materi kuis pak !!!
DESCRIPTION
huhkkTRANSCRIPT
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Kelapa Sebagai Sumber Protein
Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) diklasifikasikan ke
dalam famili Palmae dan kelas Monocotyledonae. Tanaman
perkebunan ini banyak terdapat di daerah beriklim tropis dan
dikenal sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang utama
(Warisno 2003). Buah kelapa merupakan bagian yang paling
tinggi nilai ekonominya dibandingkan dengan bagian lain dari
tanaman kelapa. Rindengan et al. (1995) mengemukakan bahwa
dalam sebutir kelapa tua rata-rata terdiri dari 35% sabut, 12%
tempurung, 28% daging buah, dan 25% air kelapa.
Hasil pengolahan daging buah kelapa merupakan sumber
potensial untuk mendapatkan protein yang bernilai gizi tinggi
dan mudah dicerna. Kandungan protein daging buah kelapa
muda, setengah tua, dan tua dalam 100 g daging buah berturut-
turut sebesar 1,0 g, 4,0 g dan 3,4 g (Poedjiadi 2006).
Komposisi daging buah dan krim santan kelapa dapat dilihat
pada Tabel 1. Protein kelapa tidak memiliki senyawa antinutrisi
seperti yang terdapat pada protein nabati lainnya (kacang-
kacangan). Selain itu, daging buah kelapa juga mengandung
asam amino esensial yang lengkap seperti tercantum dalam Tabel 2.
Protein kelapa berupa galendo merupakan ampas atau
residu produksi minyak kelapa melalui proses ekstraksi dari
kopra maupun fermentasi santan. Galendo ini pada umumnya
digunakan sebagai pakan ternak atau dijadikan bahan pengisi dari
beberapa jenis makanan. Kandungan protein galendo sekitar
20% dari bahan kering (Purwadaria 2004).
Pada pembuatan minyak klentik, galendo sebagai hasil
samping pada kadar air 13,8% memiliki kadar protein 22,2% dan
pada kadar air 7%, kadar proteinnya menjadi 43,8% dari daging
buah kelapa. Hasil galendo adalah 5,5% dari daging buah
kelapa, sehingga kadar protein galendo adalah 2,4% dari bahan
asal (Soemaatmadja et al. 1984).
Rindengan (1988) melaporkan bahwa hidrolisis santan
menggunakan NaOH 10% pada suhu 60 oC selama 30 menit
dan dilanjutkan dengan penambahan HCl pada skim kelapa
menghasilkan konsentrat dengan kadar protein 31,49%,
sedangkan hasil hidrolisis tepung kelapa oleh enzim bromelin
1% pada suhu 50 oC selama 5 jam memiliki kadar protein
46,63%.
Tabel 1. Komposisi daging buah dan krim santan kelapa
(% bk)
Komponen Daging Buah Krim SantanProtein 4,0 4,4Lemak 40,0 32,3
Karbohidrat 3,5 4,7Air 45,0 54,0Abu 0,2 3,3
Serat Kasar 7,3 1,7bk = bobot kering Sumber : FAO 2004Tabel 2 Komposisi asam amino dalam protein daging
buah kelapaAsam amino Konsentrasi (%)
Esensial :Isoleusin 2,50Treonin 2,30Lisin 5,80Metionin 1,43Fenilalanin 2,05Triptofan 1,25Valin 3,57Leusin 5,96Histidin 2,42Nonesensial:Arginin 15,92Tirosin 3,18Sistin 1,44Prolin 5,54Serin 1,76
Asam aspartat 5,12Asam glutamat 19,07
Sumber : Ketaren 1986
2.2 Galendo
Protein kelapa berupa galendo merupakan ampas atau
residu produksi minyak kelapa melalui proses ekstraksi dari kopra
maupun fermentasi santan. Hasil pengolahan daging buah kelapa
merupakan sumber potensial untuk mendapatkan protein yang
bernilai gizi tinggi dan mudah dicerna. Kandungan protein daging
buah kelapa muda, setengah tua, dan tua dalam 100 g daging buah
berturut - turut adalah sebesar 1,0 g, 4,0 g dan 3,4 g (Poedjiadi,
2006). Komposisi daging buah dan krim santan kelapa dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 3. Komposisi Daging Buah dan Krim Santan Kelapa
(%bk)
Komponen Daging buah Krim santanprotein 4,0 4,4lemak 40,0 32,3karbohidrat 3,5 4,7air 45,0 54,0abu 0,2 3,3serat kasar 7,3 1,7
Pada umumnya galendo digunakan sebagai pakan ternak
atau dijadikan bahan pengisi dari beberapa jenis makanan.
Kandungan protein galendo sekitar 20% dari bahan kering
(Purwadaria, 2004). Pada pembuatan minyak klentik, galendo
sebagai hasil samping pada kadar air 13,8% memiliki kadar protein
22,2% dan pada kadar air 7%, kadar proteinnya menjadi 43,8%
dari daging buah kelapa. Hasil galendo adalah 5,5% dari daging
buah kelapa, sehingga kadar protein galendo adalah 2,4% dari
bahan asal (Soemaatmadja dkk., 1984). Protein kelapa tidak
memiliki senyawa antinutrisi seperti yang terdapat pada protein
nabati lainnya (kacang - kacangan). Selain itu, daging buah kelapa
juga mengandung asam amino esensial yang lengkap seperti
tercantum dalam tabel 2
Tabel 4. Komposisi Asam Amino dalam Protein Daging
Buah Kelapa
Asam amino Konsentrasi (%)
essensial :isoleusin 2,50treonin 2,30
lisin 5,80metionin 1,43
fenilalanin 2,05triptofan 1,25
valin 3,57leusin 5,96
histidin 2,42non essensial :
arginin 15,92tirosin 3,18sistin 1,44prolin 5,54serin 1,76
asam aspartate 5,12asam glutamat 19,07
Kandungan kimia pada kelapa meliputi air, protein, dan
lemak. Galendo dapat diperoleh setelah perusakan komponen
emulsifier (protein), penyatu komponen air dan lemak. Emulsi
dapat dirusak dengan cara sentrifugasi, pengasaman, enzimatis,
atau pancingan. Setelah lemak, protein, dan air terpisah maka
dihasilkan minyak dan galendo sebagai sisa pengambilan minyak.
2.3 Enzim Papain
Papain (EC 3.4.22.2) merupakan salah satu enzim
hidrolase yang bersifat proteolitik hasil isolasi dari penyadapan
getah buah pepaya(Carica papaya,L). Selain mengandung papain
sebanyak 10%, getah buah pepaya juga tersusun atas enzim
kemopapain dan lisozim sebesar 20% dan 45% (Winarno 1986).
Papain tersusun atas 212 residu asam amino yang membentuk
sebuah polipeptida rantai tunggal dengan bobot molekul sebesar
23.000 Dalton (Harrison et al. 1997).
Aktivitas enzim papain ditandai dengan proses
pemecahan substrat menjadi produk oleh gugus histidin dan
sistein pada sisi aktif enzim. Beveridge (1996) memaparkan
bahwa selama proses katalisis hidrolisis gugus-gugus amida,
mula-mula gugus sistein (Cys-25) yang bersifat sangat reaktif
berikatan dengan substrat pada sisi aktif papain sehingga
dihasilkan ikatan kovalen substrat dengan enzim yang berbentuk
tetrahedral. Kemudian gugus histidin (His-159) terprotonasi
sehingga berikatan dengan nitrogen yang terdapat di dalam
substrat. Akibatnya gugus amin pada substrat terdifusi dan
kedudukannya digantikan oleh molekul-molekul air yang pada
akhirnya menghidrolisis hasil intermediet sehingga
mengembalikan enzim ke dalam bentuk dan fungsinya seperti
semula (Gambar 1).
Gambar 1. Mekanisme katalisis hidrolisis gugus amida oleh
enzim papain (Harrison et al. 1997)
Aktivitas enzim papain cukup spesifik karena papain
hanya dapat mengkatalisis proses hidrolisis dengan baik pada
kondisi pH serta suhu dalam kisaran tertentu. Kemampuan
papain pada sebagian besar substrat protein lebih ekstensif
daripada protease pankreas seperti tripsin dan pepsin (Leung
1996). Daya proteolitik papain sangat aktif pada suasana
reduktif, karena itu adanya penambahan bahan-bahan pereduksi
akan dapat meningkatkan aktivitas papain. Aktivitas papain dapat
diukur dengan beberapa metode antara lain metode
penggumpalan susu dengan satuan Milk Clotting Units
(MCU/mg), dan metode hidrolisis kasein dengan satuan Casein
Digestion Unit (CDU/mg) atau Tyrosine Unit (TU/mg) (Muhidin
1999; EDC 2001)
2.4 Heksana
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan
rumus C6H14. Heks menunjukkan bahwa terdapat enam karbon atom
dan akhiran ana menunjukkan bahwa heksana berasal dari golongan
alkana. Golongan alkana tidak memiliki ikatan rangkap, hanya
memiliki ikatan tunggal yang mengubungkan antara atom karbon.
Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna
yang tidak larut dalam air.
Tabel 5. Sifat Fisika dan Kimia n-heksana
Karakteristik Persyaratan
bobot molekulwarnawujud
titik leburtitik didihdensitas
86,2 gr/moltak berwarna
cair-95oc
69oc (pada 1 atm)0,6603 gr/ml pada 20oC
Sumber : Kastianti dan Amelia (2008)
2.5 Dapar Fosfat
Larutan dapar fosfat pH 7,2 buat dengan cara pencampuran
50 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 35mL larutan
natrium hidroksida 0,2 M. Kemudian dilakukan peneraan volume
hingga 200 mL dengan aquadest bebas karbondioksida
(Handayani, 2008)
2.5 Pemisahan Protein Kelapa
Protein kelapa yang digunakan pada penelitian ini berupa
galendo sebagai limbah dari industri VCO yang dikelola Pusat
Penelitian Kimia LIPI bersama mitra kerja. Teknik yang
digunakan pada kegiatan ini adalah proses fermentasi krim
santan menggunakan ragi tempe pada suhu 30 oC selama 24
jam. Proses fermentasi dinyatakan berjalan baik jika dari
campuran tersebut terbentuk tiga lapisan, yakni lapisan atas
berupa galendo berwarna putih, lapisan tengah yang jernih berupa
VCO, dan lapisan bawah berupa air seperti yang terlihat pada
Gambar 1. Minyak dipisahkan secara dekantasi untuk kemudian
di inkubasi selama 5 menit pada suhu lebih dari 60 oC untuk
mengendapkan partikel protein yang tersisa. Penyaringan minyak
dilakukan sehingga minyak yang diperoleh berwarna putih,
bening dan beraroma khas kelapa.
Galendo dipisahkan dari lapisan minyak dan air.
Sebagian besar kandungan minyak dipisahkan melalui
pengepresan dan ekstraksi. Pelarut yang dapat digunakan dalam
proses ekstraksi minyak antara lain hidrokarbon, dietil eter,
karbon disulfida, alkohol, triklor etilen serta heksana yang telah
dipergunakan secara luas (Anang 1991). Galendo yang telah
bebas minyak tersebut dikeringkan dan digiling sehingga
diperoleh tepung galendo yang akan dijadikan bahan baku
utama pembuatan hidrolisat protein.
Berdasarkan kelarutannya, Rindengan (1988) telah
menentukan bahwa protein daging buah kelapa tersusun dari
globulin, albumin, glutelin, prolamin, dan N non-protein.
Globulin adalah protein yang larut dalam asam kuat, alkali,
atau larutan garam encer, sedangkan albumin larut dalam air.
Kelarutan protein dipengaruhi oleh ukuran molekulnya dan hal
ini akan mempengaruhi proses hidrolisis. Rindengan (1988)
mengemukakan bahwa efisiensi ekstraksi protein kelapa selain
dipengaruhi oleh kelarutan protein, juga dipengaruhi oleh
perbandingan antara bahan baku dan pelarut, suhu, dan lamanya
ekstraksi serta penambahan garam. Hasil percobaan yang telah
dilakukannya menunjukkan bahwa kelarutan protein yang
minimum terjadi pada pH 3,9 dan 90% protein dan total
padatan akan larut pada pH 7,0.
2.6 Hidrolisat Protein
Protein berfungsi sebagai komponen struktural,
fungsional, dan reproduksi makhluk hidup. Protein sebagai
nutrisi berperan penting dalam menyediakan asam amino sebagai
unit pembangun bagi biosintesis protein kembali. Protein yang
terbentuk dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi dan anak-anak
serta untuk mengganti protein tubuh yang terjadi secara tetap
pada orang dewasa. Asam amino juga merupakan prekursor
hormon, enzim, dan berbagai biomolekul lainnya. Oksidasi
kerangka karbon pada asam amino juga melengkapi sebagian
kecil kebutuhan total energi harian (Lehninger et al. 2004).
Hidrolisat protein merupakan suatu campuran asam
amino yang diperoleh melalui degradasi hidrolitik protein
dengan asam, basa, atau enzim proteolitik. Hidrolisis secara
parsial mampu memecah molekul protein menjadi beberapa
gugus asam amino maupun melalui pemutusan ikatan rantai
peptida (Rehm & Reed 1995). Hidrolisat umumnya mengandung
peptida dengan bobot molekul rendah terdiri atas 2 hingga 4
residu amino. Bila hidrolisis dilakukan dengan sempurna maka
akan diperoleh hidrolisat yang terdiri dari campuran 18 sampai
20 macam asam amino. Hidrolisis asam menggunakan asam keras
anorganik seperti HCl atauH2SO4 pekat dan dipanaskan pada
suhu mendidih dengan tekanan diatas 1 atm. Proses berlangsung
beberapa jam. Hidrolisis alkali, menggunakan alkalis keras
seperti NaOH dan KOH pada suhu tinggi, dilakukan beberapa
jam dan dengan tekanan diatas 1 atm. Penambahan asam
maupun basa pada proses hidrolisis dapat merusak beberapa
gugus asam amino serta menghasilkan senyawa karsinogenik.
Davidex et al. (1990) melaporkan bahwa hidrolisis secara
kimia menyebabkan destruksi triptofan serta pelepasan amonia
pada pemecahan gugus amida asparagin dan glutamin menjadi
asam aspartat dan asam glutamat. Selain itu gugus amino
hidroksin (serin dan treonin) mengalami kerusakan sekitar 5-
10%, sedangkan sistein, asam aspartat, asam glutamat, lisin,
arginin, tirosin dan prolin terdegradasi sebagian. Williams (1998)
mengemukakan bahwa hidrolisis protein dengan konsentrasi HCl
yang tinggi disertai suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya
rasemasi asam amino dari L-asam amino menjadi D-asam
amino yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, bahkan terkadang
menjadi racun. Selain itu, produk yang dihasilkan menjadi
sangat asam. Penggunaan alkali untuk menetralkan sampai pH 7
menyebabkan hidrolisat protein mengandung sejumlah garam
yang akan menurunkan kualitas dan nilai biologis protein
(Bucci & Unlu 2000).
Dasar proses hidrolisis enzimatis adalah pemutusan ikatan
peptida oleh enzim dengan bantuan air. Hidrolisis ikatan peptida
dapat meningkatkan jumlah gugus terionisasi dan sisi hidrofilik
karena membukanya molekul protein, umumnya meningkatkan
kelarutan dan menurunkan viskositas dan diamati dengan
meningkatnya derajat hidrolisis (Zayas 1997). Giese (1994)
menyebutkan protease mengkatalisis pemutusan ikatan peptida
yang akan menghasilkan unit peptida dan molekul lebih kecil
yang akan mudah larut. Hidrolisis secara luas oleh protease non-
spesifik seperti papain menyebabkan kelarutan yang lebih tinggi
pada protein yang sukar larut. Protein dengan nilai kelarutan
tinggi mengindikasikan protein yang serbaguna dan potensial
dalam sistem pangan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Kelapa
Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat menjadi
minuman fermentasi, karena kandungan zat gizinya, kaya akan
nutrisi yaitu gula, protein, lemak dan relatif lengkap sehingga sangat
baik untuk pertumbuhan bakteri penghasil produk pangan. Air
kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein 0,2 %, lemak
0,15%, karbohidrat 7,27 %, gula, vitamin, elektrolit dan hormon
pertumbuhan. Kandungan gula maksimun 3 gram per 100 ml air
kelapa. Jenis gula yang terkandung adalah sukrosa, glukosa, fruktosa
dan sorbitol. Gula-gula tersebut menyebabkan air kelapa muda lebih
manis dari air kelapa yang lebih tua. (Warisno, 2004).
Air kelapa juga mengandung mineral seperti kalium dan
natrium. Mineral-mineral itu diperlukan dalam poses metabolisme,
juga dibutuhkan dan pembentukan kofaktor enzim-enzim
ekstraseluler oleh bakteri pembentuk selulosa. Selain mengandung
mineral, air kelapa juga mengandung vitamin-vitamin seperti
riboflavin, tiamin, biotin. Vitamin-vitamin tersebut sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitas bakteri atau yeast
pada saat fermentasi berlangsung. Berikut komposisi air kelapa yang
disajika pada table 1.
Tabel 1. Komposisi air kelapa muda dan kelapa tua
(Palungkun, 1992)
Sumber Air Kelapa (dalam 100 g) Air Kelapa Muda Air Kelapa Tua
Kalori 17 -
Protein 0,2 0,14
Lemak 1 1,5
Karbohidrat 3,8 4,6
Kalsium 15 -
Fosfor 8 0,5
Besi 0,2 -
Air 95,5 91,5
Bagian Yang Dapat Dimakan 100 -Air kelapa mengandung unsur kimia yang penting bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini menyebabkan air kelapa
dapat dimanfaatkan untuk produksi protein sel tunggal (PST), nata
de coco dan cuka kelapa (Coco vinegar).
2.2 Asam Asetat (Cuka)
Cuka adalah pelengkap makan yang sangat umum ditemukan
di seluruh dunia, bahkan sering dihidangkan disamping garam pada
meja makan. Banyak masakan Indonesia menggunakan cuka untuk
tambahan rasa atau membantu pengolahan pangan atau untuk fungsi
pengawetan, mulai dari baso, acar hingga saos tomat, menggunakan
cuka. Sehingga tidak heran jika cuka menjadi produk pangan yang
memiliki pasar permintaan sebesar 68 juta liter per tahun.
Produksi cuka melibatkan proses fermentasi yang sangat
sederhana, lebih sederhana dari fermentasi alkolhol, karena
dibutuhkannya oksigen dalam proses fermentasi cuka. Produksi
cuka-pun sangat mudah karena dapat diproduksi dari hampir semua
jenis pangan cair (atau minuman) yang mengandung gula, namun
proses fermentasi akan lebih cepat berjalan jika cairan tersebut telah
mengandung alkohol. Sehingga seringkali produsen minuman
beralkohol sering gagal karena minumannya berubah menjadi cuka
ketika terkena udara yang mengandung oksigen. Sehingga sangat
memungkinkan memproduksi cuka dari air kelapa, yang sudah
sangat umum berjalan di negeri Filipina.
Kegunaan cuka bukan hanya terletak pada pangan, namun
cuka sudah dikenal sebagai bahan antiseptik, bahan pembersih (cuka
bersifat asam dan korosif), penghilang bau dan pengawet pada
pangan.
Gambar 1. Struktur kimia asam asetat
2.3 Cuka Kelapa
Cuka air kelapa merupakan produk alami yang dihasilkan dari
alkohol hasil fermentasi air kelapa dan diperkaya gula. Cuka kelapa
mengandung asam asetat 3-4 gr per 100 ml pada suhu 20°C dan
tidak boleh mengandung ethanol 0,5% dari volume dan digunakan
sebagai komoditas yang sangat diperlukan dalam setiap rumah
tangga. Cuka berasal dari fermentasi air kelapa dapat diproduksi
baik di komersial skala pabrik atau sebagai industri rumahan.
Sebagai produk makanan non-sintetis, cuka air kelapa banyak
disukai sebagai meja bumbu, atau sebagai bahan dalam pengolahan
makanan.
Dalam memproduksi cuka dari air kelapa membutuhkan
penambahan gula sebesar 10-12%, karena kandungan gula yang
rendah pada air kelapa (hanya mengandung 2.6% gula). Fermentasi
cuka dimulai pada saat terbentuk 5% etanol pada air kelapa tapi hal
ini akan sedikit mengalami masalah Halal jika pada awalnya air
kelapa disengaja difermentasikan untuk menghasilkan etanol
(alkohol). Cara lain adalah dengan memberi starter (Acetobacter
aceti) secara langsung tanpa melakukan tahap fermentasi alkohol
terlebih dahulu, sehingga fermentasi alkohol spontan yang terjadi
dapat langsung terfermentasi menjadi asam asetat.
Cuka kelapa merupakan produk hasil fermentasi yang tidak
mengandung zat berbahaya atau logam berat, seperti pada salah satu
proses pembuatan asam asetat secara sintetik yang menggunakan
logam berat sebagai katalis (Tjokroadikoesoemo, 1993). Cuka
kelapa sebagai produk fermentasi mempunyai banyak keunggulan
dibandingkan dengan asam cuka atau asam asetat sintetik, karena
asam asetat sintetik tidak mempunyai senyawa-senyawa asetoin,
diasetil, etanol dan beberapa macam ester asetat (Adams, 1985;
Kunkee and Amerine, 1970).
Gambar 2. Produk Cuka Kelapa
2.4 Pembuatan Cuka Kelapa
Produksi cuka dari air kelapa secara sederhana terdiri dari
beberapa tahapan. Tahap pertama adalah persiapan bahan baku air
kelapa yang membutuhkan penyaringan untuk meghilangkan
kotoran yang ikut terbawa, dan dilanjutkan dengan pasteurisasi
untuk membunuh bakteri patogen yanng berbahaya, dan
pendinginan. Tahap kedua adalah peningkatan kadar gula untuk
memungkinkan fermentasi berjalan, dan pencampuran dengan
starter.
Starter adalah campuran cuka yang telah mengandung bakteri
asetat penghasil asam asetat (Acetobacter aceti) yang dicampurkan
dengan air kelapa untuk memulai fermentasi menghasilkan cuka.
Tahap berikutnya adalah fermentasi untuk menghasilkan asam
asetat, dan pada tahapan ini diperlukan supply udara (oksigen) yang
tepat untuk menjamin kondisi fermentasi yang optimum. Pemanenan
cuka mengandung 4-5% asam cuka untuk dikemas (pembotolan) dan
pasteurisasi untuk membunuh bakteri asetat tersbut.
Fermentasi merupakan proses adanya aktivitas
mikroba yang menyebabkan perubahan sifat pangan sebagai akibat
dari pemecahan kandungan bahan pangan dimana tergantung pada
jenis bahan pangan (substrat), jenis mikroba dan kondisi sekitar
yang mempengaruhi pertumbuhan dan metaboisme mikroba tersebut
untuk memproduksi biomassa sel atau metabolit seoptimal mungkin.
Dalam fermentasi untuk menghasilkan cuka kelapa (coco
vinegar) terdapat dua kali fermentasi, antara lain slkoholisasi dan
asetifikasi. Tahap fermentasi alkohol untuk memproduksi cuka
kelapa dilakukan dengan mencampur starter Saccharomyces
cerevisiae dengan media air kelapa. Saccharomyces cereviseae
merupakan mikroba anaerob yang dapat bekerja optimal apabila
tidak ada oksigen. Proses fermentasi terjadi pada kondisi pH 4-5
dengan suhu ± 30oC (suhu kamar) selama 24 jam. Produksi alkohol
yang tinggi dicapai pada awal fermentasi, saat konsentrasi glukosa
masih tinggi (24 jam) karena diketahui bahwa alkohol merupakan
produk yang dihasilkan seiring dengan pertumbuhan sel.
Tahap fermentasi selanjutnya adalah proses asetifikasi untuk
mengubah alcohol menjadi asam asetat oleh Acetobacter aceti
secara aerob dengan suhu ± 30oC selama 12 jam. Oleh karena itu, fermentasi cuka kelapa melibatkan 2 kelompok mikroba yang diharapkan tumbuh secara spontan. Kelompok pertama adalah khamir (yaest) yang memanfaatkan gula yang ada dalam air kelapa untuk dirombak menjadi alkohol. Kelompok kedua yaitu bakteri asam asetat (Acetobacter) yang memanfaatkan alkohol menjadi asam asetat (cuka), hal ini berlangsung ketika temperatur air kelapa antara 29 – 350 C (Melliawati, R. 2007).
Berikut merupakan alur reaksi dalam tahapan fermentasi cuka kelapa, yaitu:1. Tahap pertama terjadi perombakan glukosa
menjadi alkohol oleh aktivitas Saccharomyces cereviseae
C6H12O6 2CH3CH2OH + 2CO2
2. Tahap kedua adalah asetifikasi oleh bakteri asam asetat
CH3CH2OH + O2 CH3COOH + H2O
Pada fermentasi pembentukan asam asetat terdapat
perubahan etanol menjadi asam asetat dengan pembentukan
asetaldehid sebagai berikut :
CH3CH2OH + ½ O2 CH3CHO + H2O
(Etanol) (Asetaldehid)
CH3CHO + ½ O2 CH3COOH
(Asetaldehid) (Asam asetat)
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cocoa Butter Substitute (CBS)
Cocoa butter atau lemak kakao atau dikenal dengan bahan
baku utama dalam pembuatan cokelat batang akan tetapi harganya
sangat mahal. Dampak dari hal tersebut adalah harga jual produk
yang tinggi sehingga tidak semua kalangan dapat membeli produk
tersebut. Alternatif dalam menekan harga produk pembuatan cokelat
batang yaitu dengan mengganti cocoa butter dengan lemak sejenis
yang memiliki struktur kimia dan fisik yang sama walaupun tidak
kompatibel (Permatasari, 2012).
Cocoa butter substitute (CBS) merupakan salah satu lemak
pengganti cocoa butter, walaupun memiliki karakteristik yang tidak
kompatibel dengan cocoa butter akan tetapi memiliki harga yang
lebih murah. Menurut Elisabeth (2008), cocoa butter substitute
(CBS) lebih ditujukkan pada produk lemak yang yang menggunakan
minyak non laurat dari inti sawit. Penggunaan cocoa butter
substitute dalam pembuatan produk cokelat walaupun tidak
kompatibel dengan cocoa butter dapat menghasilkan kualitas produk
cokelat hampir sama dengan cokelat menggunakan cocoa butter
(Permatasari, 2012).
2.2 Bahan Baku
2.2.1 CBS dari Kelapa Sawit
RBDPO kaya akan asam palmitat dan asam oleat berwujud
semi padat dan pada 20°C membentuk padatan sehingga dapat
digunakan untuk memperbaiki kualitas kelembutan dari coklat. PKO
kaya akan asam laurat dan asam miristat, dengan asam lemak jenuh
lebih dari 50 persen dan sedikit asam lemak tidak jenuh sehingga
memiliki kestabilan oksidasi yang lebih tinggi (Tarigan, 2005).
RBDPO mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang
hampir sama sehingga hal ini mempengaruhi sifat fisik dari RBDPO
yang bersifat semi padat pada suhu kamar. PKO memiliki komposisi
asam lemak jenuh yang rantai karbonnya pendek dalam jumlah yang
besar dan sedikit asam lemak tidak jenuh. Keadaan ini menyebabkan
PKO memiliki daya tahan tinggi terhadap oksidasi dan titik leburnya
tidak begitu tinggi (26°C) sehingga cair pada temperature kamar
(Tarigan, 2005).
2.2.2 CBS dari Minyak Kelapa dan Stearin Kelapa Sawit
a. Stearin
Stearin sawit merupakan fraksi padat yang dihasilkan
dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian.
Karakteristik fisik stearin sawit bersifat padat pada suhu ruang,
berbeda dengan olein sawit yang bersifat cair pada suhu ruang.
Stearin sawit lebih didominasi oleh asam lemak palmitat (C16)
sebesar 47,2-73,8 % dan asam lemak oleat (C18:1) sebesar
15,6-37 %.
b. Minyak Kelapa
Minyak kelapa dikenal terdiri atas lebih dari 90% asam
lemak jenuh (Banzon and Velasco, 1982; Levitt, 1967; Banzon
et al., 1990). Minyak kelapa tua terdiri dari 48.2% asam laurat
(C12:0) dan 16.6% asam miristat (C14:0) yaitu asam lemak
berantai sederhana yang baik untuk kesehatan.
2.3 Teknologi Pembuatan Cocoa Butter Substitute dari Minyak
Kelapa Sawit dengan Cara Hidrogenasi
2.3.1 Fraksinasi
Kristalisasi fraksional, yang umumnya dikenal dengan
istilah fraksinasi, adalah proses modifikasi minyak/lemak tertua
dan telah mendasari pengembangan industri produk olahan lemak
dan minyak makan modern. Pengolahan minyak yang secara
komposisional bersifat heterogen menjadi fraksi yang lebih
homogen dengan nilai tambah yang tinggi selalu menjadi
tantangan dalam teknologi fraksinasi. Ada banyak metode
fraksinasi yang dapat diterapkan dalam penyiapan bahan baku
produk olahan berbasis minyak, tetapi yang paling sederhana dan
banyak dipakai adalah fraksinasi kering.
Proses fraksinasi dapat memisahkan minyak atau lemak
menjadi fraksi-fraksi yang mempunyai sifat fisika yang berbeda
dari bentuk aslinya. Pemisahan fraksi minyak atau lemak
didasarkan pada kelarutannya dalam komponen trigliserida.
Perbedaan kelarutan secara langsung berhubungan dengan tipe
trigliserida didalam sistem lemak. Tipe trigliserida ditentukan
oleh komposisi asam lemaknya dan distribusi asam lemak dalam
masing-masing molekul trigliserida. Komponen minyak atau
lemak yang berbeda titik lelehnya dapat dipisahkan dengan cara
kristalisasi dan filtrasi untuk memisahkan minyak atau lemak
didasarkan pada jenis produknya (Silalahi (1999) dalam Sundari
(2011)).
Ada dua tujuan utama dari aplikasi fraksinasi: (i)
menghilangkan bentuk fraksi dari minyak dan lemak yang tidak
diinginkan dan (ii) menghasilkan fraksi yang bermanfaat dan
memiliki sifat yang unik. Ada tiga proses fraksinasi yang umum
digunakan yaitu dry fractionation, detergent fractionation, dan
solvent fractionation. Pada dry fractionations, prosesnya
didasarkan pada pendinginan dibawah kondisi yang dikontrol
untuk kristalisasi yang lambat dengan tidak adanya pelarut.
Solvent fractionation didasarkan pada perbedaan kelarutan dari
gliserida pada suhu yang diberikan (Silalahi, 1999) dalam
Sundari (2011)).
Melalui fraksinasi, minyak dapat dipisahkan sebagai fraksi
cair (olein) dan fraksi padat (stearin) jika dikenakan perlakuan
dingin yang terkendali. Fraksi olein dan stearin masing-masing
mempunyai karakteristik fisikokimia yang berbeda dan memiliki
aplikasi khusus yang berbeda pula. Stearin minyak kelapa banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleokimia, margarin
dan confectionary, dan cocoa butter substitutes, sedangkan olein
banyak dimanfaatkan sebagai minyak salad, minyak goreng
dengan stabilitas oksidatif yang tinggi dan minyak sumber MCT
(Matulka et al., 2006)
Prinsip Kerja fraksinasi kering dengan memanfaatkan sifat-
sifat kristalisasi dari trigliserida atau triacyl glycerol (TAG)
penyusun lemak tersebut. Sifat-sifat kristalisasi yang dimaksud,
diantaranya adalah perbedaan titik leleh, karakteristik polimorfik,
dan komposisi campuran TAG. Ketiga sifat TAG ini disebut
sebagai karakter fase dari TAG. TAG minyak yang paling awal
mengalami perubahan wujud menjadi padat saat didinginkan
adalah yang memiliki rantai atom paling panjang, sementara
MCT masih berwujud cair. MCT memerlukan perlakuan
pendinginan yang lebih intens dengan waktu yang lebih lama
untuk dapat terkristalisasi. Oleh karena itu, pendinginan minyak
kelapa dengan prosedur tertentu (fraksinasi kering) dapat
digunakan untuk menghasilkan fraksi minyak dengan kandungan
MCT tinggi (Matulka et al., 2006).
MCT yang berasal dari minyak kelapa cocok digunakan
untuk bahan baku pembuatan cocoa butter substitutes (CBS)
karena mengandung asam laurat yang dominan. MCT jenis ini
dapat diperoleh baik dari fraksi olein maupun stearin minyak
kelapa pada perlakuan suhu dingin dan lama proses kristalisasi
yang tertentu. Karakterisasi seluruh produk fraksinasi perlu
dilakukan untuk memastikannya (Matulka et al., 2006).
2.3.2 Refinery
Refinery adalah untuk memurnikan Crude Palm Oil (CPO)
sehingga didapat kualitas Refined Bleached Deodorized Palm Oil
(RBDPO), yang melalui tahapan pre-Treatment dan deodorisasi.
Proses Pre-Treatment terdiri dari proses penghilangan gum
dengan suhu 80 oC (degumming) dengan cara penambahan asam
phosfat (POH 80%) untuk menghasilkan Degumming Palm Oil
(DPO) dan kemudian dilakukan adsorptive bleaching pada suhu
100 oC dengan menggunakan (bleaching earth , selanjutnya
disaring dengan menggunakan filter untuk menghasilkan
Degumming Bleached Palm Oil (DBPO) dan membuang spenth
earth yang berasal dari sisa bleaching earth, sedangkan pada
tahap deodorisasi meliputi proses pemisahan Free Fatty Acid
(FFA), penghilangan zat-zat penyebab bau dan pemecahan
senyawa karoten secara thermal dengan pemanasan 262 0C
(Siahaan dan Hasibuan, 2012).
2.3.3 Hidrogenasi
Hidrogenasi adalah proses pengolahan minyak atau lemak
dengan jalan menambahkan hydrogen pada ikatan rangkap dari
asam lemak, sehingga akan mengurangi tingkat ketidakjenuhan
minyak atau lemak. Proses hidrogenasi, terutama bertujuan untuk
membuat minyak atau lemak bersifat plastis (Ketaren, 2005)
dalam Situmorang (2015).
Mekanisme atom-atom H2 mengeliminasi unsaturated fatty
acid (carbon ikatan rangkap), dengan pengurangan atau
penghilangan unsaturated fatty acid produk menjadi lebih stabil
atau tahan terhadap oksidasi. Dari proses Hidrogenasi diperoleh
nilai titik leleh atau melting profile tertentu yang dapat dilihat
dari kandungan lemak padat atau SFC (Solid Fat Content) hasil
analisa produknya (Ketaren, (2005) dalam Situmorang (2015)).
Ikatan-ikatan rangkap pada lemak dan minyak tak-jenuh
cenderung membuat gugus-gugus yang ada di sekitarnya tertata
dalam bentuk "cis". Suhu tinggi yang digunakan dalam proses
hidrogenasi cenderung mengubah beberapaikatan C=C menjadi
bentuk "trans". Jika ikatan-ikatan khusus ini tidak dihidrogenasi
selama proses, maka mereka masih cenderung terdapat dalam
produk akhir lemak membentuk molekul-molekul lemak
trans.Reaksi hidrogenasi parsial dengan mengaddisi gas hidrogen
memakai katalis Ni dapat dilihat pada Gambar 2.
a. Pembentukan cis dan trans hasil hidrogenasi parsial.
Unsaturated triglyceride + H2 saturated triglyceride
b. Bentuk molekul cis dan trans dari hasil hidrogenasi parsial.
Reaksi hidrogenasi merupakan reaksi yang bersifat eksotermis.
Proses hidrogenasi melibatkan beberapa parameter penting yang
perlu dikontrol, misalnya suhu, jumlah katalis, tekanan gas dan
jumlah gas yang digunakan (volume gas). Dengan mempelajari
kondisi proses hidrogenasi maka diharapkandapat diperoleh
karakteristik produk hasil hidrogenasi yang sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan. Untuk mempercepat hidrogenasi pada
reaktor
Gambar 3.
Katalis yang sering dipakai untuk proses hidrogenasi adalah
Nikel (Ni). Keuntungan menggunakan Nikel antara lain adalah
ketersediaannya dan lebih murah bila dibandingkan katalis lain.
Secara umum, reaksi kimia yang terjadi pada hidrogenasi adalah:
Oil + Catalyst Oil-Catalyst (complex)
Oil-Catalyst (complex) + H2 Hydrogenated Oil + Catalyst
Gambar 2.1 Pembentukan cis / trans hasil HidrogenasiGambar 2.2 Struktur cis dan trans asam oleat
Langkah reaksi addisi gas hidrogen terdiri dari langkah 1 dan
2 seperti terlihat dibawah ini : membentuk minyak – katalis
(kompleks). Gas hidrogen diadsorbsipada permukaan katalis.
Gas H2 diserap pada permukaan katalis Ni secara parsial
atau penuh
sehingga terjadi perpisahan ikatan atom H --- H
Ikatan π pada alkene membentuk kompleks dengan logam
Ni.
Oil + Catalyst Oil-Catalyst (kompleks).
2.4 Teknologi Pembuatan Cocoa Butter Substitute dari Minyak
Kelapa dan Stearin Kelapa Sawit
Kandungan terbanyak mentega coklat merupakan gabungan
trigliserida, misalnya palmitat-oleatstearat (POS), stearat-oleat-
stearat (SOS) dan, pamitat-oleat-palmitat yang dapat diperoleh
melalui pertukaran posisi pada molekul trigliserida dalam proses
interesterifikasi. Pemikiran pembuatan pengganti mentega coklat
dengan cara interesterifikasi minyak nabati dapat dilakukan secara
reaksi kimia maupun bioteknologi. Secara reaksi kimia dengan
menggunakan katalis sedangkan secara bioteknologi dengan
menggunakan enzim. Penggunaan reaksi interesterifikasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya asam lemak trans yang dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner, (Oveser, cs, 1998).
Untuk menghasilkan CBS dari minyak kelapa, RBDPS dan
asam lemak omega3 maka dilakukan proses interesterifikasi untuk
mencegah terjadinya asam lemak trans yang dapat menyebabkan
penyakit jantung koroner, (Oveser, cs, 1998). Interesterifikasi adalah
pertukaran antara satu asam lemak dengan asam lemak yang lain
didalam molekul trigliserida atau antara trigliserida yang dapat
mengubah sifat kimia dan fisika pada lemak dan hal ini hanya dapat
terjadi apabila terdapat katalis. Proses interesterifikasi dengan
adanya katalis natrium metoksida dapat mempertukarkan gugus asil
dari kedua trigliserida jenuh dan tidak jenuh. Sehingga akan terjadi
perubahan trigliserida rantai panjang pada stearin kelapa sawit
menjadi trigliserida yang berantai lebih pendek, ini akan
mempermudah penyerapan trigliserida oleh tubuh. Asam lemak
laurat pada kelapa akan berinteraksi dengan palmitat pada stearin,
sehingga pengganti lemak kakao yang diperoleh akan lebih baik
kepadatannya pada suhu kamar, memiliki stabilitas oksidasi dan
tekstur yang baik serta citarasa yang lebih baik dan mencair pada
suhu tubuh. Selain itu asam lemak omega 3 juga berpengaruh
terhadap perpendekan rantai stearin kelapa sawit. Proses
interesterifikasi yang dapat dilihat dari mekanisme reaksi berikut:
(Hamilton,R.J, 1989)
Gambar 2. Reaksi Interesterifikasi
Minyak kelapa termasuk golongan minyak nabati, memiliki
trigliserida yang mengandung 47% asam laurat, dan banyak
mengandung asam lemak jenuh (> 50%, C6:0 – C12: 0) dan sedikit
asam lemak tidak jenuh, sehingga memiliki kestabilan oksidasi yang
lebih tinggi. (Richard , 1998). Minyak kelapa, diketahui memiliki
komposisi yang mirip dengan minyak inti sawit, hanya saja
kandungan asam oleatnya lebih rendah, sehingga kandungan lemak
padat pada suhu kamar relatif lebih tinggi. (Petrauskalte, 2000).
Asam lemak omega 3 merupakan asam lemak tidak jenuh dengan
beberapa ikatan rangkap. Omega3 sangat baik untuk kesehatan dan
kecerdasan otak. Dengan menggabungkan ketiga bahan tersebut,
diharapkan akan diperoleh pengganti lemak kakao yang padat pada
suhu kamar dan mencair pada suhu tubuh. Proses ini dilakukan
dengan interesterifikasi antara trigliserida pada minyak kelapa yang
mengandung 47% asam laurat dengan stearin kelapa sawit yang
banyak mengandung 57% asam palmitat dengan etil ester asam
lemak ikan Sardencis. Sehingga akan terjadi perubahan trigliserida
rantai panjang pada stearin kelapa sawit menjadi trigliserida yang
berantai lebih pendek, ini akan mempermudah penyerapan
trigliserida oleh tubuh. Asam lemak laurat pada kelapa akan
berinteraksi dengan palmitat pada stearin, sehingga pengganti lemak
kakao yang diperoleh akan lebih baik kepadatannya pada suhu
kamar, memiliki stabilitas oksidasi dan tekstur yang baik serta
citarasa yang lebih baik dan mencair pada suhu tubuh.
2.1 Selulosa
Selulosa ialah glukosan yang banyak terdapat di dalam tubuh
tumbuh – tumbuhan, zat ini merupakan konstituen pokok tiap – tiap
dinding sel. Hidrolisis dengan pertolongan enzim selulosa
menghasilkan disakarida selobiosa. Selulosa tidak dapat dicerna oleh
alat–alat percernaan mamalia (termasuk juga manusia).
(Dwidjoseputro, 1983 ).
Selulosa merupakan homopolisakarida linear tidak
bercabang, terdiri dari 10.000 atau lebih unit D – glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosida. Beberapa jenis bakteri,
jamur dan beberapa invertebrate seperti termitidae (rayap) memiliki
enzim selulosa, sehingga mereka dapat mencerna selulosa
(Lehninger,1988).
Selulosa lebih sukar diuraikan dan mempunyai sifat – sifat
sebagai berikut : memberi bentuk atau struktur pada tanaman, tidak
larut dalam air dingin maupun air panas, tidak dapat dicerna oleh
pencernaan manusia sehingga tidak dapat menghasilkan energi.
Selulosa terdapat pada bagian – bagian yang keras dari biji kopi atau
kulit kacang dan hamper semua buah – buahan dan sayur-sayuran
(Winarno,1995). Struktur selulosa terdiri dari 60-70% kristalin dan
30-40% amorphous, sehingga tidak mudah dihidrolisis, tidak larut
dalam asam, maupun basa pada suhu kamar (Kirk-Othmer, 1952).
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel
tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni
dialam melainkan berikatan dengan lignin dan hemiselulosa
membentuk lignoselulosa. Lignin berikatan dengan hemiselulosa
melalui ikatan kovalen namun ikatan yang terjadi antara selulosa
dan lignin belum diketahui secara lengkap. Adanya lignin
disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam
menghidrolisis selulosa. Selulosa terproteksi dari degradasi dengan
adanya lignin. Selulosa tidak dapat dihidrolisis kecuali lignin
dilarutkan dan dihilangkan (Lynd, 2002). Berikut merupakan rumus
struktur selulosa :
2.1.1 Hidrolisis Selulosa
Hidrolisis lengkap dengan HCl hanya menghasilkan D-
glukosa. Disakarida yang terisolasi dari selulosa yang terhidrolisis
Gambar 2. Struktur molekul selulosa
sebagian adalah selobiosa, yang dapat dihidrolisis lebih lanjut
menjadi D-glukosa dengan suatu katalis asam atau enzim (Fenzel,
1995).
2.1.2 Hidrolisis selulosa secara kimiawi
Hidrolisis selulosa dengan asam berlangsung bertahap
melalui reaksi sebagai berikut :
Dalam hal ini asam (asam sulfat, asam klorida dan asam
perklorat) menghidrolisis selulosa menjadi glukosa secara acak
artinya tidak ada pola tertentu dalam pemutusan ikatan glikosida
yang terdapat dalam selulosa.
Degradasi selulosa secara kimiawi dapat dilakukan melalui
proses hidrolisis dengan katalisator asam. Mekanisme reaksi yang
terjadi melalui beberapa tahap (Qian Xiang, 2003), yaitu:
(a) Proton dari asam berinteraksi secara cepat dengan ikatan
glikosida. Oksigen yang menghubungkan dua molekul
glukosa dan membentuk suatu asam konjugat.
(b) Pemotongan ikatan C-O dan pemecahan asam konjugat
menjadi cincin ion karbonium.
(c) Penambahan H2O akan melepaskan molekul glukosa dan
proton. Hidrolisis selulosa dengan katalis asam sulfat
dibedakan menjadi dua cara
(Oregon cellulose-ethanol study), yaitu:
(a) Dengan H2SO4 encer (kadar 1%): pada 215oC dan
tekanan > 1 atm dengan waktu beberapa menit,
menghasilkan konversi sekitar 50% dengan hasil
samping berupa furfural.
(b) Dengan H2SO4 pekat (kadar 70%): pada 100oF dan
tekanan rendah selama 2- 6 jam, berpotensi
menghasilkan konversi sebesar 90%.
Kelemahan proses hidrolisis secara kimia adalah:
membutuhkan energi yang cukup besar, menghasilkan hasil samping
berupa furfural, membutuhkan proses netralisasi, dan membutuhkan
peralatan yang tahan korosi.
2.1.3 Hidrolisis selulosa secara enzimatis
Reese, et al (1950) menyatakan bahwa hidrolisis selulosa
diawali dengan tahap aktivasi dan diikuti serangkaian reaksi
hidrolisis sebagai berikut :
Lignoselulosa juga dapat didegradasi oleh enzim selulase
menjadi glukosa dan xylosa. Enzim selulase dapat diproduksi oleh
beberapa mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Jamur dengan
genus Trichoderma dan Aspergillus merupakan mikroorganisme
terpopuler sebagai penghasil enzim selulase komersial (Peig et al,
dalam Sukadarti et al., 2010).
Ada tiga enzim yang berperan di dalam perombakan selulosa
menjadi glukosa, yaitu:
(a) Enzim endoglukanase, berfungsi memotong rantai glukosa
yang panjang menjadi rantai yang lebih pendek secara acak
(b) Enzim cellobiohydrolase, berfungsi memotong setiap dua
rantai glukosa (selobiosa), dimulai dari rantai nomor satu
(rantai terakhir) glukosa.
(c) Enzim β-glukosidase, berfungsi memotong selobiosa
menjadi molekul-molekul glukosa.
Produk dari pemecahan selulosa oleh enzim endoglukonase
menjadi substrat bagi enzim cellobiohydrolase, dan produk hasil
pemecahan enzim cellobiohydrolase, yaitu selobiosa, menjadi
substrat bagi enzim β-glukosidase. Mekanisme degradasi
lignoselulosa oleh enzim endoglukanase dan enzim
cellobiohydrolase ditunjukkan pada Gambar 3.
Keberhasilan hidrolisis selulosa menggunakan enzim atau
mikrobia sangat ditentukan oleh: derajat kristalin selulosa,
komposisi enzim selulase, luas permukaan kontak, rasio antara
inokulum dengan substrat, dan kemurnian substrat. Menurut Sarkar
(2004), lignoselulosa dengan derajat kristalin tinggi lebih sulit untuk
didegradasi dibandingkan struktur amorphous. Penggilingan
selulosa dapat menaikkan laju degradasi karena menurunkan derajat
kristalin dan memperluas permukaan kontak selulosa–enzim.
Komposisi enzim selulase atau enzim yang dihasilkan oleh
Trichoderma reesei sangat berpengaruh terhadap laju degradasi
selulosa; sedangkan komposisinya dipengaruhi oleh kondisi seperti
pH, pengadukan, dan aerasi. Pada pH mendekati 4, Trichoderma
reesei cenderung memproduksi selulase dan pada pH 7 cenderung
memproduksi xylanase. Pengadukan optimum untuk pertumbuhan
Trichoderma reesei adalah 200 rpm dan aerasi yang baik didapat
Gambar 3. Mekanisme degradasi lignoselulosa oleh enzim endoglukanase dan
enzim cellobiohydrolase
pada kisaran 0,5-1 vvm (volume udara per volume medium per
menit) (Hairong, 2004).
Hidrolisis lignoselulosa oleh enzim selulase dihambat oleh
terbentuknya selobiosa dan glukosa. Selobiosa menghambat kerja
enzim cellobiohydrolase dan glukosa akan menghambat kerja enzim
β-glukosidase. Daya hambat dari produk sangat dipengaruhi oleh
rasio antara konsentrasi enzim dengan konsentrasi substratnya
(Sarkar, 2004).
Keberadaan lignin dalam substrat akan menurunkan laju
degradasi selulosa, karena lignin dapat mengadsorpsi enzim selulase
sehingga akan mengurangi jumlah enzim yang diadsorpsi oleh
selulosa dan hemiselulosa. Proses delignifikasi dapat dilakukan
dengan melarutkan lignin dalam asam, basa, senyawa organik,
enzim lignolitik. Pemanasan dapat menguraikan lignin menjadi
senyawa-senyawa aromatik yang menjadi inhibitor bagi kerja enzim
selulase.
2.6 Teknologi Pembuatan Sirup Glukosa
Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan sirup
glukosa adalah enzim alfa amilase, glukoamilase, karbon aktif, resin,
bahan kimia NaOH dan HCl untuk pengatur pH dan NaHCO3 untuk
menstabilkan pH. Proses produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi,
sakarifikasi, penjernihan, penetralan, dan evaporasi. Tahap
likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh a-
amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum
aktivitas a-amilase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap
jenis enzim. Proses liquifikasi berlangsung pada suhu 95oC (aktivitas
enzim termofilik), karena itu suhu gelatinisasi pati yang akan
dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95oC. Di bawah suhu
gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara
enzimatis maupun asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu
105oC dan pH 4,0-7,0 untuk pemasakan sirup sampai semua amilosa
dapat terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada
tangki dianalisis kadar amilosanya dengan uji iod untuk mengetahui
nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah menunjukkan warna
coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar 8,0-14,0)
maka proses likuifikasi sudah selesai (Richana et. al., 1999).
Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60oC,
pH diatur pada angka 4,0-4,6. Proses ini biasanya berlangsung
selama 72 jam dengan pengadukan secara terus-menerus. Proses
sakarifikasi dianggap selesai bila sirup telah mencapai nilai DE
minimal 94,5%, nilai warna 60%, transmiten dan Brix 30-36.
Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan
penguapan. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna,
kotoran, dan menghentikan aktivitas enzim. Absorber yang
digunakan adalah karbon aktif sebanyak (Richana et. al., 1999).
Proses penukar ion dilakukan untuk memisahkan ion-ion
logam yang tak diinginkan, dan tahap penguapan dilakukan untuk
mendapatkan sirup glukosa dengan kekentalan seperti yang
dikehendaki, yaitu Brix 50-85 (Richana et. al., 1999).
2.3 Teknologi Pembuatan Gliserin
Gliserin dihasilkan melalui pemecahan trigliserida dengan
memakai beberapa metode :
1. saponifikasi lemak dan minyak menggunakan soda kaustik.
Pada umumnya proses pembuatan sabun dilakukan dengan
reaksi saponifikasi lemak merupakan reaksi esterifikasi dimana
asam karbosilat direaksikan dengan basa kuat menghasilkan ester
dan garam karbosilat, tetapi suatu perbandingan yang harus
dipertimbangkan adalah pertama kali menghidrolisa lemak menjadi
asam lemak yang mengandung lemak dan gliserol. Selanjutnya
saponifikasi asam lemak, proses mudah yang sering dilakukan
adalah proses “proses dingin” dimana lemak dicampur dengan
kaustik yang telah ditentukan perbandingannya sebelumnya proses,
dan selanjutnya emulsi dialirkan ke suatu tempat dimana
dilakukannya proses saponifikasi dengan pemberian sedikit panas
untuk mempercepat reaksi. Proses pembuatan sabun dengan proses
dingin masih dilakukan dalam skala kecil. Metode lain yang jarang
digunakan adalah proses “semi pemanasan” dimana lemak
dicampurkan dengan kaustik dengan perbandingan tertentu dan
dilakukan dengan proses selanjutnya. Pada proses ini tidak ada
gliserol yang dikembalikan (recovery) ke reaktor. Untuk produksi
dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan menggunakan proses
pemanasan. Sebab produk (sabun dan gliserol) yang dihasilkan
memilki kualitas tinggi, zat pewarna dan pengotor lainnya dan
dibersihkan pada saat pemanasan serta sebagian lemak yang
terkandung dalam gliserol dapat direkoveri (Miner & Dalton 1953).
Reaksi saponifikasi dapat ditulis sebagai berikut :
Sumber: Bailey’s,1982
Gambar 5. Reaksi saponifikasi
2. Hidrolisis lemak dan minyak
Gliserol dan asam lemak adalah senyawa organik yang
merupakan penyusun lemak dan minyak, baik nabati maupun
hewani. Untuk mengkonversikan atau mengubah minyak atau
lemak menjadi gliserol dan asam lemak dapat dilakukan dengan
proses hidrolisa dengan tekanan tinggi. Proses hidrolisa biasanya
dijaga pada suhu 240-2600C dan tekanan 45 – 60 atm. Pada
umumnya derajat pemisahan bisa mencapai 95% (Bailey’s,1982).
Dalam hal ini proses hidrolisa yang terjadi adalah :
Sumber: Bailey’s,1982
Gambar 6. Hidrolisa lemak atau minyak
Proses Hidrolisa mempunyai keunggulan lebih cepat
dalam proses pemisahan gliserol dan asam lemak serta hasil yang
diperoleh lebih maksimal. Minyak kelapa merupakan bahan
pembuatan gliserol ini dihidrolisa dalam reaktor hidrolisa yang
biasa disebut spilitting, secara kontinu dan berlawanan arah pada
temperatur dan tekanan tinggi sehingga menghasilkan asam
lemak dan gliserol yang berupa sweet water. System berlawanan
arah paa temperature 240 – 2600C dan tekanan 45 – 60 atm akan
mempercepat reaksi hidrolisa.
Minyak dipompakan dari bagian menara kira-kira 90 cm.
Dari dasar menara, sedangkan air dialirkan melalui puncak
menara. Perbandingan antara minyak dan air yang reaksi adalah
40 – 50% berarti minyak. Minyak disemburkan menembus
campuran gliserin yang terakumulasi dibagian bawah menara,
selanjutnya menembus campuran air dan minyak hingga
mencapai hidrolisa yang sempurna. Sistem yang kontinu dan
berlawanan arah dengan temperatur dan tekanan tinggi akan
menghasilkan derajat hidrolisa yang tinggi.
Selain itu dapat dilakukan hidrolisa menggunakan enzim,
penggunaan enzim lipase yaitu hidrolisis trigliserida dengan
lipase.
Gambar 7. Hidrolisa menggunakan enzim,
3.Transesterifikasi
Transesterifikasi minyak dengan methanol, reaksi
transesterifikasi merupakan reaksi yang menggantikan alkohol
dari ester dengan gugus alkohol lainnya, seperti proses hidrolisa,
hanya saja pada proses ini digunakan alkohol sebagai pengganti
fungsi air.
Tahapan reaksi transesterifikasi merupakan salah satu
tahapan yang penting untuk mempercepat jalannya produksi metil
ester dan gliserin. Katalis yang digunakan adalah katalis basa dan
asam. Katalis basa yang umum digunakan adalah potasium
hidroksida (KOH), sodium hidroksida (NaOH), dan sodium
metilat (NaOCH3), sedangkan katalis asam adalah H2SO4.
Katalis yang lebih umum digunakan adalah katalis basa, karena
katalis basa tidak bersifat korosif dan reaksi transesterifikasi
berlangsung lebih cepat (Darmoko dan Munir, 2000).
Reaksi transesterifikasi berlangsung secara batch dengan
dua tahap. Reaksi dua tahap ini bertujuan untuk meningkatkan
konversi minyak menjadi metil ester dan gliserin. Minyak yang
belum terkonversi pada tahap pertama akan terkonversi pada
tahap kedua. Dengan demikian yield metil ester akan lebih tinggi.
Waktu reaksi untuk masing-masing batch adalah 2 jam dengan
pengadukan.
Pada tahap pertama, minyak sawit direaksikan dengan
60% metanol dan 60% katalis pada suhu 650C. Kemudian
dilakukan pengendapan selama 30 menit, dan gliserin I
dipisahkan. Pada tahap kedua, diumpankan sisa methanol dan
katalis. Suhu reaksi adalah 600C. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pada tahap kedua reaktan yang direaksikan
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan tahap pertama.
Setelah itu dilakukan pengendapan. Metil ester yang dipisahkan
disentrifuge untuk mengambil gliserin II yang masih terikut.
Gliserin II yang dihasilkan kemudian ditambahkan ke dalam
reaksi tahap pertama karena di dalamnya masih terdapat metanol
yang belum bereaksi dan sisa katalis. Gliserin yang akan
dimurnikan ditambahkan air pencuci metil ester sampai
konsentrasi gliserin 35%. Air pencuci tersebut ditambahkan
karena di dalamnya masih terkandung gliserin. Setelah itu
dilakukan dekomposisi asam lemak dengan menggunakan HCl
dan dilanjutkan dengan penetralan dengan NaOH. Ditetapkan
gliserin 35% untuk memudahkan dekomposisi asam lemak dan
meringankan proses pemurnian selanjutnya. Gliserin dimurnikan
lagi sampai 85% menggunakan hotplate stirer dengan suhu
1050C. Pemurnian lebih lanjut sampai konsentrasi 97% dilakukan
dalam alat distilasi dengan pemanasan bertahap. Uji karakteristik
gliserin dilakukan dengan alat kromatografi gas dan massa
(Damayanti dan wara, 2010).
Gambar 8. Pada pembuatan biodiesel atau reaksi
transesterifikasi
Gliserin yang diperoleh sebagai produk sampingan dari tiga
proses yang disebutkan di atas mengandung kotoran dan harus
menjalani proses lebih lanjut untuk memurnikan. Ada dua proses
pemurnian yang dipakai yaitu:
1. Metoda konvensional, yang memisahkan cairan sabun dari
gliserol dengan alum atau besi klorida dengan cara evaporasi,
distilasi deodorisasi dan bleaching
metode konvensional:
Pada dasarnya, langkah-langkah memproduksi gliserin
berkadar tinggi dengan kemurnian 99% sama saja. Penghasilan
cairan sabun atau gliserol ditambah asam mineral untuk
pemecahan berbagai molekul sabun dan pembebasannya dari
asam lemak. pH disesuaikan dan alumunium atau besi klrida
sebagai floccolant ditambahkan untuk mendapatkan
kemurnian ,yang setelah itu disaring. Kemudian disesuaikan
pHnya 6,5 ke atas, sebelum diumpankan ke dalam evaporator.
Tipe evaporator yang memakai single atau multiple efek
berdasarkan volume material yang diproses. Gliserin kasar
setelah evaporasi memiliki konsentrasi 80-88%. Garam yang
dipisahkan dan dikeluarkan selama evaporasi dari perlakuan
cairan sabun gliserol.
Gliserin kasar dari evaporator didistilasi dalam keadaan
vakum 660-1330 Pa. panas didalamnya dijaga selama evaporasi
agar temperature di bawah 2000 C. ini dilakukan untuk mencegah
polimerisasi dan dekomposisi gliserin. Yang dimulai pada suhu
2040 C. pengontrolan kondensaai dari pemisahan uap gliserin dari
uap air.
Kondensasi gliserin yang mencapai 99% kemurnian melalui
deodorisasi dengan memasukka panas kedalamnya pada
penampung deodorisasi keadaan vakum. Gliserin akhirnya
dibleaching dengan karbon aktif dan disaring untuk menghasilkan
konsentrasi lebih dari 99%.
Gambar 9. Proses purifikasi
Gambar 10. Proses destilasi dan bleaching
2. Metode pertukaran ion
Metode pertukaran ion dari pemurnian gliserin merupakan
hal lazim dan diterima luas karena operasi yang sederhana dan
energi konsumsi yang rendah. Metode ini didasarkan pada
penggunaan resin penukar ion yang cocok dan partikel yang
sesuai untuk menyaring gliserin dari pemecahan lemak atau
transesterifikasi. Jika kadar garam tinggi,pada saponifikasi perlu
proses untuk merubah garam tersebut.
Pemurnian dengan pertukaran ion, tergantung lanjutan
sebelum penyaringan material berdasarkan hasil dengan memakai
kation kuat, anion lemah dan tempat campuran anion-kation kuat.
Pertukaran ion beroperasi secara efisien dengan cairan 24-40%
gliserin.
Caranya berdasarkan eliminasi permukaan resin bekas asam
lemak bebas, lemak hewan dan mineral lain yang akan
dimurnikan. Makanya konsentrasi pemurnian cairan gliserin
didasarkan pada evaporasi (penguapan) memakai multiple-efek
evaporator untuk memproduksi gliserin dengan kemurnian lebih
dari 99%. Akhir dekolorisasi berdasarkan dengan mengaktifkan
permukaan karbon atau perlakuan dengan karbon aktif
berdasarkan filtrasi menghasilkan gliserin yang bagus.
Perbandingan metode konvensional dengan metoda
pertukaran ion. Metoda konvensional butuh fleksibilitas lebih besar
tapi memkai energi lebih banyak, berdasarkan hal itu maka air harus
diuapkan dan gliserin tersebut di distilasi pada temperature yang
lebih tinggi. Metoda pertukaran ion tidak memakai energi tapi tidak
bias dipakai untuk gliserol bila terdiri dari klorida yang tinggi.
Klorida kotor berada pada resin pertukaran ion.
Gambar 11. Metode Pertukaran Ion
2.4 Fungsi Gliserin
a. Makanan dan Minuman.
Berfungsi sebagai humektan, pelarut dan pemanis, dapat
membantu juga sebagai pengawet makanan.
Dapat dijadikan sebagai Pengemulsi makanan.
Digunakan dalam pembuatan ester poligliserol masuk ke
shortening dan margarin.
Digunakan sebagai filler rendah lemak dalam produk
makanan (yaitu, cookie), atau Rokok
Pelarut untuk rasa (seperti vanili) dan pewarna makanan.