materi kuliah lbhk sesi 1 dr ari hernawan sh mhum september ppak feb ugm 974
TRANSCRIPT
HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK
A. Pendahuluan
Dalam pergaulan hidup, orang selalu berinteraksi satu sama lain. Interaksi
antara orang yang satu dengan lainnya dalam lalu lintas hukum sering memerlukan
adanya perjanjian. Perjanjian merupakan hubungan hukum karena menimbulkan
akibat hukum.
Karena menimbulkan akibat hukum maka perjanjian sebaiknya dibuat
sedemikian rupa sehingga perjanjian itu dapat mengantisipasi sekaligus
menyelesaikan jika terjadi konflik berkaitan dengan perjanjian yang diadakan.
Dengan demikian perjanjian mempunyai paling tidak dua kegunaan yaitu : pertama
sebagai alat bukti adanya hubungan hukum antara orang yang satu dengan lainnya,
dan kedua, diperlukan untuk mengantisipasi adanya konflik dikemudian hari.
Walaupun demikian, dalam praktek para pihak yang mengadakan suatu
perjanjian kadang atau bahkan sering tidak mengatur secara terperinci semua
persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian dan hanya menyetujui hal-hal yang
pokok saja dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya. Perjanjian kadang hanya
dibuat secara lisan dan tidak dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam praktek muncul
berbagai macam perjanjian yang dikenal dengan istilah Perjanjian Tidak Bernama.
Hal-hal seperti ini terjadi dalam praktek karena Hukum Perjanjian menganut sistem
terbuka, bersifat pelengkap dan konsensuil.
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang
boleh mengadakan perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada
ketentuannya dalam undang-undang maupun yang belum ada ketentuannya,
asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Konsekuensi dari adanya sistem terbuka tersebut bahwa hukum perjanjian bersifat
sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal yang terdapat dalam buku III KUH
Perdata boleh dikesampingkan berlakunya manakala para pihak telah membuat
ketentuan sendiri. Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan lain maka
berlakulah ketentuan yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Dikatakan sebagai
1
hukum pelengkap karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan
melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap. Hukum
Perjanjian bersifat konsensuil artinya perjanjian itu terjadi sejak saat terjadinya
kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok perjanjian. Maka dalam hal ini
perjanjian itu dapat dibuat secara lisan saja dan dapat juga dalam bentuk tertulis.
Mengingat akibat yang ditimbulkannya, sebelum menyusun perjanjian perlu
diperhatikan berbagai hal yang mendasari dan berkaitan dengan perjanjian agar hak
dan kewajiban para pihak didalamnya dapat terlindungi.
B. Tinjauan Yuridis Perjanjian
1. Pengertian
Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pendapat ini oleh
Setiawan dianggap kurang memuaskan karena:
a. kata “…perbuatan…” dapat meliputi perbuatan hukum dan perbuatan biasa,
padahal yang dimaksud adalah hanya perbuatan hukum;
b. kata “….mengikatkan dirinya terhadap…” hanya menggambarkan perbuatan
sepihak saja, pada hal yang dimaksud dalam perjanjian dengan perbuatan
adalah perbuatan yang timbal balik;
c. tidak ada pembatasan bahwa perjanjian yang diadakan itu hanya dalam
lapangan hukum harta kekayaan.
Definisi tersebut diperbaiki oleh para sarjana, salah satunya oleh Sudikno
Mertokusumo, yang menyebutkan “perjanjian adalah hubungan hukum antara
dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.
Secara teoritis ada hubungan antara perjanjian dengan perikatan. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan
hukum harta kekayaan, dimana pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan
prestasi kepada pihak lain dan pihak yang lain berhak atas prestasi tersebut.
2
Dengan demikian suatu perjanjian mempunyai hubungan dengan
perikatan karena perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan diadakan suatu
perjanjian maka akan menimbulkan hubungan hukum antara dua pihak yang
dinamakan perikatan, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu perjanjian
merupakan salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain.
Dalam praktek, perjanjian yang dibuat secara tertulis sering disebut dengan
istilah kontrak. Secara teoretis pengertian kontrak sama dengan perjanjian obligatoir
sebagaimana diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata.
2. Asas-asas Pokok Hukum Perjanjian
Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah suatu pikiran dasar
yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif.
Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam
peraturan yang kongkrit akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai
atau melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan sifat dari asas tersebut
adalah abstrak dan umum. Adapun asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum
perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Asas Konsensualisme.
Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian, bahwa
perjanjian itu lahir sejak adanya consensus atau kata sepakat. Asas konsensualisme
dijumpai dalam Pasal 1320 butir 1 jo Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan kedua pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian telah lahir sejak
saat tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
Terhadap asas konsensualisme itu ada perkecualiannya yaitu pada
perjanjian formal dan perjanjian riil. Perjanjian yang pembuatannya menggunakan
formalitas tertentu disebut perjanjian formil seperti perjanjian penghibahan yang
berupa benda tak bergerak harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus
3
dengan bentuk tertulis.Di samping itu ada juga pengecualian dari asas
konsensualisme yaitu pada perjanjian riil. Dalam perjanjian riil ini lahirnya perjanjian
tidak pada saat adanya kata sepakat, tetapi pada saat barang atau obyek diserahkan
secara nyata, misalnya dalam perjanjian penitipan.
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini berkaitan dengan isi, bentuk dan jenis dari
perjanjian yang dibuat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak ini
mengandung 5 makna yaitu:
1) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;
2) Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3) Setiap orang bebas menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;
4) Setiap orang bebas menentukan isi dan syarat –syarat perjanjian yang
dibuatnya;
5) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum, maksudnya bebas
untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuatnya akan tunduk.
Asas kebebasan berkontrak menyebabkan timbulnya berbagai macam
perjanjian dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat timbullah perjanjian-perjanjian
yang bentuk dan isinya sudah dibakukan serta dibuat secara massal (standarisasi
kontrak). Di dalam perjanjian-perjanjian standar ini pihak lawan hanya tinggal
disodori dan diminta persetujuan dari pihak lawan dengan tidak mempunyai
kebebasan untuk tawar-menawar. Adanya kemajuan tersebut maka kebebasan
berkontrak dibatasi dengan campur tangan penguasa yang bertindak sebagai
pelindung terhadap pihak yang secara ekonomis lebih lemah kedudukannya,
misalnya besarnya suku bunga sudah ditentukan oleh pemerintah.
4
c. Asas pacta sunt servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH perdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata
“… berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan
asas ini berarti para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat seperti
halnya mentaati undang-undang, artinya apabila diantara para pihak ada yang
melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap melanggar
undang-undang, yang tentunya akan dikenai sanksi hukum. Akibat dari asas
pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik tanpa persetujuan pihak
lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
d. Asas itikad baik
Menurut Wirjono Prodjodikoro, di dalam hukum perjanjian itikad baik itu
mempunyai dua pengertian yaitu:
1) Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan
suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
pada waktu diadakan perbuatan hukum.
2) Itikat baik dalam arti obyektif, yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian
harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Dalam
pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas rel yang
benar. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata memberikan suatu kekuasaan pada
hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah
satu pihak terdesak tetapi harus ada keseimbangan antara berbagai
kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan. Keadilan maksudnya bahwa
kepastian untuk mendapatkan apa yang sudah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku.
5
e. Asas kepribadian
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu
perjanjian. Asas kepribadian dalam perjanjian ini dalam KUH Perdata diatur dalam
Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya.” Dengan demikian dapat dibenarkan bahwa
dalam suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak
ketiga, juga tidak boleh mendatangkan keuntungan atau kerugian pada pihak ketiga
kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang. Pernyataan ini diatur dalam Pasal
1340 ayat (2) yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi
kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian di atur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang
meliputi:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, syarat pertama dan kedua
disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut keadaan subjeknya, sedangkan
syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek
perjanjiannya. Terhadap syarat-syarat tersebut apabila syarat subjektif yang tidak
dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama tidak ada pembatalan
perjanjian dianggap sah, sedangkan apabila syarat objektif yang tidak dipenuhi maka
perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada.
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak pihak
yang satu saling mengisi dengan kehendak pihak yang lain. Sepakat atau
persesuaian kehendak diantara para pihak tersebut adalah mengenai hal-hal pokok
6
dalam perjanjian. Kata sepakat dari para pihak tersebut harus dinyatakan dalam
keadaan bebas artinya tidak ada cacad kehendak. Dalam Hukum Perjanjian yang
dimaksud dengan cacad kehendak adalah kekhilafan, paksaan dan penipuan.
Kekhilafan menurut Pasal 1322 KUH Perdata dapat dibagi menjadi dua yaitu
kekhilafan mengenai orang yang diajak berjanji (error in persona) dan kekhilafan
mengenai hakekat barang (error in substantia). Terjadi error in persona apabila salah
satu pihak menganggap bahwa yang diajak berjanji itu adalah orang yang diinginkan
padahal sebenarnya bukan. Terjadi error in substantia apabila salah satu pihak
menganggap bahwa benda / barang itu adalah seperti benda yang diinginkan
padahal sebenarnya bukan.
Paksaan menurut Pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata adalah suatu perbuatan
yang dapat menimbulkan rasa takut bagi orang yang berpikiran sehat, juga
menimbulkan ancaman bagi harta kekayaannya.
Penipuan menurut Pasal 1328 KUH Perdata dapat terjadi apabila salah satu
pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar disertai
dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuan.
Menurut Salim, dalam perkembangannya ada sebab baru yang dapat
dianggap sebagai cacad kehendak yaitu penyalah gunaan keadaan (undue
influence). Hal ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian salah satu pihak mempunyai
kelebihan dari yang lain, baik kelebihan ekonomis maupun kelebihan pisik. Dalam hal
ada kelebihan ekonomis, maka yang lemah akan mempunyai posisi yang
“bergantung” dari yang lain, sehingga untuk mendapatkan prestasi tertentu yang
sangat dibutuhkan ia terpaksa harus bersedia menerima janji-janji dan klausula-
klausula yang sangat merugikan bagi dirinya . Meskipun demikian tidak semua
perjanjian yang salah satu pihaknya berada dalam keadaan ekonomi lebih kuat pasti
mengandung unsur penyalah gunaan keadaan. Menurut Sularto, sebagai pedoman,
ada beberapa ciri dari suatu perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan
keadaan, yaitu:
1) pada saat menutup perjanjian salah satu pihak berada dalam keadaan terjepit;
2) salah satu pihak dalam keadaan kesulitan keuangan yang mendesak;
7
3) karena adanya hubungan atasan dengan bawahan, hubungan majikan dengan
buruh, hubungan orang tua/wali dengan anak belum dewasa;
4) salah satu pihak pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli;
5) adanya pelaksanaan prestasi yang tidak seimbang;
6) adanya kalusula eksenorasi untuk membebaskan tanggung jawab;
7) adanya kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian,
kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian (Pasal
1329 KUH Perdata). Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap
membuat perjanjian, sebagai mana diatur oleh pasal 1330 KUH Perdata, adalah
orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang
perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang–undang. Dalam
perjalanannya, ketentuan mengenai ketidakcakapan ini mengalami pergeseran
dengan digulirkannya beberapa instrumen legal formal seperti S.E. M.A. Nomor 3
Tahun 1963 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah obyek dari perjanjian, suatu
pokok dimana perjanjian diadakan. Didalam suatu perjanjian obyek perjanjian harus
tertentu dan setidak tidaknya dapat ditentukan. Pokok perjanjian ini tidak harus
ditentukan secara individual tetapi cukup dapat ditentukan menurut jenisnya. Hal ini
menurut ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,
asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Dari pasal tersebut terkandung pengertian bahwa perjanjian atas suatu barang
yang baru akan ada itu diperbolehkan. Kemudian dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH
Perdata ditentukan bahwa: “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari
dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
8
Selain syarat tersebut di atas, maka obyek perjanjian itu adalah barang-
barang dalam perdagangan, artinya barang-barang tersebut dapat diperdagangkan
dan diperalihkan secara bebas tanpa ada larangan dari undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
d. Suatu sebab yang halal
Pembentuk undang-undang tidak memberikan definisi tentang suatu sebab
dalam pasal-pasal KUH Perdata. Menurut Yurisprudensi yang dimaksud dengan
“sebab“ adalah sesuatu yang akan dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau
sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Dalam Pasal 1336 KUH Perdata, disebutkan
adanya perjanjian dengan macam sebab yaitu: Perjanjian dengan sebab yang halal;
Perjanjian dengan sebab yang palsu atau terlarang; dan Perjanjian tanpa sebab.
Perjanjian dengan sebab yang halal maksudnya bahwa isi dari perjanjian itu
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Perjanjian dengan sebab yang palsu (terlarang) termasuk dalam perngertian dalam
sebab yang tidak halal. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab tersebut
diadakan oleh para pihak untuk menutupi atau menyelubungi sebab yang
sebenarnya. Sedangkan sebab yang terlarang maksudnya sebab yang bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian tanpa
sebab dapat terjadi apabila tujuan yang dimaksudkan oleh para pihak pada saat
dibuatnya perjanjian tidak akan tercapai.
4. Unsur-unsur Perjanjian
a. Esensialia
Esensialia merupakan unsur pokok yang selalu harus ada dalam
perjanjian. Tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.
Sebagai contoh, dalam Perjanjian Jual Beli esensialianya adalah Barang dan
Harga.
b. Naturalia
Naturalia adalah unsur yang melekat pada perjanjian, dianggap ada dalam
perjanjian meskipun tidak diperjanjikan secara khusus. Unsur naturalia
9
sebenarnya sudah diatur dalam UU (KUH Perdata) sebagai hukum pelengkap,
tetapi para pihak boleh menyimpanginya dan mengatur sendiri di dalam
perjanjian. Oleh karena itu untuk perjanjian bernama Naturalia boleh disebut
dalam perjanjian boleh tidak disebutkan. Jika disebut yang berlaku yang
disebutkan itu, jika tidak disebut yang berlaku ketentuan dalam KUH Perdata.
Tetapi untuk perjanjian tidak bernama (jenis baru) tidak ada Naturalia karena
belum ada kodifikasinya. Sehingga untuk melindungi dirinya masing-masing
pihak dapat mengajukan syarat-syarat tertentu asalkan disetujui oleh pihak
lawannya.
c. Aksidentalia
Unsur yang apabila dikehendaki harus ditambahkan oleh para pihak di
dalam perjanjian asal saja hal itu tidak dilarang oleh UU. Aksidentalia ini
mengikat apabila dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian. Sebagai
contoh, Sewa menyewa rumah artinya dalam keadaan kosong, oleh karena itu
apabila ingin menyewa rumah termasuk mebelair, telepon dan sebagainya
harus dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian.
5. Jenis-jenis Perjanjian
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, untuk dapat mengetahui jenis-
jenis perjanjian maka dapat dilakukan dengan cara mengkategorisasikan semua
perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata. Ditinjau dari segi akibat hukum yang
ditimbulkan dalam perjanjian maka perjanjian dibedakan menjadi beberapa macam
yaitu:
1) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang hanya menimbulkan hak dan
kewajiban diantara para pihak.
2) Perjanjian leberatoir, adalah perjanjian yang isinya bertujuan untuk
membebaskan para pihak dari suatu kewajiban hukum tertentu.
3) Perjanjian kekeluargaan, adalah perjanjian yang terdapat dalam lapangan
hukum keluarga, misalnya perjanjian kawin.
4) Perjanjian pembuktian, adalah perjanjian mengenai alat-alat bukti yang akan
berlaku diantara mereka.
10
5) Perjanjian kebendaan, adalah perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan atau
menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
Berdasarkan hak dan kewajiban yang ditimbulkan, maka perjanjian dibedakan
menjadi:
a) Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu
puhak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya terdapat hak saja,
misalnya perjanjian hibah.
b) Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantara para pihak yang membuat perjanjian, misalnya perjanjian jual beli.
Berdasarkan saat terbentuknya, perjanjian dibedakan menjadi:
a) Perjanjian Konsensuil, yaitu perjanjian yang terbentuknya setelah adanya
kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian;
b) Perjanjian Formal, yaitu perjanjian yang terbentuknya diperlukan formalitas
tertentu yang ditentukan oleh UU, dengan demikian tanpa adanya formalitas
tertentu tersebut tidak ada perjanjian;
c) Perjanjian Riil, yaitu perjanjian yang terbentuknya diperlukan kata sepakat
dan diikuti penyerahan nyata benda yang menjadi objek perjanjian, dengan
demikian tanpa adanya penyerahan objek perjanjian maka tidak akan ada
perjanjian.
Berdasarkan nama dan tempat pengaturannya, perjanjian dibedakan menjadi:
a. Perjanjian Bernama, adalah perjanjian yang telah mempunyai nama tertentu /
khusus dan diatur di dalam KUH Perdata, KUHD dan Peraturan Perundangan
lainnya;
b. Perjanjian Tidak Bernama, adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu dan tidak diatur di dalam KUH Perdata yang juga sering disebut
dengan istilah Perjanjian Jenis Baru.
6. Wanprestasi dan akibatnya
Menurut Subekti, wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kesalahannya salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
11
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai dengan isi perjanjian.
Sejak kapan debitur telah wanprestasi dapat dilihat dari bentuk prestasinya.
Dalam hal bentuk prestasi berupa tidak berbuat sesuatu, yaitu pada saat debitur
berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Untuk prestasi yang
berupa memberikan sesuatu, yaitu apabila batas waktu yang ditentukan dalam
perjanjian telah dilewati. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka
untuk menyatakan debitur melakukan wanprestasi, diperlukan adanya somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang
berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau
dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang
melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke
pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Menurut surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 wanprestasi yang tanpa didahului
somasi dimungkinkan karena dengan diterimanya turunan surat gugat oleh
tergugat yang bersangkutan dianggap sudah menerima somasi karena sebelum
sidang pengadilan, tergugat masih dapat berprestasi.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk menyatakan bahwa
seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal:
1) adanya ketentuan batas waktu dalam perjanjian (fataal termijn);
2) prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu;
3) debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang
dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur, disingkat ganti rugi.
2) Pembatalan perjanjian.
3) Peralihan rIsiko.
12
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim (Subekti,
1994).
7. Berakhirnya Perjanjian
Ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan berakhir atau hapusnya
perjanjian, yaitu:
1) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.
Maksudnya bahwa perjanjian tersebut hapus apabila para pihak telah
menentukan saat berakhirnya perjanjian itu.
2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata yang menjelaskan bahwa
para ahli waris dapat mengadakan perjajian untuk selama waktu tertentu
(maksimal 5 tahun) supaya tidak melakukan pemecahan harta warisan .
3) Terjadinya peristiwa tertentu yang disyaratkan dalam perjanjian.
Misalnya, jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian meninggal dunia
maka perjanjian tersebut akan hapus, hal ini dapat dilihat dalam perjanjian
pemberian kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata), perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUH
Perdata).
4) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).
Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak
dan terjadi pada perjanjian yang bersifat sementara seperti dalam
perjanjian kerja, perjanjian sewa menyewa.
5) Perjanjian hapus karena putusan hakim (Setiawan, 1999).
C. Perancangan Kontrak
Secara teoretis, kontrak adalah perjanjian obligatoir, walaupun secara populer
kontrak sering diterjemahkan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dalam
perancangan kontrak harus diperhatikan bentuk maupun isinya. Dengan
memperhatikan hal tersebut diharapkan kontrak yang dibuat dapat melindungi
pembuatnya dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembuatannya. Oleh karena itu
dalam merancang dan atau menyusun kontrak, perlu dicermati mengenai bagian-
13
bagian kontrak, karena hal tersebut dapat merepresentasikan dari kontrak yang
dibuat.
1. Judul
Judul harus mampu memberikan gambaran pertama mengenai materi pokok
perjanjian. Untuk Perjanjian Bernama tidak ada masalah dengan pemberian judul
karena sudah ada namanya dalam KUH Perdata. Untuk Perjanjian Jenis Baru
Campuran pemberian judul dapat dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur
perjanjian campuran tersebut. Judul dalam Perjanjian Jenis Baru Mandiri dapat
dibuat dengan nama yang lazim digunakan dalam praktek, atau biasanya dalam
praktek jika belum memiliki nama diberi judul ”Perjanjian Kerjasama”.
2. Bagian Awal
Bagian ini berisi tentang penyebutan hari dan tanggal dibuatnya kontrak. Dalam
praktek penyusunan kontrak, kadang tanggal dibuatnya kontrak diletakkan di
bagian akhir. Hanya saja hal tersebut dimungkinkan untuk akta di bawah tangan
dan tidak boleh dilakukan dalam akta otentik.
3. Komparisi
Komparisi adalah penyebutan para pihak, sehingga harus dilakukan secara
cermat karena melalui komparisi ini dapat diketahui terpenuhi atau tidaknya syarat
kecakapan para pihak yang merupakan syarat subyektif perjanjian. Dalam
komparisi juga harus disebutkan apakah para pihak dalam perjanjian bertindak
untuk dirinya sendiri atau bertindak untuk dan atas nama orang lain.
4. Premisse
Premisse berisikan hal-hal yang mendasari atau melatarbelakangi pembuatan
kontrak. Hal-hal yang melatarbelakangi pembuatan kontrak bisa berupa peraturan
perundang-undangan, fakta atau hal-lainnya. Premisse juga menegaskan
kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian.
5. Isi
Isi perjanjian sebenarnya representasi dari unsur-unsur perjanjian, yaitu
esensialia, naturalia dan aksidentalia, oleh karena itu perlu mendapatkan
perhatian dalam penyusunan kontrak karena memiliki arti penting. Sebagai
gambaran, esensialia merupakan objek perjanjian sehingga dari unsur tersebut
14
dapat diketahui terpenuhi atau tidaknya syarat obyektif perjanjian. Demikian pula
apabila unsur aksidentalia disebut secara tegas dalam perjanjian maka mengikat
para pihak. Unsur aksidentalia dapat ditambahkan dalam perjanjian dengan
catatan tidak dilarang oleh undang-undang. Selain unsur-unsur perjanjian,
terhadap isi kontrak dapat ditambahkan klausula tentang definisi yang menjadi
konsep operasional perjanjian agar tidak multi interpretasi. Tata cara pelaksanaan
kontrak dan alternatif penyelesaian kontrak juga dapat dimasukkan dalam bagian
isi ini.
6. Bagian Akhir
Bagian akhir menyebutkan mengenai tujuan dibuatnya kontrak, yaitu sebagai alat
bukti. Disamping itu, di bagian akhir ini juga terletak tanda tangan para pihak dan
saksi-saksi, jika diperlukan adanya saksi. Pembubuhan materai bukan merupakan
syarat sah perjanjian tetapi lebih mengakomodasikan peraturan perundangan
mengenai Bea dan Materai.
D. Penutup
Sebagaimana makna asas pacta sunt servanda, menyusun perjanjian berarti
menyusun undang-undang bagi diri pembuatnya. Oleh karena itu apa yang akan
dirumuskan sebagai isi perjanjian harus benar-benar dapat melindungi pembuatnya
terhadap kemungkinan adanya perselisihan maupun gangguan dari pihak ketiga agar
sesuai dengan tujuan pembuatannya.
Untuk mencapai maksud tersebut, banyak aspek yang harus diperhatikan di
dalam penyusunan perjanjian, tidak hanya aspek yuridis saja tetapi juga aspek-aspek
lain berkaitan dan atau seputar perjanjian yang dibuat.
Referensi
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung.
15
Salim H.S., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Subekti dan Tjitrosudibio, 2002, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Sularto, 2003, Penyusunan Kontrak, Makalah, Yogyakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung.
16
17