maksiat hati sebuah hijab hubungan manusia …

94
MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN TUHAN MENURUT AL-GHAZALI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh: Mohammad Mufid 1113033100035 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN

TUHAN MENURUT AL-GHAZALI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Mohammad Mufid

1113033100035

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

i

MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA DENGAN

TUHAN MENURUT AL-GHAZALI

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi

Persyaratan Meraih Gelar

Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Mohammad Mufid

NIM: 1113033100035

Dosen Pembimbing:

Dr. Edwin Syarif, M. Ag.

NIP. 196709181997031001

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H./2018 M

Page 3: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia Dengan

Tuhan Menurut Al-Ghazali (Kajian Tentang Sebuah Maksiat Hati)” telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar

Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Aqidah Filsafat Islam.

Ciputat, 5 Februari 2018

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Sekertaris Merangkap Anggota,

................................

.................................

Anggota,

Penguji I,

Penguji II

.........................

..........................

Pembimbing,

Dr. Edwin Syarif, M. Ag.

Page 4: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi yang berjudul “Maksiat Hati Sebuah Hijab Hubungan Manusia

Dengan Tuhan menurut Al-Ghazâlî (Kajian tentang maksiat hati)” ini

merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memeroleh gelar Sarjana Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 5 Februari2018

Mohammad Mufid

Page 5: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

iv

ABSTRAK

Mohammad Mufid

MaksiatHatiSebuah Hijab HubunganManusiadenganTuhanMenurut al-

Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang sufi besar yang namanya sudah tidak asing bagi

masyarakat dunia,terutama Indonesia. Ia bukan hanya seorang sufi saja, tetapi ia

juga seorang filsuf dan teolog. Sehingga tidaklah aneh kalau ia mempunyai

banyak karya yang membahas tentang filsafat dan ilmu kalam. Bahkan karya-

karyanya sudah menyebar luas dan menghiasi lemari-lemari yang ada diberbagai

perpustakaan dunia. Karyanya juga banyak dikaji oleh berbagai kalangan,

termasukpara akademisi.

Dari segitu banyak karya dan berbagai macam pembahsannya, penulis

merasa tertarik untuk mengkajinya. Namun penulis hanya membatasi

pembahasannya tentang maksiat hati. Karena, maksiat hati yang dibahas oleh al-

Ghazali menurut penulis sangat menarik. Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik

untuk meneliti bahayanya tentang maksiat hati. Apabila manusia yang hatinya

masih menyimpan berbagai macam maksiat, maka ia tidak akan bisa berhubungan

dengan Tuhan. Tuhan tidak akan bisa masuk ke dalam hati manusia yang hatinya

masih dipenuhi oleh maksiat.

Page 6: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

v

KATA PENGANTAR

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

tanpa kendala yang berarti. Ṣalawāh dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi

Muḥammad Saw. Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag.selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Sebagai ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam, yang tak henti-hentinya menyemangati, mengayomi,

dan memberikan masukan-masukan penulisan skripsi ini.

4. Kepada Dr. Abdul Hakim Wahid, MA. Selaku Sekretaris Jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,yang tak pernah bosan

mendengarkan keluh kesah penulis, serta selalu memberikan saran

terbaik kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan ini.

5. Bapak Hanafi, S.Ag, MA, selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan nasehat-nasehat selagi saya sedang menyusun skripsi.

Page 7: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

vi

6. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkanbanyak waktunya untuk membimbing,

mengarahkan,memberikan pengoreksian, dan memberikan saran-saran

demi perbaikan skripsi ini.

7. Segenap Karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan

semangat, dan selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis selama

berada di perpustakaan.

8. Segenap Bapak dan Ibu dosen khususnya Aqidah dan Filsafat Islam,

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang sudah memberikan ilmu pengetahuannya selama penulis

belajar di Fakultas Ushuluddin.

9. Bapak, ibu, kakak, adik, dan keluarga saya yang tidak pernah letih

mendoakan dan memberikan biayah kuliah selagi sayamasih sedang

berjuang belajar agar saya dapat menimba ilmu setinggi dan sebaik

mungkin. Beserta keluarga besar lainnya yang selalu menyemangati

dan mengembalikan kepercayaan diri saya.

10. Teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, teman-teman

HMI, Hima-Cita, dan KMSGD yang selalu membantu penulis dan mau

berbagi ilmu,sehingga menambah imajinasi penulis dalam

menyelesaikan tugas akhir ini. Serta semua pihak yang telah

membantu, penulis ucapkan terimakasih.

Page 8: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

vii

Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun

sedikit banyaknya, semoga dapat bermanfaat kususnya bagi penulis dan

masyarakat pada umumnya.

Kepada Allah saya mohon ampun, yang benar datangnya dari Allah Swt dan

kesalahan atas kekhilafan penulis sendiri. Semoga dengan ini kita selalu

berpegang teguh pada Alquran yang telah Allah Swt turunkan untuk menjadi

pedoman dalam hidup manusia.

Wassalāmu`alaikum waraḥmatullāh wabarakātuh.

Jakarta, 5Februari 2018

Mohammad Mufid

Page 9: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

PadananAksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidakdilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts tedanes ث

j je ج

ẖ h dengangarisbawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de danzet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy esdan ye ش

s esdengangaris di bawah ص

ḏ de dengangaris di bawah ض

ṯ tedengangaris di bawah ط

ẕ zetdengangarisdibawah ظ

komaterbalik di atashadapkanan ʹ ع

gh gedan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h wa ھ

apostrof ء

y ye ي

Vokal Tunggal

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

a fatẖah ـ

i kasrah ـ

u ḏammah ـ

Page 10: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

ix

VokalRangkap

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ي ـ ai a dani

و ـ au a dan u

Vokal Panjang

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

â a dengantopi di atas آ

Î Idengantopi di atas إى

Û u dengantopi di atas أو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalamsistemaksaraarabdilambangkandenganhuruf,

yaituال, dialihaksarakanmenjadihuruf /l/,

baikdiikutihurufsyamsiyyahmaupunhurufqomariyyah. Contoh: al-

rijâlbukanar-rijâl, al-dîwânbukanad-dîwân.

Syaddah(Tasydȋd)

Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ـ), dalamalihaksarainidilambangkandenganhuruf,

yaitudenganmenggandakanhuruf yang diberitandasyaddahitu. Akan tetapi,

halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah

kata sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah. Misalnya, kata

.tidakditulisaḏ-darûrahmelainkanal-darûrahالضرورۃ

Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf

/h/ (lihatcontoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta

marbûṯahtersebutdiikutioleh kata sifat (naʹt) (lihatcontoh 2). Namun,

jikahurufta marbûṯahtersebutdiikuti kata benda (ism),

makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /t/ (lihatcontoh 3).

No Kata Arab AlihAksara

ṯarîqah طريقة 1

al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة الإسلامية 2

دوحدۃالوجو 3 waẖdat al-wujûd

Page 11: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

x

Page 12: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................. i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii

ABSTRAK ...... .............................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................... viii

DAFTAR ISI ... .............................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6

C. Batasan Masalah ............................................................................ 7

D. Rumusan Masalah ........................................................................... 7

E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8

F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8

G. Telaah Pustaka ................................................................................ 9

H. Metode Penelitian ............................................................................ 9

I. Sistematika Penulisan ...................................................................... 10

BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI .................................................................. 12

A. Riwayat Hidup ................................................................................ 12

B. Pendidikan Al-Ghazali ................................................................... 15

C. Pengaruhal-GhazaliTerhadapTasawuf ............................................ 20

Page 13: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

D. Karya-karya ..................................................................................... 25

BAB III SUMBER DASAR TASAWUF ......................................................... 27

A. Al-Qur’an ............................................................................. 27

B. Hadis ................................................................................... 30

C. Tema Dasar Tasawuf ............................................................ 36

BAB IV PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG MAKSIAT HATI ... 40

A. Tuhan .................................................................................... 40

B. Manusia ................................................................................ 48

C. Pandangan al-Ghazali Tentang Maksiat Hati Dan Hijab Kepada

Tuhan .................................................................................... 66

BAB V PENUTUP .................................................................................... 74

A. Kesimpulan .......................................................................... 74

B. Saran .................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena modernisme telah menawarkan berbagai macam kemudahan

hidup. Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi yang begitu sangat pesat

telah menjadikan manusia sebagai penguasa alam raya secara global. Berbagai

macam produk teknologi telah menyempitkan dunia yang kita diami ini, kita

bagaikan berada dalam satu kapal besar yang bernama bumi, yang sekarang

sedang berlayar.

Begitu sangat sempitnya dunia kita ini bila diameter (diukur) dengan

kecanggihan dan kehebatan teknologi dan sains yang berkembang begitu sangat

cepat. Demikianlah, kita senantiasa berlomba dengan perkembangan sains dan

teknologi yang melaju cepat sehingga kita tidak sempat lagi untuk berpikir

tentang hal-hal yang gaib, kita sudah lupa dengan entitas-entitas (kenyataan-

kenyataan) yang kita anggap sebagai sebuah kesakralan dan berada di luar pikiran

kita.

Dalam dunia materalisme-hedonisme yang selalu menggoda nafsu-nafsu

terhadap perilaku kita, membuat kita merasa kehilangan ketajaman pandangan

spiritual. Keinginan nafsu kita hanya tertuju pada kesenangan-kesenangan fisik.

Mata batin kita telah dibuta oleh debu-debu sains dan teknologi yang sangat

berbahaya, sehingga sensitivitas qalbu (hati) kita pupus habis oleh kenikmatan

duniawi.

Page 15: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

2

Dari satu sisi, keunggulan sains dan teknologi telah membuat manusia

sombong, merasa dirinyalah yang paling hebat dan kuat di alam raya ini. Pada

saat-saat seperti inilah Nietzsche melontarkan ucapan, “Tuhan telah mati”. Tuhan

telah dihabisi oleh produk teknologi canggih, sehingga penguasaan alam ada di

tangan manusia.

Apabilah hati manusia modern sudah lupa dengan Tuhan yang telah

menciptakannya, maka ia sudah tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta

dan yang mengatur alam ini. Ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menciptakan

dan mengatur kehidupan di muka bumi ini. Karena itu, lihatlah manusia modern,

sisa hidupnya harus diisi dengan bekerja keras untuk mencari sesuatu yang ia

inginkan, malahan ia tidak disertai dengan berdoa dan berkontemplasi (renungan)

dalam bekerja.1

Zaman modern sudah dihembuskan di benua Eropa Barat Laut sekitar abad

ke-18 seiring dengan memuncaknya Revolusi Industri di bagian Negara Inggris

dan Revolusi Sosial di Prancis. Kelompok pemikiran Aufklarung (abad

pencerahan) yang tumbuh di Inggris dan Prancis dipandang sebagai pelopor

gerakan revolusi di masa modern. Filsafat empirisme (pengalaman) John Lucke

dan teori fisika Newton merupakan bahan yang telah membuka masyarakat Eropa

untuk memasuki gerbang abad modern.

Dari pemikiran dua tokoh tersebut dunia modern mengembangkan sains

yang diiringi dengan memakai penerapan teknologi. Pencapaian-pencapaian

gemilang dalam dunia sains telah mempermudah kehidupan yang sebelumnya

1Yunasir Ali, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan Globalisasi,

(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 10-11.

Page 16: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

3

dirasakan sulit dan memberikan banyak kemudahan dalam perkembangan

pengetahuan. Pengetahuan modern yang kita sering sebut sains telah

memperpendek jarak ruang dan mempersingkat perputaran waktu, sehingga dunia

yang kita tinggali ini hanya bagaikan kapal besar yang menjadi tempat tumpangan

milyaran manusia.2

Pencapaian-pencapain sains yang begitu sangat gemilang telah membawa

sifat-sifat maksiat hati di dalam diri manusia modern seperti mempunyai perasaan

sombong, dan membanggakan dirinya sehingga ia semakin percaya diri untuk

menatap masa depannya. Hal-hal yang bersifat metafisik dan yang bersifat

teologis tidak lagi dipikirkan dan sudah selayaknya untuk ditinggalkan. Kalau

manusia modern masih berpikir tentang masalah-masalah yang ghaib (tidak

kelihatan) bersifat metafisik dan teologis (keyakinan) berarti mengembalikan

kehidupan ke masa lalu, yang seharusnya ditinggalkan dan merupakan sebuah

kesia-siaan.3

Sudah tidak bisa diragukan lagi kalau manusia sudah jauh dari Tuhan dan

terhalang hubungannya dengan Tuhan adalah sebuah keguncangan yang akan

menerpa siapa saja yang mengalaminya. Dan inilah yang membuat manusia

memperoleh sebuah kerugian yang sangat besar karena sudah menjauhkan dirinya

dari Tuhan.4

2Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-

agama, (Jakarta: PT Gramedia , 2012). h. 215. 3Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-

agama, h. 215. 4Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Penerjemah Fuad Syaifudin

Nur, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014). h.256 & 257.

Page 17: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

4

Oleh karena itu, sudah saatnya manusia modern untuk mempelajari ilmu

tasawuf, karena ilmu tasawuf begitu sangat penting di zaman modern ini. Ilmu ini

mengkaji tentang konsep yang mengatur tentang wilayah batin (jiwa dan hati)

dalam rangka untuk tazkiyatunnafsi (membersihkan hati) dari berbagai macam

dosa. Karena tujuan dari ilmu tasawuf ialah agar seorang hamba bisa wushul

(sampai) kepada Tuhan. Zat yang Maha tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi.5

Oleh sebab itu, manusia modern harus bisa menjaga hatinya dari berbagai

macam dosa dan maksiat, terutama tentang gemerlapnya dunia yang bisa

membutakan hati manusia. Hati yang selalu diwarnai oleh berbagai persoalan

dunia menjadi buram dan gelap. Jika hakikat dunia disebut gelap, maka wujud

Tuhan diibaratkkan sumber cahaya yang menerangi hati. Tuhan berfirman di

dalam surat an-Nur, ayat 35.

الله نورالسماوات والارض

Artinya: “Tuhan (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Bagaimana

hati bisa memantulkan cahaya ketuhanan jika masih tertutup oleh keadaan dan

lukisan-lukisan dunia.

Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul qolbi (penglihatan hati)

pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab terhalangnya sumber cahaya tersebut,

sehingga hati tidak bisa memantulkan cahayanya. Yang menghalangi wujud

Tuhan ialah pandangan dan rasa kemanusiaan pada setiap wujud selain-Nya. Jika

hati orang yang menuju Tuhan ada rasa cinta dan ambisi untuk memiliki dan

menguasai sesuatu, maka rasa terhadap sesuatu itu juga sebagai penghalang atau

hijab.

5Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Jejak Sufi Membangun Moral berbasis Spiritual, (

Kediri: Lirboyo Press, 2011 ), h. 221.

Page 18: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

5

Kemudian, bagaimana bisa seseorang akan sampai menuju Allah jika tidak

mampu melepaskan dirinya dari syahwat-syahwat yang timbul dari dalam hatinya.

Padahal Tuhan sudah memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya untuk

“berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan diri (manusia)

dari keinginan syahwat dan maksiat yang ada di dalam hatinya.6

Al-Ghazali beranggapan bahwa hati bagaikan sebuah kaca. Pengetahuan tak

lain adalah terpancarnya hakikat-hakikat dalam cermin tersebut. Di saat kaca hati

tersebut tak mengkilap, maka tak mampu memantulkan hakikat-hakikat keilmuan

tersebut. Yang menjadikan kaca hati menjadi buram adalah hatinya dipenuhi

dengan syahwat dan penyakit-penyakit hati lainnya. “Melakukan ketaatan kepada

Tuhan, memalingkan diri dari tuntutan-tuntutan syahwat, adalah sesuatu yang bisa

mengkilapkan hati dan membersihkannya.”7 Oleh karena itu, jika seseorang ingin

hatinya dipenuhi dengan pengetahuan Tuhan, maka hatinya harus dibersihkan dari

macam-macam dosa dan maksiat. Ibnu „Atha‟illah secara tegas mengatakan:

“Dasar dari berbagai macam maksiat ialah manusia sudah lupa terhadap Tuhan

dan menuruti segala keinginannya karena mengikuti hawa nafsunya…”.8

Oleh sebab itu, jika manusia ingin terhindar dari berbagai macam maksiat, ia

harus bisa menjaga dirinya agar selalu dekat dengan Tuhan dan menjauhkan

dirinya dari bujukan hawa nafsunya.

Al-Ghazali adalah seorang tokoh Filsuf Islam, dan sufi yang mendalami

sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau mendapkan gelar hujjatul Islam dan

6Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: GP Press, 2012), h. 98-99.

7Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan

Perkembangannya, Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008), h. 201. 8Lihat pendapat Ibnu „Atha‟illah tentang pangkal maksiat dalam buku Labib Mz, Kuliah

Ma‟rifat, (Surabaya: Tiga Dua, 1996), h. 60.

Page 19: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

6

pembaharu dalam segala disiplin ilmu, yaitu beliau akan membuat pembaharuan

atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya.

Beliau berbeda dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa

yang diterimanya, mengulangi, dan menukilnya. Bahkan beliau seorang ulama

yang aktif, pengetahuan yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana

kebenaran dan kebatilannya. Oleh sebab itu, ada kalanya beliau menolak,

mengubah atau menjelaskan dan menguraikan lalu membuat pembaharuan dalam

segala bidang ilmu.9

Alasan penulis memilih pembahasan tentang maksiat hati tidak memilih

maksiat-maksiat anggota badan lainnya karena hatilah yang menjadi penggerak

dan mendatangkan maksiat-maksiat anggota badan lainnya. Maksiat hati juga bisa

merusak segala macam amal ibadah manusia, malahan hati yang dipenuhi dengan

maksiat bisa mendatangkan sebuah kemusyrikan.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memahami dan memperdalam lebih

tajam tentang masalah-masalah maksiat hati yang menjadi penyebab terhijabnya

manusia dengan Tuhan menurut pandangan al-Ghazali. Untuk itu, penulis tertarik

untuk mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Maksiat Hati Sebuah Hijab

Hubungan Manusia dengan Tuhan Menurut al-Ghazali.”

B. Identifikasi Masalah

9Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan,

Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2013), h. 157-158

Page 20: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

7

Dari latar belakang di atas, penulis akan mengidentifikasikan beberapa

masalah yang berkaitan dengan maksiat hati. Di antaranya:

1. Apa corak tasawuf al-Ghazali?

2. Bagaimana hati menurut al-Ghazali?

3. Ada berapa macam penyakit hati?

4. Kenapa maksiat hati menjadi sebuah hijab menurut al-Ghazali?

5. Apa akibat dari maksiat hati?

6. Bagaimana cara menghilangkan maksiat hati?

7. Apa penyebab dari maksiat hati?

8. Bagaimana Tuhan menurut al-Ghazali?

9. Bagaimana manusia menurut al-Ghazali?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis hanya akan mengambil satu

tokoh saja, yaitu al-Ghazali. Ia adalah seorang sufi besar yang nama dan ajaran

tasawufnya sudah menyebar luas keseluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun,

ajaran tasawuf al-Ghazali yang akan dibahas oleh penulis ialah yang berkaitan

dengan maksiat hati. Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas

permasalahan-permasalahan tentang maksiat hati, karena belum ada karya yang

meneliti secara khusus tentang bahaya besar akibat maksiat hati menurut

pandangan al-Ghazali. Oleh sebab itu, penulis perlu memberikan batasan pada

permasalahan yang akan dikaji dan diteliti agar pembahasannya tidak melebar

jauh. Adapun batasan yang akan dikaji oleh penulis ialah maksiat hati yang

Page 21: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

8

menjadi sebuah penyebab terhijabnya hubungan manusia dengan Tuhan menurut

al-Ghazali.

D. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah dijelaskan di atas tadi, penulis hanya akan

merumuskan tentang tasawuf al-Ghazali yang berkaitan dengan maksiat hati.

Yaitu:

1. Bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali?

2. Bagaimana maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan manusia dengan

Tuhan menurut al-Ghazali?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Mendeskripsikan (menguraikan) maksiat hati sebagai sebuah hijab atau

penghalang hubungan Manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan bisa memiliki nilai manfaat akademis

maupun praktis.

1. Manfaat Akademis

Memberikan kontribusi kepada para akademisi agar bisa menjaga hatinya

dari berbagai macam maksiat hati. Karena kehidupan di dalam dunia akademisi

Page 22: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

9

tidak bisa terhindar dari persaingan yang membuat hatinya terdapat berbagai

macam penyakit.

2. Manfaat Praktis

a. Mampu menambah wawasan tentang bahayanya maksiat hati menurut al-

Ghazali.

b. Mampu menambah khazanah keilmuan, terutama yang berkaitan dengan

maksiat hati menurut pandangan al-Ghazali.

c. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana

Program Strata Satu (S1) dalam bidang Akidah dan Filsafat Islam (AFI).

G. Telaah Pustaka

Sejauh penulis ketahui tentang karya tulis yang membahas tentang al-

Ghazali yang sudah dijadikan sebuah skripsi, yakni Hubungan Syari‟at dan

Hakikat perspektif al-Ghazali yang ditulis oleh Amirul Muttaqin mahasiswa

Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2016. Skripsi ini menjelaskan hubungan keduanya untuk mendekatkan manusia

kepada Allah.

Skripsi yang lainnya yaitu Pengaruh Tasawuf al-Ghazali Terhadap Akhlak

Santri Putri Pondok Pesantren Dảr El-Hikam yang ditulis oleh Putriana Sallamah

mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Skripsi ini menjelaskan tentang perilaku

ketaatan maupun sosial santri putri Dảr el-Hikam yang mengandung nilai-nilai

tasawuf al-Ghazali.

Page 23: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

10

Oleh sebab itu, penulis yakin kalau pembahsan yang disajikan oleh penulis

dalam bentuk skripsi ini sebuah karya akademik yang baru dalam menganalis

maksiat hati al-Ghazali.

H. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian

kepustakaan (library research), yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai

literatur yang relevan. Data-data yang terkumpul diambil dari kitab Ihya

„Ulumuddin dan Minhảjul „Abidỉn dan karya lainnya imam al-Ghazali sebagai

referensi pokok dalam skripsi ini. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai

penguat sekaligus pembanding.

Metode penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif

dengan teknik pembahasan deskriptif-analitis, yaitu data yang dikumpulkan

pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Langkah ini diambil

sebagai awal yang penting karena akan menjadi dasar bagi metode pembahasan

selanjutnya. Mengingat bahwa pemikiran senantiasa dipengaruhi oleh kondisi

setempat. Metode ini relevan digunakan untuk menjelaskan maksiat hati menurut

al-Ghazali.

Sebagai pedoman teknik penulisan skripsi, penulis menggunakan buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan CeQda tahun 2013.

I. Sistem Penulisan

Page 24: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

11

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menulis secara sistematis agar

pembahasannya teratur, maka penulis akan menguraikannya ke dalam lima bab

yang memuat beberapa sub-bab di dalamnya. Hal ini karena penulisannya bersifat

kepustakaan sehingga dibutuhkan analisis yang mendalam. Adapun uraian dalam

lima bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I, sebagai bab pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang

dengan rumusan masalah sebagai bingkai dan penentu arah dalam penelitian

skripsi ini, dengan ditunjang serta manfaat penelitian, tinjauan pustaka sebagai

penunjang penelitian dahulu yang relevan, disertai dengan metodologi penelitian.

Penelitian ilmiah harus memiliki jalan atau cara yang ditempuh guna

mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan

sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini membahas tentang biografi al-Ghazali, menjelaskan

mengenai riwayat hidup, pendidikan, pengaruh tasawuf al-Ghazali, dan karya-

karyanya.

Bab III, dalam bab ini membahas tentang dasar-dasar teori tasawuf yang

bersumberkan dari al-Qur‟an, al-Hadits, dan penulis juga akan menulis tema

tasawuf yang ada kaitannya dengan maksiat hati.

Bab VI, dalam bab ini membahas secara khusus ajaran tasawuf al-Ghazali

tentang manusia, Tuhan, dan maksiat hati yang menjadi sebuah hijab hubungan

manusia dengan Tuhannya menurut al-Ghazali.

Bab V, dalam bab ini berisi penutup. Adapun penutup ini hanya terbagi ke

dalam dua sub-bab. Pertama, kesimpulan. Kesimpulan ini berisi tentang sebuah

jawaban dari rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas. Kedua, saran-saran.

Page 25: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

12

Saran-saran ini diarahkan kepada para akademisi dan masyarakat. Penulis

berharap kepada para akademisi agar ada yang melanjutkan penelitian tentang

maksiat hati ini agar pembahasannya semakin jelas. Penulis juga berharap kepada

para masyarakat dengan adanya skripsi ini agar bisa menjaga hatinya dari

berbagai macam bentuk maksiat hati.

Page 26: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

12

BAB II

BIOGRAFI AL-GHAZALI

A. Riwayat Hidup al-Ghazali

Di kalangan umat Islam, nama al-Ghazali tidak begitu asing bagi telinga

mereka. Mereka membicarakan al-Ghazali bagaikan mengunjungi orang tua yang

telah lama dikenal, namun tetap menyimpan segi kerahasiaan, jika tidak dapat

disebut sebuah misteri. Nama tokoh yang satu ini menjadi buah bibir

perbincangan harian di kalangan masyarakat Muslim.

Al-Ghazali memang tidak pernah terlepas dari siapa pun yang ingin

memahami tentang ilmu agama Islam yang secara luas dan dalam. Ia terkait erat

dengan proses pengukuhan paham yang berbasis Sunni. Di luar madzhab

Hambali. Dan karena di bidang fiqh al-Ghazali adalah seorang pengikut madzhab

Syảfi’i, maka nama pemikir besar itu lebih lagi tidak dapat dilepaskan dari dunia

pemikiran dan pemahaman Islam di Indonesia, sebab hampir kaum Muslim di

Indonesia itu bermadzhabkan imam Syảfi’i.1

Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin

Ahmad al-Ghazali, beliau dilahirkan di tanah Thus (Khurasan) pada tahun 405 H

yang bertepatan dengan tahun 1058 M.2 Nama Muhammad yang ada di depannya

1Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997),

h.79-80. 2Moh. Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956). h.7.

Page 27: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

13

ialah namanya sendiri, nama ayahnya, dan nama kakeknya, dan setelah itu

diatasnya lagi bernama Ahmad.3

Sebutan nama laqob (julukan nama) dalam kalangan umat Islam zaman

dahulu yang menghubungkan nama seseorang kepada nama keluarganya seperti

ayahnya, kakeknya itu sudah menjadi tradisi bagi kalangan umat Islam zaman

klasik. Nama seorang anak akan memakai kata “ibnu” dan diakhirnya akan

menyebutkan nama ayahnya atau nama kekeknya. Seperti nama ibnu Siena, ibnu

Rusyd, ibnu Khaldun, dan nama yang lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali nama

yang dipakainya dari nama tempat kelahirannya, yakni al-Ghazalah.

Sama halnya seperti tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti al-Kindi yang

berasal dari al-Kindah, al-Farabi yang berasal dari al-Farab. Dan ada pula yang

dihubungkannya kepada pekerjaan setiap harinya, misalnya al-Qaffal (tukang

kunci), al-Khayyam (pembuat khaimah) dan sebutan nama yang lainnya.

Nama-nama seorang tokoh besar yang dihubungkan kepada keturunannya,

pada pekerjaannya, atau pada tanah kelahirannya itu merupakan sebuah

kebanggan yang menaikkan derajat nama keluarga, keturanan, dan tanah

kelahirannya. Sehingga nama keluarga, pekerjaan, dan tanah kelahirannya

menjadi populer dikalangan dunia.4

Al-Ghazali lahir dari keluarga sangat miskin, ayahnya adalah seorang yang

sangat mencintai ilmu dan mempunyai cita-cita sangat besar. Ayah al-Ghazali

selalu berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak-anak yang alim,

3Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 27-

29. 4Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 28-29.

Page 28: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

14

mempunyai wawasan luas, dan mempunyai banyak ilmu. Baik ilmu agama

maupun ilmu-ilmu yang lainnnya.

Alangkah bahagia hati ayah al-Ghazali ketika doanya dikabulkan oleh Allah.

Beliau dikaruniai dua anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Muhammad yang

kemudian mendapat gelar “Abu Hamid”, dan dia adalah Imam al-Ghazali.

Kemudian anak kedua diberi nama Ahmad yang kemudian mendapatkan gelar

”Abu al-Futủh”, dan beliau ini adalah seorang ulama yang ahli dalam da’wah.

Yang di kemudian hari terkenal dengan sebuatan seorang “Mujidduddỉn”.5

Ayah al-Ghazali adalah seorang penenun bulu dan pedagang yang

mempunyai sebuah tokoh, beliau meninggalkan kedua puteranya, yakni ketika

Muhammad dan Ahmad masih dalam usia kanak-kanak. Kemiskinan keluara al-

Ghazali tidak bisa diragukan lagi.6 Oleh sebab itu kedua putranya dididik sendiri.

Pada masa kecilnya, ayahnya merasa mempunyai tanggung jawab yang

besar untuk memberikan sebuah pengajaran dan pendidikan kepada al-Ghazali

dan saudara kandungnya, yakni Akhmad. Namun, keinginannya tidak dapat

terwujudkan, karena belum beberapa lama, ayahnya wafat berpulang

kerahmatullah. Mungkin karena terlalu keras kerjanya demi untuk mencari nafkah

buat keluarganya sehingga ayahnya sering sakit-sakitan hingga akhirnya

meninggal dunia.

Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada kedua anaknya supaya

mereka berdua meneruskan belajarnya kepada salah seorang sahabatnya (seorang

yang ahli dalam bidang tasawuf) yakni syaikh Ahmad Arrozakony. Ayah al-

5Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 29.

6Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 31.

Page 29: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

15

Ghazali pernah berkata kepada sahabatnya itu, katanya: ,,, “Saya sangat menyesal

tentang pelajaran kedua anak saya dan saya ingin mewujudkankan apa yang

sudah menjadi pertanggung jawaban saya terhadap kedua anak saya ini. Ajarlah

dan didiklah mereka berdua dan laksanakan pertanggung jawaban saya terhadap

mereka berdua itu.” Itulah permohanan ayah al-Ghazali kepada sahabatnya agar

mau mendidik dan mengajari kedua anaknya tersebut.

Baru setelah ayahnya meninggal dunia, al-Ghazali dan Ahmad pergi kepada

guru sahabat ayahnya, mereka berdua menuruti wasiat ayahnya. Gurunya pun

sangat bahagia menyambut kedatangan al-Ghazali dan saudara kandungnya

dengan tangan terbuka. Mereka berdua belajar membaca dan menulis. Jadi, pada

masa kecilnya al-Ghazali belajar membaca dan menulis juga mempelajari ilmu

fikih di negerinya sendiri.7

Setelah beberapa lamanya mendidik dan mengasuh al-Ghazali dan

saudaranya, gurunya tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan

hidup al-Ghazali dan Ahmad, ia menganjurkan agar mereka berdua dimasukkan

kedalam madrasah untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang baru, juga agar

bisa memperoleh sebuah santunan untuk kebutuhan hidupnya.8

B. Pendidikan al-Ghazali

Pada masa itu, madrasah-madrasah tidak ada yang memunguti biaya sepeser

pun. Oleh sebab itu para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan

anak-anaknya untuk belajar di madrasah-madrasah. Termasuk al-Ghazali dan

saudaranya ikut mendaftarkan diri di sebuah madrasah tempat kelahirannya. Dan

7Moh Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956), h.7.

8Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 78.

Page 30: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

16

kesempatan ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk belajar sampai ke perguruan

yang lebih tinggi.

Pada masa itu, di kota Thus banyak para ulama dan ilmuwan yang

memberikan beasiswa kepada setiap pelajar yang tidak mampu untuk membiayai

pendidikannya. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh al-Ghazali dan

saudaranya. Atas saran sahabat ayahnya, al-Ghazali menemui seorang ilmuwan

Muslim yang kaya raya bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Razkafi untuk

mendapatkan beasiswa. Setelah memperoleh beasiswa, al-Ghazali belajar di kota

tersebut selama bertahun-tahun.9

Setelah diterima di madrasah yang ada di tanah kelahirannya, al-Ghazali

belajar ilmu fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain kepada Ahmad al-Radzkani di

Thus, juga al-Ghazali belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu,

al-Ghazali kembali lagi ke thus, dan selama tiga tahun berada di tempat

kelahirannya, ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar ilmu

kesufian kepada Yusuf al-Nassaj (w. 478 H).10

Al-Ghazali mulai belajarnya kepada seorang sufi besar yang memberikan

pelajaran tentang ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, juga kepada gurunya ia belajar

tentang ilmu tasawuf. Ia kemudian belajar ilmu syariah kepada Syekh Ahmad at-

Tusi, lalu ia pergi lagi ke Jurjan untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr.

Setelah pulang dari Jurjan, al-Ghazali kembali lagi ke Thus, ia mengabdikan

dirinya untuk mempelajari ilmu kesufian dan pada tahun 1078 M, ia diterima di

9Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 2-3.

10Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.

Page 31: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

17

Madrasah Nizamiyyah di kota Nishapur dan menjadi murid kepala sekolahnya

sendiri, yakni Syeikh Abu al-Ma’ali, seorang syekh dari Harảmain.

Dibawah bimbingan Syaikh Ma’ali, al-Ghazali belajar ilmu agama, filsafat,

dan hukum alam. Semua orang yang ada di Madrasah Nizamiyyah merasa kagum

tentang pengetahuan al-Ghazali yang begitu mendalam ditambah lagi oleh

kejeniusan otak al-Ghazali. Tanpa ada rasa malu dan rasa iri, gurunya mengakui

kepandaian muridnya tersebut sambil berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah

mengalahkan aku selagi hidup, paling tidak engkau bisa menunggu aku sampai

meninggal”. 11

Itulah ucapan gurunya yang begitu sangat rendah diri mengakui

keunggulan ilmu muridnya.

Di sisi lain, gurunya merasa sangat bangga atas prestasi yang telah diperoleh

oleh al-Ghazali. Walaupun al-Ghazali sudah memperoleh kemasyhuran namanya,

namun ia tetap setia terhadap gurunya tersebut dan tidak mau meninggalkannya

sampai gurunya wafat pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia sempat

memperkenalkan al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, seorang perdana menteri

Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adala pendiri madrasah-madrasah di

Nizhamiyah. 12

Nizham al-Mulk adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh Bani

Saljuk. Nama aslinya ialah Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq at-Thusi yang lahir di

Nauqan pada tahun 408 H. Di usianya yang masih sangat mudah, yakni 11 tahun,

11

M. Atique Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah Ira

Puspitorini, (Yogyakarta: Diglosia, 2013). h. 51. 12

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.

Page 32: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

18

ia dibimbingan ayahnya sendiri tentang belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu

keagamaan. Ia juga belajar sastra Arab dan fiqh yang bermadzhab Syafi’i.13

Pada bulan Jumadil Awal tahun 484 H, al-Ghazali diperintah oleh Nizham

al-Mulk agar pergi ke Baghdad untuk menjadi seorang guru besar di Madrasah

Nizhamiyah. Pada saat itu usia al-Ghazali masih sangat mudah, 34 tahun. Tetapi

ia sudah memperoleh kedudukan yang sangat penting di Madrasah Nizhamiyah.

Hingga banyak muridnya dari berbagai kalangan yang mengikuti kajiannya,

hingga muridnya mencapai sekitar 300.14

Ketika al-Ghazali sudah menjabat sebagai seorang guru besar, ia mengalami

kekosongan jiwa di dalam dirinya yang menyebabkan dirinya tidak betah untuk

tinggal di Baghdad. Kemudian al-Ghazali melepaskan jabatannya dan pergi ke

Syiriah untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyendiri

sambil merenung) dan melakukan riyadhah (latihan kebatinan). Ia melakukan ini

setelah ia bergelut dengan keraguan di dalam dirinya yang tidak berkunjung

selesai. Dan konflik kejiwaan antara kesibukan urusan dunia dengan kepentingan

akhirat. Ia melepaskan jabatannya agar bisa khusủ’ menjalankan shalat dan

memerangi hawa nafsunya.

Al-Ghazali sendiri mengemukan corak mengapa ia menjauhkan dirinya dari

kegemerlapan dunia dan mengisahkan perjalanan spiritualnya tentang menjauhkan

dirinya dari orang lain kemudian memfokuskan dirinya untuk menjalankan

ibadah. Ketika al-Ghazali sedang menggeluti menjadi seorang guru, ia

13

Mahbub Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta: Senja Publshing,

2015), h. 41-41. 14

Mahbub, Djamaluddin, Al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, h. 46.

Page 33: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

19

mendapatkan keikhlasan kerja, bahkan ia sendiri terkecoh oleh kecintaan terhadap

harta dan tahta. Konflik batin yang terus –menerus menghantui dirinya. Ketika ia

ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar, hasrat duniawi menariknya

pada sebuah jabatan.

Pada saat al-Ghazali sedang terjebak dalam keraguan terus-menerus, antara

keinginan duniawi dan kepentingan akhirat, sekitar enam bulan lamanya, saat itu

bertepatan dengan bulan rajab tahun 488 H. Pada saat itu keadaan al-Ghazali

semakin memburuk melampaui kemampuannya. Lida terasa kaku dan tidak bisa

menyampaikan matakuliah kepada para muridnya. Namun, ia terus berusaha

untuk tetap mengajar para muridnya, walaupun hanya sehari sekedar untuk

menghilangkan kegundahan hatinya. Namun lida tidak bisa mengeluarkan kata-

kata yang sesuai dengan perasaan di dalam hatinya. Keadaan yang seperti ini

membuat al-Ghazali semakin merasa sedih. Oleh sebab itu, al-Ghazali

memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan kepergiannya itu tidak ada

seorang pun yang mengetahuinya.15

Setelah berkelana ke semua kota-kota untuk mencari pengetahuan untuk

menenangkan batinnya, al-Ghazali dirundung rindu atas kampung halamannya. Ia

ingin kembali ke kota kelahirannya. Pada saat itu, para pejabat tinggi Khalifah

Abbasiyah dan pemerintahan Saljuk mengundangnya. Namun, ia tetap pada

pendiriannya untuk kembali ke Ghazalah.

Setelah berada di Ghazalah, al-Ghazali kemudian menikah dan dikaruniai

tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Al-Ghazali mengisi kegitan

15

Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1990), h. 8-11.

Page 34: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

20

sehari-harinya dengan mengajar dan menulis sebuah buku. Buku-buku yang ia

tulis mencapai 300 judul. Beliau pun mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar

yang datang dari luar kota.

Adapun al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau

bertepatan dengan tahun 1111 M. Sebelum ia wafat, al-Ghazali meminta kepada

para kerabatnya untuk dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk

mengangkut jenazah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, al-Ghazali

sempat menatap keranda jenazah itu sambil berkata, “apapun perintah Allah, aku

siap melaksanakannya.” Setelah berkata seperti itu, al-Ghazali menghembuskan

nafas terakhirnya. Dan ia disemayamkan di kota Thus, Iran.16

C. Pengaruh al-Ghazali Terhadap Tasawuf

Tidak dapat diragukan lagi yang menjadi permasalahan sasaran kritik al-

Ghazali adalah para filosof klasik. Dalam sebuah karyanya al-Munqidz min al-

Dlalảl, al-Ghazali mengatakan bahwa, setelah dirinya mengupas tuntas tentang

pemikiran para filosof, para teolog, dan golongan bathiniyah, ia masih belum puas

memperoleh jalan menuju keyakinan yang hakikat. Menurut al-Ghazali,

“kebenaran yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui jalan tasawuf”. Di jalan

tasawuflah ia baru bisa mengenal sesuatu secara yakin, sebagaimana yang

dikatakannya sendiri. Kaum sufi adalah sosok seorang yang menempuh di jalan

Allah, dan itu adalah sebaik-baiknya jalan. Jalan yang mereka gunakan ialah jalan

yang benar, dan akhlak mereka ialah akhlak yang suci.17

16

Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 8- 9. 17

Yusuf Qordhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan Abrori,

(Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), h. 191.

Page 35: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

21

Imam al-Ghazali bukanlah orang yang pertama kali mendapat gelar seorang

sufi. Ia juga bukan seorang perintis dan peletak dasar ilmu tentang tasawuf. Jauh

sebelum al-Ghazali menulis tentang kitab-kitab tasawuf, pada abad sebelumnya

sudah muncul beberapa ulama yang bergelut dengan ilmu tasawuf. Pada abad

kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufa, Bashrah,

Madinah, Khurasan, dan Mesir.18

Namun, walaupun al-Ghazali bukan seorang perintis dan peletak dasar

dalam ilmu tasawuf, tetapi al-Ghazali sebenarnya sudah pernah menjalani

kehidupan tasawuf ketika ia masih berusia sangat muda, akan tetapi ia masih

belum yakin untuk menjalani kehidupan tasawufnya. Baru setelah ia pergi

meninggalkan Baghdad pada bulan dzulhijjah 488 H atau 1095 M, ia merasa

yakin untuk menjalani tasawuf. Namun, al-Ghazali baru menjalani dan

mempraktekkan ketasawufannya ketika ia berada di Syria.

Setelah berada di Syria selama dua tahun, ia menjalani dan mempraktekkan

tasawufnya di dalam Masjid Umaiyah, kemudian ia pindah lagi ke Yerussalem

untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan monument suci The Dome of

The Rock. Setelah menziarahi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia baru pergi untuk

menunaikan ibadah haji, kemudian ia kembali menjalani kehidupan sufinya di

Mekkah dan Madinah.19

Al-Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan mendalam. Ia

memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu

18

Kautsar Azhari Noer,ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi,

(Jakarta: Sadra Press, 2015), h. 361. 19

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuh kembangkan Kepribadian dan

Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhana, 1994 ), h. 23.

Page 36: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

22

menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya

yang telah ditulisnya.

Al-Ghazali membangun sebuah tasawuf Sunni yang didirikan atas dasar

akidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh

Gnostis dari berbagai macam pemikiran yang telah mempengaruhi para filsuf

Muslim, Ismailiyyah (salah satu sekte dari Syiah), Ihwan ash-Shafa’, dan yang

lainnya. Ia juga menjauhkan wilayah tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles,

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan.

Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali beralirkan Islam murni.

Al-Ghazali sangat merasa kagum terhadap para sufi-sufi klasik, terutama

pada sufi abad ketiga dan keempat hijriyah yang beraliran Sunni. Ia mengambil

keilmuan kesufiannya dari Harits al-Muhasibi, dan sangat mengaguminya seperti

yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam kitab Syarakh Himak.

“Imam Abu Abdillah al-Harits al-Muhasibi, menulis sebuah kitab

yang berjudul Nasbaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-

pemikiran tentang hawa nafsu dan kejelekan-kejelekannya secara

menyeluruh, dan sekaligus mengkaji kesunnahan secara menyeluruh

sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan

penelitian dan melihat segala sesuatu yang yang bisa memperbaiki

perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta menjaga kesucian hati, dan

menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”20

Imam al-Ghazali memberikan pujian terhadap al-Muhasibi dalam salah satu

bab di kitabnya (Ihya’) dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah

memuji penulisannya, kemudian ia menjelaskan kepada orang-orang yang belum

mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, ia mengatakan: “Al-

20

Lihat ucapan Ibn Ibad randi tentang pujian al-Ghazali kepada al-Muhasibi dalam buku

Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan

Perkembangannya,Penerjemah Subkhan Anshori, (Jakarta: Gaya Media Pertama), h. 192-193.

Page 37: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

23

Muhasibi merupakan orang yang sangat memumpuni dalam bidang mu’ammalah.

Pembahasannya tentang cela-cela yang ada di dalam jiwa, penyakit-penyakit

dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang bisa merusak amal ibadah, telah

mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”21

Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak

dalam tasawuf al-Ghazali. Perhatiannya terhadap tasawuf sebagaimana al-

Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa atau

hawa nafsu). Manusia, dan bahaya-bahayanya mekanisme melakukan pembinaan

terhadap akhlaknya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan

sebuah pembinaan akhlak.22

Sebelumnya al-Ghazali sangat tidak suka terhadap tasawuf. Ia tidak

mempercayai tentang maqam-maqam (tingkatan-tingkatan), kondisi-kondisi

spiritual, dan penyingkapan hijab (kasyf) yang banyak digunakan oleh kalangan

para sufi. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana cara hidup golongan sufi pada

masa itu, yang tampak jelas anti intelektual. Namun, setelah mempelajari kitab-

kitab tasawuf dari berbagai para tokoh-tokohnya sendiri, al-Ghazali mengetahui

bahwa sebenarnya para sufi itu telah melenceng dari apa yang telah digariskan

oleh para sufi-sufi yang lurus.”Penempuh jalan Tuhan,” demikian menurut al-

Ghazali.

Selain itu, al-Ghazali juga mengkritisi para sufi di masa itu yang tidak mau

mempelajari ilmu lahiriah. Padahal ilmu lahiriah seperti fiqh dan syar’i lain sangat

21

Lihat pujian al-Ghazali dalam buku Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf

Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya, h. 193. 22

Abu Wafa’ Al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan

Perkembangannya, h. 193.

Page 38: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

24

membantu meluruskan seorang salik (Pejalan menuju Tuhan) untuk menimbang

kelurusan jalan yang ia tempuhnya. Hal ini dibuktikan, di antaranya, ia

memulainya di dalam kitab ihya’ ‘Ulủmuddỉn dengan bab ilmu, yang berisi

anjuran dan sangat penting mempelajari berbagai macam ilmu.

Al-Ghzali mengatakan di dalam kitabnya tersebut: “Tipu daya di jalan

menuju Allah sedemikian begitu banyak macamnya, tidak bisa dihitung….”,

kemudian al-Ghazali melanjutkan sesudah beberapa uraian : “….Semua itu

disebabkan karena kekeliruan dan was-was yang diletakkan oleh setan, karena

mereka sibuk dengan bermujahadah sebelum menguasai ilmu; karena mereka

tidak mengikuti seorang guru yang bertakwa lagi berilmu, yang pantas untuk

dijadikan teladan.”23

Setelah mengkaji pemikiran teologi, filsafat, dan ajaran Batiniyyah, al-

Ghazali memberi sebuah kesimpulan bahwa tasawuflah sebuah jalan yang bisa

mengantarkan manusia untuk menuju ke jalan Tuhan, dan golongan para sufilah

yang paling nyata dalam mencari sebuah kebenaran. Jalan para sufi ialah

kombinasi (gabungan) antara ilmu dan amal, dan buahnya adalah sebuah

moralitas.

Dengan demikian, menurut pendapat al-Ghazali, mempelajari ilmu para sufi

melalui karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkan

ilmunya. Kemudian al-Ghazali menyatakan bahwa keistimewahan dan kelebihan

khusus hanya milik para sufi tidak mungkin keistimewahan dan kelebihan khusus

tersebut dicapai hanya melalui belajar, tetapi harus melalui ketersingkapan batin

23

Mahbub Djamaluddin, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, (Jakarta:Senja Publishing,

2015), h. 112-113.

Page 39: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

25

(kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Ghazali tasawuf

adalah sebuah pengalaman yang nyata.24

D. Karya-karya al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat menguasai dalam segala hal

bidang tentang ilmu agama. Begitu juga ia adalah seorang ulama yang sangat

produktif dalam hal tulis-menulis. Oleh sebab itu, beliau mempunyai beberapa

karya dalam segala bidang agama. Seperti dalam bidang tasawuf, filsafat, fikih,

dan bidang ilmu agama lainnya. Namun penulis hanya akan mencantumkan

beberapa karya beliau yang fenomenalnya saja.

Dalam bidang tasawuf beliau menulis kitab Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn

(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid yang

pertama menjelaskan tentang masalah ibadah (al-‘Ibảdah). Jilid yang kedua

menjelaskan tentang masalah yang berkaitan tentang perilaku (al-‘Ảdat). Jilid

yang ketiga menjelaskan tentang menjelaskan masalah yang membinasakan (al-

Muhlikah). Dan jilid yang keempat berisi tentang menjelaskan masalah yang

menyelamatkan (al-Munjiyah).

Kitab Minhảj al-‘Ảbidỉn (Jalan para Ahli Ibadah) membahas tentang

masalah ibadah, etika, dan masalah tentang tasawuf. Adapun kitab Kaimiyyah al-

Sa’ảdah (Metode Kebahagiaan) menjelaskan tentang manusia, Tuhan, dan

masalah pernikahan.

Dalam bidang filsafat, beliau menulis al-Tahảfut al-Falảsifah (Kerancauan

pemikiran para Filusuf). Kitab ini berisi tentang kritikan al-Ghazali terhadap para

24

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014). h. 42.

Page 40: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

26

filusuf Islam sesudahnya yang mengatakan tentang tidak adanya hari kebangkitan,

ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’i, dan tentang masalah kekekalan alam.

Adapun kitab Munqỉdz min al-dlalảl (Pembebasan dari Kesesatan). Kitab ini

membicarakan tentang golongan yang mengingkari terhadap segala ilmu,

membicarakan tentang keberhasilan ilmu filsafat, dan pembahasan yang lainnya.

Page 41: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

27

BAB III

SUMBER DASAR TASAWUF

A. Al-Qur’an

Seiring dengan maraknya kritikan-kritikan tajam yang diarahkan pada

tasawuf yang menyebabkan timbulnya ketegangan-ketegangan dalam dunia

pemikiran Islam. Tampaknya sudah mulai muncul argumentasi tentang apakah

tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar pengislamisasian

unsur-unsur non-Islam?1

Menurut para orientalis seperti Louis Massignon dan J. Spencer, tasawuf

berasal dari sumber murni Islam dan dampak terhadap tasawuf dari luar Islam itu

sangatlah terbatas.Lebih jauh lagi, perkembangan tasawuf yang sangat nyata

ialah mengikuti garis Islam.Massignom dalam kajian ilmiahnya tentang tasawuf

mempunyai kesimpulan kalau sumber yang terpenting dalam tasawuf ialah al-

Qur‟an.2

Al-Qur‟an merupakan kitab yang berisi tentang firman-firman-Nya.Yang di

dalamnya mengandung sebuah ajaran-ajaran tentang Islam. Baik berupa aqidah,

syari‟ah, maupun mu‟ammalah.Ketiganya banyak yang tercermin di dalam ayat-

ayat yang tertulis di dalam al-Qur‟an. Ayat-ayat al-Qur‟an itu, terkadang ada

yang dipahaminya melalui cara tekstual-lahiriah, dan adakalanya di pahaminya

melalui kontekstual-rohaniah. Oleh sebab itu, al-Qur‟an kalau hanya

dipahaminya secara lahiriah saja, maka ayat-ayat al-Qur‟an akan terasa kaku,

1A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1999),h. 46. 2Lihat pendapat Massignom dan Spencer tentang sumber tasawuf dalam buku Syamsun

Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), h. 61.

Page 42: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

28

kurang dinamis, dan bukan tidak mustahil lagi akan ditemukannya persoalan

yang tidak dapat diterima secara psikis.3

Islam sudah mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah maupun kehidupan

yang sifatnya bathiniah.Pada unsur kehidupan bathiniahlah kehidupan tasawuf

muncul.Kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari

sumber ajaran agama Islam, yakni al-Qur‟an dan al-Hadits.Al-Qur‟an sendiri

berbicara tentang kemungkinan manusia bisa saling mencintai dengan Tuhannya,

memberikan perintah agar manusia senantiasa selalu bertaubat memohon

ampunan kepada Allah, dan membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang keji.4

Ada beberapa ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai sebuah sumber

dasar tasawuf, di antaranya terdapat di dalam surat al-Baqarah yang bunyinya:

رادػان فهسرجثان نؤمىت نؼهم إجة دػجانذاع أ و لشةئػى ف نك ػثادأاراس

ششذن

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang

Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan

permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka

hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah

mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam

kebenaran."(QS. al-Baqarah, ayat 186).

Ayat al-Qur‟an tersebut mengatakan bahwa manusia dekat sekali dengan

Tuhan.Tuhan di sini mengatakan kepada para hambanya, bahwa dirinya sangat

dekat sekali dengan hamba-hambanya dan mengabulkan segala permintaan yang

mereka inginkan.Dalam ayat lain juga Allah berfirman di dalam al-Qur‟an:

ان الله اسغ ػهمءىما ذنافثم ج اللهلله انمششق انمغشب ف

3Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), h. 152.

4Abuddin, Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2015), h. 156.

Page 43: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

29

Artinya: “Timur dan Barat adalah kepunyaan Tuhan, kemana saja kamu

berpaling di situ ada wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah ayat 115).

Ayat ini menjelaskan kepada para hambanya, kemanapun mereka

menghadap, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah hubungan

manusia dengan Tuhannya sangatlah begitu dekat.5

Dan kalau kita memahami ayat al-Qur‟an yang lainnya, maka akan sangat

jelas kalau kitab suci ini juga menyeruhkan manusia agar hidup menjalani sebagai

seorang sufi, yakni untuk hidup berzuhud terhadap keduniawian dan memberi

peringatan terhadap berbagai macam kenikmatan hidup di dunia. Ayat-ayat yang

menjelaskan tentang masalah zuhud ini cukup banyak.Salah satu ayat yang

menjelaskan tentang gambaran Allah mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat

berubah.Artinya, dunia ini tidaklah kekal. Allah berfirman di dalam al-Qur‟an:

لاد كمثم غث لأمال اتىكم ذكاثش ف الأنؼة نصىح ذفاخش اػهما اوماانحاج انذوا

خشج ػزاب شذذ مغفشج مه الله سضان لأاػجة انكفاس وثاذ ثم ج فرشاي مصغشا ثم كن خطاما ف ا

اج انذوا الامراع غشسماانح

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah

permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara

kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti

hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman

itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.

Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta

keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang

menipu." (QS. Al-Hadỉd (57): 20).”

Kalau sifatnya dunia ini hanyalah sementara dan tidak kekal, maka seorang

jangan sampai berpegangan terhadap dunia.Dan keindahan dunia hanyalah

bersifatsemu belaka maka sepantasnya hati manusia jangan sampai terpikat dan

5Harun, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014),

h. 46.

Page 44: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

30

menggemarinya hingga sampai pada sifat ketamakan (kerakusan) yang bisa

menjerumuskan manusia jauh dari Allah.6

Begitu juga terdapat surat lain yang bisa dijadikan sebuah dasar tasawuf

yang terdapat pada surat al-Anfảl yang bunyinya:

د نكه الله سمماسمد إرسم

Artinya: “Tidaklah engkau yang melempar ketika engkau melempar itu,

melainkan Allah-lah yang melempar”.(QS. al-Anfal, ayat 17).

Ayat ini adalah sebuah dasar yang paling kuat sekali dalam menjalani

kehidupan kerohanian dikalangan para sufi. Beberpa persosalan yang besar dalam

tingkatan-tingkatan perjuangan kehidupan bisa disimpulkan kedalam ayat

ini.Yang “melempar” bukanlah Muhammad, melainkan Allah.Gerak-gerik

sebenarnya tidak ada pada diri manusia, melainkan hanya dari Allah

semata.Gerakan manusia dalam kehidupan ini hanyalah pada lahirnya saja.7

Itulah beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang bisa dijadikan sebagai bukti

sumber dasarnya tasawuf.

B. Hadis

Hadis juga bisa dikatakan sebagai sebuah sumber dasar tasawuf.

Sebagaimana halnya al-Qur‟an menjadi sumber dasar tasawuf. Dalam hadis

Rasulullah SAW. Banyak ditemukan keterangan-keterangan yang membahas

tentang kehidupan kerohanian manusia.8

6Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, Penerjemah Kamaran As‟at

Irsyady dan Fakhri Ghazali, (Jakarta: Amzah, 2001), h. 27-28. 7Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994),

h. 37. 8Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h, 158.

Page 45: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

31

Menurut pendapat Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Khaldun, kehidupan kerohanian

dalam Islam terbagi menjadi dua, yakni kehidupan zuhud dan kehidupan tasawuf.

Keduanya bahkan diakui sebagai istilah baru, sebab kedua istilah tersebut belum

ada pada masa Rasulullah, dan tidak ada di dalam al-Qur‟an, kecuali istilah zuhud

yang disebutkan sekali dalam al-Qur‟an surat Yusuf ayat 20.

Sebenarnya, cikal bakal munculnya kehidupan tasawuf bersamaan dengan

pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri, sebagai suatu agama yang

mengajarkan hidup dan berperilaku sederhana, sebagaimana yang dicontohkan

oleh Rasulullah yang dijadikan sebagai sumber tasawuf dari hadis.9

Sebelum Rasulullah memperoleh wahyu untuk pertama kalinya, beliau

sudah sering kali menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Beliau sering

beruzlah (menyendiri) di Gua Hira sampai beliau menerima wahyu untuk pertama

kalinya pada tanggal 17 Ramdhan.Dan beliau diangkat oleh Allah menjadi

seorang nabi dan rasul.

Kehidupan Rasulullah menjadi seorang sufi, pernah diceritakan oleh sahabat

beliau sendiri, yakni Ibnu Mas‟ud. Ibnu Mas‟ud menceritakan ketika ia pernah

masuk ke dalam rumah Rasulullah dan didapatinya beliau sedang berbaring di

atas sebuah potongan anyaman daun kurma yang membuat pipi rasulullah ada

bekas anyaman daun kurmanya.10

Begitu juga Nabi Muhammad saw ketika memulai membangun Islam

hingga menyebarkan agama Islam tidak bisa lepas dari kehidupan kerohanian atau

tasawuf. Pada zaman rasulullah sampai para Khulafaurrasyidỉn, tidak pernah

9Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 87.

10Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h, 89.

Page 46: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

32

terlepas dari kehidupan kerohanian. Penyebaran agama Islam dengan sendirinya

telah membawa akibat kekayaan yang sangat berlimpah.Walaupun kekayaanya

sudah melimpah, namun Rasulullah tetap menjalani kehidupannya dengan penuh

kesederhanaan.

Demikianlah kehidupan Rasulullah hidup sebagai seorang sufi, ia hidup di

tengah-tengah kemegahan yang berlimpah, namun beliau tetap menjalani

kehidupannya dengan kesederhanaan. Umar pun merasa kagum melihat cara

kehidupan Rasulullah. Karena banyak di antara para sahabatnya yang dahulunya

hidup sederhana menjadi kaya raya, seperti Utsman bin Affan dan sahabat yang

lainnya.11

Kehidupan sufi yang dijalani secara langsung oleh Rasulullah sangat

berpengaruh terhadap kehidupan para sahabatnya. Mereka mengikuti jejak

kehidupan Rasulullah dalam menjalani hidup yang serba kekurangan.Namun,

walaupun hidup dalam penuh kekurangan mereka tetap bersemangat dalam

menjalani ibadah kepada Allah.12

Adapun hadis yang menjadi dasar tentang tasawuf, yakni Hadis Qudsi.Yaitu

suatu hadis yang begitu sangat istimewa. Karena hadis yang diterimah oleh Nabi

Muhammad, seolah-olah Tuhan sendiri yang berbicara langsung dengan nabi.

Hadis Qudsi yang menjadi pegangan para ahli sufi yaitu,

ػشف فخهمد انخهك ف ػشفوأن أحثثد كىد كىضا مخفافأ

Artinya:“Aku suatu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah

kau supaya diketahui siapa Aku, maka Kujadikanlah makhluk-Ku. Maka

11

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2007, h. 6-7. 12

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, h. 91.

Page 47: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

33

dengan aAkulah mereka mengenal Aku.”Hadits inilah yang menjadi pokok

dasar kecintaan para sufi terhadap Allah, Tuhan yang sejati.13

Hadis ini diambil dalam kitab al-Futủhảt karya Ibnu „Arabi halaman 167

dan kitab ath-Thabaqảt karya Asy-Sya‟rani halaman 309.14

Hadis tersebut memberikan sebuah petunjuk bahwa alam jagat raya ini

merupakan sebuah cerminan Tuhan.Termasuk diri kita ini adalah sebuah

bayangan Tuhan.Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam

semesta ini.Dengan demikian, dalam alam raya ini ada potensi ketuhanan yang

dapat dipergunakan untuk mengenal diri Tuhan. Dan apapun yang ada di alam

semesta ini, pada akhirnya akan kembali lagi kepada Tuhan.15

Adapun hadis lain

yang biasa dipandang sebagai yang mengilhami munculnya tasawuf dikalangan

dunia Islam ialah sabda nabi yang bunyinya:

مه ػشف وفس فمذ ػشف ست

Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal

Tuhannya.”

Hadis ini diambil dalam kitab al-Futủhảt karya Ibnu „Arabi halaman 167

dan kitab ath-Thabaqảt karya Asy-Sya‟rani halaman 526.16

Walaupun hadis ini

dikritik oleh para ulama hadis karena tidak baik sanad penerimaannya, namun

hadis ini tetap dipegang oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi yang paling terpenting

ialah isi yang terkandung dari hadisnya, bukan sanadnya.17

Hadis ini, disamping menjelaskan tentang kedekatan anatara manusia

dengan Tuhannya, juga mengisyaratkan sebuah arti kalau manusia dan Tuhan

13

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h, 40. 14

Diambil dari buku Samsul Munir, ilmu tasawu,f (Jakarta: Amzah, 20140, h 20. 15

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h. 157. 16

Diambil dari buku Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, h. 20. 17

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, h, 41.

Page 48: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

34

ialah satu. Oleh karena itu, kalau manusia ingin mengenal Tuhannya, maka ia

harus merenungi dan mengenal siapa sebenarnya dirinya sendiri. Ada lagi sebuah

hadit Qudsi yang menerangkan tentang kehidupan tasawuf, hadits ini

diriwayatkan oleh sahabat beliau sendiri.

رور أمه ػاد ن نا فمذ ꞉ان الله لال ꞉لال سسل الله صه الله ػه سهم꞉ت ششج لالأػه

حة ان مماإفرشضد ػه ماضال ػثذ رمشب ان تانىافم حر أتانحشب ماذمشب ان ػثذ تشء

نر مش تا أنر ثطش تا سجه أنز ثصش ت ذي أحثثر كىد سمؼ انز سمغ ت تصشي أحث فئراأ

وافاػه ذشدد ػه وفس انمؤمه كشي أن سأنى لاػطى لإن اسرؼارو لأػزو ماذشددخ ػه شء إ

كشي مسأذأواأانمخ

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. Bersabda bahwa

Allah SWT.Berfirman, „barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka

Aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya.Tidak ada sesuatu yang

mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai daripada

pengamalan segala yang Kufardlukan atasnya. Kemudian hamba-Ku yang

senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal

sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta

kepadanya, jadilah Aku pendengarnya yang dengannya ia mendengar, Aku

penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku tangannya yang dengannya

ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon

kepada-Ku, Aku perkenankan permohonan, jika ia meminta perlindungan,

ia Kulindungi.”

Hadis ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya bisa

bersatu. Manusia bisa melebur di dalam diri Tuhan, yang biasa dikenal dengan

istilah fana‟, yakni manusia sebagai makhluk yang sangat mencintai Tuhan

sebagai yang dicintainya. Istilah melebur ini hanya sekedar menunjukkan

keakraban hubungan manusia dengan Tuhan.18

Istilah fana‟ (lebur menjadi satu) ini harus dipertegas. Bahwasannya antara

manusia dan Tuhan tetaplah terdapat jarak atau pemisah, sehingga antara manusia

18

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h, 159-160.

Page 49: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

35

dengan Tuhan itu tetap ada perbedaan.Istilah fana‟ di sini hanya ditunjukan

sebagai sebuah keakraban saja antara manusia dengan Sang Khaliknya.19

Ada pula hadis qudsi lain yang menjadi penguat sebagai sumber tasawuf.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah:

ػه سهم: إذما فشاسحانمؤمه فئو ىظش تىسالله )ساي أنثخاس(لال سسل الله صه الله

Artinya: Rasulullah SAW. Bersabda, “Takutlah terhadap firasat orang

beriman, karena ia memandang dengan cahaya Tuhan”.(HR. al-Bukhari).

Hadis qudsi ini menjelaskan tentang kebersihan hati seorang manusia yang

sangat mempengaruhi terhadap intuisinya dalam memecahkan persoalan-

persoalan manusia. Segala apa yang dipikirkan oleh manusia yang dekat dengan

Tuhan maka ia akan dibantu odengan cahaya Tuhan.20

Dasar-dasar al-Qur‟an dan Hadis, yang sekiranya sudah dijelaskan di atas,

sudah cukup kiranya untuk dijadikan sebagai sebuah petunjuk dasar terhadap ilmu

tasawuf, termasuk sebagai ilmu syariat.Karena tasawuf dan syariat tidak bisa

dipisahkan di antara keduanya. Menurut pendapat Imam Malik,

تغش ذصف فمذ ذفسك مه ذصف تغش فم فمذ ذضوذق مه جمغ تىما فمذ ذحمكمه ذفم

Artinya:“Barang siapa berfiqh saja tanpa tasawwuf niscaya menjadi

fasik. Dan barang siapa yang hanya bertasawuf saja, maka ia menjadi

orang yang zindi (menyeleweng dari agama). Dan barang siapa yang

menjalankan keduanya, maka ia menjani orang yang hakiki.”21

Oleh sebab itu, menjalani kehidupan tasawuf tidak boleh meninggalkan

kehidupan syari‟at.Begitu juga dengan sebaliknya.Tasawuf dan syari‟at harus

sejajar dan sebanding untuk dilakukan oleh manusia.

19

Samsul, Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h, 21. 20

A. Bachrn Rif‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf,(Bandung: CV. Pustaka Setia,

2010), h. 52. 21

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT Bina Ilmu, tt), h. 67.

Page 50: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

36

Sudah jelas kiranya kalau tasawuf seperti yang sudah dikemukakan di atas,

pada permulaan pembentukan disiplinnya dalam kajian tasawuf ialah moral

keagamaan. Jadi sangat jelas sekali sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran

Islam, oleh karena itu, tasawuf di ambil dari ajaran al-Qur‟an dan al-

Hadits.Dengan begitu, al-Qur‟an dan al-Hadits adalah dua sumber utama dalam

tasawuf.22

C. Tema Dasar Tasawuf

Dari berbagai macam tema dasar-dasar tasawuf yang terdapat di dalam

kajian ilmu tasawuf, penulis hanya akan menulis tema dasar tasawuf yang ada

kaitannya dengan pembahasannya. Oleh sebab itu, penulis memilih taubat sebagai

tema dasar tasawuf yang ada kaitannya dengan pembahasannya..

Istilah taubat diambil dari bahasa Arab, dari asal kata tảba yatủbu taubatan,

yang artinya “kembali”.Jadi, taubat ialah kembali dari sesuatu perbuatan

kesalahan yang dilarang oleh agama menuju ke jalan yang dipuji dan diperintah

oleh agama. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. Yang

diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad. Yang artinya: “Menyesali

kesalahan merupakan suatu taubat”.

Apabila seseorang merenungi dan menyesali segala perbuatan-perbuatan

yang jahatnya, maka ia akan mengetahui dan memahami perbuatan-perbuatan

jahatnya yang telah ia lakukan, dan rasa ingin taubat akan tumbuh di dalam

hatinya bersamaan dengan menahan diri dari tindakan-tindakan kejahatan

22

Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014), h. 62.

Page 51: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

37

tersebut. Dan Allah akan membantu kepada setiap hambanya yang ingin bertaubat

dan kembali ke jalan Allah.23

Al-Tustari mengatakan, taubat yang paling rendah ialah manusia yang tidak

mengulur-ulur waktunya untuk menjauhi hal-hal yang sedang ia mengerjakan

kesalahan dan maksiat, sebab, manusia biasanya mempunyai berbagai macam

alasan untuk tidak meninggalkan kesalahan dan kemaksiatannya. Manusia

terkadang akan berkata, “saat ini saya akan meninggalkannya dan nanti saya

akan melakukannya lagi.”24

Itulah pendapat al-Tustari agar manusia kalau mau

bertaubata jangan ditunda-tunda, tetapi harus segera dikerjakan ketika ia

menyadari apa yang ia kerjakan adalah sebuah yang mengandung dosa. Adapun

al-Nawawi mengatakan:

“Taubat itu hukumnya wajib dari berbagai macam dosa (dosa kecil

dan dosa besar).Kalau kemaksiatan itu dilakukan oleh seorang hamba

terhadap Tuhannya yang tidak ada kaitannya dengan hak manusia, maka

taubat harus memenuhi tiga syarat. Yakni, melepaskan diri dari

kemaksiatan seketika itu juga, menyesali terhadap apa yang ia telah

kerjakan, dan mempunya keinginan yang kuat untuk tidak akan

mengulanginya lagi. Jika tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka

taubatnya dianggap tidak sah.Jika kemaksiatan yang dilakukan

berhubungan dengan hak manusia, maka harus memenuhi empat syarat.

Yaitu: tiga syarat yang sudah disebutkan di atas, tinggal menambahi satu

syarat lagi, yakni harus membebaskan hak tersebut dari orang yang

bersangkutan.”25

Adapun al-Ghazali mengemukakan tentang wajibnya untuk bertaubat, yakni,

ia wajib bertaubat secara langsung, karena meninggalkan kemaksiatan adalah

sebuah kewajiban secara berkesinambungan. Demikian juga, ketaatan kepada

23

Lihat pendapat al-Tustari dan al-Nawawi dalam kitabAbu Qosim al-Qusyairy, Risalatul

Quyairiyah, Induk Ilmu TasawufPenerjemah Mohammad Luqman Hakiem, ( Surabaya: Risalah

Gusti, 1997 ), h. 79-80. 24

Amir, an-Najar,Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern Penerjemah Ija, suntana,

( Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004 ), h. 55. 25

Saifuddin, Aman dan Abdul Qadir Isa, Tasawuf Revolusi Mental, Zikir Mengelolah

Jiwa dan raga, h. 179-180.

Page 52: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

38

Allah juga sebuah kewajiban secara bersinambungan pula. Al-Ghazali mengutip

ayat al-Qur‟an:

…ذتاان الله

Artinya, “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah….” (QS. al-Nur, ayat

31).Oleh sebab itu kita harus mengetahui kalau taubat adalah kewajiban bagi

seluruh manusia secara merata.

Dari sini, manusia bisa mengetahui bahwa taubat adalah sebuah kewajiban

bagi seluruh manusia pada umumnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada

manusia pun yang luput dari yang namanya dosa yang telah dilakukannya, baik

dengan anggota-anggota tubuhnya atau dengan pikirannya..

Setidaknya, kelalaian dan lupa kepada Allah Swt. Dan bertaubat kepadanya.

Bertaubat adalah perilaku orang-orang yang mulia. Seperti para nabi, para orang-

orang yang jujur, orang-orang yang shaleh, dan orang yang tidak menyenangi

kehidupannya hanya berupa wujud tanpa ada manfaatnya.26

Adapun tingkatan macamnya taubat menurut al-Thủsi itu ada tiga, yaitu

taubat yang sifatnya umum, yakni dari kalangan orang awam, kemudian taubat

yang khusus bagi manusia- manusia yang sempurna, dan yang terakhir ialah

taubat yang sangat khusus bagi manusia yang ada di jalan tarikat. Taubat yang

pertama yaitu dari kalangan umat para pendosa.Taubat tingkatan yang kedua yaitu

taubatnya para nabi.Seperti nabi Adam as. dan para nabi lainnya. Sementara,

taubatnya nabi kita, Rasulullah saw, termasuk kategori taubat yang ketiga.27

26

Al-Ghazali,Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan,, ( Bandung:

Penerbit Mizan, 1997 ), h. 310-311. 27

Nasir al-Din al-Tusi,Sifat-sifat Kemuliaan Metode Para Salik dalam Mencapai

Kesempurnaan,Penerjemah Ahmad, Y Samantho, ( Jakarta: Pustaka Intermasa, 2004 ), h. 14.

Page 53: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

39

Syaikh Abdul Qodir al-Jailani mengatakan, hal yang pertama sekali

perkataan taubat itu harus keluar dari dalam hati, kemudian dengan mulut kalian.

Karena pertaubatan itu akan mengguncangkan kekuasaan nafsu, sikap egois,

ajakan setan, dan teman yang jahat. Dengan bertaubat, manusia akan

menghilangkan kemaksiatan dan menggantinya dengan ketaatan.28

Intinya, manusia itu harus selalu meminta ampunan kepada Allah atas apa

yang telah ia kerjakan setiap harinya. Karena, manusia itu tidak akan bisa

terlepasa dari yang namanya dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu manusia harus

memperbanyak meminta pengampunan kepada Allah agar segala dosanya bisa

diampuni oleh Allah.

28

Syaikh, abdul Qadir al-Jailani, Nasehat-nasehat Wali Allah Syaikh Abdul Qadir al-

Jailani, Penerjemah Achmad Sunarto, ( Bandung: Husaini Bandung, 1995 ), h. 167.

Page 54: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

40

BAB IV

PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG MAKSIAT HATI

A. Tuhan

Konsep tentang Tuhan menjadi sebuah pembahasan yang sangat

menarik dari berbagai golongan seperti para sufi, teolog, dan filusuf. Para

teolog dan filosof membahas Tuhan tentang masalah pengetahuan Tuhan.

Apakah Tuhan mengetahui suatu hal yang terperinci, misalnya Tuhan

mengetahui bahan-bahan dari alam semesta ini atau apakah Tuhan

mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap di atas batu hitam.

Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang juz‟i, maka

Tuhan amat sangat sibuk, dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua

segala hal itu. Jika Tuhan tidak mengetahui, maka Tuhan terkesan tidak

mengetahui. Dan ini bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang

menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui. Itulah yang menjadi persoalan para

teolog dan filusuf tentang Tuhan.1

Berbeda dengan ajaran para sufi, terutama sufi periode pertama.

Mereka tidak mengajarkan tentang pengetahuan Tuhan, tetapi mereka

mengajarkan sebuah ajaran kesufian tentang kezuhudan dan pengendalian

hawa nafsu.

Pada perkembangan selanjutnya terdapat sebuah kecenderungan

yang sangat kuat ke arah ajaran mistisisme, hal ini terlihat pada ajaran-

ajaran para tokoh sufi besar. Seperti yang terdapat di dalam sebuah ajaran

1Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005). h. 165.

Page 55: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

41

sistem mistisisme, maka boleh dikatakan bahwa sistem mistisisme yang

diajarkan oleh mereka lebih cenderung kepengembangan dari konsepsi

filosofis terhadap sifat ketauhidan Tuhan, hubungan antara jiwa manusia

dengan Tuhan, kemungkinan naiknya jiwa manusia kepada Tuhan dan

praktek-praktek yang digunakan untuk pendakian jiwa agar manusia bisa

bersatu dengan Tuhan.

Konsep ketauhidan Tuhan para sufi periode pertama, lebih kental

tentang sifat-sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan keyakinan-

keyakinan yang dianut oleh kaum ortodok Islam. Tuhan adalah berdiri

sendiri sejak dahulu, tidak terbatas, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu,

dzat dan sifat-sifatnya tidak berubah.2

Oleh karena itu, manusia harus merenungkan tentang wujud dan

sifat-sifat Tuhan, agar manusia bisa sampai pada sebagian pengetahuan

tentang Tuhan.Walaupun banyak manusia yang telah melakukan

perenungan tetapi masih belum juga bertemu Tuhan, berarti manusia harus

melakukan cara-cara agar manusia bisa bertemu dan menegetahui tentang

Tuhan.3 Jadi, manusia yang ingin dekat dengan Tuhan, maka ia harus

merenungi tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan. Seperti yang dikatakan

oleh al-Ghazali:

Tuhan bukanlah terdiri dari sebuah jasad, subtansi atau aksiden. Dia

(Tuhan) tidak bisa diserupakan dengan segala sesuatu yang hidup maupun

2Margaret Smith,mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan

Pertumbuhannya,Penerjemah Amroeni Dradjat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251. 3Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir,( Bandung: Penerbit Mizan, 2014), h. 31.

Page 56: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

42

dengan benda yang mati. Dia tidak bertempat tinggal di bumi maupun di

langit. Dia Yang Maha Dipuja oleh semua mahluk di atas muka bumi dan

dekat dengan segala wujud yang ada.Tuhan mengawasi segalanya.Tuhan

tidak terbatasi oleh waktu maupun bertempat disuatu rungan, karena

Tuhan ada sebelum adanya waktu dan ruang. Tuhan akan selamanya ada

dan akan tetap ada.

Al-Ghazali kemudian kembali menegaskan, manusia yang sudah

merenungkan dirinya tentang Tuhan, maka ia akan mengetahui kalau

dirinya sebelumnya tidak ada. Yang ada hanya Tuhan. Sebagaimana yang

tertulis di dalam al-Qur‟an yang artinya, “Tidakkah manusia tahu bahwa

sebelumnya ia bukan apa-apa?” (QS. Maryam: 67). Ia (manusia)

mengetahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung

intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki, dan yang lainnya. Dari sini

sudah jelas, setinggi apa pun tingkatan kesempurnaan manusia, ia tidak

bisa menciptakan dirinya dan ia sendiri tidak akan mampu menciptakan

sehelai rambut pun.4 Manusia harus berpikir tentang dirinya sendiri

sebelum berpikir tentang Tuhan. Ia sebelumnya tidak ada kemudian

diciptakan oleh Tuhan menjadi ada. Sedangkan Tuhan sudah ada sebelum

adanya manusia. Ia hanya makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dari

setetes air mani. Dan Ia (Tuhan) selamanya akan tetap ada.

Kemudian al-Ghazali melanjutkan, setelah manusia melakukan

perenungan mengetahui tentang esensi dan sifat-sifat kekuasaan Tuhan,

maka akan bisa dipahami metode kerja, pengaturan, dan pendelegasian

4Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 32.

Page 57: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

43

kekuasaan Tuhan kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan yang

lainnya, yakni dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing

manusia mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.5

Sebenarnya, Tuhan sangat mudah dipahami oleh akal sehat manusia

dan keberadaan Tuhan bisa dilihat oleh manusia melalui pandangan mata

batinnya. Melalui pandangan batin itu, manusia bisa melihat tentang wujud

dan keindahan Tuhan. Manusia memperoleh sebuah keanugerahan

kesenangan yang sangat tinggi.6

Tuhan menurut al-Ghazali, Dia adalah transenden dan immanen. Dia

Penciptan dan Penyebab Pertama dari segala yang wujud. Penggerak

Pertama sekaligus wujud dan Hikmah Abadi. Dia juga Keindahan yang

tinggi melampaui keindahan yang ada dalam karya manusia, keindahan

penya‟ir ada di dalam bait-bait sya‟irnya, keindahan pelukis ada di dalam

sebuah lukisannya.Yang Indah tetap Indah ialah hanya Tuhan, Keindahan

yang paripurna, paling bercahaya, paling agung, dan Keindahan yang tidak

bisa dijelaskan. Karena Keindahan Tuhan berada di luar jangkauan konsep

pikiran manusia.7

Jadi, Tuhan itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Dan

Tuhan tidak bisa digambarkan oleh pikiran manusia, juga keindahan-

keindahannya tidak bisa diungkapkan oleh akal manusia. Yang

5Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 36.

6Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah

Amrouni, (Jakarta: riora Cipta, 2000), h. 151. 7Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah

Amrouni, h. 156.

Page 58: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

44

mengetahui tentang Tuhan dan keindahannya hanyalah Tuhan sendiri yang

mengetahuinya.

Al-Ghazali kembali melanjutkan, Dia (Tuhan) adalah Sang Pengatur

jagat raya dan Dia berada di luar ruang dan waktu, kualitas dan kuantitas.

Dia yang mengatur semua apa-apa yang sudah demikian terkondisikan.

Sebagaimana ruh mengatur jasad dan semua anggotanya dalam keadaan ia

tidak bisa dilihat oleh mata, tidak terbagi-bagi, dan tidak pula di tempatkan

di sebuah tempat manapun. Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak

terbagi-bagi mau di tempatkan pada sesuatu yang bisa terbagi-bagi.8

Pendapat al-Ghazali ini menegaskan kalau yang mengatur jagat raya

ini ialah Tuhan. Al-Ghazali mengumpamakannya ruh yang ada di dalam

jasad manusia. Yang mengatur anggota tubuh manusia adalah ruh. Tanpa

adanya ruh jasad manusia tidak akan berfungsi. Begitu juga tentang

keberadaan Tuhan, Dia tidak membutuhkan ruang dan waktu. Dia ada tapi

tidak bertempat di suatu tempat dan tidak di lingkari oleh waktu. Tentang

memahami Tuhan, al-Ghazali mengatakan:

“Tidak ada seorang manusia pun yang bisa memahami seorang

raja, kecuali rajanya sendiri yang bisa memahaminya. Karena itu, Tuhan

sudah menjadikan masing-masing manusia, katakanlah sebagai raja

dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan sebuah tiruan dari

kerajaan Tuhan yang telah disusunkan secara tidak terbatas.Tuhan telah

menggambarkan kerajaan di dalam diri manusia berupa ruh dan malaikat

(Jibril) oleh hati, kursyi (kursi) oleh otak, dan al-lauh al-mahfủzh oleh

ruang pikiran.Jiwa yang tidak ditempatkan dan tidak terbagi-bagi,

mengatur jasad sebagaimana halnya Tuhan mengatur jagat ini.Intinya,

8Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir,h. 36.

Page 59: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

45

kita diberi amanat oleh Tuhan yang berupa kerajaan kecil, dan kita

diwajibkan untuk tidak ceroboh ketika mengaturnya.”9

Jadi yang bisa mengetahui dan memahamiTuhan adalah Tuhan

sendiri. Sebagaimana yang mengetahui kekekuasaan manusia ialah

manusia itu sendiri. Manusia lain tidak akan bisa mengetahuinya. Oleh

sebab itu manusia harus bisa menjaga sendiri kekuasaannya.

Al-Ghazali juga mengungkapkan Tuhan sebagai Cahaya, yakni

sumbernya cahaya. Dalam alam nyata ini, cahaya mengandung sebuah

kemuliaan dan kehormatan, sedangkan di dalam tataran etika dan

intelektual cahaya merepresentasikan kemurnian, kesucian, dan kebenaran.

Oleh sebab itu, Tuhan diumpamakan sebagai cahaya itu sangat masuk

akal.10

Dia (Tuhan) sebenar-benarnya cahaya, sebagaimana yang ditegaskan

oleh al-Ghazali sendiri: “Dia (Tuhan) adalah cahaya, sebab segala

sesuatu bila tidak nampak dalam wujudnya sendiri maka wujud yang

lainnya juga tidak akan nampak pula.”11

Oleh sebab itu, Tuhan yang

diumpamakan cahaya oleh al-Ghazali ialah karena Tuhan menjadi sebuah

sumber dari wujudnya segala sesuatu tersebut. Tanpa adanya cahaya

Tuhan, maka sesuatu tersebut tidak akan kelihatan.

Mengenai Tuhan sebagai cahaya, para sufi juga mengatakan kalau

alam semesta ini adalah sebuah cerminan Tuhan, sebagaimana Tuhan

9Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, h. 36.

10Margaret Smith,mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya,

Penerjemah Amroeni Dradjat, h. 157. 11

Al-Ghazali, Misykat Cahaya-cahaya, Penerjemah Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan,

1991), h. 38.

Page 60: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

46

melihat gambar diri-Nya. Setiap tingkat eksistensi makhluk mencerminkan

sifat-sifat tertentu Tuhan. Semakin tinggi tingkatan wujud , maka semakin

banyak pula sifat-sifat Tuhan yang terpantulkannya. Dan puncak yang

paling tinggi ada pada diri manusia, karena manusia adalah makhluk yang

terbaik bentuknya. Manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan ketika

diri manusia terpantul seluruh sifat Tuhan. Kalau manusia sudah bisa

mencapai tingkatan tinggi tersebut, maka manusia bisa mencapai tingkat

“manusia paripurna” (insản kảmil).12

Dalam Islam ada tiga aliran besar dalam pemikiran, yaitu Ijảdiyyah,

Wujủdiyyah, dan Syuhủdiyyah. Golongan Ijảdiyyah ialah kaum

kemakhlukan atau keluhuran. Mereka mempunyai anggapan kalau Tuhan

itu terpisah daripada makhluk-Nya, juga Tuhan merupakan ekstra kosmos

yang telah menciptakan bumi dan langit dalam waktu enam hari,

kemudian istirahat pada hari ke tujuh.

Menurut Sir Sayyid Ahmad, “percaya kepada Tuhan Yang Esa, dan

Dia mengada dengan kesucian-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu dari

ketiadaan kemudian menjadi sesuatu yang ada.Segala sesuatu agar

menjadi ada maka sangat bergantung kepada-Nya. Sedangkan Dia sendiri

tidak tergantung dan tidak membutuhakan pada sesuatu pun.”

Golongan yang kedua ialah kaum Wujủdiyyah, mereka mempunyai

doktrin kalau manusia (atau dunia) berasal dari pengetahuan Tuhan, dan

kemudian memperoleh sebuah pengalaman dari dunia, kemudian kembali

12

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 41-42.

Page 61: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

47

menuju pada kenyataan. Dalam hal ini, kegandaan dapat memukul pada

bagian yang terdasar.

Sesungguhnya hanya ada satu esensi yang telah mewujudkan di luar

pengetahuannya sendiri.Yang mana, pengetahuan dalam tahap kedua ialah

emanasi itu sendiri. Setelah ia memperoleh pengalaman, maka ia akan

kembali pada keadaan sendiri di dalam pengetahuan Tuhan. Orang

menganggap ajaran ini sama dengan aliran panteisme.

Sedangkan aliran yang ketiga yaitu golongan Syhủdiyyah, mereka

mempunyai anggapan tentang adanya dua Zat, yang pertama ialah

nyata.Yang satu adalah Tuhan, dan yang lainnya hanyalah hamba. Pada

diri hamba di dalamnya terdapat sifat ketiadaan, dan yang ketiadaan ini

adalah berhubungan, tetapi bukanlah hal yang hakiki. Jadi, kalau ada satu

esensi yang bersifat tidak ada, maka akan ada dua Zat yang akan

mendatangkan kegandaan (dualisme).

Oleh karena itu, ketiadaan hanyalah sekedar sebagai sifat tambahan

dari pengetahuan Tuhan. Karena kesempurnaan hanya bisa melekat di

dalam Zat, maka Tuhan itu adalah kebaikan sendiri. Kesempurnaan hanya

akan melekat pada ketiadaan. Oleh sebab itu keburukan merupakan

perwujudan dari ketiadaan.13

13

Khan Sahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana, Penerjemah Achmad Nashir

Budiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),h. 9-12.

Page 62: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

48

B. Manusia

Pada abad ke-19 (zaman modern) dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat

sekuler, sperti pada gerakan rasional dan gerakan antimistik, tasawuf pernah

dituduh sebagai biang keladi kemunduran dan dikutuk oleh kalangan kaum

modernis. Para orientalis sangat berperan sekali dalam menancapkan kedangkalan

dalam kajian dunia mistik dan tentang ajaran-ajaran Islam kepada para pelajar

Islam yang menimbah ilmu di Barat.14

Dalam dunia Barat, kedudukan manusia dalam Islam dan tasawuf menjadi

sebuah pokok kontradiksi di kalangan para sarjana Barat. Sebagian para sarjana

mengatakan bahwa manusia sebagai “hamba Tuhan” tidak ada artinya sama sekali

dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa; manusia hampir hilang kepribadiannya dan

manusia itu bukan apa-apa kecuali hanya sebagai alat belaka dalam takdir abadi.

Menurut kalangan sarjana Barat, konsepsi “humanisme” (kemanusiaan)

yang begitu sangat dibangga-banggakan oleh kebudayaan Eropa pada dasarnya

aneh bagi pemikir Islam. Para sarjana lainnya merasa sangat khawatir dengan

perkembangan tasawuf lebih lanjut, tentang subyektivisme yang mutlak, sebab,

keberadaan manusia yang seolah-olah “menggelembung” sedemikian rupa

sehingga dianggapnya sebagai makhluk mikrokosmos, suatu gambaran

kesempurnaan dari Tuhan.15

Orang-orang Barat hanya mempunyai pandangan

tentang kedudukan manusia saja, tetapi mereka tidak mempunya pandangan

tentang tujuan-tujuan manusia itu sendiri.

14

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100. 15

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam,Penerjemah sapardi Djoko

Damono dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 237.

Page 63: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

49

Al-Ghazali mengatakan, manusia seharusnya bisa mengetahui tentang siapa

sebenarnya dirinya, ada sebuah pengetahuan tentang hal-hal sebagai berikut ini:

Siapakah diri Anda, dan dari mana diri Anda datang? Kemanakah Anda akan

pergi, apa tujuan Anda datang dan tinggal sejenak di tempat ini, serta di manakah

kebahagiaan dan kesedihan Anda yang sebenarnya berada? 16

Pertanyaan-

pertanyaan seperti ini harus ada di dalam pikiran manusia, agar ia bisa mengetahui

tentang diri yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, manusia modern di dalam nalurinya harus ditumbuhkan rasa

pentingnya melakukan meditasi dan kontemplasi (perenungan) dalam menjalani

kehidupan.17

Agar ia bisa mengetahui tentang dirinya sendiri, juga tujuan

hidupnya di dunia ini.

Tasawuf begitu sangat dibutuhkan oleh manusia modern, karena tasawuf di

dalam Islam memiliki semua unsur yang dapat dibutuhkan oleh manusia, semua

yang diperlukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem dan tetap berada

di dalam koridor agama.18

Mengapa tasawuf begitu sangat penting bagi manusia?

Karena di dalam diri manusia terkandung berbagai macam sifat-sifat.

Sebagian dari sifat manusia adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain

adalah sifat-sifat setan, dan sebagian yang lainnya adalah sifat malaikat. Manusia

harus bisa mengetahuinya, mana di antara sifat-sifat aksidental dan mana sifat

yang esensial (pokok). Sebelum manusia bisa mengetahui tentang bagian-bagian

sifat ini, maka manusia tidak akan bisa menemukan letak kebahagian dirinya yang

16

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir, (Bandung: Penerbit Mizan, 2014),h. 10. 17

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100. 18

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 100.

Page 64: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

50

sebenarnya.19

Oleh sebab itu, jika manusia ingin menemukan tempat kebahagiaan

dirinya, maka ia harus bisa mengetahui dulu sifat-sifat yang ada di dalam dirinya

itu.

Al-Ghazali menjelaskan, sifat-sifat hewan pekerjaannya hanya sekedar

makan, tidur, dan berkelahi. Oleh sebab itu, jika manusia merasa dirinya adalah

seekor hewan, maka sibukkanlah diri anda dengan melakukan pekerjaan-

pekerjaan tersebut. Begitu juga dengan sifat-sifat setan, pekerjaannya hanyalah

mengobarkan kejahatan, kelicikan, dan kebohongan. Kalau manusia termasuk ke

dalam kelompok mereka (setan), maka kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan mereka.

Adapun sifat-sifat malaikat adalah pekerjaannya selalu merenungkan tentang

keindahan Tuhan dan sama sekali bebas dari kualitas-kualitas hewan. Jika

manusia mempunyai sifat-sifat malaikat, maka manusia harus berjuang untuk

memperoleh sifat-sifat asal manusia agar bisa mengenali dan merenungi Dia

(Tuhan) Yang Maha Tinggi, serta manusia bisa terbebas dari perbudakan nafsu

dan amarah.20

Jadi manusia bisa menentukan sendiri pekerjan sifat-sifat tersebut.

Apakah mau mengikuti pekerjaan hewan, setan, bahkan sifat malaikat. Kalau

manusia ingin bahagia, maka ia harus mengikuti sifat malaikat dan tidak

mengikuti sifat hewan dan setan.

Langkah yang harus dilakukan oleh manusia untuk mengetahui tentang

dirinya adalah menyadari kalau dirinya itu terdiri dari bentuk luar yang biasa

disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau jiwa

19

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir, h. 10. 20

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir,h. 10.

Page 65: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

51

(ruh).Yang dimaksud hati di sini bukanlah sepotong daging yang terletak di

sebelah kiri bagian badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas

lainnya sebagai alat dan pelayannya.21

Pendapat al-Ghazali ini sesuai dengan apa yang ada di dalam ajaran Islam

tentang konsep manusia. Manusia tersusun dari jasmani dan ruhani. Manusia pada

kenyataanya adalah jiwanya. Jiwalah yang dapat membedakan manusia dengan

makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dengan jiwanya manusia bisa merasa, berpikir

dan dapat mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.22

Terkait dengan masalah ini,bahwa ada tiga unsur di dalam diri manusia,

yaitu jiwa (ruh), akal, dan jasad. Oleh sebab itu manusia bisa memperoleh

kemuliaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya karena

manusia memiliki unsur ruh ilảhiyyah (ruh ketuhanan). Ruh yang disebutkan oleh

Tuhan dalam firman-Nya.

فإراسيت فخت في هي سحي فقعا ل سجذيي

Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan

sudah meniupkan ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya

dengan bersujud.”(QS. al-Hijr, ayat 29).

Ruh ilảhiyyah inilah yang menjadikan manusia sebagai manusia yang

memiliki kehidupan ruhani, di mana semua manusia dalam setiap agama memiliki

sebuah kecondongan untuk memilikinya. Karena perasaan seperti itu adalah fitrah

21

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir, h. 12. 22

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan

Kesehatan Mental,( Jakarta: CV Ruhama, 1993),h. 26.

Page 66: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

52

manusia. Dengan demikian, yang menjadi objek dalam kajian tasawuf ialah

“jiwa” manusia.Tasawuf mengkaji tentang sikap jiwa manusia berhubungan

dengan Tuhan dan sikapnya berhubungan dengan sesama makhluk lainnya.23

Al-Qur‟an dan hadis pun membicarakan tentang jiwa, tetapi pengalaman

kejiwaan masyarakat Islam berbeda sekali dengan pengalaman kejiwaan

masyarakat Barat. Dalam sejarah Islam, perkembangan pengetahuan berjalan

dengan seiringnya agama dan bahkan ajaran agama pengetahuan. Misalnya

tentang jiwa, dalam keilmuan Islam tidak muncul ilmu jiwa sebagai ilmu yang

membahas perbuatan tentang gejala-gejala jiwa manusia, tetapi dalam khazana

Islam jiwa manusia dibahas dalam konteks keruhanian yang memiliki hubungan

lurus dengan Tuhan.24

Al-Ghazali mengatakan, pada hakikatnya, jiwa bukan termasuk dalam dunia

kasatmata, tetapi termasuk ke dalam dunia maya; ia datang ke dunia ini hanya

sebagai pelancong yang mengunjungi berbagai tempat asing untuk keperluan

perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tempat asalnya, yakni tanah.

Pengetahuan tentang tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang menjadi kunci

untuk mengetahui tentang Tuhan.25

Jiwalah yang menjadi hakikat dari manusia, karena jiwa mempunyai sifat

ketuhanan dan akan kekal ketika manusia sudah meninggal. Keselamatan dan

kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung terhadap oleh

23

Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014), h. 73. 24

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 99. 25

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagirh. 12.

Page 67: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

53

jiwanya.Sebab jiwa merupakan pokok bagi manusia yang sedang berjalan menuju

kepada Tuhan.26

Al-Ghazali memberikan sebuah perumpaan tentang diri manusia. Jasad

diibaratkan sebagai sebuah kerajaan, sedangkan jiwa sebagai rajanya, serta

berbagai indera dan fakultas lainnya sebagai wajir atau perdana menteri, nafsu

sebagai pemungut pajak, dan amarah sebagai polisi.

Berpura-pura sebagai pemungut pajak, nafsu terus-menerus cenderung untuk

melakukan perampasan demi kepentingannya sendiri, sementara, amarah lebih

cenderung untuk melakukan kekasaran dan kekerasan.Pemungut pajak dan

petugas polisi harus di tempatkan di bawah raja, tetapi keduanya tidak boleh

dibunuh atau di tempatkan yang lebih tinggi.Karena keduanya mempunyai fungsi-

fungsi sendiri yang harus dipenuhinya.Tapi nafsu dan amarah tidak boleh

menguasai nalar. Jika keduanya bisa menguasai nalar, maka jiwa akan merasakan

keruntuhan.27

Oleh sebab itu, manusia harus bisa menjaga dirinya dari keganasan

nafsu dan amarahnya yang bisa menghancurkan jiwanya.

Dalam sebuah kajian tasawuf, manusia bukan semata-mata fisiknya saja,

melainkan jati diri manusia ialah ruhaninya. Kalau manusia diidentifikasi dari

dimensi fisiknya, maka manusia tidak lebih dari sejenis hewan yang sama-sama

memiliki fisik yang hampir mirip.Yang menjadi pembeda antara manusia dengan

26

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan

Kesehatan Mental, h. 26. 27

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagirh. 14.

Page 68: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

54

hewan ialah manusia memiliki ruhani atau batin dan juga akal yang tidak dimiliki

oleh hewan.Inilah menjadi jati diri manusia.28

Al-Ghazali juga menyebut manusia sebagai „alammushshaghỉr atau biasa

disebut sebagai jagat kecil yang ada di dalam dirinya. Susunan jasadnya harus

dipelajari dan dipahami, bukan hanya dipelajari oleh orang-orang yang ingin

mejadi dokter saja, tetapi dipelajari juga oleh orang-orang yang memperoleh

pengetahuan yang lebih tinggi tentang Tuhan. Sebagaimana mempelajari tentang

sebuah keindahan dan corak bahasa di dalam puisi yang tinggi, sehingga kita akan

memahami tentang kepandaian pengarangnya.29

Manusia disebut jagat kecil

karena manusia berada di jagat besar, yakni alam semesta. Sehingga manusia

termasuk bagian dari jagat besar ini. Namun, manusia juga harus memahami

dirinya sendiri kalau hatinya bisa menampung tentang keberadaan Tuhan.

Ikhwản al-Shảfả juga mengatakan, bahwa manusia adalah sebuah makhluk

mikrokosmos, secara umum ia mengartikannya sebagai tubuh manusia. Ini

menunjukkan kalau tubuh manusia mengandung universum fenomenal, termasuk

matahari, bulan, bintang, binatang, dan sebagainya. Ini disebabkan karena

kebijaksanaan Tuhan bahwa. Ia menciptakan tubuh manusia sebagai

mikrokosmos, sehingga manusia memperoleh sebuah pengetahuan tentang

universum melalui pengetahuan tubuhnya.30

28

Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi Agama-

agama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), h. 256. 29

Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir, h. 26. 30

Mastaka Takeshita, Manusia Sempurna Menurut Ibn „Arabi,Penerjemah Moh, Hefni

MR, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). h. 123.

Page 69: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

55

Kedudukan manusia sebagai jagat kecil (mikrokosmos) itu bukan sebagai

sebuah simbol, sedangkan alam semesta ini sebagai jagat besar (makrokosmos),

kedudukan antara jagat kecil dan jagat besar ini sebenarnya tidak ada

bedanya.Malahan, hakikatnya jagat kecil ini lebis luas dan besar dari pada jagat

besar, alam semesta ini berada di dalam diri manusia, yakni di hati manusia.

Inilah kehebatan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya.

Malahan bisa dikatakan kelebihan manusia dengan makhluk lainnya adalah

adanya akal yang dimiliki oleh manusia dan makhluk selain manusia tidak

memiliki akal.Tetapi ada yang lebih esensi lagi, yakni manusia mempunyai hati

yang bisa menampung seluruh alam semesta, bahkan hati manusia bisa

menampung keberadaan Tuhan di dalam hatinya.31

Kalau manusia sudah mendapatkan bimbingan risalah yang dibawah oleh

para nabi ataupun akal pikiran yang sehat, maka naluri bertuhan akan tambah

cemerlang. Oleh karena itu kerinduan manusia kepada Tuhan hakikatnya ialah

kerinduan yang tabi‟iyah yang berpijak pada fitranya. Kalau kerinduan manusia

sudah kuat maka manusia akan melakukan berbagai macam pengorbanan untuk

bisa berhubungan dengan Tuhan.32

Dalam dunia sufiisme ada sebuah istilah yang bernama al-Hulul yakni suatu

paham yang menyebutkan kalau Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu

untuk dijadikan tempat di dalamnya,setelah sifat-sifat kemanusiaannya sudah

dihilangkan atau dilenyapkan. Bagi golongan sufi, manusia adalah sebuah

penampakan lahir dari cinta Tuhan yang azali kepada zat dan esensi-Nya yang

31

Agus Wahyudi, Pesona Kearifan Jawa, (Yogyakarta: Dipta, 2014), h. 181. 32

Hamzah Ya‟qub, Ilmu Ma‟rifah Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin,(Jakarta:

CV. Atisa, 1988), h. 41.

Page 70: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

56

mutlak dan tidak mungkin untuk disifatkan. Oleh sebab itu, manusia diciptakan

oleh Tuhan dalam bentuk-Nya yang mencerminkan segala sifat dan nama-Nya,

sehingga “ia adalah Dia”.

Di dalam tubuh manusia terdapat sifat-sifat kemanusiaan, kalau menurut

para sufi diistilahkan dengan kata an-Nasut dan di dalam diri manusia juga

terdapat sifat-sifat ketuhanan yang sebut al-Lahut. Secara tegas, apabila manusia

sudah bisa menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dari dalam dirinya melalui

jalan fana‟ (melebur), maka yang hanya ada di dalam dirinya cuma sifat-sifat

ketuhanan. Saat itulah Tuhan akan masuk ke dalam diri manusia.33

Maqảmat-maqảmat yang bisa mengantarkan manusia menuju kepada

Tuhan

Tasawuf sebagaimana mistisme pada umumnya bertujuan untuk

membangun dorongan-dorongan terhadap manusia, yaitu sebuah dorongan untuk

merealisasikan diri secara menyeluruh sebagai makhluk yang secara hakiki adalah

makhluk yang bersifat kerohanian.Tasawuf mempunyai potensi besar untuk

menawarkan sebuah pembebasan spiritual untuk mengajak manusia mengenalkan

dirinya senidiri dan akhirnya bisa berhubungan dan mengenal Tuhannya.34

Manusia untuk bisa mencapai bertemu dengan Tuhan, maka manusia harus

melakukan sebuah kegiatan kebatinan, seperti melakukan riadloh dan

mujahadah.Kegiatan seperti ini disebut suluk dan manusia yang melakukan

kegiatan seperti ini dinamakan seorang salik. Manusia untuk bertemu langsung

33

Abdurrahman Abdul Khalik dan Ihsan Ilahi Zhair, (Jakarta: Amzah, 2000), h. 23. 34

Lihat dipendahuluan Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin dalam sebuah buku

Kamus Ilmu Tasawuf,(Jakarta: Amzah, 2012),h.21.

Page 71: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

57

dengan Tuhan menjadi sebuah perhatian yang sangat penting dikalangan para

sufi. Di antaranya al-Ghazali. Tuhan berfirman di dalam al-Qur‟an:

فضشباعلى أران فى الكف سيي عذدا

“Maka barang siapa yang ingin berjumpa dengan Allah, maka hendaklah ia

mengerjakan amalan baik dan janganlah ia mempersekutukan dengan siapa pun

dalam beribadah kepada Allah”.(QS. al-Kahfi, ayat 11).Ayat tersebut menjadi

sebuah pegangan para sufi agar bisa bertemu dengan Allah.35

Manusia yang akan menempuh kehidupan rohani untuk bisa sampai kepada

Allah atau ingin bertemu dengan Tuhan, maka manusia harus menempuh stasiun-

stasiun (maqảmat-maqảmat) terlebih dahulu. Konsep maqảmat yang diterapkan

oleh para sufi tidak semuanya sama dengan maqảmat yang diterapkan oleh para

sufi lainnya.36

Maqảmat- maqảmatal-Ghazali yang terdapat di dalam buku Falsafat dan

Mistisisme dalam Islam karya Harun Nasution ada delapan macam, di antaranya:

1. Taubat

Maqam taubat yang dimaksud oleh para sufi ialah taubat yang bersungguh-

sungguh, taubat yang tidak mengajak manusia lagi untuk melakukan dosa.

Terkadang taubat tidak bisa dikerjakan hanya satu kali saja, tetapi sampai

dikerjakan berulang-ulang kali. Ada yang mengatakan, bahwa seorang

sufimelakukan taubat hingga sampai tujuh puluh kali, baru ia bisa mencapai

tingkatan taubat yang sebenarnya. Dalam pandangan para sufi, taubat yang

sebenarnya ialah lupa atas segala hal kecuali Tuhan. Menurut al-Hujwỉri, orang

35

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2007), h. 46. 36

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Rosda, 2012),h. 20.

Page 72: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

58

yang taubat adalah orang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan perenungan

tentang Tuhan.37

Sedangkan taubat menurut al-Ghazali ialah yang termasuk dari sebuah arti

taubat yaitu meninggalkan segala perbuatan-perbuatan maksiat pada saat sekarng

dan berniat untuk meninggalkannya di masa yang akan datang dan memperbaiki

semua kesalahan yang sudah lewat di dalam keadaan-keadaan yang sudah lalu

yang demikian itu tidak diragukan mengenai wajibnya taubat.38

Jadi, taubat yang dimaksud oleh al-Ghazali itu, manusia ketika ingin

bertaubat maka harus dilakukan seketika itu dan mempunyai niat untuk tidak

mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat di masa yang akan datangnya.

Taubat yang seperti ini menurut pendapat al-Ghazali ialah sebuah kewajiban

bertaubat.

2. Sabar

Maqam sabar ialah sebuah sifat yang sangat dipuji oleh Tuhan dalam kitab

sucinya, yakni al-Qur‟an.Dan banyak pula yang terkandung di dalam sebuah

hadits nabi tentang keutamaan sifat sabar.Sifat sabar sangat berkaitan sekali

dengan manusia, tidak bagi hewan dan malaikat.Karena sabar adalah sebuah sifat

keutamaan, maka sangat tidak masuk akal kalau hewan juga mempunyai sifat

yang terpuji ini. Begitu juga dengan malaikat, ia tidak mempunyai sifat sabar

karena malaikat memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki hawa nafsu. Oleh

37

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014),

h. 52. 38

Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah

Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, (Jakarta: Republika, 2013), h. 270.

Page 73: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

59

sebab itu, malaikat tidak perlu untuk membutuhkan sifat sabar untuk

mengendalikannya.39

Al-Ghazali mengatakan, sabar itu ada dua macama.Pertama, sabar badaniah

seperti menanggung beban kesulitan anggota badan dan tetap tegar atas segala

kesulitan.Kesulitannya itu adakalanya berbentuk perbuatan seperti mengerjakan

pekerjana-pekerjaan yang berat dan adakalanya dari ibadah atau dari yang

lainnya.Kedua, sabar dalam jiwa seperti keinginan-keinginan tabiat dan tuntutan

hawa nafsu.40

Macam-macamnya sabar dalam buku Harun Nasution ada tiga:

a. Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan, dalam menjauhi segala

larangan-larangan-Nya dan sabar dalam segalam macam cobaan-cobaan

yang ditimpahkan oleh Tuhan kepada kita.

b. Sabar dalam menunggu pertolongan dari Tuhan.

c. Sabar dalam menderita kesabaran. Tidak menunggu-nunggu datangnya

pertolongan.41

3. Kefakiran

Maqam kefakiran merupakan suatu sikap yang timbul dari manusia yang

telah memilih hidup untuk zuhud. Yang dimaksud kefakiran dalam kajian tasawuf

bukan karena manusia itu memiliki harta yang sedikit, tetapi ia merupakansebuah

sikap batin yang berwujud tidak ada keinginan untuk menumpuk pada kekayaan

duniawi.

39

Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 58. 40

Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama, Penerjemah

Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h. 22. 41

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 53.

Page 74: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

60

Dalam dunia tasawuf, fakir itu bukan lagi dikatakan sebagai tidak memiliki

harta, tidak mempunyai makanan yang bisa untuk dimakan sehari-hari, tetapi

miskin itu ialah manusia yang selalu mempunyai kebutuhan di dalam hidupnya

hanya kepada Tuhan.42

Menurut al-Ghazali sendiri mengatakan kalau orang fakir ialah orang yang

membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya.Semua manusia adalah orang-orang

yang fakir (butuh) kepada Tuhan.Karena manusia membutuhkan-Nya dalam

kelangsungan eksistensinya.Permulaan eksistensi manusia adalah dari-

Nya.Manusia sebenarnya tidak memiliki eksistensi, melainkan Tuhan-lah yang

memilikinya.Dia (Tuhan) adalah yang memiliki Mahakaya secara mutlak.43

4. Zuhud

Maqam zuhud ialah meninggalkan keinginan pada sesuatu karena mengikuti

keinginan yang lain pada sesuatu yang lebih baik. Dalam hal ini, meninggalkan

kenikmatan kehidupan duniawi yang sifatnya sementara juga tidak abadi karena

menginginkan kenikmatan akhirat yang dianggapnya lebih baik dan kekal.

Dalam menempuh zuhud, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan, pertama

orang yang pada lahirnya berzuhud terhadap dunia, sedangkan hatinya penuh

dengan kerinduan dan cinta terhadap dunia. Dalam hatinya masih ada rasa

keberatan untuk meninggalkan kenikmatan dunia, tetapi ia masih terus berjuang

sekuat tenaga untuk memperoleh tingkatan zuhud yang sebenarnya. Orang seperti

ini disebut sebagai manusia pejuang zuhud.Kedua, manusia yang meninggalkan

42

Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, h. 53-54. 43

Al-Ghazali, Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, (Bandung:

Mizan, 1999), h. 334.

Page 75: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

61

kenikmatan dunia dengan perasan senang hati karena ia menganggapnya sebagai

sesuatu yang hina dan tidak ada harganya jika dibandingkan dengan kenikmatan

di akhirat yang sifatnya berharga dan kekal. Namun ia sendiri masih ada rasa suka

terhadap kenikmatan dunia. Ketiga, zuhud tingkatan paling tinggi, yakni orang

yang melakukan kehidupan zuhud dengan sepenuh hatinya dan ia telah

melakukan zuhud di dalam zuhud, sehingga ia tidak melihat dirinya berzuhud,

yakni ia sudah tenggelam dalam kehidupan zuhud.44

Hakikatnya zuhud ialah tidak menyukai segala sesuatu dan menyerahkannya

kepada yang lain. Barang siapa yang bisa meninggalkan kelebihan dunia dan

membencinya, kemudiania mencintai akhirat, maka ia adalah tergolong yang

zuhud di dunia. Sedangkan tingkatan zuhud yang tertinggi ialah tidak menyukai

segala sesuatu selain Tuhan, bahkan terhadap akhirat.45

5. Tawakkal

Tawakkal ialah sebuah maqam yang diajarkan oleh syari‟at Islam ketika

manusia sudah mengerjakan sesuatu dengan mengerahkan segala daya upaya dan

ikhtiar. Tasawuf menjadikan maqam tawakkal sebagai perantara atau sebagai

tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak memikirkan keduniawian atau

apa saja yang selain Tuhan. Tawakkal merupakan sebuah keteguhan hati dalam

menggantungkan dirinya hanya kepada Tuhan semata, serta berhenti memikirkan

dirinya sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.46

44

Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 52. 45

Al-Ghazali, Mutiara Ihyả‟ „Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, h. 339. 46

Ahmada Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2013),h. 51.

Page 76: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

62

Tawakkal artinya menyerahkan segala urusan kepada seseorang, yang biasa

disebut sebagai wakil, dan memercayakan kepadanya dalam urusan tersebut.

Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan segala urusannya kepada orang lain

(wakil) kecuali di dalam dirinya ada rasa tenang dengannya dan percaya

kepadanya. Tawakkal yang di maksud di sini ialah tawakkal kepada Tuhan, wakil

kita yang paling dapat dipercaya, Mahakuasa dan mempunyai kecakapan yang

tidak ada batasnya.47

6. Cinta

Cinta ialah sebuah kata yang sangat indah untuk diucapkan dan enak

didengar oleh telinga manusia. Cinta ialah sebuah pemberian Tuhan yang cukup

mulia juga sangat berharga, karena adanya cintalah semua makhluk hidup bisa

saling memberi kasih sayang, dan dengan adanya cinta manusia manusia mau

melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan.

Maqam cinta ialah sebagai penghubung atau pengikat antara manusia

dengan Tuhannya.Jadi cinta adalah pengikat, penghubung, dan sebagai tangga

untuk menuju Tuhan.Cinta bisa menjelaskan sekaligus menjadi sebuah petunjuk

bagi manusia untuk bisa sampai kepada Tuhan.48

Menurut al-Ghazali, orang yang mencintai sesuatu yang tidak mempunyai

keterkaitan kepada Tuhan, maka manusia tersebut melakukannya karena

kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Tuhan.Cinta kepada selain Tuahn tapi

masih terkait dengan Tuhan, maka hal yang seperti ini masih dipandang

baik.Seperti mencintai Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan hasil

47

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,h. 200. 48

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 24.

Page 77: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

63

dari kecintaan manusia kepada Tuhan. Intinya, mencintai siapa pun yang dicintai

Tuhan adalah baik, karena pencinta kekasih Tuhan berarti ia juga mencintai

Tuhan.49

7. Makrifat

Maqam ma‟rifat merupakan tangga yang paling tinggi dalam dunia tasawuf

dan suatu hal yang sanagt penting dalam membangun hubungan seorang hamba

dengan Tuhannya. Karena dengan mengenal tuhan, Manusia akan bisa mengenali

dirinya sendiri. Dengan mengenal Tuhan, manusia akan bisa memahami hakekat

keberadaan dirinya di dunia ini; untuk apa sebenarnya dirinya diciptakan, kemana

arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya manusia di muka

bumi.50

8. Kerelaan (Ridha)

Yang dimaksud ridha ialah hati kita merasa gembira atas segala yang sudah

Allah takdirkan kepada kita.Rabi‟ah al-„Adaiyah mengatakan, “Seseorang bisa

dikatakan ridha jika ia senang terhadap musibah yang menimpah dirinya

sebagaimana ia merasa bahagia terhadap nikmat yang telah ia peroleh”.51

Ridha ialah hati manusia tidak merasa tergoncang ketika ia terkena sebuah

musibah dan bisa menghadapinya dengan hati yang tenang. Dengan kata lain,

ridha ialah tetapnya organ hati dalam keadaan tenang dan tentram ketika

mengahadapi segala sesuatu yang akan membuat manusia merasa kesakitan ketika

49

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf,h. 200-201. 50

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 127. 51

Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 58-60.

Page 78: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

64

terkena musibah. Ridha adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa terhadap

apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.

Secara umum, ridha itu ada dua tingkatan.Pertama, ridha kepada Tuhan

sebagai Tuhannya. Yakni ridha dengan maqam rububiyah-Nya, dan akan

terwujud jika manusia menjadikan dirinya ada di dalam pemeliharaan tuhan,

mengeluarkan dirinya dari godaan setan, serta ridha dan senang ketika berada

dibawah pemeliharaan-Nya.

Jadi, tingkatan ridha yang perta ialah berada dibawah nayngan pemeliharaan

Tuhan dan merasa senang ketika berada di dalam bimbingan-Nya. Tanda manusia

yang ridha terhadap pemeliharaan Tuhan ialah ia tidak merasa keberatan dengan

perintah kewajiban Tuhan terhadap dirinya. Ia pun merasa senang menjalani

segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Ia menyambutnya dengan

perasaan senang hati.

Kedua Ridha terhadap qadha‟ dan Taqdir Tuhan.Yakni merasa senang atas

semua kejadian yang menimpah dirinya. Baik yang manis maupun yang pahit,

semuanya ia hadapi dengan perasaan senang atas apa yang telah diberikan

Tuhankepada dirinya. Baik berupa cobaan, sakit, kehilangan yang dicintainya,

maupun sebaliknya, yakni kebahagiaan. Bagi manusia yang mempunyai sifat

ridha, semuanya ialah sama. Semuanya adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Dan

ia tetap merasa ridha dan senang denga semua pemberian dari Tuhan.52

Jadi, maqamat-maqmat ialah tanjakan seorang hamba dihadapan Tuhan

tidak lain merupakan sebuah kualitas kejiwaan manusia yang sifatnya tetap.

52

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT Grasindo Persada,

2016), h. 58.

Page 79: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

65

Maqam ini mempunyai tujuan agar manusia bisa melihat seberapa besarnya amal

perbuatan ketika berada dihadapan Tuhan, Sehingga manusia bisa memperoleh

kesempurnaan ketika menjalankan beribadah dan beramal.53

C. Pandangan al-Ghazali Tentang Maksiat Hati

Hati manusia terdapat berbagai macam sifat-sifat yang tercela, dan jumlah

tidak bisa terhitung. Pada diri manusia terkumpul empat macam sifat, yakni sifat

sabu‟iyah (binatang buas), bahimiyah (binatang), syaithảniyyah (setan), dan

rabbảniyyah (ketuhanan).Semuanya itu terkumpul di dalam hati manusia.Maka

berkumpullah pada diri manusia sifat babi, anjing, setan, dan orang bijak.54

Kalau

hati manusia terpengaruhi oleh sifat-sifat tercela tersebut, maka hati manusia akan

terhijab dengan Tuhannya.55

Walaupun Tuhan berada di alam, tampak di alam, bahkan Tuhan nampak

lebih jelas dari alam itu sendiri, malahan Tuhan lebih dekat sekali kepada manusia

dibandingkan dengan kedekatannya dengan segala sesuatu yang lainnya.Tetapi

banyak sekali manusia yang terhijab (terhalang) untuk bisa dekat dengan Tuhan.56

Hijab dalam arti literalnya “penghalang” atau “pemisahan”.Sedangkan hijab

menurut arti secara tasawuf ialah menunjukkan pengertian sebuah penghalang

yang memisahkan hubungan manusia dengan Tuhan.Sebenarnya banyak sekali

hijab-hijab yang dapat menghalangi hubungan manusia dengan Tuhannya.Hijab-

53

Ahmada Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 51. 54

Muhammad Nawawi,,Tarjamah Maroqil „Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-Hamid,

(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 191. 55

Muhammad Nawawi,,Tarjamah Maroqil „Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-Hamid,

(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010), h. 191. 56

Dimyati Sajari, Mengenal Allah: Paham Ma‟rifah Ibn „Atha‟illah dalam al-Hikam,

(Bandung: Fajar Media, 2012), h. 70.

Page 80: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

66

hijab tersebut adakalanya berada pada dalam diri manusia sendiri dan ada pula

yang berada di luar diri manusia itu sendiri. Pada dasarnya setiap manusia sudah

mempunyai bakat semenjak mulai ia diciptakan, berupa bakat fujủr (kejahatan)

dan bakat ketaqwaan (kebaikan). Bakat fujur inilah yang paling dahsyat menjadi

sebuah hijab bagi manusia dengan Tuhannya.57

Hijab adalah sebuah penghalang yang menutupi manusia. Sedangkan yang

sedang dibicarakan di sini ialah hijab pada mata hati, apabila terselubung padanya

maka hatinya akan menjadi buta, sehingga hatinya tidak bisa melihat, atau secara

tegas hatinya tidak bisa mengenal hakikat yang sangat penting sekali untuk

diketahuinya, sehingga manusia bagaikan orang yang buta matanya. Sebagaimana

yang difirmankan oleh Tuhan dalam surat al-Isra‟ ayat 72.

هي كاى في ز أعوي ف فى الأ خشة أعوى أضل سبيلا

Artinya: Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di

akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula), dan lebih tersesat jalannya. (QS.

al-Isra‟ ayat 72).

Yang dimaksudkan buta di sini bukanlah buta matanya atau buta mata

zahirnya, tetapi yang dimaksud buta di sini ialah buta mata hatinya atau mata

batinnya. Kalau mata hati sudah buta, maka manusia tidak akan bisa melihat

cahaya yang membawa manusia memandang ke akhirat.

Penyebab yang paling utama tentang kebutaan mata hati ialah kebodohan

manusia sendiri tentang hakikat hukum-hukum dan peraturan Tuhan atau syari‟at

yang menjadi penyebab manusia itu berada di dalam kebodohan, yang mana

57

M. Abdul Mujieb, et el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah,

2009), h. 144.

Page 81: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

67

kebodohan itu ialah sebuah kegelapan yang menyelubungi hati manusia.58

Akibat

dari kebodohan tersebut hati manusia dipenuhi oleh berbagai macam maksiat-

makisat.

Maksiat hati itu sangatlah berbahaya terhadap diri manusia, karena ia tidak

bisa dilihat oleh pancaindera dan sangat susah untuk bisa dihilangkan. Maksiat

hati adalah sebuah penyebab dan pembangkit maksiat-maksiat anggota badan

lainnya. Maksiat hati akan membawa manusia ke jalan kejahatan dan

menjerumuskan manusia ke dalam jurang kecelakaan. Maksiat hatilah yang

menjadi penyebab hati menjadi kotor, sehingga manusia menjadi terhijab atau

terhalang hubungan dirinya dengan Tuhan.59

Al-Muhasibi mengatakan:

“Kenalilah identitas jiwa dan kondisi batinmu dengan baik.

Bersihkanlah ia dari macam-macam maksiat hati seperti hasud, sombong,

kebencian berburuk sangka dan bermusuhan, karena sesungguhnya kami

telah mendengar bahwa rasa dendam dan dengki bisa menghancurkan amal

kebaikan. Periksalah kembali kondisi jiwa di setiap saat. Mungkin saja ia

telah melakukan sebagian maksiat secara terus-menerus tanpa ia sadari.

Lihatlah, apakah di dalam diri kalian ada rasa cinta terhadap dunia secara

berlebihan dan hati kalian hanyut dalam menuruti keinginan

syahwatnya.”60

Banyak sekali maksiat-maksiat hati yang menjadi penyebab penghalang

bagi manusia untuk bisa berhubungan dengan Tuhan. Seperti sifat sombong, riya

(pamer), iri hati (hasud), terlalu mencintai dunia, dan masih banyak lagi maksiat-

maksiat hati yang lainnya. Namun penulis hanya akan membahasnya cuma

sebagian saja. Penulis memulainya dari sifat riya atau pamer.

58

Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Syed Ahmad Semait, (Singapura:

Pustaka Nasional PTE LTD, 2004), h. 113-114. 59

Mustafa, Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, ( Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt ), h. 74-

75. 60

Al-Muhasibi, Renungan Suci Bekal Menuju Taqwa, Penerjemah Wawan Djunaedi

Soffandi,( Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 107.

Page 82: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

68

Al-Ghazali mengatakan, “perbuatan pamer (riya) merupakan syirik yang

tersembunyi (asy-syirkul khafi)”.61

Hal ini merupakan salah satu bentuk

kesyirikan.Syirik merupakan perbuatan dosa yang tidak bisa diampuni oleh

Tuhan. Oleh karena itu riya merupakan penghalang hubungan manusia dengan

Tuhan. Karena dengan riya manusia ingin menyamai Tuhan dalam hal kekayaan,

kehebatan, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya. Seolah-olah yang ia dapatkan

hasil dari usahanya sendiri. Dan manusia seperti ini adalah manusia yang hatinya

sudah terhijab dengan Tuhan.

Pokok dari riya ialah mencari tempat atau kedudukan di dalam hati manusia,

dengan memperlihatkan kepada manusia lainnya, dalam hal-hal kebaikan. Selain

bahwa kemegahan dan kedudukan itu yang dicari di dalam hati manusia dengan

perbuatan-perbuatan selain ibadah. Dan nama riya sendiri itu dikhususkan

menurut hukum kebiasaan dengan mencari kedudukan di dalam hati manusia.62

Hal ini yang menyebabkan riya itu diharamkan karena orang yang

melakukan perbuatan riya maka ia terkutuk dan terhijab pada di sisi Tuhan.63

Sebagai mana yang terkandung di dalam al-Qur‟an:

ألزيي ن يشاءى لاتن ساىفيل للوصليي الزيي ن عي ص

Artinya: “Sebab itu, celaka bagi orang-orang yang mengerjakan

shalat. Yang lalai dari shalatnya. Yang mengerjakan (kebajikan) untuk

dilihat oleh orang lain (riya).”(QS. al-Ma‟un ayat 5-6).

61

Al-Ghazali, Menjelang Hidayah,penerjemah M, As‟ad El-Hafidy, (Bandung: Mizan,

1998), h. 110. 62

Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, (Semarang: C. V. Faizan,

1981), h. 315. 63

Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, h. 302.

Page 83: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

69

Dalam ayat tersebut, yang celaka bukan hanya manusia yang lalai saja

ketika sedang melakukan shalat. Tetapi ayat itu juga menjelaskan tentang

bahayanya sifat riya yang ada di dalam hatinya. Karena, hati yang di masuki sifat

tercela ini, membuat hati manusia terhijab hubungan dirinya dengan Tuhannya.

Manusia yang sedang melaksanakan shalat berarti ia sedang menghadap Tuhan.

Dan manusia yang sedang menghadap Tuhan berarti hatinya harus bersih. Kalau

hatinya masih ada sifat riya, berarti ia sedang memamerkan ibadahnya dihadapan

Tuhan. Kemudian maksiat hati yang menjadi hijab lagi yaitu „ujub

(membanggakan diri).

„Ujub ialah merasa besar atas nikmat dan cenderung padanya, serta lupa

menyadarkannya kepada Tuhan Yang Maha Pemberi nikmat.Manusia yang

mepunyai sifat „ujub di dalam hatinya maka hatinya akan menjadi keras. Dan ia

seolah-olah sudah mempunyai hak atas apa yang ada di sisi Tuhan.64

Manusia yang sudah terpengaruh oleh sifat „ujub, maka ia akan terhalang

hubungan dirinya dengan Tuhan. Karena ia merasa apa yang ia banggakan adalah

sebuah dari kemampuannya sendiri. Padahal nikmat yang ia milik sejatinya ialah

pemberian dari Tuhan. Namun ia tidak menyadarinya.

Perbuatan „ujub ialah suatu perbuatan yang tercela. Karena manusia yang

mempunyai sifat membanggakan diri maka ia akan terhijab denganTuhan. Tuhan

sendiri telah menerangkan tentang bahayanya sifat „ujub sebagaimana yang

terdapat di dalam al-Qur‟an:

يم حيي إرأعجبتكن كثشتكن فلن تغي عكن شيأ

64

Al-Ghazali, ihya‟ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, h. 559.

Page 84: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

70

Artinya: “Dan hari perang Hunai, ketika itu kamu sangat bahagia

(membanggakan diri) karena banyak jumlahmu, tetapi jumlah yang baik itu

tidak menolong kepada kamu sedikit pun.”(QS. at-Taubat ayat 25).

Selanjutnya yang termasuk dari maksiat hati ialah takabbur (sifat

sombong).Yang menjadi sasaran sifat sombong ialah Tuhan sendiri, para rasul,

atau bisa juga manusia. Manusia memang diciptakan Tuhan suka berbuat salah

dan bertindak bodoh, sehingga manusia bisa bersikap sombong terhadap

Tuhannya.65

Kalau manusia sudah mempunyai sifat takabbur maka manusia bisa

melawan Tuhan. Manusia akan merasa dirinya yang paling kuat sehingga ia ingin

menyamai kekuasaan Tuhan.

Sebab manusia mempunyai sifat takabbur terhadap Tuhan ialah karena

manusia mempunyai sifat kebodohan yang secara mutlak, serta manusia

mempunyai sifat kedurhakaan terhadap Tuhan.Contoh manusia yang hatinya

mempunyai sifat takabbur adalah raja Namrud. Ia membisikkan dirinya untuk

melawan kepada Tuhan yang katanya ada di langit. Hal inilah yang disebabkan

oleh karena ia merasa sombong diri untuk menjadi hamba Tuhan. Dan orang yang

sombong diri tersebut akan dibinasakan oleh Tuhan dan ia akan di masukkan ke

dalam neraka Jahannam.66

Sebagaimana yang ditegaskan di dalam al-Qur‟an:

إى الزيي يستكبشى عي عبادتي سيذخلى جن داخشيي

Artinya: “Sesungguhnya mereka yang bersifat takabbur dari

menyembah-Ku, nantinya akan masuk neraka Jahannam dengan hina

dina.”(QS. al-Mu‟min ayat 60). Itulah balasan dari orang-orang mempunyai

sifat sombong di dalam hatinya. Ia akan di masukkan ke dalam neraka

Jahannam. Selanjutnya yang menjadi sebuah hijab lagi ialah terlalu

mencintai dunia.

65

Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib, (Medan:

Pustaka Indonesia, 1974), h. 320. 66

Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulumuddin: Jiwa Agama, Penerjemah Maisir Thaib, h. 320.

Page 85: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

71

Dunia dan keindahannya juga adalah termasuk sebuah hijab yang ada di

dalam hati manusia. Selagi hijab itu menjadi sumber ingatan manusia, maka

manusia akan kekal berada di dalam keterpencilannya dengan Tuhan, meskipun

manusia masih terus beramal. Manusia jauh dari Tuhan karena segala amal

perbuatannya diganggu oleh berbagai macam-macam ingatan selain Tuhan, yang

selalu hadir pada setiap kali manusia melakuan amal.

Manusia akan selalu mengingat ini dan itu, makhluk ini dan makhluk itu,

padahal segala yang ia cita-citakan dan yang diingatnya itu tidak ada di dalam

ketentuan Tuhan dan semuanya tidak akan berlaku bagi Tuhan. Tuhanlah yang

seharusnya selalu diingat Tuhan adalah Tuhan, dan Tuhan bukanlah manusia atau

makhluk lainnya.67

Jadi manusia yang ada di dalam pikirannya masih mengingat dunia dan

keindahannya, maka hati manusia juga akan terus terikat oleh dunia. Dan manusia

yang hatinya sudah terikat oleh dunia, maka manusia sangat sulit sekali untuk

dekat dengan Tuhan. Kalau hati manusia sudah tidak dekat lagi dengan-Nya,

berarti hati manusia sudah terhijab.

Yang dimaksud dunia di sini menurut al-Ghazali ialah apa saja yang tidak

ada manfaatnya untuk kebaikkan akhirat, maka tidak lagi disebut dunia. Manusia

yang menginginkan dirinya selamat dari rintangan itu tidak ada lain manusia

harus memisahkan dirinya dan memalingkannya dari dunia itu; yakni diri manusia

67

Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta:

Beranda, Publishing, 2010), h. 119.

Page 86: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

72

dan fikirannya jangan sampai dipenuhi dan semuanya hanya untuk membela

dunia belaka.68

Menurut pendapat Muhammad bin Abdul Jabar al-Nafari:

“Tanda dosa yang menyebabkan Tuhan menjadi marah ialah apabila

manusia mengikuti cinta terhadap dunia. Manusia yang terlalu mencintai

dunia, makaTuhanakan membukakan satu pintu menuju kekufuran kepada

Tuhan. Karena manusia yang melakukan kemaksiatan itu berarti

menghendaki kekufuran, dan manusia yang memasuki pintu tersebut maka

manusia menghendaki jalan kekufuran sesuai dengan seberapa jauh ia

masuk.”69

Di zaman sekarang, manusia lebih mementingkan mencintai dunia

ketimbang mencintai Tuhan. Mereka menumpahkan segala macam tenaga, pikiran

dan waktunya hanya untuk mengejar dunia. Akan tetapi, setelah manusia

memperoleh kecantikan dan keindahan yang ditawarkan oleh dunia tidak abadi, ia

cepat berlalu dari hati. Dunia hanya indah di dalam khayalan dan angan-angan

manusia, setelah didapatkan keindahan dan kecantikannya, ia akan menjadi pudar

dan membosankan.70

Oleh karena itu manusia jangan sampai tertipu oleh

gemerlapnya dunia. Apalagi dunia yang ia kejar tidak membawa dirinya dekat

dengan Tuhan. Tetapi malahan ia menjeruskan manusia jauh dari Tuhannya.

Jadi, apabila manusia tidak lagi menggantungkan hatinya kepada selain

Tuhan, tentu ia akan menggantungkan hatinya hanya kepada Tuhan. Maka Tuhan

akan memperkayakan dirinya dengan makrifat dan manusia akan mendekatkan

dirinya kepada Tuhan. Apabila manusia hatinya sudah dipenuhi makrifat dan

dekat dengan Tuhan, maka hatinya akan disibukkan dengan selalu mengingat

68

Al-Ghazali, Minhajul „Abidin: Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh,

(Bogor: Penerbit Fenomena, 1989), h. 68. 69

Lihat pendapat Muhammad bin Abdul Jabar al-Nafari dalam buku M. Abdul Mujieb, et

el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, h. 277-278. 70

Yunasir Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi Agama-

agama,h. 263.

Page 87: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

73

Tuhan dan akan terus merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada

dirinya.

Tetapi kalau hati manusia masih terpaut dengan makhluk, selama itu pula

manusia tidak akan bisa berhubungan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, hendaknya

manusia meninggalkan ketergantungan kepada makhluk dan cepat pergi menuju

Tuhan.71

71

Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, (Yogyakarta:

Bernda Publishing, 2010),h. 117.

Page 88: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan-pemaparan di atas, penulis akan menyimpulkankan dari

pertanyaan rumusan masalah tentang hubungan manusia dengan Tuhan menurut

al-Ghazali dan maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan manusia dengan

Tuhan menurut al-Ghazali.

Mengenai hubungan manusia dengan Tuhan menurut al-Ghazali ialah lebih

condong ke pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hubungan di sini tidak hanya

bertemu. Tetapi mengetahui juga bisa dikatakan sebagai sebuah hubungan. Oleh

sebab itu, manusia yang ingin mengetahui tentang Tuhan, maka manusia harus

terlebih dahulu mengetahui tentang dirinya sendiri. Kalau manusia sudah bisa

mengetahui tentang dirinya, maka ia bisa mengetahui Tuhan.

Manusia yang melakukan perenungan tentang dirinya sendiri merupakan

sebuah kunci yang sangat penting bagi manusia agar dirinya bisa berhubungan

secara langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, manusia harus memperbanyak

melakukan perenungan tentang dirinya agar di dalam hatinya bisa merasakan

kehadiran Tuhan.

Di samping melakukan perenungan tentang dirinya, manusia juga harus

melakukan olah diri yang biasa disebut sebagai sebuah maqảm. Maqảm-maqảm

inilah bisa menjadi batu loncatan buat manusia agar bisa berhubungan dengan

Tuhan.

Page 89: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

75

Setelah manusia sudah bisa merasakan berhubungan langsung dengan

Tuhan, sekarang mengenai tentang maksiat hati menjadi sebuah hijab hubungan

manusia dengan Tuhan. Manusia yang hatinya dipenuhi oleh berbagai macam

maksiat, maka manusia tidak akan bisa berhubungan dengan Tuhan. Karena hati

menjadi sebuah tempat untuk merasakan tentang kehadiran Tuhan.

Manusia harus bisa menjaga hatinya dari segala sesuatu yang bisa menjadi

sebuah hijab hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Salah satu yang menjadi

sebuah hijab ialah banyaknya maksiat yang timbul di dalam hatinya. Oleh sebab

itu, manusia harus bisa menjaga hatinya dari macam-macam maksiat. Seperti sifat

sombong, membanggakan diri, terlalu mencintai dunia, dan maksiat-maksiat hati

lainnya.

Karena manusia yang hatinya sudah dipenuhi maksiat-maksiat, maka

hatinya akan menjadi buta. Kalau hatinya sudah buta, maka manusia tidak akan

bisa berhungan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, manusia harus bisa menjaga

hatinya dari berbagai maksiat kalau dirinya tidak mau terhijab dengan Tuhan.

B. Saran-saran

Pembahasan tentang maksiat hati merupakan sebuah kajian sangat penting

dalam kehidupan manusia. Karena setiap manusia tidak bisa terlepas dari berbagai

macam maksiat-maksiat hati. Apalagi di zaman yang serba modern ini, pastinya

banyak sekali manusia-manusia yang hatinya dimasuki sifat-sifat tercela. Seperti

sombong, hasud, riya, dan maksiat-maksiat hati lainnya.

Namun karena keterbatasan penulis dalam membaca dan meneliti tentang

berbagai macam maksiat hati, terutama maksiat hati dalam pandangan al-Ghazali

Page 90: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

76

yang karya-karyanya begitu banyak, sehingga penulis merasa kesulitan untuk

membaca dan memahami karya-karya lainnya. Oleh karena itu, penulis memberi

saran-saran ini kepada para akademisi dan masyarakat.

Saran diarahkan kepada para akademisi, agar mereka bisa melanjutkan

penelitian tentang masalah maksiat hati menurut al-Ghazali agar memperoleh

keterangan-keterang yang lebih jelas dan memperoleh hasil yang sangat

memuaskan.

Demikian pula saran kepada masyarakat, agar masyarakat bisa menjaga

hatinya dari berbagai macam sifat-sifat yang bisa merusak hubungan dirinya

dengan Tuhannya. Terutama dari maksiat hati. Karena maksiat hati itu bisa

menjadi sebuah hijab hubungan dirinya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, masyarakat

harus bisa menjaga hatinya dari bahayanya maksiat hati.

Page 91: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

77

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung: Rosda, 2012.

Ali,Yunasir, Mata Air Kehidupan Bekal Spiritual Menghadapi Tantangan

Globalisasi,Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.

------ Yunasir, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama, dan Relasi

Agama-agama, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012.

Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah, 2014.

Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Bakhtiar, Amsal, Tema-tema Filsafat Islam,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Basil, Victor Said, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Penerjemah Ahmadie Thaha,

Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Djamaluddin, Mahbub, al-Ghazali Sang Ensiklopedi Zaman, Jakarta:Senja

Publishing, 2015.

Doa, Moh. Syah, Rahasia Alam Kebatinan, Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956.

Fauzi, Ikhwan, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Ghazali, ihya’ al-Ghazali,Penerjemah Ismail Yakub, Semarang: C. V. Faizan,

1981.

------ Ihya’‘Ulủmuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama,

Penerjemah Ibnu Ibrahim Ba’adillah, Jakarta: Republika, 2013.

Menjelang Hidayah,penerjemah M, As’ad El-Hafidy, Bandung: Mizan,

1998.

------ Metode Menggapai Kebahagiaan Kitab Kimia Kebahagiaan, Penerjemah

Haidar Bagir, Bandung: Penerbit Mizan, 2014.

------ Minhajul ‘Abidin: Menuju Mukmin Sejati, Penerjemah Abdullah bin Nuh

Bogor: Penerbit Fenomena, 1989.

Page 92: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

78

------ Misykat Cahaya-cahaya, Penerjemah Muhammad Bagir, Bandung: Mizan,

1991.

------ Mutiara Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn, Penerjemah Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan,

1999.

Gulen, Muhammad Fethullah,Tasawuf Untuk Kita Semua, Penerjemah Fuad

Syaifudin Nur, Jakarta: Republika Penerbit, 2014.

Hajjaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Penerjemah Kamaran As’at

Irsyady dan Fakhri Ghazali, Jakarta: Amzah, 2001.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1994.

Haque, M. Atique, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Penerjemah

Ira Puspitorini, Yogyakarta: Diglosia, 2013.

Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2001.

Jailảni, Abdul Qảdir, Nasehat-nasehat Wali Allah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,

Penerjemah Achmad Sunarto, Bandung: Husaini Bandung, 1995.

------ Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, Yogyakarta: Beranda,

Publishing, 2010.

------ Rahasia Sufi, Penerjemah Syed Ahmad Semait, Singapura: Pustaka Nasional

PTE LTD, 2004.

Jaya,Yahya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan

Kesehatan Mental, Jakarta: CV Ruhama, 1993.

Jumantoro,Totok, dan Amin, Samsul Munir, Kamus Ilmu Tasawuf,Jakarta:

Amzah, 2012.

Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006.

Khalik, Abdurrahman Abdul dan Ihsan Ilahi Zhair, Jakarta: Amzah, 2000.

Khan, Khan Sahib Khaja, Tasawuf Apa dan Bagaimana, Penerjemah Achmad

Nashir Budiman, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Penerbit Paramadina,

1997.

Muhasibi, Renungan Suci Bekal Menuju Taqwa,Penerjemah Wawan Djunaedi

Soffandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

Page 93: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

79

Mujieb, M. Abdul, et el, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta:

Hikmah, 2009.

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, Jakarta: GP Press, 2012.

Mz, Labib, Kuliah Ma’rifat, Surabaya: Tiga Dua, 1996.

Najar, Amir, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern Penerjemah Ija,

suntana, Jakarta: Penerbit Hikmah, 2004.

Nasution, Ahmad Bangun, dan Siregar, Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf,

Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya disertai Biografi dan

Tokoh-tokoh Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

2014.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2015.

Nawawi, Muhammad, Tarjamah Maroqil ‘Ubudiyah, Penerjemah Zaid Husein al-

Hamid, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.

Ni’am, Syamsun, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar tasawuf, Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2014.

Noer, Kautsar Azhari, ed, Warisan agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para

Sufi, Jakarta: Sadra Press, 2015.

Qordhawi, Yusuf, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra,Penerjemah Hasan

Abrori,Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997.

Qusyairy, Abu Qosim, Risalatul Quyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerjemah

Mohammad Luqman Hakiem, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Saifuddin, Aman dan Isa, Abdul Qadir, Tasawuf Revolusi Mental, Zikir

Mengelolah Jiwa dan raga, Tangerang: Ruhama, 2014.

Sajari, Dimyati, Mengenal Allah: Paham Ma’rifah Ibn ‘Atha’illah dalam al-

Hikam, Bandung: Fajar Media, 2012.

Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam,Penerjemah sapardi Djoko

Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.

Page 94: MAKSIAT HATI SEBUAH HIJAB HUBUNGAN MANUSIA …

80

Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1999.

Smith, Margaret, mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhan-

nya, Penerjemah Amroeni Dradjat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

------ Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam al-Ghazali, Penerjemah Amrouni,

Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000.

Taftazani,Abu Wafa’, Al-Ghanimi,Makdal ila al-Tasawuf al-Islami,

PenerjemahSubkhan Anshori, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan

Perkembangannya, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2008.

Takeshita, Mastaka, Manusia Sempurna Menurut Ibn ‘Arabi, Penerjemah Moh,

Hefni MR, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Tủsi, Nashr al-Dỉn, Sifat-sifat Kemuliaan Metode Para Salik dalam Mencapai

Kesempurnaan,Penerjemah Ahmad, Y Samantho,Jakarta: Pustaka

Intermasa, 2004.

Wahyudi, Agus, Pesona Kearifan Jawa,Yogyakarta: Dipta, 2014.

Ya’qub, Hamzah, Ilmu Ma’rifah Sumber Kekuatan dan Ketentraman Bathin,

Jakarta: CV. Atisa, 1988.

Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf,Surabaya: Pt Bina Ilmu, 2007.

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT Grasindo Persada,

2016.