maqamat

25
MAQAMAT (TINGKATAN) DALAM TASAWUF MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf yang dibina oleh Duki, MA Disusun Oleh: 1. Aliefiah Arief Zuraidha 11520015 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI OKTOBER 2013

Upload: aliefiah-az

Post on 12-Feb-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tasawuf

TRANSCRIPT

Page 1: MAQAMAT

MAQAMAT (TINGKATAN) DALAM TASAWUFMAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliahTasawuf

yang dibina oleh Duki, MA

Disusun Oleh:1. Aliefiah Arief Zuraidha 11520015

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSIOKTOBER 2013

Page 2: MAQAMAT

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran dalam membuat

makalah ini. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Tak lupa shalawat serta

salam selalu kita junjung untuk Nabi besar kita Nabi Muhamad SAW yang mana telah

memberikan syafaatnya kepada kita semua.

Tak ubahnya kehidupan yang selalu berproses, begitu juga yang akan dibahas dalam

makalah ini. Yaitu, mengenai proses yang terdiri dari tingkatan-tingkatan untuk bisa semakin

dekat dengan Allah SWT. Tingkatan-tingakatan yang dilalui seorang sufi nantinya.

Selengkapnya akan dibahas lebih dalam pada makalah ini.

“Tak ada gading yang tak retak” begitu juga dengan makalah yang dibuat oleh kami.

Maka dari itu kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Tak

lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dalam terselesaikannya makalah ini. Akhir kata kami mengucapkan,

Wassalamualaikum wr wb

Malang, Oktober 2013

Penulis

Page 3: MAQAMAT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian

pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.

Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan

diri serta mengamalkannya secara benar. Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bahwa

para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan

menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah, lalu secara bertahap

menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan

berakhir dengan mengenal kepada Allah. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan

melalui amalan dan metode tertentu yang disebut jalan untuk menemukan pengenalan Allah.

Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan secara rohaniah yang benar

terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila

belum melakukan perjalanan menuju Allah, walaupun ia adalah orang yang beriman secara

aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah dan iman

secara rasa.

Banyak jalan dan cara yang ditempuhi seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan

mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti memperbanyakkan zikir, beramal

soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spiritualnya, seorang sufi pasti

menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itu disebutkan maqamat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan maqamat dalam tasawuf?

2. Apa saja maqamat yang dimaksud dalam tasawuf tersebut?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui makna dari maqamat dalam tasawuf.

2. Mengetahui penjelasan tentang maqamat dalam tasawuf.

Page 4: MAQAMAT

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maqamat dalam Tasawuf

Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam. Maqam secara bahasa berarti tempat

berdiri, stasiun, tempat, lokasi posisi, atau tingkatan. Sedangkan menurut istilah, para ahli

sufi memiliki pandangan yang berbeda akan pengertian maqam. Namun secara substansi

memiliki pemahaman yang relatif sama. Dalam pandangan al-Qusyairi, maqam adalah

tahapan etika seorang hamba dalam rangka sampai kepada-Nya dengan berbagai upaya,

diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam

tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual menuju

kepada-Nya.

Menurut al-Hujwiri menunjuk maqam kepada “keberadaan” seseorang di jalan Allah,

yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta

menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya, sejauh berada dalam kekuatan manusia.

Sehingga dapat disimpulkan maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus

ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui

seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban

yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai

maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

Maqamat sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari thariqah atau thariq yang

berati jalan. Dalam al-Mausu’ah al-Arabiyyah al-Muyassarah diterangkan bahwa thariqah

adalah tingkah laku yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju

Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat dan mendaki ahwal. Jadi,

maqamat bisa menjadi bagian dari thariqah dalam pengertiannya yang umum, dapat pula

berarti thariqah itu sendiri dalam pengertiannya yang khusus.

Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa setiap maqam adalah upaya yang

tentunya diperoleh dari upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri

berpendapat bahwa istilah maqam menunjuk kepada jalan sang pencari. Oleh karenanya,

maqam termasuk dalam kategori tindakan. Dengan kata lain, maqam adalah sebuah upaya

dengan perjuangan yang sungguh-sungguh. Dapat diartikan pula, maqam itu menunjuk

kepada sebuah kerja aktif.

Maqamat ini sendiri memiliki hubungan yang sangat erat dengan ahwal (bentuk

jamak dari hal). Menurut al-Sarraj, maqam adalah usaha sang hamba demi mendapat

Page 5: MAQAMAT

kedudukan istimewa di hadapan Allah yang dicapai melalui serangkaian ibadah, latihan-

latihan rohani, dan berjuang melawan penyakit hati. Sedang hal adalah anugerah Allah yang

diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam

menempuh maqamat.

Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan juga tentang ahwal ini

sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang

dua konsep ini adalah Ali bin Abi Thalib: ketika ditanya tentang iman, ia menjawab bahwa

iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran, keyakinan, keadilan, dan perjuangan, dan tiap

pondasi memiliki sepuluh maqamat.

2.2 Maqamat dalam Tasawuf

Sebagaimana telah dibahas dalam subbab sebelum ini, maqamat adalah tingkatan-

tingkatan yang harus dilalui para sufi agar bisa berada lebih dekat dengan Allah secara

rohaniah. Kaum sufi berbeda pandangan perihal jumlah maqam. Abu Thalib al-Makki

membagi maqamat kepada sembilan tahapan, sedangkan Abu Sa’id ibn Abi al-Khayr

menyebut 40 jumlah maqamat. Al-Hujwiri menyebut jumlah maqamat sebanyak jumlah

kenabian, sedang al-Anshari dalam Manazil-nya menyebut seratus maqamat dengan sepuluh

klasifikasi. Bahkan, Abu Bakar al-Kattani menyebut jumlah hingga ribuan maqamat ‘Cahaya

dan Kegelapan”.

Sebagaimana telah disebutkan diatas jumlah tingkatan-tingkatan (maqamat) yang

harus dilalui oleh seorang sufi menurut masing-masing ahli sufi yang terdiri dari beberapa

tahapan. Namun, pada umumnya, maqamat hanya berjumlah tujuh tahapan, yang ini

mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya. Dan pada

puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia. Adapun  maqamat

yang dimaksud diantaranya sebagai  berikut:

1. Taubat

Dalam beberapa literatur ahli sufi ditemukan bahwa maqam pertama yang

harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini.

Beberapa diantara mereka memandang bahwa taubat merupakan awal semua

maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi

bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang tidak akan dapat menyucikan

jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah. Dalam ajaran tasawuf  konsep

taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat

berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-

Page 6: MAQAMAT

perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali

kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara seorang hamba dan

Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan

menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada sedekat mungkin dengan

Allah ia hrus membersihkan diri dari segala macam dosa dengan jalan tobat. Tobat ini

merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh

lagi kaum sufi memahami tobat dengan lupa pada segala hal kecuali Allah. Tobat

tidak dapat dilakukan hanya sekali, tetapi harus berkali-kali. Dalam hal ini Dzu al-

Nun al-Mishry membagi taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan

orang khawas. Ia mengatakan:

الغفلة من الخواص وتوبة الذنوب من العوام توبةLebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu

taubat kemudian inabah (kembali) dan tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj

tobat terbagi pada beberapa bagian. Pertama, taubatnya orang-orang yang

berkehendak (Muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli

haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-

dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka

senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus).

Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.

Kelompok ketiga ini bisa juga disebut kaum ‘arifin (orang-orang yang

mengetahui Allah). Mereka jika melakukan riya’ sama nilainya dengan ikhlasnya

orang-orang yang berkehendak. Bagi mereka, kedekatan dan ketaatan seorang ‘arif

kepada Allah atas motivasi kedekatan dan ketaatan an sich, maka hal itu sudah

termasuk dosa. Maqam tobat ini, menurut al-Sarraj membutuhkan maqam wara’.

2. Wara’

Kata wara’ secara etimologi mengarah pada kata واالنقباض yang berarti  الكفِّ

menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf wara’ bermakna

menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang meragukan (syubhat).

Hal ini sejalan dengan hadits nabi:

عبد بن إسمعيل عن مسهر أبو حدثنا قالوا واحد وغير النيسابوري نصر بن أحمد حدثنا

: قال هريرة أبي عن سلمة أبي عن الزهري عن قرة عن األوزاعي عن سماعة بن الله

يعنيه ال ما تركه المرء إسالم حسن من وسلم عليه الله صلى الله رسول قال“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan

sesuatu yang tidak penting baginya”.

Page 7: MAQAMAT

Adapun makna wara’ secara rinci adalah meninggalkan segala hal yang tidak

bermanfaat berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas

lain yang dilakukan seorang muslim. Seorang salik hendaknya tidak hidup secara

sembarangan, ia harus menjaga tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan

memilih makanan dan minuman yang dikonsumsinya.

Wara, merupakan salah satu sifat pengendalian diri untuk menjaga kesucian

jiwa raga karena dengan sifat ini seseorang menjauhi perkara subhat apalagi sampai

perrkara yang bersifat haram. Sehingga, ketika seorang salik memang benar-benar

berusaha menempuh dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi larangan

Allah dari segala hal yang masih meragukan dengan benteng sifat wara, niscaya sifat

yang mulia ini akan menjadi karakter dan kepribadian luhur yang mendarah daging

sampai anggota tubuhnya pun akan menjadi benteng yang tangguh bagi dirinya untuk

menjaga dari segalah kemaksiatan. Sehingga, hati dan pikiranya akan menjadi

jernih,segala ucapan,tingkah laku, ide dan kreativitasnya mengandung hikmah dan

manfaat untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.

Dilihat dari jenisnya wara’ terbagi menjadi dua, yakni wara’ lahir dan wara’

batin. Wara’ lahir adalah tidak menggerakkan anggota tubuh, melainkan hanya untuk

sesuatu yang diridhoi Allah. Sedangkan wara’ batin adalah tidak memasukkan kepada

ingatan dan kenangan kecuali kepada Allah.

Al-Sarraj membagi wara’ menjadi tiga tingkatan : 1) memelihara diri dari yang

syubhat, 2) memelihara diri dari yang halal yang akan membawa kepada maksiat dan

3) memlihara diri dari sesuatu yang halal yang akan membawa lupa kepada Allah.

Dengan wara’ seorang sufi dapat menghilangkan segala rintangan yang akan

menghalangi diri dari dekat kepada Allah. Maqam wara’, menurut al-Sarraj

membutuhkan maqam zuhud.

3. Zuhud

Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya dalam berbagai literatur ilmu

tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu persyaratan yang dimiliki oleh seorang

sufi untuk mencapai langkah tertinggi dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh imam al-Gazali “mengurangi keinginan

kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang

mendefenisikannya dengan makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak

menginginkannya” , “kedudukan mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang

diridhai”, serta “martabat tinggi yang merupakan langkah pertama bagi salik yang

Page 8: MAQAMAT

berkonsentrasi, ridha, dan tawakal kepada Allah SWT”. Menurut Haidar Bagir konsep

zuhud diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.

Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung

tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf  z berarti zinah (perhiasan atau

kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk kepada dunia

(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap

hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena

semata-mata taat  dan mengharapkan ridha Allah SWT.

Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama,

Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-

orang khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan

yang merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga

nafsunya benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang

khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan

bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci.

Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan

menurut al-Sarraj ada tiga kelompok zuhud :

a. Kelompok pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong

tangannya dari harta milik, dan juga kosong kalbunya.

b. Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd).

Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan

kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu

berupa pujian dan penghormatan dari manusia.

c. Kelompok yang mengetahui dan meyakini bahwa apapun yang ada di dunia

ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak

membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi sedikitpun

kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.

Zuhud membutuhkan maqam faqr. Zuhud berarti sebuah sikap rohani yang

tidak dikuasai dunia materi hanya bisa sempurna dengan sikap faqr, yakni sebuah

sikap mental yang senantiasa merasa butuh kepada Allah, hanya kepada Allah tidak

kepada yang lainnya. Seseorang yang bersikap zuhud berarti ia sudah membebaskan

dirinya dari jeratan dan kungkungan duia materi yang bisa mencelakakannya.

Kebutuhan terhadap dunia materi sekedar memenuhi hajat hidupnya semata, tidak

lebih. Kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.

Page 9: MAQAMAT

4. Faqr

Faqr bermakna senantiasa merasa butuh kepada Allah. Sikap faqr sangat erat

hubungannya dengan sikap zuhud. Jika zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi

keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi (keduniaan) yang sangat diinginkan

maka faqr berarti mengosongkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja

selain Allah, kebutuhannya yang hakiki hanya kepada Allah semata.

Orang yang faqr bukan berarti tidak memiliki apa-apa, namun orang faqir

adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata, orang yang hanya memperkaya

rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr berarti telah membebaskan

rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk memenuhi hajat hidupnya.  Ali

Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub,  mengutip seorang sufi yang mengatakan

“Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan

dirinya hampa dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym

bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri dan jiwanya terjaga

dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”

Selanjutnya menurut Abi Nasr As-Saraaj Ath-Thusiy,derajat fuqara di

klasifikasikan menjadi tiga yaitu

1)      Golongan yang tidak memiliki sesuatu, dan secara zahir batin ia memang tidak

meminta dan menanti apapun dari orang lain. Ketika ia diberi ia tidak mau

mengambil. Setra ini adalah maqam muqarrabin.

2)      Golongan yang tidak memiliki sesuatu, tidak meminta, menginginkan, atau

memohon kepada siapapun. Ketika diberi dengan tanpa meminta,ia menerima.ini

adalah maqam Al-siddiqqin.

3)      Golongan yang tidak memiliki sesuatu dan ketika membutuhkan ia mengutarakan

keinginanya pada sebagian saudaranya yang ia ketahui bahwa saudaranya akan

senang dengan ungkapan pengaduanya tersebut. Maka, sesungguhnya

memecahkan permasalahanya merupakan nilai shadaqah.

Maqam faqr ini membutuhkan maqam sabar. Faqr yang berarti senantiasa

merasa butuh kepada Allah, menyatakan diri tidak memiliki apa-apa, bebas dari

segala jenis keterikatan kepada hal-hal duniawi, dan yang dirasakan hanyalah

kebutuhan kepada Allah semata hanya bisa dicapai dengan sempurna melalui sikap

sabar, yakni menahan atau menanggung beban penderitaan. Seseorang yang bersikap

faqr berarti ia telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk

Page 10: MAQAMAT

untuk memenuhi hajat hidupnya. Orang seperti itu juga berarti memiliki kesabarab

prima dalam dirinya.

5. Sabar

Secara literal sabar berarti menahan atau menanggung. Dalam perspektif

tasawuf sabar berarti menjaga adab dihadapan musibah yang menimpanya, selalu

tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta tabah pula

dalam menghadapai setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan. Dalam

pandangan kaum sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman adalah dorongan

hawa nafsunya sendiri. Kesabarn merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia

Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya,

mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu

dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai.

Menurut Dzunun, sabar adalah menjauhi pelanggaran dan tetap bersikap rela

ketika merasakan sakitnya penderitaan. Sabar juga berarti meminta pertolongan

kepada Allah. Sabar terbagi tiga, pertama sabar billahi (dengan Allah), mengandung

arti pertolongan, maksudnya bahwa kesabaran yang ada padanya bukan atas hasil

usahanya melainkan berkat bantuan Allah, terutama ketika menerima cobaan. Kedua

sabar lillahi, mengandung rasa mahabbah kepada Allah ketika menjalankan perintah-

Nya. Artinya bahwa kesabaran yang dilakukan muncul karena rasa cinta kepada Allah

dan bukan karena ketidakberdayaan. Ketiga, sabar ma’a Allahi berati mengikuti

semua kehendak Allah.

Menurut al-Sarraj, sabar adalah maqam yang mulia. Dalam pandangan al-

Sarraj, sabar iru terbagi menjadi tiga macam: pertama orang yang berjuang untuk

sabar (mutashabbir) adalah orang yang sabar terhadap Allah, kadang ia sabar terhadap

musibah kadang tidak. Jenis kesabaran ini menunjukkan bahwa kesabaran adalah

mewajibkan diri untuk menjauhi hal-hal yang terlarang dan senantiasa menjalankan

apa-apa yang diperintahkan. Kedua, orang yang sabar (shabir) adalah sabar terhadap

Allah, untuk Allah, tidak merasa cemas, tidak dihinggapi rasa cemas, dan tidak

mengeluh. Ketiga, orang yang sangat sabar (shabbar) adalah orang yang

menunjukkan kesabarannya terhadap Allah, untuk Allah dn bersama Allah. Orang ini

jika ditimpa penderitaan tidak akan lemah, tidak berubah hakikat dan kewajibannya,

juga tidak berubah bentuk dan ciptaannya. Dengan kata lain orang yang sangat sabar

berarti orang yang sangat kuat.

Page 11: MAQAMAT

Sabar yang berarti menahan diri, tetap berakhlak mulia dalam menanggung

musibah dan tak pernah berputus asa, hanya bisa dicapai dengan sempurna melalui

sikap tawakal, yakni memasrahkan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, yang

selengkapnya akan dibahas dalam maqam selanjutnya.

6. Tawakal

Secara literal, tawakal berarti memasrahkan, menyerahkankepada-Nya dan

mencukupkan diri dengan-Nya. Dalam perspektif tasawuf, tawakal berarti

mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan

menyandarkan kepada-Nya penanganan bernagai masalah yang dihadapi. Tawakal

merupakan salah satu maqam yang sangat penting, mengingat ia tak dapat dipisahkan

dengan iman, sebuah elemen yang sangat prinsipil dalam Islam.

Dalam konteks tasawuf, tawakal merupakan refleksi dari tawhid yang murni,

sebab jika masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu makhluk berarti ia

masuk dalam syirik khafi (mempersekutukan Allah secara sembunyi). Semakin

sempurna tingkat pengetahuan seorang hamba maka akan semakin sempurna pula

tingakt tawakal-Nya. Menurut Suhrawardi, ketidaksempurnaan twakal disebabkan

pengaruh jiwa yang rendah, sedang kesempurnaannya akan tercapai dengan hilangnya

jiwa yang rendah itu.

Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan. Pertama,

menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuasaan

kepada wakilnya, setelah meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan wakilnya

dalam menangabi urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seorang

anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya. Ketiga, menyerahkan

diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Orang-orang yang tawakal menurut al-Sirraj terdiri atas tiga tingkatan.

Pertama, tawakalnya orang-orang yang beriman. Kedua, tawakalnya kaum khusus.

Ketiga, tawakalnya kaum istimewa, yaitu orang-orang yang menyerahkan diri

sepenuhnya kepada Allah semata dan sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya kita

tiada memiliki dan tak punya eksistensi.

Tawakal yang berarti memasrahkan, mempercayakan dan menyerahkan

segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dengan ikhlas hanya bisa dicapai dengan

sempurna melalui sikap ridha, yakni rela dan menerima dengan senang dan lapang

dada segala keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba. Selebihnya akan

dibahas dalam maqam yang terakhir.

Page 12: MAQAMAT

7. Ridha

Dalam perspektif tasawuf, ridha atau kerelaan yakni rela dan menerima

dengan senang dan lapang dada segala keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang

hamba, entah itu menyenangkan atau tidak. Ridha kepada Allah muncul dari

keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik daripada keputusan

hamba itu bagi dirinya sendiri. Keridhaan sang hamba kepada Allah dan perkenan

Allah terhadap hamba-Nya hanya dapat diraih melalui tahapan penyucian jiwa,

sehingga memperoleh ketentraman batin.

Ridha menurut al-Sarraj merupakan gerbang Allah yang teragung dan surga

dunia. Maksudnya adalah bahwa siapa yang mendapat kehormatan dengan ridha,

berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan dihormati dengan

pnghormatan tertinggi. Dalam pandangan al-Junaid, ridha adalah mengangkat dan

menghapus ikhtiar. Maksudnya, jika Allah telah memberikan ketetapan kepada sang

hamba, maka ikhtiar sang hamba itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan

kesenangan hati menerima keputusan Allah, dan ikhtiar sendiri hakikatnya adalah

anugerah Allah.

Menurut al-Sarraj, ahli ridha itu terbagi atas tiga keadaan. Pertama, adalah

mereka yang tetap beramal pada saat-saat susah hingga hatinya kemudian serasi

dengan Allah terhadap apa-apa yang terjadi atas dirinya dengan sebab ketetapan Allah

dari musibah, hal-hal yang dibenci, penolakan dan pemberian. Kedua, adalah mereka

yang meloncat dari pandangan keridhaannya terhadap Allah menuju kepada

pandangan ridha Allah terhadap dirinya. Mereka ini bisa disebut kaum khusus, yakni

mereka yang senantiasa menyambut dengan baik dan gembira takdir yang menimpa

mereka. Ketiga, adalah mereka yang melewati kondisi ahli ridha kedua di atas.

mereka telah meloncat dari pandangan ridha Allah terhadap dirinya dan keridhaannya

terhadap Allah, d engan sebuah pengetahuan bahwa Allah telah ridha terhadap seluruh

makhluk-Nya sejak azali.

Maqam ridha ini, merupakan akhir dari seluruh rangkaian maqamat.

Selanjutnya maqamat ini membutuhkan ahwal orang-orang yang ahli meneliti

keadaan-keadaan kalbu, mengkaji hal-hal ghaib, menggali rahasia-rahasia dengan cara

zikir yang tulus dan menemukan realitas-realitas ahwal.

Page 13: MAQAMAT

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Maqamat adalah tingkatan-tingkatan yang harus dilalui para sufi agar bisa berada

lebih dekat dengan Allah secara rohaniah.

2. Maqamat dalam tasawuf terdiri dari tujuh maqam:

a. Taubat, adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan

penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi

perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang

dianjurkan oleh Allah.

b. Wara’, adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan,

penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan

seorang muslim.

c. Zuhud, adalah kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan

diri darinya karena taat kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk

memperolehnya.

d. Faqr, berarti senantiasa merasa butuh kepada Allah, orang yang bersih atau

kosong hatinya dari keinginan duniawi.

e. Sabar, adalah adab dihadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam

menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta tabah pula dalam

menghadapai setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan.

f. Tawakal, adalah mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada

Allah sepenuhnya dan menyandarkan kepada-Nya penanganan bernagai

masalah yang dihadapi.

g. Ridha, adalah rela dan menerima dengan senang dan lapang dada segala

keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah itu

menyenangkan atau tidak.

Page 14: MAQAMAT

DAFTAR PUSTAKA

Fauziah Ahmad. http://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/maqamat-dan-ahwal/ diakses

pada Sabtu, 5 September 2013 06:00.

Mahdun Adun. http://mahdunspi.blogspot.com/2013/05/al-maqomqt-wal-ahwal.html diakses

pada Minggu, 6 September 2013 23:07.

Bahri, Media Zainul. Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi. Jakarta: Prenada Media. 2005.