manajemen kasus (repaired)
DESCRIPTION
mankasTRANSCRIPT
MANAJEMEN KASUS
KEJANG DEMAM KOMPLEKS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD Kabupaten Sragen
oleh :
Nurul Huda
07711086
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SRAGEN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2012
BAB I STATUS PASIEN
1.1. Identitas Pasien
Nama : An. J
Usia : 10 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Widodaren RT 05/02,
Ngawi
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. P
Usia : 27 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Widodaren RT 05/02,
Ngawi
Nama Ayah : Tn. A (Alm)
1.2. Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis pada ibu pasien.
1.2.1. Keluhan Utama : demam, kejang
1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dari IGD pada pukul 04.30 dengan keluhan demam sejak 2
HSMRS. Orang tua pasien mengeluhkan anak kembung sejak 1 HSMRS.
Keluhan batuk, pilek, dan BAB cair disangkal. BAK normal dan nafsu makan
baik. Pada pukul 03.00 pasien kejang, tangan kanan mengepal dan mulut perot
selama 5 menit. Pada pukul 06.00 pasien kejang pada tangan dan mulut. Anak
memiliki riwayat kejang demam sejak usia 4 bulan.
1.2.3. Riwayat Kelahiran
Ibu P1A0, usia saat hamil 26 tahun dengan usia kehamilan 42 minggu.
Melahirkan dengan tindakan SC atas indikasi post term, pacuan gagal dan ibu
tidak adekuat mengejan. Berat bayi lahir 3450 gram.
1.2.4. Riwayat perkembangan
Dengan menggunakan denver II development test perkembangan personal
social, adaptif-motorik halus, bahasa dan motorik kasar An. J sesuai dengan
usianya.
1.2.5. Riwayat pemberian makan
Sejak lahir anak diberikan susu formula karena ibu tidak bisa menyusui post
operasi. Sejak usia 4 bulan anak sudah mendapat makanan pendamping ASI.
1.2.6. Riwayat imunisasi
Dari ibu pasien didapatkan keterangan bahwa anak mendapatkan imunisasi
lengkap dan sesuai jadwal.
1.2.7. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat rawat inap di RS Ngawi pada usia 4 bulan karena
kejang demam, demam muncul setelah imunisasi. Pada usia 7 bulan pasien
menjalani rawat inap di RS Sarila karena kejang demam dan batuk pilek.
1.2.8. Riwayat keluarga
Ibu pasien memiliki riwayat kejang demam saat berusia 2 tahun.
1.2.9. Silsilah keturunan
I
II
IIIAn.J
1.3. Pemeriksaan Fisik
1.3.1. Keadaan Umum: lemah
1.3.2. Kesadaran : kompos mentis
1.3.3. Status Gizi
Keterangan : Berat badan : 9,5 kg
Panjang badan : 70 cm
Berat Badan menurut Umur = 9,5−9,5
10,6−9,5=0 → Gizi Baik
Panjang Badan menurut Umur = 70−73,673,6−71
=−1,384 → Normal
Berat badan menurut Panjang Badan = 9,5−8,8
10,1−8,8 ,=1,3 → Normal
1.3.4. Tanda vital
Nadi : 96 kali/menit
Nafas : 44 kali/menit
Suhu : 38,3 C/̊ aksila
1.3.5. Kepala dan Leher
Lingkar kepala: 47,5 cm, mata cowong(-), konjungtiva anemis(-), sclera ikterik(-),
nafas cuping hidung(-), bibir sianosis(-), pembesaran limfonodi leher(-).
1.3.6. Toraks
Inspeksi : dinding dada simetris, gerakan nafas simetris, retraksi dinding dada
(-), iktus kordis terlihat kuat angkat
Palpasi : ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada lapang paru
Auskultasi : BJ I dan II regular, bising jantung (-), vesikuler +/+, ronki (-)
1.3.7. Abdomen
Inspeksi : simetris, abdomen lebih tinggi dari toraks, distensi (+)
Auskultasi : peristaltic (+) 8 kali/menit
Palpasi : supel
Perkusi : timpani di empat kuadran abdomen
1.3.8. Ekstremitas : dbn
1.3.9. Meningeal Sign
Kaku kuduk (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-), perasat kernig (-)
1.4. Pemeriksaan Darah Rutin
Table 1. Hasil pemeriksaan darahCBC HASIL LIMIT KETERANGAN
WBC (uL) 15.100 4.500 – 14.500 ↑
Neutrofil (uL) 9.380 1.500 – 7.000 ↓
Limfosit (uL) 4.150 1.000 – 3.700 ↑
Monosit (uL) 1.200 0 ↑
Eosinofil (uL) 167 0 ↑
Basofil (uL) 167 0 ↑
RBC (uL) 4.770.000 4.000.000 – 4.200.000 ↑
Hemoglobin (g/dL) 12,4 11,5 – 15,5 Normal
Hematokrit (%) 35,8 35 – 45 Normal
MCV (fL) 75,2 80 - 99 ↓
MCH (pg) 26,1 27 – 31 ↓
MCHC g/dL 34,7 33 – 37 Normal
RDW (%) 11,9 9 – 13 Normal
PLT (uL) 253.000 150.000 – 450.000 Normal
MPV (fL) 5,03 7,2 – 11,1 ↓
DIFFERENTIAL
Neutrofil (%N) 62,2 40 – 70 Normal
Limfosit (%L) 27,6 19 – 48 Normal
Monosit (%M) 7,96 1 – 6 ↑
Eosinofil (%E) 1,11 0 – 5 Normal
Basofil (%B) 1,11 0 – 1 Normal
1.5. Diagnosis
Kejang Demam Kompleks
1.6. Terapi
Infus KAEN 1B 10 tpm makro
Inj amoxan 500 mg/12 jam
Inj piracetam 250mg/8 jam
Inj ikapen 40mg/12 jam
Inj norages 200mg/8 jam
1.7. Perjalanan Penyakit
Tanggal Perjalanan penyakit Terapi
DPH I
S :demam (+), kejang (+), mual muntah (-), kembung (+), BAB & BAK normal, batuk pilek (-), makan & minum baik
O :KU = lemahKesadaran = compos mentisSuhu = 38,3 ICNadi = 120 kali/menitNafas = 60 kali/menitAbdomen : distensi(+), peristaltic 8
kali/menitA:KDK
-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam
DPH II
S:demam (+), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal
O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 39,6 ̊ CNadi = 84 kali/menitNafas = 32 kali/menit
A: KDK
-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam
DPH III
S:demam (-), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal
O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 37,2 ̊ CNadi = 84 kali/menitNafas = 30 kali/menit
A: KDK
-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam
DPH IV
S:demam (-), kejang (-), kembung (-), mual muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB & BAK normal
O:KU = baikKesadaran = compos mentisSuhu = 36,8 ̊ CNadi = 78 kali/menitNafas = 34 kali/menit
A: KDK
-inf KA EN 1B 10 tpm makro-inj amoxan 200mg/12jam-inj ikapen 40 mg/12jam-inj norages 200mg/8jam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.8. Definisi
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan.(Betz & Sowden, 2002)
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang
suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memory yang bersifat sementara
(Hudak & Gallo, 1996)
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai
dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya
infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di intracranial (Seki & Hara, 1993)
Jadi dapat disimpulkan kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral
yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
1.9. Faktor resiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah
demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan caira dan elektrolit (Dewanto et al, 2009) .
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu:
demam, usia, dan riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat
pre-eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), factor
perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir)
dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang demam
dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat kejang.
Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4) lamanya
demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (1)
adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3)
riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam (IDAI,2009)
1.10. Etiologi
Menurut Sequeira (2010) kejang demam lebih sering disebabkan karena
infeksi virus daripada bakteri, selain itu kejang demam juga dapat disebabkan oleh
demam setelah imunisasi, khususnya dengan vaksin DTP (karena komponen
pertusis) dan vaksin MMR (karena komponen campak). Hal ini lebih lazim terjadi
pada mereka dengan riwayat pribadi atau keluarga konvulsi (Behrman et al,
1999).
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih
(Soetomenggolo,2000).
1.11. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana
(KDS) dan kejang demam komplek (KDK). Perbedaan kejang demam sederhana
dan komplek dapat dilihat pada berikut:
Table 2. table perbedaan KDS dan KDK
No Klinis KDS KDK
1 Durasi < 15 menit > 15 menit
2 Tipe kejang Umum Umum/fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1 kali > 1 kali
4 Deficit neurologis - -/+
1.12.
1.13. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium
maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik.
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane
ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+ dan Ca+
+. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan
mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membran
ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat,
sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah,
perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion
Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon
lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang
tetap (firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat
secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi.
Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan
perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah
selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara
Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme
pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen (Behrman
et al, 2000).
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori (Gradnner, 1995 & Behrman,
2000):
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, dimperkirakan
bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan
lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan
ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan
menyebabkan potensial membran cenderung turun atau kepekaan sel saraf
meningkat (Gradnner, 1995 & Budiarto, 1998).
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak
(Budiarto, 1998)
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut (Berg,
1993):
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran
ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)
biasanya diikuti dengan apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat
(disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia
dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron (Gradnner, 1995 &
Budiarto, 1998).
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari
kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama ( lebih
dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab
hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (IKA FK UI, 2002).
1.14. Manifestasi klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang
berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti
oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih
sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam
ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Behrman, 2000).
1.15. Diagnosis
Criteria diagnosis KDS menurut AAP (2008) adalah sebagai berikut: (1) usia
6 bulan sampai 5 tahun; (2) kejang berlangsung kurang dari 15 menit; (3) non-
fokal, kejang umum, melibatkan seluruh anggota badan; (4) tidak ada gangguan
metabolik berat; (5) kejang tunggal dalalm 24 jam; (6) tidak ada bukti infeksi
intrakranial; (7) riwayat kejang tanpa demam atau diagnosis neurologis lainnya;
(8) demam (≥ 38 ̊C) sebelum kejang.
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain:
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis
ke arah kejang demam, seperti (Dewanto et al, 2009):
a. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab
demam diluar susunan saraf pusat.
b. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti
genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan
kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.
c. Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang
adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam
dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif
normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa
kejang demam komlpeks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah
(Dewanto et al, 2009):
a. Suhu tubuh mencapai 39°C.
b. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang.
c. Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
tergantung pada jenis kejang.
d. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
e. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi
maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik
neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang
abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi,
kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan
aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang
demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG
juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
1.1. Penatalaksanaan
1.1.1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua
pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah
untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu
dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).
Penilaian klinis lengkap tentang jenis kejang, penyebab, faktor yang
mempercepat dan penyakit secara bersamaan harus dilakukan dan direncanankan
manajemen yang sesuai. Tujuan pengobatan adalah mengendalikan kejang untuk
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi
a. Manajemen saat anak demam
Lepaskan pakaian.
Tubuh anak diposisikan miring atau kepala menghadap ke salah satu sisi
karena saat muntah dapat terjadi aspirasi.
Diazepam rektal adalah obat pilihan, menghasilkan konsentrasi efektif
antikonvulsan dalam darah dalam waktu sepuluh menit. Dosis: 0,5 mg/kg
BB.
Ulangi dosis yang sama jika kejang tidak terkontrol dalam 30 menit
Hal ini dapat diulang setelah 30 menit jika kejang tidak terkontrol.
Parasetamol 12-15 mg/kgBB/dosis 4-6 jam.
b. Pencegahan kejang demam
Mengobati demam dengan antipiretik tidak mencegah kejang demam
diazepam oral direkomendasikan sebagai metode yang efektif dan aman
mengurangi risiko kambuhnya kejang demam. Pada awal demam,
diazepam 0,3 mg/kg/8 jam diberikan 2-3 hari.
Berikut ini table dosis diazepam yang di berikan :
UsiaDosis IV (infuse)
(0,2 mg/kg)
Dosis per rectal
( 0.5 mg/kg )
< 1 tahun 1-2 mg 2.5 – 5 mg
1 – 5 tahun 3 mg 7.5 mg
5-10 tahun 5 mg 10 mg
>10 tahun 5-10 mg 10 – 15 mg
Fenitoin merupakan obat antikonvulsan non-sedatif. Fenitoin mempengaruhi
beberapa efek fisiologis. Obat ini mengubah konduktan Na+, K+, dan Ca++,
potensial membrane, dan konsentrasi asam amino dan neurotransmitter
norepinefrin, asetilkolin, dan asam γ-aminobutirat [GABA] (Katzung, 1997).
Benzodiazepine merupakan hipnotik-sedatif yang terikat pada saluran molekul
klorida yang fungsinya sebagai GABAA tetapi bukan pada tempat pengikatan
GABAA sendiri. Kebanyakan hipnotik-sedatif sanggup menghambat
perkembangan dan penyebaran aktivitas epileptiformis dalam susunan saraf pusat
(Katzung, 1997).
1.1.2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal
harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada
pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu
dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).
1.1.3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan
pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang
demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap
(cacat).
1.2. Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dari kejang demam, adalah adanya kejang
demam berulang. Sekitar 33% anak akan mengalami kejang berulang jika mereka
demam kembali. Resiko terulangnya kejang demam akan lebih tinggi jika:
1. Pada kejang yang pertama, anak hanya mengalami demam yang tidak terlalu
tinggi.
2. Jarak waktu antara mulainya demam dengan kejang yang sempit.
3. Ada faktor turunan dari ayah-ibunya.
Namun begitu, faktor terbesar adanya kejang demam berulang ini adalah usia.
Semakin muda usia anak saat mengalami kejang demam, akan semakin besar
kemungkinan mengalami kejang berulang.
1.3. Prognosis
Menurut Short et al (2002) terdapat kemungkinan berulangnya kejang apabila
terjadi demam lagi. Resikonya secara keseluruhan kira-kira 40-50%. Angka
kejadian berulangnya kejang meningkat apabila mula timbulnya kurang dari usia
19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis
(meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih
dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama.
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64 % - 0,75 %.21 Sebagian besar penderita kejang demam
sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7% 9
Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan
tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi (Verity et al, 1998)
BAB III PEMBAHASAN
An.J, usia 10 bulan dengan keluhan demam dan kejang sebanyak dua kali,
tangan mengepal dan mulut perot. Anak memiliki riwayat kejang demam sejak
usia 4 bulan. Ibu riwayat kejang demam.
Dari pemeriksaann fisik didapatkan keadaan umum lemah, compos mentis,
dan hipertermi. Pemeriksaan meningeal sign negative. Pada pemeriksaan darah
didapatkan Angka Leukosit (AL) meningkat, yang menunjukkan adanya infeksi
sedangkan pemeriksaan EEG dan pungsi lumbal tidak dilakukan. Dari data di
atas, diagnosis kejang demam kompleks dapat ditegakkan.
Pada pasien ini diberikan terapi Ikaphen (Fenitoin Natrium) yang merupakan
obat antikonvulsan non-sedatif. Fenitoin merupakan obat yang paling efektif
untuk kejang parsial dan tonik-klonik umum(Katzung, 1999).
Kerja utama dari fenitoin adalah pada cortex motorik dimana penyebaran dari
akivitas serangan dihambat.Mungkin dengan meningkatkan aliran natrium keluar
dari saraf, fenitoin cenderung untuk menstabilkan ambang terhadap
hipereksitabilitas yang disebabkan oleh rangsang yangberlebihan atau perubahan
lingkungan yang dapat mengurangi gradien natrium membran.
Piracetam adalah obat nootropic. Zat aktif piracetam adalah 2-okso-1-pirolidin
asetamida. Piracetam bekerja pada dua level, yaitu neural dan vascular. Piracetam
pada lever neural berkaitan dengan polar phospholipid membrane, memperbaiki
fluiditas membran sel, memperbaiki neurotransmisi, menstimulasi adenylate
kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP, sedangkan pada level
vascular piracetam meningkatkan deformabilitas eritrosit, maka aliran darah otak
meningkat, mengurangi hiper-agregasi platelet, memperbaiki mikrosirkulasi.