesia adalah negara hukum.
B. Pemakzulan Presiden di Korea Selatan
1. Sistem Ketatanegaraan Korea Selatan
Sebagai permulaan, Korea Selatan merupakan negara berbentuk
republik dengan sistem pemerintahan presidensial campuran. Dikatakan
campuran karena sistem presidensialnya tidak sepenuhnya murni dikarenakan
adanya elemen-elemen sistem parlementer dalam sistem ketatanegaraannya.
Untuk jabatan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, untuk selanjutnya
Presiden dapat menunjuk eorang Perdana Menteri sesuai persetujuan
parlemen. Presiden dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun tanpa
pemilihan kembali, dan juga merupakan komando militer tertinggi. Presiden
dan Perdana Menteri tidak sepenuhnya bertanggung jawab kepada parlemen.
Lembaga legislatif di Korea Selatan adalah Majelis Nasional (National
Assembly) yang berkedudukan sebagai parlemen.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Korea Selatan berpedoman
pada Konstitusi Korea Selatan (The Constitution of the Republic of Korea;
대한민국 헌법) hasil amandemen 1987. Konstitusi ini terdiri dari 130 pasal
dan enam aturan tambahan. Aturan tersebut kemudian dibagi menjadi 10 bab:
38
Ketentuan Umum, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Majelis Nasional,
(Lembaga) Eksekutif, (Lembaga) Peradilan, Mahkamah Konstitusi,
Manajemen Pemilu, Kekuasaan Lokal, (Lembaga) Ekonomi, dan Amandemen
Konstitusi itu sendiri. 12 Konstitusi Korea Selatan mengatur secara lengkap
fungsi, kedudukan, tugas dan wewenang tiap lembaga negara, termasuk di
dalamnya tiga lembaga penting yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden yang dipilih melalui
pemilihan umum dan menjabat selama lima tahun tanpa dapat dipilih kembali.
Dalam melaksanakan tugasnya, Presiden dibantu oleh Perdana Menteri yang
ia tunjuk berdasarkan persetujuan Majelis Nasional. Perdana Menteri bertugas
untuk mengawasi para menteri dan mengelola Kantor Koordinasi Kebijakan
Pemerintah di bawah arahan Presiden. Untuk digarisbawahi, Presiden
berkedudukan sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala
pemerintahan.13 Perdana Menteri dibantu tugasnya oleh State Council yang
anggotanya ditunjuk oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Perdana Menteri.
State Council berhak untuk memimpin dan mengawasi menteri-menteri
administratif, merundingkan urusan-urusan penting dalam negeri, serta
mewakili Presiden di Majelis Nasional dan mengutarakan pendapatnya. Para
anggota State Council bertanggung jawab hanya kepada Presiden.14
Lembaga legislatif di Korea Selatan adalah Majelis Nasional, yang
anggotanya berjumlah 299 orang, sebagian dipilih melalui pemilihan umum
dan sebagian lagi dipilih dari anggota partai yang memenangkan pemilu.
Lembaga legislatif di Korea Selatan menganut sistem satu kamar (unikameral)
dan tugas-tugasnya diamanatkan oleh Konstitusi Korea Selatan pasal 40
sampai 65. Dikarenakan Majelis Nasional satu-satunya lembaga yang
12 Ministry of Culture, Sport and Tourism: Korean Culture and Information Service,
Facts About Korea (South Korea: Hollym, 2009) revised edition, h. 40 13 ----, Republic of Korea: Public Administration and Country Profile, (t.tp: Division for
Public Administration and Development Management (DPADM) Department of Economic and Social Affairs (DESA), United Nations, 2007), h. 6
14 ---, Republic of Korea, ..., h. 6
39
memegang kekuasaan legislatif, tugas dan wewenangnya bisa dibilang banyak
dan mencakup banyak sektor, mulai dari dalam negeri, luar negeri, hingga
pengajuan mosi pemakzulan presiden.
Lembaga yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kedua lembaga
peradilan tersebut bersifat independen dan menjalankan tugasnya masing-
masing sebagai pemegang dan pelaksana kekuasaan yudikatif. Mahkamah
Konstitusi di Korea Selatan berwenang untuk menangani perkara
konstitusional, termasuk di dalamnya memberikan putusan final terkait
pemakzulan presiden.
2. Fenomena Pemakzulan di Korea Selatan
Mengenai pemakzulan, Korea Selatan mempunyai sejarah yang cukup
menarik. Negara ini sudah dua kali memakzulan presidennya, yaitu Presiden
Roh Moo-hyun di tahun 2004dan Presiden Park Geun-hye di tahun 2017. Dari
dua presiden yang dimakzulkan, hanya Park Geun-hye yang diturunkan dari
jabatannya terkait perkara suap dan abuse of power, tetapi Roh Moo-hyun
tetap menjadi Presiden Korea Selatan hingga habis masa jabatannya.
Presiden Roh Moo-hyun pertama kali diajukan mosi pemakzulannya
terkait perkara suap dalam pemilihan umum yang dimenangkannya. Majelis
Nasional sepakat untuk memberhentikan Roh karena melakukan pelanggaran
terhadap berbagai peraturan pemilihan dan diberhentikan dari kedudukannya.
Atas putusan Majelis Nasional itu Roh Moo-hyun dinonaktifkan dari
jabatannya berdasarkan diajukannya mosi impeachment Majelis Nasional pada
12 Maret 2004.15 Berbagai reaksi timbul akibat pendukung Roh tidak terima
atas persetujuan parlemen sebagai lawan-lawan politiknya yang mencoba
untuk memecatnya melalui impeachment sebagai bentuk dari kacaunya politik
Korea Selatan saat itu. Sehari setelah parlemen mengadakan pemungutan
15 Winarno Yudho, dkk, Laporan Penelitian: Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, 2005), h.1
40
suara, lebih dari 50.000 orang turun ke jalan memprotes impeachment
terhadap Roh.
Bersamaan dengan itu, partai oposisi utama Partai National Agung
(Great National Party atau GNP) beserta mitranya, Partai Demokratik
Milenium (Milennial Democratic Party atau MDP) harus menerima kenyataan
pahit akan anjloknya popularitas mereka. GNP dan MDP yang mendominasi
parlemen dianggap berada di balik proses pendakwaan. Namun dengan
otoritas final yang dipegang Mahkamah Konstitusi atas impeachment dengan
tanpa hak untuk banding, Mahkamah Konstitusi menolak impeachment atas
Presiden Roh Moo-Hyun, karena kendati dituduh melakukan suap dalam
pemilihan umum yang dimenangkannya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa
tuduhan tersebut tidak cukup untuk memakzulkannya. Dengan putusan ini,
Presiden Roh kembali menduduki kursi kepresidenan. Dengan adanya putusan
baru ini, Roh kembali memimpin Korea Selatan hingga berakhir masa
jabatannya.16
Dalam sejarah ketatanegaraan Korea Selatan, ada Presiden Park Geun-
hye yang dimakzulkan setelah Presiden Roh, tepatnya pada tahun 2017. Park
Geun-hye merupakan sosok penting yang dilibatkan oleh skandal korupsi dan
nepotisme. Park dan teman lama kepercayaannya, seorang konglomerat atau
chaebol bernama Choi Soon-sil, dituduh berkonspirasi untuk menekan
berbagai perusaahaan besar di Korea Selatan, termasuk Samsung, untuk
mendonasikan sejumlah besar uang kepada dua organisasi non-profit yang
dikelola oleh Choi. Choi dituduh menggunakan uang tersebut untuk keperluan
pribadinya, yang mana tuduhan tersebut ia bantah. Park mengaku bertindaka
‘naif’, tetapi membantah memeras perusahaan-perusahaan tersebut. Park juga
dituduh memberikan akses ilegal terhadap berbagai urusan dan berkas-berkas
16 Rusdianto S., “Proses Impeachment Presiden dalam Konstitusi Negara-Negara
Modern (Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan)”, dalam Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010, h. 115
41
rahasia negara, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan program senjata nuklir
Korea Utara.17
Usulan pemakzulan Presiden Park yang diusulkan dan disetujui oleh
anggota Majelis Nasional pertama kali muncul di permukaan di bulan
Desember 2016. Park segera dinonaktifkan, namun ia masaih tinggal di Blue
House, sebutan kediaman kepresidenan Korea Selatan, sambil menunggu
keputusan akhir dari Mahkamah Konstitusi. Delapan dari sembilan hakim
Mahkamah Konstitusi menyetujui usul impeachment Park atasa tuduhan
pemerasan, penyuapan, penyalahgunaan kekuasaan dan membocorkan rahasia
negara.
3. Dasar Hukum Pemakzulan di Korea Selatan
Berdasarkan Konstitusi Korea Selatan hasil Amandemen 1987 seperti
dikutip Hamdan Zoelva dalam bukunya Pemakzulan Presiden di Indonesia,
Dalam pasal 65 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Konstitusi Korea Selatan,
Presiden Korea Selatan bila terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum
dan konstitusi yang berlaku atau perbuatan melanggar hukum lainnya selama
masa jabatannya dapat dimakzulkan. Majelis Nasional sebagai pemegang
kekuasaan legislatif unikameral mengajukan mosi pemakzulan presiden
tersebut. Mosi tersebut harus disetujui oleh 2/3 atau lebih dari total
keseluruhan anggota Majelis Nasional, lalu diadili melalui forum
privilegiatum di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan mengikat, sebagai badan peradilan yang berwenang mengadili dan
memutus perkara pemakzulan presiden.18
Transliterasi pasal 65 Konstitusi Korea Selatan hasil amandemen 1987
dapat dijabarkan sebagai berikut:
17 Justin McCurry, “Park Geun-hye: South Korean court removes president over scandal”,
artikel tertanggal 10 Maret 2017, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2017/mar/10/south-korea-president-park-geun-hye-constitutional-court-impeachment tanggal 21 Februari 2018.
18 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden, ..., h.55.
42
1) Jika Presiden, Perdana Menteri, anggota-anggota dewan negara, kepala
menteri eksekutif, hakim peradilan konstitusi, hakim, anggota Komite
Manajemen Pemilihan Umum Pusat, anggita Dewan Audit dan
Inspeksi, dan pejabat negara lainnya yang dilantik secara hukum yang
melanggar konstitusi atau hukum lainnya saat melaksanakan tugas
jabatannya, Majelis Nasional dapat mengajukan mosi untuk
impeachment.
2) Mosi impeachment yang tertulis dalam paragraf (1) dapat diusulkan
oleh 1/3 atau lebih dari total anggota Majelis Nasional, dan diperlukan
pengambilan suara secara serentak mayoritas dari total anggota Majelis
Nasional untuk dapat diterima: kecuali mosi impeachment presiden,
dapat diajukan oleh mayoritas dari total anggota Majelis Nasional dan
disetujui oleh 2/3 atau lebih dari total anggota Majelis Nasional.
3) Siapapun yang menentang mosi impeachment yang sudah disetujui
harus ditangguhkan sementara dari jabatannya sampai perkara
impeachment diadili.
4) Putusan akhir impeachment tidak boleh lebih daari pemberhentian dari
jabatan publik (removal from public office). Namun, hal tersebut tidak
dapat membebaskan pihak yang dimakzulkan dari
pertanggungjawaban perdata atau pidana.
Dari pasal 65 diatas dapat dipahami bahwa mekanisme impeachment di
Korea Selatan sangat ketat dengan berpedoman pada Konstitusi. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk meng-impeach seorang pejabat negara, dalam hal
ini Presiden, butuh serangkaian alasan yuridis serta melalui proses yang tidak
singkat. Mekanisme impeachment ini dapat dikatakan tegas dan kaku karena
pihak yang menentang mosi impeachment pejabat negara bahkan dapat
ditangguhkan sementara dari jabatannya.
Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan
yang mengadili dan memutus pemakzulan presiden, hal ini terdapat di Pasal
111 ayat (1) seperti yang dikutip dari Jimly Asshiddiqie dalam bukunya
43
Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan sebagai berikut:19
1) Mengadili konstitusionalitas suatu Undang-Undang atas permintaan
pengadilan;
2) Pemakzulan (impeachment);
3) Memutus pembubaran partai politik yang tidak konstitusional;
4) Menyelesaikan sengketa kewenangan antarlembaga negara; dan
5) Memutus permohonan individual.
Selain yang telah dicantumkan dalam Konstitusi Korea Selatan, hal-hal
mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk meng-impeach seorang
pejabat publik terdapat dalam Pasal 48 (hasil amandemen 5 April 2011)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yang berbunyi sebagai
berikut:
Article 48 (Prosecution for Impeachment)
In cases where a public official who falls under any of the following
subparagraphs violates the Constitution or laws in the performance of his/her
duties, the National Assembly may pass a motion for impeachment pursuant to
the Constitution and the National Assembly Act:
1. The President, the Prime Minister, Members of the State Council or head of each Ministry.
2. Justices of the Constitutional Court, judges, and Commissioners of the National Election Commission;
3. The Chairperson of the Board of Audit and Inspection and Commissioners thereof;
4. Public officials prescribed by other Acts.
19 Jimly Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.
240
44
44
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN PEMAKZULAN PRESIDEN DI INDONESIA DAN KOREA SELATAN
A. Mekanisme Pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan
1. Indonesia
Mekanisme pemakzulan sebelum Amandemen UUD merupakan suatu
mekanisme yang tidak mempunyai batas (boundaries) mengenai alasan
presiden dapat dimakzulkan, yang menjadikan pemakzulan pra-amandemen
dapat dikatakan subjektif. Pendakwaan menurut konsep penjelasan maupun
Ketetapan MPR tersebut adalah meminta pertanggungjawaban presiden dalam
hal ini adalah permintaan DPR kepada MPR untuk meminta
pertanggungjawaban presiden yang bersifat politik. Hal ini tertulis dalam
penjelasan UUD 1945 maupun keketapan tersebut yang menegaskan alasan
pemakzulan presiden mencakup pelanggaran presiden atas haluan negara yang
telah ditetapkan UUD atau Ketetapan MPR. Karena bentuk pelanggaran
tersebut tidak dijelaskan secara detail dan limitatif, maka dapat disimpulkan
pelanggaran itu bersifat luas dan mencakup apa saja dari ketentuan Undang-
Undang Dasar dan Ketetapan MPR yang ada ataupun peraturan perundang-
undangan lainnya.1
Bila dilihat secara konseptual, hubungan presiden dengan MPR sebelum
amandemen UUD NRI 1945 mencerminkan hubungan yang menonjolkan ciri-
ciri sistem pemerintahan parlementer, karena dalam hal ini presiden
bertanggung jawab kepada parlemen. Bila presiden tidak lagi mendapat
dukungan dari parlemen, maka presiden akan jatuh. Dalam sistematika seperti
inilah Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh
MPR, seperti yang secara implisit telah dicantumkan dalam pasal 8 UUD 1945
sebeum amandemen yang mengatur kemungkinan Presiden diberhentikan
1 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.88
45
dalam masa jabatannya. Kemudian dalam Penjelasan UUD 1945 angka VII
Alinea ketiga, dijelaskan:2
“Jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan
negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk
persidangan istimewa agar supaya bisa meminta pertanggunganjawab
Presiden.”
Beberapa bentuk konstitusi pernah berlaku di Indonesia, antara lain
Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Dalam Pasal 48 UUDS 1950 yang mengatur
mengenai penggantian presiden, presiden dapat digantikan bila presiden
mangkat, berhenti, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa
jabatannya, untuk kemudian digantikan oleh wakil presiden hingga habis masa
jabatannya. Sebaliknya, Pasal 83 UUDS NRI (Pasal 118 di Konstitusi RIS)
menentukan presiden tidak dapat diganggu gugat. Hal ini merupakan hal yang
biasa ditemukan dalam sistem pemerintahan parlementer, yaitu para menteri
bertanggung jawab kepada parlemen sementara presiden berkedudukan
sebagai kepala negara yang bersifat simbolik dan tidak bertanggung jawab
kepada parlemen.3 Hal ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan
Soekarno seperti yang dikutip oleh Soepomo. Soekarno menganggap dirinya
bukanlah pemimpin konstitusional, melainkan pemimpin rakyat yang dalam
hal ini memberikan arahan dan kebijakan-kebijakan umum bagi negara.4
Menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950, pertanggung jawaban presiden
dibatasi hanya terkait dengan pertanggungjawaban pidana seperti terlibat
perkara pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran jabatan serta
kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan undang-undang yang
dilakukan dalam masa jabatannya. Yang demikian itu presiden dapat diadili
2 Arry, “Impeachment dalam Sistem Presidensial: Kajian Teoritik Dan Normatif Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, dalaam Jurnal JOM FISIP Universitas Riau, Vol. 3, No. 1, Februari 2016, h. 2
3 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden, ..., h. 89 4 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden, ..., h. 90
46
dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh Mahkamah Agung, baik pada saat
memegang jabatan atau setelah berhenti dari jabatannya. Hal tersebut biasa
disebut sebagai forum privilegiatum,5 yakni peradilan khusus untuk memutus
pendapat DPR bahwa presiden tidak lagi memenuhi syarat serta dalam perkara
presiden telah melanggar hal-hal tertentu yang terdapat dalam UUD sehingga
dapat dimakzulkan.6
Bila menelisik kembali pada mekanisme pemakzulan sebelum amandemen
UUD NRI 1945, mekanisme tersebut bertentangan dengan landasan filosofis,
yuridis dan sosiologis konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara
demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Secara yuridis,
kedaulatan rakyat ini dapat terlihat dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 hasil amandemen ketiga, yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara berkedaulatan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
Dasar. Oleh karena itu, segala bentuk pemerintahan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat selalu berkiblat pada konstitusi, karena seperti yang
tercantum dalam ayat (3), Indonesia adalah negara hukum. Berbanding
terbalik dengan masa sebelum amandemen UUD, kedaulatan rakyat
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang membuat
pelaksanaan kedualatan rakyat cenderung subjektif.
Sebelum amandemen UUD 1945, mekanisme pemakzulan presiden lebih
condong mementingkan kepentingan pejabat semata, dan tidak mengindahkan
bukti-bukti maupun alasan yuridis, karena memang dalam konstitusi sendiri
belum diatur mengenai masalah itu. Namun, kembali lagi pada aspek
sosiologis, DPR dan MPR sebagai wakil rakyat seharusnya dapat menjalankan
tanggung jawab dengan tidak sembarang memakzulkan pemimpin rakyat,
namun kembali lagi pada konstitusi di masa itu yang secara materiil tidak
mengatur perihal kedaulatan rakyat yang seutuhnya berada di tangan rakyat.
5 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden, ..., h. 90 6 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 118
47
Secara garis besar, alur pemakzulan Presiden di Indonesia adalah sebagai
berikut:7
Dari skema di atas, lembaga-lembaga negara yang berhak dalam
mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia mempunyai tugas masing-
masing untuk selanjutnya tugas tersebut berkaitan dengan satu sama lain,
membentuk sebuah sistem yang berkesinambungan. Mekanisme pemakzulan
seorang presiden di Indonesia memang bukan perkara mudah, butuh waktu
dan proses yang dapat dikatakan panjang, melibatkan lembaga legislatif dan
yudikatif, serta lembaga eksekutif, yakni Presiden, yang dalam hal ini sebagai
pihak yang akan di-impeach.
Adapun setelah amandemen Undang-Undang Dasar, alur pemakzulan
preiden dari awal hingga akhir mendapatkan perombakan yang signifikan
dengan ditambahkannya beberapa prosedur dan keterlibatan Mahkamah
Konstitusi di dalam mekanismenya sebagai lembaga inspeksi perkara
pemakzulan presiden di Indonesia. Berdasarkan Pasal 7B UUD NRI 1945,
mekanisme pemakzulan di Indonesia dimulai dengan adanya usulan dari DPR
bahwa presiden telah melakukan pelanggaran atau tindakan melanggar hukum
yang terdapat dalam Psal 7A. Berdasarkan hak yang dipegang oleh DPR yaitu
hak pengawasan, proses investigasi dilakukan atas dugaam-dugaan
pelanggaran yang tergolong dalam alasan impeachment. Setelah proses di
DPR selesai, dan dalam rapat paripurna DPR telah menyetujui presiden telah
melakukan tindakan yang termasuk alasam yang dapat meng-impeach seorang
7 A. Roestandi, “Mahkamah Konstitusi”, presentasi berbentuk PowerPoint, disampaikan pada Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan dan Penyelesaian Kasus-Kasus, Kanwil Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat, Hotel Karang Sentra Bandung, 27 Juli 2011.
48
presiden, maka putusan rapat paripurna tersebut diserahkan pada Mahkamah
Konstitusi, sebelum akhirnya proses impeachment diserahkan pada Majelis
Permusyawaratan rakyat (MPR) sebagai penentu nasib apakah seorang
presiden diberhentikan atau tidak diberhentikan. 8
2. Korea Selatan
Korea Selatan adalah negara berbentuk republik yang menjunjung tinggi
konstitusi di negaranya. Segala bentuk pelaksanaan pemerintahan harus
berkiblat pada konstitusi, termasuk dalam memakzulkan pejabat negara, dalam
hal ini Presiden. Di Korea Selatan yang pernah memakzulkan presidennya dua
kali, hanya satu yang berakhir diturunkan dari jabatannya, yaitu Park Geun-
hye. Roh Moo-hyun sebaliknya, walaupun sempat menghadapi tuntutan
impeachment, Presiden Roh kembali menjabat karena Mahkamah Konstitusi
menilai pelanggaran yang diperbuatnya tidak cukup untuk memakzulkan
Presiden Roh.
Dalam mekanisme pemakzulan di Korea Selatan, ada tiga lembaga yang
terlibat dari awal hingga akhir proses pemakzulan Presiden, yaitu lembaga
eksekutif dalam hal ini presiden itu sendiri, lembaga eksekutif yang diduduki
oleh Majelis Nasional, serta lembaga yudikatif yang kekuasaannya dipegang
oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengadili
dan memberi putusan atas perkara impeachment presiden. Ketiga lembaga ini
berjalan berdasarkan prinsip checks and balances serta mekanisme
impeachment diatur secara spesifik dalam konstitusi, membuat Korea Selatan
menganut konstitusionalisme yang kental dalam praktik ketatanegaraannya.
Berdasarkan teori konstitusi yang dikutip oleh Komisi Konstitusi RI
dalam buku Hukum dan Teori Konstitusi, bila diamati di bagian fungsi dan
kedudukan konstitusi, Konstitusi Korea Selatan berkedudukan sebagai kaidah
dan sumber hukum tertinggi, identitas nasional, alat untuk membatasi
kekuasaan serta sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara atau kegiatan penyelenggaraan kekuasaan di Korea Selatan. Perihal
8 Eko Noer Kristoyanto, “Pemakzulan Presiden Republik Indoesia Pasca Amandemen
UUD 1945”, dalam Jurnal RechtsVinding, vol. 2, no. 3, Desember 2013, h. 338
49
impeachment, konstitusi menduduki posisi yang krusial dalam pelaksanaan
impeachment, karena keseluruhan mekanisme, lembaga yang terlibat serta
kewenangan masing-masing lembaga berkiblat pada konstitusi.9
Berikut ini adalah skema dan penjelasan singkat mengenai mekanisme
impeachment presiden di Korea Selatan:10
Berdasarkan Pasal 65 ayat (2) Konstitusi Korea Selatan hasil amandemen
1987, proses impeachment seorang presiden dimulai dari adanya mosi yang
berasal dari Majelis Nasional sebagai lembaga legislatif mengenai
impeachment presiden. Mosi untuk impeachment presiden secara spesifik
harus diajukan oleh mayoritas dari total anggota Majelis Nasional Korea
Selatan, untuk selanjutnya disetujui oleh 2/3 dari total anggota Majelis
Nasional sebelum diserahakan pada Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
untuk diperiksa, dirundingkan dan diadili. Mahkamah Konstitusi mempunyai
waktu 180 (seratus delapan puluh) hari untuk berunding sebelum memberikan
keputusan akan perkara impeachment. Bila presiden terbukti melakukan
perbuatan yang dapat menjatuhkannya dari kursi kekuasaan eksekutif
berdasarkan konstitusi, maka pemilihan pengganti presiden akan dilaksanakan
9 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007),
cet.pertama, h.40.42 10 https://www.reuters.com/article/us-southkorea-politics/south-korean-court-throws-
president-out-of-office-two-die-in-protest-idUSKBN16H066, diakses 20 Maret 2018, pukul 21:58 WIB.
50
dalam tempo 60 (enam puluh) hari sesuai yang tertera dalam pasal 68 ayat (2)
Konstitusi Korea Selatan hasil amandemen 1987.
3. Persamaan dan Perbedaan Mekanisme Pemakzulan Presiden di
Indonesia dan Korea Selatan
Alur mekanisme pemakzulan di Indonesia ditelusuri lebih lanjut, hal
pertama bermula dari usulan pemakzulan dari DPR yang merujuk pada
konstitusi, yaitu UUD NRI 1945 pasal 7A dan 7B. Di Indonesia, Presiden
tidak dapat diberhentikan dengan alasan selain yang sudah tertera dalam pasal
7A. Usulan DPR tersebut dihasilkan dari sidang paripurna yang selanjutnya
DPR membentuk Panitia Khusus untuk menyelidiki, mencari bukti, meminta
keterangan para saksi dan pihak terkait, termasuk membicarakannya dengan
presiden. Setelah rapat tersebut mendapat persetujuan dalam rapat paripurna
DPR, dengan persetujuan kurang lebih 2/3 dari anggota DPR yang hadir
dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh kurang lebih 2/3 dari total anggota
DPR, maka diajukanlah permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa dan mengadili pendapat DPR. Setelah MK mendapat putusan
mengenai usulan DPR tersebut, barulah diserahkan kembali pada DPR untuk
selanjutnya MPR yang memberhentikan Presiden bila keputusannya adalah
sepakat untuk memberhentikan Presiden, kewenangan MPR yang mempunyai
kekuasaan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan presiden.
Sementara di Korea Selatan, Majelis Nasional mengajukan mosi untuk
meng-impeach presiden, yang mana mosi harus diajukan oleh mayoritas dari
total anggota Majelis Nasinal. Selanjutnya mosi harus disetujui oleh 2/3 atau
lebih dari total anggota Majelis Nasional. Mosi yang sudah disepakati lalu
diserahkan pada Mahkamah Konstitusi Korea Selatan untuk diperiksa dan
diadili. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memberhentikan Presiden dari
jabatannya bila putusan akhirnya adalah sepakat untuk memakzulkan Presiden.
Disini, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan mempunyai wewenang yang
lebih besar bila dibandingkan dengan Mahkamah Konstitusi RI.
Mengacu pada teori Lawrence M. Friedman tentang teori sistem hukum
yang mengedepankan penegakan hukum dan aspek-aspek hukum yang
51
berkesinambungan, hal ini juga dapat dikaitkan dengan pemakzulan di
Indonesia dan Korea Selatan. Keterlibatan lembaga-lembaga negara dan
sistem hukum yang dianut mempengaruhi kesesuaian dan kelancaran
berjalannya mekanisme pemakzulan seorang Presiden di Indonesia dan Korea
Selatan. Teori Friedman tentang hukum yang terdiri dari tiga unsur yang
menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem memiliki unsur-unsur struktur
hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Struktur hukum merupakan
lembaga yang diciptakan untuk mendukung bekerjanya sistem hukum,
substansi hukum sebagai norma dan kultur hukum berupa ide, sikap, harapan
dan pendapat tentang hukum yang mempengaruhi seseorang untuk patuh akan
hukum.11
Menelisik teori Friedman, dapat ditangkap bahwa lembaga pemakzulan
berkedudukan sebagai struktur hukum, konstitusi dan peraturan perundang-
undangan sebagai substansi hukum, dan bagaimana aparatur penegak hukum
dan lembaga-lembaga pelaksana dalam hal ini eksekutif melaksanakan hukum
yang ada sebagai kultur hukum. Ketiga komponen tersebut membentuk suatu
hukum yang utuh dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya,
sebagaimana hakikatnya sebuah sistem. Dalam mekanisme pemakzulan baik
di Indonesia maupun Korea Selatan, kedua negara berpedoman dengan teori
ini, karena mekanisme pemakzulan merupakan satu kesatuan yang keberadaan
serta kedudukan tiap komponennya mendukung komponen yang lainnya
dalam menentukan, atau memutuskan Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya baik itu di Negara Indonesia dan Korea selatan.12
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan terkait mekanisme
pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan serta peran lembaga-
lembaga terkait dalam proses pemakzulan tersebut, antara lain:
11 Syafruddin Makmur, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Multikultural”, dalam Jurnal
Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, vol. 2, no. 2, 2015, h. 4 12 Lintje Anna Marpaung, “Analisis Yuridis Normatif Perbandingan Prosedur
Pemberhentian Presiden Dalam Masa Jabatannya Antara Indonesia Dengan Amerika dan Korea Selatan”, dalam Jurnal Pranata Hukum, vol. 10, no. 2, Juli 2015, h. 132
52
a. Usulan pemakzulan presiden di Indonesia dan Korea Selatan sama-
sama diusulkan oleh lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Majelis Nasional Korea Selatan.
b. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dan Korea Selatan
yang berwenang dalam memeriksa dan mengadili usulan pemakzulan
Presiden.
Selain poin persamaan yang telah dikemukakan, beberapa poin perbedaan
dapat ditemukan dalam mekanisme pemakzulan serta lembaga negara terkait
di kedua negara, antara lain:
a. Dalam mengajukan usulan pemakzulan presiden di Indonesia, proporsi
anggota DPR yang dibutuhkan agar usulan tersebut dapat diterima dan
diteruskan kepada Mahkamah Konstitusiadalah 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Sementara di Korea Selatan, mosi pemakzulan
harus diusulkan oleh mayoritas dari total anggota Majelis Nasional dan
disetujui oleh 2/3 dari total anggota Majelis Nasional.
b. Dalam mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia, keputusan akhir
yang menentukan presiden diberhentikan dari jabatannya atau tetap
menjabat sebagai presiden ada di tangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, sementara di Korea Selatan keputusan akhir ada di Mahkamah
Konstitusi.
c. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hanya sebagai
lembaga inkuisitorial, sementara kewenangan Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan lebih luas karena berstatus sebagai lembaga inkuisitorial
dan lembaga eksekutorial dalam proses pemakzulan presiden di Korea
Selatan.
53
Berikut ini adalah tabel perbedaan mekanisme pemakzulan di Indonesia
dan Korea Selatan:
Aspek Perbedaan Indonesia Korea Selatan
Lembaga Pemakzulan DPR, MK, dan MPR Majelis Nasional dan MK
Lembaga yang Mengadili Mahkamah Konstitusi RI Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan
Lembaga yang Berhak
untuk Memberhentikan
Presiden
Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR)
Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan
Mekanisme DPR menggelar rapat
paripurna mengenai usulan
untuk memakzulkan
Presiden. Hasil rapat dan
usulan yang sudah disepakati
oleh anggota DPR diserahkan
pada MK untuk diperiksa dan
diadili. Putusan MK bahwa
usul tersebut diterima atau
tidk diserahkan kembali pada
DPR untuk diserahkan lagi
kepada MPR sebagai
lembaga yang berwenang
untuk memberhentikan
Presiden. MPR menggelar
rapat paripurna dimana dalam
rapat tersebut Presiden dapat
menyampaikan
pertanggungjawabannya.
Majelis Nasional
menggelar rapat terkait
pengajuan mosi
impeachment presiden
yang harus disetujui oleh
setidaknya 2/3 dari total
anggota Majelis yang hadir
di rapat tersebut.
Mahkamah Konstitusi
sebagai badan peradilan
tingkat pertama dan
tertinggi yang berwenang
untuk memeriksa,
mengadili, dan memberi
putusan untuk
memakzulan Presiden.
dalam hal ini, Mahkamah
Konstitusi berwenang
untuk memberhentikan
Presiden dari jabatannya.
54
B. Kewenangan Lembaga Pemakzulan Presiden di Indonesia dan Korea Selatan
1. Indonesia
a. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah
lembaga yang menduduki kekuasaan legislatif di Indonesia. Dalam
menjalankan pemerintahan, DPR mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang
yang diatur secara jelas dan mendetail dalam UUD NRI 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang Undang nomor 17
tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(MD3).
Berbicara mengenai kedudukan DPR sebelum amandemen UUD
NRI 1945, kedudukan DPR terbilang sangat lemah (powerless)
dikarenakan fungsi legislasi masih dipegang oleh lembaga eksekutif
(Presiden). Namun, setelah amandemen UUD 1945, fungsi legislasi jatuh
ke tangan DPR yang lantas menjadikannya lembaga negara yang kokoh
dan berkedudukan sangat kuat (powerful). 13 Sebagai lembaga legislasi,
DPR merupakan sarana atau wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat
melalui pembentukan Undang-Undang sebagai bagian dari peraturan
perundang-undangan yang berkepentingan langsung dengan ketertiban dan
kesejahteraan rakyat.
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat mempunyai tiga fungsi
pokok dalam menjalankan tugasnya. Tiga fungsi itu yakni:14
a) Fungsi Legislasi, membuat Undang-Undang bersama dengan Presiden
yang nantinya akan disetujui bersama.
b) Fungsi Anggaran, membahas dan memberikan persetujuan atau
ketidaksetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
13 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 48 14 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara, ..., h.49
55
Negara (RAPBN) yang diajukan Presiden tanpa membutuhkan
persetujuan DPD.
c) Fungsi Pengawasan, mengawasi kebijakan pemerintah (Presiden) akan
pelaksanaan UUD NRI 1945, Undang-Undang, dan RAPBN.
Melalui fungsi pengawasan itulah, DPR mengawasi kerja presiden
dan mempunyai hak untuk mengusulkan impeachment seorang presiden
bila dalam masa jabatannya presiden melakukan satu atau serangkaian
pelanggaran yang termaktub dalam Pasal 7A UUD NRI 195 yang dapat
menjatuhkannya dari kursi kekuasaan eksekutif. Dalam mengajukan
usulan tersebut, DPR juga harus mempertimbangkan bukti yang konkrit
dan otentik sebelum diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga kedua dalam proses impeachment di Indonesia. Melalui rapat
paripurna, usulan tersebut harus dibicarakan dan harus mendapat 1/3 suara
anggota yang hadir di sidang tersebut dari 1/3 total anggota DPR. Dari
rapat ini dapat kita simpulkan bahwa peranan DPR dalam mekanime
impeachment presiden di Indonesia sangat penting, ditandai dengan
partisipasi anggota DPR dalam rapat paripurna yang dapat menentukan
apakah presiden tersebut memang benar melakukan tindakan-tindakan
yang dilarang dan/atau tidak lagi dapat melaksanakan tugasnya sebagai
presiden.
b. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan
independen yang dibentuk pasca Amandemen ketiga UUD NRI 1945 yang
berwenang untuk mengadili perkara konstitusi. Dasar hukum eksistensi
Mahkamah Konstitusi yang mencakup tugas, fungsi dan wewenang
terdapat dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 8 Tahun
2011 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai lembaga peradilan, putusan akhir dari Mahkamah Konstitusi
56
bersifat final and binding (final dan mengikat), tidak dapat diganggu gugat
maupun diubah melalui upaya hukum dalam bentuk apapun.
Mahkamah Konstitusi RI merupakan Mahkamah Konstitusi
pertama yang dibentuk pada abad 21. Jika dilihat dari cakupan negara-
negara di dunia, hingga saat ini hanya terdapat 78 negara dengan
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri, sementara yang lainnya tidak
mengenal lembaga konstitusi yang berdiri sendiri. Selain Indonesia,
beberapa negara seperti Lithuania, Filipina, Jerman, termasuk Korea
Selatan mempunyai Mahkamah Konstitusi yang cukup dikenal dengan
kredibilitas yang baik.15
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang seringkali disorot
adalah kewenangannya untuk melaksanakan uji materiil Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, yang biasa disebut juducial review.
Dalam judicial review, Mahkamah Konstitusi bukan hanya menguji sisi
materiil atau isi dari suatu Undang-Undang, melainkan juga aspek formiil
atau pelaksanaannya. Dalam menangani kasus-kasus hukum, Mahkamah
Konstitusi tidak selalu menangani kasus atau perkara terkait konstitusi dan
berhak untuk menangani kasus-kasus mengenai sengketa antarlembaga
negara.16 Hal yang membedakan MA dan MK sebelum amandemen UUD
1945 adalah pembagian MA yang sebelum diamandemennya UUD 1945
berwenang menguji undang-undang. Setelah amandemen, diadakan
lembaga negara baru sebagai bentuk pengkhususan, yaitu MK yang
bertugas sebagai penguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Sementara KY atau Komisi Yudisial adalah lembaga yang bertugas
mengawasi pengadilan dan hakim di Indonesia.17
15 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara, ..., h. 123
16 Eko Prasojo, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia”,
dalam Jurnal Hukum JENTERA, tahun III, edisi 11, Januari-Maret 2006, h.29-30 17 Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Indonesia menurut UUD NRI 1945,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.34
57
Berdasarkan pasal 24C UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi
berhak untuk memberikan keputusan hukum atas usulan DPR terkait
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, pembubaran partai
politik dan pembatalan hasil pemilu. Selain lembaga hukum, wewenang-
wewenang tersebut juga menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga politik.18 Bila dikatakan dalam Undang-Undang bahwa keputusan
MK adalah final and binding, hal itu tidak berlaku terhadap impeachment
presiden. Mahkamah Konstitusi tidak berhak untuk memberikan keputusan
final terhadap perkara tersebut. Pengambilan keputusan tetap ada di tangan
MPR sebagai satu-satunya lembaga yang berhak melantik dan
memberhentikan presiden. Seperti yang sudah diamanatkan konstitusi dan
undang-undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara impeachment presiden, yang berarti MK berada di
posisi tengah dalam mekanisme impeachment di Indonesia.19
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tinggi
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945. MPR terdiri
dari Ketua dan Wakil Ketua MPR serta anggota yang disaring dari anggota
DPR dan anggota DPD melalui pemilihan umum. Lembaga ini
mempunyai peran penting dalam menjalankan pemerintahan, khususnya di
bidang legislatif. Sebelum amandemen UUD, MPR berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara, yang mempunyai wewenang untuk mengangkat
dan memberhentikan presiden, terlebih lagi dapat memberhentikan
presiden karena alasan politik. Namun, kewenangan tersebut dihilangkan
dan kedudukan MPR pun berubah menjadi lembaga tinggi negara yang
18 Eko Prasojo, Mahkamah Konstitusi, ..., h.30 19 Janedjri M. Gaffar, “Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di Surakarta, 17 Oktober 2009, h. 15-16
58
hanya berwenang untuk melantik dan memberhentikan presiden
berdasarkan usulan yang terlebih dahulu berasal dari DPR dan diperiksa
oleh MK.
Melihat pada komentar Bagir Manan seperti yang dikutip dari buku
Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, bila
ditegaskan secara konseptual, dengan hilangnya kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, MPR kini bukan lagi satu-satunya pelaksana
kedaulatan rakyat. Karena esensinya, seluruh lembaga negara yang
mengemban tugas-tugas politik dan pemerintahan masing-masing
melaksanakan kedualatan rakuat dan bertanggung jawab langsung pada
rakyat, demi kesejahteraan bersama.
Impeachment presiden adalah bentuk dari pelaksanaan kedaulatan
negara, karena sebagaimana kedudukan Presiden dalam UUD 195,
presiden berasal dari rakyat dan dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, saat
presiden melakukan tindakan yang dapat menjatuhkannya atau tidak lagi
mampu untuk menjalankan tugas jabatannya sebagai presiden, maka
presiden dapat di-impeach dan dimakzulkan.
Masih berbicara mengenai kewenangan MPR sebelum amandemen,
MPR merupakan lembaga superior yang memegang kedaulatan. Tapi
semenjak amandemen yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD, maka MPR bukan lagi
pemegang kedaulatan tertinggi. Wewenang MPR hanya dibatasi pada
membuat dan mengubah UUD, mengangkat presiden dan/atau wakil
presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya berdasarkan UUD, serta memilih wakil presiden dalam hal
terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatanya.20 Tugas
dan kewenangan MPR RI pasca amandemen diatur dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 UUD NRI 1945, serta Undang-Undang MD3.
2. Korea Selatan
20 Asri Agustiwi, “Keberadaan Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia”, dalam Jurnal RECHSTAAT, vol. 8, no. 1, Maret 2014, h. 6-7
59
a. Majelis Nasional
Majelis Nasional (National Assembly; 대한민국 국회) adalah
lembaga negara di Korea Selatan yang memegang kekuasaan unikameral
legislatif. Anggota Majelis Nasional terdiri dari 299 anggota yang dipilih
dari pemilihan umum maupun ditunjuk oleh partai yang memenangkan
pemilu tersebut. selama melaksanakan tugasnya, Majelis Nasional
menyelenggarakan dua sidang, yaitu sidang biasa dan sidang istimewa.
Rentang waktu pelaksanaan sidang biasa adalah antara bulan September
hingg a Desember dengan periode seratus hari. Sementara sidang
Istimewa hanya digelar atas permintaan Presiden atau ¼ atau lebih dari
anggota Majelis Nasional. Periode sidang ini 30 hari, dan harus jelas
periode serta peruntukannya.21
Wewenang Majelis Nasional yang diamanatkan konstitusi antara
lain:22
a) Law-making;
b) Menyetujui anggaran negara;
c) Menangani hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri;
d) Menyatakan perang;
e) Mengirimkan angkatan bersenjata ke luar negeri atau menempatkan
angkatan bersenjata luar negeri di teritorial dalam negeri;
f) Menginspeksi atau melakukan investigasi akan hal-hal spesifik
mengenai urusan negara;
g) Pemakzulan.
21 ---, Republic of Korea: Public Administration Country Profile, (t.p, Division for Public Administration and Development Management (DPADM) Department of Economic and Social Affairs (DESA) United Nations, 2007), h. 5
22 ---, Republic of Korea, ..., h. 5
60
Wewenang Majelis Nasional Korea Selaan terhadap pemakzulan
memang cukup luas dan detail. Majelis Nasional, seperti dikatakan dalam
Konstitusi Korea Selatan, berhak untuk memakzulkan serangkaian pejabat
negara, termasuk ‘mengadili’ anggotanya sendiri dengan menerapkan
sanksi disipliner. Dalam hal proses impeachment presiden, berdasarkan
Pasal 65 Konstitusi Korea Selatan, Majelis Nasional berhak untuk
mengajukan mosi yang harus diajukan oleh 2/3 dari total anggota Majelis
Nasional yang hadir dan harus mendapat persetujuan dari mayoritas
anggota Majelis Nasional untuk dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi
untuk diperiksa.
b. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan merupakan peradilan
independen yang memegang kekuasaan yudikatif. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi berjalan pada
koridornya mengacu pada Konstitusi Korea Selatan. Tugas dan wewenang
Mahkamah Konstitusi kurang lebih sama dengan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. Wewenang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan sesuai dengan
yang tertera dalam Pasal 111 Konstitusi Korea Selatan antara lain:23
a) Menguji konstitusionalitas suatu undang-undang ;
b) Menangani sengketa antarlembaga negara;
c) Menangani perkara konstitusional yang diajukan oleh individu;
d) Memberikan putusan akhir atas pemakzulan; dan
e) Membubarkan partai politik.
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan terdiri dari sembilan hakim,
termasuk hakim ketua yang ditunjuk dan dilantik oleh Presiden oleh
persetujuan Majelis Nasional, sementara hakim anggota yang lain diangkat
23 ---, Republic of Korea, ..., h. 7
61
dan dilantik oleh presiden atas rekomendasi hakim ketua. Masa jabatan
tiap hakim adalah enam tahun. Yang menjadi pembeda antara hakim ketua
dan hakim anggota adalah hakim ketua tidak dapat dipilih lagi setelah
habis masa jabatannya, sementara hakim anggota dapat dipilih kembali
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim ketua harus pensiun
saat menginjak umur 70 tahun, sementara hakim anggota harus pensiun
saat mencapai umur 65 tahun.
Meskipun para hakim Mahkamah Konstitusi dapat di-impeach oleh
Majelis Nasional, dalam hal impeachment seorang presiden di Korea
Selatan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili,
dan memberikan keputusan yang bersifat final dan mengikat, dalam hal ini
memberhentikan atau tidak memberhentikan seorang presiden. Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga negara yang dapat dikatakan powerful
(kuat) karena wewenangnya lebih luas terutama soal impeachment. Tidak
seperti Indonesia yang melimpahkan kewenangan memutuskan perkara
impeachment kepada MPR, di Korea Selatan, hanya Mahkamah Konstitusi
yang berhak untuk memberhentikan presiden.
62
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang sudah dikemukakan di bab-bab sebelumnya,
dengan ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mekanisme impeachment presiden di Indonesia mempunyai perbedaan yang
sangat signifikan dalam konstitusi Republik Indonesia saat sebelum dan
sesudah amandemen. Perbedaan yang mencolok terdapat pada eksistensi pasal
7A dan 7B yang secara jelas dan detail mengatur tentang alasan dan
mekanisme impeachment seorang presiden, satu-satunya pejabat yang dapat
dimakzulkan di Indonesia. Sebelum amandemen, mekanisme impeachment
memang tidak jelas, karena terdapat campur tangan politik di dalam
mekanismenya. Dalam pasal 7B dijelaskan bahwa usul pemakzulan presiden
harus mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR, sebelum usulan tersebut dapat diajukan pada MK.
MK lalu memeriksa usulan DPR untuk selanjutnya diserahkan kembali pada
DPR bila usulan tersebut telah diperiksa oleh MK dan presiden terbukti
melakukan pelanggaran sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi. DPR
kembali menggelar rapat paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan
presiden pada MPR. Setelah diserahkan pada MPR, MPR juga wajib
menggelar sidang untuk memutuskan apakah presiden dapat diberhentikan
dari jabatannya. Berbeda dengan Korea Selatan yang dapat meng-impeach
pejabat publik lainnya selain presiden sebagaimana yang diamanatkan oleh
konstitusi, mekanisme impeachment tidak terdapat perbedaan, baik sebelum
amandemen maupun setelah amandemen dilakukan delapan kali, dan yang
terakhir dilaksanakan pada 22 Oktober 1987. Mekanisme impeachment
presiden yang diatur dalam konstitusi menyebutkan bahwa untuk meng-
63
impeach seorang presiden dibutuhkan usulan mayoritas dari total anggota
Majelis Nasional. Kemudian, mosi tersebut harus disetujui oleh 2/3 dari total
anggota Majelis Nasional untuk dapat diajukan pada Mahkamah Konstitusi.
Setelah mosi tersebut diperiksa dan dirundingkan, Mahkamah Konstitusi akan
memberikan putusan final terkait diberhentikan bila terbukti melanggar hal-
hal yang telah dicantumkan dalam konstitusi.
2. Lembaga yang terlibat dalam proses impeachment di kedua negara pun
berbeda. Di Indonesia, terdapat tiga lembaga negara yang terlibat secara
langsung dalam mekanisme impeachment presiden, yaitu DPR, MK, dan
MPR. Lembaga yang memegang status sebagai inquisitorial institution dalam
proses tersebut adalah DPR dan MK. MK berwenang untuk memeriksa dan
mengadili putusan DPR untuk selanjutnya MPR yang memegang kekuasaan
secara utuh untuk memberhentikan presiden. Di Korea Selatan, hanya dua
lembaga negara yang berpartisipasi dalam proses impeachment presiden, yaitu
Majelis Nasional dan Mahkamah Konstitusi. Majelis Nasional berhak
mengajukan mosi impeachment untuk selanjutnya Mahkamah Konstitusi-lah
yang berhak untuk memeriksa, mengadili, dan memberikan keputusan final
untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan presiden.
B. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan kesimpulan yang telah dijelaskan di atas, ada
beberapa saran yang dapat disampaikan melalui penelitian ini sebagai masukan
mengenai mekanisme impeachment presiden, yaitu:
1. Dalam pembicaraan maupun pembuatan karya tulis ilmiah, hal seperti
perbandingan mekanisme impeachment antar negara masih belum banyak
dibahas. Alangkah baiknya bila pembahasan dalam jurnal, skripsi,
disertasi, tesis, maupun penelitian dapat membahas lebih lanjut dan
spesifik mengenai hal tersebut, karena impeachment merupakan bagian
yang tidak terlepaskan dalam konteks pembicaraan Hukum Tata Negara.
2. Dalam praktik berpolitik di Indonesia khususnya, skripsi ini diharapkan
dapat membantu calon Presiden maupun pejabat politik dan/atau negara
64
lainnya untuk mempertimbangkan amanat sebuah jabatan yang
diamanatkan konstitusi, karena untuk melaksanakan praktik berpolitik dan
ketatanegaraan yang baik, perlu etika profesi dan serangkaian peraturan
yang harus dipatuhi dan dijalankan serta menghindari hal-hal yang
dilarang oleh konstitusi demi terwujudnya healthy and/or good
governance dan keberlangsungan kegiatan berpolitik yang sehat.
65
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alle, John Gage, Webster’s Dictionary, Chicago, IL: Wilcox & Follet Book Company, 1983.
Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 1990.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Atmasasmita, Romli, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Azhary, Tahir, Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam Menyambut 73 Tahun Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, SH., Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minnesota: West Group, 1991.
Bogdan, Michael, Pengantar Perbandingan Hukum, Penerjemah Dirta Sri Widowartie, Bandung: Media Nusa, 2010.
Cruz, Peter De, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law dan Socialist Law, diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Bandung: Nusa Media, 2010.
Faruqi, Harith Suleiman, Faruqi’s Law Dictionary, Arabic-English, Beirut: Librairie du Liban, 1986, 3rd Edition.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Gaffar, Janedjri M., Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Garner, Bryan A., Garner's Dictionary of Legal Usage, New York: Oxford Universty Press, 2011, 3rd revised edition
Hartono, Sunarjati, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, cet.ketujuh.
Ibrahim, Johni, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ketiga.
66
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Maggalatung, A. Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.
Maggalatung, A. Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Cet.I, Bandung: Fajar Media Bandung, 2013.
Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Mclean , Iain dan Alistair McMillan, Oxford Concise Dictionary of Politics, New York: Oxford University Press, 2009.
Mahfud, Moh. MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, cet.kedua.
Ministry of Culture, Sport and Tourism: Korean Culture and Information Service, Facts About Korea, South Korea: Hollym, 2009 , revised edition.
Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Nazriyah, Riri, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007.
Parluhutan, Ikhsan Daulay Rosyada, Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Salim, Peter, Advanced English – Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1991, cet.Ketiga.
Scruton, Roger, Kamus Politik Terjemahan dari The Palgrave MacMillan Dictionary of Political Thought, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Pertama, 2013.
Soekanto, Soerjono, Perbandingan Hukum, Bandung: Melati, 1989.
Soimin, Impeachment Presiden & Wakil Presiden Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2009.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: CV. Alfabeta, 2013.
67
Thalib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Weissberg, Robert, Understanding American Government, New York: Holt Rinehart and Winston.
Zoelva, Hamdan, Impeachment Presiden, Alasan-alasan Tindak Pidana Pemberhentian Menurut UUD 1945, cet. I, Jakarta: Konstitusi Press, 2015.
Zoelva, Hamdan, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Zweigert, K. dan H. Kotz, An Introduction to Comparative Law, Oxford: Clarendon Press, 1998, 3rd edition.
Jurnal
Agustiwi, Asri, “Keberadaan Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Di Indonesia”, Jurnal RECHSTAAT. Vol. 8, no. 1, Maret 2014.
Arry, “Impeachment dalam Sistem Presidensial: Kajian Teoritik Dan Normatif Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, dalaam Jurnal JOM FISIP Universitas Riau, Vol. 3, No. 1, Februari 2016,
Bratakusumah, Deddy S., “Aktualisasi Checks and Balances Antar Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif”, Jurnal Negarawan. No. 29, tahun 2013.
Fatkhurohman dan Miftachus Sjuhad, “Memahami Pemberhentian Presiden Impeachment Di Indonesia Studi Perbandingan Pemberhentian Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid”, Jurnal Konstitusi. Vol. III, No.1, Juni 2010.
Kristoyanto, Eko Noer, “Pemakzulan Presiden Republik Indoesia Pasca Amandemen UUD 1945”, dalam Jurnal RechtsVinding, vol. 2, no. 3, Desember 2013.
Makmur, Syafruddin, “Budaya Hukum dalam Masyarakat Multikultural”, Jurnal Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i. Vol. 2, no. 2, 2015.
Manan, Bagir, “Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances dalam UUD 1945”, Majalah Hukum Varia Peradilan. No. 334, September 2013.
68
Marpaung, Lintje Anna. “Analisis Yuridis Normatif Perbandingan Prosedur Pemberhentian Presiden Dalam Masa Jabatannya Antara Indonesia Dengan Amerika dan Korea Selatan”, Jurnal Pranata Hukum. Vol. 10, no. 2, Juli 2015.
Prasojo, Eko, “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik Indonesia”, Jurnal Hukum JENTERA. Tahun III, edisi 11, Januari-Maret 2006.
Rahmatullah, Indra, “Rejuvinasi Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 1, no. 2, Desember 2013.
S., Rusdianto, “Proses Impeachment Presiden dalam Konstitusi Negara-Negara Modern Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan”, dalam Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010
Sunarto, “Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Jilid 45, no. 2, April 2016.
Syakbani, Baehaki dan Hery Suprayitno, “Check and Balance dalam Sistem Pemerintahan Indonesia”, Jurnal Valid.Vol. 10, no. 2, April 2013.
Laporan Penelitian
----, Republic of Korea: Public Administration and Country Profile, Division for Public Administration and Development Management DPADM Department of Economic and Social Affairs DESA, United Nations, 2007.
Yudho, Winarno, dkk, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung dan Pusat Penelitian Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005.
Jack Simson Caird, Impeachment, Briefing Paper number CBP7612, 6 June 2016, United Kingdom: House of Commons Library, 2016.
Skripsi
Alam, Achmad Dlofilul, “Studi Komparasi antara Konsep Hak Jaminan resi Gudang menurut Undang-Undang no. 9 Tahun 2011 dengan Konsep Rahn gadai dalam Hukum Islam.” Skripsi S1 Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015.
69
Konferensi, Workshop, atau Seminar
Roestandi, A., “Mahkamah Konstitusi”, disampaikan pada Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan dan Penyelesaian Kasus-Kasus, Kanwil Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat, Hotel Karang Sentra Bandung, 27 Juli 2011.
Syafruddin Kalo, Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat: Suatu Sumbangan Pemikiran, disampaikan pada “Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara”, Jum’at, 27 April 2007, Gayo Room Garuda Plaza Hotel, Jl. Sisingamangaraja No. 18 Medan.
Internet
https://www.academia.edu/9134203/Sistem_Pemerintahan_Republik_Korea_Selatan, diakses pada 28 Oktober 2017.
https://www.kompasiana.com/makenyok/masalah-pemakzulan-presiden-park-geun-hye-dan-sistem-politik-republik-korea-selatan_58533b5b23afbd2b39643072, diakses 28 Oktober 2017
Justin McCurry, “Park Geun-hye: South Korean court removes president over scandal”, artikel tertanggal 10 Maret 2017, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2017/mar/10/south-korea-president-park-geun-hye-constitutional-court-impeachment tanggal 21 Februari 2018.
https://www.reuters.com/article/us-southkorea-politics/south-korean-court-throws-president-out-of-office-two-die-in-protest-idUSKBN16H066, diakses 20 Maret 2018, pukul 21:58 WIB.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Naskah Lengkap.
Konstitusi Korea Selatan Konstitusi Republik Korea The Constitution of the Republic of Korea; 대한민국 헌법.