marxisme dan masalah kebangsaan · bekerja lebih lama dengan gaji lebih rendah guna meningkatkan...
TRANSCRIPT
1
Introduksi
Masalah kebangsaan – yakni,
penindasan terhadap nasion dan bangsa
minoritas – yang telah menjadi karakter
dari kapitalisme sejak lahir, menempati
posisi yang sentral dalam teori Marxis.
Tulisan-tulisan Lenin khususnya
mengupas masalah yang penting ini
secara rinci, dan tulisan-tulisan ini terus
menyediakan kita fondasi yang kuat
untuk mengatasi isu yang paling
kompleks dan eksplosif ini. Tanpa posisi yang tepat mengenai masalah kebangsaan kaum
Bolshevik tidak akan pernah bisa merebut kekuasaan pada 1917. Kaum proletariat hanya
mampu menyatukan di bawah panji sosialisme kekuatan-kekuatan massa yang dibutuhkan
untuk menumbangkan kekuasaan kaum penindas bila mereka menempatkan diri mereka di
pucuk kepemimpinan semua lapisan masyarakat yang tertindas. Ketidakmampuan untuk
memahami masalah-masalah dan aspirasi-aspirasi dari bangsa-bangsa yang tertindas di
bawah rejim Tsar akan melemahkan perjuangan revolusioner kaum proletariat.
Dua hal fundamental yang merintangi progres umat manusia adalah kepemilikan pribadi atas
alat-alat produksi dan negara bangsa. Tetapi sementara rintangan yang pertama cukuplah
jelas, yang kedua biasanya tidak menerima perhatian yang diperlukan. Hari ini, di tengah
epos kemunduran imperialisme, ketika kontradiksi-kontradiksi dari sebuah sistem sosio-
ekonomi yang sedang membusuk ini telah mencapai limitnya dan sudah tak tertanggungkan
lagi, masalah kebangsaan kembali mencuatkan kepalanya di mana-mana, dengan
konsekuensi-konsekuensi yang paling tragis dan berdarah-darah. Kaum reformis yang tak
berdaya membayangkan kalau masalah kebangsaan telah secara damai mundur menjadi latar
belakang, sebagai sebuah fase perkembangan sejarah yang sudah jauh ditinggalkan oleh umat
manusia. Namun, justru masalah kebangsaan hari ini telah mengambil bentuk yang sungguh
kejam dan beracun, yang mengancam menyeret seluruh bangsa kembali ke barbarisme.
Solusi terhadap masalah kebangsaan adalah sebuah komponen vital dari kemenangan
sosialisme dalam skala dunia.
Tidak ada satu pun negeri – bahkan negeri yang paling besar dan kuat sekalipun – yang bisa
menghindari dominasi pasar dunia yang mencekik. Fenomena yang oleh kaum borjuasi
disebut globalisme ini, yang telah diprediksi oleh Marx dan Engels lebih dari 150 tahun yang
lalu, sekarang telah menjadi kenyataan. Sejak Perang Dunia Kedua, dan terutama selama 20
tahun terakhir, kita dapati intensifikasi divisi kerja dalam skala internasional yang luar biasa
dan pertumbuhan perdagangan dunia yang kolosal, sampai ke tingkatan yang tidak akan
pernah bisa dibayangkan oleh Marx dan Engels. Perekonomian dunia telah tersatukan sampai
ke tingkatan yang tak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Ini adalah
perkembangan yang paling progresif karena ini berarti bahwa kondisi material untuk
sosialisme sedunia hari ini telah tersedia.
Kendali atas ekonomi dunia ada di tangan 200 korporasi internasional terbesar. Konsentrasi
kapital telah mencapai proporsi yang luar biasa. Setiap hari 1,3 triliun dolar AS
menyeberangi perbatasan-perbatasan negara dalam transaksi-transaksi internasional dan 70%
2
dari transaksi ini dilakukan oleh korporasi-korporasi multinasional. Setiap hari perusahaan-
perusahaan monopoli raksasa bersaing mati-matian untuk saling mencaplok satu sama lain.
Miliaran dolar dihabiskan untuk melakukan ini, yang mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi
yang begitu besarnya ke tangan segelintir perusahaan, yang jumlahnya semakin hari semakin
sedikit. Mereka bertingkah seperti kanibal yang buas dan lapar, yang saling memangsa untuk
meraup laba yang lebih besar. Dalam kegilaan kanibalistik ini, kelas buruh selalu menjadi
pihak yang kalah. Segera setelah merger dilakukan, kantor pusat segera mengumumkan
gelombang PHK dan penutupan pabrik dan kantor, dan menekan para pekerjanya untuk
bekerja lebih lama dengan gaji lebih rendah guna meningkatkan laba, dividen, dan bonus para
eksekutif perusahaan.
Dalam konteks ini bukunya Lenin – Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme –
sangatlah relevan hari ini. Lenin menjelaskan bahwa imperialisme adalah kapitalisme pada
periode monopoli dan konglomerat besar. Tetapi tingkatan monopoli pada jamannya Lenin
tampak seperti mainan anak-anak jika dibandingkan dengan hari ini. Pada 1999, jumlah
pengambilalihan perusahaan luar negeri mencapai 5100. Terlebih, ini nilai dari
pengambilalihan ini meningkat 47% dibandingkan pada 1998, mencapai rekor 798 miliar
dolar AS. Dengan uang sebanyak ini kita bisa menyelesaikan masalah-masalah yang paling
mendesak yang dihadapi oleh dunia: kemiskinan, buta huruf, dan penyakit menular. Tetapi
ini mensyaratkan keberadaan sebuah sistem produksi yang rasional, dimana kebutuhan
mayoritas berdiri di atas kepentingan laba dari minoritas. Kekuatan besar yang dimiliki oleh
korporasi-korporasi multinasional raksasa ini, yang semakin hari semakin melebur dengan
negara kapitalis, menghasilkan fenomena yang oleh ahli sosiologi Amerika Wright-Mills
disebut “Military Industrial Complex” dan mendominasi dunia jauh lebih luas daripada yang
pernah terlihat dalam sejarah.
Di sini kita saksikan sebuah kontradiksi yang mencolok. Di atas basis globalisasi, para
apologis borjuis dan terutama kaum borjuis kecil berargumen bahwa negara bangsa sudah
tidak penting lagi. Ini bukan argumen yang baru. Ini argumen sama yang diajukan oleh
Kautsky pada periode Perang Dunia Pertama, apa yang disebut teori “ultra-imperialisme”.
Kautsky berargumen bahwa perkembangan kapitalisme monopoli dan imperialisme akan
berangsur-angsur menghilangkan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Tidak akan ada lagi
perang karena perkembangan kapitalisme itu sendiri akan membuat negara bangsa menjadi
mubazir. Teori yang sama juga diajukan hari ini oleh teoretikus revisionis seperti Eric
Hobsbawm di Inggris. Eks-Stalinis ini telah menyebrang ke sayap kanan dan berargumen
bahwa negara bangsa hanyalah sebuah periode singkat dalam sejarah manusia yang kini telah
lewat. Para ekonom borjuis telah mengajukan argumen yang serupa sepanjang sejarah.
Mereka mencoba menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam sistem
kapitalisme dengan menyangkal keberadaan mereka. Namun justru hari ini ketika pasar dunia
telah menjadi kekuatan dominan di atas bumi antagonisme-antagonisme nasional dimana-
mana mencuat dan mengambil karakter yang meledak-ledak. Masalah kebangsaan jauh dari
selesai dan dimana-mana menjadi intens dan beracun.
Dengan perkembangan imperialisme dan kapitalisme monopoli, sistem kapitalisme telah
tumbuh melampaui batas-batas sempit kepemilikan pribadi dan negara bangsa, yang
memainkan peran yang serupa seperti halnya kekuasaan bangsawan-bangsawan kecil pada
masa kebangkitan kapitalisme. Selama Perang Dunia Pertama, Lenin menulis: “Imperialisme
adalah tahapan tertinggi kapitalisme. Di negeri-negeri termaju kapital telah tumbuh
melampaui batas-batas negara bangsa, telah menggantikan kompetisi dengan monopoli, dan
telah menciptakan kondisi-kondisi objektif untuk sosialisme.”[1]. Siapapun yang gagal
3
memahami kebenaran elementer ini akan menemui dirinya tidak mampu memahami masalah
kebangsaan dan semua manifestasi terpenting pada epos hari ini.
Seluruh sejarah seratus tahun silam adalah sejarah pemberontakan kekuatan produksi
terhadap batas-batas sempit negara bangsa. Dari pemberontakan ini muncul ekonomi dunia,
yang diikuti oleh krisis dunia, Perang Dunia I dan II, dan perang-perang lainnya. Oleh
karenanya gambaran yang dilukiskan oleh Profesor Hobsbawm, gambaran sebuah dunia
dimana kontradiksi-kontradiksi nasional sudah lenyap, adalah fantasi tak berguna. Justru
sebaliknya. Dengan krisis kapitalisme masalah kebangsaan tidak hanya ditemui di negeri-
negeri eks-koloni. Ini juga mulai mempengaruhi negeri-negeri kapitalis maju, bahkan di
tempat dimana sebelumnya masalah ini tampaknya sudah terselesaikan. Di Belgia, salah satu
negeri kapitalisme termaju di Eropa, konflik antara orang Walloon (penduduk Belgia di
bagian Selatan yang berbahasa Prancis) dan Flemish (penduduk Belgia di bagian Utara yang
berbahasa Belanda) telah menjadi sangat intens, dan di bawah kondisi tertentu dapat
memecah Belgia. Di Cyprus ada antagonisme nasional antara orang Yunani dan Turki, dan
konflik yang lebih luas antara negeri Yunani dan Turki. Baru-baru ini masalah kebangsaan di
daerah Balkan hampir menyeret Eropa ke ambang peperangan.
Di Amerika adalah problem rasisme terhadap orang Hitam dan juga orang Hispanik
(penduduk keturunan Amerika Latin). Di Jerman, Prancis, dan negeri-negeri lain kita temui
diskriminasi dan serangan-serangan rasis terhadap kaum imigran. Di negeri-negeri mantan
Uni Soviet masalah kebangsaan telah menjelma menjadi kekacauan yang berdarah-darah dan
perang sipil. Di Inggris, negeri kapitalis tertua, masalah kebangsaan masih belum
terselesaikan, tidak hanya di Irlandia Utara tetapi juga di Wales dan Skotlandia. Di Spanyol,
ada maslah Euskadi, Catalonia, dan Galicia. Di Italia, setelah ratusan tahun unifikasi, Partai
Liga Utara (Lega Nord) mengajukan tuntutan separatisme di Italia, dengan alasan hak
penentuan nasib diri sendiri untuk Italia Utara (Padania). Kesimpulannya jelas. Kita tidak
bisa mengabaikan masalah kebangsaan. Bila kita ingin mengubah masyarakat ini, kita harus
memiliki posisi yang rinci, jelas, dan tepat mengenai masalah kebangsaan. Untuk alasan ini,
kami menulis karya ini untuk kaum buruh dan kaum muda yang ingin memahami
gagasan Marxisme untuk mengubah masyarakat.
4
Masalah Kebangsaan dalam Sejarah
“Di Eropa Barat, epos tahapan pembentukan nasion-nasion borjuis, bila kita kecualikan
perjuangan kemerdekaan Belanda dan nasib negeri kepulauan seperti Inggris, dimulai
dengan Revolusi Prancis [1789], dan umumnya selesai sekitar seratus tahun kemudian
dengan pembentukan Jerman.” (Leon Trotsky, History of Russian Revolution)
WALAUPUN kebanyakan orang berpikir bahwa negara bangsa adalah sesuatu yang alami,
dan oleh karenanya berakar dari masa lalu yang lampau, bila bukan berakar dari darah dan
jiwa manusia, sesungguhnya negara bangsa adalah bentukan manusia yang relatif modern,
yang muncul kira-kira 200 tahun yang lalu. Satu-satunya pengecualian adalah Belanda,
dimana revolusi borjuis pada abad ke-16 mengambil bentuk perang pembebasan nasional
melawan Spanyol, dan Inggris karena posisinya yang unik sebagai sebuah kerajaan
kepulauan, dimana perkembangan kapitalisme dimulai jauh lebih awal daripada yang lain
(dari abad ke-14). Sebelum periode ini, tidak ada nasion, hanya suku, negara-kota, dan
kerajaan. Tidaklah tepat secara ilmiah yang menyebut yang belakangan ini sebagai “nasion”
atau “bangsa”, seperti yang biasanya dilakukan. Seorang penulis nasionalis dari Welsh
bahkan menulis mengenai “bangsa Welsh” sebelum invasi Romawi ke Inggris (pada abad ke-
1). Welsh pada saat itu adalah sekumpulan suku-suku yang tidak berbeda secara fundamental
dengan suku-suku lainnya yang bermukim di kepulauan yang hari ini dikenal sebagai Inggris.
Para penulis nasionalis selalu mencoba menciptakan kesan bahwa “bangsa” (terutama bangsa
mereka sendiri) adalah sesuatu yang sudah ada sejak awal. Pada kenyataannya negara bangsa
adalah sebuah entitas yang berevolusi secara historis. Negara bangsa tidak selalu ada, dan
tidak akan selalu ada di masa depan.
Pada kenyataannya negara bangsa adalah produk dari kapitalisme. Negara bangsa dibentuk
oleh kaum borjuasi yang membutuhkan pasar nasional. Kaum borjuasi harus menghancurkan
halangan-halangan lokal, dengan daerah-daerah lokal yang kecil, dengan pajak-pajak lokal
mereka, tol-tol jalan, sistem keuangan yang beraneka ragam, sistem perhitungan dan
timbangan yang berbeda-beda. Berikut ini adalah ekstrak dari buku Robert Heilbroner, yang
menceritakan perjalanan seorang pedagang Jerman pada tahun 1550:
“Andreas Ryff, seorang pedagang, berjenggot dan bermantel bulu, pulang ke rumahnya di
Baden; dia menulis ke istrinya bahwa dia telah mengunjungi tiga puluh pasar dan kakinya
sakit dari menunggang kuda terlalu lama. Dia bahkan lebih gusar oleh kesulitan-kesulitan
pada saat itu; setiap 10 mil dia harus berhenti untuk membayar uang tol daerah; dari Basle ke
Cologne dia harus membayar 31 uang tol.
“Dan tidak hanya itu saja. Setiap daerah yang dia kunjungi punya mata uang sendiri, aturan
dan regulasi sendiri, hukum sendiri. Di daerah sekitar Baden saja ada 112 ukuran panjang
yang berbeda, 92 ukuran berat gandum dan 123 ukuran volume air, 63 ukuran volume bir,
dan 80 ukuran berat.”[2]
Menghapus partikularisme lokal ini adalah langkah maju yang besar pada saat itu.
Menyatukan kekuatan produksi ke dalam satu negara bangsa adalah tugas historis kaum
borjuasi yang luar biasa progresif. Landasan dari revolusi ini sudah dibangun sejak periode
akhir Abad Pertengahan, di periode kemunduran feodalisme dan kebangkitan kaum borjuasi
di kota-kota yang perlahan-lahan menuntut hak-hak mereka. Para raja medieval
membutuhkan uang untuk perang-perang mereka dan terpaksa mengandalkan pinjaman dari
5
kelas pedagang dan bankir seperti keluarga Fugger dan Medici pada abad ke-15. Tetapi
ekonomi pasar belumnya berkembang sepenuhnya. Yang ada pada saat itu masihlah bentuk
embrionik dari kapitalisme, dengan produksi skala-kecil dan pasar-pasar lokal. Kita belum
bisa berbicara mengenai pasar nasional yang utuh, atau negara bangsa. Elemen-elemen dari
sejumlah negara Eropa modern sudah terlihat dalam garis besar, tetapi ini masih dalam
bentuk yang belum berkembang. Walaupun bangsa Prancis mulai mengambil bentuk sebagai
akibat dari perang ratusan tahun dengan Inggris, tetapi peperangan-peperangan ini
berkarakter feodal dan dinastik, dan bukan berkarakter nasional. Para tentara yang berperang
lebih setia pada tuan bangsawan mereka sendiri dan bukan pada Raja Prancis. Para tentara
ini, walaupun datang dari wilayah yang sama dan menggunakan bahasa yang sama, mereka,
lebih menganggap diri mereka sebagai orang Brenton, Burgundy, dan Gascogne, alih-alih
orang Prancis.
Kesadaran nasional yang sesungguhnya muncul hanya perlahan-lahan, dan penuh susah
payah, selama beberapa abad. Proses perkembangan kesadaran nasional ini bersandingan
dengan kebangkitan kapitalisme, ekonomi uang dan munculnya pasar nasional; contohnya
perdagangan wol di Inggris pada akhir Abad Pertengahan. Membusuknya feodalisme dan
kebangkitan monarki absolut, yang mendorong perkembangan borjuasi dan perdagangan
untuk kepentingan mereka sendiri, mempercepat proses ini. Seperti yang dijelaskan oleh
Robert Heilbroner:
“Pertama, unit-unit politik nasional di Eropa muncul secara perlahan-lahan. Di bawah
hantaman perang tani dan penaklukan kerajaan, keberadaan feodalisme awal yang terisolasi
digantikan dengan monarki yang tersentralisir. Dan dengan terbentuknya monarki datanglah
pertumbuhan semangat kebangsaan; yang pada gilirannya berarti dukungan monarki untuk
industri-industri tertentu, seperti industri tekstil di Eropa, dan perkembangan armada dan
angkatan bersenjata dengan semua industri-industri satelit mereka. Aturan-aturan dan
regulasi-regulasi yang beraneka ragam yang membebani Andreas Ryff dan para pedagang
lainnya digantikan dengan hukum nasional, ukuran standar, dan mata uang standar.” (Ibid., p.
34.)
Masalah kebangsaan, dari sudut pandang sejarah, oleh karenanya, berhubungan dengan
periode revolusi borjuis demokratik. Masalah kebangsaan, dilihat dari sudut pandang ini,
bukanlah bagian dari program sosialis, karena seharusnya masalah kebangsaan sudah
diselesaikan oleh kaum borjuasi dalam pergulatannya melawan feodalisme. Kaum borjuasilah
yang menciptakan negara bangsa. Pada masanya pembentukan negara bangsa adalah
perkembangan yang sungguh progresif dan revolusioner. Dan ini tidak dicapai secara damai
dan tanpa perjuangan. Bangsa Eropa yang pertama, yakni Belanda, dibentuk pada abad ke-16
sebagai hasil dari revolusi borjuis yang mengambil bentuk peperangan pembebasan nasional
melawan Spanyol. Di Amerika Serikat, negara bangsa lahir di atas basis peperangan
pembebasan nasional yang revolusioner pada abad ke-18 dan dikonsolidasikan melalui
perang sipil yang berdarah-darah pada 1860an. Di Italia negara bangsa juga dicapai melalui
perang kemerdekaan. Unifikasi Jerman, yang merupakan tugas progresif pada saat itu,
dipimpin oleh Bismarck dengan cara-cara reaksioner, di atas basis peperangan dan kebijakan
“darah dan besi”.
Revolusi Prancis
Pembentukan negara bangsa modern di Eropa (dengan pengecualian Belanda dan Inggris)
dimulai dengan Revolusi Prancis [1789]. Sampai pada saat itu, negara bangsa identik dengan
6
kerajaan. Bangsa adalah properti dari kerajaan yang berkuasa. Bentuk legal yang kuno ini
diwariskan dari feodalisme, dan berbenturan dengan kondisi-kondisi baru yang menyertai
kebangkitan kelas borjuasi. Untuk merebut kekuasaan kaum borjuasi harus mengajukan
dirinya sebagai perwakilan rakyat, yakni sebagai perwakilan seluruh Nasion. Seperti yang
dikatakan Robespierre: “Dalam negara aristokrasi, kata patrie [nasion atau tanah air] tidak
memiliki makna apapun selain bagi keluarga patrisian [bangsawan] yang telah merebut
kedaulatan ini. Hanya di bawah demokrasi maka negara menjadi patrie bagi seluruh individu
di dalamnya.” (Maximilien Robespierre, Report on the Principles of Public Morality, 5
February 1794)
Prinsip pertama dari Revolusi Prancis adalah sentralisasi. Ini adalah prasyarat untuk
keberhasilannya dalam perjuangan hidup-mati melawan rejim lama yang didukung oleh
seluruh Eropa. Di bawah panji “Republik, satu dan tak terpecahkan”, Revolusi Prancis
menyatukan Prancis untuk pertama kalinya menjadi sebuah bangsa, dan menyapu ke samping
semua partikularisme lokal dan separatisme dari suku Breton, Norman, dan Provencal.
Pilihan lainnya adalah disintegrasi dan kematian revolusi itu sendiri. Perjuangan berdarah-
darah di Vendée adalah perang melawan separatisme dan reaksi feodal. Penumbangan
Keluarga Bangsawan Bourbon[3] memberikan dorongan besar bagi pertumbuhan semangat
kebangsaan di seluruh Eropa. Pada periode pertama, teladan yang ditunjukkan oleh rakyat
revolusioner Prancis dalam menumbangkan tatanan monarki feodal lama menjadi inspirasi
dan titik pusat kekuatan revolusioner dan progresif di seluruh Eropa. Kemudian, tentara
revolusioner Republik Prancis terdorong untuk meluncurkan ofensif melawan kekuatan
Eropa lama yang bersatu di bawah kepemimpinan Inggris dan Tsarisme Rusia untuk
meremukkan revolusi. Kekuatan revolusioner berhasil memukul mundur kekuatan-kekuatan
reaksi di setiap front, dan dengan demikian menunjukkan di hadapan seluruh dunia kekuatan
dari rakyat revolusioner dan nasion yang bersenjata.
Tentara revolusioner Prancis membawa semangat Revolusi Prancis kemanapun mereka
berangkat, dan membawa pesan revolusioner ke wilayah-wilayah yang didudukinya. Di fase
kenaikan revolusi, tentara Republik Prancis tampil di hadapan rakyat Eropa sebagai
pembebas. Supaya bisa mengalahkan tatanan yang lama, mereka terdorong untuk
menyerukan kepada massa rakyat di seluruh Eropa untuk meluncurkan transformasi
revolusioner yang sama yang telah berlangsung di Prancis. Ini adalah sebuah perang
revolusioner, yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Perbudakan dihapus di
koloni-koloni Prancis. Pesan revolusioner dari Deklarasi Hak-hak Manusia[4] di mana-mana
menjadi pekik yang memproklamirkan akhir dari penindasan feodal dan monarki. Seperti
yang dijelaskan oleh David Thompson, seorang sejarawan dari Inggris:
“Mereka [orang Prancis] mendapat bantuan dari penduduk lokal [dari wilayah-wilayah yang
diduduki mereka], dan sisi destruktif dari kerja mereka sering kali disambut dengan cukup
baik. Hanya setelah para penduduk lokal ini menemukan bahwa tuan-tuan Prancis mereka
sama seperti penguasa lama mereka maka mereka menerima dengan penuh semangat gagasan
pemerintahan otonomi. Gagasan bahwa “kedaulatan rakyat” harus mengarah ke kemerdekaan
nasional adalah hasil tidak langsung dari okupasi Prancis; makna awalnya, untuk menghapus
privilese dan membuat hak-hak manusia menjadi universal, menyatu dengan implikasi baru
ini hanya sebagai hasil dari penaklukan. Kaum revolusioner Prancis menyebar liberalisme
dengan sengaja tetapi menciptakan nasionalisme dengan tidak sengaja.” (David Thompson,
Europe after Napoleon)
7
Keletihan dan degenerasi Revolusi Prancis menghasilkan kediktatoran Napoleon Bonaparte,
seperti halnya degenerasi dari negara buruh Uni Soviet yang terisolasi lalu berakhir dengan
kediktatoran Bonapartis Stalin. Pesan demokratik revolusioner yang sebelumnya dipelintir
dan dibengkokkan menjadi ambisi dinastik dan imperial Napoleon, yang terbukti fatal bagi
Prancis. Akan tetapi, bahkan di bawah Napoleon, kendati dalam bentuk yang terdistorsi,
sejumlah pencapaian Revolusi Prancis masih dipertahankan dan menyebar ke seluruh Eropa,
dengan hasil-hasil revolusioner, terutama di Jerman dan Italia.
“Pencapaian-pencapaiannya yang paling destruktif adalah yang paling permanen. Napoleon
memperluas dan menyebar pengaruh Revolusi Prancis dengan menghancurkan feodalisme di
negeri-negeri Eropa Barat, di Jerman, dan di Italia. Feodalisme sebagai sebuah sistem
pemerintahan, dimana kaum bangsawan berkuasa di atas kaum tani, diakhiri; feodalisme
sebagai sebuah sistem ekonomi, dimana kaum tani harus membayar upeti feodal kepada
kaum bangsawan, diakhiri, walaupun sering kali untuk kompensasi dan perlindungan. Klaim-
klaim Gereja tidak dibiarkan menghalangi reorganisasi ini. Kelas menengah dan kaum tani
menjadi, seperti halnya kaum bangsawan, subyek negara, dimana semuanya harus membayar
pajak. Sistem pemungutan pajak dibuat lebih adil dan efisien. Gilda-gilda tua dan oligarki
kota dihapus; tarif-tarif internal dihapus. Dimana-mana kesetaraan yang lebih besar, dalam
artian karier yang terbuka untuk orang-orang bertalenta, diresmikan. Angin modernisasi
menghembus ke seluruh Eropa selama kampanye penaklukan Napoleon. Dia berhasil
menaklukkan Eropa Barat dan menjadikannya wilayah-wilayah satelit yang terjajah dan
tunduk, dan dengan demikian membebaskannya dari sistem pemerintahan yang kuno dan
privilese-privilese, dari divisi teritorial yang sudah usang.” (David Thompson, Europe after
Napoleon)
Tetapi kekuasaan Napoleon adalah sebuah anugerah dan juga kutukan pada saat yang sama.
Untuk menghindari kenaikan pajak di Prancis, Napoleon menuntut pembayaran pajak yang
besar di wilayah-wilayah yang ditaklukkannya. Kendati semua kemajuan sosial, kekuasaan
Prancis tetap adalah penjajahan dari pihak asing. Seperti yang dikatakan dengan sangat bijak
oleh Robespierre, tidak ada yang menyukai misionaris dengan bayonet. Invasi Prancis secara
tak terelakkan menyulut perang-perang pembebasan nasional, yang pada akhirnya
melemahkan pencapaian-pencapaian yang sebelumnya. Kekalahan Napoleon di Rusia dan
kehancuran angkatan bersenjata Prancis adalah sinyal untuk gelombang pemberontakan
nasional melawan Prancis. Di Prusia [Jerman], seluruh bangsa bangkit dan mendorong raja
Frederick William III untuk mengobarkan peperangan melawan Napoleon. Dari chaos
peperangan Napoleonik yang berdarah-darah dan pemecah-belahan negeri-negeri pemenang
setelahnya, kita dapati kebanyakan negeri-negeri modern Eropa seperti yang kita kenal hari
ini.
Masalah Kebangsaan Setelah 1848
Tahun 1848 adalah titik balik untuk masalah kebangsaan di Eropa. Di tengah kobaran api
revolusi, aspirasi nasional rakyat Jerman, Cekoslowakia, Polandia, Italia, dan Hungaria yang
selama ini terkekang akhirnya terdorong ke depan dengan tajam. Bila saja revolusi 1848
berhasil menang, akan terbuka jalan untuk menyelesaikan masalah kebangsaan di Jerman dan
lainnya secara demokratik. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Engels, revolusi
1848 dikhianati oleh kaum borjuis kontra-revolusioner. Kekalahan revolusi 1848 berarti
masalah kebangsaan harus diselesaikan dengan cara yang lain. Salah satu penyebab
kekalahan revolusi 1848 adalah manipulasi masalah kebangsaan (misalnya masalah
kebangsaan Cekoslowakia) untuk tujuan reaksioner.
8
Di Jerman, masalah kebangsaan dapat diekspresikan dalam satu kata: unifikasi. Setelah
kekalahan revolusi 1848, wilayah Jerman tetap terpecah-pecah menjadi sejumlah negeri-
negeri dan provinsi-provinsi kecil. Ini adalah halangan yang luar biasa besar untuk
perkembangan kapitalisme di Jerman, dan oleh karenanya juga menghambat perkembangan
kelas buruh. Unifikasi oleh karenanya adalah tuntutan yang progresif. Tetapi masalah siapa
yang akan menyatukan Jerman dan dengan cara apa adalah hal yang penting dan sentral.
Marx berharap bahwa tugas unifikasi Jerman akan dicapai lewat bawah – yakni oleh kelas
buruh dengan metode revolusioner. Tetapi ini tidak terjadi. Karena kaum proletariat gagal
menyelesaikan masalah ini secara revolusioner pada 1848, ini diselesaikan secara reaksioner
oleh Junker Bismarck[5] yang reaksioner.
Metode utama yang digunakan Junker Bismarck untuk menyelesaikan masalah kebangsaan
adalah perang. Pada 1864, Austria dan Prusia bersatu untuk mengalahkan Denmark. Denmark
kehilangan propinsi Schleswig-Holstein, yang setelah tarik ulur antara Austria dan Prusia
akhirnya disatukan ke Jerman pada 1865. Setelah melakukan manuver untuk
mengesampingkan Prancis dari konflik ini, Bismarck kemudian beraliansi dengan Italia untuk
melawan Austria. Ketika Austria dikalahkan di pertempuran Königgrätz pada Juli 1886,
dominasi Prusia atas Jerman menjadi terjamin. Dengan demikian, unifikasi Jerman tercapai
secara reaksioner, melalui militerisme Prusia. Ini memperkuat posisi militerisme Prusia dan
rejim Bonapartisnya Bismarck, dan menyemai benih perang-perang baru di Eropa. Oleh
karenanya, cara bagaimana masalah kebangsaan diselesaikan, oleh kelas mana dan untuk
kepentingan siapa, bukanlah masalah sepele dan tidak penting bagi kelas buruh. Ini saja
sudah cukup untuk menjelaskan mengapa kita tidak boleh hanya menjadi pemandu sorak
untuk kaum nasionalis borjuis dan borjuis kecil – bahkan ketika mereka sedang
menyelesaikan sebuah tugas yang secara objektif progresif. Di setiap saat sudut pandang
kelas harus dipertahankan.
Secara objektif, unifikasi Jerman tentu saja adalah sebuah perkembangan yang progresif,
yang didukung oleh Marx dan Engels. Tetapi ini tidak berarti bahwa kaum sosialis Jerman
harus mendukung Bismarck. Marx selalu menentang Bismarck yang reaksioner, tetapi ketika
Bismarck berhasil menyatukan Jerman, Marx dan Engels dengan sangat enggan hati
terdorong untuk mendukung unifikasi Jerman sebagai sebuah langkah maju, karena unifikasi
ini akan memfasilitasi unifikasi kelas proletariat Jerman. Engels menulis ke Marx pada 25
Juli 1886: “Hal ini [unifikasi Jerman] memiliki sisi baiknya karena ini menyederhanakan
situasi; ini membuat revolusi menjadi lebih mudah dengan menyudahi perseteruan antara
kapital-kapital kecil dan akan mempercepat perkembangan... Seluruh negeri-negeri kecil akan
tersapu oleh gerakan, tendensi kedaerahan yang paling buruk akan menghilang dan partai-
partai pada akhirnya akan menjadi partai nasional dan bukan lagi partai daerah...
“Menurut saya, oleh karenanya, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah
menerima kenyataan ini, tanpa memberinya justifikasi, dan menggunakan, sebisa mungkin,
organisasi dan unifikasi nasional yang lebih besar dari kelas proletariat Jerman yang
merupakan hasil dari unifikasi Jerman ini.”
Unifikasi Italia
Sebuah situasi yang serupa dapat ditemui di Italia. Pada akhir 1850an, kendati banyak usaha
untuk mencapai unifikasi, Italia tetap terpecah belah dan tunduk di bawah Austria, yang telah
menganeksasi wilayah utaranya. Selain itu, beberapa negeri kecil, termasuk Kerajaan
Bourbon dari Dua Sisilia (Italia Selatan dan Sisilia) dilindungi dari revolusi oleh pasukan
9
Austria yang siap mengintervensi. Negara Papal (Negara Kepausan)[6] di Italia Tengah ada
di bawah “perlindungan” Prancis. Hanya kerajaan kecil Sardinia, yang berbasis di daerah
Savoy dan Piedmont, yang bebas dari dominasi Austria. Di bawah kepemimpinan Count
Cavour[7], seorang diplomat dan negarawan ulung, Kerajaan Sardinia-Piedmont yang
konservatif perlahan-lahan memperluas pengaruh dan wilayah mereka, dan menendang
keluar Austria.
Bersandingan dengan oposisi dari Kerajaan Piedmont terhadap Austria kita temui juga
gerakan nasionalis yang radikal dan revolusioner, yang tergabung di dalamnya beraneka
ragam kaum republiken, kaum demokrat dan kaum sosialis. Kekuatan-kekuatan ini dapat
ditemui di setiap propinsi Italia dan juga di pengasingan. Perwakilan yang paling terkemuka
dari anasir ini adalah Mazzini[8]. Gagasan-gagasannya yang penuh kebingungan dan ambigu
bersesuaian dengan watak gerakan yang dia wakili. Sebaliknya, Cavour, yang memimpin
Piedmont di Italia Utara, adalah ahli manuver yang licik dan culas. Dengan intrik diplomatik
yang tipikal, dia pertama-tama mendapatkan izin dari Inggris dan Prancis untuk bergabung
dengan ekspedisi militer mereka ke Krimea untuk melawan Rusia pada 1855. Lalu, dengan
diam-diam dia menjanjikan kaisar Prancis Napoleon III wilayah Nice dan Savoy, dan sebagai
imbal baliknya Prancis akan memberi bantuan pada Piedmont bila terjadi perseteruan dengan
Austria. Perang pecah pada 1859 dan ini adalah titik mula dari unifikasi Italia. Ada
pemberontakan di semua daerah milik bangsawan dan Negara Papal. Bersama dengan
Prancis, tentara Piedmont memenangkan sebuah pertempuran menentukan melawan Austria
di Solferino. Unifikasi Italia tampak tak terbendung. Tetapi ini tidak sesuai dengan
kepentingan Louis Bonaparte, yang segera menandatangani gencatan senjata dengan pasukan
Austria yang sedang mundur, dan dengan demikian Prancis mencampakkan Piedmont dan
kaum revolusioner Italia.
Akhirnya, perang kemerdekaan Italia diselamatkan oleh pemberontakan di Sisilia, yang
menyambut datangnya pasukan Garibaldi[9] yang terdiri dari 1000 sukarelawan dengan baju
merah. Setelah memenangkan pertempuran untuk merebut Sisilia, pasukan Garibaldi
menyerang Italia Selatan dan memasuki Naples. Persatuan Italia oleh karenanya tercapai
dengan cara revolusioner dari bawah, tetapi buah persatuan ini dituai oleh pihak lain. Cavour,
sang pengintrik, membujuk London dan Paris bahwa akan lebih baik menerima dinasti
Piedmont yang konservatif sebagai penguasa Italia daripada menunggu semua Italia jatuh di
bawah kendali kaum revolusioner dan republiken. Pasukan Kerajaan Piedmont yang
reaksioner memasuki Naples tanpa perlawanan. Garibaldi, alih-alih melawan pasukan
Piedmon, membuka gerbang kota dan menyambut Raja Piedmon, Victor Emmanuel, pada 26
Oktober dan menyanjungnya sebagai “Raja Italia”. Dengan cara demikian, rakyat Italia hanya
meraih setengah kemenangan, alih-alih kemenangan penuh atas tatanan lama yang mereka
bayar dengan darah mereka.
Alih-alih Republik, yang didapat oleh Italia adalah monarki konstitusional. Alih-alih
demokrasi, yang didapat oleh Italia adalah hak pemilu yang terbatas, yang mengecualikan 98
persen rakyat. Paus diperbolehkan meneruskan kekuasaannya di Negara Papal sebagai
konsesi pada Louis Bonaparte. Namun, kendati semua ini, unifikasi Italia adalah sebuah
langkah maju yang besar. Seluruh Italia tersatukan, kecuali Venisia, yang tetap berada di
bawah kontrol Austria dan Negara Papal. Pada 1866, Italia bergabung dengan Prusia dalam
perang melawan Austria dan menerima Venisia sebagai imbalan. Akhirnya, setelah kekalahan
Prancis di perang Franco-Prusia (1871), pasukan Prancis mundur dari Roma. Masuknya
pasukan Italia ke Roma menandai kemenangan akhir dari unifikasi Italia.
10
Pada paruh kedua abad ke-19, masalah kebangsaan di Eropa Barat kebanyakan telah
diselesaikan. Dengan unifikasi Jerman dan Italia, setelah 1871 masalah kebangsaan di Eropa
hanya terbatas di Eropa Timur saja, terutama di daerah Balkan yang meledak-ledak, dimana
ambisi teritorial Rusia, Turki, Austro-Hungaria dan Jerman berkelit kelindan, dan akhirnya
meledak menjadi Perang Dunia Pertama. Pada awalnya, terutama dari 1789 hingga 1871,
masalah kebangsaan masih memainkan peran yang relatif progresif di Eropa Barat. Bahkan
unifikasi Jerman di bawah Junker Bismarck yang reaksioner menurut Marx dan Engels
adalah sebuah perkembangan yang progresif. Tetapi pada paruh kedua abad ke-19,
perkembangan kekuatan produktif di bawah kapitalisme mulai melampaui limit-limit sempit
dari negara bangsa. Ini sudah termanifestasikan dalam munculnya imperialisme dan
kecenderungan yang tak terbendung menuju peperangan antara negara-negara besar.
Peperangan Balkan pada 1912-13 menandai selesainya formasi negara-bangsa di Eropa
bagian tenggara. Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles (dengan semboyan “hak
menentukan nasib sendiri dari bangsa-bangsa”) menyelesaikan tugas menghancurkan
kerajaan Austro-Hungari dan memberikan kemerdekaan kepada Polandia.
[1] Lenin, Collected Works, The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-
determination, January-February 1916, vol. 22.
[2] R. Heilbroner, The Worldly Philosophers, hal. 22.
[3] Keluarga Bourbon adalah keluarga bangsawan Eropa yang berasal dari Prancis sejak abad
ke-13. Mereka berkuasa tidak hanya di Prancis, tetapi juga di Spanyol, Naples, Sicily, dan
Parma. Keluarga ini ditumbangkan pada Revolusi Prancis 1789.
[4] Deklarasi Hak-hak Manusia (Déclaration des droits de l'homme et du citoyen) adalah
dokumen yang disahkan oleh Majelis Konstituante Nasional Prancis pada Agustus 1789,
yang merupakan dokumen utama dari Revolusi Prancis.
[5] Otto von Bismarck (1815-1898) adalah Kanselir Jerman yang pertama dari tahun 1871-
1890. Dia adalah politisi yang mendominasi Jerman dan Eropa sejak 1860an, terutama lewat
kepemimpinannya dalam mengobarkan serangkaian perang yang menyatukan Jerman.
[6] Negeri Papal atau Negara Kepausan adalah wilayah di semenanjung Italia yang ada di
bawah pemerintahan daulat langsung dari Paus dan Gereja Katolik, dari abad ke-8 sampai
1870. Gerakan dan Perang Unifikasi Italia akhirnya menyatukan semua wilayah di Italia,
termasuk Negara Papal, menjadi satu negara Italia dan mengakhiri Negera Papal. Dari 1870
hingga 1929, Kepausan tidak memiliki wilayah sama sekali, dan hanya pada 1929 pemimpin
fasis Benito Mussolini memberikan kedaulatan pada Negara Kota Vatikan.
[7] Count Cavour (1810-1861) adalah seorang politisi Italia yang memimpin gerakan
unifikasi Italia. Dia adalah Perdana Menteri pertama Italia, sebuah jabatan yang dipegangnya
hanya selama 3 bulan sebelum dia jatuh sakit dan meninggal akibat penyakit malaria.
[8] Giuseppe Mazzini (1805-1872) adalah seorang politisi, jurnalis dan aktivis dari Italia,
yang berpengaruh besar dalam gerakan unifikasi Italia. Mazzini adalah seorang nasionalis
dan republiken, yang menentang gagasan sosialisme dan perjuangan kelas yang diusung oleh
Marx dan Engels.
11
[9] Giuseppe Garibaldi (1807-1882) adalah seorang politisi, nasionalis dan jenderal dari
Italia, yang dianggap sebagai salah satu dari Bapak Bangsa Italia. Ekspedisi militernya yang
beranggotakan kaum pemberontak berbaju merah adalah salah satu kampanye militer yang
menentukan keberhasilan unifikasi Italia.
12
Marx-Engles tentang Masalah Kebangsaan
Masalah kebangsaan memiliki sejarah
yang sangat panjang dalam teori
Marxisme. Sejak Marx dan Engels kita
sudah dapat menemukan analisa-analisa
yang sangat menarik dan tajam
mengenai masalah ini. Lenin di
kemudian hari memformulasikan teori
kebangsaannya berdasarkan tulisan-
tulisan Marx dan Engels ini. Misalnya,
Marx memeriksa dengan sangat rinci
masalah kebangsaan Polandia dan
Irlandia yang selama abad ke-19 menjadi perhatian utama dari gerakan buruh Eropa. Marx
mendekati masalah kebangsaan bukan sebagai sebuah semboyan yang dogmatis, tetapi secara
dialektis. Dari waktu ke waktu dia mengubah posisinya.
Perbedaan antara cara berpikir dialektis revolusioner dan abstrak ditunjukkan dengan begitu
gamblang dalam perdebatan mengenai masalah kebangsaan antara Marx dan Proudhon pada
saat Internasionale Pertama. Proudhon, seorang sosialis dari Prancis dan salah satu teoretikus
Anarkisme pertama, menyangkal keberadaan masalah kebangsaan. Dalam sejarah
pergerakan, selalu ada kaum sektarian yang menyajikan konsepsi perjuangan kelas secara
abstrak. Mereka tidak memulai dari realitas masyarakat sebagaimana adanya, tetapi bergerak
dalam abstraksi kaku dari dunia imajiner mereka sendiri. Kaum Proudhonis di Internasionale
Pertama menganggap tidak penting emansipasi nasional dari rakyat Polandia, Italia, dan
Irlandia. Bagi mereka satu-satunya hal yang diperlukan adalah revolusi di Prancis dan
semuanya akan menjadi sempurna. Semua orang harus menunggu ini. Tetapi rakyat tertindas
tidak dapat menunggu dan mereka tidak akan menunggu. Pada 1866 Marx menulis ke Engels
dan mengutuk “klik Proudhonis [di Paris] ... yang menyatakan bahwa kebangsaan adalah
sebuah absurditas dan menyerang Bismarck dan Garibaldi. Sebagai polemik melawan
sauvinisme taktik mereka berguna dan dapat dimengerti. Tetapi ketika para pengikut
Proudhon (teman baik saya Lafargue dan Longuet juga termasuk di antara mereka)
membayangkan bahwa semua Eropa dapat dan harus duduk diam dan tenang sampai Prancis
menghapus kemiskinan dan kebodohan, maka mereka menjadi konyol.”[1]
Di Internasionale Pertama, Marx harus bertempur di dua front. Di satu pihak, melawan kaum
nasionalis borjuis-kecil seperti Mazzini, dan di pihak lain melawan pengikut semi-anarkis
Proudhon yang sama sekali menyangkal keberadaan masalah kebangsaan. Pada 20 Juni,
1866, Marx menulis: “Kemarin ada diskusi di Dewan Umum Internasionale mengenai perang
yang sedang berlangsung ... Diskusi ini mengerucut, seperti yang sudah bisa diprediksi, ke
„masalah kebangsaan‟ secara umum dan sikap yang harus kita ambil mengenai masalah ini ...
Perwakilan dari „Paris Muda‟ (non-buruh) maju dengan pernyataan bahwa semua kebangsaan
dan bahkan nasion adalah prasangka yang usang. Stirnerisme[2] yang dicampur dengan
Proudhonisme ... Seluruh dunia menunggu sampai Prancis matang untuk revolusi sosial...”
Tetapi walaupun Marx dan Engels memberikan perhatian yang besar pada masalah
kebangsaan, mereka selalu menganggap masalah kebangsaan subordinat pada “masalah
kelas buruh” – yakni mereka selalu melihat masalah kebangsaan dari sudut pandang kelas
buruh dan revolusi sosialis.
13
Masalah Polandia
Seperti Lenin, Marx memiliki posisi yang fleksibel dalam masalah kebangsaan, yang selalu
dia dekati dari sudut pandang kepentingan umum proletariat dan revolusi internasional. Pada
1840-1860an, Marx tidak hanya menyerukan hak menentukan nasib sendiri bagi Polandia
tetapi bahkan menyerukan kemerdekaan bagi Polandia. Ini diserukan oleh Marx walaupun
gerakan kemerdekaan Polandia saat itu dipimpin oleh kelas aristokrasi yang reaksioner.
Tetapi alasan Marx mengambil posisi ini bukan karena perasaan sentimentil terhadap
nasionalisme, dan juga bukan karena dia melihat hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi
universal untuk semua masalah.
Di salah satu karyanya, The Foreign Policy of Russian Tsarisme, Engels menunjukkan
bagaimana rakyat Polandia, lewat perjuangan heroik mereka melawan Tsar Rusia, dalam
beberapa kesempatan menyelamatkan Revolusi di Eropa. Misalnya pada 1792-94 ketika
Polandia dikalahkan oleh Rusia, tetapi dengan demikian Revolusi Prancis terselamatkan.
Tetapi masalah Polandia memiliki sisi lain. “Pertama-tama, Polandia, yang sama sekali kacau
balau, adalah sebuah republik dari kaum bangsawan, yang dibangun di atas perampokan dan
penindasan kaum tani, dengan konstitusi yang membuat mustahil semua tindakan nasional,
dan oleh karenanya membuat negeri ini mangsa empuk bagi para tetangganya. Sejak awal
abad ke-19, negeri ini hanya eksis, seperti yang dikatakan oleh orang Polandia sendiri,
melalui kekacauan ... ; seluruh negeri ini biasanya diduduki oleh pasukan asing, yang
menggunakan negeri ini sebagai rumah makan dan minum ... dimana mereka biasanya lupa
membayar.”[3]
Selama abad ke-19, masalah Polandia menempati posisi sentral dalam perpolitikan Eropa dan
juga memiliki pengaruh yang besar pada gerakan buruh. Pada Januari 1863 rakyat Polandia
bangkit memberontak. Insureksi ini menyebar ke seluruh Eropa dan berakhir dengan
terbentuknya sebuah pemerintahan nasional. Tetapi kepemimpinan insureksi ini ada di tangan
kaum bangsawan kecil, yang tidak mampu memobilisasi massa untuk bergabung dalam
pemberontakan ini. Ketika kekuasaan beralih ke tangan kaum tuan tanah besar, yang
belakangan ini meraih persetujuan dengan Tsar Rusia, dengan harapan Prancis dan Inggris
akan mengintervensi. Tetapi Tsar Rusia segera melanggar perjanjian ini. Gerakan
pemberontakan ini diremukkan oleh Rusia. Inggris dan Prancis tidak melakukan apa pun.
Tetapi pemberontakan Polandia membangkitkan simpati dan solidaritas dari kaum buruh
seluruh Eropa. Internasionale Pertama dibentuk pada 1863 dari inisiatif internasional untuk
membantu gerakan revolusioner di Polandia. Engels menulis bahwa satu-satunya harapan
bagi insureksi Polandia adalah kelas buruh Eropa. Dia menulis ke Marx pada 11 Juni 1863,
“Bila mereka bisa bertahan, mereka dapat bergabung ke dalam gerakan Eropa yang lebih luas
yang akan menyelamatkan mereka; di lain pihak, bila situasinya memburuk Polandia akan
habis dalam 10 tahun – sebuah insureksi semacam ini menghabiskan tenaga rakyat untuk
bertahun-tahun.”[4]
Sikap Marx terhadap masalah Polandia ditentukan oleh strategi revolusioner umumnya untuk
revolusi dunia. Pada saat itu Rusia Tsar adalah musuh utama kelas buruh dan demokrasi –
sebuah kekuatan reaksioner raksasa di Eropa, khususnya di Jerman. Karena tidak ada kelas
buruh di Rusia pada saat itu, tidak ada kemungkinan segera untuk revolusi di Rusia. Seperti
yang ditulis Lenin di kemudian hari, “Rusia masih dorman dan Polandia sedang
bergejolak”.[5] Oleh karenanya Marx mendukung kemerdekaan Polandia sebagai cara untuk
menghantarkan pukulan terhadap musuh utama, yakni Tsarisme Rusia. Tetapi pada 1851
Marx sudah menarik kesimpulan yang pesimis mengenai Polandia yang dipenuhi oleh kaum
14
bangsawan yang lembam, dalam kata lain dia skeptis terhadap prospek keberhasilan insureksi
yang dipimpin oleh aristokrasi Polandia.
Dari ini saja kita bisa melihat dengan jelas bagaimana bagi Marx dan Lenin tuntutan hak
menentukan nasib sendiri dan masalah kebangsaan umumnya selalu menempati posisi yang
subordinat terhadap perjuangan kelas dan perspektif revolusi proletariat. Bagi kaum Marxis,
tidak pernah menjadi kewajiban yang absolut untuk mendukung setiap gerakan kemerdekaan.
Marx, yang awalnya mendukung kemerdekaan Polandia, menentang keras kemerdekaan
untuk Cekoslowakia, dan juga menentang apa yang disebut gerakan pembebasan di daerah
Balkan pada paruh kedua abad ke-19. Dua posisi yang di permukaan tampak kontradiktif
pada kenyataannya dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan revolusioner yang sama.
Marx paham bahwa, sementara kemenangan rakyat Polandia akan menjadi pukulan besar
terhadap Tsarisme Rusia yang akan memiliki implikasi revolusioner, gerakan nasional Slav
Utara digunakan oleh Tsarisme sebagai alat kebijakan ekspansinya di Balkan. Seperti yang
begitu sering terjadi dalam sejarah, perjuangan bangsa-bangsa kecil digunakan sebagai
recehan untuk manuver-manuver dari negeri-negeri besar yang reaksioner. Siapapun yang
gagal memahami sisi ini niscaya akan jatuh ke perangkap reaksioner.
Pada akhir hidupnya, Engels, dengan kemampuannya yang luar biasa untuk melihat jauh ke
depan, memprediksi gejolak revolusioner di Rusia: “Dan di sini kita sampai pada inti dari
semua permasalahan yang ada. Perkembangan internal Rusia sejak 1856, yang didorong oleh
Pemerintah, telah menyelesaikan tugasnya. Revolusi sosial telah memberikan dorongan besar
pada negeri ini. Rusia semakin hari semakin terBaratkan; sistem manufaktur modern, mesin
uap, rel kereta, transformasi semua bentuk pembayaran menjadi pembayaran uang, dan
dengan ini fondasi-fondasi masyarakat yang lama runtuh dengan kecepatan yang semakin
cepat. Tetapi pada tingkatan yang sama berkembang pula ketidaksesuaian antara rejim Tsar
yang despotik dengan masyarakat baru yang sedang terbentuk ini. Partai-partai oposisi –
konstitusional dan revolusioner – bermunculan, yang hanya dapat dikendalikan oleh
Pemerintah dengan cara yang semakin hari semakin kejam. Dan diplomasi luar negeri Rusia
akan gemetar ketakutan ketika harinya tiba dimana rakyat Rusia akan menuntut agar didengar
suaranya, dan ketika mereka tidak lagi punya waktu ataupun keinginan untuk mengurusi
fantasi-fantasi mereka seperti penaklukan Konstantinopel, India dan seluruh dunia karena
mereka disibukkan mengurusi masalah-masalah dalam negeri mereka sendiri. Revolusi 1848,
yang berhenti di perbatasan Polandia, sekarang sedang mengetuk pintu Rusia, dan Revolusi
ini kini memiliki banyak sekutu di dalam Rusia yang akan menunggu momen yang tepat
untuk membuka lebar-lebar pintu tersebut.”[6]
Sungguh sebuah analisa yang luar biasa! Sedini tahun 1890, 15 tahun sebelum Revolusi
Rusia yang pertama, dan 27 tahun sebelum Revolusi Oktober, Engels telah memprediksi
peristiwa-peristiwa besar ini, dan juga menghubungkan nasib masalah kebangsaan di Eropa
ke Revolusi Rusia. Engels terbukti benar. Seperti yang dijelaskan oleh Lenin di kemudian
hari, sejak 1880an slogan kemerdekaan Polandia sudah bukan lagi slogan yang tepat karena
perkembangan kelas buruh di Rusia telah membuat riil prospek Revolusi di Rusia.
Perang Franco-Prusia
Di bawah pengaruh Marx dan Engels Internasionale Pertama mengambil posisi
internasionalis yang prinsipil dalam semua isu fundamental. Posisi Internasionale tidak hanya
teoretis tetapi juga praktis. Misalnya, ketika ada pemogokan di satu negeri, para anggota
15
Internasionale akan beragitasi dan menjelaskan isu pemogokan tersebut di negeri-negeri lain
guna mencegah digunakannya scab (buruh outsource) dari luar negeri.
Seperti yang sudah kita bicarakan di atas, salah satu problem utama yang dihadapi kelas
buruh pada paruh pertama abad ke-19 adalah unifikasi Jerman. Marx dan Engels terpaksa
memberikan dukungan kritis pada unifikasi Jerman, walaupun tindakan yang secara objektif
progresif ini dilakukan oleh Bismarck yang reaksioner dengan cara-cara yang reaksioner
pula. Tetapi ini bukan berarti berkapitulasi ada Bismarck atau mencampakkan posisi kelas.
Internasionale Pertama awalnya menganggap perang Franco-Prusia 1870-71 sebagai sebuah
perang defensif oleh Jerman. Rejim Napoleon III yang reaksioner ingin menghalangi
unifikasi nasional Jerman dengan paksa. Tetapi dia salah perhitungan. Tentara Prusia dengan
begitu mudah meremukkan pasukan Prancis yang sudah terdemoralisasi, seperti pisau panas
memotong mentega.
Perang Franco-Prusia adalah contoh bagaimana Marx memiliki posisi yang fleksibel dan
revolusioner dalam masalah kebangsaan. Pada fase awal peperangan dia memberikan
dukungan kritis pada Prusia, ketika perang ini memiliki karakter yang sepenuhnya defensif
dari sudut pandang Prusia. Di sini posisi Marx ditentukan bukan oleh pertimbangan
sentimental yang dangkal, karena dia secara pribadi membenci rejim Prusia Bismarck yang
reaksioner. Posisinya ditentukan oleh kepentingan proletariat dan revolusi internasional. Di
satu pihak, kemenangan Prusia akan menyatukan Jerman, yang merupakan tugas yang
progresif secara historis. Di lain pihak, kekalahan Jerman akan berarti tumbangnya rejim
Bonapartis Louis Bonaparte, yang akan membuka perspektif perkembangan revolusioner di
Prancis. Ini juga akan memukul Tsarisme Rusia yang bersandar pada pemerintahan
Bonapartis di Paris untuk membuat Jerman tetap terpecah belah dan lemah. Inilah mengapa
awalnya Marx mendukung Prusia dalam perangnya melawan Prancis, kendati kenyataan
bahwa kemenangan Prusia akan memperkuat rejim Bismarck – setidaknya untuk sementara.
Tetapi pernyataan umum ini bukanlah kata akhir. Setiap saat kita harus mendekati masalah
kebangsaan dari sudut pandang kelas. Bahkan ketika perjuangan nasional memiliki konten
progresif, kaum proletariat harus mempertahankan kemandirian kelasnya dari kaum borjuasi.
Selama peperangan Marx mengubah posisinya. Ketika Louis Bonaparte telah ditumbangkan
(pada Oktober 1870) dan sebuah republik diproklamirkan di Prancis, karakter perang Franco-
Prusia dari sudut pandang Prusia berubah dari perang pembebasan nasional menjadi perang
ofensif terhadap rakyat Prancis. Dari sisi Jerman, perang ini sudah tidak lagi progresif dan
Marx mengecamnya. Perampasan wilayah Prancis di Alsace-Lorraine oleh Prusia adalah
tindakan yang reaksioner, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tugas unifikasi Jerman. Ini
hanya memperparah kebencian nasional antara Prancis dan Jerman, dan membuka jalan ke
pembantaian imperialis di kemudian hari pada 1914-18 (Perang Dunia I).
Kekalahan yang diderita oleh pasukan Prancis dengan segera memantik revolusi di Prancis,
yakni Komune Paris yang megah. Marx sebelumnya menganjurkan kepada kaum buruh Paris
untuk menunda revolusi ini, tetapi segera setelah buruh Paris bergerak Marx mendukung
sepenuhnya Komune Paris. Pada titik ini karakter perang Franco-Prusia telah berubah.
Masalah kebangsaan bagi Marx selalu subordinat pada perjuangan kelas. Ketepatan dari
posisi ini bisa dilihat dari bagaimana kelas penguasa bertindak di setiap perang. Tidak peduli
seburuk apa antagonisme nasional antara kelas penguasa dari negeri-negeri yang berperang,
mereka selalu bersatu untuk mengalahkan kelas buruh. Dan dalam kasus perang Franco-
Prusia dan Komune Paris, para jenderal Prusia membiarkan musuh mereka, yakni pasukan
Versaillese yang reaksioner, menyerang Paris dan membantai kaum Kommunard.
16
Marx dan Irlandia
Seperti halnya Polandia, begitu juga dengan Irlandia posisi Marx ditentukan oleh
pertimbangan revolusioner. Walaupun Marx bersimpati dengan rakyat Irlandia yang
tertindas, dia selalu mengkritik keras para pemimpin nasional borjuis dan borjuis-kecil. Sejak
awal Marx dan Engels menjelaskan bahwa pembebasan nasional Irlandia terkait kelindan
dengan masalah emansipasi sosial, terutama penyelesaian revolusioner terhadap masalah
agraria. Analisis yang tajam dan jernih ini penting untuk perjuangan pembebasan nasional
secara umum, dan tidak hanya di Irlandia.
Di sebuah surat untuk Eduard Bernstein pada 26 Juni 1882, Engels menunjukkan bahwa
gerakan Irlandia memiliki dua tren: 1) gerakan agraria radikal yang meledak menjadi aksi
langsung kaum tani yang spontan dan menemukan ekspresi politiknya dalam demokrasi
revolusioner; 2) “oposisi liberal-nasional kaum borjuasi kota.” Ini berlaku untuk gerakan tani
di semua periode. Gerakan tani hanya bisa berhasil selama gerakan ini menemukan
kepemimpinan di pusat-pusat kota. Di bawah kondisi modern hari ini, ini berarti kaum
borjuasi atau kaum proletariat. Tetapi kaum borjuasi sepanjang sejarah telah menunjukkan
ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang
dikedepankan oleh revolusi borjuis-demokratik, termasuk di dalamnya masalah kemerdekaan
nasional. Irlandia adalah contoh klasik.
Inti dari posisi Marx adalah perspektif federasi sukarela dari Irlandia, Inggris, Skotlandia,
dan Wales. Perspektif ini selalu terkait dengan perspektif perebutan kekuasaan oleh kelas
buruh. Ini, pada gilirannya, menuntut dipertahankannya persatuan kelas buruh. Engels
menulus pada Januari 1848:
“Rakyat Irlandia harus berjuang dengan gigih, dan dengan bersekutu dengan kelas buruh
Inggris dan kaum Chartist, untuk memenangkan enam poin Piagam Rakyat (People‟s
Charter) – parlemen tahunan, pemilihan umum universal, pemilihan dengan kertas suara,
penghapusan syarat kepemilikan properti untuk anggota parlemen, gaji anggota parlemen,
dan pembentukan distrik pemilihan yang setara. Hanya setelah enam poin ini dimenangkan
maka Pembatalan [Serikat] akan menguntungkan Irlandia.”[7]
Sejak awal, Marx dan Engels meluncurkan perseteruan yang keras kepala melawan kaum
liberal nasional kelas-menengah seperti Daniel O‟Connell, yang mereka kecam sebagai
penipu dan pengkhianat rakyat Irlandia. Di kemudian hari mereka memberikan dukungan
kritis terhadap kaum Fenian[8] borjuis-kecil. Ini adalah posisi yang tepat pada saat itu karena
gerakan buruh belumlah eksis di Irlandia, yang sampai pada awal abad ke-20 masih
merupakan masyarakat agraria. Tetapi Marx dan Engels tidak pernah bertingkah seperti
pemandu sorak kaum Fenian. Mereka selalu mengambil posisi kelas yang independen.
Mereka mengkritik keras taktik-taktik avonturis kaum Fenian, kecenderungan teroris mereka,
kesempitan nasional mereka dan penolakan mereka untuk bersatu dengan gerakan buruh
Inggris. Walaupun kaum Fenian adalah sayap termaju dari gerakan demokratik revolusioner
Irlandia, dan bahkan menunjukkan kecenderungan sosialis, Marx dan Engels tidak memiliki
ilusi terhadap mereka. Pada 29 November 1867, Engels menulis ke Marx:
“Mengenai kaum Fenian, kamu cukup benar. Kekejaman Inggris tidak boleh membuat kita
lupa bahwa para pemimpin sekte ini kebanyakan dungu dan setengah-penindas, dan kita sama
sekali tidak boleh membuat diri kita bertanggung jawab atas kebodohan-kebodohan yang
kerap ditemui di setiap konspirasi. Dan mereka pasti akan terjadi.”
17
Engels terbukti benar. Dua minggu kemudian, pada 13 Desember 1867, sekelompok kaum
Fenian meledakkan bom di Penjara Clerkenwall di London dengan tujuan membebaskan
kamerad-kamerad mereka yang dipenjara, dan usaha ini gagal. Ledakan ini menghancurkan
rumah-rumah di sekitar dan melukai 120 orang. Tidak heran insiden ini melepaskan
gelombang sentimen anti-Irlandia di antara rakyat Inggris. Esok harinya Marx menulis ke
Engels dengan nada marah:
“Aksi kaum Fenian yang terakhir ini di Clerkenwall adalah hal yang sangat bodoh. Rakyat
London, yang telah menunjukkan simpati besar pada Irlandia, akan dibuat murka oleh insiden
ini dan terdorong ke pelukan partai pemerintah. Kita tidak bisa berharap kaum proletariat
London membiarkan diri mereka dibom demi para duta kaum Fenian. Konspirasi rahasia dan
melodramatik semacam ini akan selalu menjatuhkan korban.”
Beberapa hari kemudian, pada 19 Desember, Engels membalas surat Marx: “Insiden bodoh di
Clerkenwell ini jelas adalah kerjaan beberapa orang fanatik; semua konspirasi selalu berakhir
dengan kebodohan macam ini, karena „bagaimanapun juga sesuatu harus terjadi,
bagaimanapun juga sesuatu harus dilakukan‟. Khususnya di Amerika banyak keributan
mengenai pemboman dan pembakaran, dan lalu beberapa orang dungu datang dan
memprovokasi kekonyolan ini. Terlebih lagi, orang-orang liar ini biasanya adalah orang yang
paling penakut, seperti Allen ini, yang tampaknya sudah menjadi saksi mata pemerintah, dan
lalu gagasan membebaskan Irlandia dengan membakar toko jahit London!”
Bila Marx dan Engels bisa mengutuk dengan begitu keras kaum Fenian, bayangkan apa yang
akan mereka katakan mengenai taktik-taktik teroris IRA (Irish Republican Army)[9] selama
30 tahun terakhir ini, yang aksi-aksi terorisnya jauh lebih dahsyat sehingga membuat aksi
kaum Fenian tampak seperti mainan anak-anak. Aksi terorisme individual ini tidak
melemahkan negara borjuis, tetapi justru memperkuatnya. Aksi terorisme individual juga
memecah belah kelas buruh dan melemahkan kelas buruh, dan ini memberinya watak yang
sangat reaksioner. Ini jelas adalah titik terlemah kaum Fenian yang dikritik keras oleh Engels
ketika dia menulis bahwa “di mata para priyayi ini seluruh gerakan buruh adalah murni
terkutuk dan kaum tani Irlandia bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan tahu bahwa kaum
buruh sosialis adalah satu-satunya sekutunya di Eropa.”[10]
Sewajarnya, Marx dan Engels membela para tahanan Fenian dari perlakuan kejam
pemerintah Inggris. Mereka selalu membela hak rakyat Irlandia untuk menentukan nasib
mereka sendiri. Tetapi mereka melakukan ini dari sudut pandang sosialis dan bukan
nasionalis. Marx dan Engels selalu menekankan tautan antara nasib Irlandia dengan
perspektif revolusi Proletarian di Inggris. Pada 1840an dan 1850an, Marx percaya bahwa
Irlandia hanya bisa meraih kemerdekaannya melalui kemenangan kelas buruh Inggris. Tidak
berapa lama kemudian, pada 1860an, Marx mengubah posisinya dan mengadopsi titik
pandang bahwa lebih memungkinkan kalau kemenangan di Irlandia dapat menjadi pemantik
revolusi di Inggris. Bahkan kalau kita baca sekilas saja tulisan-tulisan Marx mengenai
masalah Irlandia kita akan temui bahwa dukungan Marx untuk kemerdekaan Irlandia setelah
1860an ditentukan secara eksklusif oleh kepentingan revolusi proletariat, terutama di Inggris
yang dia anggap sebagai negara kunci untuk keberhasilan revolusi dunia. Di sebuah
komunike konfidensial untuk anggota Dewan Umum Internasionale Pertama, yang ditulis
Marx pada Maret 1870, dia menjelaskan pandangannya seperti berikut:
“Walaupun inisiatif revolusioner kemungkinan akan datang dari Prancis, Inggris sendiri dapat
menjadi pengungkit untuk revolusi ekonomi yang signifikan. Inggris adalah satu-satunya
18
negeri dimana sudah tidak ada lagi kaum tani dan dimana kepemilikan tanah
terkonsentrasikan di segelintir tangan. Inggris adalah satu-satunya negeri dimana mode
produksi kapitalis, yakni pabrik-pabrik besar yang mempekerjakan banyak buruh di bawah
tuan-tuan kapitalis, mendominasi seluruh produksi. Inggris adalah satu-satunya negeri
dimana perjuangan kelas dan pengorganisiran kelas buruh oleh Serikat Buruh telah mencapai
satu tingkat kematangan dan universalitas tertentu. Inggris adalah satu-satunya negeri
dimana, karena ia mendominasi pasar dunia, setiap revolusi dalam hal ekonomi akan dengan
cepat mempengaruhi seluruh dunia. Bila ketuantanahan (landlordism) dan kapitalisme adalah
contoh klasik di Inggris, di lain pihak syarat-syarat material untuk kehancuran mereka
adalah yang paling matang di sini.”[11]
Dari sudut pandangan ini, masalah kebangsaan Irlandia hanyalah bagian dari perspektif
revolusi sosialis sedunia yang lebih luas. Mustahil untuk memahami sikap Marx terhadap
Irlandia di luar konteks ini. Alasan Marx mendukung kemerdekaan Irlandia setelah 1860
adalah Marx telah mencapai kesimpulan bahwa kepentingan kaum tuan tanah Inggris, yang
punya basis terpenting mereka di Irlandia, paling dapat dipatahkan oleh sebuah gerakan
revolusioner yang berdasarkan kaum tani Irlandia dimana tuntutan untuk hak menentukan
nasib sendiri terhubungkan dengan penyelesaian masalah agraria secara radikal. Di komunike
yang sama, Marx menjelaskan:
“Bila Inggris adalah benteng ketuantanahan (landlordism) dan kapitalisme Eropa, satu-
satunya titik dimana kita bisa menghantam Inggris dengan sangat keras adalah Irlandia. Di
tempat pertama, Irlandia adalah benteng ketuantanahan (landlordism) Inggris. Bila ia runtuh
di Irlandia maka ia juga akan runtuh di Inggris. Di Irlandia ini seratus kali lebih mudah
karena perjuangan ekonomi di sana terkonsentrasikan khususnya pada masalah agraria,
karena perjuangan [ekonomi] ini pada saat yang sama adalah perjuangan nasional, dan karena
rakyat di sana lebih revolusioner dan gusar daripada di Inggris. Feodalisme di Irlandia
dipertahankan semata-mata oleh pasukan Inggris. Bilamana persekutuan paksa di antara dua
bangsa ini berakhir, sebuah revolusi sosial akan seketika itu juga meledak di Irlandia,
walaupun dalam bentuk yang kuno. Ketuantanahan (landlordism) Inggris tidak hanya akan
kehilangan sumber kekayaan yang besar, tetapi juga kekuatan moralnya yang terbesar, yakni
kekuatan yang mewakili dominasi Inggris atas Irlandia. Di lain pihak, dengan membiarkan
kaum tuan tanah Inggris berkuasa di Irlandia, kaum proletariat Inggris membuat kaum tuan
tanah yang sama ini kuat tak terkalahkan di Inggris.
“Di tempat kedua, kaum borjuasi Inggris tidak hanya memanfaatkan kemiskinan Irlandia
untuk menekan kelas buruh Inggris dengan imigrasi paksa kaum miskin Irlandia ke Inggris,
tetapi juga memecah belah kaum proletariat menjadi dua kubu yang bermusuhan. Semangat
revolusioner buruh Celtic [Irlandia] tidak sesuai dengan watak buruh Anglo-Saxon [Inggris]
yang kukuh tetapi lamban. Sebalikny di semua pusat industri di Inggris ada antagonisme
yang dalam antara proletariat Irlandia dan proletariat Inggris. Rata-rata buruh Inggris
membenci buruh Irlandia sebagai kompetitor yang menekan upah mereka dan taraf hidup
mereka. Dia memiliki perasaan antipati nasional dan religius terhadap buruh Irlandia. Dia
memperlakukan buruh Irlandia hampir seperti halnya kaum miskin kulit putih di negara-
negara bagian Selatan Amerika Serikat memperlakukan para budak hitam mereka.
Antagonisme di antara proletariat Inggris ini secara artifisial dipelihara dan didukung oleh
kaum borjuasi. Kaum borjuasi tahu bahwa perpecahan ini adalah rahasianya untuk
mempertahankan kekuasaannya.”
Dan Marx menyimpulkan:
19
“Resolusi Dewan Umum [Internasional Pertama] mengenai amnesti Irlandia hanya akan
menjadi introduksi untuk resolusi-resolusi lainnya yang akan mengkonfirmasikan bahwa,
terlepas dari keadilan internasional, transformasi persekutuan paksa (atau penjajahan
Irlandia) yang berlaku hari ini menjadi konfederasi yang setara dan bebas, bila
memungkinkan, atau pemisahan sepenuhnya bila diperlukan, adalah prasyarat untuk
emansipasi kelas buruh Inggris.”
Perhatikan bagaimana Marx sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata yang digunakannya,
dan bagaimana dengan sangat saksama dia memaparkan posisi proletariat mengenai masalah
kebangsaan. Pertama, masalah Irlandia tidak bisa dipisahkan dari perspektif revolusi sosialis
dunia, dimana ia menjadi bagian integral darinya. Terlebih masalah kebangsaan Irlandia
dilihat sebagai titik awal dari revolusi sosialis di Inggris. Dan setelah itu? Marx tidak
berasumsi bahwa perjuangan pembebasan nasional di Irlandia harus berakhir dengan
pemisahan dari Britania Raya. Dia mengatakan bahwa ada dua kemungkinan: 1) “konfederasi
yang setara dan bebas, bila memungkinkan”, yang jelas dia anggap sebagai prospek yang
lebih baik, atau 2) “pemisahan sepenuhnya”, yang dia anggap mungkin tetapi bukan hasil
yang paling diinginkan. Mana di antara dua kemungkinan ini yang akan menjadi kenyataan
akan tergantung terutama pada tindakan dan sikap dari kaum proletariat Inggris dan
perspektif kemenangan revolusi sosialis di Inggris.
Marx selalu berangkat dari dari sudut pandang revolusi proletariat dan internasionalisme, dan
hanya titik berangkat ini yang menentukan sikapnya mengenai masalah Irlandia dan semua
manifestasi masalah kebangsaan lainnya. Bagi Marx dan Engels, masalah kelas buruh selalu
merupakan masalah yang sentral. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk mereduksi
agitasi dan propaganda mereka mengenai masalah Irlandia menjadi slogan sederhana seperti
“Tarik mundur pasukan” (“Troops Out”), atau menjadi semata-mata penasihat gratis untuk
kaum nasionalis. Sebaliknya mereka meluncurkan perjuangan keras untuk melawan
demagogi kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil yang merusak, dan mereka berjuang
demi persatuan revolusioner kelas buruh Irlandia dan Inggris.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana analisa Marx dan Engels mengenai kaum nasionalis
borjuis dan borjuis-kecil di Irlandia benar adanya. Pada 1922, kaum borjuis nasional Irlandia
mengkhianati perjuangan pembebasan dengan menyetujui partisi atau pemecahan Irlandia
menjadi Irlandia Utara dan Irlandia Selatan. Sejak itu kaum nasionalis borjuis kecil telah
menunjukkan keimpotenan mereka dalam menyelesaikan “masalah perbatasan”. Taktik
terorisme individual, yang dikritik begitu tajam oleh Marx dan Engels, telah terbukti kontra-
produktif dan impoten. Setelah 30 tahun “perjuangan bersenjata”, yang sesungguhnya adalah
terorisme individual, unifikasi Irlandia makin jauh dari gapaian. Satu-satunya cara untuk
menuntaskan apa yang tersisa dari masalah kebangsaan Irlandia adalah kebijakan kelas,
sosialis, dan internasionalis, yakni kebijakan Marx, Lenin dan James Connolly, pejuang dan
martir revolusioner besar Irlandia.
Hanya kelas buruh yang bisa menuntaskan masalah kebangsaan ini, dengan bersatu di bawah
panji program kelas untuk meluncurkan perjuangan keras kepala melawan borjuasi di London
dan Dublin. Prakondisi untuk keberhasilan perjuangan ini adalah persatuan kelas buruh. Ini
tidak akan bisa tercapai di atas garis nasionalis. Nasionalisme borjuis kecil telah melukai
berat persatuan buruh di Irlandia Utara. Luka ini dapat, dan harus, disembuhkan. Tetapi ini
hanya bisa dilakukan dengan pecah sepenuhnya dari nasionalisme dan mengadopsi kebijakan
kelas, dengan membangkitkan kembali semangat Larkin dan Connolly. Masalah kebangsaan
20
Irlandia akan bisa dituntaskan melalui transformasi sosialis, atau ia tidak akan tuntas sama
sekali.
Internasionale Kedua
Didirikan pada 1889, Internasional Kedua tidaklah seperti Internasionale Pertama. Ia terdiri
dari organisasi-organisasi massa: partai-partai Sosial Demokratik dan serikat-serikat buruh.
Kemalangan Internasional Kedua adalah dia dilahirkan di masa kemajuan kapitalisme. Pada
periode 1870-1900 output minyak bumi dunia meningkat dua setengah kali lipat. Rel kereta
api juga meluas dua setengah kali lipat. Jerman dan Amerika Serikat mulai menantang
hegemoni Inggris Raya. Tiap-tiap negeri kapitalis besar berseteru satu sama lain untuk
membagi-bagi dunia. Pertumbuhan industri yang pesat juga berarti pertumbuhan kelas buruh
dan organisasinya. Selama 3 dekade terakhir abad ke-19, kelas buruh di Amerika Serikat dan
Rusia tumbuh lebih dari 3 kali lipat. Di Inggris jumlah anggota serikat buruh tumbuh empat
kali lipat dari 1876 hingga 1900. Di Jerman keanggotaan serikat buruh tumbuh dari puluhan
ribu menjadi jutaan. Dan bersamaan dengan ini keanggotaan, suara, dan pengaruh partai-
partai Sosial Demokratik terus tumbuh.
Tetapi sejak awal, walaupun dalam teori Internasionale Kedua berdiri untuk Marxisme, tetapi
Internasionale yang baru ini tidak memiliki kejernihan teoritik seperti Marx dan Engels. Ini
jelas terlihat dalam masalah kebangsaan. Internasionale Kedua tidak sepenuhnya memahami
masalah kebangsaan, dan masalah ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai di
kongres-kongresnya. Pada 1896, Kongres di London Internasionale Kedua mensahkan
resolusi berikut:
“Kongres ini menyatakan dukungannya untuk otonomi penuh bagi semua nasionalitas dan
simpatinya kepada buruh dari setiap bangsa yang saat ini menderita di bawah penindasan
despotisme militer, nasional dan lainnya; dan menyerukan kepada buruh dari semua bangsa
ini untuk berhimpun, bersama dengan buruh sadar-kelas dari seluruh dunia, untuk
mengorganisir penumbangan kapitalisme internasional dan pendirian sosial-demokrasi
internasional.”[12]
Akan tetapi posisi Internasional Kedua mengenai masalah koloni ambigu dan tidak jelas.
Sayap Kiri Internasionale Kedua cenderung mengambil posisi anti-koloni, tetapi ada
sejumlah anggota yang memberikan justifikasi pada kolonialisme dengan alasan bahwa ini
merupakan “misi menyebarkan peradaban”. Pada debat mengenai masalah kolonial di
Kongres Amsterdam pada 1904, perwakilan dari Belanda van Kol secara terbuka membela
kolonialisme. Dia mengajukan sebuah resolusi yang menyatakan:
“Kebutuhan-kebutuhan baru yang akan terasa setelah kemenangan kelas buruh dan
emansipasi ekonominya akan membuat kepemilikan koloni menjadi sebuah keharusan,
bahkan di bawah sistem pemerintahan sosialis di masa depan nanti ... Apakah kita
diperbolehkan mencampakkan nasib dari setengah dunia ini ke tangan orang-orang yang
masih belum berkembang, yang membiarkan sumber daya alam yang luar biasa besar tak
tersentuh dan tanah yang paling subur tak terbajak?”[13]
Kongres Amsterdam menyambut dengan sangat antusias Dabadhai Naoroji, pendiri dan
presiden Kongres Nasional India. Tetapi dalam resolusinya mengenai India, walaupun
menuntut pemerintahan otonomi, menekankan bahwa India harus tetap di bawah kedaulatan
Britania. Kongres ini tidak mendukung tetapi juga tidak mengecam pandangan van Kol.
21
Dalam perdebatan mengenai imigrasi, sebuah resolusi yang rasis diajukan oleh perwakilan
AS Hillquit dan didukung oleh perwakilan Austria dan Belanda. Namun resolusi ini menuai
badai protes sehingga terpaksa ditarik. Kenyataan bahwa resolusi semacam ini bisa diajukan
di Kongres Internasionale Kedua adalah tanda bagaimana gagasan borjuis dan nasionalis
telah mulai merasuki partai-partai Sosialis.
Revolusi Rusia 1905 memberikan dorongan besar pada revolusi kolonial dan menginspirasi
massa rakyat di Persia, Turki, Mesir dan India untuk berjuang demi aspirasi nasional mereka.
Ini mempertajam perbedaan di antara anggota Internasional Kedua terkait masalah kolonial
dan kebangsaan. Di Kongres Stuttgart pada 1907, dimana Lenin dan Rosa Luxemburg
mengajukan amandemen mereka mengenai masalah perang, ada polemik tajam antara sayap
Kiri (yang pada kenyataannya Sentris) yang diwakili oleh Lebedour dan sayap Kanan, yang
dipimpin oleh Eduard Bernstein, mengenai masalah kolonial. Perwakilan dari Belanda, negeri
imperialis borjuis-kecil, sekali lagi maju sebagai pendukung kolonialisme yang paling keras.
Sayap Kiri menentangnya, tetapi mereka adalah minoritas. Selama perdebatan ini, Bernstein
berkomentar:
“Kita harus meninggalkan mimpi utopis melepaskan koloni-koloni. Konsekuensi final dari
cara pandang seperti ini berarti mengembalikan Amerika Serikat ke orang Indian (gaduh).
Koloni-koloni sudah ada; kita harus menerimanya. Kaum sosialis harus mengakui bahwa
orang-orang beradab harus bertindak seperti pelindung atau wali untuk orang-orang tak
beradab.”
Membantah argumen mengenai peran kolonialisme untuk “menyebarkan peradaban”,
perwakilan dari Polandia, Karski (Julian Marchlewski), membalas: “David telah menekankan
hak satu bangsa untuk menjadi wali bagi bangsa yang lain. Tetapi kami rakyat Polandia tahu
apa arti dari perwalian ini, karena tsar Rusia dan pemerintahan Prusia telah menjadi wali
kami (“Bagus!”) ... David mengutip Marx untuk mendukung argumennya bahwa setiap
bangsa harus terlebih dahulu melalui tahapan kapitalisme, tetapi dia keliru dalam hal ini. Apa
yang Marx katakan adalah bahwa negeri yang telah memulai perkembangan kapitalisme
harus meneruskan proses ini sampai selesai. Tetapi dia tidak pernah mengatakan bahwa ini
adalah prakondisi yang absolut untuk semua bangsa
“Kita kaum Sosialis memahami bahwa ada peradaban lain selain Eropa kapitalis. Kita tidak
boleh congkak akan peradaban kita sendiri, dan juga tidak boleh memaksakannya ke orang
Asia dengan peradaban kuno mereka. (“Bravo!”) David berpikir bahwa koloni-koloni akan
terpuruk kembali ke barbarisme kalau ditinggalkan. Dalam kasus India ini tampaknya tidak
mungkin. Justru saya bayangkan kalau India merdeka maka ia akan terus meraup keuntungan
dari pengaruh peradaban Eropa dalam perkembangannya di masa depan dan dengan cara itu
ia akan tumbuh mencapai potensi penuhnya.”
Pada akhirnya resolusi mengenai India ini tidak diajukan untuk divoting.
Walaupun para pemimpin Internasionale Kedua mencoba menambal keretakan yang ada
dengan berbagai usaha diplomasi, hasil akhir dari semua ini adalah bencana pada Agustus
1914 ketika hampir semua partai Internasionale Kedua – kecuali Rusia dan Serbia –
mengkhianati prinsip internasionalisme dan mendukung perang imperialis (Perang Dunia
Pertama). Absennya kebijakan internasionalis revolusioner yang sesungguhnya akhirnya
terpampang jelas pada musim panas 1914 ketika Internasionale Kedua bertekuk lutut pada
sauvinisme sosial.
22
“Otonomi Nasional-Kultural”
Sebuah varian unik dari masalah kebangsaan diajukan oleh kaum Sosial Demokrat Austria
sebelum meledaknya Perang Dunia Pertama. Mereka membela apa yang disebut teori
otonomi nasional-kultural. Posisi yang sama juga diadopsi oleh kaum Yahudi Bund. Di
Konferensi Sosial Demokrat Austria di kota Brno (1899) gagasan otonomi nasional-kultural
diajukan oleh kaum Slav Selatanm, tetapi ditolak oleh konferensi. Sebagai gantinya
Konferensi mengadopsi slogan otonomi teritorial, yang walaupun tidak memadai tetapi jelas
lebih baik. Kemudian hari, di bawah pengaruh teoretikus sentris Otto Bauer dan kawannya
Karl Renner (yang menulis dengan nama pena Rudolf Springer), Partai mengubah posisinya
dan mengadopsi slogan otonomi nasional-kultural.
Menolak tautan antara bangsa dan teritorial, Bauer mendefinisikan bangsa atau nasion
sebagai “sebuah komunitas karakter yang relatif”.[14] Tetapi apa itu karakter nasional? Bauer
mendefinisikannya sebagai “jumlah total karakteristik-karakteristik yang membedakan rakyat
dari satu kebangsaan dengan rakyat dari kebangsaan lain – yakni karakteristik kompleks dan
spiritual yang membedakan satu bangsa dari yang lainnya.”[15] Definisi semacam ini
hanyalah tautologi: karakter nasional adalah yang membuat satu nasion berbeda dari yang
lain! Dan apa yang membuat satu nasion berbeda dari yang lain? “Karakter seseorang
ditentukan oleh nasib mereka ... Sebuah nasion tidak lain adalah sebuah komunitas nasib
[yang ditentukan] oleh kondisi-kondisi dimana manusia memproduksi kebutuhan hidupnya
dan mendistribusikan hasil kerjanya.”[16]
Sebuah nasion, menurut Bauer, oleh karenanya adalah “sekumpulan orang yang terikat di
dalam sebuah komunitas karakter oleh komunitas nasib.” (Ibid., p. 135.) Renner sementara
mendefinisikan nasion seperti berikut: “Sebuah nasion adalah sebuah persekutuan dari orang-
orang dengan pemikiran dan bahasa yang serupa, nasion adalah sebuah komunitas kultural
dari orang-orang modern yang sudah tidak lagi terikat pada tanah atau wilayah.”[17]
Pendekatan pada masalah kebangsaan seperti ini tidaklah ilmiah, tetapi subjektif dan
“psikologis” – dan bahkan mistis. Ini adalah pendekatan yang oportunis – dan juga gagal –
untuk menuntaskan masalah kebangsaan di kerajaan Austro-Hungaria dengan memberikan
konsesi pada nasionalisme borjuis. Sebaliknya, Marxisme mendekati masalah kebangsaan
dari sudut pandang historis-ekonomik.
Kaum Bolshevik mencari solusi untuk masalah kebangsaan melalui penumbangan rejim tsar
secara revolusioner, sementara kaum Sosial Demokrat Austria mendekati masalah yang sama
dengan semangat reforma remeh temeh dan gradualisme. Bauer menulis: “Oleh karenanya
kita pertama-tama berasumsi bahwa bangsa Austria akan tetap berada dalam persekutuan
politik yang sama yang mana di dalamnya mereka eksis bersama pada saat yang sama, dan
menyelidiki bagaimana bangsa-bangsa dalam persekutuan ini akan mengatur relasi-relasi di
antara mereka sendiri dan dengan negara.”[18]
Setelah tautan antara bangsa dan wilayah diputus, tuntutan yang diajukan adalah
mengelompokkan anggota-anggota dari berbagai bangsa yang berbeda yang bermukim di
wilayah-wilayah yang berbeda ke dalam sebuah persekutuan inter-kelas nasional. Para
anggota dari berbagai kelompok bangsa ini akan mengadakan konferensi bersama dan
memvoting untuk menentukan mereka masuk ke dalam bangsa mana. Orang Jerman, Ceko,
Hungaria, Polandia, dsb. kemudian akan memvoting untuk Dewan Nasional mereka sendiri,
yakni sebuah “parlemen kultural”. Dengan cara demikian kaum Sosial Demokrat Austria
mencoba menghindari benturan terbuka dengan negara Hapsburg[19] dan mereduksi masalah
23
kebangsaan menjadi semata masalah kultural-linguistik. Bauer bahkan mengatakan bahwa
otonomi lokal untuk bangsa-bangsa akan menjadi batu pijakan ke sosialisme, yang akan
“memisah-misahkan umat manusia menjadi komunitas-komunitas yang terbatas secara
nasional” dan “merepresentasikan satu lukisan berpetak-petak dari persekutuan nasional
rakyat dan korporasi.”
Filsafat ini berseberangan dengan prinsip Marxisme yang menganut sudut pandang kelas dan
internasionalis. Gagasan Bauer ini mewakili nasionalisme borjuis kecil yang disamari dengan
frasa-frasa “sosialis”. Karena inilah Lenin sangat kritis terhadapnya. Dia terutama menentang
gagasan pembangunan sekolah-sekolah yang terpisah untuk bangsa-bangsa yang berbeda.
Mengena ini Lenin menulis: “ „Otonomi kultural-nasional‟ secara tidak langsung
merepresentasikan nasionalisme yang paling murni dan oleh karenanya merupakan
nasionalisme yang paling berbahaya. Gagasan ini merusak kesadaran kelas buruh dengan
slogan kebudayaan nasional dan propaganda pemisahan sekolah berdasarkan kebangsaan,
yang teramat berbahaya dan bahkan anti-demokratik. Ringkasnya, program ini jelas
berkontradiksi dengan internasionalisme kaum proletariat, dan hanya bersesuaian dengan
semangat nasionalisme borjuis kecil.”[20]
Pengaruh teori borjuis-kecil ini begitu berbahaya di dalam bidang pendidikan. Maka dari itu
Lenin menentang segala bentuk status privilese untuk bahasa manapun. Dia sangatlah
menentang Otto Bauer dan para pendukung gagasan “otonomi kultural-nasional” yang ingin
mendirikan sekolah-sekolah terpisah untuk anak-anak dari kebangsaan yang berbeda.
“Pelaksanaan secara praktikal rencana otonomi „ekstra-teritorial‟ (di luar dan terpisah dari
wilayah dimana sebuah bangsa tertentu bermukim), atau otonomi „kultural-nasional‟, hanya
akan berarti satu hal: segregasi pendidikan berdasarkan kebangsaan, yakni pengenalan
kurikulum yang berdasarkan kebangsaan ke dalam pendidikan. Kita cukup membayangkan
substansi riil dari rencana Bund yang untuk bisa memahami karakternya yang sepenuhnya
reaksioner, bahkan dari sudut pandang demokrasi, terlebih dari sudut pandang perjuangan
kelas proletariat untuk sosialisme.”[21]
Dari sini kita sudah bisa melihat dengan jelas perbedaan fundamental antara Leninisme dan
nasionalisme borjuis kecil. Kaum Marxis akan berjuang melawan segala bentuk penindasan
nasional, termasuk penindasan linguistik. Setiap orang harus bebas menggunakan bahasanya
masing-masing. Secara umum, tidak ada alasan untuk mempertahankan bahasa “resmi”, atau
memberikan hak istimewa untuk satu bahasa tertentu di atas bahasa yang lain. Memisahkan
anak-anak berdasarkan kebangsaan, bahasa atau agama adalah sepenuhnya reaksioner dan
terbelakang. Segregasi sekolah memainkan peran reaksioner di Afrika Selatan dan Amerika
Serikat. Dan pemisahan anak-anak Katolik dan Protestan di Irlandia Utara juga memainkan
peran yang sama reaksionernya. Agama tidak memiliki tempat dalam sistem pendidikan dan
harus dipisahkan darinya. Bila gereja ingin mengajarkan doktrinnya, mereka harus
melakukannya dengan waktu mereka sendiri dan uang mereka sendiri, yang dikumpulkan
dari jemaah mereka sendiri, dan bukan dari pemerintah. Dan sekolah harus mengakomodasi
pelajar dari kelompok bahasa yang berbeda-beda, dan pendanaan untuk ini harus dicari. Kita
tidak boleh menerima pemisahan anak-anak berdasarkan kebangsaan dan bahasa, yang akan
menciptakan prasangka dan konflik di kemudian hari.
Kebencian rakyat Flemish terhadap rakyat Prancis di Belgia adalah produk dari bergenerasi
diskriminasi terhadap bahasa Flemish dan pemaksaan bahasa Prancis. Akan tetapi ada banyak
variasi dalam masalah penindasan bahasa ini. Di Afrika Selatan justru pengajaran bahasa
pribumi di sekolah, alih-alih bahasa Inggris, adalah bentuk penindasan nasional. Begitu juga
24
di Rusia, perwakilan dari bangsa-bangsa non-Rusia sendiri ingin mengajar anak-anak mereka
bahasa Rusia. Contohnya, di sekolah-sekolah gereja Armenia anak-anak diajar bahasa Rusia,
walaupun ini tidak wajib. Yang ditentang oleh kaum Bolshevik adalah diskriminasi terhadap
bahasa apapun, asimilasi paksa dan pemaksaan bahasa dan kebudayaan dominan. Tidak ada
alasan mengapa satu bahasa harus menjadi bahasa yang dominan. Di Swiss ada tiga bahasa
resmi. Hari ini dengan teknologi modern, tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa
menggunakan bahasa yang kita pilih untuk menerima pendidikan, berkomunikasi di parlemen
atau di pengadilan. Tetapi apa yang tidak dapat diterima adalah pengenalan racun nasionalis
atau religius ke dalam sekolah.
“Wahai kaum nasionalis-sosialis, kaum Marxis memiliki program pendidikan umum yang
menuntut, misalnya, sekolah yang sepenuhnya sekuler. Dari sudut pandang Marxis, keluar
dari program umum ini tidak diperbolehkan di negara demokratik manapun (dan masalah
memperkenalkan mata pelajaran „lokal‟, bahasa, dan sebagainya ke dalam program
pendidikan umum ini akan ditentukan oleh keputusan dari para penduduk di sana). Akan
tetapi dari prinsip bahwa pendidikan „harus ditarik keluar dari pengawasan negara‟ dan
ditransfer ke bangsa-bangsa maka kesimpulannya adalah buruh harus memperbolehkan
„bangsa-bangsa‟ dalam negara demokratik kita untuk menggunakan uang rakyat untuk
sekolah-sekolah agama! Tanpa menyadarinya Tn. Liebmann telah secara terang-terangan
mengekspos watak reaksioner dari „otonomi kultural-nasional‟!”[22]
Mengenai ini, seperti halnya mengenai setiap aspek masalah kebangsaan, kaum Marxis
melawan setiap manifestasi penindasan dan diskriminasi tanpa pengecualian, sembari
mengambil posisi kelas. Maka dari itu, di Belgia, sementara kaum nasionalis Flemish dan
Walloon telah mencoba – sayangnya mereka cukup berhasil – memecah masyarakat Belgia
dan gerakan buruh berdasarkan garis kebangsaan dengan menggunakan masalah bahasa,
kaum Marxis Belgia mengajukan tuntutan-tuntutan transisional mengenai isu bahasa.
Misalnya, kalau ada buruh yang dipaksa untuk belajar bahasa Flemish atau Prancis oleh
majikannya, kaum Marxis akan menuntut agar buruh dibayar penuh oleh perusahaan (gaji
dan juga biaya sekolah) untuk belajar bahasa tersebut, dan ini dilakukan di bawah kontrol
organisasi buruh, dan juga buruh harus mendapatkan gaji yang lebih tinggi untuk
keterampilan baru yang dia pelajari.
Dari semua ini jelas kalau Lenin selalu menekankan pentingnya mendekati masalah
kebangsaan dari sudut pandang kelas. “Slogan demokrasi buruh,” tulis Lenin, “bukanlah
„kebudayaan nasional‟, tetapi kebudayaan demokrasi internasional dan kebudayaan gerakan
kelas buruh dunia.”[23]
Dan lagi:
“Program nasional dari demokrasi buruh adalah: menolak sepenuhnya privilese untuk satu
bangsa atau satu bahasa di atas yang lainnya; penuntasan masalah penentuan nasib-sendiri
dari bangsa-bangsa, yakni pemisahan mereka dengan cara yang sepenuhnya demokratis dan
bebas; meloloskan undang-undang yang mencakup seluruh negeri, yang menyatakan tidak
sah semua kebijakan ... yang dengan cara apapun memberikan privilese pada satu bangsa di
atas yang lainnya, yang melanggar kesetaraan bangsa-bangsa atau melanggar hak dari bangsa
minoritas – dan melalui undang-undang tersebut setiap penduduk punya hak untuk menuntut
pencabutan kebijakan yang tidak konstitusional itu dan menindak pihak yang ingin
mengimplementasikannya.”[24]
25
Watak memecah-belah dari gagasan “otonomi kultural-nasional” secara jelas ditunjukkan
oleh efek buruknya terhadap persatuan buruh di Austria. Setelah Kongres Wimberg, Partai
Sosial Demokratik Austria dipecah menjadi berbagai partai berdasarkan kebangsaan. Alih-
alih satu partai buruh yang tersatukan dimana semua bangsa terwakili, enam partai yang
terpisah dibentuk – Jerman, Ceko, Polandia, Ruthenian, Italia, dan Yugoslavia. Ini
mendorong tersebarnya sentimen sauvinis dan antagonisme nasional dalam gerakan buruh,
dengan hasil yang negatif: Partai Ceko tidak ingin bekerja sama sama sekali dengan Partai
Jerman, dan seterusnya.
Seperti yang biasanya terjadi, kebijakan reformis yang diharapkan praktikal ternyata
menghasilkan kebalikannya. Program otonomi nasional-kultural ditujukan untuk mencegah
pecahnya kerajaan Austria-Hungaria, tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Penumbangan
rejim Hapsburg seharusnya bisa mengarah ke revolusi proletariat, seperti halnya Revolusi
Februari di Rusia. Tetapi kegagalan kelas buruh untuk merebut kekuasaan segera
menyebabkan disintegrasi kerajaan Austria-Hungaria di atas garis-garis nasional. Sementara
kebijakan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri yang diajukan oleh Lenin
berhasil menyatukan kaum buruh dan tani dari kebanyakan bangsa-bangsa yang tertindas, dan
dengan demikian menyiapkan syarat-syarat untuk terbentuknya federasi Soviet. Kebijakan
inilah yang menjadi posisi Bolshevisme, bukan separatisme. Ini secara brilian terbukti setelah
1917.
[1] Marx and Engels, Selected Correspondence, Letter of June 7th, 1866
[2] Max Stirner (1806-1856) adalah seorang filsuf Jerman yang sering dianggap sebagai
perintis pemikiran Nihilisme, Eksistensialisme, teori psikoanalisis, post-modernisme dan
anarkisme, terutama anarkisme individualis. Karya utamanya adalah The Ego and Its Own.
[3] Marx and Engels, Collected Works, vol. 27, hal. 18.
[4] Marx and Engels, Collected Works, vol. 27, hal. 150
[5] The Right of Nations to Self-determination, February-May, 1914
[6] MECW, vol. 27, p. 45.
[7] Engels, Feargus O'Connor and the Irish People, 9 January 1848. Penekanan kami
[8] Kaum Fenian adalah kaum nasionalis Irlandia dari organisasi Fenian Brotherhood dan
Irish Republican Brotherhood pada abad ke-19.
[9] IRA atau Irish Republican Army (Pasukan Republiken Irlandia) adalah kelompok militer
di Irlandia yang berjuang untuk membebaskan Irlandia Utara dari Inggris Raya dan
menyatukan Irlandia. Mereka menggunakan taktik-taktik gerilya urban dan perjuangan
bersenjata (terorisme individual).
[10] MESC, Engels to Marx, 9 December 1869.
[11] See The Minutes of the General Council of the First International, 1868-70
26
[12] Quoted in E.H. Carr, The Bolshevik Revolution, vol. 1, p. 423.
[13] Lenin's Struggle for a Revolutionary Party, p. 5.
[14] Otto Bauer, Die Nationalfrage and die Sozialdemokratie, Vienna 1924, p. 2.
[15] Ibid., p. 6.
[16] Ibid., p. 24.
[17] R. Springer, Das Nationale Problem, Leipzig-Vienna, 1902, p. 35.
[18] Quoted in Stalin, The National Question and Marxism, p. 23.
[19] Monarki Hapsburg menguasai wilayah luas yang mencakup wilayah dari negeri-negeri
yang hari ini dikenal sebagai Austria, Kroasia, Republik Ceko, Hungaria, Italia, Montenegro,
Polandia, Rumania, Serbia, Svolakia, Slovenia, dan Ukraina. Monarki ini berkuasa dari 1526-
1804, dan lalu bertransformasi menjadi Kerajaan Austria (1804-1867) dan Kerajaan Austria-
Hungaria (1867-1918). Negara Hapsburg atau Kerajaan Austria-Hungaria ambruk setelah
kalah Perang Dunia I pada 1918 dan harus menyerahkan lebih dari separuh wilayahnya ke
Pihak Sekutu sebagai pemenang.
[20] LCW, The National Programme of the RSDLP, 15 December 1913, vol. 19.
[21] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December, 1913, vol. 20.
[22] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[23] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[24] Ibid.
27
Lenin tentang Masalah Kebangsaan
“SEMENTARA di negara-negara yang
homogen secara nasional kaum borjuis
revolusioner mengembangkan kecenderungan
sentripetal (persatuan) yang kuat, dan berhimpun
mematahkan partikularisme, seperti di Prancis,
atau menanggulangi perpecahan nasional,
seperti di Italia dan Jerman, sebaliknya di
negara-negara yang heterogen secara nasional,
seperti Turki, Rusia dan Austria-Hungaria,
revolusi borjuis yang terlambat melepaskan kecenderungan sentrifugal (perpecahan).”
Rusia sebelum Revolusi 1917 adalah bangsa yang sangatlah terbelakang, semi-feodal, dan
sangat tergantung pada imperialisme asing. Situasinya serupa dengan banyak negeri Dunia
Ketiga hari ini. Terlebih lagi, masalah kebangsaan menempati posisi sentral dalam kehidupan
politik Rusia. Walaupun rejim Tsar Rusia suka menutupi kebijakan ekspansionisnya di bawah
kedok melindungi bangsa-bangsa kecil tertindas di Balkan, pada kenyataannya Rusia adalah
penjara bagi bangsa-bangsa minoritas. 43 persen penduduk Rusia Tsar adalah dari bangsa
Rusia Besar (Great Russian), sementara 57 persen lainnya adalah orang Ukraina, Georgia,
Polandia, Finlandia, dan bangsa-bangsa tertindas lainnya.
70 juta warga Rusia Besar mendominasi sekitar 90 juta warga non-Rusia, dan semuanya
didominasi dan ditindas oleh rejim birokratik Tsar. Ini semakin diperparah oleh kenyataan
bahwa level ekonomi dan kebudayaan bangsa-bangsa yang tertindas ini, setidaknya yang
berada di bagian barat Rusia yang berbatasan dengan Eropa Barat, umumnya lebih tinggi
daripada di daerah Rusia asli. Bila bisa dikatakan kalau ekspansi Rusia ke timur – yakni
daerah Kaukasus dan terutama Asia Tengah – memiliki peran progresif tertentu, ini tidaklah
demikian dengan Polandia, Finlandia, dan negeri-negeri Baltik. Seperti yang dikatakan oleh
Engels: “Finlandia dimukimi oleh orang Finlandia dan Swedia, daerah Bessarabia oleh orang
Rumania, dan kerajaan Polandia oleh orang Polandia. Di sini sudah tidak lagi masalah
menyatukan ras-ras yang berserakan, yang semuanya bernama ras Rusia. Di sini satu-satunya
hal yang kita saksikan adalah penaklukan daerah asing secara terbuka dengan kekerasan,
yang tidak lain adalah perampasan.”[2]
Partai Bolshevik sejak awal memiliki posisi yang saksama mengenai masalah kebangsaan. Ini
penting guna memenangkan massa, terutama kaum tani. Masalah kebangsaan biasanya tidak
terlalu mempengaruhi kelas buruh, dan lebih mempengaruhi massa borjuis kecil, terutama
kaum tani, dan secara historis masalah kebangsaan dan masalah agraria berkaitan sangat erat.
Kadang-kadang bahkan kaum Marxis yang cukup terdidik pun gagal memahami masalah ini.
Guna meraih telinga massa borjuis kecil dan memenangkan mereka ke sisi revolusi, kita
sungguh perlu mengedepankan tuntutan-tuntutan demokratik dan parsial lainnya, seperti
tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Tetapi penggunaan slogan-slogan semacam ini hanya
masuk akal sebagai bagian dari perjuangan proletariat dan partainya untuk memenangkan
massa dalam perseteruan melawan pengaruh dari partai-partai atau anasir-anasir borjuis dan
borjuis kecil. Prasyarat untuk kemenangan sayap revolusioner adalah perjuangan keras kepala
melawan kaum nasionalis borjuis dan borjuis kecil. Dan untuk meluncurkan perjuangan
semacam ini dibutuhkan posisi yang jelas dalam masalah kebangsaan.
28
Seperti Lenin, Trotsky juga menulis cukup luas mengenai masalah kebangsaan, terutama bab
luar biasa mengenai masalah kebangsaan di bukunya The History of the Russian Revolution
yang meringkas dengan sangat baik posisi kaum Bolshevik. Tetapi Leninlah yang
mengembangkan dan memperluas posisi Marxis dalam masalah kebangsaan. Meringkas
posisi Bolshevik ini, Trotsky menulis:
“Lenin sejak dini mafhum keniscayaan dari perkembangan kekuatan sentrifugal dari gerakan
nasional di Rusia, dan selama bertahun-tahun berjuang dengan keras kepala – terutama
melawan Rosa Luxemburg – untuk paragraf ke-9 dari program partai yang lama, yang
memformulasikan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri – yakni hak untuk
memisahkan diri sebagai negara. Dengan mengambil posisi ini bukan berarti lantas kaum
Bolshevik menjadi pendukung pemisahan diri. Kaum Bolshevik hanya mengambil tanggung
jawab untuk menentang segala bentuk penindasan nasional, termasuk tindakan memaksa
bangsa ini atau itu menjadi bagian dari sebuah negara. Hanya dengan cara ini maka kaum
proletariat Rusia bisa secara perlahan-lahan memenangkan kepercayaan dari bangsa-bangsa
yang tertindas.”
“Tetapi ini hanya satu sisi saja. Kebijakan Bolshevisme dalam ranah nasional juga memiliki
sisi lain, yang tampaknya berkontradiksi dengan yang pertama tetapi pada kenyataannya
melengkapinya. Di dalam kerangka partai, dan di dalam kerangka organisasi buruh
umumnya, Bolshevisme menuntut sentralisme yang kokoh, dan berjuang keras melawan
setiap bentuk nasionalisme yang dapat memecah belah buruh. Sementara menolak
sepenuhnya pemaksaan kewarganegaraan oleh negara borjuis, atau bahkan bahasa resmi,
terhadap bangsa minoritas, Bolshevisme pada saat yang sama mengemban tugas suci untuk
menyatukan buruh dari berbagai bangsa, dengan kedisiplinan kelas yang sukarela. Maka dari
itu Bolshevisme menolak prinsip federasi nasional dalam membangun partai. Sebuah
organisasi revolusioner bukanlah prototipe masyarakat atau negara masa depan, tetapi
hanyalah instrumen untuk menciptakan masyarakat masa depan ini. Sebuah instrumen harus
disesuaikan dengan tujuannya untuk membuat sebuah produk tertentu, dan tidak seharusnya
menjadi produk itu sendiri. Oleh karenanya sebuah organisasi yang tersentralisir dapat
menjamin keberhasilan perjuangan revolusioner – bahkan ketika tugasnya adalah
menghancurkan penindasan bangsa-bangsa oleh negara yang tersentralisir.”[3]
Apa itu Nasion?
Selama periode sebelum Perang Dunia Pertama Lenin mencurahkan banyak waktu untuk
masalah kebangsaan, dan khususnya untuk menjawab teori-teori revisionisnya Otto Bauer.
Pada 1908-10 Lenin ada di pengasingan dan hampir terisolasi sepenuhnya. Karena tidak
punya kontak dengan Rusia dan kekurangan kolaborator, dia menyambut dengan antusias
kedatangan Stalin, seorang Georgia muda yang tidak dia kenal sebelumnya. Seperti biasanya,
Lenin menghabiskan banyak waktu membina pendatang baru ini, seperti yang biasa dia
lakukan dengan anggota-anggota muda. Ada bonus tambahan pula, Stalin adalah seorang dari
Georgia, yakni bangsa minoritas yang tertindas. Lenin menggunakan kesempatan ini untuk
mendidik muridnya, yang sangatlah rajin, mengenai garis-garis fundamental kebijakannya
dalam masalah kebangsaan. Hasilnya adalah sebuah artikel panjang yang terbit pada akhir
1912 di majalah Prosveshcheniye (Pencerahan) dengan judul The National Question and
Marxism.
Pada 1914 artikel ini muncul dalam bentuk pamflet berjudul The National Question and
Marxism. Ini diterbitkan dalam volume kedua dari karya-karya Stalin. Selama bertahun-tahun
29
karya ini dianggap sebagai teks dasar Partai mengenai masalah kebangsaan. Kendati
presentasinya yang agak formalistik, ini adalah karya yang cukup baik. Akan tetapi ini
bukanlah hasil kejeniusan teoritik Stalin. Pada kenyataannya, artikel ini bukan karya Stalin
sama sekali. Seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan E.H. Carr: “Bukti eksternal dan internal
menunjukkan bahwa karya ini ditulis di bawah panduan Lenin.”[4] Gagasan dalam karya ini
sepenuhnya milik Lenin.
Kata pengantar untuk karya ini, yang ditulis di puncak kampanye anti-Yahudi di seputar
kasus Beyliss, memberi peringatan mengenai “gelombang nasionalisme menyapu maju
dengan kekuatan yang semakin besar dan mengancam menelan massa kelas buruh. ... Di
masa yang genting seperti ini, Partai Sosial Demokratik memiliki tugas yang penting –
melawan nasionalisme dan melindungi massa dari „epidemik‟ [sauvinisme] ini. Bagi kaum
Sosial Demokrat, dan hanya mereka yang bisa melakukan ini, dengan membenturkan
nasionalisme dengan senjata internasionalisme yang sudah terbukti ampuh: persatuan
perjuangan kelas.”[5]
Isu sentralnya adalah bagaimana mendefinisikan nasion atau bangsa. Ini tidaklah semudah
yang seorang bayangkan. Ini seperti mencoba mendefinisikan waktu. Saint Augustine
mengatakan bahwa dia tahu apa waktu itu, tetapi bila ada orang yang memintanya untuk
mendefinisikannya, dia tidak akan mampu melakukannya. Begitu juga dengan bangsa. Semua
orang berpikir mereka tahu apa bangsa itu, tetapi bila diminta untuk mendefinisikannya,
mereka akan segera menemui kesulitan. Pamflet Stalin berusaha menyediakan definisi ini dan
mungkin ini adalah formulasi yang paling memuaskan yang bisa kita dapati. Berkebalikan
dengan definisi Bauer yang subjektif, bangsa atau nasion didefinisikan dengan metode
Marxis yang ilmiah: “Sebuah nasion adalah sebuah komunitas bahasa, wilayah, kehidupan
ekonomi, dan susunan psikologi yang stabil dan berevolusi secara historis, yang
termanifestasikan dalam sebuah komunitas kebudayaan.”[6]
Oleh karenanya sebuah bangsa harus memiliki bahasa dan wilayah bersama, sejarah dan
kebudayaan bersama, dan juga tersatukan oleh ikatan ekonomi yang kuat. Demikianlah
definisi umumnya, yang jelas tepat dan jauh lebih superior dibandingkan dengan pendekatan
“psikologis” Otto Bauer dan para pendukung “otonomi kultural-nasional”. Namun, seperti
halnya dengan semua definisi umum, ini sama sekali tidak menuntaskan seluruh
permasalahan. Dalam kehidupan yang riil, kita selalu menemukan varian-varian konkret yang
dapat mengkontradiksi definisi umum yang ada, dengan kekhususannya. Pertanyaan
mengenai apa itu nasion adalah pertanyaan yang licin seperti belut, dan telah mengandaskan
banyak analisa.
Ambil saja bahasa misalnya. Pentingnya bahasa bagi sebuah nasion sudah jelas. Bahasa
tampaknya adalah karakter kebangsaan yang paling jelas. Dalam History of the Russian
Revolution, Trotsky menjabarkan signifikansi bahasa: “Bahasa adalah alat terpenting manusia
untuk berkomunikasi, dan dengan demikian menjadi alat terpenting untuk industri. Bahasa
menjadi nasional bersamaan dengan kemenangan pertukaran komoditas yang menyatukan
bangsa. Di atas fondasi ini negara nasional dibangun sebagai arena yang paling sesuai,
menguntungkan dan normal untuk relasi-relasi kapitalis.”[7]
Meskipun demikian ada pengecualian. Sedikit sekali orang yang akan menyangkal kalau
Swiss adalah sebuah bangsa. Identitas nasional Swiss telah ditempa selama berabad-abad
perjuangan untuk mempertahankan identitas nasional mereka, terutama dari rongrongan
30
Austria. Namun Swiss tidak memiliki satu bahasa bersama, seperti yang Lenin katakan di
bawah ini:
“Di Swiss adalah 3 bahasa resmi, tetapi undang-undang yang akan ditentukan lewat
referendum dicetak dalam 5 bahasa, yakni dua dialek “Romance” selain 3 bahasa resmi.
Menurut sensus 1900, dua dialek ini digunakan oleh 38.651 warga dari 3.315.443 warga
Swiss, yakni sekitar 1 persen. Dalam angkatan bersenjata, perwira dan bintara „bebas
sepenuhnya untuk berbicara dengan bawahannya dengan bahasa ibu mereka‟. Di daerah
Graubünden dan Wallis (dengan populasi sekitar 100 ribu), kedua dialek ini memiliki posisi
yang setara.”[8]
Kunci untuk memahami masalah ini adalah proposisi awal bahwa sebuah bangsa adalah
entitas yang “berevolusi secara historis”. Dialektik tidak berangkat dari definisi formal yang
abstrak, tetapi dari mengkaji secara konkret proses-proses yang hidup, dari mengkaji hal
ihwal sebagaimana mereka berkembang, berubah dan berevolusi. Sebuah bangsa bukanlah
sesuatu yang kaku dan statis. Ia dapat berubah dan berevolusi. Bangsa atau nasion dapat
lahir. Inilah bagaimana negara-bangsa modern hari ini muncul, seperti Prancis, Italia dan
Jerman misalnya. Atau juga kesadaran nasional India, yang diciptakan – tentunya tidak
dengan sengaja – oleh imperialisme Inggris. Hari ini, dengan membusuknya kapitalisme dan
ketidakmampuan kelas borjuasi India untuk menawarkan jalan keluar, sudah bisa dilihat
tanda-tanda jelas melemahnya dan fragmentasi kesadaran nasional ini, yang akan
membahayakan India di masa depan.
Secara historis, nasion dapat dibentuk dari bahan-bahan mentah yang tersedia di bawah
kondisi-kondisi perang, penjajahan dan revolusi, yang mencairkan relasi-relasi lama dan
perbatasan-perbatasan lama, dan menciptakan yang baru. Pengocokan kembali historis ini
dapat menjungkirbalikkan semua hal. Bangsa yang kemarin hari tertindas atau koloni yang
tempo hari dijajah dapat berubah menjadi negara imperialis yang paling mengerikan. Contoh
terbaik adalah Amerika Serikat, yang awalnya adalah koloni milik Britania dan hari ini
adalah negara imperialis terkuat dan paling reaksioner di dunia. Dengan cara yang sama,
negara-negara borjuis yang baru-baru saja membebaskan dirinya dari dominasi asing, tetapi
masih berada di posisi subordinat sehubungan dengan negara-negara imperialis besar di skala
dunia, dapat memainkan peran sebagai kekuatan imperialis lokal, dan menindas serta
mengeksploitasi negeri-negeri di sekitar mereka yang lebih lemah. Dengan cara demikian
India memainkan peran imperialis sehubungan dengan Nepal, Assam, dan Kashmir. Rusia
Tsar adalah salah satu kekuatan imperialis sebelum 1917, walaupun Rusia tidak mengekspor
kapital dan adalah negeri semi-feodal terbelakang, dan dalam relasinya dengan Inggris,
Prancis dan negeri-negeri kapitalis maju lainnya Rusia adalah negeri semi-koloni.
Masalah Kelas
Masalah kebangsaan, seperti halnya masalah-masalah sosial lainnya, pada analisa terakhir
adalah isu kelas. Ini adalah titik berangkat Lenin, dan titik berangkat dari setiap Marxis sejati.
Dalam karyanya Critical Remarks on the National Question, Lenin menjelaskan proposisi
elementer dari Marxisme dengan teramat jelas:
“Setiap kebudayaan nasional mengandung elemen-elemen kebudayaan demokratik dan
sosialis, bahkan bila belum berkembang sepenuhnya, karena di setiap bangsa ada massa
rakyat pekerja yang tertindas, yang kondisi kehidupannya niscaya mendorong terlahirnya
ideologi demokrasi dan sosialisme. Tetapi setiap bangsa juga memiliki kebudayaan borjuis
31
(dan kebanyakan bangsa juga memiliki kebudayaan „Black-Hundred‟ (reaksioner) dan klerus)
yang mengambil bentuk bukan semata-mata sebagai “elemen” tetapi sebagai kebudayaan
yang dominan. Oleh karenanya „kebudayaan nasional‟ yang umum adalah kebudayaannya
kaum tuan tanah, kaum klerus dan kaum borjuasi.”[9]
Bagi seorang Marxis adalah ABC kalau gagasan yang berkuasa di setiap bangsa adalah
gagasannya kelas penguasa. Lenin menekankan kalau menerima “kebudayaan nasional” sama
saja dengan menerima dominasi kaum borjuasi di setiap bangsa. Masalah kebangsaan adalah
masalah kelas. Kaum Marxis tidak boleh mengaburkan kontradiksi kelas, tetapi justru
sebaliknya, mendorongnya ke depan agar jelas terpampang. Ini berlaku untuk kaum Marxis
dari bangsa tertindas maupun bangsa penindas. Seperti yang dijelaskan oleh Lenin di Critical
Remarks on the National Question: “Di dewan direktur perusahaan-perusahaan saham-
gabungan kaum kapitalis dari berbagai bangsa duduk bersama, dan sepenuhnya bekerja
sama. Di pabrik-pabrik kaum buruh dari berbagai bangsa bekerja bahu membahu. Dalam
semua isu politik yang sungguh-sungguh serius dan penting orang berpihak berdasarkan
kelas dan bukan berdasarkan kebangsaan.”[10]
Di karya yang lain, dia menulis:
“Kepentingan kelas buruh dan perjuangannya melawan kapitalisme menuntut solidaritas
penuh dan persatuan yang paling dekat antara buruh dari semua bangsa; ini menuntut
perlawanan terhadap kebijakan nasionalis kaum borjuasi dari semua bangsa. ...”
“Tidak ada bedanya bagi kaum buruh kalau dia dieksploitasi oleh kaum borjuasi Rusia, atau
oleh kaum borjuasi Polandia, atau oleh kaum borjuasi Yahudi, dan seterusnya. Kaum buruh
upahan yang telah memahami kepentingan kelasnya tidak peduli pada privilese negara dari
kaum borjuasi Rusia, dan juga tidak peduli pada janji-janji kaum kapitalis Polandia atau
Ukraina yang ingin membangun surga dunia dimana mereka bisa memperoleh privilese
negara...”
“Entah bagaimanapun juga kaum buruh upahan tetap akan jadi bahan eksploitasi.
Keberhasilan perjuangan melawan eksploitasi mensyaratkan kaum proletariat bebas dari
nasionalisme, dan kaum proletariat harus sepenuhnya mengambil posisi netral dalam
perseteruan di antara kaum borjuasi dari berbagai negara. Bila kaum proletariat dari sebuah
bangsa memberikan dukungan sedikitpun untuk privilese „kaum borjuasi nasionalnya‟, ini
akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan dari kaum proletariat bangsa lain; ini akan
memperlemah solidaritas kelas internasional di antara buruh dan memecah belah buruh, dan
ini sangat disukai oleh kaum borjuasi. Dan penolakan terhadap hak penentuan nasib sendiri,
atau penolakan terhadap hak memisahkan diri, niscaya berarti – dalam prakteknya –
mendukung bangsa yang dominan.”[11]
Di setiap saat bagian utama dari argumen Lenin adalah perlunya persatuan buruh dan massa
tertindas untuk melawan kaum borjuasi. Lenin menunjukkan bahwa: “Kebudayaan nasional
kaum borjuasi adalah sebuah kenyataan (dan, saya ulangi, kaum borjuasi di manapun
bersekongkol dengan kaum tuan tanah dan kaum klerus). Nasionalisme borjuis yang agresif,
yang mengkerdilkan, membodohi dan memecah belah kaum buruh supaya kaum borjuasi
dapat mengekang mereka seperti anjing, inilah kenyataan hari ini.”
“Siapapun yang ingin melayani kaum proletariat harus menyatukan buruh dari semua bangsa
dan melawan nasionalisme borjuis, „di dalam negeri sendiri‟ dan asing, dengan tegas.”[12]
32
Mengenai ini Lenin selalu tegas. Kutipan-kutipan serupa dapat ditemui di lusinan artikel dan
pidatonya.
Kemandirian Kelas
Tuntutan-tuntutan nasional memiliki karakter demokratik, dan bukan sosialis. Penindasan
nasional tidak hanya mempengaruhi kelas buruh, walaupun kelas buruh adalah yang paling
menderita darinya, seperti halnya semua bentuk penindasan lainnya. Masalah kebangsaan
mempengaruhi semua rakyat, dan terutama massa borjuis kecil. Meskipun demikian, seperti
yang telah kita tunjukkan, Lenin selalu mendekati masalah kebangsaan dari sudut pandang
kelas, dan kita akan mendekatinya dengan cara yang sama pula.
Lenin menjabarkan masalah kebangsaan dengan sangat jelas dan seksama. Tentu saja
masalah ini punya sejarah yang panjang dalam gerakan buruh Rusia, dimulai dari debat
dengan kaum Bund Yahudi di Kongres Kedua Partai Buruh Sosial Demokratik Rusia pada
1903. Bagaimana Lenin menghadapi masalah ini? Secara efektif, dia memegang posisi
negatif. Kaum Bolshevik Rusia, seperti yang dia jelaskan ratusan kali, menentang segala
bentuk penindasan nasional. In bukan masalah apa yang kau dukung (posisi positif) tetapi apa
yang kau tentang (posisi negatif). Dan kita cukup mengatakan apa yang kita tentang. Kita
menentang segala bentuk penindasan nasional, linguistik dan rasial, dan kita akan berjuang
melawan semua ini. Dan posisi seperti ini cukup bagi tendensi proletariat yang ingin berjuang
demi kebijakan demokrasi yang konsisten, dan pada saat yang sama mempertahankan
kemandirian kelasnya.
Lenin tidak pernah mengatakan bahwa Marxis harus mendukung kaum borjuis nasional atau
kaum nasionalis borjuis kecil. Sebaliknya, premis utama dari posisi Lenin mengenai masalah
kebangsaan adalah kemandirian kelas yang absolut. Prinsip pertama dari Leninisme adalah
keharusan untuk melawan kaum borjuasi, dari bangsa penindas maupun tertindas. Di semua
tulisan Lenin mengenai masalah kebangsaan selalu kita temui kritik keras terhadap kaum
nasionalis borjuis dan juga kaum nasionalis borjuis kecil. Seluruh gagasan Lenin adalah kelas
buruh harus meletakkan dirinya di pucuk kepemimpinan seluruh bangsa guna memimpin
massa menuju perubahan masyarakat secara menyeluruh. Di Critical Remarks on the
National Question, dia menulis:
“Kebangkitan massa dari slumber feodal, perjuangan mereka melawan semua penindasan
nasional, untuk kedaulatan rakyat dan kedaulatan bangsa adalah hal yang progresif. Oleh
karenanya kaum Marxis wajib menegakkan demokrasi yang paling tegas dan konsisten di
semua poin masalah kebangsaan. Tugasnya terutama berkarakter negatif. Tetapi kaum
proletariat tidak boleh melampaui ini dalam mendukung nasionalisme, karena di luar batas
ini aktivitas kaum proletariat menjadi „positif‟ dalam mendukung kaum borjuasi memperkuat
nasionalisme.” (Penekanan kami)
Lalu dia tekankan lagi: “Melawan segala bentuk penindasan nasional - ya, tentu saja.
Berjuang demi perkembangan nasional, demi „kebudayaan nasional‟ secara umum - jelas
tidak.”[13]
Lagi, di The Right of Nations to Self Determination, Lenin menulis: “Inilah mengapa kaum
proletariat membatasi dirinya pada tuntutan negatif untuk mengakui hak menentukan nasib
sendiri, tanpa memberikan jaminan pada bangsa manapun, dan tanpa memberi apapun kepada
satu bangsa dengan mengorbankan bangsa yang lain.”[14]
33
Di karya lain Lenin menulis mengenai pengaruh buruk nasionalisme dalam gerakan buruh:
“Kesimpulannya adalah semua nasionalisme borjuis-liberal menyebabkan kerusakan terbesar
di antara kaum buruh dan sangat melukai perjuangan pembebasan dan perjuangan kelas
proletariat. Ini bahkan jauh lebih berbahaya karena anasir borjuis (dan borjuis-pemilik-tanah)
bersembunyi di balik slogan „kebudayaan nasional‟. Atas nama kebudayaan nasional - Rusia
Besar, Polandia, Yahudi, Ukraina, dan lain-lain - kaum reaksioner Black-Hundred dan kaum
klerus, dan juga kaum borjuasi dari semua bangsa, melakukan kerja kotor mereka.”
“Inilah kenyataan dari kehidupan nasional hari ini, bila diperiksa dari sudut pandang
perjuangan kelas, dan bila slogan-slogan nasionalis ini diuji berdasarkan kepentingan dan
kebijakan kelas dan bukan dari sudut pandang „prinsip-prinsip umum‟, deklamasi dan frase-
frase yang hambar.”[15]
Apa ini kurang jelas? Kaum buruh wajib menentang segala bentuk diskriminasi dan
penindasan nasional. Tetapi mereka juga wajib menolak mendukung nasionalisme dalam
bentuk apapun. Sungguh berkebalikan dengan para „Marxis‟ yang begitu tergesa-gesa
menjadi pemandu sorak untuk IRA, ETA atau KLA, dengan anggapan yang keliru kalau
mereka sedang mengimplementasikan kebijakan Leninis! Mengaburkan garis demarkasi
antara Marxisme dan nasionalisme adalah pelanggaran terhadap semua hal yang Lenin
percaya.
Untuk melawan ilusi jahat yang dijual oleh kaum nasionalis, Lenin memperingatkan bahwa:
“Kaum proletariat tidak boleh mendukung konsolidasi nasionalisme apapun, sebaliknya
mereka harus mendukung segala sesuatu yang membantu menghancurkan perbedaan-
perbedaan nasional dan menyingkirkan batasan-batasan nasional, mendukung segala sesuatu
yang membuat ikatan antara bangsa-bangsa semakin dekat atau mengarah ke persatuan
bangsa-bangsa. Bertindak sebaliknya berarti berpihak pada filistinisme nasionalis yang
reaksioner.”[16]
Inilah posisi Leninisme yang sesungguhnya dalam hubungannya dengan nasionalisme.
Sungguh berbeda dengan distorsi yang ingin mereduksi semuanya menjadi satu slogan
“sederhana”: “Hak Menentukan Nasib Sendiri”! Bila kita melakukan ini maka kita akan jauh
ke filistinisme nasionalis yang reaksioner dan mencampakkan Marxisme. Jauh dari mengelu-
elukan nasionalisme dan menciptakan batasan-batasan baru lewat separatisme, Lenin, seperti
Marx, tidaklah mendukung “kepicikan bangsa kecil”. Keduanya selalu mendukung bangsa
yang sebesar mungkin - bila semua pertimbangan sama. Lenin mendukung penghapusan
perbatasan, dan bukan pembentukan perbatasan baru. Dia mendukung campur baurnya
populasi dan bahkan asimilasi, selama asimilasi ini bersifat suka rela. Dia menentang
glorifikasi bahasa dan kebudayaan satu bangsa di atas lainnya. Lenin menulis:
“Akan tetapi kaum proletariat tidak hanya tidak mendukung perkembangan nasional dari
setiap bangsa, tetapi sebaliknya, memperingatkan rakyat agar tidak jauh ke dalam ilusi ini.
Kaum proletariat mendukung kebebasan terpenuh dari pencampurbauran dan menyambut
setiap bentuk asimilasi, kecuali asimilasi paksa atau asimilasi yang dibangun di atas
privilese.”
“Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletariat - inilah dua slogan yang saling
bertentangan dan tak terdamaikan, yang mewakili dua kamp dalam masyarakat kapitalis dan
mengekspresikan dua kebijakan (lebih dari itu, dua cara pandang dunia) dalam masalah
kebangsaan.”[17]
34
Tidak ada keraguan mengenai ini. Nasionalisme borjuis dan internasionalisme proletariat
adalah dua kebijakan yang sama sekali tidak kompatibel, yang merefleksikan cara pandang
dari dua kelas yang saling bermusuhan. Tidak ada gunanya menggeliat-geliut darinya dan
mencoba mengaburkan kebenaran ini. Lenin berdiri di atas internasionalisme proletariat dan
menentang nasionalisme dalam bentuk apapun nasionalisme ini mencoba menutup-nutupi
dirinya. Kenyataan bahwa dia menentang semua bentuk penindasan nasional dan
menunjukkan simpati pada bangsa-bangsa tertindas tidak boleh digunakan untuk menutupi
fakta yang tak terbantahkan ini. Lenin memusuhi nasionalisme.
Lenin dan Rosa Luxemburg
Seperti Marx, Lenin harus meluncurkan perlawanan ini di dua front. Di satu front, dia
berjuang melawan pengaruh gagasan oportunis dan revisionis seperti dari Otto Bauer, yang
merefleksikan tekanan dari kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil terhadap lapisan
pelopor proletariat. Pada saat yang sama, di front yang lain, dia juga harus melawan mereka
yang menyangkal pentingnya masalah kebangsaan. Lenin meluncurkan polemik tajam
melawan Rosa Luxemburg selama bertahun-tahun mengenai masalah ini, supaya Partai dapat
mengadopsi posisi yang tepat. Lalu, selama Perang Dunia Pertama, dia harus berpolemik
melawan Bukharin dan Pyatakov yang juga mengklaim kalau masalah kebangsaan sudah
tidak lagi relevan dan mereka menentang tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Rosa
Luxemburg, tidak usah ditanya lagi, adalah seorang revolusioner besar dan seorang
internasionalis yang konsekuen, tetapi sayangnya internasionalismenya agak abstrak. Dari
posisi yang abstrak ini dia menyangkal hak rakyat Polandia untuk menentukan nasib sendiri
dan mengklaim bahwa gagasan kebangsaan Ukraina adalah ciptaan kaum intelektual.
Walaupun kaum Sosial Demokrat Polandia memiliki posisi yang keliru, dan posisi yang
abstrak, mereka adalah kaum internasionalis yang sejati dan termovitasi oleh keharusan
memerangi nasionalisme borjuis kecilnya Pilsudski dan partainya (Partai Sosialis Polandia,
Polska Partija Socialistyczna, PPS). PPS bukan sama sekali partai sosialis, tetapi adalah
partai nasionalis borjuis-kecil, yang didirikan pada 1892. Partai ini mendukung separatisme
dan secara sengaja mencoba memecah belah buruh Polandia dari buruh Rusia. Seperti semua
gerakan nasionalis borjuis-kecil, ada sayap kiri dan sayap kanan dalam PPS. Pada 1906,
kedua sayap ini pecah. Lalu, selama Perang Dunia Pertama, Sayap Kiri ini bergerak menjauhi
nasionalisme dan akhirnya merger dengan kaum Sosial Demokrat Polandia pada Desember
1918 untuk membentuk Partai Buruh Komunis Polandia. Namun, sayap kanan PPS tepat
memegang garis sauvinis. Selama Perang Dunia pertama mereka mengorganisir Legiun
Polandia yang bertempur di sisi imperialisme Austria-Jerman.
Lenin sendiri adalah seorang Rusia, yakni warga negara dari bangsa penindas, Rusia Besar.
Rosa Luxemburg adalah seorang Polandia dan juga Yahudi. Lenin memahami perlunya
kepekaan yang sangat besar terhadap rakyat dari bangsa-bangsa yang tertindas oleh Tsarisme
Rusia. Dia mengatakan demikian kepada kamerad-kamerad Polandia: “Lihat, kami paham
posisi kalian. Kalian adalah kaum Sosial Demokrat Polandia. Adalah tugas kalian yang
pertama untuk melawan kaum nasionalis Polandia. Tentu saja kalian harus melakukan ini.
Tetapi tolong jangan minta kami, kamerad-kamerad Rusia kalian, bahwa kami harus
menghapus dari program kami tuntutan hak rakyat Polandia untuk menentukan nasib sendiri.
Karena, sebagai kaum sosial demokrat Rusia, tugas pertama kami adalah melawan kaum
borjuasi kami sendiri, yakni kaum borjiasi Rusia dan Tsarisme. Hanya dengan ini kami kaum
Sosial Demokrat Rusia dapat menyakinkan rakyat Polandia bahwa kami sama sekali tidak
35
punya niatan untuk menindas mereka, dan dengan demikian membangun fondasi untuk
persatuan antara rakyat Polandia dan Rusia dalam perjuangan revolusioner.”
Dengan cara yang brilian dan dialektik ini, tujuan dari posisi Lenin mengenai hak bangsa
untuk menentukan nasib sendiri bukanlah untuk memecah belah buruh Rusia dan Polandia,
tetapi sebaliknya untuk menyatukan mereka.
Persatuan Organisasi Buruh
Mengapa Lenin mendukung hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri? Dia lakukan ini
semata-mata dari sudut pandang memajukan perjuangan kelas, untuk menyatukan kelas
buruh. Bagi kaum Bolshevik, masalah kebangsaan tidak hanya merupakan masalah atau
rintangan tetapi juga potensi revolusioner. Tanpa posisi yang tepat mengenai masalah
kebangsaan, Revolusi Oktober tak akan pernah bisa dimenangkan. Tetapi bagian integral dari
kebijakan Lenin adalah penekanannya, sejak 1903, mengenai perlunya mempertahankan
persatuan kelas buruh dan khususnya organisasinya, di atas semua perbedaan kebangsaan,
bahasa, ras atau agama. Oleh karenanya dia secara tegas menentang usaha kaum Bund
Yahudi untuk mengorganisir buruh Yahudi secara terpisah dari buruh Rusia. Mengenai poin
ini dia sangatlah tegas:
“Berkebalikan dengan perseteruan nasionalis dari berbagai partai-partai borjuis mengenai
masalah bahasa, demokrasi buruh mengajukan tuntutan ini: persatuan absolut dan peleburan
penuh buruh dari semua kebangsaan di semua organisasi buruh, serikat buruh, koperasi,
organisasi konsumen, pendidikan dan semua organisasi buruh lainnya, guna melawan
nasionalisme buruh dalam berbagai bentuknya. Hanya persatuan macam ini yang dapat
menjaga demokrasi, menjaga kepentingan buruh dari rongrongan kapital - yang telah menjadi
dan semakin hari semakin menjadi internasional - dan menjaga kepentingan perkembangan
umat manusia menuju cara hidup baru dimana semua privilese dan eksploitasi akan menjadi
asing.”[18]
Seperti yang ditunjukkan oleh Trotsky, hak menentukan nasib sendiri hanya sebagian dari
posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan. Sisi lain dari posisi ini adalah oposisi tegas
terhadap pemecahbelahan gerakan buruh di atas garis kebangsaan. Kita harus membedakan
dua elemen ini. Hak menentukan nasib sendiri adalah tuntutan demokratik, atau lebih
tepatnya tuntutan demokratik borjuis. Separuh dari program ini berkaitan dengan bangsa
secara keseluruhan. Tetapi sepanjang kita berbicara mengenai kaum proletariat, organisasi
buruh tidak boleh dipecah belah seturut garis kebangsaan. Walaupun Lenin sangatlah jelas
dan tidak ambigu mengenai ini, hari ini setiap sekte yang menyedihkan, yang menyebut diri
mereka “Trotskis”, tidak hanya telah mendukung, tetapi menganjurkan dan
mengimplementasikan kebijakan kriminal memecah organisasi buruh seturut garis
kebangsaan, dengan satu cara atau cara lain.
Ini sama sekali tidak ada kesamaannya dengan Leninisme. Namun sekte-sekte di Inggris telah
secara aktif berpartisipasi dalam membentuk sekte Buruh Hitam di dalam serikat buruh dan
Partai Buruh. Di Skotlandia mereka mendukung usaha membentuk serikat terpisah untuk
buruh minyak Skotlandia, yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip Marxisme yang
paling elementer. Contoh yang sama dapat kita temui di banyak negeri lainnya. Mari kita
perjelas di sini: pembentukan organisasi terpisah untuk berbagai kelompok nasional dan
rasial adalah tindakan kriminal yang hanya akan memecah belah dan melemahkan gerakan
36
buruh. Adalah satu hal untuk melawan rasisme dan sauvinisme. Adalah hal yang berbeda
untuk memecah kelas buruh seturut garis kebangsaan, linguistik, religius atau rasial.
Ini tidak pernah menjadi posisi Partai Bolshevik, atau PBSDR sebelumnya. Tidak ada
satupun tendensi dalam Sosial Demokrasi Rusia (kecuali kelompok Bund Yahudi) yang
setuju dengan memecah gerakan seturut garis kebangsaan. Kaum Menshevik punya posisi
yang sama dengan Bolshevik. Masalah ini didiskusikan secara menyeluruh sejak awal ketika
ada tuntutan untuk memberi kaum Sosial Demokrat Yahudi sebuah organisasi terpisah di
dalam PBSDR. Bund (organisasi Sosial Demokratik Yahudi) yang sangatlah kuat di bagian
Rusia Barat dan Lituania, dimana ada populasi Yahudi yang besar, menuntut agar mereka
sendirilah yang punya hak untuk berbicara atas nama buruh Yahudi dan juga untuk
membentuk sebuah organisasi Sosial Demokratik Yahudi yang terpisah. Tuntutan ini secara
tegas ditolak oleh Lenin dan kaum Marxis Rusia yang menekankan bahwa hanya boleh ada
satu partai buruh dan satu serikat buruh. Ini adalah posisi kita sampai hari ini. Senjata terkuat
di tangan kelas buruh adalah persatuan. Ini harus dipertahankan dengan segala cara. Kita
menentang divisi kelas buruh seturut garis kebangsaan, ras, bahasa, agama, atau lain-lain.
Dalam kata lain kita mengambil posisi kelas.
Masalah Yahudi
Mereka-mereka yang mendukung memecah gerakan buruh seturut garis kebangsaan, ras atau
kelamin terus mencoba membenarkan posisi mereka dengan demagogi atau sentimentalitas,
dengan berbicara mengenai kesengsaraan kaum tertindas dan ketidakadilan yang mereka
derita, sebagai “bukti” dari “kemustahilan” untuk menyatukan ke dalam organisasi bersama
orang Hitam dan orang Putih, laki-laki dan perempuan, kaum Protestan dan Katolik, dan
seterusnya. Argumen palsu ini dipatahkan oleh sejarah Bolshevisme itu sendiri, seperti yang
ditunjukkan oleh sikap Lenin terhadap kaum Bund Yahudi. Kaum Yahudi di Rusia secara
kejam ditindas oleh diskriminasi yang sistemik, dipaksa hidup terpisah, dan secara berkala
diserang oleh pogrom yang berdarah-darah. Kaum Yahudi yang diperbolehkan bekerja untuk
pemerintah, atau masuk ke sekolah negeri dibatasi jumlahnya. Pada 1917 ada 650 undang-
undang yang membatasi hak-hak kaum Yahudi. Di sini kita dapati penindasan nasional dalam
bentuknya yang paling kasar dan brutal.
Lenin selalu menjelaskan kalau tugas buruh adalah melawan borjuasinya sendiri. Ini berarti
semua buruh, termasuk bahkan yang paling tertindas. Untuk alasan ini kaum Sosial Demokrat
Rusia selalu menolak tuntutan kaum Bund. Kenyataan kalau kaum Yahudi menderita
penindasan yang paling buruk bukanlah argumen. Kaum Bund mengedepankan slogan
otonomi kultural-nasional, yang dicoleknya dari program Otta Bauer dan kaum Austro-
Marxis. Tetapi slogan ini bahkan lebih tidak masuk akal untuk kaum Yahudi Rusia. Dengan
populasi mereka yang terpencar-pencar, kaum Yahudi yang mayoritas tinggal di kota tidak
memiliki satu wilayah tertentu yang bisa dirujuknya, yang merupakan salah satu prasyarat
untuk sebuah nasion atau bangsa. Gagasan otonomi kultural-nasional adalah untuk
menyatukan populasi Yahudi yang berserakan ini ke sekolah-sekolah dan institusi-institusi
khusus Yahudi lainnya. Tuntutan ini, yang dikecam Trotsky sebagai tuntutan Utopis yang
reaksioner, akan semakin memperdalam alienasi kaum Yahudi dari populasi yang lain dan
memperparah ketegangan dan friksi rasial.
Kaum Yahudi Rusia saat itu tidak memiliki wilayah bersama atau bahasa bersama. Walaupun
banyak kaum Yahudi di Rusia dan Eropa Timur berbahasa Yiddi, banyak yang tidak
menggunakan bahasa ini. Di negeri-negeri kapitalis maju kaum Yahudi menggunakan bahasa
37
dimana mereka bermukim. Kaum Yahudi Sephardic yang berasal dari Spanyol
mempertahankan bahasa Spanyol sebagai bahasa ibu mereka selama berabad-abad setelah
mereka telah diusir dari Spanyol dan tercerai berai di Mediterania. Dimanapun kaum Yahudi
bisa, mereka terasimiliasi ke dalam populasi negeri dimana mereka bermukim. Tetapi
fanatisme dan obskurantisme dari Gereja Katolik Medieval mencegah asimilasi ini. Kaum
Yahudi secara paksa dipisahkan dan diasingkan dari masyarakat luas. Mereka dilarang
memiliki tanah, dan karenanya mereka terpaksa mengais kehidupan di marjin masyarakat
feodal, termasuk sebagai pedagang atau rentenir. Alienasi yang dipaksakan ke kaum Yahudi
ini bahkan lebih vulgar di Rusia Tsaris yang terbelakang.
Bahkan Lenin kesulitan mengklasifikasi kaum Yahudi. Definisi terdekat yang bisa dia
formulasikan adalah kasta spesial yang tertindas. Mengenai ini Lenin menulis: “Hal yang
sama berlaku untuk bangsa yang paling tertindas dan teraniaya, yakni kaum Yahudi.
Kebudayaan nasional Yahudi adalah slogan dari para pendeta rabbi dan kaum borjuasi,
slogan musuh kita. Tetapi ada elemen-elemen lain dalam kebudayaan Yahudi dan di
sepanjang sejarah kaum Yahudi. Dari sepuluh setengah juta kaum Yahudi di seluruh dunia,
kira-kira setengah darinya bermukim di Galicia dan Rusia, yakni negeri-negeri terbelakang
dan semi-barbar, yang secara paksa menindas kaum Yahudi sebagai sebuah kasta. Yang
setengah lagi tinggal di negeri-negeri beradab, dan di sana kaum Yahudi tidak didiskriminasi
sebagai kasta. Di sana, fitur-fitur kebudayaan Yahudi yang progresif membuat dirinya terasa:
internasionalismenya, dan kepekaannya pada gerakan progresif pada jamannya (persentase
kaum Yahudi yang terlibat di dalam gerakan demokratik dan proletariat dimana-mana lebih
tinggi dari pada persentase populasinya.)[19]
Walaupun kaum Yahudi tidak memiliki atribut-atribut sebuah nasion, dan Lenin tidak
menganggap mereka sebagai sebuah nasion, namun setelah Revolusi Oktober kaum
Bolshevik menawarkan hak menentukan nasib sendiri pada kaum Yahudi, dengan memberi
mereka sebuah tanah air (di Birobidzhan) dimana mereka bisa beremigrasi bila mereka ingin.
Hanya sedikit yang memilih melakukan ini. Ini jelas jauh lebih baik daripada mendirikan
Negara Yahudi di Palestina, di tanah yang telah diduduki oleh kaum Aram selama lebih dari
seribu tahun, dan dengan demikian menyebabkan pertumpahan darah dan perang tiada akhir
di Timur Tengah. Pendirian negara Israel adalah sebuah tindakan reaksioner yang ditentang
oleh kaum Marxis pada saat itu. Trotsky telah memperingatkan jauh-jauh hari kalau ini akan
menjadi perangkap yang kejam bagi rakyat Yahudi. Dan sejarah selama setengah abad
terakhir telah menjadi bukti kebenaran dari peringatan Trotsky. Akan tetapi Israel hari ini
telah eksis sebagai sebuah negara-bangsa, dan jarum jam sejarah tidak bisa diputar balik.
Israel sekarang adalah sebuah bangsa dan kita tidak dapat menyerukan penghapusannya.
Solusi dari problem kebangsaan Palestina (yang akan kita kupas nanti) hanya dapat dicapai
melalui pendirian federasi sosialis Timur Tengah dimana rakyat Arab dan Yahudi dapat
hidup bersama dengan tanah air otonomi mereka sendiri dan respek penuh terhadap semua
hak-hak nasional.
Pendukung Zionisme di Rusia Tsaris adalah minoritas kecil. Kebanyakan dari kader gerakan
revolusioner di Rusia berlatar belakang Yahudi, karena kebanyakan kaum intelektual dan
buruh maju Yahudi paham bahwa masa depan mereka tergantung pada rekonstruksi
masyarakat secara revolusioner. Ini terbukti tepat. Di Rusia setelah Revolusi Oktober, rakyat
Yahudi meraih emansipasi sipil dan kesetaraan penuh mereka. Rakyat Yahudi puas dengan
ini dan untuk alasan ini sedikit sekali yang mengambil tawaran mendirikan negara terpisah di
dalam perbatasan Uni Soviet.
38
Hak Menentukan Nasib Sendiri
Tuntutan pengakuan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah sentral bagi posisi
Lenin mengenai masalah kebangsaan. Ini secara umum diketahui. Tetapi Hegel pernah
berkata, apa yang diketahui belum tentu dipahami. Lenin menulis banyak mengenai masalah
kebangsaan, dan tulisan-tulisannya ini menjabarkan posisi Marxis mengenai masalah ini,
yang dia kembangkan dengan cara yang sangat kaya, mempertimbangkan semua sisi, dan
dialektis. Namun membaca sekilas saja tulisan-tulisan dari berbagai kelompok yang hari ini
mengklaim meneruskan tradisi Lenin cukup untuk meyakinkan kita kalau tidak ada satupun
dari mereka yang sungguh membaca Lenin, dan bila mereka membacanya mereka tidak
paham satu kata pun. Terutama tuntutan hak menentukan nasib sendiri - yang tak diragukan
adalah satu dari elemen penting dari pemikiran Lenin mengenai masalah kebangsaan - telah
dicerabut dari konteksnya dan disajikan dengan cara yang mekanikal dan tidak-seimbang,
seakan-akan tuntutan ini adalah satu-satunya hal yang dipertimbangkan oleh Lenin.
Lenin membela hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri, dan ini adalah proposisi ABC
bagi setiap Marxis. Tetapi setelah ABC ada huruf-huruf lainnya, dan seorang anak sekolah
yang hanya bisa mengulang-ulang huruf “ABC” tidak akan dianggap terlalu pintar.
Dialektika, seperti yang dijelaskan oleh Lenin berulang kali, menganalisa fenomena dari
semua sisi. Mengabstraksikan satu elemen dalam persamaan yang kompleks, dan lalu
mempertentangkannya dengan elemen-elemen lain, adalah penyalahgunaan dialektik yang
kekanak-kanakan. Penyalahgunaan seperti ini menghasilkan kekeliruan yang paling vulgar.
Dalam politik, dan terutama dalam politik masalah kebangsaan, ini akan langsung mengarah
ke pembelaan terhadap nasionalisme reaksioner dan pencampakan sosialisme. Masalah
kebangsaan adalah seperti ladang ranjau, yang harus dilalui dengan bantuan kompas yang
baik. Satu sentimeter saja kita melenceng dari posisi kelas, seketika itu juga kita akan
tersesat. Makanya banyak dari mereka-mereka yang hari ini mencoba mengutip pembelaan
Lenin terhadap hak menentukan nasib sendiri jatuh ke ke perangkap menyerah pada tekanan
besar dari nasionalisme borjuis kecil, yang adalah kebalikan dari posisi Lenin. Mari kita
dengar apa yang Lenin sendiri katakan:
“Kita tidak mendukung mempertahankan bangsa-bangsa kecil dengan cara apapun; bila
semua kondisi sama, kita secara positif mendukung sentralisasi dan menentang gagasan relasi
federal yang filistin.”[20]
Lenin mengingatkan kita kalau kita tidak harus kapanpun dan dimanapun mendukung hak
bangsa kecil untuk menentukan nasib sendiri. Seperti yang dia jelaskan secara hati-hati, bila
semua kondisi sama, kita selalu mendukung unit nasional yang lebih besar; kita selalu lebih
mendukung sentralisasi, di atas basis demokratik, alih-alih desentralisasi. Tetapi semua
kondisi tidak selalu sama. Kenyataan adanya penindasan nasional atas satu bangsa oleh
bangsa yang lain menuntut kaum proletarian dan organisasinya untuk melawan penindasan
nasional dan membela hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah tuntutan demokratik dan Marxis
mendukungnya, seperti halnya kita mendukung tuntutan demokratik lainnya. Tetapi
dukungan untuk tuntutan demokratik umumnya tidak pernah dianggap oleh kaum Marxis
seperti semacam Imperatif Kategorikal (absolut kapanpun dan dimanapun). Tuntutan
demokratik selalu subordinat pada kepentingan kelas buruh dan perjuangan sosialisme,
seperti yang dijelaskan Lenin: “Secara praktek, kaum proletariat dapat mempertahankan
kemandirian politiknya hanya dengan mensubordinatkan perjuangan untuk semua tuntutan
39
demokratik, termasuk tuntutan untuk republik, ke perjuangan revolusionernya untuk
menumbangkan kaum borjuasi.”[21]
Tidak ada yang baru atau mengejutkan di sini. Ini sesuai dengan posisi Marxis umumnya
mengenai tuntutan demokratik. Misalnya, hak bercerai adalah tuntutan demokratik, yang juga
kita dukung. Tetapi apa arti hak ini? Ini berarti dua insan dapat hidup bersama selama
keduanya bahagia. Tetapi bila hubungan antara dua insan ini rusak, maka mereka punya hak
untuk berpisah. Tidak ada orang yang boleh memaksa mereka untuk hidup bersama. Atau
mari kita pertimbangkan hak aborsi. Apa arti hak ini? Seorang perempuan punya hak untuk
menentukan apa dia ingin punya anak atau tidak, karena jelas sang perempuan punya hak
untuk memperlakukan tubuhnya sesuai dengan kehendaknya. Kita membela hak-hak
demokratik ini. Tetapi apa lalu kita mengatakan kalau perceraian dan aborsi itu adalah hal
yang baik dalam dirinya sendiri? Apakah kita mengatakan kalau semua orang harus
melakukan aborsi, atau setiap pasangan harus bercerai? Ini konyol. Perceraian dan aborsi
bukanlah hal yang baik, tetapi di bawah kondisi tertentu adalah opsi terbaik. Ini sama dengan
hak menentukan nasib sendiri. Ada perbedaan antara mendukung hak menentukan nasib
sendiri dan mendukung pemisahan. Ini adalah perbedaan antara kebijakan Marxis dan
kebijakan nasionalis borjuis kecil. Lenin sangat jelas mengenai poin ini: “ „Untuk tidak
melanggar hak menentukan nasib sendiri‟ maka kita wajib untuk tidak „menvoting
pemisahan‟, seperti yang diasumsikan oleh Tn. Semkovsky yang cerdik, tetapi memvoting
hak bagi wilayah yang ingin berpisah untuk menentukan masalah ini sendiri.”[22]
Bagi Lenin, hak untuk menentukan nasib sendiri tidak berarti bahwa buruh “wajib
memvoting pemisahan”, tetapi hak ini berarti menentang semua bentuk penindasan nasional
dan menentang pemaksaan satu bangsa untuk jadi bagian dari bangsa lain, dalam kata lain,
biarkan rakyat yang memutuskan sendiri nasib mereka. Ini adalah hak demokratik yang
elementer, yang dibela oleh kaum Bolshevik. Tetapi biarpun begitu, hak ini tidak pernah
dianggap sebagai sesuatu yang absolut, tetapi selalu subordinat pada kepentingan perjuangan
kelas dan revolusi dunia. Kebijakan Lenin bukanlah pemisahan, tetapi persatuan secara
sukarela. Slogan hak menentukan nasib sendiri sama sekali tidak berarti mendukung
pemisahan, tetapi justru adalah bagian integral dari perjuangan melawan pemisahan. Lenin
melanjutkan: “Menurut Tn. Semkovsky, pengakuan hak menentukan nasib sendiri akan
„menjerumuskan kita ke nasionalisme borjuis‟. Ini adalah omong kosong yang kekanak-
kanakan, karena pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri tidak mencegah kita untuk
melakukan agitasi dan propaganda menentang pemisahan atau mengekspos nasionalisme
borjuis. Tetapi yang tidak terbantahkan adalah bahwa penyangkalan hak untuk memisahkan
diri akan menjerumuskan kita ke tangan kaum nasionalis Rusia-Besar Black-Hundred yang
paling reaksioner.” (Ibid.)
Mari kita ambil contoh dari zaman sekarang. Populasi Prancis di Quebec merasa tertindas
secara nasional oleh Kanada. Kaum Nasionalis Quebec mendorong pemisahan. Kaum Marxis
akan mengatakan kepada rakyat Quebec: yah, kalian punya hak untuk menentukan nasib
sendiri. Kami akan membela hak ini. Tetapi kami menganggap pemisahan akan melukai
perjuangan rakyat Quebec dan seluruh Kanada. Bila ada referendum, kami akan beragitasi
menentang pemisahan. Kami mendukung Quebec yang sosialis di dalam Kanada yang
sosialis pula, dengan respek penuh untuk hak nasional sebagai satu-satunya solusi. Inilah
kira-kira posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan.
Lenin sama sekali tidak melihat hak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah obat mujarab,
yang harus diimplementasikan secara universal terlepas dari kondisi-kondisi yang ada.
40
Kebodohan ini di kemudian hari diadopsi oleh kelompok-kelompok yang memberikan
layanan bibir pada Marxisme dan Leninisme tanpa memahaminya sama sekali. Lenin tidak
menganggap hak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah hak yang absolut, di luar waktu
dan ruang, tetapi sebagai bagian dari perjuangan kaum proletariat untuk merebut kekuasaan,
dan oleh karenanya hak ini subordinat pada perjuangan tersebut. Di artikelnya Stalin, The
National Question and Marxism, yang praktis didikte oleh Lenin, dan yang jelas
mengekspresikan pandangan Lenin, gagasan ini terekspresikan dengan jelas:
“Sebuah bangsa punya hak untuk mengatur kehidupannya secara otonomi. Ia bahkan punya
hak untuk memisahkan diri. Tetapi ini tidak berarti ia harus melakukan ini di setiap
kesempatan, bahwa otonomi atau pemisahan akan di manapun dan kapanpun menjadi hal
yang baik bagi sebuah bangsa, yakni bagi mayoritas populasi, yakni bagi strata rakyat
pekerja.”
“Solusi apa yang paling kompatibel dengan kepentingan rakyat pekerja? Otonomi, federasi,
atau pemisahan?
“Semua ini adalah problem yang mana solusinya akan tergantung pada kondisi-kondisi
historis yang konkret yang dihadapi oleh sebuah bangsa tertentu.”
“Tidak, lebih dari itu. Kondisi, seperti semua hal, berubah, dan keputusan yang tepat pada
satu waktu tertentu dapat menjadi sepenuhnya tidak sesuai untuk waktu yang lain.”[23]
Ini sepenuhnya benar. Posisi kaum Marxis mengenai tuntutan hak penentuan nasib sendiri
tidak bisa ditentukan jauh hari sebelumnya. Ini akan tergantung pada situasi yang konkret di
tiap-tiap kasus tertentu, dan implikasinya pada perjuangan kaum proletariat dan revolusi
sosialis dunia. Ini yang selalu menjadi posisinya Lenin. Di The Right of Nations to Self-
determination, dia menulis: “Kaum Marxis di negeri manapun sama sekali tidak boleh
merancang program nasional mereka tanpa mempertimbangkan semua kondisi historis umum
dan konkret ini.”[24]
Lenin berargumen melawan kaum Sosial Demokrat Polandia yang memiliki posisi ultra-kiri
mengenai masalah kebangsaan dan menyangkal hak penentuan nasib sendiri secara prinsipil,
dan Lenin menjelaskan bahwa bukanlah tugas dari sosial demokrasi [Marxisme] untuk
mendukung setiap perjuangan kemerdekaan. Lenin mengatakan: “Dari sudut pandang teori
umum argumen ini buruk sekali, karena jelas argumen ini tidak logis. Pertama-tama, tidak
ada satupun tuntutan demokratik yang tidak bisa disalahgunakan bila yang spesifik tidak
disubordinatkan pada yang umum. Kita tidak diwajibkan untuk mendukung semua
perjuangan kemerdekaan atau semua gerakan republiken atau anti-klerus [anti-feodal].”[25]
Ada satu kasus yang jelas dimana Lenin tidak mendukung hak bangsa untuk menentukan
nasib sendiri: ketika ini berarti menyeret kaum buruh ke peperangan. Menurut Lenin tuntutan
untuk mendukung hak penentuan nasib sendiri (bahkan bila tuntutan ini adalah benar dalam
dirinya sendiri) adalah tuntutan yang tidak bisa didukung bila ini berarti menyeret negeri-
negeri kapitalis besar ke peperangan besar. Dukungan kaum Bolshevik terhadap perjuangan
nasional akan tergantung pada kondisi-kondisi yang konkret, yang berbeda-beda di tiap-tiap
kasus. Di setiap kasus Lenin mendekati masalah kebangsaan bukan dari sudut pandang
nasionalisme sempit, tetapi dari sudut pandang revolusi dunia. Pada Juli 1916, Lenin
memperingatkan rakyat Polandia untuk tidak meluncurkan perjuangan kemerdekaan nasional.
Dia menjelaskan bahwa nasib perjuangan rakyat Polandia terikat erat pada perspektif revolusi
di Rusia dan Jerman. Lenin menulis: “Untuk mengedepankan masalah kemerdekaan Polandia
41
hari ini, di bawah relasi kekuatan-kekuatan imperialis tetangga yang ada hari ini, ini sungguh
seperti mengejar utopia, dan jatuh ke nasionalisme picik dan melupakan bahwa premis yang
dibutuhkan adalah revolusi Eropa atau setidaknya Revolusi Rusia dan Jerman.”[26]
Di situasi ini, dia menganjurkan kepada rakyat Polandia untuk mengsubordinatkan
perjuangan kemerdekaan mereka pada perspektif revolusi di Rusia dan Jerman. Dalam hal ini
Lenin terbukti benar. Hanya Revolusi Rusia yang menciptakan kondisi untuk pembentukan
negara Polandia yang merdeka, sementara setiap usaha lainnya sebelumnya telah berakhir
dengan bencana. Ini yang Lenin maksud ketika dia memperingatkan rakyat Polandia untuk
tidak “mengejar utopia” atau “jatuh ke nasionalisme picik”. Sungguh anjuran yang baik! Dan
ini jauh berbeda dengan karikatur posisi Lenin yang diajukan oleh sejumlah kaum Kiri yang
mendukung pemecah-belahan Yugoslavia dengan dalih hak penentuan nasib sendiri! Ini tidak
hanya mengejar utopia tetapi bahkan utopia yang reaksioner, dan jatuh ke nasionalisme picik
yang paling buruk.
Lenin dan “kepraktisan”
Salah satu trik yang biasanya digunakan oleh para kritikus borjuis-kecil untuk menyerang
posisi Marxisme mengenai masalah kebangsaan adalah dengan menuduhnya utopis. “Semua
celoteh kalian mengenai menyatukan kaum buruh adalah utopis”; “Gagasan federasi sosialis
tidaklah praktikal.”; “Kita harus melakukan sesuatu sekarang juga!” dan seterusnya. Coba
kita lihat bagaimana Lenin menjawab argumen semacam ini:
“Apa arti tuntutan „kepraktisan‟ dalam masalah kebangsaan?”
“Ini berarti salah satu dari tiga hal ini: 1) mendukung semua aspirasi nasional; 2) menjawab
„ya‟ atau „tidak‟ terhadap pertanyaan pemisahan oleh setiap nasion; 2) tuntutan nasional pada
umumnya harus segera „praktis‟.”
“Mari kita periksa ketiga arti dari tuntutan „kepraktisan‟ ini.”
“Kaum borjuasi, yang lazimnya mengambil kepemimpinan di awal dari setiap gerakan
nasional, mengatakan bahwa dukungan untuk semua aspirasi nasional adalah praktis. Akan
tetapi, kebijakan proletariat dalam masalah kebangsaan (seperti halnya semua masalah
lainnya) mendukung kaum borjuasi hanya dalam arah tertentu, tetapi kebijakan proletariat
tidak pernah sama dengan kebijakan borjuasi. Kelas buruh mendukung kaum borjuasi hanya
untuk mengamankan kedamaian nasional (yang tidak bisa dicapai sepenuhnya oleh kaum
borjuasi dan yang hanya bisa dicapai lewat demokrasi penuh), untuk mengamankan
kesetaraan hak dan menciptakan kondisi terbaik untuk perjuangan kelas. Oleh karenanya,
kaum proletariat memajukan prinsip-prinsip mereka dalam masalah kebangsaan dengan
bertentangan dengan kepraktisan kaum borjuasi; mereka selalu memberikan kaum borjuasi
hanya dukungan kondisional. Dalam masalah kebangsaan kaum borjuasi hanya
menginginkan privilese untuk bangsanya sendiri atau keunggulan istimewa untuknya; dan ini
disebut „praktis‟. Kaum proletariat menentang semua bentuk privilese, semua bentuk
keistimewaan. Oleh karenanya, menuntut agar kaum proletariat harus „praktis‟ berarti
mengekor kaum borjuasi, dan jatuh ke oportunisme.”[27]
[“Menuntut jawaban „ya‟ atau „tidak‟ untuk pertanyaan pemisahan oleh setiap bangsa
mungkin akan tampak „praktis‟. Pada kenyataannya ini absurd. Ini metafisik dalam teori,
sementara dalam praktek ini berarti mengsubordinatkan kaum proletariat pada kebijakan
42
borjuasi. Kaum borjuasi selalu meletakkan tuntutan-tuntutan nasionalnya di muka depan, dan
mereka melakukan ini secara kategorikal. Akan tetapi dengan kaum proletariat tuntutan-
tuntutan nasional selalu subordinat pada kepentingan perjuangan kelas. Secara teoritis, kita
tidak bisa mengatakan jauh hari sebelumnya apakah revolusi borjuis-demokratik akan
berakhir dengan berpisahnya satu bangsa dari bangsa yang lain, atau kesetaraannya dengan
bangsa yang lain; terlepas dari semua ini, yang penting bagi kelas proletariat adalah
menjamin perkembangan kelasnya sendiri. Penting bagi kaum borjuasi untuk menghambat
perkembangan kelas proletariat dengan mendorong tujuan dari bangsanya “sendiri”, dan
mendorong ke belakang tujuan proletariat. Inilah mengapa kaum proletariat membatasi
dirinya pada tuntutan negatif untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri, tanpa
memberikan jaminan pada bangsa manapun, dan tanpa memberi apapun kepada satu bangsa
dengan mengorbankan bangsa yang lain.”][28]
Ketika Lenin menulis ini pada 1914, dia masih memiliki perspektif revolusi borjuis-
demokratik di Rusia. Kaum Bolshevik berjuang sebagai sayap kiri ekstrem dari kamp borjuis
demokratik. Tujuan mereka adalah untuk memobilisasi massa di bawah kepemimpinan
proletariat, bukan untuk mentransfer kekuasaan ke kelas buruh (Lenin hanya mencapai
kesimpulan ini pada 1917) tetapi untuk menuntaskan revolusi borjuis-demokratik yang paling
radikal di Rusia, dan dengan demikian menciptakan kondisi yang kondusif untuk
perkembangan kapitalisme dan perjuangan kelas. Tentu saja perspektif Lenin tidak berhenti
di sini saja. Dia membayangkan bagaimana kemenangan revolusi borjuis-demokratik di
Rusia akan memberikan dorongan besar pada revolusi sosialis di Eropa Barat, dan ini pada
gilirannya akan memungkinkan buruh Rusia – bersama-sama dengan buruh Eropa – untuk
mengubah revolusi borjuis-demokratik menjadi revolusi sosialis. Tetapi tugas-tugas segera
dari revolusi ini adalah borjuis-demokratik, dan yang paling utama dari tugas ini adalah
revolusi agraria dan masalah kebangsaan.
Bahkan ketika Lenin masih memiliki perspektif revolusi borjuis-demokratik dia menekankan
pentingnya kemandirian penuh kaum proletariat dari kaum borjuasi. Dalam masalah
kebangsaan kaum buruh harus mandiri dari kaum borjuis nasionalis. Mereka harus melawan
penindasan nasional, tetapi mereka harus melakukannya di bawah panji mereka sendiri,
dengan kebijakan dan metode mereka sendiri. Selama kaum borjuasi nasional mengambil
langkah maju dalam melawan bangsa penindas, kelas buruh wajib mendukung mereka tentu
saja. Tetapi dukungan ini sangatlah kondisional, dan tidak berarti buruh wajib mendukung
borjuasi nasional di setiap kasus. Lenin mewanti-wanti buruh mengenai pengkhianatan kaum
borjuasi nasional, keserakahannya yang egois dan kecenderungannya yang reaksioner, dan
memperingatkan buruh agar tidak tunduk pada demagogi “persatuan” yang kerap diumbar
oleh kaum nasionalis.
Argumen kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil terhadap posisi Marxis selalu sama:
“Semua pembicaraan mengenai sosialisme dan perjuangan kelas ini utopis. Kita sedang
menderita penindasan nasional sekarang, dan harus mengambil kebijakan-kebijakan yang
praktis untuk menyelesaikan problem-problem kita.” Lenin telah menjawab demagogi macam
ini:
“Menuntut jawaban „ya‟ atau „tidak‟ untuk pertanyaan pemisahan oleh setiap bangsa
mungkin akan tampak „praktis‟. Pada kenyataannya ini absurd. Ini metafisik dalam teori,
sementara dalam praktek ini berarti mengsubordinatkan kaum proletariat pada kebijakan
borjuasi. Kaum borjuasi selalu meletakkan tuntutan-tuntutan nasionalnya di muka depan, dan
43
mereka melakukan ini secara kategorikal. Akan tetapi dengan kaum proletariat tuntutan-
tuntutan nasional selalu subordinat pada kepentingan perjuangan kelas.”[29]
Dan lagi:
“Kaum borjuasi dari bangsa tertindas akan menyerukan kepada kaum proletariat untuk
mendukung aspirasinya tanpa-syarat dengan dalih bahwa tuntutannya adalah „praktis‟.
Prosedur yang paling „praktis‟ adalah mengatakan „ya‟ untuk pemisahan satu bangsa tertentu
alih-alih mendukung hak pemisahan bagi semua bangsa!
“Kaum proletariat menentang kepraktisan macam ini. Kaum proletariat mengakui
kesetaraan dan hak yang setara bagi sebuah bangsa, tetapi di atas segalanya kaum
proletariat berjuang untuk persatuan kaum proletariat dari semua bangsa, dan mengkaji
semua tuntutan nasional, semua pemisahan nasional, dari sudut pandang perjuangan kelas
buruh. Seruan kepraktisan ini pada kenyataannya adalah seruan untuk menerima aspirasi
borjuis bulat-bulat secara tidak kritis.”[30]
Dari baris-baris ini sangatlah jelas kalau Lenin tidak berpendapat bahwa kaum proletariat
wajib mendukung setiap tuntutan kemerdekaan. Dia menyerukan kepada buruh untuk
menolak usaha kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil untuk memaksa mereka mendukung
nasionalisme, dengan dalih mendukung rakyat yang tertindas. Dia mengatakan bahwa
masalah kebangsaan selalu subordinat pada kepentingan umum proletariat dan perjuangan
jelas, dan bahwa kita harus mengambil posisi mengenai masalah kebangsaan (hak penentuan
nasib sendiri) hanya dengan pertimbangan bahwa posisi ini akan mendorong maju
perjuangan proletariat dan perjuangan sosialisme. Kalau hak penentuan nasib sendiri ini
justru menghambat perjuangan proletariat dan perjuangan sosialisme, kaum proletariat harus
secara tegas menolaknya.
Posisi Lenin mengenai masalah kebangsaan berevolusi seiring dengan waktu, seperti halnya
pandangan umumnya mengenai watak revolusi Rusia berubah. Setelah Revolusi Februari
Lenin mencampakkan gagasan awalnya bahwa Revolusi Rusia akan berkarakter borjuis-
demokratik (“kediktatoran demokratik proletariat dan tani”) dan bergerak ke posisi yang telah
dibela oleh Trotsky sejak 1904-05. Trotsky menjelaskan bahwa, walaupun secara objektif
tugas dari Revolusi Rusia adalah borjuis-demokratik dalam karakternya, revolusi ini hanya
bisa dipimpin oleh proletariat yang bersekutu dengan kaum tani miskin. Kaum borjuasi Rusia
tampil di panggung sejarah terlalu terlambat untuk bisa memainkan peran progresif. Di
bawah situasi semacam ini, tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik hanya bisa dilaksanakan
oleh kelas buruh setelah mereka merebut kekuasaan. Tetapi ini bukanlah “kediktatoran
demokratik proletariat dan tani” tetapi kediktatoran proletariat. Perspektif ini secara brilian
mendapatkan konfirmasinya pada Oktober 1917.
Bahkan sebelum ini, seperti yang telah kita saksikan, Lenin tidak pernah memberikan
dukungan pada kaum borjuasi nasional, atau setidaknya hanya dukungan yang paling terbatas
dan kondisional di bawah kondisi-kondisi tertentu, sementara selalu menekankan
kemandirian kelas proletariat dari kaum borjuasi “progresif”. Tetapi setelah 1917 dia
memahami bahwa kaum borjuasi nasional dari negeri-negeri semi-kolonial terbelakang
seperti Rusia Tsaris sama sekali tidak mampu memainkan peran progresif apapun. Di
Kongres Kedua Komunis Internasional, Lenin mengubah posisinya. Sejak itu dia
menganggap kaum borjuasi nasional di negeri-negeri kolonial tidak mampu memainkan
peran progresif. Sejarah di kemudian hari membuktikan kebenaran dari posisi Lenin.
44
[1] L. Trotsky, History of the Russian Revolution, p. 890.
[2] MECW, vol. 27, p. 28.
[3] Trotsky, The History of the Russian Revolution, pp. 890-1.
[4] E.H. Carr, The Bolshevik Revolution, vol., 1, pp. 425-6.
[5] J.V. Stalin, Marxism on the National and Colonial Question, p. 8.
[6] Ibid.
[7] Trotsky, History of the Russian Revolution, p. 889.
[8] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[9] LCW,Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[10] Ibid.
[11] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20.
[12] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[13] Ibid.
[14] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20.
[15] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[16] Ibid.
[17] Ibid., Penekanan kami.
[18] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[19] LCW, Critical Remarks on the National Question, October-December 1913, vol. 20.
[20] LCW, The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-determination, January-
February 1916, vol. 22.
[21] Ibid.
[22] LCW, The National Programme of the RSDLP, 15 December 1913, vol. 19.
[23] Ibid., pp. 20-21, our emphasis.
[24] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, p. 401.
45
[25] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22, p. 349, our emphasis.
[26] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22, p. 350, our emphasis.
[27] LCW, The Right of Nations to Self-determination,February-May 1914, vol. 20, p. 409-
10.
[28] Terjemahan lanjutan dari penerjemah. LCW, The Right of Nations to Self-
determination,February-May 1914, vol. 20, p. 409-10.
[29] Ibid., our emphasis.
[30] Ibid., our emphasis.
46
Masalah Kebangsaan setelah Revolusi Oktober
“BERBAGAI tuntutan demokratik, termasuk tuntutan penentuan nasib sendiri
[kemerdekaan], bukanlah tuntutan yang absolut, tetapi hanya bagian kecil dari gerakan
demokratik (sekarang gerakan sosialis) sedunia. Di tiap-tiap kasus yang konkret, yang bagian
dapat berkontradiksi dengan yang keseluruhan, dan bila demikian maka ia harus ditolak.
Gerakan republiken di satu negeri bisa saja menjadi instrumen intrik klerus [atau feodal] atau
finansial-monarki dari negeri lain; dan bila demikian maka kita tidak boleh mendukung
gerakan ini. Tetapi konyol kalau kita lalu menghapus tuntutan pembentukan republik dari
program Sosial Demokrasi Internasional dengan alasan ini.”[1] (Lenin)
Kalimat di atas menunjukkan bahwa hak menentukan nasib sendiri hanya sebuah hak yang
relatif. Apakah kelas buruh harus mendukung tuntutan hak penentuan nasib sendiri akan
tergantung pada kondisi-kondisi yang spesifik di tiap-tiap kasus yang berbeda. Ini adalah
masalah yang konkret. Mustahil untuk mengambil satu posisi yang valid untuk semua kasus.
Lenin jelas tidak pernah mengambil posisi seperti itu. Kita harus memeriksa setiap kasus
secara konkret dan dengan hati-hati memisahkan yang progresif dari yang reaksioner. Kalau
tidak kita akan jatuh ke dalam kekacauan. Dan posisi Lenin terbukti tepat dalam praktek pada
1916. Masalah kebangsaan diselesaikan di Rusia, bukan oleh kaum borjuasi tetapi oleh
revolusi sosialis. Ini adalah fakta yang tidak ingin diakui oleh orang-orang yang
menghitamkan Bolshevisme. Revolusi Oktober adalah penting bagi mereka yang sungguh-
sungguh ingin memahami posisi Marxis mengenai masalah kebangsaan.
Seperti yang telah diprediksi oleh Lenin, rakyat Polandia hanya mendapatkan kemerdekaan
mereka sebagai hasil dari revolusi di Rusia. Revolusi Oktober menciptakan kondisi untuk
pecahnya Polandia dari Rusia. Sayap kanan Partai Sosialis Polandia terdorong ke tampuk
kekuasaan, dimana dengan terburu-buru mereka menyerahkan kekuasaan ke tangan kaum
borjuasi Polandia. Yang belakangan ini, didorong oleh Inggris dan Prancis, menyatakan
perang melawan Rusia pada 1920. Kaum Bolshevik tidak hanya mempertahankan dirinya
melawan borjuasi reaksioner Polandia, tetapi membawa perang ini ke dalam Polandia.
Apakah ini penyangkalan terhadap hak penentuan nasib sendiri Polandia? Lenin menjawab
masalah ini jauh hari di artikelnya The Discussion on Self-determination Summed Up, yang
ditulisnya pada Juli 1916:
“Bila situasi konkret yang dihadapi Marx di periode dimana pengaruh Tsar mendominasi
arena politik internasional mengulang dirinya sendiri, misalnya dimana ada sejumlah bangsa
yang memulai revolusi sosialis (seperti hanya revolusi borjuis-demokratik dimulai pada
1848), sementara bangsa-bangsa lain menjadi benteng reaksi borjuis – maka kita juga akan
mendukung perang revolusioner melawan bangsa-bangsa yang belakangan ini, mendukung
„meremukkan‟ mereka, mendukung menghancurkan semua pos terdepan mereka, tidak peduli
bila ada gerakan nasional kecil yang muncul di sana.”[2]
Baris-baris di atas cukup menjelaskan sikap Lenin yang sesungguhnya mengenai penentuan
nasib sendiri. Masalah kebangsaan (termasuk penentuan nasib sendiri) selalu subordinat pada
kepentingan umum proletariat dan revolusi dunia. Kaum proletariat harus mendukung
perjuangan pembebasan nasional dari bangsa-bangsa tertindas, sepanjang perjuangan
pembebasan ini diarahkan melawan imperialisme dan tsarisme. Dalam hal ini gerakan
nasional dapat menjadi sekutu kaum proletariat, seperti halnya kaum tani. Tetapi ketika
gerakan nasional ini diarahkan melawan revolusi, ketika bangsa-bangsa kecil digunakan
47
sebagai pion imperialisme dan reaksi (seperti yang biasanya terjadi dalam sejarah), maka
gerakan buruh harus melawannya, bahkan sampai pada titik mengobarkan perang melawan
gerakan ini. Ini jelas dari apa yang dikatakan oleh Lenin.
Program Bolshevik mengenai masalah kebangsaan dimaksudkan sebagai sarana untuk
menyatukan buruh dan tani dari semua kebangsaan dalam Rusia Tsaris, guna menumbangkan
Tsarisme secara revolusioner. Segera setelah kaum buruh Rusia berkuasa, mereka
menawarkan hak penentuan nasib sendiri untuk bangsa-bangsa tertindas, tetapi di
kebanyakan kasus rakyat dari bangsa-bangsa tertindas ini memutuskan untuk tetap berada di
dalam Federasi Soviet dan secara sukarela berpartisipasi di dalamnya. Polandia dan Finlandia
memutuskan untuk pecah dari Federasi Soviet, dan kedua negeri ini membentuk
pemerintahan kediktatoran reaksioner yang memusuhi Soviet. Ukraina jatuh ke tangan
Jerman. Kaum Bolshevik tidak mengintervensi Finlandia dan Polandia, bukan karena hak
penentuan nasib sendiri tetapi karena mereka terlalu lemah untuk melakukan ini. Di
kemudian hari mereka mengintervensi Polandia, Ukraina, dan Georgia.
Setelah Revolusi Oktober, lebih dari satu kali pemerintahan Bolshevik terpaksa mengobarkan
perang melawan gerakan nasionalis reaksioner, misalnya gerakan Dashnak Armenia dan
Rada Ukraina, yang tidak lain adalah kedok untuk intervensi imperialis di Republik Soviet.
Pada 1920, Lenin mendukung mengobarkan perang revolusioner melawan Polandia. Trotsky
menentang ini, bukan secara prinsipil atau karena hak menentukan nasib sendiri Polandia
(rejim reaksioner Pilsudski adalah kacungnya imperialisme Inggris dan Prancis yang
mendorong kebijakan agresif Polandia terhadap Soviet Rusia). Trotsky menentangnya hanya
karena alasan-alasan praktis.
Ketika kaum borjuasi nasionalis Finlandia, untuk alasan reaksioner mereka sendiri, pecah
dari Rusia setelah Revolusi Oktober, kaum Bolshevik tidak berusaha mengintervensi. Tetapi
ini adalah refleksi dari lemahnya negara Soviet pada saat itu. Negara buruh Soviet saat itu
sedang terlibat dalam perjuangan hidup-dan-mati di banyak front. Trotsky harus
mengimprovisasi Tentara Merah dari nol. Di Finlandia meledak perang sipil yang berdarah-
darah [pada 1918], antara Tentara Putih borjuis nasionalis dan kaum buruh.[3] Bila pada saat
itu kaum Bolshevik sudah memiliki Tentara Merah, mereka tentunya akan mengintervensi
untuk mendukung buruh Finlandia dalam melawan borjuasi nasionalis reaksioner. Tetapi
sayangnya tidak demikian. Kaum Bolshevik tidak mengintervensi Perang Sipil Finlandia
bukan karena “hak menentukan nasib sendiri”, yang seperti yang telah dijelaskan berulang
kali oleh Lenin, hanya merupakan satu bagian – yang relatif kecil – dari strategi umum
revolusi proletariat dunia. Hak penentuan nasib sendiri selalu subordinat pada revolusi
proletariat dunia, seperti halnya yang bagian selalu surbordinat pada yang keseluruhan.
Pada 1922 di bukunya Social Democracy and the Wars of Intervention (yang juga diterbitkan
dengan judul Between Red and White), Leon Trotsky menulis demikian:
“Perkembangan ekonomi dari masyarakat hari ini memiliki karakter yang teramat sentralis.
Kapitalisme telah meletakkan fondasi awal untuk ekonomi yang teregulasi dengan baik
dalam skala dunia. Imperialisme hanyalah ekspresi predatoris dari keinginan kapitalis untuk
mengambil peran kepemimpinan dalam mengelola ekonomi dunia. Semua negeri-negeri
imperialis besar menemukan bahwa mereka tidak punya cakupan yang cukup di dalam batas-
batas sempit ekonomi nasional, dan mereka semua mencari pasar yang lebih luas. Tujuan
mereka (dengan interpretasi yang paling idealistik) adalah monopoli ekonomi dunia. Dalam
fraseologi keserakahan dan Tugas fundamental dari epos kita adalah membangun relasi
48
ekonomi yang erat antara sistem-sistem ekonomi dari berbagai belahan dunia, dan
membangunnya untuk kepentingan seluruh umat manusia, yang berdasarkan produksi dunia
yang terkoordinasi, dengan penggunaan semua kekuatan produksi dan sumber daya dengan
cara yang paling ekonomis. Inilah tugas sosialisme.
“Dari sini jelas sekali kalau prinsip penentuan nasib sendiri sama sekali tidak menggantikan
kecenderungan penyatuan dari pembangunan ekonomi sosialis. Dalam hal ini, penentuan
nasib sendiri menempati, dalam proses perkembangan sejarah, posisi subordinat yang
biasanya ditempati oleh demokrasi umumnya. Namun sentralisme sosialis tidak bisa begitu
saja menggantikan sentralisme imperialis, tanpa sebuah periode transisi dimana bangsa-
bangsa yang tertindas harus diberikan kesempatan untuk meregangkan kaki tangan mereka
yang telah menjadi kaku karena terikat rantai kapitalis. ...”
“Tugas dan metode revolusi proletariat bukanlah secara mekanis menghapus karakteristik-
karakteristik nasional atau mengimplementasikan persatuan (amalgamasi) secara paksa.
Revolusi proletariat tidak akan campur tangan dalam masalah bahasa, pendidikan, literatur
dan kebudayaan dari berbagai bangsa. Revolusi proletariat lebih memikirkan hal-hal lain
ketimbang ketertarikan profesional dari kaum intelektual dan kepentingan „nasional‟ kelas
buruh. Kemenangan revolusi sosialis akan memberikan kebebasan penuh pada semua
kelompok-kelompok nasional untuk menyelesaikan untuk diri mereka sendiri semua masalah
kebudayaan nasional. Pada saat yang sama revolusi sosialis akan menyelesaikan tugas-tugas
ekonomi di bawah satu kepemimpinan (untuk kebaikan bersama dan dengan persetujuan
buruh), yang membutuhkan pendekatan yang bijaksana dan sepadan dengan kondisi-kondisi
alam, historis, dan teknis; dan bukan dengan kelompok-kelompok nasional. Federasi Soviet
adalah bentuk negara yang paling luwes dan fleksibel untuk koordinasi kondisi-kondisi
nasional dan ekonomi.”
“Para politisi Internasionale Kedua, serempak dengan mentor-mentor diplomat borjuis
mereka, tersenyum mengejek pada pengakuan kami atas hak menentukan nasib sendiri.
Pengakuan ini mereka anggap sebagai jebakan untuk rakyat yang bodoh – sebuah jebakan
dari imperialisme Rusia. Pada kenyataannya, sejarah sendirilah yang telah menaruh jebakan
ini, alih-alih menyelesaikan masalah ini secara langsung. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa
dituduh mengubah zig-zag perkembangan sejarah menjadi jebakan, karena walaupun kita
mengakui hak penentuan nasib sendiri kita selalu memastikan untuk menjelaskan kepada
massa rakyat keterbatasan historis dari hak tersebut, dan kita tidak pernah menaruhnya di atas
kepentingan revolusi proletariat.”[4]
Lenin dan Nasionalisme Rusia Raya
Lenin mengenal dan mencintai tradisi, sejarah, sastra dan kebudayaan nasional Rusia.
Walaupun Lenin adalah seorang internasionalis, dia sangat berakar pada kehidupan dan
kebudayaan Rusia. Namun dia tidak pernah sekalipun memberi konsesi pada sauvinisme
Rusia Raya. Sebaliknya, sepanjang hidupnya dia memerangi sauvinisme ini. Kemenangan
revolusi proletariat tentu saja tidak berarti semua prasangka kuno, kebiasaan berpikir lama
dan tradisi tua akan segera menghilang, dimana semua ini membebani kesadaran manusia
seperti “gunung Alpen”. Kita tidak mengubah cara berpikir manusia dalam waktu semalam
hanya dengan menumbangkan kekuasaan kaum penindas dan menasionalisasi alat-alat
produksi. Masyarakat yang baru masih akan menanggung barut dan deformasi dari tatanan
yang sebelumnya, tidak hanya di kulit punggungnya tetapi juga di benak pikirannya.
49
Terbangunnya relasi manusia yang sejati antara laki-laki dan perempuan, antara bangsa yang
sebelumnya tertindas dan yang sebelumnya tertindas, hanya dapat berlangsung dalam kurun
waktu tertentu, yang panjangnya akan ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan
produksi, lamanya jam kerja, dan tingkat kebudayaan rakyat. Inilah arti dari periode
transisional antara kapitalisme dan sosialisme. Dalam kasus Rusia, dimana revolusi menemui
dirinya terisolasi dalam kondisi keterbelakangan yang paling mengerikan, masalah-masalah
yang dihadapi oleh Soviet sangatlah besar. Ini berpengaruh langsung pada masalah
kebangsaan. Menjelang Perang Dunia Pertama Lenin menulis:
“Bahkan sekarang, dan mungkin untuk waktu yang cukup panjang, demokrasi proletariat
harus berurusan dengan nasionalisme dari kaum tani Rusia Raya (bukan dengan tujuan
memberi konsesi padanya, tetapi untuk memeranginya).”[5]
Dan dia lanjutkan:
“Situasi ini memaksa kaum proletariat Rusia untuk menghadap sebuah tugas yang memiliki
dua sisi: memerangi semua nasionalisme dan terutama nasionalisme Rusia Raya; mengakui
tidak hanya hak setara untuk semua bangsa umumnya, tetapi juga kesetaraan hak dalam hal
kenegaraan, yakni hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan pada saat yang sama,
tugas kaum proletariat adalah meluncurkan perjuangan melawan nasionalisme dari semua
bangsa, apapun bentuknya, dan menjaga persatuan perjuangan proletariat dan persatuan
organisasi proletariat, meleburkan organisasi-organisasi ini menjadi satu asosiasi
internasional yang rapat, terlepas dari keinginan borjuis untuk meraih keeksklusifan
nasional.”
“Kesetaraan hak yang penuh untuk semua bangsa, hak bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, persatuan buruh dari semua bangsa – inilah program nasional yang Marxisme,
pengalaman dari seluruh dunia dan pengalaman Rusia, ajarkan pada buruh.”[6]
Lenin selalu menunjukkan kepekaan yang besar ketika berurusan dengan bangsa-bangsa kecil
di Soviet. Kaum Bolshevik memenuhi semua kewajiban mereka pada bangsa-bangsa yang
sebelumnya ditindas oleh rejim Tsar. Pertama, nama Rusia dihapus dari semua dokumen
resmi. Kaum Bolshevik hanya menggunakan nama “Negara Buruh”. Lalu ada usaha untuk
membentuk Persekutuan Republik-republik Soviet (Union of Soviet Republics). Walaupun
jelas federasi ini bersifat sukarela, yang dibentuk segera setelah Revolusi Oktober, Lenin
berusaha sekeras mungkin untuk tidak memberi kesan barang secuilpun pada bangsa-bangsa
non-Rusia bahwa Bolshevik ingin membangun kembali kerajaan Tsaris lama dengan nama
baru. Dia menuntut kesabaran dan kepekaan. Akan tetapi, Stalin, yang ditunjuk sebagai
Komisar Bangsa-Bangsa karena dia adalah seorang Georgia, punya pikiran lain. Sudah sering
terjadi dimana seorang yang berasal dari bangsa kecil tertindas, yang mendapatkan jabatan
tinggi dalam pemerintahan bangsa penindas, cenderung menjadi sauvinis yang paling buruk.
Misalnya, Napoleon Bonaparte, walaupun seorang Corsica, menjadi pendukung sentralisme
Prancis yang paling fanatik.
Stalin, yang merupakan makhluk birokrasi, menjadi seorang sauvinis Rusia Raya yang sama
fanatiknya, walaupun dia tidak fasih bahasa Rusia dan punya logat Georgia yang kental. Pada
1921, kendati keberatan dari Lenin, Stalin meluncurkan invasi ke Georgia, yang adalah
(secara teoritis) sebuah negara independen. Dihadapi dengan fait accompli, Lenin terpaksa
menerima ini. Tetapi dia dengan keras menganjurkan kaum Bolshevik untuk menangani
Georgia dengan hati-hati dan peka, guna menghindari kesan sauvinisme Rusia Raya. Pada
50
saat itu Georgia, negeri yang dominan tani dan borjuis kecil, diperintah oleh kaum
Menshevik. Lenin mendukung kebijakan konsiliasi, dengan tujuan memenangkan
kepercayaan rakyat Georgia. Dia menekannya pentingnya menjaga hubungan bersahabat
antar bangsa, dan juga menekannya karakter sukarela dari federasi Soviet. Stalin, sebaliknya,
ingin menggunakan cara apapun untuk mendorong persatuan antara Federasi Sosialis Rusia
(RSFSR, Russian Soviet Federative Socialist Republic) dengan Transcaucasian Federation,
Ukrainian SSR (Soviet Socialist Republic) dan Bielorussian SSR. Ketika draf proposal Stalin
diserahkan ke Komite Pusat, Lenin mengkritiknya dan mengajukan sebuah draf alternatif
yang berbeda secara prinsipil dari drafnya Stalin. Lenin, seperti biasa, menekannya elemen
kesetaraan dan watak sukarela dari federasi Soviet: “Kita berdiri sama tinggi duduk sama
rendah dengan Republic Sosialis Soviet Ukraina dan yang lainnya, dan bersama-sama dengan
mereka dan dengan hak dan kewajiban yang setara kita memasuki sebuah persekutuan yang
baru, sebuah federasi yang baru...”[7]
Sementara, di belakang punggung kepemimpinan Partai, Stalin, dibantu oleh kacugnya
Ordzhonikidze (seorang Georgia yang ter-Rusia-kan seperti dirinya) dan Dzerzhinski
(seorang Polandia) meluncurkan semacam kudeta di Georgia. Bertentangan dengan anjuran
Lenin mereka membersihkan kaum Menshevik Georgia, dan ketika kaum Bolshevik Georgia
memprotes ini mereka dengan kejam disingkirkan. Stalin dan Ordzhonikidze menginjak-injak
semua kritik. Dalam kata lain, mereka menjalankan kebijakan yang berkebalikan dengan apa
yang dianjurkan oleh Lenin. Mereka mem-bully kaum Bolshevik Georgia dan bahkan
menggunakan kekerasan fisik, seperti ketika Ordzhonikidze menampar salah seorang
Bolshevik Georgia, sebuah tindakan yang tak pernah terdengar sebelumnya. Ketika Lenin,
yang sudah lumpuh karena sakit, akhirnya mengetahui hal ini, dia sangat geram dan mendikte
serangkaian surat ke sekretarisnya, dimana dia mengecam tindakan Stalin dengan sangat
keras dan menuntut hukuman yang paling berat untuk Ordzhonikidze.
Di sebuah surat yang didikte pada 24-25 Desember 1922, Lenin mencap Stalin sebagai
“seorang sosialis-nasionalis yang tulen”, dan seorang “bully Rusia Raya” yang vulgar.[8] Dia
menulis: “Saya juga khawatir Kamerad Dzerzhinski, yang berangkat ke Kaukasus untuk
menyelidiki „kejahatan‟ dari „para sosialis-nasionalis ini‟, justru menggunakan kerangka
berpikir Rusia (sudah biasa kalau orang-orang dari bangsa non-Rusia yang telah ter-Rusia-
kan justru memiliki kerangka berpikir Rusia yang berlebihan) dan imparsialitas dari seluruh
komisinya dikarakterkan dengan kekerasan yang dilakukan oleh Ordzhonikidze.”[9]
Lenin meletakkan kesalahan dari insiden ini di muka pintu Stalin. Dia menulis” Saya pikir
ketergesa-gesaan dan kegemaran Stalin dalam menggunakan metode administrasi murni,
bersamaan dengan kebenciannya terhadap “sosialisme-nasionalis” memainkan peran yang
fatal di sini. Dalam politik, kebencian biasanya memainkan peran yang paling buruk.”[10]
Lenin menghubungkan sikap Stalin di Georgia dengan masalah degenerasi birokratik
aparatus negara Soviet di bawah kondisi keterbelakangan yang mengerikan. Dia terutama
mengecam ketergesa-gesaan Stalin dalam mendorong Persekutuan Republik-republik Soviet,
tanpa mempertimbangkan opini dari rakyat yang bersangkutan, di bawah dalih “pentingnya
aparatus negara yang tersatukan”. Lenin dengan tegas menolak argumen ini, dan menjelaskan
kalau argumen ini adalah ekspresi dari sauvinisme Rusia Raya yang datang dari Birokrasi,
yang diwarisi oleh Revolusi dari tsarisme:
“Ada yang mengatakan bahwa kita membutuhkan sebuah aparatus negara yang tersatukan.
Dari mana argumen ini datang? Bukankah ini datang dari aparatus Rusia yang sama, yang,
51
seperti yang telah saya tunjukkan di salah satu bagian dari catatan harian saya, kita ambil alih
dari Tsarisme dan kita basuh sedikit dengan minyak Soviet?”
“Jelas kalau kebijakan ini [terkait dengan Georgia] harusnya kita tunda sampai kita bisa
bersumpah kalau aparatus negara sekarang adalah sungguh milik kita. Tetapi sekarang, kita
harus jujur mengakui bahwa aparatus negara kita, pada kenyataannya, masih asing bagi
kita; aparatus ini adalah aparatus tambal sulam borjuis dan Tsaris, dan selama lima tahun
terakhir kita tidak bisa menghancurkannya tanpa bantuan dari negeri-negeri lain dan karena
hampir setiap saat kita „disibukkan‟ dengan peperangan [Perang Sipil] dan perjuangan
melawan kelaparan.”
“Lazim kalau di bawah situasi seperti ini „kebebasan berpisah dari federasi [Soviet]‟ yang
merupakan justifikasi kita hanya akan menjadi secarik kertas saja, karena kita tidak bisa
membela rakyat non-Rusia dari gempuran orang Rusia tulen itu, yakni sauvinis Rusia Raya,
yang pada substansinya adalah seorang bajingan dan tiran, seperti birokrat Rusia yang tipikal.
Tidak ada keraguan kalau buruh Soviet yang jumlahnya teramat kecil ini akan tenggelam di
bawah gelombang sauvinisme Rusia-Raya seperti lalat di susu.”[11]
Setelah persoalan Georgia, Lenin menggunakan semua otoritasnya untuk menyingkirkan
Stalin dari posisi Sekretaris Jenderal partai yang dia duduki sejak 1922, setelah meninggalnya
Sverldov. Namun, kekhawatiran utama Lenin sekarang adalah perpecahan terbuka di
kepemimpinan partai, di bawah kondisi yang ada sekarang, dapat memecah partai seturut
garis kelas. Oleh karenanya dia berusaha membatasi polemik ini di badan kepemimpinan
partai saja, dimana catatan dan dokumen-dokumen tidak dibuat publik. Lenin mengirim surat
ke kaum Bolshevik-Leninis Georgia (dengan terusan ke Trotsky dan Kamenev) dan
mengatakan dia akan mendukung mereka untuk melawan Stalin “dengan sepenuh hati”.
Karena dia tidak bisa menangani masalah ini secara langsung, dia menulis ke Trotsky dan
memintanya untuk membela kaum Bolshevik Georgia di Komite Pusat.
Bukti-bukti perjuangan Lenin yang terakhir melawan Stalin dan birokrasi disembunyikan
selama puluhan tahun oleh Moskow. Tulisan-tulisan terakhir Lenin disembunyikan dari
anggota akar rumput Partai Komunis di Rusia dan seluruh dunia. Surat terakhir Lenin untuk
Kongres Partai, kendati protes dari istrinya, tidak dibaca pada saat Kongres Partai (Kongres
Partai ke-13 pada Mei 1924) dan dikunci rapat-rapat sampai 1956 ketika Khruschev dkk.
menerbitkannya, bersamaan dengan tulisan-tulisan lain mengenai Georgia dan masalah
kebangsaan. Dengan demikian perjuangan Lenin untuk mempertahankan kebijakan
Bolshevik dan internasionalisme proletariat yang sejati dibuat lenyap oleh birokrasi.
“Sosialisme di satu negeri”
Nasionalisme dan Marxisme tak terdamaikan satu sama lain. Nasionalisme adalah kembar
siam Stalinisme dalam berbagai variasinya. Di jantung ideologi Stalinisme adalah teori
sosialisme di satu negeri. Gagasan anti-Marxis ini tidak pernah terbayangkan oleh Marx
ataupun Lenin. Sampai pada akhir 1924, Stalin masih mendukung posisi internasionalis
Lenin. Pada Februari tahun itu, dalam karya Foundations of Leninism, Stalin meringkas
pandangan Lenin mengenai pembangunan sosialisme:
“Penumbangan kekuasaan borjuasi dan pembangunan pemerintahan proletariat di satu negeri
belum menjamin kemenangan penuh sosialisme. Tugas utama sosialisme – pengorganisasian
produksi sosialis – masih ada di muka. Dapatkah tugas ini dituntaskan, dapatkah kemenangan
52
akhir sosialisme di satu negeri tercapai, tanpa usaha bersama kaum proletariat dari beberapa
negeri kapitalis maju? Tidak, ini mustahil. Untuk menumbangkan kaum borjuasi, usaha dari
satu negeri saja cukup – sejarah revolusi kita telah membuktikan ini. Untuk kemenangan
akhir Sosialisme, untuk pengorganisasian produksi sosialis, usaha dari satu negeri, terutama
negeri tani seperti Rusia, tidaklah cukup. Untuk ini dibutuhkan usaha dari kaum proletariat
dari beberapa negeri maju.”
“Inilah, secara keseluruhan, ciri khas teori Leninis mengenai revolusi proletariat.”
Bahwa ini adalah “ciri khas teori Leninis mengenai revolusi proletariat” tidak pernah digugat
sampai pada paruh pertama 1924. Kata-kata ini telah diulang berkali-kali di ratusan pidato,
artikel, dan dokumen Lenin sejak 1905. Namun sebelum akhir 1924, buku Stalin telah
direvisi. Pada November 1926 Stalin sudah bisa mengatakan yang sebaliknya: “Partai selalu
mengambil sebagai titik acuannya gagasan bahwa kemenangan sosialisme di satu negeri, dan
tugas tersebut dapat dipenuhi dengan kekuatan dari satu negeri.”
Kalimat ini menandai perpecahan penuh dari kebijakan internasionalisme proletariatnya
Lenin. Stalin tidak akan pernah bisa mengatakan ini ketika Lenin masih bernafas. Teori
sosialisme di satu negeri merefleksikan mood dari kasta birokrasi yang sedang menguat, yang
telah hidup nyaman dari hasil Revolusi Oktober dan sekarang ingin menghentikan periode
badai revolusioner. Sosialisme di satu negeri adalah ekspresi teoritis dari reaksi borjuis kecil
dalam melawan Revolusi Oktober. Di bawah panji sosialisme di satu negeri, lapisan birokrasi
Stalinis meluncurkan perang sipil melawan Bolshevisme (sebuah perang yang timpang), yang
berakhir dengan penghancuran secara fisik Partainya Lenin dan lahirnya sebuah rejim
totalitarian yang mengerikan.
Rejim yang dibangun di atas tulang belulang Partai Bolshevik akhirnya menghancurkan
setiap warisan Revolusi Oktober. Tetapi ini bukan sesuatu yang niscaya sejak awal. Setelah
Revolusi Rusia, Komunis Internasional membela posisi masalah kebangsaan yang tepat.
Tetapi dengan perkembangan Stalinisme dan degenerasi Komunis Internasional, semua
gagasan fundamental Bolshevik hilang. Kebanyakan pemimpin Partai-partai Komunis di luar
Uni Soviet dengan mata tertutup patuh pada garis dari Moskow. Komintern diubah dari
kendaraan untuk revolusi proletariat sedunia menjadi instrumen pasif untuk kebijakan luar
negeri Stalin. Ketika Komintern sudah tidak lagi cocok untuk kepentingannya, Stalin dengan
begitu saja membubarkannya pada 1943, tanpa bahkan menyelenggarakan kongres.
Hanya satu orang yang menjelaskan jauh-jauh hari ke mana teori Sosialisme di satu Negeri
ini akan berakhir. Sedini 1928, Leon Trotsky memperingatkan bahwa bila teori ini diadopsi
oleh Kominter, ini akan secara tak terelakkan memulai proses yang hanya dapat berakhir
dengan degenerasi nasionalis-reformis dari setiap Partai Komunis di dunia. Tiga generasi
selanjutnya, Uni Soviet dan Komunis Internasional luluh lantak, dan Partai-partai Komunis di
mana-mana sudah lama menanggalkan kedok kalau mereka memperjuangkan kebijakan
Leninis.
Trotsky dan Masalah Ukraina
Bagi Trotsky, seperti halnya Lenin, masalah mendukung hak penentuan nasib sendiri adalah
masalah konkret, yang ditentukan sepenuhnya oleh kepentingan kelas proletariat dan revolusi
dunia. Contoh bagus mengenai metode Trotsky adalah sikapnya terhadap Ukraina pada
53
1930an. Perilaku buruk birokrasi Stalinis terhadap Ukrainia telah merusak parah rantai
solidaritas antara Rusia dan Ukraina yang dibangun oleh Revolusi Oktober.
Seperti Georgia, Ukrainia adalah negeri yang dominan agrikultural, dengan populasi tani
yang besar. Ukraina memiliki luas wilayah dan populasi yang hampir sama dengan Prancis,
dan sangat strategis bagi Bolshevik. Keberhasilan revolusi di Ukraina krusial untuk
memperluas revolusi ke Polandia, Balkan, dan yang terpenting dari semuanya Jerman. Pada
Januari 1919 Christian Rakovsky, Presiden Komisar Republik Soviet Ukraina, menyatakan:
“Ukraina sungguh adalah poin strategis untuk sosialisme. Revolusi di Ukraina akan
memercik revolusi di daerah Balkan dan memberi kaum proletariat Jerman peluang untuk
menghalau kelaparan dan imperialisme dunia. Revolusi Ukraina adalah faktor yang
menentukan dalam revolusi dunia.”[12]
Rejim Soviet didirikan di Ukraina dengan tidak begitu mudah. Ini sebagian karena intervensi
asing. Kesulitan utama adalah mengatasi dominasi kaum tani. Ini diperparah oleh masalah
kebangsaan. Walaupun bahasa Ukraina cukup dekat dengan Rusia, dan rakyat dari kedua
bangsa ini berbagi sejarah bersama selama berabad-abad (Kiev sebelumnya adalah ibukota
Rusia Kuno), rakyat Ukraina adalah bangsa terpisah dengan bahasa, kebudayaan dan identitas
nasional mereka sendiri – ini sebuah kenyataan yang tidak selalu diapresiasi oleh orang Rusia
Raya yang biasanya menyebut Ukraina “Rusia Kecil”.
Garis perpecahan nasional di Ukraina kurang lebih sama dengan garis perpecahan kelas
dalam masyarakat Ukraina. Dimana 80 persen populasi adalah kaum tani yang berbahasa
Ukraina, mayoritas populasi urban adalah orang Rusia. Oleh karenanya kaum Bolshevik
punya basis yang kuat di kota-kota, tetapi sangatlah lemah di pedesaan. Nasib revolusi
Ukraina tergantung pada penyelesaian masalah ini. Kelemahan Partai Bolshevik adalah
mereka dilihat sebagai Partai “Rusia dan Yahudi”. Akan tetapi, seiring dengan pecahnya
revolusi di Ukraina, diferensiasi kelas mulai terkuak di antara kaum tani dan ini terrefleksikan
dalam perpecahan di organisasi-organisasi nasional Ukraina. Perkembangan terpenting
adalah bergesernya ke kirinya organisasi Borotbists, yang bisa disamakan dengan Partai
Sosial Revolusioner Kiri di Rusia. Selama Perang Sipil, Borotbists bersekutu dengan kaum
Bolshevik untuk melawan Tentara Putih (Petlyura). Kendati keragu-raguan kaum Bolshevik
Ukraina, Lenin menuntut agar mereka bersatu dengan Borotbists. Setelah banyak kesulitan,
akhirnya Borotbists fusi dengan Partai Komunis, dan dengan demikian memberi partai ini
untuk pertama kalinya basis massa di antara kaum tani. Ini adalah faktor menentukan yang
menjamin kemenangan revolusi di Ukraina.
Ada banyak penyimpangan “nasionalis” di Partai Komunis Ukraina setelah itu. Ini benar.
Tetapi masalah ini ditangani dengan kesabaran dan kepekaan yang selalu menjadi ciri khas
dari kebijakan Lenin dan Trotsky dalam masalah kebangsaan. Namun kebangkitan Stalin dan
degenerasi birokratik negara Soviet memperparah keresahan di Ukraina. Di Kongres Partai
ke-12 pada 1923, Rakovsky menjelaskan akar permasalahan ini, sama seperti Lenin:
“Stalin hanya bisa mencapai penjelasan yang ada di permukaan saja. Ada penjelasan kedua
yang lebih penting, yakni jurang yang memisahkan antara partai kita dan program kita di satu
sisi, dan aparatus negara kita di sisi lain. Inilah permasalahan utamanya. ...”
“Pemerintahan pusat kita mulai melihat pengelolaan seluruh negeri dari sudut pandang
kenyamanan. Lazim kalau sangatlah melelahkan untuk mengelola dua puluh republik, dan
54
alangkah nyaman dan gampangnya kalau keduapuluh republik ini disatukan. Dari sudut
pandang birokratik, ini akan lebih sederhana, lebih mudah, lebih nyaman.”[13]
Pemusatan kekuasaan di tangan segelintir aristokrasi birokrasi baru yang berprivilese
memiliki pengaruh yang teramat buruk pada masalah kebangsaan di USSR. Avonturisme
birokratik yang dipaksakan oleh kaum birokrasi dalam mengolektivisasi pertanian memiliki
konsekuensi katastropik di seluruh Uni Soviet, dan terutama di Ukraina. Pembersihan yang
dilakukan oleh Stalin dimulai lebih awal di Ukraina, karena kegilaan kolektivisasi paksa telah
mendorong massa tani Ukraina ke oposisi. Ini terrefleksikan dalam oposisi di barisan anggota
Partai Komunis Ukraina. Dari 1933-36, Partai Komunis Ukraina dihancurkan oleh Stalin. Di
satu tahun saja, pada 1933, lebih dari separuh sekretaris daerah Partai dibersihkan Banyak
dari mereka yang dibersihkan adalah pendukung Stalin, seperti Mykola Skrypnyk, seorang
Bolshevik Tua dan pemimpin terkemuka Partai Komunis Ukraina, yang bunuh diri pada 1933
sebagai protes terhadap kampanye pembersihan Stalinis. Ini hanyalah pukulan pertama. Pada
1938, pada puncak Pembersihan Moskow, hampir separuh sekretaris dari organisasi-
organisasi Partai dibersihkan sekali lagi. Ini adalah peringatan bahwa hanya kepatuhan penuh
pada birokrasi Moskow yang akan ditolerir.
Dari pengasingannya Trotsky mengikuti peristiwa-peristiwa ini dengan keresahan yang kian
besar. Dia melihat bagaimana Pembersihan ini telah memukul Ukraina jauh lebih parah
daripada republik-republik lain, dan dia menyimpulkan bahwa kebijakan opresif dari
Birokrasi Rusia akan sangat meregangkan hubungan antara Ukraina dan Uni Soviet. Dia
melihat adanya bahaya kebangkitan nasionalisme Ukraina yang borjuis dan kontra-
revolusioner. Di tengah situasi seperti ini tendensi ini dapat mendapatkan gaung yang kuat di
antara kaum tani. Trotsky telah memperingatkan dunia akan keniscayaan perang dunia yang
baru, dimana Hitler akan mencoba menaklukkan Uni Soviet. Di bawah situasi ini masalah
Ukraina sangat penting dan mendesak bagi masa depan dunia.
Di bawah kondisi yang spesifik ini Trotsky mengedepankan slogan Ukraina Soviet Sosialis
yang independen. Maksudnya jelas: melemahkan kaum nasionalis borjuis Ukraina yang ingin
memecah Ukraina dari USSR di atas basis reaksioner, yang berarti menyerahkan Ukraina,
dengan potensi agrikultural dan industrialnya yang besar, ke Hitler. Trotsky memahami
bahwa sebuah revolusi politik di Ukraina akan segera mengedepankan masalah kebangsaan.
Dan dia paham bahwa kita sudah tidak bisa lagi mencegah Ukraina untuk pecah dari sebuah
persekutuan atau federasi yang dipaksakan, yang sekarang diasosiasikan di benak massa
dengan kekerasan, penderitaan dan penghinaan nasional. Tugas kaum Bolshevik-Leninis
Ukraina oleh karenanya adalah memberi gerakan nasional Ukraina sebuah konten sosialis,
dan bukannya borjuis.
Kemenangan revolusi di Ukraina akan memiliki pengaruh yang besar di Rusia dan negeri-
negeri tetangga, terutama di Ukraina Barat, yang berada di bawah kediktatoran Bonapartis
Pilsudski di Polandia. Reunifikasi Ukraina di atas basis rejim soviet sosialis yang independen
akan merobohkan rejim Pilsudski dan memantik revolusi sosialis di Polandia. Ini pada
gilirannya akan mendorong kelas buruh Jerman untuk melawan Hitler. Seperti pada 1919,
Ukraina pada 1930an juga adalah “kunci ke revolusi dunia”. Bila kelas buruh Ukraina
menaklukkan kekuasaan, bahkan bila ini mengarah ke perpisahan dari Rusia, pintu masih
akan terbuka untuk pembentukan federasi dengan Rusia di hari depan. Namun sejarah
bergulir tidak seperti yang diprediksi oleh Trotsky. Perang Dunia Kedua mengubah
perspektifnya.
55
Ketika Stalin pada 1939 menandatangani Pakta Hitler dan mengirim Tentara Merah
menduduki sebagian wilayah Polandia, termasuk Ukraina Barat, Trotsky memperingatkan
kalau Hitler pasti akan ingkar janji dan menyerang Uni Soviet. Di situasi ini, keresahan
nasional di Ukraina akan menjadi ancaman serius bagi Uni Soviet: “Kebijakan Hitler adalah
seperti berikut, pembangunan orde tertentu di negeri-negeri jajahannya, satu demi satu, dan
dari setiap taklukannya yang baru dia akan membangun sistem „persahabatan‟ yang baru.
Pada tahapan ini Hitler menyerahkan Ukraina Raya ke Stalin, temannya, sebagai deposito
sementara. Di tahapan selanjutnya dia akan mengedepankan pertanyaan siapa pemilik
Ukraina ini: Stalin atau dia, Hitler.”[14]
Dia memperingatkan kalau penindasan nasional terhadap Ukraina oleh Birokrasi Stalinis
Rusia Raya akan mendorong rakyat Ukraina ke pelukan Hitler. Karena alasan inilah, dan
dalam konteks sejarah yang unik ini, Trotsky mengajukan slogan Soviet Ukraina yang
independen, sebagai cara untuk memerangi nasionalisme borjuis Ukraina yang reaksioner dan
memenangkan buruh dan tani Ukraina ke gagasan kekuasaan soviet. Menjelang Perang Dunia
Kedua dia menulis:
“Orientasi pro-Jerman dari selapisan opini di Ukraina sekarang akan mengungkapkan
karakter reaksioner dan utopisnya. Hanya tersisa orientasi revolusioner. Perang akan
mempercepat laju perkembangan peristiwa. Supaya tidak tertangkap basah tidak siap, kita
harus mengambil posisi yang jelas dan tepat pada waktunya mengenai masalah Ukraina.”[15]
Pada 1941, tepatnya satu tahun setelah Trotsky dibunuh oleh agennya Stalin, Hitler
menyerang Uni Soviet, seperti yang telah diprediksi oleh Trotsky. Dan seperti yang dia
takuti, banyak rakyat Ukraina, terutama kaum tani, awalnya melihat Jerman sebagai harapan,
atau setidaknya dengan kepasrahan. Tetapi ini segera berubah karena kebijakan rasis dari
Nazi, dengan kegilaan “ras inferior” mereka. Bila Uni Soviet diserang oleh pasukan Amerika
Serikat dengan komoditas murah di bagasi kereta mereka, hasilnya akan berbeda. Tetapi
pasukan Hitler datang bukan dengan komoditas murah tetapi dengan kamar gas. Sebagai
akibatnya populasi Ukraina, dan tidak hanya Ukraina tetapi seluruh Uni Soviet, bersatu untuk
melawan penjajah Nazi. Pada akhirnya, jumlah kolaborator Nazi relatif kecil, bahkan di
Ukraina. Kendati semua kejahatan Stalinisme, mereka melihatnya sebagai terbaik dari yang
terburuk.
Trotsky melihat Ukraina sebagai kasus spesial. Dia mengedepankan slogan “Soviet Ukraina
independen” untuk sementara dan untuk alasan-alasan khusus. Dia tidak pernah
mengedepankan slogan yang sama untuk republik-republik lainnya di USSR. Terlebih, slogan
ini sekarang sudah tidak lagi cocok untuk Ukraina. Setelah runtuhnya USSR, Ukraina –
bersama dengan republik-republik soviet lainnya – telah meraih kemerdekaan. Tetapi setelah
10 tahun mengalami berkah kemerdekaan dan kapitalisme, massa di Ukraina sekarang tidak
lagi menginginkan mereka. Rakyat telah menarik kesimpulan mereka dari keruntuhan
ekonomi dan kebudayaan mengerikan yang merupakan hasil dari keruntuhan Uni Soviet.
Sekarang ada mood yang semakin membesar untuk kembali ke Uni Soviet. Tentu saja rakyat
Ukraina menginginkan hak-hak demokratik, termasuk otonomi untuk mengurus dapurnya
sendiri dan menghormati aspirasi, bahasa dan kebudayaan nasional mereka. Mereka ingin
diperlakukan setara, bukan seperti “Rusia Kecil” kelas kedua. Dalam kata lain mereka
menginginkan Federasi Sosialis yang sejati, yang berdasarkan prinsip Leninis. Ini juga adalah
program kita. Slogan lama “Soviet Ukraina independen” sudah tidak masuk akal. Ini akan
membuat kita lebih terbelakang dari rata-rata rakyat Ukraina yang insaf bahwa kemerdekaan
tidak memberikan solusi apapun.
56
Bahkan lebih bodoh lagi adalah usaha untuk mengaplikasikan slogan lama Trotsky secara
mekanis ke Kosovo, seperti yang coba dilakukan oleh satu sekte Trotskis. Setelah
menemukan sebuah frase dari tulisan Trotsky pada 1930an, mereka mengulang-ulangnya
seperti burung beo, tanpa sedikitpun pemahaman mengapa Trotsky mengedepankan slogan
tersebut atau apa artinya. Metode dialektik, yang digunakan oleh Lenin dan Trotsky, selalu
mulai dari proposisi dasar bahwa “kebenaran selalu konkret”. Kami telah menjelaskan alasan-
alasan khusus mengapa Trotsky secara sementara mengedepankan slogan ini, di bawah
kondisi yang partikular dan hanya di bawah kondisi tersebut. Tetapi Kosovo, setengah abad
kemudian, sama sekali tidak sama.
Kami akan menjelaskan di tempat lain posisi kami perihal masalah Kosovo (yang telah kami
jelaskan berulang kali sebelumnya). Pembubaran Yugoslavia – seperti halnya pembubaran
USSR – adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya reaksioner, yang tidak bisa kita
dukung. Dan seperti biasanya di Balkan, di belakang setiap gerakan nasional selalu ada
negeri-negeri imperialis besar yang bermain. Bagi negeri-negeri besar ini, bangsa-bangsa
kecil hanya seperti recehan yang habis pati ampas dibuang. Elemen menentukan dalam
persamaan ini adalah manuver imperialisme AS, yang menggunakan bendera NATO. Tentara
Pembebasan Kosovo (KLA, Kosovo Liberation Army) adalah sebuah gerakan yang
reaksioner luar-dalam, yang dalam kasus ini memainkan peran agen lokal imperialisme AS.
Dalam situasi seperti ini, seperti yang telah kita ulang-ulang sejak awal, peperangan di
Kosovo – yang katanya diperjuangkan di bawah panji “kemerdekaan” atau “penentuan nasib
sendiri” – hanya dapat berakhir dengan berdirinya protektorat atau negara boneka AS di
Kosovo. Dan inilah yang terjadi. Bila ada yang begitu buta hingga tidak bisa melihat ini,
kami merasa kasihan pada mereka.
Apa hubungannya ini dengan penentuan nasib sendiri? Bagaimana kegilaan hari ini [Perang
Kosovo dan juga perang-perang Yugoslavia lainnya pasca perpecahan Yugoslavia]
membantu perjuangan kelas buruh dan sosialisme? KLA, sebuah organisasi gangster, terlibat
dalam penyeludupan narkoba, penipuan dan pembantaian rakyat Serbia, orang Gipsi dan
bangsa-bangsa minoritas lainnya. Mereka ingin berkuasa supaya dapat meraih kemerdekaan
nantinya. Tetapi ini mustahil. Sebuah Kosovo yang merdeka akan berarti perang di Balkan,
yang melibatkan tidak hanya Yugoslavia, tetapi juga Albania, Macedonia, Yunani, Bulgaria
dan Turki. Untuk alasan ini imperialisme AS menentang kemerdekaan Kosovo. Tetapi, ada
pepatah: “fools rush in where angels fear to tread”. Apa masalahnya kalau ini menyebabkan
peperangan di Balkan? Begitu pikir sang sektarian. Yang penting Kosovo merdeka! Tetapi
ada sektarian lainnya yang bahkan lebih gila, yang menambahkan: “Kemerdekaan, yah, tetapi
ini harus kemerdekaan yang soviet dan sosialis!”
Sungguh sayang sekali kalau tulisan-tulisan dari orang-orang bodoh ini tidak tersedia untuk
para pemimpin NATO, yang jelas butuh hiburan ringan dari waktu ke waktu. Ini pasti akan
membuat para jenderal NATO terpingkal-pingkal. KLA bukanlah apa-apa tanpa Amerika di
belakangnya. Pada kenyataannya KLA adalah kepanjangan tangan dari pasukan AS dan oleh
karenanya tidak punya kemandirian. Hanya dengan bantuan pasukan AS KLA dapat
memasuki Kosovo. Dan hanya dengan seizin AS KLA dapat beroperasi. Bila KLA mbalelo,
sang majikan akan menghukumnya. Imperialisme sekarang berkuasa di Kosovo, dan akan
berkuasa untuk waktu yang lama karena mereka tidak akan begitu mudah menarik mundur
pasukannya. Inilah realitas konkret di Kosovi hari ini. Inilah “penentuan nasib sendiri” yang
telah diantarkan dengan bom-bom Amerika. Bodoh untuk mengharapkan hal lain. Tetapi
masih saja ada orang-orang yang menyebut diri mereka Marxis yang mendukung KLA, dan
bahkan menuntutnya. Salah satu dari mereka (seorang “teoretikus Marxis” bila kita percaya)
57
menulis ke Robin Cook, Menteri Luar Negeri Inggris, dan meminta agar NATO membom
Yugoslavia. Yah, mereka semua mendukung “penentuan nasib sendiri” dan “kemerdekaan”,
dan bahkan “Kosovo sosialis yang independen”. Tetapi sekarang, ketika dihadapkan dengan
realitas konkret dari sebuah negara boneka imperialis di Balkan, dimana bangsa yang
sebelumnya tertindas sekarang membantai dan menindas bangsa-bangsa minoritas lainnya,
apa yang bisa mereka katakan?
Masalah kebangsaan adalah jebakan bagi mereka yang tidak memikirkan segala sesuatunya
sampai akhir. Bila kita tidak memiliki posisi kelas yang tegas, kita hanya akan menggantikan
satu penindasan dengan penindasan yang lain. Kosovo membuktikan ini.
Masalah Kebangsaan dan Stalinisme
Lenin menjelaskan bahwa masalah kebangsaan, pada akhirnya, adalah masalah roti.
Perkembangan ekonomi USSR yang pesat, yang dimungkinkan oleh nasionalisasi dan
ekonomi terencana, menandai perbaikan besar dalam taraf hidup dan tingkat kebudayaan
semua rakyat Uni Soviet. Perbaikan terbesar dicapai oleh republik-republik yang paling
terbelakang di Kaukasus dan Asia Tengah. Dari 1917 sampai 1956, produksi industri
keseluruhan di USSR meningkat lebih dari 30 kali lipat. Tetapi di Kazakhstan meningkat 37
kali, Kirghizia 42 kali, dan Armenia 45 kali. Pertumbuhan yang serupa tercatat di Uzbekistan,
Tadzhikistan, dll. Kendati semua pencapaian luar biasa ini, penindasan nasional masih terjadi
di Uni Soviet. Kecongkakan kaum birokrasi sungguh tidak ada habisnya. Ini yang mereka
tulis misalnya:
“USSR adalah semacam negara multinasional yang tak pernah ada sebelumnya dalam
sejarah, yang didirikan di atas prinsip-prinsip kerja sama fraternal dan saling percaya. USSR
dimukimi oleh bangsa-bangsa sosialis (?) – Rusia, Ukraina, Georgia, Uzbek, dan lainnya.
Mereka adalah bangsa-bangsa tipe baru (?) yang tidak ada paralelnya dalam sejarah. Mereka
adalah bangsa-bangsa rakyat pekerja yang bebas dari segala macam penindasan dan
eksploitasi. Mereka terikat bersama oleh kesatuan moral dan politik, dan oleh persahabatan
sejati dari rakyat yang sedang membangun sebuah masyarakat baru. Bangsa-bangsa ini
memiliki susunan moral dan politik yang baru, yang dimanifestasikan dalam sebuah
kebudayaan bersama, yang kontennya sosialis dan bentuknya nasional. Mereka telah dididik
oleh Partai Komunis dalam semangat patriotisme Soviet, persahabatan antar rakyat dan
penghormatan atas hak-hak rakyat lain, dalam semangata internasionalisme.”[16]
Mitos dari birokrasi yang menyajikan relasi antar bangsa-bangsa di USSR secara idealis tidak
sesuai sama sekali dengan realitas sesungguhnya. Di sini bukanlah tempatnya untuk mengkaji
perkembangan dan evolusi Uni Soviet setelah kematian Lenin. Para pembaca bisa membaca
buku karya Ted Grant, Russia – From Revolution to Counter-revolution, dimana masalah
kebangsaan di USSR dianalisa cukup detil. Sauvinisme buruk rupa dari Stalin dan Birokrasi
menggerus solidaritas yang ada di antara rakyat dari beragam bangsa di Uni Soviet, dan
dengan demikian membuka jalan bagi pecahnya Uni Soviet [pada 1989-91] yang membawa
kesengsaraan bagi semua rakyat. Kita akan kesulitan, dan bahkan mustahil, menjelaskan
begitu cepatnya Uni Soviet pecah bila kita menerima propaganda Stalinis bahwa semuanya
baik-baik saja. Pada kenyataannya tidak demikian.
Di bawah Stalin, penindasan yang paling mengerikan diderita oleh bangsa-bangsa minoritas
di USSR. Pembersihan 1936-38 menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh Stalin pada 1922
– likuidasi Partai Bolshevik. Sekitar pertengahan 1937 Stalin meluncurkan pembersihan
58
besar-besaran di semua Partai Komunis republik-republik Uni Soviet. Sejumlah pimpinan
Partai-partai Komunis nasional disidang bersama dengan Bukharin pada Maret 1938 di
sebuah pengadilan kanguru [yang dikenal dengan nama The Trial of the Twenty One, atau
Persidangan Dua Puluh Satu]. Para pemimpin ini dituduh bersalah atas penyimpangan
“nasionalisme borjuis” dan dieksekusi. Setelah persidangan ini penangkapan dan deportasi
massal diluncurkan. Jumlah persis korban Pembersihan Stalin mungkin tidak akan pernah
diketahui, tetapi jelas dalam jumlah jutaan. Orang Ukraina, Armenia dan Georgia tidak akan
merasa lebih baik mengetahui kalau orang Rusia juga menjadi korban dari Pembersihan yang
sama. Nasionalisme Rusia ekstremnya Stalin bisa diringkas dalam sebuah pidato yang
diterbitkan oleh Pravda pada 25 Mei 1945, dimana dia menyatakan bahwa rakyat Rusia
adalah “bangsa yang paling hebat dari semua bangsa di Uni Soviet” dan “kekuatan pemandu”
USSR.[17] Ini artinya semua bangsa lainnya adalah bangsa kelas-dua yang harus menerima
“panduan” dari Moskow. Konsepsi semacam ini melanggar semangat kebijakan Leninis
dalam masalah kebangsaan.
Kejahatan yang paling mengerikan yang dilakukan oleh Stalin adalah deportasi massal
terhadap rakyat dari bangsa-bangsa minoritas selama Perang Dunia Kedua. Selama Perang
ini, tidak kurang dari tujuh bangsa yang dideportasi ke Siberia dan Asia Sentral di bawah
kondisi yang paling tidak manusiawi: rakyat Tartar Krimea, Jerman Volga, Kalmyk,
Karachai, Balkar, Ingushi dan Chechen. NKVD, polisi rahasianya Stalin, menciduk semua
orang, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang tua dan yang pesakitan, Komunis dan aktivis
serikat buruh, dan menggiring mereka semua ke truk-truk dengan senapan di tangan. Banyak
sekali yang mati di transit atau di tempat tujuan, karena dingin, lapar atau letih. Tentara yang
bertempur di garis depan, bahkan mereka-mereka yang telah diberi medali kehormatan, juga
ditangkap dan dideportasi. Warisan kepedihan akibat kekejaman, kesewenang-wenangan, dan
penindasan nasional ini masih terasa sampai hari ini. Ini terekspresikan dalam pecahnya Uni
Soviet dan mimpi buruk di Chechnya.
Upaya untuk me-Rusia-kan rakyat non-Rusia ditunjukkan oleh komposisi dari badan-badan
kepemimpinan Partai-partai Komunis di republik-republik USSR. Pada 1952, hanya sekitar
setengah dari pejabat tinggi Republik-republik Asia Sentral dan Balik adalah orang lokal. Di
tempat lain proporsinya bahkan lebih rendah. Misalnya, di Partai Moldova hanya 24,7 persen
adalah orang Moldova, sementara hanya 38 persen rekrut Partai Tadjik adalah orang Tadjik.
Salah satu ciri paling menjijikkan dari Stalinisme adalah antisemitismenya [anti Yahudi].
Partai Bolshevik selalu berjuang melawan antisemitisme. Oleh karenanya kaum Yahudi
melihat Revolusi Oktober sebagai keselamatan mereka. Kaum Bolshevik memberi kaum
Yahudi kebebasan penuh dan kesetaraan hak. Bahasa dan kebudayaan mereka diberi ruang
untuk berkembang. Mereka bahkan membentuk sebuah republik otonomi, supaya orang
Yahudi yang menginginkan tanah air yang terpisah boleh memilikinya. Tetapi di bawah
Stalin sampah-sampah rasisme lama dibangkitkan kembali. Kaum Yahudi dijadikan kambing
hitam lagi. Sejak tahun 1920an Stalin sudah siap menggunakan antisemitisme untuk melawan
Trotsky. Karena cukup banyak Bolshevik Tua adalah Yahudi, mereka menderita lebih parah
selama Pembersihan. Setelah Perang Dunia Kedua, ada kampanye antisemitisme, yang secara
parsial ditutupi dengan kedok “Zionis” atau “kosmopolitan tanpa akar” [sebutan ini mengacu
pada kaum intelektual Yahudi yang dianggap tidak patriotik dan dituduh keBarat-baratan],
kata-kata yang sebenarnya mengacu pada kaum Yahudi. “Plot Doktor”, dimana pada 1952-53
sejumlah dokter Kremlin dituduh mencoba meracuni Stalin, adalah sinyal untuk kampanye
anti-Yahudi. Setelah pendirian negara Israel pada 1948 (yang awalnya didukung oleh
Moskow), kebudayaan Yahudi sejak itu direpresi keras. Pada 1952, setahun sebelum
59
meninggalnya Stalin, hampir semua tokoh budaya Yahudi dieksekusi, dan banyak orang
Yahudi yang ditangkap. Hanya kematian Stalin yang mencegah dimulainya sebuah
Pembersihan yang baru. Bahkan hari ini, elemen antisemitisme masih ditemui di Partai
“Komunis”nya Zyuganov [Partai Komunis Federasi Rusia yang dibentuk setelah runtuhnya
Uni Soviet, yang dipimpin oleh Gennady Zyuganov]. Ini saja sudah cukup untuk
membuktikan adanya jurang dalam yang memisahkan Stalinisme (dan neo-Stalinisme) dari
Leninisme sejati.
Hari ini, akhirnya, semua telah berpulang ke tempat yang semestinya. USSR telah runtuh dan
terpuruk ke dalam konflik dan peperangan. “Kehidupan itu sendiri adalah guru”, seperti yang
Lenin gemar kutip. Dan kehidupan itu sendiri telah memberi pelajaran yang sangat keras
pada rakyat Uni Soviet. Kegagalan Sosialisme di Satu Negeri telah mengekspos
kebangkrutan dari kaum Birokrasi, yang sekarang sibuk mengubah diri mereka menjadi kelas
kapitalis yang baru. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa dalam epos modern hari ini
ekonomi dunia adalah faktor penentu. “Sosialisme di satu negeri” telah terekspos sebagai
utopia reaksioner.
Mimpi buruk keruntuhan ekonomi, peperangan dan konflik etnis hari ini di negeri-negeri eks-
Soviet adalah warisan buruk dari puluhan tahun kekuasaan birokratik totalitarian Moskow.
Akan tetapi kapitalisme juga tidak menawarkan jalan keluar bagi republik-republik eks-
Soviet. Kemerdekaan formal tidak menyelesaikan satu hal pun bagi mereka. Sebaliknya,
terputusnya mata rantai yang menghubungkan mereka semua ke dalam satu rencana produksi
bersama telah mengakibatkan runtuhnya perdagangan dan ekonomi, yang menyengsarakan
rakyat. Kebanyakan orang jelas akan memilih situasi yang sebelumnya dibandingkan
kesengsaraan hari ini. Rekonstruksi USSR akan menjadi langkah yang progresif, tetapi
kembali ke sistem birokratik yang lama bukanlah solusi yang akan berkelanjutan. Semua
kontradiksi lama akan kembali dan krisis baru akan terulang. Yang diperlukan adalah
kembali ke gagasan dan program Lenin dan Trotsky: negara buruh (soviet) yang demokratik
dimana rakyat pekerja dari semua Republik dapat mendirikan sebuah Federasi Sosialis yang
berdasarkan kesetaraan dan persaudaraan yang sejati, dimana tidak ada satu pun bangsa yang
mendominasi bangsa lain.
Kendati semua ini, perspektif transformasi sosialis masih relevan. Kendati keruntuhan yang
begitu parah, Rusia sudah bukan lagi negeri tani terbelakang dan buta huruf seperti 1917. Bila
kelas buruh merebut kekuasaan ke tangan mereka, prospek untuk bergerak ke arah sosialisme
setidaknya ada, walaupun kemenangan akhir hanya bisa dicapai dalam skala dunia.
Walaupun begitu, Rusia dan negeri-negeri eks-Soviet memiliki potensi produksi yang besar,
dan juga tenaga kerja yang besar dan terdidik, yang merupakan kunci untuk perkembangan
teknologi informasi yang baru. Kapitalisme telah menunjukkan ketidakmampuannya untuk
menggunakan potensi ini sepenuhnya. Tetapi nasionalisasi dan ekonomi terencana yang
demokratik dapat dengan cepat mengubah situasi ini.
Di atas basis ekonomi modern, dimana kelas buruh sekarang adalah mayoritas besar, sebuah
rencana produksi sosialis yang demokratik yang dapat mendayagunakan sumber daya alam,
manusia dan teknologi yang luar biasa besar dari wilayah yang luas ini dapat memproduksi
keberlimpahan, yang dalam waktu yang relatif singkat mampu menghapus semua
permusuhan nasional dan perasaan saling curiga. Jalan akan terbuka untuk persaudaraan di
antara bangsa-bangsa dalam sebuah Persemakmuran Sosialis yang bebas, dan juga
perkembangan kebudayaan manusia. Visi masa depan seperti ini memberikan inspirasi jauh
lebih besar dibandingkan utopia nasionalisme yang sempit dan picik.
60
[1] LCW, The Discussion on Self-determination Summed Up, July 1916, vol. 22.
[2] LCW,The Discussion on Self-determination Summed Up, vol. 22.
[3] Gerakan buruh Finlandia mengalami kekalahan telak dalam Perang Sipil ini (27 Januari -
15 Mei 1918), dimana lebih dari 27 ribu kaum revolusioner kehilangan nyawanya (7000
dieksekusi, 12000 mati di penjara, 5200 mati dari peperangan).
[4] Leon Trotsky, “Between Red and White”. 1922.
[5] LCW, The Right of Nations to Self-determination, February-May 1914, vol. 20, our
emphasis.
[6] Ibid.
[7] Lenin, Questions of National Policy and Proletarian Internationalism, p. 223.
[8] See Buranov, Lenin's Will, p. 46.
[9] LCW, The Question of Nationalities or 'autonomization', 13 December 1922, vol. 36, p.
606.
[10] Ibid.
[11] Ibid., p. 605, our emphasis.
[12] Christian Rakovsky, Selected Writings, p. 24.
[13] (Ibid., p. 33.)
[14] Trotsky,Writings, 1939-40, p. 90.
[15] Trotsky, Writings, 1939-40, p. 86.
[16] Introduction to Lenin's Questions of National Policy and Proletarian Internationalism,
p. 11.
[17] Stalin, Toast to the Russian People at a Reception in Honour of Red Army Commanders
Given by the Soviet Government in the Kremlin on Thursday, May 24, 1945