makna simbolik dalam tari blenggo di...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO
DI CIGANJUR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Saadah
NIM: 1113022000103
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M

i
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Saadah
NIM : 1113022000103
Program Studi : Sejarah dan Peradaban Islam
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri
yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang
lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi
dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi
baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di
kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Ciputat, 12 Januari 2018
Saadah

ii
MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO
DI CIGANJUR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh
Saadah
NIM: 11130220000103
Pembimbing,
Dr. H. Abdul Chair, M.A.
NIP: 195412311983031030
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M

iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO DI
CIGANJUR ini telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Januari 2018. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Ciputat, 12 Januari 2018

iv
DEDIKASI
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis,
Muhammad Afandi (alm.) dan Ibu Rosyidah, dan kakak-kakak dari penulis yaitu
Qudniah dan Yuyun Maghfiroh, serta adik-adik dari penulis yaitu Ismi Hamdunah
dan Hilwatunnisa. Kalianlah yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk terus
berjuang menyelesaikan skripsi ini.

v
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang makna simbolik dalam tari Blenggo di
Ciganjur. Tari Blenggo merupakan salah satu kesenian tradisional Betawi yang
dinyatakan hampir punah, hal ini dapat dilihat dari satu-satunya sanggar yang
masih mempertahankan tari Blenggo adalah “Sanggar Pusaka Rebana Biang
Ciganjur” yang didirikan pada tahun 1986. Pada penelitian terdahulu seperti karya
Fitri (2014) yang membahas tentang tari Blenggo dari segi sosiologisnya. Ruchiat
(2000) yang membahas tari Blenggo dari segi sejarah, perkembangan dan
persebarannya. Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya, maka pada
penelitian kali ini akan membahas tentang makna-makna dari simbol yang
terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur.
Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya terdapat pertanyaan yang akan
dijawab dalam penelitian ini yaitu, bagaimana makna simbol yang terdapat dalam
tari Blenggo di Ciganjur? Untuk menjawab pertanyaan tersebut menggunakan
metode deskriptif-analitis dengan pendekatan antropologi yang menggunakan
teori Clifford Geertz Interpretasi Simbolik.
Temuan penelitian ini adalah pertama, penyebutan Blenggo sebagai sebuah
tari dan penyebutan Terbang Gede sebagai Rebana Biang, berdasarkan saran dari
Gubernur Ali Sadikin. Kedua, sebelum pementasan tari blenggo, diwajibkan
untuk berdoa‟a bagi para leluhur yang telah melestarikan kesenian tersebut.
Ketiga, lagu-lagu yang digunakan setelah generasi ke-3 (1985) ditambahi dengan
lagu-lagu rakyat, seperti Anak Ayam, Sangrah, dan Kangaji. Keempat, gerakan
tari Blenggo di Ciganjur mengambil pola gerakan silat Koplek dari
“Sanggar/Padepokan Akal dan Takwa Ciganjur”. Kelima, dalam tarian Blenggo
memiliki makna yang dalam untuk kehidupan sehari-hari, karena di dalam
gerakannya yang seluruhnya merunduk dan merendahkan kaki serta badan
memberikan arti bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh sombong atau
membanggakan diri, bahkan kita harus selalu sopan dan rendah hati.
Kata Kunci: Simbol, Tari Blenggo, Rebana Biang, Ciganjur.

vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, bahwa
atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo Di Ciganjur
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad
SAW, kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman, amin.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan sebab keterbatasan
kemampuan penulis, namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan saran serta
kerja sama dari berbagai pihak, khususnya pembimbing, kekurangan tersebut
dapat sedikit demi sedikit diperbaiki. Dalam kesempatan ini pula, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Kedua orangtuaku, Muhammad Afandi (alm) dan Rosyidah, yang telah
begitu banyak memberikan kasih sayang serta didikan yang amat luar biasa,
sehingga menjadikan penulis wanita yang lebih kuat. Serta Kakek Bunayan
(alm) yang selalu memotivasi penulis untuk tidak lelah dalam berusaha. Tak
lupa kakak-kakakku, Qudniah dan Yuyun Maghfiroh yang selalu membantu
penulis baik itu materi atau dukungan moril untuk segera menyelesaikan
skripsi, juga adik-adikku, Ismi Hamdunah dan Hilwatunnisa yang selalu
memberi keceriaan dan kebahagiaan bagi penulis
2. Kyaiku, KH. Syukron Ma‟mun sebagai pengasuh Pondok Pesantren Daarul
Rahman, terimakasih atas segala ilmu yang diberikan kepada penulis,
semoga bisa terus dimanfaatkan oleh penulis dengan sebaik-baiknya
3. Bapak H. Nurhasan, M.A. Selaku Ketua Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi
dalam beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga
segalanya menjadi lebih mudah.
4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi
mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat
ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

vii
5. Bapak Dr. H. Abdul Chair, M.A. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus
mencari sumber dalam penulisan ini, serta selalu memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.
6. Bapak Dr. H. Saidun Derani, M.A dan Bapak Drs. Imam Subchi, M.A
selaku dosen penguji, yang telah banyak membantu penulis untuk
memperbaiki isi skripsi agar menjadi lebih baik.
7. H. Abdurrahman, Drs. Abdurrachem, Bapak Abdul Khalid, Bapak Soni dan
Bapak Abdul Hamid selaku narasumber yang telah menyempatkan
waktunya untuk membantu penulis dalam melengkapi informasi terkait
tema penelitian. Tak lupa anak-anak sanggar Akal dan Takwa yang bersedia
membantu penulis untuk mendapatkan dokumentasi terkait tema penelitian
8. Bapak Yahya Andi Saputra yang membantu penulis untuk mendapatkan
solusi terbaik terkait tema penelitian
9. Siti Uswatun Chasanah S. Hum dan Tati Rohayati S. Hum yang telah
membantu penulis untuk mendapatkan solusi dan perbaikaan-perbaikan
terkait tema penelitian
10. Sahabatku Tia Supriani dan Farah Awalia Nurdini yang senantiasa
menemani penulis untuk mencari sumber data di berbagai perpustakaan dan
menemani dalam melaksanakan penelitian di lokasi penelitian
11. Teman-teman dari komunitas Anak Panah yaitu;, Intan Permata Islami, Irma
Rahmawati, Faridah Andriani, Farah awalia, Septi Nurizkiyani, Yulia
Kartika, Rizka Azizah, Mutia Saadah, Rizka Putri, Sartika, Sufiyati,
Widiawati, Achmad Taufiq, Mahbub Haikal, Faisal Ma‟arif, Juliawan,
Imam Wahyudi, Abudzar, M. Muhaimin, Ilham Edlian, Maulana Fauzi,
Fikri Widantomo, Mulyadi, Sofyan Hadi. Kalianlah yang menjadi salah satu
penyemangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan menjadi sahabat
yang selalu ada untuk penulis
12. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman angkatan 33 yaitu,
Husnul Khotimah, Najahatul A‟laliyah, Chairunnisa Aziz, Ratna Zulfa,
Chairunnisa ZA, Viya Mauridah, Nur Mahmudah, Siti Mahfudzoh, Siti

viii
Fatimah, Supriyani, Qonita Aulia, Isna Husniati, Afifah, Khulud Samira,
yang banyak memotivasi penulis untuk terus menjadi orang yang lebih baik
13. Teman-teman KKN Sampoerna 26 yaitu, Desi Hestika, Destri Nuraini,
Fazriah Afriani, M. Nasrullah, Fahmi Hasan, Syafiq Naufal, Muhajjalul
Muna, Yasser, M. Dzikri, dan Aryajaya Alamsyah
Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan
penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis
serahkan segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis,
umumnya bagi kita semua.
Jakarta, 12 Januari 2018
Saadah

ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
DEDIKASI ............................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
E. Landasan Teori ................................................................................ 9
F. Metode Penelitian .......................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 11
BAB II GAMBARAN UMUM TRADISI BUDAYA MASYARAKAT
CIGANJUR ........................................................................................... 13
A. Gambaran Umum Jakarta Selatan ................................................. 13
B. Sejarah dan Gambaran Umum Ciganjur........................................ 14
C. Latar Belakang Sosial Budaya....................................................... 22
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN TARI BLENGGO ......................... 27
A. Pencak Silat ................................................................................... 27
B. Sejarah Perkembangan Tari Blenggo di Betawi ............................ 29
C. Sejarah dan Perkembangan Tari Blenggo di Ciganjur .................. 32
BAB IV MAKNA SIMBOL DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR ... 37
A. Makna Simbol Dalam Tari Blenggo di Ciganjur .......................... 37
1. Nilai Religiusitas .................................................................... 37
2. Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo ................................... 38
B. Respon Masyarakat Terhadap Tari Blenggo di Ciganjur .............. 44

x
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 46
A. Kesimpulan .................................................................................... 46
B. Saran ........................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 48
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 52

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan.
Kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, baik itu daerah
pelosok desa ataupun masyarakat kota. Bukan hanya kebudayaan yang berbeda
tetapi ras, suku dan agama juga berbeda, yang menjadi wujud dari kebudayaan
tersebut. Keberagaman ini bukan berarti sebagai ketidakjelasan Indonesia,
melainkan sebagai simbol dari kekayaan budaya dan simbol persatuan dari
Indonesia. Jakarta yang merupakan ibukota dari Indonesia, menjadi tempat
tujuan berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah Sunda, Madura, Jawa,
bahkan ada pula dari berbagai bangsa seperti Arab dan Cina. Perbauran ini sudah
terjadi jauh pada abad-abad sebelumnya. Suku asli di Jakarta yaitu Betawi
memiliki karakteristik yang terpengaruh dari berbagai suku dan bangsa yang ada
di Jakarta.
Menurut garis besarnya wilayah budaya Betawi dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu Betawi Tengah atau Betawi Kota dan Betawi Ora atau Betawi
Pinggir. Mereka yang termasuk Betawi Tengah adalah mereka yang dalam sejarah
perkembangan Betawi awal menetap di bagian Kota Jakarta yang dulu dinamakan
keresidenan Batavia dan sekarang termasuk Jakata Pusat. Ada dua tipe Betawi
Udik atau Pinggir, tipe pertama adalah mereka yang tinggal di daerah bagian utara
Jakarta, bagian barat Jakarta dan juga Tangerang. Mereka sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Cina. Tipe kedua adalah mereka yang tinggal di sebelah timur dan
selatan Jakarta, bekasi dan bogor. Mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
dan adat istiadat Sunda. Mereka yang tergolong Betawi udik adalah penduduk asli
sekitar Jakarta termasuk Botabek. Dahulu daerah ini termasuk daerah administrasi
Batavia, tetapi kini termasuk daerah administrasi Jawa Barat. Karena itu secara
kultural mereka adalah orang Betawi, tetapi karena perubahan batas administratif,

2
mereka sekarang termasuk orang yang tinggal di daerah administratif Jawa
Barat.1
Masyarakat Betawi memiliki ciri-ciri adat istiadat yang khas, dan mereka
terikat dengan adat istiadat itu, disamping itu terikat pula pada etika agama Islam.
Identitas ini ternyata tidak hanya menyangkut etik agama Islam tetapi
mengandung unsur solidaritas dan perlindungan. Keunikan yang dimiliki oleh
suku Betawi adalah sifat “kelenturannya” dalam menghadapi pengaruh dari
berbagai suku bahkan bangsa lain. Ciri kelenturan ini jelas terlihat pada bentuk-
bentuk kesenian Betawi seperti, seni drama, seni tari, dan seni musik.2
Kebudayaan masyarakat Betawi juga memiliki keunikan, salah satunya adalah
seni tari. Bila dilihat dari pengertian tari sebagai berikut:
“Tari adalah gerak dari seluruh anggota tubuh manusia yang disusun
selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu.”3
Ternyata, di dalam tari terdapat pula gerak yang tidak mempunyai arti sama
sekali, yang semata-mata demi keindahan saja. Gerak yang mengandung arti
lazim disebut gerak maknawi, sedangkan yang tidak mengandung arti lazim
disebut gerak murni. Indonesia dengan berbagai etnis yang ada, memiliki banyak
perbedaan, seperti bahasa, adat-istiadat, kesenian salah satunya adalah tari, yang
memiliki wujud serta latar belakang pembentukkan yang berbeda. 4
Secara luas, tari dapat berfungsi bermacam-macam dalam kehidupan
manusia. Ia dapat berfungsi sebagai sarana dalam upacara-upacara keagamaan,
sebagai sarana dalam upacara adat, ia dapat berfungsi sebagai sarana untuk
mengungkapkan kegembiraan atau untuk pergaulan, dan yang terakhir ia dapat
berfungsi sebagai seni tontonan. Seorang ahli sosiologi dari Inggris Frances Rust
yang pernah mengadakan penelitian tentang peranan tari di dalam masyarakat.
Dari sudut pandang sosiologis, tari-tarian pada kebudayaan tradisonal memiliki
fungsi sosial dan religius-magis. Tari-tarian yang berfungsi soial adalah tari-tarian
1 Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta, Jakarta tempo doeloe, kini & esok, (Jakarta: PT
Lentera Abadi, 2009), h. 60 2 S. Budhisantoso dkk, Alat Penjaja Tradisional Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), h. 12-13 3 R. M. Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), h. 81
4 Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni, h. 82

3
untuk upacara kelahiran, perkawinan, perang dan sebagianya, sedangkan yang
berfungsi religus-magis ialah tari-tarian untuk penyembahan, untuk
menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat dan untuk upacara kematian.5
Menurut Edi Sedyawati6, perkembangan kesenian di Indonesia, salah
satunya adalah tari terutama pasca kemerdekaan dapat dibagi kedalam beberapa
periode yang menjadi masa perkembangan kesenian di Indonesia. Pada tahun
1951-1961 konsolidasi politik luar negeri RI melibatkan pengiriman misi-misi
kesenian, dari Indonesia ke negara-negara lain maupun dari negara-negara lain ke
Indonesia, hal itu bisa dilihat pada tahun 1954, tiga orang penari Indonesia dikirim
ke Amerika Serikat untuk mempelajari tarian Modern. Pada tahun 1960 an
merupakan titik penting dalam perkembangan teater tari di Indonesia. Pada waktu
itulah dicetuskan gagasan untuk membuat suatu pertunjukan teater tari tanpa
dialog, sehingga akan dapat dengan mudah dipahami oleh penonton asing. Pada
tahun 1970-1980 an adalah masa puncak peranan TIM (Taman Ismail Marzuki)
yang didirikan pada tahun 1968 sebagai semacam acuan puncak mutu karya seni
dalam berbagai cabangnya. Hal ini bisa dilihat dengan diselenggarakannya lomba
tari yang secara umum tanpa batasan gaya tari dan penciptaan tari, serta
diselenggarakan pula Seminar Kritik Tari oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).7
Seni tari yang ada di Jakarta ini identik dengan suku yang mayoritas
mendiaminya yaitu suku Betawi. Sebagian besar tari Betawi adalah tari rakyat
yang bersifat improvisatoris. Kebanyakan tariannya merupakan hiburan yang
menitik beratkan kepada segi humor. Kesenian yang bernapaskan Islam di Betawi
berupa rebana, gambus dan qasidahan. Di kalangan masyarakat yang teguh
memeluk agama Islam penampilan seorang penari wanita memang kurang
mendapat simpati. Di kalangan seniman Islam Betawi, kegiatan tari bukan tidak
ada, bahkan cukup banyak ragamnya, dengan catatan bahwa seluruh pemainnya
5 Sudarsono, Tari-Tarian Indonesia I, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta) , h. 21-22 6 Edi Sedyawati adalah seorang arkeolog, penari dalam tradisi Jawa Klasik, Professor di
Universitas Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan (1993-1999),
serta ia juga ikut mengembangkan studi tari di Institut Kesenian Jakarta. 7 Edi Sedyawati, Tari di Indonesia 1951-2000, dalam “Perjalanan Kesenian Indonesia
Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi, (Jakarta: PT Equinox
Publishing Indonesia, 2006), h. 166-169

4
(pemain musik maupun penari) terdiri dari kaum pria. Di luar kalangan itulah
penari wanita diperkenanakan untuk tampil.8
Di pinggiran Jakarta bagian selatan, ada sejenis musik rakyat yang disebut
Rebana Biang, yakni tiga buah rebana berukuran 30, 60 dan 90 cm, masing-
masing dinamakan Kotek, Gendung dan Biang. Rebana Biang ini mengiringi
tarian gagah menyerupai pencak silat. Watak gerak yang khas dari tari Blenggo ini
ini adalah ditarikan dengan sikap agak membungkuk, langkah-langkah kaki yang
pendek, dengan gerak-gerak tangan yang sedikit ada kemiripannya dengan
gerakan tangan pada tari piring.9
Bentuk-bentuk tari lama yang ditemukan di Betawi, mendapat pengaruh
yang cukup kuat dari daerah Sunda. Pengaruh tersebut dapat kita lihat antara lain
tari-tarian yang biasa dibawakan dalam pertunjukkan Topeng Betawi, tari
Blenggo; baik Blenggo Rebana ataupun Blenggo Ajeng, tari Uncul yang biasa
diselipkan pada pertunjukkan Ujungan Betawi dan lain-lain. Namun, untuk seni
tari Blenggo, khususnya Belengggo Rebana merupakan kesenian yang identik
dengan nuansa Islam, perkembangannya pun tersentralisasi pada masyarakat
Betawi yang mayoritas muslim. Sebagaimana umumnya tarian rakyat, tari
Blenggo tidak memiliki pola yang tetap. Pada umumnya tariannya diambil dari
gerak-gerak pencak silat. Gerakan-gerakan dalam tari Blenggo tergntung pada
perbendaharaan gerak pencak silat yang dimiliki penari yang bersangkutan. Ada
dua macam Blenggo, berdasarkan musik pengiringnya yaitu Belenggo yang
diiringi orkes Rebana Biang, untuk mudahnya disebut Blenggo Rebana, dan
Blenggo yang diiringi gamelan Ajeng, untuk mudahnya disebut Belenggo
Ajeng.10
Kata Blenggo sama artinya dengan tari, karena ada ungkapan “diblenggoin”
yang artinya disertai dengan tarian. Adapula yang menyebutkan kata belenggo
berasal dari “lenggang lenggok”, gerakan yang lazim dalam suatu tarian.
Sebelumnya seni musik Rebana Biang yang diiringi dengan tari Blenggo
8 Srijono Sispardjo, Macam-Macam Tari Rakyat Betawi, (Sinar Harapan, Rabu 24 Mei
1978), h. 10, kol 1 9 Sispardjo, Macam-Macam Tari Rakyat Betawi, h. 10, kol 1
10 Rachmat Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, (Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
2000), h. 79

5
penyebutannya bukanlah tari Blenggo, melainkan hanya “Blenggoin” namun
berdasarkan saran Gubernur Ali Sadikin penyebutannya menjadi “tari Blenggo”
untuk membedakan dengan tari-tarian Betawi lainnya seperti tari Topeng, tari
Cokek dan lain-lain.11
Menurut Abdurrachem12
tari Blenggo awalnya berkembang di Ciganjur dari
empat keturunan terdahulu atau sekitar tahun 1800-an. Yang pertama kali
mengajarkan tari Blenggo adalah orang Banten yang datang ke Ciganjur untuk
mengajar mengaji dan Rebana Biang, yaitu Pak Haji Kumis. Ia adalah seorang
patwakandang Banten tahun 1800-an. Pertama kali yang diajarkan adalah rebana,
karena rebana digunakan sebagai pengiring gerakan-gerakan pencak silat.
Namanya pun bukan Rebana biang, tetapi terbangan.13
Apabila kita melihat perkembangannya, tari Blenggo terdapat di beberapa
daerah kawasan Betawi yaitu; Belenggo yang ada di daerah Ciganjur berbeda
dengan Blenggo yang ada di daerah Ciseeng Parung, dan berbeda pula dengan
Blenggo yang ada di daerah Citayam. Di daerah Ciganjur instrument terbatas pada
instrument dasar berupa Rebana Biang, kotek dan Gendung. Dan penari terdiri
dari penari pria. Gerakan tari berangkat dari unsur silat Betawi. Sedangkan dari
daerah Ciseeng sudah berkembang dengan menampilakn penari-penari wanita
bersama-sama penari pria tampil bersama. Gerakannya sudah menyerupai ketuk
tilu, dan dari daerah Citayam penambahan instrument berupa kecrek , kenong dan
rebab, penari yang tampil hanya penari wanita. Gerakannya tidak berangkat dari
silat tetapi sudah menjadi semacam bimbingan.14
Melihat perkembangan tari Belenggo di beberapa daerah, tentunya tidak
lepas dari individu-individu dan kelompok yang melestarikannya, salah satunya
adalah telah berdirinya sebuah sanggar yaitu Sanggar Rebana Biang Pusaka,
sanggar ini ini dipimpin oleh H. Abdurrachman (maestro Belenggo Rebana
11
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Ciganjur, 12
Oktober 2017, Pukul 10.00 12
Abdurrachem adalah pengamat tari Blenggo sekaligus menjadi pelaku seninya 13
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta:
fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012), h. 70 14
S. Rahadjo Rais, Blenggo sebagai Tari Rakyat Betawi, (Surat Kabar Pelita, Selasa 28
November 1978), h. 5

6
Biang) yang tentunya hingga kini masih melestarikan tari Belenggo. Adapun
seniman Belenggo yang terkenal adalah Haji Saaba, Haji Dulgani (Abdulgani),
Haji Jaeni, Abdurrachem dan Maksum dari Ciganjur, yang tentunya mereka
memiliki jasa yang besar dalam mengembangkan tarian ini pada generasi muda. 15
Namun saat ini satu-satunya sanggar yang masih bertahan di Betawi untuk
melestarikan Kesenian Rebana Biang dan tari Blenggo adalah Sanggar Rebana
Biang Pusaka Ciganjur saja.
Gerak tari Blenggo yang mengambil dari pola gerak silat, yang
keseluruhannya membungkuk, dan hampir tidak mengangkat kakinya adalah
mengambil pola gerak silat koplek16
, dari sanggar silat Akal dan Takwa Ciganjur,
yang didirikan pada tahun 1965, yang dipimpin atau diketuai oleh ustad Abdul
Hamid. Pola gerak silatnya yang memang banyak merendah dan merunduk
memiliki maksud agar kita sebagai manusia tidak menyombongkan diri, karena
masih ada Tuhan yang Maha Esa.17
Proses simbolis merupakan kegiatan manusia dalam menciptakan makna
yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses
simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos dan
bahasa.18
Dalam penelitian ini, penulis ingin memaparkan makna-makna dari
simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur. Simbol-simbol yang
terdapat dalam tari Blenggo ini, penulis membaginya menjadi beberapa komponen
yaitu, simbol gerak, simbol instrument tari (lagu dan musik), dan simbol kostum
yang digunakan dalam tari Blenggo di Ciganjur.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
15
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Langgam Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, 2011), h. 128 16
Koplek adalah nama gerakan silat pada padepokan Akal dan Takwa 17
Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, Padepokan Silat Akal dan Takwa, 25
Oktober 2017, Pukul 12.30 18 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987),
h. 3

7
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin menguraikan tentang tarian
Blenggo yang didalamnya terdapat makna-makna, terutama makna dengan corak
ke-Islaman. Dalam tarian Blenggo ada hal yang berbeda yaitu yang biasanya
dalam sebuah seni tari yang diiringi oleh musik lain halnya dengan yang ada
dalam tarian Blenggo, yaitu tari mengiringi musik. Sanggar yang masih
melestarikan kesenian Rebana Biang dan tari Blenggonya hanya satu-satunya di
Ciganjur.
Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana
makna simbol dalam tari Blenggo di Ciganjur.
2. Pembatasan masalah
Terkait judul penulisan penelitian : “Makna Simbolik dalam Tari Blenggo di
Ciganjur”, penulis membatasi masalah pada batasan tempat, yaitu hanya pada
wilayah Kampung Ciganjur, Jakarta Selatan. Selanjutnya, tema ini hanya terfokus
kepada makna simbolik dalam tari Blenggo tersebut.
3. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana tradisi budaya masyarakat Ciganjur?
b. Bagaimana sejarah dan perkembangan tari Blenggo?
c. Bagaiman makna simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengemukakan makna simbolik
dalam tari Blenggo khususnya Blenggo Rebana Biang. Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tentang makna simbolik dalam tari Blenggo
khususnya Blenggo Rebana Biang Ciganjur
2. Memberikan karya tulis sejarah yang berupa skripsi kepada UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Sejarah dan
Peradaban Islam, terkait kajian kebudayaan.
3. Menjadi motivasi bagi akademisi sejarah untuk mengkaji tema sejarah yang
terkait dengan sosial budaya.

8
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi budaya masyarakat Ciganjur
2. Agar mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan tari Blenggo
3. Agar mengetahui bagaimana makna dari simbol yang terdapat dalam tari
Blenggo
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah mencari berbagai referensi yang terkait dengan makna
simbolik yang terdapat dalam tari Blenggo, walaupun belum ada rujukan yang
secara spesifik membahas terkait tema tersebut. Buku rujukan pertama adalah
karya dari Rachmat Ruchiat, dkk, dengan judul Ikhtisar Kesenian Betawi, yang
memberikan gambaran kepada penulis tentang kesenian Blenggo, baik tentang
pengaruh agama Islam yang terdapat didalamnya serta perkembangan dari tari
Blenggo itu sendiri.19
Salah satu buku lainnya adalah karya Dinas Kebudayaan Propinsi DKI
Jakarta yaitu Rebana Burdah dan Biang, yang banyak memberikan gambaran
tentang sejarah Rebana Biang serta perkembangan dan cara memainkan alat
musik Rebana Biang. Dalam buku ini juga menjelaskan persebaran musik Rebana
Biang.20
Ada juga buku karya Abdul Chaer dengan judul Betawi Tempo Doeloe,
Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, dalam buku ini banyak menjelaskan
tentang tradisi kebudayaan Betawi, diantaranya tentang upacara daur hidup
masyarakat Betawi, kesenian Betawi (seni musik, seni tari, dan seni teater),
kuliner Betawi, dan beberapa ciri khas dari tradisi Betawi.21
Ada pula salah satu jurnal yang digunakan penulis dalam tema ini yaitu,
karya Nur Mahmudah, dalam jurnal Penamas, dengan judul Pertunjukkan Seni
Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, yang
19
Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h. 79-81 20
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional
Betawi, 2000), h. 45-50 21
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Depok:
Masup Jakarta, 2015), h. 320-335

9
menggambarkan tentang kesenian Rebana Biang sebagai salah satu musik yang
Islami, eksistensi Rebana Biang, serta faktor-faktor dari pasang surutnya
perkembangan Rebana Biang.22
Adapun skripsi yang membahas tentang tari Blenggo adalahk Kajian
Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa,
Jakarta, yang memaparkan tari Blenggo dari segi sosiologisnya, jadi segala aspek
yang ada dalam tari Blenggo dikaitkan dengan keadaan sosial dan peristiwa yang
ada pada masyarakatnya.23
E. Landasan Teori
Dalam sebuah tari, terdapat dua elemen penting yaitu gerak dan ritme.
Seperti yang dikemukakan oleh John Martin24
dalam bukunya yang berjudul The
Modern Dance, bahwa substansi baku dari tari adalah gerak. Selain itu dia juga
mengemukakan bahwa gerak merupakan pengalaman fisik dari kehidupan
manusia yang paling elementer, dan gerak bukan hanya terdapat pada bagian
bagian tubuh melainkan gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala emosionil
manusia.25
Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dan simbol-simbol tersebut tentunya
memiliki makna yang akan mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku
masyarakatnya. Simbolisme merupakan langkah awal untuk memahami
kebudayaan dalam ruang otentiknya (nilai). Clifford Geertz mendefinisikan
kebudayaan sebagai sistem simbol yang mana dari makna dan simbol individu
dapat mendefinisikan dunia, mengekspresikan perasaan dan membuat penilaian.
Interpretasi simbolik (sistem makna) menekankan pada setiap yang berkaitan
dengan kebudayaan, perubahan kebudayaan dan studi tentang kebudayaan. Maka
22
Nur Mahmudah, Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa
Keagamaan, Volume 28, (Jurnal Penamas, Nomor 2, Juli-September 2015), h. 296-298 23
Fitri Purnami, Kajian Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak, Kecamatan
Jagakarsa, Jakarta, (Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014), h. 3-4 24
John Martin adalah Seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika Serikat 25
Sudarsono, Tari-Tarian Indonesia I, h. 15

10
proses kebudayaan yang di dalamnya termasuk kesenian harus dipahami,
diterjemahkan serta diinterpretasi.26
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian
deskriptif-analitis, dengan pendekatan Antropologi untuk merekonstruksi
peristiwa masa lampau yang bersifat komperhensif.27
Adapun dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi 4 tahapan yaitu:28
1. Heuristik
Heuristik yang berarti menemukan atau mengumpulkan sumber. Adapun
sumber yang penulis gunakan adalah sumber data primer berupa arsip sezaman,
dan sumber sekunder berupa buku-buku terkait, majalah,dan jurnal. Penulis juga
melakukan obeservasi ke lokasi penelitian, dengan datang ke sanggar Rebana
Biang Pusaka Ciganjur serta wawancara kepada narasumber terkait, yaitu dengan
ketua Sanggar Rebana Biang dan ketua Sanggar atau Padepokan Silat Akal dan
Takwa. Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan
menggunakan metode penelusuran kepustakaan, yakni mengunjungi perpustakaan
atau lembaga yang memiliki koleksi buku ataupun arsip yang terkait dengan tema
penelitian ini, seperti, Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin, untuk memperoleh
dokumentasi terkait tema penelitian ini, Perpustakaan Umum Provinsi DKI
Jakarta yang lokasinya terdapat didaerah Cikini dan Kuningan, untuk
mendapatkan sumer yang berupa buku-buku terkait tema penelitian, Lembaga
Kebudayaan Betawi, untuk mendapatkan sumber buku dan informasi terkait dari
staf-staf di lembaga tersebut, , Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), untuk
mendapat sumber buku dan arsip terkait tema penelitian.
2. Kritik Sumber
Tahapan selanjutnya setelah mengumpulkan sumber adalah kritik sumber,
yang terbagi menjadi dua yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Penulis berusaha
26 Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan, Kebudayaan Pascastruktural, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2010), h. 84 & 111 27
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5 & 152-156 28
M. Dien Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (UIN Jakarta Press, 2013), h. 105-131

11
menganalisis dan membandingkan sumber-sumber yang telah didapat baik berupa
buku, jurnal, tesis, dan surat kabar.
3. Interpretasi
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi, dalam tahapan ini penulis
melakukan analisa sejarah terhadap sumber-sumber yang terkait dengan makna-
makna dalam tari Blenggo, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada,
dengan menggunakan pendekatan ilmu Antropologi.
4. Penulisan Sejarah
Tahapan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan sejarah), dalam
tahapan ini penulis menuliskan hasil pemikiran dari penelitian serta hasil dari
penelitian sumber sejarah secara sistematik seperti yang telah diatur dalan
pedoman penulisan skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis membagi bahasan menjadi lima bab, berikut
dituliskan uraian singkat bab I sampai bab V:
BAB I, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
masalah da nada rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II, terdapat pembahasan tentang gambaran umum dari tradisi budaya
yang ada di wilyah Ciganjur, baik dari segi mata pencaharian, pola pendidikan,
serta tradisi kemasyarakatan yang ada di Ciganjur. Pengaruh agama Islam dapat
banyak ditemukan di dalam berbagai tradisi atau upacara daur hidup yang ada
pada masyarakatnya.
BAB III, terdapat pembahasan tentang pencak silat di Ciganjur, dan ada
pula pembahasan tentang sejarah awal mula terciptanya tari Blenggo, dan
perkembangannya di Ciganjur.
BAB IV, terdiri dari pembahasan tentang makna simbol dalam tari Blenggo
di Ciganjur yang terbagi dalam beberapa komponen, yaitu gerakkan,
instrumentnya yaitu musik dan lagu, serta makna-makna dari kostum yang

12
digunakan dalam pementasan tari Blenggo. Ada pula respon dari masyarakat akan
eksistensi tari Blenggo di Ciganjur.
BAB V, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. penulis
menguraikan tentang kesimpulan yang merujuk pada permasalahan inti dalam
penelitian ini. Saran yang menjadi masukan untuk penelitian berikutnya.

13
BAB II
GAMBARAN UMUM TRADISI BUDAYA
MASYARAKAT CIGANJUR
A. Gambaran Umum Jakarta Selatan
Wilayah DKI Jakarta terletak diantara 6 .8”.11”.45” lintang Selatan dan
94 05 Bujur Timur. Tingginya dari permukaan laut kira-kira 7 m. Luas
daratannya pada akhir tahun 1974 adalah 577 km² dan luas lautnya adalah
61.997.55 km² atau 12 kali luas daratannya. Setelah adanya peraturan pemerintah
Republik Indonesia No. 4 tahun 1974, maka terjadi perubahan. Sebagian dari
wilayah Kabupaten dan Kabupaten Bekasi dimasukkan ke dalam wilayah DKI
Jakarta. Sedangkan wilayah DKI dikurangi dengan desa Benda yang semula
termasuk kecamatan Cengkareng, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam
Kabupaten Tangerang. Dengan demikian luas wilayah DKI pada tahun 1974
bertambah menjadi 587 ,62 km².29
(Sensus dan Statistik DKI Jakarta tahun 1974)
Pada tahun 1966, presiden Soekarno melantik Mayjen KKO Ali Sadikin
(dikenal dengan sebutan Bang Ali), yang ketika itu masih berusia 39 tahun
sebagai Gubernur DKI menggantikan Dr. Sumarno. Pada masa awal tugasnya
sebagai gubernur, Ali Sadikin membagi Jakarta menjadi lima wilayah
administrative, yaitu Jakarta timur, Jakarta barat, Jakarta utara, Jakarta selatan,
dan Jakarta pusat. Kelima wilayah itu dibagi lagi menjadi 22 kecamatan da 204
kelurahan di samping satu wilayah kepulauan, yakni kepulauan seribu yang
terletak di teluk Jakarta menjadi sebuah kecamatan. Selama masa pemerintahan
gubernur Sumarno, wilayah Jakarta dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jakarta
Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Masing-masing wilayah dikuasai oleh
seorang patih.30
Salah satu kota di Provinsi DKI Jakarta adalah Jakarta Selatan, wilayah kota
ini terletak di bagian selatan DKI Jakarta dengan batas-batas sebagai berikut: di
29 Rifai Abu, ed, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 9 30
Eni Setiati dkk, Ensiklopedi Jakarta, (Profil Kota Jakarta, Doeloe, Kini dan Esok)
“7”, (Jakarta: PT Lentera Abadi Jakarta, (anggota IKAPI), 2009), h. 39

14
sebelah utara berbatasan dengan wilayah kota Jakarta Pusat, di sebelah timur
berbatasan dengan wilayah kota Jakarta Timur, di sebelah selatan berbatasan
dengan kabupaten Bogor-Jawa Barat dan di sebelah barat dengan kabupaten
Tangerang–Jawa Barat. Berbeda dengan empat wilayah kota lainnya, yang
bertumbuh pesat sebagai daerah perdagangan dan industri, wilayah ini lebih
menarik untuk dikembangkan sebagai daerah pemukiman dan pendidikan. Ini
menyebabkan luas lahan untuk pertanian terus menyusut, meskipun sektor
pertanian masih cukup produktif dan bernilai ekonomi bagi penduduknya.31
Wilayah ini mencakup areal seluas 14.498,12 hektare, terdiri dari tujuh
kecamatan dan 61 kelurahan, 497 rukun warga (RW) dan 5.761 rukun tetangga
(RT). Sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di
wilayah ini kurang lebih 1.905.004 orang. Dibandingkan dengan tahun 1980
dimana jumlah penduduk Jakarta selatan baru mencapai 1.532.495 orang, maka
dalam kurun sepuluh tahun tersebut, terdapat pertambahan penduduk sebanyak
372.509 orang atau dengan Laju pertumbuhan sekitar 2,20 persen per tahun.32
Gambaran umum kependudukan Propinsi DKI Jakarta segera terlihat bahwa
gambarannya berbeda secara cukup tajam dengan gambaran umum secara
nasional. Dalam kurun 1971-1990, sebagai contoh, jumlah penduudk DKI Jakarta
bertambah hampir mrnjadi dua kali lipat yaitu dari sekitar 4,6 juta pada tahun
1971 menjadi 8,3 juta orang pada tahun 1990, sementara penduduk Indonesia
dalam kurun yang sama bertambah hanya sekitar 20 persen yaitu dari 119 juta
menjadi 179 juta.33
B. Sejarah dan Gambaran Umum Ciganjur
Ciganjur adalah sebuah kawasan yang saat ini merupakan kelurahan di
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Wilayahnya berbatasan dengan Cilandak di
sebelah utara, Kebagusan dan Ragunan di sebelah barat, Cinere di sebelah timur,
dan Depok di sebelah selatan. Nama Ciganjur sempat populer ke tingkat nasional
31
Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Jakarta;
PT Intermasa), h. 143 32
Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 144 33
Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 63

15
karena di sini ada kediaman Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Presiden ke-4
Republik Indonesia. Mengapa namanya Ciganjur? Menurut sejarah, nama ini
sudah ada sejak tahun 1650. Berasal dari nama kerajaan atau Kadipaten Ciganjur,
adalah Raden Bagus Jagakarsa Surobinangun, panglima perang Kerajaan Mataram
Yogyakarta, pernah tinggal di Batavia. Ia menikah dengan putri Pajajaran yang
berkedudukan di wilayah yang kini disebut Ragunan. Ia dikarunia dua orang anak
yakni: Raden Mas Mohammad Kahfi dan Raden Mas Aria Kemang
Yudhanegara.34
Raden Mas Mohammad Kahfi diberi tanah di sekitar wilayah Ciganjur yang
dimulai dari: Kampung Kandang (dulu istal kuda miliknya) dan di selatannya
berbatasan sampai ke Tanah Baru Depok. Keraton Mohammad Kahfi terletak di
Kampus ISTN di dekat danau sampai di Kebon Sancang (sekarang wilayah itu
jadi kampus Universitas Indonesia). Raden Mas Mohammad Kahfi memerintah
Ciganjur antara tahun 1650-1685.35
1. Penduduk
Kampung Ciganjur adalah salah satu dari wilayah yang mengalami beberapa
kali pemekaran atau perluasan wilayah, yang dapat dilihat dalam laporan tahunan
dari Badan Pusat Statistik wilayah Jakarta Selatan:36
Tabel : 1 Jumlah Penduduk Ciganjur Tahun 1984-1990
NO Tahun Banyaknya
Kecamatan
Banyaknya
kelurahan
Luas
Wilayah
(km²)
Jumlah
Penduduk
1. 1984 7 61 146,20 1.476.262
2. 1986 7 61 144,98 1.580.639
3. 1987 10 64 146,16 1.690.084
4. 1990 10 65 145,34 1.779.861
Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan (Jakarta Selatan dalam Angka 1984-1990)
34
Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: UFUK PRESS,
2012), h. 251-252 35
Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, h. 252 36
Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka 1984-1990, (Jakarta: Kantor
Statistik Jakarta Selatan).

16
Dari tabel di atas menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun di wilayah
Jakarta Selatan mengalami beberapa perubahan terutama dalam jumlah kecamatan
dan kelurahan. Salah satu yang mengalami perubahan adalah kawasan Ciganjur
yang akan dijelaskan dalam tabel berikut:37
Tabel : 2 Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Jakarta Selatan Tahun 1984
No Tahun Kecamatan Kelurahan
1. 1984 Kebayoran Lama Bintaro, Pondok Pinang, Kebayoran
Lama, Pesanggrahan, Petukangan
Selatan, Petukangan Utara, Ulujami,
Cipulir, Grogol Selatan dan Grogol
Utara
2. Pasar Minggu Ciganjur, Srengseng Sawah, Jagakarsa,
Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar
Minggu, Jatipadang, Ragunan, Cilandak
Pejaten
3. Mampang Prapatan Bangka, Kalibata, Rawajati, Duren Tiga,
Pengadegan, Cikoko, Pancoran, Tegal
Parang, Pela Mampang, Mampang
Prapatan, Kuningan Barat
4. Kebayoran Baru Gandaria utara, Cipete Utara, Pulo,
Petogogan, Melawai, Kramat Pela,
Gunung, Selong, Rawa Barat, Senayan
5. Setia Budi Karet Semanggi, Kuningan Timur, Karet
Kuningan, Karet, Menteng Dalam, Pasar
Manggis, Guntur, Setia Budi
6. Tebet Menteng Dalam, Tebet Barat, Tebet
Timur, Kebon Baru, Bukit Duri,
37
Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1984, (Jakarta: Kantor
Statistik Jakarta Selatan), h. 26-28

17
Manggarai Selatan, Manggarai
7. Cilandak Lebak Bulus, Pondok Labu, Cilandak,
Gandaria Selatan, Cipete Selatan
Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan tahun 1984
Pada tabel di atas menjelaskan bahwa pada tahun 1984 banyaknya
kecamatan di wilayah Jakarta Selatan adalah 7 dengan 61 kelurahan. Apabila
memperhatikan pada kolom kecamatan Pasar Minggu, terdapat kelurahan
Ciganjur yang masih masuk ke dalam wilayah kecamatan Pasar Minggu,
sedangkan saat ini kelurahan Ciganjur berada dalam kawasan Jagakarsa. Seperti
yang akan dijelaskan dalam tabel berikut:38
Tabel: 3 Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Jakarta Selatan Tahun
1987
No Tahun Kecamatan Kelurahan
1. 1987 Kebayoran Lama Pondok Pinang, Keby. Lama Utara,
Cipulir, Grogol Selatan, Grogol
Utara, Keby. Lama Selatan
2. Pesanggrahan Petukangan Utara, Ulujami,
Petukangan Selatan, Pesanggrahan,
Bintaro
3. Pasar Minggu Pasar Minggu, Jati Padang,
ragunan, Cilandak Timur, Pejaten
Barat, Pejaten Timur, Kebagusan
4. Jagakarsa Jagakarsa, Lenteng Agung,
Srengseng Sawah, Ciganjur,
Tanjung Barat
5. Mampang Prapatan Kuningan Barat, Mampang
Prapatan, Pela Mampang, Tegal
Parang, Bangka
6. Pancoran Pancoran Cikoko, Pengadegan,
38
Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1987, (Jakarta: Kantor
Statistik Jakarta Selatan), h. 22-24

18
Duren Tiga, Rawajati, Kalibata
7. Kebayoran Baru Gandaria Utara, Cipete Utara, Pulo,
Petogogan, Melawai, Kramat Pela,
Gunung, Selong, Rawa Barat,
Senayan
8. Setiabudi Karet Semanggi, Kuningan Timur,
Karet Kuningan, Karet, Menteng
Atas, pasar Manggis, Guntur,
Setiabudi
9. Tebet Menteng Dalam, Tebet Barat, Tebet
Timur, Kobon Baru, Bukit Duri,
Manggarai Selatan, Manggarai
10. Cilandak Lebak Bulus, Pondok Labu,
Cilandak Barat, Gandaria Selatan,
Cipete Selatan
Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan tahun 1987
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa kelurahan Ciganjur sudah masuk
dalam kawasan kecamatan Jagakarsa hingga saat ini. Namun Kelurahan Ciganjur
juga mengalami pemekaran wilayah, sebagaimana Surat Keputusan Gubernur
KDKI Jakarta Nomor : 1746 tahun 1987 Tanggal 10 September 1987 ditetapkan
bahwa Kelurahan Ciganjur dipecah menjadi Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan
Cipedak.39
Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 1251 Tahun 1986 tanggal 29 Juli 1986 menyatakan bahwa wilayah
Ciganjur memiliki luas Wilayah 748,70 Ha, dengan batas-batas sebagai berikut: 40
Batas wilayah kampung Ciganjur, kecamatan Pasar Minggu pada tahun 1986:
Sebelah Utara : Jalan Arteri/Kali Krukut
Sebelah Timur : Jalan Kahpi II – Jalan Pal Merah TNI AU
39
Data arsip yang penulis dapatkan dari bagian Tata Pemerintahan Walikota Jakarta
Selatan 40
Biro Hukum Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Himpunan Lembaran Daerah
Khusus Ibukota Jak arta Tahun 1986. h. 369

19
Sebelah Selatan : Jalan Desa Tanah Baru
Sebelah Barat : Kali Krukut
Batas wilayah kampung Ciganjur, yang saat ini telah menjadi bagian dari
kelurahan Cipedak, kecamatan Jagakarsa pada tahun 2017:41
Sebelah Utara : Jl. Brigif, Jl. Warung Sila Kelurahan Ciganjur
Sebelah Timur : Jl. Moh. Kahfi II Kelurahan Srengseng Sawah
Sebelah Selatan : Kelurahan Tanah Baru, Kota Depok
Sebelah Barat : Kali Krukut, Kelurahan Gandul, Limo Kota Depok
2. Mata Pencaharian
Menurut sejarahnya, orang Betawi yang ada di kampung Ciganjur ini
mayoritasnya bermata pencaharian bertani, berkebun dan berdagang. Mayoritas
penduduknya berkebun buah-buahan, dan mata pencaharian ini merupakan khas
dari kawasan Pasar Minggu yang termasuk pula wilayah Ciganjur, bahkan
kawasan ini sudah terkenal sebagai penghasil buah-buahan jauh ketika tahun
1920 an.42
Kawasan Ciganjur ini termasuk ke dalam kawasan agraris, masih
banyak sawah yang terdapat di wilayah ini, kebanyakan masyarakat Ciganjur yang
yang berdagang adalah berdagang buah-buahan hasil dari berkebun yang dijual ke
pasar Minggu, pasar Manggarai, dan bahkan pada tahun 1970 dan 1980 an itu
hasil bumi mereka juga dibawa sampai ke Tanah Abang. Hasil bumi mereka
merupakan berbagai macam buah-buahan seperti, jambu, pepaya, rambutan.43
Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Suku
Bangsa di Indonesia yang menyatakan bahwa pada saat itu orang Betawi
umumnya hidup sebagai petani buah-buahan, untuk mereka yang masih memiliki
tanah luas. Sedangkan yang lain ada yang bekerja sebagai pedagang kecil,
berjualan buah-buahan atau makanan keliling, membuka warung, menjadi tukang
kayu, tukang batu, makelar tanah dan rumah, menjahit, jadi buruh, pamong desa,
41
Laporan bulanan kelurahan Cipedak, kecamatan Jagakarsa, laporan bulan Juli 2017 42
Asep Suryana, Pasar Minggu Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah
1921-1966, (Jakarta: LIPI Press, 2012), h. 129 43
Wawancara pribadi dengan Bapak Soni, Jl. H. Montong/Komplek BBD Ciganjur, 22
Agustus 2017, Pukul 11.30

20
dan sebagainya.44
Namun untuk sekarang ini lahan untuk bertani sudah semakin
sedikit, karena semakin bertambahnya penduduk yang mendiami wilayah
Ciganjur ini, yang akhirnya menjadikan lahan-lahannya dibangun sebagai
pemukiman warga.
Pola pikir masyarakat Ciganjur yang didasari dengan nilai-nilai Islami, juga
mempengaruhi terhadap mata pencahariannya yaitu, dahulu masyarakat Ciganjur
tidak terlalu bersemangat untuk berbisnis, atau ingin menjadi orang yang kaya,
karena mereka memiliki istilah “udah, dunia sekedarnya aja”, jadi jarang
masyarakatnya yang menjadi pegawai negeri, karena dengan salah satu alasannya
yaitu apabila menjadi pegawai negeri, sebagian pasti akan di pindah tugaskan ke
daerah lain, dengan tradisi masyarakat Betawi yang suka berkumpul, maka tidak
mengizinkan anak atau sanak keluarganya untuk pergi jauh dari kampungnya.45
3. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang ada di Kampung Ciganjur ini tidak patrilineal dan
tidak pula matrilineal, keduanya sama, tidak ada yang lebih unggul antara laki-laki
laki dan wanita. Prinsip keturunan orang Betawi pada umumnya pun adalah
bilateral, di mana keluarga-keluarga inti suka bergabung dengan keluarga asalnya
membentuk keluarga luas terbatas yang bersifat virilokal46
, terkadang
uksorilokal47
untuk tempat tinggal sesudah menikah.48
Ada panggilan yang khas untuk kekerabatannya yaitu, bapak (baba), kakek
(uwa atau engkong), (buyut laki) itu untuk yang laki-laki, kalau yang perempuan
ibu itu (nyak), mpeng (nenek), buyut perempuan, kalau kakaknya dari ibu
panggilannya (baba gede) dan (nyak gede), kalau adiknya dari bapak atau ibu,
yang perempuan dipanggil (ncek) kalau yang laki-laki (mamang) atau paman,
untuk sepupu penyebutannya (misanan), dan anak-anak dari masing masing
44
Zulyani Hidayah, Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, (Jakarta: yayasan pustaka
obor Indonesia, 2015), h. 79 45
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, Jl. Keranji, Kel Ciganjur, 22 Agustus 2017,
Pukul 15.00 46
Virilokal adalah antara adat bertempat tinggal atau dekat dengan hubungan laki-laki 47
Uksorilokal adalah adat menetap seseudah menikah 48
Hidayah, Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, hal 79-80

21
sepupu itu sebutannya (mindon).49
Adapun penjelasannya akan dijelaskan dalam
skema berikut ini.
Skema Istilah Kerabatan Betawi Di Ciganjur
Ay Ax Ay Ax
By Bx By Bx
Cy Cx Dx Dy
Cy Cx Dx Dy
Ey Ex
Fy Fx Ego Fx Fx Fy
Gy Gy Gx Gx Gy Gx Gy
Sumber: wawancara dengan salah satu tokoh agama di Ciganjur, Bapak Kholid
Keterangan Skema:
1. Ego adalah kata Latin untuk “aku”
2. Ey: Baba (Bapak), Ex: Nyak (Ibu)
3. By: Uwa atau Engkong (Kakek), Bx: Mpeng (Nenek)
4. Ay: Uyut (Buyut Laki-Laki), Ax: Uyut (Buyut Perempuan)
49
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

22
5. Cy: Baba Gede (Kakak dari Bapak/Ibu) Cx: Nyak Gede (Istri Kakak
dari Bapak/Ibu)
6. Dx: Mamang (Adik dari Bapak/Ibu) Dy: Ncek (Istri Adik dari
Bapak/Ibu)
7. Fy, Fx dan Ego : Misanan (Sepupu)
8. Gy dan Gx : Mindon (dua pupu)
4. Pola pemukiman
Secara umum masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang agraris,
begitu pula dengan masyarakat Ciganjur. Hal ini berkaitan dengan kondisi
pemukiman Betawi yang pada umumnya memiliki suasana pedesaan , pertanian
kebun yang sangat terasa dengan tapak yang didominasi oleh lahan kebun dan
hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan sehingga
masyarakat Betawi mengandalkan hasil kebun dan pekarangannya sebagai sumber
pencaharian ekonomi keluarga.50
Pola pemukiman di kampung Ciganjur ini masih menggunakan rumah-
rumah dengan gaya adat Betawi. Salah satu contoh rumah dengan gaya Betawi itu
adalah dengan kamar yang minim, seperti hanya dua kamar, satu untuk orang tua
dan yang satu lagi untuk anak yang sudah dewasa tetapi memiliki ruang tamu
yang luas dengan falsafah untuk kumpul-kumpul keluarga. Rumahnya besar-
besar, dengan ruang-ruang yang sedikit, dan dengan halaman rumah yang luas.
Biasanya pola pemukimannya itu dari satu blok rumah itu milik satu keluarga,
karena apabila ada anaknya yang menikah, maka dibuatkan rumah di sampingnya,
begitulah seterusnya.51
C. Latar Belakang Sosial Budaya
Ada tiga prinsip yang ditaati secara umum oleh etnis Betawi, yaitu bisa
ngaji, bisa beladiri dan bisa pergi haji. Ketiga prinsip yang tampaknya sederhana,
tetapi mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan sejak kecil, dewasa, sampai
50
Ismet B. Harun, Rumah Tradisional Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Khusus
Ibukota Jakarta, 1991), h. 14 51
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

23
tua.52
Betawi terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Betawi Religi dan Betawi
Jawara. Kebetulan Betawi di daerah Ciganjur ini merupakan Betawi Religi, dialek
yang digunakan adalah dialeh a bukan e, contoh gua atau saya, bukan gue.53
Unsur Islam dari para pendatang Arab, dan unsur Melayu yang kuat,
mempengaruhi pula falsafah etik orang Betawi yang menempatkan seseorang
yang memiliki pengetahuan agama (Islam) sebagai “orang yang disegani dan
dianggap mengetahui ilmu menjalankan hidup dunia dan akhirat”. Dengan
demikian, mereka yang telah berhasil menunaikan Rukun Islam yang ke-lima,
akan dengan sendirinya memasuki status lapisan atas. Bagi orang Betawi, sebutan
“haji” merupakan gelar tertentu yang menjadi identitas diri. Hal ini dikarenakan
sebutan “haji”, “guru agama” dan “kyai” menunjukkan, bahwa mereka berbeda
dari “orang kebanyakan”.54
Bagi masyarakat Ciganjur pergi haji merupakan tolak
ukur prestise atau keimanan, dengan kata lain pergi haji merupakan cita-cita luhur
bagi masyarakat Ciganjur. Ada beberapa efek yang mendalam bagi seseorang
yang telah menunaikan ibadah haji, dengan lebih menjaga segala prilaku dan tata
kramanya, salah satunya adalah dari segi pakaian, tidak mungkin orang yang
sudah pergi haji, memakai celana pendek, bahkan bagi orang yang sudah pergi
haji harus selalu memakai peci, itu merupakan tata kramanya. Perubahan-
perubahan banyak terjadi pada orang yang sudah pergi haji, baik itu dari segi
pakaian ataupun akhlak. Bahkan ada sebagian orang yang apabila ditanyakan soal
“sudahkah menunaikan haji?” sebagian orang menjawab “belum, belum bisa
ngejaganya”, maksud dari belum bisa menjaga itu adalah belum siap dengan
aturan-aturan setelah menunaikan ibadah haji.55
Bisa ngaji dilakukan sejak kecil dengan belajar membaca Al-Qur‟an, belajar
shalat, belajar aqidah dan belajar adabul insan. Dalam belajar membaca Al-Qur‟an
pada usia tertentu sudah harus hafal Juz „Amma. Saat selesai menghafal Juz
Amma biasanya ditandai dengan acara Namatin. Dalam acara ini si anak “dites”
52
Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan da Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2012), h. 6 53
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017 54
Anhar Gonggong, ed. dkk, Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984), h. 69 55
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

24
dengan disuruh membaca secara hafalan sejumlah surat dari Juz Amma itu. Acara
ini juga menandai si anak kini boleh pindah ngaji dari Juz Amma ke Qur‟an Gede,
yakni Qur‟an 30 Juz yang dimulai dengan Juz Alif Lam Mim. Pelajaran agama
yang ditekankan pula adalah bidang akhlak yaitu dengan mempelajari kitab
Adabul Insan. Dalam kitab ini diajarkan bagaimana seharusnya sikap santun
seorang anak kepada kedua orangtuanya, kepada gurunya, kepada saudara-
saudaranya dan kepada orang-orang lain di sekitarnya. Prinsip bisa ngaji ini
seringkali menyebabkan para orang tua lebih sering mengirim anak-anaknya ke
madrasah atau pesantren dibanding ke sekolah umum.56
Sama halnya dengan keadaan di Ciganjur pengaruh agama Islam juga ada
pada bidang pendidikan, yaitu banyaknya para orang tua yang tidak hanya
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum tapi juga di madrasah. Anak-anak
biasanya bersekolah di SD dari pagi sampai siang hari, dan di siang harinya
dilanjutkan untuk mengaji di madrasah sampai jam empat sore, setelah itu makan,
mandi, sholat ashar kemudian berangkat lagi ke masjid atau musholla untu
mengaji sampai waktu Isya‟. Melihat kegiatan pendidikan anak-anak di Ciganjur
hampir mirip dengan pola pesantren.57
Gambaran tentang aspek religi atau keagamaan orang Betawi jelas diwarnai
oleh ajaran Islam. Gambaran itu bisa dilihat dari sistem keyakinan dan tindakan
yang mereka wujudkan, bahwa kebudayaan Betawi sebagai suatu subkultur
hampir tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Kebanyakan dari upacara daur hidup
dan adat istiadat masyarakat Betawi tidak pernah lepas dari norma-norma Islam,
baik hukum formalnya maupun tradisi yang turun-temurun.58
Budaya
masyarakatnya yang merupakan Betawi religius dan merupakan Betawi yang
murni, kesenian yang ada di daerah Ciganjur pun juga terpengaruh, beberapa
kesenian yang berkembang di Ciganjur adalah Rebana (Rebana Biang, Rebana
ketimpring), Qosidah, dan Gambus.
56
Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan da Kehidupan Orang Betawi, h. 6
57 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017
58 Rosyadi ed., Profil Budaya Betawi, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Niali
Tradisional, 2006), h. 221-222

25
Masyarakat Ciganjur yang mayoritasnya muslim masih sangat kental tradisi
keagamaan yang dibarengi dengan ke-tradisioanalannya. Agama Islam dengan
segala sistem keyakinan, nilai-nilai, dan kaidah-kaidahnya telah memberi
pengaruh yang kuat terhadap budaya Betawi. Sehingga dalam bertindak dan
melaksanakan upacara adat, orang Betawi biasanya mengacu pada nilai dan norma
budaya Islam.59
Di Ciganjur ada beberapa tradisi ketika tahun 70 sampai 90 an masih sangat
berkembang, yaitu tradisi khataman Al-Qur‟an bagi mempelai wanita sebelum
melaksanakan pernikahan. Tradisi pernikahan biasanya dilaksanakan selama 2
hari 2 malam, dan untuk mengundang para tetangga, biasanya dua atau tiga orang
ibu-ibu dari pihak keluarga keliling kampung mendatangi tiap-tiap rumah dengan
maksud mengundang, undangannya pun bukan hanya untuk sekedar datang tapi
untuk menginap. Jadi ada sebutan kalau mengundang pernikahan yaitu “mau
ngajak nginep”.60
Ada juga tradisi yang menjadi khas disana yaitu pada saat khitanan
(sunnatan) semua teman-teman laki-lakinya mengarak atau mengiring anak yang
mau di khitan itu untuk berendam di kali pada pagi hari, dan teman-temannya itu
masing-masing membawa berbagai macam kue, pisang dan lain-lain, yang
digunakan untuk melempari si anak itu apabila dia keluar dari air, karena anak
yang akan di khitan tadi di suruh untuk menyelam supaya kedinginan yang
akhirnya memudahkan proses khitanan nanti, hal itu dikarenakan dahulu belum
ada obat bius, dan tradisi ini dimaksudkan sebagai pengganti obat bius.61
Pada perayaan maulid ada juga beberapa tradisi yang menjadikan
kebersamaan antar masyarakat Ciganjur ini menjadi erat, karena kesemarakan
yang dilakukakan masyarakatnya, beberapa hari sebelum dilakasnakannya maulid
Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan memasang pajangan-pajangan, pohon-
59
Yahya Andi Saputra dkk, Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat, (Jakarta: Lembaga
Kebudayaan Betawi (LKB) Bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000),
h. 5 60
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017 61
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

26
pohonan hias dan obor-obor dari bambu yang dipasang di sekitar masjid serta
sebagian jalan, karena dulu masih belum banyak penggunaan listrik.62
62
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

27
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN TARI BLENGGO
A. Pencak Silat
Menurut para pendekar, istilah pencak silat dibagi dalam dua arti yang
berbeda. Menurut guru pencak silat Bawean, Abdus Syukur menyatakan sebagai
berikut:63
“Pencak adalah gerakan langkah keindahan dengan menghindar, yang
disertakan gerakan yang berunsur komedi. Pencak dapat dipetontonkan
sebagai sarana hiburan, sedangkan silat adalah unsur teknik bela diri
menangkis, menyerang, dan mengunci yang tidak dapat diperagakan di
depan umum.”
Pernyataan yang sama juga dikemukakan Mr. Wongsonegoro sebagai ketua
IPSI64
yang pertama mengatakan bahwa pencak adalah gerakan serang bela yang
berupa tari dan berirama dengan peraturan adat kesopanana tertentu yang bisa
dipertunjukkan di depan umum. Silat adalah inti sari dari pencak, ilmu untuk
perkelahian atau membela diri mati-matian yang tidak dapat dipertunjukkan di
depan umum. Selanjutnya dalam rangka mempersatukan perguruan pencak dan
perguruan silat maka PB IPSI65
beserta BAKIN pada tahun 1975 mendefinisikan
sebagai berikut:66
“Pencak silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela,
mempertahankan eksistensi (kemandiriannya), dan integritasnya terhadap
lingkungan hidup/alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna
meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.”
Pencak silat memiliki empat aspek yaitu; aspek mental spiritual, aspek seni,
aspek bela diri dan aspek olahraga. Salah satunya adalah aspek seni yang memiliki
memiliki arti budaya dan permainan “seni” pencak silat ialah salah satu aspek
yang sangat penting. Istilah pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni
63
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 85 64
IPSI adalah Ikatan Pencak Silat Indonesia 65
PB IPSI adalah Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia 66
Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa, h. 86

28
tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisioanl. Aspek seni dari pencak
silat merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk kaidah gerak dan irama,
sehingga perwujudan taktik ditekaknkan kepada keselarasan, keseimbangan dan
keserasian antara raga, irama, dan rasa.67
Membahas pencak dan tari dalam satu napas adalah membuka suatu
masalah, apakah keduanya memiliki hubungan? Atau bahkan dapat dibandingkan?
dibandingkan? Pencak dan tari mempunyai dua ciri dasar yang sama. Pertama,
keduanya mempunyai aspek olah tubuh yang kuat, dan Kedua, keduanya dibentuk
atau diwarnai oleh kebudayaan yang melingkupinya. Persamaan ini mungkin
keduanya mengandung unsur gerak yang indah dan dalam pernyataan geraknya
memperlihatkan adanya struktur. Selain adanya persamaan dari keduanya terdapat
pula banyak perbedaan. Sebagai landasan untuk memahami pencak dan tari
haruslah dipahami terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan tari dan pencak,
yang dimaksud tari adalah cakupan kegiatan olah fisik yang tujuan akhirnya
adalah ekspresi keindahan, sedang pencak adalah cakupan kegiatan olah fisik
yang tujuan akhirnya adalah bela diri dan kemenangan terhadap lawan.68
Sebagai kegiatan olah fisik, maka pencak dan tari mengembangkan metode-
metode latihan tubuh tertentu. Pada keduanya kemampuan gerak tubuh
dikembangkan sejauh mungkin, terutama ysng berupa kekuatan tubuh dan
kecepatan gerak. Bedanya adalah bahwa pada pencak ditambahkan latihan-latihan
untuk mendapatkan kelebihan atau kekuatan yang luar biasa dari tubuh, serta
untuk memiliki kecepatan reaksi. Pada tari, yang ditambahkan adalah latihan-
latihan untuk mengembangkan kepekaan akan rasa gerak dan rasa irama.
Penekanan kepada rasa yang diarahkan pada penghayatan keindahan ini, jelas
berbeda dengan penekanan pencak kepada efektivitas serangan, tangkisan, elakan,
tangkapan dan sebagainya, disertai dengan kemampuan gerak tipu dan inteligensi
menggunakan situasi, yang semua itu diarahkan pada kemenangan terhadap
lawan.69
67
Erwin Setyo Kriswanto, Pencak Silat, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015), h. 21 68
Edi Sediawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1991), h. 68-
69 69
Edi Sediawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, h. 70

29
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat diperlukan
oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seni tidak dapat dipisahkan
dari pertunjukkan yang menjadi ciri khasnya, entah itu seni musik, tari, silat atau
maen pukulan dan sebagainya. Ada hubungan timbal balik antara kesenian dan
maen pukulan. Dua unsur itu menjadi satu, saling terkait, saling menopang,
membutuhkan, melengkapi, dan menghidupi (simbiosis mutualisme Seni
pertunjukkan Betawi berperan besar dalam kelangsungan hidup maen pukulan,
sebaliknya, unsur-unsur gerakan maen pukulan juga mempengaruhi bentuk-
bentuk kesenian Betawi.70
). Pada pencak silat terdapat unsur-unsur gerak tari,
yang biasa dinamakan Ibing-Pencak.71
Sanggar silat Akta (Akal dan takwa) di Ciganjur memiliki pola gerak silat
yang merendah dan membungkuk, gerak tari Blenggo di Ciganjur mengambil
dasar gerak silat akal dan Takwa yang disebut Koplek. Sanggar Akal dan Takwa
didirikan pada tahun 1965 dengan izin sang guru H. Sa‟amin setelah kelompok
silatnya memenangkan turnamen atau festival silat pada tahun 1965-an tersebut.
Nama Akal dan Takwa mengambil arti filosofi dari kita sebagai manusia harus
menggunakan akal kita, karena akal lah yang membedakan manusia dengan
binatang, dan takwa adalah memiliki arti supaya dalam menjalani kehidupan ini
senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Dalam kegiatan silat di sanggar ini
selalu didahului dengan berdo‟a untuk orang tua, guru-guru serta para leluhur dari
sanggar silat Akal dan Takwa ini. Sebelum melakukan kegiatan silat diwajibkan
untuk berwudhu dan harus sudah menunaikan sholat „isya karena latihan silat
dilakukan di malam hari.72
B. Sejarah Perkembangan Tari Blenggo di Betawi
Blenggo merupakan suatu pementasan tari dan musik khas Betawi. Seni tari
ini telah dikenal di Batavia sejak zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya
seniman Blenggo ini adalah petani. Kata Blenggo sama artinya dengan tari, sebab
70
G. J. Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2016), h. 239-240 71
Atik Sopandi dkk, Pencak Silat, (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1992), h. 47 72
Wawancara Pribadi dengan Ustad Hamid, 25 oktober 2017

30
ada ungkapan “dibelenggoin” yang artinya disertai dengan tarian. Ada pula yang
menyebutkan kata Blenggo berasal dari “lenggang lenggok”, gerakan yang lazim
dalam suatu tarian.73
Berdasarkan musik pengiringnya, tari Blenggo dibagi
menjadi dua yaitu:74
1. Blenggo Rebana, yang dimainkan oleh anggota Group Rebana Biang secara
bergantian.
2. Blenggo Ajeng, yang dimainkan dengan iringan musik Gamelan Ajeng,
yang tidak hanya dimainkan oleh grup rombongan ajeng tetapi juga bagi
orang lain yang berminat terutama orang yang bermaksud membayar kaul.75
Blenggo Ajeng yang dimainkan dalam upacara pernikahan biasanya
dilaksanakan setelah nyapun.76
Di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya terdapat
bermacam-macam ukuran rebana dengan nama dan penggunaan yang berbeda-
beda, yang paling kecil disebut rebana ketimpring, kurang lebih sebesar piring
makan. Ada juga jenis lain dengan ukuran yang hampir sama yang disebut
marawis, yang bentuknya menyerupai tambur cina. Rebana yang agak besar
disebut rebana hadrah dan rebana kasidah. Perbedaan rebana hadrah dan rebana
kasidah terletak pada pasangan kepingan logam pada bagian kayunya. Pada
rebana hadrah terdapat tiga pasang kepingan pada bagian sisinya, berjarak
simetris, sedangkan pada rebana kasidah tidak ada kepingan-kepingan logam itu.
Jenis rebana yang paling besar disebut rebana biang. Kelompok rebana biang ini
terdiri dari tiga macam : yang terbesar dan yang berfungsi sebagai gong disebut
biang atau salun; kemudian yang agak kecil disebut kotek dan yang terkecil
disebut gendung.77
Setiap grup Rebana Biang mempunyai perbendaharaan lagu yang berbeda-
beda, meskipun judul lagunya sama namun cara membawakannya sangat berbeda.
73
Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h.79 74
Tim Peneliti FIB UI, Langgam Budaya Betawi, h. 90 75
Kaul adalah nazar 76
Nyapun adalah menaburi kedua mempelai dengan beras kuning, uang dan bunga-
bunga, diiringi lagu khusus semacam kidung. 77
Mus K. Wirya, Bermain Rebana, (Jakarta: C. V. Yasaguna, Anggota IKAPI, 1981), h.
7

31
Lagu Rebana Biang ada dua macam; pertama berirama cepat yang disebut lagu
Arab, kedua berirama lambat disebut lagu rebana atau lagu Melayu. Jenis lagu
pertama antara lain berjudul: Rabbuna Salun, Allahuah, Allah Aisa, Allahu
Sailillah, Hadro Zikir. Sedangkan jenis lagu kedua: Alfasah, Sholawat Badar,
Alaik Soleh, Dul Sayyidina, Dul Laila, Yulaela, dan Sollu „Ala Madinil Iman.78
Gamelan Ajeng berasal dari kebudayaan Sunda, dan penyebarannya di
bumi Betawi adalah di daerah-daearah yang berbatasan dengan masyarakat Sunda.
Gamelan Ajeng terdapat di daerah Kelapa Dua Wetan, Gandaria, Cirendeu,
Tambun dan Karanggan (Pondok Gede). Peralatan musikanya adalah sebuah
keromong sepuluh pencon, sebuah terompet, gendang (terdiri dari dua buah
gendang besar dan kulantir), dua buah saron, sebuah bende, sebuah cempres
(semacam cecempres), sebuah kecrek. Kadang-kadang ditambah dengan dua buah
gong (gong laki dan gong perempuan).79
Gamelan Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan keluarga,
seperti pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Pada awalnya tidak biasa digunakan
untuk mengiringi tarian, tetapi dalam perkembangannya kemudian digunakan pula
sebagai pengiring tarian yang disebut Blenggo Ajeng. Selanjutnya Gamelan Ajeng
dengan selera masyarakat dan pendukungnya, maka beberapa Gamelan Ajeng
menambah repertoarnya80
dengan lagu-lagu Sunda pop. Bahkan ada pula
digunakan untuk mengiringi tari yapong yang mulai popular sejak era 80-an.
Pendukung atau pemain gamelan ajeng ini adalah petani di daerah pinggiran, yang
tidak mengandalkan kehidupannya dari aktivitas gamelan ajeng, melainkan dari
pekerjaanya bercocok tanam itu. Namun kehidupan mereka kini juga sulit setelah
bumi Betawi dibongkar habis untuk pembangunan dan perluasan kota.81
Di kalangan masyarakat Betawi yang teguh menjalankan syariat agama
Islam, yang untuk mudahnya disini disebut golongan Santri, penampilan penari
perempuan kurang dikehendaki. Blenggo Rebana Biang ditarikan dengan
78
Rubingat, Rebana (Musik dan Lagu Tradisional Islami), (Jurnal Jantra, Vol VIII, No 2.
Desember 2012), h, 151 79
Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, h. 330-331 80
Repertoar adalah persediaan nyanyian, lakon, dan opera yang yang dimiliki seseorang
atau kelompok seni yang siap untuk dimainkan 81
Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, h. 331

32
menggerak-gerakkan tangannya sambil berjongkok dan gerak tarian mengambil
pola gerak silat. Oleh karena itu, langkah kaki agak pendek hampir tidak diangkat
dan sikap badan agak membungkuk, kemudian berputar dalam lingkaran sempit
ke arah kiri. Penari merupakan anggota dari kelompok yang memainkan musik
pengiring Rebana Biang sendiri dengan menari secara bergantian. Demikianlah
maka tari-tari Zapin, Samrah dan Blenggo yang didukung umumnya oleh
golongan santri tidak biasa dilakukan oleh kaum perempuan.82
C. Sejarah dan Perkembangan Tari Blenggo di Ciganjur
Sejarah awal dari tari Blenggo adalah dari alat musik Rebana Biang yang
dibawa dari Banten ke Ciganjur sekitar abad 19, oleh pak Haji Tua Kumis. Awal
mulanya pak Haji Tua Kumis ini mengajar mengaji. Seiring berkembangnya
agama Islam maka dikenalkan pula alat musik Rebana Biang ini, proses
pengenalannya adalah dengan cara selepas mengajari ngaji, pak Haji Tua Kumis
memainkan Rebana Biang, dan biasanya dalam pengajian orang Betawi selalu
terdapat pelatihan silat di dalamnya. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa
dahulu belajar ngaji tidak dapat di pisahkan dengan belajar maen pukulan atau
belajar silat, dan pada umumnya guru ngaji juga merupakan seorang yang mahir
maen pukulan.83
Akhirnya dengan bersamaannya permainan rebana ini dengan
latihan silat, digunakan untuk mengiringi gerak silat, dengan istilah ketika
memainkan Rebana Biang adalah “diblenggoin” yang artinya ditarikan atau
digerakkin. 84
Lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Islami yang diambil dari
Sharaf Al-Anam (Barzanji) berupa syair-syair yang menceritakan tentang sejarah
kelahiran Nabi Muhammad Saw yang isinya juga menyebarkan ajaran moral
Islam, dan menganjurkan umat untuk berbuat baik dengan mencontoh apa yang
dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam bentuk qosidah.85
82
Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h. 79 83
Saputra dkk, Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat, h. 22-23 84
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur,
12 Oktober 2017, Pukul 10.00 85
Zulkarnain Yani, Seni Sharaf Al-Anam dan Rodat di Palembang sebagai Seni
Bernuansa Keagamaan, ( Penamas, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Kemasyarakatan , volume
28, nomor 3, oktober-desember 2015, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,
akreditasi LIPI), h. 429

33
Pada tahun 70-an semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, yang mana
mulai bangkit kembali kesenian Betawi, terutama pada acara pembukaan
pralokakarya penggalian dan pengembangan seni-budaya Betawi tahun 1976,
untuk peresmian acara tersebut Gubernur Ali Sadikin menggunakan Rebana
Biang, yang sebelumnya bernama “Terbang Gede”, Gubernur Ali Sadikin
menyebutnya “itu ambil biangnya, rebana yang biangnya” dengan maksud rebana
yang paling besar. Penyebutan tari Blenggo sebagai sebuah tari juga disarankan
oleh Gubernur Ali Sadikin karena untuk membedakan dengan tari-tarian Betawi
yang lainnya, seperti topeng, cokek dan lain-lain.86
Rebana adalah alat musik berkulit yang bernafaskan Islam, yang
dipergunakan sebagai sarana upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,
pernikahan, khitanan dan sebagainya. Salah satu dari macam- macam rebana itu
adalah Rebana Biang yang merupakan musik Betawi yang berukuran besar,
bernafaskan Islam, dengan instrument pokok 3 buah rebana yaitu Gendung, Kotek
dan Biang. Biasanya pertunjukkan Rebana Biang ini diadakan pada upacara
pernikahan, khitanan, Maulid Nabi Muhammad SAW dan acara syukuran
lainnya.87
Ukuran-ukuran Rebana Biang di Ciganjur:88
Rebana Gendung:
- Diameter atas : 32 cm
- Diameter bawah : 21 cm
- Tinggi badan : 10 cm
- Tebal badan : 2 cm
- Berat badan : 1 Kg
Rebana Kotek:
86
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur,
12 Oktober 2017, Pukul 10.00 87
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional
Betawi, 2000), h. 90 88
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional
Betawi), h. 58-59

34
- Diameter atas : 42 cm
- Diameter bawah : 22 cm
- Tinggi badan : 10 cm
- Diameter Wengku : 50 cm
- Tebal badan : 2,5 cm
- Berat badan : 1,5 Kg
Rebana Biang:
- Diameter atas : 80 cm
- Diameter bawah : 27 cm
- Tinggi badan : 16 cm
- Diameter Wengku : 88 cm
- Tebal badan : 3 cm
- Berat badan : 2,5 Kg
Berikut cara memainkan Rebana Biang:89
1. Gendung ada tiga suara teng, dung, pak, untuk memainkan rebana gendung
yaitu posisi kaki ditekuk, dengkul di atas dan Rebana disandarkan di kaki,
setelah itu rebana di cagah dengan jari-jari kaki, supaya tidak goyang pada
saat di pukul.
2. Bunyi suara rebana kotek adalah teng, dung, pak, rebana koteg ini berfungsi
sebagai melodi. Untuk cara bermainnya sama seperti rebana gendung.
3. Rebana Biang memiliki bunyi teng, piung, dung, untuk cara bermainnya
dengan posisi kaki ditekuk lalu telapak kaki dipertemukan dan Rebana
Biang dijepit di antara telapak kaki supaya suaranya yang keluar bagus.
Tetapi berdasarkan gambar berikut tidak menggunakan cara tersebut
melainkan dengan cara kaki di tekuk dan kaki kiri sbegai penyanggah
rebana.
H. Damong adalah orang Ciganjur pertama yang belajar Rebana Biang
dari bapak Kumis. Melalui H. Damong inilah kemudian kesenian Rebana Biang
makin populer, sehingga melahirkan generasi penerus seperti H. Bitong, H.
89
“Tutorial Bermain Alat Musik Rebana Biang”, https://www.youtube.com/watch?v=dXovOjxh6Fg, diakses pada tanggal 15 November 2017

35
Amsir, H. Abdullah dan lain-lain. Kepopuleran H. Damong yang melestarikan
Rebana Biang sehingga namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di
kawasan Ciganjur yang bernama gang H. Damong. H. Sa‟aba menjadi generasi
ketiga yang meneruskannya kepada generasi keempat yaitu H. Abdurrahman,
Engkos, H. Mursidi dan lain-lain. H. Abdurrahman meneruskan dan
mengembangan kesenian Rebana Biang ini, yang kemudian pada tahun 1986
mendirikan Grup Rebana Biang Pusaka. Kata “pusaka” yang diambil sebagai
makna yang mengacu kepada makna peninggalan atau warisan dari orang tua.90
Menurut H. Abdurrahman kesenian Rebana Biang ini harus di lestarikan
karena untuk menghibur masyarakat dan menjadi alat dakwah. Berdasarkan pesan
dari leluhur H. Abdurrahman, bahwa kesenian ini harus di jaga, karena suatu saat
kesenian ini akan timbul kembali, yang akhirnya terbukti pada masa pemerintahan
Gubernur Ali Sadikin, dengan diangkatnya kembali kesenian Rebana Biang ini.
Dalam pementasan tari Blenggo hampir keseluruhan pemainnya adalah laki-laki,
tetapi berdasarkan pengakuan dari H. Abdurrahman, sekitar tahun 2016 ada
beberapa siswa dari SMK 57 yang belajar kesenian Rebana Biang dan tari
Blenggo, terdiri dari lima perempuan dan dua laki-laki. Pementasan tari Blenggo
yaitu setelah permainan musik Rebana Biang dimainkan untuk beberapa lagu,
baru setalah di tengah-tengan permainan musik dipentaskanlah tari Blenggo.91
Seni pertunjukkan Rebana Biang merupakan sebuah kesenin ritual yang
diajarkan setelah pengajian. Dalam perkembangannya seni Rebana Biang ini
bergeser menjadi sebuah hiburan yang mengiringi teater dan tari, yaitu teater
Blantek dan tari Blenggo, memeriahkan berbagai perayaan seperti pernikahan,
khitanan, dan lain-lain. Pergeseran dari sarana ritual ke sarana hiburan disebabkan
oleh beberapa faktor: 1) faktor ekonomi, dikarenakan para pemain rebana biang
tidak mempunyai pekerjaan tetap, 2) pemahaman audiens, karena pertunjukkan
Rebana Biang dahulunya hanya untuk ritual setelah pengajian yang isinya hanya
shalawat, susah dipahami dan membosankan kemudian berkembang dengan
90
Sylviana Murni, ed, Database Orang Betawi, (Dinas Komunikasi, Informatika dan
Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2012), h. 87-88 91
Wawancara Pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

36
menambahkan lagu-lagu rakyat seperti “Anak Ayam” agar pertunjukkan Rebana
Biang lebih menarik dan dipahami oleh penonton.92
Adapun kostum yang dikenakan dalam penyajian Rebana Biang adalah:93
a. Pakaian Kepala
Para pemain rebana biasanya memakai peci. Ada yang mengenakan peci
hitam, peci merah, dana ada pula yang memakai kopiah haji. Untuk peci yang
biasa digunakan di Ciganjur adalah peci dengan warna hitam polos.
b. Pakaian Badan
Kemeja yang dikenakan para penggarap rebana disesuaikan dengan pakaian
adat Betawi dan pakaian Islam, terutama tentang warna yaitu warna putih atau
warna hitam. Ada pula diantara para pemain rebana yang mengenakan jas atau jas
tong, serta ada yang mengenakan gamis putih atau Takwa.
c. Celana
Celana yang dipakai para pemain rebana adalah: Pantalon (celana panjang),
celana pangsi putih atau pangsi hitam. Ada pula yang memakai celana batik.
d. Kain sarung
Di samping celana, secara tradisi Betawi para pemain rebana mengenakan
kain sarung poleng. Pemakaian kain sarung itu ada yang diselendangkan pada
bahu, ada pula yang dibelitkan pada pinggangnya masing-masing menutupi
sebgaian celana pangsi.
92
Mahmudah, Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa
Keagamaan, h. 303-304 93
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, h. 70-71

37
BAB IV
MAKNA SIMBOL DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR
A. Makna Simbol Dalam Tari Blenggo di Ciganjur
1. Nilai Religiusitas
Dalam kelompok sosial keagamaan di masyarakat terdapat komunikasi
religius. Suatu komunikasi dikatakan bersifat religius apabila memiliki salah satu
ciri sebagai berikut, 1) terjadi antara komunikan dengan komunikatornya, seperti
antara Tuhan dan Rasul-Nya, antara nabi dan pengikutnya, antara imam dan
jamaahnya, 2) isinya merupakan pesan-pesan ajaran suatu agama, ada yang
langsung ayat dan ada pula yang berupa interpretasi dari yang menyampaikan
atau, 3) kemasan dan cara menyampaikan bersifat religius,seperti dimulai dan
disudahi dengan doa oleh pemuka agama, dikuatkan dengan dalil-dalil dari kitab
suci, dengan gaya menyampaikan ajaran agama, seperti dnegan pendekatan
keyakinan, dan lain sebagainya.94
Keberagaman masyarakat Betawi dapat terlihat pula dalam musik-musik
Betawi yang mendapat pengaruh dari berbagai bangsa, seperti musik Keroncong
Tugu mendapat pengaruh dari Portugis, Gambang Kromong memiliki pengaruh
dari Cina, sementara musik Samrah dan Rebana mendapat pengaruh dari Arab.
Ada pula beberapa alat musik yang memiliki nilai religiusitas, salah satunya
adalah rebana, karena musik Betawi tidak hanya sebagai hiburan saja, berbagai
macam rebana dengan lagu-lagunya yang khas merupakan musik Betawi yang
bernafaskan nilai-nilai ajaran Islam. Lirik-lirik lagu rebana merupakan lirik yang
berbahasa Arab, lirik lagu tersebut berisi doa-doa.95
Nilai religius dapat dilihat pula dalam kegiatan sebelum pementasan tari
Blenggo. Berdasarkan keterangan dari H. Abdurrahman, ada kewajiban yang
harus dilakukan sebelum mementaskan seni musik Rebana Biang dan tari Blenggo
yaitu memanjatkan doa untuk para sesepuh yang telah meneruskan untuk
melestarikan seni Rebana Biang, karena jika sebelum pementasan para pemainnya
94
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2006, h. 256 95
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Langgam Budaya Betawi, h. 41-42

38
tidak berdo‟a terlebih dahulu, maka pementasan musik dan tarinya akan
berantakan. Dahulu permainan alat musik Rebana Biang ditampilkan sehabis isya‟
dengan bermaksud untuk menarik minat masyarakat untuk mengaji dan bermain
Rebana Biang, karena pada waktu setelah sholat isya itu kebanyakan masyarakat
sudah terlepas dari akivitas kehidupannya sehari-hari. Bagi para senimannya pun
diharuskan untu taat menjalankan ibadah sholat lima waktu, sebagai bentuk
ketaatan kepada Allah SWT. Dalam kostum yang dikenakan oleh penari Blenggo
yaitu memakai pakaian sehari hari masayarakat Betawi seperti baju koko putih
dan celana batik, juga kebanyakan memakai baju silat yang serba berwarna hitam.
Dua warna antara hitam dan putih ini menunjukkan perbedaan warna yang
mencerminkan dua sisi yang berbeda namun bisa tetap satu dan berpadu.96
2. Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo
a. Makna dalam gerakan Tari Blenggo
Tari Blenggo tidak sama dengan tarian tradisioanal Betawi lainnya yang
memiliki pola gerak, seperti pola lantai, gerakan pertama gerakan inti atau
gerakan penutup. Tari Blenggo tidak memiliki pola gerak tarian yang tetap, karena
karena apabila dilihat dari sejarah terciptanya tari Blenggo seperti yang telah
penulis jelaskan bahwa tari Blenggo merupakan pengiring dari Rebana Biang
yang dimainkan seusai mengaji, jadi gerakan dalam tari Blenggo tergantung dari
perbendaharaan silat si penari, karena tarian Blenggo ini setengah dari silat atau
mengambil pola silat. Dalam bidang tari, yang menyebabkan suatu tarian
dianggap bersifat Islam atau tidak adalah kandungan pesannya, dan bukan pada
pertamanya gaya atau tekniknya. Berdasarkan wawancara dengan pelaku seni tari
Blenggo di Ciganjur yaitu H. Abdurrahman yang juga merupakan ketua dari
sanggar Rebana Biang Pusaka mengemukakan bahwa gerak dalam tari Blenggo
sebagai berikut:97
96
Wawancara Pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka, 12
Oktober 2017 97
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka,12
Oktober 2017

39
1. Gerakan pertama adalah gerakan salam, Secara bahasa salam artinya
keselamatan, kedamaian, ketenterama dan keamanan.98
Gerakan salam ini
dengan tubuh setengah membungkuk ke depan seperti salah satu gerakan
dalam sholat yaitu ruku, dengan kedua tangan disatukan. Dalam gerakan
tersebut merupakan gerakan salam pembuka sebagai simbol penghormatan.
2. Gerakan kedua masih dengan sikap tubuh yang membungkuk dan merendah
dengan gerakan kaki yang diangkat agak pendek, sambil kedua tangan
digerak-gerakan bergantian. Dengan sikap gerak tubuh yang membungkuk
dan merendah merupakan simbol kesopanan
3. Gerakan ketiga adalah berputar dalam lingkaran sempit ke arah kiri, masih
dengan sikap tubuh yang sama serta gerakan tangan dan kaki yang sama.
Gerakan tari yang “memutar ke kiri dalam” dapat dimaknai sebagai thawaf
bagi orang Islam pada saat naik haji mengitari Ka‟bah.99
4. Gerakan keempat adalah salam penutup. Bentuk gerakannya sama dengan
gerakan salam pembuka
Tari Blenggo ditarikan dengan menggerak-gerakkan tangannya sambil
berjongkok dan gerak tarian mengambil pola gerak silat. Gerak tarian yang
mengambil pola gerak silat sesungguhnya memiliki nilai etis yang bersiap untuk
melindungi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdurrachem sebagai
seniman Betawi yang juga sebagai pengamat tari Blenggo serta menjadi pelaku
seninya juga, mengatakan bahwa keseluruhan gerak dalam tari Blenggo hampir
semua gerakannya membungkuk atau merunduk dan gerak tari yang mengambil
pola silat gerak kakinya kebanyakan menghimpit ke dalam serta dalam
gerakannya tidak ada yang mengangkat kaki melebihi dari paha, hal itu
mencerminkan sopan santun dan agar kita selalu berbudi luhur.100
Keseluruhan gerakan tari Blenggo di Ciganjur yang merupakan setengah
silat, diambil dari pola gerak silat yang dinamakan Koplek yang juga memiliki
98
Abdul halim Fathani, Ensiklopedi hikmah: Memetik Buah Kehidupan di Kebun
Hikmah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008), h. 462 99
Tim Peneliti FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, h. 67
100
Wawancara pribadi dengan Bapak Abdurrachem, Dinas Pendidikan Jakarta, 01
November 2017

40
pola gerak silat dengan sikap gerak tubuh merunduk serta merendah. Gerakan
tersebut memiliki arti agar kita sebagai manusia tidak sombong dan selalu rendah
hati. 101
Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat ke-18:
ا إن ح ر رض م ل تمش في ال لناس و ك ل د ر خ ل تصع و
تال فخور خ ل م ل يحب ك للا
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.”
Berdasarkan wawancara dengan ustad Hamid, selaku ketua Sanggar silat
Akal dan Takwa, inti dari makna gerakan-gerakan silat Koplek adalah sikap sopan
dan ramah dalam berseni, jangan angkuh dan punya sifat sombong dalam seni
bela diri, harus rendah dalam wibawa, tinggi di dalam kebaikan.102
b. Makna dalam Instrumen Tari Blenggo
Rebana merupakan alat musik yang bernuansa keagamaan dapat dilihat pula
dari kata rebana itu sendiri yaitu rebana berasal dari kata robbana artinya adalah
wahai tuhan kami (suatu doa dan pujian terhadap Tuhan).103
Rebana juga
dijadikan sebagai media hiburan, pergaulan sosial, dan sebagai alat upacara
keislaman. Kemudian bila ditinjau dari fungsinya, rebana merupakan instrument
musik pukul (perkusi) yang berguna sebagai pengiring lagu dan tari-tarian yang
bernuansa Islami.104
Berdasarkan wawancara dengan H. Abdurrahman bahwa
dalam pemeliharaannya, rebana ini tidak boleh dilangkahi, karena ini merupakan
pusaka orang tua, jadi kita harus menghormati leluhur. Rebana Biang juga
menjadi simbol seni musik khas Betawi, yang pada bagian lingkaran rebananya
101
Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, Padepokan Akal dan Takwa, 25 Oktober
2017 102
Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, 25 Oktober 2017 103
Rubingat, Rebana; Musik dan Lagu Tradisional Islami, h. 146 104
Hasmawi, Seni Musik Rebana, (Aceh: CV. Sepakat Baru, Darussalam, 1995), h. 3

41
masih menggunakan pasak (sejenis paku berbahan kayu atau bambu), yang
digunakan sebagai penyanggah di bagian lingkaran rebana.105
Instrument dalam tari Blenggo di Ciganjur adalah Rebana Biang, seperti
yang telah dijelaskan di atas, Rebana Biang terdiri dari tiga Rebana yang
dinamakan gendung, kotek dan biang. Menurut kebiasaan setiap jenis rebana
selalu dimainkan secara berkelompok, yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
orang atau lebih, hal ini merupakan keharusan karena prinsip permainan rebana
pada dasarnya harus bersahut-sahutan, demikian dengan nyanyiannya.106
Alat
musik rebana dianggap menjadi instrumen khas Islam karena memang sebagain
besar nyanyian-nyanyian yang diiringi oleh rebana mengandung pesan-pesan
keislaman, seperti puji-pujian untuk atau riwayat dari Nabi Muhammad Saw.
Ada beberapa lagu Islami yang dibawakan dalam pementasan Blenggo
Rebana adalah Allahuah, Allah-Allah, Shollu „ala madanil iman, An-Nabi ya man
hadhor, Shollu Robbuna, Alfa Shollu, Sholawat Badar, serta ada pula lagu rakyat
lain yang dibawakan seperti Anak Ayam, Sangrah, Sirih Kuning, Jali-Jali dan
Ondel-Ondel. Salah satu lagunya adalah Sholawat Badar yang berisikan tentang
puji-pujian kepada Rasulullah SAW, dan berisikan do‟a-do‟a kepada Allah
SWT.107
c. Makna simbolik pada busana dalam Tari Blenggo
Dilihat dari kostum yang digunakan oleh pemain Rebana Biang,
berdasarkan pernyataan bapak Haji Abdurrahman dahulu menggunakan baju
berwarna hitam, karena zaman dahulu banyak sekali kejahatan di jalanan dan
pertunjukkan Rebana Biang dilakukan semalam suntuk sekitar dari jam 19.00
sampai jam 04.00 pagi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
makanya digunakanlah kostum berwarna hitam. Bila dilihat pertunjukkan Rebana
Biang dahulu dan sekarang, tampak perbedaan yang mencolok yaitu, dahulu
pertunjukkan Rebana Biang dilakukan semalam suntuk dengan beberapa lagu,
105
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka, 12
Oktober 2017 106
Wirya, Bermain Rebana, h. 7-8 107
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

42
namun untuk prtunjukkan yang sekarang hanya dua atau tiga lagu yang dibawkan.
Hal ini dipengaruhi oleh para pemaian Rebana Biang yang sudah lanjut usia.108
1) Peci Hitam dan Sarung
Pemakaian peci merupakan bagian dari identitas ke-Betawian dan tren bagi
laki-laki Betawi. Biasanya peci juga digunakan oleh para pendekar, jawara, dan
jagoan maen pukulan (pencak silat), bagi orang Betawi yang tidak memakai peci
dianggap gundul. Peci yang digunakan sebagai identitas orang Betawi umumnya
berwarna hitam polos tanpa motif dan berbahan beludru. Posisi peci harus tepat
saat digunakan, yaitu sudutnya terletak didepan dan dibelakang. Peci menjadi
simbol perlawanan nasional seiring lahirnya ide nasionalisme. Soekarno juga
menetapkan bahwa peci dan sarung sebagai simbol dari perlawanan terhadap
kolonialisme. Peci juga sering dipadankan dengan jas 109
peci hitam yang khas
bagi orang Betawi adalah yang berbahan Beludru dan berwarna hitam polos tanpa
ada motif atau corak apapun.110
Bagi masyarakat Betawi sarung juga merupakan identitas dari ke-Betawian,
selain digunakan untuk ibadah sholat, sarung juga digunkan oleh para jawara dan
jago maen pukulan yang terkadang bisa dijadikan pula sebagai senjata, terutama
bagi mereka yang dari pesantren dan berlatar belakang agama yang kuat. Ada dua
gaya pemakaian sarung, peletakan sarung di pundak sebagai identitas bahwa
mereka memiliki kemampuan maen pukulan, sedangkan apabila sarung tidak
dijadikan sebagai senjata maka akan diikatkan ke pinggang, digulung-gulung
sebagai ikat pinggang.111
Peletakkan posisis sarung disinyalir diadaptasi dari
cukin (syal putih) yang dikenakan jago-jago kuntao Tionghoa peranakan di
Betawi. Bagi masyarakat Betawi yang agamis, penggunaan sarung di pundak
merupakan transformasi ekspresi kebudayaan yang digambarkan dalam “shalat
dan silat / hablum minallah dan hablum minannas”.112
108
Mahmudah, Pertunjukkan Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa
Keagamaan, h. 304 109
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 266- 268 110
Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017 111
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 271 112
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 289

43
2) Baju Tikim dan Celana Pangsi
Baju Tikim dan celana Pangsi merupakan pakaian yang pada umumnya
dipakai oleh para pemain pencak silat. Belakangan ini baju tikim yang m
erupakan pakaian tradisonal Betawi sering juga disebut baju sadariah dan
baju koko. Baju tikim pada umumnya tidak berkerah karena diadaptasi dari
kebanyakan orang Tionghoa di Batavia, dan memiliki lima kancing yang awalnya
bahan kancing terbuat dari bahan yang dipilin. Baentuk kancing yang jantan
menyerupai kepala capung113
, sehingga disebut kancing kepala capung.114
Pada umumnya pakaian mereka adalah baju kampret berwarna hitam
dengan kancing jepret model baju sadariah model leher tali sepatu, atau lebih
dikenal dengan daun tikim. Memakai celana pangsi hitam yang dilipat serta
digulung sebagaimana memakai kain, karena celana ini bentuk atasnya tidak
memakai tali atau karet sebagaimana celana kolor. Celana pangsi ini berasal dari
daratan Cina, semua pesilat akan memakai celana ini bila sedang mengadakan
latihan. Bagian atas celana ditutup dengan ban pinggang besar dari kulit dan
berkantung model tutup silang. Ban ini berguna pula sebagai tempat untuk
menyelipkan golok mereka yang biasanya berada di pinggang kiri.115
Celana pangsi yang biasnya digunakan oleh pesilat berukuran lebar, dan
wrana yang pada umumnya digunakan adalah hitam, putih, kuning gading, biru
tua dan abu-abu. Pada zaman dulu pewarna yang digunakan berasal dari alam,
seperti hitam dari pembakaran arang, kuning gading dari kunyit dan biru tua dari
olahan pohon nila. Cara memakai celana pangsi ini dililitkan di pinggang seperti
sarung, agar tidak melorot diikat dengan angkin atau kain. Penggunaan angkin
digantikan dengan gesper kulit atau gesper haji. Sedangkan untuk sekarang ini
celana pangsi dibuatkan tali di tengah untuk mempermudah pemakainya.116
3) Baju koko putih dan celana batik
113
Bagi masyarakat Cina, capung sebagai simbol kemakmuran dan keberuntungan 114
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 269-270 115
Yasmine Zaki Shahab, dkk, Busana Betawi, Sejarah & Prospek Pengembangan,
(Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Dinas Museum dan Pemugaran, 2000), h.
82-83 116
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 270

44
Baju koko putih yang seringkali disebut dengan sadariah merupakan baju
keseharian orang Betawi yang erat dengan warna pengaruh Islam. Biasanya
dikenakan bersamaan dengan celana batik komprang atau disebut dengan celana
boim, celana ini merupakan celana yang baisa digunakan oleh pria Betawi untuk
mengaji.117
Batik Betawi boleh dikatakan. Betawi atau Jakarta adalah kota niaga. Batik
dibuat untuk diperdagangkan, jadi sifatnya komersial. Motif batik dibuat
berdasarkan pesanan konsumen. Karena itulah kita bisa menemukan motif seperti
sawat/gurdo atau garuda yang merupakan ciri batik Solo-Yogya (tapi di Betawi
namanya Gajah Mada atau Tapak Kebo). Tetapi batik Betawi mengalami
perkembangan yaitu pada tahun-tahun terakhir ini yang banyak dibuat ialah kain
yang menggambarkan ciri Jakarta seperti ondel-ondel, Monumen Naional, dan
flora fauna yang didapati di Jakarta umpanyanya saja elang bondol atau ulung-
ulung. Kain-kain itu diberi kepala bermotif pucuk rebung, dan warna pada batik
Betawi biasanya menggunakan warna yang mencolok.118
4) Sabuk atau Gesper Haji
Bagi jawara dan jago maen pukulan gesper haji digunakan sebagai penahan
perut agar organ tubuh bagian bawah tidak mengalami gangguan ketika
melakukan beberapa jurus silat, selain itu gesper haji memang juga digunakan
sebgai ikat pinggang agar celana tidak melorot. Gesper haji disebarluaskan oleh
ulama, guru, serta orang-orang Betawi sepulang menunaikan ibadah haji di
Mekkah.119
B. Respon Masyarakat Terhadap Tari Blenggo di Ciganjur
Seni (kesenian) adalah sebagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan
meliputi seluruh kehidupan manusia dalam bermasyarakat, baik lahir maupun
batin. Kebudayaan adalah usaha manusia untuk melengkapi dan meningkatkan
taraf hidupnya. Oleh sebab itu kebudayaan adalah ciptaan manusia, dan seni
117
Tim Peneliti FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, h. 118 & 120 118
Hartono Sumarsono dkk, Batik Betawi, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia, 2017), h. 61 119
Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 274

45
adalah merupakan salah satu aspeknya. Sebagai aspek kebudayan, seni adalah
juga hasil ciptaan manusia. Kesenian itu melekat pada kehidupan manusia. Di
mana ada manusia, disitu ada keindahan (estetik) yang merupakan aspek atau
hakikat dai seni.120
Pada tahun 70-an adalah masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Pada
masa itu terjadi banyak sekali perkembangan baik itu di bidang pendidikan,
agama, kebudayaan/kesenian, pariwisata dan lain-lain. Pada tahun- tahun itulah
salah satunya seniman mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk terus
mengembangkan kesenian dengan berbagai program yang telah direncakan oleh
Gubernur sebagai wadah para seniman berkreatifitas.
Dengan kembali dilestarikannya kesenian Betawi semakin semaraklah para
penikmat seni Betawi untuk terus melestarikan dan selalu menyaksikan segala
bentuk kesenian dari Betawi. Untuk seni Rebana Biang yang diiringi dengan tari
Blenggo masih menjadi salah satu seni yang disukai oleh masyaarakat setempat.
Hal itu bisa dilihat dari beberapa orang yang telah penulis wawancarai, yang
penulis dapat menyebutkannya dalam beberapa hal: Pertama, masyarakat masih
berminat dengan seni Rebana Biang karena latar belakang sosial kebudayaan
masyarakatnya adalah Betawi Religius, sehingga kesenian rebana sudah tentu
menjadi kesenian yang diutamakan. Kedua, belum adanya beragam musik lain
yang ada, sehingga Rebana Biang menjadi salah satu kesenian yang sering tampil
di daerah Ciganjur. Namun setelah masuknya beberapa hiburan lain menjadikan
kesenian ini mengalami pasang surut.
120
H. D. Mangemba, Masyarakat dan Kesenian Indonesia, (Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin Makassar, 1992), h. 2-3

46
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tari Blenggo yang merupakan seni tari tradisioanal khas Betawi menjadi
salah satu kesenian yang dapat dikatakan hampir punah untuk saat ini. Dengan
beberapa penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Ciganjur merupakan salah satu wilayah tempat berkembangnya seni musik
Rebana Biang dengan tari Blenggonya, dan yang menjadi satu-satunya saat
ini wilayah yang masih berkembang kesenian tersebut dengan nama sanggar
“Rebana Biang Pusaka”. Mayoritas masyarakatnya yang merupakan etnis
Betawi religi menjadikan salah satu faktor tetap berkembangnya seni musik
Rebana Biang dengan tari Blenggonya. Mayoritas masyarakatnya bahkan
hampir keseluruhannya beragama Islam, menjadikan pengaruh besar dalam
kehidupan dan segala tradisi pada masyarakatnya.
2. Sejarah dan perkembangan tari Blenggo di Ciganjur diawali dengan Pak
Haji Tua Kumis yang datang ke Ciganjur untuk mengajar mengaji dan
belajar Rebna Biang, dan biasanya dalam pengajian selalu ada juga seni bela
diri seilat, sehingga seni musik Rebana Biang digunakan untuk mengiringi
latihan silat. Akhirnya ada istilah bermain Rebana Biang sambil diblenggoin
yang artinya digerakkin. Pak H. Damonglah yang pertama belajar dengan
pak H. Tua Kumis sehingga diturunkan kepada generassi-generasi
keturunan selanjutnya.
3. Makna-makna simbol yang terdapat dalam tari Blenggo salah satunya
adalah gerakan tariannya yang mengambil pola dasar silat yang serba
membungkuk dan merendah mencerminkan kesopanan, berbudi luhur dan
tidak sombong atau meninggikan hati. Dalam instrument musik dan lagunya
yaitu menggunakan alat musik Rebana Biang yang merupakan musik yang
bernuansa keagamaan serta lagu-lagunya yang kebanyakaan
mengungkapkan akan keagungan Tuhan dan Rasul Nya. Dari kostum yang
digunakan adalah pakaian kesharian khas Betawi dan pakaian silat yang

47
mencerminkan kesedehanaan serta ada corak keagamaan yang terdapat
dalam kedua kostum tersebut adalah peci hitam yang menjadi simbol umat
muslim yang taat kepada agama.
B. Saran
Dalam penulisan tentang makna simbol dalam kesenian tari Blenggo di
Ciganjur, penulis berharap dapat memberi sedikit pengetahuan tentang makna-
makna yang banyak terkandung nilai-nilai Islami, juga nilai-nilai luhur di
dalamnya. Penulis berharap lebih banyak lagi peminat baik itu anak-anak ataupun
remaja, baik itu dari masyarakat Ciganjur ataupun masyarakat di luar wilayah
Ciganjur yang akan terus melestarikan kesenian yang memang hanya satu-satunya
di tanah Betawi ini. Untuk pemerintah baik itu tingkat kelurahan, kecamatan
ataupun Provinsi dapat lebih memperhatikan kelestarian dari kesenian Blenggo
Rebana ini.

48
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abu, Rifai, ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Andi Saputra, Yahya dkk. Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat. Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bekerjasama dengan Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000.
Arif, Syaiful. Refilosofi Kebudayaan, Kebudayaan Pascastruktural. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010.
Chaer, Abdul. Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi.
Jakarta: Masup Jakarta, 2012.
Chaer, Abdul. Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi.
Depok: Masup Jakarta, 2015.
Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. Rebana Burdah dan Biang. (Dinas
Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. Proyek Pelestarian dan Pengembangan
Kesenian Tradisional Betawi).
Setiati, Eni dkk. Ensiklopedia Jakarta, Jakarta tempo doeloe, kini & esok. Jakarta:
PT Lentera Abadi, 2009.
Gonggong, Anhar dkk, ed. Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Raya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1984.
Halim Fathani, Abdul. Ensiklopedi hikmah: Memetik Buah Kehidupan di Kebun
Hikmah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008.
Hasmawi. Seni Musik Rebana. Aceh: CV. Sepakat Baru, Darussalam, 1995.
Harun, Ismet B. Rumah Tradisional Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan Khusus
Ibukota Jakarta, 1991.
Hidayah, Zulyani. Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015.
HM, Zaenuddin. 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Ufuk Press,
2012.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya,
1987.
Madjid, M. Dien. Pengantar Ilmu Sejarah. UIN Jakarta Press, 2013.

49
Mangemba, H. D. Masyarakat dan Kesenian Indonesia, Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin Makassar, 1992.
Mulyana. Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Murni, Sylviana, ed. Database Orang Betawi. Dinas Komunikasi, Informatika dan
Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2012.
Nawi, G. J. Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2016.
Rosyadi, ed. Profil Budaya Betawi. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Niali
Tradisional, 2006.
Rudini. Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Jakarta; PT Intermasa.
Ruchiat, Rachmat dkk. Ikhtisar Kesenian Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
2000.
Sediawati, Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta : Sinar Harapan, 1991.
Setyo Kriswanto, Erwin. Pencak Silat. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015.
Sopandi Atik, dkk. Pencak Silat. Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1992.
Soedarsono, R. M. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta : Balai Pustaka, 1992.
Sudarsono. “Tari-Tarian Indonesia I”. Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Sumarsono, Hartono dkk. Batik Betawi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia, 2017.
Suryana, Asep. Pasar Minggu Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani
Buah 1921-1966. Jakarta: LIPI Press, 2012.
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012.
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Langgam Budaya Betawi. Jakarta:
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2011.
Wirya, Mus K. Bermain Rebana. Jakarta: C. V. Yasaguna, Anggota IKAPI, 1981.
Zaki Shahab, Yasmine, dkk. Busana Betawi, Sejarah & Prospek Pengembangan,
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Dinas Museum dan
Pemugaran, 2000.
Artikel Jurnal:
Mahmudah, Nur. Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni
Bernuansa Keagamaan. Jurnal: Penamas, Volume 28, Nomor 2, Juli-
September 2015.

50
Rubingat. Rebana (Musik dan Lagu Tradisional Islami). Jurnal Jantra, Vol VIII,
No 2. Desember 2012.
Yani, Zulkarnain. Seni Sharaf Al-Anam dan Rodat di Palembang sebagai Seni
Bernuansa Keagamaan. Penamas, Jurnal Penelitian Keagamaan dan
Kemasyarakatan, Volume 28, Nomor 3, Oktober-Desember 2015. Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Akreditasi LIPI.
Skripsi:
Fitri Fitri Purnami. Kajian Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak,
Kecamatan Jagakarsa, Jakarta. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2014.
Surat Kabar:
Rais, S. Rahadjo. Surat Kabar Pelita. Selasa 28 November 1978.
Sispardjo, Srijono. Macam-Macam Tari Rakyat Betawi. Sinar Harapan, Rabu 24
Mei 1978, Kol 1.
Arsip Cetak:
Badan Pusat Statistik. Jakarta Selatan dalam Angka 1987. Jakarta: Kantor
Statistik Jakarta Selatan.
Badan Pusat Statistik. Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1984. Jakarta:
Kantor Statistik Jakarta Selatan.
Biro Hukum Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Himpunan Lembaran
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986.
Sumber Elektronik:
Tutorial Bermain Alat Musik Rebana Biang.
https://www.youtube.com/watch?v=dXovOjxh6Fg, diakses pada tanggal
15 November 2017
Wawancara:
Wawancara pribadi dengan Pak H. Abdurrahman. Ketua Sanggar Rebana Biang
Pusaka Ciganjur. 12 Oktober 2017
Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid. Ketua Sanggar/Padepokan Akal dan
Takwa. 25 Oktober 2017
Wawancara pribadi dengan Bapak Soni. Tokoh Masyarakat Ciganjur. 22 Agustus
2017

51
Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid. Tokoh Agama Ciganjur. 22 Agustus
2017, Pukul 15.00.
Wawancara pribadi dengan Bapak Abdurrachem. Seniman dan Pengamat Tari
Blenggo. 01 November 2017

52
LAMPIRAN-LAMPIRAN

53
Lampiran 1: Foto-foto
Gambar 1: gerakkan salam pembuka dan penutup
Gambar 2: gerakkan inti dari tari Blenggo
(Sumber : dokumentasi pribadi, 2017)

54
Gambar 3: gerakkan silat Koplek Gambar 4: gerakkan salam pembuka
Gambar 5: gerakkan silat dasar
(Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

55
Gambar 6 : alat musik Rebana Biang, Gendung dan Kotek
Gambar 7 : cara memainkan Gendung
(Sumber: dokumentasi pribadi)

56
Gambar 8 : cara memainkan Kotek
Gambar 9 : cara memainkan Rebana Biang
(Sumber: dokumentasi pribadi,2017)

57
Gambar 10 : lirik lagu Rebana Biang
Gambar 11 : sarung yang diletakkan di pundak Gambar 12 : peci sebagai ciri khas dari tari
Blenggo
(Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

58
Gambar 13 : Baju Tikim Gambar 14 : celana pangsi
Gambar 15 : baju koko putih dan celana batik komprang
(Sumber: dokumentasi pribadi)

59
Gambar 16 : gesper Haji
Gambar 17: H. Saaba, Generasi ke-3 dari Rebana Biang
(Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

60
Gambar 18: sertifikat peresmian Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur
(Sumber:dokumtasi pribadi, 2017)
Gambar 19: Pembukaan Pralokakarya Penggalian dan Pengembangan Seni-Budaya Betawi
Tahun 1976
(Sumber: buku Seni-Budaya Betawi Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya, 2000 )

61
Lampiran 2: Transkip Wawancara
Wawancara dengan tokoh Agama di Ciganjur, (Ustad Abdul Kholid)
P: Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh
N: waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
P: Saya Saadah pak, mahasiswi UIN yang sedang menulis skripsi tentang “Unsur-
unsur Islam dalam kesenian Blenggo di Ciganjur tahun 1970 sampai 1990”
P: kalau latar belakang sosial budaya masyarakatnya itu bagaimana pak?
P: kalau ya tahun 70 an muslim semua sekampung inj muslim semua, jadi ya
sebagian besar ini Islam, sedikit minim ya minim sampai sekarang pun juga gak
banyak, terus Betawi. Keakrabnnya ya keakrabannya budaya keakraban
masyarakat Betawi, ya yang terbuka suka kumpul suka bareng barengan apa itu
kebersamaan dan tahun 70 an itu masih banyak sawah-sawah, jadi masih banyak
yang bertani, berkebun tahun 70 an sampai 90 an tu masih banyak sawah bertani
berkebun ya ada sebagian kecil yang berdagang karna lahan masih luas
P: sistem kekerabatannya disini bagaimana tu pak?
N: Kekerabatannya ya Betawi, masih segala macem kekerabatan, jadi tidak
cenderung ke patrilineal tidak ke matrilineal juga nggak, guyub aja itu nyampur
aja.. eee apa ya orang Betawi kan terbuka ya, gak ada wanita lebih apa lelaki lebih
apa gitu gak ada terbuka aja lepas aja
P: kalau sistem Religinya disini kayak ada tradisi keagamaan yang khusus gak
yang pada tahun 70 an sampai 90 an tuh menjadi khas?
N: masih..apa tahun tahun itu suasana Religinya, ya sebenernya sama ininya,
misalnya ada kegiatan khataman Qur‟an, khataman Qur‟an bagia anak yang mau
nikah, terus sunnatan perayaan sunnatan, terus aqeqahan, kawinan. Cuman
sekarang ini lebih dikemas dengan bentuk yang lain gak begitu khas lagi, ya kalau
dulu misalnya ana mau sunnatan, tu rame rame diantar anak laki, kalau
perempuan kan masih kecil sunnatnya, sekitar umur 8 tahun 10 tahun bahkan ada
yang umur 14 tahun, itu temen temennya digiring ke kali, di kali mandinya, kan
pagi tu biar dingin, waktu itu kan belom ada obat bius, rame-rame tu temen
temennya bawa kue, bawa pisang, yang mandi tu disuruh nyelem gitu, kalau dia

62
bangun dilemparin kepalanya, kenapa supaya kedinginan, sehinga ketika dipotong
nanti gak keluar darah banyak, itu tradisi begitu masih ada, sama mauled di
masjid, dua tiga hari sebelum mauled pasang pajangan, pasang apa, nyari nyari
pohon gitu, kesederhanaanny, kesemarakaannya itu masih ada. Malem kan belom
ada listrik, pasang obor pake bamboo di sekitar masjid, jalan jalan, wah semarak
sekali, itu kayak aqeqahan, suasana religi dan tradisionalnya masih terasa.
Sekarang ini dilaksanain tapi religinya masih kebawa tapi tradisinya udah cari
simple simple aja, tahun itu masih bagus. Kawinan, kawinan masih dua hari dua
malam, misalnya pesta hari minggu, itu dari malam minggu sudah repot itu di
rumah, bahkan dari sabtu, dari sabtu sudah nerima tamu, keluarga apa disitu,
malem sabtunya, malem minggunya sampe malem senin, itu pesta pernkahan
kayak gitu sampe dua hari dua malem, kumpul keluarga nginep, dan dulu ketika
orang ngundang pesta perkawinan itu kan gak pake suarat, dua tiga orang keluarga
ibu ibu keliling kampong ngasih tau dating satu satu ke rumah tuh, jadi dipastikan
semua kenal dan nyebutnya nanti nginep, ngundangnya bukan dateng tapi nginep,
“hari sabtu malem minggu nginep mau pesta perayaan perkawinan” itu mau
kemana mau ngajak nginep, nah itu ngundang namanya
P: kalo tadi kan bapak bilang mayoritas muslim ya, nah kalo pengaruh agamanya
ke pendidikannya tu ada gak pak ?
N: ya otomastis, misalnya sekolah, sekolah waktu tahun 70 itu udah ada eee didini
ada SD tahun 62, sebelumnya SR ada tiga kelas itu, saya ngalamin SR, nah pagi
saya sekolah SD, siang saya sekolah madrosah sampe jam empat, pulang mandi
sholat ashar, berangkat lagi ngaji, ke masjid atau ke musholla, pulang ntar isya,
jadi belajarnya itu pagi sore malem, dan di dua sekolah, sekolah SD atau SR dan
madrosah, hampir mirip pola pesantren sebenernya, penuh belajarnya.
P: kalo sistem religinya berpengaruh ke mata pencaharian masyarakat sini gak
pak?
N: oh ya.. otomatis..otomatiss..jadi gini, dengan pola pikir yang dibentengi
dengan religi, orang kita tu gak terlalu bersemangat untuk bisnis, yang supaya
nanti berhasil, yang supaya nanti jadi orang kaya gitu, bahkan falsafahnya
“yaa..dunia sekedarnya ajalah” dunia sekedarnya aja, makanya Betawi dulu jarang

63
yang jadi pegawai negeri, jarang yang jadi ABRI, jadi TNI jarang, gak usah gitu
gitu amat, emang lapar apa, yang penting bisa ngurusin sawah ama ank ama istri,
apalagi kalo ada yang jadi pegawai atau TNI trus harus dioper, suruh berenti itu
bisa, “berenti aja lu, emang laper lu, ngumpul aja sini dengan keluarga” jadi salah
satunya ada, “ngejar dunia gitu gitu amat” jadi itu ada falsafahnya begitu, udah
secukupnya aja, makan juga perutnya Cuma segitu kok, itu kita karna terbentengi
dengan image religi itu tadi, dunia d kejar-kejar amat
P: itu kalo pergi Haji, jadi tolak ukur gak buat masyarakat muslim disini
N: oo iya Haji itu menjadi tolak ukur prestise, keimanan, artinya suatu cita cita
luhur kalau bisa berangkat Haji, tapi emang ada efek pada kehidupannya, ketika
orang itu sudah Haji dia ini banget protektif, gaka orang Betawi yang Haji itu
makan di warung, kayak warteg gitu gak sopan dianggapnya, makan itu di rumah,
jangan makan di warung, kayak gak ada yang ngurus kalo makan di warung, trus
misalnya ada tontonan, trus nonton di depan, ketika dia Haji, gak ada tu dia pake
celana pendek, pasti pake celana pangsi, kaos oblong, bahkan kepala pasti pake
peci, itu termasuk tatakramanya kalau sudah Haji ya, pakaian lebih rapi,
akhlaknya ya gak sembarangan, kenapa, itu tadi Haji itu sesuatu yang sangat
sacral, prestis, sehingga ada sebagian orang yang ketika ditanya” Haji belom”
“ah.. belom bisa jaga”, nah belom bisa jaga berarti belom siap tu, kalo udah Haji
kan gak boleh ini gak boleh ini, ada yang begitu jadinya, menurut dia kalau sudah
Haji, harus lebih ini, lebih ini gitu.
P: kalo struktur pola pemukima disini tu gimana pak, tahun 70?
N: pemukiman itu..rumah ya rumah adat Betawi, ya… kayak begini ini ni, Rumah
adat Betawi itu biasanya kamr minim tetapi punya ruang tamu yang luas, kenapa?
Falsafahnya kumpul keluarga, nah itu tadi ada kegiatan, ada selametan, kawinan,
aqeqahan, yang butuh apa ruang yang luas, jadi rumah dulu ya tidak berkamar
kamar, paling kamarnya dua, buat orang tua sama anak yang sudah dewasa, sama
yang laennya gelaran rame-rame, terus, rumahnya besar-besar, tapi ruangnya dikit
dan ruang depannya itu pasti luas, karna untuk kumpul-kumpul keluarga, nah
terus pola pemukimannya ya dulu ya ngelompong biasanya karna tanah masih
luas, misalnya si bapak punya tanah disini, dia punya anak dinikahkan, dibikinin

64
rumah di sebelaahnya, jadi ketika ada satu blok itu, itu pasti anknya cucu cucunya
gitu, baru belakangan ada orang dari daerah dateg, terselip dia bikin rumah disitu
gitu, jadi kayak gang ini ya itu satu gang ya ada anaknya cycynya semuanta
dibikinin rumah disitu
P: kalo penyebutan kekerabatn ke yang atas atas tu yang khusus gak pak?
N: Ada, kalo saya ya, bapak: baba, uwa, atau engkong itu yang laki, kalo yang
perempuan: nyak, terus mpeng, mpeng itu nenek, nah ke atsnya baru buyut, kalo
buyut sama, buyut laki, buyut perempuan, tapi itu di atas kakek tu,cuman kakek
itu engkong, uwa, atau yang laki itu kalo yang perempuan mpeng sebutannya ,
kalo ke samping eee ayah atau ibu saya, kalo kakaknya ibu saya panggilannya
baba gede, misalnya bapak saya punya kakak itu baba gede, nyak gede, kalo di
bawah bapak saya atau di bawah ibu saya kalo yang perempuan ence‟ kalo yang
laki mamang, mamang tu paman, nah terus bapak saya punya saudara, nah
anaknya kalo bahasa indonesianya kan sepupu, kalo saya sebutnya misanan,
misanan itu artinya sama sama satu kakek, anak anak misanan namanya mindon,
pak Ali punya anak Ahmad dengan Fatimah, Fatimah punya anak dan Ahmad
punya anak, Fatimah dan ahmad kan saudara, anak atimah adan ahmad tu sepupu
misanan, anaknya dia tu , cucunya ahmad dan cucunya Fatimah itu yang namanya
mindon, jadi levelnya di bawah cucu, di bawah eee misanan, nah kebawah nya
udah umum dah tu semuanya dibilang saudara aja
P: kalo kita ngomongin kesenian ni pak, tadi kan katanya khas sini itu rebana
N: rebana, qasidah, gambus juga ada, eee ya itu rebana biang kayak gitu, kalo
kesenian yang berbentuk gamelan gak ada disini, karna itu tadi, Betawi didini itu
lingkungan Betawi yang Religius, kalo jagakarsa nah ada Betawi gamelan disitu,
tanjung priuk nah itu ada cokek campur China, disini gak ada disini Betawinya
murni, gak kecampuran Cina gak kecampuran Belanda
P: kalo berdasarkan klasifikasi Betawi disini masuknya betawi pinggir atau tengah
N: Betawi pinggir disini

65
Wawancara dengan Seniman Rebana Biang dan Tari Blenggo di
Ciganjur (H. Abdurrahman)
P: Assalamu‟alaikum warahatullahi wa barakatuh
N: Wa‟alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh
P: Saya Saadah, salah satu mahasiswi UIN yang sedang menuliskan skripsi
tentang “Nilai-Nilai Islam dalam kesenian Blenggo di Ciganjur tahun 1970-1990”.
Nah yang ingin saya tanyakan disini adalah yang pertama, bagaimana sejarah
terciptanya kesenian tari Blenggo di Ciganjur ini?
N: Kita gali dari awal, yang namanya tari Blenggo cuma Rebana Biang yang
punya, tari Blenggo tu musiknya Rebana Biang. Sejarahnya Rebana Biang ini
kurang lebih tahun 1825 itu Rebana Biang di bawa dari Banten ke Ciganjur, itu
yang bawa namanya Pak Tua Kumis, dia sambil ngajar ngaji bermainlah Rebana
Biang, kurang lebih tahun 1825. Nah setelah berkembangnya Agama Islam,
dikembangkan juga music yang namanya Rebana Biang dengan tariannya tari
Blenggo dan musiknya itu diambil dari rawi Syarafal Anam dan Barzanji,
pokoknya bahasa Arab dah, nah akhirnya setelah pak Haji Damong dan kawan-
kawannya itu minimal lima orang karna yang main music tiga dan yang nari dua
orang, nah setelah beliau meninggal turun kepada keturunannya pak Haji BitonG,
setelah beliau meninggal turun ke bapak saya Haji Saaba bin H. Amsir, bapak
saya paman saya termasuk juga H. Abdulgani itu masih sepupu tu dan H.
Marzuki. Setelah bapak saya wafat turun ke H. Abdurrahman yaitu saya sebagai
anaknya. Kenapa Rebana Biang sanggarnya ini dibuat Rebana Biang Pusaka,
sebab ini merupakan pusaka dari orang tua gitu. Dari situlah berkembangnya
agama Islam, dan berkembangnya juga agama Islam. Trus selanjutnya makam pak
H. Tua Kumis tu ada di perumahan pondok Aren, Jombang Ciputat.
P: nah tadi kan mengajar ngaji samba ada permainan Rebana Biang ya pak, nah
kalau terciptamya tar Blenggo itu dari mana pak?
N: nah begitu bunyi musiknya Rebana Biang diiringilah dengan tari Blenggo,
bareng itu, nah nanti kalau kamu liat pertunjukkan Rebana Biang itu da yang lagu
yang ditariin da nada juga yang enggak gitu. Kalo lagu awal tu gak diiringi
Blenggo tapi lagu selanjutnyalah baru diiringi tari Blenggo

66
P: kenapa disebutnya tari Blenggo pak?
N: nah itu sebelumnya Gubernur Ali Sadikin jadi Gubernur, itu namanya bukan
tari Blenggo tapi Blenggo aja gitu, nah setelah diangkat ke permukaan barulah
disebut tari Blenggo, untuk membedakan dengan tari topeng dan tari-tarian
lainnya. Gerakkannya setengah silat, kalau bukan dari orangnya sendiri tu jarang
yang bisa. Dan rata-rata orang dulu tu semuanya punya silat, karna ad istilah “kalo
lu macem-macem gua gedig lu” begitu istilahnya. Kalau dikasih nama Blenggo itu
karna artinya gerakan ya.
P: kalau gerakan umum pada Blenggo tu ada apa aja pak, pembagiannya tu
bagaimana pak?
N: gak ada, tari Blenggo tu gak sama dengan tari-tari lain yang ada
pembagiannya, tapi bukan sembarangan ya, pokoknya semuanya apa adanyalah,
yang penting dia bisa silat gitu
P: kalau dari gerakan-gerakannya tu pak ada makna atau arti yang khusus gitu gak
pak?
N: gak ada, kalau kata ahli tari ni misalnya tari topeng, itu ada maknanya tapi
kalau tari Blenggo gak ada makna yang khusus gitu, pokoknya gerak-gerak aja
gitu
P: paling kita kalau mau cari artinya ya dari aliran silatnya ya pak
N: iya itu aja
P: kalau dari buku yang saya baca pak, instrumen yang mengiringi tari Blenggo tu
kan ada Rebana Biang dan Gamelan Ajeng ya pak, nah itu gimana ya pak
N: nah kalau Gamelan Ajeng itu yang udah campuran, kalau Rebana Biang yang
asli ya Cuma tiga ini aja ni, nah kalau sekarang ada tambahannya tamborin
namanya
P: kalau pada tahun 70-80 an tu tetap ada tiga aja atau udah ada tambahannya
pak?
N: gak ada, tetap Cuma tiga aja, pernah dulu waktu bapak saya masih ada tahun
80 an, itu disarankan sama salah satu dosen IKJ, “pak Haji, ini kalau musiknya di
tambahin nanti aslinya ilang”, jadi ya tetep tiga aja gitu, cuman yang aslinya yang

67
pusakanya tu ada di rumah paman saya, ini duplikatnya, itu kayu nangka pahatan
bukan bubut.
P: maap pak Haji, kalau untuk nama-namanya apa aja ni pak haji?
N: kalau yang gede namanya Rebana Biang, diameternya 55 cm, yang ini tengah
namanya Rebana Koteg itu diameternya 45 cm, nah yang paling kecil namanya
Rebana Gendung, diameternya 30 atau 35 cm. jadi Gendung, Kotek, Biang, ini
kalau suara saling mengisi dia, tiga gitu.
P: oh jadi walaupun tahun dulu-dulu, di Ciganjur ini tetep gak ada Gamelan Ajeng
ya pak Haji?
N: Gak ada, pokoknya dari dulu sampe sekarang tetp pake Rebana Biang, cuman
kalo dulu dulu kan pake lagu Arab semua, tapi kalau sekarang saya tambah pake
lagu-lagu Betawi, pantun-pantun Betawi gitu untuk meramaikan panggung, jadi
untuk menarik peminatnya gitu
P: tapi kalau tahun 70, 80 tu masih pake lagu bahasa Arab semua tu ya pak
N: nah iya, dulu kan 85 an ayah saya meninggal, nah sebelumnya saya udah ikut-
ikut maen itu, nah baru setlah beliau meninggal baru saya diriin sanggar Pusaka,
karena dari DKI harus bikin sanggar, makanya saya bikin
P: tahun berapa tu kira-kira pak Haji?
N: itu tahun 74 kira-kira diangkat, baru tahun 85 atau 86 gitu bapak saya
meninggal baru saya bikin sanggar, itu sampai dilengkapi dnegan sertifikat
tanggal
P: biasanya lagu yang khas dari Blenggo ini lagu apa aja pak?
N: lagu dulu ni ya, lagu yang pertama allahuah itu berapa kali pindah tu
musiknya, trus lagu keduanya Allah-Allah nah di tengahnya tu kita sisipin pantun,
nah yang di blenggoin tu lagu anak ayam, udah kita kombinasiin itu sedikit pantun
gitu
P: selain Allahuah tu ada apalagi pak Haji, lagu lagu Arabnya?
N: Shollu „ala madanil iman, An-Nabi ya man hadhor, Shollu Robbuna, Alfa
Shollu, Sholawat Badar itu juga, nah Alfa Shollu tu yang penutup itu
P: kalau untuk komposisi penarinya tu gimana pak Haji?, maksudnya penarinya
berapa orang gitu, formasinya bagaimana gitu

68
N: oh.. jadi gini kita, kalau manggung-manggung biasa, kita gentian maju
seorang-seorang gitu nari, kadang dua-duanya narinya berdua aja gitu
P: kalau dari kostumnya ni pak Haji, biasanya kalau Blenggo ni pake baju apa?
N: Pertama, item-item, celana pangsi, celana silat gitu, kadang ganti biru, ijo gitu,
sama sarung, sama peci, nah kalau peci Betawi tu item polos, gak ada kembang-
kembangnya, jadi kalau khas Betawi itu pake peci item polos, baju koko putih,
celna kain atau celana boim namanya, pokoknya kostumnya silat udah.
P: jadi pake kostum khas Betawi atau pake kostum silat gitu ya, kalau atributnya
selain pake selendang sarung tu pake apa, gesper Haji ya pak?
N: ada sabuk ijo, itu kadang-kadang pake, kadang-kadang kagak, nah kalau kita
diminta untuk pake pakaian lengkap itu ada kita pake, kalau kita pake jas itu pake
kuku macan namanya, tapi kita lebih sering pake pakaian khas Betawi gitu
P: kalau tata panggung tu gimana ya pak Haji, apa harus berundak di atas gitu
tinggi atau gimana?
N: kalau kita dimana aja gitu, kalau acara ada panggungnya ya di panggung, tapi
kalau gak ada yang gak apa-apa, jadi gak ada tata panggung yang khusus gitu
P: biasanya pementasan Blenggo ini dilaksanain pas kapan ni pak Haji, kan
sipentaskan dalam acara keagamaan seperti maulid, penikahan juga ada gitu, nah
itu waktunya kapan? dari yang saya baca di buku, katanya Blenggo ini di mainkan
ketika waktu sudah larut malam ya?
N: nah dulu itu, Rebana Biang maen mulai dari jam 8 malem, abis isya ampe jam
4 pagi, karena dulu pernikahan itu biasanya dilaksanain 3 hari 3 malem atau 2 hari
2 malem, dan kenapa bisa semaleman suntuk, karena musik-musik yang laen
belom ada, dan belom banyak listrik juga gitu. Dan saya ingat dengan pesan bapak
saya dari pak Haji Damong, “ini rebana jangan di kemana-manain, nanti suatu
saat akan timbul”, nah ternyata bener, waktu jaman Gubernur Ali Sadikin mulai
diangkat
P: kalau fungsi dari Blenggo ini apa pak Haji?
N: nah karna dulu awalnya Rebana Biang ini dimainkan setelah mengaji, ya jadi
kesenian sambil untuk menarik minat masyarakat untuk mengaji dan sambil
menyebarkan agama Islam

69
P: setelah tahun 70 an itu rebana biang diangkat tru perkembangan selanjutnya
gimana pak Haji?
N: dikata mati enggak, dikata lancar juga nggak, dulu waktu berdiri Taman Mini
tu, maen disana bisa setahun 3 kali, tapi setelah masuk musik-musik lain marawis,
gambus, jadi Cuma sethaun 2 kali dan akhirnya nggak sama sekali karna dananya
gak ada
P: kira-kira mulai agak redup atau berkurang tu tahun berapa pak Haji?
N: setelah timbulnya marawis, hadroh, nah itu agak berkurang, kira-kira tahun
2000 an lah
P: nah kalau dulu tahun 70-80 an itu kira kira respon masyarakatnya gimana pak
haji?
N: ya kalo dulu yang demen mah demen, yang kagak mah kagak, tapi dulu masih
lumayan banyak yang antusias masyarakatnya
P: kalau untuk lokasi sekarang ini disebutnya kelurahan Cipedak ya, tapi dulu
masuknya ke kampung Ciganjur ya pak Haji?
N: iya karna ini ciganjur bagian selatan dan keluarahan Cipedak yang
sesungguhnya sebagian masuk ke srengseng, jadi yang Ciganjur ini sebagian juga
terseret masuk ke kelurahan Cipedak, hampir gak terima itu masyarakatnya
P: kalau mata pencaharian masyarakat sininya tu dulu apa pak Haji?
N: bertani, berdangang, bertani buah-buahan, sperti papaya, rambutan, durian
masih banyak yang lainnya, trus di jual ke pasar manggarai
P: jadi Rebana Biang yang ada Tari Blenggonya tu masih bercirikan agama Islam
ya pak Haji. Baik terimakasih ya pak Haji atas waktunya
P: melanjutkan wawancara yang kemarin pak, masih tentang Blenggo. Nah
kemarin kan pak Haji bilang kalau lagu-lagunya tu kayak Allahu ah, trus kalau
lagu Betawinya tu apa aja pak Haji?
N: lagu Sirih Kuning, Ondel-ondel, kalau pak Haji Saaba mah lagunya Arab
semua dah

70
Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Ciganjur, (Bpk Soni)
P: assalamu‟alaikum bapak Soni, saya Saadah salah satu mahasiswi Uin yang
ingin menanyakan tentang sejarah Ciganjur dan latar belakang sosial budaya
masyarakatnya karena penelitian saya mengenai tari Blenggo yang berkembang di
Ciganjur
N: Wa‟alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
P: bagaimana sejarah dari Ciganjur ini pak?
N: kalau sejarahnya Ciganjur itu si kita gak tau spesifiknya gimana, tapi kalau
karakteristik masyarakatnya memiliki budaya religius, itu bisa dilihat dari
keseniannya, dulu gak ada yang namanya gamelan, gambang atau topeng dari
Ciganjur, adanya rebana, qasidah gitu, karena mayoritas masyarakatnya muslim,
dan dulu keseniannya belum ada selain rebana, baru sekitar tahun 2000 an baru
masuk orkes dangdut gitu, bahkan orang tu dulu ada yang ngomong “jangan
sampe masuk seni musik yang berbau gong” gitu, jadi hampir smeuanya seni yang
islami seperti rebana, qasidah dan gambus.
P: bagaimana dengan mata pencaharian masyarakat Ciganjur pak?
N: bisa dikatakan bahwa di atas 50 % masyarakatnya bertani dan berdagang,
pedagang buah yang suka dibawa ke Pasar Minggu, pasar Manggarai, bahkan dulu
skeitar tahun 70-80 an lah itu sampai di bawa ke Tanah Abang. Yang didagangkan
itu hasil buminya sperti, jambu, papaya, rambutan. Namun sekarang telah
bergeser karena kekurangan lahan
P: kalau tradisi keagamaan disini bagaimana pak?
N: ngaji lekar yaitu ngaji yang dituntun sesuai dengan apa yang dia bisa, waktu
pelaksanaanya itu ada yang setiap malam da nada juga yang seminggu tiga kali
P: kalau pola pendidikan masyarakat ciganjur seperti apa pak?
N: kalau pola pendidikannya sih tergantung dari biaya ekonomi yang sanggup
dibayarkan oleh orang tuanya, misalnya kalau cuma sanggup sampai SD yasudah,
tapi kalau bisa sampai pesantren ya ke pesantren, tapi disini kita juga kental
dengan kegiatan religinya seperti ada pengajian-pengajian, ada TPA juga
P: kembali lagi ke tradisi ni pak, nah kalau tradisi pernikahannya ada sesuatu yang
khas gak pak?

71
N: ada tradisi yang dulu biasanya dilakukan sebelum pernikahan adalah khataman
Al-Qur‟an, jadi mempelai wanita sebelum melaksanakan prosesi pernikahan harus
melaksanakan khataman Al-Qur‟an, nah itu adanya di era 70-80 an
P: bagaimana pola pemukiman dari masyarakat Ciganjur ini pak?
N: kalau pola pemukimannya tu dulu skeitar tahun 60-70 an itu masih rumah
panggung ya, yang paling kamarnya cuma ada dua aja, selain dari itu kamarnya
ngablak aja gitu bareng-bareng, jadi kamarnya tu cuma sedikit, kamar mandinya
itu dulu di luar, masih pake sumur gitu , dulu ada yang namanya sumur senggot,
jadi sumurnya bukan di kerek tapi ngambilnya pake bamboo, jadi ujung
bambunya diiket dan dibebani dengan karet ban , trus satunya lagi dengan ember,
jadi pas mau ambil air turunin aja embernya, pas sudah keiisi air baru deh
embernya naik.
Wawancara dengan ketua sanggar/padepokan silat Akal dan Takwa
Ciganjur
P: Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
N: Wa‟alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh
P: saya saadah ustad, salah satu mahasiswi UIN yang sedang menuliskan skripsi
tentang makna simbol dalam tari Blenggo di Ciganjur sekitar tahun 1970-1987,
berdasarkan wawancara dengan pak Haji Abdurrahman, tari Blenggo yang
gerakannya setengah silat itu dari padepokan akal dan takwa, sebelum saya
menanyakan tentang gerakan jurus silatnya, saya mau menanyakan tentang
padepokannya dulu, kalau untuk sejarah berdirinya tu bagaimana pak?
N: ya sejarahnya akal dan takwa ini berdirinya di tahun 1965, dulu itu saya punya
guru almarhum namnaya Haji Sa‟amin bin patwa udin, nah beliau ini berguru
dengan yang biasa dikenal namanya Pak Tua Kapuk, nah akhirnya dibukanya
khusus di tanah ganjur, kan awalnya di kampung gandul tu pak Tua sama abah
Muhiyar, nah akhirnya dengan izin beliau kita bikin disini sanggarnya dengan
nama akal dan takwa
P: kalau pak Tua Kapuk dengan pak Tua Kumis tu ada hubungannya gak pak?

72
N: sejalan si, karena pak Tua Kumis ketika dia mengembara dari tanah Banten ke
tanah Ganjur, sempet mungkin beliau bertemu sejarahnya itu dia main terbang,
pak Tua Kapuk dan pak Tua kumis tu pernah bertemu, dan mungkin dulu
sejarahnya pernah memainkan dengan terbangan itu di silatnya, kalau dulu kan
belom ada gendang rampak tu, itu zama itu, karna saya tau itu dari sebuah cerita-
cerita, akhirnya kemariin samoai tahun 2000 an ini, Alhamdulillah peminatnya tu
masih banyak
P: kan pak Tua Kumis dan Pak Tua Kapuk tu datang sekitar tahun 1800 an ya, nah
kenapa pendiriannya baru tahun 1965 itu ustad?
N: jadi dulu kan gini, sanggar silat tu adanya di tanah gandul, pak Tua Kapuk itu
memang ngajarnya di Gandul dan dimana-mana juga ada, dan slaah satu murid
pak Tua Kapuk tu H. Sa‟amin, waktu itu ada bahasanya tu festival atau tunamen
di pamulang itu di tahun 65 an juga, akhirnya menanglah sanggar kita disini, nah
akhirnya yaudah khusus Ganjur kita bikin juga sendiri, jadi kita di Ganjur ini
berdirilah sanggar akal dan takwa
P: kalau tujuan dari pendirian sanggar akal dan takwa ini apa ustad?
N: kalau pendirian sanggar ini memang gak lepas dari pesen almarhum bahwa ini
budaya kudu dilestariin, itu beliau pesen sebelum beliau meninggal di hari rabu,
saya jum‟at sebelumnya dateng, ngobrol di depan itu beliau Cuma pesen ama saya
“tolong jaga anak-anak, jangan sampai mati obor, dan terus tanem kebaean ”
artinya kita harus terus memeprmudah orang lain jangan mepersulit gitu
P: kalau visi-misinya tu apa ustad?
N: visi untuk membentuk jiwa atau akhlak yang baik, kalau misi untuk
membangun generasi muda jangan sampai terbawa arus yang gak baik
P: ada struktur organisasinya gak disini ustad?
N: struktur itu kan memang pernah kita buat, tetapi memang gak terlalu baku,
kalau seandainya ada maulid nih, kita ada ketua abah makmur itu kan masuknya
pembimbing, penasehat kita kalau ketua sanggarnya saya sndiri trus nanti
anggota-anggotanya tu ada siapa siapa gitu
P: kalau tadi ustad bilang sehabis silat tu ada pengajian, nah konsep pengajiannya
tu seperti apa ustad?

73
N: ya.. ngaji kuping, artinya ngajinya gini setelah selesai uah rapi, nah kenapa
tadi kita harus berwudhu? Kalau saya kan mau latihan tu harus berwudhu dari
selesai wudhu, udah sholat atau belum, kalau belum ya harus sholat dulu, kalau
sudah sholat tu kan masih punya wudhu, kita tawasshulan dulu karna ilmu ini
kana da yang punya, kita fatihah in dulu kepada guru-guru kita, orang tua kita,
leluhur-leluhur kita , karn akita mau belajar ilmu beliau, meski bagaimana kita
harus minta berkah gitu dari orang-orang yang sholeh. Selepas dari itu baru kita
bergerak, dan alhamdulillahnya anak-anak gak ada yang ampe patah tulang atau
terkilir gitu , itu mungkin keajaiban, itu fungsinya kita berdoa ya itu, selepas dari
itu baru kita buka, kenapa tu tadi lu mukul harus begitu harus begini gak bengkok
begini, gak ke atas, kalau lurus artinya mudah-mudahan jalan kita selalu lurus
seperti alif, lu kasih alif yang artinya jalan lurus jangan bengkok, bengkok, nah
kajian seperti itu yang kita bahas, nah misalnya lagi lu dikasi pukulan dal seperti
ii, kenapa dal yak an bengkok ni, liat kanan kiri kita gitu, jadi ada filosofinya
sendiri
P: nah kalau jurus yang ada disini tu apa alirannya stad namanya?
N: kalau aliran itu maen maenan koplek
P: kan kalau di Betawi yang terkenal itu kan beksi, cingkrik
N: iya betul, beksi, cingkrik, cibitik, troktok, jalan lima, jalan enam, itu Betawi
punya makanya udah banyak sanggar-sanggar itu, kalau saya mainnya di koplek
dan nama sanggarnya akal dan takwa
P: kalau seperti pengakuan H. Abdurrahman tu kan beksi, cingkrik tu silatnya
agak diri ya ustad, nah kalau koplek ini agak merunduk ya ustad, jadi terkait
dengan gerakan Blenggo yang semua merunduk gitu ustad?
N: ya betul, karna Blenggo itu kan nunduk gitu tu bahkan sampe ngengser bangat
ni kaki sampai gak boleh di angkat, nah itu memang kita kalu smaa anak-anak
latihan tu, turun, turun, turun gitu jadi ada tahapannya ada yang segini, segini,
segini, bahkan walaupun udah rendah tu masih tetep bisa maen, artinya merunduk
tu apa, kita jalan di dunia ini tu jangan sombong, ada dalilnya “innallaha laa
yuhibbu kulla mukhtalin fakhurin” karna jangan sampai tu sombong jadi orang,
tunduk sama yang tua sama yang lebih „alim tu jadi kita harus tunduk. Artinya

74
dari gerakan-gerakan itu kan di Blenggo bener bener merendah merunduk gitu
gerakannya begitu
P: kalau bisa dirinciin gerakannya, step nya tu bagaimana ustad?
N: kalau tahapannya itu kan, dari awal kita belajar pertama adalah dasar, kalau dia
sudah punya dasar yang kokoh, baru kita kasih bahan artinya semacem dia bisa
terus berdiri semacem batang yang kuat, kalau dia udah punya bahan yang kuat
baru kita kasih, istilah kata kembang ya kembang kan beda ama buah kalau pohon
kan berkembang baru berbuah, terus berkembang kasih buah dah, buahnya apa ya
itu jurus. Kalau dia dasarnya udah bagus, bahannya udah cakep, kembanganya
juga cakep baru jurus yaitu mendapatkan buah, nah bagaimana supaya buah itu
jatuh, itu harus pake akal dan kaalu bauhnya sudah dapet bungkus dengan rapi
maksudnya apa, aklau sudah punya ilmu bungkuslah dengan takwa
P: kalau makna dari tiap-tiap gerak dasarnya tu bisa dijabarkan gak ustad?
N: ya maknanya setiap gerakkan Blenggo, ya tadi itu apa kenapa harus
merunduk, maknanya jadi orang tu harus legowo, jangan sombong, trus merunduk
tapi kaki ini gak akan roboh artinya gak akan jatoh, kenapa karna fondasinya itu
sudah kuat, istiahnya kalau orang menjalani kehidupan ini dengan dasar yang
bagus atau akhlak dan iman yang cakep, gak akan goyah walaupun ada badai
nanti, nah Blenggo itu walaupun rendah begitu gak akan jatoh
P: kalau ustda lihat respon msayarakat terhadap seni rebana biang dan Blnggo ini
bagaimana ustad?
N: responnya pasti kalau orang ditanya bisa tari Blenggo, bisa, karna itu tarian
silat, maaf kalau buat orang yang kentel Betawi asli sini ya, karna kalau Blenggo
itu gak harus bisa silat karna itu kan seni gitu, tapi kalau udah bisa silat pasti di
Blenggo otomatis bisa, kalau untuk Blenggo seenggaknya dasarnya tau gitu, jadi
ketukan musiknya tu ada yang smaa antara silat kita dan Blenggo
P: oh ya kalau dulu penampilan Blenggo itu sampai semalaman suntuk itu karna
factor apa ya ustad?
N: karna gini, maaf dulu kan kesenian atau hiburan yang orang tua kita rasain kan
cuma topeng Betawi, dan kaalu bahasa dulu tu ada orkes kalau sekarang ini kan
dangdut, nah artinya hiburan tu dikit dulu, maaf ni orang aja dulu yang punya tivi

75
tu cuma ada di kelurahan, dulu saya juga masih ngerasai tivi item putih sekitar
tahun 80 an, nah kalau makin terkikis hiburan rebana biang ini karna sudah mulai
masuk hiburan-hiburan lain
P: kalau kayak silat itu kan itu kana da kostum khusus nya gitu ya ustad, dan
kalau filososfinya misalnya kenapa harus berwarna hitam tu bagaimana ustad?
N: jadi gini kalau say menanggapi dari perbincangan saya sma almarhum guru
saya, kenapa warna bajunya hitam hitam, waktu zamannya VOC atau colonial
Belanda itu, jangankan kita sloyorna begini, karna apa nanti kita akan di tembak,
nah kenapa harus warna hitam, dan memang dulu wan itu memang belajarnya
malem, gak ada gak pernah pagi, sore memang malem karna dulu waktu belajar
silat tu ngumpet-ngumpet makanya malem dan orang pasti sudah tidur, karna apa
dulu centeng, orang Blenada tu pada nyari-nyari orang kita, makanya pakenya
bajunya item-item biar nyaru, nah kalau sekarang ini kan banyak pangsi warna
merah, ijo, biru, nah itu mah seni aja , kalau dulu hitam karna untuk mengecoh
pasukan-pasukan Belanda
P: kalau silat-silat Betawi tu pasti pakai peci ya ustad?
N: ya siapa aja kan sebenernya bisa pakai peci, dan Islam itu kan identic dari
pecinya , ya memang peci itu memang identic Betawi, orang-orang dulu tu map
jawara-jawara tu ada yang gak pake peci, kalau jawara alim itu pasti pakai peci,
tapi kalau jawara yang memang bener-bener tukang pukul itu gak pake peci
Wawancara dengan seniman Betawi dan pengamat tari Blenggo
(Abdurrachem)
P: assalamu‟alaikum warahmatullahiwabarakatuh, saya saadah pak, salah satu dari
mahasiswi UIN yang sedang mnuliskan Skripsi yang berjudul n makna simbolik
dalam tari Blenggo di Ciganjur dari tahun 1970-1990, nah yang ingin saya
tanyakan pak sejarah terciptanya kesenian Blenggo ini bagaimana pak?
N: ya.. kalau Blenggo itu kan tarian, dari Rebana Biang dulu, Rebana Biang
musik baru diblenggoin, dilenggoin, digerakin, ditariin, sama dengan orkes
Melayu didangdutin ada jogged naah itu, bukan tarinya dulu, karna kana da
strukturnya mana yang harus digerakkin mana yang nggak, misalnya Allahuah

76
gak boleh, karna Allah kan gak bisa gak boleh, tapi kayak lagu-lagu misalnya lagu
Sunda Gunung nah itu yang udah boleh, lagu-lagu sayur namanya, yang boleh
ditarikan, sangreh apa gitu, tapi ketika kesini kan ada sesuatu, saya melihat ya
karna saya sebagai pengamatlah, apresiator dari kreasilah, ada satu makna-makna
kalau Blenggo itu adalah dari aspek tekstual itu dia membelenggu, makanya
mohon maaf ini kajian saya dalam tesis saya yang tidak jadi gitu, dan pemaknaan
dari arti bahasa “Blenggo” blenggo itu kan artinya belenggu pemaknaan saya ya,
belenggu, orang bilang misalnya, karna apa saya melihat dari teks, teks itu adalah
postur, ini gerakannya gini (narasumber mencontohkan gerakan Blenggo) dia
akan nekuk ke dalam membelenggukan diri, ini sudah bisa saja bagian dari
tipologi dari gerak-gerak dimana wilayahnya terkait dengan aspek sosiologi,
lingkungan, karna bisa saja orang-orang dulu ini, ini penafsiran saya ini
gerakkannya merendah,rendah mendek cindek gitu, merendah trus dia kan
membelenggu, wah ini ada kaitannya blenggo, ada yang mengatakan Blenggo itu
adalah “bleng” terbuka, gak ada, gak ada gerakan-gerakan terbuka semuanya
membelenggu ke dalam dan itu sifat-sifat dari gerak Betawi pun, karna apa
tariannya pun kan diambil dari gerak-gerak silat Betawi, apalah orang yang bisa
maen silat,bisa.. boleh… nah itu kan, silat Betawi tu kan tertutup, kalo misalnya
silat Jawa, tapi misalnya kuda-kuda ini kaki pasti ke dalam, nah itu ada sesuatu
yaitu konteks sosialnya dulu memang tarian orang-orang rakyat, dan di adat
kesopanan, dia sopan banget, dia harus merendah, tidak boleh yang namanya kaki
tu mengangkat melebihi dari paha, tidak boleh… ini etikanya, etika di dalam
gerak-gerak dia selalu begini, saya masih punya sedikit video kecil, tentang
masalah yang namanya pak Saaba jadi bapaknya pak Abdurrahman itu saya masih
ada, walaupun hanya beberapa menit tapi, itu yang menjadikan saya modal di
dalam eeee tesis saya gitu, jadi begitu..
P: kalau yang sejarahnya di bawa dari Banten pak Tua Kumis tu bener ya pak?
N: nah itu kan pengakuan dia, dalam penelitian saya di tahun 90 itu kan gini,
orang yang mengatakan bahwa Blenggo itu eee dari Nusa Tenggara Barat yak an
ada gitu, di bukunya ada, saya itu menolak memang disitu karna apa, di bukunya
yap kunst di halaman “Music of Java” di tesis saya ada itu, yaa calon tesis itu di

77
tulisan saya ada, jadi Lenggo, namanya Lenggo Orkestra dan fotonya adalah, dia
satu orang menari itu ada di yap kunst di Music Of Java itu ada, nah saya lihat,
say tanyakan di Nusa Tenggara Barat, gak ada kesenian itu, tetapi ada yang
namanya kesenian Lenggo, jadi disana ada kesenian yang namanya Lenggo, ada
Lenggo Mone ada Lenggo Slewe artinya perempuan atau laki, nah itu menari,
kalau di Jawa tu tari Srimpi lah maknanya, tapi alatnya bukan Rebana, nah disitu
saya yakin kalau ini bukan produk sana, ini adalah produk, produk orang Betawi,
saya juga penelitian ke Banten tentang dari apa, dilihat dari aspek musiknya karna
apa yang dilihat, saya ke Banten, saya ke Serang, itu di Serang, ada namanya
Terbang Gede, nah itu saya lihat bahwa wan Haji Tua Kumis seorang
patwakandang dari Banten, artinya disitu kan dari banten, nah dari situ saya coba
menelusuri ke Banten, nah memang dalam ensiklopedi itu kan ada bahwa ini dari
Banten Terbang Gede, nah Rebana Biang itu dulu sesungguhnya bukan Rebana
Biang namanya, dia adalah Terbang, pada tahun berapa pada masanya pak Ali
Sadikin “luh tu ambil yang gede, biangnya, coba rebana yang biang itu”, nah
artinya besar, sesungguhnya waktu saya kesana itu gaka ada, nah karna rebana itu
ada dua, ada rebana yang polainisis ada yang rebana continental. Polainisis itu
rebana yang seperti sekarang yang ada di Ciganjur, kalau rebana continental itu
seperti rebana seperti cina, ada pakunya dibuat paku aaa itu namanya continental.
Nah sekarang yang ada di Banten itu tidak ada yang polainisis tapi adanya yang
continental, akhirnya pada tahapan kedua saya kesana membawa rebana, “pak
dulu ada gak rebana yang kayak gini?”, “wah dulu rebana kakek saya tu kayak
gini, nah saya liat ooooh mulai tersulut oeh ternyata disini juga ada, ini kan karna
perkembangan orang udah gak mau repot, untuk memakai pasak tetapi akhirnya
pake paku, ini analisa saya. Analisa historis, yang namanya wan haji Tua Kumis,
itu kan makamnya ada di Bintaro, nah itu dijadikan leluhur orang-orang itu karna
dia yang membawa, kenapa wan Haji Kumis saya telusuri, pada saat itu saya
waktu membuat tesis kedua saya di IKJ, nah akhirnya apa, saya membuat karya.
Nah jadi saya telusuri, saya lihat dari silsilah dari pak Engkos trus ke kakaknya
pak Haji Bitong .
P: kalau ada yang bilang pengaruh dari Cina tu bagaimana pak?

78
N: pengaruh Cina itu karna apa, pengaruh Cina itu dari alat musik, karna di
fotonya itu ada 3 rebana, biang, gendung, kotek lalu ada dua biola dan satu gitar,
dan gitar itu mon Chinese gitar , itu bisa jadi seperti itu, karna memang dulu cina
itu adalah orang yang apresiasi terhadap seni. Itu penafsiran saya, karna gak
mungkinlah karna hanya dilihat dari alat musik
P: dan maksud dari arti Blenggo itu benar ya pak diambil dari blenggu itu?
N: ya memang, karna kalau orang Betawi itu kan mislanya “eh lo dari mana”, kan
tulisannya giman lu L U kan tapi bacanya LO kan gitu, belenggu sebenernya
dibacanya belenggo, ini penafsiran saya, sesungguhnya apa itu dari gerakan yang
membelenggu ini penafsiran saya, wlapun ada yang mengakatakan berangkat dari
kata “Lenggo, Lenggang, dilenggoin, lenggak-lenggok ” itu juga merupakan
penafsiran seseorang dari lenggak lenggok, tapi ketika belenggu itu artinya
gerakan yang membelenggu menurut penafsiran saya
P: kalau dari gerakan Blenggo ini seperti apa pak, menurut buku-buku yang say
abaca tu tergantung perbendaharaan silatnya ya, dan apaka ada pola tetapnya?
N: oh tidak ada, semuanya juga bisa dan ya tergantung dari perbendaharaan
silatnya, kalau di standartkan kan misalnya sama dengan tari-tari lain, misalnya
topeng ada kewer ada apa, nah kalo yang ini saya belom sempat mendeskripsikan
motif gerak-pergeraknya, dia lebih kepada improvisasi tetapi style, gaya itu dia
merendah dan dia masuk ke dalam membelenggu
P: klau dalam musik rebaa biang itu memang cuma ada tiga ya pak?
N: ya memang cuma ada tiga, rebana biang, kotek dan gendung
P: kalau kostum dari pemain musik dan penarinya tu pakai kostum silat aja ya
pak?
N: ya, pakaian biasa aja, pakain sehari-hari Betawi, gak harus silat
P: kalau pementasan blenggo yang katanya baru dimainkan pas larut malam tu
bagaimana pak?
N: nah ya makanya ini hanya tengah malam, karna yang sebelumnya itu
sholawatan, jadi lagu-lagu tentang lafadz-lafadz Allah, zikir, pas sudah kesana itu
kan ya sudah, lagu-lagu sanggreh ya apa gitu, tapi wajibnya itu dulu musiknya itu,

79
nah selanjutnya hiburan, setelah capek, nah hayo siapa yang mau tampil gitu, dan
lagunya juga diubah, ada sanggreh ada anak ayam dan masih banyak lagi
P: kalau tata panggungnya iu harus ada yang khusus gak pak?
N: gak ada
P: kalau fungsi tari blenggo untuk ritual keagamaan itu bagaimana pak?
N: kalau blenggo ini ya hiburan, karna ada musik ya dilenggoin, digerakin gitu,
kalau yang biasa di pentaskan untuk maulid itu karna ada hubungannay dengan
keagamaan dan lagunya sholawat menyebut nama Allah, nama Rasul
P: kalau dari seni Blenggo ini, bapak melihat nilai-nilai Islam yang terdapat di
dalamnya itu seperti apa pak?
N: kalau nilai-nilai Islamnya itu ya itu dari lagu-lagunya, gini saya tidak mau
berbicara soal Islam, karna ada pendapat bahwa menari itu dilarang, jadi kalau
Islam itu adalah agama, seni adalah kebudayaan gitu, kalau islami itu baru, islam
itu kan agama kalau islami itu sifat, islami itu bukan berarti islam, tetapi secara
prilaku dia Islami gitu, itu pemahaman saya ya

80

81

82

83

84