makna motif dan warna kain batik peranakan …

11
Jurnal Prajnaparamita 65 Copyright ©2020 Museum Nasional All Rights Reserved P- ISSN: 2355-5750 Edisi 09/2020 Page: 65-75 MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN TIONGHOA JAWA DI BANYUMAS Meaning of Motifs and Colors of Batik Fabric Javanese Chinese Society in Banyumas Diyah Wara Restiyati Peneliti dan Penulis Lepas [email protected] Received: Aug 2, 2020 Accepted: Nov 22, 2020 Published: Dec 10,2020 Abstrak Sebuah kain batik yang dipergunakan sehari-hari ataupun pada hari-hari tertentu, bagi masyarakat peranakan Tionghoa tidak saja untuk menutupi tubuh atau menunjukkan kebanggaan status sosial tertentu, tetapi juga menyimbolkan harapan baik. Di dalam penelitian yang dilakukan pada 2019 di Banyumas, Jawa Tengah, ditemukan bahwa kain batik yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Peranakan Tionghoa di Jawa memiliki makna motif dan warna yang tidak terpisah dari kepercayaan dan tradisi leluhur dari daratan Tiongkok, yang terakulturasi dengan kepercayaan dan tradisi lokal, yaitu Jawa, khususnya Banyumas, tempat masyarakat Tionghoa tersebut bermukim. Penelitian di Banyumas tersebut menggunakan pendekatan antropologi simbolik, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam. Pengalaman dan pengetahuan Peranakan Tionghoa hidup dalam budaya Tiongkok dan Jawa menghasilkan kain batik mengadaptasi motif dan warna dari kedua budaya. Sayangnya, makna motif dan warna kain batik sudah tidak banyak dipahami oleh para peranakan Tionghoa saat ini. Kata kunci: Banyumas, Jawa, peranakan Tionghoa, batik Abstract Batik cloth of Indonesia Chinese society which use in daily and special day not only has function to cover the body or show the social status, but also symbolize the good hope. In research of 2019 in Banyumas, Central Java, batik cloth in daily use of Indonesia Chinese society has motif and color can’t be divided from beliefs and ancestor tradition in China mainland, which acculturated with local beliefs and tradition, Java, specially Banyumas, the settlement of Indonesia Chinese society. The symbolic anthropology approach is used in the research by depth interviewer technique of data collecting. The experience and knowledge of Indonesia Chinese community live in China mainland and Java’s culture has result of motif and colour adaptation that two cultures. Unfortunately, the meaning of motif and colour of batik is less understanding by Indonesia Chinese society at present.

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita 65

Copyright ©2020 Museum Nasional

All Rights Reserved

P- ISSN: 2355-5750

Edisi 09/2020 Page: 65-75

MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK

PERANAKAN TIONGHOA JAWA DI BANYUMAS Meaning of Motifs and Colors of Batik Fabric

Javanese Chinese Society in Banyumas

Diyah Wara Restiyati

Peneliti dan Penulis Lepas

[email protected]

Received: Aug 2, 2020 Accepted: Nov 22, 2020 Published: Dec 10,2020

Abstrak

Sebuah kain batik yang dipergunakan sehari-hari ataupun pada hari-hari tertentu, bagi masyarakat

peranakan Tionghoa tidak saja untuk menutupi tubuh atau menunjukkan kebanggaan status sosial

tertentu, tetapi juga menyimbolkan harapan baik. Di dalam penelitian yang dilakukan pada 2019

di Banyumas, Jawa Tengah, ditemukan bahwa kain batik yang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat Peranakan Tionghoa di Jawa memiliki makna motif dan warna yang tidak

terpisah dari kepercayaan dan tradisi leluhur dari daratan Tiongkok, yang terakulturasi dengan

kepercayaan dan tradisi lokal, yaitu Jawa, khususnya Banyumas, tempat masyarakat Tionghoa

tersebut bermukim. Penelitian di Banyumas tersebut menggunakan pendekatan antropologi

simbolik, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam. Pengalaman dan

pengetahuan Peranakan Tionghoa hidup dalam budaya Tiongkok dan Jawa menghasilkan kain

batik mengadaptasi motif dan warna dari kedua budaya. Sayangnya, makna motif dan warna kain

batik sudah tidak banyak dipahami oleh para peranakan Tionghoa saat ini.

Kata kunci: Banyumas, Jawa, peranakan Tionghoa, batik

Abstract

Batik cloth of Indonesia Chinese society which use in daily and special day not only has function

to cover the body or show the social status, but also symbolize the good hope. In research of 2019

in Banyumas, Central Java, batik cloth in daily use of Indonesia Chinese society has motif and

color can’t be divided from beliefs and ancestor tradition in China mainland, which acculturated

with local beliefs and tradition, Java, specially Banyumas, the settlement of Indonesia Chinese

society. The symbolic anthropology approach is used in the research by depth interviewer

technique of data collecting. The experience and knowledge of Indonesia Chinese community live

in China mainland and Java’s culture has result of motif and colour adaptation that two cultures.

Unfortunately, the meaning of motif and colour of batik is less understanding by Indonesia

Chinese society at present.

Page 2: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

66 Museum Nasional

Keywords: Banyumas, Java, Indonesia Chinese, batik

Page 3: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________

Diyah Wara Restiyati

Jurnal Prajnaparamita 67

PENDAHULUAN

Pakaian merupakan salah satu unsur penting

dalam menampilkan identitas sebuah etnik.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,

pembagian wilayah di Batavia dilakukan

berdasarkan etnik dan setiap etnik diwajibkan

menggunakan pakaian khasnya masing-

masing, tidak terkecuali para imigran

Tiongkok yang diwajibkan terus memakai

pakaian khas Tiongkok. Bahkan, Pemerintah

Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan

Surat Jalan (Passesstelsel), yaitu peraturan

yang menentukan bahwa setiap orang

Tionghoa yang bepergian atau berdagang dari

satu kota ke kota lain diharuskan membawa

surat izin perjalanan. Setiap pelanggaran atas

peraturan dikenakan hukuman. Tujuan

dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk

membatasi ruang gerak etnis Tionghoa

(Lohanda, 2007). Meskipun demikian,

peraturan pemerintah kolonial Belanda tidak

bisa membatasi percampuran budaya

antaretnik yang sudah lama terjadi jauh

sebelum kedatangan bangsa Belanda, seperti

yang terjadi pada suku Tionghoa.

Percampuran antara orang Tiongkok dan suku

lainnya menghasilkan suku Tionghoa atau

yang disebut dengan peranakan Tionghoa

pada masa pemerintahan VOC dan kolonial

Hindia Belanda (Onghokham, 2009).

Orang yang disebut dengan peranakan

Tionghoa memiliki ciri-ciri tidak bisa

berbahasa Mandarin sama sekali, umumnya

tidak menganut kepercayaan leluhur, dan

sebagian besar sudah tidak bermata sipit dan

berkulit kuning (Onghokham, 2009).

Peranakan Tionghoa merupakan sebutan

untuk keturunan percampuran dari orang

Tiongkok Selatan dan orang dari suku lain di

Nusantara, utamanya, di Pulau Jawa sehingga

membentuk budaya campuran yang unik.

Sebagian besar orang Peranakan Tionghoa ini

masih melakukan tradisi leluhur berdasarkan

kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno,

tetapi sudah tidak paham makna dan

tujuannya (Restiyati, 2013). Menurut Pak

Trisno (60 tahun), salah seorang informan dari

komunitas peranakan Tionghoa di Jawa

Tengah, penyebutan peranakan Tionghoa juga

dapat disebut dengan peranakan Cina.

Penyebutan istilah peranakan

Tionghoa merujuk pada istilah yang

dilabelkan oleh pemerintah kolonial Belanda

pada masyarakat Tiongkok di Pulau Jawa

yang tidak memiliki kuncir lagi, sudah

berpindah agama ke agama Islam, sudah tidak

memakan babi, dan sudah menikah dengan

orang beragama Islam (Onghokham, 2009).

Berdasarkan wawancara dengan Pak Seno (77

tahun), tokoh budayawan Tionghoa, istilah

Tionghoa pertama kali digunakan dan

disebarkan penggunaannya oleh Tiong Hoa

Hwee Koan (THHK), sebuah organisasi

modern pertama di Batavia yang didirikan

pada tahun 1900. Pemerintah kolonial

Belanda mengakui pemakaian istilah

Tionghoa dan Tiongkok bagi hal-hal yang

bersifat resmi pada tahun 1928, termasuk

untuk penyebutan orang Tiongkok (umumnya

berasal dari Tiongkok Selatan) dengan suku

Jawa dan Sunda di Pulau Jawa, terutama di

kota Batavia.

Orang Peranakan Tionghoa kemudian

banyak berpakaian seperti orang Eropa,

sebagian besar perempuannya mengenakan

kebaya atau baju panjang dan sarung atau kain

batik. Menurut Pak Dede (67 tahun), salah

seorang tokoh budaya Tionghoa di Jakarta,

baju panjang atau sering disebut dengan baju

kurung yang dikenakan oleh para perempuan

Tionghoa dan kebaya berwarna putih tipis

dengan bordiran warna-warni yang dikenal

dengan nama kebaya nyonya atau kebaya

encim. Istilah nyonya dilabelkan pada para

istri-istri dari laki-laki peranakan Tionghoa

yang disamakan dengan penyebutan pada

istri-istri orang Eropa atau Indo (campuran

Eropa dan suku di Indonesia), sedangkan

encim mengacu pada kata encim dalam bahasa

Hokkian yang artinya ‘bibi’. Kebaya ini

dinamakan kebaya encim karena menurut Pak

Dede, kebaya ini dikenakan oleh encim-

encim. Baju kurung dan kebaya digunakan

sebagai atasan oleh para perempuan

peranakan Tionghoa dan sarung atau kain

batik digunakan sebagai bawahan.

Menurut salah satu informan bernama

Page 4: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

68 Museum Nasional

Ibu Sandy (70 tahun), keturunan peranakan

Tionghoa di Jawa, alasan perempuan

peranakan Tionghoa mulai menggunakan baju

sarung dan kebaya dengan sarung atau kain

batik adalah karena ada tren pemakaian oleh

para perempuan Indo pada sekitar abad ke19.

Hal ini dikuatkan dari keterangan Ibu Mona,

ahli sejarah kolonial yaitu bahwa pada abad

ke-19 muncul budaya baru di Hindia Belanda,

terutama di Batavia, yang disebut dengan

budaya Indis dan salah satu cirinya adalah

pemakaian pakaian campuran dari budaya

Eropa, Tiongkok, dan lokal. Laki-laki Indo

menggunakan pakaian jas apabila ada di

kantor, sedangkan di rumah mereka terbiasa

memakai baju atasan seperti laki-laki

Tionghoa dan bawahan celana pangsi dari

bahan batik, sedangkan si perempuan

menggunakan kebaya atau baju sarung warna

putih, warna yang sering dipakai orang Eropa,

dan sarung atau kain batik yang merupakan

kain khas Jawa dengan motif flora fauna yang

dikenal di budaya Eropa dan Tiongkok, seperti

bunga krisan atau burung bangau (Achjadi,

2005).

Pada abad ke-19, salah satu daerah

pembuat sarung dan kain batik Jawa yang

dipengaruhi budaya Eropa dan Tiongkok

adalah Banyumas. Di daerah ini seorang

perempuan bernama Catharina Van Oosterom

atau dikenal dengan Nyonya Oosterom

mengembangkan batik yang dipengaruhi batik

Pesisiran, seperti motif buketan ditambahkan

warnawarna khas Belanda, seperti biru, dan

motif Ukel. Batik khas Van Oosterom ini

dikenal dengan nama Matheron atau Matheros

yang berasal dari nama Nyonya Matheron

yang memopulerkan motif khas Van

Oosterom (Restiyati, 2019). Para Peranakan

Tionghoa Jawa mendominasi bisnis dan

produksi batik di daerah Banyumas, bahkan

sampai pada tahun 1970-an, terdapat

perusahaan batik yang terkenal, Kho Sian Kie,

yang memproduksi batik cap dan dipasarkan

ke seluruh Jawa (Ariani, 2012). Saat ini batik

Hadipriyanto yang terkenal masih

memproduksi motif lama Banyumas. Lalu,

apa sebenarnya makna motif dan warna pada

kebaya dan kain batik yang digunakan

perempuan peranakan Tionghoa di

Banyumas?

Tujuan dari penelitian mengenai

makna motif dan warna kain batik peranakan

Tionghoa ini adalah sebagai berikut.

1. Menguatkan identitas masyarakat

peranakan Tionghoa di Banyumas

sebagai pelestari budaya;

2. Menunjukkan jejak budaya campuran

yang terjadi di Banyumas; dan

3. Meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat Indonesia dan

Banyumas, khususnya untuk

melakukan pelestarian budaya.

Penelitian kualitatif ini dilakukan di

Banyumas pada tahun 2019 dengan

menggunakan teknik pengambilan data

berupa wawancara mendalam. Penelitian ini

menggunakan pendekatan antropologi

simbolik, karena merupakan pendekatan yang

paling tepat untuk mengetahui makna motif

dan warna batik Peranakan Tionghoa di

Banyumas. Pendekatan antropologi simbolik

akan menganalisa hasil wawancara dengan

para informan yang terlibat langsung dalam

pembuatan batik Peranakan Tionghoa,

mempelajari mengenai batik Peranakan

Tionghoa di Banyumas dan merupakan

pelaku yang membuat dan memakai batik

dalam kehidupan sehari-hari atau peristiwa

tertentu seperti tahun baru Cina. Pengalaman,

dan pengetahuan para informan akan

mempengaruhi pemaknaan terhadap motif

dan warna batik.

PEMBAHASAN

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,

kebaya putih tipis dengan sarung batik

secara hukum hanya boleh dikenakan oleh

perempuan yang dianggap sebagai bagian

dari masyarakat Eropa, yaitu perempuan

Eropa serta istri dan anak perempuan dari

laki-laki Eropa yang diakui secara hukum

dan telah menjadi Kristen (Achjadi, 2005).

Para perempuan Tionghoa, terutama yang

sudah menikah dengan etnik lain atau

keturunan dari percampuran etnik

Page 5: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________

Diyah Wara Restiyati

Jurnal Prajnaparamita 69

mengenakan kebaya putih sebagai

kebanggaan menjadi bagian dari komunitas

elite Eropa ketika diberlakukan persamaan

kedudukan untuk semua orang Tiongkok

yang orang tuanya menetap di Hindia

Belanda. Pemakaian kebaya putih seperti

perempuan Belanda sekaligus merupakan

doa agar memiliki kehidupan sukses seperti

orang-orang Belanda.

Menurut Ibu Sandy, warna putih

menyimbolkan warna kedukaan,

kesedihan, dan nasib tidak beruntung dalam

tradisi leluhur masyarakat Tionghoa. Para

perempuan Tionghoa kemudian

menghiasnya dengan bordiran motif

berwarna-warni dari cerita-cerita

Tiongkok, seperti kupu-kupu, bunga seruni,

naga, burung hong (fenghuang, sering kali

dianggap identik dengan burung phoenix),

merak, burung bangau, dan motif lain.

Motif bordir yang berwarna-warni ini

dianggap melambangkan kemakmuran,

kebahagiaan, kesejahteraan, seperti merah,

kuning, biru langit, hijau, dan lain-lain

(Chunjiang, 2012). Kebaya putih tipis ini

dipakai, baik dalam acara-acara khusus

maupun kegiatan sehari-hari. Motif yang

dipakai pun disesuaikan dengan acara yang

dihadiri, misalnya, untuk pernikahan, motif

yang dipakai adalah motif burung hong,

bangau, merak, bunga seruni, dan lain-lain.

Hal yang diutamakan adalah

melambangkan kebahagiaan dan

kegembiraan. Sementara itu, untuk

kedukaan atau peringatan kematian anggota

keluarga, perempuan Tionghoa akan

menggunakan kebaya putih polos (Achjadi,

2015).

Pada tahun 1910, para perempuan

Tionghoa yang memproduksi batik mulai

menambahkan warna cerah pada kebaya

dan batik klasik khas Yogyakarta serta

Surakarta sehingga batik yang dihasilkan

mirip dengan batik di daerah pesisir.

Warna-warna cerah ini dipakai dalam

berbagai kesempatan, terutama pada tahun

1930-an oleh para nyonya muda atau nona

sehingga menjadi tren di kalangan

perempuan Tionghoa, terutama para

saudagar batik, istri, dan anak para pejabat

Tionghoa atau dikenal dengan opsir

Tionghoa (Achjadi, 2015).

Menurut Ibu Mona, opsir Tionghoa

diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda

dari golongan orang Tionghoa kaya dengan

jabatan kapitan, letnan, atau mayor (sesuai

dengan luas wilayah dan jumlah anggota

masyarakat di tempat tinggalnya). Sebutan

kapitan, letnan atau mayor bukanlah

jabatan dalam kemiliteran melainkan

jabatan pemimpin masyarakat Tionghoa

yang bertugas mengawasi masyarakat,

memungut pajak, mengatur monopoli

tertentu di bidang ekonomi, mengurus

kelenteng komunal, menilik para biksu, dan

melaksanakan upacara keagamaan, serta

mengurus pekuburan. Jabatan opsir

Tionghoa ini tidaklah memiliki tentara dan

selalu dijabat oleh orang Tionghoa

berpengaruh di dalam masyarakat

Tionghoa di berbagai kota di Nusantara

(Lohanda, 2007). Para istri opsir Tionghoa

dan anak perempuannya berperan besar

dalam memperkenalkan kebaya dan batik

beraneka warna dan motif yang biasanya

diambil dari mitologi masyarakat

Tionghoa.

Makna Motif Kain Batik

Motif kain batik yang paling terkenal di

dalam masyarakat Peranakan Tionghoa

adalah naga, burung hong/fenghuang,

bunga peony, dan krisan. Motif burung

hong/fenghuang/phoenix sudah ada sejak

8.000 tahun yang lalu dan digunakan pada

hampir semua benda selain kain, seperti

gerabah, benda-benda perunggu, dan giok

(Garret, 2007). Menurut Pak Tono,

keturunan ketiga dari saudagar batik di

Banyumas, motif lawas dari negeri

Tiongkok ini dipercaya sebagai penolak

bala di kalangan masyarakat Jawa,

termasuk Banyumas. Motif ini merupakan

harapan dan doa agar membawa

kegembiraan, kebahagiaan, kesuburan,

keberuntungan, dan hal-hal baik ketika

motif ini hadir. Oleh karena itu, sering

Page 6: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

70 Museum Nasional

ditemukan kain batik yang dibuat atau yang

digunakan perempuan Tionghoa

bermotifkan burung hong. Sering kali motif

itu juga dikombinasikan dengan bunga

peonyatau krisan. Berdasarkan

pengamatan, sampai saat ini tidak ada

pakem khusus dalam menggambar motif

burung hong. Motif burung hong hanya

dikenal sebagai motif burung dengan ekor

yang panjang dan melengkung ujungnya,

hampir serupa dengan burung merak. Oleh

karena itu, juga menurut Mas Anto (48

tahun), pembatik generasi keempat dari

keluarga pembatik di Banyumas, motif ini

sering disamakan dengan burung merak.

Berdasarkan keterangan dari Pak Dede,

burung hong di dalam mitologi Tiongkok

sebenarnya merepresentasikan unsur

maskulin (feng) dan feminin (huang).

Burung feng memiliki jumlah ekor yang

ganjil merepresentasikan yang, sedangkan

burung huang memiliki jumlah ekor yang

genap merepresentasikan yin. Namun, pada

perkembangannya terutama di Asia

Tenggara termasuk Indonesia, burung

fenghuang menjadi satu kesatuan dan

merepresentasikan unsur feminin (yin) dan

naga merepresentasikan unsur maskulin

(yang).

Menurut Pak Tisno, pada dasarnya

bulu ekor burung fenghuang memiliki lima

warna utama dalam budaya Tiongkok, yaitu

hitam, putih, merah, hijau, dan kuning.

Namun, hanya di Indonesia burung

fenghuang memiliki warna lebih dari lima,

bahkan tidak harus ada lima warna utama.

Kelihatannya, orang-orang Tionghoa sudah

menyesuaikan motif-motif lama dengan

apa yang disukai oleh masyarakat lokal.

Adaptasi motif burung hong di dalam kain

batik kemudian digambarkan sebagai

burung merak atau ayam. Hal ini dikuatkan

oleh keterangan Ibu Imah (80 tahun),

pembatik di Banyumas. Ibu Imah

menganggap bahwa burung hong yang

digambarkan merupakan burung merak.

Anggapan ini dapat terjadi karena di dalam

cerita-cerita Jawa kuno, burung merak

merupakan hewan yang sering dipelihara

oleh istana atau keraton di Jawa, Burung

merak ini biasanya ditempatkan di taman-

taman kerajaan karena keindahannya

(Rifai, 2017).

Foto 1: Motif burung Fenghuang

Sumber foto: pribadi

Motif burung merak sendiri

dipopulerkan oleh para pembatik dari

kalangan istana atau kerajaan di Jawa

(Achjadi, 2005). Pada batik Banyumas,

motif burung hong dan burung merak

jarang ditemukan. Motif yang justru banyak

ditemukan adalah motif ayam. Hal ini

berdasarkan kenyataan bahwa ayam

merupakan hewan yang dekat dengan

kehidupan masyarakat Banyumas yang

umumnya adalah petani. Motif ayam puger

merupakan motif hewan yang banyak

ditemukan pada kain batik yang dibuat oleh

peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas.

Motif burung lain yang dibuat dan

digunakan masyarakat peranakan Tionghoa

di Banyumas adalah burung pipit. Burung

pipit dalam kepercayaan Tiongkok kuno

merupakan simbol keberuntungan. Oleh

karena itu, masyarakat Tionghoa yang

masih percaya dengan kepercayaan leluhur

Page 7: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________

Diyah Wara Restiyati

Jurnal Prajnaparamita 71

akan membiarkan burung pipit berada di

sekitar rumah mereka. Menurut Ibu Mar

(78 tahun), pembatik Banyumas, motif

burung pipitmelambangkan rezeki yang

melimpah dan keberuntungan bagi

pemakai. Ibu Mar juga menambahkan

bahwa motif burung pipit digambarkan

dalam kain batik Banyumas karena burung

pipit ini merupakan salah satu hewan yang

sering terlihat berada di persawahan di

Banyumas.

Foto 2: Motif ayam puger

Sumber foto: pribadi

Menurut kepercayaan leluhur

Tionghoa, naga merupakan binatang

pembawa keberuntungan. Maka dari itu,

pada masa kekaisaran Tiongkok, pada

jubah sang kaisar selalu disematkan motif

naga dan begitu pula singgasananya yang

berukiran gambar naga (Morgan, 2007).

Menurut Pak Dede, naga dianggap hewan

penguasa alam semesta dan sumber

kehidupan berupa air. Air dikendalikan

oleh naga dan naga juga memberikan

kegembiraan, kebahagiaan, kesuburan,

serta kemakmuran dalam peristiwa

kehidupan masyarakat Tionghoa. Di

Indonesia motif naga juga ditafsirkan

sebagai lambang kemaskulinan sehingga

motif ini banyak dipakai oleh kaum laki-

laki Tionghoa, sepertipada batik atau

pakaian pernikahan dan tokwi/alas meja

altar (Restiyati, 2019). Berdasarkan

wawancara dengan untuk masyarakat

peranakan Tionghoa Banyumas, motif

Naga ini jarang sekali dibuat untuk kain

batik yang dipakai perempuan, kecuali

untuk kain gendong (cukin). Penggunaan

motif naga pada kain gendong menurut Ibu

Soen (77 tahun), generasi ketiga dari

saudagar batik Banyumas, bertujuan untuk

memberikan perlindungan dan

keberuntungan kepada si anak karena naga

dipercaya para leluhur dapat melindungi si

anak.

Foto 3: Motif burung pipit

Sumber foto: pribadi

Motif hewan yang juga sering

digambar oleh para pembatik adalah motif

kupu-kupu. Dari hasil wawancara dengan

para pembatik, tidak ada informan yang

mengetahui makna kupu-kupu dalam kain

batik. Informan hanya mengatakan bahwa

kupu-kupu merupakan lambang

perempuan. Menurut Mas Anto, motif

kupu-kupu terinspirasi dari kisah cinta tak

berujung bahagia sepasang kekasih

bernama San Pek dan Eng Tai dalam

legenda Tiongkok kuno. Kedua pemuda-

pemudi yang saling mencintai tersebut

berasal dari kelas sosial berbeda, tetapi

tidak dapat bersama. Biasanya di dalam

kain batik, motif kupu-kupu akan

digambarkan sepasang karena sepasang

kupu-kupu dalam tradisi Tionghoa

melambangkan cinta abadi. Alkisah ada

seorang gadis bernama Eng Tai dan

pemuda bernama San Pek saling mencintai,

tetapi lamaran San Pek ditolak keluarga

Eng Tai karena perbedaan status sosial dan

Eng Tai sudah dijodohkan dengan pemuda

Page 8: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

72 Museum Nasional

lain. San Pek pun meninggal karena patah

hati. Pada saat hari pernikahan Eng Tai

dengan Ma Tjun, pemuda yang dijodohkan,

Eng Tai meminta untuk melewati makam

San Pek agar bisa bersembahyang di

makam tersebut. Ketika Eng Tai

bersembahyang, Eng Tai memohon kepada

dewa agar pintu makam San Pek terbuka

untuknya. Ketika pintu makam terbuka,

Eng Tai pun masuk ke dalam makam dan

tidak keluar lagi. Ma Tjun yang marah

meminta makam San Pek terbuka kembali

untuk menemukan Eng Tai. Namun, yang

ditemukan hanya sepasang kupu-kupu yang

indah dan terbang ke langit. Dipercaya

bahwa San Pek-Eng Tai telah menjelma

menjadi sepasang kupu-kupu tersebut

(Chunjiang, 2012).

Foto 4. Motif kupu-kupu

Sumber foto: pribadi

Pada kain batik Banyumas

peranakan Tionghoa, motif flora yang

sering diproduksi adalah talas (lumbon) dan

bunga krisan (chysanthenum). Dari kedua

motif ini, motif bunga krisan mendapatkan

pengaruh dari budaya Tiongkok. Motif

bunga krisan sering diasosiasikan dengan

musim gugur. Bunga krisan melambangkan

persahabatan, umur panjang, kedamaian,

simbol keriangan, kemudahan dalam hidup,

kecerdasan, keanggunan, dan

kesejahteraan. Di dalam lukisan atau benda

budaya Tionghoa, bunga krisan sering

digambarkan bersama burung pipit

(Morgan, 2007). Menurut Pak Dede, pada

prinsipnya semua motif bunga pada benda

budaya masyarakat Tionghoa

melambangkan sifat feminin atau

perempuan sehingga akan dipadupadankan

dengan motif burung atau naga. Untuk

motif talas (lumbon), motif ini diambil dari

tanaman yang umum di Banyumas.

Foto 5. Motif bunga krisan

Sumber foto: pribadi

Foto 6. Motif talas (lumbon)

Sumber foto: pribadi

Motif flora yang juga sering dipakai

pada batik Banyumas Peranakan Tionghoa

yaitu motif ganggang atau ganggeng.

Menurut Mas Anto, motif ini sering

disamakan dengan kelabang mlaku.

Kelabang dalam budaya Tiongkok

melambangkan rezeki yang berlanjut dan

penangkal roh jahat. Motif ini kemudian

diadaptasi sebagai motif ganggang/

ganggeng (Sumarsono, X.Hartono Helen

Ishwara, L.R Supriyapto Yahya, 2012)

Page 9: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________

Diyah Wara Restiyati

Jurnal Prajnaparamita 73

Foto 7. Motif ganggang/ganggeng

Sumber foto: pribadi

Makna Warna Batik Peranakan

Tionghoa

Pewarnaan merupakan karya seni yang

dipraktikkan oleh perempuan Peranakan

Tionghoa dalam kain batik. Ada lima warna

utama yang digunakan, yaitu merah,

kuning, biru, kehijauan, putih, dan hitam.

Warna merah melambangkan kegembiraan,

kebahagiaan, dan keberuntungan dan

digunakan untuk segala jenis pesta

(Morgan, 2007). Menurut Ibu Saras (70

tahun), seorang saudagar batik, warna

merah merupakan representasi doa akan

kebahagiaan sepanjang masa dalam

kehidupan orang Tionghoa. Semua warna

yang merupakan turunan dari merah,

seperti merah muda, ungu, atau oranye juga

dipercaya mampu membawa energi yang

sama sehingga doa pun mampu terwujud.

Di dalam Fengshui (feng ‘angin’ dan shui

‘air’), suatu konsep keseimbangan elemen

Yin Yang (halus/kasar; feminin/maskulin)

dalam kehidupan orang Tionghoa yang

terepresentasikan dalam hunian atau tempat

usaha dan tempat bekerja, warna merah

disamakan dengan elemen yang dan arah

selatan, suatu arah yang dianggap

membawa banyak kebahagiaan dan

kegembiraan (Morgan, 2007).

Selain merah, warna kuning juga

menjadi warna utama yang dipercaya

membawa hal positif dalam masyarakat

Peranakan Tionghoa karena dipercaya

membawa kemakmuran, keberuntungan,

kekuasaan, kekayaan, kebahagiaan,

kehormatan, dan semua hal baik. Kuning

yang melambangkan yin dan bumi. Warna

tersebut menjadi warna yang dipakai dalam

kekaisaran di Tiongkok, selain warna

merah (Morgan, 2007). Menurut Pak Dede,

warna kuning juga dianggap

melambangkan kebangsawanan atau

keningratan dan diidentikkan dengan warna

kekaisaran. Di masa kekaisaran, rakyat

jelata tidak boleh mengenakan warna ini

secara sembarangan. Dengan tumbangnya

kekaisaran, warna kuning dapat dikenakan

semua kalangan. Para pendeta Buddha juga

banyak memakai warna ini untuk

pakaiannya (Garret, 2007).

Untuk warna biru dan kehijauan

yang dipakai di kain batik, menurut Ibu

Sandy, warna tersebut melambangkan alam

di bumi dan kepandaian serta biasa

digunakan sebagai pelengkap warna merah

dan kuning atau dapat juga berdiri sendiri.

Pada masa kekaisaran Tiongkok, warna

biru digunakan pejabat tinggi, sedangkan

warna kehijauan digunakan oleh pejabat

rendah. Untuk warna biru bisa digunakan

pada saat pesta, pada saat duka, dan

biasanya digunakan para cendekiawan pada

masa kekaisaran Tiongkok (Morgan, 2007).

Page 10: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Jurnal Prajnaparamita Edisi 09/2020

p-ISSN: 2355-5750

74 Museum Nasional

Sementara itu, warna putih, menurut Mas

Anto, melambangkan kedukaan,

kepolosan, kesederhanaan, dan kesucian,

sedangkan warna hitam melambangkan

sesuatu yang jahat, negatif.

PENUTUP

Motif dan warna pada kain batik yang

dibuat, dimiliki, atau digunakan masyarakat

Peranakan Tionghoa dapat disimpulkan

bukanlah sesuatu yang sembarang atau

sederhana. Pembuatan kain batik sebagai

karya seni berdasarkan pengetahuan,

pengalaman, dan lingkungan para pembuat

batik turut memengaruhi terciptanya

sebuah batik yang digunakan dalam

keseharian dan waktu khusus. Kain batik

dengan motif dan warna tertentu

merepresentasikan hal tertentu yang khas

dalam budaya peranakan Tionghoa. Warna

merah dan kuning paling banyak dipakai

dalam batik Peranakan Tionghoa karena

melambangkan kebahagiaan, kesuksesan,

kejayaan, dan hal-hal baik lain. Warna

merah dalam batik Banyumas diaplikasikan

menjadi warna cokelat tua dan warna merah

tua, sedangkan warna kuning diaplikasikan

menjadi warna kuning kecokelatan.

Pengalaman dan pengetahuan Peranakan

Tionghoa hidup dalam budaya Tiongkok

dan Jawa menghasilkan kain batik

mengadopsi motif dan warna dari kedua

budaya. Sayangnya, makna motif dan

warna kain batik peranakan Tionghoa

sudah tidak banyak dipahami oleh para

keturunan peranakan Tionghoa meskipun

mereka merupakan keturunan saudagar

kain batik. Dari hasil wawancara dengan

para informan, hanya satu orang yang

paham mengenai makna motif dan warna

pada kain Banyumas karena dia merupakan

keturunan saudagar kain batik yang

mempelajari batik, memproduksi kain,

serta membuat bengkel dan toko batik.

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi, J. K. dan A. D. (2005). Butterflies

and Phoenixes, Chinese Inspirations

in Indonesia Textile Arts. Marshal

Cavendish.

Achjadi, J. K. dan A. D. (2015). Kebaya

Encim, Sebuah Fenomena di Dunia

Fesyen Tradisional Indonesia. Unit

Pengelola Museum Seni Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

DKI Jakarta.

Ariani, C. (2012). Simbol, Makna, dan Nilai

Folisofis Batik Banyumasan.

Patrawidya, 14(No.3), 577–613.

Chunjiang, F. (2012). Origins of Chinese

Suspicious Symbols. Elex Media

Komputindo, 2012.

Garret, V. (2007). Chinese Dress, From the

Qing Dynasty to the Present. Tuttle

Publishing.

Lohanda, M. (2007). Sejarah Para Pembesar

Mengatur Batavia. Masup Jakarta.

Morgan, H. (2007). China Simbol dan Mistik.

Alfamedia.

Onghokham. (2009). Riwayat Tionghoa

Peranakan di Jawa (David Reeve

(ed.); Second). Komunitas Bambu.

Restiyati, D. W. (2013). Peranakan Tionghoa

di Indonesia.

Restiyati, D. W. (2019). Batik Banyumas

Jejak Tradisi yang Memudar.

Rifai, M. A. (2017). Desawarna Saduran

Kakawin Nagarakertagama untuk

Bacaan Remaja. Komunitas Bambu.

Sumarsono, X.Hartono Helen Ishwara, L.R

Supriyapto Yahya, X. M. (2012).

Page 11: MAKNA MOTIF DAN WARNA KAIN BATIK PERANAKAN …

Makna Motif dan Warna Kain Batik Peranakan Tionghoa Jawa di Banyumas ______________________________________________________________________________________

Diyah Wara Restiyati

Jurnal Prajnaparamita 75

Benang Raja Menyimpul Keelokan

Batik Pesisir.