master gula.docx

34
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gula merupakan salah satu bahan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat dunia. Salah satu penghasil tebu yang terkenal di daerah Asia adalah tebu. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki luas lahan tebu yang besar mempunyai potensi yang besar dalam mengolah tebu menjadi gula dan turunannya. Kualitas dan rendemen gula yang dihasilkan dipengaruhi oleh standar pengolahan serta pengukuran. Selain gula pasir, gula memiliki varian bentuk yaitu gula merah (yang sering disebut sebagai gula Jawa) dan gula semut. Pengolahan gula merah dan gula semut berbeda sehingga produk yang dihasilkan berbeda berdasarkan tekstur, kekeringan, warna dan sebagainya. Gula semut lebih banyak disukai karena Pada praktikum kali ini gula merah dibuat dari nira tebu, sementara gula semut dibuat dari gula kelapa dan gula aren yang berada di pasaran (komersial). Sebagai komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat maupun industri, gula tebu yang diproduksi harus memenuhi standar pengolahan dari berbentuk nira hingga akhirnya dihasilkan berbagai macam produk gula.Pada praktikum kali ini dibahas 3 macam produk gula dari pohon aren dan kelapa yaitu gula merah, semut dan gula invert serta analisa untuk mengetahui karakteristik

Upload: anon301938375

Post on 27-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gula merupakan salah satu bahan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat dunia. Salah satu penghasil tebu yang terkenal di daerah Asia adalah tebu. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki luas lahan tebu yang besar mempunyai potensi yang besar dalam mengolah tebu menjadi gula dan turunannya. Kualitas dan rendemen gula yang dihasilkan dipengaruhi oleh standar pengolahan serta pengukuran. Selain gula pasir, gula memiliki varian bentuk yaitu gula merah (yang sering disebut sebagai gula Jawa) dan gula semut. Pengolahan gula merah dan gula semut berbeda sehingga produk yang dihasilkan berbeda berdasarkan tekstur, kekeringan, warna dan sebagainya. Gula semut lebih banyak disukai karena Pada praktikum kali ini gula merah dibuat dari nira tebu, sementara gula semut dibuat dari gula kelapa dan gula aren yang berada di pasaran (komersial).

Sebagai komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat maupun industri, gula tebu yang diproduksi harus memenuhi standar pengolahan dari berbentuk nira hingga akhirnya dihasilkan berbagai macam produk gula.Pada praktikum kali ini dibahas 3 macam produk gula dari pohon aren dan kelapa yaitu gula merah, semut dan gula invert serta analisa untuk mengetahui karakteristik masing-masing gula. Analisa gula dilakukan untuk menguji mutu dan kualitas gula yang telah dibuat serta mengetahui kadar sukrosa, gula pereduksi dan sebagainya.

Produk gula palma dan gula tebu cair memang banyak diminati oleh masyarakat umumnya, namun terkadang terkendala oleh penyimpanan akibat kadar sukrosa yang tinggi sehingga terjadi pengkristalan. Reaksi inverse dapat dilakukan untuk mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (gula invert) dan mempunyai tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibanding sukrosa.

B. Tujuan

Mahasiswa mengetahui dan memahami prinsip-prinsip proses pembuatan gula merah, gula semut, gula invert serta dapat menganalisis karakteristik produk gula tersebut.

II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

Praktikum pembuatan gula merah menggunakan bahan tebu, kapur (CaO) dan minyak nabati. Alat yang digunakan adalah wajan, saringan, kompor, pengaduk dari kayu, penggiling tebu dan cetakan dari bambu. Pada pembuatan gula semut digunakan bahan berupa nira aren, gula aren, gula palem, dan minyak nabati. Alat yang digunakan adalah wajan, kain saring, timbangan, kompor, sendok, dan pengaduk kayu. Praktikum gula invert menggunakan alat gelas piala, pengaduk, termometer, sendok dan pemanas/kompor listrik. Bahan yang digunakan gula pasir, gula kelapa, gula aren, asam tartarat, HCl, sodium bikarbonat dan air.

Pada praktikum prosedur analisis produk gula digunakan bahan berupa larutan Luff, KI 20%, H2SO424%, Na2S2O5 0,1 N, indikator kanji 0,5%, DNS NaOH, potasium sodium tartarat, phenol sodium metabisulfit dan glukosa. Alat yang digunakan adalah pipet ukur, tabung reaksi, gelas piala, spektrofotometer, kuvet, colori-meter, penetrometer, refraktometer, erlemenyer, pendingin balik, pemanas, labu ukur, gelas ukur dan buret.

B. Metodologi

A. (Tebu dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah)Karakterisitik Nira Tebu

(TSS (Total Padatan Terlarut) diukur dengan refraktometer) (Nira diperas, disaring dan ditimbang) (Tebu diperas menggunakan penggiling tebu) (Tebu ditimbang sebelum dikupas dan setelah dikupas)

B. (Neraca massa dihitung untuk produksi gula merah tebu) (Dicetak dalam cetakan dalam bambu atau tempurung kelapa yang sudah direndam dalam air) (Kemasakan nira diuji diteteskan pada air sehingga membentuk benang melingkar) (Nira dimasak sampai mengental sambil diaduk-aduk ) (Apabila sudah berbuih ditambahkan minyak nabati sebanyak 1 sendok makan) (Nira dipanaskan untuk menguapkan airnya)Produksi Gula Merah Tebu

C. Pembuatan Gula Semut

(Nira dipanaskan di atas wajan) (Nira yang sudah mendidih ditambahkan 1 sendok makan) (Nira ditambahkan air dengan perbandingan 1:1)

(Nira diangkat dan diaduk dengan kuat hingga terbentuk butiran-butiran halus) (Neraca massa dihitung)

(Nira yang sudah mengental uji kemasakan dengan diteteskan pada air dingin sambil berputar)

(Gula semut yang masih kasar digerus)

(Gula semut diayak untuk memperoleh keseragaman)

D. Pembuatan Gula Invert

1. Metode Asam Tartarat

(Sodium bikarbonat ditambahkan sebanyak 1,134 g dan diaduk cepat) (Suhu dipertahankan pada 100oC dan diaduk selama 30 menit) (100 gram gula dan 0,1 g asam tartarat dan 42 ml air dicampur dan dipanaskan hingga mendidih)

2. Metode HCl

(Setelah dingin ditambahkan perlahan 0,111 g sodium bikarbonat (dilarutkan dalam satu sendok makan air)) (Suhu dipanaskan 70oC selama 1,5 jam) (Sebanyak 100 g ditambahkan 420 ml larutan HCl 0,1%)

E. Analisis Produk Gula

Prosedur Bahan bahan yang digunakan adalah Larutan Luff, KI 20%, H2SO4 24%, Na2S2O5, 0.1 N, indikator kanji 0.5%, DNS, NaOH, potasium sodium tartarat, phenol, sodium metabisulfit, glukosa. Peralatan yang digunakan adalah pipet ukur, tabung reaksi, gelas piala, spectrofotometer, kuvet, colori-meter, penetrometer, refraktometer, erlenmeyer, pendingin balik, pemanas, labu ukur, gelas ukur, dan buret.

1. Uji kekerasan

2. Bagian yang tidak larut air

3. Gula pereduksi ( Metode Luff Schoorl )

4. Gula pereduksi ( metode DNS )

5. Kadar Sukrosa

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

[Terlampir]

B. Pembahasan

Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan merupakan oligosakarida, polimer dengan derajat polimerisasi 2 10 dan biasanya bersifat larut dalam air yang terdiri dari dua molekul yaitu glukosa dan fruktosa. Gula memberikan flavor dan warna melalui reaksi browning secara non-enzimatis pada berbagai jenis makanan. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Dalam industri pangan, sukrosa diperoleh dari bit atau tebu (Winarno, 1997).

Pada praktikum pertama praktikan membuat gula merah dari nira hasil penggilingan tebu. Tanaman tebu atau Saccharum officinarum termasuk kelas Monocotyledon, ordo Glumaceae, keluarga Gramineae dan grup Andropogonae. Tanaman tebu tumbuh baik di daerah beriklim panas. Batang tebu berdiri lurus dengan diameter batang 3 4 cm dan tinggi 2 5 m serta tidak bercabang (Hugot, 1983). Makin mendekati umur panen makin tinggi kadar sukrosa dan sebaliknya terjadi penurunan kadar glukosa dan fruktosa; tetapi setelah melwati umur panen kadar sukrosa akan menurun kembali. Di Indonesia, bahan baku untuk gula merah adalah nira palma dan nira tebu. Nira adalah suatu jenis cairan atau ekstrak yang berasal dari tanaman yang mengandung gula relatif tinggi. Kadar sukrosa akan mengalami penurunan selama penyimpanan disebabkan terjadinya hidrolisis sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa. Kerusakan nira ditandai dengan rasa nira menjadi asam, berbuih putih dan berlendir (Goutara dan Wijandi, 1975). Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan sukrosa nira.

Nira hasil penggilingan tebu selanjutnya disaring kemudian dididihkan di atas wajan. Pendidihan nira bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam nira. Pada proses pendidihan, nira ditambahkan 10 ml minyak nabati. Penambahan minyak nabati/goreng waktu penguapan nira bertujuan mengurangi pembentukan buih yang berlebihan selama penguapan. Sementara dilakukan pendidihan pada beberapa kelompok diberi perlakuan dengan memberikan CaCO3sebanyak 50 dan 100 gram. Penambahan CaCO3 ini disebut cara pemurnian dengan cara karbonatasi.

Cara karbonatasi adalah cara permurnian yang menggunakan kapur yang jauh lebih banyak. Endapan yang terbentuk dari proses ini (CaCO3) akan meyerap pula bahan-bahan yang bukan gula lainnya. Gula yang dihasilkan dari cara karbonatasi adalah gula putih atau SHS I. (Anggraeni, 2008). Proses pemurnian nira adalah proses untuk membuang atau menghilangkan zat organik dan anorganik bukan gula yang terdapat dalam nira gula kasar (crude), sehingga diperoleh nira gula dengan kadar sukrosa yang maksimum dan jernih. Tujuan utama dengan perlakuan ini adalah dapat diperoleh hasil nira yang jernih.

Setelah dilakukan pendidihan hingga suhu dan kadar air tertentu kemudian gula dicetak dan didiamkan beberapa saat hingga terbentuk gula merah.

Rendemen gula merah yang paling besar terdapat pada kelompok 1, dengn berat tebu utuh seberat 4851,2 gram dihasilkan 1300 ml dan dapat dibentuk menjadi gula merah seberat 110,9 gram dengan rasa manis dan aroma gula. Rendemen gula merah yang diperoleh memiliki rata-rata 1,432%. Gula merah akan sulit dicetak apabila kadar air melebihi kisaran 30%. Kadar air yang tinggi membuat gula merah lembek dan sulit dicetak. Umumnya rasa manis dengan variasi manis pahit dan manis gurih serta aroma khas tebu.

Praktikum selanjutnya adalah pembuatan gula semut. Pada dasarnya pembuatan gula semut hampir sama dengan gula merah. Gula semut merupakan diversifikasi gula merah yang berbentuk serbuk. Gula semut memiliki karakteristik berbentuk bubuk dan sering disebut pula gula kristal. Bahan dasar yang digunakan pada praktikum pembuatan gula semut adalah gula kelapa dan gula aren. Nira yang diperoleh dari penyadapan mayang bunga kelapa yang sudah cukup umur. Nira yang digunakan harus mempunyai pH 5,5-7,0 dan kadar gula reduksi (glukosa dan fruktosa) relatif rendah. Nira segar biasanya mempunya pH 6,0-7,0.

Perbedaan gula semut setelah nira mulai mengental dan diangkat dari kompor, proses pengadukan tetap dilakukan hingga terbentuk kristal-kristal gula. Pengadukan yang terus-menerus bertujuan untuk menghancurkan kristal-kristal yang mulai terbentuk sehingga berbentuk butiran-butiran yang lebih kecil. Kadar air pada gula semut lebih rendah daripada gula merah. Perbedaan kadar air ini disebabkan karena selama pengolahan gula semut mengalami penanganan yang lebih lama sehingga jumlah air yang menguap lebih banyak daripada gula merah (Santoso, 1988). Pada saat nira sudah mulai mendidih ditambahkan bibit berupa kristal gula. Pembibitan berupa penambahan kristal gula bertujuan untuk memancing pembentukkan kristal gula sehingga gula semut cepat terbentuk. Penambahan bibit gula pasir ditambahkan pada fase metastabil, yaitu apabila ditambahkan kristal gula akan mengalami kristalisasi spontan. Apabila ditambahkan air maka konsentrasi akan menurun dan tidak dapat mengkristal kembali. Penambahan bibit dilakukan pada konsentrasi air sebesar 20% dan terjadi kristalilasi spontan ketika sukrosa telah dihidrolisis sempurna. Gula semut akan sulit dikristalisasi apabila tidak ditambahkan gula bibit atau penambahan gula bibit telah melewati fase metastabil. Apabila telah terlewat fase metastabil, nira masih dapat dikristalilasi dengan mengencerkan kembali selama sukrosa belum terhidrolisis. Gula semut degan bahan gula kelapa dibuat oleh kelompok 1-3 sementara gula aren dibuat oleh kelompok 4-6. Gula semut dihasilkan paling banyak oleh kelompok 3 dengan bobot 447,47 gram. Rata-rata bobot gula semut yang dihasilkan sebesar 418,6 gram. Warna yang dihasilkan umunya sama yaitu coklat muda dengan rasa manis. Dari seluruh neraca massa yang terlampir dihasilkan rendemen gula semut terbesar terdapat pada kelompok 3 yaitu sebesar 88,53%.

Praktikum selanjutnya adalah pembuatan gula invert. Komposisi kimia dari gula baik yang berasal dari tebu maupun bit adalah sama, yaitu satu satuan fruktosa yang digabung dengan satu satuan glukosa. Ikatan glikosida menghubungkan karbon ketal dan asetal dan bersifat dari fruktosa dan dari glukosa. Sukrosa tidak menunjukkan mutarotasi dan bukanlah gula pereduksi. (Fessenden & Fessenden, 1986).

Sukrosa dapat terhidrolisis dengan adanya ion hidrogen menjadi gula invert (gula inversi), yaitu campuran antara fruktosa dan glukosa.

C12H22O11+H2O C6H12O6 + C6H12O6

Sukrosa D-glukosaD-fruktosa

Polarisasi +66,6o +52,8o-92,8o

Gula inversi diturunkan dari inversi (pembalikan) tanda rotasi jenis bila sukrosa dihidrolisis. Polarisasi sukrosa murni sebesar +66,6o, setelah mengalami hidrolisis diperoleh gula inversi yang merupakan campuran dengan polarisasi -20,0o. Hidrolisis sukrosa menjadi gula invert dapat pula terjadi akibat aktivitas mikroorganisme yang dapat melepaskan enzim invertase. Enzim ini bersifat spesifik untuk ikatan -D-fruktofuranosida. Enzim tersebut akan menyebabkan nira tebu menjadi lebih asam karena gula inversi hasil hidrolisis akan pecah lebih lanjut menjadi asam organik, yang akan menambah hasil bukan gula. Penggunaan komersialnya adalah untuk pembuatan es krim, minuman ringan, dan permen. (Fessenden & Fessenden, 1986).

Pada praktikum gula invert ini dilakukan 2 metode, yaitu metode asam tartarat dan metode HCl. Kedua metode tersebut memiliki prinsip kerja yang sama, perbedaan hanya terletak pada jenis asam yang digunakan. Asam khlorida memiliki daya inversi yang sangat tinggi mencapai 100%, sedangkan daya inversi asam tartarat lebih rendah yaitu berkisar 3%. Daya inversi berpengaruh pada gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil pengamatan menyatakan pada kelompok 1-3 yang menggunakan HCl rata-rata massa gula inversi yang dihasilkan adalah 107,16 gram dengan massa tertinggi sebesar 120,63. Sedangkan rata-rata massa gula inversi yang dihasilkan oleh asam tartarat adalah sebesar 105,30 gram dengan massa terbesar adalah 114,24 gram. Hal ini seusai dengan teori daya inversi bahwa HCl memliki daya inversi yag lebih besar sehingga massa gula inversi yang dihasilkan juga lebih besar. Pada proses pembuatan dilakukan perlakuan berupa penambahan sodium bikarbonat. Perlakuan ini bertujuan untuk menetralkan asam sehingga gula invert yang dihasilkan tidak berbahaya dan aman terhadap konsumen.

Gula invert adalah gula hasil dari inversi. Proses inversi adalah proses hidrolisis yang membuat gula sakarose dalam larutan terpecah menjadi gula invert (glukose dan sacarose) , akibat pengaruh panas dan keasaman (Dyanti, 2002). Gula invert ini biasanya dibuat bertujuan untuk mencegah terjadinya pengkristalan kembali gula agar tetap berbentuk cair.

Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya. Kadar gula pereduksi dapat diukur dengan metode DNS (3,5-Dinitrosalisilate) modifikasi (Aprijantono dkk, 1989). Selain menggunakan metode DNS, kadar gula pereduksi dapat diukur dengan menggunakan uji Luff Schroll.

Pengujian sukrosa kali ini menggunakan metode Luff Schrool untuk mengukur kadar gula pereduksi, metode Luff Schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut :

R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O

2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I2

2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-

Pada awal reaksi monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator. I2 bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi membutuhkan indikator amilum, maka penambahan amilum sebelum titik ekivalen (Goutara, 1980).

Dalam praktikum ini digunakan dua bahan gula yaitu gula merah dan gula semut. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar kelompok praktikum menemukan kandungan gula pereduksi pada gula merah lebih besar dibandingkan gula pereduksi pada gula semut. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi gula semut lebih besar dibandingkan gula merah. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan. Gula merah memiliki gula pereduksi yang lebih banyak dapat disebabkan oleh adanya proses invertasi yang lebih banyak. Proses invertasi dapat terjadi ketika proses pembuatan gula merah. Pada proses pembuatan ini gula terkena kontak langsung dengan tangan yang kemungkinan besar mengandung asam, asam inilah yang menyebabkan proses invertasi sukrosa menjadi gula pereduksi.

Semakin besar gula pereduksi maka tingkat kemanisannya akan semakin tinggi. Gula invert (mengandung gula pereduksi) memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan sukrosa. Sukrosa mempunyai nilai standar kemanisan 100 sedangkan gula invert mempunyai nilai kemanisan 130 (Meyer, 1970)

DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan rekasi pada metode deteksi amilase dengan menggunakan metode turunya kandungan gula yang dilepaskan selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Metode DNS ini menggunakan spektrofotometer untuk mengukur absorban dari suatu cairan. Prinsip kerja yang digunakan oleh alat spektrofotometer adalah dengan menggunakan gelombang dengan panjanng tertentu yang diatur guna menembus suatu lautan. Semakin kecil kerapatan yang dimiliki suatu larutan, maka semakin mudah suatu gelombang menembusnya, akhirnya berkorelasi dengan nilai absorban yang semakin kecil pula.

Uji DNS dilakukan pada setiap sampel gula invert, diketahui dari data bahwa nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh gula invert yang dibuat oleh kelompok 2 yaitu gula kelapa dengan HCL sebesar (1,242) dan yang terendah adalah gula invert yang dibuat oleh kelompok 6 yaitu gula aren dengan asam tartarat sebesar (0,02). Rentang transmitat yang baik adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban yang memenuhi kriteria adalah gula yang diproduksi oleh kelompok 2 dan 3. Nilai absorban sebanding dengan kandungan gula pereduksi di dalam suatu larutan dengan asumsi tidak ada senyawa pengotor lain yang tidak diinginkan.

Kurva standar dibuat dengan 5 sampel ditambah dengan 1 blanko. Nilai asorbansi ditentukan dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yakni 0, 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm. Diperoleh data berupa grafik seperti yang tercantum di dalam lampiran. Secara umum, grafiknya semakin menanjak dengan persamaan fungsi y=0,105x-0,082 dan r2= 0,882 . Ini berarti nilai absorbansi dipengaruhi oleh penambahan ppm.

Selain metode DNS, analisa gula pereduksi juga dilakukan dengan metode fenol. Metode ini sering disebut juga metode TS (Total Sugar) digunakan untuk mengukur total gula. Perbedaan metode DNS dengan metode fenol ini adalah jika dengan metode DNS hanya akan mendeteksi satu gula pereduksi, sedangkan metode asam sulfat akan mendeteksi dua gula pereduksi. Gula sederhana oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye kekuningan yang stabil (Apriyantono dkk 1998).

Kemampuan metode fenol sulfat mendeteksi dua gula pereduksi, karenamaltosa yang ada akan dihidrolisis dahulu menjadi dua molekul glukosa sehinggametode ini dapat mengetahui gula pereduksi total. Pengukuran serapan pada metode asam fenol sulfat pada panjang gelombang 490 nm pada spektrofotometer.

Kurva standar dengan metode fenol dibuat dengan 5 sampel ditambah dengan 1 blanko. Nilai asorbansi ditentukan dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yakni 0, 100, 150, 200, 250, dan 300 ppm. Diperoleh data berupa grafik seperti yang tercantum di dalam lampiran. Secara umum, grafiknya semakin menanjak seperti pada uji DNS dengan persamaan fungsi y=0,004x-0,294 dan r2= 0,835 . Ini berarti nilai absorbansi dipengaruhi oleh penambahan ppm.

Pada analisa warna gula dilakukan dengan menggunakan colorimeter (merk Colori Tec-PCM). Prinsip kerja colorimeter yaitu ditempelkan pada benda yang ingin diketahui tingkat warnanya, banyaknya sinar yang diserap oleh suatu benda berbanding lurus dengan konsentrasi dan lebar benda yang dilalui oleh sinar tersebut., hanya cahaya yang diabsorbsi oleh bahan yang diambil sebagai skala warna dalam sampel, sedangkan cahaya yang dipantulkan dan diteruskan diabaikan (Maynard, 1990). Pengukuran dengan alat ini akan diperoleh nilai L, a, b. Nilai L menunjukaan tingkat kecerahan, semakin tinggi nilai L maka wrna produk semakin cerah. Nilai a menunjukkan kecenderungan warna merah apabila bertanda positif dan akan menunjukkan kecenderungan warna kuning ditunjukkan oleh nilai b yang berwarna positif biru apabila bertanda negatif. Nilai a dan b digunakan untuk menghitung hue (H) berdasarkan persamaan :

H = tan-1 (b/a)

L* A* B* merupakan model warna yang paling lengkap yang ditetapkan oleh Commision Internationale dElairage (CIE). Model ini menguraikan semua warna yang dapat terlihat oleh mata manusia. Koordinat-koordinat ruang warna menurut Hunter (1948) adalah L, a, dan b. Model warna Lab menunjukkan hanya warna-warna yang sesuai dengan model RGB (Red, Green, Blue), dan oleh karena itu dapat diperlihatkan pada display komputer tertentu. Masing-masing kwadrat koordinat memiliki rentang nilai antara -128 sampai 128. Ruang warna Lab adalah ruang warna yang berlawanan (color-oppnent) dengan dimensi L untuk kecerahan (lightness), a dan b untuk dimensi warna yang berlawanan.

Berdasarkan prinsip kerja colorimeter, maka akan akurat jika mengukur warna benda padat karena colorimeter harus menempel tanpa jarak dengan benda yang akan diukur warnanya hal ini dimaksudkan untuk menghindari bias. Pada gula pereduksi tidak diukur warnanya dengan colorimeter karena gula pereduksi berbentuk cairan. Sehingga untuk mengukur warnanya tidak dapat dilakukan dengan menggunakan jenis colorimeter (merk Colori Tec-PCM) sebab nilai warna yang akan dihasilkan tidak akan akurat. Hal in terjadi karena pada saat pengukuran akan terdapat celah yang dapat menyebabkan bias.

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh nilai Hue pada gula merah untuk kelompok 1 adalah 1,2167, kelompok 2 sebesar 1,167737, kelompok 3 sebesar 1,17946, kelompok 4 sebesar 1,214342, kelompok 5 sebesar 1,187662 dan kelompok 6 sebesar1,21192. Berdasarkan literatur yang menunjukkan deskripsi warna derajat Hue yaitu sebagai berikut :

Hue [arc tan (b/a)]

Deskripsi warna

18 54

Red (R)

54 90

Yellow Red (YR)

90 126

Yellow (Y)

126 162

Yellow Green (YG)

162 198

Green (G)

198 234

Blue Green (BG)

234 270

Blue (B)

270 306

Blue Purple (BP)

306 342

Purple (P)

342 18

Red Purple (RP)

Nilai yang terdapat pada rekapan jika dibandingkan tidak sesuai dengan data yang ada karena tidak masuk pada range data mnapun, hal ini disebabkan karena terdapat kesalahan pada rekapan data, sehingga setelah perhitungan ulang Hue didapatkan revisi data adalah sebagai berikut :

Kelompok

L

A

B

H = tan-1 (B/A)

1

3125

3012

8148

69,7125

2

2604

3091

7249

66,9064

3

2907,67

3207

7772,33

67,578

4

3360,33

3184,67

8552,67

69,5766

5

3114

3276

8128

68,048

6

3285

3160

8424

69,4379

Berdasarkan data hasil revisi diperoleh bahwa derajat nilai Hue gula merah ada pada level 2 yaitu diantara range 54 90 yang berarti deskripsi warna YR (yellow red) yaitu merah kekuning-kuningan. Karena nilai Hue lebih mendekati angka 54 menandakan bahwa intensitas warna merah lebih banyak daripada warna kuning yang terdapat pada gula merah. Hal ini juga sesuai dengan pengamatan langsung oleh mata bahwa warna gula merah adalah merah dengan sedikit kekuning kuningan.

Selanjutnya untuk data warna pada uji gula warna semut sama halnya dengan gula merah mengalami kesalahan perhitungan pada nilai derajat Hue, sehingga setelah direvisi didapatkan hasil data sebagai berikut :

Kelompok

L

A

B

H = tan-1 (B/A)

1

4058

2780

9755

74,0933

2

5277

1976

11858

80,5392

3

5996,67

1676,33

13098,33

82,7069

4

3181

3228

8234

68,5931

5

3223

3225

8316

68,0833

6

0473

3103

7233

66,7803

Berdasarkan data hasil revisi tersebut maka diketahui bahwa nilai derajat Hue gula semut sama seperti gula merah yaitu berada pada level 2 yaitu berkisar antara 54-90, namun berbeda karena pada nilai gula semut lebih mendekati nilai 90 sehingga intensitas warna kuning lebih banyak daripada warna merahnya, bahkan pada kelompok 3 nilai derajat Hue mencapai 82,7069 hampir mendekati 90. Hal ini sesuai dengan pengamatan dengan mata bahwa gula merah setelah diolah menjadi gula semut menjadi lebih kuning. Selain itu tingkat L (light) pada data gula semut juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi saripada L pada gula merah.

Uji kekerasan menggunakan alat penetrometer dengan waktu uji selama 10 detik. Prinsip kerja alat ini adalah mengukur gaya yang diperlukan untuk menembus suatu bahan dalam waktu yang ditentukan, atau hingga jarum penetrometer tidak dapat lagi menembus bahan yang diuji. Uji kekerasan ini hanya untuk gula merah yang berbentuk padatan. Diketahui dari data bahwa gula yang memiliki kekerasan yang paling tinggi adalah gula yang diproduksi dari batang bawah (kelompok 2) yaitu sebesar 12,8 mm/10s/bobot beban dan yang paling rendah adalah gula batang bawah (kelompok 1) yang terlalu lembek sehingga tidak dapat diukur.

Menurut Supardi (1993) faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati. Semakin rendah kadar air suatu produk, maka kekerasan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kadar air tersebut dipengaruhi oleh lama pemasakkan saat memproduksi gula merah. Perlakuan selama penyimpanan berpengaruh pula terhadap kekerasan gula metah. Kelunakan gula merah selama penyimpanan pada umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar air produk, akibat pengikatan air yang berasal dari lingkungan oleh produk. Cara pengemasan yang salah seperti mengemas gula dalam kantung plastik dalam keadaan masih panas, dapat menyebabkan gula menjadi lunakatau basah pada bagian permukaan. Pelunakan terjadi akibat akumulasi atau pengembunan uap air yang berasal dari dalam gula itu sendiri karena tertahan oleh plastik, dan terserap ke permukaan gula.

Minyak nabati yang ditambahkan kedalam adonan gula merah juga mempengaruhi kekerasan gula merah. Penambahan minyak yang terlalu banyak dapat menyebabkan gula yang dihasilkan menjadi lunak. Selain itu, penambahan pati dapat menurunkan kadar padatan terlarut di dalam gula dan secara organoleptik mengurangi kemanisannya. Penundaan pengolahan nira segar menyebabkan menurunnya kekerasan gula merah yang dihasilkan jika dibandingkan dengan kekerasan gula merah yang dibuat dari nira segar.

Gula sebagian besar terbentuk dari oligosakarida berupa sukrosa. Kadar sukrosa yang terkandung dalam suatu bahan berbeda-beda untuk masing-masing bahan. Sukrosa merupakan salah satu jenis glukosa yang tersususn dari glukosa dan fruktosa. Sukrosa meiliki sifat yang sukar larut dalam air, jika berhasil dilarutkan maka lama-kelamaan sukrosa ini akan mengendap. Sukrosa dapat terlarut dalam air jika dihidrolisis menggunakan pans ataupun dengan asam membentuk glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa merupakan jenis monosakarida yang lebih mudah larut dalam air dibanding sukrosa.

Pada praktikum kali ini akan dilakukan praktikum untuk mengetahui bagian yang tidak terlarut. Pada mulanya 20 gram sampel gula, yaitu gula merah, gula semut, dan gula invert dilarutkan dalam 200 mL air panas. Dalam keadaan panas, larutan tadi disaring dengan kertas saring dan dengan menggunakan pompa vakum. Pompa vakum ini digunakan untuk mempercepat proses penyaringan, karena partikel gula tidak semuanya dapat melewati kertas saring dengan mudah. Kertas saring kemudian dioven pada suhu berikisar 105 0C selama 2 jam. Setelah ditimbang, ternyata bagian yang tidak terlarut pada gula merah lebih banyak daripada gula semut, dan gula semut lebih besar daripada gula invert.

Banyaknya kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan sukrosa. Seperti yang dijelaskan diatas, sukrosa merupakan oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka dari itu, partikel yang tertinggal dalam kertas saring adalah partikel sukrosa. Pada gula merah tebu, memang tebu bagian bawah lebih banyak kandungan sukrosanya. Walaupun mengalami pemasakan, namun hanya sebagian kecil yang terhidrolisis dan yang lainnya masih berbentuk partikel oligosakarida. Pada gula semut yang berasal dari gula aren, kandungan pengotornya lebih banyak daripada gula kelapa, begitu juga kandungan sukrosanya.

Pada pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool, didahului dengan penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida. Monosakarida yang dimaksud adalah glukosa dan fruktosa. Jika larutan Na2S2O3 yang digunakan banyak, maka mengindikasikan banyak kandungan glukosa dan fruktosa dalam larutan. Hal ini juga mengindikasikan gula tersebut mengandung banyak sukrosa yang telah terkonversi secara sempurna. Penggunaan asam pada awal praktikum memang dimaksudkan untuk menghidrolisis sukrosa yang ada pada bahan supaya berubah menjadi glukosa dan fruktosa. Pada praktikum kali ini digunakan dua sampel yaitu gula merah dan gula semut. Pada gula merah dari tebu yang diuji, kadar sukrosa pada tebu bagianbawah cenderung lebih tinggi sedikit dari bagian atas, berdasarkan data jumlah sukrosa tertinggi adalah pada tebu bagian bawah yaitu mencapai 78%. Hal ini berarti sukrosa yang terkandung di dalamnya memang banyak ataupun sukroasa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa.

Pada gula semut, kadar sukrosa tertinggi ada pada gula semut yang berasal dari gula aren yaitu kelompok 6 sebesar 39,9% dan terendah adalah pada gula kelapa sebesar 18,24%. Ini membuktikan mamang gula aren memiliki lebih banyak kandungan sukrosa jika dibandingkan dengan gula dari nira kelapa. Di samping itu, gula dari nira aren juga mengandung protein yang lebih banyak, ini yang mempengaruhi warna dari gula aren yang lebih pekat. Kadar sukrosa sendiri merupakan faktor mutu yang menentukan, karena berpengaruh pada kadar air dan kandungan gula pereduksi yang selanjutnya mempengaruhi kekerasan gula merah (Nurhayati, 1992).

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada praktikum kali ini telah dibuat produk gula merah dari nira tebu yang digiling, gula semut, gula invers serta analisa terhadap produk yang telah dibuat. Sebagian besar gula merah berhasil dibuat dengan kadar air yang cukup dan warna merah gelap serta berasa manis. Adanya kegagalan dalam pencetakan gula meramh dapat terjadi akibat kadar air yang berlebih atau pendidihan yang terlalu lama sehingga terjadi karamelisasi. Sementara pada gula semut dibuat dari dua bahan yaitu gula kelapa dan gula aren. Gua semut memiliki kadar air yang lebih rendah darpada gula merah serta terjadi proses kristalisasi. Adanya kegagalan dalam pembuatan gula semut terjadi akibat penambahan bibit yang tidak sesuai dengan fase metastabil. Gula invers dihasilkan dari hidrolisis asam sukrosa sehingga terbentuk fruktosa dan glukosa (gula pereduksi). Perbedaan penggunaan asam tartarat dan HCl mempengaruhi massa gula invers yang dihasilkan. HCl memiliki daya invers yang lebih tinggi sehingga massa gula yang dihasilkan dari metode HCl lebih tinggi.

Pada analisis produk gula untuk kandungan gula pereduksi pada gula merah lebih besar dibandingkan dengan gula semut yang ditunjukkan dengan banyaknya tiosulfat yang diperlukan. Pada uji DNS untuk menghitung gula pereduksi, nilai tertinggi gula pereduksi adalah pada gula kelapa dengan HCl. Sedangkan untuk metode fenol sulfat nilai gula pereduksi tertinggi adalah pada gula pasir. Pada pengujian warna dengan colorimeter didapatkan bahwa pada gula merah memiliki deskripsi warna YR (Yellow Red) dengan kecenderungan berwarna merah. Sedanngkan untuk gula semut memiliki deskripsi warna YR juga tetapi lebih cenderung ke warna kuning. Pada uji kekerasan didapatkan bahwa gula yang memiliki kekerasan paling tinggi adalah gula yang diproduksi dari batang bawah. Pada analisis zat terlarut didapatkan ternyata zat terlarut pada gula merah lebih banyak daripada gula semut, dan gula semut lebih besar daripada gula invert. Untuk pengujian sukrosa dengan metode Luff Schrool untuk gula merah kadar sukrosa tertinggi adalah pada bagian tebu bagian bawah dan untuk gula semut sukrosa tertinggi berasal dari gula aren.

B. Saran

Analisa produk gula sebaiknya diujicobakan pada produk gula komersial yang berada dipasaran sehingga dapat lebih mengetahui kandungan produk gula komersial dalam dunia industri nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Nora. 2008. Pengaruh Dosis Flokulan terhadap Berat Jenis Endapan pada Proses Pemurnian Nira Mentah di Pabrik Gula Kwala Madu. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Aprijantono, A., D. Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Soedarnawati, S.Budiyanto. 1989. Analisis Pangan; Petunjuk Laboratorium. PT penerbit IPB, Bogor

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyant o S. 1988. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi. IPB

Dyanti. 2002. Tentang Gula Merah/PalmSugar. http://www.asiamaya.com/nutrients/gulajawa.htm [2 Maret 2012].

Fessenden, Ralph J. Fessenden dan Joan S. Fessenden. Organic Chemistry. Infoteac.

Goutara dan Wijandi S. 1975. Principles of Sugar Technology. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Goutara dan S. Wijandi. 1980. Dasar-Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Bogor.

Hugot E. 1972. Hand Book of Cane Sugar Engineering. Terjemahan Soejardi. Lembaga Pendidikan Perkebunan. Yogyakarta.

Maynard, A. J. 1990. Methods in Food Analysis. Academic Press, New York.

Meyer, L.H. 1970. Food Chemistry. New York, Reinhold Publisher Corp.

Santoso, Heri. 1988. Kajian Sifat-Sifat Gula Merah dari Nira Palma. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian-IPB. Bogor.

Supardi Dudi. 1993. Mempelajari Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelunakan Gula Merah dari Nira Kelapa Kasus di Daerah Cianjur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.

Winarno, F.G. 1988. Kimia Pangan. Jakarta: PT Gramedia.

10 g contoh + 200ml air panas

aduk

saring dengan kertas saring

bilas kertas saring

keringkan pada suhu 1050 selama 2 jam

dinginkan dan timbang

2 g contoh dalam labu ukur 250 ml + air hingga larut

kocok dan tambahkan air hingga tanda tera

10 ml larutan +15ml akuades + 25 ml larutan Luff dalam erlenmeyer

hubungkan erlenmeyer dengan pendingin balik dan didihkan 10 menit

dinginkan

tambahkan 10 ml larutan KI 20 % + 25 ml H2SO4

Titrasi dengan larutan tio 0.1 N dengan indikator kanji 0.5%

1 ml lar contoh + 3 ml reagen DNS dalam tabung reaksi

letakkan dalam air mendidih selama 5 menit dan dinginkan

uji dengan spectrofotometer pada = 550 nm

buat kurva standar dengan larutan glukosa 100, 150, 200, dan 250 ppm

nilai transmitansi yang dipakai 20%-80%

catat nilaiabsorbansi dan % transmitansinya

+ 25 ml HCl 25%, hidolisis pada suhu 68-700 C 10 menit

dinginkan dan netralkan dengan NaOH 30%

50 ml hasil saringan gula preduksi dalam labu ukur 100 ml

tepatkan pada tanda tera daan kocok 12x

10ml larutan + 15 ml akuadml akuades + 25 ml larutan luff

didihkan 10 menit dan dinginkan

+ ao ml larutan KI 20% + 25ml H2SO4

titrasi dengan tio 0.1 N dengan indikator kanji 0.5 %

Sampel

Uji kekerasan dengan penetometer

Baca nilai kekerasannya