masjid lerabaing: kearifan lokal dan sejarah …
TRANSCRIPT
489
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL
DAN SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI
NUSA TENGGARA TIMUR
LERABAING MOSQUE: LOCAL WISDOM AND HISTORY
OF THE SPREAD OF ISLAM IN EAST NUSA TENGGARA
Ali Fahrudin Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan,
Kementerian Agama Republik Indonesia
DOI: https://doi.org/10.31291/jlk.v18i2.831 Received: Maret 2020; Accepted: Desember 2020; Published: Desember 2020
ABSTRACT
At-Taqwa Lerabaing Mosque is one of the ancient mosques in Alor Island,
Nusa Tenggara Timur (NTT). By revealing the history of mosque
establishment, it is hoped that it can reveal the history of Islam coming to
NTT, which is currently predominant Christian and Catholic. This study
aims to preserve the cultural heritage of the Indonesian Nation, especially
related to the historic mosque and its role in spreading Islam in the Alor
Regency, NTT. This study uses a historical-archaeological approach.
Performing this research, it is expected to reveal the origin of the mosque,
the condition of the community at the time of its construction, the
architecture and the historical objects contained therein, and local wisdom
in broadcasting Islam in NTT. The results of this study reveal that the
history of the coming Islam to Alor Island was closely related to the arrival
of a preacher from Ternate named Sultan Kimales Gogo. After the King of
Kui Kingdom and his people converted to Islam, he established this
mosque. The mosque in the form of a house on stilts was built in 1042 H or
1633 M. Compared to other mosques in Indonesia, this mosque has its
specificity. it lies in its shape which resembles a stage house with a two-
story roof and all materials made from wood and bamboo without nails.
Keywords: Alor Island, Nusa Tenggara Timur, Lerabaing mosque.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
490
ABSTRAK
Masjid At-Taqwa Lerabaing adalah salah satu masjid kuno yang ada di
Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tulisan ini bertujuan untuk
mengungkap sejarah pendirian masjid At-Taqwa, Lerabaing dan sejarah
masuknya agama Islam di Provinsi NTT. Hal ini merupakan upaya
melestarikan warisan budaya Bangsa Indonesia, khususnya yang berkaitan
dengan masjid bersejarah dan perannya dalam penyiaran Islam di wilayah
Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Penelitian eksploratif deskriptif ini
menggunakan pendekatan historis-arkeologis. Beberapa hal yang ditelaah
adalah asal usul berdirinya masjid, kondisi masyarakat pada saat
pendiriannya, arsitektur dan benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya,
serta kearifan lokal dalam penyiaran Islam di NTT. Kajian ini
menunjukkan bahwa sejarah masuknya Islam di Pulau Alor erat kaitannya
dengan kedatangan pendakwah dari Ternate yang bernama Sultan Kimales
Gogo. Setelah berhasil mengislamkan Raja Kerajaan Kui dan rakyatnya,
Sultan Kimales Gogo mendirikan masjid At-Taqwa. Masjid yang
berbentuk rumah panggung ini dibangun pada tahun 1042 H atau 1633 M.
Kekhasan masjid ini dibandingkan masjid-masjid lainnya di Indonesia
terletak pada bentuknya yang menyerupai rumah panggung dengan atap
bertingkat dua dan semua bahannya terbuat dari kayu dan bambu tanpa
paku.
Kata kunci: masjid Lerabaing, Nusa Tenggara Timur, Pulau Alor
PENDAHULUAN
Masuknya agama Islam di Lerabaing, ibukota Kerajaan
Kui, tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia bagian Timur. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa
berdirinya Masjid At-Taqwa Lerabaing merupakan jasa besar
dari ulama Ternate yang berdakwah di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di wilayah Timur ini juga merupakan
implikasi dakwah di Jawa, sebagai sentral dakwah zaman dahulu.
Penyiaran dan penyebaran Islam di Jawa, dipelopori oleh para
mubalig Islam yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau
Sembilan Wali. Semasa hidup, para wali tersebut mengirimkan
utusan yang terdiri dari santri, saudagar dan nelayan untuk
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
491
menyebarkan Islam ke berbagai kepulauan di Indonesia.1 Atas
dakwah itulah, banyak kerajaan Islam di Indonesia bagian Timur
berdiri pada abad XV dan XVI, antara lain: Kerajaan Gowa di
Sulawesi Selatan, Kerajaan Lombok, Sumbawa dan Bima di
Nusa Tenggara Barat, dan Kerajaan Ternate di Maluku. Bahkan,
Sultan Ternate ke-19, Sultan Zainal Abidin bin Kolano Marhum
(memerintah: 1486-1500 M), dikabarkan belajar Islam langsung
dari Sunan Ampel.2 Kerajaan-kerajaan Islam tersebut ternyata
mampu menanamkan pengaruhnya di beberapa daerah di Nusa
Tenggara Timur, di antaranya di Pulau Flores bagian barat,
Flores bagian timur, dan Alor.3
Jejak-jejak pengaruh Kerajaan Ternate dan Gowa di Pulau
Alor, antara lain: terdapat nama Pulau Ternate di bagian barat
laut perairan Pulau Alor, kampung atau suku Maluku di Bara-
nusa, dan sebuah rumah yang bernama Mangkassar Ou (Rumah
Makassar) di Lerabaing. Pada zaman itu, Pulau Alor berkembang
menjadi pelabuhan transit yang penting dan berubah namanya
menjadi pantai Makassar.4 Ada indikasi bahwa terbentuknya
kerajaan-kerajaan pesisir di bagian timur Pulau Alor, merupakan
pengaruh dari kerajaan Ternate dan Gowa. Upaya Ternate dan
Gowa dilakukan untuk membendung pengaruh politik dan
ekonomi penjajah Portugis dan Belanda. Hal ini dibuktikan
adanya tiga aliansi, yaitu: pertama, aliansi Galiyao Watang Lema
(persekutuan lima kerajaan pesisir di negeri Galiyao). Kedua,
aliansi lima kerajaan Pesisir di Alor dan Pantar dengan lima
kerajaan pesisir di Solor; dan ketiga aliansi antara orang-orang
Alor, Makassar dan Ternate.
1Alfan Firmanto, “Masjid Kuno di Pulau Haruku Propinsi Maluku
(Kajian Sejarah, Bentuk dan Fungsi),” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol.
14, No. 1 (2016), 22 . https://doi.org/10.31291/jlk.v14i1. 2Rusdiyanto, “Kesultanan Ternate dan Tidore,” dalam Aqlam: Journal
of Islam and Plurality, Vol. 03, No. 01, 2018, 48. https://doi.org/10.30984/
ajip.v3i1.631 3Tim Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Sejarah Islam
Untuk Madrasah Ibtidaiyah (Jakarta: Kucica, 1993), 10-11. 4Syarifuddin R. Gomang, Hubungan Antar Etnis di Indonesia
(Kupang: Tesis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana, 1993),
10. Tempat-tempat tersebut merupakan bekas daerah atau wilayah dari lima
kerajaan pesisir di Alor.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
492
Apabila ditelusuri, aliansi antara orang-orang Alor, Solor,
Makassar dan Ternate, maka aliansi tersebut didasarkan atas
agama Islam. Rasa kesamaan ras dan budaya yang muncul dari
aliansi ini telah memungkinkan orang-orang Makassar dan
Ternate diterima sebagai anggota keluarga dari orang-orang Alor
pada masa itu.5 Lewat transformasi Islam dan hubungan-hubu-
ngan dagang, maka pulau Alor menjadi daerah tujuan penyebar-
an agama Islam, salah satunya Lerabaing.
Salah satu bukti keberadaan Lerabaing sebagai pusat pe-
nyebaran Islam adalah adanya masjid At-Taqwa yang dibangun
oleh Sultan Kimales Gogo6 (selanjutnya ditulis SKG). SKG
diutus oleh Sultan Ternate untuk menyebarluaskan Islam di
daerah tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap sejarah
penyebaran Islam di Pulau Alor dan pendirian Masjid At-Taqwa
sebagai bukti bahwa keberadaan Islam lebih dahulu daripada
agama Kristen dan Katolik, meskipun kedua agama tersebut saat
ini menjadi agama mayoritas penduduk di Nusa Tenggara Timur.
Penelitian tentang Masjid At-Taqwa Lerabaing pernah
dilakukan oleh Muklis M. Susan dalam karyanya, Sejarah
Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di Lerabaing.7 Penelitian
Susan tersebut mengungkap tentang sejarah masuknya Islam dan
pendirian Masjid At-Taqwa Lerabaing. Fokus penelitian Susan
adalah mengungkap sejarah masuknya Islam dan pembangunan
Masjid At-Taqwa. Sedangkan penulis memfokuskan pada seja-
rah penyebaran Islam di Pulau Alor, struktur bangunan Masjid
At-Taqwa dan tradisi sosial budaya masyarakat setempat yang
“diislamkan” setelah kedatangan pendakwah dari Ternate.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Susanne Rodemeier
dalam karyanya, Islam in The Protestant Environment of The
5Gomang, Hubungan Antar Etnis di Indonesia, 7.
6Gelar “Sultan” di depannya tidak menunjukkan bahwa dia seorang
raja di Ternate, melainkan gelar kebangsawanan. Bisa jadi dia merupakan
kerabat raja Ternate, sebagaimana gelar “Raja” untuk gelar kebangsawanan
suku Bugis di Kerajaan Melayu Riau, seperti nama Raja Ali Haji. 7Muklis M. Susan, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di
Lerabaing (Kalabahi: Dinas Budaya dan Pariwisata, 2000).
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
493
Alor and Pantar Islands.8 Penelitian Rodemeier mengungkap
tentang sejarah masuknya Islam dan Protestan di Pulau Alor dan
Pulau Pantar. Artikel Rodemeier mengungkap sedikit tentang
nama Kimales Gogo, tokoh sentral dalam penyebaran Islam di
Lerabaing, Pulau Alor, namun tidak menceritakan secara detail
tentang cara dakwah yang dilakukan.
Ada beberapa masalah yang dipertanyakan dalam tulisan
ini: pertama, bagaimana sejarah penyebaran Islam di Pulau
Alor? Kedua, bagaimana Masjid At-Taqwa Lerabaing dibangun?
Ketiga, kearifan lokal apa saja yang dilakukan masyarakat
Lerabaing setelah kedatangan Islam?
Lokasi penelitian rumah ibadah bersejarah ini dilakukan di
Masjid At-Taqwa Lerabaing. Masjid ini terletak di Desa
Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor,
Provinsi NTT. Masjid ini berada di sebelah utara perbukitan
yang curam, yang berbatasan dengan Selat Ombai di sebelah
selatan, sebelah baratnya merupakan perkebunan milik penduduk
setempat dan sebelah timurnya berbatasan dengan sungai Erbah.
Kajian ini merupakan penelitian eksploratif deskriptif
dengan menggunakan pendekatan historis arkeologis. Pendeka-
tan historis dilakukan untuk mendeskripsikan latar belakang
berdirinya masjid. Sedangkan perdekatan arkeologis dilakukan
untuk mendeskripsikan struktur fisik masjid dan makna yang
terkandung di dalamnya.9 Kajian ini juga akan mengungkap
beberapa teori masuknya Islam di NTT, terutama di Pulau Alor.
Teori yang berkembang dalam pola islamisasi suatu wilayah
antara lain: teori perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf,
politik, dan atau seni budaya.10
8Susanne Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor
and Pantar Islands,” Indonesia and the Malay World, Vol. 38, No. 110, 2010,
30. https://doi.org/10.1080/13639811003665363. 9Nyoman Rema and Hedwi Prihatmoko, “Potensi Arkeologi di Pulau
Alor,” dalam Kalpataru, Vol. 25, No. 2, 2016, 109, https://doi.org/10. 24832/
kpt.v25i2. 10
Rosita Baiti, Abdur Razzaq, “Teori dan Proses Islamisasi di
Indonesia,” dalam Wardah, Vol. 15, No. 28, 2014, 142-145.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
494
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masyarakat Lerabaing Alor sebelum Kedatangan Islam
Lerabaing terdiri dari kelompok-kelompok suku sebelum
agama Islam masuk, antara lain: Malangkabat, Murwas, Kuiyas,
Abelwas, dan Magalwas serta pendatang dari kerajaan lain.
Mereka adalah suku-suku terasing yang tinggal di dataran-
dataran tinggi yang tidak begitu banyak mengadakan kontak
dengan dunia luar, mereka hidup secara terpisah. Suku Murwas
tinggal di Sola Timpe, suku Kuiyas tinggal di Kuiman, suku
Abelwas tinggal di Peraman, dan suku Magalwas tinggal di
Manikaboi.11
Kelompok-kelompok suku itu belum banyak mengenal atu-
ran-aturan hidup dalam masyarakat. Anggota kelompok hanya
mengetahui bahwa yang berkuasa ialah orang yang dituakan dan
yang terkuat serta berani menghadapi tantangan-tantangan baik
dari pihak kelompok lain maupun dari alam. Dengan demikian
semua peraturan yang dikeluarkan atau diucapkan oleh orang
kuat tersebut merupakan peraturan bagi anggota kelompok seca-
ra turun-temurun. Namun demikian anggota kelompok tersebut
tidak bisa hidup terlepas dari lingkungan alamnya sehingga
mereka menerima bahwa di samping kekuatan dari si orang kuat
sebagai ketua kelompoknya, ada lagi kekuasaan lain yang lebih
kuat. Mereka percaya bahwa benda-benda di sekelilingnya mem-
punyai kekuatan gaib. Bukan manusia saja tetapi benda-benda
seperti: batu, pohon-pohon, sungai, gua, hutan, laut, makhluk
halus (sosala) dan sebagainya mempunyai penunggu (kekuatan).
Kekuatan tersebut dapat menguasai atau mengatasi kekuatan
manusia.12
Maka dari itu, timbullah kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Suku-suku di sekitar Lerabaing, yakni: Ler, Koilelan,
Kletuwas, Malangkabat, Murwas, Kuiyas, Abelwas dan Magal-
was, sepakat membentuk kerajaan. Rajanya diambil dari suku
yang paling banyak penduduknya dan memiliki tanah datar yang
11
Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di
Lerabaing, 16. 12
SVD Paul Arndt, Agama Asli di Kepulauan Solor (Flores: Puslit
Candraditya Maumere, 2003), 114.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
495
layak dijadikan kota raja, yakni dari suku Kuiyas. Oleh karena
itu, dinamakan Kerajaan Kui. Adapun menteri dan panglimanya
(mantri dan kapitan) diambil dari masing-masing suku. Seperti
beberapa kerajaan yang berada di Alor, raja membentuk badan-
badan pelaksana pemerintah yang diperlukan untuk menyusun
norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat yang
kemudian dikenal sebagai adat. Dengan adanya kerajaan, maka
dalam masyarakat dikenal tiga lapisan golongan atau kelas,
yakni: pertama, golongan atau kelas yang berkuasa terdiri dari
raja dan para pejabat kerajaan (mantri, kapitan, tamukung, opas
dan sebagainya. Kedua, golongan merdeka, ketiga, golongan
budak atau hamba (gur).
Pada umumnya kerajaan-kerajaan di Alor13
melaksanakan
sistem musyawarah dan mufakat dalam pemerintahannya. Hal ini
menunjukkan asas demokrasi. Praktik demokrasi membatasi
seorang raja agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi harus
selalu mengikuti keputusan hasil musyawarah dengan dewan
adat. Penguasa kerajaan-kerajaan tersebut ada yang berhubungan
keluarga melalui perkawinan. Namun dalam mengatur rakyat,
masing-masing bertindak secara otonom. Hal ini membawa
pengaruh perbaikan dalam tata cara pemerintahan.
Umumnya dapat dibedakan antara pola hidup dan pola
berpikir penduduk pesisir dan pedalaman. Penduduk pesisir lebih
banyak mendapat pengaruh dari luar, sedangkan penduduk peda-
laman mempertahankan tradisi atau adat kebiasaannya. Pendu-
duk daerah pedalaman terdiri dari kelompok-kelompok suku
yang dikepalai oleh seorang kepala suku. Dari penuturan masya-
rakat, dapat diketahui bahwa kebudayaan masyarakat yang ada di
wilayah Kerajaan Kui (suku Kui), mendapat pengaruh dari kera-
jaan-kerajaan tetangga di pesisir Alor14
, seperti bentuk rumah,
13
Selain kerajaan Kui, Rodemeier menyebutkan ada 6 kerajaan lain
yang berada di Alor dan sekitarnya, yakni: Kerajaan Pandai, Kerajaan Bara-
nusa, Kerajaan Alor Besar, Kerajaan Solor Watang Lema, Kerajaan Pantar,
dan Kerajaan Labala (Lembata Selatan). Rodemeier, “Islam in the Protestant
Environment of the Alor and Pantar Islands,” 29. 14
Kerajaan-kerajaan yang dimaksud sebagaimana diungkap dalam
catatan kami nomor 13. Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of
the Alor and Pantar Islands,” 29.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
496
cara berpakaian, sistem nilai sosial, sistem kekerabatan, perleng-
kapan hidup dan sebagainya.
Sejarah Masuknya Islam di Lerabaing Alor
Lerabaing adalah sebuah perkampungan tua yang terletak
di wilayah pantai selatan Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupa-
ten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lerabaing telah dikenal
sejak masa pendudukan Portugis di bumi Nusantara. Pada masa
itu, Lerabaing dipergunakan sebagai ibukota Kerajaan Kui dan
benteng pertahanan jika terjadi peperangan antar kerajaan karena
posisi geografisnya yang strategis.
Masuknya ajaran Islam di Lerabaing, diduga terjadi pada
pertengahan Abad XVII, yaitu dengan kedatangan SKG di
Lerabaing. Proses islamisasi di Kampung Lerabaing dapat dika-
takan berjalan dengan baik. Penduduk dari suku Malangkabat
adalah yang pertama memeluk agama Islam. Hal ini terjadi
karena kesaktian dan karomah yang dimiliki oleh SKG sehingga
mampu mempengaruhi mereka. Setelah itu disusul Raja Kui,
tokoh-tokoh masyarakat dan keluarga mereka masing-masing
serta masyarakat setempat. Masuk Islamnya Raja Kui mempu-
nyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi di Pulau Alor, karena
tidak lama setelah itu, keislamannya diikuti oleh suku-suku lain,
selain suku Malangkabat yang sudah lebih dulu masuk Islam.
SKG datang bersama Kalu dan Paju, pengawal pribadinya.
Mereka menggunakan perahu yang bernama Arabaih (Arabiah)
dari Ternate ke Pulau Alor. Mereka mendarat di sebuah pantai
berpasir putih yang terletak di sebelah barat Kampung Lerabaing
pada tahun 1619 M atau 1028 H. Pantai tersebut dikenal dengan
nama pantai Utan Ga. Menurut tradisi lisan masyarakat setempat,
SKG berhasil menendang sebuah batu besar dari pantai ke bukit
sebagai suatu isyarat pendahuluan bahwa niat pengislamannya
akan berhasil. Batu tersebut kini dikenal dengan nama kimales
wor (Batu Kimales).15
Perjalanan SKG menuju Kampung Lerabaing sempat beris-
tirahat di sebuah gua (Barin Lei). Menurut tokoh masyarakat
15
Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di
Lerabaing, 24.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
497
setempat,16
ketika SKG beristirahat, ada beberapa orang pendu-
duk yang secara kebetulan lewat di depan gua dan melihat SKG
yang sedang beristirahat. Lalu mereka melaporkan hal ini kepada
Raja Kui, bahwa mereka melihat orang jahat (anin baka). Raja
memerintahkan beberapa orang dari ketiga suku, yakni suku Ler,
suku Koilelan dan suku Kletuwas, untuk mengusir SKG dan
pengawalnya. Mereka mengadakan penyerangan dengan mema-
kai senjata (busur anak panah dan klewang atau pedang), namun
tidak berhasil melukai atau membunuh SKG. Karena utusan
pertama tidak berhasil membunuh SKG, maka Raja memerintah-
kan orang-orang dari suku Malangkabat untuk menghadapi SKG
secara baik-baik dan mengajaknya untuk pergi ke Kampung
Lerabaing. Karena itu, mereka kelak merupakan orang-orang
pertama yang dibimbing SKG untuk memeluk agama Islam.
Sebelum memasuki kampung Lerabaing, SKG sempat
mengangkat atau menegakkan beberapa buah batu besar di
pinggiran pantai Lerabaing yang hingga kini batu tersebut masih
berdiri kokoh. Saat tiba di Pantai Lerabaing, SKG beristirahat
terlebih dahulu di sebuah gua. SKG tidak langsung masuk ke
Kampung Lerabaing. Kondisi kampung tersebut masih kotor.
SKG meminta agar Raja KUI memerintahkan orang untuk
mengambil air di Sungai Lerabaing. Air tersebut diberikan kepa-
da SKG dan selanjutnya air tersebut didoakan dan disiram di
Kampung Lerabaing. Karena SKG dianggap orang jahat, SKG
disuruh menempati sebuah tempat angker (menurut kepercayaan
penduduk) yang berada di wilayah pemukiman suku
Malangkabat.17
Misi yang dibawa SKG dapat dikatakan berhasil, berkat
kerja sama antara SKG dengan Raja Kui yang bernama Kinanggi
Atamalai. Dakwah ini mendapat dukungan dari penduduk setem-
pat sehingga mereka berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi
16
Wawancara dengan Imam Masjid At-Taqwa, tanggal 31 Mei 2017. 17
Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di
Lerabaing, 11.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
498
perkembangan Islam di Kerajaan Kui. Dalam waktu yang relatif
singkat, penduduk setempat menjadi penganut Islam yang setia.18
Cerita tersebut diungkap secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Tidak ada bukti tertulis yang mengungkap
kedatangan SKG di Pulau Alor. Akan tetapi bukti empiris dan
arkeologis dapat disaksikan secara nyata dalam bentuk masjid,
makam, dan peninggalan-peninggalannya berupa tongkat, pisau
penyembelihan dan sebagainya yang akan dibahas di bawah.
Manuskrip khutbah juga ada, akan tetapi ketika penulis datang ke
sana, pemilik naskah tidak ada di tempat sehingga tidak bisa
diperlihatkan. Tidak ada karya tulis sezaman yang dapat dijadi-
kan kritik sumber tentang cerita ini. Susanne Rodemeier, seorang
sarjana barat yang pernah meneliti ke Pulau Alor dan sekitarnya
juga mendapatkan cerita serupa dari penduduk setempat dan
mengungkapkan hal ini dalam artikelnya. Rodemeier mengata-
kan bahwa cerita ini hanya dongeng belaka yang tidak dapat diuji
validitasnya karena setiap daerah yang dikunjungi memiliki versi
berbeda tentang nama orang dan jumlah mereka yang datang.
Akan tetapi, dia mengakui bahwa para pendakwah itu memang
ada dengan adanya peninggalan berupa Masjid Lerabaing dan
mushaf Al-Qur’an yang sampai saat ini masih ada di tangan
keluarga mereka.19
Mushaf ini ada di tempat lain bukan di
Lerabaing, tetapi di tetangga desa. Mushaf itu dibawa oleh sau-
dara SKG dalam dakwahnya di daerah lain.
Dari cerita rakyat di atas, diketahui bahwa tokoh-tokoh
yang pertama mengenal ajaran Islam adalah tokoh-tokoh masya-
rakat atau kepala-kepala suku, tokoh kampung, dan panglima
perang. Pelaksanaan ibadah salat di masjid ketika itu hanya
diperkenankan bagi tokoh masyarakat tersebut, sementara
masyarakat biasa, melaksanakan ibadahnya di rumah masing-
masing.
18
Tokoh Kimales Gogo ini ternyata diakui oleh sejarawan Protestan
yang menyebutkan bahwa tokoh ini adalah seorang “missionaris” Islam yang
mendakwahkan Islam di Alor, meskipun mereka tidak mempercayai cerita
tentang dakwahnya. Lihat: Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment
of the Alor and Pantar Islands,” 28. 19
Rodemeier, Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the
Alor and Pantar Islands,” 28.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
499
Hal pertama yang diajarkan SKG adalah mengaji Al-
Qur’an. Metode yang digunakan adalah metode mengeja dan
menghafal dengan bahasa Arab. Metode ini diajarkan secara
terus-menerus. Jika mereka sudah lancar membaca huruf Al-
Qur’an (mengaji), maka dianjurkan untuk mengajarkan kepada
keluarganya masing-masing, termasuk kepada para tetangga, dan
sebagainya. Bacaan Al-Qur’an dengan logat bahasa Kui
diajarkan sehingga setiap guru yang mengajarkannya sudah bisa
menyesuaikan dengan kondisi setempat. Makin lama, penduduk
yang sudah bisa membaca Al-Qur’an makin banyak, lalu
diajarkan pelajaran pokok agama Islam yaitu: tauhid, fikih, dan
tasawuf, atau sering disebut dengan syariat, tarekat, hakekat, dan
makrifat. Ajaran pada level-level (tingkatan tarekat, hakekat, dan
makrifat) ini diberikan kepada orang-orang tertentu saja dan
dilakukan secara rahasia.
SKG meninggal pada tahun 1715 M atau 1134 H dan
dimakamkan di bagian utara Masjid At-Taqwa Lerabaing. Beliau
menikah dengan penduduk setempat dan mendapatkan seorang
putra yang meneruskan misi dakwahnya, yaitu Atakuli Gogo.
Setelah Atakuli Gogo wafat, maka datanglah seorang ulama atau
Waliyullah yang berasal dari Pandai (salah satu kerajaaan di
Kabupaten Alor), yaitu Imam Bolan.
Imam Bolan wafat pada usia 100 tahun lebih. Sebelum
wafat, Imam Bolan berwasiat kepada penduduk setempat untuk
tidak menutup kuburnya dengan tanah selama tiga hari dan untuk
sementara ditutup dengan papan. Ia juga menganjurkan kepada
penduduk setempat untuk datang melihatnya setelah beberapa
menit dimakamkan. Setelah melewati beberapa menit (± 5 menit)
mereka pergi melihatnya dan ternyata yang ditemukan hanyalah
kain kafannya, sedangkan jasadnya tidak ditemukan atau meng-
hilang (moksa), akhirnya mereka menutup kuburnya dengan
tanah.
Berdasarkan cerita di atas dapat disimpulkan bahwa teori
yang mengatakan bahwa penyebaran Islam biasanya diawali
dengan perdagangan tidak selalu menjadi pijakan. Salah satu
buktinya adalah islamisasi di daerah Lerabaing, Alor. Baik me-
nurut Susan maupun Rodeimeier sepakat bahwa dakwah di Alor
atas perintah dari Kerajaan Ternate agar SKG dan para penga-
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
500
walnya berdakwah di daerah NTT.20
Para pendakwah tersebut
memiliki ilmu agama yang mumpuni dan memiliki karomah
yang luar biasa sehingga mampu berdakwah kepada penduduk
setempat dengan hal-hal supranatural yang biasa dimiliki oleh
para waliyullah. Selain melalui dakwah, penyebaran Islam juga
melalui perkawinan. Hal ini dilakukan juga oleh SKG dengan
menikahi penduduk setempat yang kemudian mewariskan hirarki
keagamaan yang turun-temurun ke anak cucunya. Islamisasi me-
lalui pendidikan agama dan tasawuf, juga dilakukan oleh SKG
kepada penduduk setempat. Secara politik, SKG mendapatkan
kepercayaan dari Raja Kui untuk menjadi penasehat pribadi Sang
Raja. Beliau juga mewarnai pengembangan seni budaya tradi-
sional yang bercorak animisme dan dinamisme dengan budaya
Islam.21
Sumber: Dokumen Susanne Rodemeier, 1989.22
Gambar 1.
Masjid At-Taqwa Lerabaing sebelum renovasi
20
Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor and
Pantar Islands,” 30. 21
Rosita Baiti, Abdur Razzaq, “Teori Dan Proses Islamisasi di
Indonesia,” 142-145. 22
Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor and
Pantar Islands.”, 32.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
501
Sumber: Dokumen Ali Fahrudin, Masjid At-Taqwa Lerabaing, 2017.
Gambar 2.
Masjid At-Taqwa Lerabaing setelah renovasi
Masjid Lerabaing dan Kearifan Lokal
dalam Penyiaran Islam
Masjid Lerabaing dan Bukti Penyiaran Islam
Rumah ibadah yang pertama kali dibangun oleh SKG
adalah musala kecil yang disebut ropo. Ketika tempat ibadah ini
tidak dapat menampung jamaah, maka timbullah ide untuk men-
dirikan masjid. Untuk mewujudkan ide ini, diutuslah seorang
utusan ke Pulau Andora (Flores), untuk mengetahui konstruksi
masjid di sana. Utusan tersebut berhasil membuat gambar atau
konstruksi masjid dengan cara menganyam dengan memakai
batang-batang bulun (sejenis rumput).
Masjid At-Taqwa Lerabaing didirikan SKG pada tanggal
16 Rabiulawal 1042 H atau tahun 1633 M,23
bersama Raja
Kinanggi Atamalai dengan dibantu empat suku di bawahnya.
Saat hari pertama pembangunan masjid, SKG memerintahkan
23
Tahun pembangunannya tercantum jelas dalam ukiran yang terdapat
pada sudut pagar kayu masjid ini, namun gambarnya hilang dari file penulis.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
502
orang-orang untuk keluar dari Kampung Lerabaing. Setelah
selesai shalat Subuh, SKG mendirikan sendiri 4 (empat) tiang
utama (soko guru) dengan menggunakan media bambu gila
(buryaman). Pada sisi keempat tiang utama tersebut terdapat uki-
ran atau hiasan sesuai motif dari masing-masing suku yang
berada di ibukota Kerajaan Kui, yakni Suku Ler, Suku Koilelan,
Suku Kletuwas, dan Suku Malangkabat. Khusus untuk Suku
Malangkabat ukiran tiang utamanya dikerjakan sesuai dengan
petunjuk atau ilham yang diperoleh dari salah satu sesepuh ma-
syarakat. Pada saat pengerjaannya, dibuat dinding mengelilingi
tiang utama tersebut untuk menghindari peniruan motif dari
suku-suku lain. Setelah dibangun empat tiang utama itu, pendu-
duk diperintahkan untuk kembali ke kampung Lerabaing.24
Masjid tersebut berbentuk rumah panggung atau layang,
tanpa menggunakan paku, hanya menggunakan pasak dan tali
rotan. Dinding pada bagian dasar dipasang papan berukir dan
pada bagian atas menggunakan pelepah pohon enau dan
lantainya menggunakan belahan bambu. Atap Masjid pada saat
pertama kali dibangun menggunakan batang aur (bulu). Pada
panel-panel cungkup (atap) terdapat ukiran yang berbentuk rang-
kaian bunga. Masjid ini berbentuk segi empat sama sisi, luasnya
11 x 11 m². Bangunan masjid yang unik dan spesifik ini
menggambarkan perpaduan antara kebudayaan pra Islam dengan
kebudayaan Islam sehingga Islam mudah diterima oleh pendu-
duk setempat.
Ada beberapa benda bersejarah sebagai bukti peninggalan
SKG yang sampai saat ini masih ada. Benda-benda tersebut
antara lain: 4 tongkat yang kegunaannya antara lain untuk untuk
khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha, dan untuk
memenangkan perang atau tolak bala; 2 buah rotan yang diguna-
kan untuk meluruskan saf dan satu lagi untuk mengusir makhluk
halus serta untuk meredakan angin dan ombak.
Selain itu, ada tiga manuskrip khutbah, masing-masing
digunakan untuk khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, dan khutbah
Idul Adha; ada tiga pisau, masing-masing digunakan untuk pe-
24
Susan, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di
Lerabaing,12.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
503
nyembelihan hewan kurban (2 buah) dan untuk mengkhitan satu
buah; ada dua piring, mangkuk dan cangkir; Juga ada perahu dan
meriam yang dinamakan senjata subhana; Ada satu buah mushaf
Al-Qur’an yang telah rusak; Ada dacin atau alat berupa tongkat
untuk penimbangan zakat fitrah dan daging hewan qurban; Ada
kayu untuk alas kepala hewan pada saat penyembelihan hewan
qurban, dan dua buah tasbih.
Sumber: Dokumen Ali
Fahrudin, Masjid At-Taqwa
Lerabaing,2017.
Gambar 4.
Mimbar dan tongkat
Sumber: Dokumen Ali
Fahrudin, Masjid At-Taqwa
Lerabaing, 2017.
Gambar 3.
Peninggalan SKG: pisau
penyembelihan kurban
dan tasbih
Barang-barang yang disimpan di rumah SKG (Lebah Ou),
antara lain: rotan, pisau penyembelihan hewan kurban, mangkuk,
cangkir, piring, Al-Qur’an, tasbih dan jangkar. Sedangkan tong-
kat, kayu alas kepala hewan, dacin, dan meriam (senjata pem-
bom) yang dinamakan subhana, disimpan di masjid. Adapun teks
khutbah dan pisau khitanan disimpan di rumah Bung Sumpit
(Modin Ou).
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
504
Mimbar Masjid At-Taqwa sangat sederhana berbentuk per-
segi panjang dengan ukuran panjang dan tinggi 200 cm x lebar
75 cm. Mimbar tersebut memiliki dua anak tangga dan satu
tempat duduk khatib. Materialnya terbuat dari bambu dan kayu.
Empat sisi mimbar diberi tabir putih sebagai lambang kesucian.
Bagian atasnya terdapat semacan cungkup segi empat.
Mihrab atau tempat imam menjorok ke dalam untuk uku-
ran satu orang imam. Mihrab tersebut berukuran panjang 120 cm
dan lebar 150 cm. Dinding dan lantai masjid terbuat dari belahan
bambu. Jendelanya ada 7 buah.
Analisis Bangunan Masjid
Masjid At-Taqwa Lerabaing berbentuk bujur sangkar
dengan tipe bangunan berbentuk rumah panggung atau layang.
Bangunan yang mempunyai 4 tiang utama (soko guru) dan 20
tiang penyangga ini mengingatkan pada gaya arsitektur Melayu
tradisional. Pada sisi keempat tiang utama tersebut terdapat
lukisan, ukiran atau hiasan dengan pola-pola hias daun-daunan
dan hiasan geometrik (ilmu ukur). Pola-pola hias daun-daunan
(floral design) ini memiliki persamaan dengan hiasan-hiasan
permadani atau sajadah buatan Persia yang sudah dikenal sejak
abad VI M. Ukiran atau hiasan pada keempat tiang utama itu,
tidak menunjukkan persamaan bentuk, model dan isi tulisan.
Ukiran atau hiasan tersebut menggambarkan tentang lambang
seni atau simbol dari keempat suku yang berada di Lerabaing,
yakni: Suku Ler, Koilelan, Kletuwes dan Malangkabat.
Ukiran tiang utama pada sisi barat daya (ukiran tiang
utama dari Suku Malangkabat) diberi nama ukiran “Apargen atau
bubu,“ yaitu salah satu alat penangkapan ikan yang dibuat dari
bambu. Motif dasarnya mengikuti pola anyaman menyerupai
sulur-sulur anyaman alat penangkapan ikan tersebut sehingga
bisa dilihat secara cermat berlainan dengan motif ukiran atau
hiasan dari ketiga tiang utama lainnya. Pengerjaannya mengikuti
petunjuk atau ilham yang diperoleh salah satu sesepuh dari suku
Malangkabat dan pembuatannya secara rahasia dengan dibuatkan
dinding mengelilingi tiang utama tersebut untuk menghindari
peniruan motif oleh suku-suku lain. Ukiran itu menggambarkan
penghormatan khusus kepada SKG.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
505
Pada puncak keempat tiang utama dipasang papan berukir
sebagai palang. Ukiran pada palang itu menggunakan pola hiasan
dedaunan dan hiasan geometrik. Bagian dasar dinding masjid
juga dipasang papan berukir dengan pola-pola hias yang sama,
yakni pola hias daun-daunan dan geometrik. Apabila diamati
pola-pola hias atau ukiran yang diabadikan oleh para seniman di
Lerabaing, memperlihatkan seni ukir dan seni hias berbentuk
sebuah artefak (benda) makhluk hidup. Namun, mereka mengo-
lah artefak makhluk hidup tersebut dengan menstilir (distyler)
sedemikian rupa dengan pola-pola hias daun-daunan dan hiasan
geometrik sehingga lukisan-lukisan makhluk hidup itu tersamar.
Adapun hukum lukisan-lukisan makhluk hidup tersebut,
para ulama berbeda pendapat. Yusuf al-Qardhawi mengatakan
jika yang digambar itu bukan manusia atau sesuatu yang disuci-
kan oleh agama tertentu atau gambar yang tidak menimbulkan
bayangan seperti patung, yakni yang digambar di kain, tembok,
atau papan maka hukumnya boleh karena tidak ada nas yang
secara tegas mengharamkannya.25
Adapun hadis Rasulullah yang
memerintahkan Aisyah untuk menyingkirkan gambar yang ada
di bantal, menurut sebagian ulama bukan termasuk keharaman,
namun termasuk makruh karena sebagian ulama tersebut
memaknai gambar di bantal sebagai bentuk kemewahan.26
Dengan demikian, lukisan yang terdapat di masjid ini tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Masjid At-Taqwa mempunyai tiga pintu utama, tujuh buah
jendela, dan serambi pada bagian Timur. Serambi tersebut
digunakan sebagai tempat istirahat atau santai pada saat selesai
sembahyang, atau untuk mempersiapkan hidangan pada upacara-
upacara keagamaan. Serambi masjid dipagari dengan papan dan
pada kedua sisi serambi dipasang tangga menuju pintu masuk
masjid. Pada bagian atas tangga terdapat ukiran dengan pola
hiasan dedaunan yang di dalamnya terdapat gambar menyerupai
kadal yang diapit dua ekor burung. Gambar kadal tersamar dalam
25
Tarmizi, Membuat Gambar dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi
UIN Ar-Raniri Aceh (Aceh: UIN Ar-Raniri, 2018), 44. 26
Yusuf Al-Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, ed. Mu’ammal
Hamidi (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), 146.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
506
hiasan daun-daunan. Secara filosofis, gambar kadal menunjuk-
kan bahwa seseorang yang hendak menghadap atau menyembah
Tuhannya haruslah berjalan merangkak (baca: merendahkan
diri) dihadapan-Nya. Secara mitologis gambar kadal mempunyai
nilai mistis. Jika dihubungkan dengan pendirian Masjid Demak
yang dibangun oleh para wali dalam semalam, konon dibantu
oleh binatang-binatang, seperti: kura-kura, katak hijau dan
kadal.27
Sedangkan gambar burung yang tersamar di hiasan
dedaunan, secara filosofis menggambarkan tentang Kemahating-
gian atau Kemahakuasaan Allah serta kemuliaan bagi orang yang
selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Gambar burung mengisya-
ratkan pada keseimbangan antara aspek eksoteris (syariah) dan
aspek esoteris (tasawuf) sebagaimana diumpamakan oleh kaum
sufi, yaitu “terbanglah dengan dua sayap menuju Tuhanmu.“
Dalam ilmu pewayangan Islam, kayon atau gunungan yang biasa
dipakai dalam pertunjukan wayang memiliki hiasan bermacam-
macam binatang, seperti: harimau, banteng, kera, kalajengking,
kijang, ular dan burung yang melambangkan tingkatan nafsu
manusia.28
Burung melambangkan nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang
cenderung pada kesucian.29
Gambar burung juga memiliki
kesamaan dengan lambang kesultanan Ternate yang mengguna-
kan lambang burung dengan dua kepala dan di dalamnya terda-
pat gambar hati yang melambangkan menyatunya dua hati antara
sultan dan rakyatnya.
Simbol naga terletak pada sisi selatan masjid, diletakkan
berdekatan dengan pintu gerbang ke Kampung Lerabaing. Sim-
bol naga, melambangkan kekuasaan dan keperkasaan seorang
raja yang selalu mengayomi dan melindungi rakyatnya. Naga
juga menggambarkan utusan Tuhan, berwujud malaikat yang
27
Effendi Zarkasjih, Unsur Islam dalam Pewayangan (Bandung: Al-
Ma’arif, 1983), 64. 28
Muhajirin, “Dari Pohon Hayat Sampai Gunungan Wayang Kulit
Purwa (Sebuah Fenomena Transformasi Budaya),” dalam Imaji, Vol. 8, No. 1,
2010, 56. https://doi.org/10.21831/imaji.v8i1.66. 29
Effendi Zarkasjih, Unsur Islam dalam Pewayangan, 149.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
507
akan menolong manusia.30
Hal ini memiliki kesamaan dengan
keraton atau kesultanan di Jawa dan Ternate, yang biasanya
menggunakan simbol naga sebagai aksesoris ruangan terutama
pada ukiran lemari dan alat-alat kesenian. Ukiran naga biasanya
dibuat khusus dan diletakan di samping kursi sultan.
Bentuk atau tipe Masjid At-Taqwa Lerabaing, sebagaimana
tipe masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya berbentuk
bujur sangkar, di bagian depan (kadang-kadang di bagian sam-
ping) terdapat serambi dan sebuah ruang yang menjorok keluar
pada sisi barat sebagai mihrab. Bentuk tersebut kiranya masih
mengikuti pola dasar masjid yang pertama didirikan oleh Nabi
Muhammad Saw. di Quba pada tahun 622 M.
Masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya mempu-
nyai atap bersusun atau bertingkat yang berbentuk menyerupai
limas, piramida atau kerucut. Masjid-masjid kuno di Jawa dan
beberapa tempat di luar Jawa mempunyai susunan atau tingkat
bervariasi. Pertama, susun dua, antara lain: Masjid Agung
Cirebon, Masjid Ampel Karangasem Bali31
dan Masjid Gala
Sunan Pandanarang.32
Kedua, susun tiga, antara lain: Masjid
Agung Demak dan Masjid Agung Banda Aceh. Ketiga, Susun
lima, antara lain: Masjid Agung Ternate.33
Masjid At-Taqwa adalah salah satu masjid yang mempu-
nyai susunan atap tingkat dua dari bangunan induk dengan satu
sayap berbentuk piramida. Karena bangunan yang saling dihu-
bungkan, maka mau tidak mau orang akan merujuk pada
Mugatha atau Suntu dalam arsitektur Islam di Timur Tengah dan
India. Bagian atas masjid memiliki atap tumpang berbentuk
30
Marwoto dan Maryono A., “Simbol Arsitektur Kota Religi, Studi
Kasus: Kota Demak,” dalam Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara,
Prosiding Seminar Nasional, Bali: Universitas Udayana, 2013, 39-49. 31
Asep Saefulah, “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu
Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan,
Vol. 11, No. 2, 2013, 39. 32
Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, “Islamisasi Jawa Bagian
Selatan : Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten,” Jurnal Lektur Keagamaan,
Vol. 11, No. 2, 2013, 49. 33
Uka Tjandrasasmita, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran
(Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 128.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
508
kerucut yang berukuran kecil sangat mirip dengan apa yang
disebut dalam seni rupa Islam sebagai liwan, dan di puncak atap
tersebut dipasang mahkota yang berbentuk kelopak bunga yang
sedang mekar mengingatkan orang agar menjalankan kehidupan
dunia dan akhirat harus berjalan seimbang dan ditujukan atau
dipusatkan pada Tuhan, sebagai sumber dari segala eksistensi.
Panel-panel cungkup (atap) masjid memiliki hiasan berupa daun-
daunan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga
menyerupai bunga seroja. Sedangkan pada pinggiran atap ada
talang air yang menjorok keluar, hiasannya berbentuk pucuk
rebung mengingatkan orang akan adanya nafas Melayu
tradisional.
Lambang atau simbol-simbol tersebut biasanya dipakai
sebagai mahkota pada upacara-upacara adat atau pada saat
kegiatan kesenian seperti lego-lego, dimana setiap laki-laki dan
perempuan dari masing-masing suku menggunakan lambang atau
simbol-simbol tersebut. Biasanya simbol-simbol tersebut dipa-
sang diikat kepala bagian depan atau bagian belakang, atau ditan-
capkan pada ikatan rambut.
Secara tipologis, Masjid At-Taqwa Lerabaing mengikuti
pola bangunan yang berasal dari tradisi masyarakat setempat
yakni berupa rumah panggung, sedangkan bagian atapnya meng-
ikuti tipologi masjid Bali dan Jawa yang susun dua seperti:
Masjid Agung Cirebon, Masjid Ampel Karangasem Bali34
dan
masjid Gala Sunan Pandanarang.35
Bangunan dengan atap susun dalam pengertian arsitektur
Bali disebut Meru. Meru yang lazim pada pura di Bali bertingkat
sebelas. Atas dasar itu, GF. Pijper berpendapat bahwa bangunan
dengan atap susun merupakan kelanjutan tradisi dari Meru.36
Secara umum bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia, melan-
jutkan tradisi bangunan pra Islam (terutama Hindu dan Buddha),
namun secara fungsional terdapat perbedaan yang jelas, antara
34
Asep Saefulah, “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem,” 39. 35
Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, “Islamisasi Jawa Bagian
Selatan: Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten,” 49. 36
Glistin dan Brandes, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran
(Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 128.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
509
lain: arah mihrab menuju ke kiblat, adanya mimbar yang diper-
gunakan khatib dalam berkhutbah, dan adanya menara tempat
azan. Hal-hal tersebut menunjukkan konsepsi tempat ibadah
umat Islam.
Berdasarkan kerangka kronologi di atas, Masjid At-Taqwa
Lerabaing memiliki data penanggalan dibangun pada 16 Rabiul-
awal 1042 H atau tahun 1633 M.37
Hal tersebut sejalan dengan
rincian tipologinya. Secara tipologis, bangunan masjid ini seperti
bangunan-bangunan masjid di Indonesia abad XIV sampai XVII.
Pada abad XVIII dan XIX Masehi, masjid kuno mengalami
perubahan desain, karena masuknya pengaruh Eropa atau Timur
Tengah dan Asia Selatan. Bangunan masjid kuno yang dibangun
di Indonesia pada abad tersebut lebih banyak menunjukan desain
arsitektur Mongol dan Persia.
Pada kedua abad terakhir itu terjadi perubahan komposisi
bahan bangunan dari kayu ke bangunan tembok batu bata.
Umumnya bangunan yang lebih tua lebih banyak menggunakan
bahan bangunan kayu, sedangkan bangunan yang lebih muda
banyak menggunakan tembok batu atau bata.
Tipe atap bersusun pada masjid di Indonesia yang menye-
rupai limas, piramida dan kerucut menunjukkan ciri-ciri
bangunan masjid yang dibangun pada abad XIV sampai XVII M.
Sedangkan bentuk atap masjid dengan kubah menunjukkan ciri
masjid yang lebih kemudian.
Dari uraian di atas, maka Masjid At-Taqwa Lerabaing,
adalah kategori masjid kuno di Indonesia bagian Timur, yang
didirikan antara abad XIV sampai XVII M, tepatnya pada abad
XVII M. Komposisi bahan bangunan Masjid At-Taqwa
Lerabaing berasal dari kayu, dengan susunan atap tingkat dua
berbentuk piramida. Pada bagian atas terdapat atap tumpang
yang berukuran kecil dan di puncak atap tersebut dipasang
kamusan.
37
Tahun pembangunannya tercantum jelas dalam ukiran yang terdapat
pada sudut pagar kayu masjid ini, namun gambarnya hilang dari file penulis.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
510
Masjid sebagai Sarana Pendidikan
Masuknya ajaran Islam di Lerabaing tidak banyak mengu-
bah proses pendidikan yang biasa dilakukan masyarakat. Hanya
saja, pengajaran Al-Qur’an sudah mulai dilakukan dengan cara
orang tua mencarikan guru ngaji bagi anak-anaknya. Kadang-
kadang anak-anak belajar di rumah guru atau guru mengajar di
masjid. Imbalan untuk guru mengaji tergantung dari kerelaan
orang tua murid. Adakalanya gurunya dibayar dengan tenaga si
murid, misalnya dengan membantu gurunya mengambil air, kayu
bakar, dan membersihkan kebun, ada pula dengan cara mem-
berikan imbalan berupa benda seperti hasil pertanian, parang,
seperangkat pakaian shalat dan lainnya. Semuanya tergantung
pada kemampuan orang tua anak.
Sistem yang dipakai dalam mengajar adalah sistem meniru
dan menghafal (metode Bagdadi). Guru duduk menghadapi
murid-muridnya, guru membaca lalu diikuti murid-murid. Mula-
mula mengeja huruf demi huruf dengan tanda bacanya lalu kata
demi kata hingga dapat membaca Al-Qur’an dengan baik. Ketika
mereka sudah mahir membaca, guru mulai mengajarkan pem-
bacaan Al-Qur’an tingkat berikut, yakni membacanya dengan
irama. Irama ini mengandung tingkatan nada yang disebut
(nagham), seperti: bayati, hijaz, jawabul jawab, sikha, dan
hijazkar.38
Dengan demikian, sejak zaman dahulu para ulama
sudah berinisiatif mengajarkan kesenian dalam membaca Al-
Qur’an untuk menggantikan nyanyian-nyanyian yang dilantun-
kan penduduk setempat.
Ejaan para guru dalam mengajarkan muridnya di daerah
tersebut adalah ejaan dalam bahasa Arab, Indonesia (Melayu),
dan ejaan dalam bahasa Kui. Dalam pengajian ini murid-murid
hanya diajarkan membaca, tidak diajarkan menulis. Istilah meng-
ajar seperti ini di Kampung Lerabaing disebut dengan mengaji
pamumpu.
Selain itu, pengajaran juga dilakukan di masjid dengan
adanya ceramah pada waktu malam selesai salat Magrib sampai
38
Saidah Haris Harith, Muhammad Lukman Ibrahim, and Mustaffa
Abdullah, “Ilmu Tarannum Al Qur’an: Sejarah dan Perspektif,” dalam Jurnal
Darul Quran, Vol. 32 No. 19, 2015, 144.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
511
menjelang salat Isya, bahkan berlanjut hingga dini hari dengan
sistem halaqah (murid mengelompok membentuk lingkaran). Isi
ceramah ini menyangkut cerita-cerita sejarah para rasul mulai
dari Nabi Adam As., hingga Nabi Muhammad Saw., atau hikayat
sufistik dan hal-hal lain yang berkaitan dengan syariah dan
sebagainya. Media lain yang dipakai sebagai tempat berdakwah
adalah ketika pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan sebagainya.
Saat itu, para mubalig mengadakan ceramah-ceramah agama
kepada khalayak yang hadir, sebagaimana kebiasaan orang
Indonesia zaman sekarang.39
Kearifan Lokal dalam Penyiaran Islam
Islam mengajarkan bahwa ketertiban sosial akan terjamin
jika peraturan-peraturan syariah ditegakkan, karena peraturan-
peraturan tersebut berfungsi sebagai penjaga ketertiban sosial.
Ketika hukum agama (syariah) Islam diintegrasikan ke dalam
hukum adat, maka terbentuklah suatu konsepsi yang berkembang
di masyarakat Kui yang dikenal sebagai Adam Kamma. Kamma
adalah aturan-aturan Tuhan yang diintegrasikan ke dalam Adam,
yaitu aturan-aturan adat. Syariah dimasukkan sebagai salah satu
unsurnya dan disosialisasikan pada berbagai strata kehidupan
masyarakat pemeluknya. Hal ini berlaku pula pada tatanan
kebudayaan, terutama perkawinan (akad nikah), akikah,
khitanan, faraid (hukum waris), dan sebagainya. Agama Islam
telah mempengaruhi pola-pola budaya mereka. Semua unsur-
unsur budaya masyarakat Kui, dapat disesuaikan dalam Islam.
Nilai-nilai tradisi itu berlanjut dan diselaraskan pula dengan
nilai-nilai Islam. Tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam
tetap dilestarikan, sembari dimasukkan nilai-nilai Islam yang
lebih penting di dalamnya. Strategi dakwah inilah yang diadopsi
dari walisongo.40
Salah satu yang bisa diamati adalah pada kesenian tradisio-
nal masyarakat Kui, seperti lego-lego (dar), yaitu suatu kegiatan
39
Wawancara dengan Imam Masjid At-Taqwa, tanggal 31 Mei 2017 40
Hatmansyah, S.Ag., ME, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo,”
dalam Al-Hiwar: Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol. 3, No. 5, 2017, 93
https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
512
seni yang dilakukan secara bersama-sama (kelompok/suku) de-
ngan membentuk suatu lingkaran dengan berpegangan tangan
dan melantunkan syair-syair yang diiringi dengan irama musik
tradisional (gong dan tambur).41
Kalau kita melihat bentuk seni
ini akan terlihat adanya pola pembagian wilayah kesukuan atau
kekeluargaan dalam lingkaran itu, atau lebih tepatnya dapat
dikatakan pola pendekatan muhrim. Setiap orang yang masuk
lingkaran itu harus satu suku dengannya atau keluarga dekatnya
(muhrim) dan dilarang keras untuk melewati batas wilayah kesu-
kuan dalam lingkarannya. Dalam seni ini, terlihat adanya
penerapan syariah secara sungguh-sungguh.
Selain budaya tradisional ada juga seni budaya Islam,
misalnya barzanji (berisikan salawat Nabi dan puji-pujian kepa-
da Allah), syair-syair atau tembang-tembang yang bercirikan
dakwah, seni musik rebana, gambus, seni suluk, bacaan salawat,
dan sebagainya.42
Perkembangan seni ini mampu beradaptasi
dengan masa di mana pemeluknya bermukim. Ini terlihat pada
upacara-upacara perkawinan, akikah, khitanan, dan acara silatu-
rahmi pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Setiap suku
memberi selamat pada suku lain, mereka melantunkan salawat
Nabi secara bersama-sama menuju suku yang akan diberi
selamat.
Masyarakat Kui juga biasanya melakukan upacara sesuci
yang lebih dikenal dengan mandi safar dan upacara selamatan
atau erba basa. Upacara sesuci atau mandi safar ini dilaksanakan
di bawah pimpinan seorang tokoh agama (Jou atau Imam). Jou
atau Imam menulis doa-doa di atas selembar kain putih, kemu-
dian kain tersebut di gantung di dalam aliran sungai. Setelah itu,
orang-orang disuruh untuk mandi di dalam air tersebut.
Upacara selamatan atau erba basa dilaksanakan setelah
hari raya Idul Fitri. Pelaksanaannya semua penduduk Lerabaing
pergi ke sungai Lerabaing secara bersama-sama dengan memba-
41
Wamanah Hamap Demang, “Eksistensi Tarian Lego-Lego sebagai
Alat Pemersatu Masyarakat,” Skripsi Universitas Muhammadiyah Mataram,
2019, 103. 42
Ahmad Farhan Holidi and Miftahus Surur, “Memasyaratkan Shola-
wat Nariyah di Bumi Nusantara,” dalam Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an
Dan Hadist, Vol. 2, No. 1, 2019, 54. https://doi.org/10.35132/ albayan.v2i1.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
513
wa perlengkapan upacara berupa nasi tumpeng (do lan ma),
ketupat, kleso, daging, ikan, dan sayur-sayuran, serta kue (susur).
Upacara ini dimulai dengan mandi bersama dengan pembagian
wilayah pemandian secara terpisah antara laki-laki dan perem-
puan. Mandi bersama ini sebagai simbol pembersihan atau
penyucian diri bahwa setiap manusia telah kembali menjadi
pribadi yang fitrah atau suci. Kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan doa selamat oleh Jou atau Imam sebagai ucapan
syukur kepada Tuhan, bahwa manusia telah selamat dari perang
melawan hawa nafsu, penyakit, dan bencana. Setelah itu mereka
menikmati hidangan secara bersama-sama. Demikianlah bebera-
pa tradisi masyarakat Lerabaing dalam menjalankan kegiatan
adat istiadat diiringi dengan prosesi keagamaan. Tujuannya
adalah merekatkan tali silaturahim antarwarga dan doa bersama
menjauhkan diri dari bala dan bencana.
PENUTUP
Kajian ini menunjukkan bahwa sejarah masuknya Islam di
Pulau Alor Nusa Tenggara Timur dimulai sejak kedatangan
seorang ulama yang berasal dari Ternate yakni Sultan Kimales
Gogo. Hal ini terjadi pada tahun 1619 M atau 1028 H. Berkat
karomahnya, SKG berhasil mengislamkan Raja Kui yang berna-
ma Kinanggi Atamalai. Ibarat mengambil pohon, jika akarnya
dicabut, maka dahan dan buahnya ikut serta tercabut. Demi-
kianlah yang dilakukan SKG, setelah beliau mengislamkan Raja
Kui, maka seluruh pejabat dan rakyatnya dengan sukarela masuk
agama Islam. Tujuan SKG ke daerah tersebut memang untuk
berdakwah, bukan untuk berdagang. Ini mematahkan teori bahwa
Islamisasi Nusantara diawali dengan perdagangan. Setelah
dakwah masuk, tahap berikutnya sesuai dengan teori yang ada,
yakni menikahi penduduk setempat, mengajarkan ilmu agama,
termasuk tasawuf, masuk dalam politik pemerintahan, dan
mengubah tradisi dan budaya lokal agar tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
SKG bersama penduduk Lerabaing mendirikan Masjid At-
Taqwa pada tahun 1042 H atau 1633 M. Inskripsi tahun pendiri-
annya ini terungkap di salah satu tiang masjid. Pembangunan
masjid dilakukan setelah 14 tahun Islam masuk ke Lerabaing.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
514
Sebelum mendirikan masjid, SKG dan umat Islam mendirikan
salatnya di musala yang disebut ropo. Masjid At-Taqwa ini
dibangun oleh empat suku besar yang bekerja secara gotong
royong mendirikan masjid. SKG membangun sendiri 4 (empat)
tiang utama (soko guru) dengan menggunakan media bambu gila
(buryaman). Masing-masing bambu tersebut diberi ukiran sesuai
kekhasan masing-masing suku. Masjid yang berukuran 11 x 11
m² ini berbentuk segi empat. Atapnya cungkup bertingkat dua,
berbeda dengan Masjid Demak yang memiliki tiga tingkat.
Kearifan lokal yang diintegrasikan antara agama dan adat
istiadat Lerabaing antara lain: a) Peraturan adam kamma, yakni
aturan-aturan Tuhan yang harus dilaksanakan dan disosialisasi-
kan bagi semua strata kehidupan masyarakat pemeluknya. Hal
ini menyangkut pada tatanan kebudayaan, terutama perkawinan
(akad nikah), akikah, khitanan, faraid (hukum waris), dan
sebagainya; b) kesenian tradisional masyarakat Kui, seperti lego-
lego (dar), yaitu suatu kegiatan seni yang dilakukan secara
bersama-sama (kelompok/suku) dengan membentuk suatu ling-
karan dengan berpegangan tangan dan melantunkan syair-syair
yang diiringi dengan irama musik tradisional (gong dan tambur);
c) kesenian tradisi Islam, seperti: barzanji (berisikan salawat
Nabi dan puji-pujian kepada Allah), syair-syair atau tembang-
tembang yang bercirikan dakwah, seni musik rebana, gambus,
seni suluk, bacaan salawat, dan sebagainya; d) upacara sesuci
yang lebih dikenal dengan mandi safar, yang dilaksanakan diba-
wah pimpinan seorang tokoh agama (Jou atau Imam); e) Upacara
selamatan atau erba basa yang dilaksanakan setelah hari Raya
Idul Fitri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arndt, SVD Paul. Agama Asli di Kepulauan Solor. Flores: Puslit
Candraditya Maumere, 2003.
Brandes dan Glistin. Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran.
Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516
515
Demang, Wamanah Hamap. “Eksistensi Tarian Lego-Lego Seba-
gai Alat Pemersatu Masyarakat.” Skripsi Universitas
Muhammadiyah Mataram, 2019.
Gomang, Syarifuddin R. Hubungan Antar Etnis di Indonesia.
Kupang: Tesis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Nusa Cendana, 1993.
Marwoto, Maryono A. “Simbol Arsitektur Kota Religi, Studi
Kasus: Kota Demak.” dalam Reinterpretasi Identitas Arsi-
tektur Nusantara, Prosiding Seminar Nasional, Bali: Uni-
versitas Udayana, 2013.
Al-Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Edited by
Mu’ammal Hamidi. Jakarta: Bina Ilmu, 1993.
Susan, Muklis M. Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya
Masjid di Lerabaing. Kalabahi: Dinas Budaya dan Pariwi-
sata, 2000.
Tarmizi. Membuat Gambar dalam Perspektif Hukum Islam,
Skripsi UIN Ar-Raniri Aceh, 2018.
Tim Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama. Sejarah Islam
untuk Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kucica, 1993.
Tjandrasasmita, Uka. Penelitian Agama, Masalah dan Pemiki-
ran. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Zarkasjih, Effendi. Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung:
Al-Ma’arif, 1983.
Jurnal
Baiti, Rosita dan Abdur Razzaq. “Teori dan Proses Islamisasi di
Indonesia.” dalam Wardah, Vol. 15, No. 28, 2014.
Firmanto, Alfan.“Masjid Kuno di Pulau Haruku Propinsi Maluku
(Kajian Sejarah, Bentuk dan Fungsi).” Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016, 1-28. https://doi.org/10.
31291/jlk.v14i1.470.
Harith, Saidah Haris, Muhammad Lukman Ibrahim, and
Mustaffa Abdullah. “Ilmu Tarannum Al Qur’an: Sejarah
dan Perspektif.” in Jurnal Darul Quran, Vol. 32, No. 19,
2015.
MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH
PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin
516
Hatmansyah,. “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo.” dalam
Al-Hiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol. 03, No.
05, 2017. https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.
Holidi, Ahmad Farhan, Miftahus Surur. “Memasyarakatkan
Sholawat Nariyah di Bumi Nusantara.” Al-Bayan: Jurnal
Ilmu Al-Qur’an dan Hadist, Vol. 02, No. 01, 2019.
https://doi.org/10.35132/albayan.v2i1.54.
Imansyah, Retno Kartini Savitaningrum. “Islamisasi Jawa
Bagian Selatan : Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten.”
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 01, No. 02 (2013): 42–54.
Muhajirin. "Dari Pohon Hayat Sampai Gunungan Wayang Kulit
Purwa: Sebuah Fenomena Transformasi Budaya", dalam
Imaji, Vol. 08, No. 01, 2010. https://doi.org/10. 21831/
imaji.v8i1.6656.
Rema, Nyoman, Hedwi Prihatmoko. “Potensi Arkeologi di Pulau
Alor.” dalam Kalpataru, Vol. 25, No. 02, 2016. https://
doi.org/10.24832/kpt.v25i2.109.
Rodemeier, Susanne. “Islam in the Protestant Environment of the
Alor and Pantar Islands.” Indonesia and the Malay World,
Vol. 38, No. 110, 2010. https://doi.org/10.1080/ 1363981
1003665363.
Rusdiyanto. “Kesultanan Ternate dan Tidore.” dalam Aqlam:
Journal of Islam and Plurality, Vol. 03, No. 01, 2018, 44-
53 https://doi.org/10.30984/ajip.v3i1.631.
Saefulah, Asep. “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem : Salah
Satu Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata.” dalam
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 02, 2013.