manipulasi tanda dalam cerpen “bertengkar …
TRANSCRIPT
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 23
MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR BERBISIK”
KARYA M. KASIM: TINJAUAN SIMULAKRA JEAN BAUDRILLARD *)
(Manipulation of Signs on M. Kasim’s ““Bertengkar Berbisik”” in the Perspective of
Jean Baudrillard’s Simulacrum)
Aliyatul Himmah
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, 55281
Telepon penulis (WhatsApp) +6282133106315
Pos-el: [email protected]
*) Diterima: 12 Februari 2020, Disetujui: 10 Maret 2020
ABSTRAK
Artikel ini mengkaji cerpen ―Bertengkar Berbisik‖ yang ditulis oleh M. Kasim dengan menerapkan
konsep simulakra oleh Jean Baudrillard. Simulakra merupakan sebuah upaya untuk memanipulasi
tanda agar makna yang dimanipulasi tersebut tampak nyata dan dianggap sebuah realitas sejati oleh
masyarakat. Simulakra dicirikan dengan adanya dua hal, yakni hiperrealitas dan simulasi. Berdasarkan
hal itu, ditemukan sebuah upaya manipulasi tanda yang dilakukan oleh tiga tokoh yang berperan
sebagai musafir dalam cerpen. Motif yang dilakukan melalui tindakan ini adalah keinginan tiga tokoh
akan kemudahan akses kepada kepala kampung agar mereka dapat diterima dengan baik. Semula
hiperrealitas serta simulasi sebagai komponen dari simulakra, yang dibangun oleh ketiga tokoh ini
bekerja dengan apik hingga mereka sendiri menghancurkan bangunan tersebut.
Kata kunci: bertengkar berbisik, hiperrealitas, simulakra, manipulasi tanda, konsumsi
ABSTRACT
This article examines “Bertengkar Berbisik” short story by M. Kasim applying the concept of
simulcrum by Jean Baudrillard. Simulacrum is an attempt to manipulate a sign so that the
manipulated meaning appears real and is considered a true reality by the community. Simulacrum is
characterized by two components, hyperreality and simulation. Through this theory, it is seen that an
attempt was made to manipulate the signs carried out by the three figures who acted as travelers in
“Bertengkar Berbisik” short story. The motive carried out by the three figures is their desire to have
easy access to the head of the village in order to be well accepted. In the beginning, hyperreality and
simulation, as components of simulacrum, built by these three figures worked successfully. However,
they temselves consciously destroy the building so that their manipulated sign is known by the society.
Keywords: “Bertengkar Berbisik”, hyperreality, simulacrum, manipulation of signs, consumption
24 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
PENDAHULUAN
―Bagaimana jika tanda itu tidak
berhubungan dengan objek atau
makna, tetapi dengan dukungan tanda
itu sebagai tanda?‖ (Baudrillard, 2002:
188). Apa yang dipertanyakan oleh
Baudrillard tersebut sebenarnya jamak
terjadi dalam dunia nyata. Simbol atau
tanda tidak semata-mata menunjukkan
makna riil akan objek, tetapi
memberikan makna yang lain. Alih-
alih sebuah realitas, yang tertangkap
hanya berbagai macam simulakra, yang
seolah-olah menampakkan wujud
sebagai yang nyata. Dunia kini telah
digantikan citranya dalam
pengambilalihan realitas oleh tanda-
tanda (Hughes, 1992).
―Simulasi‖ semacam itu, bagi
Baudrillard, tidak hanya menunjukkan
hilangnya realitas, tetapi juga
kemungkinannya. Tujuan dari
―simulasi‖ bukan hanya untuk
menyingkir dari dunia realitas, tetapi
juga untuk mewujudkan hal tersebut
dan membuatnya nyata. Semakin
simulasi tersebut bekerja secara
sempurna, semakin kita memiliki sense
akan yang nyata dan tenggelam dalam
―kenyataan‖ tersebut. Tindakan-
tindakan simulasi tersebut tidak luput
terepresentasikan dalam karya sastra.
Karya sastra, sebagai potret dari
pengalaman-pengalaman kemanusiaan,
mencoba mengorelasikan peristiwa dan
struktur-struktur dalam karya sastra
dengan kondisi riil di luar wilayah
diskursif meskipun hanya dalam
wilayah diskursif struktur, peristiwa-
peristiwa, serta hubungan-hubungan
yang terjadi di alam nyata itu diberikan
makna sehingga hubungan-hubungan
tersebut dapat membentuk skenario
representasi yang memiliki makna
tersendiri (Suharmono, 2015: 7).
Fenomena simulasi dalam karya
sastra tampaknya tidak luput terekspos
dalam karya-karya M. Kasim. Nama
M. Kasim tidak asing lagi dalam
khazanah kesusasteraan Indonesia. Ia
merupakan salah satu di antara
sastrawan angkatan Balai Pustaka yang
telah menulis beberapa novel dan
cerpen sekaligus menerjemahkan
banyak karya asing. Ajip Rosidi (1959:
28) menisbatkan Kasim sebagai Bapak
Cerpen Indonesia karena cerita-
ceritanya yang dimuat dalam majalah
Pandji Poestaka pada 1920-an sebagai
cerpen paling awal.
Karya-karya terbitan Balai
Pustaka pada masa itu, salah satu
karakteristiknya yang dominan adalah
bersifat didaktis. Hal itu juga yang
dilakukan Kasim setiap menulis cerita,
salah satunya cerpen yang berjudul
―Bertengkar Berbisik‖. Cerita tersebut
merupakan cerpen pertama Kasim yang
bercerita mengenai tiga musafir yang
sedang puasa dan hendak mencari
makanan untuk berbuka. Nahasnya,
mereka masih berada di sebuah desa
kecil yang jauh dari tujuan. Mereka
memutar akal supaya mereka diterima
di kampung tersebut untuk menumpang
makan. Dimulailah petualangan
mereka di desa tersebut dengan
melakukan penyamaran sebagai
rombongan kepala kampung dan
ajudannya.
Secara singkat, melalui cerpen ini
Kasim seolah ingin memberikan
sebuah pelajaran mengenai utamanya
bersikap jujur dan patutnya
bermusyawarah. Namun, lebih dari itu,
Kasim, secara sadar atau tidak,
mencoba memperlihatkan upaya-upaya
manipulasi tanda melalui senarai
tindakan yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh fiktifnya. Tindakan-tindakan
manipulatif ini dilakukan oleh para
tokoh diniatkan untuk mendapatkan
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 25
privilese berupa kemudahan akses dan
komunikasi kepada petinggi desa.
Tampilan mereka menunjukkan
masyarakat dari kasta tinggi. Dalam
hal ini, pakaian bekerja untuk
memanipulasi tanda dari tokoh Burkat,
Togop, dan Togu, sebagai tokoh utama
dalam cerita.
Ini sejalan dengan konsep
simulakra mengenai kenyataan yang
telah digantikan oleh simulasi
kenyataan. Siapa yang mampu
membangun persepsi paling kuat
melalui tanda, dialah pemenangnya.
Persepsi yang paling banyak dipercayai
akan menjadi kebenaran mutlak yang
dianggap sebagai sumber kebenaran.
Kajian mengenai teori simulakra
yang telah digagas oleh Baudrillard ini
telah banyak dilakukan dalam
diskursus budaya pop, utamanya dalam
ranah media, dunia hiburan, serta tren,
dan mode. Dalam ranah sastra,
penelitian mengenai simulakra juga
dapat ditemukan, seperti apa yang telah
dilakukan oleh Azmi (2013) yang
membandingkan posmodernisme
termanifestasikan dalam bentuk-bentuk
hiperrealitas dalam novel Generation
X: Tales for Accelerated Culture
(1991) dan Bilangan Fu (2008). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bentuk
hiperrealitas dalam novel yang pertama
berupa pemikiran dan perbuatan,
sedangakan dalam novel kedua,
hiperrealitas berupa pengontrolan
emosi, pemikiran dan orientasi.
Pada tahun 2015, Suharmono
dalam tesisnya mengkaji aspek
konsumerisme tokoh dalam novel
Jalan Menikung (1999) karya Umar
Kayam. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa Umar Kayam,
melalui novel Jalan Menikung,
menggambarkan masyarakat konsumen
dalam jaring kebudayaan yang
kompleks dan saling berkelindan.
Terlebih, wacana posmodernisme yang
dibangun pengarang memungkinkan
pembaca untuk mensimulasi sehingga
mempengaruhi pikiran, perasaan, dan
tindakan pembaca dalam menyikapi hal
yang berkenaan dengan kebudayaan
posmodernisme.
Simulakra merupakan buah pikir
Baudrillard mengenai media massa
yang dicirikan oleh realitas semu
(hiperrealitas) dan simulasi. Konsep ini
mengacu pada suatu realitas baik
virtual ataupun artifisial dalam
komunikasi massa dan konsumsi
massa. Realitas tersebut membentuk
manusia dalam berbagai bentuk
simulasi. Simulasi merupakan suatu
realitas yang pada dasarnya bukan
realitas sesungguhnya. Ia hanya realitas
yang dibentuk oleh kesadaran manusia
melalui media massa (Juliswara, 2014:
154).
Baudrillard (1998: 14—15)
memandang bahwa dalam masyarakat
konsumen, orang tidak hanya
mengonsumsi barang, tetapi juga
mengonsumsi jasa dan hubungan
antarmanusia. Dalam pandangan
Baudrillard, konsumsi dipahami secara
holistik. Dengan kata lain, konsumsi
adalah integrasi sosial meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia, baik
materiel, spiritual, jasmani, dan rohani.
Bahkan, konsumsi dapat juga bersifat
semu atau palsu (Suharmono, 2015: 3).
Lebih jauh, definisi konsumsi menurut
Baudrillard mencakup beberapa hal,
seperti tatanan pemaknaan pada satu
panoply objek, sistem atau kode,
tatanan manipulasi tanda, manipulasi
objek sebagai tanda, sistem komunikasi
sebagaimana fungsi bahasa, satu sistem
pertukaran simbol, sebuah moralitas,
26 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
yaitu satu sistem pertukaran ideologis,
faktor penyebab perbedaan
(distinction), satu generalisasi proses
fashion secara kombinatif, mengisolasi
dan mengindividu, sistem kontrol
bawah sadar, baik dari sistem tanda
dan dari sistem sosio-ekonomika-
politik, dan sebuah logika sosial
(Baudrillard, 1998: 14–15).
Baudrillard (1994: 6)
mengidentifikasi ciri-ciri simulakra
sebagai berikut:
a. refleksi dari realitas sejati;
b. menyelubungi dan mengubah
realitas sejati;
c. menyembunyikan keberadaan
realitas sejati;
d. tidak memiliki kaitan pada
realitas manapun;
e. murni dari simulacrum-nya
sendiri.
Adapun perekayasaan makna
untuk menyembunyikan realitas sejati
sehingga yang rekayasa dianggap lebih
nyata dari kenyataan diistilahkan
Baudrillard sebagai hiperrealitas.
Hiperrealitas telah menghapuskan
perbedaan antara yang nyata dan yang
imajiner.
Baudrillard mendefinisikan
simulasi menjadi tiga jenis diantaranya
simulasi yang terkait dengan
pemalsuan, seperti yang dominan pada
zaman klasik Renaissance; simulasi
yang terkait dengan produksi dalam
zaman industri; dan simulasi pada
masa kini yang banyak didominasi oleh
kode. Pada objek yang dipalsukan,
tampak ada perbedaan antara objek
yang nyata atau alami (Lechte, 2001:
357).
Simulasi merupakan realitas
semu sebab dalam simulasi tidak
ditemukan referensi antara tanda
dengan realitas di dunia nyata.
Simulasi adalah realitas kedua (second
reality) yang bereferensi pada dirinya
sendiri (simulacrum of simulacrum).
Simulasi tidak mempunyai relasi
langsung dengan dunia realitas. Bahasa
dan tanda-tanda dalam simulasi
seakan-akan (as if) menjadi realitas
yang sesungguhnya, ia adalah realitas
buatan (artificial reality). Simulasi
menciptakan realitas lain di luar
realitas faktual (hiperrealitas). Realitas
ciptaan simulasi pada tingkat tertentu
akan tampak (dipercaya) sama nyata.
Bahkan, lebih nyata dari realitas yang
sesungguhnya. Dalam pengertian ini,
simulasi menciptakan realitas baru atau
lebih tepatnya realitas imajiner yang
dianggap riil (Suyanto, 2010: 404).
Sejauh pengamatan penulis,
kajian simulakra dalam cerita pendek
―Bertengkar Berbisik‖ belum pernah
dilakukan. Sementara itu melihat
karakteristik cerpen, yang menurut
Edgar Allan Poe, merupakan cerita
pendek yang diceritakan atau dibaca
dalam sekali duduk, cerpen memiliki
pengaruh tunggal atau efek tertentu
bagi pembaca dengan bentuknya yang
padat (Lawrence, 1917: 275).
Pemadatan kisah menjadi satu cerita
singkat yang sangat terbatas
mengharuskan penulis mampu
menyampaikan pesan-pesannya dengan
baik. Kesangkilan dari cerpen inilah
yang menjadi titik awal dipilihnya
cerpen M. Kasim sebagai objek kajian
dalam penelitian ini.
Tujuan dari kajian dalam tulisan
ini adalah menemukan bentuk-bentuk
manipulasi tanda yang dilakukan tokoh
dalam cerpen dan mengetahui nilai-
nilai yang hendak didapatkan oleh para
tokoh melalui manipulasi simbol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
“Bertengkar Berbisik”: Bangun-
Runtuh Simulakra
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 27
Karya sastra sebagai objek material
dari sebuah penelitian maka yang
diteliti dan dikaji adalah kata, frasa dan
kalimat yang dinarasikan oleh
pengarang yang disebut fakta tersurat.
Objek material kedua adalah fakta
tersirat teks, yang diperoleh melalui
jalur penalaran dari tanda-tanda dan
fakta-fakta yang tersurat. Melalui
keduanya, akan didedah bagaimana
proses dan usaha manipulasi tanda
memeroleh citranya sendiri yang lain
dari aslinya.
―Bertengkar Berbisik‖ adalah
cerita pendek anak-anak yang ditulis
oleh M. Kasim. Cerita tersebut
berlatarkan kampung kecil di Batang
Toru, sebuah kecamatan di Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara. ―Bertengkar
Berbisik‖ mengisahkan muslihat tiga
musafir–bernama Burkat, Togop, dan
Togu–untuk mendapatkan hidangan
buka puasa gratis dari kepala kampung.
Sebenarnya, ketiga musafir tadi
membawa bekal makanan mentah–di
antaranya berupa beras. Karena sedang
berpuasa, tidak ada seorang pun yang
sanggup bertanak nasi untuk menu
buka puasa. Selain itu, gagasan untuk
mengibuli kepala kampung muncul
sebab di kampung kecil itu tidak
terdapat lepau (warung nasi). Mereka
juga tidak mempunyai sanak kerabat di
sana.
“Di kampung itu tidak ada lepau
nasi, kenalan kita pun tidak ada.
Di manakah kita akan
menumpang? Bertanak sendiri
dalam puasa begini, saya tak
sanggup rasanya,” kata seorang,
yang bernama si Burkat. (Kasim,
1978: 77)
Secara tersurat memang tidak
dijelaskan bahwa tiga musafir tersebut
berasal dari golongan yang mampu.
Apalagi mereka juga tidak
mengendarai hewan atau kendaraan
lain. Namun, melalui redaksi yang
dituturkan M. Kasim, status sosial, atau
setidaknya kemampuan finansial
mereka dapat diketahui. Misalnya dari
narasi “di kampung itu tidak ada lepau
nasi”, bisa dipahami kalau mereka
mempunyai uang saku yang cukup
untuk membeli nasi di warung.
Di tengah kebuntuan itu, Burkat
menyampaikan idenya agar mereka
bertiga bisa berbuka puasa sekaligus
menumpang untuk melepas lelah walau
hanya semalam. Berawal dari hal itu,
manipulasi tanda ditera.
“...Dengarlah baik-baik. Kita
semua tahu, orang yang ternama
atau orang yang berpangkat
lebih dimalui orang daripada
orang sembarang saja. Jadi,
salah seorang di antara kita, kita
sebut kepala kampung, dua
orang jadi pengiringnya. Dengan
hal demikian, di kampung ini kita
menetap saja ke rumah kepala
kampungnya. Saya rasa dia suka
menjamu kita buat semalam ini.”
(Kasim, 1978: 77)
Burkat beralasan, jika kepala kampung
disambangi orang penting beserta
pengiringnya dari jauh maka mau tidak
mau ia pasti akan menjamu mereka.
Agar dapat melaksanakan muslihat
Burkat, mereka tentu telah memikirkan
segala hal, termasuk soal kostum.
Anggaplah menjadi kepala kampung di
tahun 1920-an termasuk jabatan
prestisius, yang mengharuskan
seseorang untuk memakai pakaian
28 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
yang mewah. Jika benar demikian
maka bisa dikatakan bahwa ketiga
musafir tadi, terutama Burkat,
mempunyai baju-baju mewah yang
memungkinkan mereka bersandiwara.
Mereka yakin, dengan mengenakan
pakaian mahal, kepala kampung akan
menerima kedatangannya dan
menjamunya dengan suguhan yang
enak.
Berdasarkan hal itu, dapat dibaca
bahwa Burkat, Togop, dan Togu
sedang berupaya untuk memanipulasi
tanda. Mereka–dan kepala kampung
beserta warganya–mengidentifikasi
pakaian sebagai simbol yang
mencitrakan kemakmuran dan
kekayaan pemakainya. Melalui
simulasi, realitas riil–berupa petanda
musafir– dihancurkan dan
didekonstruksi secara sosial untuk
mencapai posrealitas, yaitu kondisi
realitas yang terlampaui–petanda lain
berupa kepala kampung beserta
ajudannya.
“Sesampai di rumah, Sutan
Menjinjing Alam dipersilakan
duduk di atas permadani dan
kedua kawannya di atas sehelai
tikar pandan yang putih bersih.”
“Sebuah talam yang berisi
penganan diangkat orang ke
hadapan Sutan Menjinjing Alam,
sedang si Togop dan si Togu
dilayani seperti biasa saja.”
“...pada piring gulainya
tampaklah terbelintang sebuah
paha ayam, dan pada piring lain
sebilah dada ayam yang
digoreng. Si Togop dan si Togu
hanya mendapat tulang-tulang
rusuk dan tulang-tulang
belakang saja.”
“Waktu akan tidur, yang
empunya rumah mengembangkan
sehelai kasur untuk kepala
kampung palsu itu, lengkap
dengan bantal dan selimutnya;
dan pengiringnya hanya
mendapat sehelai tikar dan dua
buah bantal.” (Kasim, 1978: 78)
Meskipun terjadi perbedaan dalam
distribusi keuntungan dari manipulasi
tanda—petanda yang berbeda akan
menghasilkan dampak yang berbeda,
kepala kampung lebih dihormati
daripada pengiringnya. Apa yang
ditulis M. Kasim menunjukkan bahwa
bangunan simulakra yang dirancang
oleh Burkat telah berdiri. Ia berhasil
memperdaya kepala kampung yang
asli.
Meskipun simulasi telah berjalan
sebagaimana yang diharapkan oleh tiga
musafir tersebut, terdapat perbedaan
distribusi barang hingga kemudian
terbit kecemburuan antartokoh,
bangunan simulakra perlahan retak.
Bisik-bisik cekcok semakin
memperparah keadaan hingga kepala
kampung yang asli memergoki adu
mulut mereka, yang pada akhirnya
menjadi momen pengungkapan
kebenaran.
“Ia bukan raja, bukan kepala
kampung, tetapi penipu… Ia
yang mengajak kami menipu
Engku, menyuruh kami menyebut
dia kepala kampung…”
“Engkau pun penipu!” kata
kepala kampung palsu itu
terengah-engah sebab ketakutan.
“O, sekarang aku sudah
mengerti, kamu bertiga ini
bangsat…penipu…menyungkahk
an nasiku dengan akal busuk.
Ayo! Kamu orang kampung ini,
tangkap ketiga bangsat ini, boleh
kita bawa kepada Engku Jaksa di
Batangtoru,” kata yang empunya
rumah kepada orang banyak,
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 29
yang sementara itu datang
berkerumun ke tempat itu.
(Kasim, 1978: 79)
Dari paparan tersebut, dapat diketahui
bahwa simulakra yang coba dibangun
oleh ketiga tokoh dalam cerpen
akhirnya diruntuhkan sendiri oleh
mereka. Hasil yang didapat tidak
merata karena perbedaan simbol yang
dikenakan masing-masing. Jika ketiga
tokoh tidak bertengkar yang pada
akhirnya diketahui oleh kepala
kampung, tentu manipulasi tanda yang
mereka lakukan tidak dapat diketahui
dan terkesan bahwa apa yang mereka
lakukan adalah alami dan itulah realita
yang ada. Itu didukung pula oleh tidak
adanya rasa curiga dari kepala
kampung di awal pertemuan hingga
sebelum pertikaian terjadi.
Cerpen tersebut pada akhirnya
menceritakan tiga tokoh yang hendak
diadili oleh warga kampung. Namun,
sebelum hal itu terjadi, ketiga tokoh
malah ―melompat dari jendela dan
hilang di tempat yang kelam‖. Itu dapat
mengimplikasikan banyak hal. Jika
berkaitan dengan manipulasi simbol,
hilangnya tokoh di tempat yang tidak
diketahui dapat menjadi tanda bahwa
simulakra di dunia ini tidak dapat
diadili. Ia terus ada, bekerja, dan
berlipat ganda.
Konsumsi Baudrillard: Sebuah
Rekayasa dalam Hubungan Sosial
Bagi Baudrillard, sebagaimana yang
telah disebut sebelumnya, konsumsi
tidak hanya berkutat mengenai
pemakaian suatu barang hasil produksi,
melainkan lebih dari itu. Konsumsi
juga bisa dikatakan untuk pola
penggunaan jasa, atau bahkan
hubungan sosial. Selain perluasan
makna konsumsi, Baudrillard juga
membedakan motif konsumsi. Bagi
masyarakat konsumerisme, konsumsi
tidak lagi terpaku pada penggunaan
barang atau jasa atas dasar nilai guna,
melainkan nilai tanda atau citraan yang
melekat pada barang atau jasa tersebut.
Motif dari pola konsumsi ini adalah
agar seorang konsumen mendapatkan
pengakuan atas perilakunya dalam
mengikuti gaya hidup yang sedang
ngetren.
Dalam membaca teori konsumsi
Baudrillard ini, setidaknya ada perkara
penting yang menarik untuk dikaji
lebih lanjut. Diketahui bahwa Jean
Baudrillard adalah seorang filsuf
posmodernisme yang mengajukan teori
mengenai pergeseran pola konsumsi
yang terjadi pada masa lalu dan masa
kini. Ia mengatakan bahwa pola
konsumsi lama cenderung lebih
mengutamakan nilai guna daripada
nilai tanda. Adapun yang terjadi pada
masa sekarang adalah sebaliknya.
(Piliang, 2003:17). Akan tetapi,
menurut penulis, pola konsumsi atas
nilai tanda itu juga terjadi pada masa
sebelum teori Baudrillard ada. Dengan
redaksi lain, Baudrillard hanya
mengajukan klasifikasi atas peristiwa
yang sifatnya generik dan kekal.
Pergeseran yang dimaksud oleh
Baudrillard, dengan demikian, sama
sekali tidak terpaut dengan waktu
melainkan pola pikir masyarakat. Oleh
karena itu, tidak salah apabila penulis
melakukan analisis atas cerpen M.
Kasim yang berjudul ―Bertengkar
Berbisik‖ yang terbit pada 1929
dengan menggunakan teori konsumsi
Baudrillard.
Lebih lanjut lagi, teori
Baudrillard mengenai nilai ini pada
30 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
awalnya adalah ―penyempurnaan‖ atas
teori Karl Marx mengenai nilai
komoditas. Menurut Marx, komoditas
sebagai hasil dari produksi mempunyai
dua nilai: nilai tukar dan nilai guna.
Dalam transaksi ekonomi, komoditas
dihargai sesuai dengan dua nilai
tersebut. Baudrillard (1998: 47)
menyebutkan bahwa sebuah komoditas
tidak hanya memiliki dua nilai tersebut,
melainkan juga nilai tanda dan nilai
simbol. Seseorang membeli kaus
bermerk Polo bukan demi kaus itu
sendiri atau demi nilai tukarnya,
melainkan juga demi citra yang
melekat dalam kaus Polo. Seseorang
sering menongkrong di Starbucks
bukan hanya karena kelezatan kopinya,
tetapi juga karena menyimbolkan
tempat nongkrong bagi kaum
menengah ke atas. Kenyataan yang
seperti ini disebut oleh Baudrillard
dengan the regime of sign-value, yaitu
sebuah rezim tanda ketika manusia
hidup dengan mengonsumsi tanda.
Teori konsumsi yang
dikemukakan oleh Baudrillard ini juga
bertentangan dengan pemikiran Adam
Smith. Menurut Adam Smith,
seseorang akan membeli dan
mengonsumsi sesuatu jika ia
membutuhkannya. Rasa butuh itu tidak
muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui
serangkaian pertimbangan rasional, dan
kalkulasi untung-rugi. Prinsip
konsumsi yang dianut adalah membeli
benda yang bermanfaat dan sesuai
dengan kebutuhannya–atau dengan
kata lain berkualitas tinggi–namun
dengan harga yang serendah-
rendahnya. Akan tetapi bagi
Baudrillard, logika yang berlaku dalam
pola konsumsi nilai tanda bukan lagi
logika kebutuhan, melainkan logika
hasrat. (Suyanto, 2013: 109—110).
Hal yang perlu ditegaskan bahwa
citraan yang melekat dalam komoditas
dan sekaligus diharapkan oleh
konsumen bukan semata gengsi, atau
prestise, melainkan bermacam-macam.
Misalnya seseorang membeli rokok
Surya 12 untuk mendapatkan citra laki-
laki pemberani. Di zaman modern,
citra-citra tersebut tidak lagi muncul
secara organik dalam benak
masyarakat, tetapi diungkapkan secara
gamblang melalui tagline yang muncul
di iklan.
Dari pemaparan di atas, ada
beberapa perkara penting dalam teori
konsumsi: 1) pergeseran pola konsumsi
dari konsumsi atas nilai guna dan nilai
tukar, menjadi konsumsi atas nilai
tanda atau citraan; 2) agen produksi
citraan komoditas adalah iklan. Agen
ini sendiri tidak harus berasal dari
divisi khusus dari produsen, tapi bisa
juga berupa agensi luar produsen,
maupun masyarakat secara luas; 3)
konsumsi terjadi dalam rangkaian kerja
ekonomi, yaitu terdapat alat tukar sah
untuk mendapatkan komoditas. Dalam
ilmu ekonomi modern alat tukar
tersebut adalah uang (uang kartal, giral,
kuasi, dan elektronik).
Berdasarkan pembacaan penulis,
hanya ada satu peristiwa dalam cerpen
yang dapat dimaknai sebagai konsumsi
jasa yang bersifat nilai tanda.
“Baik. Tetapi mula-mula
patutlah saya diberi bergelar
dahulu. Sebut sajalah saya Sutan
Menjinjing Alam. Tetapi hati-
hati, jangan sesat, kalau-kalau
terbuka rahasia kita. Jika
terbuka, bukan saja kita tidak
dapat makan, tetapi badan kita
akan merasai pula orang buat.
Bungkusan dan payung saya ini
bawalah oleh kamu berdua,
karena tak pantas lagi seorang
raja membawa bungkusan kalau
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 31
saya ada pengiringnya.” (Kasim,
1978:77)
Kalimat terakhir dari ucapan Burkat
tersebut menandakan bagaimana
citraan kepala kampung diproduksi
melalui pemindahan barang bawaan
kepada dua temannya. Motif dari pola
konsumsi ini adalah untuk
mendapatkan citraan kepala kampung
yang melekat dalam dua ajudan yang
membawa barang-barang majikannya.
Menurut Tsiotsou dan Wirtz
(2015: 106), terdapat tiga tahap
konsumsi jasa. Tahap pertama adalah
pra pembelian, tahap kedua adalah
pelayanan, dan tahap terakhir adalah
pasca pelayanan. Tahap pertama adalah
analisis kebutuhan konsumen dan
pencarian informasi mengenai
penyedia jasa. Dalam ―Bertengkar
Berbisik‖, Burkat melakukan
serangkaian pemikiran untuk
mendapatkan makanan dan pelayanan
gratis.
“Dengarlah baik-baik. Kita
semua tahu, orang yang tenama
atau orang yang berpangkat
lebih dimalui orang daripada
orang sembarang saja. Jadi,
salah seorang di antara kita,
kita sebut kepala kampung, dua
orang jadi pengiringnya.
Dengan hal demikian, di
kampung ini kita menetap saja
ke rumah kepala kampungnya.
Saya rasa dia suka menjamu
kita buat semalam ini.” (Kasim,
1978: 77)
Dari ucapan Burkat di atas diketahui
bahwa pada masa itu seseorang akan
merasa mendapat kehormatan jika ia
mampu memberikan jamuan dan
penghormatan kepada kepala kampung
atau orang penting yang mampir ke
desanya. Burkat memanfaatkan
informasi tersebut untuk memeras
penduduk desa yang kaya. Burkat
dengan kecerdikannya mengurapi
dirinya menjadi kepala kampung dan
menjadikan dua temannya sebagai
bawahannya. Pengolahan informasi
menjadi produksi jasa tersebut menjadi
tahap kedua dari tiga tahap konsumsi
jasa. Pada akhirnya, akal bulus mereka
berhasil dan akhirnya mereka bisa
makan enak dan istirahat. Kepuasan
yang tersirat dalam wajah Burkat ini
bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari
konsumsi jasa.
Motif dari konsumsi jasa yang
dilakukan oleh tiga musafir ini tidak
berhenti pada munculnya citraan
kepala kampung saja, tetapi
mendapatkan jamuan dan penginapan
gratis. Oleh karena itu, peristiwa
konsumsi jasa ini berhenti ketika
mereka telah mendapatkan jamuan
tersebut. Secara periodik, peristiwa
konsumsi jasa atas dasar nilai tanda
bisa ditampilkan dalam alur berikut.
―Adalah suatu kemuliaan apabila
mampu menjamu orang penting‖
(informasi) Bagaimana menjadi, atau
berpenampilan layaknya orang
penting? (analisis) Burkat menyuruh
dua temannya untuk membawa barang
bawaan (pelayanan, nilai tanda)
Ucapan tersirat Burkat: ―Lihatlah
komidi kita berhasil baik‖ (pasca
pelayanan: kepuasan).
Dari analisis di atas terdapat satu
unsur yang terlewatkan dari proses
konsumsi jasa, yaitu penggunaan alat
tukar sah dalam ekonomi. Dalam
pemakaian jasa, Burkat sama sekali
tidak menggunakan uang, pun kedua
32 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
temannya yang menjadi penyedia jasa
juga tidak meminta uang sebagai
bayaran atas jasa yang diberikan. Tidak
hanya itu, Togop dan Togu pun dengan
sukarela berpura-pura menjadi
bawahan Burkat.
”Menurut pikiran saya akal itu
dapat dipakai. Tetapi, karena
engkau yang mendapat akal itu,
engkaulah pula kita angkat jadi
kepala kampung itu. Kami
berdua jadi pengiring,” kata si
Togop. (Kasim, 1978: 77)
Meskipun tidak terdapat uang sebagai
bayaran atas jasa, Burkat menjanjikan
jamuan enak dan gratis bagi dua
temannya. Hal itu dilakukan sebagai
imbalan apabila citraan yang mereka
produksi ditangkap dan diolah dengan
baik oleh kepala kampung. Pada
akhirnya tiga musafir tersebut,
khususnya Burkat, disambut dan
diperlakukan secara istimewa oleh
kepala kampung.
SIMPULAN
Melalui cerpennya yang berjudul
―Bertengkar Berbisik‖, selain
mewartakan keluhuran kejujuran, M.
Kasim juga mencontohkan bagaimana
kostum atau tanda memengaruhi
persepsi massa. Dengan menggunakan
teori simulakra Jean Baudrillard,
momen-momen ketika simulakra mulai
dibangun hingga menemui
kehancurannya dapat tersingkap.
Semula ketiga tokoh (Togop, Togu,
dan Burkat) telah membangun
hiperrealitas dan simulasi dengan apik
sehingga proses manipulasi tanda yang
mereka lakukan tampak nyata dan
diterima masyarakat sebagai realitas
sejati. Akan tetapi hal tersebut
diruntuhkan sendiri. Masing-masing
simbol yang diperankan mendapat
respon dan perlakuan yang berbeda
sehingga tokoh yang mendapat
perlakuan kurang baik akan memprotes
hal tersebut.
Ciri-ciri simulakra yang
terepresentasikan dalam cerpen ini
merupakan refleksi dari realitas sejati.
Akan tetapi, tokoh-tokoh dalam cerita
mencoba menyelubungi dan mengubah
realitas sejati tersebut menjadi sebuah
realitas baru yang seolah nyata dengan
cara menyembunyikan keberadaan
realitas sejati. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana para tokoh mencoba
mengubah penampilan demi menutupi
identitas asli mereka. Tentu realitas
―buatan‖ itu - Burkat yang menjadi
seorang Raja dan memiliki dua ajudan
(Togu dan Togop) - tidak pernah
benar-benar ada. Ia tidak memiliki
kaitan pada realitas mana pun dan
murni dari simulacrum-nya sendiri.
―Bertengkar Berbisik‖ sebagai
cerpen terbitan Balai Pustaka (1920-an)
secara eksplisit tampak menggurui
pembaca tentang keutamaan bersikap
jujur dan musyawarah. Lebih dari itu,
disadari atau tidak, Kasim juga
mempertontonkan adanya distingsi
kelas sosial yang menyolok dan
keberpihakan kaum borjuis terhadap
pemegang kelas sesamanya. Itu
termanifestasi dalam perlakuan Kepala
Kampung terhadap Togop, Togu, dan
Burkat ketika menjadi Sultan
Menjinjing Alam dan bala pengikutnya
dibandingkan dengan ketika ketiganya
sudah diketahui status aslinya.
Dalam hubungannya dengan teori
konsumsi Baudrillard, yang dimaksud
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 33
pergeseran pola konsumsi, bukanlah
pergeseran dalam rentang waktu
melainkan pergeseran pola konsumsi
masyarakat yang lepas dari ikatan
waktu. Tidak ada pembedaan dalam
perubahan pola konsumsi baik
masyarakat pada masa dahulu maupun
sekarang. Realitas masyarakat sekarang
cenderung konsumtif atas nilai tanda
suatu komoditas, pun tidak menutup
kemungkinan jika masyarakat masa
lalu juga berbuat demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Azmi, Nurul Nayla. 2013.
―Posmodernisme dalam Novel
Generation X: Tales for
Accelerated Culture dan Bilangan
Fu‖. Tesis Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Baudrillard, Jean. 1994. Simulakra and
Simulasi. Trans. Sheila Faria
Glaser. Ann Arbor: University of
Michigan Press.
_______________. 1998. The
Consumer Society Myths and
Structures. London: Sage
Publication.
_______________. 2002. Screened
Out. New York: Verso.
Hughes, Robert. 1992. ―The Patron
Saint of Neo-Pop‖
http://www.nybooks.com/articles/a
rchives/1989/jun/01/the-patron-
saint-of-neo-pop/ diakses pada
tanggal 13 Januari 2020, Pukul
20.22 WIB.
Juliswara, Vibriza. 2014. Pendekatan
terhadap Kekerasan dalam Film
Kartun Tom & Jerry. Jurnal
Komunikasi: Volume 12, Nomor
2, Mei–Agustus 2014.
Kasim, Muhammad. 1978. “Bertengkar
Berbisik” dalam John U. Wolf
(Editor). Indonesian Readings. New
York: Cornell University.
Lawrence, James Cooper. ―A Theory of
the Short Story. The North American
Review: Volume 205, Nomor 735,
Februari 1917.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf
Kontemporer dari Strukturalisme
sampai Postmodernitas. Yogyakarta:
Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 2003.
Hipersemiotika: Tafsir Cultural
Studies atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Rosidi, Ajip. 1959. Tjerita Pendek
Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung.
Suharmono. 2015. ―Masyarakat
Konsumen dalam Novel Jalan
Menikung Karya Umar Kayam:
Tinjuan Postmodern Jean
Baudrillard‖. Tesis Magister Sastra
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Suyanto, Bagong. 2010. Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial.
Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi
Ekonomi: Kajian tentang Kapitalisme
dan Konsumsi di Era Masyarakat
Post-Industrial. Jakarta: Kencana.
Tsiotsou, Rodoula H. dan Jochen Wirtz.
2015. ―The Three-Stage Model of
Service Consumption‖, dalam
John R. Bryson (Editor).
Handbook of Service Business:
Management, Marketing,
Innovation, and
Internationalisation. Cheltenham:
Edward Elgar Publishing Limited. Woodrich, Christopher A. 2014. ―Nama
yang tak Terlupakan: Tiga Penulis
Awal Cerita Pendek Berbahasa
34 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020
Melayu: Selayang Pandang‖. Jurnal
Ilmiah Kebudayaan SINTESIS:
Volume 8, Nomor 2, Oktober
2014.