makalah sosiologi csr

Upload: wong2003

Post on 09-Jul-2015

181 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONTEKS SOSIOLOGIS PERKEMBANGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN * IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA,I Sejak tiga atau empat tahun belakangan ini CSR memang lagi ngetrend di Indonesia. Banyak orang berbicara tentang CSR dan semuanya bagus. Saya berpendapat bahwa pemerintah perlu merespon hal ini. Situasi dan momentum seperti ini harus terus dijaga agar kita tidak kembali lagi kepada masa -masa lalu, dalam mana invisible-rules yang berjalan. Perusahaan cukup berlindung dibalik kekuasaan oknum -oknum tertentu saja untuk menghindar dari tuntutan masyarakat. Akhirnya masyarakat semakin marjinal dan miskin. Kita semua menyadari, bahwa selama lebih dari tiga dekade, ekonomi Indonesia dibangun atas dasar teori pertumbuhan yang memberikan peluang tak terbatas pada perusahaan -perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam. Memang diakui, bahwa di satu sisi sektor industri atau korporasi-korporasi skala besar telah mampu memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi di sisi lain ekploitasi sumber-sumber daya alam oleh sektor industri seringkali menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang parah. Karakteristik umum korporasi skala -besar biasanya beroperasi secara enclave, dan melahirkan apa yang dalam perspektif sosiologi Booke, disebut sebagai dual society, yakni tumbuhnya dua karakter ekonomi yang paradoks di dalam satu area. Di satu sisi ekonomi (di dalam enclave) tumbuh secara modern dan sangat pesat, tetapi di sisi masyarakat, ekonomi justru berjalan sangat lambat atau bahkan mandeg. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin involutif, disertai dengan marginalisasi tenaga kerja lokal. Hal ini terjadi karena basis teknologi tinggi menuntut perusahaan -perusahaan besar lebih banyak menyedot tenaga kerja terampil dari luar masyarakat tempatan, sehingga tenaga-tenaga kerja lokal yangDisampaikan oleh. B. Tamam Achda, Anggota Komisi VII DPR-RI, Lektor Kepala FISIP Universitas Nasional, Kepala Pusat Pemberdayaan Masyarakat Universitas Nasional dan pendiri Community Development Institute, pada Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta , 23 Agustus 2006.*

1

umumnya berketerampilan rendah menjadi te rbuang. Keterpisahan ( nclavism) e inilah yang kemudian menyebabkan hubungan perusahaan dengan masyarakat tempatan menjadi tidak harmonis dan diwarnai berbagai konflik serta ketegangan. Berbagai tuntutan seperti ganti-rugi atas kerusakan lingkungan, pemekerjaan (employment), pembagian keuntungan, dan lain-lain sangat jarang memperoleh solusi yang mendasar dan memuaskan masyarakat. Situasi tersebut diperparah oleh kultur perusahaan yang didominasi cara berpikir dan perilaku ekonomi yang bersifat profit-oriented semata. Di masa -masa yang lalu keadaan seperti ini dipandang sebagai tidak ada masalah karena tradisi represif dalam pemerintahan kita masih sangat dominan. Secara katagories, kita bisa memahami cara pandang dunia bisnis dalam menjalankan usahanya. Misalnya, optimalisasi peraihan keuntungan dianggap sebagai satu-satunya cara perusahaan untuk tetap bertahan. Cara pandang seperti ini bisa saja benar, tetapi telah terbukti bahwa membenarkan perusahaan untuk melakukan apa saja demi melindungi kepentingan mengakumulasi keuntungannya termasuk praktek -praktek yang secara moral tidak benar, adalah tidak dapat dibenarkan sama sekali. Cara pandang semacam ini dulu berkembang begitu luas di kalangan dunia usaha. Jika masyarakat setempat merasa dirugikan oleh operasi perusahaan misalnya dan kemudian mereka menuntut sesuatu, melalui oknumoknum tertentu, perusahaan tidak segan-segan melakukan tindakan repre sif untuk membungkamnya. Namun perubahan tatanan politik Indonesia pada akhir tahun 90 -an telah mengubah secara drastis cara pandang tersebut. Masyarakat kini menginginkan suasana keterbukaan, termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan berbagai sumberdaya alam dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Pola hubungan masyarakat dan perusahaan juga secara total berubah. Masyarakat kini telah semakin well informed, sehingga daya kritis dan keberanian mereka untuk mengemukakan aspirasinya secara lebih terbuka semakin meningkat, termasuk tuntutannya terhadap perusahaan yang beroperasi di lingkungan mereka. Karena itu, pihak perusahan dituntut untuk menya dari akan kekeliruan pendekatan masa lalu yang represif, dan didorong untuk membangun fundamental hubungan yang lebih baik, sehingga terbentuk sebuah kerangka hubungan yang harmonis 2

antara perusahaan atau industri dengan lingkungan strategisnya. Fundamental hubungan yang baik tersebut harus diletakkan pada prinsip-prinsip simbiosis, mutualistis, saling pengertian dan saling memberi manfaat. Melalui konsep ini, masyarakat diharapkan dapat berperilaku santun dan kooperatif terhadap eksistensi perusahaan, sementara perusahaan tetap dapat beroperasi secara sehat dalam mengejar keuntungan ekonominya sembari tetap meningkatkan tanggung jawab sosial terhadap lingkungannya, tanpa perlu khawatir akan adanya gangguan sosial .

II Perubahan-perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat itulah yang kemudian di Indonesia memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan garis tuntunan ( uideline) bahwa korporasi bukan g lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja (selfish) sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik , dengan paling sedik it merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden -rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. 3

Karena itu, CSR dapat diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus-menerus menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Tanggungjawab perusahaan mencakup empat jenjang yang merupakan satu kesatuan, yaitu; ekonomis, hukum, etis, dan filantropis. Tanggung jawab ekonomis berarti perusahaan perlu menghasilkan laba sebagai fondasi untuk dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya. Namun dalam tujuan mencari laba, sebuah perusahaan juga harus bertanggungjawab secara hukum dengan mentaati ketentuan hukum yang berlaku. Secara etis perusahaan juga bertanggungjawab untuk mempraktekkan hal-hal yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai, etika, dan norma -norma kemasyarakatan. Tanggungjawab filantropis berarti perusahaan harus memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat sejalan dengan operasi bisnisnya. Melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa keberterimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dengan pemahaman seperti itu, dapat dikatakan bahwa, CSR adalah prasyarat perusahaan untuk bisa meraih legitimasi sosiologiskultural yang kuat dari masyarakatnya. Perlu disyukuri bahwa kecenderungan terakhir ini di Indonesia banyak perusahaan swasta yang telah menjalankan prinsip-prinsip CSR. Dalam tataran praktis, CSR seringkali diinterpretasikan sebagai pengkaitan antara pengambilan keputusan dengan nilai-nilai etika, pemenuhan kaidah-kaidah hukum serta menghargai martabat manusia, masyarakat dan lingkungan. Kini diakui telah banyak korporasi yang mulai sadar akan pentingnya menjalankan CSR, meskipun masih banyak juga yang belum menjalankannya dengan benar. Dari segi besaran uangnya , banyak perusahaan yang sudah memberikannya dalam jumlah yang cukup besar, ada yang sedang tapi juga ada yang hanya sekedarnya sedemikian saja. rupa Dari sisi cara penyampaian sistematis dan dan peruntukannya, banyak perusahaan yang yang sudah well-planned dan bahkan sangat integrated sehingga sangat methodologis. Tetapi juga masih banyak perusahaan yang pengeluaran dana 4

CSR nya

berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat.

Karena itu,

perlu suatu peraturan pemerintah yang mengatur konsep dan jenis CSR dalam rangka law enforcement, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Perusahaanperusahaan perlu diyakinkan, bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan meningkatnya appresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan bersangkutan. Karena itu, investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Maka sungguh diberharapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dapat memprakarsai adanya peraturan yang baik, yang memungkinkan dijalankannya law enforcement bagi implementasi CSR di Indonesia. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Selama ini, CSR di lingkungan perusahaan swasta masih bersifat sukarela (voluntary), dan karena itu wajar jika penerapannya masih bebas tafsir berdasarkan kepentingan korporasi masin g-masing. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian, dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam ikut meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang pro-masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat dibutuhkan ditengah arus neo-liberalisme seperti sekarang ini. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak bisa seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku. Tanpa menyebut nama sebuah perusahaan serta lokasinya, saya mengetahui bahwa perusahaan tersebut sesunguhnya sudah cukup banyak mengeluarkan dana CSR, akan tetapi tuntutan masyarakat tetap saja tinggi dan berada diluar batas proporsinya. Dengan adanya aturan hukum, maka perbedaan kepentingan antara para pihak baik perusahaan dan masyarakat dapat dijembatani secara elegan. Hukum berfungsi sebagai panduan untuk menentukan sikap dan tingkah laku 5 penerapan CSR tidak seharusnya dianggap sebagai cost semata-mata, melainkan juga sebuah

sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Jika kemitraan ini terjalin baik, dapat dipastikan bahwa korporasi dan masyarakat dapat berhubungan secara co -eksistensial, simbiosis-mutualistik dan kekeluargaan. Meski demikian, perlu berhati-hati agar intervensi dan regulasi pemerintah terhadap dunia usaha ini, khususnya terhadap aktualisasi CSR tidak terjebak pada birokratisasi yang melelahkan dan berbiaya ting gi. Regulasi yang berlebihan justru menimbulkan counter-productive terhadap proses demokratisasi yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Regulasi dalam konteks ini diperlukan agar semua komponen berjalan atas dasar rule of law, patuh atas aturan main yang jelas, sehingga paramete rnya pun menjadi jelas.

III CSR adalah konsep moral dan etis yang berciri umum , oleh karena itu pada tataran praktisnya harus dialirkan ke dalam program-program kongkrit. Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah Pengembangan Masyarakat atau Community Development (CD) . Program-program Community Development (CD), dapat dilakukan

perusahaan -perusahaan atas dasar sikap dan pandangan yang umumnya telah ada (inheren) dalam dirinya, yaitu sikap dan pandangan sekaligus, yakni filantropis (kedermaan). Perusahaan umumnya memiliki sikap tersebut yang didasarkan atas dua motif altruisme dan self interest. Sayangnya, pendekatan altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain) belum menjadi mainstream oleh sebagian besar perusahaan. Sebagian besar pengambil keputusan perusahaan memandang filantropi perusahaan sebagai pencerahan atas kepentingan pribadi (self interest). Self interest merupakan aspek yang tidak dapat dihindari dalam praktek kedermawanan sosial perusahaan. Motif perusahaan dalam menyumbang seringkali tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan tanggung jawab moral, melainkan dala m bentuk pemberian dengan motif; charity (amal atau derma), imagebuilding laundering. 6 (promosi), tax-facility (fasilitas pajak) security-prosperity - maaf- money (keamananan dan peningkatan kesejahteraan), atau bahkan

IV Disamping hal-hal sebagaimana diuraikan di atas, selama ini, sebagian besar donasi perusahaan dalam konteks CSR masih merupakan hibah sosial, dan masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan atau kegiatan lain untuk kemaslahatan masyarakat dengan hak pengelolaan sepenuhnya pada penerima, sementara hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu kegiatan pengembangan masyarakat (CD). Oleh karena itu, diperlukan transformasi bagi orientasi filantropik perusahaan, dari hibah sosial ke hibah pembangunan, karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukkan untuk keperluan sesaat dan bersifat konsumtif. Perlu didorong kegiatan kedermawanan dari yang bersifat sedekah, kearah yang bersifat pengembangan atau pemberdayaan, sehingga sustainabilitynya lebih terpelihara. Kegiatan CD untuk lingkungan industri pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai media peningkatan komitmen masyarakat untuk dapat hidup berdampingan secara simbiotik dengan entitas bisnis (perusahaan) beserta operasinya. Kedudukan komunitas (community) dalam konsep CD pada lingkungan industrial adalah sebagai bagian dari stakeholder yang secara strategis memang diharapkan memberikan dukungannya bagi eksistensi perusahaan . Saat ini, diakui telah banyak perusahaan yang telah menerapkan programprogram CD, yang dilakukan dengan tujuan dan motif-motif pragmatis tertentu, misalnya dalam kerangka membangun kondisi hubungan yang lebih harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, atau untuk menjalin co-eksistensi damai. Tujuan-tujuan pragmatis seperti itu tidak dapat disalahkan, akan tetapi sebaiknya tetap dilakukan dengan methodologi yang benar. Sebagaimana lazimnya, methodologi yang benar dalam pelaksanaan CD harus dimulai dari kegiatan Participatory Rural Appraisal. Pelaksanaan PRA diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih faktual dan detail tentang kondisi masyarakat, baik dalam dimensi ekonomi, pendidikan, 7 kesehatan, tersedianya basic

infrastruktur, keberadaan serta aktivitas kelembagaan lokal maupun masalahmasalah pengangguran. Disamping itu, dengan PRA juga diharapkan akan lebih menjamin bahwa masyarakat yang dimaksud telah dilibatkan dalam perencanaannya . Konsep dan perspektif Community Development (CD) memang begitu luas, karena itu memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Disamping methodologinya harus benar, kaidah -kaidahnya juga harus tepat. Melaksanakan CD hanya dengan mendengar masukan dari masyarakat saja, atau sebaliknya hanya mengandalkan inovasi dari pelaksana CD saja, juga bisa menjebak masyarakat kepada ketergantungan baru. Hasilnya masyarakat bukannya menjadi mandiri dan dapat mencari alternatif kehidupan untuk menyejahterakan diri, tapi justru malah menjadi peminta terus -menerus. Akibatnya, pada saat proyek CD selesai, masyarakat tetap tidak mandiri. Lantas, bagaimana konsep CD yang benar bagi sebuah perusahaan? Di negara-negara maju, CD dapat dilakukan dalam bentuk aksi-aksi penolakan atau advokasi atas tindakan -tindakan masyarakat, seperti drug abuse, aborsi, diskriminasi rasial, dan sebagainya. Namun dalam konteks Indonesia, oleh karena sebagian besar masyarakat di lingkungan industri kita berada dalam kondisi kemiskinan, maka kegiatan CD yang relevan adalah dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Karena itu, setidaknya program CD direkomendasikan untuk didedikasikan pada; peningkatan pendapatan (ekonomi) atau kesejahteraan masyarakat, masalah-masalah pemekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai. Rumusan di atas berangkat dari tujuan pelaksanaan CD, yang antara lain : 1. Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam menemukan alternatif ekonomi dalam jangka panjang. 2. Meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun budaya. 3. Menguatnya kelembagaan lokal yang mampu memelopori tumbuhnya prakarsa -prakarsa lokal. 4. Kemandirian masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun budaya.

8

V Karena itu, dalam bagian akhir dari paper ini saya ingin for

memperkenalkan

klasifikasi

pembangunan

masyarakat

(Comunity

Development), menurut Arthur Dunham, dalam bukunya Outlook

Community Development Review, bahwa mengikuti garis kualitas masyarakat, atau sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat yang hendak kita bangun setidaknya ada 3 klasifikasi Community Development (CD), yaitu: Development for Community, Community. 1. Development for Community, adalah pendekatan yang menempatkan masyarakat pada posisi sebagai objek pembangunan . Karena itu, inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh aktor dari luar. Pendekatan seperti ini relevan dilakukan pada masyarakat yang kesadaran dan budayanya terdominasi. Namun berbagai temuan lapangan memperlihatkan bahwa Development for Community akan sangat mudah menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar. 2. Development with Community, adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama, dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak. Bentuk CD ini adalah yang paling populer dan banyak diaplikasikan oleh berbagai pihak. Dasar pemikiran bentuk CD ini adalah, perlunya sinergi dari potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal dengan yang dikuasai oleh aktor luar. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan juga diharapkan dapat mengembangkan rasa memiliki terhadap inisiatif pembangunan yang ada sekaligus membuat proyek pembangunan menjadi lebih efisien. 3. Development of Community, adalah pendekatan yang menempatkan masyarakat sendiri sebagai agen pembangunan, sehingga inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan dilakukan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat menjadi pemilik dari proses pembangunan. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai sistem pendukung bagi proses pembangunan. 9 Development with Community, dan Development of

Ketiga pendekatan CD tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana (means) yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan Development for Community lebih sesuai, sementara pada masyarakat yang lain Development with Community justru yang dibutuhkan. Di sinilah letak peran korporasi sangat penting sebagai agen perubahan masya rakat, dalam menentukan programprogram CD nya masing2, sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

VI Akhirnya, a gar program-program CD-Korporasi, yang dilakukan sebagai aktualisasi CSR, bisa tepat sasaran dan dapat dipantau tingkat efektivitas dan kinerjanya, hemat saya maka diperlukan upaya pemantauan dan penilaian, agar dapat diketahui sejauh mana sebuah perusahaan telah menjalankan program CD secara baik dan benar (on the right track). Kita perlu memberikan dorongan dan stimulan agar seluruh perusahaan melaksanakan CD nya masingmasing, akan tetapi kita juga ingin agar semua kegiatan itu tidak mubazir hanya karena tidak mengikuti kaidah dan methodologi yang benar. Oleh karena itu, sekali lagi, saya ingin mendorong peran pemerintah untuk melakukan penilaian dan e valuasi secara obyektif terhadap program-program CD yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Diharapkan, dengan adanya aturan -aturan yang lebih jelas nanti, Komisi PROPER KLH dapat melaksanakan evaluasi sebagaimana tersebut diatas deng an obyektif dan profesional, demi meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selanjutnya, pemberian klasifikasi atau PROPER grade harus memiliki implikasi reward and punishment yang tegas dan jelas. Demikianlah, pada akhirnya saya sangat berharap agar seminar ini bukan hanya dapat merekomendasikan perlunya penyelenggaraan seminar yang lain lagi, tetapi dapat melahirkan kesepakatan -kesepakatan tentang perlunya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR bagi perusahaan.

Jakarta 23 Agustus 2006 10